Tugas Resume "Pemberdayaan Masyarakat" [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Resume “Pemberdayaan Masyarakat”



Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Pemberdayaan dan Pendayagunaan Masyarakat Dosen Pengampu: Dr. Masduki, MM



Oleh:



Nama



: Annissavitri



NIM



: 1103617046



MP 2017 A



PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA APRIL 2020



A. Pembangunan Berbasis Pemberdayaan Upaya mewujudkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat



Peta Konsep



Pembangunan Berbasis Kebudayaan



Perencanaan



Pelaksanaan



Pengendalian Tiga Tahap Pembanguna Berbasis Pemberdayaan Pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu tujuan pembangunan adalah upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi. 1 Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan kemampuan yang mereka miliki. Pembangunan haruslah menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dan proses pembangunan harus menguntungkan semua pihak. Dalam



rangka



pembangunan



dengan



pendekatan



pemberdayaan



masyarakat, penyempurnaan mekanisme pembangunan perlu dilakukan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. 1. Pertama, penajaman sasaran pembangunan dengan pengertian bahwa investasi pemerintah melalui bantuan dana, prasarana dan sarana benarbenar mencapai kelompok sasaran yang paling memerlukan sehingga meningkatkan kegiatan social ekonomi masyarakat secara berkesinambungan 2. Kedua, kelancaran dan kecepatan dalam penyaluran dana serta pembangunan prasaran dan sarana sehingga dapat segera digunakan sepenuhnya oleh Risky Pusut, Marthen Kimbal, dan Michael Mamentu, Jurnal “Pembangunan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Di Desa Pasir Putih Kecamatan Pamona Selatan Kabupaten Poso”, (Eksekutif: Jurnal Jurusan Ilmu Pemerintahan, Volome 2, No. 2, Tahun 2017), hlm. 1 1



kelompo masyarakat tepat jumlah dan tepat waktu sesuai dengan jangka waktu yang disediakan. 3. Ketiga,



membangun



kesiapan



masyarakat



dalam



menerima



dan



mendayagunakan dana, prasarana dan sarana 4. Keempat, masyarakat harus diberi kepercayaan untuk memilih kegiatan usahanya dan diberi bimbingan berupa pendampingan supaya berhasil. Misalnya, dalam rangka pembangunan prasaran di perdesaan, harus juga sejauh



mungkin



dilaksanakan



oleh



masyarakat,



sekurang-kurangnnya



masyarakat ikut serta di dalamnya. 5. Kelima, kemampuan masyarakat bersama aparat untuk meningkatkan nilai tambah dari investasi tersebut dan menciptakan akumulasi modal. 6. Keenam,



kelengkapan



pencatatan



sebagai



dasar



pengendalian



dan



penyusunan informasi dasar yang lengkat, operasional dan bermanfaat bagi evaluasi



dan



pembangunan



penyempurnaan di



tingkat



program



perdesaan



yang



dan



akan



datang.



pemberdayaan



Karena



masyarakat



menyangkut kegiatan banyak sektor, maka koordinasi amat penting untuk menyatukan berbagai upaya agar menghasilkan sinergi, serta untuk menghindari tumpang tindih sehingga dapat dijamin efisiensi dalam upaya mencapai hasil yang optimal.2



B. Bias-Bias Pemikiran Tentang Konsep Pemberdayaan Masyarakat



Peta Konsep Pola Pikir Masyarakat



Anggapan/Asum si Masyarakat



Pandangan Masyarakat



Kecenderungan/Ke biasaan-Kebiasaan yang terjadi



Aprillia Theresia, dkk, “Pembangunan Berbasis Masyarakat”, (Bandung : Penerbit Alfabeta, 2015), hlm. 91-104. 2



Berdasarkan materi yang dijabarkan dalam makalah kelompok 2, bias-bias pemikiran tentang konsep pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut. Bias pertama, adalah adanya kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional dari pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya, dimensi material lebih penting daripada dimensi kelembangaannya, dan dimensi ekonomi lebih penting dari dimensi sosialnya. Akibat dari anggapan itu ialah alokasi sumber daya pembangunan diprioritaskan menurut jalan pikiran yang demikian. Bias kedua, adalah anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal



dari



atas



lebih



sempurna



daripada



pengalaman



dan



aspirasi



pembangunan di tingkat bawah (grass-root). Akibatnya kebijakan-kebijakan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat. Bias ketiga, adalah bahwa pembangunan masyarakat ditingkat bawah lebih memerlukan bantuan material daripada keterampilan teknis dan manajerial. Anggapan ini sering mengakibatkan permborosan sumber daya dan dana, karena kurang mempersiapkan keterampilan teknis dan manajerial dalam pengembangan sumber daya manusia, dan mengakibatkan makin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah. Bias keempat, adalah anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan pendekatan pembangunan yang di satu pihak, terlalu memaksa dan menyamaratakan teknologi tertentu untuk seluruh kawasan pembangunan di tanah air yang sangat luas dan beragam. Dilain pihak, pendekatan pembangunan telalu mengabaikan potensi teknologi tradisional yang dengan sedikit penyempurnaan dan pembaharuan mungkin lebih efisien dan lebih efektif untuk dimanfaatkan dibandingkan dengan teknologi impor. Bias kelima, adalah anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang dikalangan rakyat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan. Anggapan ini membuat lembaga-lembaga masyarakat dilapisan bawah itu kurang dimanfaatkan dan kurang ada ikhtiar untuk memperbaharui, memperkuat serta memberdayakannya. Bahkan justru terdapat kecenderungan untuk memperkenalkan lembaga-lembaga baru yang asing dan tidak selalu sejalan dengan nilai dan norma masyarakat.



Bias keenam, adalah bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang diperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu, mereka harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan meskipun yang mengakut dirinya sendiri. Bias ketujuh, berkaitan dengan diatas, adalah bahwa orang miskin adalah miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian, cara menanganinya haruslah bersifat paternalistic seperti memperlakukan orang bodoh dan malas, dan bukan denga nmemberi kepercayaan. Dengan demikian anggapan demikian masalah kemiskinan dipandang lebih sebagai usaha sosial (charity) dan bukan usaha penguatan ekonomi. Bias kedelapan, adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan, misal ICOR, diartikan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada sesuatu yang dihasilkan dari pertumbuhan. Upaya pemberdayaan masyarakat, akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi umumnya dalam kerangka waktu (time frame) yang lebih panjang. Anggapan yang demikian beranjak dari konsep pembangunan yang sangat bersifat teknis dan tidak memahami sisi-sisi sosial budaya dari pembangunan dan potesi yang ada pada rakyat sebaga ikekuatan pembangunan. Bias kesembilan, adalah anggapan bahwa sektor pertanian dan perdesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif, dan memiliki masa investasi yang panjang, karena itu kurang menarik untuk melakukan investasi modal besarbesaran di sektor itu. Berkaitan dengan itu, bermitra dengan petani dan usahausaha kecil di sektor pertania ndan perdesaan dipandang tidak menguntungkan dan memiliki risiko tinggi. Anggapan ini juga telah mengkibatkan prasangka dan menghambat upaya untuk secara sungguh- sungguh memabgnu nusaha pertanian dan usaha kecil di perdesaan. Bias kesepuluh, berkaitan dengan diatas, adalah ketidakseimbangan dalam akses kepada sumber dana. Kecenderungan menabung pada rakyat, yang cukup tinggi di Indonesia seperti tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat dangn PDB (di atas 30%, termasuk salah satu tingkat tertinggi di dunia).3



3



Ibid, hlm. 104-107



C. Dilema Pemberdayaan Masyarakat



Peta Konsep Dilema Pemberdayaan Masyarakat



 



 



Upaya pemberdayaan tidak sesuai dengan kenyataan Bentuk-bentuk upaya pemberdayaan menyebabkan ketergantungan baru Kemitraan yang tidak sesuai kapasias Globalisasi







 







Relativitas dalam mengukur keberhasilan upaya pemberdayaan Program tidak dilaksanakan secara berkelanjutan Masyarakat lebih berpikir kebutuhan politik pribadi dibandingkan untuk mandiri Mengingkari konsep yang telah dibuat



Berdasarkan materi dalam makalah kelompok dua, dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat terdapat beberapa dilema, diantaranya sebagai berikut. Pertama,



sejak



awal



1990-an,



pemerintah



Indonesia



mulai



mengembangkan program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk mengentaskan dan menanggulangi kemiskinan (alleviation poverty and prverty reduction). Namun, upaya pemberdayaan yang dilakukan tidak berhadapan dengan kenyataan yang pasti. Kedua, berkaitan dengan relativitas dalam mengukur keberhasilan upaya pemberdayaan merupakan masalah tersendiri, karena keberhasilan sendiri masih diperdebatkan dalam konteks teknis atau substantive. Ketiga, bentuk-bentuk upaya pemberdayaan yang bersifat pemberian bantuan seringkali justru tidak menjawab masalah ketidakberdayaan itu. Pemberian bantuan yang biasanya berupa sejumlah dana sebenarnya justru membuat upaya pemberdayaan melahirkan ketergantungan baru. Keempat, menyangkut keberlanjutan program/kegiatan. Di satu pihak, banyak program/kegiatan yang dilakukan pemerintah dengan mengembangkan mobilisasi atau partisipasi semu dimana masyarakat sasaran diajak, dipersuasi,



bahkan diperintah untuk ikut serta dalam proyek-proyek pemberdayaan yang dilakukan, ternyata tidak terjaga keberlanjutannya. Kelima, agenda-agenda yang sifatnya politik atau penguatan kelembagaan lebih dipilih sebagai agenda kedua setelah berbagai agenda yang menjawab masalah-masalah



yang



berhubungan



dengan



kebutuhan



perut.



Artinya



masyarakat yang benar-benar miskin akan berpikir memilih upaya pemberdayaan yang bernuansa bantuan ekonomi lebih dahulu daripada berpikir tentang bagaimana bergerak dan berusaha dengan mandiri. Keenam, bentuk pemberdayaan dengan pola kemitraan menjadi fenomena yang cukup menarik. Banyak pihak coba dilibatkan untuk menjalin kerjasama mewujudkan keberdayaan. Namun program ini akan menjadi sia-sia kalau masingmasing pihak tidak berada dalam kapasitas yang setara. Ketujuh, isu globalisasi, menghadapkan negara tentang pentingnya pasar dan



ada



upaya-upaya



untuk



menyusutkan



peran



negara.



Padahal,



ketidakberdayaan masyarakat justru seringkali diakibatkan oleh pembangunan yang berorientasi pada pasar. Kondisi ini akan menlahirkan ketidakberdayaan baru dimana negara hanya akan menjadi penoton saja. Kedelapan, dalam konteks Indonesia, negara kesejahteraan (warfare state) sebenernya sudah dirancang lewat penmikiran-pemikiran para pendiri bangsa yang berwujudkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dilema yang dihadapi bangsa Indonesia adalah karena punya konsep namun selalu mengingkari untuk mewujudkannya4.



D. Pemberdayaan Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan



Peta Konsep Enabling Pemberdayaan Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan



Empowering



Protecting



4



Ibid, hlm. 107-109



Pelaksanaan pembangunan harus diarahkan untuk mewujudkan keadilan, pemerataan dan peningkatan budaya, kedamaian serta pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development) dengan orientasi pada pemberbayaan masyarakat (public empowerment) agar dapat menjadi aktor pembangunan



yang



dapat



menumbuhkan



partisipasi



masyarakat



dalam



pembangunan. Empowerment (pemberdayaan masyarakat) adalah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial dan mencerminkan paradigma baru dalam pembangunan yang bersifat people centered participatory, empowering and sustainable (Chambers, 1995). Konsep empowering ini lebih luas yang dikembangkan sebagai alternatif konsep-konsep pembangunan yang telah ada. Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game dan trade off” dengan titik tolak pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Dalam



kerangka



ini



upaya



untuk



memberdayakan



masyarakat



(empowering) dapat dikaji dari 3 (tiga) aspek : Pertama, Enabling yaitu menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang. Asumsinya adalah pemahaman bahwa setiap orang, setiap masyarakat mempunyai potensi yang dapat dikembangkan artinya tidak ada orang atau masyarakat tanpa daya. Kedua, Empowering yaitu memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat melalui langkah-langkah nyata yang menyangkut penyediaan berbagai input dan pembukaan dalam berbagai peluang yang akan membuat masyarakat semakin berdaya. Ketiga, Protecting yaitu melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur penting, sehingga



pemberdayaan



masyarakat



sangat



erat



hubungannya



dengan



pementapan, pembudayaan dan pengalaman demokrasi (Friedmann, 1994).5



Munawar Noor, Jurnal “Pemberdayaan Masyarakat”, (Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume I, No 2, Juli 201), hlm. 95 5



E. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat



Peta Konsep Upaya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat sehingga mampu memandirikan dirinya.



Pemberdayaan Masyarakat



Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, Ife (1995) menyatakan bahwa : Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system,’ and so on (Ife, 1995). Definisi tersebut di atas mengartikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984).6 Pemberdayaan masyarakat adalah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai masyarakat untuk membangun paradigma baru dalam pembangunan yang bersifat people centered, participatory, empowerment and sustainable (Chamber, 1995). Keberdayaan masyarakat, adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat mampu bertahan (survive) dan (dalam pengertian yang dinamis) mampu mengembangkan diri untuk mancapai tujuan-tujuannya. Karena itu, memberdayakan



masyarakat



merupakan



upaya



untuk



(terus



menerus)



meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat “bawah” yang tidak mampu malepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.7 Agus Purbathin Hadi, “Konsep Pemberdayaan, Partisipasi Dan Kelembagaan Dalam Pembangunan”, Diakses dari http://suniscome.50webs.com/32%20Konsep%20Pemberdayaan%20Partisipasi%20Kelembagaan.pd f pada Senin, 13 April 2020 Pukul 23.40 WIB 7 Munawar Noor, Op.Cit, hlm. 88 6



Berdasarkan beragam pengertian mengenai pemberdayaan masyarakat maka dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak



mampu



untuk



melepaskan



diri



dari



perangkap



kemiskinan



dan



keterbelakangan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat juga dapat diartikan suatu upaya masyarakat untuk mampu bertahan dalam kehidupannya dengan meningkatkan kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya. F. Pokok-Pokok Pemberdayaan Masyarakat



Peta Konsep Unsur-Unsur Aspek-Aspek



Pokok-Pokok Pemberdayaan Masyarakat



Syarat-syarat



Indikator keberhasilan Obyek 1. Aspek-Aspek Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat sebagaimana telah tersirat dalam definisi yang diberikan, ditinjau dari lingkup dan obyek pemberdayaan mencakup beberapa aspek, yaitu: a. Individual dan kelompok) untuk memanfaatkan aset tersebut demi perbaikan kehidupan mereka. b. Hubungan antar individu dan kelompoknya, kaitannya dengan pemilikan aset dan kemampuan memanfaatkannya. c. Pemberdayaan dan reformasi kelembagaan. d. Pengembangan jejaring dan kemitraan-kerja, baik di tingkat lokal, regional, maupun global.



2. Unsur-Unsur Pemberdayaan Masyarakat Upaya pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan sedikitnya 4 (empat) unsur pokok, yaitu: a. Aksesibilitas informasi, karena informasi merupakan kekuasaan baru kaitannya dengan: peluang, layanan, penegakan hukum, efektivitas negosiasi dan akuntabilitas. b. Keterlibatan atau partisipasi yang menyangkut siapa yang dilibatkan dan bagaimana mereka terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan. c. Akuntabilitas, kaitannya dengan pertanggungjawaban publik atas segala kegiatan yang dilakukan dengan mengatas-namakan rakyat. d. Kapasitas organisasi lokal, kaitannya dengan kemampuan bekerjasama, mengorganisir warga masyarakat, serta mobilisasi sumberdaya untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. 3. Syarat Tercapainya Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Untuk mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan masyarakat terdapat tiga jalur kegiatan yang harus dilaksanakan, yaitu: a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Titik tolaknya adalah, pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakatnya memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan. b. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mandorong, memberikan motivasi dan mebangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk engembangkannya. c. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). 4. Obyek Pemberdayaan Masyarakat Obyek atau target sasaran pemberdayaan dapat diarahkan pada manusia (human) dan wilayah/kawasan tertentu. Pemberdayaan yang diarahkan pada manusia dimaksudkan untuk menaikkan martabatnya sebagai makhluk sosial yang berbudaya dan meningkatkan derajat kesehatannya agar mereka dapat hidup secara lebih produktif. Upaya ini dilakukan melalui serangkaian program penguatan kapasitas. 5. Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat Indikator keberhasilan yang diakai untuk mengukur pelaksanaan programprogram pemberdayaan masyarakat mencakup:



a. Jumlah warga yang secara nyata tertarik untuk hadir dalam tiap kegiatan yang dilaksanakan. b. Frekuensi kehadiran tiap-tiap warga pada pelaksanaan tiap jenis kegiatan. c. Tingkat



kemudahan



penyelenggaraan



program



untuk



memperoleh



pertimbangan atau persetujuan warga atas ide baru yang dikemukakan. d. Jumlah dan jenis ide yang dikemukakan oleh masyarakat yang ditujukan untuk kelancaran pelaksanaan program. e. Jumlah dana yang dapat digali dari masyarakat untuk menunjang pelaksanaan program kegiatan. f. Intensitas kegiatan petugas dalam pengendalian masalah. g. Meningkatkan kapasitas skala partisipasi masyarakat. h. Berkurangnya masyarakat yang menderita. i. Meningkatnya kepedulian dan respon terhadap perlunya peningkatan mutu hidup. j.



Meningkatkan kemandirian masyarakat.8



G. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat



Peta Konsep



Pemikiran atau Respon Atas Kebijakan Masa Lalu Filosofi Pemberdayaan



Masyarakat Sebagai Fokus Utama



Masyarakat



Kebutuhan Masyarakat harus Terpenuhi



8



Zubaedi, Wacana Pembangunan Alternatif: Ragam Perspektif Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm 61-62.



Pemberdayaan Masyarakat saat ini telah menjadi pendekatan utama dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan yang berada dan melibatkan masyarakat. Secara filosofis, pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai fokus-nya. Masyarakat, mulai dari tingkat komunitas terbawah diberikan peluang dan kewenangan dalam pengelolaan pembangunan, mulai dari proses pengambilan keputusan, perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan. Termasuk dalam kegiatan di atas adalah identifikasi masalah, identifikasi kebutuhan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, monitoring dan evaluasi serta menikmati hasil pembangunan (Soetomo, 2011). Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini muncul dan berkembang sebagai bentuk respon atas kebijakan pembangunan di masa lalu yang hanya menempatkan masyarakat sebagai obyek belaka. Pada hal disadari betul bahwa permasalahan



yang



dihadapi



oleh



masyarakat



berikut



kebutuhannya,



masyarakatlah yang paling tahu. Oleh karena itu, apabila masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau diberikan kewenangan dalam perencanaan program pembangunan, maka program pembangunan yang dilaksanakan bisa jadi tidak tepat sasaran atau program pembangunan tersebut bukanlah program yang dibutuhkan oleh masyarakat. Apabila proses-proses pemberdayaan dapat dijalankan dengan baik, maka pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakatpun aakan dapat dijalankan. Hal ini menunjukkan bahwa filsosofi pemberdayaan benar-benar mampu memandirikan dan kebutuhan dasar masyarakat untuk hidup dapat benar-benar direalisasikan. Pemberdayaan merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat, dengan atau tanpa pihak luar untuk memperbaiki kehidupannya yang berbasis kepada daya mereka sendiri, melalui upaya optimasi daya serta peningkatan posisi tawar yang dimiliki. Pemberdayaan harus menempatkan kekuatan masyarakat sebagai modal utama serta menghindari rekayasa pihak luar yang seringkali mematikan kemandirian masyarakat setempat. Herne (1955) mengemukakan pemberdayaan sebagai helping people to help them selves. Dalam pemahaman demikian, terkandung pengertian: 1. Fasilitator harus bekerjasama dengan masyarakat, bukannya bekerja untuk masyarakat,



2. Pemberdayaan tidak boleh menciptakan ketergantungan, tetapi harus mendorong semakin terciptanya kemandirian dan kreativitas agar semakn tercipta kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana dan swakelola, 3. Pemberdayaan masyarakat harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteranaan ekonomi dan peningkatan harkatnya sebagai manusia. 9 H. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat



Peta Konsep 3M:



Tujuan Pemberdayaan Masyarakat



Tujuan



Memampukan dan Memandirikan Masyarakat



pemberdayaan



masyarakat



adalah



memampukan



dan



memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan dan indikator pemenuhan kebutuhan



dasar



yang



belum



mencukupi/layak.



Tujuan



pemberdayaan



masyarakat juga dapat dikatan sebagai perbaikan mutu hidup manusia, baik secara fisik, mental, ekonomi maupun sosial budayanya. I. Lingkup Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat



Peta Konsep Pengembangan



Pengembangan



Kapasitas Manusia



Kapasitas Kelembagaan



Pengembangan Kapasitas Lingkungan



9



Munawar Noor, Op.Cit, hlm. 89



Pengembangan Kapasitas Usaha



Berdasarkan materi yang terdapat dalam makalah kelompok dua, dikutip dari pendapat Mardikanto (2003) yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya merupakan proses pengembangan kapasitas, yaitu pengembangan kapasitas manusia, kapasitas usaha, kapasitas lingkungan, dan kapasitas kelembagaan. Adapun keempat proses tersebut dijabarkan lebih lanjut yakni sebagai berikut. 1. Pengembangan Kapasitas Manusia Pengembangan kapasitas manusia merupakan upaya yang pertama dan utama yang harus diperhatikan dalam setiap upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini, dilandasi oleh pemahaman bahwa tujuan pembangunan adalah untuk perbaikan mutu hidup atau kesejahteraan manusia. 2. Pengembangan Kapasitas Usaha Pengembangan kapasitas usaha menjadi suatu upaya penting dalam setiap pemberdayaan. Pengembangan kapasitas usaha mampu (dalam waktu dekat/cepat) memberikan dampak atau manfaat bagi perbaikan kesejahteraan (ekonomi dan atau ekonomi) yang akan laku atau memperoleh dukungan dalam bentuk partisipasi masyarakat. 3. Pengembangan Kapasitas Lingkungan Pengembangan kapasitas lingkungan sangat diperlukan karena pengembangan kapasitas usaha yang tidak terkendali dapat menjurus pada ketamakan atau kerakusan yang dapat merusak lingkungan (baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya). Pengembangan kapasitas lingkungan menjadi



sangat



penting



sejak dikembangkan



mazhab



pembangunan



berkelanjutan (sustainable development). Hal ini terlihat pada kewajiban dilakukannya AMDAL (Analisis Manfaat dan Dampak Lingkungan) dalam setiap kegiatan investasi, ISO 1400 tentang keamanan lingkungan, sertifikat ekolabal, dan lain-lain. Hal ini dinilai penting, karena pelestarian lingkungan (fisik) akan sangat menentukan keberlanjutan kegiatan investasi maupun operasi (utamanya yang terkait dengan tersedianya bahan baku). 4. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kata kelembagaan sering dikaitkan dengan dua pengertian, yaitu “social institution” atau praktik sosial dan “social organization” atau organisasi sosial. Contoh pengembangan kapasitas kelembagaan yaitu dalam kegiatan



agribisnis



dan



memerlukan



beragam



kelembagaan.



Mosher



(1969)



menyatakan bahwa untuk membangun struktur perdesaan yang progresif dibutuhkan kelembagaan-kelembagaan seperti sarana produksi dan peralatan pertanian, kredit produksi, pemasaran produksi, percobaan/pengujian lokal, penyuluhan, dan transportasi.10 J. Penerima Manfaat Pemberdayaan Masyarakat



Peta Konsep



Ragam Penerima Manfaat Pemberdayaan Masyarakat



Penerima Manfaat Pemberdayaan Masyarakat



Pemangku Kepentingan lain



Penentu Kebijakan



Pelaku Utama



Masyarakat, utamanya masyarakat kelas bawah



1. Pengertian Dalam banyak kepustakaan Pemberdayaan Masyarakat, selalu disebut adanya Kelompok Sasaran atau obyek Pemberdayaan Masyarakat, yaitu: masyarakat,



utamanya



masyarakat



kelas



bawah



(kelompok



akar



rumput/grassroots, masyarakat yang termarjinalkan). Dalam pengertian “penerima manfaat” tersebut, terkandung makna bahwa: a. Berbeda dengan kedudukannya sebagai “sasaran”, masyarakat sebagai penerima manfaat memiliki kedudukan yang setara dengan penentu kebijakan, fasilitator dan pemangku kepentingan pembangunan yang lain. b. Penerima manfaat bukanlah obyek atau “sasaran tembak” yang layak dipandang rendah oleh penentu kebijakan dan para fasilitator, melainkan ditempatkan pada posisi terhormat yang perlu dilayani dan atau difasilitasi sebagai rekan sekerja dalam mensukseskan pembangunan.



10



Aprillia Theresia, dkk, Op.Cit, hlm. 154-158.



c. Berbeda dengan kedudukannya sebagai “sasaran” yang tidak punya pilihan atau kesempatan untuk menawar setiap materi yang disampaikan, selain harus menerima/mengikutinya, penerima manfaat memiliki posisi tawar yang harus dihargai untuk menerima atau menolak inovasi yang disampaikan fasilitatornya. d. Penerima manfaat tidak berada dalam posisi di bawah penentu kebijakan dan para fasilitator, melainkan dalam kedudukan setara dan bahkan sering justru lebih tinggi kedudukannya, dalam arti memiliki kebebasan untuk mengikuti ataupun menolak inovasi yang disampaikan oleh penyuluhnya. e. Yang berlangsung antara penyuluh dan penerima manfaatnya bukanlah bersifat vertikal (penyuluh menggurui penerima manfaatnya), melainkan bersama yang partisipatif. 2. Ragam Penerima Manfaat Pemberdayaan Masyarakat Penerima diperuntukkan



manfaat bagi



kegiatan



masyarakat



Pemberdayaan kelas



bawah.



Masyarakat Penerima



hanya manfaat



pemberdayaan masyarakat dapat dibedakan dalam: a. Pelaku utama, yang terdiri dari warga masyarakat dan keluarganya. b. Penentu kebijakan, yang terdiri dari aparat birokrasi pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sebagai perencana, pelaksana, dan pengendali kebijakan pembangunan. c. Pemangku kepentingan yang lain, yang mendukung/memperlancar kegiatan pembangunan pertanian.



K. Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat



Peta Konsep Fasilitator



Orang yang memfasilitasi atau sebagai jembatan penghubung antara masyarakat dengan pihak atas dalam melakukan pemberdayaan masyarakat.



Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan



Penghubung komunikasi dengan masyarakat sasaran



Pencarian diri dengan masyarakat sasaran



Istilah “fasilitator”itu sendiri, adalah pekerja atau pelaksana pemberdayaan masyarakat. Sedang Lippit (1958) dan Rogers (1983) menyebutnya sebagai “agen perubahan” (change agent), yaitu seseorang yang atas nama pemerintah atau lembaga pemberdayaan masyarakat berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh (calon) penerima manfaat dalam mengadopsi inovasi. Fasilitator dapat diartikan sebagai orang yang memfasilitasi atau sebagai jembatan penghubung antara masyarakat dengan pihak atas dalam melakukan pemberdayaan masyarakat.11 Fasilitator dapat berasal dari Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Swasta maupun dari kalangan masyarakat yang secara suka rela mengikutsertakan dirinya dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dilingkungannya. Fasilitator memiliki peran penting dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, diantaranya: 1) menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan; 2) penghubung komunikasi dengan masyarakat sasaran; dan 3) pencarian diri dengan masyarakat sasaran. Dalam melakukan tugasnya fasilitator juga harus memenuhi kualifikasi tertentu, diantaranya yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, memiliki sikap dan kepribadian yang baik dan menguasai pengetahuan terkait tugas dan peran sebagai fasilitator yang baik.



11



Ibid, hlm. 173