Wajib Al Wujud [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

WAJIB AL-WUJUD makalah ini disususn untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu tauhid



Disususn Oleh : Kelompok VII 1. Mislaini 2. Khafifaah nur rangkuti DOSEN PENGAMP : EDI SAPUTRA SIREGAR, M.Ag



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI MANDAILING NATAL TA. 2023/2024



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami sampaikan kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang telah mencurahkan Hikmahnya serta kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami, makalah iniKami buat dalam rangka memenuhi tugas dari salah satu mata kuliah kami . Kami berharap dengan tersusunnya makalah ini, bisa menjadi bahan pembelajaran bagi Kami khususnya kami selaku penulis, kami menyadari dalam penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun semoga segala usaha dan kerja keras dapat balasan yang baik dari Allah swt dan dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin



Panyabungan, 17 mei 2023



Penulis



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR........................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1 A. Latar Belakang.........................................................................................1 B. Rumusan Masalah....................................................................................2 C. Tujuan Pembahasan................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3 A. Pengertian wajib al-wujud.......................................................................3 B. Mumkin al-wujud....................................................................................5 C. Mustahil al-wujud....................................................................................9 BAB III PENUTUP............................................................................................13 A. Kesimpulan.............................................................................................13 B. Saran.......................................................................................................13 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................14



iii



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Para filsuf ketuhanan dan para ulama teologi telah menghimpun sejumlah argumentasi dalam membuktikan Wujud Allah. Hal inj telah dibahas dalam kitab-kitab filsafat dan teologi secara terinci. Pada pelajaran ini, kami akan memilih sebuah argumen saja dari sekian banyak argumen tersebut. Argumen ini berlandaskan pada premis-premis yang lebih sedikit sehingga akan lebih mudah untuk dipahami. Meski demikian, argumen ini tampak lebih kuat. Sebelumnya perlu ditekankan bahwa argumen ini dapat membuktikan Wujud Allah sebagai Wajib al-wujud (Wujud niscaya Ada). Artinya, Allah Swt itu maujud, dan wujud-Nya merupakan hal yang dharuri (pasti) tanpa memerlukan sesuatu lain yang mewujudkan-Nya. Adapun untuk menetapkan sifat-sifat Allah, yang positif (tsubutiyah) maupun yang negatif (salbiyah) seperti sifat ilmu, kuasa, tidak beraga, tak terbatas oleh ruang dan waktu, hal ini itu tidak dapat dibuktikan oleh dalil ini, tetapi harus dibuktikan oleh dalil lain. Berdasarkan asumsi rasional, realitas terbagi menjadi dua; Wajib alwujud (Wujud Niscaya Ada) dan mumkin al-wujud (yang mungkin adanya). Secara rasional, tidak ada satu realitas pun yang keluar dari asumsi tersebut. Kita pun tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh realitas itu mumkin alwujud. Karena setiap mumkin al-wujud membutuhkan kepada sebab. Apabila setiap sebab masih berupa mumkin al-wujud, maka dia adalah akibat yang tentunya membutuhkan kepada sebab yang lain. Pada akhirnya, tidak akan ada realitas apa pun sama sekali. Artinya, bahwa rangkaian sebab itu sebenarnya adalah rangkaian akibat “yang mungkin” dan tidak pasti adanya. Oleh karena itu, rangkaian mumkin al-wujud, menjadi ada tatkala berakhir kepada suatu realitas yang bukan lagi akibat dari realitas apa pun. Artinya, bahwa rangkaian wujud itu akan berakhir pada Wajib al-wujud.



1



Argumen di atas ini adalah argumen filsafat yang paling sederhana untuk menetapkan wujud Allah. Ia terdiri dari beberapa premis rasional, tanpa terlibat premis empirik di dalamnya. Akan tetapi, karena argumen semacam ini biasanya menggunakan sejumlah konsep dan istilah filosofis, terlebih dahulu kita harus menjelaskan beberapa istilah dan premis yang menyusun argumen ini. B. RUMUSAN MASALAH 1. Jelaskan pengertian wajib al-wujud ? 2. Jelaskan tentang mumkin al-wujud ? 3. Jelaskan tentang mustahil al-wujud ? C. TUJUAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui tentang wajib al-wujud, mumkin al-wujud, dan mustahil al wujud.



2



BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN WAJIB AL-WUJUD Wujud sempurna sama sekali tak bergantung pada sesuatu yang lain sedangkan wujud tak sempurna bergantung pada yang lain. Suatu wujud bisa dikatakan yang Maha Kuat dan Maha Kaya, jika tidak bergantung pada selain dirinya dari tiga aspek: zat, sifat hakiki, kesempurnaan hakiki yang terkait dengan zat. Oleh karena itu, setiap wujud yang butuh dan bergantung kepada wujud lain dari dimensi zat, sifat hakiki, dan kesempurnaan (seperti bentuk, ilmu, kodrat, keindahan) ialah wujud yang tak sempurna, fakir, dan bukan “maha”. Menurut Ibnu Sina, "Perlu diperhatikan bahwa setiap pelaku yang apabila melakukan suatu perbuatan maka dia akan menjadi lebih baik atau mengerjakan sesuatu baginya lebih baik daripada tidak melakukannya, jika perbuatan itu tidak dilakukan dan dia tak menciptakan sesuatu itu maka secara riil dia akan kehilangan kebaikan dan kesempurnaan, yakni dia tak memiliki kesempurnaan tertentu dan untuk memperolehnya ia mesti berusaha. Wujud yang membutuhkan upaya untuk mencapai suatu kesempurnaan tak bisa dikategorikan sebagai Wajibul Wujud, karena wujud seperti itu adalah wujud yang tak sempurna dan wujud yang tak sempurna bukanlah Wajibul Wujud. Dengan demikian, hal-hal yang berkaitan dengan Wajibul Wujud dan perbuatan-perbuatan-Nya sama sekali tidak bisa berhubungan dengan pencapian



dan



perolehan



segala



bentuk



kebaikan,



keindahan,



dan



kesempurnaan". Apabila manusia beranggapan bahwa wujud yang tinggi dan sempurna berusaha melakukan sesuatu di alam yang lebih rendah bagi wujud-wujud yang tak sempurna demi mencapai suatu tujuan kebaikan dan kesempurnaan bagi zat dan dirinya sendiri, maka anggapan itu keliru besar. Bahwa perilaku seperti itu bagi wujud yang tinggi dan sempurna merupakan suatu kebaikan, dan wujud sempurna itu akan tergolong sebagai pelaku yang baik, karena perbuatan seperti



3



itu adalah kebaikan dan keindahan. Dari sisi ini mesti dipahami bahwa wujud sempurna



melakukan



sesuatu



dikarenakan



kelayakan



kesempurnaan,



keindahan, dan keagungan zat-Nya. Jika wujud tinggi itu disimbolkan sebagai “tuhan”, sangatlah tidak rasional



menganggap



“tuhan”



melakukan



atau



menciptakan



sesuatu



dikarenakan untuk mencapai dan memperolah sesuatu dibaliknya. Terkadang hal itu dilegitimasi dengan dalil perbuatan-perbuatan yang mesti “tuhan” lakukan karena mengandung tujuan bagi zat-Nya. Hal ini tidaklah benar, karena kalau demikian halnya maka Wajibul Wujud adalah wujud tak sempurna yang terus mengejar kesempurnaan dan kebaikan, sementara Wajibul Wujud dari sisi zat dan sifat-Nya sama sekali tidak mengandung kekurangan dan kelemahan. Maka dari itu, kita tidak bisa memandang keberadaan arah dan tujuan bagi kesempurnaan zat-Nya dalam segala perbuatan-Nya, bahkan Wajibul Wujud `adalah tujuan dan arah bagi segala wujud alam. Dalam konteks linguistik, Dia bukanlah “tuhan” tapi Tuhan Perbuatan Tuhan, adalah suatu bentuk "pemberian (al-jaud)" .Dalam pemberitaan (dalil), Tuhan sama sekali tidak mengandung satu maksud dan tujuan, karena Dia tidak dikatakan sebagai Maha Pemberi (Jawad), bahkan disebut sebagai "Pencari Untung" jika demikian. Sebagian teolog beranggapan bahwa Wajibul Wujud sebagai Pelaku Sempurna yang walaupun tak membutuhkan segala sesuatu, namun perbuatanperbuatan yang dilakukan-Nya disebabkan untuk kepentingan dan manfaat makhluk-makhluk-Nya, yakni tujuan-Nya adalah memberikan manfaat kepada yang lain, bukan Tuhan yang mengambil manfaat dan keuntungan dari perbuatan-Nya



sendiri.



Untuk



anggapan



itu,



Ibnu



Sina



menjawab



"Memberikan manfaat kepada yang lain, jika dipandang sebagai tujuan bagi Wajibul Wujud maka tetap sebagai pertanda akan kelemahan dan kekuranganNya.1 Oleh karena itu, mustahil Tuhan sebagai wujud maha sempurna memiliki tujuan. Wujud yang tinggi dan sempurna tak mungkin melakukan sesuatu



4



1



Oemar Amin Hoesin. Filsafat Islam, Bulan Bintang. Jakarta, 1975.



5



disebabkan oleh wujud-wujud yang rendah, sedemikian sehingga perbuatanNya itu bagi diri-Nya diletakkan sebagai tujuan, Dengan demikian, jika suatu perbuatan mengandung tujuan maka pastilah mengandung kebaikan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, kalau Tuhan melakukan suatu perbuatan untuk manfaat makhluk dan Dia memiliki itu sebagai suatu kebaikan bagi diri-Nya, maka dipandang Dia mendapatkan keuntungan dari perbuatan-Nya. Dan bukan sebagai Pemberi Hakiki. Kesimpulannya, Pemberi Hakiki tidak memiliki tujuan dalam segala perbuatan- Nya dan secara mendasar wujud sempurna tidak menetapkan wujud rendah itu sebagai tujuan dan arah bagi perbuatan-perbuatannya". B. MUMKIN AL-WUJUD Berdasarkan asumsi rasional, realitas terbagi menjadi dua; Wajib alwujud (Wujud Niscaya Ada) dan mumkin al-wujud (yang mungkin adanya). Secara rasional, tidak ada satu realitas pun yang keluar dari asumsi tersebut. Kita pun tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh realitas itu mumkin alwujud. Karena setiap mumkin al-wujud membutuhkan kepada sebab. Apabila setiap sebab masih berupa mumkin al-wujud, maka dia adalah akibat yang tentunya membutuhkan kepada sebab yang lain. Pada akhirnya, tidak akan ada realitas apa pun sama sekali. Artinya, bahwa rangkaian sebab itu sebenarnya adalah rangkaian akibat “yang mungkin” dan tidak pasti adanya. Oleh karena itu, rangkaian mumkin alwujud, menjadi ada tatkala berakhir kepada suatu realitas yang bukan lagi akibat dari realitas apa pun. Artinya, bahwa rangkaian wujud itu akan berakhir pada Wajib al-wujud. Argumen di atas ini adalah argumen filsafat yang paling sederhana untuk menetapkan wujud Allah. Ia terdiri dari beberapa rasional, tanpa terlibat premis empirik di dalamnya. Akan tetapi, karena argumen semacam ini biasanya menggunakan



6



sejumlah konsep dan istilah filosofis, terlebih dahulu kita harus menjelaskan beberapa istilah dan premis yang menyusun argumen ini.2 1. Wujud dan Imkan Setiap proposisi, sekalipun yang paling sederhana, sekurangkurangnya mesti tersusun dari dua konsep; subjek dan predikat. Misalnya proposisi yang berbunyi, “Matahari bersinar.” Proposisi ini terdiri dari matahari



sebagai



subjek



dan



bersinar



sebagai



predikat.



Lalu,



tertetapkannya predikat pada subjek tidak keluar dari tiga keadaan; satu, ketetapan predikat pada subjek bersifat mustahil (mumtani’). Contohnya, angka 3 itu lebih besar dari angka 4. Dua, tertetapkannya predikat pada subjek itu bersifat pasti (dharuri). Contohnya, 2 itu adalah 1/2 dari 4. Tiga, tertetapkannya predikat pada subjek bersifat tidak mustahil sekaligus tidak pasti. Contohnya, matahari berada di atas kepala kita. Dalam logika dijelaskan bahwa proposisi pada keadaan pertama itu bersifat mumtani’, yaitu tidak mungkin terjadi, seperti pada contoh pertama tadi bahwa angka 3 itu lebih besar dari angka 4. Pada keadaan kedua, proposisi itu bersifat dharuri atau wajib, yaitu niscaya dan pasti. Sedangkan pada keadaan ketiga, proposisi itu bersifat mumkin (mungkin) dengan makna khusus. Lantaran filsafat hanya membahas sesuatu yang ada, para filsuf membagi realitas kepada dua bagian, Wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Wajib al-Wujud adalah realitas yang ada dengan sendirinya, tidak bergantung kepada realitas yang lain. Tentu, realitas ini bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Karena, apabila sesuatu itu ma’dum (tiada) pada masa tertentu, ini menunjukkan bahwa wujud sesuatu itu bukanlah berdasarkan pada dirinya sendiri, tetapi wujudnya membutuhkan kepada realitas selainnya yang merupakan sebab atau syarat keberadaannya. Tentunya, jika sebab atau syarat itu tidak ada, sesuatu tersebut tidak akan mengada.



2



Thawil Akhyar Dasoeki, sebuah komplikasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang,1993.



7



Sedangkan mumkin al-wujud adalah realitas yang ada tidak dengan sendirinya, tetapi wujudnya diadakan dan bergantung kepada realitas selainnya. Dengan kata lain, mumkin al-wujud tidak mungkin terwujud kecuali dengan perantara selainnya. Penjelasan rasional ini menafikan secara pasti adanya mumtani’ alwujud (wujud yang mustahil). Pada saat yang sama, penjelasan ini tidak mengidentifikasi, apakah realitas itu ada di luar Wajibb al-Wujud ataukah mumkin al-wujud. Dengan kata lain, kita dapat menggambarkan kebenaran sebuah proposisi tersebut dengan tiga asumsi. Pertama, setiap realitas itu Wajib al-Wujud. Kedua, setiap realitas itu mumkin al-wujud. Ketiga, sebagian realitas itu Wajib al-Wujud, dan sebagian lainnya adalah mumkin al-wujud. Berdasarkan asumsi pertama dan ketiga, keberadaan Wajib alWujud sudah tertetapkan. Yang harus kita bahas lebih lanjut adalah asumsi kedua, yaitu apakah mungkin setiap realitas itu mumkin al-wujud? Kalau kita dapat menggugurkan asumsi ini, maka dapat ditegaskan keberadaan Wajib al- Wujud secara pasti, walaupun untuk menetapkan keesaan dan seluruh sifat- Nya diperlukan argumentasi tersendiri. Untuk menggugurkan asumsi kedua, kita perlu menambahkan premis lain ke dalam argumen terdahulu itu, yaitu bahwa seluruh realitas tidak mungkin bersifat mumkin al-wujud. Namun, premis ini bukanlah premis yang badihi, aksiomatis, jelas dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama menjelaskan premis ini sebagai berikut, Bahwa mumkin al-wujud itu butuh kepada sebab. Bahwa rangkaian sebab yang tak berujung adalah muhal (mustahil). Maka itu, rangkaian sebab harus berakhir kepada realitas yang bukan berupa mumkin al-wujud dan juga tidak butuh lagi kepada sebab. Artinya, dia adalah Wajib al-wujud.3 3



Ahmad Hanafi,M.A, pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang. Jakarta, 1990.



8



2. Karakteristik wajibul wujud Dalam



buku-buku



filsafat



dijelaskan



berbagai



karakteristik



untuk wajibul wujud. Di antaranya ialah: Tidak beresensi: Wajibul Wujud tidak memiliki esensi (mahiyyat). Argumen: Esensi dengan sendirinya tidak niscaya ada dan tidak niscya tiada, dan arti ini merupakan konsekuensi dari mumkinul wujud. Oleh karena itu, yang memiliki esensi adalah mumkinul wujud, dan segala sesuatu yang bukan mumkinul wujud pasti tidak memiliki esensi. Atas dasar ini, wajibul wujud tidak memiliki esensi. Tidak terbatas: Wajibul wujud sama sekali tidak memiliki batasan dan sama sekali tidak kehilangan kesempurnaan wujud. Argumen: Mengingat bahwa wajibul wujud tidak memiliki esensi, maka Dia juga tidak terbatas, karena esensi membuktikan keterbatasan dan menentukan tingkat keberadaan. Sederhana (basith): Wajibul wujud tidak tersusun dan sama sekali tidak memiliki Komponen eksternal atau Komponen mental. Argumen pertama: Mengingat bahwa wajibul wujud tidak beresensi, maka Dia tidak menerima batas, oleh karenanya, Ia tidak memiliki genus (jins) dan diferensia (fashl). Setiap sesuatu yang tidak memiliki genus dan diferensia nicaya tidak memiliki bagian. Argumen kedua: Segala yang tersusun (murakkab) maka dalam keterealisiannya membutuhkan bagianbagian yang membentuknya. Adalah sesuatu yang gamblang bahwa membutuhkan bertolak bekakang dengan wajibul wujud bil dzat. Oleh sebab itu, setiap entitas yang tersusun adalah mumkinul wujud. Jadi, wajibul wujud tidak tersusun dari bagian-bagian. Tauhid Zati: Wajibul wujud satu dan tidak memiliki sekutu. Argumen: Wajibul Wujud tidak memiliki esensi, oleh karenanya tidak memiliki bagian tiada, maka Ia wujud semata, dengan kata lain wujud murni. Memiliki sekutu akan berarti ketika satu sekutu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh sekutu yang lain, karena jika dua sekutu itu sama dalam semua hal, maka bukan dua entitas tapi satu. Oleh karenanya



9



konsekuensi dari kebersekutuan wajibul wujud ialah satu dari dua wajibul wujud memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh yang lain, dan ini bertentangan dengan 'wujud sematanya' wajibul wujud dan 'tiadanya sisi tiada' didalamnya. Tauhid rububi: Satu-satunya sebab (illat) perkembangan dan kesempurnaan entitas-entitas, atau satu-satunya pengatur eksistensi (wujud) adalah Allah. Argumen: Alam semesta merupakan suatu kumpulan yang saling terikat dan beraturan, artinya, di antara bagian-bagiannya terdapat hubungan



sebab-akibat.



Oleh



karenanya,



perkembangan



dan



kesempurnaan setiap entitas memiliki sebab, sebab itu sendiri juga memiliki sebab hingga sampai pada wajibul wujud yang menjadi sebab dari semua sebab. Mengingat bahwa sebab dari sebabnya sesuatu, adalah sebab untuk sesuatu itu juga, maka wajibul wujud harus diyakini sebagai sebab utama perkembangan dan kesempurnaan dan menjadi pengatur semua entitas. C. MUSTAHIL AL-WUJUD Sifat mustahil bagi Allah SWT adalah sifat-sifat yang secara akal tidak mungkin dimiliki oleh-Nya. Sebagaimana kita tahu, Allah SWT memiliki sifat wajib karena Dia merupakan zat yang Maha Sempurna. Adapun sifat wajib bagi Allah di antaranya adalah wujud (ada), qidam (terdahulu), dan baqa (kekal). Sebagai penguasa alam semesta, mustahil bagi Allah untuk mempunyai sifat- sifat yang mengingkari keagungannya tersebut.4 Berikut ini merupakan 20 sifat mustahil bagi Allah yang perlu diketahui umat Islam: 20 Sifat Mustahil Bagi Allah SWT 1. Adam Adam artinya tiada. Ini merupakan kebalikan sifat wujud. Mengapa Allah mustahil memiliki sifat adam? Langit, bumi, dan seluruh semesta ini 4



Ahmad Fuad Al-ahwali, Filsafat islam. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997.



1



merupakan bukti keberadaan Allah SWT. Hal ini tertulis dalam Alquran Surat Al-Araf yang berbunyi: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.”(QS.Al-Araf : 54). 2. Huduts Huduts artinya permulaan atau ada yang mendahului. Ini adalah kebalikan dari sifat qidam yang artinya awal atau mendahului. Allah berfirman: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.Al-Hadid: 3). 3. Fana Fana artinya binasa, tidak kekal, dan memiliki kesudahan. Fana adalah kebalikan sifat baqa' yang berarti kekal. Segala sesuatu di bumi ini akan musnah, kecuali Allah Azza wa Jalla. 4. Mumatsalatu lil hawaditsi Mumatsalatu lil hawaditsi artinya menyerupai makhluk ciptaan-Nya, kebalikan dari Mukholafatul Lilhawaditsi. Allah SWT adalah Zat Yang Maha Sempurna dan tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang mampu menyerupai-Nya. 5.



Ihtiyaju lighairihi Ihtiyaju lighairihi berarti memerlukan yang lain. Sebagai Zat yang Maha Agung, mustahil bagi Allah SWT untuk meminta pertolongan dari makhluk ciptaannya sendiri.



6. Ta’adud Ta’adud artinya berjumlah lebih dari satu, kebalikan dari wahdaniyah. Bukti keesaan Allah ini tercantum dalam surat Al-Ikhlas yang berbunyi: “Katakanlah ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”



1



7. Ajzun Ajzun artinya lemah dan tidak berkuasa. Allah tidak mungkin bersifat lemah karena Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu. 8. Karahah Karahah artinya terpaksa, tidak atas kehendak sendiri, atau tidak berkemauan. Segala sesuatu terjadi sesuai kehendak-Nya dan tidak ada satu pun yang mampu mencegahnya. 9. Jahlun Jahlun artinya tidak mengetahui atau bodoh. Ini kebalikan dari 'ilmun yang artinya mengetahui. Allah SWT mengetahui atas segala sesuatu baik yang tampak maupun yang tidak tampak. 10. Maut Maut artinya mati, padahal Allah SWT bersifat kekal. “Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya.” (QS. Al-Furqon: 58). 11. Shamamun Shamamun artinya tuli atau tidak mendengar. Shamamun adalah sifat mustahil bagi Allah karena Allah Maha mendengar apa yang diucapkan hambanya baik yang dikatakan secara terang-terangan maupun yang disembunyikan. 12. Ama Ama artinya buta atau tidak melihat. Mustahil Allah bersifat ama karena tidak ada satu hal pun yang luput dari pengelihatan-Nya. 13. Bakamun Bakamun artinya bisu atau tidak berbicara. Kebalikan dari Qadam yang memiliki arti berfirman. 5 14. Kaunuhu ‘Ajiza



5



Muchtar Effendi,SE, Insiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, .



1



Arti kaunuhu ‘Ajizan adalah keadaan yang lemah dan tidak berkuasa. Sifat mustahil bagi Allah ini adalah kebalikan dari sifat wajib Qadiran yang artinya berkuasa. 15. Kaunuhu Karihan Kaunuhu Karihan artinya keadaan yang terpaksa dan tidak atas kehendak sendiri. Sifat ini kebalikan dari Muridan yang artinya berkehendak. Dalam surat Hud ayat 107, Allah berfirman: “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS.Hud: 107). 16. Kaunuhu jahilan Kaunuhu jahilan artinya zat yang sangat bodoh. Kebalikan dari Aliman yang artinya mengetahui. 17. Mayyitan Arti mayyitan adalah Zat yang mati. Mustahil bagi Allah untuk mati karena Ia tidak pernah tidur, bersifat kekal, dan tidak akan binasa. 18. Kaunuhu Ashamma Kaunuhu Ashamma artinya keadaannya yang tuli dan tidak mendengar. Padahal pendengaran Allah tak terbatas dan meliputi segala sesuatu. 19. Kaunuhu 'Ama Kaunuhu 'Ama artinya keadaaannya yang buta dan tidak melihat. Ini adalah kebalikan dari sifat Bashiran yang artinya melihat. 20. Kaunuhu abkama Artinya keadaannya yang bisu dan tidak berbicara. Allah tidak bisu karena Ia berfirman. Firman-Nya tertuang dalam kitab-kitab suci yang diturunkan lewat para nabi. 6



6



2001Dewan Editor, Insicklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, Icthiar Baru Van Hoenven.



1



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Sebagian teolog beranggapan bahwa Wajibul Wujud sebagai Pelaku Sempurna yang walaupun tak membutuhkan segala sesuatu, namun perbuatanperbuatan yang dilakukan-Nya disebabkan untuk kepentingan dan manfaat makhluk-makhluk-Nya, yakni tujuan-Nya adalah memberikan manfaat kepada yang lain, bukan Tuhan yang mengambil manfaat dan keuntungan dari perbuatan-Nya sendiri. Untuk anggapan itu, Ibnu Sina menjawab "Memberikan manfaat kepada yang lain, jika dipandang sebagai tujuan bagi Wajibul Wujud maka tetap sebagai pertanda akan kelemahan dan kekurangan-Nya. Oleh karena itu, mustahil Tuhan sebagai wujud maha sempurna memiliki tujuan. Wujud yang tinggi dan sempurna tak mungkin melakukan sesuatu disebabkan oleh wujudwujud yang rendah, sedemikian sehingga perbuatan-Nya itu bagi diri-Nya diletakkan



sebagai



mengandung



tujuan



tujuan, maka



Dengan pastilah



demikian,



jika



mengandung



suatu



perbuatan



kebaikan



dalam



pelaksanaannya. Oleh karena itu, kalau Tuhan melakukan suatu perbuatan untuk manfaat makhluk dan Dia memiliki itu sebagai suatu kebaikan bagi diri-Nya, maka dipandang Dia mendapatkan keuntungan dari perbuatan-Nya. Dan bukan sebagai Pemberi Hakiki. Kesimpulannya, Pemberi Hakiki tidak memiliki tujuan dalam segala perbuatan-Nya dan secara mendasar wujud sempurna tidak menetapkan wujud rendah itu sebagai tujuan dan arah bagi perbuatanperbuatannya". B. SARAN Demikian makalah yang berjudul “wajib al-wujud” Penulis buat. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan. Maka, kritik dan saran konstruktif penulis harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik. Semoga makalah ini menjadi motivator dan inspirator bagi kita semua.



1



DAFTAR PUSTAKA



Oemar Amin Hoesin. Filsafat Islam, Bulan Bintang. Jakarta, 1975. Thawil Akhyar Dasoeki, sebuah komplikasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang,1993. Ahmad Hanafi,M.A, pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang. Jakarta, 1990. Ahmad Fuad Al-ahwali, Filsafat islam. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997. Muchtar Effendi,SE, Insiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, . 2001Dewan Editor, Insicklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, Icthiar Baru Van Hoenven.



1