Uu Pelayaran [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I.



PENDAHULUAN...........................................................................1



BAB II.



A. Deskripsi Singkat ……………………………………….…………1 HUKUM DAN HUKUM LAUT........................................................3 A. Pengertian Kapal..................................................................14



BAB III.



PENDAFTARAN KAPAL A. Pengertian Kapal..................................................................14 B. Kedudukan Hukum Kapal.....................................................14 C. Pendaftaran Kapal................................................................15



BAB IV.



PERUSAHAAN PELAYARAN A. Struktur Organisasi................................................................21 B. Tugas dan Awak Kapal..........................................................21



BAB V.



NAHKODA...................................................................................25 A. Kewajiban Nahkoda..............................................................27 B. Wewenang Nahkoda............................................................28 C. Hukum atau Sanksi...............................................................29 D. Pengannti Nahkoda…………………………………………….30



BAB VI.



PERJANJIAN KERJA LAUT.......................................................32 A. Syarat-syarat PKL.................................................................32 B. Jenis-jenis PKL.....................................................................32 C. Isi PKL...................................................................................33 D. Akhir PKL..............................................................................33 E. Surat Berhenti…………………………………………………..35 F. Kewajiban ABK…………………………………………………36 G. Hak ABK…………………………………………………………36



BAB VII. DOKUMEN KAPAL.....................................................................41 A. Sertifikat - Sertifikat...............................................................41 B. Dokumen Peralatan..............................................................43 C. Dokumen dan Surat Kapal....................................................43 i



D. Dokumen dan Surat Pengoperasian Kapal..........................44 E. Sertifikat-Sertifikat yang lain.................................................44 F. Berita Acara..........................................................................44 BAB VIII. KESELAMATAN dan MAHKAMAH PELAYARAN.......................47 A. Keamanaan dan Keselamatan.............................................47 B. Peradilan dan Mahkamah Pelayaran...................................48 BAB IX KARANTINA ……………………………………………………………51 A. Pengertian............................................................................51 B. Karantina..............................................................................52 BAB X ADMINISTRASI PEMUATAN..........................................................55 A. Pengaturan Hukum...............................................................55 B. Pengangkut...........................................................................55 C. Kewajiban Pengangkut.........................................................57 D. Tanggung Jawab dari Pihak Pengangkut.............................57 E. Kekebalan - Kekebalan.........................................................57 F. Penyewaan Ruang Kapal.....................................................58 BAB XI. DOKUMEN MUATAN…………………………………………………84 A. Pengertian Hukum................................................................84 B. Keterkaitan Dengan Charter.................................................91 BAB XII. SAFETY OF LIVE AT SEA ( SOLAS ) A. Sejarah Konvensi Solat.........................................................69 B. Amandemen- Amandemen...................................................70 C. Konvensi Solas 1974............................................................71 BAB XIII. CONVENSION MARITIME POLUTION……………………………81 A. Sejarah Konvensi Marpol......................................................81 B. Isi Peraturan Marpol ………………………………………...…82 C. Tugas dan Tanggung Jawab Negara Anggota Marpol…..…84 D. Yurisdiksi Pemberlakuan Marpol………………………...……84 E. Cara-cara Memenuhi Kewajiban dalam Marpol 73/78……...85 F. Implementasi Peraturan Marpol 1973/1978………………….87 G. Implementasi Peraturan 73/78………………………………...88 H. Dampak Pencemaran di Laut………………………………….88 I.



Definisi-definisi Bahan Pencemaran………………………….89



J. Usaha Pencegahan dan Menanggulangi Pencemaran Laut…91 ii



BAB XIV. STCW 78 AMANDEMEN 95 ( STCW 95) A. Pendahuluan……………………………………………………….95 B. Beberapa Fakta……………………………………………………95 C. Amandemen 1995 Konvensi STCW 1978……………………...98 BAB XV. PSC (PORT STATE CONTROL) A. Fungsi PSC………………………………………………………100 B. Port Stases ( Negara Pelabuhan )…………………………….103 C. Clear Ground…………………………………………………….104 D. Pemeriksaan……………………………………………………..105



iii



BAB I PENDAHULUAN



A. Deskripsi Singkat Undang - Undang Pelayaran dan Konvensi Internasional merupakan pengetahuan yang harus dikuasai oleh para pelaut yang bekerja di atas kapal, peraturan-peraturan dapat setiap saat berubah disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan keadaan dan jaman. Pengetahuan tentang hukum sangat bermanfaat dalam pelaksanaan tugas di atas kapal, setiap personil dikapal dalam bertindak harus berpedoman peraturan dan kaidah yang ada. Buku ajar Undang - Undang Pelayaran dan Konvensi Internasional ini didasarkan dengan kompetensi yang wajib dikuasai oleh para perwira di atas kapal sesuai Standard Training Certification and Watchkeeping 1995 dan Keputusan Kepala Pusdiklat Perhubungan Laut Nomor. SK.032/DL-002/PDL-2001. Penyusunan materi bahan ajar juga didasarkan dengan Sisitim Standar Mutu Pendidikan Kepelautan Indonesia yang dibuat berdasarkan keputusan bersama tiga Menteri yaitu Menteri Perhubungan, Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 1. Tujuan Pembelajaran Tujuan Pembelajaran Umum Setelah pembelajaran peserta didik diharapkan mampu dan memahami tentang peraturan-peraturan atau hukum yang diberlakukan di dunia maritime. 2. Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah pembelajaran peserta didik dapat : a.



Menjelaskan pengertian hukum dan hukum laut



b.



Mengetahui cara-cara mendaftarkan kapal dan syarat-syaratnya



c.



Menjelaskan struktur organisasi perusahaan pelayaran 1



d.



Menjelaskan tugas, tanggung jawab dan kewajiban Nakhoda



e.



Memahami tentang Perjanjian Kerja Laut



f.



Menjelaskan tentang Dokumen-dokumen kapal



g.



Menjelaskan tugas, kewenangan dan sanksi Mahkamah Pelayaran



h.



Menjelaskan tentang Karantina



i.



Menjelaskan tentang administrasi muatan



j.



Menjelaskan tentang dokumen-dokumen muatan



k.



Menjelaskan tentang peraturan-peraturan internasional



l.



Menjelaskan undang-undang No. 21 tahun 1992



3. Pokok Bahasan 1. Hukum Dan Hukum Laut 2. Pendaftaran Kapal 3. Perusahaan Pelayaran 4. Nakhoda 5. Perjanjian Kerja Laut 6. Dokumen Kapal 7. Mahkamah Pelayaran 8. Karantina 9. Administrasi Muatan 10. Dokumen Muatan 11. Peraturan Internasional 12. Undang-undang No. 21 tahun 1992



2



BAB II HUKUM DAN HUKUM LAUT A. Pengertian Hukum Hukum adalah Himpunan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang mengurus tata tertib suatu lingkungan masyarakat. Hukum hanya berlaku dalam suatu pergaulan masyarakat, pada lingkungan masyarakat semua orang menjadi pendukung dari kepentingan yang akan mereka amankan sebaik mungkin. Pengamanan kepentingan ini akan dapat menjamin keseimbangan dalam hubungan antara masyarakat. Pada lingkungan inilah kepentingan-kepentingan dapat bertubrukan satu dengan lainnya. Peraturan hukum memiliki ciri memaksa yaitu adanya perintah atau larangan dan harus ditegakkan dengan cara paksa. Bila tidak ditaati maka penegak hukum dapat mengenakan cara-cara paksa tertentu (sanksi), hukuman atau ganti kerugian (dalam hukum perdata). 1. Sumber Hukum Sumber hukum yaitu segala sesuatu dari mana orang dapat mengenal bermacam-macam peraturan yang berlaku di dalam masyarakat dan oleh hukum dianggap sebagai peraturan yang pada hakekatnya merupakan peraturan-peraturan yang mempunyai ketentuan hukum. Sumber hukum dapat berupa tulisan-tulisan, dokumen-dokumen, naskah-naskah dari mana dapat diketahui hukum yang berlaku di suatu bangsa dalam masa tertentu. Sumber hukum terdiri dari :



a.



Undang-undang Undang-undang merupakan sumber hukum yang utama yaitu setiap keputusan pemerintah yang menentukan peraturan-peraturan yang mengikat. Peraturan keselamatan kapal termasuk Undang-undang dalam arti luas (materiil). 3



Sedangkan pengertian undang-undang dari segi formil adalah ketetapan yang diputuskan berdasarkan undang-undang Dasar oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuatan perundang-undangan bersumber dari Undang-Undang Dasar. Setiap produk hukum, kebijaksanaan pemerintah harus berlandaskan/bersumberkan peraturan yang lebih tinggi dan dapat dipertanggung jawabkan yaitu UUD 1945. b.



Kebiasaan Kebiasaan dapat menjadi sumber hukum, bila kebiasaan itu diterima masyarakat maka timbul kebiasaan hukum yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum. Contoh misalnya hukum adat.



c.



Yurisprudensi /keputusan hakim Bila kebiasaan atau peraturan/undang-undang tidak memberikan peraturan yang dapat dipakai untuk menyelesaikan suatu perkara, maka Hakim harus membuat peraturan sendiri untuk memutuskannya. Keputusan ini atau yurisprudensi di kemudian hari dalam mengadili perkara serupa dapat dijadikan Sumber Hukum bagi pengadilan.



d.



Pengetahuan Sumber hukum yang lain yaitu Pengetahuan, sebelum mengeluarkan keputusan para hakim mengkaji dalam buku-buku dan penerbitan-penerbitan ilmiah mengenai suatu persoalan yang dapat dijadikan referensi dalam pengambilan suatu keputusan.



e.



Perjanjian Perjanjian juga merupakan suatu sumber hukum, bila dua pihak atau lebih mengadakan kata sepakat tentang sesuatu hal yang melahirkan suatu perjanjian, maka pihak-pihak yang bersangkutan akan terikat isi perjanjian yang mereka adakan itu. Oleh karena itu



harus ditepati dan ditaati, bila ada pihak yang



merasa dirugikan dapat melakukan gugatan ke pengadilan. 2. Pembidangan Hukum Hukum dapat dibagi menurut azasnya antara lain : a.



Menurut Kekuatan bekerjanya : 1). Undang-Undang Dasar, 4



2). Tap MPR, 3). Undang-Undang 4). Perpu (Peraturan Pemerintah), 5). Keppres (Keputusan Presiden), 6). Kepmen (Keputusan Menteri), 7). Keputusaan Dirjen Perla. b.



Menurut Isinya 1) Hukum Privat (Sipil) Yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan kepentingan perorangan. Hukum privat/sipil dalam arti luas mencakup Hukum Perdata dan Hukum Dagang, sedangkan hukum privat/sipil dalam arti sempit yaitu Hukum Perdata saja. Hakekatnya Hukum Dagang dan Hukum Perdata tidak ada suatu perbedaan yang pokok, keduanya mengandung prinsip dan pengertian yang sama. Terkaitnya kedua hukum tersebut dalam pasal 1 KUHD : bahwa untuk segala peristiwa dan perbuatan dalam lapangan perniagaan itu diliputi oleh peraturan-peraturan yang termuat baik KUHD maupun KUHPer, kecuali diatur tersendiri dalam KUHD. Kekurangan dalam KUHD (peraturan khusus) akan dilengkapi oleh peraturan umum dari KUHPer. 2) Hukum Publik (Negara) Yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dan alat-alat perlengkapannya, Negara dengan perseorangan dan Negara dengan Negara. Hukum Publik terdiri dari : a.



Hukum Tata Negara



b.



Hukum Administrasi Negara



c.



Hukum Pidana :



hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa



yang dilarang dan hukumannya serta mengatur cara-cara mengajukan perkara-perkara. d.



Hukum Internasional 5



3. Hukum Laut Yaitu rangkaian peraturan dan kebiasaan hukum mengenai laut yang bersifat : a. Keperdataan: menyangkut kepentingan perorangan. Hukum Laut Keperdataan yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan perdata yang timbul karena perjanjian-perjanjian perdata. Contoh : Perjanjian-perjanjian pengangkutan menyeberang dengan kapal laut niaga. Hukum ini merupakan matra dari hukum pengangkutan. Hukum pengangkutan merupakan bagian dari Hukum Dagang termasuk Hukum Privat. b. Publik : menyangkut kepentingan umum Hukum Laut Publik (Kenegaraan) yaitu peraturan-peraturan dan kebiasaankebiasaan baik nasional maupun internasional yang berisikan hak-hak dan kewajiban bagi negara yang berbatasan pada laut tersebut. Seluruh asas dan kaedah yang mengatur tentang kekuasaan laut oleh suatu negara Obyek dari peraturan tersebut adalah laut. Contoh : Wilayah suatu negara yang meliputi: Laut Wilayah, Zona Tambahan dan Zone Ekonom Eksklusif. 4. Perkembangan Hukum Laut Di Indonesia Hukum Laut Nasional telah berkembang pesat akibat dari perkembangan Internasional yang memerlukan adanya ketentuan-ketentuan Hukum Laut yang dapat



menjawab



kebutuhan



keadaan



mendesak



untuk



menjamin



terselenggaranya sejumlah kepentingan nasional. Hukum Publik Internasional dapat menjadi sarananya.



a. Sumber – Sumber Hukum Laut Publik Indonesia 1) Teritoriale Zee en maritime kringen ordonasi 1939 (TZMKO) 6



2) Yurisprodensi dan konvensi dan konvensi internasional 3) Deklarasi juanda 13 Desember 1957 4) PRP No. 4 Tahun 1960 Perairan Indonesia 5) PP No. 8 Tahun 1962 Tentang Lalu Lintas Laut Damai Kendaraan Air Asing Dalam Perairan Indonesia. 6) UU No. 1 Tahun 1973 Tentang Landas Kontinen Indonesia. 7) UU No. 5 Tahun 1983 Tentang ZEE 8) UU No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982 Berdasarkan Teritoriale Zee en maritime kringen ordonasi (TZMKO) 1939 yaitu ordinansi yang dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda mengatur bahwa Laut teratorial Indonesia diukur dari garis pangkal selebar 3 mil mengikuti liku garis pantai. Pemerintah Indonesia padat tanggal 13 Desember 1957 melalui Perdana Menteri Djuanda membuat deklarasi yang merubah batas wilayah Indonesia dari 3 mil menurut TZMKO 1939 menjadi 12 mil yaitu “Laut teritorial Indonesia diukur dari garis pangkal ujung pulau terluar dengan ujung pulau terluar secara garis lurus selebar 12 mil. Dengan Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 tersebut, bagian dari laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high sea) menjadi Laut teritorial Indonesia. Dasar hukum deklarasi Djuanda ini adalah Yurisprodensi atas ‘Putusan Mahkamah Internasional’ tentang sengketa perikanan antara Inggris dan Norway pada tahun 1951, banyak pelaut-pelaut Inggris banyak menangkap ikan di pantai Norwegia, dimana Norwegia pada tahun 1812 menetapkan batas laut teritorial sejauh 4 mil dengan menarik garis lurus dari batu karang dan pulau-pulau yang banyak terdapat di pantai Norwegia. Pengukuran garis pangkal ini didasarkan pada titik pangkal (base point) yaitu suatu titik di pantai pada waktu air surut yang terendah. Deklarasi Djuanda secara internasional belum diakui, untuk menguatkan deklarasi ini maka oleh Pemerintah RI membuat legalitas dalam Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang baru diundangkan dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.



7



b. Sumber Hukum Laut Publik Indonesia 1) Konvensi Geneva 1958 Konperensi ini berlangsung di Geneva dari tanggal 24 Februari 1958 sampai dengan tanggal 27 April 1958 yang dihadiri oleh 86 negara. Menghasilkan empat buah konvensi : a) Konvensi Tentang Laut Teritorial dan Zone Tambahan b) Konvensi Tentang Laut Lepas c) Konvesi Tentang Penangkapan Ikan dan Perlindungan SumberSumber Hayati di Laut Lepas. d) Konvensi Tentang Landas Kontinen Pada konperensi ini belum ada kesepakatan mengenai lebar laut teritorial /wilayah sehingga lebar laut wilayah masih merupakan claim masing-masing negara. Negara amerika sebagian eropa dan australia mengusulkan 3 mil berjumlah 20 negara, ada yang mengusulkan 4 mil ada 3 negara, 6 mil ada12 negara, 12 mil ada 11 negara termasuk Indonesia. 2) UNCLOS ( United Nation Convention on the Law of the Sea ) 1982 Pada sidang kesebelas konperensi yang diselenggarakan oleh PBB yang berlangsung dari tanggal 6 sampai 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica,



dihadiri oleh 119 negara menerima perubahan konvensi



Genewa 1958 yang selanjutnya disebut UNCLOS 1982 ( United Nation Convension The Law Of the Sea 1982) pemberlakuan pada bulan November 1997. Dengan diberlakukan UNCLOS 1982 maka Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia diakui secara Internasional. Indonesia sebelum berlaku UNCLOS 1982 telah meratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 tanggal 31 Desember 1985.



Bagi bangsa dan Negara Republik



Indonesia konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kali asas Negara Kepulauan (Archepilago Country) yang selama 25 tahun 8



secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat Internasional. Hal ini sesuai dengan deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah dan wawasan Nusantara. Indonesia diakui sebagai “Archepilago Country”



yang meliputi Laut



teritorial, Internal waters, Archepilago waters, contiguous zone, Zone Ekonomi Eksklusif. 5. Ketentuan Dalam Konvensi UCLOS 1982 a. Laut Teritorial (wilayah) Adalah laut yang berbatasan dengan Negara pantai yang diukur dari garis pangkal ujung pulau terluar dengan ujung pulau terluar secara garis lurus selebar 12 mil. Batas kedaulatan Negara Pantai pada Laut teritorial dan laut pedalaman adalah kedaulatan MUTLAK dan TERBATAS 1) MUTLAK artinya bahwa Negara berhak untuk melaksanakan kekuasaan hukumnya atas semua pelanggaran dan kejahatan yang terjadi seperti pelanggaran dan kejahatan di wilayah daratan. 2) TERBATAS artinya bahwa Negara pantai wajib memberikan “ hak Lintas Damai “ (Right of Innocent passage) bagi kendaraan asing melalui laut territorial dan laut pedalaman dan bagi kapal-kapal udara yang melintasi batas wilayah udara Negara pantai.



Perairan Pedalaman (Internal waters) Adalah laut diantara pulau negara pantai. LT



12 ‘ Sea bed



ZT



ZEE



12 ‘



176 ‘ Landas Kontinen



Sub soil



Titik pangkal ( Base point ) : pertemuan pantai dengan garis air laut surut.



9



b. Zone Tambahan (Contiguous Zone) Adalah laut yang berbatasan dengan Negara pantai yang diukur dari garis pangkal darimana laut territorial diukur selebar 24 mil. Negara pantai mempunyai kedulatan untuk melaksanakan kekuasaan hukumnya di zona tambahan dalam hal : 1) Pelanggaran imigrasi 2) Pelanggaran bea cukai 3) Pelanggaran fiscal 4) Pelanggaran Peraturan pencegahan pencemaran c. Zone Ekonomi Eksklusif Adalah laut yang berbatasan dengan Negara pantai yang diukur dari garis pangkal darimana laut territorial diukur selebar 200 mil. Negara pantai mempunyai kedaulatan pada Zone Ekonomi Eksklusif dalam hal : 1) Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya hayati dan non hayati dari dasar laut sampai permukaan. 2) Membuat pulau buatan untuk penelitian. 3) Melakukan penelitian ilmiah. 4) Mencegah pencemaran dari kapal. Pulau buatan LT



ZT



ZEE



Pulau buatan hanya ada pada ZEE batas kedaulatannya sampai 500 meter.



d. Right Of Innocent Passage (Hak Lintas Damai)



10



Pengertian lintas/passage bagi kapal asing adalah: 1) Dari laut bebas ke laut bebas melalui laut territorial dan laut pedalaman. 2) Dari laut bebas ke pelabuhan Negara lain atau sebaliknya. Right Of Innocent Passage (hak lintas damai) adalah: Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan kedamaian, ketertiban Negara pantai (pasal 19 UNCLOS ). Lintas kapal asing dianggap tidak damai apabila melakukan : 1) Setiap ancaman / penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan. 2) Setiap latihan dengan senjata. 3) Perbuatan spionase / propaganda. 4) Peluncuran / pendaratan pesawat udara. 5) Bongkar muat komoditi ( melanggar bea cukai, fiscal dan imigrasi ) 6) Pencemaran laut dengan sengaja. 7) Kegiatan riset perikanan. 8) Mengganggu system komunikasi. 9) Setiap kegiatan perikanan. Kewajiban kapal asing dalam Lintas Damai : (pasal 22 UNCLOS ) 1)



Negara pantai mewajibkan kapal asing dalam lintas damai menggunakan alur laut dan Traffic Separation Scheme (TSS).



2)



Berlayar dengan cepat (full away).



3)



Tidak boleh lego jangkar tanpa alasan.



e. Kedaulatan Negara Pantai 1) Laut teritorial/wilayah Kedaulatan negara pantai di laut teritorial dan laut pedalaman adalah kedaulatan mutlak dan terbatas Kedaulatan negara pantai bersifat mutlak adalah bahwa negara berhak untuk melaksanakan kekuasaan hukumnya atas semua pelanggaran dan kejahatan yang terjadi sepertinya pelanggaran dan kejahatan di wilayah daratan. 11



Sedangkan



bersifat



terbatasadalah



bahwa



negara



pantai



wajib



memberikan “Hak Lintas Damai” (right of inocount passage) bagi kendaraan air asing melalui laut teritorial dan laut pedalaman, bagi kapalkapal udara yang melintasi batas wilayah udara negara pantai.



2) Zona Tambahan (Contigenose Zone) Negara pantai mempunyai kedaulatan untuk melaksanakan kekuasaan hukumnya di zona tambahan dalam hal : a) Pelanggaran imigrasi b) Pelanggaran bea cukai c) Pelanggaran fiskal d) Peraturan pencegahan pencemaran 3) Zone Ekonomi Eksklusif Negara pantai mempunyai hak berdaulat dalam : a) Explorasi dan eksploitasi sumber daya hayati dan non hayati b) Dari dasar laut sampai permukaan c) Membuat pulau-pulau buatan untuk penelitian d) melakukan penelitian ilmiah e) Mencegah pencemaran dari kapal f. Yuridiction (Yuridiksi) Adalah kewenangan negara untuk melaksanakan kekuasaan hukumnya dalam batas wilayah negara. Yuridiksi Kriminal adalah kewenangan negara pantai untuk melakukan tindakan penyelidikan, penahanan, penuntutan dan pemberian sanksi serta eksekusi terhadap setiap tindakan kriminal. Sesuai dengan UNCLOS pasal 27 Yuridiksi kriminal negara pantai tidak dapat dilaksanakan diatas kapal asing yang sedang melaksanakan lintas damai di laut teritorial.



12



Namun negara pantai mempunyai kewenangan yuridiksi pada kapal asing yang melaksanakan lintas damai apabila : 1) Akibat kejahatan dirasakan di negara pantai 2) Kejahatan termasuk yang mengganggu kedamaian dan ketertiban laut wilayah 3) Atas permintaan NKD negara bendera kapal 4) Untuk menumpas perdagangan gelap narkoba g. International Strait (Selat Internasional) Selat dimana sebelum diberlakukannya UNCLOS 1982 dijadikan pelayaran Internasional, maka setelah diberlakukan UNCLOS 1982, negara yang berbatasan dengan selat wajib memberikan hak transit bagi kapal-kapal asing walaupun perairannya merupakan yuridiksi negara selat. (pasal 34 UNCLOS) Menurut status hukumnya perairan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional merupakan yuridiksi negara selat, Namun kapal-kapal asing mempunyai hak lintas transit dengan syarat: 1) Lewat dengan cepat 2) Tidak menggunakan kekerasan yang mengancam kedaulatan negara selat 3) Memenuhi peraturan tentang peraturan pencegahan tubrukan (Colreg). Mengikuti prosedur tentang pencegahan pencemaran



13



BAB III PENDAFTARAN KAPAL A. Pengertian Kapal Pengertian kapal menurut Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 309 adalah semua perahu dengan bentuk dan jenis apapun. Apabila tidak diperjanjikan lain kapal termasuk perlengkapannya. Menurut ketentuan ini dengan kapal dianggap termasuk alat perlengkapannya, yaitu segala sesuatu yang tidak merupakan bagian dari kapal dan diperuntukkan pemakaian secara terus menerus seperti jangkar, pedoman, sekoci dan lain-lain. Catatan ini penting, khususnya dalam penjabaran dari berbagai persetujuan menyangkut kapal. Sedangkan pada KUHD pasal 310 yang dimaksud kapal Laut adalah semua kapal yang digunakan untuk pelayaran di laut atau yang diperuntukkan untuk itu. Pada KUHD pasal 311 yang dimaksud Kapal Indonesia adalah kapal yang dimiliki oleh WNI atau badan hukum yang dua pertiga (⅔) sahamnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dalam Undang-undang Nomor



21 Tahun 1992 pasal 1 ayat (5) yang



dimaksud kapal adalah kendaraan air, dengan bentuk dan jenis apapun yang digerakkan oleh tenaga mekanik, tenaga angin atau ditunda termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.



B. Kududukan Hukum Kapal Menurut KUH Perdata pasal 510, Kapal tergolong sebagai “benda bergerak”. Dengan demikian berlakulah ketentuan-ketentuan benda bergerak untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan kapal. Ada Undang–Undang yang menetapkan pengecualian, antara lain tentang penghipotekan, yang menurut KUH Perdata pasal 1162 dibatasi pada benda-benda tidak bergerak dan tidak berlaku untuk benda14



benda bergerak (pasal 1167). KUH Dagang pasal 314 menetapkan bahwa kapal yang telah didaftar dapat diletakkan hipotek. Dalam pasal yang sama ditambahkan bahwa atas kapal tidak dapat diletakkan hak gadai. Terlepas dari hal tersebut diatas, sifat sebagai benda bergerak diatur pada penerapan sejumlah ketentuan KUH Perdata, antara lain dalam pasal : 1.



473 : Penjualan barang bergerak sebagai warisan;



2.



546 : Berakhirnya kebendaan bergerak ( hilang / dicuri )



3.



555 : Kedudukan tubuh benda bergerak dalam proses tuntutan hakim



4.



787 : Perobahan pada hak pakai hasil;



5.



1012 : Pelaksanaan wasiat;



6.



1077 : Penilaian harga taksir;



7.



1095 : Pemasukan benda bergerak pewaris;



8.



1144 : Hak-hak penjual barang bergerak;



9.



1096 : Penitipan barang bergerak.



Kapal wajib mempunyai status hukum



atau kebangsaan kapal. Latar belakang



perlunya kapal mempunyai kebangsaan yaitu: 1.



Tidak ada suatu negara pun didunia mempunyai kekuasaan hukum di laut bebas.



2.



Pelayaran melibatkan berbagai kapal dari berbagai negara dan memasuki wilayah negara lain.



3.



Adanya keterkaitan berapa hak dan kewajiban atau negara dan warganya.



4.



Poin-poin diatas dikuatkan pasal 92 UNCLOS 82 yang bunyinya : ship shall sail under the flag at one state, shall be subject to its extra yuridiction exclusif on high sea.



Kapal hanya boleh berlayar dengan suatu negara berbendera dengan demikian kapal di laut bebas adalah wilayah negara bendera kapal yang diperluas (Flag State Yuridiction).



C. Pendaftaran Kapal (Registration Of Ship) Untuk menghindari suatu kevakuman hukum diatas kapal, maka kapal wajib memiliki kebangsaan. Persyaratan untuk memperoleh kebangsaan, adalah kapal sudah dibukukan dalam Daftar ( Register ) Kapal. Mengingat bahwa ketentuan pasal 15



314 KUH Dagang dimaksudkan untuk Kapal Laut



(pasal 310), maka yang terkena



ketentuan ini adalah Kapal Laut. Sedangkan yang dimaksud dengan Kapal Indonesia adalah



menyangkut



pemilikan



oleh



warga



negara



Indonesia



(pasal



311).



Bahwasanya pendaftaran kapal di Indonesia hanya untuk Indonesia dilatar belakangi persyaratan pendaftaran untuk memperoleh kebangsaan yang dokumennya adalah Surat Laut. Dalam dokumen terdapat kalimat tentang perlindungan Negara kepada pemegangnya. Selain perlindungan tersebut, kapal tunduk pada Indonesia dan berhak mengibarkan bendera Indonesia. Walaupun menurut KUH Dagang pasal 314, pendaftaran “dapat” dibukukan dalam Daftar (Register) Kapal, pada kenyataannya pendaftaran kapal merupakan sesuatu yang wajib, mengingat : 1.



Merupakan prasyarat untuk memperoleh kebangsaan (UU No. 21 Tahun 1992 pasal 50 );



2.



Kewajiban Nahkoda untuk menyimpan Akta Pendaftaran di Kapal (KUH Dagang pasal 347 );



3.



Di kapal harus ada ikhtisar Daftar Kapal ( KUH Dagang pasal 374 );



4.



Sanksi pidana untuk Nahkoda jika tidak mempunyai Akta Pendaftaran ( KUH Pidana pasal 561 ). Daftar ( Register ) Kapal adalah susunan administrasi, buku dan lampiran-



lampiran yang diselenggarakan di kantor-kantor Syahbandar dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Pada Kapal Laut, Kapal Pendalaman dan kantor Syahbandar diselenggarakan : 1.



Daftar Harian



: pencatatan rincian akta-akta;



2.



Daftar Induk



: ringkasan akta-akta.



Sedangkan di kantor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut diselenggarakan Daftar Induk dari tiap pelabuhan untuk menghindari pendaftaran ganda di pelabuhanpelabuhan lain. Segera setelah kapal didaftarkan, maka oleh Ahli Ukur Kapal diselar dengan memuat keterangan tentang tahun, nama tempat pendaftaran dan nomor pendaftaran. Akta pendaftaran diterbitkan setelah Ahli Ukur Kapal menyerahkan pernyataan tentang telah diselarkannya data-data tersebut diatas. Pendaftaran dicoret dalam kapal : 16



1.



Tenggelam atau dirampas bajak laut atau musuh;



2.



Terkena ketentuan pelepasan hak pihak Tertanggung (KUH Dagang pasal 667 );



3.



Kehilangan kebangsaan Indonesia.



Kapal asing yang sedang dibangun di galangan Indonesia dapat di daftarkan sementara yang berakhir saat kapal digunakan. Yang menjadi dasar hukum pendaftaran kapal yaitu : 1.



International Convention in Condition of Registration of Ship 1986



2.



Hukum nasional negara masing-masing, di Indonesia mengacu pada KUHD pasal 314 dan pasal 46 UU Nomor: 21 tahun 1992



Perbedaan dasar hukum pendaftaran kapal tersebut adalah KUHD / UU NO 21 /



KOVENSI PENDAFTARAN KAPAL



SISTEM



92 a. Sistem Tertutup



1986 a. Sistem Tertutup & Terbuka



Yang berhak



b. Desentralisasi a. Pemilik



b. Sentralisasi & Desentralisasi a. Pemilik



mendaftarka n



b. Pencharter dalam bareboat charter



Jenis pendaftaran kapal ada 2 sistim yaitu sistim tertutup (closed system) dan sistim terbuka (open system). Sistim tertutup (closed system) adalah sistim pendaftaran kapal yang dianut oleh suatu negara dimana kapal yang didaftarkan di negaranya. Hanya kapal-kapal yang dimiliki oleh warga negaranya dan atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum negaranya dan berkedudukan di negaranya. Bukti bahwa Indonesia menganut sistim tertutup terdapat dalam pasal 314 KUHD dan pasal 46 UU pasal 21/92 sebagai berikut : Pasal 314 KUHD yang berbunyi : 1.



Kapal Indonesia yang mempunyai isi kotor lebih besar atau sama dengan 20 M3 dapat di daftarkan dalam daftar kapal yang disediakan.



17



2.



Kapal terdaftar disamakan dengan benda tak bergerak dan dapat dibeban hipotik. Pasal 46 UU Nomor 21 tahun 1992 berbunyi:



a.



Kapal setelah diukur dapat didaftarkan



b.



Kapal yang dapat didaftarkan di Indonesia adalah kapal yang mempunyai isi kotor lebih besar atau sama dengan 20 M3 atau yang setara dimiliki oleh WNI atau badan hukum yang diberikan berdasarkan bahwa Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sedangkan yang dimaksud sistim terbuka adalah sistim pendaftaran kapal yang



dianut oleh suatu negara diamana kapal yang didaftarkan di negaranya tidak wajib dimiliki oleh warga negaranya atau badan hukum yang didirikan berdasarrkan hukum negaranya dan tidak harus berkedudukan di negaranya (Flag Convinience). Pendaftaran kapal yang dilaksanakan pada hanya satu pelabuhan pendaftaran saja dalam



suatu



negara



disebut



sentralisasi.



Sedangkan



desentralisasi



yaitu



pelaksanaan pendaftaran kapal dilaksanakan pada lebih dari satu pelabuhan pendaftaran dalam satu negara, untuk di Indonesia menganut sistim desentralisasi, contoh di pelabuhan Jakarta, Semarang Surabaya dan lain-lain. Pada pasal 94 UNCLOS’ 82 Memberikan kewajiban sebagai konsekuensi kepada negara kapal sebagai berikut : 1.



Flag state wajib mengawasi masalah sosial diatas kapalnya > (ILO 147)



2.



Flag state wajib menjaga keaslian kapal sesuai dengan kondisi pada saat kapal tidak didaftarkan



3.



Flag state wajib melakukan tindakan agar kapal dalam keadaan safety at sea dalam : konstruksi, perlengkapan dan kelaikan kapal juga pelaksanaan pendidikan pada awak kapal sesuai STCW 78/95



4.



melakukan tindakan agar nahkoda dan ABK lainnya



memahami aturan



“SOLAS” , COLREG” dan Marpol serta penanggulangan pada pencemaran. Perbedaan persyaratan yang harus dilengkapi dalam pendaftaran kapal : KONVENSI PENDAFTARAN



KETENTUAN INDONESIA



KAPAL 86 a. Proof of owner ship



a. Bukti pemilikan atas kapal.



18



1)



Building contract



2)



Bill of sale



3)



Cert of delivery



4)



Bareboat charter (Dispenentstate by owner does not objek



Kapal baru beli dalam negeri 1) Kontrak bangun dari golongan 2) Bukti pelunasan pembayaran 3) Bukti penyerahan diri golongan



Kapal bekas



Kapal bekas



1) Purchase contract



1) Kontrak jual beli



2) Bill of sale



2) Bukti pelunasan



3) Certificate of delivery



3) Bukti penyerahan



4) Certificate of deregistration



4) Sertifikat deletation dari



Issued by former state



b. Statement by owner guarante for nationality + statement by



negara asal



b. Surat pernyataan kebangsaan kapal Indonesia



owner that the ship is not register abroad c. Safety certificate + tonnage measurement certificate



c. Surat ukur kapal sertifikat Solas, Marpol & load lines



Surat kebangsaan atau Surat Laut tidak berlaku bila : 1.



Kapal didaftarkan di luar negeri



2.



Kapal tidak cocok lagi dengan nama pemiliknya (ganti Pemilik)



3.



Kapal hilang kapal dibajak



4.



Kapal kontruksi berubah



5.



Atas putusan pengadilan



6.



Kapal ganti nama



Prosedur Pendaftaran Kapal



19



1.



Pemilik dengan membawa dokumen dan certificate kapal datang ke port of registration yang ia kehendaki.



2.



Kapal ditaksir ulang (Valuation) nilainya a.



Untuk perhitungan bea matrix dan bea balik nama



b.



Ditetapkan nilainya dan dikeluarkan surat keterangan untuk membayar dan membayar ke kantor bendahara negara dengan bukti pembayaran.



3.



Pemilik ke kantor Syahbandar dengan pegawai pendaftaran akan mencatat dalam buku registrasi kapal selanjutnya dikeluarkan GROSS AKTE (Certificate of registration) dan di kapal dipasang “ TANDA SELAR”.



Dari hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendaftaran merupakan perbuatan hukum publik dan perdata. Perbuatan Hukum Publik Pendaftaran kapal merupakan perbuatan hukum publik maksudnya merupakan status kapal dari stateless menjadi wilayah negara bendera kapal yang diperluas (pasal 92 Unclos 82). Perbuatan Hukum Perdata Pendaftaran kapal merupakan perbuatan hukum perdata maksudnya merupakan hukum status kapal dari benda bergerak menjadi menjadi benda tak bergerak dan perubahan dari hak gadai menjadi hak hipotik.



20



BAB IV PERUSAHAAN PELAYARAN A. Struktur Organisasi ORGANISASI KAPAL



NAHKODA



MUALIM I / CH. OFF



KKM / CHIEF ENG



CH. STEWARD



MUALIM II



MASINIS I



CH. COOK



MUALIM III



MASINIS II



PELAYAN



MUALIM IV



MASINIS III



LAUNDRY



CADET



ELECTRICIAN



BOSUN / SERANG



CADET



CARPENTER



MANDOR/ FOREMAN



MISTRY



FITTER



JURUMUDI / AB



JURU MINYAK



KELASI



WIPER



Organisasi kapal untuk tiap –tiap perusahaan kadang tidak sama. Tetapi bagan diatas dapat dijadikan pedoman organisasi di atas kapal pada umumnya.



B. Tugas Dari Awak Kapal 1. Bagian Deck (Deck Departement) 21



a. Nahkoda Menurut ps. 341 KUHD : nahkoda memimpin kapal, kepadanya diberikan kekuasaan umum atas semua orang yang berada di kapal ( pelayar ). Pelayar harus mentaati perintah



yang diberikan



demi



keselamatan serta tegaknya ketertiban. Sedangkan kekuasaan terhadap awak kapal lebih besar kekuasaan disipliner. Dengan kekuasaannya nahkoda dapat menjatuhkan hukuman / sanksi terhadap pelanggar. b. Mualim I 1) Kepala



dinas



deck dan pembantu Nahkoda, dalam hal mengatur



pelayanan di kapal jika di kapal tidak ada Ch. Steward. 2) Membantu Nahkoda



menjaga ketertiban, disiplin



dan mentaati



peraturan – peraturan dinas. 3) Mengatur mengenai dinas umum dan tugas pelayanan. 4) Tugas jaga navigasi kapal. 5) Pemuatan dan pembongkaran muatan. 6) Menyelenggarakan tugas administrasi berhubungan dengan muatan, hewan dan penumpang. 7) Penyerahan dokumen-dokumen kepada keagenan. 8) Kebersihan dan pemeliharaan kapal. 9) Pemeliharaan



alat-alat muat bongkar, kecuali



winches ,peralatan



jangkar, tangki-tangki air, akomodasi, dunnage dan lashing. c. Mualim II 1) Tugas jaga navigasi. 2) Membantu Nahkoda dalam hal navigasi. 3) Bertanggung jawab terhadap peralatan Navigasi dan perawatannya. 4) Mengoreksi peta dan buku-buku navigasi , menarik garis haluan / route 5) Tugas tambahan bertanggung jawab terhadap peralatan GMDSS. 6) Membuat voyage report. 7) Membuat permintaan dan menyimpan barang-barang store stationeri. 8) Menerima, menyimpan dan penyerahan benda – benda pos dan administrasinya.



22



9) Sebagai perwira kesehatan, menyimpan obat-obatan bila di atas kapal tidak ada tenaga medis. 10)Membantu mualim I dalam pelaksanaan bongkar muat muatan.



d. Mualim III 1) Tugas jaga navigasi. 2) Menjaga dan memelihara



alat-alat pemadam kebakaran, alat-alat



keselamatan, dan bendera. 3) Membuat permintaan mengenai alat-alat keselamatan dan pemadam kebakaran. 4) Merawat lampu navigasi ( listrik / minyak tanah ). 5) Membuat roll kebakaran dan roll sekoci. 6) Membantu mualim I dalam pelaksanaan bongkar muat muatan. e. Mualim IV 1) Tugas jaga navigasi. 2) Membantu mualim I dalam pelaksanaan bongkar muat muatan. 3) Membantu mualim III merawat alat-alat keselamatan. 4) Membantu Nahkoda di anjungan. f. Serang / Bosun Sebagai kepala kerja dan mengatur pelaksanaan kerja di bagian deck, menerima perintah kerja dari Mualim I. g. Juru mudi / AB Tugas jaga baik di laut atau di pelabuhan. 2. Bagian Mesin (Engine Departement) a. Kepala Kamar Mesin



23



Bertanggung jawab



terhadap



kelancaran



pengoperasian



semua



peralatan permesinan dan penunjangnya yang ada di kamar mesin dan juga yang ada di deck, termasuk perbaikan dan perawatannya. Sebagai atasan dari semua awak kapal bagian mesin. b. Masinis II Bertanggung jawab



terhadap



pengaturan routine



kerja



harian dan



kebersihan di kamar mesin. Bertugas jaga pada jam 04.00 – 08.00 / 16.00 – 20.00. Bertanggung jawab terhadap perawatan mesin induk. Menggantikan KKM bila berhalangan. c. Masinis III Bertugas jaga pada jam 00.00 – 04.00 / 12.00 – 16.00. Bertanggung jawab terhadap perawatan mesin bantu di dalam kamar mesin. Menerima tugas kerja dari Masinis II. d. Masinis IV Bertugas jaga pada jam 08.00 – 12.00 / 20.00 – 24.00. Bertanggung jawab terhadap perawatan pesawat bantu di deck, mesin sekoci, ketel uap, Oil Water Separator dan mesin kemudi Mengawasi spare part. Bertanggung jawab terhadap tangki bahan bakar, pemakaiannya



dan



bunkering. e. Masinis V Menerima tugas dari Masinis II, membantu Masinis III merawat pesawat bantu di dalam kamar mesin, mengawasi buku jaga



kamar



mesin. f. Mandor / Foreman / No. 1 Oiler Sebagai kepala kerja dan mengatur pelaksanaan kerja di bagian mesin yang menerima perintah dari Masinis II. 24



g. Juru minyak Melaksanakan tugas jaga, membantu mandor.



BAB V NAKHODA



Menurut pasal. 341 KUHD : Nahkoda memimpin kapal, kepadanya diberikan kekuasaan umum atas semua orang yang berada di kapal ( pelayar ). Pelayar harus mentaati perintah yang diberikan demi keselamatan serta tegaknya ketertiban. Sedangkan kekuasaan terhadap awak kapal lebih besar kekuasaan disipliner. Dengan kekuasaannya nahkoda dapat menjatuhkan hukuman / sanksi terhadap pelanggar. Fungsi Nahkoda



1. Nahkoda sebagai Pemimpin Kapal (ps. 341 KUHD) Memimpin



dalam arti



mengelola, melayarkan, dan mengarahkan



kapal. Diatas kapal nahkoda adalah pemimpin tertinggi sehingga



jika



direktur perusahaan kapal berada diatas kapal maka ia harus tunduk atas putusan nahkoda dalam hal pengelolaan kapal. 2. Nahkoda sebagai Pemegang Kewibawaan (ps. 384,385.386 KUHD) Memberikan kekuasaan kepada Nahkoda untuk menertibkan kapal. ABK harus taat dan patuh kepada Nahkoda, tidak ada alasan apapun yang memberikan hak kepada ABK



untuk menentang Nahkoda karena setiap



25



penentangan merupakan pelanggaran hukum. Tetapi setiap perintah yang tidak pantas bisa diadukan kepada yang berwajib. 3. Nahkoda sebagai Abdi Hukum (ps. 387,388,390,391,394a , KUHD) Dalam hal ini Nahkoda bertindak sebagai jaksa/pembantu jaksa dan polisi / pembantu polisi, sehingga



Nahkoda dalam menaggulangi suatu



perkara boleh menahan seseorang



untuk pengamanan dan pemrosesan



perkaranya untuk dituangkan dalam berita acara yang kemudian diserahkan kepada kejaksaan / kepolisian di pelabuhan berikut. Dalam memroses / perkara Nahkoda sedapat-dapatnya mengajak berunding 2 perwira kapal, maencari bukti-bukti dan saksi-saksi. Kemudian menulis



semua keterangan dalam buku harian kapal dan buku register



hukuman yang kemudian salinannya dilampirkan dalam berita acara yang diserahkan kepada kejaksaan / kepolisian. Demi untuk keamanan nahkoda boleh menahan / mengurung ABK yang mengalami pelanggaran sampai maksimum 3 hari sebagai hukuman disiplin. 4. Nahkoda sebagai Pegawai Pencatatan Sipil Kejadian yang dicatat yang menyangkut catatan sipil : kelahiran, kematian, perkawinan. Dilihat dari kejadian dan peraturan pelaksanaannya hanya kelahiran dan kematian yang mungkin terjadi diatas kapal, sedang perkawinan memerlukan persyaratan-persyaratan dan tidak darurat



sehingga jarang



dilaksanakan. Dalam kelahiran dan kematian nahkoda diharuskan bertindak sebagai petugas catatan sipil dengan mencatat semua kejadian di dalam buku harian kapal dengan disaksikan 2 orang saksi. Dalam mencatat kematian tidak boleh menyebutkan sebab-sebab kematian, karena kepastian penyebab kematian diberikan oleh orang yang berwenang/ akhli otopsi. Nahkoda menyerahkan surat keterangan / berita acara



yang diserahkan ke catatan sipil



atau konsulat



di pelabuhan



berikutnya, kemudian baru dibuatkan akte kelahiran atau akte kematian. 26



5. Nahkoda sebagai Notaris (ps. 947,937 KUH Perdata) Notaris secara umum adalah seorang saksi yang mengetahui seluk beluk persoalan yang disaksikannya dan diakui pemerintah. Surat-surat yang dibuat notaris : a. surat warisan b. surat jual beli c. surat perjanjian Bilamana diminta nahkoda bisa bertindak sebagai notaris dalam pembuatan surat warisan , dimana si pewaris tidak memungkinkan menemui pejabat yang berwenang.surat warisan tersebut ditanda tangani oleh si pewaris, nahkoda dan saksi. kecuali



Surat warisan hanya berlaku sampai 6 bulan semenjak akhir pelayaran, sesudahnya disimpan oleh notaris setelah terlebih dulu membuat akte



penyimpanan (ps.932, 952 KUH Perdata)



6. Nahkoda sebagai wakil Perusahaan Pelayaran / Pengusaha Kapal Nahkoda dapat mewakili pengusaha kapal dalam hal :



a.



penanda tanganan PKL (ps. 397 KUHD)



b.



pengaturan tugas ABK



c.



muatan



d.



penanda tanganan B/L



e.



pemungutan uang tambang atau upah-upah lain



f.



memperlengkapi kapalnya untuk pelayaran



g.



sebagai tergugat atau penggugat untuk perusahaan dalam proses pengadilan



h.



peminjaman uang dengan menggadaikan kapalnya untuk meneruskan pelayaran



i.



mempekerjakan penumpang gelap (ps. 371 a KUHD)



j.



pembatalan sahnya surat-surat atau sertifikat untuk mengajukan peninjauan kembali



7. Nahkoda sebagai wakil Pemilik Muatan Jika terjadi :



a.



Kapal disita atau ditahan, nahkoda mengambil tindakan sebagai wakil pemilik barang untuk menanggulanginya ( ps. 369 KUHD ) 27



b.



Memerlukan biaya untuk muatan, nahkoda boleh menjual muatannya. ( ps. 371 KUHD )



1. Kewajiban Nahkoda 1. Melakukan tugas dengan kecakapan pelaut yang baik. ( ps. 342 KUHD ) 2. Mentaati peraturan-peraturan laik laut, perlengkapan dan pengawaan. ( ps. 343 KUHD ) 3. Pemakaian pandu. ( ps. 344 KUHD ) 4. Larangan



meninggalkan kapal bila dalam keadaan bahaya. ( ps. 345



KUHD ) 5. Perawatan barang milik pelayar yang meninggal. ( ps. 346 KUHD ) 6. Penyelenggaraan buku harian kapal. ( ps. 347 KUHD ) 7. Penyelenggaraan buku register hukuman. ( ps. 352 a KUHD ) 8. Pembuatan kisah kapal / sea protest. ( ps. 353 KUHD ) 9. Pemberian pertolongan kepada orang-orang dalam bahaya. (ps.358a KUHD) 10. Membawa pelaut-pelaut indonesia dari luar negeri. ( ps. 358 b KUHD ) 11. Menyusun awak



kapal dan menyelenggarakan pembongkaran dan



pemuatan. ( ps. 359 KUHD ) 12. Mentaati perintah dari pengusaha kapal selama tidak bertentangan dengan UU . ( ps. 364 KUHD ) 13. Tidak boleh menyimpang dari haluannya , kecuali untuk pertolongan jiwa manusia. ( ps. 370 KUHD ) 14. Menjaga kepentingan pemilik muatan. ( ps. 371 KUHD )



2. Wewenang Nahkoda Nakhoda mendapat wewenang



dari undang-undang dan peraturan-



peraturan untuk mendukung tugas – tugasnya , antara lain : 1. Memakai bahan makanan penumpang atau muatan untuk permakanan pelayar dalam keadaan darurat. ( ps. 357 KUHD ) 2. Melakukan apa saja dengan kapal , kalau perlu menjual bagian – bagian kapal untuk melengkapinya guna meneruskan pelayaran. ( ps. 360 , 362 KUHD )



28



3. Untuk memperoleh dana guna kepentingan pelayarannya, nahkoda dapat menggadaikan kapal atau muatannya. a.



BOTTOMRY yaitu penggadaian kapal , bila kapal tenggelam dalam maka hutang dianggap habis.



b.



REPONDENTIRE yaitu bila yang digadaikan muatannya. ( ps. 365 KUHD )



4. Menjadi penggugat atau tergugat atas nama perusahaan pelayaran dalam proses pengadilan. ( ps. 361, 369 KUHD ) 5. Membelokkan / menyimpangkan haluannya untuk menyelamatkan jiwa. (ps. 370 KUHD) 6. Mempekerjakan atau mengeluarkan penumpang gelap. ( ps. 371 KUHD ) 7. Untuk melaksanakan tata tertib di kapal terhadap para pelayar, dan menjatuhkan hukuman dan sanksi sesuai dengan undang-undang. ( ps. 357,386,388,390,391,394,414 KUHD ) 8. Mempekerjakan ABK yang belum disijilkan, asalkan disijilkan pada pelabuhan berikutnya. ( ps. 383 KUHD ) 9. Mewakili perusahaan pelayaran dalam membuat perjanjian dengan ABK atau buruh. ( ps. 397 KUHD ) 10. Mewakili perusahaan menandatangani



konosemen



( B/L ).



( ps. 505



KUHD ) 11. Mengangkut muatan melewati pelabuhan tujuan



muatan dengan alasan-



alasan tertentu. ( ps. 517 i KUHD ) 12. Mengeluarkan karcis untuk penumpang yang telah memenuhi syarat. ( ps. 530 KUHD )



3. Hukuman Atau Sanksi Jenis hukuman disipliner atau sanksi yang bisa dijatuhkan oleh nahkoda : 1. Menahan atau mengurung paling lama 3 hari. 2. Menjatuhkan denda berupa pemotongan gaji, paling banyak 10 hari gaji ( hari kerja ), tetapi tidak boleh melebihi 1/3 dai upah dalam satu pelayaran. 3. Dipecat / sign off. Prosedur pemeriksaan adalah dihadiri oleh 2 orang perwira dan saksi. ( pasal. 390 KUHD ) 29



Penjatuhan hukuman dilaksanakan paling cepat 12 jam dan paling lambat 7 hari setelah kejadian untuk menjamin obyektivitas dari hukuman. Dan dicatat dalam buku register hukuman. Awak kapal dapat naik banding kepada pengadilan negeri yang diajukan dalam waktu 90 hari. Denda tidak boleh untuk kepentingan kapal , nahkoda atau pemilik kapal , tetapi digunakan untuk dana-dana sosial pelaut, janda pelaut atau anak yatim pelaut , dapat juga digunakan untuk ABK secara menyeluruh.



Pelanggaran-pelanggaran yang boleh dijatuhi hukuman ( ps. 387 KUHD ) 1. Meninggalkan kapal tanpa ijin. 2. Kembali ke kapal telambat. 3. Menolak melakukan pekerjaan. 4. Bekerja tidak baik. 5. Melakukan perbuatan tidak senonoh. 6. Mengganggu ketertiban. Sedangkan pada Undang-undang nomor 21 tahun 1992 pasal 63 menyebutkan : Nakhoda berwenang mengenakan tindakan disiplin atas pelanggaran yang dilakukan setiap anak buah kapal yang :



1. Meninggalkan kapal tanpa izin nakhoda; 2. Tidak kembali ke kapal pada waktunya; 3. Menolak perintah penutupan; 4. Tidak melaksanakan tugas dengan baik; 5. Berperilaku tidak tertib; 6. Berperilaku tidak layak terhadap seseorang.



4. Pengganti Nahkoda Jika nahkoda berhalangan atau tidak mampu memimpin kapal karena sesuatu hal, maka boleh diganti oleh mualim yang berwenang



berurutan



menurut tingkatannya ( mualim I ), mualim berwenang artinya yaitu mualim yang berijazah. ( ps. 341 d KUHD ). Pada Undang-undang nomor 21 tahun 1992 pasal 59 menyebutkan :



30



1. Dalam hal nakhoda yang bertugas di kapal yang sedang berlayar untuk sementara atau untuk seterusnya tidak mampu melaksanakan tugas, maka mualim I menggantikannya dan pada pelabuhan berikut yang disinggahinya diadakan penggantinya. 2. Apabila mualim I, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mampu menggantikan nakhoda, maka mualim lainnya yang tertinggi dalam jabatan sesuai dengan sijil dapat menggantikan, dan pada pelabuhan berikut yang disinggahinya diadakan penggantian nakhoda. 3. Dalam hal penggantian nakhoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) disebabkan halangan



sementara maka



penggantian tidak



mengalihkan kewenangan dan tanggung jawag nakhoda kepada pengganti sementara. 4. Apabila seluruh mualim dalam kapal berhalangan menggantikan nakhoda kapal maka pengganti ditunjuk oleh dewan kapal. 5. Dalam hal penggantian nakhoda disebabkan halangan tetap maka nakhoda pengganti sementara mempunyai kewenangan dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (3).



31



BAB VI PERJANJIAN KERJA LAUT Perjanjian kerja laut adalah suatu perjanjian atau persetujuan antara seseorang dengan



majikan



dan



dengan



perjanjian itu



seseorang tadi mengikatkan diri



kepada majikan untuk bekerja menurut ketentuan yang berlaku. (ps.395 KUHD).



1.



Syarat – Syarat PKL 1. Dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. 2. Ditanda tangani oleh syahbandar ( pejabat pemerintah ). 3. Dibiayai oleh pemerintah. Untuk



ABK



penanda tanganan



dilakukan



di depan



syahbandar



dan



dibacakan tentang perjanjiannya pasal demi pasal , sedang Perwira tidak perlu dibuat



didepan



syahbandar



karena sudah dianggap



mengetahui



tentang



peraturan dan undang-undangnya. 2.



Jenis – Jenis PKL



32



1. Berdasarkan waktu atau periode : a. PKL Trip yaitu PKL yang berdasarkan pelayarannya dari pelabuhan stu ke pelabuhan



lain, biasanya



disebutkan pula



ketentuan



kapal



dan



trayeknya. b. PKL Periode yaitu PKL menurut waktu tertentu. c. PKL Tak tertentu yaitu PKL yang tidak ditetapkan masa berlakunya dan berakhir sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak. 2. Berdasarkan sudut perbedaan dalam Undang – Undang: a. PKL untuk Nahkoda. b. PKL untuk Anak Buah Kapal. Perbedaan dalam undang – undang yaitu yang menyangkut alasan – alasan yang sah ketika terjadi Pemutusan hubungan Kerja. 3. Berdasarkan pihak yang mengikatkan diri: a. PKL Pribadi yaitu PKL antara seseorang dengan majikan b. PKL Kolektif yaitu PKL antara gabungan pelaut ( organisasi Union ) dengan gabungan majikan / pengusaha. 3.



Isi PKL Meliputi : ( ps. 400 & 401 KUHD ) 1. Nama Pelaut 2. Umur atau tanggal lahir 3. Jabatan diatas kapal 4. Tempat dan tanggal perjanjian di buat 5. Nama kapal dimana pelaut akan bekerja 6. Periode atau waktu atau trip 7. Gaji pelaut dan jaminan – jaminan lainnya 8. Pernyataan



apakah



pelaut juga



mengikatkan diri dengan tugas lainnya



selain tugas utamanya 9. Nama Syahbandar yang ikut mrnanda tangani 10. Tanggal saat perjanjian mulai berlaku 11. Pernyataan mengenai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam penentuan hak dan kewajiban, juga mengenai pemutusan hubungan kerja. 12. Tanda tangan Pelaut, Majiakan dan Syahbandar 33



13. Tanggal ditanda tangani dan disyahkan PKL tersebut Apabila tidak ada keterangan



tentang berlakunya maka PKL mulai berlaku



sejak tanggal penandatanganan. 4.



Akhir PKL PKL berakhir dapat terjadi karena berbagai alasan : 1. Alasan wajar / biasa ( ps. 1603 KUH Perdata ) a. Masa PKL telah berakhir, PKL bisa diperpanjang. b. Pelaut meninggal dunia c. Persetujuan kedua belah pihak d. Perjanjian tidak sah e. Salah satu pihak tidak setuju selama masa percobaan f. Perusahaan di likuidasi



2. Alasan mendesak untuk majikan( ps. 1603 KUH Perdata& ps. 418 KUHD ) a. ABK menganiaya Nahkoda atau pelayar lainnya b. Pelaut terlambat datang atau tidak datang ke kapal tanpa ijin Nahkoda c. Menyelundupkan



barang



tanpa



sepengetahuan



Nahkoda



atau



pengusaha d. Memberikan keterangan palsu sehubungan dengan PKLnya e. Kurang cakap f. Suka mabuk minuman, madat, bertingkah laku tidak senonoh walaupun sudah diperingatkan g. Melakukan pencurian, penggelapan dan kejahatan h. Dengan sengaja melakukan perusakan barang milik majikan i. Berkeras menolak perintah j. Melalaikan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya Khusus terhadap Nahkoda di tambah : a. Menganiaya, mengancam, atau membujuk pelayar untuk



melakukan



perbuatan yang melanggar undang-undang dan susila b. Menolak perintah majikan yang masih dalam lingkup tugasnya



34



c. Dicabut



wewenangnya sebagai Nahkoda



baik sementara atau



selamanya d. Membawa atau mengijinkan barang selundupan tanpa pengetahuan majikan 3. Alasan mendesak untuk Pelaut ( ps. 1603 KUH Perdata & ps. 419 KUHD ) a. Majikan



menganiaya, menghina atau mengancam



pelaut



atau



keluarganya b. Membujuk



untuk melakukan



perbuatan



melanggar



hukum dan



kesusilaan c. Tidak membayar upah d. Tidak memberikan pekerjaan yang cukup jika upah tergantung atas pekerjaannya itu e. Majikan terlalu melalaikan kewajibannya seperti dalam perjanjiannya f. Tidak memberikan makan / akomodasi sesuai dengan perjanjian g. Memerintahkan pelaut



bekerja



pada



perusahaan lain dan pelaut



menolak dimana tidak tercantum dalam perjanjian h. Memerintah



hal – hal yang bertentangan dengan



PKL atau



kewajibannya yang telah ditentukan oleh undang – undang i. Memerintah berlayar



ke daerah perang , daerah



musuh dan



tidak



tercantum dalam PKL j. Menyuruh memakai kapalnya untuk perdagangan budak, pembajakan, pelayaran yang terlarang, dan mengangkut barang terlarang k. Menyediakan



tempat tinggal



di kapal tidak memenuhi persyaratan



kesehatan l. Makanan tidak memenuhi gizi



yang memadai



atau



tidak baik



keadaannya m. Memerintah melakukan pelayaran di luar atau lebih dari yang tercantum di perjanjian 4. Alasan Penting ( ps. 1603 KUH Perdata & ps. 420 KUHD ) Dengan



keputusan



oleh pengadilan atas pengaduan



oleh salah satu



pihak , di mana setelah penandatanganan PKL :



35



a. Ada perubahan – perubahan keadaan pribadi atau kekayaan dimana perubahan tersebut sedemikian sifatnya sehingga sudah sepantasnya bila perjanjian berakhir. b. Meneruskan



hubungan



akan



menimbulkan



hal







hal



yang



membahayakan jiwa si pengadu. c. Semua alasan alasn yang mendesak 5. Alasan lain ( ps. 1267 KUH Perdata ) a. Dengan ganti rugi atau ganti biaya plus bunga. b. Pelaut mendapat pekerjaan lain yang lebih tinggi gaji atau jaminannya , asal pelaut dapat mencarikan penggantinya, akan tetapi PKL tersebut jangka waktunya kurang dari satu tahun. 5.



Surat Berhenti Pada



tiap



keterangan



akhir PKL berhenti



pengusaha / majikan



wajib



memberikan



surat



bila dikehendaki oleh pelaut, pada surat keterangan



dicantumkan keterangan mengenai : 1. Macam / jenis pekerjaan yang telah dilakukan pelaut 2. Lama bekerja 3. Bukti diri pelaut 4. Konduite 5. Alasan PHK 6. Tanggal dan tanda tangan 6.



Kewajiban Anak Buah Kapal 1. Mematuhi perintah Nahkoda , juga orang lain yang bertindak atas nama atau untuk Nahkoda,



apabila Nahkoda memberikan perintah



di luar batas



kewenangannya, ABK mempunyai Hak untuk menuntut atau mengadukan ke yang berwenang. 2. Minta ijin setiap kali meninggalkan kapal 3. Minta ijin Nahkoda atau penggantinya untuk mempunyai, menyimpan atau menggunakan barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan wajar , ex : minuman keras, senjata 36



4. Melakukan tugas tambahan bila dianggap perlu 5. Melakukan tugas denga penuh dedikasi 6. Bersedia untuk cadangan TNI – AL atau wajib militer 7. Bertindak dan bertingkah laku sopan dan baik sesuai dengan tugas, jabatan dan ketentuan perusahaan 8. Mempelajari situasi keadaan kapal sehubungan dengan alat-alat keselamatan 7.



Hak Anak Buah Kapal Pada umumnya hak antara Nahkoda, perwira maupun bawahan adalah sama walaupun ada perbedaan yang tidak begitu berarti. Hak-hak awak kapal dapat dibagi menjadi : 1.



Hak Atas Upah Upah yang menjadi haknya adalah yang sesuai dengan yang tercantum di PKL ( perjanjian kedua belah pihak ) selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Upah yang dimaksud di PKL tidak termasuk tunjangan atau lembur atau premi. Upah dibayarkan semenjak dia mulai bekerja dan sampai berakhirnya hubungan kerja. ABK juga berhak atas upah walaupun belum bekerja bila awak kapal telah menyediakan diri untuk bekerja akan tetapi belum diperkerjakan oleh majikan. a. Pemotongan Upah Pemotongan upah yang sah menurut hukum : 1) Alasan umum a)



Ganti rugi yang harus dibayar oleh awak kapal



b)



Denda yang harus dibayar kepada majikan



c)



Iuran untuk dana



d)



Sewa rumah / ruangan diluar kepentingan dinas



e)



Harga pembelian barang-barang yang dipergunakan oleh awak kapal diluar kepentingan dinas



f)



Persekot atas upah yang telah diterima



g)



Kelebihan upah yang lalu



h)



Biaya pengobatan yang harus dibayar oleh awak kapal 37



i)



Upah yang dikirim ke istri atau keluarga maksimum 2/3 dari upah



2) Alasan lain a) Denda oleh



Nahkoda sesuai dengan



undang-undang dan



peraturan b) Pengurangan upah karena sakit yang membuat awak kapal tidak dapat bekerja c) Ikatan kerja terputus karena alasan-alasan yang sah b. Penambahan Upah Upah dapat bertambah bila : 1) Bekerja pada hari libur 2) Pembayaran kerja lembur 3) Pembayaran untuk waktu tambahan pelayaran 4) Pembayaran kerja khusus / istimewa, ex : muat muatan berbahaya, menunda, berlayar ke daerah perang / musuh 5) mengemban tugas yang lebih tinggi yang bersifat Insidental 6) kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah 7) Kelambatan pembayaran upah dari waktu yang ditentukan jika akibat dari kelalaian perusahaan 8) Tidak diberikan makan atau makanan yang diberikan berkurang dari Hak awak kapal 2.



Hak Atas Tempat Tinggal dan Makan Awak kapal



berhak atas tempat tinggal



yang baik



dan layak



sesuai



peraturan, dan awak kapal juga berhak atas makanan yang pantas. Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan pelanggaran hukum dan juga dapat memaksa pengusaha membayar ganti rugi kepada awak kapal. 3.



Hak Atas Cuti Yang dimaksud cuti adalah cuti dengan upah penuh. a. Untuk Nahkoda mempunyai hak cuti selama 14 hari atau 2 x 6 hari kerja bila telah bekerja selama satu tahun terus menerus. Hak cuti 38



gugur bila diajukan sebelum satu tahun bekerjanya berakhir. Tidak berlaku bagi PKL yang menurut Pelayaran. b. Untuk ABK mempunyai hak cuti 7 hari kerja atau 2 x 5 hari tergantung dari perusahaan, bila telah bekerja satu tahun terus menerus. 4.



Hak Awak Kapal Waktu Sakit Atau Kecelakaan Hak ini juga berlaku buat Nahkoda. Dibedakan ke dalam berbagai jenis : a. Sakit biasa ( ps. 416 KUHD ) Awak kapal yang telah bekerja pada perusahaan selama 1 ½ tahun dan menderita sakit sewaktu bertugas di kapal berhak : 1) Pengobatan sampai sembuh Pengobatan bila diturunkan dari kapal paling lama 52 minggu, dan bila berada di kapal hak pengobatan sampai sembuh. 2) Upah penuh selama berada diatas kapal atau selama PKL belum berakhir, jika diturunkan dari kapal untuk pengobatan berhak atas upah sebanyak 80% dari upah penuhnya sampai sembuh tetapi tidak lebih dari 26 minggu. 3) Pengangkutan Cuma-Cuma ke Rumah Sakit atau ke tempat dimana dirawat atau ke tempat penandatangana PKL beserta penginapan dan makannya. Jika pelaut sakit atau kecelakaan bukan sedang tugas di kapal, dia hanya berhak atas 80% dari upah selama sakit akan tetapi tidak boleh lebih dari 26 minggu. dalam jaminan



Ketentuan



tersebut



asuransi Anak Buah Kapal, jadi



sudah tercakup tidak boleh ada



tuntutan ganda baik dalam perawatan atau upah selama sakit. Hak jaminan diatas bisa ditolak bila : 1) Anak buah kapal menghindari pengobatan dokter. 2) Anak buah kapal tidak mempergunakan kesempatan berobat atau perawatan yang telah



berjalan dan tidak



segera mencari



dokter



pengganti di tempat ia berada.



39



3) Tunjangan upah dapat tidak dibayar bila sakit atau kecelakaan tersebut karena kesengajaan atau tidak hati-hati dari Anak buah kapal. b. Sakit karena kecelakaan Sakit karena kecelakaan Anak buah kapal berhak atas tuntutan ganti rugi



bila



pengelolaan



disebabkan pekerjaan



atas kelalaian atau



pihak



penyediaan



pengusaha dalam



sarana prasarana. Bila



meninggal dunia , ganti rugi diberikan kepada ahli warisnya. c. Kapal tenggelam Kapal dan awak kapal biasanya diasuransikan ke P&I club yaitu suatu organisasi yang hakekatnya adalah perusahaan asuransi. Menurut KUHD ps. 432.a pengusaha kapal wajib memberi ganti rugi kepada awak kapal berupa : a. Jumlah upah paling lama 2 bulan b. Jumlah upah sampai tiba kembali di tempat penanda tanganan PKL dalam ketentuan di atas tidak berlaku. c. Ganti rugi berupa barang milik awak kapal dan kerugian lainnya. d. Biaya penguburan dan pengiriman jenazah sampai ke ahli warisnya bila meninggal dunia. 5.



Hak Pengangkutan a. Semua awak kapal setelah berakhir PKL berhak atas angkutan CumaCuma ke tempat dimana PKL ditanda tangani atau ke tempat tinggal ABK atau ke tempat lain sesuai dengan perjanjian. b. Pelaut Indonesia yang terlantar berhak mendapat pengangkutan pulang ke Indonesia . Nahkoda kapal Indonesia wajib berusaha mengangkut pelaut Indonesia yang terlantar ke Indonesia atas perintah Konsul atau pejabat setempat. ( ps. 358 KUHD ).



6.



Hak Menggugat Atau Menuntut



40



Anak buah kapal mempunyai hak-hak yang bersifat asasi dan kebebasan serta hak-hak untuk menuntut jika diperlakukan tidak adil. Diantara hak-hak Anak buah kapal tersebut : a. Menuntut ganti rugi atas penghinaan atau merusak nama baik. b. Menuntut ijin mempelajari PKL dan sijil kapal. c. Mengadukan Nahkoda bila perintahnya bertentangan dengan hukum. d. Menuntut penjelasan bila tidak diijinkan turun di pelabuhan. e. Naik banding ke pengadilan negeri atas hukuman yang dijatuhkan. f. Mengetahui tujuan kapal. g. Menuntut penyelidikan atas makanan apakah pantas atau memenuhi syarat gizi atau sesuai perjanjian bila dikehendaki oleh min 1/3 dari Anak buah kapal. h. Minta ganti rugi bila makan tidak diberikan.



BAB VII DOKUMEN KAPAL A. Sertifikat-Sertifkat dan Surat-Surat Kapal 1. Surat laut ( Certificate of Nationality / certificate of Registry ). Menandakan kebangsaan suatu kapal, terdiri : a.



Surat laut ( isi kotor 500 m³ atau lebih ).



b.



pas tahunan ( isi kotor 20 m³ sampai 500 m³ ) masa berlaku 1 tahun.



c.



pas kecil ( isi kotor kurang dari 20 m³ ) terdiri pas biru dan pas putih, masa berlaku 1 tahun.)



2. Surat ukur ( Certificate of Tonnage and Measurement ) Merupakan sertifikat pengesahan ukuran dan tonase kapal. Dalam surat ukur terdapat nomer register resmi kapal ( tanda selar ) yang dipasang pada kapal. 41



3. Sertifikat Garis Muat ( Load Line Certificate ) Sertifikat yang memberikan pembatasan pemuatan kapal untuk tiap – tiap musim dan pada tiap-tiap jenis cairan tempat kapal berlayar. Ditandai dengan plimsol mark / merkah kambangan. 4. Sertifikat penumpang ( Passenger Ship Safety Certificate ) Sertifikat yang diberikan kepada kapal penumpang,



yaitu kapal yang



mengangkut penumpang lebih dari 12 orang ) 5. Sertifikat keselamatan konstruksi kapal barang (Cargo Ship



Safety



Construction Certificate ) Sertifikat diberikan berdasarkan SOLAS 74 yang telah memenuhi persyaratan sehubungan deteksi dan



badan kapal, permesinan dan perlengkapannya, stabilitas , pemadam kebakaran .



6. Sertifikat Keselamatan Telegrap Radio Kapal Barang



( Cargo Ship Safety



Radio Telegraph Certificate ) Bila dilengkapi dengan perangkat radio telegraph. 7. Sertifikat keselamatan Radio Telefoni kapal Barang (Cargo Ship Safety Radio Telephony Certificate ) Setiap kapal niaga yang ukurannya 1600 GT atau lebih dan kapal penumpang harus dilengkapi dengan dengan peangkat radio telefoni. 8. Sertifikat keselamatan Perlengkapan Kapal Barang



( Cargo Ship Safety



Equipment Certificate ) Memperlihatkan berapa jumlah pelayar sehubungan dengan jumlah



termasuk nahkoda yang diijinkan



alat-alat keselamatan, jumlah sekoci dan



kapasitasnya, jumlah sekoci bermotor, rakit penolong, baju penolong, pelampung penolong, pemadam kebakaran alat-alt navigasi, isyarat-isyarat bahaya dan lain-lain. Masa berlaku 2 tahun. 9. Sertifikat Pembebasan ( Exemption Certificate ) Pengecualian kapal - kapal dalam mendapatkan sertifikat sehubungan dengan konvensi dan pemberlakuannya. a.



Existing Ship : kapal kapal yang di bangun sebelum konperensi.



b.



New Ship



: kapal kapal yang dibangun setelah ada koperensi.



42



c.



Surat Ukur Suez canal dan Panama Canal ( Suez Canal /Panama Canal Tonnage Certificate )



Yang dibuat oleh pejabat yang berwenang di suez dan panama canal dengan perhitungan



tersendiri



yang



tujuannya



untuk



mendapatkan



patokan



pembayaran biaya lalu lintas dalam terusan – terusan tersebut. 10. Sertifikat Hapus Tikus ( Derating Certificate ) Dikeluarkan oleh Port Health yang masa berlakunya 6 bulan . 11. Sertifikat Keselamatan Kapal barang dan Kapal Penumpang Nuklir ( Nuclear passengers Cargo Ship Safety Certificate ) Sertifikat tambahan untuk kapal-kapal yang menggunakan bahan bakar nuklir. 12. Sertifikat Pencegahan Pencemaran



Minyak (International Oil pollution



Prevention Certificate ) Sertifikat dikeluarkan setelah



kapal telah memenuhi persyaratan mengenai



pencegahan pencemaran sesuai dengan appendix II Annex I Marpol 73 / 78 suplement A atau B.



13. Buku Catatan Minyak ( Oil Record Book ) Catatan mengenai perjalanan / pembongkaran minyak di atas kapal. 14. Memorandum Buku yang memuat keterangan – keterangan kapal secara lengkap dan mutakhir dari waktu ke waktu. Yang dicatat antara lain : a.



Docking



b.



Perubahan konstruksi kapal



c.



Ijazah awak kapal



d.



Alat-alat keselamatan , dll.



15. Buku Harian Kapal ( Log Book ) Keterangan mengenai kapal, kegiatan dan pelayarannya. Exhibitum yaitu bukti pemeriksaan oleh Syahbandar, dilaksanakan dalam jangka waktu 48 jam setelah tiba pelabuhan . ( ps. 354 KUHD ). Tujuan dari Buku Harian Kapal : a.



Pengawasan pemerintah 43



b.



Ikhtisar



tentang



peristiwa-peristiwa



kepada



pihak-pihak



yang



berkepentingan. c.



Sumber data hakim (setelah di Exhibitum )



B. Dokumen Peralatan Setiap peralatan mempunyai sertifikat : 1. Sertifikat pembuatan 2. Sertifikat pengujian / kir 3. Sertifikat kalibrasi



C. Dokumen dan Surat Kapal 1. Paspor 2. Buku Pelaut 3. Sertifikat ( Certificate of Competance ) 4. Sertifikat Ketrampilan ( Certificate of Proficency ) 5. Buku kesehatan / kuning 6. Surat kesehatan 7. Perjanjian Kerja Laut



D. Dokumen dan Surat Sehubungan Dengan Pengoperasian Kapal 1. Crew list 2. Passenger manifest 3. Daftar Inventaris kapal 4. Personal effect list 5. Cargo Manifest 6. Narcitic list 7. Surat perintah berlayar / sailing order 8. Konosemen 9. Buku kesehatan 10. Sijil ABK ( ship’s article ) 11. Vaksinasi list 12. Pemberitahuan pemuatan barang ke bea cukai 44



13. Surat pemakaian pandu / tug boat 14. Port clearance



E. Sertifikat – Sertifikat Yang Lain 1. Sertifikat kebersihan → ruang muatan 2. Sertifikat pemanas → pipa pemanas dalam tangki 3. Sertifikat muatan bahaya → amunisi , gas 4. Sertifikat kematian → untuk hewan / ternak 5. Sertifikat bebas gas → ruangan tertutup 6. Sertifikat bebas hama → untuk muatan tertentu , ex : tembakau, beras 7. Sertifikat muatan kayu log → muatan kayu gelondongan



F. Berita Acara Jenisnya : 1. Biasa : dibuat oleh syahbandar atas permintaan nahkoda tentang data-data pelayaran dimana tidak terjadi hal-hal istimewa selama pelayaran. 2. Wajib ( note of protest / sea protest ) Bila terjadi kejadian-kejadian istimewa selama belayar : a.



terjadi kerusakaan muatan



b.



kecelakaan



c.



memberi pertolongan kepada kapal lain



d.



peristiwa luar biasa / di luar dugaan



Dibuat oleh syahbandar atau konsulat dan harus dibuat dalam waktu 3 x 24 jam terhitung mulai tiba di pelabuhan ( hari kerja ). 3. Statement of fact Dibuat bila terjadi hal –hal istimewa di pelabuhan seperti : kawat muat putus, buruh luka, muatan rusak, ada bagian kapal yang rusak karena kecerobohan stevador dan lain-lain. Ditanda tangani oleh saksi yang bisa digunakan untuk menuntut ganti rugi.



45



Dokumen dan sertifikat yang harus ada di atas kapal dan dibawa ketika kapal berlayar yaitu : 1. Dokumen dan sertifikat yang berkaitan dengan kapal 2. Dokumen dan sertifikat yang berkaitan dengan awak kapal a. Certificate of Competence b. Certificate of Profesiency c. Medical recond book. 3. Dokumen penunjang operasi kapal a. Log book b. Peta Navigasi c. Port Clearance 4. Dokumen muatan a. Konosemen Unsur konosemen sesuai KUHD pasal 506 yaitu : 1). Surat bertanggal 2). Pernyataan



penerimaan



barang



diatas



kapal



untuk



dikirim



kepelabuhan tertentu untuk diserahkan. b. Cargo Manifest c. Mate’s receipt (resu mualim) d. Hatch list e. Stowage Plan f. Tally Sheet g. Cargo Damage report h. Letter of indemnity



46



BAB VIII KESELAMATAN DAN MAHKAMAH PELAYARAN



1. Keamanan Dan Keselamatan Dalam hal ini mencakup keamanan dan keselamatan jiwa, kapal, harta benda dan lingkungan baik di pelabuhan , laut atau selama kegiatan bongkar muat. Untuk menjamin terlaksananya keamanan dan keselamatan maka pemerintah membuat ketentuan-ketentuan minimal yang harus dipenuhi oleh kapal dan undang-undangnya. Keamanan dan keselamatan terdiri dari : 47



1. Keselamatan Kapal Untuk memastikan pelaksanaanya maka diberikan sertifikat-sertifikat



yang



menyangkut konstruksi dan keselamatan sebagai bukti telah memenuhi persyaratan – persyaratan baik nasional maupun Internasional ( SOLAS dan OK ’35 ). Dalam rangka pengawasan kapal secara teliti maka kapal wajib didaftarkan dan ditujuk suatu Biro Klasifikasi untuk mempertahankan kapal



dalam kelasnya dan



kapal tidak boleh kurang dari kondisinya dari syarat minimum Biro klasifikasi. Setiap kapal harus menjalankan percobaan stabilitas.



2. Keselamatan Kerja Pada umumnya diatur oleh Departemen Tenaga Kerja dengan undang-undang perburuhan dan peraturan keselamatan kerja yang sumber internasionalnya berasal dari ILO. Selain itu dibuat pula mengenai peraturan



tentang persyaratan



alat-alat kerja,



tempat kerja , jam kerja, tempat kerja dan lain-lain.



3. Keselamatan Pelayaran Untuk keselamatan pelayaran pemerintah :



a. Memasang rambu-rambu, suar dan tanda-tanda navigasi lainnya. b. Mendirikan dan mengoperasikan stasiun-stasiun Radio . c. Membentuk jawatan Hidrografi AL yang menangani perpetaan, BPI, buku Kepanduan Bahari dan pasang surut. d. Mengeluarkan



peraturan mengenai persyaratan pengawakan dan



menavigasikan kapal. e. Mengangkat pejabat – pejabat / syahbandar kapal



apakah



telah



memenuhi



untuk mengontrol



ketentuan-ketentuan



kapaltentang



keselamatannya. 4. Keselamatan muatan dan penumpang Pemerintah mengatur mengenai keselamatan muatan dan penumpang dalam KUHD sehubungan dengan tanmggung jawab pengangkut diberlakukan



perjanjian-perjanjian



pengangkutan



/



Nahkoda, baik



selain itu juga



nasional



maupun



Internasional selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Ex: Charter party, Hague rules, dan lain-lain. 48



2. Peradilan dan Mahkamah Pelayaran 1. Peradilan Jenis – jenis Pelanggaran :



a. Pelanggaran yang bersifat kejahatan dan kriminal. Ex: penganiayaan, pencurian, pembunuhan dan lain-lain.



b. Pelanggaran kasus-kasus perdata Ex : penyimpangan mengenai ganti rugi, asuransi dan lain-lain.



c. Pelanggaran yang bukan kejahatan. Ex: Kelalaian pembuatan Buku Harian Kapal, berlayar tanpa surat-surat lengkap, mengurangi hak-hak awak kapal.



d. Pelanggaran terhadap keselamatan pelayaran. Ex : Tidak



bernavigasi



sebagaimana mestinya, kelalaian



mempergunakan



sarana navigasi, bernavigasi membahaykan keselamatan , kecelakaan kapal dan lain-lain. Untuk pelanggaran pelanggaran pada point 1 dan 2 dilakukan peradilan di Pengadilan Negeri, dan dapat pula dijatuhi sangsi berupa sangsi adminstrasi yang dilakukan oleh Ditjend Hubla , dalam hal ini yang berhak memberikan sangsi adalah Ditkapel (syahbandar). Untuk pelanggaran-pelanggaran pada point 3 dan 4 , yang menyangkut kasus – kasus yang besar dapat diajukan ke Mahkamah Pelayaran oleh Dirjend Perla.



2. Mahkamah Pelayaran Tugasnya yaitu mengadakan



pemeriksaan



terhadap



kecelakaan



kapal



yang



disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan Nahkoda atau perwira kapal lainnya. Berdasarkan Kepmenhub no. 3/u.phb/74 tanggal 6-8-1974 Mahkamah Pelayaran adalah badan yang berdiri sendiri dibawah Departemen Perhubungan. Mahkamah Pelayaran adalah bukan lembaga peradilan tetapi merupakan suatu lembaga kode etik profesi.



1. Struktur Organisasi Struktur organisasi Mahkamah Pelayaran yang sekarang berlaku adalah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1998. KETUA MERANGKAP ANGGOTA 49 SEKRETARIS ANGGOTA



Persyaratan untuk



Ketua dan anggota Mahkamah Pelayaran dapat



seorang ANT I, ATT I, Sarjana Hukum atau Sarjana Teknik Perkapalan. Dan untuk sekretaris harus dipimpin oleh seorang Sarjana Hukum. Dalam



persidangan susunan keanggotaan



adalah



menjadi



KETUA



MAJELIS, ANGGOTA MAJELIS dan SEKRETARIS. 2. Wewenang Mahkamah Pelayaran 1). Melakukan pemeriksaan lanjutan yaitu meneliti dan menyelidiki : a) Sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal b) Kesalahan yang terjadi dari mereka yang bersangkutan dengan musibah kapal. c) Perwira-perwira yang tidak layak. 2). Menjatuhkan sanksi administrasi terhadap Nahkoda dan Perwira kapal yang memiliki sertifikat keahlian pelaut yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik



Indonesia



yang melakukan kesalahan



atau



kelalaian dalam menerapkan standar profesi, berupa: a) Peringatan. b) Pencabutan sementara sertifikat keahlian pelaut untuk bertugas dalam jabatan tertentu untuk paling lama dua tahun. Keputusan Mahkamah Pelayaran



merupakan



keputusan



akhir



sesuai denga pasal 46 PP no. 1 tahun 1998. Putusan Mahkamah Pelayaran



ditujukan ke Dirjen Hubla dan Sekjen Dephub, dengan



tembusan ke Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri setempat, Syahbandar dan Pemilik Kapal. 3. Hak Tersangkut Karena bukan merupakan lembaga peradilan maka istilah terhadap seeorang yang disangka bersalah diistilahkan sebagai Tersangkut ( tidak



50



dipakai istilah tersangka atau terdakwa ), untuk itu seorang tersangkut mempunyai hak-hak yaitu : 1). Mengambil seorang penasehat ahli (bukan penasehat hukum atau pembela) 2). Tidak disumpah. 3). Minta penundaan sidang. 4). Melihat naskah-naskah asli. 5). Menunjuk saksi-saksi.



BAB IX KARANTINA A. Pengertian Karantina yaitu suatu tindakan untuk mencegah tersebar luasnya sesuatu penyakit atau sesuatu yang diduga penyakit tertentu tercantum dalam Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation 1969)



51



Di kapal dapat dilakukan isolasi kapal (dikarantina), jika penyakit berjangkit di atas kapal dapat dilakukan pemusnahan kapal/muatan atau mengisolasikan awak kapal. Tapi bila berjangkit di darat awak kapal diimunkan supaya jangan tertular. Istilah Karantina 1. Free Practique berarti ijin dari Kesehatan Pelabuhan untuk kapal memasuki pelabuhan guna bongkar muat barang /penumpang (untuk kapal sehat) 2. Daerah



terjangkit



berarti



daerah



dimana



dilaporkan



penyakit



menular



kemungkinan besar menular karena mobilitas penduduk/kegiatan penduduk. 3. Kapal Terjangkit berarti yang terdapat kasus penyakit menular (karantina) dalam waktu masa inkubasi masing-masing penyakit sebelum tiba di pelabuhan. 4. Isolation yaitu pembatasan seseorang dari orang lain untuk mencegah penularan (karantuna terhadap seseorang) 5. Kapal tersangka yaitu kapal yang mengalami kasus penyakit menular selama pelayaran, tapi melebihi masa inkubasi masing-masing penyakit sebelum tiba di pelabuhan. Penyakit Pes jika banyak ditemukan tikus mati tanpa dikatahui penyebabnya. 6. Disinsecting yaitu tindakan yang dilakukan untuk membunuh serangga penyebab penyakit pada manusia dikapal/tempat lain. 7. Karantina yaitu keadaan yang diciptakan oleh Dinas Kesehatan terhadap kapal untuk mencegah berkembangnya penyakit, sumber penyakit ataaau faktor penyebab keluar dari daerah yang dikarantinakan.



B. Karantina 1.



Penyakit Karantina a. Penyakit Kolera 1). Masa inkubasi = 5 hari 2). Vaksinasi kolera untuk dinyatakan sehat 3). Kapal dianggap terjangkit, jika ada kasus penyakit kolera dalam 5 hari sebelum tiba.



52



4). Kapal dianggap tersangka jika terjadi kasus penyakit kolera selama pelayaran, tapi sebelum 5 hari tiba di pelabuhan. 5). Kapal dinyatakan sehat jika Kesehatan Pelabuhan setelah menerima laporan, memeriksa dan puas dengan hasil pemeriksaannya, walaupun kapal datang dari pelabuhan yang terjangkit. 6). Tibanya kapal yang terjangkit : a) Pelayar dan Nahkoda yang Vaksinasinya berlaku diawasi sebagai tersangka selama 5 hari. b) Pelayar dan Nahkoda yang Vaksinasinya tidak berlaku, dikarantina selama 5 hari. c)



Barangnya Pelayar dan Nahkoda yang ada di kapal dianggap ditulari.



d) Pembuangan sampah, kotoran, air got, dilarang tampa Ijin Kesehatan Pelabuhan. b. Demam Kuning 1). Masa inkubasinya 6 hari 2). Vaksinasi perlu jika berangkat dari daerah terjangkit. 3). Vaksinasi yang masih berlaku dapat membebaskan seorang dari tersangka, walaupun datang dari daerah terjangkit. 4). Kapal dianggap terjangkit bila ada kasus Demam Kuning dikapal selama pelayaran, dianggap sebagai tersangka, jika kapal meninggalkan pelabuhan tersangka kurang 5 hari sebelum tiba/telah meninggalkan pelabuhan terjangkit lebih 30 hari, tapi perlu Aegypi.



c. Cacar 1). Masa Inkubasi 14 hari 2). Vaksinasi sebagai syarat untuk menghindari karantina, bila datang dari daerah terjangkit. 3). Kapal dianggap terjangkit bila ada kasus cacar selama pelayaran. 4). Kapal terjangkit dianggap sehat, bila orang yang belum terkena cacar divaksinasi /setelah kapal di karantina selama tidak lebih 14 hari. 53



5). Kapal yang sehat diberi Free Pratique, walaupun dari daerah terjangkit. 2.



Ordonansi Karantina a. Ordonansi berlaku : semua kapal, kecuali kapal isi kotor 10 m 3 atau kurang, kapal pandu/kepolisian. b. Kapal yang dikarantina hanya boleh dimasuki pejabat/personil : 1). Pandu laut/bandar 2). Syahbandar atau yang ditunjuk 3). Pejabat Kesehatan Pelabuhan 4). Pejabat Kepolisian, Kejaksaan/Kehakiman, Bea cukai 5). Pejabat pelaksana disinsecting/derating 6). Pejabat Kerohanian : Imam,. Pastor 7). Pemilik kapal, Agen atau Perwakilan pengusaha kapal 8). Pengurus muatan /Super cargo. c. Siapapun tidak diijinkan meninggalkan kapal selama karantina, kecuali pejabat yang diijinkan dari darat dan petugas-petugas dari kapal dengan sarana sekoci untuk tugas khusus (pos) dengan ketentuan memasang semboyan karantina sekoci. d. Selama karantina pengobatan dan pengawasan atas gejala penyakit diawasi terus



oleh



Pejabat



Kesehatan



Pelabuhan,



dan



dibantu



Nahkoda



sepenuhnya. e. Kapal terjangkit dinyatakan bebas bila : 1). Setelah 2 x masa inkubasi sejak kasus penyakit tersebut terakhir selesai, tidak terlihat gejala-gejala baru. 2). Setelah tiga bulan semenjak gejala aktivitas virus terakhir, untuk penyakit demam kuning yang bukan disebabkan oleh Aedes Aegypti. 3). Setelah tiga bulan semenjak kasus penyakit terhadap manusia berakhir bila penyakit demam kuning oleh Aedes Aegypti. 4). Setelah



satu



bulan



semenjak



tikus



yang



terjangkit



terakhir



ditemukan/diperangkap untuk penyakit pes. 5). Setelah tiga bulan semenjak penyakit pes yang terakhir terlihat, untuk penyakit pes yang disebabkan oleh tikus liar.



54



3.



Pencegahan terhadap berjangkitnya/menularnya penyakit Karantina a. Tiap kapal di pelabuhan memasang penahan tikus (rat guard) untuk mencegah tikus turun ke dermaga atau naik kekapal. b. Tiap kapal harus menjaga supaya sertifikat Pembasmi Pembebasan Tikus tetap berlaku. c. Tiap



kapal



harus



menjaga



bahwa



setiap



awak



kapal



divaksinasi/vaksinasinya tetap berlaku. d. Tiaap kapal mengisi International Declaration of Health untuk kapalnya dengan sejujur-jujurnya. 4.



Semboyan Kesehatan a. Bendera “Q”Saya minta free Practique. b. Minta Pejabat Kesehatan untuk meneliti Kesehatan Kapal, sehingga kapal dapat ijin masuk pelabuhan. c. Bendera “W”: Saya minta bantuan kesehatan. d. Bendera “Q”diatas bendera “Q”: kapal saya tersangka, terdapat kasus penyakit karantina lebih dari 5 hari yang lalu atau terdapat tikus mati yang relatif banyak dikapal. e. Bendera “Q”diatas bendera “D” : kapal saya terjangkit terdapat kasus karantina dalam 5 hari terakhir. f. Lampu Merah 1,8 m diatas lampu Putih : saya belum mendapat Free Practique g. Dua lampu Putih bersusun tegak keliling dengan jarak 2 m pada jarak paling sedikit 2 mil : saya minta Free Practique.



BAB X ADMINISTRASI MUATAN 1.



Pengaturan Hukum 55



Undang – undang No. 21 tahun 1992, Pelayaran menggantikan Indische Shceepvaartewet 1936 ( Undang - Undang Pelayaran 1936 ) menetapkan bahwa pelayaran adalah salah satu modal transportasi untuk memperlancar arus perpindahan orang / barang ( pasal 3 ). Pembinaan Pelayaran dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan undang – undang lain serta Konvensi Internasional dibidang pelayaran. Apabila kapal digunakan untuk kepentingan pihak-pihak lain makam akan timbul hubungan hukum melalui persetujuan-persetujuan yang diatur dalam undang– undang. Kelompok terpenting adalah persetujuan pengangkutan. Pengaturan hukum dari kelompok ini terdapat dalam bab kelima A dan B dan buku kedua KUH Dagang. Pada tanggal 1 Pebruari 1927, KUH Dagang menampung hukum laut yang telah diperbaharui dan untuk sebagian disesuaikan dengan Hague Rules 1924. peraturan ini berlaku hampir 50 tahun, sampai saat disempurnakan dengan Hague Rules 1968. adapun perkembangan hukum pengangkutan telah dimulai abad ke 17, 18 dan 19 dan bersumber dari Hukum Sipil ( Perdata ) umum. Pada tanggal 1 Juli 1893 berlaku Undang – Undang di Amerika Serikat yang mengatur syarat-syarat pengangkutan yang dikenal sebagai Undang – undang Harter. Undang – undang dimana disusul Hague Rules 1924 dan 1968 memberikan perhatian khusus kepada kepentingan pemilik muatan.



2.



Pengangkut Menurut KUH Dagang pasal 466, Pengangkutan adalah pihak yang meningkatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang. Ikatan dimana terdiri dari kewajiban membawa barang dan menyerahkannya kepada pihak penerima barang. Selama pengangkutan, yaitu sejak saat diterimanya barang sampai



saat



penyerahannya,



pihak



Pengangkut



bertanggung



jawab



atas



keselamatan barang. Hal mana berarti bahwa kedatangan dan penyerahan barang harus dilaksanakan dalam keadaan yang tidak kurang dibandingkan saat diterimanya. Baik KUH Dagang ( pasal 468 ) maupun Hague Visby Rules ( Article II ) menetapkan bahwa pihak Pengangkut dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita pihak pemilik muatan. Mengingat akan besarnya penggantian kerugian kepada pemilik muatan, kepada pihak pengangkut diberikan sejumlah kelonggaran dalam bentuk pembatasan tanggung jawab mengganti kerugian ( Liability ) dan sejumlah kekebalan. KUH Dagang pasal 470 menyatakan bahwa untuk 56



satu pasang barang yang diangkut Pengangkut hanya bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi tidak boleh kurang dari Rp. 600,00 per koli, kecuali jika sebelum barang diserahkan kepadanya, ada pemberitahuan tentang sifat dan harga barang tersebut. Karena jumlah Rp. 600,00 merupakan terjemahan dari angka 600,-



maka



pada



umumnya



perusahaan-perusahaan



pelayaran



Nfl.



memilih



pertimbangan komersial Charter waktu mulai kapal diserahkan kepada pihak Pencharter dan berakhir saat penyerahan kembali kepada Pemilik Kapal. Menjelang penyerahan dan penyerahan kembali diadakan survei mengangkut bahan bakar. Keadaan kapal dan kelalaian palka / tangki untuk pengangkutan muatan. Biaya survey penyerahan dibebankan kepada Pemilik Kapal, sedangkan untuk penyerahan kembali kepada Pencharter perhitungan jumlah sisa bahan bakar dimaksudkan untuk memudahkan pihak Pencharter dalam pembayarannya. Hal yang sama berlaku untuk penyerahan kembali, sehingga pihak Pemilik Kapal dapat memanfaatkan perbedaan harga yang menguntungkan antara pelabuhan terakhir dan pelabuhan penyerahan kembali. Dan dihitung perhari dengan satuan bobot mati musim panas ( summer deadweight ). Contoh : satu dwt = $ 7.50, pebulan untuk kapal berukuran 20.000 dwt menjadi $ 150.000 pebulan atau $ 5.000 perhari. Pihak Pencharter dapat menghentikan pembayaran sewa ( off hire ), jika terjadi hal-hal berikut : pengedokan, tindakan mempertahankan efisiensi kapal, gangguan awak kapal / pembekalan, pemogokan Nahkoda dan Awak Kapal, kerusakan mesin / winch, kerusakan kapal dan deviasi. Salah satu syarat khas Charter Waktu menetapkan bahwa apabila kapal tidak diserahkan pada saat yang disepakati, pihk Pencharter dapat membatalkan serta selanjutnya jika kapal belum diserahkan pada tanggal pembatalan ( canselling date ), pihak Pencharter dapat menyatakan dalam waktu 48 jam setelah menerima pemberitahuan, apakah akan membatalkan atau tetap menerima penyerahan.



3.



Kewajiban Pengangkut Pengangkut



adalah



pihak



yang



mengikatkan



diri



menyelenggarakan



pengangkutan barang melalui laut ( ps. 466 KUHD ). 57



Kewajiban utama pengangkut yaitu menjaga keselamatan barang / muatan dan mengganti kerugian apabila barang / muatan hilang atau rusak ( ps. 468 KUHD ). Kewajiban pemilik muatan yaitu menyerahkan muatan sesuai perjanjian, pada saat yang tepat, ditempat yang benar dan dalam keadaan baik.



4.



Tanggung jawab pihak pengangkut Nahkoda bertanggung jawab atas muatan selama penyeberangan sebenarnnya (actual carriage), Actual carriage adalah “ from end of tackle to end of tackle “ yang mencakup : 1.



Melakukan pemuatan sebaik-baiknya



2.



Mengatur pemadatan dengan sempurna



3.



Menjaga kualitas muatan



4.



Mmengawasi muatan selama penyeberangan



5.



Melakukan pembongkaran dengan baik Konvensi internasional yang berlaku di negara-negara maritim adalah Hague



Rules tahun 1924 yang disempurnakan pada tahun 1968 dengan Hague –Visby Rules mengenai pembakuan peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkaitan dengan konosemen / bill of Lading.



5.



Kekebalan - kekebalan pengangkut Hague Rules



menetapkan



pengangkut yang berlaku apabila



hak-hak



dan sejumlah



Pengangkut



telah



kekebalan



melaksanakan



bagi tindak



kewajaran ( due diligence ) yaitu kapal harus dalam keadaan : 1. laik laut 2. diawaki, dilengkapi dan dibekali cukup 3. laik muat Kekebalan – kekebalan yang dimiliki oleh pengangkut : a. Tindakan, kelalaian, kesalahan Nahkoda atau karyawan dalam pelayaran atau pengelolaan kapal. b. Kebakaran c. Bahaya, malapetaka dan kecelakaan laut. d. Tindakan diluar kemampuan manusia ( Act of God ). e. Tindakan perang. 58



f. Tindakan permusuhan umum. g. Tindakan penguasa. h. Pembatasan karantina i. Kealpaan pengapal atau pemilik muatan. j. Pemogokan. k. Kerusuhan. l. Penyelamatan jiwa di laut m. Kerusakan karena sifat barang. n. Pembungkusan yang tidak baik. o. Merk yang tidak jelas. p. Cacat yang tersembunyi q. Sebab-sebab lain diluar kesalahan / pengetahuan pengangkut.



6.



Penyewaan Ruang Kapal 1.



Ketentuan – ketentuan Umum Charter terbagi dalam Waktu dan waktu perjalanan ( KUH Dagang pasal 453 ). Undang-undang melalui Bab kelima menjabakan sejumlah ketentuan tentang perjanjian Charter. Adapun sebuah Charter Perjalanan selalu merupakan perjanjian pngangkutan, sedangkan Charter Waktu tidaklah demikian halnya. Perbedaan khas antara Charter Waktu dan Charte Perjalanan dapat dijabarkan sebagai berikut : “Ciri dari Charter Waktu adalah pembayaran suatu harga yang dihitung menurut kurun waktu, terlepas dari sejauh mana pihak Pencharter memanfaatkan jasa-jasa kapal, yaitu jumlah atau jenis barang yang diangkut, lama perjalanan yang sesungguhnya, jumlah pekerjaan penggandengan yang dilakukan dst. Sebaliknya pada Charter Perjalanan, yang bertujuan mengangkut jumlah tertentu barang atau penumpang, harganya adalah imbalan balik untuk penyelenggaraan



angkutan



ini”.



Pada



Charter



Waktu,



fokusnya



adalah



penggunaan menurut waktu tertentu dan jumlah imbalan Pencharter berupa pembayaran harga yang dihitung sesuai kurun waktu. Pada Charter Penrjalanan penggunaannya untuk pengangkutan suatu perjalanan tertentu. Risiko pada Charter Waktu menjadi beban Pencharter, sedangkan pada Charter Perjalanan adalah beban Pemilik Kapal.



59



Jika pihak Pencharter Perjalanan mengakibatkan kerugian waktu, maka yang bersangkutan membayar biaya kelebihan hari labuh atau ganti kerugian. Masingmasing pihak berhak meminta pembuatan suatu akta untuk persetujuannya yng disebut sebagai Charter Party. Di dunia Perkapalan Internasional terdapat dua lembaga yang menangani penyusunan syarat-syarat persetujuan Charter : a.



The



Baltic



and



International



Maritime



Conference



(BIMCO)



yang



berkedudukan di Kopenhogen; b.



The Chamber of Shipping of the the United Kingdom ( CSUK ) di London. Dokumen-dokumen hasil kedua lembaga tersebut adalah GENCON untuk



perjalanan tunggal dan BALTIME untuk Charter Waktu. Sedangkan untuk angkutan minyak lembaga INTERTANKO yang berkedudukan di Osio melakukan pengawasan dengan penerbitan dokumen yang digunakan adalah “Tanker Voyage C/P” atau juga dikenal sebagai “London Form”. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa memiliki dokumen sendiri seperti Shell Time, Beeree Time, Texmaco Time dst. Sedangkan untuk kapal-kapal barang umum dan curah, digunakan dokumen New York Produce Exchange ( 1996 ), Baltime ( 1939 ) atau Liner time ( 1968 ). Karena pemalsuan dokumen ( Rasi Mualim ). Selain Surat Jaminan yang diterbitkan oleh Pihak Pengapal, terdapat surat jaminan dari Pihak Penerima barang yang diserahkan untuk pengambilan barang yang konosemen aslinya belum diterima : jaminan Bank ( Bank Guarantee ). Dokumen dibuat oleh pihak Bank mengingat arus dokumen yang dikirim melalui Bank seperti invoice, export, licance, packing list, insurance, dan certificate of loading. 2.



Charter Perjalanan (voyage Charter) Charter perjalanan ( voyage charter ) adalah suatu persetujuan antara pihak pengusaha kapal dan pihak pencharter dengan pembayaran nilai pengangkutan dalam satu perjalanan atau lebih. Charter perjalanan ( berbeda dengan Charter Waktu ) adalah selalu disebuah persetujuan pengangkutan ( pasal 453, 455, dan 521 KUH Dagang ).



60



Jika untuk Charter Waktu tidak dipermasalahkan kerugian waktu, maka untuk Charter Perjalanan Undang – Undang justru menetapkan sejumlah ketentuan rinci menyangkut waktu muat dan waktu bongkar ( pasal 518 q – 518 g ) Sehubungan dengan pemakaian kapal, kedudukan dari Pencharter Perjalanan tidak sebesar Pencharter Waktu jika yang disepakati tentang pengangkutan muatan penuh, maka berlaku pula hak penuh ruangan sebagaimana berlaku untuk Pencharter Waktu ( pasal 518 l ). Waktu pemuatan diberitahu oleh pihak Pemilik Kapal jika kapal ditempuh pemuatan siap dimuat dan berlaku pada hari berikutnya ( pasal 518 q ). Lazimnya lama waktu pemuatan ditetapkan melalui jumlah hari labuh sedangkan hari labuh lebihnya dibayar pihak Pencharter, kecuali dalam konstraknya dicantumkan denda. Uang labuh lebih disebut “demanage” dan lawannya adalah uang labuh cepat atau “despatch money”. Pihak Pencharter pada umumnya selain pemberitahuan ( Notice of Readiness ), juga mnsyaratkan bahwa kapalnya sudah tiba ( di tempat yang dapat dilakukan kegiatan pemuatan ) serta siap untuk dimuat ( palka dan perlengkapan ). Untuk pemberlakuan hari labuh (Laydays) ditetapkan beberapa jenis hari labuh : a.



Laydays, adalah menerangkan jumlah hari untuk bongkar muat, hari-hari yang disepakati untuk kegiatan pemuatan dan pembongkaran yang jika di gabung disebut “reversible laydays”;



b.



Days and running days, berarti hari takwin dan lamanya 24 jam, termasuk hari libur: jenis hari ini merugikan pihak Pencharter sehingga ditambahkan



c.



SHEX ( Sundays and Holidays expented )



d.



Working days, tidak termasuk hari-hari libur;



e.



WWD ( Weather Working Days ), jika cuaca buruk sehingga pekerjaan terhenti, tidak termasuk perhitungan laydays. Mengingat bahwa pembayaran sewa dilakukan dengan uang tambang ( jenis muatan ), maka apabila jumlah muatan adalah kurang, pihak Pencharter mambayar kekurangan atau “dead freight” kecuali terdapat klausul denda.



f.



Demurrage adalah jika waktu yang sesungguhnya ( actual time ) melebihi “time allowed”.



61



g.



Despatch



adalah jika



waktu yang sesungguhnya kurang dari “time



allowed”. h.



Dead freight adalah jumlah yang dibayar oleh pencharter jika muatan kurang dari yang disepakati dalam charter party



Sedangkan dalam hal muatan yang dikapalkan merupakan muatan yang uang tambangnya lebih rendah khususnya Pencharter bukan Pengapal dimana tanggung jawab Pencharter hanya terbatas sampai pengapalannya



( Cesser



Clause ), maka perlu ditambahkan hak “lien” Pemilik Kapal untuk tambang, demourage dan average. Untuk



pengamanan,



pihak



Pemilik



Kapal



dapat



melakukan



penahanan



Konosemen selama belum terpenuhinya kewajiban-kewajiban Pemilik Muatan Dalam voyage Charter pihak kapal bertanggung jawab atas biaya-biaya running exspenses



( awak kapal, perbekalan ) dan voyage



exspenses (pelabuhan,



bahan bakar). Syarat yang harus dipenuhi oleh pihak kapal yaitu :



3.



a.



Kapal harus sudah tiba ( arrived ship )



b.



Kapal siap untuk dimuati ( ready to load )



c.



Notice of readiness



Charter waktu ( time charter ) Time charter adalah



suatu persetujuan dimana satu pihak



( yang mencharter )



mengikatkan diri selama waktu tertentu , pihak lain ( pengusaha kapal ) menyediakan kapal untuk keperluan pencharter dengan pembayaran nilai yang dihitung menurut lamanya waktu. Pihak kapal berkewajiban mengoperasikan kapal dengan imbalan uang sewa, sedangkan tanggung jawab pencharter membayar biaya-biaya seperti bahan bakar dan biaya pelabuhan. Time charter khusus adalah bareboat charter, dimana pihak pencharter lebih banyak bertindak sebagai pemilik kapal. 62



Unsur utama dari time charter :



7.



a.



Keterangan tentang kapal



b.



Keterangan tentang pelayaran



c.



Keterangan tentang waktu



Pergerakan Arus Barang Dan Dokumen 6 1 2



1.



3



GUDANG



GUDANG



7



45



8



9



KAPAL



PEMILIK BARANG



PENGANGKUT



PENGIRIM



Pemilik barang / pengirim



menghubungi



pengusaha kapal, kadang lewat



perantara. 2.



Membuat surat perjanjian ( engagement sheet )



3.



Pengirim



mengangkut



muatan ke gudang pengangkut atau



terminal ,



sambil : a. Menyiapkan dokumen-dokemennya. b. Menyerahkan data-data muatan untuk perhitungan tarif. 4. Persiapan sebelum pemuatan: a. Dapat dibuatkan B/L untuk dikapalkan ( to be shipped Bill of Lading ) b. Membuat tentative stowage plan. c. Pemeriksaan ruang muat oleh surveyor 5. Selama pemuatan dibuat: a. Working sheet jam kerja buruh. b. Perhitungan muatan ( tally ). c. Cargo



exception



report yaitu



apabila



terjadi



kerusakan pada waktu



penerimaan di atas kapal, yang nantinya dicantumkan dalam resu mualim. 6. Selesai pemuatan dibuat : a. Final stowage plan b. Cargo manifest c. Hatch list 63



d. Perhitungan stabilitas e. Bill of lading berdasarkan mate’s reciept. f. Letter of indemnity ( surat jaminan )  untuk membuat B/L bersih. 7. Selama pelayaran jika terjadi kerusakan dibuat : Cargo damage report. 8. Kedatangan kapal di pelabuhan a. Agen mengirim Notice of arrival kepada pemilik barang ( consignee ) b. Pemilik barang menyelesaikan



kewajibannya



(pajak, dokumen yang



dibutuhkan). c. Pemilik barang memberikan surat jaminan dalam bentuk garansi bank ( L/C) untuk mengambil barang dari pengangkut. d. Dengan menggunakan D/O ( delivery order ) menerima muatan dari kapal. 9. Selesai pembongkaran : a. Membuat laporan pembongkaran ( cargo outern report ) b. Mengajuan tuntutan ganti rugi dalam waktu 5 hari



BAB XI 64



DOKUMEN MUATAN



1.



Pengaturan Hukum Dokumen-dokumen hasil kedua lembaga tersebut adalah GENCON untuk perjalanan tunggal dan BALTIME untuk Charter Waktu. Sedangkan untuk angkutan minyak lembaga INTERTANKO yang berkedudukan di Osio melakukan pengawasan dengan penerbitan dokumen yang digunakan adalah “Tanker Voyage C/P” atau juga dikenal sebagai “London Form”. Perusahaan-perusahaan minyak raksasa memiliki dokumen sendiri seperti Shell Time, Beeree Time, Texmaco Time dst. Sedangkan untuk kapal-kapal barang umum dan curah, digunakan dokumen New York Produce Exchange ( 1996 ), Baltime ( 1939 ) atau Liner time ( 1968 ). Karena pemalsuan dokumen ( Rasi Mualim ). Selain Surat Jaminan yang diterbitkan oleh Pihak Pengapal, terdapat surat jaminan dari Pihak Penerima barang yang diserahkan untuk pengambilan barang yang konosemen aslinya belum diterima : jaminan Bank ( Bank Guarantee ). Dokumen dibuat oleh pihak Bank mengingat arus dokumen yang dikirim melalui Bank seperti invoice, export, licance, packing list, insurance, dan certificate of loading.



2.



Keterkaitan Dengan Charter Apabila konosemen diterbitkan oleh kapal yang terkait perjanjian Charter, maka ada kemungkinan adanya perbedaan antara syarat-syarat Konosemen dan syarat-syarat C/P sehingga menimbulkan keraguan. Untuk mengatasi hal tersebut ditetapkan beberapa ketentuan : 1. Apabila Konosemen dipegang Pihak Pengapal yang juga menjadi pihak Pencharter, maka dokumen ini berkedudukan sebagai bukti penerimaan saja dan bukan sebuah dokumen perjanjian. 2. Barang yang diangkut dengan syarat-syarat Konosemen, jika pihak Pengapal bukan Pihak Pencharter. Konosemen yang diterbitkan oleh kapal yang terikat perjanjian Charter Waktu, maka kedudukannya adalah : 1. Dalam Bareboat Charter, Konosemen selalu antara Pencharter dan Pengapal; 65



2. Dalam Time Charter, biasanya antara Pemilik Kapal dan Pengapal. Jika Pencharter mengadakan persetujuan uang tambang dengan pihak Pengapal dan mengeluarkan serta menandatangani Konosemen dengan berkepala namanya, maka perjanjian diadakan antara Pencharter dan Pengapal. Syarat Caspiana membenarkan pembongkaran muatan untuk pelabuhan yang dilanda pemogokan di setiap pelabuhan yang aman atau tanpa halangan. Syarat Himalaya mengatur perpanjangan – pembatasan tanggung jawab yang dimiliki Pengangkut ke Karyawan dan para agen. Syarat London diadakan untuk kapal-kapal pelayaran tetap ( liner ) melakukan jadwal yang tepat ( pemberian fsilitas, dll ).



3.



Konosemen Menurut KUH Dagang pasal 505, Nahkoda berhak menerbitkan Konosemen, kecuali jika ada orang lain yang ditugaskan untuk itu. Sebelum ditanda tangani, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Bentuknya harus sesuai yang ditetapkan pihak Pemilik Kapal yang di tetapkan perjanjian Charter; 2. Tanggal sesuai waktu pengapalan; 3. Resi Mualim yang menunjukkan barang sudah berada di kapal serta keadaan barang telah diserahkan; 4. Syarat-syarat tambahan yang diperlukan dan syah, telah dimasukkan; 5. Uang tambang, jika disyaratkan sebagai pembayaran dimuka telah dibayar; 6. Jika di charter, hak-hak Pemilik Kapal telah dipenuhi ( laydays, demurage ) Beberapa Catatan dalam Konosemen Fungsi asli dari Konosemen adalah sebagai tanda terima. Dengan fungsi ini muncul persoalan tentang jumlah barang dan keadaannya sewaktu di kapalkan. Hague Nisbah Rules menyatakan perlunya pencantuman dalam Konosemen keternagan tentang jumlah, urutan dan keadaan. 1. “Apparent good order and condition”, merupakan Konosemen bersih dan berlaku untuk keadaan dari luar, mengingat pihak Pengangkut tidak memiliki sarana untuk menilai keadaan di dalamnya; 2. “Quality and condition unknown”, dimaksudkan keadaan dalam dari muatan ( quality = sifat dari dalam dan condition = yang terlihat dari luar );



66



3. “Said to contain”, sebuah catatan yang merupakan pengulangan keterangan pihak Pengapal dan Pengangkut; 4. “Under protest”, menyusul penandatanganan Konosemen oleh Nahkoda, jika dalam



dokumen



ini



dicantumkan



hal-hal



yang



bertentangan



dengan



kebijaksanaan pengangkut. Surat – surat Jaminan Untuk keperluan perdagangan Konosemen tidak dibenarkan memuat keterangan palsu menyangkut keadaan barang. Namun, dibalik itu pihak Pengapal membutuhkan Konosemen yang bersih untuk penyelesaian pembayaran. untuk itu diajukan kepada Nahkoda atau agen perusahaan sebuah dokumen yang dikenal sebagai “Letter of Indemnity” atau “Back Letter” dimana pihak Pengapal memberikan jaminan sehubungan dengan kerugian yang akan dihadapi sebagai akibat penerbitan konosemen bersih. Dokumen yang diterbitkan itu tidak memiliki kekuatan hukum apapun, sehingga jika dikemudian timbul sengketa hukum, pihak Nahkoda dapat dipersalahkan. Menurut KUH Dagang pasal 506, Konosemen adalah surat bertanggal dimana pihak Pengangkut menerangkan telah menerima barang untuk diangkut ke tujuan tertentu dan menyerahkan kepada pihak-pihak yang ditunjuk. Dengan demikian fungsi konosemen adalah sebagai berikut : 1. Tanda terima; 2. Bukti Perjanjian; 3. Dokumen pemilikan. Selanjutnya ada fungsi tambahan sebagai sarana Negosiasi. Jenis-jenis Konosemen berdasarkan KUH Dagang pasal 506 adalah Konosemen “atas nama”, “atas petunjuk” dan “kepada pembawa”. Konosemen diterbitkan oleh pihak Pengangkut atas permintaan pihak Pengapal yang menyerahkan resi mualim. Dokumen penerimaan ini merupakan kewajiban pihak pengangkut ( KUH Perdata pasal 1339 ). Pengalihan pihak penerima untuk konosemen atas nama hanya dapat dilakukan dengan sebuah Akte Sesi ( KUH Perdata pasal 613). Penunjukan pihak penerima untuk konosemen atas petunjuk dilakukan dengan endosemen ( KUH Dagang pasal 508 ), yaitu penandatanganan sekali pada bagian luar konosemen. Jumlah lebar Konosemen yang dapat diperdagangkan adalah dua (KUH Dagang pasal 507 ), untuk mana berlaku ketentuan “kesemuanya untuk satu dan satu untuk kesemuanya”. 67



Selain terdapat konosemen yang dapat diperdagangkan ( negotiable B / L ), Konosemen terbago dalam : 1. Konosemen bersih ( clean B / L ) : tanpa catatan ( kerusakan / hilang ) dibubuhkan keterangan “Shipped in Good Order and Condition”; 2. Konosemen catat ( foul B / L ) : terdapaot catatan; 3. Konosemen Pengapalan ( shipped B / L ) : barang sudah dikapalkan; 4. Konosemen penerimaan ( received B / L ) : barang berada pada pihak pengangkut; 5. Konosemen langsung ( direct B / L ) : barang ada di satu kapal; 6. Konosemen lanjutan ( through B / L ) : pengangkutan dengan kapal-kapal yang berlainan; 7. Konosemen gabungan ( combined transport B / L ) : moda transport yang berlainan ( truk, kereta api, kapal ); 8. Konosemen terbuka ( open B / L ) : tanpa menyebutkan pihak penerima. 9. Syarat – syarat Konosemen



Syarat utama ( Paramount clouse ) menyatakan tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku ( KUH Dagang COGSA ). Syarat Cassatoria berisikan penetapan tentang keterikatan pihak Pengapal / Penerima akan ketentuan-ketentuan konosemen sekalipun bertentangan dengan kebiasaan lokal, syarat New Jason, merupakan syarat yang dimasukkan ke dalam konosemen dari kapal yang berlayar dari dan ke Amerika Serikat. Syarat ini menetapkan Pemilik Muatan harus turut mambayar kerugian dalam General Average. Pencantuman syarat New Jason, mengingat berlakunya UU Harter (1893) yang melarang pembebanan biaya kepada pemilik Muatan jika kerugian tersebut berasal dari pengangkut melalui negosiasi. Pihak pengangkut tidak dapat membatasi tanggung jawabnya jika



kerugian / kerusakan



diakibatkan kesengajaan, kecerobohan atau sepengetahuan pihak. Kesenjangan yang sama terjadi pad pembatasan ganti rugi tanggung jawab global pengangkut yang berdasarkan KUH Dagang pasal 474 yang adalah Rp. 50,- untuk tiap meter kubik isis bersih kapal. Adapun Hague Visby Rules menggunakan 10.000 gold francs untuk tiap potong barang atau 30 gold prancs perkilo dalam ukuran berat kotor. Francis yang dimaksud adalah satuan dari 65,5 miligram emas. Konosemen ( B/ L ) adalah surat bertanggal dimana pengangkut menerangkan telah menerima barang untuk di angkut ke tempat tujuan dan diserahkan kepada pihak penerima. (ps. 506 KUHD ) Terbagi dalam : 1. Konosemen atas nama (bisa dialihkan ke penerima lain). 68



2. Konosemen atas petunjuk (bisa diperdagangkan). 3. Konosemen kepada pembawa Fungsi Konosemen (Bill of Lading) : 1. Sebagai tanda terima bahwa pengangkut telah menerima sejumlah muatan yang berada di atas kapal. 2. Sebagai bukti perjanjian antara pemilik barang/ pengirim dengan pengangkut. 3. Sebagai dokumen kepemilikan bagi pemilik muatan 4. Sebagai sarana negosiasi untuk pihak-pihak yang berkepentingan.



BAB XII



69



SAFETY OF LIVE AT SEA (S O L A S)



A. Sejarah Konvensi SOLAS Pemikiran untuk meningkatkan jaminan keselamatan hidup di laut dimulai sejak kapal penumpang TITANIC tenggelam tahun 1912 dan menyebabkan banyaknya korban jiwa yang melahirkan konvensi pertama keselamatan pelayaran SOLAS 1914 yang memfokuskan pada peraturan tentang kelengkapan navigasi, kekedapan dinding penyekat kapal serta perlengkapan komunikasi, North Atlantic Ice Patrol yang kemudian berkembang ke kontruksi dan peralatan lainnya. 1. SOLAS versi yang kedua tahun 1929 diberlakukan tahun 1933. Salah satu dari dua Annex Konveksi merevisi COLREGs 2. SOLAS Versi ketiga tahun 1948 diberlakukan tahun 1952 Perbaikan-perbaikan penting : a. Sub devisi kedap air pada kapal-kapal penumpang. b. Standar-standar stabilitas; c. Pelayanan dalam keadaan darurat; d. Perlindungan bahaya kebakaran secara struktural; e. Pengenalan tiga metode alternatif subdivisi dengan sekat-sekat tahan api; dan f. Penutupan tangga-tangga naik utama Pada versi ini diperkenalkan : Sertifikat keselamatan perlengkapan kapal barang, ukuran 500 GT keatas Revisi



COLREGs



dan



peraturan-peraturan



yang



berhubungan



dengan



keselamatan navigasi, meteorologi dan patroli es diperbaharui. Tahun 1948 adalah tahun kebesaran khusus karena satu konperensi telah diselenggarakan di Geneva yang diprakarsai oleh PBB dan diadopsi satu Konvensi tentang pendirian IMCO, yang kemudian berubah nama menjadi IMO (11 Mei 1982) 3. SOLAS Versi keempat tahun 1960 diberlakukan tahun 1965



70



Konferensi SOLAS 1960 adalah konperensi yang pertama kali diselenggarakan sendiri sejak berdirinya IMO Perkembangannya : a.



Ketentuan-ketentuan pengawasan;



b.



Persyaratan-persyaratan berbagai survei dan sertifikat-sertifikat untuk kapal kapal barang dan ukuran 500 GT keatas yang melayani samudera; dan untuk suatu negara melakukan penyelidikan akan kecelakaan-kecelakaan.



c.



Banyak lagi ketentuan-ketentuan tentang keselamatan yang diaplikasikan pada kapal-kapa penumpang telah meluas ke kapal-kapal barang.



d.



Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga; penerangan darurat dan perlindungan terhadap bahaya kebakaran;



e.



Revisi persyaratan-persyaratan radio;



f.



Substansi untuk sekoci penolong (life-boats) dengan rakit penolong (liferafts) dalam beberapa kasus;



g.



Revisi peraturan-peraturan yang berhubungan dengan konstruksi dan perlindungan terhadap bahaya kebakaran ; demikian juga peraturanperaturan yang berhubungan dengan angkutan muatan curah dan barangbarang berbahaya ; dan



h.



Bab terakhir berisi garis besar persyaratan-persyaratan untuk kapal-kapal bertenaga nuklir.



B. Amandemen-Amandemen a. Amandemen 1968 Terhadap bab II – langkah tindakan tertentu akan keselamatan terhadap bahaya kebakaran untuk kapal-kapal penumpang.



b. Amandemen 1967, enam amandemen disahkan, yang berhubungan dengan : a. langkah tindakan keselamatan bahaya kebakaran, dan b. penataan-penataan untuk alat-alat penolong pada tankers dan kapal-kapal barang; c. VHF telephony dalam daerah-daerah lalu lintas padat ; d. Jenis-jenis pesawat baru; dan perbaikan modifikasi dan e. Perlengkapan kapal-kapal 71



c. Amandemen 1968 Terhadap bab V – diperkenankannya a.



Perlengkapan navigasi kapal



b.



Pemakaian “automatic pilot”



c.



Kapal wajib membawa publikasi-publikasi nautis



d. Amandemen 1969 a. Berbagai amandemen disahkan, yang berhubungan dengan b. Perlengkapan personi, seperti : “firemen’s outfit” pada kapal barang c. Spesifikasi sekoci penolong dan baju penolong, d. Instalasi-instalasi radio dan perlengkapan navigasi kapal. e. Amandemen 1971 Amandemen peraturan-peraturan yang berhubungan dengan : a. Radio telegraphy dan radio telephony dan b. Pengaturan rute kapal-kapal ( ship’s routeing ) f. Amandemen 1973 Peraturan-peraturan yang berhubungan dengan :



a.



Alat-alat penolong;



b.



Tugas jaga radio telegraphy;



c.



Persyaratan tangga pandu dan alat angkat



Amandemen utama adalah revisi menyeluruh dan bab VI ( carriage of grain )



C. Konvensi SOLAS 1974 Kompensi SOLAS 1974 diselenggarakan di London dari tanggal 21 Oktober sampai dengan 1 Nopember 1974 yang dihadiri oleh 71 Negara Anggota Konvensi SOLAS 1974 mengaplikasikan : “Tacit acceptance procedure” yaitu mengatur akan suatu amandemen diterima oleh dua pertiga dari jumlah Negara anggota. Pemberlakuan dari amandemen-amandemen terhadap Annex yang bersifat teknis menjadi “tacit acceptance prosedure” (selain dari Bab I). Konvensi tersebut mulai berlaku tanggal 25 Mei 1980. Pemerintah Indonesia merafikasi Konvensi tersebut dengan Keppres No. 65 Tahun 1980.



72



Konvensi SOLAS diperbaiki dan dilengkapi oleh IMO sebanyak 2 kali dengan Protocols : 1. Protocol yang disetujui tanggal 17 Pebruari 1978 dalam Konferensi Internasional mengenai “Tanker Safety and Pollution Prevention (1978 SOLAS Protocol) 2. Protocol yang disetujui dalam Konferensi Internasional mengenai “The Harmonized System of Survey and Certification (1988 SOLAS Protocal) Struktur SOLAS 74/78 memuat persyaratan-persyaratan konstruksi keselamatan kapal, keselamatan manusia dan barang-barang yang diangkut. Kapal harus dibangun dan dilengkapi dengan peralatan keselamatan yang garis besarnya adalah sebagai berikut : 1. Stabilitas kapal mengenai pembagian ruangan, lambung timbul, penempatan instalasi mesin dan listrik. 2. Pencegahan kebakaran, alat untuk kesehatan, alat komunikasi, alat navigasi dan sertifikat yang diharuskan. 3. Peraturan khusus untuk kapal-kapal khusus seperti kapal pengangkut gandum, pengangkut barang beracun dan berbahaya, kapal bertenaga nuklir dan sebagainya. Aplikasi peraturan SOLAS berlaku pada semua kapal yang pertama adalah “SOLAS Convention Consolidated Edition” tahun 1992 yang mulai berlaku 1 Pebruari 1992 dan terdiri dari : SOLAS 1974, SOLAS Protocol 1978 dan semua tambahan peraturan yang sudah disetujui sampai dengan tahun 1990”. Selanjutnya Konvensi SOLAS terus mengalami perubahan dan modifikasi yang digunakan sekarang adalah “SOLAS Consolidated Edition 1997”. SOLAS Consolidated Edition memuat teks SOLAS Convention SOLAS Protocol 1978, dan semua tambahan-tambahan termasuk amandemen tahun 1995. Publikasi baru dari SOLAS Convention ini diatur sebagai berikut : 1.



Part 1, yang memuat Artikel-artikel dari 1974 SOLAS Convention dan 1978, SOLAS Protocol mengenai peraturan dan sertifikasi ; dan



2.



Part 2, yang memuat teks baru SOLAS Chapter IX,” Management for the Safe Operation of Ships, resolution A.718 (17) as modified by resulotion A 745 (18),



73



pelaksanaan



awal



dari



peraturan



“Harmonized



System of Survey and



Certification”, daftar sertifikat dan dokumen yang harus di bawa di kapal. Selanjutnya 5 tahun kemudian diterbitkan “Consolidated SOLAS 74/7, tahun 1997” yang merupakan kumpulan hasil perbaikan dan penambahan yang dilakukan oleh IMO lima tahun terakhir yang terdiri dari : Part 1 Chapter



I



-



General Provisions



Chapter



II – 1



-



Construction – Subdivision, and Stability, Machinery and Electrical Installation



II – 2



-



Construction – Fire Protection, Fire Detection and Fire Extinction



Chapter



III



-



Life Saving Appliances and Arrangements



Chapter



IV



-



Radio Communications



Chapter



V



-



Safety Navigation



Chapter



VI



-



Carriage of Cargoes



Chapter



VIII



-



Nuclear Ship



Chapter



IX



-



Management for the Safe Operation of Ship



Chapter



X



-



Safety Measures for High Speed Craft



Chapter



XI - 1 -



Special Measures to Enhanced Maritime Safety



Chapter



XI - 2 -



Special Measures to Enhanced Maritime Security



Appendix



Certificates Annex I : Records of Equipment Annex II : Forms of Attachements Part 2



Annex 1



New Chapter IX of the annex to The international Convention for the Safety of Life at Sea, 1974



Annex 2



Resolution A (718 (17)), as modified by resolution A. 745 (18) Early Implementation of the Harmonized System of Survey and Certification



Annex 3



Certificates and documents required to be carried on board ships 74



Annex 4



Resolution of the Confrence of Contracting Parties to the International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974, adopted on 24 May 1994.



Annex 5



Resolution of the Confrence of Contracting Patries to the International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974, adopted on 29 November 1994.



Berikut ini adalah gambaran umum Struktur SOLAS untuk setiap Bab. 1. Chapter I : General Provisions Bab ini memuat definisi, regulasi dan format sertifikat-sertifikat yang dikeluarkan untuk menunjukkan telah memenuhi peraturan SOLAS termasuk jangka waktu minimum dilakukan pemeriksaan. Juga



dimuat



peraturan



yang



memberi



wewenang



Negara



Pelabuhan



melaksanakan pemeriksaan atau kontrol di Pelabuhan (Port State Control) untuk menjamin bahwa kapal yang berkunjung memiliki sertifikt sesuai SOLAS dan masih berlaku. Jika tidak maka Negara Pelabuhan berhak mengambil tindakan (menahan) dan memberitahukannya ke IMO.



2. Chapter II – 1 : Construction, Subdivision, Stability, Machinery and Electrical Installation. a. Pembagian Ruangan dan Stabilitas Dalam bab ini dijelaskan tentang pembagian ruangan yang berdasarkan kekuatan kapal, kekuatan dan kekedepanan sekat-sekat ruang muat dan kamar mesin kapal dan kekedapan kapal (bukan sekap kedap minyak/air penutupnya, tanki). Juga dibahas perlunya Stabilitas Information Book yang berisi : 1).



Kurva yang menunjukkan tinggi minimum operasional “matacentric” (GM) terhadap



draft



kapal untuk memenuhi



persyaratan



SOLAS



Convention. 2).



Instruksi tentang operasi dari “Cross flooding arrangements”, dan



3).



Semua data bantuan yang dapat digunakan untuk mempertahankan stabilitas kapal yang tergenang air karena kecelakaan atau bocor.



75



b. Instalasi Mesin Kapal Dalam bab ini dijelaskan bahwa Instalasi mesin terdiri dari mesin penggerak utama, mesin pembangkit tenaga listrik, dan mesin-mesin lainnya, ketel uap, tabung bertekanan tinggi, pipa-pipa dan kelengkapannya. Keseluruhan perlengkapan tersebut harus memiliki konstruksi yang memenuhi peraturan yang ada dan terpasang dengan baik serta dapat bekerja dengan aman. Peraturan SOLAS juga memuat daftar peralatan instalasi yang penting dan perlu ada cadangan yaitu untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi kerusakan yaitu : 1).



Pembangkit Tenaga Listrik atau generator sets



2).



Pembangkit tenaga uap (boiler)



3).



Pompa dan sistem pengisi air untuk boiler



4).



Sistem supial bahan bakar untuk mesin dan boiler



5).



Pompa tekan minyak pelumnas dan pompa air tawar pendingin mesin dan pompa kondensat.



6).



Sistem mekanik supial udara segar ke dalam boiler.



7).



Kompresor dan tabung udara, sistem hidrolik, pneumatik dan elekrtik untuk pengontrol mesin penggerak utama dan pengontrol CPP.



Juga dibahas tentang sistem kemudi untuk berbagai jenis kapal khususnya tanker. c. Instalasi Listrik Di dalam SOLAS ditetapkan bahwa instalasi listrik untuk kapal-kapal barang termasuk tanker harus memenuhi persyaratan berikut : 1).



Semua instalasi listrik yang menunjang operasi kapal sesuai yang direncanakan dan tidak memerlukan sumber tenaga tambahan.



2).



Sumber tenaga listrik untuk menjamin keselamatan kapal dalam kondisi darurat.



3).



Penumpang dan awak terlidung dari bahaya listrik di kapal.



Dalam bab ini dijelaskan sumber tenaga listrik di kapal terdiri dari : 1).



Main Generator



2).



Emergency Generator



76



3. Chapter II – 2 : Construction, Fire Protection, Fire Detection and Fire Bab ini membahas tentang konstruksi pencegah kebakaran, alat deteksi kebakaran dan pemadam kebakaran kapal. Peraturan untuk melindungi bahaya kebakaran di atas kapal dimulai dari jenis materi yang digunakan, konstruksinya sampai pada cara mendeteksi terjadinya kebakaran dan sarana untuk memadamkannya. a. Prinsip DasarKonstruksi Dikenal tiga jenis kapal : 1). Fire Safety Measures for Passenger Ships 2). Fire Safety Measures for Cargo Ships 3). Fire Safety Measures for Tankers b. Pembagian Ruangan Dikenal tiga jenis (kelas) sekat berdasarkan SOLAS Convention yaitu : 1). Kelas A adalah ruangan yang dibatasi oleh sekat vertikal dan plat dek yang memenuhi persyaratan. 2). Kelas B adalah untuk ruangan yang dibatasi oleh sekat, plat, dek, langit-langit yang memenuhi persyaratan. 3). Kelas C adalah digunakan untuk konstruksi sekat yang tahan api. c. Sarana Pencegah dan Pemadam Kebakaran Dalam bagian ini dijelaskan tentang jenis pencegah pemadam kebakaran yang digunakan di atas kapal yaitu : 1). Pompa pemadam kebakaran termasuk perlengkapannya (Regulation 4) 2). Pemadam kebakaran dengan gas (Regulation 5) 3). Penyediaan Alat pemadam Kebakaran Portable (Regulation 6) 4). Peraturan Pemadaman Kebakaran di Kamar Mesin (Regulation 7) Juga dibahas tentang sistem kemudi untuk berbagai jenis kapal khususnya tanker. d. Penggunaan International Shore Connection (Regulation 19) e. Pengadaan Gambar Rencana Umum Fire Control Plans and Fire drills (Regulation 20) 4. Chapter III : Life Saving Appliances and Arrangements Isi peraturan dalam bab tersebut adalah sebagai berikut :



77



a. Mengatur Pengadaan dan Persetujuan yang diperlukan oleh Pemerintah (Regolution 4) b. Alat Keselamatan untuk Kapal Barang dan Penumpang berupa 1).



Alat Komunikasi



2).



Alat keselamatan untuk setiap orang (Lifebuoys, Life Jackets, Immersion Suits)



3).



Visual Signal (Rocket Parachute, Hands Flares, Buoyant)



4).



Alat Apung penolong (Liferaft, Inflatable raft, Lifeboats and Rescue Boats)



5).



Daftar Petugas dan Instruksi dalam Keadaan Darurat



6).



Petunjuk operasi yang berlaku untuk semua jenis kapal



7).



Alat pelempar



8).



Supervisi dan pengawakan sekoci penolong untuk semua jenis kapal



c. Buku Training Manuals d. Latihan di atas kapal oleh Pelaksana e. Kesiapan alat, Pemeliharaan dan Inspeksi f.



Pemeriksaan periodik Mingguan dan Bulanan



5. Chapter IV : Radiocommunications Dalam bab ini diatur tentang penggunaan alat komunikasi yang mencakup : a. Komunikasi Radio Kapal b. Peralatan Radio yang digunakan c. Standar Kehandalan Komunikasi d. Alat komunikasi GMDSS



6. Chapter V : Safety of Navigation Chapter V SOLAS 74/78 membahas mengenai peraturan kelengkapan navigasi untuk semua kapal dan mengatur penyampaian berita dan informasi yang dibutuhkan mengenai berita yang membahayakan kapal. Hal-hal yang diatur adalah : a. Berita yang diperlukan 78



b. Rute dan Kelengkapan Navigasi c. Tugas dan Kewajiban Pemerintah d. Kewajiban Nakhoda Kapal e. Kelengkapan Alat Bantu Navigasi f. Tingkat Kebisingan 7. Chapter VI : Carriage of Cargoes Bab ini terbagi dalam 3 bagian ( A, B & C) Hal-hal yang harus diperhatikan adalah muatan dapat berpindah tempat atau “Shiffing” yang dapat mendatangkan malapetaka. Ketentuan-ketentuan untuk keselamatan kapal yaitu bagaimana mengenai pemadatan muatan “trimming” dan menyelamatkan muatan. Akibat dari perpindahan/pergeseran



muatan



maka



ditetapkan



suatu



metode



untuk



menghitung perpindahan/pergeseran muatan maka ditetapkan suatu metode untuk menghitung moment penegak atau “adverse heeling moment”, dan Setiap kapal yang mengangkut muatan curah harus membawa dokumen angkutan antara lain : a.



Data stabilitas pemuatan muatan curah;



b.



Izin mengangkut muatan yang berkaitan dengan muatan.



8. Chapter VII : Pengangkutan muatan berbahaya (Carriage of dangerous goods ) Bab ini juga terbagi dalam tiga bagian (A, B & C) dalam menetapkan : a.



Klasifikasi (classification);



b.



Pengepakan (packaging);



c.



Pemberian tanda label dan plakat (marking, labelling and placarding).



d.



Persyaratan-persyaratan



tentang



penyusunan



muatan



(stowage



requirements); e.



Konstruksi dan perlengkapan untuk angkutan bahan cair kimia yang dicairkan dalam jumlah besar;



f.



Konstruksi dan perlengkapan untuk angkutan gas yang dicairkan



g.



Pengaturan muatan berbahaya secara rinci dan teknis mengacu pada IMGD Code yang telah dikeluarkan oleh IMO sejak tahun 1965 dan hingga kini telah banyak mengalami amandemen-amandemen yang mengikuti penemuan baru muatan berbahaya selain revisi ketentuan-ketentuan yang ada. 79



9. Chapter VIII : Kapal-kapal Nuklir Bab ini hanya memberikan persyaratan-persyaratan dasar untuk kapal nuklir 10. Chapter IX : Management for the Safe Operatyion of Ship Bab ini berhubungan erat dengan implementasi ISM Code. 11. Chapter X : Safety Measure for High Speed Craft Bab ini mengatur tentang kapal yang dibangun pada /sesudah tanggal 1 Januari 1996, yakni : a.



Kapal penumpang yang berlayar tidak lebih dari 4 jam dari pelabuhan pemberangkatannya, penuh muatan dengan kecepatan operasionalnya.



b.



Kapal barang ukuran 500 grt atau lebih yang berlayar tidak lebih dari 8 jam dari pelabuhan pemberangkatannya, penuh muatan dengan kecepatan operasionalnya.



Peraturan ini berlaku juga untuk kapal yang diperbaiki, dimodifikasi atau dilengkapi menjadi kapal berkecepatan tinggi dengan tidak melihat tahun pembuatannya. Kapal yang masuk dalam kategori adalah kapal yang dengan kecepatan maksimum (m/detik) sama dengan atau lebih besar dari hasil kalkulasi. 3,7  0,167  = Displacement kapal pada batas garis muat konstruksi (m/kubik) 12. Chapter XI : Specials Measures to Enhance Maritime Safety Peraturan



yang



memuat



langkah-langkah



khusus



untuk



meningkatkan



keselamatan yang membutuhkan pemerikasaan lebih intensif, kapal-kapal Bulk Carrier dan Tankers, termasuk kewajiban bagi Perusahaan dan kapal penyimpan hasil pemerikasan perbaikan, laporan-laporan dan data-data penunjang lainnya untuk diverifikasi oleh Pemerintah.



13. Annex 1 : Sertifikat Keselamatan Kapal Mengatur tentang Sertifikat-sertifikat yang harus dibawa oleh kapal (asli) yaitu : 80



a. Sertifikat Keselamatan Kapal b. Tambahan Sertifikat Untuk Kapal Penumpang c. Tambahan Sertifikat Untuk Kapal Barang d. Sertifikat Kapal Khusus dan Alat Apung e. Sistem Pemeriksaan f. Masa Berlaku Sertifikat Keselamatan Kapal



81



BAB XIII CONVENTION MARINE POLUTION (MARPOL)



1.



Sejarah Konvensi MARPOL Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885 dan penggunaan pertama mesin diesel sebagai penggerak utama kapal tiga tahun kemudian, maka fenomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul. Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris (UK), lahirlah “Oil Pullution Convention, yang mencari cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dan pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin kapal lainnya. Sebagai hasilnya adalah sidang IMO mengenai “international Conference on Marine Pollution” dari tanggal 8 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1973 yang menghasilkan “international Convention for the Prevention of Oil Pollution from Ships” tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dengan TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention) Protocol tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978 yang masih berlaku sampai sekarang. Difinisi mengenai “Ship” dalam MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut: “Ship means a vessel of any type whatsoever operating in the marine environment and includes hydrofoil boats, air cushion vehhicles, suvmersibles, ficating Craft and fixed or floating platform”. Jadi “Ship” dalam peraturan lindungan lingkungan maritim adalah semua jenis bangunan yang berada di laut apakah bangunan itu mengapung, melayang atau tertanam tetap di dasar laut.



82



2.



Isi Peraturan MARPOL Peraturan mengenai pencegahan berbagai jenis sumber bahan pencemaran lingkungan maritim yang datangnya dari kapal dan bangunan lepas pantai diatur dalam MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan : 1. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973. Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barangbarang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensikonvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional. 2. Protocol of 1978 Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi. Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan. Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai : a.



Protocol I Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya. Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan,



83



yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I. Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus memuat keterangan : 1)



Mengenai identifikasi kapal yang terlibat melakukan pencemaran.



2)



Waktu, tempat dan jenis kejadian



3)



Jumlah dan jenis bahan pencemar yang tumpah



4)



Bantuan dan jenis penyelamatan yang dibutuhkan



Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud. b.



Protocol II mengenai Arbitrasi Berdasarkan Article 10”setlement of dispute”. Dalam Protocol II diberikan petunjuk menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih Negara anggota mengenai interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi. Selanjutnya



peraturan



mengenai



pencegahan



dan



penanggulangan



pencemaran laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I s/d V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut: 



Annex I



Pencemaran oleh minyak Mulai berlaku 2 Oktober 1983







Annex II



Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious Substances) dalam bentuk Terbungkus Mulai berlaku 2 Oktober 1983







Annex III Pencemaran oleh barang Berbahaya (Harmful Sub-Stances) dalam bentuk Terbungkus Mulai berlaku 1 Juli 1992







Annex IV Pencemaran dari kotor Manusia /hewan (Sewage) Mulai berlaku 27 September 2003







Annex V Pencemaran Sampah Mulai berlaku 31 Desember 1988







Annex VI Pencemaran udara 84



Peraturan MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, baru Annex I dan Annex II, dengan Keppres



3.



No. 46 tahun 1986.



Tugas Dan Tanggung Jawab Negara Anggota MARPOL 73/78 1. Menyetujui MARPOL 73/78 – Pemerintah suatu negara 2. Memberlakukan Annexexes I dan II – Administrasi hukum / maritim 3. Memberlakukan optimal Annexes dan melaksanakan – Administrasi hukum / maritim. 4. Melarang pelanggaran – Administrasi hukum / maritim 5. Membuat sanksi – Administrasi hukum / maritim 6. Membuat petunjuk untuk bekerja – administrasi maritim 7. Memberitahu Negara-negara yang bersangkutan – administrasi maritim. 8. Memberitahu IMO – Administration maritim 9. Memeriksa kapal – Administrasi maritim 10. Memonitor pelaksanaan – Administrasi maritim 11. Menghindari penahanan kapal – Administrasi kapal 12. Laporan kecelakaan – Administrasi maritim / hukum 13. Menyediakan laporan dokumen ke IMO (Article 11) – Administrasi maritim 14. Memeriksa



kerusakan



kapal



yang



menyebabkan



pencemaran



dan



melaporkannya – Administrasi maritim. 15. Menyediakan fasilitas penampungan yang sesuai peraturan – Administrasi maritim.



4.



Yurisdiksi Pemberlakuan MARPOL 73/78 MARPOL 73/78 memuat tugas dan wewenang sebagai jaminan yang relevan bagi setiap Negara anggota untuk memberlakukan dan melaksanakan peraturan sebagai negara bendera kapal, Negara pelabuhan atau negara pantai. 1.



Negara bendera kapal adalah Negara dimana suatu kapal didaftarkan



2.



Negara pelabuhan adalah Negara dimana suatu kapal berada di pelabuhan Negara itu.



85



3.



Negara pantai adalah Negara dimana suatu kapal berada di dalam zona maritim Negara pantai tersebut.



MARPOL 73/78 mewajibkan semua Negara berdera kapal, Negara Pantai dan Negara pelabuhan yang menjadi anggota mengetahui bahwa : “ Pelanggaran terhadap peraturan konvensi yang terjadi di dalam daerah yurisdiksi Negara anggota dilarang dan sanksi atau hukuman bagi yang melanggar dilakukan berdasarkan Undang-Undang Negara anggota itu”. 1. Juridiksi legislatif Negara bendera kapal Berdasarkan hukum Internasional, Negara bendera kapal diharuskan untuk memberlakukan peraturan dan mengontrol kegiatan berbendera Negara tersebut dalam hal administrasi, teknis dan sarana sosial termasuk mencegah terjadi pencemaran perairan. Negara bendera kapal mengharuskan kapal berbendera Negara itu memenuhi standar Internasional (antara lain MARPOL 73/78). Tugas utama dari negara bendera kapal adalah untuk menjamin bahwa kapal mereka memnuhi standar teknik di dalam MARPOL 73/78 yakni : a.



memeriksa kapal-kapal secara periodik



b.



menerbitkan sertifikat yang diperlukan



2. Juridiksi legislatif Negara pantai Konvensi MARPOL 73/78 meminta Negara pantai memberlakukan peraturan konvensi pada semua kapal yang memasuki teoritialnya dan, tindakan ini dibenarkan oleh peraturan UNCLOS 1982, asalkan memenuhi peraturan konvensi yang berlaku untuk lintas damai (innocent passage) dan ada bukti yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran. 3. Juridiksi legislatif Negara pelabuhan Negara anggota MARPOL 73/78 wajib memberlakukan peraturan mereka bagi semua kapal yang berkunjung ke palabuhannya. Tidak ada lagi perlakuan khusus bagi kapal-kapal yang bukan anggota. Ini berarti ketaatan pada peraturan MARPOL 73/78 merupakan persyaratan kapal boleh memasuki pelabuhan semua Negara anggota. Adalah wewenang dari Negara pelabuhan untuk memberlakukan peraturan lebih ketat tentang pencegahan pencemaran sesuai peraturan mereka. Namun



86



demikian sesuai UNCLOS 1982 peraturan seperti itu harus dipublikasikan dan disampaikan ke IMO untuk disebar luaskan.



5.



Cara-cara Untuk Memenuhi Kewajiban Dalam MARPOL 73/78 Persetujuan suatu Negara anggota untuk melaksanakan MARPOL 73/78 diikuti dengan tindak lanjut dari Negara tersebut di sektor-sektor 1. Pemerintah Kemauan politik dari suatu Negara untuk meratifikasi MARPOL 73/78 merupakan hal yang fundamental. Dimana kemauan politik itu didasarkan pada pertimbangan karena: a.



Kepentingan lingkungan maritim di bawah yurisdiksi Negara itu.



b.



Keuntungan untuk pemilik kapal Negara tersebut (Kapal-kapalnya dapat diterima oleh dunia Internasional).



c.



Keuntungan untuk ketertiban di pelabuhan Negara itu (dapat mengontrol pencemaran) atau



d.



Negara ikut berpartisipasi menjaga keselamatan lingkungan internasional.



Pertimbangan dan masukan pada Pemerintah untuk meretifikasi konvensi diharapkan datang dari badan administrasi maritim atau badan administrasi lingkungan dan dari industri maritim. Dalam konteks ini harus diakui bahwa Negara anggota MARPOL 73/78 menerima tanggung jawab tidak membuang bahan pencemar ke laut, namun demikian di lain pihak mendapatkan hak istimewa, perairannya tidak boleh dicemari oleh Kapal Negara anggota lain. Kalau terjadi pencemaran di dalam teritorial mereka, mereka dapat menuntun dan meminta ganti rugi. Negara yang bukan anggota tidak menerima tanggung jawab untuk melaksanakan peraturan atas kapal-kapal mereka, jadi kapal-kapal-kapal mereka tidak dapat dituntut karena tidak memenuhi peraturan (kecuali bila berada di dalam daerah teritorial Negara anggota).



87



Namun demikian harus diketahui pula bahwa Negara yang tidak menjadi anggota berarti kalau pantainya sendiri dicemari, tidak dapat memperoleh jaminan sesuai MARPOL 73.78 untuk menuntut kapal yang mencemarinya.



2. Administrasi hukum Tugas utama dari Administrasi hukum adalah bertanggung jawab memberlakukan peraturan yang dapat digunakan untuk melaksanakan peraturan MARPOL 73/78. Untuk memudahkan pekerjaan Administrasi hukum sebaiknya ditempatkan dalam satu badan dengan Administrasi maritim yang diberikan kewenangan meratifikasi, membuat peraturan dan melaksanakannya. Agar peraturan dalam MARPOL 73/78 mempunyai dasar hukum untuk dilaksanakan, maka peraturan tersebut harus diintegrasikan ke dalam sistim perundang-undangan Nasional. Cara pelaksanaannya sesuai yang digambarkan dalam diagram berikut.



3. Administrasi maritim Administrasi maritim yang dibentuk pemerintah bertanggung jawab melaksanakan tugas administrasi pemberlakuan peraturan MARPOL 73/78 dan konvensikonvensi maritim lainnya yang sudah diratifikasi. Badan ini akan memberikan masukan pada Administrasi hukum dan Pemerintah di satu pihak dan membina industri perkapalan dari Syahbandar dipihak lain yang digambarkan dalam diagram berikut. Tugas dari Administrasi maritim ini adalah melaksanakan MARPOL 73/78 bersama-sama dengan beberapa konvensi maritim lainnya. Disarankan untuk meneliti tugas-tugas tersebut guna identifikasi peraturan-peraturan yang sesuai dan memutuskan bagaimana memberlakukannya. 4. Pemilik Kapal Pemilik kapal berkewajiban membangun dan melengkapi kapal-kapalnya dan mendiidk pelautnya, perwira laut untuk memenuhi peraturan MARPOL 73/78.



88



Konpetensi dan ketrampilan pelaut harus memenuhi standar minimun yang dimuat dalam STCW-95 Convention. 5. Syahbandar (Port Authorities) Tugas utama dari Syahbandar adalah menyediakan tempat penampungan buangan yang memadai sisa-sisa bahan pencemar dari kapal yang memadai. Syahbandar juga bertugas untuk memantau dan mengawasi pembuangan bahan pencemar yang asalnya dari kapal berdasarkan peraturan Annexes I, II, IV dan V MARPOL.



6.



Implementasi Peraturan MARPOL 1973/1978 Administrasi Maritim dalam melaksanakan tugasnya adalah bertindak sebagai : 1.



sebagai pelaksanaan IMO



2.



Legislation dan Regulations serta Implementation of Regulations



3.



Instruction to Surveyor



4.



Delegations of surveyor and issue of certificates



5.



Records of Certifications, Design Approval, dan Survey Report



6.



Equipment Approval, Issue of certificates dan Violations reports



7.



Prosecution of offenders, Monitoring receptions facilities dan Informing IMO as required



Pemeriksaan dan Inspeksi yang dilakukan oleh Surveyor dan Inspektor Garis besar tugas surveyor dan inspektor melakukan pemeriksaan adalah sebagai berikut : 1.



Memeriksa kapal untuk penyetujuan rancang bangun. Tugas ini hendaknya dilakukan oleh petugas yang berkualifikasi dan berkualitas sesuai yang ditentukan oleh kantor pusat Administrasi maritim.



2.



Inspeksi



yang



dilakukan



oleh



Syahbandar



adalah



bertujuan



untuk



mengetahui apakah prosedur operasi sudah sesuai dengan peraturan. 3.



Investigasi dan penuntunan. Surveyor dan Inspector pelabuhan harus mampu melakukan pemeriksaan kasus yang tidak memenuhi peraturan konstruksi, peralatan dan pelanggaran yang terjadi. Berdasarkan petunjuk dari pusat Administrasi maritim, petugas tersebut harus dapat menuntut pihak-pihak yang melanggar. 89



7.



Implementasi Peraturan MARPOL 73/78 1. Survey & pemeriksaan 2. Sertifikasi 3. Tugas Pemerintah



8.



Dampak Pencemaran Di Laut Dampak pencemaran barang beracun dan berbahaya terutama minyak berpengaruh terhadap : 1.



Dampak ekologi



2.



Tempat rekreasi



3.



Lingkungan Pelabuhan dan Dermaga



4.



Instalasi Industri



5.



Perikanan



6.



Binatang Laut



7.



Burung Laut



8.



Terumbu Karang dan Ekosistim



9.



Tumbuhan di pantai dan Ekosistim



10.



Daerah yang dilindung dan taman laut



9.



Definisi-Definisi Bahan Pencemar Bahan-bahan pencemar yang berasal dari kapal terdiri dari muatan yang dimuat oleh kapal, bahan bakar yang digunakan untuk alat propulsi dan alat lain di atas kapal dan hasil atau akibat kegiatan lain di atas kapal seperti sampah dan segera bentuk kotoran. Definisi bahan-bahan pencemar dimaksud berdasarkan MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut : 1.



“Minyak” adalah semua jenis minyak bumi seperti minyak mentah (crude oil) bahan bakar (fuel oil), kotoran minyak (sludge) dan minyak hasil penyulingan (refined product)



2.



“Naxious liquid substances”. Adalah barang cair yang beracun dan berbahaya hasil produk kimia yang diangkut dengan kapal tanker khusus (chemical tanker) 90



Bahan kimia dimaksud dibagi dalam 4 kategori (A,B,C, dan D) berdasarkan derajad toxic dan kadar bahayanya. Kategori A



: Sangat berbahaya (major hazard). Karena itu muatan termasuk bekas pencuci tanki muatan dan air balas dari tanki muatan tidak boleh dibuang ke laut.



Kategori B



: Cukup berbahaya. Kalau sampai tumpah ke laut memerlukan penanganan khusus (special anti pollution measures).



Kategori C



: Kurang berbahaya (minor hazard) memerlukan bantuan yang agak khusus.



Kategori D



: Tidak membahayakan, membutuhkan sedikit perhatian dalam menanganinya.



3.



“Hamfull substances” Adalah barang-barang yang dikemas dalam dan membahayakan lingkungan kalau sampai jatuh ke laut.



4.



Sewage”.



Adalah



kotoran-kotoran



dari



toilet, WC, urinals, ruangan



perawatan, kotoran hewan serta campuran dari buangan tersebut. 5.



“Garbage” Adalah tempat sampah-sampah dalam bentuk sisa barang atau material hasil dari kegiatan di atas kapal atau kegiatan normal lainnya di atas kapal.



Peraturan pencegahan pencemaran laut diakui sangat kompleks dan sulit dilaksanakan secara serentak, karena itu marpol Convention diberlakukan secara bertahap. Tanggal 2 Oktober 1983 untuk Annex I (oil). Disusul dengan Annex II (Noxious Liquid Substances in Bulk) tanggal 6 April 1987. Disusul kemudian Annex V (Sewage), tanggal



31 Desember 1988, dan Annex III (Hamful Substances in



Package) tanggal 1 juli 1982. Sisa Annex IV (Garbage) yang belum berlaku Internasional sampai saat ini. Annex I MARPOL 73/78 yang memuat peraturan untuk mencegah pencemaran oleh tumpahan minyak dari kapal sampai 6 Juli 1993 sudah terdiri dari 23 Regulation. Peraturan dalam Annex I menjelaskan mengenai konstruksi dan kelengkapan kapal untuk mencegah pencemaran oleh minyak yang bersumber dari kapal, dan kalau terjadi juga tumpahan minyak bagaimana cara supaya tumpahan bisa dibatasi dan bagaimana usaha terbaik untuk menanggulanginya. Untuk menjamin agar usaha mencegah pencemaran minyak telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh awak kapal, maka kapal-kapal diwajibkan untuk mengisi 91



buku laporan (Oil Record Book) yang sudah disediakan menjelaskan bagaimana cara awak kapal menangani muatan minyak, bahan bakar minyak, kotoran minyak dan campuran sisa-sisa minyak dengan cairan lain seperti air, sebagai bahan laporan dan pemeriksaan yang berwajib melakukan kontrol pencegahan pencemaran laut. Kewajiban untuk menigisi “Oli Record Book” dijelaskan di dalam Reg. 20. Appendix I Daftar dari jenis minyak (list of oil) sesuai yang dimaksud dalam MARPOL 73/78 yang akan mencemari apabila tumpahan ke laut. Appendix II, Bentuk sertifikat pencegahan pencemaran oleh minyak atau “IOPP Certificate”



dan



suplemen



mengenai



data



konstruksi



dan



kelengkapan kapal tanker dan kapal selain tanker. Sertifikat ini membuktikan bahwa kapal telah diperiksa dan memenuhi peraturan dalam reg. 4. “Survey and inspection” dimana struktur dan konstruksi kapal, kelengkapannya serta kondisinya memenuhi semua ketentuan dalam Annex I MARPOL 73/78. Appendix III,



Bentuk “Oil Record Book” untuk bagian mesin dan bagian dek



yang wajib diisi oleh awak kapal sebagai kelengkapan laporan dan bahan pemeriksaan oleh yang berwajib di Pelabuhan.



10.



Usaha Mencegah Dan Menanggulangi Pencemaran Laut



Pada permulaan tahun 1970-an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat peraturan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran laut pada dasarnya sama dengan yang dilakukan sekarang, yakni melakukan kontrol yang ketat pada struktur kapal untuk mencegah jangan sampai terjadi tumpahan minyak atau pembuangan campuran minyak ke laut. Dengan pendekatan demikian MARPOL 73/78 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin minyak yang mencemari laut. Tetapi kemudian pada tahun 1984 dilakukan perubahan penekanan dengan menitik beratkan pencegahan pencemaran pada kegiatan operasi kapal seperti yang dimuat didalam Annex I terutama keharusan kapal untuk dilengkapi dengan “Oily Water Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems”.



92



Karena itu MARPOL 73/78 Consolidated Edition 1997 dibagi dalam 3 (tiga) kategori dengan garis besarnya sebagai berikut : 1.



Peraturan untuk mencegah terjadinya Pencemaran. Kapal dibangun, dilengkapi dengan konstruksi dan peralatan berdasarkan peraturan yang diyakini akan dapat mencegah pencemaran terjadi dari muatan yang diangkut, bahan bakar yang digunakan maupun hasil kegiatan operasi lainnya di atas kapal seperti sampah-sampah dan segala bentuk kotoran.



2.



Peraturan untuk menanggulangi pencemaran yang terjadi Kalau sampai terjadi juga pencemaran akibat kecelakaan atau kecerobohan maka diperlukan peraturan untuk usaha mengurangi sekecil mungkin dampak pencemaran, mulai dari penyempurnaan konstruksi dan kelengkapan kapal guna mencegah dan membatasi tumpahan sampai kepada prosedur dari petunjuk yang harus dilaksanakan oleh semua pihak dalam menaggulangi pencemaran yang telah terjadi.



3.



Peraturan untuk melaksanakan peraturan tersebut di atas. Peraturan prosedur dan petunjuk yang sudah dikeluarkan dan sudah menjadi peraturan Nasional negara anggota wajib ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat dalam membangun, memelihara dan mengoperasikan kapal. Pelanggaran terhadap peraturan, prosedur dan petunjuk tersebut harus mendapat hukuman atau denda sesuai peraturan yang berlaku. Khusus bahan pencemaram minyak bumi, pencegahan dan penanggulanganya secara garis besar dibahas sebagai berikut : a.



Peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh minyak. Untuk mencegah pencemaran oleh minyak bumi yang berasal dari kapal terutama tanker dalam Annex I dimuat peraturan pencegahan dengan penekanan sebagai berikut : Regulation 13, Segregated Ballast Tanks, Dedicated Clean Tanks Ballast and Crude Oil Washing (SRT, CBT dan COW) Menurut hasil evaluasi IMO cara terbaik untuk mengurangi sesedikit mungkin pembuangan minyak karena kegiatan operasi adalah melengkapi tanker yang paling tidak salah satu dari ketiga sistem pencegahan :



93



1).



Segregated Ballast Tanks (SBT) Tanki khusus air balas yang sama sekali terpisah dari tanki muatan minyak maupun tanki bahan bakar minyak. Sistem pipa juga harus terpisah, pipa air balas tidak boleh melewati tanki muatan minyak.



2).



Dedicated Clean Ballast Tanks (CBT) Tanki bekas muatan dibersihkan untuk diisi dengan air balas. Air balas dari tanki tersebut, bila dibuang ke laut tidak akan tampak bekas minyak di atas permukaan air dan apabila dibuang melalui alat pengontrol minyak (Oil Dischane Monitoring), minyak dalam air tidak boleh lebih dari 13 ppm.



3).



Crude Oil Washing (COW) Muatan minyak mentah (Crude Oil) yang disirkulasikan kembali sebagai media pencuci tanki yang sedang dibongkar muatnnya untuk mengurangi endapan minyak tersisa dalam tanki.



b.



Pembatasan Pembuangan Minyak MARPOL 73/78 juga masih melanjutkan ketentuan hasil Konvensi 1954 mengenai Oil Pollution 1954 dengan memperluas pengertian minyak dalam semua bentuk termasuk minyak mentah, minyak hasil olahan, sludge atau campuran minyak dengan kotorn lain dan fuel oil, tetapi tidak termasuk produk petrokimia (Annex II) Ketentuan Annex I Reg.9. “Control Discharge of Oil” menyebutkan bahwa pembuangan minyak atau campuran minyak hanya dibolehkan apabila : 1).



Tidak di dalam “Special Area” seperti Laut Mediteranean, Laut Baltic, Laut Hitam, Laut Merah dan daerah Teluk.



2).



Lokasi pembuangan lebih dari 50 mil laut dari daratan



3).



Pembuangan Dilakukan Waktu Kapal sedang berlayar



4).



Tidak membuang minyak lebih dari 30 liter /nautical mile



5).



Tidak membuang minyak lebih besar dari 1 : 30.000 dari jumlah muatan.



c.



Monitoring dan Kontrol Pembuangan Minyak Kapal tanker dengan ukuran 150 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan “slop tank” dan kapal tanker ukuran 70.000 tons dead weight (DWT) atau 94



lebih paling kurang dilengkapi “slop tank” tempat menampung campuran dan sisa-sisa minyak di atas kapal. Untuk mengontrol buangan sisa minyak ke laut maka kapal harus dilengkapi dengan alat kontrol “Oil Dischange Monitoring and Control System” yang disetujui oleh pemerintah, berdasarkan petunjuk yang ditetapkan oleh IMO. Sistem tersebut dilengkapi dengan alat untuk mencatat berapa banyak minyak yang ikut terbuang ke laut. Catatan data tersebut harus disertai dengan tanggal dan waktu pencatatan. Monitor pembuangan minyak harus dengan otomatis menghentikan aliran buangan ke laut apabila jumlah minyak yang ikut terbuang sudah melebihi amabang batas sesuai peraturan Reg. 9 (1a) “Control of Discharge of Oil”. d.



Pengumpulan sisa-sisa minyak Reg. 17 mengenai “Tanks for Oil Residues (Sludge)” ditetapkan bahwa untuk kapal ukuran 400 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan tanki penampungan dimana ukurannya disesuaikan dengan tipe mesin yang digunakan dan jarak pelayaran yang ditempuh kapal untuk menampung sisa minyak yang tidak boleh dibuang ke laut seperti hasil pemurnian bunker, minyak pelumas dan bocoran minyak dimakar mesin. Tanki-tanki penampungan dimaksud disediakan di tempat-tempat seperti : 1).



Pelebuhan dan terminal dimana minyak mentah dimuat.



2).



Semua pelabuhan dan terminal dimana minyak selain minyak mentah dimuat lebih dari 100 ton per hari.



3).



Semua daerah pelabuhan yang memiliki fasilitas galangan kapal dan pembersih tanki.



4).



Semua pelabuhan yang bertugas menerima dan memproses sisa minyak dari kapal.



e.



Peraturan untuk menanggulangi pencemaran oleh minyak Sesuai



Reg.



26



“Shipboard



Oil



Pollution



Emergency



Plan”



untuk



menanggulangi pencemaran yng mungkin terjadi maka tanker ukuran 150 gross ton atau lebih dan kapal selain tanker 400 grt atau lebih, harus membuat rencana darurat pananggulangan pencemaran di atas kapal.



95



f.



Peraturan pelaksanan dan ketentuan pencegahan dan penanggulangan pencemaran oleh minyak. Pencegahan dan penaggulangan pencemaran yang datangnya dari kapal tanker, perlu dikontrol melalui pemeriksaan dokumen sebagai bukti bahwa pihak perusahaan pelayaran dan kapal sudah melaksanakannya dengan semestinya.



BAB XIV STWC 78 AMANDEMEN 95 ( S T C W ‘ 95 ) A. Pendahuluan 1. Tahun 1966 dicanangkan sebagai tahun bahari a.



Indonesia dengan 17.556 pulau dihadapkan pada tuntutan kualitas pelaut, yaitu dengan pemberlakukan stcw 1978 amandemen 1995 (stcw 78 amandeman 95).



b.



Era globalisasi diwarnai persaingan bebas yang semakin ketat disegala bidang, termasuk persaingan sumber daya manusia. 96



c.



Azas



persaingan



adalah



:



efisiensi,



efektivitas,



disamping



faktor



keselamatan dan faktor lingkungan. d.



Ruang lingkup kegiatan pendidikan kepelautan menyangkut aspek yang sangat luas, pelik dan beragam.



2. Pendidikan kepelautan harus mendapat akreditasi : a.



Nasional : sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional



b.



Internasional : standar internasional harus dipenuhi, yaitu stwc 1995. Pengawasan melalui port state control untuk meyakinkan apakah para pelaut memiliki sertifikat dan kompetensi sesuai stcw 1995 tersebut.



B. Beberapa Fakta : 1. Minat pemuda / pemudi Indonesia cukup tinggi. Tahun 1995 mencapai 7.000 orang, diterima sebanyak 500 orang (plap Jakarta, bplp Semarang dan bplp ujung pandang). 2. Tingkat rating sebanyak 120 peminat, diterima sebanyak 300 siswa di bplpd berombong dan bplpd Surabaya. 3. Diantara negara Asean, Indonesia merupakan negara yang terbanyak dalam meratifikasi konvensi imo, yaitu 17 dari 48 konvensi yang dikeluarkan sampai dengan tahun 1995, sementara singapura 15 konvensi; malaysia 11 konvensi ; philipina 9 konvensi dan thailand 8 konvensi.



C. Amandemen 1995 Konvensi SCTW 1978 Materi amandemen 1. Resolusi Final act tanggal 7 Juli 1995 di London menetapkan : Resolusi



1 :



Acoption of amandements of the annex to international on stcw 1978 ;



Resolusi



2 : Adoption of the seafarers training, certification and watchkeeping code;



Resolusi



3 : Transitional provisions ;



Resolusi



4 :



Training of radio operators for the global maritime distress and safety system (gmdss) 97



Resolusi



5 :



Training and crisis management and human behaviour for personal serving on board ro-ro passenggers ships;



Resolusi



6 :



Training of personal on passenggers ships ;



Resolusi



7 :



Monitoring the implication of alternative certification;



Resolusi



8 :



Promotion of technical knowlodge, skills and profesionalsm of seafarers ;



Resolusi



9 :



Development of International standars of medical fitness for seafarers ;



Resolusi



10:



Training of maritime pilots, vessel traffics service personal and maritime personal employed on mobile offshore units ;



Resolusi



11: Promotion of technical cooperation ;



Resolusi



12: Contribution of the world maritime university (vmu) in the achievement of enhanced standards of maritime training ;



Resolusi



13



:Revision of model courses published by the international maritime organization ;



Resolusi



14



: Promotion of the participation of womwn in the maritime industry ;



2. Perubahan yang dilakukan terhadap SCTW 1978 a. Alasan perlu diadakan perubahan : 1).



Konvensi yang ada belum secara tepat menjabarkan standar kompetensi sehingga dapat menimbulkan interprestasi yang berbedabeda.



2).



Pelaksanaan ketentuan yang ditetapkan tidak berjalan dengan sepenuhnya, walaupun telah diratifikasi oleh negara-negara anggota ;



3).



Konvensi yang ada kurang mampu menanmpung perkembangan sistem manajemen kapal abad 21.



b. Amandemen 1995 ditandai dengan munculnya 3 hal baru : 1).



Tanggung jawab tambahan bagi perushaan pelayaran ;



2).



Keseragaman penjabaran standard kompetensi ‘



3).



Langkah-langkah baru untuk menjamin pelaksanaan oleh setiap negara.



3. Pemberlakuan, Batasan Dan Struktur Amandemen 98



a. Pemberlakuan : 1).



1 Pebruari 1997 mulai berlaku



2).



1 Agustus 1998 setiap lembaga diklat telah mengimplementasikan SCTW 1995



3).



1 Agustus 1998 sampai dengan 1 Pebruari 2002 adalah masa transisi



4).



1 Pebruari 2002 masa transisi berakhir.



b. Ukuran kapal : 1). Untuk bagian dek : i.



Ukuran 200 GRT diganti 500 GT



ii.



Ukuran 1600 GRT diganti 3000 GT



2). Untuk bagian mesin tetap dipakai ukuran 750 kw dan 3000 kw. c. Struktur amandemen : 1).



Convention on standard of training and watchkeeping for seafarers (sctw convention) terdiri dari : i.



17 artikel



ii.



Annex terdiri dari 8 chapter (8bab)



2).



Seafarers training, certification and watchkeeping code (stcw code), terdiri dari a)



Part a : Mandatory Requirements Standard konvensi yang diminta : i.



Navigation



ii.



Cargo handling and stowage



iii.



Controling the operation of the ship and care for persons on board



iv.



Marine engineering



v.



Electrical, electronic and control engineering



vi.



Maintenance and repair



vii.



Radio communication



Tingkatan tanggung jawab :



b)



i.



Management level



ii.



Operational level



iii.



Supporting level Part b : recommended guidance 99



Merupakan petunjuk petunjuk yang tidak wajib diikuti tetapi jangan melanggarnya. 4. Dampak Terhadap Sistem Diklat, Ujian Dan Sertifikasi : Terhadap diklat a.



Kurikulum dan silabus perlu penyesuaian (imo model course), ditambah muatan likal sesuai sistem pendidikan nasional ;



b.



Standarisasi penerimaan taruna dan siswa peserta program diklat



c.



Fasilitas dan peralatan sesuai standar yang ditetapakan khususnya arpa, gmdss, peralatan praktek bengkel dan lain-lain.



d.



Melengkapi, menambah buku dan diktat sesuai irno model course



e.



Peningkatan tenaga pengajar dan penguji



f.



Standarisasi kegiatan praktek di kapal (sea trainign /proyek laut) dengan buku panduan sesuai ketentuan imo.



Terhadap sertifikasi a.



Jurusan Nautika 1). MPB – I menjadi ANT – I sesuai reg.II/2 > 3.000 gt 2). MPB – II menjadi ANT – II sesuai reg II /2 500 – 3.000 gt 3). MPB – III menjadi ANT – III sesuai reg II/1 dan II/3 Non NCV 4). MPI menjadi ANT – IV sesuai reg. II/3 NCV 5). MPT menjadi ANT-V diatur tersendiri 6). Rating (SKP) menjadi ant d sesuai reg II / 4



b.



Jurusan Teknika 1).



AMK – C menjadi ATT – I sesuai ref. III /2 C/E



2).



AMK – B menjadi ATT – II sesuai reg. III /2 2/e



3).



AMK – A menjadi ATT – III sesuai reg. III /1



4).



AMK – PI menjadi ATT – IV sesuai reg. III /3



5).



AMK – PT menjadi ATT – V diatur tersendiri



6).



Rating (SKP) menjadi ATT – VI sesuai reg. III /4.



100



BAB XV PSC ( PORT STATE CONTROL )



A.



Fungsi Port State Control 1.



Ketentuan-ketentuan untuk PSC dalam Konvensi-konvensi IMO 101



Konvensi-konvensi IMO yang berhubungan dengan kapal menempatkan tanggung jawab untuk keselamatan dan perlindungan lingkungan laut pada Negara bendera. Namun demikian, hal ini diakui bahwa suatu negara pelabuhan dapat memberikan kontribusi yang berguna untuk tujuan dimaksud dan beberapa konvensi ( SOLAS 74/78, MARPOL 73/78, Load Line 66, SCTW 78/95 dan ILO No. 147) memuat ketentuan-ketentuan yang memberikan kewenangan kepada NegaraNegara



Pelabuhan



untuk



persyaratan-persyaratan



melakukan



konvensi



di



pengawasan bidang



terhadap



keselamatan



dan



diterapkannya pencegahan-



pencegahan. 2.



Kapal-kapal berbendera negara bukan peserta. Pengawasan dilakukan oleh Negara Pelabuhan didasarkan pada prinsip bahwa Negara Pelabuhan mengakui sertifikat-sertifikat Internasional yang diterbitkan oleh atau atas nama Negara Bendera. Hal ini perlu dimengerti bahwa pengakuan dimaksud adalah suatu hak istimewa yang hanya diberikan kepada negara peserta konvensi. Negara bukan peserta konvensi tidak boleh menerbitakan sertifikatsertifikat dimaksud. Namun negara ini dapat menerbitkan tersebut atas kewenangan yang diberikan oleh suatu negara peserta konvensi sesuai ketentuan-ketentuan konvensi yang terkait. Sumber langsung yang memberikan kewenangan untuk melaksanakan program adalah Undang-Undang Nasionalnya. Oleh karena itu, adalah perlu bagi Negara Pelabuhan untuk menjadi peserta dari konvensi-konvensi dan memiliki legilisasi yang diperlukan untuk melakukan pengawasan (Post State Control) Ratifikasi konvensi-konvensi adalah suatu proses yang berkesinambungan dan Negara-Negara Pelabuhan harus mengikuti perkembangan akan negara-negara lain yang telah meratifikasi konvensi-konvensi terkait dalam rangka pemeriksaan. Informasi ini dikeluarkan oleh Sekretariat IMO melalui surat edarannya (Circulars). Circulars yang berhubungan dengan konvensi-konvensi untuk port State control adalah sebagai berikut : a.



Cir. SLS 12



tentang



SOLAS 1974



b.



Circ. PMP.2



tentang



MARPOL 73/78



c.



Circ. LL



tentang



LL 1966



d.



Circ. STCW



tentang



STCW 1978



e.



Circ. COLREG tentang



COLREG 1972 102



3.



Kapal-kapal di bawah ukuran konvensi Konvensi-konvensi



maritim



pada



umumnya



mempunyai



batas-batas



pemberlakukan untuk setiap kategory dari ukuran kapal-kapal. Hal ini dapat berhubungan dengan tonase, panjang kapal atau parameter lainnya terhadap kapal dan juga dalam konvensi-konvensi tertentu terhadap umur dan kapal daerah pelayaran. Batas-batas aplikasi dimaksud tidak hanya menyangkut akan sertifikatsertifikat tetapi juga kapal-kapal beserta perlengkapannya; dengan kata lain, dalam sejumlah kasus, diisyaratkan tidak perlu sertifikat, sedangkan dalam kasus-kasus lain sebuah kapal dibebaskan dari desain atau persyaratan-persyaratan perlengkapan. Hal ini tidak merubah faktanya bahwa kapal-kapal dimaksud hanya boleh diizinkan berlayar jika keselamatan dan perlindungan terhadap lingkungan laut terjamin. Adalah lazim bahwa kapal-kapal tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan dari Negara Bendera, yang mungkin tidak diketahui oleh para Inspektur dari Negara Pelabuhan. Oleh karena itu, PSCO (Post State Control Officer) harus memakai kebijaksanaannya dalam mempertimbangkan akan kondisi kapal-kapal tersebut; mereka dapat dibantu dalam hal ini dengan beberapa bentuk sertifikat yang diterbitkan oleh atau atas nama Negara Bendera yang terkait. 4.



Identifikasi kapal-kapal di bawah standar atau resiko-resiko pencemaran Identifikasi kapal-kapal di bawah standar atau kapal-kapal yang dapat menimbulkan resiko pencemaran adalah jelas merupakan suatu hal yang memerlukan pertimbangan secara profesional. Pengalaman-pengalaman yang lampau memperlihatkan bahwa interprestasi dapat berbeda-beda diantara negaranegara. Kesukaran dalam menetapkan kapal-kapal demikian direfleksikan dalam pedoman tentang pengawasan negara pelabuhan (Guidelines On Port State Control), yang hanya diberikan secara umum. Suatu prinsip yang perlu diingat adalah perlengkapan yang diisyaratkan oleh konvensi harus ada dan telah diservis, kedua-duanya. Jika tidak, maka kapal tidak sesuai dengan sertifikat dan tindakan perbaikan harus segera diambil. Walaupun demikian, adalah nyata bahwa suatu perbedaan antara kegagalan dari suatu perlengkapan dimana tidak ada pendukungnya, misalnya sebuah “oily water separator” dan rusaknya salah satu bagian dari mesin pencuci tangki.



5.



Pengawasan Secara regional (kawasan)



103



Kerjasama pengawasan dalam suatu kawasan dituangkan dalam sebuah memorandum, yang disebut dengan “Memorandum of Understanding”. Sejumlah kawasan di dunia yang telah melakukan kerjasama adalah : a.



The Paris Memorandum Of Understanding on Port State Control (Paris MOU), adopted on Paris on 1 July 1982;



b.



The Acuerdo de Vina del Mar (Vina de Mar or Latin America Agreement), signed in Vina del Mar (Chile) on 5 November 1992.



c.



The Memorandum of Understanding on Port State Control in the AsiaPacific Region (Tokyo MOU), signed in Tokyo (Japan) on 1 December 1993;



d.



The memorandum of Understanding on Port State Control on the Caribbean Region (Caribbean MOU), signed in Christchurch (Barbados) on 9 February 1996;



e.



The Memorandum of Understanding on Post State Control in the Mediterranean Region (Mediterranean MOU), signed in Malta on 11 Juli 1997.



f.



The Indian Ocean Memorandum Understanding on Post State Control (Indian Ocean MOU), signed in Pretoria (SOUTH Africa) on 5 June 1998 ;



g.



The Memorandum of Understanding on Port State Control in the west and Central African Region (Abuja MOU), signed in Abuja on 22 October 1999;



h.



The memorandum of Understanding on Port State Control in the Persian Gulf Region (………..MOU), signed in ……. On ………(2000)



6.



Pengawasan melalui pemonitoran (Monitoring Control) Pengawasan dilakukan dengan suatu tujuan atau maksud dan dalam hal ini dalam hal ini tujuan atau maksdudnya adalah untuk memperbaiki pemenuhan dengan sejumlah konvensi, yang harus direfleksikan dalam pengurangan kecelakaan dan pencemaran. Statistik kecelakaan dikomplikasikan oleh sejumlah lembaga, antara lain Lyloys’s (casualty statistic by Lloyd’s) tetapi catatan yang akurat dan statistik yang dibuat oleh Negara-negara Pelabuhan harus menunjukkan apakah kekurangan-kekurangan (deficiences) dan laporan-laporan pencemaran menurun berkurang. Adalah penting bahwa informasi demikian dikumpulkan pada suatu kawasan dan atas dasar dunia luas. Sehubungan dengan hal terakhir ini, IMO memegang peranan penting dalam memelihara catatan-catatan dan statistik tentang hasil-hasil pengawasan oleh Negara Pelabuhan. 104



B.



Port State (Negara Pelabuhan) Istilah “Post State” (Negara Pelabuhan) dipakai untuk menjelaskan bahwa suatu negara dimana ada lokasi pelabuhan laut. Konvensi-konvensi International tentang keselamatan maritim dan pencegahan pencemaran mengizinkan suatu negara untuk memeriksa kapal asing dalam salah satu pelabuhan-pelabuhannya untuk memastikan bahwa kapal tersebut secara substansi memenuhi standar-standar untuk sertifikat-sertifikat internasional yang diisyaratkan untuk dibawsa atau berada di kapal. Secara internasional disetujui prosedur-prosedur didasarkan atas asumpsi bahwa sebuah kapal akan memenuhi semua persyaratan-persyaratan konvensi. Jika sertifikatsertifikat kapal masih berlaku dan kesan-kesan umum serta dari pengamatan secara visual menampakkan adanya suatu standar pemeliharaan yang baik, maka pejabat pemeriksa dipelabuhan atau disebut inspektur hanya akan memeriksa kekurangankekurangan atau “deficiencies” yang dilaporkan. Jika inspektur merasa pasti ada dasar-dasar yang kuat (clear grounds) bahwa sebuah kapal mungkin di bawah standar (sub-standars ship), suatu pemeriksaan yang lebih rinci dapat dilakukan. Hal ini adalah penting untuk mengakui bahwa pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan oleh negara pelabuhan (Post State Control Inspections) adalah suatu langkah tindakan



kedua



yang



didesain



untuk



menambah



atau



suplemen



pengaturan



pengawasan negara bendera. Sifat pemeriksaan-pemeriksaan PSC yang terutama berhubungan dengan perlengkapan keselamatan kapal tidak mengizinkan untuk melakukan pengujian struktural



sesungguhnya.



Pemeriksaan-pemeriksaan



PSC



tidak



didesain



untuk



mendeteksi kesalahan-kesalahan struktural utama. Jika dijumpai adanya kerusakan-kerusakan maka negara pelabuhan hanya bertanggung jawab untuk memastikan agar kerusakan-kerusakan tersebut diperbaiki. Kerusakan-kerusakan tersebut mungkin diminta untuk diperbaiki sebelum kapal berlayar. Keharusan untuk perbaikan didasarkan pada keruskan yang serius. Kapal dapat ditahan hingga perbaikan-perbaikan telah dilakukan atau harus dikerjakan dalam kurun waktu tertentu atau mungkin dapat diperbaiki di pelabuhan yang akan dikunjungi berikutnya.



105



C.



Clear Ground Dasar-dasar yang kuat untuk melakukan suatu pemeriksaan lebih terinci, Termasuk : 1.



Tidak adanya perlengkapan/peralatan pokok (principal) atau penataan-penataan (arrangements) yang diisyaratkan oleh Konvensi-Konvensi



2.



Bukti dari penelitian sertifikat-sertifikat kapal bahwa suatu sertifikat atau sertifikat adalah jelas tidak berlaku;



3.



Bukti bahwa buku-buku jurnal kapal, manual-manual atau dokumentasi lainnya yang diisyaratkan tidak ada di kapal, tidak terpelihara, atau salah pemeliharaan;



4.



Bukti dari kesan-kesan umum pejabat pemeriksa dan observasi-observasi bahwa keadaan sesungguhnya badan kapal atau keburukan struktural atau kekurangankekurangan yang ada dapat menimbulkan resiko bahaya pada struktur kapal kedap air atau integritas kedap cuaca dari kapal;



5.



Bukti dari kesan-kesan umum pejabat pemeriksa atau observasi-observasi bahwa adanya



kekurangan-kekurangan



yang



sesungguhnya



dalam



keselamatan,



pencegahan pencemaran, atau perlengkapan navigasi; 6.



Informasi atau bukti bahwa Nahkoda atau awak kapal tidak terbiasa (non familiar) dengan operasi-operasi penting di atas kapal sehubungan dengan keselamatan kapal atau pencegahan pencemaran, atau operasi-operasi dimaksud belum pernah dilakukan.



7.



Indikasi-indikasi bahwa anggota-anggota kunci awak kapal tidak mampu berkomunikasi satu dengan lainnya atau dengan orang-orang yang lain di atas kapal.



8.



Tidak adanya daftar kapal yang muktakhir, bagan / pola pengawasan kebakaran, dan untuk kapal-kapal penumpang, satu bagan / pola pengawasan kerusakan (damege control plan)



9.



Emisi tanda-tanda bahaya yang salah (false distress alerts) tidak diikuti dengan prosedur-prosedur pembatalan yang tepat.



10.



Menerima suatu laporan atau pengaduan yang berisi informasi bahwa kapal



nampak di bawah standar (sub-standard ship).



D.



Pemeriksaan-Pemeriksaan (Inspections) 1.



menurut procedur pengawasan pemeriksaaan dilandaskan pada konveksikonveksi yang diterapkan. Pemeriksaan juga dapat dilakukan misalnya dari informasi 106



yang diberikan oleh suatu negara pelabuhan sehubungan dengan keadan suatu kapal dan seorang PSCO (Porth State Control Officer) dapat langsung menuju ke kapal dimaksud. Sebelum naik ke kapal, ia akan mengamati penampilan kapal di laut atau dermaga. 2.



Pada kesempatan pertama dimungkinkan, PSCO harus meyakinkan akan tahun pembangunannya dan ukuran kapal untuk menetapkan ketentuan-ketentuan /peraturan-peraturan mana dari konvensi-konvensi yang akan diterapkan.



3.



Pada waktu naik ke kapal dan memperkenalkan diri kepada Nahkoda atau perwira kapal yang bertanggung jawab, PSCO kemudian memeriksa dan meneliti sertifikat-sertifikat serta dokumen-dokumen kapal yang diisyartkan.



4.



Jika semua sertifikat masih berlaku dan kesan umum PSCO serta observasiobservasi yang nampak di kapal memastikan bahwa suatu pemeliharaan kapal terlihat



baik,



maka



pada



umumnya



ia



akan



membatasi



langkah-langkah



pemeriksaannya dan hanya mengisi form A sedangkan form B jika dari observasi yang dilakukan dijumpai kekurangan-kekurangan (deficiencies) 5.



Namun, apabila dari kesan umum PSCOP atau observasinya di atas kapal ada dasar-dasar



yang



perlengkapannya



kuat atau



(clear awak



grounds)



kapalnya



untuk



secara



meyakinkan substansial



bahwa



tidak



kapal,



memenuhi



persyaratan-persyaratan, maka, maka PSCO harus meneruskan pemeriksaannya secara lebih rinci (more detailed inspection).



107