8 LP Trepanasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN TREPANASI



Oleh :



ISMAIL RASMIN 201510461011038



PELATIHAN INSTRUMENTATOR KO PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS



FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2016 LAPORAN PENDAHULUAN TREPANASI A. DEFINISI Trepanasi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan. Jadi post trpanasi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang



tengkorak



untuk,



untuk



mengangkat



tumor,



mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan



Gambar 1. Cranium



mengurangi



TIK,



Gambar 2 Craniotomy



B. RUANG LINGKUP Epiduran hematoma terletak di luar duramater tetapi di dalam rongga tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di daerah temporal atau temporoparietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang EDH terjadi akibat robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto-oksipital dan fora posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita trauma kepala dan 9 % dari penderita yang dalam keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak berlangsung lama. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.



C. INDIKASI OPERASI Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai berikut : a. Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata b. Adanya tanda herniasi/lateralisasi c.



Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.



d. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker. e. Mengurangi tekanan intrakranial. f.



Mengevakuasi bekuan darah .



g. Mengontrol bekuan darah, h. Pembenahan organ-organ intrakranial, i.



Tumor otak,



j.



Perdarahan (hemorrage),



k.



Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms)



l.



Peradangan dalam otak



m. Trauma pada tengkorak.



E. Manifestasi Klinis Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak) : a. Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia, kebutaan, tanda-tanda papil edema. b. Perubahan bicara, msalnya: aphasia c. Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik. d. Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis. e. Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan konstipasi. f. Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness. g. Perubahan dalam seksual h. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF).



i. j. k. l. m.



Sakit kepala Nausea atau muntah proyektil Pusing Perubahan mental Kejang



F. DIAGNOSIS BANDING Hematom intracranial lainnya G. PEMERIKSAAN PENUNJANG Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi : a.



Tomografi komputer (pemindaian CT) Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik. Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma



b.



Pencitraan resonans magnetik (MRI) Sama dengan skan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi di potongan lain.



c.



Electroencephalogram (EEG) Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis



d.



Angiografy Serebral Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma



e.



Sinar-X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang



f.



Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan batang otak



g.



Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak



h.



Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid



i.



Gas Darah Artery (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK



j.



Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK/perubahan mental



k.



Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran



l.



Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.



H. PENATALAKSANAAN 1) PRAOPERASI Pada penatalaksaan bedah intrakranial praoperasi pasien diterapi dengan medikasi antikonvulsan (fenitoin) untuk mengurangi resiko kejang pascaoperasi. Sebelum



pembedahan,



steroid



(deksametason)



dapat



diberikan



untuk



mengurangai edema serebral. Cairan dapat dibatasi. Agens hiperosmotik (manitol) dan diuretik (furosemid) dapat diberikan secara intravena segera sebelum dan kadang selama pembedahan bila pasien cenderung menahan air, yang terjadi pada individu yang mengalami disfungsi intrakranial. Kateter urinarius menetap di pasang sebelum pasien dibawa ke ruang operasi untuk mengalirkan



kandung



kemih



selama



pemberian



diuretik



dan



untuk



memungkinkan haluaran urinarius dipantau. Pasien dapat diberikan antibiotik bila serebral sempat terkontaminasi atau deazepam pada praoperasi untuk menghilangkan ansietas. Kulit kepala di cukur segera sebelum pembedahan (biasanya di ruang operasi) sehingga adanya abrasi superfisial tidak semua mengalami infeksi. 2. PASCAOPERASI a. Mengurangi Edema Serebral Terapi medikasi untuk mengurangi edema serebral meliputi pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area otak (dengan sawar darah-otak utuh). Cairan ini kemudian dieksresikan melalui diuresis osmotik. Deksametason dapat diberikan melalui intravena setiap 6 jam selama 24 sampai 72 jam ; selanjutnya dosisnya dikurangi secara bertahap. b. Meredakan Nyeri dan Mencegah Kejang



Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu di atas 37,50C dan untuk nyeri. Sering kali pasien akan mengalami sakit kepala setelah kraniotomi, biasanya sebagai akibat syaraf kulit kepala diregangkan dan diiritasi selama pembedahan. Kodein, diberikan lewat parenteral, biasanya cukup untuk menghilangkan sakit kepala. Medikasi antikonvulsan (fenitoin, deazepam) diresepkan untuk pasien yang telah menjalani kraniotomi supratentorial, karena resiko tinggi epilepsi setelah prosedur bedah neuro supratentorial. Kadar serum dipantau untuk mempertahankan medikasi dalam rentang terapeutik. c. Memantau Tekanan Intrakranial Kateter ventrikel, atau beberapa tipe drainase, sering dipasang pada pasien yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior. Kateter disambungkan ke sistem drainase eksternal. Kepatenan kateter diperhatikan melalui pulsasi cairan dalam selang. TIK dapat di kaji dengan menyusun sistem dengan sambungan stopkok ke selang bertekanan dan tranduser. TIK dalam dipantau dengan memutar stopkok. Perawatan diperlukan untuk menjamin bahwa sistem tersebut kencang pada semua sambungan dan bahwa stopkok ada pada posisi yang tepat untuk menghindari drainase cairan serebrospinal, yang dapat mengakibatkan kolaps ventrikel bila cairan terlalu banyak dikeluarkan. Kateter diangkat ketika tekanan ventrikel normal dan stabil. Ahli bedah neuro diberi tahu kapanpun kateter tanpak tersumbat. Pirau ventrikel kadang dilakuakan sebelum prosedur bedah tertentu untuk mengontrol hipertensi intrakranial, terutama pada pasien tumor fossa posterior F. TEKNIK OPERASI 1. Positioning Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya. 2. Washing



Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi 3. Markering Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita). 4. Desinfeksi Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000 yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.



5. Prosedur Operasi a. Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung. b. Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.



c. Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di bawahnya diganjal dengan pembuluh (bahaya



kasa



steril



supaya



tidak



tertekuk



darah nekrosis



pada



kulit



kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek. d. Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan. e. Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT scan. f.



Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula interna.



g. Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering. h. Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorhole dengan kapas basah/ wetjes. i.



Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya. Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.



j.



Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.



k. Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. l.



Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.



m. Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stitch pada daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus. n. Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan dengan spoeling berulang-ulang. o. Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah salanjutnya adalah membuka duramater. p. Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berlawanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap kemungkinan trauma pada lapisan tersebut. q. Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus. Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk pembuluh darah kulit atau subkutan. r.



Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.



s. Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak ada darah lagi. t.



Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak



bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi. u. Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya tulang dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut: a. Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 b. c. d. e. f. g.



menembus keluar kulit. Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0. Pasang drain subgaleal. Jahit galea dengan vicryl 2.0. Jahit kulit dengan silk 3.0. Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain). Operasi selesai.



v. Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis demi lapis seperti diatas. G. KOMPLIKASI PASCA OPERASI Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pascabedah intrakranial atau kraniotomi adalah sebagai berikut : a) b) c) d) e) f) g) h) i) j)



Peningkatan tekanan intrakranial Perdarahan dan syok hipovolemik Ketidakseimbangan cairan dan elekrolit Infeksi Kejang (Brunner & Suddarth, 2002). Edema cerebral. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral. Hypovolemik syok. Hydrocephalus. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes



Insipidus). k) Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.



l)



Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah



operasi. m) Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding n) pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif H. MORTALITAS Tergantung beratnya cedera otak I. PERAWATAN PASCABEDAH Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. J. FOLLOW-UP CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN POST TREPANASI 1. Pengkajian Primary Survey a. Airway - Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi. - Potency jalan nafas, à meletakan tangan di atas mulut atau hidung. - Auscultasi paru à keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.



b. Breathing - Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. - Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X / menit à depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal à gangguan cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang meningkat. - Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan diafragma, retraksi sternal à efek anathesi yang berlebihan, obstruksi. c. Circulating: - Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi



jantung



(bradikardia,



takikardia



yang



diselingi



dengan



bradikardia, disritmia). - Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan. d. Disability : berfokus pada status neurologi - Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon motorik dan tanda-tanda vital. - Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah. e. Exposure Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan Secondary Survey : Pemeriksaan fisik a. Abdomen. Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah iga,dan limpa tidak membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit. Distensi abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus dilakukan pada gastrointestinal. b. Ekstremitas Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan otot ekstremitas atas 4-4 dan ekstremitas bawah 4-4., akral dingin dan pucat. c. Integumen. Kulit keriput, pucat. Turgor sedang



d. Pemeriksaan neurologis e. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :  Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,



perhatian,



konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan 



memori). Perubahan



  



kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus







vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh



dalam



penglihatan,



seperti



ketajamannya,



diplopia,



kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.



Tersiery Survey a. Kardiovaskuler Klien nampak lemah, kulit dan kunjungtiva pucat dan akral hangat. Tekanan darah 120/70 mmhg, nadi 120x/menit, kapiler refill 2 detik. Pemeriksaan laboratorium: HB = 9,9 gr%, HCT= 32 dan PLT = 235. b. Brain Klien dalam keadaan sadar, GCS: 4-5-6 (total = 15), klien nampak lemah, refleks dalam batas normal. c. Blader Klien terpasang doewer chateter urine meliputi jumlah dan warna 2. Diagnosa Keperawatan a.



Ganggguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka insisi.



b.



Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.



c.



Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan higiene luka yang buruk.



d.



Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan pendarahan.



e.



Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post operasi.



f.



Pola nafas inefektif berhubungan dengan efek anastesi.



g.



Bersihan jalan napas inefektif berhubungan dengan penumpukan secret.



h.



Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan efek anastesi.



i.



Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah.



Post Operasi 1. Nyeri berhubungan dengan prosedur bedah 2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan trauma intracranial 3. Keterlambatan tumbang berhubungan dengan efek dari kecatatan fisik 4. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi 5. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian



I. No 1



Diagnosa Keperawatan Nyeri



berhubungan



prosedur bedah



DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN



Tujuan



Kriteria Hasil



Intervensi Keperawatan



Post Operasi dengan NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : 1. Berikan pereda nyeri mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri b. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi penurunan nyeri pada tingkat yang dapat lingkungan (misal tingkat yang dapat diterima diterima ruangan tenang, batasi pengunjung). 2. Berikan analgesia sesuai



Rasional 1. Mengurangi yang



stressor dapat



memperparah nyeri 2. Mengurangi nyeri 3. Meminimalkan nyeri 4. Mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien



ketentuan 3. Cegah adanya gerakan yang seperti



2



Resiko berhubungan intrakranial



tinggi dengan



mengejutkan membentur



tempat tidur 4. Cegah peningkatan TIK cedera NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Positioning 1. Menerikan posisi yang Tujuan : Pasien mengalami a. Stress minimal pada sisi 1. Konsul dengan ahli trauma tepat sehingga stress minimal pada sisi operasi bedah mengenai mengurangi risiko b. Pasien tetap pada posisi operasi pemberian posisi, cedera



yang diinginkan



termasuk derajat fleksi 2. Mengurangi leher. peningkatan TIK 2. Posisikan pasien datar 3. Mencegah terjadinya dan



mirirng,



bukan



terlentang atau tinggikan kepala 3. Balikkan pasien dengan hati-hati 4. Hindari 3



Keterlambatan



tumbang NOC



:



Physical



Aging Kriteria hasil : a. Rata-rata berat badan berhubungan dengan efek dari Status b. Cardiat out put Tujuan : Pasien mengalami kecatatan fisik c. Elastisitas kulit pertumbuhan dan d. Kekuatan otot perkembangan yang normal sesuai usianya.



posisi



trendelenburg NIC : Developmental Enhancement 1. Bina hubungan saling percaya dengan anak 2. Demonstrasikan aktivitas yang



meningkatkan



perkembangan



anak



sesuai dengan umurnya (contoh icik) 3. Bantu



bermain anak



icikbelajar



cedera 4. Mencegah peningkatan TIK



ketrampilan 4. Bina kesempatan untuk mendukung



latihan



aktivitas motorik/verbal 5. 4



pasien Berikan reinforcement



positif Resiko infeksi berhubungan NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 1. Mencegah terjadinya Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Pantau tanda / gejala dengan luka post operasi infeksi mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 2. Mencegah invasi 2. Rawat luka operasi tidak terdapat tanda-tanda mikroorganisme dengan teknik steril 3. Mencegah inos infeksi pada pasien. 3. Memelihara teknik 4. Mencegah inos isolasi,



batasi



pengunjung 4. Ganti



jumlah peralatan



perawatan pasien sesuai 5



Cemas ancaman



berhubungan



dengan NOC : Kontrol Cemas Kriteria hasil : Tujuan : Setelah dilakukan a. Monitor kematian tindakan keperawatan kecemasan b. Rencanakan diharapkan kecemasan



dengan protap NIC : Enhancement Coping 1. Memberikan informasi intensitas 1. Sediakan informasi yang selama perawatan yang sesungguhnya meliputi didapatkan pasien strategi diagnosis, treatment dan 2. Memberikan rasa



hilang atau berkurang.



koping



untuk



mengurangi stress c. Gunakan teknik relaksasi untuk kecemasan d. Kondisikan nyaman



mengurangi



prognosis 2. Tetap dampingi untuk



nyaman kien 3. Memberikan



menjaga



keselamatan pasien dan



mengurangi lingkungan 3. Instruksikan



pasien



untuk melakukan ternik relaksasi 4. Bantu



pasien



mengidentifikasi situasi yang ansietas.



menimbulkan



rasa



nyaman pada pasien 4. Mengurangi ansietas



DAFTAR PUSTAKA Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan). Alih bahasa : Yayasan Ikatan alumsi Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung. Cetakan I. Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC. Doengoes E.Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC. Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius. PriceS.A., Wilson L. M. 2006. Buku Ajar Ilmu. Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : EGC. Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3 volume 8. Jakarta: EGC. Sylvia A. Price. 2006. Patofosiologi Konsep Penyakit. Jakarta: EGC Joane. 2004. Nursing Intervention Classification. Mosby : USA Joane. 2004. Nursing Outcomes Classification. Mosby : USA Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Price,S.A. & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC