Ulasan Alhikam 'Athaiyyah - Syaikh Ahmad Zarruq [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1-1 BERSANDAR – AL-HIKAM – ULASAN SYAIKH AHMAD ZARRUQ



AL-ḤIKAM IBN ‘ATHĀ’ILLĀH (Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq) Ulasan al-‘Arif Billah Syekh Ahmad Zarruq Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi). Favoritkan0



Waktu baca : ≈ 2 menit BAB SATU Di antara ciri bersandar kepada amal adalah berkurangnya harapan ketika terjadi kesalahan Makrifat bagaikan matahari. Ia melenyapkan semua kegelapan dan melahirkan cahaya. Ia singkapkan berbagai hakikat dalam rupa yang luhur, mulia, dan berlimpah manfaat. Setiap orang bisa mengambil manfaat sesuai kapasitasnya.   Ibnu ‘Athā’illāh r.a. mengatakan:  



ِ ‫ات ااْلِ عتِم‬ ِ ‫ِمن عاَل م‬ ِ 1. ‫الزلَ ِل‬ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫اد‬ ْ َّ ‫الر َج ِاء ِعْن َد ُو ُج ْو ِد‬ َ ْ َّ ‫صا ُن‬ ُ ْ َ َ َ َ ْ ََ َ



“Di antara tanda bersandar kepada amal adalah berkurangnya rasa harap ketika terjadi kesalahan.”   Bersandar adalah mengerahkan kekuatan kepada sesuatu. Penyandaran diri merupakan dorongan dari dalam diri yang muncul karena mengharapkan sesuatu dari yang disandari. Tandanya adalah mengutamakan sesuatu yang disandari dan selalu melihat kepadanya, baik ketika menghadap maupun di saat berpaling. Berkaitan dengan bersandar kepada amal, manusia terbagi tiga golongan. Pertama, bersandar kepada amal. Golongan ini membatasi diri, mengabaikan karunia Allah, dan yang menjadi tujuan hidupnya adalah mengumpulkan amal. Ia berada dalam kedudukan “islām”, karena takut dan harapnya bersama amal. Kelompok ini seperti digambarkan firman Allah: “Hendaknya manusia memperhatikan apa yang ia persembahkan untuk esok.” (11) Ciri kelompok ini adalah seperti yang diungkapkan Ibnu ‘Athā’illāh di atas. Kedua, golongan orang yang bersandar pada karunia Allah. Golongan ini menyadari karunia Allah dan tujuan hidupnya adalah melepaskan diri dari segala daya dan kekuatan. Golongan ini berada dalam kedudukan “īmān”, karena ia selalu bersama qudrat-Nya, baik ketika menghadap maupun di saat berpaling. Hamparan golongan ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: “Apa saja nikmat yang ada padamu, dari Allah datangnya. Dan bila kamu ditimpa oleh bahaya, hanya kepada-Nya kamu meminta pertolongan.” (22) Ciri golongan ini adalah selalu kembali kepada Tuhan dengan memuji dan bersyukur ketika diliputi kesenangan dan menampakkan kehinaan serta kefakiran saat ditimpa kesulitan. Ketiga, golongan yang bersandar pada pembagian dan ketentuan Allah yang sudah ditetapkan. Golongan ini menyadari adanya kendali Tuhan sehingga yang menjadi perhatian dan tujuan hidupnya adalah fana’ dalam tauhid. Kedudukannya “iḥsān” karena ia senantiasa melihat dan menyaksikan. Hamparannya sebagaimana disebutkan



dalam firman Allah: “Katakanlah Allah!” Lalu biarlah mereka bermain-main dalam kesesatan.” (33) Di antara tanda atau ciri golongan ini adalah pasrah dan diam menetapi semua ketentuan. Rasa takut dan harapnya tidak bertambah atau berkurang karena sebab apa pun. Jika takut dan harapnya ditimbang, pasti akan selalu sama dalam setiap keadaan. Ia senantiasa gembira dan juga sedih sebagaimana hal itu menjadi sifat Nabi s.a.w. Seorang ahli hakikat mengatakan: “Orang yang telah sampai pada hakikat Islām tidak akan melemah dalam beramal. Orang yang telah sampai pada hakikat īmān tidak akan berpaling kepada amal. Dan orang yang telah sampai pada hakikat iḥsān tidak akan menoleh kepada apa pun dan siapa pun selain Allah s.w.t. Seperti itulah keadaan orang yang bersandar kepada sesuatu. Bersandar kepada sesuatu untuk mencapai keinginan pasti akan melahirkan rasa kehilangan ketika mendapat yang sebaliknya serta melahirkan rasa tamak ketika ia mengikuti keinginannya. Salah satu fenomena yang menggambarkan hal ini adalah perbedaan antara kondisi tajrīd (menyendiri) dan kondisi asbāb (berusaha) seperti yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Athā’illāh: (lihat Ḥikam # 2)



1-2 TAJRID DAN ASBAB – ALHIKAM – ULASAN SYAIKH AHMAD ZARRUQ



AL-ḤIKAM IBN ‘ATHĀ’ILLĀH (Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq) Ulasan al-‘Arif Billah Syekh Ahmad Zarruq Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi). Favoritkan0 Waktu baca : ≈ 2 menit



ِ ِ ‫اأْل َسب‬ 2. ‫َّه َو ِة اخْلَِفيَّ ِة َو‬ ْ ‫اب م َن الش‬ َْ ‫َّج ِريْ ِد احْنِ طَا ٌط ِم َن اهْلِ َّم ِة الْ َعلِيَّ ِة‬ ْ ‫الت‬



ِ ‫ك التَّج ِري ُد مع إِقَام ِة‬ ِ ‫اك يِف‬ َ َّ‫اهلل إِي‬ َ َ َ ْ ْ َ ُ‫إ َر َادت‬ ِ ‫ك اأْل َسباب مع إِقَام ِة‬ ِ ‫اك يِف‬ َ َّ‫اهلل إِي‬ َ َ َ َ َ ْ َ ُ‫إ َر َادت‬



“Hasratmu untuk menetapi tajrīd sedangkan Allah menempatkanmu pada kedudukan asbābadalah syahwat yang samar. Sebaliknya, hasratmu



terhadap asbāb padahal Allah telah menempatkanmu pada posisi tajrīd adalah wujud penurunan semangat dari tekad yang tinggi.” Masing-masing dari keduanya mengutamakan pilihannya. Kedudukan mereka bergangtung pada/kepada siapa dan kepada apakah ia bersandar dalam meraih tujuan. Sebab, ketika seseorang bersandar kepada sesuatu maka ia akan mengabaikan yang lainnya. Berkaitan dengan hal ini manusia terbagi tiga golongan: Pertama, orang yang ditempatkan pada wilayah asbāb (menetapi sebab-sebab yang mengantarkannya pada tujuan). Mereka yang ditempatkan di sini harus rida, sabar, dan pasrah. Tanda kelompok ini adalah istiqāmah menetapi asbāb serta istiqāmah menegakkan berbagai kewajiban syariat. Kedua, mereka yang ditempatkan pada wilayah tajrīd (mengabaikan asbāb). Orang yang ditempatkan di wilayah ini harus bersyukur, banyak beramal, serta tidak lalai. Tanda mereka adalah menunaikan kewajiban dan berpaling dari makhluk. Ketiga, mereka yang tidak termasuk dalam salah satu dari keduanya. Orang yang berada di wilayah ini harus berusaha memastikan dengan berpindah dari satu sebab ke sebab yang lain. Ketika tidak istiqāmah pada satu sisi, ia bisa berpindah pada kebalikannya. Sebab, tanda bahwa Allah memberikan posisi tertentu kepada seseorang adalah ketika ia bisa istiqāmah dalam posisi itu. Jika ia masih berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lainnya berarti ia belum ditempatkan pada posisi yang kokoh. Dalam kitab at-Tanwīr Ibnu ‘Athā’illāh mengatakan: “Allah menuntut darimu untuk berada di tempat yang Dia tetapkan hingga Dia sendirilah yang mengeluarkanmu sebagaimana Dia memasukkanmu. Hal yang penting bukanlah bagaimana kau meninggalkan asbāb, melainkan bagaimana kau ditinggalkan oleh asbāb.” Seorang sufi mengatakan: “Beberapa kali aku meninggalkan asbāb (sebab-sebab menuju suatu tujuan), tetapi aku selalu kembali kepadanya. Namun, ketika ditinggalkan oleh asbāb, aku tidak pernah kembali kepadanya.” Ketika ditinggalkan asbāb, seseorang tidak lagi menetapi asbāb sehingga ia pada akhirnya ditempatkan pada posisi tajrīd. Pengertian tajrīd adalah keadaan seseorang yang meninggalkan asbāb. Sebaliknya, pengertian asbāb adalah keadaan seseorang yang melakukan berbagai upaya lahiriah untuk mencapai tujuan. Syahwat adalah gejolak nafsu untuk meraih apa yang diinginkan. Dikatakan di atas bahwa itu merupakan syahwat yang samar karena gambaran sesuatu yang diinginkan, yaitu tajrīd, secara lahiriah memang tampak menyakitkan karena harus meninggalkan kebiasaan dan melawan keinginan, tetapi di dalamnya terdapat keinginan untuk mendapatkan ketenangan, kelapangan, dan kebabasan dari taklif. Makna inḥithāth adalah turun dari keadaan atau tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Himmah adalah tekad atau cita-cita dan semangat diri untuk mencapai tujuan tertentu. Tinggi rendahnya tekad tergantung kepada tinggi rendahnya tujuan yang ingin dicapai. Penyebab ahli tajrīd mengalami penurunan himmah adalah karena ia mengganti keadaan lapang dengan penat, ketenangan dengan kekacauan, serta menjatuhkan diri pada sesuatu yang bisa merusak dengan bergaul bersama makhluk dan menjauhkan diri dari Cahaya. Karena itu, dikatakan bahwa orang yang masih tetap bersama musuh di wilayah asbāb, berarti ia memiliki tekad yang rendah.



Selanjutnya, penting diingat bahwa kehendak hamba tidak memiliki nilai apa-apa karena ia sangat bergantung pada kehendak Tuhan. Maka, jika seorang hamba sibuk menghendaki kedudukan yang tidak diberikan Tuhan, berarti ia telah berlaku buruk (sū’-ul-adāb) kepada-Nya. Sikap dan perilaku seperti itu tentu saja tidak memberinya manfaat sedikit pun. Penjelasan tentang hal ini disampaikan oleh Ibnu ‘Athā’illāh dalam hikmah berikutnya: (lihat Ḥikam # 3)



1-3 TEKAD (HIMMAH) – ALHIKAM – ULASAN SYAIKH AHMAD ZARRUQ



AL-ḤIKAM IBN ‘ATHĀ’ILLĀH (Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq) Ulasan al-‘Arif Billah Syekh Ahmad Zarruq Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi). Favoritkan0 Waktu baca : ≈ 1 menit



ِ 3. ‫َسَر َار اأْل َقْ َدا ِر‬ ْ ‫س َوابِ ُق اهْل َم ِم اَل حَتْ ِر ُق أ‬. َ



“Tekad (himmah) yang tinggi tidak bisa menembus benteng takdir.” Segala sesuatu di semesta ini berjalan sesuai dengan taqdir Allah, sebagaimana ditunjukkan oleh akal, syariat, dan nash-nash agama. Allah berfirman: “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (41) Nabi s.a.w. bersabda: “Segala sesuatu terjadi dengan qadha’ dan qadar-Nya, termasuk yang lemah dan cekatan.” (52)



Tekad (himmah) terbagi ke dalam tiga tingkatan. Pertama, tekad yang rendah, yaitu tekad yang melahirkan keinginan dan semangat tetapi tidak disertai upaya nyata (taḥaqquq). Kedua, tekad yang pertengahan, yaitu tekad yang melahirkan keinginan dan perbuatan, entah disertai dengan semangat realisasi atau tidak. Ketiga, tekad yang tinggi, yaitu kekuatan dalam diri yang terus muncul dan aktif menggerakkan tanpa pernah berhenti. Himmah seperti inilah yang dimiliki para pendengki yang tidak berhenti melakukan keburukan, juga para tukang sihir yang terus meniupkan buhul, para perindu Tuhan yang terus membersihkan diri dari gejolak nafsu, serta para wali Allah yang terus menegakkan dan mewujudkan keyakinan mereka. Semangat golongan ini terus aktif seraya tetap menetapi qadhā’ dan qadar Allah. Namun, setinggi apa pun himmah mereka, ketetapan dan keputusan ada di tangan Allah: “Mereka tidak bisa menimpakan bahaya kepada siapa pun kecuali dengan idzin Allah.” (63). Suatu tekad disebut tinggi dan menembus dilihat dari sisi keagungannya, bukan dilihat dari waktu terwujudnya tekad itu. Sementara, keagungannya terkait dengan efektivitas pengaruhnya yang mewujud tanpa membutuhkan sebab tertentu. Apabila tekad yang tinggi saja tidak bisa menembus tirai taqdir apalagi pengaturan dan kehendak hamba. Sama halnya, perilaku dan tindakan hamba yang paling luhur dan paling mulia sekalipun tidak akan menembus apalagi mengoyak tirai taqdir. Karena itu, Ibnu ‘Athā’illāh melanjutkan penjelasannya dengan mengatakan: (lihat Ḥikam # 4) Catatan: 1. 2. 3.



 4). Q.S. al-Kahfi [18]: 45. ↩  5). H.R. Muslim dalam Shaḥīḥ-nya dan H.R. Aḥmad dalam Musnad-nya. ↩  6). Q.S. al-Baqarah [2]: 103. ↩



1-4 MENGATUR – AL-HIKAM – ULASAN SYAIKH AHMAD ZARRUQ



AL-ḤIKAM IBN ‘ATHĀ’ILLĀH (Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq) Ulasan al-‘Arif Billah Syekh Ahmad Zarruq Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi). Favoritkan0 Waktu baca : ≈ 2 menit



4. ِ‫ك ِم َن التَّ ْدبِرْي‬ َ ‫ِح َن ْف َس‬ ْ ‫أَر‬



“Istirahatkan dirimu dari ikut mengatur!” Hamba diperintahkan untuk berhenti dan beristirahat karena melakukan sesuatu yang bukan tugasnya hanya akan melahirkan lelah dan penat. Mengatur bukanlah tugas hamba. Maka, jika hamba ikut mengatur, ia pasti ditimpa penat, lelah, dan gelisah. Karena itulah ia hamba diperintah untuk beristirahat dari ikut mengatur. Kelelahan itu muncul karena ketika seseorang ikut pengatur, berarti ia tengah berupaya melawan



serta menentang ketentuan dan taqdir Tuhan. Sahl ibn ‘Abdillāh r.a. berkata: “Tidak usah ikut mengatur dan memilih. Sebab, keduanya hanya memperkeruh kehidupan manusia.” Nabi s.a.w. bersabda: “Allah s.w.t. menghadirkan ketenangan dan kelapangan pada sikap ridhā dan yaqīn....” (al-ḥadīts). Beliau juga bersabda: “Ikut mengatur adalah setengah kehidupan.” Ada sufi yang mengatakan: “Tidak ikut mengatur adalah kehidupan seluruhnya. Pasalnya, siapa yang tidak ikut mengatur maka segala urusan akan diaturkan untuknya. Meskipun tidak mengerahkan kekuatan, maknanya bagus dan indah. Sebab, ikut mengatur berarti merancang urusan di masa mendatang berkaitan dengan apa yang ditakuti atau yang diharapkan. Larangan ikut mengatur itu berlaku pada perencanaan atau rancangan yang disertai keyakinan atau sikap menetapkan, bukan dengan kepasrahan. Jika seseorang merancang atau merencanakan sesuatu tetapi jiwanya dipenuhi kepasrahan akan hasil yang akan diperoleh maka ia tidak disebut ikut mengatur. Penggunaan frasa “ikut mengatur” yang mengandung makna umum ini dimaksudkan agar paparan ini lebih mudah dipahami. Wallāhu a‘lam. Maka, kemudian Ibnu ‘Athā’illāh menyebutkan satu cara yang bisa kita tempuh agar kita tidak ikut mengatur bersama Allah. Caranya adalah senantiasa melihat ketentuan dan taqdir Allah yang sudah digariskan. Ia mengatakan:  



ِ 4. ‫ك‬ َ ‫ك اَل َت ُق ْم بِِه لَن ْف ِس‬ َ ‫فَ َما قَ َام بِِه َغْيُر َك َعْن‬



“Sebab, apa yang telah dikerjakan selainmu untukmu tak perlu lagi kau lakukan.” Melakukan sesuatu yang telah dilakukan orang lain untukmu adalah tindakan sia-sia yang tidak memberi manfaat apa-apa. Sungguh itu perbuatan yang tidak berguna yang hanya melahirkan penat, lelah, dan gelisah.



Makna lain dari hikmah di atas: apa yang dipercayakan kepadamu tidak layak diserahkan kepada orang lain. Dengan demikian, terdapat dua hal seperti yang disebutkan oleh Ibrāhīm al-Khawwāsh r.a. (71): “Ilmu tercakup dalam dua kalimat: jangan memaksakan diri terhadap apa yang sudah dicukupkan untukmu dan jangan mengabaikan apa yang diminta darimu.” Sahl ibn ‘Abdillāh r.a. (82) mengatakan: “Ada tiga hal yang menjadi kewenangan Allah atas hamba: menugaskan mereka, menetapkan ajal mereka, dan mengurus mereka. Dan ada tiga hal yang menjadi kewajiban hamba kepada Allah: mengikuti Nabi-Nya, tawakkal kepada-Nya, serta bersabar menetapinya hingga mati.” Ungkapan itu memperjelas hikmah Ibn ‘Athā’illāh di atas. Tiga bagian pertama disebut sebagai wewenang Allah atas diri hamba karena di dalamnya tidak dibutuhkan sebab apa pun, Allah maha mengerjakan apa pun yang Dia kehendaki. Tidak ada sebab apa pun untuk terjadinya segala yang dikehendaki Allah. Tiga bagian kedua disebut sebagai kewajiban hamba karena merekalah yang diberi perintah. Siapa saja yang tidak mau mengikutinya berarti ia telah melakukan bid‘ah. Barang siapa tidak



bertawakkal berarti ia ikut mengatur. Barang siapa tidak sabar berarti ia menentang. Barang siapa melaksanakan semua pada tempatnya maka ia memiliki bashīrah yang tajam dan hati yang bersinar. Jika tidak, berarti sebaliknya sebagaimana yang diingatkan oleh Ibnu ‘Athā’illāh: (lihat Ḥikam # 5)   Catatan: 1.



 7). Ia adalah Abū Isḥāq Ibrāhīm ibn Aḥmad al-Khawwāsh, termasuk kolega al-Junaid dan anNūrī. Ia meninggal dunia di Rayy pada 291 H. ↩ 2.  8). Ia adalah Abū Muḥammad Sahl ibn ‘Abdullāh at-Tustarī, salah seorang pemimpin dan ulama sufi. Telah hafal al-Qur’ān saat berusia 7 tahun. Ia sudah menjadi rujukan orang-orang dalam hal ihwal zuhud, wara‘, dan fiqi saat berusia 10 tahun. Ia menjawa pertanyaan mereka dengan baik. Ia juga menulis kitab Tafsīr al-Qur’ān. Wafat tahun 283 H. ↩



1-5 BUKTI PADAMNYA MATA HATI – AL-HIKAM – ULASAN SYAIKH AHMAD ZARRUQ



AL-ḤIKAM IBN ‘ATHĀ’ILLĀH (Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq) Ulasan al-‘Arif Billah Syekh Ahmad Zarruq Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi). Favoritkan0 Waktu baca : ≈ 2 menit



ِ‫صير َك فِيما طُل‬ ِ‫اِجتِهاد َك ف‬ ِ ِ ِ 5. ‫ك َدلِْي ٌل َعلَى‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ب‬ ‫ق‬ ‫ت‬ ‫و‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ض‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ي‬ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ ُْ َ َ َ ُ َ ْ ُ َ ْ ِ ِ ‫اس الْب‬ ‫ك‬ َ ‫صْيَر ِة ِمْن‬ َ ِ ‫انْط َم‬



“Kesungguhanmu meraih apa yang telah dijaminkan untukmu dan kelalaianmu mengerjakan apa yang dituntut darimu merupakan bukti padamnya mata hati.”  



Mata hatimu disebut padam karena kau menghadirkan sesuatu yang tidak sesuai dan meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kau membalik sesuatu yang seharusnya tidak kau balik. Kau meninggalkan kewajiban yang seharusnya kau kerjakan tetapi kemudian sibuk mengatur dan mengurusi perkara yang sudah dijaminkan untukmu. Dalam at-Tanwīr Ibnu ‘Athā’illāh mengatakan: “Bagaimana dikatakan memiliki akal dan bashīrah jika kau sibuk dengan sesuatu yang telah dijaminkan untukmu dan melalaikan apa yang dituntut darimu.” Seorang sufi mengatakan: “Allah telah menjaminkan dunia untuk kita dan menuntut akhirat dari kita. Oh, andai saja Dia menjaminkan akhirat untuk kita dan menuntut dunia dari kita.” Ibnu ‘Athā’illāh menggunakan kata ijtihād (bersungguh-sungguh) dalam hikmah di atas karena upaya mendapatkannya tidak tercela, bahkan kadang-kadang diminta. Hanya saja, yang penting diingat adalah agar hamba senantiasa menyadari ketentuanNya yang telah berlaku serta menyadari kelalaian yang telah dilakukan. Dan meninggalkan urusan yang paling utama. Kemudian, penuhilah segala yang dituntut darimu baik berupa amal wajib maupun amal sunnah. Seandainya upaya sungguhsungguh (ijtihād) itu diganti dengan kondisi larut atau tenggelam dalam urusan itu dan sikap lalai diganti dengan meninggalkan sepenuhnya maka yang terjadi bukan lagi padamnya mata hati, melainkan butanya mata hati. Sesungguhnya dunia ini bagaikan air sungai yang dilewati pasukan Thalut. Tidak ada peminum yang selamat kecuali yang hanya menciduk satu cidukan dengan tangannya. Sementara, bashīrahadalah mata hati sebagaimana penglihatan adalah mata indriawi. Kemudian, tanda seseorang bersungguh-sungguh dalam sesuatu yang sudah dijaminkan ada tiga, yaitu [i] kecewa ketika sesuatu yang diinginkan tidak didapatkan, [ii] lepasnya sikap taqwa dalam upaya yang dilakukan untuk mendapatkannya, dan [iii] lalai menunaikan kewajiban ketika berusaha mendapatkannya. Tanda kebalikannya pun ada tiga, yaitu [i] ridha dengan kenyataan yang berlaku, [ii] taqwa ketika melakukan upaya, dan [iii] menjaga adab saat berusaha mendapatkannya. Di antara bentuk bersungguh-sungguh dalam sesuatu yang sudah dijamin adalah putus asa ketika doa tak juga dikabulkan. Karena itu, Ibnu ‘Athā’illāh selanjutnya mengingatkan: (lihat Ḥikam # 6).