UTS Geologi Indonesia DAUS [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



1. Paparan Sunda merupakan daerah yang dangkal di Kawasan Barat Indonesia (KB). Jelaskan apa yang dimaksud dengan Paparan Sunda? Dan jelaskan juga di mana batasbatas paparan Sunda dari waktu ke waktu (sejak Pra Tersier, Tersier, dan Kuarter) ditinjau dari pendekatan model tektonik lempeng, khususnya model tektonik konvergen? Secara geologi, Paparan Sunda adalah landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara. Massa daratan utama antara lain Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarya. Area ini meliputi kawasan seluas 1,85 juta km2. Kedalaman laut dangkal yang membenam paparan ini jarang sekali melebihi 50 meter, dan kebanyakan hanya sedalam kurang dari 20 meter, hal ini mengakibatkan kuatnya erosi dasar laut akibat gelombang laut.Tebing curam bawah laut memisahkan Paparan Sunda dari kepulauan Filipina, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil. Paparan ini terbentuk akibat aktivitas vulkanik beribu-ribu tahun dan erosi massa benua Asia, serta terbentuknya konsolidasi runtuhan batu di pesisir seiring naik dan turunnya permukaan laut. Lautan di antara pulau-pulai ini relatif stabil berupa dataran purba yang bercirikan rendahnya aktivitas gempa, anomali gravitasi isostatik yang rendah, serta tanpa adanya aktivitas gunung berapi, kecuali bagian pulau Sumatera, Jawa dan Bali yang terhubung dengan paparan Sunda, yang termasuk kawasan geologi muda sistem orogenik Pelengkung Sunda (atau Sistem Pegunungan Sunda). Pada zaman es, permukaan laut turun, dan kawasan luas Paparan Sunda terbuka dan muncul di atas permukaan air dalam bentuk dataran rawa yang amat luas. Naiknya permukaan air laut pada saat gelombang es di kutub mencair sebanyak 14,6 sampai 14,3 kbp menaikan permukaan laut setinggi 16 meter dalam jangka waktu 300 tahun.



A. Triassic-Kapur: Pembentukan Sundaland Sundaland tersusun oleh blok kontinen yang memisahkan Gondwana pada Paleozoik dan beramalgamasi dengan blok Asia pada Trias. Blok Indochina-Malaya Timur terpisah dari Gondwana pada periode Devon. Sebaliknya batuan periode Karbon mengindikasikan bahwa blok Sibumasu berada di lintang yang tinggi bagian selatan. Blok tersebut berkolisi dengan IndochinaMalaya Timur, yang sudah beramalgamasi dengan blok China Selatan dan Utara pada periode Trias. Konsekuensi utama dari subduksi dan kolisi adalah sebuah tanjung dengan basement continental berumur Proterozoik yang diintrusi oleh granit berumur Permian dan Trias yang



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



terbentuk akibat peristiwa pengangkatan Mesozoik. Area ini sekarang meliputi Sumatera, semenjanjung Malaya, dan Paparan Sunda di timur. Jawa Timur dan Sulawesi Barat mungkin terdiri dari beberapa fragmen yang terpisah dibandingkan satu buah blok. Fragmen tersebut menjadi bagian dari Sundaland sekitar 90 juta tahun yang lalu sepanjang sutura dari Jawa Barat hingga Pegunungan Meratur lalu mengarah ke utara. Kolisi dari busur Wola dengan batas Sundaland di Sumatera terjadi pada saat yang sama dengan pembentukan Jawa Timur-Sulawesi Barat dengan Sundaland.



Gambar 1.1. Paleogeografi Sundaland 80 juta tahun yang lalu atau Kapur Akhir (Hall, 2012). B. Kapur Tengah: Kolisi dan Akhir Subduksi Rifted fragmen yang berasal dari Australia menentukan bentuk dan karakter dari batas Australia yang kelak akan menjadi pengaruh utama kolisi Australia-Sundaland saat Neogen. Kolisi yang berkali-kali oleh blok kontinen Asia dan Australia memiliki efek yang cukup besar karena menyebabkan terjadinya subduksi sepanjang Sundaland pada Kapur Tengah sekitar 45 juta tahun yang lalu. Sekitar 90-45 juta tahun yang lalu, Sundaland tidak mengalami subduksi. Australia tidak bergerak ke utara dan terdapat inactive margin di selatan Sumatera dan Jawa hingga 70 tahun yang lalu serta tidak adanya subduksi di bawah utara Borneo. Tidak tercatat pula adanya aktivitas vulkanik pada periode tersebut. Pada Kapur Tengah terdapat tanjung besar yang memanjang sepanjang kerak benua dari Thailand dan Indochina di bagian selatan Sumatera, Jawa, dan Borneo, termasuk Sulawesi Barat. C. Eosen-Miosen: Resemption of Subduction Hingga sekarang, sebagian besar rekonstruksi mengasumsikan bawaha subduksi berlanjut terus menerus pada Sundaland tanpa adanya gangguan dari periode Cretaceous ke Cenozoic. Namun,



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



seperti diuraikan di atas, ada sedikit bukti untuk mendukung hal ini yaitu hampir tidak ada rekaman vulkanik terkait subduksi, berbeda dengan periode sebelum 90 juta tahun dan periode setelah 45 juta tahun. Hall (2012) menafsirkan subduksi telah berhenti selama Kapur Akhir dan Paleosen dan untuk berlanjut di Eosen ketika lempeng menunjukkan bahwa Australia mulai bergerak ke utara pada secara signifikan. Salah satu bagian dari margin Sundaland memiliki bukti vulkanisme terkait subduksi yang lebih tua yaitu Sumba dan bagian-bagiannya Sulawesi Barat. Pada daerah tersebut terdapat bukti untuk aktivitas vulkanik Paleosen dan Eosen. Rekonstruksi memperlihatkan subduksi Lempeng Australia yang mengarah ke barat laut di bawah Sundaland terjadi sekitar 63 juta tahun dan 50 juta tahun disertai dengan sedikit ekstensi dan gerakan strike-slip dextral yang signifikan di margin Sumatra dan Jawa.



Gambar 1.2. Paleogeografi Sundaland 60 juta tahun yang lalu atau Paleosen (Hall, 2012). D. Miosen-Resen: Kolisi dengan Australia Pada awal Miocene terjadi kolisi antara Sundaland dan Australia, dan kemudian pada Miosen Awal terjadi kolisi di utara Kalimantan dengan extended passive continental margin dari Cina Selatan (Hutchison et al. 2000, Hall dan Wilson 2000). Fragmen kontinental sejak itu telah terakresi dan ikut membentuk wilayah di Indonesia Timur. Tabrakan ini menyebabkan pembentukan gunung di Sulawesi, Arc Banda, dan Kalimantan. Selain itu, kedatangan busur dari Pasifik di Indonesia Timur menyebabkan munculnya pulau-pulau di Indonesia timur.



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Gambar 1.3. Paleogeografi Sundaland 5 juta tahun yang lalu atau Pliocene Awal (Hall, 2012). 2. Uraikan tentang stratigrafi Pra Tersier dan Tersier di Kawasan paparan Sunda? Berilah masing-masing contoh di suatu cekungan! Stratigrafi di Kawasan Sundaland: Studi Kasus Cekungan Sumatera Selatan a. Batuan Dasar Batuan dasar (pra tersier) terdiri dari batuan kompleks paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku, dan batuan karbonat. Batuan dasar yang paling tua, terdeformasi paling lemah, dianggap bagian dari lempeng-mikro Malaka, mendasari bagian utara dan timur cekungan. Lebih ke selatan lagi terdapat Lempeng-mikro Mergui yang terdeformasi kuat, kemungkinan merupakan fragmen kontinental yang lebih lemah. Lempeng-mikro Malaka dan Mergui dipisahkan oleh fragmen terdeformasi dari material yang berasal dari selatan dan bertumbukan. Bebatuan granit, vulkanik, dan metamorf yang terdeformasi kuat (berumur Kapur Akhir) mendasari bagian lainnya dari cekungan Sumatera Selatan. Morfologi batuan dasar ini dianggap mempengaruhi morfologi rift pada Eosen-Oligosen, lokasi dan luasnya gejala inversi/pensesaran mendatar pada Plio-Pleistosen, karbon dioksida lokal yang tinggi yang mengandung hidrokarbon gas, serta rekahan-rekahan yang terbentuk di batuan dasar (Ginger & Fielding, 2005). b. Formasi Lahat Formasi Lahat diperkirakan berumur oligosen awal (Sardjito dkk, 1991). Formasi ini merupakan batuan sedimen pertama yang diendapkan pada cekungan Sumatera Selatan. Pembentukannya hanya terdapat pada bagian terdalam dari cekungan dan diendapkan secara tidak selaras. Pengendapannya terdapat dalam lingkungan darat/aluvial-fluvial sampai dengan lacustrine. Fasies batupasir terdapat di bagian bawah, terdiri dari batupasir kasar, kerikilan, dan konglomerat. Sedangkan fasies shale terletak di bagian atas (Benakat Shale) terdiri dari batu serpih sisipan batupasir halus, lanau, dan tufa. Sehingga shale yang berasal dari lingkungan lacustrine ini merupakan dapat menjadi batuan induk. Pada bagian tepi graben



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia ketebalannya sangat tipis dan bahkan tidak ada, sedangkan pada bagian tinggian intra-graben sub cekungan selatan dan tengah Palembang ketebalannya mencapai 1000 m (Ginger & Fielding, 2005). Pembagian secara lebih terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut : 



Di bagian bawah berupa endapan vulkanik Kikin yang terdiri dari aliran lava andesit dan piroklastik (dapat mencapai ketebalan 800 m).







Di bagian tengah diendapkan anggota klastik kasar Lemat yang terdiri dari endapan kipas aluvial dan dataran aluvial (ketebalan beberapa ratus meter).







Di bagian atas diendapkan anggota Serpih Benakat yang berselingan dengan lapisan batubara (ketebalan 400 – 600 m).



c. Formasi Talang Akar Formasi Talang Akar diperkirakan berumur oligosen akhir sampai miosen awal. Formasi ini terbentuk secara tidak selaras dan kemungkinan paraconformable di atas Formasi Lahat dan selaras di bawah Formasi Gumai atau anggota Basal Telisa/formasi Batu Raja. Formasi Talang Akar pada cekungan Sumatera Selatan terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga transisi. Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar antara 460 – 610 m di dalam beberapa area cekungan. Variasi lingkungan pengendapan formasi ini merupakan fluvial-deltaic yang berupa braidded stream dan point bar di sepanjang paparan (shelf) berangsur berubah menjadi lingkungan pengendapan delta front, marginal marine, dan prodelta yang mengindikasikan perubahan lingkungan pengendapan ke arah cekungan (basinward). Sumber sedimen batupasir Talang Akar Bawah ini berasal dari dua tinggian pada kala oligosen akhir, yaitu di sebelah timur (Wilayah Sunda) dan sebelah barat (deretan Pegunungan Barisan dan daerah tinggian dekat Bukit Barisan). d. Formasi Batu Raja Formasi Batu Raja diendapkan secara selaras di atas formasi Talang Akar pada kala miosen awal. Formasi ini tersebar luas terdiri dari karbonat platforms dengan ketebalan 20-75 m dan tambahan berupa karbonat build-up dan reef dengan ketebalan 60-120 m. Didalam batuan karbonatnya terdapat shale dan calcareous shale yang diendapkan pada laut dalam dan berkembang di daerah platform dan tinggian (Bishop, 2001). Produksi karbonat berjalan dengan baik pada masa sekarang dan menghasilkan pengendapan dari batugamping. Keduanya berada pada platforms di pinggiran dari cekungan dan reef yang berada pada tinggian intra-basinal. Karbonat dengan kualitas reservoir terbaik umumnya berada di selatan cekungan, akan tetapi lebih jarang pada bagian utara sub-cekungan Jambi (Ginger dan Fielding, 2005). Beberapa distribusi facies batugamping yang terdapat dalam formasi Batu Raja diantaranya adalah mudstone, wackestone, dan packstone. Bagian bawah terdiri dari batugamping kristalin yang didominasi



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia oleh semen kalsit dan terdiri dari wackstone bioklastik, sedikit plentic foram, dan di beberapa tempat terdapat vein (Gambar 2.2). e. Formasi Gumai Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas formasi Batu Raja pada kala oligosen sampai dengan tengah miosen. Formasi ini tersusun oleh fosilliferous marine shale dan lapisan batugamping yang mengandung glauconitic (Bishop, 2001). Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih yang mengandung calcareous shale dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan shale. Ketebalan formasi Gumai ini diperkirakan 2700 m di tengah-tengah cekungan. Sedangkan pada batas cekungan dan pada saat melewati tinggian ketebalannya cenderung tipis. f. Formasi Air Benakat Formasi Air Benakat diendapkan selama fase regresi dan akhir dari pengendapan formasi Gumai pada kala tengah miosen (Bishop, 2001). Pengendapan pada fase regresi ini terjadi pada lingkungan neritik hingga shallow marine, yang berubah menjadi lingkungan delta plain dan coastal swamp pada akhir dari siklus regresi pertama. Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengandung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan formasi ini diperkirakan antara 1000-1500 m. g. Formasi Muara Enim Formasi ini diendapkan pada kala akhir miosen sampai pliosen dan merupakan siklus regresi kedua sebagai pengendapan laut dangkal sampai continental sands, delta dan batu lempung. Siklus regresi kedua dapat dibedakan dari pengendapan siklus pertama (formasi Air Benakat) dengan ketidakhadirannya batupasir glaukonit dan akumulasi lapisan batubara yang tebal. Pengendapan awal terjadi di sepanjang lingkungan rawa-rawa dataran pantai, sebagian di bagian selatan cekungan Sumatra Selatan, menghasilkan deposit batubara yang luas. Pengendapan berlanjut pada lingkungan delta plain dengan perkembangan secara lokal sekuen serpih dan batupasir yang tebal. Siklus regresi kedua terjadi selama kala Miosen akhir dan diakhiri dengan tanda-tanda awal tektonik Plio-Pleistosen yang menghasilkan penutupan cekungan dan onset pengendapan lingkungan non marine Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Ketebalan formasi ini tipis pada bagian utara dan maksimum berada di sebelah selatan dengan ketebalan 750 m (Bishop, 2001). h. Formasi Kasai



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia Formasi ini diendapkan pada kala pliosen sampai dengan pleistosen. Pengendapannya merupakan hasil dari erosi dari pengangkatan Bukit Barisan dan pegunungan Tigapuluh, serta akibat adanya pengangkatan pelipatan yang terjadi di cekungan. Pengendapan dimulai setelah tanda-tanda awal dari pengangkatan terakhir Pegunungan Barisan yang dimulai pada miosen akhir. Kontak formasi ini dengan formasi Muara Enim ditandai dengan kemunculan pertama dari batupasir tufaan. Karakteristik utama dari endapan siklus regresi ketiga ini adalah adanya kenampakan produk volkanik. Formasi Kasai tersusun oleh batupasir kontinental dan lempung serta material piroklastik. Formasi ini mengakhiri siklus susut laut. Pada bagian bawah terdiri atas tuffaceous sandstone dengan beberapa selingan lapisan-lapisan tuffaceous claystone dan batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuff, batu apung yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu berstruktur sedimen silang siur. Lignit terdapat sebagai lensa-lensa dalam batupasir dan batulempung yang terdapat tuff (Gambar 2.3).



Gambar 2.1 Kolom stratigrafi sub-cekungan Palembang Selatan (Modifikasi dari Sardjito dkk, 1991).



3. Dari titik pandang geodinamik Pulau Sumatera, kita mengenal 3 pola kelurusan struktur geologi yang dominan. Jelaskan ketiga pola struktur dari yang tua ke muda! Jelaskan



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



juga, apakah ketiga pola struktur tersebut memegang peranan penting pada cebakan minyak bumi di cekungan Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan! Pulau Sumatera memiliki tiga struktur utama yang dominan dan berpengaruh pada pembentukan morfologi dan perkembangan cekungan di dalamnya. Tiga pola dominan tersebut adalah Pola Jambi, Pola Sumatera, dan Pola Jawa. a) Pola Sumatera berarah barat laut-tenggara ini diakibatkan adanya tumbukan lempeng india dan lempeng Eurasia pada Jurassic Awal-Kapur) sehingga mengakibatkan rezim kompresional. Manifestasi struktur Pola Sumatera saat ini berupaperlipatan yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat adanya kompresi pada Plio-Pleistosen. b) Pola Jambi memiliki arah timur laut-baratdaya yang terbentuk pada zaman Pra-Tersier juga. Pola Jambi sangat jelas teramati di Sub-cekungan Jambi. Terbentuknya struktur ini berasosiasi dengan terbentuknya system graben di cekungan Sumatera selatan. Struktur lipatan yang berkembang di pola jambi diakibatkan adanua pengaktifan kembali sesar-sesar normal (graben) tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi dengan sesar mendatar. Namun intensitas perlipatan tidak begitu kuat. c) Pola Sunda memiliki arah utara-selatan yang terbentuk pada zaman Kaur Awal-Tersier Awal. Pola struktur inilah yang menyebabkan terbukanya cekungan-cekungan yang ada di daerah Sumatera. Cekungan ini awalnya termanifestasi sebagai ssar normal (graben) namun pada periode tektonik Plio-Pleistosen teraktifkan kembali sebagai sesar mendatar yang seringkali menunjukkan pola perlipatan di permukaan.



Gambar 3.1 Pola Struktur Jambi yang berarah relative NW-SE



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Dari ketika pola dominan tersebut Pola Sumatera adalah yang memegang peranan penting dalam pembentukan cekungan hidrokarbon di Pulau Sumatera. Pembentukan cekungan terutama pada gerak tensional yang menghasilkan sesar-sesar bongkah (graben). Perangkap (trap) yang terbentuk akibat adanya gaya kompresif pada zaman Plio-Pleistosen yang membentuk sesar-sesar anjakan dan lipatan yang menjadi perangkap struktur berupa antiklin. 4. Gejala strukturisasi yang menonjol pada formasi-formasi batuan tersier di cekungan Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan adalah model struktur inversi. a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan struktur inversi! b. Gambarkan pada suatu penampang yang dilengkapi formasi-formasi sedimen sehingga terlihat jelas terjadi suatu struktur inversi pada interval waktu tertentu! c. Jelaskan juga melalui elemen-elemen struktur yang mana, pola struktur inversi tersebut berkembang dengan baik dan sempurna! a. Struktur Inversi Stuktur inversi adalah struktur yang membentuk kenampakan sesar turun dibagian bawah namun menunjukkan kenampakan sesar naik pada bagian atasnya, sehingga terdapat dua kenampakan pergerakan sesar yang berbeda dalam satu bidang sesar. Sesar inversi merupakan hasil reaktivasi sesar yang semula sesar turun menjadi sesar naik akibat perubahan rezim tektonik, dari yang semua tensional menjadi kompresional.



Gambar 4.1 Ilustrasi pembentukan struktur inversi.



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



b. Pada Gambar 4.2 terlihat adanya struktur inversi pada penampang seismik tersebut. Inversi ditandai oleh naiknya lapisan sedimen pada syn-rift memberikan kenampakan seperti keris. Terlihat pula bentukan =lipatan yang terjadi akibat adanya pengaruh struktur inversi.



Gambar 4.2 Penampang seismik utara-selatan yang menunjukkan zona overthrust sebagai batas antara Zona Rembang dan Zona Kendeng (Prasetyadi, 2007; Sumber: Data seismik dari PNDDitjen Migas). Contoh lain dapat dilihat pada penampang seismic formasi Talang Akar (Gambar 4.3). Pada fasa rezim ekstensi, terjadi rifting yang menghasilkan sesar normal dan endapan syn-rift (lapisan yg diberi warna hijau dan biru pada seismik). Setelah kondisi tektonik stabil, sesar tidak aktif dan diendapkan lapisan post-rift (lapisan yang diberi warna kuning). Pada saat rezim tektonik kompresi, terjadi reaktivasi sesar normal yang terbentuk sebelumnya menjadi sesar naik, sehingga menghasilkan struktur inversi. Pada formasi Talang Akar terjadi proses tektonik inversi yang dapat di lihat dari bentukan cekungan yang awalnya merupakan bentukan syn-rift dan post-rift lalu terjadi bentukan lipatan pada sebelah barat formasi tersebut yang mengindikasikan adanya struktur inversi.



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Gambar 4.3 Penampang seismik formasi Talang Akar. c. Di Sumatera Tengah, Jambi, maupun Sumatera Selatan, struktur inversi terjadi akibat adanya rezim tektonik kompresi dari subduksi oblik yang terjadi pada umur Pliosen yaitu ditandai dengan yang adanya antiklin sebagai bukti struktur inversi. (tektonik Plio-Pleistosen). Dari penampang Cekungan Sumatera Tengah dibawah ini struktur inversi ditunjukan oleh adanya struktur antiklin pada bagian dekat border fault ditandai dengan lingkaran merah pada gambar. Formasi-formasi yang memperlihatkan kenampakan sesar naik adalah Formasi Menggala, Formasi Bekasap dan Formasi Telisa.



Gambar 4.4. Struktur inversi pada Cekungan Sumatra Tengah.



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Selain itu, untuk cekungan Jambi penampang di bawah ini menunjukkan bahwa inversi terjadi dicirikan oleh adanya tonjolan yang dilingkari berwarna merah. Tektonik inversi pada cekungan ini bekerja pada Formasi Talang Akar dan Formasi Batu Raja.



Gambar 4.5. Struktur inversi pada Cekungan Jambi.



5. Jelaskan tentang evolusi dari jalur-jalur magmatisma di Pulau Jawa mulai dari Umur Kapur, Paleogen, Neogen, dan Kuarter! Dan jelaskan juga jalur-jalur magmatisma yang berumur apa yang banyak dijumpai cebakan emas! Jalur magmatisme yang berkembang di Pulau Jawa adalah hasil subduksi Lempeng HindiaAustralia dengan Lempeng Eurasia. Terjadi beberapa kali perubahan arah jalur zona magmatisme yang dipengaruhi oleh kecepatan penunjaman lempeng Hindia-Australia terhadap Lempeng Eurasia.



Gambar 5.1. Evolusi jalur magmatisme di Pulau Jawa a. Pra-Tersier



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Terdapat jalur subduksi purba mulai dari Jawa Barat bagian Selatan (Ciletuh), Pegunungan Serayu (Jawa Tengah), dan Laut Jawa bagian timur ke Kalimantan Tenggara. Lalu hadir jalur magmatik Kapur yang menempati lepas pantai utara Jawa. Jalur subduksi purba disebabkan penunjaman Lempeng Hindia-Australia dibawah Lempeng Eurasia yang berarah NE-SW dan pola tektonik ini dinamakan pola Meratus b. Tersier  Eosen Akhir-Miosen Awal Jalur magmatis ini berada di sebelah selatan Pulau Jawa. Jalur ini dipengaruhi oleh zona subduksi yang lebih dekat dengan pulau Jawa dibandingkan dengan posisi zona subduksi yang terjadi pada zaman Kuarter. Berdekatannya posisi zona subduksi dengan posisi pegunungan magmatis lebih disebabkan oleh sudut penunjaman lebih tajam pada kala itu.  Miosen Akhir-Pliosen Terjadi pergerakan mundur dari zona subduksi daerah selatan pulau Jawa (rollback) yang diikuti dengan melandainya sudut penunjaman antara lempeng Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia, sehingga menyebabkan bergeraknya zona magmatis lebih ke utara pulau Jawa, tepatnya berada di daerah tengah dari pulau Jawa. c. Kuarter Zona magmatis masih berada pada daerah tengah pulau Jawa, tidak jauh berbeda dengan posisi pada masa Miosen Akhir-Pliosen. Sudut penunjaman juga tidak jauh berbeda dengan masa Miosen Akhir-Pliosen.



Gambar 5.2. Perkembangan Zona Subduksi dan Busur Magmatik Pulau Jawa (modifikasi SoeriaAtmadja dkk. 1994 dan Simanjuntak & Barber 1996).



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Umumnya jalur magmatisma berumur Neogen banyak dijumpai cebakan emas. Pegunungan Selatan di Jawa bagian Barat dibentuk oleh busur volkanik yang membujur dari barat ke timur. Aktivitas volkanik di jalur tersebut tercatat berumur Oligo-Miosen sampai Resen. Keberadaan endapan logam yang selalu berkaitan dengan aktivitas magmatik, memberikan indikasi bahwa jalur Pegunungan Selatan tersebut memiliki potensi untuk menghasilkan endapan logam. Hasil berbagai kegiatan eksplorasi perusahaan tambang maupun penelitian dari banyak kalangan di wilayah pegunungan Jawa bagian barat, menunjukkan bahwa kawasan ini memang memiliki potensi endapan hidrotermal (seperti yang ditemukan di Cikotok, Ciawitali, Pongkor dan lain-lain) (Sudarsono dkk, 2008). Contoh lain yaitu Tambang Emas Cibaliung yang terletak di bagian tengah dari busur magmatik Sunda-Banda yang berumur Neogene. Batuan asal (host rock) pembawa bijih emas-perak adalah batuan Honje Volcanic dengan umur Akhir Miosen yang diterobos oleh subvolcanic andesit-diorit berupa "plug" atau "dike" dan kadang terpotong oleh "diatreme breccia". Menumpang tidak selaras di atas batuan asal ini berupa dacitic tuff, sediment muda, dan aliran lava basalt yang berumur Miosen Kuarter. Banyaknya cebakan emas pada busur magmatik berumur Neogen kemungkinan besar berkaitan dengan evolusi subduksi pulau Jawa itu sendiri. Pada Neogen terjadi perubahan sudut penunjaman menyebabkan busur vulkanik bergeser ke arah Utara Jawa. Struktur-struktur seperti sesar normal dan naik yang terbentuk pada Neogen menjadi pendukung terjadinya proses mineralisasi low dan high sulfidation. 6. Gambarkan (secara umum tetapi lengkap) pola struktur yang dijumpai saat ini di kawasan Jawa Timur! (berikut daerah lepas pantainya, Pulau Madura, Pulau Kangean, dan sekitarnya) Jawa bagian timur (mulai dari daerah Karangsambung ke timur), berdasarkan pola struktur utamanya, merupakan daerah yang unik karena wilayah ini merupakan tempat perpotongan dua struktur utama, yakni antara struktur arah Meratus yang berarah timurlut-baratdaya dan struktur arah Sakala yang berarah timur-barat (Pertamina-BPPKA, 1996; Sribudiyani et al., 2003) (Gambar 8). Arah Meratus lebih berkembang di daerah lepas pantai Cekungan Jawa Timur, sedangkan arah Sakala berkembang sampai ke daratan Jawa bagian timur. Struktur arah Meratus adalah struktur yang sejajar dengan arah jalur konvergensi Kapur Karangsambung-Meratus. Pada awal Tersier, setelah jalur konvergensi Karangsambung-Meratus tidak aktif, jejak-jejak struktur arah Meratus ini berkembang menjadi struktur regangan dan



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



membentuk pola struktur tinggian dan dalaman seperti, dari barat ke timur, Tinggian Karimunjawa, Dalaman Muria-Pati, Tinggian Bawean, Graben Tuban, JS-1 Ridge, dan Central Deep (Gambar 9). Endapan yang mengisi dalaman ini, ke arah timur semakin tebal, yang paling tua berupa endapan klastik terestrial yang dikenal sebagai Formasi Ngimbang berumur Eosen. Distribusi endapan yang semakin tebal ke arah timur ini menunjukkan pembentukan struktur tinggian dan dalaman ini kemungkinan tidak terjadi secara bersamaan melainkan dimulai dari arah timur. Struktur arah Sakala yang berarah barat-timur saat ini dikenal sebagai zona sesar mendatar RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala). Pada mulanya struktur ini merupakan struktur graben yang diisi oleh endapan paling tua dari Formasi Pra-Ngimbang yang berumur PaleosenEosen Awal (Phillips et al., 1991; Sribudiyani et al., 2003) (Gambar 9B). Graben ini kemudian mulai terinversi pada Miosen menjadi zona sesar mendatar RMKS. Berdasarkan sedimen pengisi cekungannya dapat disimpulkan sesar arah Meratus lebih muda dibandingkan dengan sesar arah Sakala.



Gambar 6.1. Pola Struktur Jawa Bagian Timur (Pertamina-BPPKA, 1996; Sribudiyani et al., 2003). Selain arah Sakala, struktur arah barat-timur lainnya adalah struktur yang oleh Pulunggono dan Martodjojo (1994) disebut sebagai arah Jawa. Struktur ini pada umumnya merupakan jalur



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



lipatan dan sesar naik akibat kompresi yang berasal dari subduksi Neogen Lempeng IndoAustralia. Jalur lipatan dan sesar naik ini terutama berkembang di Zona Kendeng yang membentuk batas sesar berupa zona overthrust antara Zona Rembang dan Zona Kendeng. Bidang overthrust yang nampak memotong sampai ke lapisan yang masih berkedudukan horisontal menunjukkan pensesarannya terjadi paling akhir dibandingkan dengan pembentukan struktur yang lain (Arah Meratus dan Arah Sakala). 7. Gambarkan suatu penampang tektonik (model tektonik konvergen) berarah baratdaya (SW) – timurlaut (NE) dari suatu titik di Samudera Hindia (Indonesia) yang letaknya di sebelah barat Pulau Sumatera menuju ke arah timurlaut memotong sumbu panjang Pulau Sumatera dan Selat Malaka sampai ke suatu titik di Semenanjung Malaysia. Sebutkan elemen-elemen tektonik yang terbentuk di sepanjang lempeng bagian atas atau di lempeng Mikro Sunda.



1.Prisma akresi 2.Fore-arc basin 3.Volcanic arc 4. Intermountain basin 5. Back-arc basin 6. Trench



7. Back arc-spreading



8. Ofiolit tersingkap dengan baik dan penyebarannya cukup luas di Pegunungan Meratus (Kalimantan). Jelaskan proses terbentuknya dan alih tempat dari Ofiolit tersebut ditinjau dari model tektonik lempeng!



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Ofiolit merupakan kompleks batuan dengan berbagai karakteristik dari layer ultramafik, dengan ketebalan dari beberapa ratus meter sampai beberapa kilometer bersusun atau berlapis dengan batuan gabro dan batuan dolerite, dan pada bagian atanya tersusun oleh pillow lava dan breksi, sering berasosiasi dengan batuan sediment pelagic (Ringwood, 1975). Sedangkan menurut Hutchison (1983), ofiolit merupakan kumpulan khusus dari batuan mafik-ultramafik dengan batuan beku sedikit kaya asam sodium dan khas berasosiasi dengan batuan sediment laut dalam.



Gambar 8.1 Proses pembentukan ofiolit Dari Gambar 7.1 di atas dapat kita lihat 2 lempeng samudra yang saling bergerak mendekat sehingga terjadi collision, yang mengakibatkan terbentuknya busur gunungapi dan daerah pemekaran kerak samudra. Lama kelamaan kedua lempeng samudra yang saling mendekat itu, salah satunya akan mengalami peleburan. Hal ini menyebabkan salah satu dari lempeng itu akan



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



habis, dan lempeng yang lainnya akan terangkat ke lempeng benua. Bagian dari lempeng samudra yang terangkat ke lempeng benua itulah yang dinamakan ofiolit. 9. Jelaskan secara singkat mengapa daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah salah satu tempat sangat penting buat para ahli kebumian! Karangsambung memiliki arti penting dalam kajian geologi terutama dari sisi tektonik di Pulau Jawa. Karangsambung memiliki arti penting dari sisi geologi karena di daerah ini tersingkap batuan dasar Pulau Jawa berupa kompleks batuan metamorf dan batuan mafik-ultramafik penciri ofiolit (Asikin, 1974; Asikin dkk, 1992; Harsolumakso dkk, 1997). Batuan dasar Pra-Tersier Pulau Jawa yang tersingkap di Karangsambung ditutupi oleh batuan sedimen Tersier yang merekam sejarah tektonik dan perkembangan stratigrafi di cekungan Jawa Tengah. Hal ini mendorong banyak peneliti untuk datang meneliti daerah ini untuk mempelajari tektonik dan stratigrafi Pulau Jawa bagian tengah, khususnya berkaitan dengan tektonik Pulau Jawa pada umur mesozoik. Semua jenis batuan ada di Karangsambung. Di Karangsambung, tersingkap aneka batuan dari berbagai umur dan proses kejadiannya. Karangsambung merupakan salah satu situs geologi penting di Pulau Jawa. Fenomena geologinya sangat langka. Situs-situsnya berkaitan erat dengan sejarah pembentukan dan perkembangan cekungan selama akhir mesozoikum hingga permulaan tersier berdasar pendekatan tektonik. Oleh para ahli geologi, Karangsambung dianggap sebagai miniatur keanekaragaman bumi atau geodiversity. Selain itu, menjadi kompleks fosil daerah tunjaman, di mana batuan asal benua dan batuan asal samudera tercampur aduk menjadi satu secara tektonik. Di Karangsambung juga terdapat batuan-dasar tertua di Pulau Jawa yang tersingkap. Oleh karena itu, daerah ini sering disebut miniatur geologi Indonesia karena rekaman sejarah tektonik yang terjadi di Indonesia tersimpan dalam batuan-batuan yang ada di Karangsambung.



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Gambar 9.1 (A). Model pengalih-tempatan Komplek Ofiolit Karangsambung Utara (Suparka, 1988),(B). Penampang utaraselatan yang menggambar struktur Melange Seboro berdasarkan anomali gaya berat (Kamtono dkk, 1996) dan (C). Evolusi komplek melange Luk-Ulo (Asikin, 1994)



10. Cekungan Ombilin di Sumatera Barat sering disebut oleh oleh para ahli kebumian sebagai cekungan antara gunung (inter mountain basin). Jelaskan sejarah cekungan Ombilin ditinjau dari tatanan struktur dan stratigrafi sejak umur Eosen sampai Pleistosen di mana mulai diendapkannya Formasi Brani, Formasi Sangkarewang, Formasi Sawahlunto, Formasi Sawahtambang, dan Formasi Ombilin! Tektonik Ombilin Basin Berdasarkan data geologi yang ada saat ini, Cekungan Ombilin dinyatakan sebagai suatu graben yang terbentuk akibat struktur pull-apart yang dihasilkan pada waktu Tersier Awal, yang diikuti dengan tektonik tensional sehubungan dengan pergerakan strike-slip sepanjang zona Patahan Besar Sumatera. Berikutnya terjadi erosi dan patahan, sehingga menghalangi rekonstruksi dari konfigurasi Cekungan Ombilin yang sebenarnya (Gambar 10.1).



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Gambar 1.4. Elemen struktur Paleogen dan Neogen Cekungan Sumatera Tengah (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Cekungan Ombilin pada awalnya lebih luas dari batas-batas tepi cekungan yang ada saat ini. Walaupun begitu, erosi pasca pengendapan telah menghilangkan batas dari cekungan awal. Sesar Tanjung Ampolo telah membelah Cekungan Ombilin dalam ukuran besar dan secara struktural memisahkan cekungan tersebut menjadi dua bagian. Bagian Timur adalah bagian yang turun, sementara bagian barat adalah bagian yang berada di atas, sehingga memperlihatkan bagian lapisan yang di bawahnya (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Patahan Utara-Selatan Tanjung Ampalo membentuk patahan yang megah menonjol dan kelihatan nyata, sebagian patahan yang ditandai dengan adanya suatu tebing yang memisahkan bagian dalam dari Cekungan Ombilin dari daratan Sigalut dan dibentuk oleh batuan pasir konglomeratik dalam jumlah yang besar dari Formasi Sawahtambang Kala Oligocene. Patahan Tanjung Ampalo diyakini sebagai tingkat kedua dari dextral wrench yang dihubungkan dengan Zona Patahan Besar Sumatera. Patahan terbelah di bagian selatan dengan satu bagian mengarah selatan dari cekungan ke dataran tinggi Pre- tertiary dan bagian yang lain sejajar dengan batas cekungan barat. Batas timur cekungan tersebut ditandai dengan patahan menonjol Takung dimana batuan Pre- tertiary terendapkan di atas endapan Tertiary. Pembentukan pegunungan pada kala Miosen Tengah telah mengangkat bagian tenggara dari cekungan tersebut dan batuan Formasi Tertiary yang muncul dari erosi berikutnya membentuk tepian selatan dan barat laut dari cekungan yang ada saat ini. Patahan terbalik telah ditemukan pada cekungan tersebut, semuanya sejajar dan berhubungan dengan Patahan Takung. Patahan yang



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



mengarah ke barat daya ditemukan pada bagian barat laut dari cekungan dan memisahkan endapan Pre-tertiary dan Tertiary (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Menurut Situmorang dkk (1991) secara umum Cekungan Ombilin dibentuk oleh dua terban berumur Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh sesar Tanjung Ampalu berarah utara-selatan. Menurut Hastuti, dkk (2001) terdapat 5 fase tektonik yang bekerja di cekungan Ombilin pada saat Tersier seperti pada Gambar 10.2.



Gambar 10.2 . Tektonostratigrafi Cekungan Ombilin (Hastuti, dkk, 2001). Skema perkembangan Cekungan Ombilin dari Pra-Tersier sampai dengan sekarang sebagai strike slip basin adalah seperti di Gambar 10.3.



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Gambar 10.3. Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin, Sumatra Barat menurut Hastuti, dkk (2001). (A)Kapur-Tersier Awal (B)Paleosen (C)Miosen Awal (D)Plio-Pleistosen. Informasi stratigrafi untuk Cekungan Ombilin yang paling relevan dapat diambil dari data Sumur Sinamar-1 yang dibor oleh PT CPI pada tahun 1984. Secara umum urutan stratigrafi dari endapan pada Cekungan Ombilin dari umur yang lebih tua ke umur yang lebih muda adalah : PreTertiary basement, Formasi Sangkarewang, Formasi Sawahlunto, Formasi Sawahtambang dan Formasi Ombilin. 1. Formasi Pre-Tertiary basement ( Paleozoic-Mesozoic) Formasi Pre-Tertiary terdiri dari batuan granit, limestone laut dalam dari Formasi Tuhur, limestone massive dan formasi Silungkang dan slate/phylites dari Formasi Kuantan. Batuan PreTertiary basement dari Cekungan Ombilin ini terlihat dengan baik di sekitar batas cekungan sepanjang sisi batas sisi barat Cekungan Ombilin. 2. Formasi Sangkarewang (Eocene) Formasi Sangkarewang memprensentasikan deposisi dari danau air dalam dengan oksigen rendah. Formasi ini terdiri dari interface calcareous shale abu-abu gelap, tipis, struktur tajam dan sandstone tipis. Formasi ini terbentuk dari endapan di Danau purba Sangkarewang yang diendapi oleh serpihan-serpihan karena proses cuaca dan kegiatan tektonik. Sifat calcareous dari formasi tersebut sebagian disebabkan adanya masukan yang terus-menerus dari serpihan calcareous pretertiary.



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



3. Formasi Sawahlunto (Eocene) Formasi Sawahlunto tediri dari shale dari zaman Eocene, siltstone, quartz, sandstone dan batubara (coal) yang ditemui di sebagian besar di wilayah tenggara dari Cekungan Ombilin. Formasi ini juga termasuk coal beds yang ditambang di daerah Sawahlunto. Formasi Sawahlunto meruncing ke arah timur dan selatan dari area Sawahlunto. 4. Formasi Sawahtambang (Oligocene) Formasi Sawahtambang dan Sawahlunto telah terbukti saling overlay atau seperti saling terkait. Keterkaitan antara dua formasi secara paleontology susah ditentukan, karena ketidakhadiran umur fosil diagenetic di antara kedua formasi. Formasi Sawahtambang terdiri dari konglomerat berumur Oligocene, sandstone dan shale yang diendapkan oleh sistem aliran sungai. 5. Formasi Ombilin (Early Miocene) Formasi Ombilin terdiri dari shale abu-abu muda sampai medium, dimana sering calcareous dan biasanya mangandung limestone, sisa-sisa tumbuhan dan sel-sel moluska. Ketebalan limestone pada Formasi Ombilin terlihat sampai ketebalan 200 ft (60 m). Akan tetapi, ketebalan Formasi Ombilin berkisar antara 146 meter sampai 2740 meter ketebalan sesungguhnya dari formasi ini sukar ditentukan karena adanya erosi pasca endapan. Dari segi lingkungan pengendapan batuan-batuan sedimen di daerah lain diendapkan dalam lingkungan fasies delta, yaitu mulai dari upper delta plai hingga delta front, lingkungan fasies transisi hingga paparan laut (marine), yaitu dari delta front hingga middle shelf dan lingkungan fasies laut dalam, yaitu dari outer shelf hingga bathyal (Koning, 1985).



Firdaus El Afghani (12016007) - UTS Geologi Indonesia



Daftar Pustaka Budiyani, Sri. 2003. The Collision of The East Java Microplate and Its Implication for Hydrocarbon occurrences in the East Java Basin. Indonesian Petroleum Association, Proceeding Ann.Conv. 29th. Hall, R. 2012. Sundaland and Wallacea: Geology, Plate tectonics and Palaeogeography. Cambridge: Cambridge University Press Koesoemadinata R.P, Matasak Th, 1981, Stratigraphy and Sedimentation Ombilin Basin Central Sumatra, Proceedings Indonesian Petroleum Association, Jakarta. Situmorang, B., Yulihanto, B., Guntur, A., Himawa, R., dan Jacob, G,T., 1991, Structural Development of the Ombilin Basin West Sumatera, Indonesian Pet. Assoc., 20th Annual Convention Proceedings, hal.1 – 15. Sudarsono, Setiawan., I, Sumantri., T.A.F., Fauzi, A. 2008. Model Genesa Mineralisasi Hidrotermal Pegunungan Selatan Jawa, : kasus daerah tasikmalaya selatan, jawa barat. Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian PUSLIT Geotektnologi.