3616 - Kasus Budaya Perusahaan [PDF]

  • Author / Uploaded
  • deni
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KASUS 1 : PERUBAHAN BUDAYA ORGANISASI PADA BRITISH AIRWAYS Langkah yang dilakukan british airways dalam mengatasi perubahan budaya perusahaan : 1.



manajer berusaha membuat laporan keuangan konsolidasi dan merubah struktur divisional ke fungsional



2.



melakukan reorganisasi agar tingkat produktivitas karyawan pada saat itu sangat rendah.



3.



melakukan survival plan (efisiensi besar) dengan mengurangi karyawan sebesar 20% , membekukan kenaikan gaji , menutup rute tidak produktif , menutup beberapa stasiun online , dan menutup 2 unit perawatan mesin , menjual beberapa pesawat dan memotong besar layanan kantor yang tidak relevan.



4.



merekrut akuntan demi meninjau keuangan di perusahaan. Setelah itu john juga menciptakan image baru untuk perusahaan dengan merubah mascot menjadi “The World’s Favourite Airline”. Perubahan system pelayanan juga dilakukan dengan metode ppf (putting people first), program ini menekankan pentingnya hubungan positif khususnya hubungan di luar pekerjaan.



5.



program Managing People First (MPF) menekankan diantaranya arti penting kepemimpinan, trust, visi dan umpan balik – isu-isu yang berhubungan dengan aspek manusia dan budaya di dalam organisasi yang selama ini cenderung diabaikan di BA



KASUS 2: PERUBAHAN BUDAYA ORGANISASI PADA PIZZA HUT DAN YUM! BRAND INC Keberhasilan Pizza Hut sebagai market leader, salah satunya dan yang paling utama, karena Pizza Hut dikelola dibawah manajemen raksasa perusahaan minuman ringan PepsiCo. Dengan demikian, Pizza Hut memperoleh keuntungan karena menjadi anak perusahaan PepsiCo yang dalam bahasa strategi disebut parenting advantage . Pizza Hut, sebagai anak perusahaan PepsiCo, tentunya harus tunduk dan mengikuti semua ketentuan yang dibuat dan berlaku di perusahaan induk termasuk didalamnya keharusan mengadopsi sistem manajemen PepsiCo. Sayangnya dalam batas-batas tertentu sistem manajemen tersebut tidak cocok dengan karakteristik bisnis Pizza Hut. Akibatnya, tidak bisa dipungkiri jika muncul anggapan bahwa Pizza Hut, secara cultural, tidak bisa menjadi diri sendiri. PepsiCo adalah tipikal perusahaan yang berorientasi jangka pendek – serba ingin bergerak cepat, focus pada kinerja individu, dan menetapkan reward berbasis kinerja keuangan;menempatkan pemasaran dan



ukuran-ukuran keuangan sebagai panglima; dan menciptakan iklim kompetisi baik secara internal maupun eksternal. Sedangkan kunci sukses Pizza Hut tidak terletak pada kemampuan individual para karyawan melainkan kehandalan teamwork mereka; dedikasi para karyawan, yang menyukai dan mencintai bisnis restauran, dengan pengalaman panjang di bisnis restauran; dan layanan cepat untuk menjaga kepuasan konsumen. Perbedaan karakteristik seperti tersebut diatas tentunya sering menimbulkan ketegangan di antara keduanya dan sekaligus menggambarkan ketidakcocokan cultural kedua perusahaan. terkait dengan budaya, CEO Yum! sadar bahwa budaya yang berkembang selama ini sangat dipengaruhi oleh budaya PepsiCo yang tidak cocok dengan karakteristik bisnis restoran. Oleh karenanya jika perusahaan baru ingin berhasil di masa yang akan datang, suka atau tidak, budaya tersebut harus segera diubah. Persoalan tersebut tentunya harus diselesaikan secara terintegrasi, namun uraian berikut ini hanya akan focus pada persoalan kedua – perubahan budaya. Membangun dan menciptakan budaya Yum! Brands, Inc. Berikut adalah langkah-langkah yang ditempuh manajemen Yum! dalam rangka membangun budaya baru yang diharapkan sejalan dengan strategi dan model bisnis baru perusahaan: 1. Perubahan dimulai dengan membangun satu set nilai-nilai bersama sebagai bagian untuk membangun satu budaya untuk ketiga merk dagang. Secara keseluruhan, ke sembilan nilainilai Yum! mengaskan (1) esensi Yum! sebagai perusahaan restoran dan (2) membedakan apa yang bisa diharapkan para karyawan terhadap Yum! dengan apa yang yang dirasakan para operator restoran terhadap PepsiCo. 2. Membangun perusahaan baru dalam rangka untuk mengakomodasi budaya baru, selebrasi yang terkait dengan pendirian perusahaan baru dilakukan melalui tiga cara yaitu: (1) menjadikan aktivitas local sebagai pusat kegiatan utama; (2) memusatkan aktivitas-aktivitas tersebut pada manajer restoran dan (3) penandatanganan oleh para manajer sebagai founders – pendiri perusahaan. Dampak dari ketiga cara diatas terhadap perubahan dan pembentukan budaya baru Yum! tampak pada perubahan orientasi kerja para manajer. 3. Merubah penggunaan nama jabatan pada setiap level organisasi yang mensinyalkan perubahan orientasi perusahaan dan menegaskan makna budaya yang baru. perubahan namanama jabatan seperti tersebut diatas memberi pesan symbolic bahwa Yum! Sedang berubah menuju tatanan dan identitas organisasi baru.



4. Menciptakan system manajemen baru, khususnya mengganti istilah training menjadi coaching (pembimbingan) dalam rangka untuk memaksimalkan kinerja restauran. tiga alasan mengapa model pembimbingan (coach) bisa membantu menciptakan budaya baru yang focus pada restoran. Pertama, model pembimbingan membutuhkan kedekatan secara fisik. Hal ini bisa diartikan bahwa pimpinan restoran level atas harus mengalokasikan banyak waktu untuk membimbing bawahan. Kedua, dengan model ini para pembimbing dituntut untuk memiliki kompetensi yang tinggi baik kompetensi interpersonal, operasional maupun financial. Ketiga, model pembimbingan menuntut kerjasama yang baik antara pembimbing dan orang yang dibimbing. Seorang pembimbing tidak akan berhasil jika yang dibimbing tidak bisa bekerjasama. 5. Membangun budaya apresiasi untuk memperkuat prilaku budaya para karyawan. pola manajemen yang tidak saja memberi imbalan tetapi juga penghargaan (apresiasi) kepada karyawan sebagai bagian untuk mempertahankan dan memperkuat budayanya, pemberian penghargaan bisa dilakukan di setiap level organisasi. Bagi Yum! Yang penting adalah pemberian penghargaan tersebut dilakukan di waktu yang tepat, spesifik dan bermakna bagi orang yang mendapatkannya. 6. Mengaitkan system imbalan (reward) dengan system nilai perusahaan. criteria baru yang digunakan untuk memberi imbalan dan bonus kepada para manajer yaitu pengukuran kinerja berbasis balanced scorecard. Sebagaimana kita ketahui penilaian kinerja berbasis balanced scorecard berarti penilaian kinerja tidak hanya didasarkan pada kinerja keuangan saja tetapi juga kinerja fungsi-fungsi manajemen yang lain seperti kinerja operasional, pemasaran dan sumberdaya manusia. Penilaian kinerja yang mengaitkan peran sumberdaya manusia, 7. Mengukur efektifitas dan komitmen para manajer senior dengan system nilai perusahaan. Untuk mengetahui sejauh mana proses perubahan budaya dianggap efektif, Yum! melakukan dua hal. Pertama, Yum! melakukan “Founder’s survey” yakni survey tahunan yang melibatkan seluruh karyawan perusahaan untuk mengetahui sejauhmana prinsip-prinsip “How we work together” bisa berjalan. Hasil perubahan budaya Dalam empat tahun pertama setelah perubahan budaya, Pizza Hut mencatat peningkatan penjualan pada restoran yang sama dan penurunan turnover manajer restoran.



Sedangkan pertumbuhan penjualan pada restoran yang sama selama lima tahun (mulai dari pertengahan tahun 1997 – 2002) sebesar 19 %; laba operasi berlipat dua dan profit margin mencatat rekor tertinggi. Dengan fakta ini paling tidak bisa dikatakan bahwa perubahan budaya memberi landasan yang kuat dan memungkinkan tercapainya kinerja yang tinggi. KASUS 3 : PT. TERANG BENDERANG DAN BUDAYANYA PTTB adalah perusahaan yang didirikan oleh Totok Sumaryoto, Bambang Supeno, dan Bambang Maerokoco pada tahun 1977. Perusahaan mulai beroperasi pada tahun 1979, seiring berjalannya operasional perusahaan tersebut, perusahaan mengalami kemajuan yang cukup pesat karena terdorong oleh adanta kebijakan pemerintah yakni “listrik masuk desa” dan larangan import lampu pijar. Pada tahun 1980 PTTB berhasil memproduksi sebanyak 2 juta unit, yang terus meningkat hingga menjadi 40 juta unit pada tahun 1987. Hingga pada akhirnya pada tahun 1989 perusahaan berhasil melakukan ekspansi pabrik di Jakarta dan dapat mengeksport ke 20 negara. Dominasi dan keterlibatan keluarga cukup kuat, hingga PTTB sering disebut perusahaan keluarga. Para kerabat dan anggota keluarga menempati posisi kunci di perusahaan yang berdampak pada suasana perusahaan seperti keluarga besar. Pranata-pranata organisasi tidak dapat berjalan dengan baik karena sebagian besar pengambilan keputusan ditentukan berdasarkan keputusan bersama. Demikian juga hubungan antar individu, tidak terbatas pada orang kunci perusahaan, antar karyawan dilakukan secara informal. Contoh kebijakan dari adanya kultur keluarga tersebut adalah, PTTB menerapkan no lay off policy (tidak ada pemutusan hubungan kerja). Yang artinya karyawan akan tetap menjadi bagian perusahaan dan masing masing karyawan hanya menempati satu posisi pekerjaan. Hal lainnya adanya kultur keluarga tercermin pada direktur utama dianggap sebagai “Big Bosss”. Dirut dituntut untuk mengayomi dan peduli kepada karyawan. Namun, layaknya seperti keluarga, terdapat berbagai permasalahan. Seperti perselisihan pendapat, perbedaan kepentingan yang memicu perusahaan ini dijual. PT. Gemerlap Indonesia mengakuisisi PTTB PT. Gemerlap Indonesia merupakan anak perusahaan multinasional International Electric Corporation yang berkantor di Jakarta. Perusahaan ini tergolong ke dalam perusahaan manufaktur. Kegiatan utamanya adalah memproduksi berbagai macam lampu untuk pasar



consumer, commercial, dan industrial. Jenis produknya seperti lampu pijar, lampu neon, halogen, lampu automotif, dll. Sebagai anak perusahaan IEC, PTGI harus mengimplementasi kebijakan perushaan pusat. Proses akuisisi dan perubahan budaya PTGI mengakuisisi PTTB dengan waktu perjanjian yang cepat yakni hanya butuh waktu 4 bulan, dengan jumlah saham yang dibeli sebesar 83% dan sisanya dibayar dalam kurun waktu 5 tahun. Pada awalnya PTTB yang diakuisisi PTGI berjalan dengan baik karena PTTB masih di pimpin oleh direktur lama. Namun adanya pergantian kepemimpinan dari PTGI membuat perbenturan budaya yang berbeda antara PTTB dan PTGI yakni seperti bahasa, kebijakan, hirarki organisasi, dan lain-lain. Karyawan PTTB merasa tertekan adanya akuisisi ini yang awalnya dirasa bukan masalah, namun semakin lama membuat karyawan frustasi. Akibatnya banyak karyawan yang mengundurkan diri ataupun ada yang sengaja di keluarkan oleh perusahaan karena tidak sesui dengan harapan. SOP untuk standarisasi semua perusahaan yang dilakukan oleh PTGI membuat PTTB kocar kecil. Karena membuat anggota PTTB harus dapat mengadaptasi dan mengubah pola pikir mereka untuk sesuai atau kesamaan dengan PTGI. Semakin lama PTTB dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan perusbahan yang ada, ini membuktikan bahwa PTGI seharunya dapat menerapkan pencegahan sebelum terdapat perbenturan budaya dari kedua perusahaan. Namun disisii lain juga dapat takandika bahwa pergantian kepemimpinan atau kekuasaan menunjukkan bukti bahwa budaya suatu perusahaan itu berdasarkan tujuan dan harapan dari pemimpin. Hal tersebut terlihat dari apa yang terjadi antara PTTB dan PTGI yang dimana PTTB