238 Fragmen - Sajak-Sajak Baru Goenawan Muhammad [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

G o e n awa n M o h a M a d



FRAGMEN http://facebook.com/indonesiapustaka



S a j a k- S a j a k b a r u



http://facebook.com/indonesiapustaka



http://facebook.com/indonesiapustaka



GM 616202045 PENERBIT PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA KOMPAS GRAMEDIA BUILDING BLOK 1 LT. 5 JL. PALMERAH BARAT NO. 29-37 JAKARTA 10270 ANGGOTA IKAPI



CETAKAN PERTAMA: SEPTEMBER 2016 GAMBAR SAMPUL DAN ISI DIAMBIL DARI SKETSA Goenawan Mohamad PERANCANG SAMPUL & PENATA LETAK: Patricia Adele HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG DILARANG MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH BUKU INI TANPA IZIN TERTULIS DARI PENERBIT



ISBN 978-602-03-3371-7



http://facebook.com/indonesiapustaka



Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta 1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah). 4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah).



http://facebook.com/indonesiapustaka



Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta



http://facebook.com/indonesiapustaka



Ucapan Terima Kasih Buku ini terbit berkat bantuan Dobby Fahrizal, yang dengan baik hati mengumpulkan dan memasang sajak-sajak saya on-line. Juga berkat kerja Zaim Roiqi, yang menyiapkannya untuk penerbitan. Saya juga berterima kasih kepada Patricia Adele, desainer grais Komunitas Salihara, yang merancang penampilan visual kumpulan ini.



http://facebook.com/indonesiapustaka



G.M.



http://facebook.com/indonesiapustaka



DA F TA R ISI J e m bAtA n K A R e l , P R A h A 12



S ON ETA DUA DE N TA NG 13



AU BA DE



A DA SE BUA H DI N DI NG



DATA NG



14



15



SE BE NA R N YA



ePilog



11



16



17 19



DI P RO SE N I U M R I T E OF SP R I NG m A Rc o P ol o



21



22



Di h A R i K e m At i A n bA R A Di tA K At oP P o



http://facebook.com/indonesiapustaka



SJA h R i R , Di Se buA h Se l



29



De ngA n Se PAt u K e c i l A nA K- A nA K YA NG M E N Y E BE R A NG T E N TA NG SE OR A NG OR A NG T UA



33



36



m e n De ngA R K A n K e m bA l i ' blu et t e ' DAv i D bRu be c K QuA Rt et, u n t u K K A n vA S JoA n m í Ro A nA K- A nA K



38



27



37



http://facebook.com/indonesiapustaka



PA DA SuAt u h A R i DA l A m h i Du P SugA S A l mo St blu e



41



T E N TA NG OR A NG DATA NG Pe R i S A i A K h i l e S M I SH I M A



42



43



45



Pe RtA n YA A n - Pe RtA n YA A n u n t u K D on Qu i Xot e TA M U



52



A Ku tA K A K A n t uA PAGI , DI STA SI U N



54



55



http://facebook.com/indonesiapustaka



F R AGM E N: PE R I ST I WA



57



50



39



http://facebook.com/indonesiapustaka



11 GOENAWAN MOHAMAD



J e m bAtA n K A R e l , P R A h A



Di sungai yang tak tersentuh ini arca orang suci berjajar hitam, di enam abad. Senja melebar tapi bulan seakan lambat. Di sisi tua jembatan ini sebuah boneka mengikuti gitar, dan walsa merapat, ketika arus dan angsa menetapkan tepi ke arah gelap. Kemudian malam memasang ruang, dan taman menyusun sepi, dan pada sebuah jam, engkau pun datang, dengan kembang di tangan



http://facebook.com/indonesiapustaka



Ke seseorang yang mungkin menanti. tapi siapa ia kenali? lampu gas, terang yang terbatas, paras yang tak kembali—selalu singgah di lorong ini. lupa memang tema kita, akhirnya. Tahun menggerakkan tali. Dan kita menari. lagu gitar di trototar. Di sisi tua jembatan ini. 2003



12 FRAGMEN



S ON ETA DUA DE N TA NG



Dua dentang pukul pada tiang listrik adalah dua keluh dalam kekal Doa, dini hari, dan waktu yang tak mati mungkin tersembunyi di angka kelam dan besi tua Ini. Atau barangkali ia tak ada; hanya jejak yang rawan pada jam, hanya jam yang musnah oleh sajak. Hanya sajak



http://facebook.com/indonesiapustaka



2003



13 GOENAWAN MOHAMAD



AU BA DE



Di halte pertama seorang masinis menyanyi karena tak terasa lagi dinihari. Pukul 5, orang-orang tetap tak melihatnya Tapi kota itu terbangun oleh rel riuh, suara subuh, sisa gerimis, tembilang ayam jantan yang lama mengais. seorang pelacur pun pulang ke arah anak di kelas yang jauh, “Telah kusiapkan sabak itu, Ibu, telah kutuliskan namaku”



http://facebook.com/indonesiapustaka



2005



14 FRAGMEN



A DA SE BUA H DI N DI NG



Ada sebuah dinding dengan ajal yang bergerak Seperti siluet tangan Seorang anak Ada selembar pagar ada sepasang inisial ada nama yang mati namaku yang mati



http://facebook.com/indonesiapustaka



2006



15 GOENAWAN MOHAMAD



SE BE N A R N YA



Sebenarnya apa yang terjadi: setelah kautuliskan sajakku dalam sajakmu sajakmu dalam sajakku? Atau kata-kata kita saling selingkuh, sejak zaman yang tak kita tahu? Mungkin ritme itu pernah satu melahirkan aku melahirkan kamu melahirkan nasib, melahirkan apa yang tak pernah tentu



http://facebook.com/indonesiapustaka



2008



16 FRAGMEN



DATA NG



25 September, akhirnya ia datang, hampir terlambat: ia dan warna putih, ia dan jam yang teduh, ia dan anti-kematian.



Aku pun pelan menciumnya, dan di landskap hanya ini yang kulihat: bulan yang mencoba lepas dari kota dan gas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2009-2012



17 GOENAWAN MOHAMAD



ePilog



Anak itu selesai meraut hiu dari kayu dan melontarkannya ke danau. Ia tak mengatakan apa-apa, tapi ayahnya tahu, di pahat itu hikayat memilih arahnya sendiri. ‘Dongeng adalah metamorfosa, ayah, karena kiasan berhenti dan Sita menolak perjalanan ke Ayudya lagi.’ ‘Apa yang terjadi dengan Sita?’ tanya sang ayah.



http://facebook.com/indonesiapustaka



‘Ia terjun ke telaga mencari ikan terbang yang menentang kematian.’ ‘Tapi di sebuah hutan, jauh dari istana Rama yang pulih, dua pangeran piatu yang menyingkirkan diri membentuk busur bambu dan urat daging: “Kami Kusya dan lawa, pembangkang yang berkabung, yang tak ingin siapapun mati.”



‘Tapi dalam mimpi mereka mereka bunuh ayah mereka. ‘Dengan rahang mengetam mereka berbisik,



18 FRAGMEN



“Jangan Paduka sentuh ibu kami: permaisuri itu telah lama bertopang di punggung hiu, mencari arah ikan terbang” Dan dalam cerita saya ini, ayah itu pun menatap cemas mata anaknya. ‘Kita tak pernah mengerti Sri Rama’, katanya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2011



19 GOENAWAN MOHAMAD



DI P RO SE N I U M



They live their lives in sad cafes and music halls—Janis Ian.



Di kursinya yang hitam, ia masih belum juga bernyanyi. Di prosenium yang setengah terang itu ia memandang ke utara. Matanya mabuk. Tutup piano itu mengkilap seperti dahinya yang berkeringat. Mulutnya mabuk. ‘Daud…’, tiba-tiba nama itu disebutnya. Suara itu keras, tapi tak lurus.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Di gedung itu penonton senantiasa murah hati. Dalam gelap, teater menunggu: seorang diva, sebuah cerita panjang yang mungkin akan dinyanyikan, koridor yang berwarna seperti harapan, ruang konser yang mulai tua, bunyi langkah yang takut tapi terbujuk, dan sebuah suara viola yang sedang dicoba. Beberapa menit berlalu. Tuts itu pun mulai bergetar. Perempuan di prosenium itu menyebut lagi, ‘Daud..’, meskipun ia tahu yang dipanggilnya tak di sana. ‘Daud….’ -- lalu terdengar baris pertama, ‘Bintang datang bintang pergi, seperti sisa singkat matahari’.



20 FRAGMEN



Dan piano itu memberinya melodi. Siapa Daud, sebenarnya? Seperti kau dan aku, barangkali, sebuah komposisi,sebuah lagu yang seperti arus mengikis tebing dan mendapatkan namanya kemudian, setelah selesai digumamkan.



Di dalamnya Daud berjalan dari kota ke kota, bersama band yang lusuh, di lorong music hall dan bar yang sedih, dan berangkat lagi, tiap kali. Sebelum tepuk tangan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



‘Kau tak akan sampai di prosenium Kau tak akan sampai di prosenium Mawar kering sebelum harum’. Barangkali ia tahu,di sebuah bangku stasiun Daud duduk malam itu dengan gitar yang terbungkus. Dan kereta lewat. 2011



21 GOENAWAN MOHAMAD



R ITE OF SPR I NG



Tari itu melintas pada cermin: bagian terakhir Ritus Musim. Gerak gaun -- paras putih -tapak kaki yang melepas lantai... 23 tahun kemudian di kaca ia temukan wajahnya. Sendiri. Terpisah dari ruang. lekang, seperti warna waktu pada kertas koreograi. Tapi ia masih ingin meliukkan tangannya. "Aku tak seperti dulu," katanya, "tapi di fragmen ini kau memerlukan aku. Aku -- hantu salju."



http://facebook.com/indonesiapustaka



Suaranya pelan. Seperti derak tulang ketika di ruang latihan itu tak ada lagi adegan. Hanya nafas. Mungkin ia masih di situ. 2012



22 FRAGMEN



m A Rco P ol o



Hari masih gelap, hari Rabu itu, ketika Marco Polo pulang, jam 6 pagi di musim gugur, beberapa abad kemudian. I Di dermaga Ponte Rialto tak dikenalinya lagi camar pertama. Di parapet jembatan itu tak bisa ia baca lagi beberapa huruf tua yang menyela kabut sepanjang kanal. Hanya dilihatnya seorang perempuan Vietnam mendaki tangga batu yang bersampah.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dan Marco Polo tak tahu pasti apakah perempuan itu bernyanyi di antara desau taksi air. Apakah ia bahagia. Atau ia hanya ingin menemani seorang hitam yang berdiri sejak tadi di bawah tiang lampu di depan kedai pizza, selama angin merekatkan gerimis. "Kalian datang dari mana?," pengelana Venezia itu bertanya. "Tidak dari jauh," jawab perempuan itu, "Tidak dari jauh," jawab orang hitam itu. Dan camar pertama itu terbang.



23 GOENAWAN MOHAMAD



Ia pernah kenal pagi seperti ini: pagi yang dulu tak menghendakinya pergi. II Bau kopi pada cangkir sebelum kantin membuka pintunya, bau lisong pada kursi yang masih belum disiapkan: yang tak berumah di kota ini tak akan pernah memulai hari. III Dua jam ia coba temukan tanda delima yang pernah diguratkan diujung tembok lorong-lorong sempit. Tapi Venezia, di tahun 2013 Masehi, tak lagi menengok ke arahnya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



IV Di Plaza San Marco, dari dinding Basilika malaikat tak bertubuh menemukan gamis yang dilepas. "Adakah kau lihat, seseorang telah menemukan seseorang lain dan berjalan telanjang ke arah surga?" Tak ada yang menjawab. Hanya Marco Polo yang ingin menjawab.



24 FRAGMEN



Tapi dari serambi kafe orkes memainkan la cumparsita dan kursi-kursi putih menari tak kelihatan, sampai jauh malam Ketika kemudian datang hujan yang seperti tak sengaja, seorang turis tua berkata: "Akan kubeli topi Jepang yang dijajakan pada rak, akan kupasang ke kepala anak yang hilang dari emaknya." V Menjelang tengah malam, para pedagang Benggali masih melontarkan benda bercahaya ke menara lonceng. "Malam belum selesai", kata mereka, "malam belum selesai." Marco Polo mengerti. Ia teringat kunang-kunang.



http://facebook.com/indonesiapustaka



VI Cahaya-cahaya setengah bersembunyi pada jarak 3 kilometer dari laut Dan di laut itu terbentang gelap aneh yang lain. “I must be a mermaid, Rango. I have no fear of depths and a great fear of shallow living.” —Anaïs Nin



25 GOENAWAN MOHAMAD



VII Esoknya hari Minggu, dan dibilik Basilika padri itu bertanya: "Tuan yang lama bepergian, apa yang akan tuan akui sebagai dosa?" Marco Polo: "Iman yang tergesa-gesa". "Saya tak paham." Marco Polo: "Aku telah menyaksikan kota yang sempurna. Dindingnya dipahat dengan ekses dan peperangan di mana tuhan tak menangis." VIII Di Hotel Firenze yang sempit Marco Polo bermimpi angin rendah dengan harum kemuning.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Ia terbangun. Ia lapar, ia tak tahu. Ia kangen. ia tak tahu. Ia hanya tahu ada yang hilang dari slimutnya: warna ganih, bau sperma, dan tujuh remah biskuit yang pernah terserak di atas meja.



26 FRAGMEN



iX Pada jam makan siang dari ventilasi kamar didengarnya imigran-imigran Habsi bernyanyi, Aku ingin mengangkut hujan dari kaki dewa-dewa, aku ingin datangkan sejuk sebelum tengah hari besok, aku akan lepaskan perahu dari kering. Di antara doa dan nyanyi itu derak dayung-dayung gondola mematahkan sunyinya. X



http://facebook.com/indonesiapustaka



Sebulan kemudian. Di hari Senin itu musim mengeras tua dan Marco Polo membuka pintu. Cuaca masih gelap. Jam 6 pagi. Biduk akan segera berangkat. "Tuanku, Tuhanku, aku tak ingin pergi." Ia berlutut. Ia berlutut tapi dilihatnya laut datang dengan paras orang mati. 2013



27 GOENAWAN MOHAMAD



Di h A R i K e m At i A n bA R A Di tA K AtoPP o



Di hari kematian baradita Katoppo, ketika lampu mulai dipadamkan, sebaris kalimat lewat: "Tak ada yang kembali. dari benua itu". "Tak ada yang kembali." Hamlet, kita ingat, mengatakan itu, seraya telunjuknya ia rapatkan pada pintu. langit mengeriput. Antara kata dan katakomb, ia lihat orang-orang berangkat, dan seseorang mengirim pesan pendek, "Aku tinggalkan waktu, Tuanku".



http://facebook.com/indonesiapustaka



Itu bisa. Itu mungkin bisa. Sebab di sini, dekat kau dan aku, kematian selalu menjemput, bersama asap di sudut rumah menjelang sore, dan kabur ke udara ketika tetangga-tetangga membakar sampah dan di corong radio



tak ada orang yang butuh berdoa. Hanya sejumlah nada lurus tapi berkabung.



28 FRAGMEN



Dan tak satupun yang kembali. Hamlet pun bertanya: mana yang lebih sedih, mana yang lebih sederhana: menanggungkan ombak di gempa laut, atau memangkas nasib yang tak adil, atau menyeberangi selat dan menghilang ke dalam hijau ganggang? Di jalan ke pengasingan itu Horatio diam, meskipun wajahnya menua dan berkata, Kita ada di sana selalu, tuanku, kita ada di sana selalu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2014



29 GOENAWAN MOHAMAD



SJA h R i R , Di Se buA h Se l



—untuk Rudolf Mrazek



Dari jendela selnya, (kita bayangkan ini Jakarta, Februari 1965, dan ruang itu lembab, dan jendela itu rabun), ia merasa siluet pohon mengubah diri jadi Des, anak yang berjalan dari selat memungut cangkang nyiur, dan melemparkannya ke ujung pulau. "Aku selalu berkhayal tentang selat, atau taman kembang, atau anak-anak."



http://facebook.com/indonesiapustaka



Itu yang kemudian ditulisnya di catatan harian. Maka ditutupkannya daun jendela dan ia kembali ke meja, ke peta dengan warna laut yang tak jelas lagi. Ia cari kapal Portugis. Tapi Banda begitu pekat, dan laut menyembunyikan ingatannya. (Seorang pemetik pala



30 FRAGMEN



pernah mengatakan itu di sebuah bukit kepada Hatta). Kini ia mengerti: juga peta menyembunyikan ingatannya, seperti malam Rusia menyembunyikan sebuah kota. Tiap pendarat tak akan mengenali letak dangau, jejak ketam pasir, batang rambai yang terakhir, di mana sisa hujan agak disamarkan. "Sjahrir. Bukankah lebih baik lupa?"



http://facebook.com/indonesiapustaka



Seekor ular daun pernah menyusup ke sandalnya dan ia ingat ia berkata, "Mungkin. Mungkin aku tak akan mati." Esoknya ia berlayar. Di jukung itu anak-anak mengibarkan bendera negeri yang belum mereka kenal. "lupa adalah...." "Jangan kau kutip Nietzsche lagi!". "Tidak, Iwa. Aku hanya ingin tahu sejauh mana kita merdeka." Di beranda rumah Tjipto,



31 GOENAWAN MOHAMAD



di tahun 1936 itu, percakapan sore, di antara pohon-pohon Naira, selalu menenteramkan. "Jangan beri kami altar dan tuhan imperial," seseorang menirukan doa. "Tapi kita dipenjarakan, bukan?" Ya, tapi ini penjara yang pertama, yang memisahkannya dari ingin dan kematian. "Ah, lebih baik kita diam," kata tuan rumah. "Abad ke-20 adalah abad yang memalukan."



http://facebook.com/indonesiapustaka



Di sana, di beranda rumah Tjipto, menjelang malam, di tahun 1936, mereka selalu tertawa mengulang kalimat itu. Di sini, (kita bayangkan di Jakarta, Rumah Tahanan Militer, 1965), ia tak pernah merasa begitu sendiri. Hanya ada suara burung tiung (atau seperti suara burung tiung) ketika siang diam. Tapi ia takut duduk.



32 FRAGMEN



Ia tak ingin menghadap ke laut, (andaikan ada laut), seperti patung Jan Pieterzoon Coen, seperti pengintai di menara benteng yang menunggu kapal-kapal di dekat langit sebelum perang. Ia tak ingin duduk. "Siapa yang menatap jurang dalam, jurang dalam akan menatapnya." Mungkinkah ia sendiri yang mengucapkannya di sel itu?



http://facebook.com/indonesiapustaka



2014



33 GOENAWAN MOHAMAD



D e n g A n S e PAt u K e c i l A n A K- A n A K YA ng MEN YEBER A NG



— in memoriam Aylan Kurdi (2012-2015)



tentu saja di pulau itu orang-orang Kos tak mendengar derak kapal patah ketika anak-anak di palka bernyanyi, "lihatlah kerudung kami, Kerudung kami." * Pada jam sarapan mualim berkata, Ada tembolok camar yang pecah di kiri buritan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Hiu yang menari sepanjang pasang menantikan mimpi di atas buih * Dari kamar mesin, besi dan hitam berdesakan. * Aku mencari sinyal di tepi Djibouti.



34 FRAGMEN



Dalam tugur dini hari. Diagram telepon genggam Mungkin isyarat di seberang, mungkin di seberang, laut mendekat. Tapi menjelang siang, di cuaca bisu, sinyal meracau dan gerbang tenggelam. mungkin tenggelam. mereka katakan laut merah terbelah



http://facebook.com/indonesiapustaka



dan Musa lewat dalam pawai. Tapi tidak dari sini, tidak dari sini di tepi Djibouti. * Kata yang sulit adalah "palestina". Kadang-kadang eksodus membentuknya. Kadang-kadang tuhan, kadang-kadang iraun, kadang-kadang gurun.



35 GOENAWAN MOHAMAD



Sesekali teka teki. Syahdan semua yang tak menemukan rumah akan juga sampai. Semua yang diungsikan akan berhenti. Yang berjalan, dengan paspor tua mungkin tiba. Dan kata yang hilang adalah "palestina". * Dalam dongeng diceritakan bahwa yang pertama meninggalkan ladang adalah anak dan ingatan. Di hari penghabisan tersisa peta di perapian. Sebelum kita dengar,"selamat tinggal."



http://facebook.com/indonesiapustaka



* Pada jam mati yang kering akhirnya mereka temukan waktu. Tapi di pagar jalan ke arah Aegea mereka tak lagi temukan nama-nama. * Tuhan sebenarnya ingin sederhana. Sebelum perang. 2015



36 FRAGMEN



T E N TA NG SE OR A NG OR A NG T UA



Aku bermimpi menemukan kembali anak itu: gadis kecil yang pernah aku angkat ke pundak agar rambutnya yang tebal menyentuh sulur beringin. Aku bermimpi ia memelukku. lalu pergi. Dan kau menangis? Aku coba tidak. Kota-kota sejak dulu meletihkan. Berapa umurmu sekarang? 78. Mungkin. Yang aku hitung hanya panjang kuku kakiku tiap kali.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Di lekuk sungai itu ikan-ikan terkadang memepetkan sisiknya ke dahan asam yang patah dan jatuh ke dalam air. Ikan-ikan yang iseng, kata seorang pengail. Kakek itu mengangguk dan memukulkan telapak tangannya ke paha. Ia tahu ia tidak bisa lagi menggosok-gosokkan otot pungungnya ke gigir tebing. Kau terlalu lama hidup. Mungkin. Umur membuatmu sendirian. Agaknya. 2015



37 GOENAWAN MOHAMAD



men DengA R K A n K em bA l i ' b l u e t t e ' D Av i D b R u b e c K Q u A R t e t , u n t u K K A n vA S JoA n m í Ro



Beri aku, Brubeck, Beri aku siang yang tak ringkas, sax yang samar, jam yang tak membekas. Beri aku biru denting yang tak terduga. Beri aku malam pada partitur ketiga. Beri aku ritme dan kanvas yang kekal. Beri aku anti-melodi. Beri aku melodi:



http://facebook.com/indonesiapustaka



kematian yang tertunda setiap kali. 2015



38 FRAGMEN



A nA K-A nA K



Di dinding rumah hitam yang ia ingat 60 tahun kemudian tertulis empat huruf nama anak yang tak akan pernah dilahirkan. Sejak langit tak bisa dingin. Sejak langit tak bisa dingin di malam hari dilihatnya malaikat penunggang kuda dengan muka muram menyelamatkan 1000 janin dari bumi. Dari pertanyaan-pertanyaan tentang bahagia.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2015



39 GOENAWAN MOHAMAD



PA DA S UAT U H A R I DA l A m h i Du P SugA S



Tiap jam 8:00 pagi, setelah cahaya dihidupkan lagi di seluruh mall “Trocadero”, setelah ia selesai menderetkan lima manekin di tangga masuk lobi, setelah para pertugas sekuriti dan perempuan-perempuan rias bersiap di ruang parfum, untuk berkata serempak “selamatpagi” ketika manajer penjualan muncul dari lantai lima, setelah AC sejuk dan jingel mulai -- Sugas akan kembali ke tugasnya sehari-hari: merapikan syal dan blouse dan gaun dan topi di tubuh manekin pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, dan menggosok dengan kain lanel permukaan wajah mereka, atau jari-jari mereka, atau tungkai kaki mereka, sampai berkilau.



http://facebook.com/indonesiapustaka



“Kau harus paling ramah hari ini, isti”, biasanya ia berbisik. Sudah sejak tiga bulan lalu, sejak ia dipindahkan ke bagian dekorasi, khusus untuk menyiapkan etalase di lobi besar, ia memberi nama Isti kepada tiap manekin yang dibersihkannya di tangga masuk. “Kau tidak boleh terlalu anu”. Ia kadang-kadang mengubah apa yang dikatakannya.



40 FRAGMEN



Ia tidak menyangka bahwa pada akhir bulan ketiga, ia merasa mendengar Isti, salah seorang Isti, menjawab. Ia tidak percaya manekin bisa berbicara, juga di toko-toko pakaian yang sepi. Ia hanya tahu di tanggal tua seperti hari itu, di lorong-lorong mall di antara etalase-etalase besar itu, ia sering ketakutan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2015



41 GOENAWAN MOHAMAD



A l moSt blue



Chet Baker mati di kakilima ini. Pada suatu malam, ada suara trompet yang menggigil dari arah lorong pelacuran, dan seseorang jatuh dari jendela di lantai kedua. Dinihari mengeras di seluruh Amsterdam. Kanal seakan terbelah. Suara trem tertahan dari arah Waag. Portir hotel mengangkat mayat tamu yang dikenalnya itu dan menghapus kokain dari pipinya. Di mulut yang tipis dan berserbuk itu ia sebenarnya ingin dengar sisa suara yang serak, suara yang pelan, melankoli, mimpi. Tapi telat. "You will be oK, chet, you will be oK", bisiknya. Ia tahu ia berdusta.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Kemudian esok hari kekosongan, kemudian lusa percakapan, dan jazz menjalar ke dalam suhu kamar. Nada mencari jalannya sendiri-sendiri, meskipun, ajaib, tiap kali mereka ketemu kembali. Mereka bertemu di titik ini, di sudut kakilima ini, pada murung dalam angan-angan, narkose dalam biru, ketika Chet Baker berdiri luka dan senja kembali melihatnya. Ia meniup trompetnya. 2015



42 FRAGMEN



T E N TA NG OR A NG DATA NG



Dalam mimpi burukku kau datang merah padam seperti kusta. Bertopi kelasi, turun dari kapal, dan berkata, "Aku orang yang tak akan tinggal." Di kantor imigrasi itu mereka tak tahu, adakah kau asing adakah aku asing, atau justru kota ini yang akan mengusir kita. Dalam mimpi burukku kau dengar aku berseru. Dalam mimpi burukku aku tak tahu siapa yang berseru.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2015



43 GOENAWAN MOHAMAD



PeRiSAi AKhileS



Sebelum menikam, ia tunjukkan sisi tersembunyi perisainya, dan berkata pelan: Aku Akhiles, aku pembunuhmu. Aku tak datang dari negeri yang berbahagia.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tak ada penyair yang menggubah (atau mencatat) momen itu: enam detik sebelum lehernya memuncratkan darah, Hektor melihat di logam itu lanskap sebuah kota yang tak dikenalnya. Seorang dewa pandai besi telah menatahkan sebuah mosaik pada lingkar luar, dengan kata-kata: Untukmu, Akhiles, aku lukis kota yang putih, jembatanjembatan yang menyilang kanal dan pasar ikan sepanjang tepian. Aku lukiskan sederet tenda rempah-rempah, sederet kedai, dan sebuah sirkus yang selalu mulai. Kau bisa lihat perempuanperempuan bergegas ke arah ladang dan laki-laki mencatatkan alamat mereka di pusat kota, untuk sesuatu yang tak mereka ketahui. Pendeknya, sebuah kota yang normal, seperti Troya, tapi dengan peta lain yang tak disusun. Di bagian yang tak disusun itu, Hektor melihat orang-orang bajang hidup dengan nama yang tak tersimpan. Tak ada arsip para dewa. Tak ada agenda. Tiap fajar, di musim panen, mereka naik ke bukit untuk menyanyikan sebuah kur sukacita – meskipun, Hektor merasa, suara mereka sangat parau.



44 FRAGMEN



Ia tahu orkes mereka hanya hujan. Terkadang angin. Terkadang angin yang mengayun dahan sipres, selamanya berubah. Tak ada akar. Para dewa tak punya akses ke pedalaman ini. lagu baru saja disiapkan dan kalimat akan tersirat, “Kami metamorfosis. Kami mengulang yang tak berulang.” Hektor tersenyum. Sebelum nafasnya putus, ia merasa ia berseru: Tuan-tuan yang tak tampak, panggillah aku. Aku akan datang. Troya tak layak dipertahankan. Dan ia rubuh.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Ketika kemudian Akhiles menyeret mayat pangeran itu dengan kereta perang mengitari Troya, di antara debu yang berkabung dan bertebaran ia bergumam, Aku Akhiles. Aku tak akan pulang. Aku tak akan pulang mengenal Zeus dan kepastian yang tak bahagia. 2016



45 GOENAWAN MOHAMAD



MISHIM A



1 Seperti pengungsi dari gempa, Mishima (aku bayangkan ia Mishima) pulang. lanskap rusak. tapi ia ingin bergerak, kemudian tua. Dan terbaring. Dan Mishima terbaring, menatap langit-langit, dari tikar yang disepuh musim. Rambutku hilang, ia berkata, rambutku hilang. Tapi lihat, aku tahu di mana aku akan tak ada lagi.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Setumpuk arang panas menghangatkan kakinya.



46 FRAGMEN



2 Di detik-detik berikutnya, ruang itu mendengarkan jam: Siul cerek melengking dari didih air, sebelum dusun tertidur. Malam menyeduh teh, sup telah masak. Seolah-olah semua membiarkan kata-kata berhenti pada shoji.



3



http://facebook.com/indonesiapustaka



Di luar ashram, tiga hantu dari kuil memukulkan beliung pada paras waktu dan berkata: Kau tahu, aku tahu, kita tahu.



47 GOENAWAN MOHAMAD



4 Aku bayangkan Mishima berkata: mimpi membujukku dengan luka Santo Sebastian Tujuh anak panah yang menembus tubuhnya yang berahi meregang di pusarku.



http://facebook.com/indonesiapustaka



5 30 tahun yang lalu aku pernah bersamamu ke Yudanaka dengan kereta api pelan. Oktober meminta kita menghirup warna daun. Tapi kau menyanyi kecil dan membuka kutang, dan dua jam kemudian di tepi bak air panas, kutemukan namamu yang terhapus. Minum, kau berbisik. Minum. Tattoo di lengan itu mengeriput seperti daun terakhir. Tubuhmu sebuah kemarau: anasir dan peristiwa yang tak menyentuh lagi.



48 FRAGMEN



6 Seharusnya aku Narsisus dengan tukak lambung yang tak bercermin ke wajah air. Seharusnya aku Narsisus dengan amis ikan yang meludah dan bersetubuh di kolam itu dengan arwah dan humus hutan. Mungkin aku tak kenal sakit hati yang membalas.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Aku membaca tiap frase mitologi, aku selalu ingin melengkapi: pedang dengan matahari. kembang dengan keringat, sungai dengan sperma yang tipis tertahan. Apa yang tak bisa kita cintai sebenarnya dari carut-marut bumi? Seharusnya aku Narsisus, yang memandang gerak-gerik mendung: burung-burung Yunani yang sewarna membentuk huruf. Tak punya arti Dan tak pernah menengok ke kolam.



49 GOENAWAN MOHAMAD



7 lewat pintu geser, Mishima seakan melihat mereka, dalam asap rokok: Kelasi kapal-kapal yang kalah yang disembunyikan di kotak waktu. Rumah makan unagi ini tak mau mengungkapnya. Di lantai dua, tamu-tamu beku. Botol-botol beku. Di dinding ada kanvas: hutan Guadalkanal, pasir yang tak tersentuh perang, pematang yang naik turun, pengantin yang diusung ke tengah semak dengan nyanyian hampir mabuk. Tapi selalu ada orang yang seperti aku, kata Mishima, yang tak ingin cerita alternatif.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Hari hanya satu narasi. Tuhan menamainya kematian. Dan Mishima terbaring, menatap langit-langit, dari tikar yang disepuh musim.



2016



50 FRAGMEN



P E RTA N YA A N - P E RTA N YA A N u n t u K D on Qu i Xot e



http://facebook.com/indonesiapustaka



Ketika para pembaca bertanya berapa lamakah Don Quixote mencintai Dulcenia, tokoh novel ini, (tanpa diketahui sang pencerita), menjawab: bertahun-tahun -- sejak ladang-ladang terbentang di la mancha. Di rumah warisan di sudut dusun itu khayal kadang jadi badai, dan badai menghalau penabur, dan penabur merelakan benih di kantungnya: yang ranum jadi gergasi, yang rapuh jadi cacing, yang gabuk entah. Tapi aku pohon gabus yang menyendiri, kata Don Quixote dengan nada rendah. Kulitku tertoreh. Maka kutatah tubuhku mencari Dulcenia. Tapi tuan terlampau tua untuk itu, protes para pembaca. Don Quixote mengangguk, pelan: Barangkali. Aku alpa. Aku menyembunyikan diri dalam bahasa Mur. Aku sesekali merangkak ke dalam kitab lusuh, aku tinggal di alcaná, sebagai Yahudi tak berjanggut ketika Taurat dimusnahkan. Aku pernah menyaksikan perumpamaan terhapus dan pelan-pelan aku membuat amsal baru. Bapa-kami di surga, kau matikan kehendakku. Sejak itu aku berhenti tertawa dan Rocinante mengangkutku. Tuan tak pernah ragu tentang siapa Tuan? tanya seorang pembaca. Don Quixote tak menyahut. Tuan tak pernah meragukan Dulcenia? tanya



51 GOENAWAN MOHAMAD



pembaca yang lain. Don Quixote hanya memandang ke arah jalan. Mungkin ia teringat malam itu, di bilik kecil, di sebuah kastil tempat ia diperdayakan. letih, lapar, terpisah, ia kunci pintu. Ia tak lepaskan baju zirahnya. Ruang itu dingin. Dua lilin tak ingin menampakkan semuanya: sepasang sepatu dengan lars berlumut, sepasang kaus kaki yang setengah menghijau, tungkai kiri yang sakit bersentuhan dengan dunia. Ia berjalan ke jendela karena ia seakan mendengar seorang gadis bernyanyi di halaman: aku mengagumimu, ksatria la mancha.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Ia tahu, semua hanya olok-olok, kecuali kesedihan. Ia tak menginginkan fantasi baru. Di ruang persegi itu, dalam gelap, ia selintas menemukan kembali waswasnya yang lama. Jangan-jangan Dulcenia tak ada, tak pernah ada.



2016



52 FRAGMEN



TA M U



Dengan raut kusut, dengan kaus apak, dengan tungkai luka, Don Quixote diminta berdiri di balkon itu, menghadap ke arah plaza. Kota bergerak. “Ecce homo!” seru tuan rumah. Ada suara tertawa.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Tapi dari tepi jalan di bawah orang-orang memandangnya. “ Ia tak bermahkota duri, papa”, kata seorang anak. “Ya, tapi ia tahu apa yang kita tak tahu,” sahut ayahnya. “Apa yang ia tahu, papa?” “Seorang ksatria dilahirkan kembali ketika penghinaan tak melukainya.” Satu jam kemudian tuan rumah menyuruh orang ramai mengarak Don Quixote di panas terik ke ujung jalan.



53 GOENAWAN MOHAMAD



Sang majenun tahu, tapi ia hanya diam, di kota ini tak ada yang pernah bertanya tentang tamu, waham, kematian. Tapi ia hanya diam.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2016



54 FRAGMEN



A Ku tA K A K A n t uA



Aku tak akan tua dengan tujuh kwatrin Mungkin di ujung ada patah kata lain Aku tak akan jalan ke arahmu Aku mungkin jalan ke arahmu Jangan kau tunggu di utara itu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



2016



55 GOENAWAN MOHAMAD



PAG I , D I S TA S I U N



Dari ujung Tugu rel melengkuas burung jatuh pada loko lelah Seharusnya ada peluit Seharusnya seseorang menjerit Seharusnya pagi tak singgah seperti kopi cerah Seharusnya aku enggan Seharusnya kau Dan kita tak sampai



http://facebook.com/indonesiapustaka



2016



http://facebook.com/indonesiapustaka 56



FRAGMEN



57 GOENAWAN MOHAMAD



http://facebook.com/indonesiapustaka



F R AG M E N : P E R I S T I WA



Pada akhirnya, saya hanya menulis sebuh fragmen. Tentu hal ini sudah diketahui umum: selama ini yang saya tulis adalah potonganpotongan pendek dari pengalaman, pengamatan, dan pemikiran, yang tak cukup memberi kesempatan buat argumentasi yang jauh dan dalam. Saya selalu bisa punya alasan bahwa hal itu disebabkan oleh waktu dan ruang yang terbatas. Tapi sebenarnya ada alasan lain: ketakmampuan. Seandainya pun saya nanti menulis tiga jilid buku dengan satu tema, saya tahu semua itu juga akan merupakan sekadar “percikan permenungan”, seperti sebutan untuk kumpulan karya Roestam Effendi di pertengahan dasawarsa kedua abad ke-20. Sebab saya tak mengerti, apa yang dapat tuntas ditulis di zaman ini. Ungkapan klise—tapi tak berarti keliru—sejak paruh kedua abad yang lalu ialah bahwa hidup kita telah dirundung bukan saja oleh perubahan, tapi juga oleh “kejutan masa depan”. Banyak hal jadi usang dan ditinggalkan zaman dalam tempo yang kian lekas, seakanakan masa depan memergoki kita tiap dua hari sekali, dan pelbagai bidang yang kita ketahui semakin beserpih-serpih. Sementara itu harapan untuk sebuah sintetis, untuk kembali kepada satu totalitas, tampaknya hanya menggantang asap. Apa yang dulu dianggap bisa jadi dasar pelbagai



58



http://facebook.com/indonesiapustaka



FRAGMEN



pengetahuan telah kehilangan daya: ilsafat telah diabaikan oleh pemikiran, metaisika telah diinterupsi oleh ironi, dan tinjauan transendental jadi problematik…. Menulis fragmen adalah cara saya bernegosiasi dengan keadaan yang seperti itu. Tapi tak hanya itu. Menulis dan menghasilkan fragmen juga sebuah proses yang saya jalani ketika berurusan dengan “kemustahilan tak menulis”, dan sekaligus “kemustahilan menulis”. Kata-kata ini saya pinjam dari Kaf ka. ‘menulis’ merupakan ketegangan antara menemui bahasa dan menemukan bahasa. Ketika kata diterakan dalam huruf, ia menyandang tanda-tanda yang sudah ada dalam khasanah umum. Bahasa yang paling privat pun, seandainya itu ada, bergerak di medan orang ramai itu. Bahkan ketika satu kalimat diucapkan secara lisan oleh seorang Robinson Crusoe kepada dirinya sendiri, struktur verbal itu mendapatkan bentuknya karena ada model yang datang dari orang lain. Di saat itu, seorang Crusoe menemui bahasa, pada saat ia menemukan bahasa. ‘Menemukan’ bahasa berarti mendapatkan sebuah pengalaman baru dari dalam kata, meskipun kata itu sudah lama beredar. Pengalaman itu baru–mungkin bertaut dengan sugesti atau asosiasi–karena ia belum ada di kancah orang ramai. Tapi sementara ‘menemui’ bahasa adalah bergerak pada bahasa yang hidup di permukaan komunikasi, ‘menemukan’ bahasa berawal dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ibarat kawah di bawah kepundan yang mengeluarkan



59



http://facebook.com/indonesiapustaka



GOENAWAN MOHAMAD



asap. Kita tahu kata selalu bertaut dengan ingatan, dan himpunan ingatan di kepala saya membentuk kawah itu: dunia privat saya yang tersendiri. Ketika saya menulis mau tak mau saya hidup dalam dunia privat bahasa itu–dan dari sana terjadilah impetus untuk ‘menemukan’ bahasa, sebab bahasa di permukaan komunikasi bukanlah bahasa yang selalu memadai dan memuaskan. “Karena kata tak cukup buat berkata,” demikian sebaris sajak terkenal Penyair Toto Sudarto Bachtiar. Dalam sastra, kesadaran akan deisit itu sangat akut. Ionesco, penulis lakon itu, adalah suara yang mendekati putus-asa. ‘Kata-kata bukanlah ucapan -- le mots ne sont pas la parole,’ ia menulis dalam catatannya: Sebelum Ionesco, di Prancis abad ke19 ada Mallarmé yang ingin, seperti Poe, “menyuci bersih bahasa puak,” dan di Jerman tahun 1927 Hugo Ball menulis Klanggedictung, “puisi bunyi” Di Rusia awal abad ke-20, seorang penyair menyebut kembang lili dengan kata yang sama sekali baru, sebab ‘lili’ sudah jadi kata yang hampa. Tak jarang, memang, dunia privat itu terdesak oleh daya kata-kata yang deras, repetitif, dan riuh rendah dari kancah orang ramai. Tak jarang perkawinan setengah paksa pun terjadi antara bahasa saya dengan bahasa berjuta-juta orang. Bahasa Indonesia rentan terhadap promiskuitas ini. Ia tak bisa dikatakan sebagai bahasa “asal” sebagian besar kita, tapi ia tak bisa pula dikatakan sebagai bahasa kedua. Kini, tersebar sebagai bahasa komunikasi utama, melalui kapitalismepercetakan, ia kian efektif bergerak ke luar namun



60



http://facebook.com/indonesiapustaka



FRAGMEN



terasa tercerabut dari pengalaman-pengalaman vital yang primer. Ia seakan-akan tak mempunyai gudang ingatan yang berjejal dengan impian, kejorokan, hasrat yang brutal dan kengerian yang tersimpan--dari mana makian dan lagu dolanan anak-anak terbit, juga ungkapan erotik yang paling dasar. Dalam sejarah puisi Indonesia modern, baru Rendra yang mencoba memulihkan ekspresi verbal anak-anak yang bermain, dan baru Sutadji Calzoum Bachri yang dengan kalem dan wajar menyebut kata “kontol” dan “puki”. Meskipun dikenal sebagai penulis prosa dan puisi dengan bahasa yang cerah, Rendra toh kemudian muncul dengan teater ‘minikata’ dan Sutardji pula yang memaklumkan credo puisi yang terkenal itu: bahwa kata-kata ‘haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea’. Sebagaimana saya pahami, baik “minikata” Rendra dan pembebasan Sutardji ingin agar kata berhenti bekerja seperti mata uang yang sepenuhnya hanya bernilai tukar dan dipakai secara resmi untuk berhubungan dengan para pihak yang berbeda-beda dalam segala situasi. Diperlakukan bagaikan mata uang, kata itu bukan sesuatu yang menyentuh secara tak tergantikan dari kedalaman maknanya. Satu hal lagi yang juga merupakan ciri mata uang: ia punya kepastian dan kejelasan yang terang benderang agar dapat diterima siapa saja. Ia seperti idea, yang beredar dengan klaim bahwa dirinya adalah sesuatu yang universal. Adapun menurut kamus, ‘idea’ berasal dari idein, kata Yunani untuk “melihat”. Dari sebuah



61



http://facebook.com/indonesiapustaka



GOENAWAN MOHAMAD



alam pikiran yang melahirkan ilsafat, memang ada kecenderungan untuk memandang fenomen sebagai apa yang terlihat, apa yang terang. Kata “fenomen” sendiri, yang pada dasarnya berarti ‘objek pencerapan’, atau ‘sesuatu yang nampak’, datang ke dalam pelbagai bahasa di dunia dari kata Yunani phainomenon: ‘apa yang muncul’. Akar katanya adalah phainein, yang berarti “meletakkan sesuatu dalam terang”. Itulah sebabnya bahasa menjadi sepenuhnya terang dan komunikatif ketika ia sepenuhnya bergerak pada tataran idea. Tapi adakah komunikasi segala-galanya? Puisi modern, yang di Indonesia dibuka pintunya oleh Chairil Anwar, menjawab ‘tidak.’ Puisi ini adalah sebuah ikhtiar agar dunia privat bisa diungkapkan dan tak punah tertindas oleh bahasa orang ramai. Dunia privat saya adalah nasib saya, dan nasib, kata Chairil, “adalah kesunyian masing-masing”. Maka dibutuhkan sesuatu yang lain yang tak mengutamakan “ jelas” dan “terang”. Sebab tiap kali bahasa mencapai pengertian yang dimufakati bersama oleh orang ramai, sebenarnya ada yang tak diakui, dirobek, luka, bahkan ditenggelamkan, dalam konsensus itu. Itulah sebabnya saya tak melihat bahasa puisi hanya sebagai ornamen. Bukan pula ia hanya ciri khas atau kelainan seorang penyair. Ia adalah sebuah respons dari kebutuhan agar tiap wacana cukup punya ruang, mungkin rongga, di mana tersimpan caveat, bahwa menulis adalah sebuah kemustahilan. Persisnya, kemustahilan untuk secara stabil mengenang kembali ‘kesunyian



62



http://facebook.com/indonesiapustaka



FRAGMEN



masing-masing’ yang tak hendak diakui dan cenderung diabaikan. Tapi tak menulis juga sebuah kemustahilan. Tak menulis sama artinya dengan yakin, bahwa diam memadai, dan bahwa diam adalah sebuah hijrah dari bahasa publik. Tapi itulah yang tak terjadi. Apa yang saya tulis akhirnya hanyalah sebuah kompromi dengan keniscayaan yang tak bisa dielakkan oleh bahasa, hasil laku pragmatis, dan bersifat sementara. Dengan kata lain, fragmen. Tapi diam pun satu bentuk fragmen lain. Diam juga sebuah karya. Wittgenstein menulis sepucuk surat menjelang musim dingin 1919: “Karyaku terdiri dari dua bagian: yang satu yang disajikan di sini plus segala hal yang belum kutulis. Dan justru bagian kedua itulah yang penting”. Yang agaknya luput dari ucapan itu, atau tak segera saya tangkap, adalah bahwa sebenarnya ada cacat, sesuatu yang traumatik, ketika saya berujar atau diam, ketika saya memilih sejumlah kata atau menutup mulut. Sebab tiap fragmen adalah hasil sebuah tindakan: ia mengandung risiko, tapi juga kesempatan. Tiap fragmen genting. Itulah sebabnya sebuah tulisan atau sebuah karya mengambil posisi hanya sebagai fragmen, tiap kali ia merasa bahwa ada titik di mana ia harus berhenti tapi tahu bahwa saat itu ia belum selesai.



*



63



http://facebook.com/indonesiapustaka



GOENAWAN MOHAMAD



Kini diperlukan estetika sebuah titik. Kita mungkin perlu belajar dari lukisan Rusli. Kanvas Rusli adalah serangkaian gores dan kuas yang seakan-akan menari, warna yang tak mengorak meriah seperti kembang dalam kebun yang lengkap, kanvas yang seakan-akan selalu menunggu. lukisannya adalah sebuah laku wuwei. Dalam pengertian Taoisme, kata itu konon berarti keadaan tak melakukan apa-apa, tapi justru banyak hal terjadi karena itu. Tak melakukan apa-apa–sebab goresan itu ibarat alir yang tak diarahkan dengan kehendak. Sang pelukis tak menjajah gerak kuasnya dengan konsep dan struktur, sebab tak ada rencana, tak ada arah. Ritme garis itu seolah-olah berbisik dan bergetar melalui dirinya. Seperti ketika seorang seniman dan orang bijak di Cina lama mengguratkan kaligrai. Bentuk – rumah, perahu, orang – pun tampil dalam keadaan yang lepas dari ketentuan yang mewujudkan sesuatu agar siap dipamerkan. Masing-masing tak dimaksudkan untuk, seperti komoditi, bisa diterima ramai-ramai. Masingmasing tampak seakan-akan masih belum rampung, dan seakan-akan buat pertama kalinya hadir di dunia, malu-malu. Karya Rusli mengisyaratkan bahwa ada yang tak pernah terjangkau – dan kanvasnya yang tak penuh bagi saya berbicara tentang itu dengan sedikit melankoli. Ia seakan-akan selesai justru ketika tak selesai.



64



http://facebook.com/indonesiapustaka



FRAGMEN



Setiap seniman percaya bahwa ada “keindahan”, tapi ia tahu itu seperti utopia: ia tak pernah ada di sebuah tempat. Ia tak penah tergapai. Ia selalu mengimbau justru sebagai posisi dari Yang lain yang kemudian menghilang. Kanvas Rusli yang seperti menunggu itu seakan-akan menemukan sebuah kehadiran yang tak dapat ditemukan. Apa arti “rampung” dalam sebuah lukisan? Kanvas Rusli membuat kita tahu bahwa “rampung” berbeda dengan “selesai”. “Rampung” mengandung pengertian kerja yang tak usah dilanjutkan lagi, karena ada ukuran objektif tentang itu. “Selesai” lebih dekat dengan “lerai”, “usai”, suatu keadaan berhenti yang seakan-akan ditentukan dari luar diri kita, oleh waktu yang tak kita kuasai. Ada saat ketika seorang pelukis berhenti, seakan-akan berkata, “Sudahlah”, dan merasa bahwa sebuah karya yang dikerjakannya akan menjadi berlebihan jika ia terus bekerja, seakanakan serakah, kurang hormat, kepada sesuatu yang menggerakkan dirinya. Momen itu bagi saya menentukan. Saya duga ketika itulah seorang seniman merasakan, bahwa ia harus melepaskan kembali kehadiran “keindahan” seperti ia melepaskan tamu yang membahagiakannya, karena tamu itu tak ingin dia kuasai. Sebuah lukisan, dan terutama lukisan Rusli, adalah sebuah kerinduan yang tak meniatkan balas: seorang pekukis memanggil



65



http://facebook.com/indonesiapustaka



GOENAWAN MOHAMAD



Yang lain yang ia tahu tak akan membalas memanggilnya. Sebuah kanvas yang penuh, seperti sebuah koreograi tari yang berdesakan, yang pepak perabot, ornamen, dan gerak yang ingin menjadi “spektakel” – sesuatu yang memikat pandangan, mengejutkan dan meriah--adalah sebuah karya yang tak tahu bagaimana meletakkan titik. Seperti kanvas Rembrandt: penuh tapi sebenarnya kosong; sebab tak ada lagi yang berbisik dari sana. Di depan Rembrandt kita kagum akan kekuatan dan kemahiran manusia untuk menangkap dan mereprsentasikan “dunia”. Obyek itu–wajah, kostum, perabot, kapal, lanskap--memang memberikan kesan kehadiran yang kuat dalam kanvas Rembrandt. Tapi sebenarnya Subyek-lah, sang pelukis, yang mengatur semua itu, seperti para hartawan Amsterdam--yang umumnya tampil gemilang dalam kanvas Rembrandt --mengatur arus kekayaan. Di sana, meriah-ruahnya Obyek justru bukan menunjukkan apa yang oleh Adorno disebut sebagai Vorrang des Objekts. Berbeda dari Rembrandt, di depan kanvas Rusli kita merasa bahwa manusia, sang Subyek, hanya sebagai sesuatu yang lewat, bahkan jangan-jangan tak hadir. Ada hening yang tak diusik, juga ada alam di luar yang dibiarkan sendiri, seperti dalam sajak Sapardi Djoko Damono yang sederhana, tak dramatik, tapi intens dan lembut ini:



66 FRAGMEN



angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telepon itu, ‘aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!’ kabel telepon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, ‘jangan berisik, mengganggu hujan!’ hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, ‘lepaskan daun itu!’ Setelah itu? Percakapan angin, hujan, kabel telepon, dan daun itu berlanjut. Bila ia tak ada dalam bait lain, itu hanya karena ia hilang dari fokus. Titik ada, tapi bukan tanda akhir. Yang berakhir belum habis. Membaca sajak Sapardi ini, seperti memandang kanvas Rusli, kita bersua dengan momen yang sublim dari sebuah saat berhenti. Di ujung itu ada isyarat, bahwa dunia “Obyek” tak bisa diletakkan datar, mandeg, dan pasti di bawah sorot lampu.



http://facebook.com/indonesiapustaka



* PeRKenAlAn pertama saya dengan puisi berlangsung di sebuah sungai dan sejumlah senja. Ketika umur saya belum belasan tahun, saya sering mendengarkan para nelayan bernyanyi di sebuah tikungan sungai tak jauh dari rumah kami, ketika hari lewat magrib. Mereka mulai mendayung perahu mereka ke arah muara. Dengan mata saya yang rabun, saya tak pernah dapat melihat mereka dengan jelas, apalagi ketika



67



http://facebook.com/indonesiapustaka



GOENAWAN MOHAMAD



perahu bergerak menjauh. Gelap memang sudah mulai menutupi. Pakaian mereka umumnya coklat tua, terbuat dari kain blacu kasar yang dicelup tungu, pewarna dari kulit kayu hutan. Perahu agak besar untuk 16 orang itu hanya diberi dua atau tiga lampu petromaks, di antaranya di buritan, di bawah tiang kedua yang dihiasi dengan ukiran kayu sesosok tokoh Mahabharata. Di dapur yang terbuka, dua tiga anak yang dibawa ke laut mulai memasang tungku, menanak nasi. Dan orang-orang dewasa mendayung, sambil menyanyi. Seseorang akan melantangkan suaranya, solo, dan tiap kali, sambil dayung panjang itu dihempaskan, awak yang lain akan menyahut dalam paduan suara. Apa yang mereka lagukan hanya sepatahsepatah saya tangkap. Mereka mengubah-ubahnya tiap kali di sana-sini. Tapi selalu ada sugesti erotik, juga melankoli, pada pelbagai baris. Tubuh perempuan. Si jantan yang tak beruang. Nama kembang sebagai metafor. Seorang tokoh dari cerita Damarwulan. Yang sayu bertaut dengan yang bergairah, yang cemas berjalin dengan yang nikmat dan bebas, dan suasana bersama itu seakan-akan tengah merayakan kebersamaan dalam kerja dan tualang – tapi tak satu pun yang sebenarnya saya pahami. lagipula, inilah yang terjadi tiap kali: berangsur-angsur kata-kata itu akan makin terdengar lamat-lamat. Ketika kemudian saya mengenal dan menyukai puisi, suara nyanyian menuju ke



68 FRAGMEN



muara itulah yang selalu saya ingat. Puisi datang pertama kali kepada saya melalui nadanya, suara yang bergerak menjauh, ketika hari tiga perempat gelap.



* PUISI menebus kembali apa yang hilang dalam sesuatu yang tanpa nada – dalam tulisan. Puisi, sedikit atau banyak, mengembalikan kelisanan sebuah teks. Puisi memulihkan kata sebagai ‘peristiwa’. Dalam ‘peristiwa’, bunyi hadir. Penyair Hartoyo Andangjaya menggambarkan proses puisi dengan plastis sebagai ‘dari sunyi ke bunyi.’ Bunyi adalah bagian dari bahasa puisi yang seperti nafas: begitu penting tapi begitu lumrah. Sepotong sajak Chairil Anwar:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Biar susah sungguh Mengingat Kau penuh seluruh Bunyi “uh” di dalam dua baris itu membentuk hubungan auditif–dan bukan hubungan kognitif– yang tak hanya terbatas di situ. Asosiasinya menjangkau juga ke “keluh”, “aduh”, atau juga “luruh”. Kedua baris itu, dengan bunyi sebagai metafor, tak urung memberi kesan sebuah posisi pasrah, tak berdaya, sehabis sebuah ikhtiar yang gagal. Ada hubungan organis antara bunyi itu dan sugesti yang menghadirkan makna.



69 GOENAWAN MOHAMAD



Tapi saya ingin menambahkan: proses dari sunyi ke bunyi itu juga menghadirkan dan melibatkan imaji. Terutama dalam bahasa Indonesia, yang mengandung kata-kata yang punya asosiasi antara bunyi dan citra: kata ‘sulur’, ‘mulur’, ‘alur’, misalnya, dan mungkin beberapa kata lain dengan bunyi akhir ‘lur’, menyarankan sebuah makna submorfemik tentang bentuk yang memanjang dan pipih. Sajak Amir Hamzah, yang selalu datang dengan aliterasi dan asonansi ( juga disonansi) yang memukau, menunjukkan betapa pentingnya bunyi dan imaji yang datang bersamaan, sebelum pengertian muncul di tengah kata. Sajak Batu Belah menampilkan antara lain dua bait seperti ini:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dengar…..dengar Dari jauh suara sayup Mengalun sampai memecah sepi Menyata rupa mengasing kata



Rang…..rang….rangkup Rang…..rang….rangkup Batu belah batu bertangkup Ngeri berbunyi berganda kali



Sajak itu pada dasarnya berkisah tentang nasib seorang ibu yang ingin menuruti kehendak



70 FRAGMEN



anaknya tapi tak berdaya, akhirnya punah ditelan batu--dan dengan itu menyarankan kembali bentuk syair lama yang menyunting dongeng. Tapi tampak, ada sesuatu yang membayang di dalamnya: bunyi mantra. Kita menemukannya dalam bait kedua pada kutipan di atas, atau dalam bait ini:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Batu belah batu bertangkup Batu tepian tempat mandi Insya Allah tiada ‘ku takut Sudah demikian kuperbuat janji Kombinasi antara syair dan mantra itu membentuk satu tegangan yang memukau. Dongeng menghendaki alur yang linear. Sebab itu pada syair, rima tersusun sederhana, tetap, ibarat garis lurus, a-a-b-b atau a-a-a-a dan b-b-b-b-b.. Tak ada yang mengagetkan dan ganjil. Yang penting bagi orang yang membaca dan mendengarkan adalah menangkap dan mengkuti ‘isi’ cerita atau kalimat dari bait ke bait. Kita dapatkan hal itu misalnya dalam Syair Abdul Muluk: Berhentilah kisah raja Hindustan Tersebutlah pula suatu perkataan, Abdul Hamid Syah paduka sultan, Duduklah baginda bersuka-sukaan. Abdul Muluk putra baginda, Besarlah sudah bangsawan muda



71 GOENAWAN MOHAMAD



Cantik menjelis usulnya syahda Tiga belas tahun umurnya ada . Berlawanan dengan syair, mantra tak bermaksud bercerita. Di dalamnya tak ada narasi. Yang ada adalah dorongan mengaitkan kata dengan tuah, menghubungkan kalimat dengan misteri alam, untuk menggerakkan sesuatu dari misteri itu. Mantra adalah bagian dari kegelapan. Di dalam Batu Belah, mantra itu menginterupsi gerak yang linear dari cerita. Tapi tak hanya dari mantra interupsi itu muncul. Impuls Amir Hamzah untuk menyambut bunyi dan imaji, sejak permulaan telah datang memotong:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dalam rimba rumah sebuah Teratak bambu terlampau tua Angin menyusup di lubang tepas Bergulung naik di sudut sunyi Tak ada hubungan auditif dan visual yang bisa disusun sebagai rima antara “sebuah” dan “tua” dan “tepas” dan “sunyi”. Yang berkait adalah aliterasi yang mendadak muncul di tengah-tengah, antara “rimba” dan “rumah”, “teratak” dan ‘terlampau tua’. Tapi di sini pun Amir Hamzah tak membuatnya teratur, dan justru dengan demikian bunyi jadi sesuatu yang mengejutkan, dan tampil, hadir. ‘Rang…rang…rangkup’ yang terdengar berulang-ulang (‘dari jauh’, tulis Amir) adalah kombinasi baris dan bunyi yang tak ada duanya dalam persajakan tahun 1930-an.



72 FRAGMEN



http://facebook.com/indonesiapustaka



Bunyi itu, “mengalun sampai memecah sunyi”, menghadirkan sesuatu, sebuah imaji, ke dalam kesadaran kita, “menyata rupa”--dan pada saat itu ia pun membuat kata terlontar ke dalam posisi yang asing: “mengasing kata.” Kata berada dalam posisi yang asing ketika ia tak berperan sebagaimana lazimnya: menyampaikan ‘pengertian’. Tapi haruskah kata selalu berada dalam kelaziman itu? Kita tahu bahwa Sutardji Calzoum Bachri menggugatnya. Ia mengasosiasikan puisinya dengan mantra, dan seperti disebut di atas, mantra adalah bagian dari kegelapan. Ada sebuah mantra yang dipakai orang zaman dahulu di Sumatra untuk menangkap buaya. Mantra itu diucapkan setelah seekor ayam ditusuk dengan nibung dan dipasang di sebatang joran atau diikat dengan tali dijadikan umpan. lalu kita pun akan mendengar apa yang dilafalkan. Saya kutip sedikit: Penyikat tujuh penyikat Pengarang tujuh pengarang Diorak dikumbang jangan Lulur lalu ditelan Atau baris ini: Mati mampek, mati mawai Mati tersadai, pengkalan tambang Tentu harus ditambahkan di sini, bahwa mantra tak pernah boleh diucapkan secara



73



http://facebook.com/indonesiapustaka



GOENAWAN MOHAMAD



sepotong-sepotong. Kelengkapannya mesti dan urutannya pasti. Seluruhnya adalah sebuah totalitas yang tak dapat diurai dan dipisah-pisah. Tuahnya, sebagaimana misteri alam, tak bisa dianalisa. Itulah sebabnya, mantra, bagian dari dunia lisan, adalah sebuah “peristiwa”. Peristiwa adalah ke-jadi-an, sepatah kata yang dibentuk dari “ jadi”. Walter Ong juga menggunakan pengertian itu (“event”) dalam uraiannya yang terkenal tentang perbedaan antara perikehidupan oral dan perikehidupan beraksara, untuk menunjukkan bagaimana kata dipergunakan dan diterima oleh manusia yang hidup sebelum atau di luar kebudayaan berhuruf. Contoh terjelas datang dari pengguna bahasa Ibrani: “dabar” dalam bahasa itu berarti “kata” dan juga “kejadian.” Tapi saya agak berbeda pendapat. Jika menurut Ong kebudayaan yang terutama bersifat lisan menerima “kata hanya ada dalam bunyi”, pada hemat saya “kata” sebagai “peristiwa” juga terbangun oleh imaji. Dalam mantra yang dikutip di atas, “mati mawai” dan “mati tersadai” mengesankan sebuah repetisi dalam bunyi, namun sebenarnya mensugestikan dua posisi tubuh yang secara visual berbeda: “mawai” berarti tertunduk muka ke bawah, seperti merapung di atas air, sedang “tersadai” berarti terlentang. Yang “visual” dan auditif bahkan amat terasa dalam sajak Amir Hamzah. Bunyi kalimat “batu belah, batu bertangkup” dengan



74 FRAGMEN



kuat menghadirkan sebuah benda alam yang misterius–besar, hitam, terletak di sebuah hutan yang angker – di dalam imajinasi kita. Dalam imajinasi kita, benda itu “menyata rupa”. Tiap puisi menghadirkan “kejadian” dalam dirinya. Dalam batas tertentu, puisi mengandung anasir mantra: bunyi dan imaji sebagai sempalan gema dalam kelam–das Gedunkelte Splitterecho dalam sebuah sajak Paul Celan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



* SEBUAH sajak adalah ibarat gema: ia saksi bahwa kita tak berada di ruang yang hampa, kita tak hanya punya satu sisi, dan di sana ada yang memperbanyak suara kita ke arah lain. Ketika gema terdengar, kita tahu bahwa ada “arti” atau makna yang lebih luas ketimbang “pengertian”. “Arti” memang dapat berarti sesuatu yang tak hanya bersifat linguistik, tapi juga eksistensial (dalam sajak Diponegoro Chairil Anwar menulis: “Sekali berarti, sudah itu mati”). Sementara itu, “pengertian” adalah “isi” kognitif sepatah kata atau sebatang kalimat, sebuah “apa”, sebuah “proposisi”. “Pengertian” adalah sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang dapat dipikirkan kembali berulang kali, sesuatu yang diutarakan dalam bahasa baik oleh orang yang sama maupun oleh orang lain dalam waktu yang berbeda. Tapi “pengertian” hanyalah reduksi dari “arti”. Acapkali orang mengharapkan sebuah komposisi verbal akan datang dengan “pengertian”, dan



75



http://facebook.com/indonesiapustaka



GOENAWAN MOHAMAD



dari dalamnya kita bisa menunggu “apa” yang dikatakan. Tak penting lagi merenungkan “arti” dari komposisi itu bagi diri saya. Di situlah orang bisa salah. Seperti S. Takdir Alisjahbana: ia tak merasa mendapatkan apa-apa dari syair tradisional: Syair seperti biasa disebut bangsa kita, seperti dibacakan waktu berjaga beramai-ramai, hendak melalukan malam, menghadap pelita yang berkelip-kelip, biasanya perkataan, bahkan bunyi belaka, yang dilagukan oleh tukang baca syair dengan suara dan lagu yang tak berubahubah di antara bangun dan tidur. Bukan sekalikali maksud syair itu hendak disiasati tiap-tiap perkataan, tiap-tiap baris. Orang mendengar lagu, mendengar suara, mendengar ceritanya dan sampai ke situ habislah. Takdir Alisjabhana keliru karena ia menggunakan tuntutan yang datang dari kebudayaan beraksara untuk menghadapi perikehidupan yang bersifat lisan. Kemungkinan untuk menyiasati “tiap-tiap perkataan, tiap-tiap baris” hanya ada pada sebuah bahasa yang terletak dalam ruang dan waktu yang mandeg dan ketika sebuah puisi bukan lagi sebuah peristiwa. Dengan kata lain, bahasa dalam wujud tertulis atau tercetak. Menyiasati atau menganalisis kata hanya bisa dilakukan ketika kata itu dihentikan sejenak, dilihat kembali, dibekukan, dan diletakkan di bawah mikroskop. Dengan kelaziman beraksara pula Takdir menganggap syair lisan itu “bunyi belaka”;



76



http://facebook.com/indonesiapustaka



FRAGMEN



baginya, “maksud” syair itu tak akan langgeng, “sampai ke situ habislah”. Sebuah “maksud” atau “proposisi” yang akan berlaku selama-lamanya dan tak hanya “sampai ke situ habislah” sebenarnya sebuah abstraksi. Ini memang tampak amat terkemuka ketika kita menghadapi dunia verbal yang dituliskan. Paul Ricoeur menyebut sebuah teks sebagai “obyek yang a-temporal” yang seakan-akan memutuskan kaitannya dengan semua perkembangan sejarah. Menulis mengandung kapasitas “mengatasi proses historis, perpindahan wacana ke sebuah lapisan idealitas”. Tapi saya kira ada yang perlu ditanyakan di sini. Sebenarnya, pernahkah menulis sepenuhnya bebas dari kelisanan? Pernahkah menulis seratus persen mengatasi proses historis? Pernahkah wacana mencapai “lapisan idealitas” yang tak tersentuh oleh dunia yang kongkrit? Saya kira tidak. Hanya dalam momen abstraksi kita menemukan idealitas sejati bahasa. Tiap teks, tiap kata, senantiasa ditafsirkan, dan tiap tafsir lahir sebagai bagian integral dari pengalaman hidup yang konkrit, dalam dunia. Tiap fragmen adalah sebuah peristiwa. Puisi mengingatkan akan hal itu. Bagi seorang penyair, “dialektika antara makna dan peristiwa” yang dikatakan Ricoeur meragukan, sebab bertolak dari tesis yang melihat kedua anasir itu sebagai entitas yang terpisah. Padahal makna atau arti selalu datang sebagai peristiwa dan/atau



77 GOENAWAN MOHAMAD



dalam peristiwa. Saya ingat beberapa baris dari Ode To Meaning Robert Pinsky: Your face a vapor, the wreath of cigarette smoke crowning Bogart as he winces through it. You not in the words, not even Between words, but a torsion, A cleavage, a stirring . Itulah sebabnya parafrase terhadap sebuah puisi tak akan menghentikan atau membekukan makna puisi itu. Sebab makna “tak ada dalam kata-katanya, bahkan tak juga di antara kata”. Makna datang ibarat getar yang menggugah, meskipun hanya sementara. Makna bukanlah sesuatu yang seperti sinar laser: terang, lempang, lurus, tajam dan sempit. Ia tak mendesak dan menjepit.



http://facebook.com/indonesiapustaka



* Ke-beRARti-An adalah desakan modernitas terhadap makna. Desakan itu menuntut agar segala hal mengandung “pengertian,” atau dapat dijelaskan dengan “pengertian”. Desakan ke-berarti-an bertolak dari pandangan bahwa “pengertian”-lah yang harus jadi “arti” atau “makna”. Desakan ini juga menilai setiap perkara dengan tolok ukur instrumental: bila sesuatu harus berarti, ia harus “berguna.” Dalam sejarah pemikiran Indonesia, desakan ke-berartian yang paling kuat datang dari dua orang penggerak pembaharuan yang kukuh: S. Takdir Alisjahbana dan Pramoedya Ananta Toer.



78



http://facebook.com/indonesiapustaka



FRAGMEN



Kita kenal takdir sebagai suara yang mengecam pesimisme Sandyakalaning Majapahit yang ditulis Sanusi Pane di tahun 1933 dan mengecam elan modernisme yang datang bersama generasi Chairil Anwar di akhir tahun 1940-an. Bagi Takdir, kesusastraan harus berarti bagi reconstructie arbeid atau kerja pembangunan. Tak ayal ia menyamakan puisi Chairil Anwar dengan “rujak” – segar, tapi tak bergizi, dengan kata lain, tak bernilai guna. Pada Takdir memang ada sebuah kontradiksi: ia dengan Pujangga Baru dan agenda modernisasinya merasa harus mengembalikan makna ke dalam wilayah publik. Dengan kata lain, ia sendiri terpaksa menampik konsekuensi yang ia tahu akan datang bersama gerak modernitas–setidaknya dalam gambaran yang kita peroleh sejak Kant sampai dengan Habermas: berkembangnya pengalaman esstetik dan proses pemaknaannya sebagai sesuatu yang otonom, terpisah dari wacana kebenaran dan moraliltas. Saya tak tahu bagaimana Takdir akan bisa menyelesaikan kontradiksinya. Pada masanya, gambaran muram berkenaan dengan modernitas bertaut dengan pandangan negatif terhadap “peradaban Barat”. Tentu saja ini sepenuhnya bisa difahami, sebab “peradaban” itulah yang menciptakan penaklukan dan kolonialisasi. Tapi peringatan akan gejala patologik modernitas umumnya terdengar dari mereka yang, seperti Sanusi Pane di tahun 1940-an, menolak rasionalitas tapi teperdaya oleh fascisme



79 GOENAWAN MOHAMAD



dalam pelbagai semangatnya, tanpa melihat bahwa fascisme pun mengandung dorongan penaklukannya sendiri. Dengan satu dan lain hal, semua mendesakkan ke-berarti-an, semua tak menyadari bahwa dalam ke-berarti-an itu makna dipaksa menjadi lurus, tajam, sempit– terjepit dan menjepit. Takdir, sebagaimana Sanusi Pane, tak mempersoalkan hal ini. Saya kira karena mereka berdua tak cukup punya keyakinan kepada puisi. Sajak-sajak Sanusi Pane berada dengan pas dalam deretan sajak-sajak tahun 1930: bentuk hanyalah medium dari pesan. Bentuk hanya bagian luar dari isi. Sementara itu Takdir lebih seorang penggerak ketimbang seorang penyair, atau seorang yang akan gundah bila menyadari bahwa puisi adalah seperti yang digambarkan Pasternak:



http://facebook.com/indonesiapustaka



Siul yang jadi matang di saat sekejap Kertak suara es di angin kedap Malam yang mengubah hijau jadi beku Duel suara bulbul dalam lagu Dengan kata lain, sebuah peristiwa, juga sebuah konstelasi aneka hal yang konkrit dan sebentar, sesuatu yang selamanya belum selesai, belum siap pakai. Seorang Walter Benjamin akan menyambut puisi sebagai dunia pemaknaan alternatif, pemaknaan yang tak menaklukkan dunia, yang membiarkan angin, daun, kabel telepon, warna hijau yang jadi biru, juga burung yang ganjil, bisa hadir, hidup, tak dijepit oleh



80



http://facebook.com/indonesiapustaka



FRAGMEN



“pengertian”. Tapi Takdir bukan Benjamin. Ia lebih ingin meletakkan hal ihwal yang asyik tapi tak bertujuan itu ke dunia privat – di mana mereka tak perlu diacuhkan. Hal yang sama dapat dikatakan tentang Pramoedya Ananta Toer. Dengan agenda “realisme sosialis” yang bertolak dari rumusan Zhdanov dengan restu Stalin, Pramoedya juga mengulangi desakan ke-berarti-an Takdir. Tentu, doktrinnya lahir dari kandungan sebuah ideologi totaliter yang mendapatkan sosoknya dalam mesin birokratik yang besar, dengan niat mengubah dunia. “Realisme sosialis” adalah anak zaman pembangunan berencana Uni Soviet di tahun 1930-an, sebuah masa pengerahan manusia dan teknologi untuk menaklukkan alam. Tapi dalam arti itu, desainnya tak jauh berbeda dengan desain modernitas di masyarakat borjuis: di sini pun, ke-berarti-an diukur dengan rasionalitas dan kegunaan. Jika ada perbedaan antara kedua desain modernitas itu, maka itu terletak dalam ritual mengukuhkan totalitas Stalinisme. Tak mengherankan bila “realisme sosialis” juga menuntut agar proses pemaknaan berintegrasi ke dalam totalitas yang baru itu. Kemudian kita tahu, bukan saja totalitas itu gagal, tapi juga dalam proses mencapainya ‘realisme sosialis’ melahirkan penindasan. Mandelstam dan puisinya dibuang, Pasternak dibungkam, dan Ilya Ehrenburg menyelamatkan diri dengan menulis “sajak-sajak klandestin” untuk dirinya sendiri.



81



http://facebook.com/indonesiapustaka



GOENAWAN MOHAMAD



Tapi persoalan pemaknaan dan desakan modernitas tak hanya merupakan persoalan sosialisme Soviet. Di negeri-negeri demokrasi liberal di Eropa, puisi juga seakan-akan berada dalam keadaan “klandestin”. Sementara proses pemaknaan sastra meneruskan kehidupannya, wilayah publik mengabaikannya. Puisi pun jadi seperti tanda dari kesunyian, seperti siul, bunyi kemertak es musim salju, suara burung bulbul di pohon-pohon... Sementara itu, wilayah publik menguat justru karena ia tak memberi tempat bagi hal-hal yang menyendiri itu. Ia berkembang menjadi sistem yang tak hendak menyibukkan diri dengan halhal “sepele” yang berlangsung di dalam dunia kehidupan. Dalam dunia kehidupan, ada hasrat dan gairah akan keindahan, ada kenikmatan lain pancaindera, ada gelora hati yang terus menerus berdenyut, ada wajah-wajah particular, dan sebab itu berbedabeda tak tepermanai. Tentu, wilayah publik dalam demokrasi liberal tak hendak menelan dan melikwidasi semua itu. Tapi toh ia cenderung melihat mereka sebagai kehebohan yang kalangkabut, sebab beda bisa terus menerus membuat risau, beda yang acapkali tak tersangka-sangka. Maka untuk mencapai tujuan secara efektif, berdirilah sebuah bangunan sosial-politik. Bangunan itu adalah aparat negara, organisasiorganisasi politik, jaringan modal, yang memperlakukan manusia sebagai manusiapada-umumnya, manusia sebagai badan hukum,



82 FRAGMEN



pembayar pajak, atau pemberi suara–pendek kata “manusia” sebagai sesuatu yang sebenarnya abstrak. Di luar itu: kebisuan. Atau sebenarnya “kebutuhan-kebutuhan yang tak bicara”, jika kita bisa memakai kata-kata Adorno di sini. Dalam keadaan itu, mau tak mau bahasa puisi tetap dilanjutkan. Mungkin untuk merekam mereka yang “tak bicara”, mungkin juga untuk sekedar menemaninya. Seraya demikian, puisi memang tetap terasing. Tapi keterasingannya bukan karena ia berkhianat. Keterasingannya justru sebuah kesaksian, bagaimana di zaman ini, ketika kata bertebaran dan berduyun-duyun bersama kapital, orang mudah untuk tak mengakui bahwa ada fragmen-fragmen, ada peristiwa-peristiwa, yang seakan-akan terdiam.



http://facebook.com/indonesiapustaka



*



http://facebook.com/indonesiapustaka



83



GOENAWAN MOHAMAD



http://facebook.com/indonesiapustaka



http://facebook.com/indonesiapustaka



Sajak-sajak yang terkumpul di sini belum pernah diterbitkan dalam bentuk buku. Beberapa di antaranya ditulis di tahun 2016. Ini merupakan kumpulan puisinya yang ke9. Kumpulan puisi pertama, Pariksit, terbit empat puluh lima tahun yang lalu. Selain menulis puisi, Goenawan dikenal sebagai esais, terutama prosa pendek Catatan Pinggir, yang sampai sekarang sudah terbit dalam 10 jilid. Di samping itu, ada lebih dari 10 buku berisi pemikiran sastra, seni dan filsafat yang sudah diterbitkan.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Setelah Surti dan Tiga Sawunggaling, Surat-Surat Karna, Visa, dan Tan Malaka, karya lakon paling baru Goenawan adalah Amangkurat, Amangkurat.



PUISI/SASTRA Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29–37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com