What Happend Last Night [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Miru
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Trrritt... Trriiiittt... Trrriiittt.... Alarmku ponselku berbunyi kian keras. Aku segera terbangun dari tidurku yang indah. Kemarin, aku baru saja merayakan "hari pertemuan pertama" kami. Iya, kami ke taman kota, tempat pertama kali kami bertemu. Aku segera membereskan kasurku lalu mandi. Selesai mandi, aku memilih baju mana yang akan kupakai. Aku memutuskan memakai kaus berwarna merah muda dipadukan dengan luaran berwarna hitam pekat. Aku juga memakai rok kotak-kotak yang didominasi warna hijau lalu ada warna putih dan merah. Setelah selesai, aku mengambil totebag bergambar rusa milikku. Di depan rumah, tempat ku menunggunya, Della menyapaku. "Isabell, apa yang kamu lakukan?" tanyanya. "Menunggu pacarku, apa lagi?" jawabku dengan senyum sumringah. Dia diam sejenak. "Kita sudah mau terlambat! Cepat naik sepedaku! Pagi ini, aku yang antar," pintanya galak. Aku segera duduk di belakang Della karena tidak ingin berdebat, padahal ini baru pukul enam. Tidak mungkin terlambat meski aku menunggunya dulu. "Aku akan ke kelas kuliahnya nanti, kami punya jam yang sama. Aku harus minta maaf karena pergi terlebih dulu," ucapku pada Della yang baru meletakkan tas merahnya. Della diam saja. Akhirnya kelas berakhir, aku segera berlari menuju ruang kelas pacarku. "Maaf, apa Deon ada di dalam?" tanyaku. "Hari ini Deon tidak masuk," jawabnya datar. Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera menghubunginya. "Tidak aktif, terakhir dilihat kemarin, dan pesan yang kukirim tidak masuk, padahal pulsaku masih," aku sedikit bingung, tidak biasanya begini. Aku pergi ke tempat tongkrongnya, kafe yang ada di gang dekat kampus. Selesai kuliah, dia pasti ke sana, entah bersamaku, sendiri, atau temannya. Sesampainya di sana, mataku mencari-cari sosoknya. "Hari ini tidak bersama Deon?" tanya Syello, pegawai yang cukup akrab dengan kami. "Kupikir dia kemari," aku tertunduk. "Ada apa?" Syello lalu mempersilakanku duduk."Aku mencari Deon, dari pagi aku tidak melihatnya," kataku. "Dia pergi tanpa memberitahumu?" Syello duduk setelah meletakkan kopi untukku. "Kurasa begitu, karena ini bukan dia yang biasanya," aku mencium aroma kopi tersebut dalam-dalam. "Sudah pergi ke semua tempat yang memungkinkan dan tanya teman-temannya?" Syello bertanya sekaligus memberiku solusi. "Akan kulakukan," aku tersenyum padanya lalu menyeruput kopi buatannya. "Apa kamu yang traktir?" tanyaku sambil meninggikan gelas sedikit. Syello tertawa "Baiklah, tapi kapan-kapan ajak aku pergi," Di depan toko buku, tempat dia kerja sambilan, aku melangkah masuk. "Adrian!" panggilku. Adrian menoleh, "Isabella, ada apa? Jangan memanggilku dengan berteriak!" aku tertawa mendengar ucapannya. "Baiklah... Maafkan aku, hahaha..." "Apa Deon punya jam kerja hari ini?" tanyaku langsung. "Mulai bulan ini dia tidak bekerja lagi di sini, jangan tanya kenapa karena aku tidak tahu," jawabnya agak ketus. Aku menatap Adrian



dengan mata sedikit berlinang. "Ah! Maaf! Apa aku terlalu keras?" dia menjadi panik. Aku segera pergi dari situ tanpa mengucapkan apa-apa. Di jalan, aku menelponnya berkali-kali. "Angkat! Angkat! Kumohon angkat!" aku memencet tombol diponselku beulang-ulang. Kakiku mendadak lemas. Tiba-tiba ada yang memegang pundakku. "Adrian?" aku mendongak. Adrian membantuku berdiri. "Aku langsung mengejarmu setelah kau telah lari beberapa meter, kebetulan jam kerjaku telah usai," jelasnya. "Barangmu?" aku melihatnya masih memakai seragam kerja. "Aku tidak sempat memikirkan apa-apa," dia memalingkan muka dariku lalu bersandar pada kursi yang kami duduki. Mendengar jawabannya, aku tersenyum kecil. "Kau tidak perlu khawatir, kini aku tahu harus ke mana," aku menatap lurus ke depan. "Ke mana?" Adrian menatapku heran. "Dia punya kelompok belajar, setiap hari dia ke sana," aku menatapnya balik. "Satu jam lagi jamnya dia," aku melihat jam yang melingkar di tanganku. "Akan aku antar," Adrian lalu berdiri di samping kiriku. "Aku sendiri bisa kok," tolakku halus. "Tapi aku yang khawatir! Aku ingin kamu aman," dia membantah. "Terima kasih, kamu memang baik ya sebetulnya," aku tersenyum padanya. Kami berdiri menatap rumah kecil di pinggir jalan. "Ini rumah siapa sebetulnya?" tanya Adrian. "Tidak tahu, tapi katanya ini punya orang tua salah satu anggota kelompok belajarnya," aku mencoba mengingat perkataan Deon. "Ah iya! Rumah ini milik orang tua Johanne!" "Ada apa? Barusan kau memanggilku?" tiba-tiba gadis berkulit coklat agak gelap mendekatiku. "Begini, apa Deon sudah datang? Aku pacarnya, Isabella," dia melihat kami seksama. "Kupikir kalian pasangan, habis kamu tampak lebih cocok dengannya ketimbang Deon, ucapanku jangan diambil hati ya! Soal Deon, kemarin dia bilang tidak akan ikut lagi," jawabnya panjang dengan sedikit tertawa. "Kenapa dia tidak ikut lagi?" aku mencoba mengorek informasi. "Dia tidak bilang apa alasannya meski kami telah bertanya dan memintanya untuk tidak pergi," jawabnya tidak bersemangat. "Baiklah, terima kasih ya," aku mengucapkan terima kasih lalu pergi bersama Adrian. "Aku... Tidak tahu ke mana lagi," keluhku. "Ini juga sudah malam, aku akan mengantarmu pulang," Di kamar, aku mengingat-ingat tempat mana lagi yang belum kudatangi. "Rumah! Kenapa aku bisa lupa?" aku segera terbangun dan mengambil jaketku. Dengan kaus panda dan celana rumahan aku pergi ke rumah Deon memakai sepeda. Akhirnya aku sampai dengan napas terengah-engah. Aku memencet bel berulang kali setelah dua kali mengetuk pintu secara keras tapi tak ada sahutan. Di depan rumahnya, aku mencoba menghubunginya lagi, masih tidak aktif. Satu jam aku menunggu, akhirnya aku kembali. Di jalan, aku melihat taman yang kemarin kami kunjungi. "Sebaiknya aku mampir," aku pun memakirkan sepedaku lalu masuk ke taman yang sudah sepi.



Lima belas menit sudah aku berjalan-jalan di taman. "Isabella!" tiba-tiba ada yang memanggilku. "Della? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku sambil berjalan kecil menghampirinya. "Aku yang harusnya bertanya begitu, kamu sedang apa?" dia menatapku aneh. "Aku baru saja dari rumah Deon, tapi tak ada yang merespon padahal sudah satu jam aku di sana, jadi aku pulang lalu lewat sini," ceritaku pada Della. Della terdiam sesaat. "Kamu... Hilang ingatan atau apa?" tanya Della pelan. Aku melihatnya berekspresi tak biasa, seperti menunjukkan kesedihan dan juga kecemasan. "Apa maksudmu?" aku benar-benar tak mengerti maksudnya. "Kalian kan sudah putus," "Apa? Bagaimana bisa?" aku tampak kaget dengan pernyataannya. "Kami sudah berpacaran cukup lama, kenapa bisa putus?!" aku sedikit berteriak. "Aku ingin memberitahumu sejak pagi! Tapi, aku tidak punya kesempatan dan aku tidak tega melihatmu yang begitu mencemaskan Deon!" kulihat Della menahan tangis saat mengatakannya. "Kalian putus tanpa alasan yang jelas, dia memutuskan kontak dengan semuanya yang ada di sini, termasuk kamu! Dia sudah pergi, pergi jauh!" Della melanjutkan perkatannya. "Tapi kenapa aku tidak ingat?" aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. "Kamu pingsan! Ingat tidak? Aku yang menemukanmu saat aku baru pulang kerja seperti hari ini," Della sedikit mendorong pundakku. "Deon? Dia bagaimana?" aku memegang pundak Della. "Aku tidak tahu! Aku hanya melihat sesaat pertengkaran kalian, lalu yang kulihat Deon memukulmu lalu pergi, aku berniat mengejar, tapi aku lebih khawatir soal kamu!" Della melihatku dengan kesal tapi air matanya masih mengalir jelas. "Ah, yah... Aku mulai ingat, setelah itu aku terbangun di kamarku pada jam sebelas malam, lalu..." Aku tiba-tiba berlari menjauhi Della. Della meneriaki namaku berulang kali. Aku ingat! Ingat betul apa yang terjadi kemarin! Deon, dia... Dia bilang dia bosan padaku, dan dia sedang mendekati teman sekolahnya dulu, dan akan segera pergi dari kota ini. Lalu aku berteriak dan mengatakan tidak ingin putus. Sehabis itu aku dan Deon bertengkar di sisi sepi taman kota. Kesal dengan tingkahku, Deon memukulku dengan tangan kosong berulang kali. Aku tersungkur karena tidak melakukan perlawanan, Della tiba-tiba datang dan berteriak. Della dan Deon berdebat sesaat hingga akhirnya Deon mendorong Della kasar dan meninggalkan kami. Akhirnya kesadaranku benar-benar hilang. Setelah aku terbangun, aku menelpon Deon. Dia menolak teleponku. Kesal, aku mengahampiri rumahnya. Karena memiliki kunci rumahnya, aku menerobos masuk. Dengan mudahnya aku menemukan Deon yang sedang mengerjakan tugas. Lalu... Aku membunuhnya. Pisaunya! Pisaunya masih ada di rumahku! Aku tidak tahu kenapa aku membawanya pulang! Aku segera masuk ke kamarku. Kubuka rak keduaku dan kulihat di sana ada pisau dapur dengan banyak darah kering yang berserakan. Aku tersenyum lalu mengambil pisau tersebut. Pertama, aku



membersihkan rak tersebut dan menyemprotnya dengan parfum dan pengharum. Setelahnya aku mencuci pisau itu berulang kali hingga bersih lalu menguburnya. Dengan begini, aku bisa tenang.