A1-3 Isi Buku [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I ILMU BUDAYA A. Ilmu Budaya (the science of culture) 1. Mengapa Ilmu Budaya Ilmu budaya adalah the scientific study of culture (Smith, 1990: 89). Ilmu budaya juga sering diasosiasikan dengan ilmu kebudayaan (the sudy of culture) yang lebih banyak mengarah pada ilmu perlambangan (semiotics). Ilmu budaya (culture study) lebih banyak memokuskan perhatiannya pada pembahasan budaya dan sistem-sistemnya. Ilmu budaya juga menkaji budaya populer (cultural study), yang lebih mengarah pada kajian budaya kekinian (sinematology, musicology, modern market, modern life style, media dan sebagainya). Dengan demikian, ilmu budaya dekat dengan culturelogy (ilmu tentang budaya). Dalam Bohannan (1988: 336) disebutkan, bahwa culturelogy, seperti White menyebutnya ilmu budaya, dianggap olehnya sebagai langkah terbaru dalam evolusi ilmu pengetahuan. Ini adalah budaya sebagai ilmu pengetahuan, menurut White, yang dapat menjelaskan lebih banyak tentang perilaku manusia dibandingkan dengan ilmu lainnya, termasuk sosiologi dan psikologi. Perilaku manusia (human behavior) yang dimaksud White di sini adalah salah satu bentuk perwujudan dari tiga wujud kebudayaan yaitu perilaku budaya (cultural behavior). Apabila dikatakan, bahwa ilmu budaya adalah the scientific study of culture atau studi budaya (the study of culture), konsekuensi logisnya budaya merupakan ontologi dari sebuah kajian (science). Ilmu budaya harus mempunyai alur dan kerangka pikir (ontologi, epistemologi, aksiologi dan teori) 1 yang berbeda dengan disiplin-disiplin ilmu lain, yang juga membahas kebudayaan sebagai obyek kajiannya. Sebagai sebuah perspektif ilmiah, ilmu budaya harus melihat budaya sebagai budaya (disipliner), bukan sebagai hasil dari sebuah proses seperti yang dipahami dalam antropologi, sosiologi dan psikologi (interdisipliner). Yang dimaksud memandang budaya sebagai budaya di sini adalah mengkaji budaya sebagai sebuah hasil (cultural artifact) dan bukan sebagai suatu proses. Ammatowa ri Kajang (Pemimpin adat tertinggi suku Kajang) mengatakan, bahwa ada tiga hal yang harus manusia pikirkan dalam bertingkah laku, yaitu: larie’ ripikirannu (terbesit di pikiranmu), lakuta’namo riatinnu (tanya kata hatimu), lanugaukangngi (laku1



Lihat Smith (1990: 221) ontologi adalah studi ban teori keberadaan atau eksistensi. Dalam Filsafat dan metafisik ontologi disebut sebagai asumsi tentang realitas dan sifat dari sebuah eksistensi. Dengan demikian pengetian ontologi secaa luas adalah kajian tentang konsep-konsep yang secara langsung berkaitan dengan eksistensi, realitas, serta kategori dasar keberadaan dan hubungan mereka.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



1



kanlah). Menurut Ammawa lebih lanjut, bahwa ketika ketiganya saling berkaitan (sebagai sistem), tidak mungkin anda melakukan kesalahan. Ammatowa kemudian menambahkan, bahwa anjo atiyya ponggahanai panggaukangnga, naanjo pikirangnga ponggahanai atiyya napangngaukang, artinya ‘hati adalah pengontrol tindakan dan pikiran sebagai pengontrol perilaku dan tindakan’. Antropologi dan sosiologi memandang kebudayaan sebagai suatu bentuk rangkaian proses dari sebuah bentuk kognitif (cultural knowledge) yang diaplikasikan kedalam bentuk tindakan atau perilaku (cultural behavior) dan akhirnya menghasilkan benda budaya (cultural artifacts). Perlu juga saya jelaskan di sini, bahwa yang dimaksud perilaku, baik dalam antropologi maupun sosiologi adalah tingkah laku yang berpola dan berulangulang (patterned dan regulated behavior). Tingkah laku yang berpola tersebut bisa difahami sebagai suatu bentuk pola lingkah laku individu (individual behavior) seperti yang menjadi pelabuhan akhir perahu Antropologi atau pola tingkah laku kolektif (collective behavior) seperti yang dipahami dalam Sosiologi. Psikologi, di pihak lain, memandang kebudayaan sebagai hasil dari individu, sehingga kurang lebih konsisten dengan pola pikir dan tingkah laku manusianya. Jadi, perspektif ilmu budaya (study of culure) yang melihat budaya sebagai budaya memang perlu dibedakan dengan beberapa perspektif lain (antropologi, sosiologi, psikologi) yang juga konsen dengan kebudayaan. Bednya, karena ilmu-ilmu tersebut melihat budaya sebagai barang jadi (readymade atau cultural materealism). Jika, kembali mengacu pada konsep White di atas, bahwa ilmu budaya mampu menjelaskan perilaku manusia dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya, akan menjadi semakin jelas, bahwa ilmu budaya harus berjalan di atas rel-rel atau koridor-koridor kerangka pikir ilmiah tentang budaya. Dalam beberapa cabang ilmu, seperti yang sudah dijelaskan di atas, memahami budaya sebagai hasil dari sebuah rangkaian proses. Manusia dianggap sebagai the creator of culture (penghasil dan pencipta kebudayaan), sehingga main fokus kajiannya adalah manusia individu (individual), manusia kolektif (collective people) atau masyarakat dan manusia sebagai personalitas atau kepribadian (personality). Jika terjadi ketimpangan antara pemikiran (cultural knowledge), perilaku (cultural behavior) dan hasil perilaku (cultural artifact), sudah dapat dipastikan adanya ketidakstabilan (abnormal) hubungan ketiganya, sebagai suatu sistem. Ketidaknormalan inilah yang menjadi indikator psikoanalisis dalam psikologi, perilaku menyimpang dalam antropologi, konflik di dalam sosiologi, diagnosa dalam ilmu kedokteran dan sebagainya. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



2



Para antropolog yang berkiblat pada psikologi, misalnya, lebih banyak membahas kebudayaan sebagai hasil perilaku, yang megarah ke pengertian perilaku sebagai gambaran dari kepribadian (personality)2 kelompok pendukung kebudayaan. Ruth Benedict (1946) dan penganut teori Gestalt, misalnya, lebih mengarah pada bagaiman bentuk kepribadian dari sebuah masyarakat yang dikaitkan dengan latarbelakang kebudayaan mereka. 2. Definisi Kebudayaan Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa sesungguhnya sangat sulit untuk mencari definisi yang dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan dengan studi budaya. Hal ini disebabkan, karena hal tersebut sangat heterogen dan universal sifatnya. Bahkan, Maran (2000: 24) mensinyalir pernah ada usaha-usaha spekulatif untuk mendefinisikan kebudayaan, seperti yang dilakukan oleh 0. Spengler (1880-1936) dan R. G. Collingwood (1889-1943). Spengler ternyata memandang kebudayaan hanya sebagai proses kehidupan fisik yang tidak sadar (unconsciousness), Menurutnya hanya dapat dipahami melalui suatu kepekaan instingtif belaka. Dengan demikian, anggapan Spengler ini mengingkari peran manusia sebagai pencipta kebudayaan (the creator of culture). Itulah sbabnya, sehingga manusia menyandang predikat binatang berkebudayaan (cultural bound animal). Ini pula yang membedakan manusia dari mahluk primat atau binatang lainnya. Spengler tampaknya lupa, bahwa alam fisik-material adalah prinsip, sehingga tidak ada hukum otomatis di alam ini yang mampu mengubah materi menjadi kebudayaan dan peradaban. Oleh karena itu, anggapan Spengler tersebut memang patut ditolak saja, karena tidak memiliki dasar ilmiah yang fundamental. Kajian spekulatif lainnya dilakukan oleh R. G. Collingwood yang menelaah kebudayaan hanya sebagai gerak ide-ide spiritual belaka. Dengan demikian, ia juga mengabaikan semua aspek fisik-material yang mengkondisikan proses pembentukan suatu kebudayaan. Ia pada prinsipnya tidak menyadari, bahwa karakter alamiah dari suatu daerah ikut menentukan ciri suatu kebudayaan (environmental determinism). Ini biasanya tampak dalam aspek peradaban material, misalnya, dalam wujud makanan, pakaian, persenjataan, peralatan, tempat tinggal, permukiman, sarana transportasi dan metode komunikasi.



2



Lihat Robbins, Stephen P., Judge, Timothy A. (2008: 126-127), bahwa kepribadian adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Lihat pula Agus Maladi Irianto dkk. (2005), bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik. Lihat juga Gerald (2009) Personality is defined as the characteristic set of behaviors, cognitions, and emotional patterns that evolve from biological and environmental factors.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



3



Pengertian kebudayaan atau budaya secara non-teknis (modern) adalah seperangkat peraturan dan standardisasi, yang apabila dipenuhi oleh para anggota masyarakat, menghasilkan perilaku yang dianggap layak (berbudaya) dan dapat diterima oleh para anggotanya. Sebaliknya, perilaku yang lainnya dianggap tidak patut (tidak berbudaya) dan dijauhi oleh anggotanya. Akan tetapi, patut atau tidaknya hal tersebut tergantung pada nilai-nilai dan norma-norma konvensional dari masyarakat pendukung sebuah kebudayaan yang bersangkutan. Orang Bugis, misalnya, menganggap kata iyo (sama yess dalam bahasa Inggris) cenderung tidak berterima. Sebaliknya, orang Tator menganggap iyo sebagai ungkapan honorifik yang patut diterima. Orang Bugis-Makassar sangat tidak menginginkan terjadinya kawin lari (ilariang atau silaring)3 dalam kelompok dan keluarga mereka. Mereka menganggap kawin lari adalah bentuk penghilangan harga diri (siri') kaum kerabat. Suku Dayak di Kalimantan dan suku Sasak di Nusa Tenggara Barat menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja dan cenderung dilakukan oleh masyarakatnya. Perempuan Bugis-Makassar pada umumnya tidak mau dipoligami, akan tetapi masyarakat Kapauku di Irian Jaya justru seorang perempuan rela mempunyai madu lebih dari satu orang (poligini). Menurut Haviland (1993: 332), bahwa definisi kebudayaan secara teknis dan ilmiah pertama kali dikembangkan oleh para ahli antropologi menjelang akhir abad-19. Definisi pertama yang sangat jelas dan dianggap komprehensif dikemukakan oleh Sir Edward Burnett Tylor (1871). Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan (knowledge), kesenian (arts), hukum (laws), moral (moralities), kebiasaan (attitude) dan kecakapan lain (other capabilities) yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Pasca definisi kebudayaan Tylor tersebut, definisi lanjutan dan pengembangan mulai menjamur dan beragam sesuai dengan kebutuhan dan latar belakang ahlinya masingmasing. Pengembangan konsep dan definisi tentang kebudayaan ini memberi peluang kepada A. L. Kroeber dan Cluckhohn dalam bukunya Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions untuk mengumpulkan definisi sebanyak 300 buah (Smith, 1990: 65). Definisi-definisi tersebut berkembang sejalan dengan waktu dan latar belakang atau profesi dari ahli yang mende3



Lihat kata palariang, ilariang dan silariang dalam Gising (2009). Kata palariang mengandung pengertian, seorang laki-laki membawa lari anak gadis, baik suka sama suka maupun ada unsur paksaan (penculikan). Demikian pula dengan kata ilariang dapat diartikan, seorang anak gadis dibawa lari oleh seorang laki-laki atas persetujuannya sendiri atau ia diculik dan/atau dibawa paksa oleh seorang laki-laki. Sementara itu, silaring adalah sebuah tindakan kabur oleh dua orang berbeda jenis dengan tanpa persetujuan keluarga pihak perempuan.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



4



finsikannya. Oleh karena itu, jumlahnya hingga saat ini sudah mencapai ribuan definisi. Hampir semua definisi yang ada cenderung membedakan antara perilaku yang nyata dan perilaku yang abstrak: nilai-nilai (values), kepercayaan (believes) dan persepsi (perception) tentang jagat raya yang melatarbelakangi perilaku. Dengan kata lain, kebudayaan bukan hanya perilaku yang kelihatan (explicit culture), tetapi juga berupa nilai-nilai dan kepercayaan yang abstrak (implicit culuture). Keduanya digunakan manusia untuk menafsirkan pengalamannya dan menimbulkan perilaku, Perilaku itulah yang mencerminkan perilaku manusia dalam tindakannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa semua budaya adalah kebudayaan dan tidak semua kebudayaan adalah budaya. Kebudayaan (culture) adalah sesuatu yang tidak tampak dan tampak. Budaya (cultures), sebaliknya, adalah sesuatu yang tampak dalam bentuk perilaku dan hasil perilaku. Istilah kebudayaan secara teknis mulai muncul dalam karya-karya para ahli budaya pertengahan abad ke-19. Antropolog Inggris, Sir Edward B. Tylor dalam bukunya Primitive Culture (1871: 1) menggunakan kata kebudayaan untuk merujuk pada keseluruhan kompleks dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya. Termasuk di dalamnya sistem pengetahuan (knowledge systems), sistem kepercayaan (believes systems), seni (arts), hukum (laws), moral (moralities), kebiasaan dan kecakapan lain (other capabilities) yang diperoleh manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat. Setelah mengevaluasi dan meninjau kembali kurang lebih lima ratus definisi dan konsep tentang kebudayaan, Krober dan Kluckhohn (1942: 181) mendefinisikan kebudayaan: Culture consists of patterns, explicit and implicit, of and for behavior acquired and transmitted by symbols, constituting the distinctive achievements of human groups, including their embodiments in artifacts; the essential core of culture consists of traditional (i.e., historically derived and selected) ideas and especially their attached values; culture systems may, on the one hand, be considered as products of action, and on the other as conditioning elemen ts of further action.



Menurut Kroeber dan Kluckhohn, bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit (explicit culture) maupun implisit (tacit cullure). Kedua hal tersebut diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari klompok manusia. Termasuk di dalamnya perwujudan dalam benda-benda materi budaya (cultural materealisms). Pola tingkah laku yang dimaksud oleh Kroeber dan Kluckhohn di sini adalah unsur-unsur kognitif berupa sistem pengetahuan (cultural knowledge) yang mengandung nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan untuk berperilaku atau sejajar Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



5



dengan konsep pola dari yang dikemukakan oleh Keesing (1999: 68). Sedangkan konsep pola-pola bertingkah laku mengarah pada perilaku manusia (cultural behavior) dalam mengadaptasi lingkungan dan menciptakan segala benda-benda budaya (cultural artifacts) dalam rangka melakukan adaptasi diri (copying mechanism) terhadap lingkungannya. Konsep ini sejajar dengan konsep pola untuk yang dikemukan oleh Keesing. Robert H. Lowie (1927: 3), pakar antropologi Amerika Serikat mendefinisikan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, yang mencakup kepercayaan (believes), adat-istiadat (customs), norma-norma (norms), artistik (arts) dan kebiasaan makan (consumption). Keahlian yang diperoleh bukan, karena kreativitasnya sendiri, melainkan berupa warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal (enculturation). Lowie melihat kebudayaan bukan sebagai hasil per individu, melainkan sebuah hasil kolektifitas masa lampau yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui proses enkulturasi. Enkulturasi adalah proses dimana budaya yang saat ini didirikan mengajarkan kepada individu norma dan nilai. Individu dapat menjadi anggota dan memenuhi fungsi (fungtion) dan peran (role) kelompok yang dibutuhkan. Enkulturasi mengajarkan individu tentang peran mereka dalam masyarakat, serta perilaku yang diterima dan tidak dalam masyarakat (Kottak, 1991). Jadi, kebudayaan menurut Lowie bukan milik pribadi (individual), tetapi sifatnya milik bersama (collective). Clyde Kluckhohn (1949: 35), pakar antropologi Amerika Serikat mendefinisikan kebudayaan sebagai total dari pandagan hidup suatu bangsa dan warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya. Kluckhohn melihat kebudayaan sebagai suatu integritas dari tiga unsur atau wujud kebudayaan yaitu: pengetahuan, pola perilaku dan benda-benda hasil budaya. Ketiganya tercermin di dalam konsep totalitas Kluckhohn yang akan menjadi pola pandangan hidup (way of life) dari masyarakat budaya. Ketiga usur ebudayaan tersebut dipelajari bersama dalam kelompoknya. Pakar antropologi lain, seperti Gilling (1948: 181) beranggapan, bahwa kebudayaan terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang terpola dan secara fungsional saling bertautan dengan individu tertentu yang membentuk kelompok-kelompok atau kategori sosial tertentu. Gilling di sini melihat kebudayaan sebagai suatu kristalisasi nilai-nilai, aturan-aturan dan normanorma berbentuk kebiasaan-kebiasaan terpola sebagai hasil kesepakatan bersama (conventional), sehingga ia berfungsi sebagai perekat individuindividu dalam sebuah kelompok. Inilah yang menjadi dasar bagi Julian H. Steward (1955), bahwa kebudayaan di suatu tempat cenderung berbeda dengan kebudayaan di tempat lain. Perbedaan kebudayaan tersebut samasekali tidak ada kaitannya dengan lingkungan dimana kebudayaan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



6



tersebut eksis, melainkan sangat ditentukan oleh inti (cultural core)4 yang mengalami evolusi. Leslie A. White (1949a dan 1949b) melihat kebudayaan setidak-tidaknya sebagai seperangkat obyek-obyek kultural (a set of cultural objects). Ia kemudian mempertanyakan obyek seperti apa yang dimaksudkan? Apakah obyek fisiknya? Atau obyek mentalnya? Atau bahkan keduanya? Berupa metafor, simbol-simbol atau reifikasi? Dalam bukunya Science of Culture (1949) Leslie A. White menyimpulkan, bahwa obyek-obyek kebudayaan yang dimaksud adalah sui generis5 yang dimiliki oleh masyarakat pendukung sebuah kebudayaan. Untuk mendifisikan hal tersebut White kemudian menemukan sebuah aspek abstrak dari simbol yang disebutnya sebagai the symbolate yaitu sebuah obyek yang terbentuk dari perlakuan simbol-simbol. White kemudian mendefinisikan kebudayaan sebagai symbolate yang dapat dipahami melalui konteks ekstra-semiotika. Kata kunci dari definisi seperti ini adalah the discovery of the symbolate. White di sini memandang kebudayaan sebagai suatu benda yang terefleksi dari simbolsimbol abstrak menjadi sebuah obyek fisik. Itulah sebabnya, White dianggap sebagai salah satu penganut aliran materealisme kebudayaan (cultural materialism), selain Marvin Harris. Menurut Keesing (1985: 18), bahwa kebudayaan adalah totalitas pengetahuan dan pengalaman manusia yang terakumulasi dan yang ditransmisikan secara sosial. Singkatnya menurut dia, kebudayaan adalah tingkah laku yang diperoleh melalui proses sosialisasi. Keesing seperti halnya dengan ahli budaya lainnya melihat kebudayan sebagai akumulasi dari sistem budaya (cultural systems) yang ditransmisikan secara sosial dalam perilaku manusia untuk menciptakan sistem sosial. Sistem budaya J. J. Honigman (1954) adalah kumpulan nilai, gagasan-gagasan dan norma-norma. Sedangkan sistem sosial adalah kompleks aktifitas dan tindakan berpola dalam masyarakat dan artefak-artefak atau kebudayaan fisik. Geertz (1992: 3) mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol4



5



Inti kebudayaan (Smith, 1990, 67-68) is thearea of human culture which is most directly related to adaptations to the environment. Lihat juga Haviland dan M. J. Herskovits dalam bukunya Man and His Works (Poerwanto, 2000: 76), bahwa berbagai unsur yang dalam kebudayaan merupakan inti (cultural core) berupa unsur-unsur kebudayaan tertentu yang menentukan berbagai bentuk kehidupan suatu masyarakat. Sui generis in Oxford English Dictionary 3rd ed. (2005) is Neo-Latiu expression, literally meaning of its own kind/genus or unique in its characteristics. The expression was effectively created by scholastic philosophy to indicate an idea, an entity or a reality that cannot be included in a wider concept. In the structure of genus + species a species that heads its own genus in sui generis. This does not, however, mean that all genera with only a single member are composed of sui generis species.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



7



simbol dan sistem konsep yang diwariskan. Kebudayaan terungkap dalam bentuk simbolis yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Geertz memandang kebudayaan sebagai kumpulan makna yang terwujud dalam simbol. Dengan demikian, hubungan antara domain makna dengan sistem simbol tersebut menurut Geertz memerlukan interpretasi untuk mendapatkan persepsi, yang akhirnya dapat dimaknai. Yang diinterpretasi adalah tanda (sign) berupa kenyataan untuk mendapatkan persepsi (signifie) berupa konsep yang melatari simbol, yang akhirnya dapat disignifikasi (significant) yang menentukan arti (meaning). Tidak ada benda budaya, misalnya, yang langsung dapat diartikan tanpa melalui simbol. Saya sering memberi contoh kepada mahasiswa, bahwa ketika anda berkendaraan dan dapat lampu rambu-rambu lalulintas (traffict light), anda akan melihat tiga warna dari: kuning, merah dan hijau. Lampu kuning, merah dan hijau yang anda lihat adalah tanda (sign). Ketika anda menyaksikan pergantian lampu; kuning anda harus behati-hati, merah anda harus stop dan hijau anda harus jalan. Itu semua adalah konsep dari tanda yang anda lihat. Ketika anda tidak pelan-pelan pada saat anda berada dalam posisi kuning dan berjalan terus sekalipun kuning, anda berarti tidak memahami konsep lampu kuning tersebut. Ketika anda mendapatkan lampu merah dan langsung berhenti berarti anda memahami konsep yang terkandung di dalam warna merah lampu merah. Akan tetapi, ketika lampu hijau menyala dan anda tetap pelan-pelan atau masih berhenti, anda kelewatan, karena tidak memahami konsep lampu kuning dan lampu merah. Hampir semua simbol hati-hati dalam bentuk sinyal dan sinar digunakan warna kuning. Ketika anda berjalan bersama dengan kendaraan lain yang ada di depan anda, tiba menyalakan lampu wijzer dua-duanya berati hati-hati ada masalah di depan. Ketika lampu wijzer menyalah sebelah kiri artinya hati-hati, karena kendaraan di depan anda akan belok kiri dan anda diminta melambungnya di sebelah kanan bukan di sebelah kiri. Nah, ada dengan abad milenia saat ini ? Ada beberapa kendaraan roda dua dan empat mengganti kaca lampu stop dengan warnah putih, lampu wijzer dengan warna merah dan lampu besar dengan warna kuning atau hijau. Katanya ini gaya anak muda jaman now. Lalu apakah ini kesepakatan ? Kalau bukan kesepakatan, berarti ini bukan budaya. Kalau begitu ini adalah milik idvidu, sehingga salah jika hal ini hendak diberlakukan di tempat umum. Koentjaraningrat (1985: 180) melihat kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Koentjaraningrat, seperti halnya dengan ahli-ahli budaya lainnya, melihat kebuIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



8



dayaan sebagai suatu sistem yang terbangun dari tiga unsur, yaitu: sistem gagasan atau pengetahuan budaya (cultural knowledge) yang tersimpan di dalam kognitif manusia, tindakan atau perilaku budaya (cultural behauior) yang dapat diamati melalui bentuk-bentuk tindakan manusia dan hasil karya manusia berupa benda budaya (cultural artifact) yang nyata sebagai obyek materil. Louis J. Luzbetak dalam bukunya The Church and Cultures (1970: 60) mencoba merumuskan lima karakter umum kebudayaan, yaitu: 1) suatu pandang hidup (way of life), 2) total dari rencana atau rancangan hidup (planning atau design of life), 3) secara fungsional kebudayaan diorganisasikan dalam suatu sistem, 4) diperoleh melalui proses belajar dan 5) cara hidup dari suatu grup atau kelompok sosial, bukan cara hidup individual atau perorangan. Luzbetak, seperti halnya dengan ahli lainnya, juga membagi kebudayaan kedalam sistem-sistem tersendiri. Kebudayaan adalah suatu pandangan hidup (way of life) pada prinsipnya merupakan kumpulan nilai, norma dan gagasan yang dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan rancang atau rencana hidup (planning atau design of life) manusia. Kebudayaan menurutnya bukan milik peribadi, melainkan milik kelompok yang dipelajari dari generasi ke generasi melalui enkulturasi. Akhir-akhir ini kata kebudayaan dipakai untuk melukiskan cara khas manusia beradaptasi dengan lingkungannya (environmental adaptation), adalah cara manusia membangun alam guna memenuhi keinginannya, serta tujuan-tujuan hidupnya. Kebudayaan dilihat sebagai proses humanisasi dengan artian, bahwa kebudayaan merupakan cara berperilaku dan beradaptasi yang dipelajari. Dengan demikian kebudayaan meruapakan lawan dari pola-pola perilaku atau insting-insting, yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Julian H. Steward dengan pendekatan multilineal evolusinya, Leslie A. White dengan pendekatan unilineal evolusinya, Maravin Harris dengan pendekatan materealisme kebudayaannya, Harold Conklin dengan pendekatan etnoekologinya dan masih banyak lagi yang lain, merupakan nama-nama yang disejajarkan dengan kajian evolusi kebudayaan yang berkaitan dengan lingkungannya. Dari definisi di atas dapat saya simpulkan, bahwa kebudayaan sebagai sesuatu yang abstrak (tacit culture) dan yang kongkrit (explicit culture) mempunyai wujud tersendiri, seperti berikut: 3. Konsep Budaya dan Kebudayaan Permasalahan lain yang perlu saya jelaskan di sini adalah perbedaan pengertian antara konsep kebudayaan (culture) dengan konsep budaya (cultures). Ada dua pendapat tentang hal ini yaitu yang menyamakan budaya dengan kebudayaan dan yang membedakan keduanya. Bapak antropologi Indonesia Koentjaraningrat cenderung menyamakan kebudayaan dengan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



9



budaya. Sedang Andi Basrah Gising dan Hari Poerwanto cenderung membedakan keduanya. Banyak ahli yang mengartikan culture sama dengan budaya dan sama pula dengan kebudayaan. Budaya adalah sesuatu yang tampak dalam kasat mata (konkrit), karena budaya adalah wujud dari kebudayaan. Kata cult, misalnya, yang membentuk kata cultivation sangat tepat untuk dipasangkan dengan budaya. Poerwanto (2000: 51-53) mengupas istilah kebudayaan sebagai turunan dari istilah culture dalam bahasa Inggris. Menurutnya, kata culture berasal dari kata kerja dalam bahasa Latin colere yang berarti ‘bercocok tanam (cultivation)’. Bahkan, menurut Poerwanto, bahwa di ka-langan penulis pemeluk agama Kristen istilah cultura juga diartikan sebagai ibadah atau sembahyang (worship). Perlu saya juga jelaskan di sini, bahwa kata kebudayaan tidak ada kaitannya dengan pembentukan kata benda (denominal) dalam bahasa Indonesia. Kata kebudayaan tidak diturunkan dari kata budaya yang ditambahkan konfiks /ke-an/ menjadi /ke-budaya-an/. Sebaiknya, hal ini tidak boleh dianalogikan dengan pembentukan kata adil yang ditambah afiks /ke-an/ menjadi keadilan. Secara etimologis dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal) dan dhaya (daya, kemampuan, kekuatan dsb.). Ada kalanya juga ditafsirkan, bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk budidaya yang berarti ‘daya dari budi’, yaitu berupa cipta, karsa dan rasa. Oleh karena itu, ada juga yang mengartikan, bahwa kebudayaan merupakan basil dari cipta, karsa dan rasa (budaya). Koentjaraningrat (1990: 181) juga mensinyalir kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, menurutnya kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Banyak ahli lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari bentuk majemuk budidaya; mengartikan budaya sebagai daya dari budi. Oleh karena itu, mereka cenderung membedakan budaya dari kebudayaan. Dengan demikian, budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah proses dari cipta, karsa dan rasa itu sendiri. Menurut Maran (2000: 24), misalnya, bahwa para pakar antropologi budaya Indonesia umumnya sependapat, bahwa kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah. Kata buddhayah adalah bentuk jamak dari buddhi yang berarti 'budi atau akal'. Dengan demikian, menurutnya secara etimologis, kata kebudayaan berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal (Koentjaraningrat, 1974: 9). Ada pula anggapan, bahwa kata budaya berasal dari kata majemuk budidaya yang berarti daya dari budi atau daya dari Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



10



akal yang berupa cipta, karsa dan rasa. Dengan demikian, Maran lebih cenderung membedakan antara kebudayaan dan budaya dengan asumsi dasar, bahwa kebudayaan lebih mengarah pada hal-hal kognitif yang tidak materil, sementara budaya mengarah pada yang materil. Kata kebudayaan itu, lanjut Maran sepadan dengan kata culture dalam bahasa Inggris. Kata culture itu sendiri berasal dari bahasa Latin colere yang berarti merawat, memelihara, menjaga, mengolah, terutama mengolah tanah atau bertani. Jadi, semakin jelas di sini, bahwa kebudayaan adalah hal-hal yung sifatnya kognitif yang berisi nilai-nilai (values), norma-norma (norms), aturan-aturan (rules), serta kemampuan-kemampuan lain (other cavacities) dalam menanggulangi segala bentuk permasalahan hidup manusia. Koentjaraningrat (1990: 81) dalam kajiannya tentang kebudayaan berpihak pada ahli yang menyamakan budaya dengan kebudayaan tersebut. Menurutnya, bahwa dalam Antropologi budaya perbedaan istilah itu perlu ditiadakan, karena kata budaya di sini hanya digunakan sebagai suatu singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama. Dalam buku ini tetap dianggap budaya sebagai sesuatu yang berbeda dengan kebudayaan. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Poerwanto (2000: 57), bahwa kadang-kadang orang salah mengistilahkan budaya dan kebudayaan. Istilah culture diterjemahkan sebagai budaya, sedangkan cultural diterjemahkan kebudayaan. Padahal terjemahan yang benar adalah culture untuk kebudayaan, sedangkan cultural untuk budaya. Selain itu, seringkali juga dijumpai pemakaian kata kultur dalam bahasa Indonesia yang seolah-olah searti dengan kata cultural atau kebudayaan. Padahal kata kultur tersebut diturunkan dari kata cult yang membentuk kata kerja to cultivate artinya 'pengolahan tanah'. Dalam hal ini, pemakaian stilah kultural bukan diterjemahkan budaya dan istilah kultur tidak begitu saja diterjemahkan sebagai kebudayaan. Agaknya, penggunaan kedua istilah di atas seringkali juga masih rancu, karena istilah culture lebih diterjemahkan kebudayaan dan cultural diterjemahkan budaya. Lebih rancu lagi, karena ada yang menerjemahkan kata culture sebagai budaya dan kata cultural dengan kebudayaan dengan dasar, bahwa kata cultural merupakan bentuk ajektiva dari culture. Definisi kebudayaan yang diusulkan oleh Edward B. Tylor (1973: 63) memandang kebudayaan sebagai totalitas pengalaman manusia. Kebudayaan atau peradaban dalam pengertian etnografi adalah keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan lainnya, yang dimiliki o1eh manusia sebagai anggota masyarakat. Konsep kebudayaan sapu bersih ini lebih dominan dalam antropologi selama kurang lebih setengah abad lamaIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



11



nya, mengiringi munculnya buku Taylor berjudul Primitive Culture. Robert H. Lowie (Bohannan dan Glazer, 1988) mengatakan, bahwa sasaran teoretis (antropologi) mestilah untuk mengetahui semua kebudayaan dengan kedalaman yang setara dan luas tentang fenomena manusia. Kebudayaan adalah penjumlahan total apa yang dicapai oleh individu dari masyarakatnya termasuk keyakinan, adat istiadat, norma-norma, artistik, kebiasaan makan dan ukiran-ukiran yang dimilikinya sebagai warisan dari masa lampau melalui pendidikan formal atau tidak formal. Pada awal 1950an, Alfred Kroeber dan Clyce Kluckhohn mengumpulkan definisi-definisi kebudayaan yang dibuat oleh para antropolog selama setengah abad pertama abad ke-20. Kroeber dan Kluckhohn (1963) berhasil mengumpulkan dan menerbitkan kembali 164 definisi kebudayaan, yang dikelompokkan menjadi enam kategori: deskriptif, historical, normatif, psikologis, struktural dan genetik. Selain menghimpun definisi-definisi pokok tersebut, Kroeber dan Kluckhohn juga mencatat ratusan definisi yang mereka anggap sebagai variasi dari definisi-definisi pokok, sehingga seluruh definisi yang mereka kumpul mencapai sekitar tiga ratusan. Ketika Kroeber dan Kluckhohn sedang menulis bukunya, perdebatan dalam tubuh antropologi yang mempertanyakan apakah kebudayaan seharusnya merupakan abstraksi atau paparan dari apa adanya (aspek realitas) dan benar-benar terjadi. Leslie White (1959) memandang, misalnya, bahwa perdebatan itu sifatnya sangat keliru sekali, karena kebudayaan menurut White adalah sebuah kata yang dapat digunakan untuk melabel suatu kelas fenomena, baik benda maupun kejadian di dunia luar. Jadi, menurut White, bahwa apakah suatu definisi kebudayaan berguna atau tidak, tergantung pada apakah definisi tersebut berguna dalam mengidentifikasi, menganalisis dan mengeksplanasi fenomena manusia. White sendiri lebih suka mendefinisikan kebudayaan dalam pengertian entitas konkret, objektif, dapat diamati, yang tercermin dalam aspek adaptasi kehidupan manusia terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, White seperti halnya dengan Marvin Harris disejajarkan dengan studi materealisme kebudayaan (cultural materealism). Kamum materealisme memandang kebudayaan dari segi kebendaannya. Materialisme budaya adalah orientasi penelitian antropologis yang pertama kali diperkenalkan oleh Marvin Harris (1968) dalam bukunya The Rise of Anthropological Theory, sebagai paradigma teoritis dan strategi penelitian. Menurut Maxine (2001), bahwa Harris telah mencapai pekerjaannya yang paling abadi dalam hidupnya. Dengan demikian, menurut Elwell (2001), Harris kemudian mengembangkan elaborasi teorinya secara penuh dan mempertahankan paradigma teorinya dalam bukunya berjudul Cultural Materealism (1979). Bagi Harris, perubahan sosial bergantung pada tiga faktor: infrastruktur, struktur dan supra-struktur. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



12



Konsep materialisme budaya Harris dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels, serta teori-teori mereka yang dimodifikasi oleh Karl August Wittfogel dan bukunya berjudul Oriental Despotism (1957). Akan tetapi, materialisme ini berbeda dari materialisme dialektik Marxis, serta dari materialisme filosofis Jerry (2004). Karya Thomas Malthus mendorong Harris untuk mempertimbangkan reproduksi sama pentingnya dengan produksi. Strategi penelitian Harris juga dipengaruhi oleh karya antropolog sebelumnya termasuk Herbert Spencer, Edward Tylor dan Lewis dan Henry Morgan, Pada abad ke-19, mereka pertama kali mengusulkan, bahwa budaya berevolusi dari yang kurang kompleks ke yang lebih kompleks dari waktu ke waktu. Leslie White dan Julian Steward bereperan dalam kebangkitan kembali teori evolusi budaya (cultural evolution and cultural ecology) di abad ke-20. Ternyata, Harris mengambil inspirasi dari mereka dalam merumuskan materialisme budayanya. Materealisme kebudayaan digunakan oleh Marvin Harris (1979) untuk mengadvokasi penelitian realitas sosialnya. Ini tidak sama dengan prinsip materealisme kebudayaan oleh Marsis, karena teori Harris tidak dialektik. Hal ini disebabkan, karena teorinya berlandaskan pada ide pokok tentang pentingnya reproduksi atau kepadatan penduduk, serta tekanan lingkungan dalam menentukan sistem sosio-kultural. Menurut Harris, bahwa konstanta bio-psikologi sifat manusia (ekonomi, seks, dsb.) menimbulkan empat komponen universal atau level-leval organisasi sosial manusia, yaitu: a) infrastruktur atau domain produksi dan reproduksi, b) struktur atau domain domestik dan politik ekonomi, c) super-struktur perilaku hubungan sosial, serta d) mental atau super-struktur: emik, tujuan, nilai, kepercayaan dan sebagainya. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, para antropolog mulai mengakui, bahwa kurangnya konsensus tentang konsep kebudayaan menyebabkan semakin dalamnya perpecahan, yang menimbulkan kemerosotan efektivitas disiplin. Terutama, bila konsep tersebut merupakan unsur esensial dari perspektif ilmu budaya, yang dimaksudkan untuk menyatukan ilmu budaya dari pelbagai persuasi paradigmatis. Dua dekade setelah White, Roger M. Keesing (1976: 73) justru mengatakan, bahwa tantangan bagi ahli budaya dalam tahun-tahun terakhir adalah timbulnya penyempitan terhadap konsep kebudayaan. Akibatnya, konsep ini mencakup lebih sedikit, tetapi harus menggambarkan yang lebih banyak dan lebih luas. Keesing malah memprediksi, bahwa segala upaya untuk mempersempit konsep kebudayaan tersebut, justru memecah belah unitas keilmuan dan bukannya menyatukan disiplin. Keesing (1976: 74-79) setidak-tidaknya mengidentifikasi empat pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan kebudayaan. Pendekatan pertama Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



13



memandang kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan dan perilaku yang dipelajari, yang fungsi primernya adalah menyesuaikan masyarakat manusia dengan lingkungannya. Pendapat tersebut diasosiasikan dengan ekologi budaya (cultural ecology)6 dan materialisme kebudayaan (cultural materealism). Hal tersebut dapat ditemukan di dalam kajian beberapa tokoh seperti Julian H. Steward (1955), Leslie A. White (1949 & 1959) dan Marvin Harris (1968 & 1979). Konsep kebudayaan sebagai sistem adaptif ini menjadi mantap dalam kajian-kajian arkeologi kontemporer dalam tulisan-tulisan Lewis Binford dan Kent Flannery (1968). Pendekatan kedua adalah memandang kebudayaan sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apa saja yang diketahui manusia dalam berpikir menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan (natives) yang diteliti. Pendekatan ini diasosiasikan dengan paradigma yang dikenal dengan berbagai nama seperti etnosains, antropologi kognitif atau etnografi baru. Antropologi Kognitif (Smith, 1990: 41) didasarkan pada gagasan budaya sebagai sistem ideasional --- yaitu, sistem pengetahuan dan konsep, sebaliknya --- ke materialis interpretasi budaya sebagai sistem adaptif atau satu set perilaku yang dapat diamati. Para ahli antropologi kognitif mencurahkan perhatian yang cukup besar pada penggambaran akurat dari realitas etnografi. Hal ini lebih khusus dimaksudkan untuk mencatat apa yang dikomunikasikan oleh masyarakat. Hal tersebut dapat digunakan sebagai panduan untuk mengetahui apa yang mereka ketahui (cultural knowledge). Para pendukungnya, terutama Harold Conklin (1955a dan 1955b), Ward Goode-nough (1956) dan Charles 0. Frake (1964). Pendekatan ketiga memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama. Sistem struktur simbol tersebut memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia. Pendekatan ini merupakan ciri khas pendekatan strukturalisme kebudayaan (cultural sturcturalism) yaitu paradigma yang dikonsepsikan oleh Claude Levi-Strauss (1963 dan 1969). Pendekatan keempat memandang kebudayaan sebagai sistem simbol. Sistem simbol tersebut terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi dan bersifat publik. Pendekatan ini diasosiasikan dengan paradigma yang dikenal sebagai antropologi



6



Lihat Smith (1990: 62-63) ekologi budaya atau antropologi ekologi memusatkan perhatiannya pada hubungan antara populasi manusia dengan lingkungannya dan menyiapkan seperangkat pembahasan tentang masyarakat dengan kebudayaannya sebagai produk adaptasi dengan kondisi lingkungannya. Orlove (1980) menunjukkan, bahwa isu sentral ekologi budaya adalah hubungan antara lingkungan, dinamika kependudukan atau demografi dengan kebudayaan dan organisasi sosialnya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



14



simbolik, yang dikonsepsikan oleh Gifford Geertz (1973 dan 1983) dan David Schneider (1968). Keesing menyimpulkan, bahwa secara esensial ada dua pendekatan mengenai konsep kebudayaaan di kalangan ahli budaya kontemporer, yaitu: pertama para ahli budaya yang mendefinisikan kebudayaan tidak dalam konteks pikiran (cognitive) dan tidak pula dalam konteks perilaku (behavior) dan kedua mereka yang mendifinisikan kebudayaan dalam konteks pemikiran semata-mata (ideasional) dan yang hanya mendefinisi-kan kebudayaan sebagai perilaku (behavioral). Secara logis, tentu saja ada pendekatan tambahan yang dapat diajukan, yaitu yang memandang kebudayaan bukan sebagai gabungan pikiran dan perilaku, melainkan kebudayaan sematamata sebagai perilaku atau pemikiran saja. Tidak se-orang pun yang mungkin menerima yang pertama, karena sukar dibayang-kan bagaimana mungkin suatu kebudayaan adalah bukan pikiran dan juga bukan perilaku. Konsep bahwasanya kebudayaan terdiri dari perilaku semata-mata juga tidak mungkin diterima, meskipun pendekatan inter-aksional yang dipelopori Chapple dan Arensberg (1940 dan 1972) sudah agak mendekati. Akan tetatpi, konsep ini kembali menemui jalan buntu, karena kebudayaan sebagai suatu sistem mengandung tiga unsur yang tidak terpisahkan yaitu: kognisi, perilaku dan hasil dari keduanya ? Menurut Robert Murphy (1980: 45-50), bahwa tidak ada definisi perilaku dari kebudayaan yang dapat diterima, karena perilaku manusia tidak mungkin menjadi perilaku budaya. Seandainya memang bisa, pasti ada label budaya sebagai titik kecil yang melekat padanya. Tidak ada definisi statistik dan perilaku yang murni mengenai kebudayaan yang memungkinkan untuk dikembangkan, kecuali apabila dipandang semua perilaku abnormal sebagai non-budaya dan mengabaikan fakta. Sebenarnya, banyak perilaku abnormal yang justru ingin menegaskan atau memenuhi kategori budaya. Pendapat Murphy ini kembali menegaskan, bahwa perilaku bukan satu-satunya yang membangun budaya, melainkan dua unsur lainnya yaitu kognisi dan benda budaya juga turut memegang peran penting dalam suatu budaya. Selain Keesing, sebagian ahli budaya juga menolak pandangan yang menjadikan isu sentral pikiran lawan perilaku. Marvin Harris (1975), misalnya, mengeritik keras apa yang orang sebut sebagai pendekatan ideasional terhadap kebudayaan. Harris menghubungkan hal tersebut dengan usaha untuk pemisahan sejarah antara antropologi sosial dan antropologi budaya melalui pandangan ideasional murni mengenai kebudayaan. Sebagaimana dikemukakan Harris, bahwa etnosains (ethnoscience)7 7



Lihat Hari Poerwanto (2000: 32-33), bahwa ethnoscinece adalah pendekatan baru dalam etnografi. Sekalipun demikian penggunaan istilah tersebut kurang tepat untuk dua



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



15



atau antropologi budaya tertarik untuk mengkaji entitas kognitif. la juga menyebut antropologi sosial sebagi kajian statistik mengenai kejadiankejadian sosial yang berpola. Menurut Harris (1980: 392), bahwa sangat sukar bila tidak bisa dikatakan mustahil, ketika menemukan seorang ahli budaya melaksanakan misi antropologi sosial. Istilah antropologi sosial hanyalah merupakan khayalan yang diciptakan untuk menghindari ketidakmampuan yang tersirat dalam antropologi budaya. Ini merupakan lambang ketidakmampuan seorang ahli antropologi untuk memecahkan masalah keteraturan materi, konkret, historis, perilaku dari kehidupan sosial budaya. Harris (1990: 114) selanjutnya mengatakan, bahwa antropologi budaya seharusnya tidaklah mengkaji semua aturan yang harus diketahui seseorang. Bila ia melakukan hal demikian, ia tidak bertindak etik (sebagaimana ahli etnosains memandang kebudayaan), melainkan bertindak emik dengan sepenuhnya mengkaji pikiran, perasaan dan tindakan yang berulang dan berpola dalam masyarakat sebagai obyeknya. Jika mengacu pada definisi eksplisit mengenai kebudayaan yang ditawarkan ahli budaya belakangan ini, tidak ada konsensus yang jelas mengenai isu pikiran versus perilaku. Meskipun definisi ideasional secara murni mengenai kebudayaan relatif jarang terjadi. Hunter dan Whitten (1982: 103), misalnya, dalam The Encyclopedia of Anthropology mendefinisikan kebudayaan sebagai perilaku berpola yang dipelajari oleh setiap individu semenjak ia lahir. Kaplan dan Manners (2000: 1) juga mendukung definisi kebudayaan dengan menekankan, bahwa ahli budaya tidak hanya mempelajari perilaku manusia, tetapi juga dengan perilaku tradisional atau pranata-pranata sosial (social institusional)8 manusia. Definisi kontemporer tentang kebudayaan sangat bervariasi. Keesing (1971: 509), misalnya, menyebut kebudayaan sebagai sistem pengetahuan yang kurang lebih dimiliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat. Demikian pula dengan Phillip Kottak (1987: 36) menguraikan kebudayaan sebagai keyakinan dan perilaku adat-istiadat yang diperoleh manusia



8



alasan: 1) seolah-olah berbagai bentuk etnografi yang ada bukan sains dan 2) karena istilah itu mengacu pada klasifikasi dan taksonomi-suku bangsa dianggap sebagai ilmu pengetahuan (science). Kiranya, label etnosains cukup tepat sebagaimana label yang diberikan kepada etnobotani, etnografi dan sebagainya. Lembaga sosial (social intitutions) terdiri dari sekelompok orang yang telah berkumpul untuk tujuan bersama. Institusi-institusi ini merupakan bagian dari tatanan sosial masyarakat dan mereka mengatur perilaku dan harapan individu. Lihat juga Malinowski (1948) mendefinisikan institusi sebagai sekelompok orang yang dipersatukan oleh kepentingan bersama, diberkahi oleh peralatan material, mengikuti peraturan tradisi atau kesepakatan mereka (piagam) dan berkontribusi terhadap karya budaya secara keseluruhan. Menurut Barnard (2004) lembaga adalah sistem hubungan sosial untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



16



sebagai anggota masyarakat. Pendekatan lain, ternyata menawarkan definisi-definisi yang kabur, karena tidak memberikan arah yang jelas apakah kebudayaan itu pikiran atau perilaku atau bahkan keduanya. Oliver (1981: 390), misalnya, menyebut kebudayaan sebagai ancangan (design) bagi kehidupan atau cara hidup yang khas dari masyarakat hominid. Ia benarbenar memberikan definisi yang kabur, karena mensejajarkan kebudayaan dengan ancangan hidup (design of life) dan cara hidup (way of live) masyarakat pemilik kebudayaan. Kelemahan definisi Oliver, karena menganggap kebudayaan hanya sebagai suatu bentuk perilaku atau sebuah hasil kebudayaan. Ia tidak melihat kebudayaan sebagai suatu hasil sintetis antara kognisi, perilaku dan hasil dari keduanya. Ia tidak melihat, bahwa kebudayaan itu adalah sebuah ancangan yang terpolakan dari kognisi yang akan mendesain semua hasil perilaku dan benda budaya. Oliver pada prinsipnya hanya berpikir skeptis tentang budaya yaitu sebuah perilaku bukan yang lainnya. Pokok persoalan yang hendak disampaikan di sini, bahwa kekaburan istilah pikiran dan perilaku itulah yang memicu timbulnya perdebatan berkepanjangan mengenai status ontologisme kebudayaan. Ketika ahli budaya mengatakan, bahwa kebudayan terdiri atas perilaku atau pola tingkah laku yang dipelajari dan dimiliki bersama (A. L. Kroeber, C. Kluckhohn, 1952), mereka sukar sekali mengeluarkan aspek-aspek kognitif dari transmisi kebudayaan, retensi dan identifikasi definisi mereka. Ketika ahli budaya simbolik juga mengatakan, bahwa sistem-sistem makna adalah publik (Geertz, 1973 dan 1983 dan David Schneider, 1968), yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan yang diekspresikan secara perilaku dan dikenal di dalam tampilan linguistik (linguistics perforamance), gerak-gerik tubuh (gesture language), aktifitas ritual (ritual activities), ekspresi artistik (artistic expression) dan tindakan lain (other actions) yang dapat diamati. Murphy (1980: 240) dengan tegas mengatakan, bahwa jika disimak lebih dalam, semua definisi kebudayaan seharusnya mengandung sintetis tertentu antara pikiran dan perilaku, bukan sebagai sesuatu yang terpisah. Pendapat Murphy ini kembali mengacu pada konsep kebudayaan sebagai sebuah sistem yang terintegrasi satu sama lain. Saya sngat setuju dengan pendapat Murhy yang memandang kebudayaan dan budaya sebagai suatu bentuk totalitas. Kebudayaan sebagai suatu bentuk integras dan konfigurasi, sehingga keseluruhan unsur-unsur yang membangun sebuah kebudayaan dan budaya tidak dapat dipihaskan satu dengan yang lainnya. Kembali mengacu pada pendapat Keesing di atas, bahwa pada esensinya ada dua pendekatan konsep kebudayaan kontemporer, yaitu: penekanan perilaku dan mental. Pendekatan adaptif memandang kebudayaan sebagai suatu sistem sosial budaya yang terdiri dari perilaku dan keyakinanIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



17



keyakinan yang melekat padanya. Sedangkan, pendekatan ideasional memandang kebudayaan sebagai suatu sistem simbolik yang terdiri atas keyakinan-keyakinan dan perilaku yang melekat padanya. Sistem sosial budaya tersusun dari bentuk-bentuk interaksi rutin, adaptif, berpola dari interaksi di kalangan para anggota suatu masyarakat. Sistem budaya tersebut kemudian didukung, dirasionalisasi dan ditransmisi oleh keyakinan dan perspektif yang dimiliki bersama. Sistem-sistem simbolik tersusun dari perangkat-perangkat makna yang dipelajari, dimiliki bersama, berpola, yang memberikan kemampuan bagi manusia untuk mempersepsi, menginterpretasi dan mengevaluasi piranti-piranti makna yang eksplisit dan implisit. Sistem simbolik tersebut terkandung dan diekspresikan, baik dalam keyakinan maupun perilaku. Dengan demikian, sistem-sistem simbolik adalah perangkat sub-perangkat dari sistem sosial budaya. Binfrod (1968) mengatakan, sesungguhnya ada preseden yang patut diperhatikan dalam pembedaan konseptual seperti itu, karena para ahli budaya mengenal eksistensi sistem sosial budaya dan sistem simbolik. Ada dua pertanyaan yang muncul, ketika hendak membedakan eksistensi kebudayaan. Pertama haruskah digunakan istilah kebudayaan untuk mengacu kepada sistem-sistem sosial budaya? Atau haruskah kita menyimpan saja konsep tersebut hanya pada sistem simbolik? Apabila disepakati, bahwa masing-masing sistem sosial dan sistem simbolik itu ada, perbedaan tersebut pada dasarnya bersifat semantik belaka. Loweli (1965: 48) mengusulkan, agar kebudayaan dapat didefinisikan sebagai pola-pola perilaku dan keyakinan yang dimediasi oleh symbol. Simbol tersebut kemudian dipelajari, dirasionalisasi, terintegrasi, dimiliki bersama dan yang adaptif, tergantung pada interaksi sosial manusia demi eksistensi (to survive) mereka. Pendekatan inilah yang tampaknya disepakati oleh semua ahli budaya, karena merupakan inti perspektif ilmu budaya secara keseluruhan (holistics). Demi kejelasan konseptual, ilmu budaya mengadopsi sebuah definisi kebudayaan yang dianggap oleh banyak kalangan sangat kosisten dan mencakup semua definisi kebudayaan yang ada. Antropologi simbolik, misalnya, yang memiliki argumen kuat untuk menyebut sistem simbolik dan sistem-sistem sosiobudaya sebagai kebudayaan, dimediasi oleh sistem makna. Nah, apa sebenarnya para ahli ilmu budaya ketahui tentang sistem sosiobudaya, sistem simbolik dan signifikansi kebudayaan itu? Hall (1966: 177) sangat yakin, bahwa betapa pun kerasnya upaya manusia, namun mustahil baginya untuk merombak diri dan kebudayaannya. Kebudayaan tersebut merasuk hingga ke akar-akar sistem persyarafannya. Kebudayaan tersebut juga menentukan bagaimana ia mempersepsi dunianya. Dalam alQur'an surat Arra'd ayat 11 juga dikatakan, bahwa tidak berubah nasib suatu Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



18



kaum, kecuali mereka sendiri yang mengubahnya. Orang Bugis juga yakin, bahwa kebudayaan yang dimiliki seseorang tidak mungkin berubah hingga akhir hayatnya. Konsep Lele Bulu Tellele Abiasang (berubah bulu tapi tidak berubah jua kebiasaan) adalah sebuah ungkapan yang menegaskan betapa kuatnya nilai-nilai budaya yang melekat di dalam diri seseorang. Hall lebih lanjut mengatakan, bahwa manusia tidak dapat bertindak atau berinteraksi menurut cara yang bermakna, kecuali melalui mediasi kebudayaan. Kebudayaan dan simbol merupakan suatu sistem jaringan yang tidak bisa diputuskan, karena salah satu diantaranya yang tidak ada, yang lainnya pun tidak ada artinya apa-apa. Konsep seperti inilah yang tidak diperhatikan oleh sebagian besar ilmuwan sosial (termasuk psikolog, sosiolog dan ekonom)Mereka hanya melandaskan kajiannya pada asumsi kebudayaan mereka sendiri (ethnocentrisme). Menurut Holmes D. Lowells (1965: 74), bahwa kebudayaan dalam pengertian ilmu budaya adalah perilaku yang dipelajari dan dimiliki bersama. Kebudayaan tersebut diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sekalipun kebudayaan itu menjadi konsep utama dari ilmu-ilmu sosial, akan tetapi ahli budaya dibandingkan dengan ahli-ahli sosial lainnya (antropolog, sosiolog, ekonom, psikolog dan sebagainya) telah merintis jalan dalam mendefinisikan, serta mengkaji konsep abstrak, yang merupakan faktor utama dalam menentukan perilaku dan kepribadian manusia. Pada dasarnya definisi tersebut mengimplikasikan, hahwa sangat tidak mungkin mempelajari kebudayaan tanpa mempelajari sifat-sifat masyarakatnya. Jadi, dapat dilihat betapa pentingnya memelihara hubungan antara ahli budaya dengan sosiologi. Mereka pada awalnya memokuskan perhatiannya pada kebudayaan, namun terakhir lebih memokuskn dirinya pada studi tentang masyarakat sebagai manusia kolektif. Demikian pula menurut Hoebel (1972: 6), bahwa ciri pembeda ahli budaya dengan ahli lainnya adalah pengembangan konsep kebudayaan dan pentingnya konsep kebudayaan dalam pemikirannya. Kebudayaan adalah sistem yang terintegrasi dari pola tingkah laku yang dipelajari. Kebudayaan merupakan karakteristik dari anggota sebuah masyarakat. Jadi, kebudayaan bukan hasil warisan secara biologis dari nenek moyang mereka. Kebudayaan bukan pula bawaan (biological heritage), karena hal ini tidak diterima melalui pembiasaan (habitation). Degan demikian, dapat dikatakan kebudayaan merupakan hasil temuan sosial (social invention), yang ditransmisikan dan dibentuk secara perlahan-lahan melalui komunikasi dan pembelajaran kebudayaan (enculturation). Hal-hal yang dapat dipetik dari beberapa definisi di atas, bahwa kebudayaan adalah perilaku yang dipelajari (learned behavior). Artinya ia bukan warisan biologis (biologically inherited) berupa insting. Seseorang yang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



19



lahir dari orang tua berkebudayaan Bugis tidak dapat dikatakan, bahwa ia berkebudayaan Bugis, karena bapak atau ibunya adalah orang Bugis. Kebudayaan yang ia miliki adalah hasil dari pembelajarannya dari kelompok pendukung kebudayaan yang ia miliki, termasuk kedua orang tuanya. Pembelajaran tersebut bisa dalam bentuk pengalaman hidup atau pembelajaran informal. Hampir segala sesuatu yang manusia lakukan harus dipelajari dari yang lainnya. Dengan demikian, hubungan sosial (social interaction) berjalan secara konsisten. Seperti halnya dengan seorang bayi yang tumbuh menjadi masa kanak-kanak kemudian menjadi dewasa, ia mulai memikirkan dan bertindak sesuai dengan lingkungannya. Ia berusaha meniru anggota keluarga, kelompok main, tetangganya dan komunitasnya. Jika, anggota kelompoknya makan dengan menggunakan garpu, sendok atau pisau (seperti orang-orang Eropa dan Amerika), beribadah sesuai tradisi nasrani dan bercakap bahasa Inggris, ia pasti akan menirunya. Menurut Margaret Mead (1970: 1), bahwa ada tiga tingkat enkulturasi kebudayaan dengan pola meniru: 1) postfiguratif yaitu anak-anak belajar umumnya dari nenek moyang mereka, 2) cofiguratif yaitu keduanya, baik anak-anak maupun dewasa belajar dari kaum sebayanya dan 3) prefiguratif yaitu orang dewasa belajar dari anak-anak mereka. Menurut Mead lebih lanjut, bahwa postfiguratiflah yang paling banyak digunakan dalam studi etnoekologi, khususnya pada masyarakat indigenus. Ketika ia sudah mempelajari kebudayaannya secara menyeluruh, ia akan berkelakuan dan berprilaku sangat mirip dengan rekan sebayanya dan tidak terlalu jauh berbeda dengan leluhurnya. Orang Bugis-Makassar, misalnya, yang sejak kecil diajarkan cara makan dengan duduk bersila, membela diri dengan selalu membawa badik, bertutur dalam bahasa Bugis-Makassar yang sopan akan terefleksi dalam setiap tindakan dan tingkah lakunya. Jarang sekali ditemukan orang Bugis yang duduk dengan tidak bersila ketika sedang menikmati makannya, melakukan perjalanan ke suatu tempat dengan tangan kosong (biasanya dengan parang, badik dan sebagainya) dan berutur dengan menggunakan bahasa lain ketika berbicara kepada sesama orang Bugis atau Makassar. Seorang psikolog bernama Sigmund Freud, mengumumkan kajiannya tentang budaya dalam hubungannya dengan insting kecintaan seorang lakilaki kepada ibunya (oedipus complex), kenakalan (pugnacity) dan keramahtamahan (gregariousness). Akan tetapi, satu demi satu konsep tersebut ditinggalkan, karena manusia yang lahir di dunia ini hanya sedikit berbekal perilaku seperti yang dimaksudkan Freud tersebut di atas. Freud dalam kajiannya tersebut mencoba untuk membandingkan kemampuan insting yang dimiliki oleh mahluk lain, terutama bianatang dengan manusia. Dalam beberapa saat, misalnya, seekor anak ayam yang baru saja menetas dapat Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



20



langsung berjalan mencari makanan. Sebaliknya, seorang bayi manusia harus mencari makan melalui bantuan kedua orang tuanya atau anggota kelompoknya. Pentingnya pembelajaran manusia binatang (human animal) dilukiskan secara panjang lebar oleh A. L. Kroeber (1907: 177-78): Take a couple of ant eggs of the right sex-unhatched eggs, freshly laid. Blot out every individual and every other egg of the species. Give the pair a little attention as regards warmth, moisture, protection, and food. The whole of ant societv, every one of the abilities, powers, accomplishments, and activities of the species ….. will be reproduced, and reproduced without diminution, in one Generation. But place on a desert island or in a circumvallation two or three hundred human infants of the best stock from the highest class of the most civilized nation; furnish them the necessary incubation and nourishment; leave them in total isolation from their kind; and what shall we have? ….. only a pair or a troop of mutes, without arts, knowledge, fire, without order or religion. Civilization would be blotted out within these confines not disintegrated, not cut to the quick, but obliterated in one sweep.



Secara umum definisi kebudayaan mengungkapkan, bahwa kebudayaan adalah milik bersama. Barangkali bisa dibayangkan, bahwa anda adalah ahli budaya yang baru saja tiba di desa-desa terpencil, semisal di Afrika yang jauh sana. Tujuan kesana adalah meneliti dan mendeskripsikan kebudayaan atau adat-istiadat masyarakat setempat. Masyarakat yang anda temui mungkin tinggal dalam sebuah kelompok masyarakat (sejenis desa di Indonesia). Mereka akan berinteraksi dengan yang lainnya (dengan menepuk bahu, lalu mereka berbicara) dalam rangka berkomunikasi. Jika, kondisi dan situasi seperti ini terjadi, anda bisa mengatakan, bahwa masyarakat yang anda kunjungi itu sedang membentuk sebuah masyarakat. Lalu bagaimana dengan kebudayaan mereka? Ketika pertama kali anda menemui salah seorang masyarakat Afrika tersebut, anda sebagai seorang ahli budaya sebaiknya ikut serta dalam berbagai aktifitas (full participation research) dalam masyarakat yang anda kunjungi. Di salah satu desa, anda menyaksikan seorang laki-laki sedang sibuk mengatapi rumahnya. Di desa lain seorang perempuan mengasuh anak-anaknya (child rearing) melaui caranya sendiri. Di luar dari desa yang anda kunjungi tersebut, seorang lakilaki sibuk menyiangi (membajak) ladangnya. Ketika anda tinggal beberapa hari di desa-desa tempat anda meneliti tersebut, anda sudah mulai melihat dan mengamati, bahwa ada tendensi seluruh manusia yang hidup berkelompok tersebut menggunakan cara-cara yang sangat seragam dalam mengganti atap rumahnya, kebiasaan perempuan mengasuh anaknya dan seluruh petani menggunakan alat yang sama, semangat perilaku budaya bersama (cultural ethos)9 dan metode yang sama 9



Etos kebudayaan (cultural ethos) adalah sifat, nilai dan adat istiadat khas yang memberi watak kepada kebudayaan masyarakat. Etos dapat juga berarti pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial. Sinonim dengan etos adalah konfigurasi (cultural patterns)



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



21



dalam menyiangi sawahnya. Keseragaman perilaku yang anda saksikan tersebut mungkin sesuai dengan apa yang diacu oleh para ahli budaya (prinsip etik), ketika sedang membicarakan kebudayaan sebuah masyarakat. Jadi, kesimpulannya anda sebagai calon ahli budaya sudah mulai mampu berfikir kritis, komparatif dan holistis tentang kebudayaan masyarakat yang anda kunjungi tersebut. Saya juga yakin, bahwa anda sudah mampu mendeskripsikan secara ilmiah tentang apa yang anda amati dan lihat di lapangan, baik dengan menggunakan pikiran sendiri sebagai ahli budaya (etik) maupun sesuai dengan pikiran dan persepsi orang-orang yang anda teliti (emik). Kebudayan dalah sebuah abstraksi, seperti halnya dengan abstraksi peta kasus umum. Hanya saja, sebuah peta umum lebih menggambarkan karakteristik paling penting dari sebuah area secara geografis. Sedangkan peta kebudayaan hanya mengacu pada aspek-aspek yang sangat siginifikan terhadap perilaku manusia. Tentu saja, setiap ahli budaya tertarik lebih dari sekedar karakter pokok kebudayaan. Mereka mengetahui, bahwa sering ada penyimpangan bagi orang-orang yang tidak secara penuh mengikuti adatistiadat. Akan tetapi sungguh aneh, karena perilaku menyimpang tersebut juga dipelajari, sekalipun tidak bersama-sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Oleh karena itu, perilaku seperti ini tidak dapat dikelompokkan sebagai perilaku budaya (cultural behavior), tetapi lebih mengarah pada hanya sekedar tindakan (actions) belaka. Jadi, ada perbedaan antara perilaku (behavior) dengan tindakan (action). Perilaku dilakukan secara berpola berdasarkan kesepakatan antara kelompoknya. Jadi perilaku cenderung direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, tindakan adalah sesuatu yang dilakukan secara reflex dan tidak ada kesepakatan sebelumnya dengan kelompoknya. Dengan demikian, tindakan cenderung tidak berpola dan tidak ada aturan sosila-budaya yang mengikatnya. Yang dimaksud sebagai perilaku abnormal di sini adalah perilaku yang kurang berpola, sehingga tidak memenuhi kepatutan yang berlaku di dalam masyarakat bersangkutan. Ketika anda, misalnya, sedang meneliti atau berinteraksi dengan kelompok etnis Bugis-Makassar anda menemukan seseorang --- yang karena lama berinteraksi dengan kelompok kebudayaan lain --- bertingkah laku lain daripada anggota masyarakatnya. Itulah yang dimaksud sebagai perilaku abnormal atau menyimpang (un-cultured). Seyang digunakan oleh R. F. Benediet (dalam Koentjaraningrat, 2003: 57). Menurut Abu Hamid (2003), etos adalah sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetik, serta suasana hati seseorang atau masyarakat. Etos berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpu pada nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola-pola tingkah laku dan rencana-rencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian terhadap alternatif pekerjaan baik atau buruk.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



22



orang Bugis, misalnya, yang ketika makan dengan kelompoknya tiba-tiba menggunakan sumpit atau garpu (seperti halnya dengan etnis Tionghoa dan orang Barat), perilaku makan tersebut dianggap tidak normal, karena bukan kebudayaan setempat. Pemakaian sumpit dalam aktifitas makan hanya dilakukan oleh pendukung kebudayaan Timur Jauh, Jepang, Cina, Korea dan sebagainya). Demikian pula dengan kebiasaan makan dengan menggunakan sendok atau garpu hanya berlaku bagi pendukung kebudayaan Barat. Sekali lagi saya tekankan di sini, bahwa orang Bugis akan mengalami kesulitan dalam menikmati makanannya ketika menggunakan peralatan makan lainnya, karena mereka hanya terbiasa dan diajarkan menikmati makanan dengan menggunakan tangan saja. Perlu juga saya jelaskan disini, bahwa cara makan dengan menggunakan tangan bagi orang Bugis dibedakan menjadi dua: tempu datu yaitu cara makan dengan menggunakan ujung jari jemari dan tempu leppang yaitu dengan menggunakan telapak tangan. Sendok (senru’) bagi orang Bugis hanya gunakan untuk mengambil makanan dari mangkuk sayur-mayur (sanru’) dan dari tempat nasi ke piring makannya (senro’ inanre) sendiri. Ketiga kata (senru’, sanru’ dan senro’) tesebut memiliki fungsi masung-masing. Sangat jelas disini, bahwa ketiga sendok di atas memang tidak digunakan untuk makan, tetapi untuk fungsifungsi tersendiri. Ketika seorang ahli budaya melukiskan sebuah peta kebudayaan (cultural maps), ia tertarik dalam pengkarakterisasian sifat sesungguhnya dan tidak akan pernah memperlihatkan kekecualian dalam sebuah aturan. Maksud dari sebuah peta budaya secara umum adalah menuntun dan mengarahkan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman manusia terhadap sebuah lokasi. Untuk melakukan hal ini peta harus akurat dan dibangun secara ilmiah. Sama halnya dengan keakuratan analisis dari sebuah peta kebudayaan (cultural map) yang memungkinkan manusia menemukan: 1) cara hidup di sekitar masyarakatnya, 2) mengantisipasi apa yang masyarakat akan lakukan dalam situasi tertentu dan 3) memahami keunikan upacara-upacara dan tradisi masyarakat yang bersangkutan. Jadi, peta kebudayaan yang dimakasud di sini adalah strategi atau ancangan hidup (way of life) dan/atau mekanisme adaptasi (copy mechanism) seperti yang diperkenalkan oleh Kottak (1991: 3). Dalam mendefinisikan perilaku budaya (cultural behavior) sebagai perilaku bersama ada beberapa hal yang harus dipahami. Sekalipun, ada beberapa jenis perilaku yang dimiliki bersama oleh semua orang, tetapi tidak semua harus dipelajari. Oleh karena itu, hal-hal yang tidak perlu dipelajari tersebut, tidak dapat dikategorikan sebagai perilaku budaya (cultural behavior). Ketika moncong senjata, misalnya, diarahkan pada muka beberapa orang, mereka akan bertindak refleks dan bola matanya memIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



23



belalak, karena ia sangat kaget. Ketika kilatan disertai dengan bunyi dentuman muncul dari moncong senjata yang ditodongkan tersebut, mereka akan refleks melompat atau menampakkan respon sangat terkejut. Atau, ketika kaki seseorang anda tendang tanpa sepengatahuan sebelumnya, dipastikan kakinya akan tersentak. Reaksi-reaksi seperti ini sifatnya respon refleks dan merupakan hasil dorongan insting manusia belaka untuk menyelamatkan dirinya. Hal itu dimiliki memang bersama, tetapi tidak melalui pembelajaran budaya (enculturation)10, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai perilaku budaya (cultural behavior). Seorang pemuda India, misalnya, memakai anting-anting tinggal di kelompok kebudayaan Bugis dianggap bukan sebagai perilaku kebudayaan, karena anting-ating tersebut tidak memiliki nilai di dalam kebudayaan orang Bugis. Sebaliknya, ketika pemuda India tersebut kembali ke negaranya, hal itu bisa dianggap sebagai perilaku budaya, karena anting-anting tersebut memiliki nilai dalam kebudayaan India. Menurut E. Adamson Hoebel (1972: 6), bahwa setiap masyarakat yang berbeda mempunyai kebudayaan yang berbeda pula. Hal ini mungkin sesuai dengan pepatah lain lubuk lain pula ikannya. Efek konsekuensinya, bahwa karakteristik perilaku dari anggota sebuah masyarakat dalam berbagai hal memperlihatkan perbedaan secara signifikan dari anggota kelompok masyarakat lainnya. Ilmu budaya memperlihatkan, bahwa perbedaan perilaku dari kelompok ras manusia lainnya, misalnya, merupakan produk spektakuler dari pengalaman budaya ketimbang dianggap sebagai suatu bentuk warisan budaya. Kepentingan konsep budaya dalam ilmu budaya begitu besar, sehingga banyak perilaku tidak dianggapnya sebagai sifat dan manifestasi dari perilaku manusia. Tanpa masyarakat sangat tidak mungkin ada kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan juga sangat tidak mungkin manusia mampu bertahan hidup, karena kebudayaan membangun kemampuan (capacity building) dalam menghadapi setiap tantangan hidup. Dalam istilah tradisional kebudayaan adalah alat pemecah masalah mendasar manusia (means for basic human problem), seperti: pemerolehan makanan, melindungi diri, melahirkan dan membesarkan generasi. Sangat tidak mungkin juga untuk mempelajari kebudayaan sebagai referensi masyarakat seperti yang dilakukan oleh seorang arkeolog dengan menganalisis efek-efek benda-benda budaya dari Belajar harus dibedakan dengan pelatihan. Belajar (learn) adalah proses dimana suatu mahluk menginternalisasikan berbagai macam pola kelakuan yang diperlukan untuk hidup. Bagi mahluk manusia proses belajar itu berarti juga proses sosialisasi dan proses enkulturasi disamping proses internalisasi (Koentjaraningrat, 2003:). Pelatihan adalah suatu proses untuk mengubah suatu bentuk kebiasaan (habit) menjadi kebiasaan lainnya untuk mencapai kesempurnaan. Pembelajaran umumnya mengarah pada pemahaman simbolsimbol (symbols), sedangkan pelatihan mengarah pada tanda-tanda (sign). 10



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



24



peradaban lama. Ilmu budaya membutuhkan data yang update, yang terjadi pada situasi dan konsidi saat itu. Harus dicatat, bahwa tanpa masyarakat memiliki seperangkat ide di dalam kepalanya, tanpa masyarakat dikembangkan oleh aturan dan nilai, sebuah kebudayaan tidak mungkin eksis. Jadi, manusia dan kebudayaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Ketika anda berada di suatu tempat yang cuacanya sangat dingin, yang pertama-tama anda pikirkan bagaimana tidak dingin. Secara reflek anda berfikir membuat api unggun atau perapian (cultural knowedge), mengumpulkan ranting kayu (cultural behavior) dan api menyala mengeluarkan hawa panas (cultural artifact). Jadi, apa yang anda pikirkan, apa yang anda lakukan dan apa yang anda hasilkan merupakan suatu usaha untuk menggunakan kebudayaan dan budaya yang anda miliki. Kebudayaan tersebut anda gunakan untuk mengantisipasi permasalahan yang sedang anda hadapi. Tindakan itu yang disebut sebagai kebudayaan (culture) dan anda sebagai pencipta kebudayaan (the creator of culture). B. Karakteristik Kebudayaan Selain konsep dan definisi di atas, Tylor melihat kebudayaan sebagai suatu kompleksitas utuh atau totalitas (a complex whole) yang tersusun dari bagian-bagian yang berbeda. Dengan demikian, kebudayaan saling terintegrasi dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Haviland (1993: 34-32) juga mencoba memberikan contoh integritas kebudayaan dalam Suku Kapauku di lrian Jaya. Ia mengatakan, bahwa untuk keperluan perbandingan dan analisis, ahli budaya biasanya menguraikan kebudayaan menjadi sejumlah bagian (unsur) yang kelihatannya berdiri sendiri-sendiri, tetapi pembedaan-pembedaan seperti itu bersifat sembarang (arbitrary). Ahli antropologi yang menyelidiki salah satu aspek kebudayaan selalu merasa perlu untuk juga menyelidiki aspek-aspek lainnya secara menyeluruh (holistis). Tendensi semua aspek kebudayaan untuk berfungsi sebagai kesatuan yang saling berhubungan disebut terintegrasi (integrated)11. Menurut Irianto (2005), bahwa integrasi lebih berupa suatu kesadaran dan bentuk pergaulan yang melibatkan berbagai kelompok dengan identitas masingmasing. Menurutnya ada dua jenis intergrasi: 1) integrasi yang terbentuk, jika ada kesamaan identitas (bahasa, budaya, politik dan agama) dan 2) integrasi yang lebih luas yang terbentuk apabila sekelompok orang menerobos identitasnya dan mengambil hal-hal yang selama ini dianggap membentuk karakter atau watak kelompoknya. 11



Lihat Kuran Timur (2007) bahwa, proses integrasi budaya dapat memicu ketegangan sosial, seperti tercermin dalam kampanye gerakan anti-globalisasi. Gerakan ini menimbulkan persepsi, bahwa pengaruh lintas budaya mendukung penyebaran satu budaya tertentu dengan mengorbankan orang lain.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



25



Haviland memperlihatkan integrasi budaya dari beberapa aspek: ekonomi, politik dan sosial dari masyarakat Kapauku. Ekonomi menurut persepsi orang Kapauku bersandar pada tumpangsari pembudidayaan tanaman dengan penangkaran babi (agrosylvopastural systems) berburu dan menangkap ikan (fish pond). Meskipun pembudidayaan tanaman menghasilkan sebagian besar pangan penduduk, tetapi melalui penangkaran babilah orang mendapat pengaruh politik dan kedudukan sebagai penguasa legal. Pada orang Kapauku, penangkaran babi adalah urusan yang kompleks, karena membutuhkan banyak pakan ternak, terutama ubi rambat, yang ditanam di kebun. Beberapa kegiatan perkebunan tertentu hanya dilakukan oleh wanita disamping memelihara babi. Dengan demikian, untuk memelihara banyak babi harus ada banyak wanita di dalam sebuah rumah tangga. Akibatnya, beristri banyak (poligini) bagi laki-laki Kapauku tidak hanya diperbolehkan, tetapi sangat diingini oleh mereka. Meskipun demikian, kaum laki-laki Kapauku mempunyai kewajiban untuk membayar harga mempelai (bride price) yang mahal sekali. Selain itu, istri-istri mereka juga harus diberi imbalan dalam memelihara babi. Jadi, seorang laki-laki Kapauku perlu memiliki banyak babi sebagai ukuran kekayaan dalam memperoleh banyak istri. Istri-istri mereka tersebut akan menjadi angkatan kerja dalam memelihara babi. Dengan demikian, perubahan pada satu bagian atau lini dalam kebudayaan akan mengubah hubungan bagian-bagian lainnya dan akan mempengaruhi keseluruhan sistem yang bersangkutan. Oleh karena itu, kebudayaan tidak bisa hanya dilihat dari salah satu sudut pandang (paradigm)12 saja, karena kebudayaan merupakan suatu bentuk totalitas dari bagianbagian berikut ini: 1. Kebudayaan sebagai Suatu Sistem Apabila kebudayaan dipandang sebagai suatu bentuk totalitas dari kompleksitas sistem-sistem dari budaya yang lainnya, klasifikasi kebudayaan dapat dilakukan dalam bentuk kategori-kategori tertentu. Sistem menurut Koentjaraningrat (2003: 218) adalah rangkaian hal, kejadian, gejala atau unsur yang berkaitan satu dengan lain, sehingga merupakan kesatuan organis yang tidak dapat dipisahkan. Jadi, sistem budaya adalah kesatuan unsur-unsur budaya yang tidak dapat dipisah-pisah. Sistem budaya (cultural system) adalah rangkaian gagasan, konsepsi dan norma-norma adat-isti12



Istilah paradigma pertama kali digunakan oleh Thomas Kuhn (1922-96) dalam buku The Structure Of Scientific Revolution tahun 1962 untuk merujuk pada kerangka teoretis di mana semua pemikiran dan praktik ilmiah beroperasi. Paradigma adalah persepsi atau pandangan intelektual, yang diterima oleh individu atau masyarakat sebagai contoh, model, atau pola yang jelas tentang bagaimana segala sesuatu bekerja di dunia



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



26



adat yang menata tingkah laku manusia dalam masyarakat dan merupakan wujud ideologis sebuah kebudayaan. Untuk melakukan klasifikasi tersebut, terdapat dua jenis pendekatan sebagai pisau-pisau analisis, yaitu: pendekatan analitis dan pendekatan sintetis. Pendekatan analitis digunakan dalam menelaah seluruh sistem kebudayaan, sebagai suatu totalitas yang terintegrasi dan terpola. Sistem kebudayaan tersebut kemudian dipilah-pilah menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang disebut sebagai ciri kebudayaan (cultural trait)13. Sebagai contoh, cincin yang melekat di jari anda merupakan suatu bentuk unit yang kecil. Cincin tersebut harus dikaitkan dengan suatu pola yang lebih luas. Nah, untuk memahami makna yang terkandung di dalam sebuah cincin, anda perlu mengetahui beberapa hal berikut ini: teknologi pembuatannya, pola-pola ekonomis yang terkandung di dalam kebudayaan di mana cincin itu dihasilkan dan digunakan, nilai-nilai material (bahan-bahan) dalam menghasilkan cincin tersebut, faktor yang menentukan nilai-nilai tersebut dan hubungan-hubungan tertentu yang disimbolkan dalam cincin tersebut, seperti; ikatan pernikahan (marriage contracts), perubahan status (rite of the passage) yang menyimbolkan tamatnya seseorang dari suatu perguruan tinggi dan/atau tergabungnya seseorang (agregation) dalam suatu organisasi tertentu. Contoh lain adalah satu unit mobil, dimana mobil tersebut terbuat dari beberapa komponen dan sistem-sistem. Sebuah sistem dalam mobil tersebut saling mendukung satu dengan yang lainnya, sehingga interkoneksitas antara satu unsur atau sistem sangat mutlak adanya. Sistem suplai energi listrik, misalnya, sangat dibutuhkan dalam pembakaran bahan bakar dan menyalakan lampu-lampu atau unsur-unsur lain yang memerlukan arus listrik. Sistem listrik tersebut harus terkoneksi dengan baik mulai dari aki, masuk ke ketot (get out) kemudian ke delku dan terakhir masuk ke busi atau injeksi mobil. Demikian pula dengan sistem sirkulasi udara melalui filter udara dan sistem sirkulasi air melalui radiator juga mutlak diperlukan untuk menjaga keseimbangan panas mesin mobil. Sistem resonansi tekanan udara yang membantu proses pembakaran bahan bakar, yang diatur melalui pengaturan sistem pembuangan dan pemasukan udara melalui klep atau katup (valve) perapian dan klep atau katup pembuangan udara juga harus seimbang. Pembuangan udara yang lebih besar akan menyebabkan pembakaran bahan bakar kurang lancar. Sebaliknya, pembuangan yang sedikit akan mengganggu pembakaran, karena resistensi 13



Lihat Smith (1990: 65), bahwa cultural traits are the elements of culture whiht may be material or non-material. In the Culture area approach and in theories of Diffusion and Cross-Cultural Comparison the concept of the culture trait has been of central importance. Traits are conceived of as isolatable elements not necessatily linked to one another, though many theories of diffusion and culture pattem do in fact postulate functional interrelationships between such traits.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



27



udara di dalam ruang-ruang pembakaran bahan bakar menjadi berkurang. Apabila sistem pembuangan dan pemasukan udara dalam mesin mobil tidak seimbang, mesin mobil dipastikan tidak akan bisa bunyi. Jadi, sangat jelas di sini, bahwa sistem-sistem dalam satu unit mobil saling mendukung satu sama lainnya, termasuk sistem-sistem pendukung lainnya. Jadi, apabila sistem pengapian (aki, get out, delku dan busi) tidak seimbang dengan sistem suplai bahan bakar (tanki bensin, filter bahan bakar dan kaburator), mesin mobil tersebut sebagai kumpulan dari berbagai sistem dipastikan tidak bisa bunyi. Pendekatan sintetis, sebaliknya menaruh perhatian pada penyelidikan bagaimana ciri-ciri kebudayaan itu dibangun menjadi pola-pola yang lebih luas. Ciri-ciri yang berkaitan, mirip dan sama dikelompokkan dalam suatu level yang lebih tinggi untuk membentuk suatu kompleks ciri pembeda (distinctive feature). Kompleks-kompleks ciri tersebut dikelompokkan untuk membentuk kategori-kategori lebih luas yang disebut konfigurasi (configuration), yang membentuk pola-pola umum dan ciri khas dari suatu kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2003: 126), bahwa konfigurasi kebudayaan adalah gambaran menyeluruh yang menggambarkan tentang watak suatu kebudayaan. Sedangkan menurut Smith (1990: 50), bahwa teori konfigurasi atau teori Gestalt adalah teori persepsi dan pemikiran psikologis yang menekankan pentingnya konsistensi dan keutuhan konfigurasi mental. Penekanannya pada integrasi pemikiran dan persepsi mempengaruhi perkembangan teori budaya dan kepribadian. Tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan teori ini adalah Sapir dan F. Benedict. Konsep pola budaya terkait erat dengan konsep konfigurasi oleh Kluckhohn. Pemilahan kebudayaan dalam bentuk unit-unit kecil atau membangun pola-pola kebudayaan berdasarkan ciri-ciri tertentu tidak mudah dilakukan seperti yang dibayangkan. Oleh karena itu, cara yang lebih praktis adalah memandang kebudayaan sebagai susunan dua konfigurasi atau komponen besar yang saling berhubungan yakni kebudayaan material (cultural materealisms) dan kebudayaan non-material (cultural cognition). Keduanya terdiri atas tiga komponen: 1) komponen kognitif meliputi sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan, 2) komponen normatif meliputi sistem norma dan sistem nilai dan 3) komponen simbolik meliputi sistem tanda dan sistem bahasa. Ketiga bentuk komponen di atas dapat dikategorikan sebagai sebuah sistem yang terkonfigurasi dan terintegrasi satu dengan yang lainnya. Komponen kognitif berupa sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan tidak bisa dipisahkan dengan komponen normatif yang berisi sistem nilai dan norma. Sistem nilai dan system normalah yang menjadi penentu antara yang patut dan yang tidaknya patut perilaku dan tindakan. Komponen Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



28



simbolik yang dijewatahkan melalui sistem bahasa dan tanda digunakan untuk mengkongkritkan dan mengkoseptualisasikan komponen kognitif dan normatif yang sifanya abstrak. 2. Kebudayaan Sebagai Komponen Kognitif Kebudayaan sebagai suatu bentuk kognisi (Koentjaraningrat, 2003: 123) adalah proses di mana suatu organisme menjadi sadar atau memperoleh pengetahuan mengenai suatu objek. Proses ini mencakup proses melihat (perceiving), mengenali (recognizing), mengerti (conceiving), menimbang (judging) dan menyimpulkan (reasoning). Dengan demikian, kebudayaan sangat membantu manusia untuk mengembangkan pengetahuan dan kepercayaan tertentu yang berkenaan dengan lingkungan sekitarnya. Sistem pengetahuan budaya (cultural knowledge system) yang tersimpan di dalam kognisi manusia dapat berupa kompleks ide-ide, gagasan-gagasan dan fakta-fakta tentang dunia fisik dan sosial yang bersifat relatif, objektif, sehingga dapat diverifikasi. Sistem pengetahuan dapat diterjemahkan menjadi teknologi, yang dipakai untuk mengontrol lingkungan alam dan memecahkan problem-problem sosial. Salah satu sistem pengetahuan, yaitu sistem religi dan kepercayaan cendenrung tidak dapat diverifikasi harus diabstraksikan di dalam perilaku keagamaan (religious behavior). Dogmatik (Koentjaraningrat, 2003: 45) studi mengenai ajaran keyakinan keagamaan, yang tidak boleh dipersoalkan lagi. Lihat juga Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) dogmatisme adalah sifat mengikuti atau menjabarkan suatu ajaran tanpa kritik samasekali. Sistem pengetahuan lokal (local knowledge system) adalah sekumpulan pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui pengalaman selama ia berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Adimihardja (2004), bahwa komponen dari sistem pengetahuan lokal (local knowledge) cukup memberikan arti dan inspirasi terhadap pengembangan suatu konsep baru yang membahas tentang arus kebutuhan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian, keberadaan sistem pengetahuan lokal dapat memperbesar kemungkinan timbulnya sebuah proses yang efektif dan manusiawi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membuat kehidupan masyarakat di pedesaan lebih signifikan kedepan. Warren (dalam Adimiharja, 1999 dan 2004) juga menggambarkan betapa besarnya peran yang harus dimainkan oleh sistem pengetahuan lokal dalam melengkapi ilmu pengetahuan (science), khususnya dalam memecahkan masalah-masalah sosial budaya (sosio-cultural). Sebagai bagian dari budaya, sistem pengetahuan lokal berisi seperangkat ekspresi budaya yang khusus, yang di dalamnya terdapat urutan nilai (value order), etika (ethic), norma-norma (norms), aturan (rules) dan kemampuan masyarakat (skills of society), yang bermanfaat dalam pemenuhan tuntutan kebutuhan hidupnya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



29



(pangan, kesehatan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beberapa aktivitas sosial masyarakat pedesaan lainnya). Gadgil (Mitchell, 2000: 298) membuktikan bagaimana ampuhnya sistem pengetahuan lokal, yang terakumulasi dan mempunyai peran sangat besar sepanjang sejarah hidup manusia. Pandangan, bahwa manusia merupakan bagian terintegrasi dari alam dan sistem kepercayaannya lebih banyak memberikan penekanan pada penghormatan terhadap keseimbangan lingkungan alam (environtmental equilibrium) dengan manusia yang hidup di sekitarnya. Hal ini tentunya sangat bernilai positif, khususnya dalam prospek kehidupan umat manusia kedepan. Warren (dalam Adimiharja, 1999 dan 2004), lebih lanjut menggambarkan bagaimana eksistensi dari sistem pengetahuan lokal yang sarat muatan urutan nilai (value order), etika (ethic), norma-norma (norms), aturan (rules) dan kemampuan masyarakat (skills of society), yang dalam aplikasinya lebih banyak mengarah pada unsur-unsur lain, sehingga dapat dipandang sebagai suatu alat pemecah masalah budaya (cultural problem solving) yang ampuh. Gadgil (dalam Mitchell, 2000: 298) juga menunjukkan betapa ampuhnya sistem pengetahuan lokal yang terakumulasi di dalam sistem kearifan lokal dalam sejarah kehidupan manusia. Kearifan lokal (local wisdoms) menurut Gising (2005: 13) adalah sebuah pola dan cara berfikir dalam setiap tindakan yang didasarkan pada pertimbangan nilai (values) dan kepentingan (interest), sehingga hasil pemikiran dan tindakan tersebut berisi keadilan (justice) dan pencarian jati diri umat manusia. Babcock (Salle, 1999: 91) kearifan merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama. Demikian pula menurut Arzaki (2001: 16) kearifan tradisional atau kearifan budaya lokal adalah semua keahlian-keahlian dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tradisional untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungannya dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis. Kearifa lokal (local knowledege system) memandang manusia sebagai sesuatu yang terintegrasi dengan alam lingkungan dan sistem kepercayaan mereka. Manusia tidak dipandang terpisah dari lingkungannya, seperti halnya yang dipahami dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (science). Ini menunjukkan, bahwa sistem pengetahuan lokal yang memperhatikan keseimbangan lingkungan alam sangat bermanfaat, baik dalam pengembangan lingkungan lestari (sustainable of environment) maupun penggunaan sumberdaya secara berkelanjutan di Indonesia. Bahkan, menurut Fritjof Capra (1991), bahwa masyarakat indigenus cenderung melihat hubungan antara manusia dengan alam melalui tiga tingkatan atau dimensi secara Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



30



holistis: pikiran (kognisi), tubuh (fisik) dan lingkungan (alam). Pandangan ini sangat bertentangan dengan perspektif dunia ilmu pengetahuan dan dunia Barat, karena landasan pokoknya adalah fisika klasik. Fisika klasik memandang manusia sebagai sesuatu yang terpisah dari lingkungannya. Fisika klasik selalu memandang sesuatu dalam keadaan hitam dan putih (positivism), harus empirisme, terstruktur dan sebagainya. Sedangkan pemikiran masyarakat Timur, menurut Capra, lebih berorientasi pada fisika kuantum. Fisika kuantum melihat segala sesuatu secara global, terintegrasi, tidak terlalu logis, bahkan mistik sekalipun. Fisika kuantum selalu berusaha, agar sesuatu yang bertentangan sedapat mungkin dapat hidup atau berjalan bersama-sama. Pendapat ini diperkuat oleh Sutton dan Anderson (2004: 1-2), bahwa dalam empat atau lima juta tahun sejak perkembangan mereka, manusia telah terjajah secara praktis di setiap lingkungan terestrial di planet ini. Manusia di setiap tempat hampir sama secara biologis, tetapi telah mampu berevolusi ke keragaman lingkungan bumi yang luar biasa melalui budaya. Manusia mampu melakukan mekanisme yang sangat fleksibel dan adaptif yang tidak dimiliki oleh hewan lain. Dengan demikian, manusia adalah spesies yang sangat sukses. Aktivitas manusia memiliki berbagai dampak terhadap lingkungan, namun sangat kecil hingga katastropik. Sekarang, aktivitas manusia memiliki dampak besar pada lingkungan tempat kita manusia bergantung, pada akhirnya mengancam eksistensi diri sendiri. Memahami dan menangani tantangan ini merupakan tugas yang menakutkan, tetapi penting. Menurut Sutton dan Anderson lebih lanjut, bahwa masyarakat Barat cenderung berpandangan, bahwa manusia di atasnya dalam beberapa hal terpisah dari lingkungan (lihat kembali pandang Fritjof Capra). Pandangan ini dapat ditelusuri kembali ke Alkitab, yang memberi tahu kepada kita, bahwa dunia (lingkungan) diciptakan pertama dan kemudian manusia diciptakan dan diberi tugas menundukkan alam. Budaya lain memiliki kisah serupa. Filosofi Western berpandangan, bahwa hidup adalah tujuan dan misi orang untuk menaklukkan alam. Jadi, banyak orang saat ini masih percaya, bahwa manusia bukan bagian dari lingkungan, tetapi manusia harus mengatasinya dan mengarahkannya sesuai kehendak mereka. Seseorang dapat berargumen, bahwa banyak masyarakat tradisional (non-Western) adalah budaya yang tidak terindustrialisasi. Masyarakat tradisional kadang-kadang dipandang setaraf dengan ahli ekologi, yang selalu ingin hidup selaras dengan lingkungan mereka. Memang benar, bahwa kegiatan di banyak masyarakat memiliki dampak yang lebih kecil terhadap lingkungan daripada kegiatan orang lain (Barat). Juga benar, bahwa beberapa kelompok ini memiliki filsafat kehidupan (way of life) yang lebih ramah lingkungan daripada orang Barat secara keseluruhan. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



31



Pandangan Anderson di atas cukup menggambarkan betapa pentingnya sistem pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat indigenus untuk dikembangkan dan digunakan dalam menangani segala bentuk permasalahan sosial dan budaya. Saya teringat kembali pesan Ammatowa kepada saya sebagai anaknya (ana’ ada’a), bahwa ako ammanrakii anjo boronga anak. Saba’ punna lanupanraki nupanraki kalennu, sanggenna tuhusannu, artinya ‘jangan engkau merusak hutan, karena engkau merusak dirimu sendiri hingga pada anak cucumu kelak’. Itulah sebabnya, mengapa orang Kajang mampu melestarikan hutannya hingga saat ini. 3. Kebudayaan Sebagai Komponen Normatif Setiap kebudayaan memiliki idenya sendiri, baik apa yang penting di dunia maupun bagaimana manusia seharusnya bertindak. Komponen normatif dari sebuah kebudayaan terdiri atas; aturan-aturan (rules), normanorma (norms) dan nilai-nilai (values). Nilai adalah ide tentang sesuatu yang baik, diharapkan dan/atau yang penting. Ide-ide tersebut merupakan basis pembentukan norma-norma sosial, yakni peraturan-peraturan tentang bagaimana orang hendaknya berperilaku. Jadi, nilai adalah ide umum yang mendukung keabsahan dari sebuah norma. Sistem nilai dan sistem norma dalam suatu kebudayaan dapat berbeda dengan yang lainnya, karena sifatnya yang subjektif dan konvenional. Subyektif artinya sistem nilai dan sistem norma tersebut berlaku dalam masyarakat tertentu sebagai penciptanya (the creator of culture). Sedangkan, sifatnya konvensional, karena sistem nilai dan sistem norma tersebut disepakati bersama oleh para pendukung suatu kebudayaan (natives). Oleh karena itu, kadang-kadang sebuah sistem nilai dan norma pada suatu masyarakat dapat dianggap baik, namun pada masyarakat lainnya dianggap biasa saja, bahkan kadang-kadang dianggap sangat buruk. Kawin lari (sebo) menurut Raba (2002: 222) dalam kebudayaan orang Sasak di Propinsi Nusa Tenggera Barat dianggap biasa-biasa saja. Sebaliknya menurut Gising (2018), kawin lari pada suku Bugis-Makassar dapat dianggap sesuatu yang sangat buruk, karena menyangkut harga diri (siri'). Menurut Abu Hamid dkk. (2003: ix), bahwa enkulturasi dan sosialisasi siri' melekat pada pribadi tiap individu, turut memperkembangkan ego secara ekstensif, sehingga individu itu dapat mengendalikan dirinya terhadap situasi tertentu. Proses penjiwaan dari nilai-nilai tersebut akhirnya menjadi superego14. Siri' bukan pandangan hidup, melainkan stabilisator pandangan hidup yang senantiasa menginginkan harmonisasi sistem di dalam berbagai macam interaksi. Siri'yang sudah melekat pada pribadi, memang dari satu 14



Lihat Freud (1953) dalam bukunya Introductory Lectures on Psychoanalysis, bahwa manusia memiliki tiga dimensi di dalam dirinya: id (kebutuhan), ego (pemenuhan kebutuhan) dan super-ego (pedoman penilaian).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



32



sisi mengandung nilai-nilai umum, sedangkan di sisi lain mengandung nilai-nilai khusus. Kedua macam nilai ini berada dalam sistem budaya, secara bersama dengan gagasan-gagasan vital, ide dan konsep-konsep memberi bimbingan tehadap tingkah laku individu sebagai anggota masyarakat (dalam sistem sosial). Demikian pula dengan individualisme di Negara Barat sangat dijunjung tinggi, tetapi di Timur dipandang tidak baik, karena acuan sistem nilai dan norma dari kedua bangsa tersebut memang sangat berbeda. Sistem nilai dan sistem norma yang menjadi komponen normatif dari sebuah kebudayaan dapat mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman. Konsep welang mpelang (anak gadis) orang Bugis pada masa lalu memiliki nilai yang sangat tinggi dan selalu harus dijunjung tinggi. Oleh karena itu, untuk menjaga nilai tersebut pendelegasian wewenang yang diberikan oleh orang tua si gadis kepada tomasiri (kerabat dekat) yang dihitung berdasarkan sistem kekerabatan. Tomasiri inilah yang menjadi penegak siri’ (harkat dan martabat) keluarga. Tomasiri diberi wewenang untuk bertindak bila sesuatu menimpa seorang gadisnya. Tomasiri pada umumnya berupa kaum laki-laki: 1) dari keluarga batih (saudara kandung ego, paman dari pihak ibu dan bapak ego), 2) keluarga dekat (sepupu laki-laki dari pihak ibu dan bapak ego) dan 3) keluarga jauh (sekampung, seasal, satu leluhur dan sebagainya). Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada sesi mekanisme perubahan kebudayaan pada Bab III nanti. Komponen normatif dalam sebuah masyarakat disepakati dan dibuat sedemikian rupa, sehingga sifatnya sakral dan mengikat untuk semua masyarakat pendukungnya melalui pranata sosial (social institutions). Keseluruhan masyarakat pendukungnya harus tunduk dan mengakui aturan yang mengikat mereka tersebut, sehingga pelanggaran akan dikenakan sangksi ringan, sedang dan berat. Masyarakat adat Kajang di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, misalnya, menerapkan sebuah aturan adat yang ketat (ada' tanayya) yang mengikat seluruh tindakan dan perilaku masyarakatnya. Setiap pelanggaran akan dibawa ke meja peradilan adat (abborong ada'a) dipimpin langsung oleh Ammatowa selaku pemimpin adat tertinggi didampingi oleh beberapa pemangku adatnya. Setiap pelanggaran akan dikenakan denda (passala), yang diasosiasikan dengan cambuk (habbala’). Ukuran lingkaran cambuk tersebut berbeda dari pangkal hingga ujungnya. Dengan demikian, orang Kajang menyetarakan bentuk sangksi atau denda dengan bagian cambuk tersebut. Pelanggaran berat dikenakan denda disosiasikan dengan pangkal cambuk (poko' habbala'). Pelanggaran sedang diasosiasikan dengan tengah cambuk (tangnga habbala'). Pelanggaran ringan diasosiasikan dengan ujung cambuk (cappa' habbala'). Sanksi adat lainnya yaitu: 1) lanigelli, artinya tersangka diberi hukuman masyarakat dengan mengucilkannya dari Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



33



pergaulan dan interaksi sosial di dalam wilayah adat Kajang, 2) lanipaoppani tana, artinya diusir dari lingkungan adat Kajang. Demikian pula di wilayah adat Cikoang sangat ketat dengan penggaran adat yang terjadi. Salah satu bentuk pelanggaran berat di Cikoang adalah penikahan antara seorang syarifah (gelar seorang perempuan turunan Sayyid) dengan non-sayyid (orang biasa). Pelanggarnya akan diusir dari wilayah adat Cikoang dan dihapus dari silsilah Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih alAidit. Ia adalah seorang ulama besar dari Aceh, yang membawa Islam ke Gowa dan Cikoang. 4. Kebudayaan Sebagai Komponen Simbolik Istilah simbol atau simbolisme menjadi subyek dalam berbagai kegunaan dan interpretasi di dalam ilmu budaya. Para ahli budaya disatukan dalam sebuah kajian khusus yaitu semiotika. Ada beberapa cabang ilmu budaya yang menaruh perhatianya dalam analisis hubungan antara arti (semantics) dengan kebudayaan (culture). Antropologi simbolisme, misalnya, yang diprakarsai oleh kaum strukturalis Levi-Strauss, antropologi kognitif D. Schneider, antropologi interpretatif Clifford Geertz dan antropologi sosial Victor W. Turner sangat menaruh perhatiannya pada masalah simbolsimbol budaya. Studi kontemporer simbolisme dalam ilmu budaya melibatkan berbagai disiplin: termasuk linguistik dan sosiolinguistik, musikologi oleh Goffman (1967), studi folklor, kritik sastra dan semiotik atau semiologi. Perhatian dari pendekatan-pendekatan tersebut umumnya berkenaan dengan arti (meaning) dan komunikasi (communications). Victor W. Turner (1967) dan Mary Douglas (1966), misalnya, yang merintis studi simbol dalam tindakan mengacu pada hubungan antara simbol (symbol) dan tanda (sign). Pendekatan seperti ini terfokus pada hubungan alamiah antara tanda (signs), simbol (symbols), dunia tindakan (action) dan pengalaman (experience). Oleh karena, Turner lebih memandang simbol sebagai bahagian dari proses social. Ia cenderung membedakan antara tanda (sign) dan simbol (symbol). Keduanya menurut Turner mengacu pada hubungan indeksikal dengan dunia, kemudian mengacu pada hubungan ikonik dengan kedalaman pengalaman (inner experience). Perbedaan antara indeks dengan ikon selanjutnya, yang digunakan oleh Turner equivalen dengan perbedaan antara metonimi (metonimy) dan metafora. Pada awalnya, keduanya berupa substitusi yang simple, namun kemudian menjadi sebuah representasi yang kompleks. Meskipun demikian, penggunaan istilah indeks, ikon, metonimi dan metafor penggunaannya bervariasi dari satu ahli ke ahli lainnya. Hal ini tentu saja, pada akhirnya dapat menimbulkan kebingungan, bila kegunaannya tidak ditentukan sebelumnya. Pandangan Clifford Geertz (1992: 3), bahwa kebudayaan sebagai suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



34



simbol-simbol membuktikan, bahwa kebudayaan adalah sebuah sistem simbol. Simbol atau simbolisme pada prinsipnya merupakan suatu bentuk ciptaan manusia secara universal. Dengan demikian, symbol dapat dikatakan sebagai cuplikan dari kehidupan sosial mereka (Firth, 1989: 15 dan 50). Firth lebih lanjut membagi simbol ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) extrinsic atau arbitrary symbols yang digunakan di dalam dunia ilmu pengetahuan, 2) intrinsic atau descriptive symbols yang digunakan di dalam seni dan agama, serta 3) insight symbols yang merupakan bagian penting dari poin dua. Simbol ini tidak hanya merepresentasi karakter hubungan seni dan agama dengan manusia, tetapi juga mampu memberi tuntunan untuk mengetahui hubungan tersebut, seperti dalam karya sastra (apresiasi) dan agama (fanatisme). Kebudayaan sebagai suatu sistem simbol pemaknaannya dapat dilakukan melalui dua sisi atau aspek. Aspek pertama yaitu pemahaman aspek kognitif, yang di dalamnya tercakup sistem kepercayaan dan/atau sistem pengetahuan. Hal ini memungkinkan para penganut suatu kebudayaan mampu melihat dunianya (world view), bahkan dirinya sendiri sekalipun sebagai pendukung kebudayaannya. Dengan demikian, aspek kognitif ini menentukan orientasi atau etos kebudayaan sekelompok orang terhadap tempat hidupnya. Etos kebudayaan (cultural ethos) adalah sifat, nilai dan adat istiadat khas yang memberi watak kepada kebudayaan suatu golongan sosial dalam masyarakat. Etos dapat juga berarti pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial. Sinonim dengan etos adalah konfigurasi (patterns of culture) yang digunakan oleh R. F. Benediet (Koentjaraningrat, 2003: 57). Menurut Abu Hamid (2003), bahwa etos adalah sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetik, serta suasana hati seseorang atau masyarakat. Etos berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpu pada nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola-pola tingkah laku dan rencanarencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian terhadap alternatif kerja, apakah pekerjaan itu dianggap baik atau buruk. Etos kerja bisa diartikan sebagai suatu sikap dan kehendak secara sukarela, tanpa dipaksa dan didorong oleh adanya keuntungan dan harapan. Etos berhubungan erat dengan moralitas, meskipun tidak identik. Sikap moral mengarah pada orientasi terhadap norma-norma yang harus ditaati. Sedangkan etos kerja adalah sikap kehendak yang diperlukan untuk kegiatan tertentu. Menurut Sinamo (2011: 26) etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Demikian pula Panji Anaraga (2001: 29), etos kerja adalah pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Oleh karena itu, menimbulkan pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai suatu yang luhur, sehingga diperlukan dorongan atau motiIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



35



vasi. Dengan definisi yang hampir sama Madjid (2000: 410) menyatakan, etos kerja adalah karakteristik dan sikap, kebiasaan, serta kepercayaan dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang seseorang indi-vidu atau sekelompok manusia. Selain aspek kognitif tersebut juga terdapat aspek kuantum kebudayaan (overt culture) dalam bentuk evaluatif dari sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan tertentu. Aspek tersebut ditransformasikan menjadi nilai-nilai, yang pada gilirannya akan terkonfigurasi dan mengkristal menjadi sistem nilai (value system). Sistem nilai inilah yang menentukan sikap yang akan diambil atau diputuskan oleh seseorang terhadap perihal kehidupannya menurut sistem makna atau sistem kognitif yang dianutnya. Leslie A. White (dalam Bohannan, 1988: 335) mengatakan, bahwa sejak dunia ini ada, sejak itu pula kehidupan manusia dan kebudayaan mulai ada. Kebudayaan sendiri sangat tergantung pada simbol-simbol, karena kebudayaan tidak dapat eksis tanpa kemampuan manusia (pencipta dan pengguna) untuk menyimbolkannya. Salah satu wujud dari kebudayaan adalah perilaku budaya (cultural behavior) yang dijewantahkan melalui perilaku simbolik (simbolic behavior) yang dimiliki manusia. Jadi, kebudayaan dan simbol sifatnya mutualisme. Oleh karena itu, keseluruhan tingkah laku budaya manusia tercermin di dalam penggunaan simbol-simbol. Dengan demikian, dapat pula dikatakan, bahwa keseluruhan peradaban di muka bumi ini juga dihasilkan dan timbul melalui penggunanaan simbolsimbol. Menurut White lebih lanjut, simbol adalah sebuah fenomena yang mengandung pengertian yang secara konvensional diberikan oleh sekelompok manusia yang membutuhkannya. Jadi, pemaknaan simbol-simbol budaya adalah konvensional sifatnya. Tanpa simbol-simbol tersebut manusia dengan sendirinya tidak dapat disebut sebagai binatang berfikir (the thinking animals). Bahkan, menurut White, hanya simbollah yang mentransformasikan nenek moyang kita menjadi manusia. Adalah simbol pula yang mentransformasi seorang anak homosapiensis menjadi manusia (human being). Seorang anak tunarungu, misalnya, yang tumbuh dengan tanpa menggunakan simbol-simbol adalah bukan manusia, karena tidak mampu mengkomunikasikan dirinya kepada orang lain. Leslie A. White (dalam Poerwanto, 2000: 60) mengatakan, pangkal dari semua tingkah laku manusia tercermin pada simbol-simbol yang tertuang dalam seni, religi, kekuasaan dan bahasa. Sementara itu, kebudayaan juga merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas. Berdasarkan pada kerangka pemikiran tersebut jelas, bahwa kebudayaan dapat dianggap sebagai suatu sistem yang melingkupi kehidupan manusia pendukungnya. Kebudayaan merupakan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



36



suatu faktor yang menjadi dasar tingkah laku manusia, baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya. Oleh karena itu, mutu suatu lingkungan fisik atau lingkungan sosial mencerminkan kualitas kehidupan sosial masyarakat para pendukung kebudayaan tersebut. Aspek simbolis yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa, yang merupakan refleksi obyek kebendaan yang dilukiskan melalui; bunyi, fonem, kata-kata dan kalimat. Stanley Salthe (1972: 402) menegaskan, bahwa bahasa simbolis adalah fundamen tempat kebudayaan manusia dibangun. Dengan demikian, pranata-pranata kebudayaan (struktur politik, agama, kesenian, organisasi ekonomi) tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang. Keseluruhan komponen budaya --- sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai --- tidak dapat diketahui tanpa adanya simbol-simbol budaya tersebut. Simbol-simbol tersebut dapat berupa bahasa lisan (oral language), gerak-isyarat (gesture language) dan hal-hal lain yang mempunyai arti. Menurut Edward Sapir (1931: 578-584), bahwa bahasa merupakan salah satu wahana manusia untuk menyampaikan gagasan, emosi dan keinginannya dalam bentuk sistem lambang yang diciptakan secara sukarela (arbitrair) dan persepakatan (convention). Melalui bahasa manusia mampu meneruskan kebudayaannya dari generasi ke generasi (enculturation). Simbol berduka bagi orang Jakarta, misalnya, disepakati melalui pengibaran bendera warna kuning, orang Bugis dengan bendera putih, suku lain dengan warna hitam atau mungkin dengan warna merah. Hal ini merupakan suatu bentuk enkulturasi simbol berduka dari nenek moyang mereka. Dengan demikian, jarang sekali terjadi orang Jakarta mengibarkan bendera putih atau orang Bugis dengan bendera kuning, ketika mereka sedang berduka. Pemilihan warna bendera duka tersebut tentu saja tidak dengan semena-mena, melainkan lebih mengakar pada filosofi kelompok etnis yang bersangkutan. Orang Bugis, misalnya, yang menganggap kematian seorang manusia adalah kembali kefitrahnya yang suci, karena umumnya dikafani ketika meninggal. Ini merupakan salah satu bukti hubungan antara simbol dengan falsafah hidup (way of Life) atau kosmologi orang Bugis tersebut. Konsep lesu’i ripammasena puangnge (kembali kehariabaan-Nya) merefleksikan, ego kembali menghadap ke Tuhannya dengan keadaan putih bersih (fitrah). Sedangkan orang Jakarta beraggapan bahwa orang yang meninggal, karena di dalam tubunya tidak ada lagi udara. Udara tersebut disejajarkan dengan warna kuning. Dasar konsepsi orang Jakarta tentang kejadian manusia adalah ruh (nyawa), yang setara dengan nyawa. Ferdinand de Saussure (1988: 73-95) mencoba melihat hubungan antara bahasa sebagai simbol dengan kebudayaan yang disimbolkannya. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



37



Menurut Saussure, tuturan manusia dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1) Language yang memiliki segi individual dan sosial, 2) langue yang direkam individu secara pasif dan 3) parole yaitu suatu tindak individual terdiri atas; a) kombinasi-kombinasi kode bahasa (language code) yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya dan b) mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan penutur untuk mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. Saussure (1988: 11-16) dalam analisisnya menggunakan tiga hal: sign, signifie dan significant. Signifie (penanda) merupakan bagian lain dari bahasa berupa konsep. Saussure sendiri tidak merinci lebih jauh tentang apa yang disebutnya konsep, kecuali menyatakan, konsep itu lebih abstrak daripada citra akustis sign (tanda). Konsep bersifat pembeda semata-mata dan secara langsung bergantung pada citra bunyi yang berkaitan. Itulah sebabnya menurut Saussure, tanda bahasa (sign) mempunyai dua muka atau unsur yang tidak dapat dipisahkan yaitu signifie (yang menandai atau petanda) dan citra akustis signifiant (yang ditandai). Perbedaan antara sign dan symbol merupakan suatu bentuk kontroversi. Dalam istilah C. S. Peirce (1980), yang digunakan dalam semiotika, indeks, ikon dan simbol adalah mencakup sign. Sementara simbol dapat dibedakan dari yang lainya melalui fakta, bahwa hubungan antara signifier dan signified murni sifatnya manasuka. Ada beberapa istilah dalam semiotika yang perlu dibedakan, yaitu: indeks yang mengacu pada hubungan ekstensial antara signifier dengan signified, misalnya, asap sebagai indeks dari api. Ikon mengacu pada hubungan kemiripan antara signifier dengan signified, misalnya, dalam onomatopea bunyi kokkotek untuk ayam betina. Tanda adalah guratan yang tampak pada permukaan yang bersifat konvensional, misalnya, lampu merah, hijau dan kuning pada lampu trafficlight, Simbol mengacu pada konsep yang melatari tanda yang sifatnya abstrak, misalnya, harus berhenti ketika lampu merah menyala pada trafficlight. Meskipun demikian, Turner membedakan sign dan symbol dalam istilah indeksikal dan hubungan ikonik: we master the world through signs ... we master ... ourselves through symbols. Salah satu karakter kunci simbol menurut Turner adalah sifat motivated atau hubungannya dengan alam dan arti emotif, dengan artian tidak manasuka. D. Sperber (1975) mengeritik keriteria simbol Turner yang dikaitkan dengan motivation sebagai salah satu ciri pembeda symbol. Menurutnya, ini hanya memperkuat proses kognitif dan interpretatif yang dibentuk dari berbagai hubungan sign. Oleh karena itu, ia kemudian mengusulkan penghapusan pemisahan simbol tersebut. Para penganut Struktural Fungsionalisme menyadari perlunya studi simbolisme, yang hingga saat ini masih tetap mendominasi pendekatan Antropologi Inggris dan Amerika. Geertz, misalnya, mengeritik konsep Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



38



ceberal savage yaitu analisis simbol menggunakan closed structure oleh LeviStrauss. Ia menggantikan analisis tersebut dengan pendekatan cryptological text. Pendekatan ini dibangun melalui materi-materi sosial (social materials) yang terkandung di dalam sebuah teks. Geertz (1992) kemudian mengusulkan pendekatan tekstual dan interpretatif (thick description) dalam sebuah budaya sebagai hasil dokumentasi (acted document). Ceertz yakin, bahwa arti (meaning) diturunkan dari sebuah maksud (purpose) dan bukan dari sebuah struktur secara formal (formal structures) seperti yang diusulkan oleh Levi-Strauss. Ia malah yakin, hubungan internal antara elemen simbol dalam struktur itu sendiri melalui logika formal. Sahlins (1981) kemudian menambahkan, bahwa banyak aliran antropo1ogi yang menaruh perhatian pada hubungan antara tanda (signs) tanpa memperhatikan terlebih dahulu keseluruhan konstitusi pilihan dari aturan simbol dan arti. Dia juga mengatakan, dalam masyarakat borjois sistem ekonomi tidak bisa lari dari determisnisme simbol yang kadang-kadang menjadi tuntutan. Tentu saja simbolisme ekonomi merupakan determinsime secara struktur terhadap masalah sosial ekonomi. Sahlins juga menganalisis masalah hubungan antara simbolisme dalam dunia modern dengan masyarakat tradisional. Menurutnya, bahwa tidak semua kebudayaan mempunyai kesamaan urutan domain semiotik. Yang paling dominan bagi dunia kita saat ini adalah jaringan yang membentuk ide dan oposisi antara alam-budaya (nature/culture), pekerjaan-peran (work/ role), ekspresif-praktis (expressive/practical) dan sebagainya, berdasarkan pada aplikasi simbol yang kita miliki di dalam sistem produksi. Menurut D. Schneider (1970), bahwa studi kebudayaan sebagai sebuah totalitas sistem arti dan simbol lebih baik daripada membahas simbol secara tersendiri. Schneider mengembangkan disiplin ilmunya dari pendekatan sosiologi ke studi simbolisme. Ia mengatakan, bahwa sistem simbol tidak sepatutnya dipisahkan dari aspek-aspek yang berhubungan dengan organisasi sosial, melainkan harus dipelajari secara holistis. 5. Kebudayaan Sebagai Milik Bersama Kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai-nilai dan standar perilaku (common denominators), yang menyebabkan perbuatan para individu dapat dipahami oleh kelompoknya. Oleh karena kebudayaan adalah milik bersama, seseorang dapat memprediksi perbuatan orang lain dalam konteks situasi dan kondisi tertentu dan mengambil tindakan yang sesuai sebagai jawabannya. Kebudayaan yang sudah mengkristal dalam diri setiap individu, sebagai hasil dari pembelajaran bersama dengan individu lainnya, dapat menjadi identitas diri15 dan kelompok tersebut. Akibatnya, kebudaya15



ldentitas (Koentjararungrar, 2003: 84) adalah kesadaran akan sifat khas diri sendiri, golongan sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



39



an tersebut dapat menjadi sistem solidaritas di antara pendukung kebudayaan (cultural natives) dalam menghadapi setiap permasalahan yang menimpa kelompok mereka. Seorang Bugis, misalnya, yang dizalimi oleh kelompok lain akan menghasilkan suatu gerakan solidaritas sosial sempugi (satu Bugis untuk semua)16 orang-orang Bugis untuk membela harga diri kelompoknya, melalui emosi kebudayaan (cultural emotion). Demikian pula dengan orang-orang Islam yang mendapat penganiayaan dari penganut agama lain akan menghasilkan konflik keagamaan (sara)Hal ini bias dibuktikan dalam konflik berkepanjangan di Palestina (Timur Tengah), Cheknya (bekas Uni-Sovyet), Ambon dan Poso beberapak waktu silam (Indonesia) dan di beberapa tempat lain. Kesemuanya menibmbulkan gejolak dimana-mana, sebagai akibat adanya isu sara, yang dipacu oleh emosi keagamaan (religious emotion). Sebuah kapal laut, misalnya, yang memuat sekelompok orang dari berbagai latar belakang kebudayaan terdampar di sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Para penumpang tersebut mungkin memiliki kepentingan bersama secara temporal untuk kelangsungan hidupnya, akan bekerja sama dalam mengembangkan teknik-teknik tertentu untuk keperluan hidup mereka selama berada di pulau tersebut. Sekalipun demikian, setiap anggota kelompok akan tetap mempertahankan identitas dan latar belakang kebudayaannya masing-masing dan akan bubar begitu saja setelah para anggotanya berhasil dievakuasi dari pulau tersebut. Kelompok itu hanya menjadi kumpulan sementara (bukan masyarakat), karena tidak menghasilkan kebudayaan baru (innovation). Masyarakat (society) dapat didefinisikan sebagai kelompok manusia yang mendiami tempat tertentu, yang demi kelangsungan hidupnya saling tergantung satu sama lain dan memiliki kebudayaan bersama (cultural sharing). Sistem ketergantungan mereka tersebut dapat dilihat dalam sistem ekonomi dan dalam hubungan kekeluargaan (kindship) mereka. Selain itu, para anggota masyarakat saling terikat oleh kesadaran identitas kelompok (collective identities). Menurut Koentjaraningrat (1990: 135-146), masyarakat (society) sebagai sekumpulan manusia yang saling bergaul atau saling berinteraksi satu sama lain. Roger M. Keesing (1999: 258) juga mendefinisikan masyarakat (society) sebagai populasi yang ditandai oleh keadaan yang terpisah dari populasi-populasi lain dan memiliki kebudayaan. Haviland (1993: 333) masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang mendiami 16



Sempugi adalah lambang solidaritas orang-orang Bugis, yang diturunkan dari sempa artinya ‘sama' dalam kata sempatang 'sama besarnya'. Jadi, sempungi adalah kebersamaan orang-orang Bugis dalam suka dan cita. Konsep ini pernah digunakan Arung Palakka La Tenritatta dalam menyatukan kerajaan-kerajaan Bugis untuk melawan kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



40



suatu daerah tertentu dan yang bersama-sama memiliki tradisi kebudayaan yang sama. Hubungan yang mengikat masyarakat dikenal sebagai struktur sosial atau organisasi sosial (social organisation)17. Masyarakat harus dibedakan dengan kerumunan sejumlah orang (crowd), karena kumpulan orang-orang tersebut tidak teratur dan hanya bersifat sementara (al-Barry, 2002: 163). Crowd atau kumpulan orang tersebut terjadi pada lokasi yang sifatnya, baik oleh usaha pengerahan maupun secara sukarela. 6. Kebudayaan Sebagai Hasil Belajar Semua kebudayaan adalah hasil belajar dan bukan warisan geneologis atau biologis (genetical heritage atau biological heredity). Ralph Linton (1965: 30-31) menyebut kebudayaan sebagai suatu bentuk warisan sosial umat manusia dari nenek moyangnya. Nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan dan sebagainya yang terkandung di dalam kebudayaan tersebut diteruskan melalui proses pembelajaran kebudayaan kepada manusia yang menjadi pendukungnya. Proses penerusan dan pewarisan nilai-nilai kebudayaan tersebut dari generasi ke generasi disebut enkulturasi (enculturation). Seorang manusia mulai mempelajari kebudayaan yang akan menjadi identitas dan kepribadian dirinya sejak ia lahir di dunia ini. Seorang bayi yang berkembang dari waktu ke waktu, pada prinsipnya, telah berusaha untuk mengubah warisan geneologisnya (insting) menjadi warisan sosial (kebudayaan). Ketika seorang bayi yang baru lahir, misalnya, menangis untuk mengungkapan rasa laparnya merupakan salah satu bentuk warisan geneologis semua primat menyusui yang hidup di muka bumi ini. Tangisan bayi tersebut bukan sebagai sebuah perilaku, tetapi sebuah tindakan atau dorongan insting (instinct), seperti halnya yang umum dilakukan oleh mahluk-mahluk primat-primat lainnya. Kebanyakan binatang makan dan minum kapan saja timbul keinginannya. Tidak ada jadual pasti dan menu makan dari seekor simpanse, karena mereka memang hanya mampu bertindak dan bukan berperilaku. Tindakan yang mereka lakukan tidak terpola, melainkan hanya berdasarkan dorongan instingnya. Akan tetapi, manusia biasanya makan dan minum pada waktu-waktu tertentu yang ditentukan menurut kebudayaan dan tuntutan biologisnya (biological needs) berupa rasa lapar. Pola makan setiap masyarakat berbeda berdasarkan kebudayaan yang bersangkutan. Seorang petani yang membutuhkan energi besar dalam pekerjaannya cenderung 17



Struktur sosial atau organisasi sosial adalah keseluruhan sistem yang mengatur semua aspek kehidupan masyarakat dan merupakan salah satu dari ke tujuh unsur univer-salisme kebudayaan atau sebuah konsep yang mula-mula dikembangkan oleh A. R. Radcliff Brown yang berarti perumusan asas-asas hubungan antar individu dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 2003: 161 dan 226). Lihat juga Smith (261-262).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



41



menyantap makanan siangnya pada pukul 11.oo siang dan makan malam jam 6.30 petang. Sedangkan para pegawai memiliki jam makan siang pada pukul 13.oo siang dan makan malam sekitar jam 8 malam. ltulah sebabnya, Hoebel (1972: 6) mengatakan, manusia pada prinsipnya adalah binatang yang berbudaya (cultural bound animal). Pemenuhan kebutuhan biologis seekor binatang umumnya dilakukan dengan refleks dan penuh dengan insting belaka. Masa birahi primat betina yaitu kesiapan seksual binatang selama terjadi evulasi (estrus). Sementara pemenuhan biologis manusia khususnya cara makan diperoleh melalui pembelajaran. Seekor anjing, misalnya, yang setiap waktu pemberian makanan dilakukan dengan cara pembiasaan dengan membunyikan peluit. Ia akan selalu mendekati pot makannya setiap mendengar bunyi peluit tersebut, sekalipun ketika itu pot makanan tersebut tidak berisi apa-apa. Ketika selanjutnya pluit kembali dibunyikan dan menyodorkan pot kosong kepadanya, ia pun serta merta menghampiri pot tersebut. Di sini jelas, bahwa anjing tersebut hanya konsen dengan tanda (sign) bukan dengan simbol (symbols), yang merupakan unsur penting dari sebuah kebudayaan. Anjing tersebut tidak memiliki pengalaman tentang kejadian pot yang kosong, karena yang ada di dalam otaknya bunyi peluit menandakan (tanda di sini bukan simbol) makanan. Jadi, tataran pemaknaan bunyi pluit dari seekor anjing hanya berada pada tanda (sign)18 belaka. Simbol memang milik manusia, yang dipelajari melalui pengalaman hidup, yang kemudian disimpan di dalam kognisi (mental image atau cultural knowledge) sebagai pola untuk bertingkah laku (cultural behavior) dalam rangka menghasilkan suatu benda budaya (cultural artifacts). Pola pemenuhan kebutuhan biologis (biological need demand), khususnya dalam memenuhi konsumsi hidup manusia pun berbeda sesuai dengan lingkungan kebudayaan dimana mereka hidup. Pola konsumsi orang Indonesia, kecuali beberapa suku (Papua, Buton, NTT), jauh berbeda dengan pola konsumsi orang Eropa. Perilaku makan bagi orang Indonesia selalu diasosiasikan dengan nasi ditambah dengan lauk pauknya. Sementara orang Eropa diasosiasikan dengan roti, daging, keju, selei, buah-buahan, susu dan sebagainya. Orang Indonesia merasa dirinya belum makan sebelum mengonsumi nasi dan lauk-pauknya, sekalipun ia berkali-kali makan roti dan keju, yang menjadi makanan pokok orang Eropa. Demikian pula dengan beberapa suku memiliki pola konsumsi makanan pokok yang berbeda satu sama lain. Orang Papua mengonsumsi ubi jalar dan sagu (pappeda), orang Buton mengonsumsi ubi kayu (kasuami), orang Mandar 18



Sign dan symbol perlu dibedakan, dimana sign tampak secara kasat mata dan symbol berada di belakang tanda tersebut. Bagian lain dari tanda (sign) bahasa ialah konsep (concepts). Saussure tidak merinci tentang apa yang disebutnya konsep, selain menyatakan, bahwa konsep itu lebih abstrak daripada citra akustis.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



42



mengonsumsi pisang mentah (loka anjoro), orang NTT mengonsumsi jagung (jagung titi), orang Muna dengan jagung masak (Kambuse/kambule), ubi kayu (kabuto), umbi hutan (kalope) dan masih banyak pola-pola konsumsi masyarakat di Indonesia. Makanan pokok tersebut bervariasi sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing. Dalam sebuah kuliah Prof. Dr. H. A. Abu Hamid mengatakan, bahwa pola konsumsi suatu masyarakat tergambar sesuai dengan apa yang terdapat di pasar-pasar tradisional. Pola konsumsi suku-suku bangsa tersebut di atas sangat tergantung pada proses enkulturasi yang diperoleh dari lingkungan kebudayaan mereka masingmasing. Daging kuda di pasar sentral Makale kabupaten Tanah Toraja, misalnya, jauh lebih sulit ditemukan dibandingkan dengan di pasar sentral kabupaten Jeneponto. Sebaliknya, penjualan daging babi jauh lebih sulit ditemukan di pasar sentral kabupaten Jeneponto dibandingkan dengan di pasar sentral Makale kabupaten Tanah Toraja. Penjualan daging kuda di pasar sentral kabupaten Jeneponto gampang ditemukan, karena konsumsi daging kuda pada masyartakat Jeneponto lebih digemari daripada dagingdaging lainnya, terutama daging babi, karena hampir 100% penduduknya beragama Islam. Sebaliknya, daging babi di pasar sentral Makale lebih gampang ditemukan, karena konsumsi daging tersebut lebih digemari daripada daging-daging lainnya. Selain itu, konsumsi daging babi bagi penduduk kabupaten Tanah Toraja, khususnya yang beragama Kristen dianggap sah-sah saja. Bahkan, dalam setiap upacara adat, khususnya pesta adat kematian (rambu solo') pemotongan hewan berupa babi sangat dianjurkan. Saya juga sering memberikan contoh kepada mahasiswa saya tentang variasi pola konsumsi beberapa suku di Indonesia. Orang Padang, misalnya, senang dengan makanan pedas (rendang) menggunakan bahan cabe keriting sebagai bumbu utamanya. Orang Sulawesi Selatan juga senang dengan makanan pedis (sop dan makanan lainnya) menggunakan merica sebagai bumbu utamanya. Orang Jawa senang dengan makanan yang manis-asin dan bau kencur (gudek dan gado-gado) menggunakan gula jawa dan kencur sebagai bumbunya. Orang Manado juga senang dengan masakan pedis (rica-rica) menggunakan cabe rawit sebagai bumbu utamanya. Orang Indonesia, misalnya, yang mengeluarkan udara di mulut (sendawa) ketika sedang makan dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja, karena dianggap kenyang setelah menyantap masakan lezat. Sedangkan, orang Eropa menganggap hal itu sebagai suatu tindakan yang kurang ajar dan tidak sopan. Akan tetapi, orang Eropa yang mengeluarkan ingus pada saat sedang makan justru diangap biasa-biasa saja, tetapi orang Indonesia menganggapnya sesuatu yang tidak beradab dan tidak berbudaya, karena sangat menjijikkan. Perbedaan persepsi dari kedua tingkah laku tersebut Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



43



ditentukan oleh enkulturasi nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang telah diterima manusia Eropa dan Indonesia dari nenek moyang mereka.



C. Wujud, Sifat dan Universalisme Kebudayaan 1. ·Wujud Kebudayaan A. L. Kroeber pernah menganjurkan untuk membedakan antara wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dengan wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktifitas manusia yang berpola. Pendapat ini kemudian didukung Ralph Linton (1940: 30-31) yang membagi wujud kebudayaan tersebut menjadi dua unsur: kebudayaan yang tampak atau materil (overt culture) atau apa yang disebut Spradley (1980: 8) sebagai kebudayaan lahiriah (explicit culture) dan kebudayaan yang terselubung atau fisik (covert culture) atau kebudayaan batiniah (tacit culture) menurut Spradley. J. J. Honigmann (Poerwanto, 2000: 53) seperti halnya dengan James Spradley (1980: 5) memandang kebudayaan dalam tiga wujud (cultural inference), yaitu: 1) sistem budaya yang terdiri atas; sistem nilai, sistem gagasan dan sistem norma atau apa yang disebut Spradley pengetahuan budaya (cultural knowledge), 2) sistem sosial terdiri atas; kompleks aktifitas dan tindakan berpola manusia dalam masyarakat atau perilaku budaya (cultural behavior) yaitu apa yang dilakukan oleh manusia dan 3) artefak atau kebudayaan fisik dalam bentuk budaya materil atau menurut Spradley kebudayaan material (cultural artifacts) yaitu segala sesuatu yang dihasilkan manusia melalui perilaku budayanya. Honigmann melihat kebudayaan yang tidak tampak (tacit culture) setara dengan suatu ideas yang memerlukan kebudayaan yang tampak (explicit culture) berupa pola tingkah laku (patterns of cultural behavior) dan hasil tindakan (cultural artifacts) untuk mengabstrasikan atau mengangkatnya kepermukaan (generalisation). Kebudayaan yang tampak tersebut berfungsi sebagai referensi dari simbol-simbol kebudayaan yang tidak tampak, seperti yang selama ini menjadi perhatian ahli antropologi simbolis, termasuk Clifford Geertz seorang antropolo Amerika Serikat. 2. Sifat Kebudayaan Manusia sebagai penghasil atau pencipta kebudayaan (the creator of culture) sejak dari primat-primat primitif hingga primat modern saat ini telah mengalami evolusi dan adaptasi terhadap lingkungannya dari zaman ke zaman. Primat yang secara dinamis melakukan evolusi dengan lingkungannya dan berhasil melalui suksesi dalam mempertahankan hidupnya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



44



(survival of the fittes). Keberhasilan tersebut dicapai, karena ia mampu beradaptasi (well adaptive). Sebaliknya yang kalah atau tidak berhasil beradaptasi akan mengalami kepunahan (mal-adaptive). Dengan demikian, kebudayaan sebagai kebutuhan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya juga ikut berubah. Manusia tidak henti-hentinya melakukan akulturasi (aculturation) dan penemuan-penemuan baru (invention) dalam menjalani hidupnya. Setiap kebudayaan di muka bumi ini adalah sama (relativism) dengan artian, bahwa tidak ada diatesis yang menyatakan kebudayaan yang satu jauh lebih maju daripada yang lainnya (ethnocentrism). Pemakaian alat koteka19 bagi suku Asmat di Propinsi Papua sebaiknya jangan dianggap sebagai suatu bentuk keterbelakangan budaya. Mereka justru menganggap koteka sebagai sebuah alat dan/atau pakaian yang memiliki nilai sakratisme tinggi dibandingkan dengan celana yang digunakan oleh orang lain. Koteka bagi mereka adalah simbol kekuatan, kesucian dan kesederhanaan hidup, sehingga bila disodori sejumlah pakaian (celana, baju dan sebagainya) mereka enggan menerimanya. Mereka menganggap pakaian tersebut tidak memiliki nilai apa-apa dalam budaya mereka. Semua kebudayaan bergerak melalui jenjang-jenjang anak tangga (culutral stage) berupa perkembangan sebuah kebudayaan (cultural development) menuju ke suatu titik tingkatan tertentu. Jadi tidak ada, sekali lagi, diatesis yang menjamin, bahwa kebudayaan A jauh lebih rendah daripada kebudayaan B. Yang ada adalah pola pengembangan suatu kebudayaan sedikit lebih lamban atau lambat daripada yang lainnya. Pola pengembangan suatu kebudayaan dapat berupa anak tangga (stages) dan dapat pula terkonfigurasi (configuration) dengan pola melingkar dan terintegrasi (intergration). Menurut Benedict, setiap kebudayaan memerlukan integrasi secara keseluruhan yang disebut sebagai konfigurasi (configuration). Sebaliknya, setiap individu dalam sebuah konfigurasi kebudayaan membawa karakteristik kebudayaan itu sendiri dan bertingkah laku sesuai dengan pola kebudayaan yang ada. Dengan demikian, maju atau tidaknya sebuah kebudayaan juga ditentukan oleh pola kebudayaan (patterns of culture) yang ada sebagai suatu pengontrol kebudayaan itu sendiri. 3. Universalisme Kebudayaan Kebudayaan (culture) tanpa manusia kelihatannya tidak mungkin, karena manusia dalam fitrahnya adalah pencipta kebudayaan (the creator of culture). Sebaliknya, manusia tanpa kebudayaan juga sangat tidak mungkin, 19



Koteka adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Pulau Papua. Koteka terbuat dari kulit labu air, Lagenaria siceraria. Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Secara harfiah, kata ini bermakna "pakaian", berasal dari bahasa salah satu suku di Paniai.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



45



karena kebudayaan adalah alat bantu manusia dalam menyelesaikan dan/atau menghadapi tantangan hidupnya. Logikanya adalah dimana ada kehidupan manusia di situ pasti ada kebudayaan, sehingga setiap menusia mempunyai kebudayaannya sendiri-sendiri sebagai milik bersama dan diwariskan secara sosial oleh leluhur mereka. Kalau begitu, setiap kebudayaan mempunyai karakteristik sendiri sesuai dengan manusia dan/atau lingkungan dimana kebudayaan itu berada. Kata pepatah lain lubuk lain pula ikannya mungkin sangat tepat untuk membicarakan karakteristik kebudayaan tersebut. Akan tetapi, kekhususan dari karakter kebudayaan tersebut dapat ditemukan pada kelompok kebudayaan lainnya, karena adanya kemiripan lingkungan dan jenis kebutuhan sosial-budaya yang sama. Karena itu, karateristik kebudayaan dapat terbentuk sesuai dengan lingkungan fisiknya (lihat determinisme lingkungan) atau sebagai pengaruh lingkungan sosial (lihat posibilisme lingkungan). Unsur-unsur kesamaan kebudayaan tersebut dianggap berlaku secara universal pada semua bentuk kebudayaan (cultural universalism) yang ada di muka bumi, seperti berikut ini: a. Bahasa Bahasa menurut Keesing (1992: 286) memiliki fungsi: 1) kode komunikasi simbolis berupa seperangkat simbol-simbol dan seperangkat peraturan (tata bahasa) untuk membentuk pesan-pesan dan 2) kode manusia yang tumbuh secara alamiah untuk keperluan komunikasi vokal (bahasa alamiah) atau sistem (misalnya, gerakan tangan) yang didasarkan atas bahasa alamiah. Definisi tersebut kemudian diperkuat oleh Robins (1980: 9) yang mengatakan, bahwa sebuah bahasa merupakan sebuah sistem simbol vokal yang bersifat arbitreir yang digunakan untuk bekerjasama dalam sebuah kelompok sosial. Dari kedua definisi tersebut didapat, bahwa bahasa adalah sistem simbol yang menggunakan alat ucap (vocal cords atau organ of speech) yang berlaku secara arbitreir dan digunakan sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi. Hampir seluruh umat manusia di muka bumi ini mempunyai bahasa, baik yang dilambangkan melalui simbol-simbol fonem, kata, kalimat (oral language) maupun dengan menggunakan gerakan benda dan/atau anggota tubuh (gesture language atau body language). Berinteraksi dan berkomunikasi merupakan salah satu aktifitas manusia yang mutlak memerlukan bahasa sebagai medianya. Bahasa dalam menjalankan fungsinya sebagai media komunikasi tersebut memerlukan semantik sebagai alat bantu untuk menginterpretasi aspek-aspek bahasa yang disampaikan oleh seorang penutur (speaker) kepada pendengarnya (audience), agar keduanya berada pada posisi saling memahami (mutual intelligibelity). Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



46



Bahasa yang tumbuh dan berkembang di dalam suatu masyarakat diperoleh (language aquisation) melalui pengalaman hidup sehari-hari, yang kemudian disepakati bersama (conventional). Pengalaman-pengalaman bahasa tersebut disimpan di dalam otak (mental image) yang kemudian terpendam menjadi kemampuan bahasa (language competence). Kemampuan bahasa tersebut dijadikan sebagai acuan atau aturan-aturan, ketika manusia berkomunikasi (language performance) dengan manusia yang lainnya. Menurut Koentjaraningrat (1990: 339), bahwa deskripsi dari bahasa suku bangsa dalam karangan etnografi tentu tidak perlu sama dalamnya dengan deskripsi khusus yang dilakukan oleh seorang ahli bahasa (linguist) tentang bahasa yang bersangkutan. Deskripsi mendalam oleh seorang ahli bahasa dilakukan untuk mengkaji susunan sistem fonetik, fonologi, morfemis, sintaksis dan semantik sesuatu bahasa. Kajian tersebut kemudian dihimpun menjadi buku khusus yaitu tatabahasa (grammar) tentang bahasa yang bersangkutan. Sedangkan deskripsi mendalam mengenai kosakata suatu bahasa akan menghasilkan suatu daftar leksikografi atau kosakata, atau lebih mendalam lagi suatu kamus kecil ataupun besar. Deskripsi khusus tentang hubungan simbol dengan makna kata dihimpun menjadi suatu kajian yaitu semantik atau lebih khusus lagi dalam semiotika. Seorang etnograf yang meneliti bahasa suatu bangsa (ethnolinguistics), seperti yang dikemukakan Kontjaraningrat di atas, setidak-tidaknya hanya melihat dan mencari ciri-ciri bahasa yang menonjol melalui klasifikasi bahasa-bahasa (language taxonomy) yang menghasilkan rumpun atau subrumpun bahasa (language descend atau proto language) dan keluarga atau subkeluarga bahasa (language family). Kesemuanya dapat dicapai melalui perekaman beberapa contoh fonetik, fonologi, sintaksis dan semantik yang direkam dari ucapan bahasa sehari-hari (oral language atau uptodate language) penuturnya. Untuk membuat klasifikasi bahasa tersebut, sebaiknya seorang etnograf melengkapi diri dengan daftar kata-kata dasar (basic vocabulary) suatu bahasa yang terdiri dari 200 kata (daftar kata Swades). Daftar kata tersebut dibuat berdasarkan: 1) anggota badan (kepala, mata, hidung, mulut, tangan, kaki dan sebagainya), 2) gejala-gejala alam (angin, hujan, panas, dingin, matahari, bulan, awan, langit dan sebagainya), 3) warna (hitam, merah, hijau, putih, kuning dan sebagainya), 4) bilangan (satu, dua, tiga, empat dan seterusnya) dan 5) kata kerja (makan, tidur, jalan, duduk, berdiri dan sebagainya). Menentukan luas batas penyebaran (language spread) suatu bahasa memang tidak semudah dengan hanya membalik telapak tangan, karena di daerah perbatasan (language border) tempat tinggal dua suku bangsa sering terjadi hubungan komunikasi (language contacts) yang sangat intensif. Akibatnya, hingga proses saling pengaruh mempengaruhi (language Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



47



diffusion atau language borrowing) antara unsur-unsur bahasa dari kedua belah pihak tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, sangat sukar sekali dalam menentu-kan daerah batas persinggungan (isogloss)20 penyebaran bahasa tersebut. Saya ambil beberapa contoh darai hasil penelitian saya: 1) batas isogloss yag terjadi antara bahasa Tator dengan bahasa Bugis di Salubarani perbatasan Kab. Enrekang dengan Tator, 2) batas isogloss yang terjadi antara bahasa Bguis dengan Makassar di Labbakkang Kabupaten Pangkep, 3) batas isogloss antara bahasa Mandar dengan bahasa Bugis di Polewali Mandar dan masih banyak yang lainnya. Timbulnya varian-varian (language variant) atau percampuran bahasa (language compouding) tidak dapat dihindari, karena batas wilayah antara tempat tinggal dua suku bangsa tersebut dipisahkan oleh laut, gunung yang tinggi, sungai yang lebar, atau batas-batas alam lain yang menghambat kelancaran kontak antara dua kelompok manusia pemakai bahasa (language communities) secara intensif. Komunitas bahasa, terutama suku bangsa besar yang terdiri dari berjuta-juta penduduk, menunjukkan suatu variasi bahasa. Variasi bahasa tersebut dapat terjadi, baik berdasarkan perbedaan letak geografis pemakaian bahasa (geographical atau regional dialects) maupun pada lapisan lingkungan sosial masyarakat (social atau class dialects) suku bangsa tadi. Bahasa Jawa, misalnya, yang dipergunakan masyarakar pemakai bahasa Jawa di Purwokerto, Tegal, Surakarta dan Surabaya cukup menunjukkan perbedaan khusus. Perbedaan tersebut oleh para ahli bahasa disebut sebagai perbedaan logat atau dialek (dialect). Pelapisan sosial dalam masyarakat pemakai bahasa Jawa sangat menyolok sekali (Koentajaraningrat, 1990: 341), misalnya, bahasa Jawa yang dipakai oleh orang di desa (kelas ngoko) digunakan di lingkungan istana (kelas kromo), para kepala swapradia (kelas kromo madya). Kelas-kelas penutur bahasa Jawa tersebut jelas berbeda dengan pemakaian bahasa Jawa ditempat lain, misalnya, di Jawa Barat dan Timur. Perbedaan bahasa menurut lapisan sosial dalam masyarakat pemakai bahasa pada umumnya disebut tingkat sosial bahasa (social levels of speech, sociolects atau class of speech). b. Sistem Pengetahuan Menurut Koentjaraningrat (1990: 369), bahwa dalam suatu etnografi biasanya ada berbagai keterangan tentang sistem pengetahuan dalam kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan. Bahan tersebut meliputi sistem pengetahuan mengenai teknologi dan keterangan-keterangan tentang pengetahuan yang menyolok. Hal dianggap sebagai suatu bentuk karakteristik 20



Kridalaksana (2001: 86) isoglos adalah garis dari peta bahasa atau peta dialek yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa. Glaeason, 1961: 398) isogloss is a line indicating the limit of some stated degree of linguistic change is known as an isogloss.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



48



bagi para penciptanya. Saya ambil contoh kepandaian suku-suku bangsa Negrito di daerah Sungai Konggo di Afrika Tengah dalam mengolah dan memasak bisa panah yang mujarab. Sistem pengetahuan local masyarakat Sumatra Barat dalam mengolah obat-obatan tradisional (ethnomecine). Demikian pula, dengan pengetahuan dan teknologi tepat guna suku-suku bangsa penduduk Polinesia dan Mikronesia dalam membangun perahu dan kepandaian dan bakat alami mereka berlayar dengan seluruh sistem navigasinya. Pandangan etnosentrisme21 pada awalnya ditujukan oleh kaum kolonialis Eropa kepada orang-orang atau kebudayaan yang berada di luar Eropa. Tidak sedikit slogan-slogan khusus yang terlontar untuk melabelisasi keterbelakangan suku-suku bangsa non-Erepa, seperti; suku primitif, orang pribumi (inlander), bajak Laut (Boegimen) dan sebagainya. Mereka, bahkan mengklaim, bahwa kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa tidak memiliki sistem pengetahuan dan kalaupun ada itu tidak terlalu penting dan istimewa bagi mereka. Seorang ahli filsafat bemama L. LévyBrühl, misalnya, menulis sebuah buku berjudul Les Fonctions Jwentales dans les Societes-lnferieures (1910). Ia telah mengumpulkan bukti mitologi, ilmu gaib, ilmu dukun dari kebudayaan-kebudayaan berbagai suku bangsa di luar Eropa. Ia kemudian menyimpulkan, bahwa cara berpikir manusia yang hidup dalam kebudayaan atau masyarakat rendah (inferieur) serupa itu sama-sekali berbeda dengan dasar-dasar cara berpikir dalam masyarakat Eropa dan Amerika. Oleh karena itu, cara berpikir masyarakat yang rendah seperti itu sangat tidak mungkin mempunyai ilmu pengetahuan seperti dalam dunia modern. Pandangan Lévy-Brühl tersebut mendapat kritikan hebat dari berbagai pihak, sehingga terbit sekurang-kurangnya 14 buah tulisan antara tahun 1910 dan 1938, yang menyangga pendapat L. LévyBrühl tersebut. Seorang ahli psikolog bernama H. Wemer juga ikut meremehkan suku-suku bangsa non-Eropa dalam bukunya yang berjudul Einfurung in der Enttwicklungs-psychologie (1926). Menurutnya, alam pikiran bangsa-bangsa primitif (naturvoelker) mempunyai kemiripan dengan alam pikiran anak-anak, Bahkan menurutnya, alam pikiran bangsa-bansa primitif setara debfab pola piker seorang penderita penyakit jiwa (geisteskranker) dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa. 21



Etnosentrisme (Keesing, 1992: 250) memandang cara hidup bangsa lain berdasarkan asumsi, kebiasan, dan nilai-nilai budaya sendiri. Haviland (1993: 355) melihat etnosentrisme sebagai kepercayaan, bahwa kebudayaan sendiri dalam segala hal lebih tinggi daripada semua kebudayaan lain. Lawan dari etnosentrisme adalah relativisme budaya (Keesing, 1992: 250) yaitu pandangan etis yang memperjuangkan, bahwa budaya hanya dapat dipahami dan dinilai berdasarkan norma dan nilai-nilainya sendiri. Lihat pula Haviland dan Soekardjo (1993: 355) tentang relatifisme kebudayaan.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



49



Pada abad ke-21 para ahli budaya mulai sadar, bahwa prinsip etnosentrisme seperti di atas sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan, Menueut pendapat para ahli abad ke-21, bahwa sekecil apa pun suatu masyarakat, tidak mungkin dapat bertahan hidup tanpa pengetahuan tentang alam sekelilingnya dan sifat-sifat dari peralatan yang dipakainya. Pengetahuan suku-suku bangsa di sekitar Amazon, misalnya, tidak dapat hidup bila mereka tidak memiliki pengetahuan lokal tentang musim perpindahan berbagai jenis ikan dari hilir ke hulu. Sebakiknya mereka harus memahami musim perpindahan jenis-jenis ikan lain dari hulu ke hilir sungai. Masyarakat agraris Indonesia yang belum tersentuh irigasi teknis tidak mampu memperoleh hasil panen maksimal tanpa memiliki sistem pengeta-huan lokal22 tentang musim hujan dan musim kemarau. Pengetahuan lokal tersebut sangat berguna untuk menentukan waktu memulai menggarap sawah mereka. Keahlian orang Bugis dalam meramalkan dan memprediksi turunnya hujan dan datangnya musim kemarau melalui sebuah perhitungan kalender pananrang atau lontara' bilang. Di kalangan suku Makassar dikenal dengan sistem kalender bilang allo atau kotika. Kedua bentuk system kalender tersebut merupakan salah satu bukti keampuhan dan manfaat sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat. Demikian pula dengan masyarakat pendukung suatu kebudayaan (natives) tidak mungkin mampu membuat peralatan hidup, tanpa mengetahui secara teliti dengan penggunaan sistem pengetahuan lokalnya.Mereka harus menyesuaikan ciri-ciri dari bahan mentah yang mereka pakai untuk membuat alat-alat itu. Pembuatan gagang cangkul, misalnya, harus menggunakan kayu jati atau kayu bitti (vitex copassus). Pembuatan bingkai ani-ani (alat potong padi) sebaiknya menggunakan bahan yang tingan ditangan dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap kebudayaan selalu mempunyai suatu kompleks himpunan pengetahuan tentang gejala-gejala alam, segala tumbuh-tumbuhan, binatang, benda dan manusia di sekitarnya. Keseluruhan system pengetahuan tersebut, terakumulasi di dalam pengalaman-pengalaman mereka, yang kemudian diabstraksikan menjadi konsep-konsep, teori-teori substantif dan pendirianpendirian dalam rangka menghadapi setiap tantang hidup. Sistem pengetahuan lokal dalam beberapa aspek berkaitan erat dengan ilmu gaib (magy) dan ilmu sihir. Timbulnya faham sakratisme terhadap Sanghiyang Seri (dewa padi) dalam budaya Bugis erat kaitannya dengan mitologi dewa padi yang melambangkan kesuburan dan sumber kehidup22



Orang Bugis menggunakan ilmu perbintangan Pananrang, orang Kajang menggunakan perhitungan hari-hari baik Bilang Allo dan orang Makassar menggunakan kotika dalam memperkirakan perubahan musim. Ketiga bentuk pengetahuan lokal tersebut justru kadang-kadang memiliki keakuratan perkiraan cuaca lebih tinggi dibanding dengan perkiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



50



an. Sanghyang Seri menurut orang Bugis dapat tampil dalam berbagai bentuk dan wujud. Dewi padi dapat muncul dalam wujud rumpun padi yang khas daripada rumpun padi yang tumbuh di sekitarnya. Kemunculan dewi padi tersebut bisanya diberitahukan melalui mimpi seseorang. Dewi padi tersebut juga biasa muncul dalam wujud seekor kucing warna kecoklatan bercampur bulu hitam (meompalo karella'e) bagi masyarakat Bugis Soppeng dan sekitarnya. Kucing tersebut juga biasa muncul dalam wujud kucing hitam (meompalo lotongnge) bagi masyarakat adat Karampuang dan sekitarnya. Oleh karena itu, kesakralan dewa padi tersebut sering dilukiskan dalam epos meompalo karella'e atau meompalo lotongnge yang menceritrakan kehidupan seekor kucing dalam bentuk epos fabel 23. Dalam perkembangan kebudayaan bangsa-bangsa Eropa, misalnya, ilmu kimia mula-mula muncul, karena para ahli nujum mencoba mencampuradukkan berbagai zat dengan tujuan membuat emas. Demikian pula banyak bagian dari pengetahuan manusia mengenai kedokteran, pada awalnya bersifat ilmu nujum saja. Jadi, dapat saya simpulkan, bahwa kemunculan ilmu pengetahuan (science), karena adanya sistem pengetahuan local sebagai landasannya. Jadi, sangat tidak arif bila para pencetus ilmu pengetahuan tidak mengakui keberadaan system pengetahuan lokal yang muncul dari masyarakat primitif. Koentjaraningrat (1990: 371) mengusulkan penggunaan istilah sistem pengetahuan (knowledge system) dalam bingkai pembahasan kebudayaan sebagai pembeda dari ilmu pengetahuan (science). Sistem pengetahuan menurutnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu: 1) sistem pengetahuan tentang alam sekitar, 2) sistem pengetahuan tentang alam flora dan ekosistemnya, 3) sistem pengetahuan tentang alam fauna dan ekosistemnya, 4) sistem pengetahuan tentang zat-zat, bahan mentah dan benda-benda dalam lingkungannya, 5) sistem pengetahuan tentang tubuh manusia, 6) sistem pengetahuan tentang sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia dan 7) sistem pengetahuan tentang ruang dan waktu. Keseluruhan sistem pengetahuan tersebut diperoleh dan dipelajari, baik melalui lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya. Dalam perkembangan ilmu budaya, yang akhir-akhir ini memasuki aspek pengelolaan lingkungan (environmental management) yang dikemas di dalam sebuah konsep sistem pengetahuan lokal (local atau indigenous knowledge), mulai diminati oleh beberapa ahli budaya terapan. Basrah Gising (2005) --- dalam tesisnya berjudul Manfaat Sistem Pengetahuan Lokal dalam Sistem Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Kawasan Adat Karampuang dan dalam disertasinya (2008) berjudul Kearifan Ekologis Tu' Kajang dalam 23



Fabel (El-Santoso, 2001: 118) adalah ceritra yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



51



Pengelolaan Hutan Adat di Kawasan Adat Kajang --- memaparkan bagaimana keampuhan sistem pengetahuan lokal (local knowledge) masyarakat adat Karampuang dan masyarakat adat Kajang dalam mengelola lingkungannya secara arif dan bijaksana. Menurut Gising, sistem pengetahuan lokal tersebut jauh lebih asli dan berdaya guna dalam hal sistem pengelolaan lingkungan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (science). Hal ini disebabkan, karena sistem pengetahuan lokal dibangun berdasarkan pengalaman masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. Sementara itu, ilmu pengetahuan menyusun teorinya berdasarkan hasil penelitian secara generalisasi. Akibatnya hasil penelitian dan kebijakannya sangat tidak cocok untuk wilayah-wilayah tertentu. Setiap kebudayaan mempunyai ciri tersendiri, sehingga cenderung berbeda dengan kebudayaan lainnya atau lain lubuk lain pula ikannya. Sangat tidak cocok, demikian Gising lebih lanjut, apabila masalah lingkungan atau kebudayaan orang Batak diselesaikan dengan menggunakan konsep-konsep atau pendekatan yang disusun berdasarkan fenomena-fenomena sosial Bugis-Makassar (etik). Yang benar adalah kebudayaan Batak diselesaikan secara Batak dan Bugis diselesaikan secara Bugis (emik). Seorang ahli budaya sebaiknya dan memang sangat dilarang, tidak mengintervensi data (etik) masyarakat obyeknya. Sungguh sangat tidak etis, misalnya, bila anda sebagai seorang ahli budaya Tator memaksakan penerapan konsep-konsep kebudayaan yang ke dalam kebudayaan Papua. Menurut Gising lebih lanjut, bahwa seorang peneliti profesional sebaiknya jangan meneliti bahasa yang merupakan bahasa ibunya (mother language), karena rentang akan memanipulasi data berdasarkan kemauannya sendiri. Ia merasa mengetahui bahasa yang menjadi obyeknya, sehingga tidak perlu melibatkan orang lain sebagai sumber datanya. Peneliti seperti ini cenderung manjadikan dirinya sebagai informan penelitan. Sebaliknya, seorang peneliti yang menghidari obyek penelitian di dalam lingkungannya sendiri, akan menghasilkan pene-litian yang profesional, karena ia terhindar dari tindakan untuk mengubah data sesuai yang diinginkan. Menurut Adimihardja (2004), bahwa komponen dari sistem pengetahuan lokal cukup memberikan arti dan inspirasi terhadap pengembangan suatu konsep baru yang membahas tentang arus kebutuhan yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, keberadaan sistem pengetahuan lokal dapat memperbesar kemungkinan timbulnya sebuah proses yang efektif dan manusiawi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat diperlukan dalam rangk membuat kehidupan masyarakat lokal lebih signifikan. Warren (Adimiharja, 1999 dan 2004) juga menggambarkan betapa besarnya peranan yang harus diemban sistem pengetahuan lokal dalam Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



52



melengkapi ilmu pengetahuan (science), khususnya dalam memecahkan masalah-masalah sosial budaya (socio-cultural problems). Sebagai bagian dari sosial budaya, sistem pengetahuan lokal berisi seperangkat ekspresi budaya khusus, yang di dalamnya terdapat urutan nilai (value order), etika (ethic), norma (norms), aturan (rules) dan kemampuan masyarakat (skills of society), yang bermanfaat dalam pemenuhan tuntutan kebutuhan hidupnya: pangan, kesehatan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beberapa aktivitas sosial masyarakat pedesaan lainnya. Gadgil (Mitchell, 1997: 298) juga turut membuktikan bagaimana ampuhnya sistem pengetahuan lokal, yang terakumulasi dan mempunyai peran sangat besar sepanjang sejarah hidup manusia. Pandangan, bahwa manusia merupakan bagian terintegrasi dari alam dan sistem kepercayaannya lebih banyak memberikan penekanan pada penghormatan terhadap keseimbangan lingkungan alam (environtment equilibrium). Hal ini tentunya bernilai positif, khususnya dalam prospek pembangunan lingkungan berkelanjutan (sustainable of environmental management) di masa yang akan datang. Dutton (1998) juga lebih jauh memandang, bahwa keberadaan sistem pengetahuan lokal di samping ilmu pengetahuan sebaiknya jangan dipandang sebagai dua kubu yang saling bertentangan. Sudah selayaknya diterima, bahwa sistem pengetahuan lokal patut mengambil bagian dan peranan aktif dalam pengembangan lingkungan. Sekalipun demikian peranannya masih bersifat ambigu, karena aplikasinya dalam memecahkan masalah teknologi memang selalu hanya dipandang sebagai pendukung saja. Dutton (1998) kemudian beranggapan, bahwa sistem pengetahuan lokal harus dipadukan dengan ilmu pengetahuan dalam rangka pembentukan kapasitas dan kompetensi lokal, agar masing-masing deskripsi yang dihasilkan mampu memberi efek dukungan adaptasi dalam perubahan lingkungan alam dan sosial-ekonomi masyarakatnya. c. Organisasi Sosial Setiap kehidupan masyarakat diorganisir atau diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan mengenai kesatuan dimana mereka hidup dan berinteraksi setiap hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan akrab adalah sistem kekerabatan (kindship systems) yaitu kesatuan hidup terdiri atas keluarga inti (basic family) dan keluarga luas atau kerabat (extended familiy). Menurut Koentjaraningrat (2003: 111) keluarga batih atau inti adalah kelompok kekerabatan yang terkecil, terdiri atas ayah, ibu dan anak atau anak-anak yang belum menikah. Fungsi utama sebuah keluarga batih antara lain memberi perlindungan, afeksi, perasaan aman, pengasuhan, pendidikan kepada anggota keluarga. Keluarga batih dapat merupakan rumah tangga ataupun kesatuan produksi. Sedangkan keluarga luas (extended family) Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



53



keluarga besar yang terdiri atas lebih dari satu keluarga batih, menempati rumah yang sama atau tinggal dalam satu pekarangan. Kesatuan sosial ini sering merupakan suatu rumah tangga. Berdasarkan adat menetap setelah nikah dapat dikelompokkan menjadi, yaitu: 1) Berdasarkan lokasi, yaitu: a) Adat utrolokal, yaitu adat yang memberi kebebasan kepada sepasang suami istri untuk memilih tempat tinggal, baik di sekitar kediaman kaum kerabat suami ataupun di sekitar kediamanan kaum kerabat istri, b) Adat virilokal, yaitu adat yang menentukan, bahwa sepasang suami istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami, c) Adat uxurilokal, yaitu adat yang menentukan, bahwa sepasang suami istri harus tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat istri, d) Adat bilokal, yaitu adat yang menentukan, bahwa sepasang suami istri dapat tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa tertentu pula (bergantian), e) Adat neolokal, yaitu adat yang menentukan, bahwa sepasang suami istri dapat menempati tempat yang baru. Artinya, tidak berkelompok bersama kaum kerabat suami maupun istri, f) Adat avunkulokal, yaitu adat yang mengharuskan sepasang suami istri untuk menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari pihak suami dan g) Adat natalokal, yaitu adat yang menentukan, bahwa suami dan istri masing-masing hidup terpisah dan masing-masing dari mereka juga tinggal di sekitar pusat kaum kerabatnya sendiri, 2) pola mukim berdasarkan otoritas, yaitu: a) Patriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki (laki-laki tertua, umumnya ayah), b) Matriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh perempuan (perempuan tertua, umumnya ibu dan c) Equalitarian, yakni suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang. Sistem Kekerabatan dalam masyarakat industri, dimana kesatuankesatuan hidup seperti yang dijelaskan di atas tampak berubah. Fungsifungsi kekerabatan yang sebelumnya sangat penting dalam banyak sektor kehidupan seseorang, mulai berkurang seiring dengan mengendornya pranata-pranata sosial yang mengatur kehidupan kekerabatan sebagai suatu kesatuan. Di pihak lain, kesatuan hidup dalam beberapa masyarakat agraris (Afrika, Asia, Oseania dan Amerika Latin) masih menganggap hubungan kekerabatan dalam rangka kehidupan masyarakatnya masih sangat penting. Di beberapa pelosok pedesaan, seperti masyarakat adat Karampuang Kabupaten Sinjai Propinsi Sulawesi Selatan, sistem gotong royong (assitulutulungeng) masih dianggap penting, sekalipun memang beberapa aspek kehidupan sistem kerjasama seperti ini mulai berkurang. Bahkan di beberapa tempat di Sulawesi Selatan memang sudah tidak ada. Masyarakat lokal di Kabupaten Soppeng dan Sidrap, misalnya, sistem gotong royong dalam membangun tempat pelaksanaan pesta pernikahan (baruga atau Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



54



sarappo) diganti dengan penyewaan tenda besi, sistem tolong menolong membajak sawah (mappadakkala) diganti dengan penggunaan jasa traktor, penanaman padi (mappataneng) digunakan kelompok penanam padi (pattaneng), menuai padi (mapparingngala) diganti dengan menggunakan jasa kelompok penuai padi (paddaros). Bahkan saat saat ini mereka menggunakan mesin penuai padi dan sebagainya. Dalam kasus seperti ini, sistem kekerabatan benar-benar tidak lagi menjadi perekat, karena umumnya penjual jasa berasal dari tempat lain. Dengan demikian, sistem jaminan sosial (sosial security) seorang petani terhadap kerabatnya mulai berkurang, bahkan sudah tidak ada sama-sekali. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebut jaminan sosial (social sequrity) sebagai bentuk perwujudan dari seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejaheraan sosial bagi warga negara oleh pemerintah atau masyarakat guna memelihara taraf kesejahteraan sosial anggotanya. Lihat juga Pasal 22 dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, bahwa:  Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, memiliki hak atas jaminan sosial dan berhak atas realisasi, melalui upaya nasional dan kerjasama internasional dan sesuai dengan organisasi dan sumber daya masing-masing Negara, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan perkembangan kepribadiannya yang bebas. Pertengahan abad ke-19, J. J. Bachofen, E. B. Taylor dan lain-lain (dalam Koentjaraningrat, 1990: 367) banyak melakukan penelitian tentang aneka-warna sistem kekerabatan yang ada di dunia ini. Dengan demikian, timbul kesadaran dalam diri para ahli budaya tersebut, bahwa bentuk masyarakat keluarga inti berdasarkan monogami yang lazim dalam masyarakat Eropa Barat bukan satu-satunya kemungkinan bentuk sistem kekerabatan yang ada di atas dunia ini. Di samping prinsip keturunan bilateral yang lazim dalam hubungan kekerabatan masyarakat Eropa Barat, prinsip keturunan patrilineal (hubungan dihitung melalui kerabat pria), matrilineal (hubungan dihitung melalui kerabat wanita) dan juga prinsipprinsip kombinasi keduanya bilineal atau ambilineal (hubungan dihitung melalui kerabat perempuan dan laki-laki). Selain itu, L. H. Morgan dalam penelitiannya tentang sistem kekerabatan menemukan, bahwa aneka warna sistem kekerabatan erat hubungannya dengan istilah kekerabatan. Suatu sistem kekerabatan tertentu dengan suatu struktur tertentu sangat terkait, sehingga untuk membuat suatu deskripsi tentng sistem kekerabatan suku bangsa seorang peneliti pertamatama harus mencatat semua istilah kekerabatan suku bangsa tersebut. Dari daftar tersebut menyesuaikan temuannya. Tulisan-tulisan etnografi zaman sesudah Morgan pun membuktikan, bahwa daftar istilah-istilah kekerabatan tidak pernah ketinggalan dalam penelitian mengenai sebuah kelompok Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



55



masyarakat. Demikian pula dengan beberapa penelitian Gising: 1) ) My Forest is My Soul: A Presentative of the People of Karampuang Enviromental Awareness (2016), 2) Tedong Bonga: As It Self Identity for Tatojanese (2017), 3) Kajangnese: The Last Fortes for Indonesian Cultivation (2018) dan 4) Cikoang: One for All (2019). Keseluruhan penelitian Gising tersebut di atas meletakkan sistem kekerabatan sebagai embahasan khusus. Menurut Gising, bahwa sistem kekerabatan adalah ruh dari sebuah penelitian sosial, khususnya penelitian-penelitian kebudayaan. Melalui sistem kekerabatan peneliti akan menemukan: 1) Bentuk interkasi sosial yang berlaku di dalam masyarakat yang sedang diteliti, 2) Kekenyalan hubungan antar individu di dalam masyarakat yang sedang diteliti, 3) Orientasi visi dan misi kebudayaan yang hendak dicapai oleh kelompok, 4) Bagaimana bentuk distribusi kedudukan (strata) dan peran (role) dalam masyarakat yang sedang diteliti dan 5) Bentuk kelembagaan sosia-budaya yang berlaku di dalam masyarakat yang sedang diteliti, Sistem organisasi sosial yang juga mendapat perhatian ahli budaya adalah organisasi dan susunan masyarakat desa dan komunitas kecil, yang mencakup: a) pembagian kerja (devisions of labour atau job descriptions) dalam komunitas, berbagai aktivitas kerjasama atau gotongroyong dalam komunitas, b) masalah kepemimpinan (leadership) yaitu hubungan dan sikap antara pemimpin dengan pengikutnya dalam komunitas (prosedur pengambilan keputusan bersama, membantah pimpinan dan sebagainya) dan c) suksesi penggantian kepemimpinan dan masalah wewenang dan kekuasaan seorang pemimpin. Hal-hal lain yang ada kaitanya dengan sistem organisasi sosial adalah penggolangan masyarakat kedalam kelas-kelas horisontal yang seolah-olah berlapis-lapis dengan golongan masing-masing dipandang lebih tinggi atau lebih rendah daripada golongan lain (ethnosentrism). Di Sulawesi Selatan, misalnya, dikenal adanya beberapa pelapisan masyarakat (social stratum): 1) golongan bangsawan atau Arung untuk Bugis (Pajung di Luwu, Mangkau di Bone, Datu di Soppeng, Arung Matowa di Wajo dan Addatuang di Sidenreng Rappang, Arungnge ri Aganiojong di Barru), 2) Karaeng untuk Makassar, 3) Maraddia untuk Mandar, 4) To Makaka untuk orang tator, 5) tomaraddeka golongan orang merdeka dan 6) ata golongan hamba sahaja. d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi Pembahasan tentang sistem peralatan hidup dan teknologi mencakup masalah: produksi, pemakaian dan pemeliharaan segala peralatan hidup dari suatu suku bangsa. Pembahasan tentang sistem peralatan hidup dan teknologi harus dilakukan dalam bingkai teknologi tradisional (indigenous technology). Teknologi tradisonal adalah sistem teknologi konvensional dari Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



56



peralatan hidup dari suatu kelompok manusia, yang tidak dipengaruhi teknologi kebudayaan Eropa-Amerika atau kebudayaan Barat. Buku-buku etnografi abad ke-19 hingga awal abad ke-20 umumnya mencakup sistem teknologi dan sistem peralatan dari suku bangsa yang menjadi pokok bahasannya. Hal itu disebabkan, karena para ahli budaya saat itu masih terfokus pada pembahasan kebudayaan fisik atau bendabenda budaya (cultural materealism). Jadi, tidak mengherankan, jika beberapa buku etnografi yang membahas sistem peralatan hidup dan teknologi, lebih banyak melukiskan bentuk pakaian tradisional, bentuk rumah tradisional, bentuk dan pemakaian senjata tradisional, bentuk dan pemakaian alat transportasi tradisional dan sebagainya. J. J. Honigmann (1973: 290) dalam bukunya berjudul The World of Man, yang dimaksud teknologi adalah segala tindakan baku dengan apa manusia merobah alam, termasuk badannya sendiri atau badan orang lain. Sistem teknologi juga mencakup masalah cara manusia dalam membuat, memakai dan memelihara seluruh peralatannya. Bahkan mengenai cara manusia berperilaku dan bertindak dalam keseluruhan hidupnya. Buku-buku etnografi sesudah tahun 1930-an, terutama yang ditulis oleh para ahli budaya Inggris atau Amerika, fokus pembahasan tentang sistem teknologi menjadi kurang penting. Perhatian para ahli budaya terhadap unsur kebudayaan fisik mulai berkurang. Bahkan, sama sekali tidak mendapat tempat dalam penelitian ilmu budaya mereka ketika itu, sehingga pembahasan tentang unsur kebudayaan fisik juga ditinggalkan sepenuhnya. Menurut Koentjaraningrat (1990: 343), bahwa paling sedikit ada 8 (delapan) macam sistem peralatan hidup dan unsur kebudayaan pisik berupa teknologi tradisional. Bentuk teknologi seperti ini, khususnya masyarakat kecil yang berpindah-pindah (slash and burn) atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian, yaitu: 1) alat-alat produksi (cangkul, mesin giling jagung dan beras, sabit, bajak dan sebagainya), 2) senjata (keris untuk orang Jawa, badik, tappi, poke, bessi dan duru’ untuk orang Bugis, cerulit untuk orang Madura, busur panah dan pisau belati untuk orang Papua, mandau untuk orang Dayak, rencong untuk orang Aceh, Salawaku atau Kalawai untuk orang Maluku, Wamilo untuk orang Gorontalo, keris untuk orang Tolaki, pasa timpo untuk orang Palu, Peda atau Sabel untuk orang Manado, Lunjuk Sumpit Randu untuk orang Kalimantan tengah, Sundu untuk orang NTT, Sampari atau Sondi untuk orang NTB, Kujang untuk orang Banten, golok untuk orang Jakarta, Rudus untuk orang Lampung, Siwar Panjang untuk orang Bangka Belitung, Tombak Trisula untuk orang Sumatera Selatan, Badik Tumbuk Lada untuk orang Jambi, Pedang Jenawi atau Badik Tumbuk Lado untuk orang Riau, Karih dan Ruduih untuk Sumatera Barat, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



57



Piarit untuk orang Sumatera Barat, 3) wadah (gerabah bagi orang Banyu Mulek NTB, kuningan bagi orang Jawa, maja, tempurung dan timpo (ruas bamabu) orang Bugis dan sebagainya), 4) alat-alat menyalakan api (masyarakat tradisional mengesekkan tongkat pada kayu lapuk (gulinra), meggesekkan dua batu (api) di dekat sabuk kelapa atau kapas dan colo’ sumbung (korek api yang menggunakan batu api dan sumbu pembakaran), 5) makanan, minuman, bahan pembangkit gairah dan jamu-jamuan, 6) pakaian dan perhiasan (blangkon untuk orang Jawa, baju bodo wanita Bugis, passapu atau ikat kepala orang Makassar, kebaya wanita Jawa, songket orang Batak dan sebagainya), 7) tempat berlindung dan perumahan (bola orang Bugis, balla makassar, banua orang Tator, Rumoh Aceh di Aceh, nuwa(o) atau lamban di Lampung, Kaomu dan Walaka di Buton, Uma Lengge di Bima, Honai di Papua dan sebagaiya), serta 8) alat-alat transportasi: delman di Jakarta, cidomo di Nusa Tenggara Barat, bendi di Bugis, andong di Yogyakarta, Jalo trans-potarsi air di Aceh Pinggiran, geurubhak (pedati), guda (kuda) dan gritangen (sepeda) suku Kluet di Aceh Darat atau Aceh Selatan, perahu kelotok di Banjarmasin dan sebagainya. e. Sistem Mata Pencaharian Hidup Perhatian para ahli budaya tentang berbagai macam sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat tradisional saja, terutama dalam rangka perhatian mereka terhadap kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik. Khusus di bidang ekonomi, para ahli budaya hanya memperhatikan sistem ekonomi subsistensi yaitu ekonomi yang berkaitan dengan produksi yang dikonsumsi sendiri oleh suatu masyarakatnya. Berbagai sistem yang juga mendapat perhatian para ahli budaya, seperti: 1) berburu dan meramu (hunter and gathering), 2) beternak (pastoral), 3) bercocok tanam di ladang (cultivation), 4) menangkap ikan (fishing) dan 5) bercocok tanam menetap dengan irigasi (irrigated agriculture). Dari kelima sistem mata pencaharian hidup di atas, ahli budaya hanya memperhatikan sistem produksi lokalnya saja, termasuk sumber daya alam (natural resourches), cara mengumpulkan modal (basic capital collecting), cara pengerahan dan pengaturan tenaga kerja (division of labour atau job description), teknologi produksi (means of production), sistem distribusi ke pasar-pasar (market suplay) yang dekat saja dan proses konsumsinya (consumptions). Ada pun proses dan sistem distribusi dan pemasaran hasil ke pasar-pasar di luar komunitas yang menjadi lokasi penelitiannya, biasa-nya tidak mendapat perhatian dari seorang ahli budaya. Hal-hal lain yang juga turut diperhatikan oleh ahli budaya adalah masalah anggaran pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani yang biasanya diabaikan oleh para ahli ekonomi. Akhi-akhir ini bermunculan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



58



penelitian mengenai aktivitas-aktivitas pedagang di kota (urban trades), yang kadang-kadang meliputi sistem distribusi yang cukup luas dengan volume atau nilai modal yang terbatas. Menurut Abu Hamid (2003 dan 2004), bahwa sistem distribusi ekonomi orang Bugis Makassar saat ini sudah meluas, bahkan sudah mampu mendistribusikan hasilnya ke pasar antar pulau dan ekspor ke manca negara. Di Makassar, misalnya menurut beliau, tidak jarang ditemukan pabbalu'-balu' yaitu orang yang menjual pada lokasi tertentu di sebuah los pasar resmi dengan omset jualan cukup besar. Seorang pabbalu’-balu’ biasanya hanya menjual satu produk tertentu (pakaian, daging, ikan dan sebagainya). Selain itu juga terdapat paggadegadde yaitu orang yang menjual barang di sembarang tempat dan biasanya di luar lokasi pasar secara resmi (istilah saat ini adalah pasar tumpah). Omset Barang dagangannya juga lebih kecil dibandingkan dengan pabbalu'-balu', karena jenis barang dagangan umumnya bercampur baur. Artinya seorang paggadde-gadde tidak terfokus menjual salah satu produk (makanan, minuman, sembako dan sebagainya), melainkan bisa lebih dari satu produk. Sistem persedian barang (ready stock) umumnya disesuaikan dengan permintaan di pasar (market demand). f. Sistem Religi Sebelum saya membahas lebih mendalam tentang sistem religi dan sistem kepercayaan, terlebih dahulu saya harus menetapkan skop utama (main scope) studi agama dalam bingkai kebudayaan. Studi agama atau studi tentang sistem kepercayaan yang dimaksudkan dalam buku ini adalah perilaku keagamaan (religious behavior) yang dikaitkan dengan dunia keseharian penganutnya. Studi agama dan kepercayaan tidak mempelajari agama dan sistem-sistem dogmatis24nya. Akan tetapi, yang menjadi pusat perhatiannya adalah perilaku keberagamaan dari seseorang atau sekelompok orang. Jauh sebelum ilmu budaya dan antroplogi ada sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri sistem religi telah menjadi suatu pokok bahasan penting dalam beberapa buku mengenai suku-suku bangsa di dunia ini. Setelah revolusi ilmu pengetahuan terjadi secara besar-besaran, perhatian terhadap sistem religi semakin besar, terutama dalam hal: a) upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa, yang biasanya berupa unsur kebudayaan yang tampak secara lahiriah (explicit culture) dan b) bahan etnografi upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal-mula religi yang sudah ada. 24



Dogmatis adalah sikap atau perilaku seseorang yang didasari oleh kepercayaan tertentu dengan sangat kuat dan tidak dapat diubah atau tidak dapat disesuaikan dengan Kenyataan yang ada, sehingga orang tersebut tidak toleran dan terbuka dengan keberadaan ataupun pendapat yang berbeda dari orang lain atau lingkungan sekitarnya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



59



Para pengarang etnografi yang mendatangi suku bangsa tertentu, akan segera tertarik dalam hal upacara-upacara keagamaan suku bangsa tersebut, karena pada lahiriahnya tampak jauh berbeda dengan upacara keagamaan bangsa-bangsa Eropa, yaitu agama Nasrani. Pada awalnya, hal-hal yang berbeda tersebut dianggap sebagai sesuatu yang aneh, namun justru keanehannya itulah yang menarik perhatian mereka untuk mengkajinya lebih lanjut. Perilaku-perilaku agama, pada prinsipnya, sudah lama menjadi pusat perhatian, baik orang Eropa maupun dunia ilmiah pada umumnya. Dalam usaha untuk memecahkan masalah asal-mula religi, para ahli budaya biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisasisa (artefak) dari bentuk-bentuk religi kuno (animism). Sistgem religi tersebut dianut oleh seluruh umat manusia purba atau setidak-tidaknya ketika kebudayaan tersebut masih berada pada tingkat yang primitif. Dengan demikian, bahan etnografi mengenai upacara keagamaan dari berbagai suku bangsa di dunia sangat diperhatikan dalam rangka menyusun teori-teori asal mula agama. Perhatian para ahli budaya tentang religi umumnya dibagi menjadi dua, yaitu: 1) sistem religi (religion) dan 2) sistem ilmu gaib (magy). Semua aktivitas manusia berdasarkan atas suatu getaran jiwa atau emosi keagamaan (moods atau religious emotion) disebut sebagai perilaku agama (religious activities atau religious behavior). Getaran jiwa atau emosi keagamaan tersebut merupakan faktor penting dalam semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi. Seateis apapun manusia, masih pernah juga mengalami apa yang disebut getaran emosi keagamaan (mood). Sekalipun getaranjiwa tersebut hanya berlangsung beberapa detik saja, sebelum kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan inilah yang mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi. Jika frekuensi getarannya sangat tinggi menyebabkan sesuatu benda, suatu tindakan atau suatu gagasan, memiliki nilai keramat (sacred value). Sebaliknya, frekuensi getaran yang sangat rendah menyebabkan benda-benda, tindakan-tindakan, atau gagasan-gagasan menjadi tidak keramat atau biasa-biasa saja (profane). Sakral (sacred) menurut Keesing (1992: 192) adalah yang berhubungan dengan kekuatan-kekuatan tertinggi atau yang melebihi kekuatan manusia. Kekuatan tersebut menurutnya terdapat di dalam alam semesta. Lawan dari sakral adalah profane yaitu hal-hal yang biasa-biasa saja. Durkheim (Pals, 2001: 276) melihat yang sakral sebagai yang sosial, yang memiliki arti bagi klan. Menurut Keesing (1992: 280), bahwa klan (clan) adalah kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas keturunan unilineal. Keesing juga menambahkan, bahwa klan adalah kelompok atau kategori keturunan unilineal yang anggota-anggotanya menghubungkan keturunannya secara Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



60



patrilinineal (patri-clan) atau secara matrilineal (matri-clan) dengan seorang leluhur pertama. Akan tetapi tidak mengetahui urutannya secara geneologis yang menghubungkannya dengan leluhur pertama tersebut. Sebaliknya, yang profan menurutnya adalah yang memiliki arti bagi individu. Menurut Durkheim lebih lanjut, bahwa ada kaitan erat antara simbol dan ritual dengan suprnatural, sekalipun semua itu hanya merupakan penampakan luar saja. Tujuan simbol adalah sekedar untuk menyadarkan orang akan tugas sosial yang mereka lakukan dengan menyimbolkan klan, sebagai dewa totem mereka. Sebaliknya, Eliade melihat tidak ada hubungan antara sakral dengan bentuk pemujaan, karena agama menurutnya adalah yang supernatural, yang jelas dan sederhana. Meskipun Eliade menggunakan konsep Durkheim, namun padangan Eliade tentang agama lebih dekat dengan Tylor dan Frazer. Keduanya (Tylor dan Frazer) melihat agama sebagai kepercayaan yang bermuara pada supernatural. Sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu berusaha sekuat mungkin untuk memelihara emosi keagamaan pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan unsur panting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lainnya, yaitu: 1) sistem keyakinan, 2) sistem upacara keagamaan dan 3) umat yang menganut religi itu. Sistem keyakinan secara khusus mengandung banyak sub-unsur lagiL 1) konsepsi tentang dewa-dewi (baik, jahat, sifat-sifat dan tanda-tandanya), 2) konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainnya (roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang jahat, hantu dan lain-lain), 3) konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam (terciptanya dunia dan alam dalam bentuk pemahaman kosmogoni, serta bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam dalam pemahaman kosmologi) dan 4) konsepsi tentang hidup dan maut dan konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat dan lain-lain. Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek, yaitu: a) tempat upacara keagamaan dilakukan: b) saat-saat upacara keagamaan dilaksanakan; c) benda-benda dan alat upacara dan d) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Aspek pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat di mana upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya. Aspek kedua mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat, hari suci dan sebagainya. Aspek ketiga mengenai benda-benda budaya (cultural ornaments) yang dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewi, alat-alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, genderang suci dan sebagainya. Aspek keempat mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu alim ulama, para pendeta, biksu, shaman, dukun dan lain-lain. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



61



Selain itu, upacara keagamaan (religious ceremonial) juga mempunyai banyak unsur, yaitu: 1) bersanji, 2) berkorban, 3) berdoa, 4) makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, 5) menari tarian suci, 6) menyanyikan nyanyian suci, 7) berprosesi atau berpawai, 8) memainkan seni drama suci, 9) berpuasa, 10) intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan obat bius untuk mencapai keadaan mengawan-awan (trance), 11) bertapa dan 12) bersemedi. Hal yang paling esensial sifatnya adalah umat yang menganut agama dan sistem kepercayaan itu, terutama bentuk hubungan antara seorang pengikut dengan yang lainnya, hubungan pengikut dengan pemimpin agama dan sistem kepercayaanya, baik pada saat prosesi upacara keagamaan berlangsung maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal lain yang dianggap penting bagi penganut suatu agama dan sistem kepercayaan adalah keberadaan wadah atau organisasi para umat, kewajiban-kewajibannya, serta hak-hak para anggotanya dalam rangka menjalangkan agama dan kepercayaannya. g. Kesenian Kesenian yang dimaksud di sini adalah kesenian lokal (indigenous arts) yang mencakup deskripsi tentang benda-benda seni, seni rupa (patung, seni ukir, atau seni hias) dan pada peralatan sehari-hari. Deskripsi-deskripsi tersebut lebih memperhatikan bentuk, teknik pembuatan, motif perhiasan dan gaya dari benda-benda seni tadi, yang terhimpun di dalam suatu kajian seni arsitektur (arts architecture). Selain benda hasil seni rupa di atas, unsurunsur kesenian lain yang juga mendapat perhatian para etnograf adalah seni musik, seni tari dan drama. Kesenian sebagai hasil ekspresi manusia akan keindahan dapat dinikmati atau diapresiasi melalui dua hal, yaitu: a) seni rupa, atau kesenian yang dapat dinikmati dengan mata, karena bentuk penyajiannya melalui seni rupa (patung, relief atau ukir, lukis atau gambar, rias dan gerak atau seni tari) dan b) seni suara, atau kesenian yang dinikmati melalui telinga, karena bentuk penyajiannya melalui seni musik (vokal dalam bentuk nyanyian dan instrumentalia, dengan alat bunyi-bunyian dan seni sastra, termasuk prosa dan puisi. Perhatian terhadap kesenian, atau segala ekspresi manusia akan keindahan dalam kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa, pada awalnya hanya bersifat deskriptif belaka. Para pengarang etnografi akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 seringkali memuat suatu deskripsi mengenai benda-benda hasil seni, seni rupa, terutama seni patung, seni ukir, atau seni hias dan benda alat-alat sehari-hari dalam karangan-karangannya. Deskripsi-deskripsi tersebut terutama memperhatikan bentuk, teknik pembuatan, motif perhiasan dan gaya dari benda-benda kesenian tadi. Selain Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



62



seni rupa di atas, seni musik, seni tari, dan drama juga menjadi pusat perhatian para etnograf. Seni musik deskrepsinya biasanya terbatas pada: 1) alat bunyi-bunyian, 2) jalan atau alur suatu tarian dan 3) seni drama sebatas pada uraian mengenai dongengnya.



REFERENSI Abu, Hamid. 2003. Metodologi Penelitian Sosial: Suatu Strategi, Teknik dan Taktik Wawancara. Makassar: Program Pasca Sarjana Unhas. ______. 2003. Siri' & Pacce: Harga Diri Manusia Bugis. Makassar, Mandar dan Tatot. Makassar: Pustaka Refleksi. Adimihardja, Kusnaka. 2004. Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan di Indonesia: Sistem Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung (diakses Desember 2004). ______. 1999. Sistem Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Masyarakat Desa Di Indonesia, Jurnal Ekologi dan Pembangunan (Ecology and Development) No 2 terbitan bulan Mei 1999 – Ekologi Industri: Menuju Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Industrial Ecology: Towards a Sustainable Economic Development). Bandung: PPSDAL. Agus Maladi Irianto. 2005. Pencarian Identitas dan Integrasi Kebudayaan pada Masyarakat Multikultural. Seminar Internasional Keanekaragaman Budaya Sebagai Perekat Keutuhan Bangsa Menuju Indonesia Baru. Lustrum VIII Fakultas Sastra UNDIP di Semarang tanggal 8 September 2005. Alan Barnard. 2004. History and Theory in Anthropology. United State of America : Cambridge Press. Al-Barry Yacub Dahlan, M.. 2000, Kamus Sosiologi dan Antropologi. Surabaya: Indah. Arensberg C. 1940. Theoretical Contribution of Industrial and Development Studies. In Applied Anthropology in America, ed. E. M. Eddy and W. Patridge, pp. 49-78 New York: Columbia University Press. Arzaki Djalaluddin, dkk..2001. Nilai-Nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal: Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan masyarakat. Nusa Tenggara Barat: Relawan untuk Demokrasi dan HAM (REDAM). Benedict, Ruth. 1946. The Chrysanthemum and the Sword. Boston: Houghton Mifflin. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



63



Binford, L. R.. 1968. Post-Pleistocene Adaptation. In New Perspectives in Archeologi, ed. S. R. binford and L. R. Binford pp. 313-341. chicago: Aldine. Bohannan, Paul & Glazer, Mark. 1988. High Points in Anthropology (Second Edition), New York : Alfred A, Knopf. Corr, Philip J.; Matthews, Gerald (2009). The Cambridge handbook of personality psychology. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press. Charlotte, Seymour Smith. 1990. Macmillan Dictionary of Anthropology. London and Basingstoke. The Macmillan Press Ltd. Capra Fritjof. 1991. The Tao of Physics. London: Flaminggo. ______. 1997. The Web of Life A New Synthesis of Mind and Mater. London: Harper Collins Publisher. Collingwood, R. G.. The Idea of History. Oxford: Oxford University Press. Douglas, Mary. 1966. Purity and Danger: An Analysis of the Concepts of Pollution and Taboo. London: Routledge & Kegan Paul. Dutton, Roderic. 1998. Local Knowledge in Tropical Agricultural Research and Development (Peper on Tropical Agriculture Association Seminar), United Kingdom : University of Durham. El-Santoso dan Prianto S. 2001. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Terbit Terang. Firth, Raymond. 1975. Speech-making and Authority in Tikopia. In Maurice Bloch, ed. Political Language and Oratory in Traditional Society. London: Academic Press. ______. 1989. Symbols Public and Private. New York. Cornell University Press. Frake. O. Charles. 1964. A Structural Description of Subanun. Religious Behavior. In Gooenough, 964: 111-29. Reprinted in Frake. Frank. Elwell. 2001. Harris on the Universal structure of societies, archived from the original on 2015-09-30. Freud Sigmund. 1953. Introductory Lectures on Psychoanalysis. New York: Doubleday. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. ______. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. ______. 1992. The Religion of Java. Chicagi dan London: The University of Chicagi Press. Gising Basrah. 2005. Manfaat Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Katoasan Hutan Adat Karampuang (Tesis). Makassar: Pascasarjana Unhas. ______. 2009. Spektrum Kebudayaan Bugis: Sebuah Tantangan di Era Globalisasi. Makassar : Alfaroby Press. ______. 2009. Kearifan Ekologis Pasang ri Kjang dalam Sistem Pengelolaan Hutan Adat di Wilayah Adat Kajang (Disertasi). Makassar: Pascasarjana Unhas. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



64



Gelason. 1961. An Introduction to Descreptive Linguistics. (Revised Edition). New York : Holt. Rinehart and Winston. Goodenough, Ward H. 1956. Componential Analysis and The Study of Meaning. Language 32: 195–216 Hall, E. T. 1966. TheHidden Dimension. Garden City, N.Y.: Dobleday Harold Colyer Conklin. 1955a Hanunóo Color Categories. South-western Journal of Anthropology, Vol. 11, No. 4. pg. 339-344 ______. 1955b. The Relation of Hanunoo Culture to the Plant World Harris, Marvin. 2001a. [First published 1968]. The Rise of Anthropological Theory: A History of Theories of Culture, Walnut Creek, California: Alta Mira Press. ______. 2001b, [First published 1979]. Cultural Materialism: the Struggle for a Science of Culture (Updated ed.), Walnut Creek, California: AltaMira Press. ______. 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New York: Random Hous ______. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Y. Crowell. Haviland A. William. 1993. Antroplogi, Edisi Kempat, Jilid 1 dan 2. Jakarta : Erlangga. Hoebel Adamson E.. 1972. Anthropology: A Study of Man (fourth edition). New York: MacGraw-Hill Book Company. Holmes D. Lowell. 1965. Anthropology: An Introduction. New York: The Ronald Press Company. Harcourt Brace Jovanovich. Inc. Honingmann J. J.. 1973. The Development of Anthropological Ideas. Homewood Clifft :Dorsey Press. Hunter K. E. And Whitten Philip. 1982. Anthropology Contemporary Perspective. (Third edition). Boston Little, Brown and Company. Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I dan II. Jakarta: Erlangga. ______. 1971. New Perspectives in Cultural Anthropology. Holt, Rineheart and Winston, (coauthored with Felix M. Keesing). ______. 1985. Kin Groups and Social Structure. Holt, Rinehart and Winston. Thomson Learning, ______. 1976. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. Holt, Rinehart and Winston. 2nd ed. CBS College Publishing, 1981. 3rd ed. Wadsworth, 1997 (edited by Andrew Strathern). ______. 1992. Custom and Confrontation: Kwaio Struggle for Cultural Autonomy. University of Chicago Press, 1992. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



65



______. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif. Jilid I dan II. Jakarta: Erlangga. Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Khun Thomas S.. 1962. The Structure Of Scientific Revolution: a Brilliant, Original Analysis of Revolutions Consequences of Revolutions in Basic Scientific concepts. Cichgi : University of Chicago Press. Kluckhohn, C. 1942. Myth and Rituals: an general Theory. United States of America: Havard Theological Reviews. Kottak Philip. 1991. Anthropology: The Exploration of Human Diversity edisi V, New York: McGraw-Hill, Inc .. Kuran Timur. 2007. Cultural Integration and Its Discontents. Department of Economics of Duke University 213 Social Sciences Building, NC 27708, Durham : Duke University Koentjaraningrat, 1972. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta. _______. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta. _______. 1992. Beberapa Poko Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. _______, dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. _______. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan. Kridalaksana Harimurti. 2001. Kamus Linguistik; Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kroeber A. L. 1907. Indian Myths of South Central California, in University of California Publications in American Archaeology and Ethnology 4:167250. Berkeley (Six Rumsien Costanoan myths, pp. 199–202); online at Sacred Texts. _______, 1907. The Religion of the Indians of California, in University of California Publications in American Archaeology and Ethnology 4:6. Berkeley, sections titled Shamanism, Public Ceremonies, Ceremonial Structures and Paraphernalia, and Mythology and Beliefs; available at Sacred Texts _______, dan Kluckhohn C.. 1952. Culture: A Critical Review of Concept and Definitions. Peabody Museum Papers 47. 1. Cambridge: Havard University Press. _______. dan Kluckhohn C. 1952 The Nature of Culture (1952). Chicago. _______, dan Kluckhohn C. 1963. Anthropology: Culture Patterns & Processes (1963). New York: Harcourt, Brace & World (earlier editions in 1923 and 1948). Levi-Strauss, Claude. 1968. Structural Anthropology. New York: The Penguin Press, 1968. (Originally published in 1958.) Levine, George, ed. Constructions of the Self. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



66



Linton Ralph, 1965. The Cultural Background of Personality, New York: Appleton Crosta. ______. 1940. The Study of Man. New York: Appleton. Lowie, Robert H. [1927] 1962. The Origin of the State. Reprint, New York: Russell and Russell _______. 1973. Primitive Society. New York: Liveright. Luzbetak. Louis J.. 1970. The Church and Cultures. Illionis: Devine Word Publication Techny. Madjid, N. 2000. Masyarakat Religius. Jakarta: Pavamadina. Mead Margaret. 1970. Culture and Commitment: A Studi of the Generation Gap. New York: Natural History Press. Malinowski, B. 1948. Magic, Sciensce and Religion. Boston: Beacon Press. Margolis, Maxine L (2001). Introduction, in Marvin Harris, The Rise of Anthropological Theory: A History of Theories of Culture, 2001a (first published 1968). Moore, Jerry D.. 2004. Marvin Harris: Cultural Materialism, Visions of Culture: An Introduction to Anthropological Theories and Theorists (2nd ed.), Walnut Creek, CA: AltaMira Press. Mitchell, Bruce, Setiawan B. & Rahmi Hadi Dewita. 1997. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. _______. 2003. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Murphy E. Robert. 1980. Food end Population: Global Concern. Washinton, D.C.: U.S. Government Printing Office, Office of Educations Oxford English Dictionary (3rd ed.). September 2005. Oxford University Press. Orlove Benjamin S.. 1980. Ecological Anthropology: Annual Review of Anthropology, Vol. 9 (1980), pp. 235-273. Published by: Annual Reviews. Pals L. Daniel. 2001. Seven Theory of Relgion: Dari Animisme E. B. Tylor, Materialisme Karl Marx Hingga Antropology Budaya Geerzt. Yogyakarta: Qalam. Panji Anaraga. 2001. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta. Peirce C. S.. 1980. Semiotic: The Study of Culture and Meaning. New York: Cambridge University Press Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Raba Mangga dan Asnawati. 2002. Fakta-Fakta Tentang Nusa Tenggara Barat (Lombok & Sumbawa). Kerjasama antara Yayasa Pembangunan Insan Cipta dan Pemprop. Nusa Tenggara Barat. Mataram: Insan Cipta Press. Radcliffe-Brown, A.R. 1965 [1952]. Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



67



Rafael Raga Maran, 2000. Manusia & Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Robins R. H. 1980. General Linguistics: An Introductorq Survey; Third Edition. London UK : Longman Group Ltd. Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat. Schneider, 1968. Sociological Approaches to Religion. New York: Holt, Rinehart and Winston. Sahlins, Marshall. 1976. The Use and Abuse of Biology: An Anthropological Critique of Sociobiology. Ann Arbor: University of Michigan Press. _______. 1981. Culture and Pratical Reasons. Chicago : Chicago University Press. Salle, Kaimuddin. 1999. Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Suatu Kajian Hukum Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatowa Kecamatan Kajang Dati II Bulukumba (Disertasi), Makassar : Pasacasarjana Universitas Hasanuddin. Salthe N. Stanley. 1972. Evolutionary Biology. New York: Holt, Rinehart and Winston. Sapir Edward. 1931. Conceptual Categories in Primitive Languages. Majallah Science 74: 578-584. Saussure de Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Sinamo Jansen. 2011. Delapan Etos Kerja Profesional. Jakarta: Institut Mahardika. Sperber D.. 1975. Rethinking Symbolism. New York: Cambride University Press. Spradley, P. James. 1980. Participation Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston. ______. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston. ______. 1997. Metode Etnografi (diterjemahkan oleh Dr. Amri). Steward, Julian. 1955. The Theory of Culture Change. Urbana. University of Illionis Press. Sutton Q. Marks and Anderson E. N.. 2004. Introduction to Cultural Ekology. New York: BERG. Tylor, E.B. 1958 [1871]. Primitive Culture. New York: Harper Torch-books Turner, Victor. 1967. The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca and London: Cornell University Press White, Leslie. 1949. The Symbol: The Origin and Basis of Human Behavior. Philosophy of Science 7 (4): 451–63. _______. 1949. The Science of Culture. New York: Grove. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



68



BAB II PERSPEKTIF ILMU BUDAYA A. Pendekatan Holistis dan Pendekatan Komparatif Hampir semua bidang ilmu memiliki cara pandang yang berbeda dalam menganalisis dan menentukan nilai ilmiah dari obyek yang ia kaji. Perbedaan cara pandang tersebut menghasilkan pendekatan (perspective) pula. Perbedaan tersebut sangat ditentukan oleh obyek yang sedang diteliti atau diamati. Perspektif seorang dokter terhadap pasiennya sangat berbeda dengan perspektif seorang psikolog dan ahli gizi. Demikian pula perspektif seorang budayawan dengan seorang antropolog dan sosiolog tentang manusia dan kebudayaannya juga sangat berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut tergantung pada ontologi masing-masing bidang ilmu. Seorang budayawan menekankan penelitiannya pada kebudayaan dan budaya yang dihasilkan oleh manusia, antropolog lebih menekankan manusianya sebagai pencipta kebudayaan dan sosiolog menekankan penelitiannya pada manusia yang berkelompok. Pendekatan holistis sangat memerlukan pendekatan komparatif di dalam mencapai tujuannnya. Seorang peneliti yang holisme harus mengkaji seluruh rangkaian (sistem) yang membangun sebuah fenomena dengan mengedepankan prinsip emik bukan etik. Seorang peneliti harus berfikir sentrifugal atau induktif untuk mencari kesamaan atau kemiripan fenomena yang ada. Fenomena-fenomena tersebut kemudian direkonstruksi untuk menguji tingkat kebenaran rangkaian fenomena yang ada. Rekonstruksi yang saya maksud disini sangat membutuhkan prinsip periperial atau deduktif untuk membanding-bandingkan fenomena yang satu dengan yang lainnya. Pembandingan fenomena tersebut dimaksudkan untuk mencari tingkat kedekatan antar fenomena dengan memperhatikan ciri-ciri pembedanya (distinctive feature). Pada saat inilah seorang peneliti sangat membutuhkan prinsip etik untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang telah diperoleh melalui emik. 1. Pendekatan Holistis dalam Ilmu Budaya Kata holisme berasal dari holos bahasa Yunani yang berarti ‘semua, keseluruhan, total’. Holisme adalah sebuah gagasan, bahwa semua sifat dari sistem yang diberikan (fisik, biologis, kimia, sosial, ekonomi, mental, bahasa, dll.) tidak dapat ditentukan atau dijelaskan oleh komponennya sendiri. Sebaliknya, sistem secara keseluruhan menentukan dengan cara yang penting bagaimana bagian-bagian berperilaku bisa dijelaskan secara totalitas. Penggunaan pendekatan holistik berarti, semua faktor harus diperhitungkan secara keseluruhan. Semuanya harus dipandang sebagai Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



69



sesuatu yang saling bergantung satu sama lain untuk kepentingan semua. Holistik adalah salah satu pola gaya berpikir orang-orang yang bergelut di dunia Psikologi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya (ilmu budaya, antropologi, sosiologi dan sebagainya). Berpikir holistik berarti berpikir secara menyeluruh dengan mempertimbangkan segala aspek yang mungkin mempengaruhi tingkah laku manusia atau suatu kejadian. Pendekatan Holistic dalam bidang antropologi dan ilmu budaya memandang kebudayaan secara utuh atau holistik. Kebudayaan di pandang sebagai suatu yang holistik, setiap unsur di dalamnya dapat dipahami dalam keadaan terpisah. Para antropolog dan budayawan mengumpulkan semua aspek (sejarah, ekonomi, geografi, teknologi serta bahasa) untuk medapatkan generalisasi mengenai suatu kebudayaan yang kompleks. a. Perinsip Holistis dalam Ilmu Budaya Ilmu budaya adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia (cultural artifact). Dengan demikian, ilmu budaya sebaiknya dibedakan dengan antropologi (lihat pembahasan di atas), yang juga mempelajari kebudayaan, tetapi melalui manusianya sebagai pencipta budaya (the creator of culture). Saya sering menyampaikan kepada mahasiswa, bahwa ilmu budaya melihat kebudayaan sebagai kebudayaan. Jadi, ilmu budaya menjadikan kajian kebudayaan sebagai disiplin ilmu (disciplines) bukan sebagai kajian interdisipliner (interdisciplines). Kebudayaan menjadi kajian sentral dari ilmu budaya, yang kemudian dihubungkan dengan kajian-kajian interdisipliner lainnya: antropologi dari segi manusianya, psikologi dari segi kepribadiannya, sosiologi dari segi stratumnya, kedokteran dari kesehatannya, ekonomi dari segi bentuk-bentuk transaksinya dan masih banyak lagi yang lainnya. Sekalipun hampir seluruh pembahasan antropologi juga menjadi pokok bahasan ilmu budaya, namun perbedaannya tetap ada: ilmu budaya mengkaji kebudayaan sebagai kebudayaan (disipliner) dan antroplogi mengkaji kebudayaan melalui manusiannya (interdisipliner). Perbedaannya, sekali lagi saya katakan di sini, justru hanya terletak pada sudut pandangnya (paradigm) saja. Antropologi mengkaji kebudayaan melalui manusianya (athropos), sedangkan ilmu budaya mempelajari kebudayaan (culture) yang dihasilkan oleh manusia. Sasaran utama antropologi budaya adalah kebudayaan manusia, serta bagaimana kebudayaan tersebut terwujud di dalam kehidupan sosial dan berfungsi sebagai alat bantu (tools) dalam memecahkan tantangan hidupnya. Jadi, pada prinsipnya dapat dikatakan, bahwa kebudayaan tanpa manusia tidak mungkin, karena tidak ada yang menciptakan. Sebaliknya, manusia tanpa kebudayaan juga mustahil, karena tidak ada alat untuk mengantisipasi permasalahan yang mereka alami. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



70



Secara sederhana kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan. Manusia juga menggunakan kebudayaan untuk dihadapi dan menciptakan, serta mendorong terwujudnya kelakuan (perilaku) yang terpola. Bila disimak dengan baik akan tampak, bahwa dalam definisi tersebut di atas, pengertian kebudayaan hanya mencakup pengetahuan: yaitu sistem pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dengan demikian, kebudayaan pada hakekatnya ada pada alam pikiran manusia dan dimiliki oleh indi-vidu-individu atau para anggota masyarakat. Jadi saya dapat katakan, bahwa kebudayaan adalah milik masyarakat sepenuhnya tanpa memperhatikan individu yang menggunakan dan sumbernya, seperti yang dipahami oleh ahli budaya dan antropolog. Penggunaan definisi kebudayaan yang hanya mencakup pengertian pengetahuan sifatnya sangat operasional, karena dalam definisi tersebut pengetahuan atau satuan ide dibedakan dari kelakuan dan hasil kelakuan, yang tidak termasuk dalam kategori kebudayaan. Kebudayaan (atau ide) memang perlu dibedakan dari kelakuan dan hasil kelakuan. Akan tetapi, ketiga-tiganya masih saling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi dalam kegiatan kehidupan manusia. Bila kebudayaan kognitif (cultural knowledge), kelakuan (cultural behavior) dan hasil kelakuan (cultural artefact) tersebut dikategorikan sebagai satu pengertian yaitu kebudayaan, maka hakekat saling kait mengkait dan saling mempengaruhi diantara ketiganya dalam kehidupan manusia memang ada. Ketiga unsur kebudayaan di atas, pada dasarnya, muncul dari permasalahan hidup yang sedang dihadapi manusia. Ketika manusia tidak memiliki masalah, maka kebudayaan dipastikan tidak ada, karena memang keberadaanya hanya untuk membantu manusia menyelesaikan masalahnya. Keterkaitannya dapat dilihat dalam bagan berikut: Culture Cultural knowledge Cultural behavior Cultural artifact



Dari bagan di atas dapat diketahui, bahwa kebudayaan muncul kerena Phenomenon adanya fenomena. Fenomena berasal dari bahasa Yunani phainomenon artinya ‘apa yang terlihat atau apa yang menjadi kenyataan’. Fenomena dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai gejala atau hal-hal yang dirasakan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



71



dengan pancaindra. Menurut Freud (1923), bahwa fenomena adalah sesuatu yang muncul dari kenyataan (realities) dan harapan (expectations). Fenomena sebagai sesuatu kenyataan sama dengan yang diharapkan, dipastikan tidak ada permasalahan. Akan tetapi, fenomena yang bertentangan dengan yang diharapkan itu yang bermasalah. Menurut Freud seseorang dapat menjadi stres berat (neurosis), karena fenomena tidak sama dengan harapan (kenyataan). Jadi, kebudayaan muncul dari fenomena yang sedang dan akan dihadapi oleh manusia. Munculnya pertama kali penggunaan sepeda erat kaitannya dengan kenyataan, bahwa manusia membutuhkan alat transporttasi dari suatu tempat ke tempat lain. Munculnya ide untuk menggerakkan sepeda dari suatu tempat tertentu membutuhkan roda, yang bentuknya bundar bukan yang segi empat. Fenomena, bahwa benda yang bulat jauh lebih gampang menggelinding atau berputar pada suatu sumbu jari-jari dibandingkan dengan benda yang segi empat. Mengapa, karena garis penampangnya tidak sama, sehingga tidak membentuk jari yang berfungsi sebagai titik sumbu putar. Setelah melalui serangkaian analisa melalui pengalaman, pencipta akhirnya dapat memenuhi harapan alat transportasi melalui sebuah lingkaran yang memiliki titik sumbu putar. Pencipta sepeda tersebut akhirnya menemukan sesuatu (invention) untuk memecahkan fenomena alat transportasi. Munculnya fonemena yang berbeda dapat memunculkan kebudayaan yang berbeda, ide yang berbeda, perilaku yang berbeda dan hasil perilaku yang berbeda pula. Saya ambil contoh makanan yang terbuat dari sagu. Orang Bugis mengkonsumsi sagu hanya sebatas sebagai makanan tambahan saja: didorok tawaro (dodol sagu) dan cindolo’ tawaro (cendol sagu). Akan tetapi kebudayaan lain, yang menjadikan sagu sebagai makanan pokoknya, seperti Luwu memiliki banyak variasi tentang kuliner yang tebuat dari sagu: kapurung (sagu dicampur dengan sayuran) dange olahan dari sagu yang menyerupai roti kering. Dange biasanya disajikan dengan pacco’, lawa’, parede (semacam sup ikan). Pocco’ adalah makanan khas orang Luwuk berbahan baku ikan segar, yang diolah tanpa proses pemanasan. Sebagai gantinya, pacco’ memanfaatkan asam cuka. Pacco’ sendiri dalam pengolahannya menggunakan banyak sekali cabai rawit yang telah dihaluskan terlebih dahulu dengan tanpa menggunakan blender. Lawa’ merupakan olahan lanjutan dari pacco’, namun rasanya sudah tidak sepedas pacco’. Lawa’ sendiri biasanya berbahan baku olahan pacco’ yang kemudian dicampur dengan sayuran dan parutan kelapa yang agak muda. Sama seperti pacco’, lawa’ tidak melalui proses pemanasan (dimasak, digoreng, dikukus dan diasapi). Lawa’ biasa disajikan dengan pacco’ dan dange, namun biasa juga dengan nasi hangat. Munculnya variasi pengolahan kuliner tersebut berkaitIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



72



an erat dengan pola ide-ide, perilaku dan hasil perilaku pendukung dari masing-masing kebudayaan. Seperti halnya dengan orang Luwu di atas, orang Bugis juga kaya akan khasanah kuliner, yang berpangkal pada kata pule’ atau nanre. Orang Bugis mengenal kuliner-kuliner berikut: 1) pule’ otti yaitu makanan yang berbahan dasar beras ditambahkan pisang (musa acuminata) yang dipotong kecil-kecil, 2) pule’ lame yaitu makanan yang berbahan dasar beras ditambahkan ubi (anihot utilissima) yang dipotong kecil-kecil, 3) pule’ baka yaitu makanan yang berbahan dasar beras ditambahkan sukun (artocarpus altilis) yang dipotong kecil-kecil, 4) pule’ barelle yaitu makanan yang berbahan dasar beras ditambahkan beras jagung (zea mays ssp). Makanan seperti ini juga sering disebut nanre lelu (nasi jagung). Kadang-kadang juga disebut nanre pule’ bila beras dicampur dengan jagung yang sudah direbus lalu ditumbuk hingga berbentuk pipih, 5) pule’ siapa atau nanre siapa yaitu makanan yang berbahan dasar beras ditambahkan ubi hutan (dioscorea hispida dennst). Ubi tersebut kemudaian dipotong-potong kecil-kecil lalu direndam di air mengalir, agar kandungan racunnya hilang dan masih banyak lagi kuliner khas orang Bugis yang lainnya. Bahkan, dengan menggunakan pengertian hakikat benda dari gejala sebagai tolok ukurnya, perbedaan kebudayaan dan kelakuan, serta hasil kelakuan tersebut dapat dilihat sebagai perbedaan antara satuan ide (kebudayaan) dengan satuan gejala (kelakuan dan hasil kelakuan). Kedua hal tersebut merupakan dua satuan yang pada hakekatnya berbeda, karena satuan ide berada di dalam kepala manusia (cultural knowledge), sehigga tidak bisa dilihat. Sedangkan satuan gejala adanya pada tingkat atau tataran kenyataan (cultural behavior), sehingga bisa dilihat dan diraba (cultural artefact). Bila dikatakan, bahwa kebudayaan itu berupa pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, kebudyaan tersebut diperoleh melalui warisan genetika (genetical herritage), pendapat itu tidak benar. Kebudayaan tidak pernah diturunkan melalui gen seperti halnya dengan binatang. Burung beo pintar berbicara, karena memang ada unsur gen yang diwarisi melalui instingnya. Tindakan tersebut ditransmisikan melalui pembiasaan (habitation). Sedangkan kebudayaan bagi manusia diturunkan dari generasi ke generasi melalui pembudayaan (enculturation). Jadi, manusia memperoleh kebudayaannya melalui kedudukannya sebagai mahluk sosial. Hal ini berarti, bahwa kebudayaan tersebut mereka peroleh melalui lingkungannya dengan cara belajar. Dengan proses balajar seperti ini manusia mampu memperoleh, menambah dan mengurangi berbagai macam pengetahuannya, sesuai dengan yang dibutuhkan untuk memecahkan permasalahn hidupnya. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



73



Terdapat tiga cara untuk mempelajari dan menerima kebudayaan sebagai milik seseorang yaitu; 1) melalui pengalaman dari hidup dalam menghadapi tantangan lingkungannya. Dari Pengalamannya tersebut manusia dapat memilih suatu tindakan yang setepat-tepatnya sesuai permasalahan lingkungan yang dihadapi, serta sesuai keinginan yang ingin dicapai; 2) Melalui pengalaman dalam kehidupan sosial, yang pada prinisipnya sama dengan nomor 1 di atas. Akan tetapi, penekanannya agak berbeda, dimana nomor satu lebih menekankan faktor ransangan atau stimulus lingkungan fisik sebagai sumbernya. Sedangkan pada nomor dua faktor stimulus tersebut sumbernya lebih banyak dari kehidupan sosial manusia. Dalam kahidupan sosial kedua lingkungan tersebut bisa memainkan perannya dalam proses belajar kebudayaan, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri. Demikian pula, pemisahan dari keduanya dimaksudkan untuk kepentingan analitis mengenai peran masing-masing lingkungan tersebut, 3) Melalui petunjuk-petunjuk atau sering juga dinamakan melalui komunikasi simbolik. Artinya, berbagai pengetahuan yang didapat oleh mananusia telah diperoleh melalui suatu komunikasi dengan orang lain (ungkapan dan kata-kata serta isyarat-isyarat simbol tindakan dan ungkapan gerak tubuh) yang mempunyai pengertian. Dalam proses penerimaan pengetahuan melalui komunikasi simbolik tersebut, petunjuk-petunjuk atau petuah-petuah lebih ditekankan daripada pengalaman dari sipenerima pesan komunikasi. Meskipun, pada hakekatnya kebudayaan dimiliki oleh warga masyarakat atau warga suatu kesatuan sosial, kebudayaan yang dimiliki oleh individu, pada prinsipnya, juga dimiliki bersama oleh individu lain yang tergabung di dalam warga suatu masyarakat. Tentu saja hal ini dimungkinkan oleh adanya saling komunikasi di antara mereka dengan menggunakan simbol-simbol kebudayaan yang dapat dimengerti bersama (conventional). Dengan demikian, dapat dikatakan mereka mempunyai kebudayaan yang sama. Pelaksanaan ritual kematian Bugis, misalnya, agak berbeda pelaksanaannya dalam kebudayaan orang Toraja (rambu solo’). Orang Bugis lebih memilih binatang kurban berupa sapi dan kambing, karena orang Bugis jarang yang mengkonsumsi kerbau. Sebaliknya, orang Tator lebih memilih kerbau dan babi dibandingkan dengan sapi dan kambing. Akan tetapi, keduanya membutuhkan binatang korban (kerbau, babi, sapi dan kambing) untuk disembelih dalam upacara kematian keluarga mereka. Keduanya memilih binatang korban tersebut dengan harapan dan keyakinan, bahwa binatang tersebut kelak menjadi kendaraannya menuju akhirat (ahera’) bagi orang Bugis dan surga (puya) bagi orang Tator. Orang Tator membutuhkan banyak binatang korban (kerbau dan babi), agar roh leluhur mereka secepatnya sampai di tujuannya. Sedangkan orang Bugis hanya membutuhkan satu Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



74



ekor sapi atau kambing saja sebagai kendaraan roh untuk sampai ke tujuannya. Almarhumah mama saya, suatu ketika berpesan kepada saya, agar kelak kalau beliau meninggal minta dipotongkan seekor sapi sebagai kendaraannya kelak menuju ketempat tujuannya (akhirat). Oleh karena itu, kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungannya. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Bagaimana corak pengetahuan tersebut, sehingga dapat berfungsi demikian dan 2) Bagaimana secara operasional penggunaan kebudayaan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungannya. Hampir semua ahli budaya sepakat, bahwa kebudayaan (culture) itu sifatnya abstrak. Yang tampak adalah perilaku (cultural behavior) dan hasil dari kebudayaan itu sendiri yaitu benda (cultural artifact). Selain wujud kebudayaan dalam bentuk lahiriah (eksplicit culture), juga terdapat dalam bentuk batiniah (tacit culture). Perlu dijelaskan di sini, bahwa kebudayaan yang tampak berupa perilaku (cultural belurovir) dan dalam bentuk materi atau kebendaan (cultural artefact), pada prinsipnya merupakan perwujudan dari kebudayaan yang tidak tampak berupa: gagasan, ide-ide dan nilai-nilai. Semuanya terangkum di dalam mental imajinasi manusia berupa kognisi (culural knowledge). Jadi, kebudayaan yang tampak tersebut merupakan refleksi apa yang ada di dalam pikiran pencipta dari hasil budaya tersebut. Sebagai contoh perbedaan bentuk gagang cangkul orang Bugis dengan orang Jawa pada umumnya. Gagang cangkul orang Bugis agak panjang dengan tujuan, agar rileksasi dalam mencangkul tetap ada. Artinya, orang Bugis dapat melakukan aktifitas mencangkul dalam keadaan dan posisi badan tetap tegap. Sebaliknya, gagang cangkul orang Jawa pendek-pendek dengan tujuan, agar energi yang digunakan dalam melakukan aktifitas mencangkul tidak banyak terbuang. Artinya, orang Jawa memilih mencangkul dalam posisi agak telungkup dengan tujuan energi yang digunakan dalam mengayun cangkulnya tidak terlalu banyak. Contoh lain dengan adanya refleksi kognisi pencipta kebudayaan terhadap ciptaannya adalah bentuk dan struktur rumah orang Bugis-Makassar. Rumah bagi orang Bugis pada umumnya dan masyarakat adat Kajang pada khususnya merupakan salah satu bentuk prestise tersendiri. Dengan demikian, setiap warga masyarakat adat Bugi-Kajang menjadikannya sebagai suatu bentuk kebutuhan dasar (basic atau primary need), selain kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bila orang Kajang ditanya impian dan tujuan hidupnya, mereka akan menjawab dengan penuh sederhana dan simpel sebagaimana dalam pasang (pesan lisan dari leluhur), bahwa a'ra'ki' nganre narie', riek care-carenna, riek bolana situju-tuju, riek galunna na kokonna, riek pammali juku'-na, anjomi nikua katallassang ganna'mi artinya ‘kita mau makan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



75



ada makanan, mau berpakaian ada pakaian, mau berteduh ada rumah yang sederhana, butuh pangan ada sawah dan ladang, serta mau membeli ikan ada uang, itulah yang dimaksud dengan kehidupan sesungguhnya’. Jawaban tersebut mencerminkan prinsip hidup kamase-maseyya (hidup bersahaja) yang merupakan tuntunan dari Tu' Rie' A'ra'na (sang Pencipta). Rumah bagi orang Bugis-Makassar dianggap sebagai suatu bentuk tolok ukur kesatriaan dan tanggung jawab seorang laki-laki dalam kapasitasnya sebagai kepala rumah tangga. Seorang laki-laki yang mampu membuatkan rumah untuk istri dan anaknya disebut sebagai orowane sulapa' eppa’ artinya 'laki-laki yang satria dan bertanggung jawab’. Seorang laki-laki yang tidak mampu membangun tempat tinggal buat keluarganya dan tetap menumpang pada keluarga digelar sebagai makkunrane atau calabai artinya ‘seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab atau diseja-jarkan dengan bencong atau waria’. Rumah adalah mikrokosmos dari alam jagad raya ini. Oleh karena itu, pembagian tata ruang orang Bugis Makassar menyerupai dengan tata ruang jagad raya ini. Bagian atas rumah disebut sebagai rakkiang (loteng atas), tengah rumah disebut ale bola (lantai tengah) dan bawah rumah disebut sao bola (bagian bawah rumah). Pembagian seperti ini didasarkan pada pembagian susunan bumi menurut persepsi orang Bugis-Makassar, yaitu: Langi' (langit), liu atau lino (dunia tempat kita hidup) dan buri' liu (dunia bawah). Konsep kosmologi dunia atas (langit) dianggap sebagai tempat bersemayamnya para dewa bagi penganut Hindu dan langit tujuh susun dalam kosmologi orang Islam. Hampir semua benda yang disimpan pada loteng atas rumah orang Bugis adalah benda-benda yang dianggap memiliki nilai sakral. Padi, misalnya, dianggap jelmaan dari dewa padi (Sang Hyng Sri) selalu harus disimpan di atas loteng. Kesakralannya terletak pada sebuah ritual adat penyimpanan padi di loteng (mappaenre’ ase). Di loteng ini pula sering disimpan benda-benda budaya (cultural oranaments), seperti: harta pusaka, bakul tempat uang, tempat tinggal kucing dan lumbung padi. Sedangkan bagian tengah rumah (ale bola) digunakan sebagai tempat interaksi sosial sehari-hari. Ruang tengah rumah orang Bugis juga memiliki tiga kosmos, yaitu: bagian depan rumah (latte’ riyolo) dijadikan sebagai tempat atau ruang tamu, bagian tengah rumah (latte’ ritengnga) dan bagian belakang rumah (latte’ riboko’atau jongke’) tempat memasak dan membuang air kecil dan gudang persiapan konsumsi. Dibagian bawah rumah (sao bola) yaitu tempat penyimpanan alat-alat pertanian, bahan ramuan rumah dan tempat ternak. Pada masa lampau seseorang yang dilarang keras melewati drainase rumah (passiring), karena dianggap melanggar privasi pemilik rumah 25. 25



Lihat Gising (2008) dalam bukunya Sejarah Kerajaan Bulo-Bulo Tondong Lamatti: Manipestasi Sinjai Bersatu, yang mengulas kasus Arung Laganing yang dibunuh oleh I



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



76



Seseorang yang hendak melewari kolong rumah seseorang harus meminta izin kepada pemiliki rumah melalui pesan lisan: punna bola lalowa’ riyawa bolamu artinya ‘wahai tuan rumah saya numpang lewat di kolong rumahmu’. Selain itu rumah juga dianggap sebagai mikrokosmos dari tubuh manusia. Hal ini tercermin di dalam pembagian ruang rumah, seperti; bagian depan disebut ulu bola (kepala rumah), bagian tengah rumah watampola (tubuh atau badan rumah) dan bagian belakang rumah disebut uri' bola (pantat rumah). Jadi, sangat jelas di sini, bahwa rumah dipersonifikasi sesuai dengan bentuk tubuh manusia. Kepala dianggap sebagai bagian tubuh yang paling mulia, karena di kepalalah sebagaian panca indera ada: 1) telinga untuk mendengar, 2) mata untuk melihat, 3) lidah untuk mengecap dan 4) hidung untuk penciuman. Di dalam kepala juga terdapat otak, yang digunakan untuk berfikir. Badan rumah diasosiasian dengan badan manusia, dimana terdapat dua tangan untuk berbuat sesuatu. Di bagian belakang rumah (uri’ bola) tempat, dimana hal-hal yang berkenaan dengan anus yaitu tempat kotoran-kotoran terbuang. Di bagian belakang rumah terdapat tempat buang air kecil dan kadang-kadang tinja, ketika pemiliki rumah dalam keadaan sakit. Kolong rumah terdapat comberan untuk menampung dan mengalirkan air sisa pembuangan konsumsi ke parit besar. Penganut aliran strukturalis, seperti Claude Levi-Strauss (1968) yang melihat kebudayaan sebagai suatu struktur sosial (social structure) memang selalu menjatuhkan pilihannya pada kebudayaan yang tampak di atas. Akan tetapi, pengertian struktur di sini jangan dikacaukan dengan struktur (structure) dalam pengertian awam yaitu sesuatu yang dapat dilihat atau sesuatu yang terstruktur. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan struktur oleh Levi-Strauss? Ia melihat struktur itu sebagai sesuatu yang tidak nyata dan manifestasinya tidak ril, karena hal itu berupa model-model kognitif dari sebuah kenyataan. Struktur yang dimaksud adalah berupa seperangkat norma (norms), nilai (values) dan aturan (rules) yang tersusun menjadi sebuah model mental imaginasi (cognition). Selain itu, menurut pandangan teori strukturalisme, bahwa di dalam keanekaragaman budaya ada sebuah struktur pembentuk yang sifatnya universal, yang sama dimanapun dan kapanpun juga. Claude Levi-Strauss adalah pendiri faham strukturalisme, yang pertama kali menjelaskannya Massalinri. I Laganing marah kepada I Massalinri yang melewati kolong rumahnya tanpa seizin dengannya terlebih dahulu. Keduanya terlibat adu mulut yang berujung pada kematian Arung Laganing. Ia didatangi oleh I Massalinri di tengah malam buta dengan hujan gerimis memberi kesempatan seluas-luasnya kepada I Massalinri untuk membunuh Laganing, yang teridur pulas dengan buaian desis angin sepoi-sepoi ditambah percikan air di selokan istana Arung Laganing.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



77



secara lebih rinci dan detail tentang prinsip-prinsip dasar struktural. Ia adalah seorang ahli antropologi Prancis, yang konsisten menggunakan paradigma struktural dalam pemahaman atas fenomena sosial-budaya yang beraneka ragam. Pada prinsipnya, ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam mengkaji, menginterpretasi dan mempelajari fenomena-fenomena kebudayaan: 1) evolusi, 2) difusi, 3) fungsionalisme, 4) strukturalisme dan 5) materialisme. Teori-teori tersebut mengalami pasang-surut sejalan dengan waktu. Kekuatan dari masing-masing teori tersebut akan diuji melalui realitas kehidupan manusia. Ketangguhan sebuah teori akan terbukti apabila ia memiliki daya guna bagi manusia dalam mencapai kemaslahatan. Dengan demikian, adakalanya sebuah teori harus hilang (anomali), lalu digantikan oleh teori baru, karena teori itu dianggap sudah tidak relevan lagi dengan realita kehidupan. Menurut Thomas S. Kuhn (1962) dalam bukunya The Structure Of Scientific Revolution, bahwa paradigmalah yang membimbing peneliti untuk menjelaskan temuannya secara ilmiah. Akan tetapi, ketika yang bersangkutan tidak bisa menjelaskan temuannya dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah, itulah yang disebut anomali. Jadi, anomali artinya ketika sebuah temuan konsep atau teori terbantahkan, karena tidak sesuai dengan hasil temuannya dengan fakta dan fenomena di lapangan. Pendekatan kajian teks dan konteks, saat sedang naik daun. Kajian tekstual merupakan kajian yang memandang fenomena budaya sebagai suatu teks yang relatif berdiri sendiri. Kajian kontekstual, di pihak lain, merupakan kajian yang menempatkan fenomena tersebut dalam konteks yang lebih luas, yaitu konteks sosial-budaya masyarakat tempat fenomena budaya tersebut muncul dan berkembang. Menurut Ahimsa Putra (2000), bahwa kajian kontekstualistik tampaknya akan semakin didominasi oleh pendekatan ekonomi dan politik yang sedikit banyaknya bersangkut paut dengan fenomena budaya tersebut. Dalam kajian tekstualistik boleh dikatakan didominasi oleh pendekatan hermeneutik (interpretative) dan pendekatan struktural ala Lévi-Strauss. Akan tetapi, saya perlu jelaskan disini, bahwa pendekatan hermenutik, tidak banyak saya jelaskan dalam buku ini. Mengapa, ketika saya berbicara tentang pedekatan strukturalisme, saya pasti akan berhadapan dengan prinsip-prinsip teori strukturalisme Lévi-Strauss. Menurut Levis-strauss masyarakat bersahaja dianggapnya sebagai contoh dari masyarakat elementer dan manusia yang hidup di dalamnya tentu berfikir secara elementer pula (la pensee sauvage). Masyarakat bersahaja



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



78



biasanya didominasi oleh sistem kekerabatan (kindship)26. Warga-warganya berinteraksi berdasarkan sistem simbolik yang menentukan sikap mereka terhadap paling sedikit tiga kelas kerabat, yaitu: a) kerabat karena hubungan darah, b) kerabat karena hubungan kawin dan c) kerabat karena hubungan keturunan. Hubungan antara saudara sekandung dan hubungan karena perkawinan, menurut Levi-strauss secara universal selalu bertentangan satu dengan yang lainnya berdasarkan kebutuhan mereka. Seorang individu biasanya akan bersikap positif dalam hubungannya dengan iparnya. Kehidupan kekerabatan menurut Levi-strauss dianggap hubungan positif, berdasarkan sikap bersahabat, mesra dan cinta-mencintai. Sedang-kan, yang dianggap hubungan negatif adalah hubungan berdasarkan sikap sungkan, resmi dan menghormati. Hubungan ini biasanya terlihat di dalam hubungan mertua-menantu dan kemanakan-paman. Salah satu bentuk kelebihan teori strukturalisme, karena mampu menjelaskan sistem kekerabatan dan mitologi. Hubungan keduanya dapat dijelaskan melalui sistem simbolis, sehingga sistem kekerabatan secara simbolik dibuat dalam bentuk berpasang-pasangan (system biner), yaitu: bapak-ibu, adik-kakak, tante-paman, anak kandung-anak tiri, nenek-kakek dan sebagainya. Selain itu, teori strukturalisme mampu membedakan tiga hubungan kekerabatan secara primer, yaitu: matrilineal, patrilineal dan parental.  Keseluruhan fenomena di atas harus dilihat sebagai satu rangkaian secara totalitas (holistis). Saya dan juga teman-teman budayawan lainnya akan mengkaji fenomena tersebut dengan menggunakan kacamata elang, bukan dengan kacamata bendi. Masalah sagu, misalnya, bagi orang Luwu tentu harus dibedakan dengan masalah sagu di kalangan orang Bugis. Rangkaian fenomena bagi orang Luwu tentang sagu sangat panjang dibandingkan dengan rangkaian fenomena sagu orang Bugis. Orang Luwu mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok, sedangkan orang Bugis menjadikan sagu sebagai makan tambahan. Ketika orang Luwu dan ahli kuliner Luwu meneliti tentang kuliner sagu, tentu saja tidak sedalam dengan orang Bugis yang tidak ahli dalam kulier sagu. Saya ambil contoh kapurung (makanan khas Luwu), yang dibuat oleh orang Luwu jauh lebih enak dibandingkan dengan kapurung yang dibuat oleh orang luar Luwu. Meng-



Lihat Fox, Robin (1967: 30) sistem kekerabatan adalah jaringan hubungan sosial yang membentuk bagian penting dari kehidupan semua manusia di semua masyarakat, meskipun arti persisnya bahkan dalam disiplin ini sering diperdebatkan. Menurut Robin, studi tentang kekerabatan adalah studi tentang apa yang dilakukan manusia dengan faktafakta dasar kehidupan: pernikanan, reproduksi, kehamilan, orang tua, sosialisasi, persaudaraan, dan sebagainya. 26



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



79



apa demikian, karena khasanah kebudayaan orang Luwu tentang kapurung jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang luar Luwu. Jadi, kesimpulan saya di sini, bahwa ketika kita (anda dan saya) berfikir holisme tentang kebudayaan, maka kita harus menggunakan prinsipprinsip holisme ilmu budaya dan bukan holisme antropologi (lihat pembahasan selanjutnya). Menurut saya, sangat salah ketika kita berada di bawah naungan ilmu budaya (the science of culture) masih tetap mau bernaung dibawah payung raksasa antroplogi. Ada perbedaan ranah kajian antara ilmu budaya dengan antropologi dalam menjamah masalah kebudayaan. Perbedaannya terletak pada perspektif yang digunakan. Sekali lagi saya katakan disini, bahwa ilmu budaya membedah kebudayaan dengan menggunakan pisau-pisau kajian kebudayaan bukan kajian manusia (anthro-pos). Jadi, menurut saya sangat salah ketika anda harus mengupas sebiji mangga dengan menggunakan kapak atau parang, karena yang cocok adalah pisau dapur yang tajam. Demikian pula ketika anda hendak membelah kelapa, yang dibutuhkan adalah kapak atau parang dan bukan lagi pisau dapur. b. Holisme dalam Antropologi Holisme adalah suatu pemikiran yang menyatakan, bahwa sistem alam semesta, baik yang bersifat fisik, kimiawi, hayati, sosial, ekonomi, mentalpsikis, maupun kebahasaan, harus dipandang sebagai sesuatu yang utuh dan bukan merupakan sesuatu yang terpisah. Sistem alam, yang begitu rumit dan kompleks tidak dapat dipahami bila kita hanya mempelajarinya dengan cara parsial-parsial. Sistem tersebut harus dipejari secara utuh dan menyeluruh. Perlu saya tekankan disini, bahwa holisme pada perinsipnya, harus dibangun di atas sebuah sistem. Sistem adalah sebuah rangkaian yang saling mendukung satu sama lain, sehingga bila ada salah satu sistem yang rusak, yang lainnya juga ikut bermasalah. Saya dapat analogkan disini, bahwa holisme yang tidak bersistem dapat dipastikan gagal, karena holisme adalah kesatuan dan keutuhan dari semua fenomena kajian yang ada. Kata holisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1926 oleh Jan Smuts dalam bukunya yang berjudul Holism and Evolution. Ia adalah seorang negarawan asal Afrika Selatan. Menurutnya asal kata holisme diambil dari bahasa Yunani holos, yang berarti ‘semua atau keseluruhan’. Smuts mendefinisikan holisme sebagai sebuah kecenderungan alam untuk membentuk sesuatu yang utuh, sehingga sesuatu tersebut lebih besar daripada sekadar gabungan-gabungan dari hasil evolusi. Salah satu cabang dari antropologi yaitu etnologi mutlak menggunakan prinsip holisme dalam kajiannya. Seorang etnografer, sekaligus misionaris dari Perancis bernama Maurice Leenhardt, mencetuskan istilah cosmomorfisme untuk mengindikasikan adanya hubungan timbal-balik yang sempurna antara seseorang dengan lingkungIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



80



annya. Ia melakukan penelitian, sekaligus melakukan misinya di Melanesia, khsusnya di Kaledonia Baru. Ia mengalami sedikit masalah, karena masyarakat di daerah tersebut tinggal secara teripisah. Akibatnya, individu terisolasi dari individu lainnya dan tidak memiliki status yang jelas, sekalipun ia hidup di lingkungan Kaledonia Baru. Dengan hanya mengenal seorang individu, tentu saja Maurice Leenhardt tidak dapat mengambil sebagai patokan untuk mengenal sebuah komunitas. Ia kemudian menggunakan perspektif holisme dengan cara mengumpulkan data (kognisi, perilaku dan hasil perilaku) dari seluruh warga yang berdomisili di wilayah Melanesia, khsusnya di Kaledonia Baru. Itulah sebabnya, ia mencetuskan cosmomorfisme sebagai sinyal kepada semua peneliti, bahkan misionaris lainnya, agar meletakkan perinsip holisme sebagai paradigma penting dalam kajiannya. Lawan dari holisme adalah reduksionisme, yaitu paham yang menyatakan, bahwa suatu sistem yang kompleks dapat dijelaskan dengan cara mempelajari hal-hal yang menjadi dasar sistem tersebut (reduction). Saya ambil contoh, proses biologis dapat dijelaskan melalui proses kimiawi. Proses kimiawi tersebut kemudian dapat diterangkan melalui proses fisika. Akibatnya, proses fisika dapat menjelaskan proses kimiawi yang menjadi dasar terjadinya proses biologis. Akan tetapi, pekerjaan seperti ini sangat sulit, karena peneliti diperhadapkan pada dua bidang ilmu (biologi dan fisika), yang masing-masing memiliki wilayah kajian tersendiri. Bisa dibayangkan berapa waktu dibutuhkan untuk mereduksi fenomena bilogi menjadi yang sekecil-kecilnya. Berapa lama pula waktu yang dibutuhkan untuk mereduksi fenomena biologi menjadi yang sekecil-kecilnya. Saya juga akan mengutip pendapat Nicholas A. Christakis, bahwa dalam beberapa abad terakhir, proyeksi Cartesius dalam ilmu pengetahuan berhasil memisahkan suatu permasalahan hingga menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dengan tujuan untuk memperoleh suatu pemahaman. Sekalipun ia berhasil dalam memisah-misahkan sesutu hingga pada batasan-batasan tertentu, namun ia tidak mampu menyatukan kembali bagian-bagian kecil tersebut menjadi suatu kesatuan yang utuh (Auyang, 1999). Istilah holisme dipakai, baik dalam antropologi sosial maupun budaya, untuk menjelaskan keadaan suatu masyarakat dimana masyarakat dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dibagi menjadi komponen-komponen yang lebih kecil. Berdasarkan konsep holisme, seorang antropolog tidak boleh menganggap, bahwa batas-batas institusional yang ditetapkan dalam masyarakat obyeknya tidak boleh diberlakukan untuk masyarakat yang lain. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa salah satu perbedaan antara pendekatan holisme di dalam ilmu budaya dan antropologi adalah terletak pada paradigma dari kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu budaya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



81



melihat kebudayaan sebagai kebudayaan (disipliner), tetapi antropologi melihat kebudayaan lewat pintu manusianya (interdisiplnier). Jadi, saya dapat berkesimpulan, bahwa holisme dari kedua bidang ilmu tersebut pasti berbeda, karena keduanya berangkat dari ontologi yang berbeda. Ontologi ilmu budaya adalah kebudayaan (the science of culture), sementara ontologi antropologi adalah manusia (the study of man). Permasalahan yang kemudian timbul adalah manusia menciptakan kebudayaan demi untuk mempermudah penyelesaian masalahnya. Jadi, ketika seorang antropolog hendak menerapkan holisme kajiannya dalam masalah manusia (anthropos), maka secara otomatis harus menukik lebih kedalam yaitu kajian kebudayaan dan budaya. Hasil kajian seorang antropolog dianggap tidak holistis, ketika hanya membahas masalah manusia sebagai individu yang terpisah dari kebudayaannya. Ketika para antropolog mengatakan, bahwa ontologi antropologi adalah manusia dan kebudayaan, berarti kajiannya tersebut dipastikan bias (rancu), karena salah satu label keabsahan ilmu pengetahuan adalah tidak memiliki lebih dari satu ontologi. Demikian pula ketika seorang budayawan hendak mengkaji kebudayaan secara holistis harus menetapkan kebudayaan (juga budaya) sebagai ontologinya. Saya sendiri sangat menyayangkan ketika seseorang yang melabel dirinya sebagai budayawan, tetapi kajian-kajiannya masih tetap tergantung pada studi manusia (antropologi). Akibatnya, hasil kajian antara budayawan dan antropolog menjadi rancu, karena keduanya tidak memperhatikan perinsip mayor-minor dalam domain kajian masing-masing. Saya ambil contoh dua mata kuliah yang secara sepintas lalu sama, namun kajian mayor dan minornya sangat berbeda. Mata kuliah linguistik antropologi dan antropolinguistik memiliki prinsip minor dan mayor yang sangat berbeda, sehingga membutuhkan paradigma dan perspektif yang berbeda pula. Linguistik antropologi main major kajiannya adalah manusia dan main minornya adalah bahasa. Artinya, seorang peneliti harus meletakkan studi manusia sebagai main fokusnya, dengan menggunakan pisau-pisau ilmu bahasa dalam kajiannya. Sebaliknya, antropolinguistik memiliki wilayah kajian mayor bahasa dan minornya adalah antropologi. Artinya, seorang peneliti antropolinguistik harus menggunakan pendekatan antropologi dalam mengkaji bahasa sebagai ontologinya. Jadi, sebelum kita (saya dan anda) melakukan penelitian pada kedua bidang kajian tersebut di atas, terlebih dahulu harus menentukan: ontologi (obyek formal), epistemologi (proses dan cara oengkajian) dan aksiologi (hasil kajian). Bila tidak, berarti saya dan anda akan menghasilkan kajian yang tidak jelas, bahkan kajian yang bias. c. Perspektif Holisme dalam Penelitian Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



82



Hampir seluruh kajian ilmu budaya dan ilmu-ilmu sosial lainnya, terutama kajian tentang kebudayaan selalu membutuhkan pendekatan holisme dan komparasi guna mendapatkan esensi dari hubungan antara manusia dengan kebudayaan. Manusia sebagai pencipta kebudayaan harus dipandang secara totalitas dalam hubungannya dengan kebudayaan. Hubungan antara manusia dengan kebudayaan sangat kompleks, sehingga kajian parsial sangat tidak memungkinkan. Oleh karena itu, di dalam buku berjudul Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar, betul-betul mengantar para pembacanya guna memahami perinsip-prinsip dasar dalam studi kebudayaan dan budaya. c.1 Pandangan Antropologis Ada dua pendekatakan dalam antropologi budaya kontemporer, yang saat ini lagi naik daun: materialisme budaya dan antropolog interpretatif. Pakar materialisme budaya Marvin Harris memandang kebudayaan sebagai gaya hidup yang diperoleh secara sosial dari sekelompok orang. Definisi ini mempertahankan penekanan pada holisme yang ditetapkan oleh Tylor. Sebaliknya, Clifford Geertz, yang berbicara tentang penafsiran kebudyaan, mendefinisikan kebudayaan sebagai sesuatu yang terdiri dari simbol, motivasi, suasana hati dan pikiran. Para penganut interpretatif mengenyampingkan perilaku (karsa) dari hasil perilaku (rasa) sebagai bagian utama dari analisis interpretatif kebudayaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa para penganut interpretatif lebih mengarah pada bagaimana menginterpetsi sistem pengetahuan (cultural knowledge) yang dimiliki oleh manusia. Penganut interpretatif memokuskan analisisnya pada simbol-simbol budaya sebagai representasi dari tanda (sign). Simbol pula yang menjadi acuan persepsi yang kemudian berakhir pada pengertian (referent). Perlu juga saya jelaskan di sini, bahwa pendekatan holistik memungkinkan para antropolog untuk mengembangkan pemahaman tentang masyarakat yang kompleks. Antropologi juga menambahkan dimensi lain dari analisisnya melalui perbandingan lintas budaya (multy cultural systems). Ketika seorang antropolog, misalnya, meneliti masyarakat tertentu, ia pasti tertarik untuk meneliti bagaimana masyarakat itu mirip atau berbeda dari yang lainnya. Hal ini memungkinkan para antropolog untuk mengkaji apa yang tampak (nyata atau alami) di dalam dunia kebudayaan tempat mereka meneliti. Sebagai contoh, seorang antropolog yang sedang mempelajari konflik Hutu-Tutsi di Rwanda akan memahami kasus-kasus kekerasan sosial yang mirip atau serupa di tempat lain. Ia harus memahami esensi konflik yang terjadi di Serbia-Kroasia-Albania di negara bekas Yugoslavia, yang juga memiliki tendensi kekerasan sosial. Kedua bentuk konflik ini menyebakan terjadinya kekerasan, bahkan berakhir pada pembersihan etnis Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



83



(genocide)27. Istilah genosida diperkenalkan oleh Raphael Lemkin dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe 1944 (dalam Schabas, 2000; Geoffrey, 2018). Itu telah diterapkan pada Holocaust dan banyak pembunuhan massal lainnya: genosida masyarakat adat di Amerika, Armenia, Yunani, Asyur, Serbia, Holodomor, Indonesia, Guatemala, Bangladesh 1971 dan genosida Kamboja. Pembunuhan massal yang terjadi setelah tahun 1980: genosida Bosnia, Kurdi, Darfur dan genosida Rwanda. Pendalaman dari kedua kasus ini menghasilkan kajian holisme, karena keduanya memang memiliki ciri dan sifat konflik yang sama. Akan tetapi, untuk memperoleh hasil yang maksimal, antropolog yang bersangkutan harus membandingkan dengan kasus yang mirip yaitu gerakan separatisme di Quebec, yang ternyata tidak menyebabkan terjadinya kekerasan massal. c. 2 Holisme Sebagai Pendekatan dan Strategi Penelitian Holisme juga dilihat sebagai strategi penelitian yang memisahkan antropologi budaya dari disiplin lainnya. Holisme adalah pencarian hubungan sistematis antara dua atau lebih fenomena. Salah satu keuntungan dari periode kerja lapangan yang panjang (long term researches)dan observasi partisipan penuh (full participation research) adalah memberi kesempatan kepada antropolog untuk melihat hubungan timbal balik antara berbagai aspek budaya. Salah satu contohnya adalah penemuan hubungan antara kondisi ekologis, pola subsistensi dan organisasi sosial. Pendekatan holistik memungkinkan untuk mendokumentasi hubungan sistematis antara variabel-variabel ini, sehingga memungkinkan terungkapnya ber-bagai hubungan dalam sistem, yang pada akhirnya menuju ke pemahaman prinsip-prinsip umum dan konstruksi teori. Dalam istilah praktis, holisme juga mengacu pada pendekatan multifase untuk mempelajari kebudayaan. Antropolog yang bekerja di lingkungan kebudayaan tertentu biasanya memperoleh informasi tentang topik yang tidak terlalu penting, atau bahkan sangat menarik, untuk proyek penelitiannya. Akan tetapi, ketika antropolog menggambarkan kebudayaan yang mereka kerjakan, biasanya tidak dapat menghindari diskusi tentang sejarah kebudayaan, linguistik, sistem politik dan ekonomi, pola pemukiman, ideologi dan agama. Seorang antropolog harus melihat rangkaian variabel ini dalam satu kesatuan yang utuh (holisme). Selain itu, seorang antropolog harus pandai-pandai menyeimbangkan antara pendekatan emik dan etik dalam pekerjaan mereka. Mereka juga harus memahami masalah teoritis tertentu, karena kebudayaan merupakan landasan yang baik untuk penguji27



Genosida adalah tindakan yang disengaja untuk menghancurkan orang (biasanya kelompok etnis, nasional, ras, atau agama) secara keseluruhan atau sebagian. Etimologi kata genosida adalah kombinasi dari kata Yunani génos (ras, orang) dan Latin suffix-cide (tindakan membunuh).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



84



an teori. Perspektif holistik antropologi membantu pekerja lapangan memahami pola ini. Holisme berarti, bahwa antropolog melihat seluruh konteks masyarakat ketika menganalisis fitur tertentu. Saya ambil contoh, ketika anropolog bermaksud untuk memahami kebiasaan minum teh di Jepang. Seorang antropolog dalam menghadapi obyeknya, terlebih dahulu menyelidiki agama, estetika dan sejarah Jepang, ekonomi, hubungan sosial, politik dan gender. Antropolog lain yang sedang meneliti medis di Jepang menganggap, bahwa upacara minum teh merupakan salah satu bentuk terapi alternatif bagi orang Jepang, yang selama ini tergantung pada dokter. 2. Pendakatan Komparasi dalam Ilmu Budaya dan Antropologi Kebesaran dan keunggulan ilmu budaya terletak pada kedalaman komitmen-komitmennya dalam rangka menggunakan metode komparatif (comparative method) dalam pencapaian tujuannya. Para ahli budaya berbeda dengan ahli lainnya, karena ia tidak melihat obyeknya hanya pada satu sisi saja, melainkan melihat sesuatu dengan seluas-luasnya dengan menggunakan ketajaman analisisnya. Jadi, tidak salah bila dikatakan, bahwa seorang ahli budaya menggunakan kacamata elang28 dan bukan kacamata bendi, yang hanya mampu melihat ke depan saja. Seorang ahli budaya tidak mau menerima beberapa bentuk generalisasi sifat manusia yang diangkat dari pengalaman mereka dalam masyarakat tertentu, bahkan dengan dua atau tiga masyarakar lainnya. Jika, seseorang sedang berbicara tentang manusia dan sifat manusia, seseorang perlu mengetahui keseluruhan fosilfosil tubuh manusia (rang of human biology), perilaku manusia (human behavior) dan bentuk sosial (social forms) yang ditampakkannya melalui metode komparatif ini. Antropologi yang lebih dekat dengan ilmu budaya, sejak awal kajiannya tentang manusia dengan kebudayaannya, memang telah menggunakan metode komparatif ini. Sebut saja nama, seperti J. J. Bachofen, Herbert Spencer, L. H. Morgan, E. B. Tylor dan masih banyak yang lainnya. Dalam memulai studi budayanya, mereka telah melakukan perbandingan berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus kebudayaan yang ada di muka bumi ini. Mereka termasuk perintis aliran evolusi uniliniar (uniliniar evololution) yaitu suatu metode yang berusaha membandingkan tingkat perkembangan suatu kebudayaan. Dengan demikian, terciptalah istilah kebudayaan 28



Penggunaan istilah kacamata elang di sini mengacu pada ketajaman penglihatan seekor elang yang mampu mengindentifikasi mangsanya dalam jarak pandang yang sangat jauh. Ketajaman penglihatan tersebut disebabkan oleh adanya kebebasan untuk mem-bidik mangsanya dalam berbagai sudut. Sebaliknya, pemakaian istilah kacamata bendi di sini dimaksudkan untuk menggambarkan pemahaman yang sempit dan hanya satu arah oleh seseoang, seperti halnya seekor kuda yang dipasangi alat pembatas penglihatan ketika sedang menarik gerobak yaitu hanya depan dan belakang saja.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



85



primitif dan kebudayaan modern atau populer (popular culture)29. Spencer dalam bukunya The Evolution of Society, Lewis Henry Morgan dalam bukunya Ancient Society dan Edward Burnett Tylor (1871) dalam bukunya Primitive Culture, merupakan salah satu bukti kehebatan metode komparatif yang mereka gunakan. Meskipun demikian, tidak sedikit pula ahli budaya yang sangat jijik, bahkan alergi dengan penggunaan metode ini. Sebut saja ahli antropologi Inggris Levi-Strauss dan pengikut-pengikutnya, yang dengan terang-terangan menolak metode komparatif yang sedang dikembangkan di Inggris. Mereka sangat yakin, bahwa upaya untuk memahami masyarakat dan kebudayaan manusia pada umumnya harus melalui pendekatan holistic. Artinya, semua unsur kebudayaan, hingga pada aspek yang sekecil-kecilnya pun mempunyai fungsi yang bermakna bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan dalam arti umum. Dalam analisis komparatif, menurut mereka, seorang peneliti hanya mencabut unsur-unsur kebudayaan dari konteks masyarakat yang hidup untuk dijadikan satu-satuan bandingnya. Bronislow Malinowski juga ikut menentang metode komparatif ini dengan melakukan penelitian observasi berpartisipasi langsung (full participation observations) pada masyarakat Trobriand di Papua New Guinea. Bahkan, untuk menjalin keintiman dengan informan-informannya di lapangan, Malinowski menyempatkan diri belajar bahasa Trobriand dan berinteraksi dengan informannya. Edmund Leach (1961: 4) seorang guru besar antropologi di universitas London Inggris dalam bukunya The Thinking Anthropology benar-benar mengecam metode komparatif ini. Leach, bahkan mengasosiasikan ahli-ahli budaya yang menggunakan metode komparatif melakukan suatu pekerjaan segampang dengan pekerjaan seorang anak yang menangkap dan mengumpulkan kupu-kupu di lapangan terbuka. Kecaman keras pun dilontarkan Leach terhadap cara kerja A. R. Radcliffe Brown (1900) yang membuat generalisasi dari beberapa pranata sosial melalui studi komparatifnya. Brown memaksa para peneliti untuk menerobos dan mengisolasi pranata-pranata tersebut dari masyarakatnya yang masih hidup. Kritik Leach lebih lanjut, bahwa pranata-pranata yang tidak dipahami fungsinya adalah pranata yang sudah mati dan tidak mengandung makna apa-apa lagi. Dengan demikian, kajian generalisasi seperti ini adalah pekerjaan sia-sia dan tidak bersifat ilmiah. Satu-satunya, menurut Leach lebih lanjut, yang mungkin mereka lakukan adalah generalisasi-generalisasi yang bersifat tautologis. Tautologis adalah membuat pernyataan yang sudah 29



Lihat Alan Barnard (2004: 196), cultural studies the discipline concerned with the study of mass culture, popular culture, etc. Although it touches on anthropological interests, it has its origins in and its most direct links with literary criticism and sociology.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



86



diketahui umum, tapi itu pun masih pekerjaan yang menghabiskan waktu dan menjengkelkan saja. Kecaman yang tidak kalah pedasnya dilontarkan oleh Franz Boas (1896). Boas sempat mempublikasikan kritikannya terhadap metode komparatif ini dalam artikel yang berjudul The Limitations of the Comparative Method of Anthropology. Menurut Boas dalam prinsip relatifisme kebudayaan, semua kebudayaan adalah sama dan tidak dapat dibandingkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak akan mungkin ada kebudayaan terkebelakang dan kebudayaan yang lebih maju. Semua kebudayaan harus dipandang sebagai dirinya sendiri, tanpa harus membandingkan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin pula menurut Boas untuk mengatur oktaf tinggi atau rendahnya derajat sebuah kebudayaan dalam jalur evolusi dan sejarah sebuah kebudayaan. Boas kemudian memperlihatkan beberapa bentuk kelemahan metode komparatif berikut ini: 1) sangat tidak mungkin mengetahui keseluruhan tipe budaya dengan hanya mengklaim, bahwa kebudayaan itu sama, karena adanya kesamaan berpikir manusianya, 2) penemuan kesamaan karakter dalam sebuah kebu-dayaan tidak terlalu penting bagi para ahli budaya yang akan memakainya dan 3) kesamaan karakter yang ada boleh dikembangkan untuk berbagai alasan dalam kebudayaan yang berbeda dan 4) pandangan yang menyata-kan, bahwa perbedaan-perbedaan kebudayaan sangat mengakar, juga tidak terlalu berdasar, karena perbedaan kebudayaan itu hanya penting bagi penelitian etnografi, bukan ilmu budaya. Franz Boas berusaha mengubah dan menjawab kelemahan metode komparatif tersebut dengan penekanan berikut: 1) adat-istiadat harus dipelajari dalam bentuk detail dengan melihatnya sebagai bagian dari kebudayaan secara menyeluruh dan 2) distribusi adat-istiadat terhadap kebudayaan sekitar juga harus dianalisis, tetapi tidak melalui sebuah perbandingan. Dengan adanya perseteruan dua kubu di atas, A. J. F. Kobben (1952 dan 1970) guru besar antropologi di Amsterdam membagi dua kelompok ahli budaya, yaitu: 1) orang-orang yang merintis dan menggunakan metode komparatif dalam kajiannya disebut komparatifis (comparativist) dan 2) yang tidak percaya atau tidak pernah mau kompromi dengan metode komparasi disebut anti-komparatifis (non-comparativist). Kobben sendiri sangat setuju dan tidak apriori pada salah satu kubu di atas. Ia, bahkan melihat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari perseteruan tersebut, karena menurutnya keduanya saling menunjang, serta keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Keuntungan yang mungkin dapat dipetik dari yang komparasi adalah tersedianya bank data dari berbagai kebudayaan dari suku bangsa di atas dunia ini melalui sistem komparasi dari Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



87



kebudayaan-kebudayaan yang ada. Seorang ahli budaya yang memilih menggunakan metode komparasi tersebut, secara otomatis harus mempelajari sekurangnya dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan tujuan untuk mencari generalisasi. Sebaliknya, keuntungan yang dapat diperoleh dari penganut metode anti-komparasi adalah tersedianya data yang betul-betul akurat dan sahih dibandingkan dengan anti-komparasi tersebut. Seorang anti-komparasi dalam melakukan kajiannya cenderung tidak melirik kebudayaan lain selain yang ada di depannya. Konsekuensi logisnya dia melihat kebudayaan itu sebagaimana adanya, sehingga pembahasannya cenderung tidak bias dengan prinsip-prinsip budaya lainnya. Menurut Gopala Sarana (1975), bahwa dalam ilmu antropologi kurang lebih ada empat macam penelitian komparatif, yaitu: (1) penelitian komparatif dengan tujuan menyusun sejarah kebudayaan manusia secara inferensial, (2) penelitian komparatif untuk menggambarkan suatu proses perubahan kebudayaan, (3) penelitian komparatif untuk taxonomi kebudayaan dan (4) penelitian komparatif untuk menguji korelasi-korelasi antar unsur, antar pranata dan antar gejala kebudayaan. Poin 4 (empat) dilakukan guna membuat generalisasi tentang tingkah-laku manusia pada umumnya. B. Pendekatan Emik dan Etik Hunter (1982: 274) mendefinisikan etik sebagai the perspective of Western social science in general and anthropology in particular, as applied to the study of different cultures. Dalam Bohannan (1988: 378) juga disebutkan, bahwa beberapa ahli budaya, khususnya Marvin Harris mendekati problematika budaya melalui pendekatan etik. Ia melihat dasar-dasar keobyektifan dan memberikan alasan materealis terhadap fenomena yang ada. Kebudayaan yang kita miliki dalam menjawab pertanyaan adalah salah bila menggunakan emik, karena itu tidak dapat diterima oleh semua kalangan. Orang India tidak memakan daging sapi, misalnya, karena alasan ekonomi bukan agama. Memakan daging sapi berarti akan memutus mata rantai suplai susu, karena berkurangnya binatang peliharaan secara drastis. Alasan agama merupakan representasi dari alasan emik dalam kebudayaan orang India, yang tidak memakan daging sapi. Pendekatan inilah mungkin yang secara umum digunakan oleh ahli-ahli materialisme kebudayaan lainnya. Hal ini pulalah yang menjadi perbedaan cukup signifikan dengan ahli-ahli budaya lainnya, yang cenderung menggunakan emik dan menghindari etik di lapangan. Menurut Smith (1990: 92) bahwa emics is the culturally organized cognitive constructs of a people being investigated (the folk perspective). Awalnya, istilah ini diperkenalkan oleh seorang linguis (ahli bahasa) bernama Kenneth L. Pike (1967) yang diturunkan dari kata fonetik dan fonemik. Fonetik memperhitungkan bahasa berdasarkan pada pengukuran fisik bunyi, berbeda Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



88



dengan fonemik yang memokuskan diri pada model-model perbedaan bunyi yang diucapkan oleh penutur secara sadar atau tidak sadar (conscious or unconscious). Perbedaan antara emik dan etik dalam ilmu budaya menjadi hangat beberapa waktu, ketika digunakan untuk mengkontraskan antara model realitas indigenus dari eksplikasi (explication) dan presentasi (presentation) di salah satu pihak dibandingkan dengan deskripsi dan perbandingan sistem sosial menurut keriteria si peneliti di pihak lain. Oleh karena itu, analisis emik yang menekankan pada arti subyek (subject meaning) yang tergabung di dalam kelompok sosial dan kebudayaannya membentuk model pengalaman. Sementara analisis etik mengacu pada pengembangan dan aplikasi dari model-model yang diangkat dari analis-analis teori formal dan kategori formal. Kontras seperti ini dihubungkan dengan perdebatan relativisme budaya (cultural relativism) dan posisi kontroversinya (cultural ethnocentrism) dalam ilmu budaya. Meskipun demikian, dalam pandangan umum, perbedaan emik dan etik itu bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan dalam ilmu budaya. Apa yang dibedakan dalam disiplin ilmu ini, justru kombinasi perbedaan model masyarakat budaya (natives model), termasuk di dalamnya model natif data kebudayaan dari peneliti sendiri. Model natif tersebut diangkat dari kebudayaan dan masyarakatnya dengan penekanan sintetis teori atau generalisasi (generalization). Perbedaan emik dan etik, sebaliknya tidak dapat digunakan untuk mengklasifikasi atau membagi pendekatan ilmu budaya ke dalam kategori formal. Mengapa, karena hal itu tidak pernah mengacu pada area kontroversi yang kursial. Hak ini juga tidak penah menjadi sesuatu yang sangat penting di dalam ilmu budaya. Kaplan dan Manner (2000: 29-31) menyebut prinsip emik dan etik sebagai pandangan dari dalam terhadap kebudayaan (emik) dan pandangan dari luar terhadap suatu budaya (etik). Pandangan yang didasarkan pada kategori konseptual warga budaya yang bersangkutan disebut sebagai pendekatan emik. Sedangkan pemerian menurut susunan kategori konseptual dalam ilmu budaya atau sebagaimana kebudayaan itu dipandang dari luar disebut pendekatan etik. Menurut B. Malinowski (1992), hendaknya tujuan yang dijangkau oleh etnografi adalah penangkapan hal-hal yang harus diketahui seseorang, agar mampu mengenal dan menjelajahi seluk beluk suatu kebudayaan tertentu. Sekalipun demikian, pendekatan emik juga memiliki beberapa kekurangan, karena; 1) Kebanyakan orang memiliki pandangan sangat terbatas mengenai cara kerja sistem tempatnya hidup, 2) Seringkali orang memandangnya dari titik yang menguntungkan menurut posisi strukturnya sendiri, 3) Penafsiran terhadap budaya sendiri penuh dengan rasional, 4) Penelitian ilmu budaya yang pantas dan patut adalah tidak hanya melalui cara pandang orang pribumi (emik), tetapi juga meIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



89



nyingkapkan bagaimana hal-hal tersebut terkait dengan konstruk-konstruk, pemahaman, dan teori ilmu budaya yang tidak terkait dengan konteks (etik) dan 5) Secerdas apapun seorang peneliti tidak akan pernah menyadari sepenuhnya bagaimana sistem dan struktur mempengaruhi dan mengungkung perilakunya. Hampir seluruh buku pengantar ilmu budaya dan pengantar antropo-logi menyebut disiplin ini bersifat holistik dan komparatif. Perspektif ilmu budaya adalah holistik, karena mencoba mengkaji pengalaman manusia secara keseluruhan (Ember dan Ember, 2014). Bahwa sanya, berbeda dari pemahaman politik, sosiologi, atau ekonomi, ahli budaya selalu berupaya keluar dari perilaku politik, sosial, atau ekonomi. Budayawan cenderung mempelajari saling keterkaitan di antara semua faktor kehidupan manusia tersebut. Tentu saja, ahli budaya berupaya menggabungkan lebih banyak faktor ke dalam analisis holistik mereka, termasuk ekologi biologi, sejarah linguistik dan ideologi. Perspektif ilmu budaya dikatakan komparatif, karena disiplin ini mencari informasi dan menguji eksplanasinya di kalangan semua kebudayaan primitif, sejarah dan kontemporer terhadap kebudayaan-kebudayaan yang masih eksis. Prinsip komparasi dalam ilmu budaya bukan menyamakan semua kebudayaan yang ada, tetapi mencari ensensi data hakiki dari masing-masing kebudayaan yang dibandingkan. Oleh karena itu, prinsip komparasi ini harus dikombinasikan dengan penelitian grounded (grounded reseach). Grounded Research adalah penelitian yang menggunakan analisis perbandingan dengan tujuan untuk membuat generalisasi empiris, menetapkan konsep-konsep, membuktikan teori, dan mengemukakan teori baru. Dalam grounded research, pengumpulan dan analisis data dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Penelitian grounded merupakan sebuah metodologi riset atau penelitian ini juga biasa dipahami sebagai sebuah pendekatan penelitian dimana data lapangan menjadi sumber formulasi teori. Dengan kata lain, penelitian ini menggunakan teori yang muncul kemudian, disaat atau setelah data lapangan terkumpul. Oleh karena itu, keseluruhan data yang terkumpul melalui grounde research keabsahannya tidak diragukan lagi, karea dalam aplikasinya mengunakan metode melingkar berjenjang. Artinya, keabsahan data dilakukan dengan melakukan perbandingan melingkar sebanya lima items. Kelima item tersebut disusun secara berjenjang ke atas, sehingga data yang dianggap benar hanyalah satu. Jika kelima items tersebut, hanya dua yang benar dari kelima peebandingan, data tersebut dicurigai salah. Sebaliknya, jika kelima items tersebut tiga yang benar, data tersebut dicuragai benar. Lima items pertama dibandingkan dengan lima items lainnya dan hasilnya menyunjukkan: 1) tiga yang benar dan dua yang salah, data pertama dan kedua benar adanya, 2) jika data pertama dan kedua memang menunjukkan dua yang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



90



salah, maka maka data yang pertama dengan yang kedua adalah sama; tiga yang benar dan dua yang salah, 3) Jika data yang pertama berbeda dengan data kedua, diperlukan data ketiga sebanyak lima items pula dan 4) Data yang dianggap benar adalah yang memiliki kesamaan antara data pertama, kedua dan ketiga. Alnalisis grounded memang memerlukan waktu yang cukup lama, tetapi hasilnya cukup maksimal. Oleh karena itu, banyak diantara peneliti kualitatif menghindari penggunaan metode ini, karena dianggap kurang efisien dan efektif. Pendekatan ilmu budaya mungkin tidak selalu holistik dan komparatif dalam praktiknya, tetapi ilmu budaya adalah satu-satunya disiplin ilmu sosial yang membangun holisme dan pembandingan sebagai sasaran ideal yang hendak dicapai. Oleh karena itu, ilmu budaya merupakan satusatunya disiplin ilmu sosial yang secara sistematik memperhatikan perbedaan antara pengetahuan emik dan etik. Pembedaan antara emik dan etik, pada prinsipnya, merupakan analog dengan pembedaan antara fonemik dan fonetik dalam ilmu bahasa. Konsep ini diperkenalkan oleh Kenneth L. Pike (1967), yang membangun istilah emik dan etik dari analogi ilmu bahasa (fonetik dan fonemik). Secara sangat sederhana, emik mengacu kepada pandangan warga masyarakat yang dikaji (native's viewpoint). Sedangkan etik mengacu kepada pandangan sipeneliti (scientist's viewpoint). Konstruksi emik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh partisipan dalam suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis. Konstruksi etik adalah deskripsi dan analisis yang dibangun dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh komunitas pengamat ilmiah. Dalam pengantar teori antropologi yang sifatnya ringkas, namun berbobot. Robert Lawless (1979) membahas istilah emik dan etik dalam kerangka model folk dan model analitis. Model folk, menurut Lawless, adalah representasi stereotipikal, normatif dan kurang kritikal dari realitas yang dimiliki bersama oleh para anggota (natives) suatu kebudayaan. Model analitis, di pihak lain, adalah representasi profesional, eksplanatoris dan komprehensif dari realitas yang diakui oleh komunitas ilmiah. Pembedaan yang dibangun oleh Lawless antara model-model folk dan analitis adalah identik dengan pendekatan emik dan etik. Akan tetapi, tentu saja istilah folk dan analitis itu tidak perlu digunakan secara intensif dalam buku ini, karena istilah emik dan etik sudah baku dalam kepustakaan ilmu budaya. Saya memang sering memakainya dalam mendekati beberapa kasus penelitian yang pernah saya lakukan (lihat riwayat hidup terlampir). Setiap penelitian saya, selalu menggunakan kedua pendekatan (emik dan etik) tersebut dalam rangka mencapai tujuan penlitian saya. Emik saya gunakan ketika saya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



91



menumpulkan data dan etik saya gunakan dalam mengalisis data yang terkumpul. Saya selalu berusaha mengilmiahkan (etik) dari semua pandangan hidup masyarakat sebagai ontologi penilitian saya (emik). Saya tidak pernah merasa aneh dan lucu dari setiap pendapat dan pandangan, ketika saya berhadapan dengan obyek atau informan saya. Prinsip saya adalah mengapa ia katakan hal itu, bukan apa yang informan katakan kepada saya. Perkataan informan saya anggap tanda (sign) dan apa ia katakana merupakan representasi dari apa yang ada dibenaknya (signifier atau symbol). Apa yang ia simbolkan dari perkataanya, saya arahkan ke arti secara hakiki (deep structure atau the meaning of meaning). Jadi, saya bermain pada dua sisi dari perkataan informan saya. Sisi pertama adalah struktur permukaan (surface structure) dan strukutur batiniah (deep structure). Apa yang ada dipermukaan (perkataan) selalu berkaitan dengan apa yang ada dibelakangnya (arti). Hubungan keduanya harus dianalisis dengan menggunakan pendekatan interpretative untuk membaca dan menginterpretasi simbo-simbol yang ada. Saya tidak akan pernah berpegang pada suatu teroi, konsep dan pendapat, selama saya melakukan pengumpulan data. Mengapa, karena saya sharus memperlakukan data dari informan saya sesuai dengan fakta dan kenyataan yang ada di dalam kebudayaan mereka (kognisi, perilaku dan artefak). Dapat dikatakan, bahwa konsep emik dan etik itu menjadi objek diskusi semantik yang hampir sama hangatnya dengan diskusi tentang konsep kebudayaan. Para ahli budaya sibuk saling menyalahkan, karena dianggap keliru menggunakan konsep emik dan etik itu. Dalam buku ini saya menganjurkan, agar kita tidak terjerumus untuk menyalahkan salah satu pihak, melainkan berupaya merumuskan dari suatu sintesa kepustakaan yang ada menjadi seperangkat definisi yang berdaya guna dan produktif untuk digunakan di lapangan. Tidak ada gunanya kita saling menyalahkan, karena memang itu tidak perlu. Apa yang harus dilakukan adalah memperlakukan data sesuai apa adanya. Jangan gunakan emik ketika memang belum dipelukan dan jangan pula gunakan etik jika belum saatnya. Pakailah sepatu bila anda hendak berjalan di aspal panas dan pakailah topi ketika anda berjalan diterik matahari. Jangan melakukan justru sebaliknya, karena dipastikan anda akan mengalami kesulitan. Meskipun demikian, saya sendiri menghadapi kesulitan untuk membahas kontroversi antara emik dan etik secara menyeluruh, karena emik dan etik tidak ada kaitannya dengan isu-isu ontologi 30. Ada tiga hal yang anda 30



Ontologi menurut Michaël Devaux and Marco Lamanna (2009) is the philosophical study of being. More broadly, it studies concepts that directly relate to being, in particular becoming, existence, reality, as well as the basic categories of being and their relations. Traditionally listed as a part of the major branch of philosophy known as metaphysics, ontology often deals with



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



92



hadapi di dalam menekuni filsafat keilmuan: 1) Ontologi adalah cabang ilmu filsafat mengenai sifat (wujud) atau fenomena yang ingin diketahui manusia. Dalam ilmu sosial ontologi berkaitan dengan sifat pada interaksi sosial atau komunikasi sosial. Ontologi merupakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan, 2) Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia, sehingga epistemologi kadang-kadang disebut sebagai teori pengetahuan dan 3) Aksiologi yaitu teori nilai yang berhubungan dengan kegunaan dari pengetahuan yang didapatkan. Ilmu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu: a) moral conduct: yaitu tindakan moral yang melahirkan etika, b) esthetic expression: ekspresi keindahan dan c) sosio-political life: kehidupan sosial politik. Sangat tidak mungkin bagi kita untuk membicarakan deskripsi emik, atau analisis etik, bahkan eksplanasi emik atau etik, kecuali hanya untuk membicarakan fakta, benda-benda, entitas atau kejadian yang tidak ada hubungannya dengan emik dan etik tersebut. Kajadian-kejadian dan entitas yang termasuk ke dalam dunia empiris semata-mata hanya berupa kejadian dan entitas status ontologis yang tetap dan tidak pernah berubah, karena hal tersebut selalu merupakan konstruksi epistemologis. Marvin Harris (1979: 32) adalah salah satu pendukung utama pembedaan pendekatan emik atau etik dalam kajian antropologi. Ia menawarkan suatu bentuk pemikiran yang berguna dalam membedakan pernyataanpernyataan emik dan etik atas dasar epistemologi ilmu pengetahuan (epistemological science). Harris, lebih lanjut mengatakan, bahwa kerja emik yang dianggap mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat peran informan pada status penilaian tertinggi dalam kecukupan deskripsi dan analisis pengamat. Pengujian kecukupan dari analisis emik adalah kemampuannya menghasilkan pernyataan-pernyataan yang dapat diterima informan sebagai sesuatu yang nyata, bermakna atau sesuai dengan yang mereka ketahui. Kerja etik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat peran pengamat ke status penilaian tertinggi dari kategori-kategori dan konsep-konsep yang digunakan dalam deskripsi dan analisis. Sekalipun emik dan etik adalah konstruksi epistemologi, keduanya tidak ada kaitannya dengan metode penelitian, melainkan dengan struktur penelitian (lihat Pelto dan Pelto, 1989). Dengan kata lain, pengujian epistemologi yang kritis bukanlah bagaimana pengetahuan itu diperoleh, melainkan bagaimana pengetahuan itu divalidasi. Adalah mungkin untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan kedalam suatu kerangka untuk memperoleh questions concerning what entities exist or may be said to exist and how such entities may be grouped, related within a hierarchy, and subdivided according to similarities and differences.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



93



interpretasi etik dari informan. Sama halnya kemungkinan untuk memperoleh interpretasi emik mengenai kejadian-kejadian atau sekurangkurangnya membangun prediksi-prediksi yang beralasan mengenai responrespon emik melalui pengamatan bebas (independent observation). Oleh karena itu, pembedaan antara data yang diperoleh atas dasar wawancara dan pengamatan saja tidak dengan sendirinya mencukupi untuk membangun status emik atau etik terhadap deskripsi dan analisis yang akan dilakukan. Akan tetapi, deskripsi dan analisis tersebut harus diukur dengan menggunakan standar-standar lain, yakni: penilaian dari natives (untuk emik) dan evaluasi dari antropolog (untuk etik). Aspek lain dari karya Harris umumnya berkarakter non-evolusi. Berbeda dengan ahli-ahli evolusi lainnya yang tertarik dalam pengembangan sebuah kebudayaan. Harris tidak tertarik untuk menjelaskan bagaimana sebuah kebudayaan dapat berkembang. Dia lebih tertarik untuk menjelaskan karakter pengembangan kebudayaan tertentu dalam suatu masyarakat melalui penggunaan pendekatan etik dan aplikasi dari konsep materialisme kebudayaannya. Harris tertarik dalam meneliti dan menemukan jawaban pertanyaan seperti kenapa orang India tidak makan lembu? Ini merupakan pertanyaan khusus mengenai sebuah karakter kebudayaan secara spesifik dan bukan merupakan isu dalam evolusi kebudayaan secara global. Sekalipun memang dapat juga dikatakan, bahwa hal itu merupakan pertanyaan yang berkenaan dengan evolusi dan adaptasi secara spesifik, tetapi tidak untuk evolusi yang berlaku umum. Harris mendekati hal ini dan problematika lainnya melalui pendekatan etik. Ia melihat dasar-dasar keobyektifan dan pemberian alasan meterialis terhadap fenomena yang ada. Jika, anda menggunakan kebudayaan yang anda miliki, misalnya, untuk menjawab pertanyaan di atas sudah barang tentu salah. Mengapa, karena hal itu tidak dapat diterima. Orang India tidak memakan daging, karena alasan ekonomi, bukan agama. Sekali lagi saya kemukakan di sini, bahwa memakan daging berarti orang India memutus mata rantai dan suplai susu dari berkurangnya binatang peliharaan secara drastis. Alasan agama merupakan representasi dari alasan emik dalam kebudayaan orang India tersebut, yang tidak memakan daging. Pendekatan inilah mungkin yang secara umum digunakan oleh ahli-ahli materialisme kebudayaan lainnya. C. Metode Observasi dan Penelitian Lapangan 1. Metode observasi Ilmu budaya dan antropologi adalah cabang dari bentuk besar ilmu pengetahuan, yang mempelajari: 1) tingkah laku manusia, 2) tatacara kehidupan dan 3) proses perjalanan hidup manusia itu sendiri. Antropologi sendiri tidak hanya berbicara tentang hal yang berkaitan dengan budaya, namun antropologi juga berbicara mengenai topik fisik manusia, sebagaiIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



94



mana dijelaskan secara khusus dalam antropologi ragawi. Dalam dunia akademis dikenal metode penelitian observasi partisipasi, yang apabila disederhanakan akan menjadi dua buah kalimat, yaitu observasi yang berasal dari kata observe yang berarti ‘pengamatan secara tekun’. Sedangkan, partisipasi diartikan sebagai ‘suatu proses usaha ikut serta atau mengikutkan diri dalam suatu kegiatan’. Sedangkan dari segi etimologi kata, dapat dikatakan, bahwa metode observasi partisipasi adalah metode yang menekankan bagi diri peneliti untuk melakukan pengamatan secara tekun dimana peneliti melibatkan atau meleburkan diri pada permasalahan penelitian yang sedang dilakukan. Metode observasi partisipasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh seorang budayawa dan antropolog dalam melakukan kegiatan etnografi penelitian sosial. Metode observasi partisipasi langsung (full participation research) merupakan hal mutlak yang harus dilakukan oleh seorang budayawan dan antropolog dalam melakukan kegiatan etnografi. Antropologi adalah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial yang memusatkan kajian pada manusia. Sedangkan ilmu budaya (the science of culture) adalah cabang ilmu yang memokuskan dirinya untuk mempelajari kebudayaan sebagai kebudayaan (disipliner). Antropologi dapat dilacak pada era penjajahan pada abad-abad yang lalu yang dilakukan terhadap bangsa Asia, Afrika, Amerika Latin dan suku-suku Indian oleh para penjajah. Penjajahan tersebut disertai dengan penyebaran agama nasrani di luar Eropa. Oleh karena itu, tokoh-tokoh di dalam antropologi pada awal periodenya berasal dari bangsa Barat, meskipun hingga sekarang banyak sarjana Barat yang ber-kecimpung di antropologi. Pada awalnya mereka tertarik pada laporan dari negeranegara asing yang mereka jajah, karena mereka memperoleh informasi yang menurutnya aneh-aneh. Bahkan, tidak jarang mereka memandang bangsabangsa yang mereka jajah sebagai bangsa primitif (negara Afrika) dan inlander (sapaan untuk orang Indonesia dari Belanda). a. Definisi Observasi Metode observasi adalah teknik pengumpulan data, dimana peneliti melakukan pengamatan, baik secara langsung maupun tidak langsung ke objek penelitiannya untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan oleh obyeknya (Gising, 2008). Metode observasi juga sering diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti dalam rangka melakukan observasi, yaitu: 1) Memiliki pengetahuan budaya (cultural concept vocabulary) yang cukup terhadap obyek yang hendak diteliti, 2) Pemahaman (compentence) akan tujuan umum dan tujuan khusus penelitian yang dilaksanakannya, 3) Penentuan cara dan alat (methodes) yang dipergunakan dalam mencatat data, 4) Penentuan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



95



kategori penemuan gejala yang diamati, 5) Pengamatan dan pencatatan harus dilaksanakan secermat mungkin, 6) Pencatatan setiap gejala harus dilaksanakan secara terpisah, agar tidak saling mempengaruhi dan 7) Memiliki pengetahuan dan keterampilan (performance) yang cukup terhadap alat dan cara mencatat hasil observasi.    Teknik obeservasi pada dasarnya digunakan untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena–fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang. Menurut Margono (2007: 158), bahwa seorang peneliti harus jeli melihat data yang benar-benar diperlukan (data primer) dan data yang merupakan tambahan atau pendukung data primer (data sekunder). Margono kemudian memperlihatkan bagan berikut untuk membuktikan sikap dan perilaku dari seorang peneliti ketika berada di lapangan.



Selain metode observasi yang sifatnya umum di atas, seorang peneliti sangat disarankan untuk melakukan obsevasi partisipatif penuh (full particivation reseach) guna melihat langsung, ikut merasakan dan mengobservasi langsung permasalahan demi permasalahan yang dihadapi dalam keseharian obyeknya. Dalam observasi tersebut peneliti mengedepankan perspektif emik dalam mengumpulkan data yaitu melihat data sebagaimana pandangan informan penelitian dan bukan etik menurut peneliti. Seorang peneliti diwajibkan untuk ikut berpartisipasi di dalam setiap aspek kehidupan obyeknya. Peneliti harus ikut merasakan apa yang sedang dipikirkan oleh obyeknya (cultural knowledge), apa yang dilakukan obyeknya (cultural behaviour) dan apa yang dihasilkan oleh obyeknya (cultural artifact). Metode seperti ini sangat cocok untuk penelitian kualitatif, sekalipun penelitian kuantitatif juga dapat direkomendasikan. Metode obeservasi partisipatif sebaiknya disertai dengan teknik-teknik pengumpulan data: 1) Wawancara (interview) yaitu mewawancarai informan dengan mengajukan pertanyaan secara terjadual dan terkontrol (wawancara terstruktur) dan pernyataan yang biasa-biasa saja (wawancara lepas), 2) Mencatat untuk kesahihan dan keamanan data rekaman, khususnya data dalam bentuk narasi. Peneliti harus mencatat kembali segala bentuk percakapan, baik sebagian dengan membuat poin-poin hasil wawancara (condensed account) Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



96



maupun mencatat atau menulis keseluruhan hasil penelitian secara lengkap setelah wawancara selesai dilakukan (expanded account), 3) perekaman yaitu merekam segala bentuk data, baik dalam bentuk audio (perekaman suara) melalui penggunaan alat perekam suara maupun dalam bentuk visual (pengambilan gambar) melalui kamera dan 4) Semua data yang dikumpulkan melalui wawancara, pencatatan dan perekaman didiskusikan dengan kelompok-kelompok informan secara terfokus (FGD). Kelompok tersebut telah dibentuk sebelumnya berdasarkan topik-topik yang akan dibahas dalam diskusi tersebut. Metode observasi (pengamatan langsung) adalah metode pengumpulan data dengan mengamati secara langsung di lapangan. Mengamati bukan berarti hanya melihat saja, melainkan juga merekam, menghitung, mengukur dan mencatat kejadian-kejadian yang ada. Observasi dapat digolongkan sebagai teknik mengumpulkan data, jika memenuhi kriteria-kriteria berikut ini: 1) Digunakan untuk meneliti dan telah direncanakan secara sistematik sebelumnya, 2) Harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah direncanakan, 3) Dicatat secara sistematis dan dihubungkan dengan proporsi umum dan bukan dipaparkan sebagai suatu set yang menarik perhatian saja, 4) Dapat diperiksa dan dikontrol validitas dan realibilitasnya. b. Ciri Umum Observasi Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa observasi memiliki beberapa bentuk. Di dalam sub-pembahasan berikut, metode observasi akan saya bagi kedalam beberapa kategori dan bentuk sesuai dengan teknik dan keterlibatan penelitinya. Dengan demikian, pelaksanaan observasi di lapangan dapat digolongkan dengan ciri-ciri berikut ini: 1) Obyek penelitian yang akan diamati sangat jelas (valid), 2) Perilaku dibuat dalam bentuk pengkategorian, sehingga yang dipermasalahkan adalah perilaku terpola (pattern of behavior), 3) Unit yang digunakan dalam pengukuran perilaku harus ada, 4) Derajat inferensi yang digunakan harus jelas, 5) Jenis serta besar sampel harus ditentukan dan 6) Pengamatan harus reliabel dan valid. c. Bentuk-bentuk Observasi Metode observasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa bentuk sesuai dengan keterlibatan penelitinya, sebagai berikut: c.1 Observasi Biasa Pengamat merupakan orang yang sepenuhnya melakukan observasi di lapangan. Selain itu, pengamat juga dapat melakukan observasi seperti ini dengan tanpa tujaun apa-apa. Artinya pengamat tidak memiliki keterlibatan apapun dengan objek penelitiannya. Peneliti hanya sekedar datang melihat atau jalan-jalan di suatu tempat dengan keinginan untuk mengetahui sesuatu. Hal seperti ini biasa dilakukan oleh seorang peneliti, ketika hendak memulai penelitiannya (observasi awal). Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



97



c.2 Observasi Terkendali Observasi terkendali adalah observasi yang sama dengan observasi biasa. Akan tetapi, sasaran penelitian ditempatkan dalam suatu ruangan yang terbatas untuk diamati dan diadakan berbagai percobaan oleh peneliti atau pengamat. Terkendali artinya, data yang terkumpul dikendalikan dan diatur sedemikian rupa, sehingga penelitian yang dilakukannya terstruktur dan bersistem. Peneliti harus mengatur skala prioritas data yang dicarinya, bukan penelitian yang acak-acakan. Segala bentuk alat penelitian (research instrument) harus digunakan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Penggunaannya dimaksimalkan demi kesahihan dan validasi data yang dicari. c.3 Observasi Terlibat (Partisipasi) Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa observasi jenis ini memaksa seorang peneliti terlibat dan ikut berpartisipasi langsung kedalam kegiatan masyarakat yang dijadikan objek penelitiannya. Maksudnya, peneliti datang dan tinggal di tengah masyarakat tersebut selama jangka waktu tertentu. Bahkan, beberapa peneliti yang menikahi dan dinikahi oleh informannya. Wyn Sargent seorang jurnalis asal Amerika Serikat menikah dengan kepala suku Dani bernama Obahorok. Cheryl Massou asal Inggris juga menikah dengan Daniel Lekimenju seorang prajurit suku Maasai Kenya. Demikian pula Sarah Begun dari Inggris, akhirnya menikah dengan kepala suku Huaorani Amazon bernama Gento. Pernikah mereka tersebut dimaksudkan untuk lebih mendekatkan diri dengan obyek penelitiannya melalui penyatuan diri dengan obyek penelitiannya. Keuntungan metode seperti ini adalah pengumpulan data bisa berlangsung dengan cepat, tepat dan akurat. Artinya, data yang terkumpul memberi kesempatan kepada peneliti untuk mengkaji obyeknya secara holisme, karena data yang terkumpul memang total menggambarkan fenomena-fenomena di lapangan. 2. Penelitian Lapangan (field reseach) Studi lapang (field research) adalah bentuk penelitian yang bertujuan membuka tabir makna yang diberikan oleh anggota masyarakat, yang terbungkus di dalam perilakunya dan kenyataan yang ada di sekitar masyarakat tersebut. Studi lapang adalah sebuah teknik pengumpulan data yang terjun langsung ke pusat komunitas sasaran menawarkan solusi untuk mengeliminasi keterbatasan-keterbatasan penelitian yang disisakan metode lain. Studi lapang menurut Neuman (2006) haruslah mampu berpikir sembari berdiri. Maksudnya, seorang peneliti, yang sekaligus bertindak sebagai instrumen penelitian harus mampu menghadapi kejadian yang serba tidak pasti di lapangan, sehingga ia harus bertindak cepat, tepat dan akurat dalam menganstisipasi permasalahan yang dihadapinya. Seorang peneliti harus tanggap dan sigap dalam menghadapi setiap tantangan yang muncul di Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



98



lapangan. Keadaan yang tidak pasti kadang-kadang pula dibarengi dengan informasi yang sangat besar jumlahnya, sehingga dapat menjadi beban psikologis dan fisik penelitinya. Metode penelitian lapang pertama kali diperkenalkan pada pertengahan abad ke-19, yang diperkenalkan oleh Bronislaw Malinoski. Ia adalah salah seorang pelopor metodologi penelitian lapangan pada tahun 1920an. Ia sangat menganjurkan, agar para peneliti sosial harus berinteraksi secara langsung (full patcipation research) dan hidup bersama masyarakat pribumi sebagai obyek penelitiannya. Tujuannya, agar peneliti: 1) mempelajari adat istiadat secara langsung bukan yang pernah dijamah oleh orang lain dan 2) sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya dan proses interaksi sosial yang berlangsung di dalam masyarakat obyek penelitian. Dalam perkembangannya, penelitian lapang mulai diadopsi oleh disiplin ilmu lain, seperti; sosiologi, psikologi, ekonomi, kedokteran dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam buku saya berjudul Metodologi Penelitian: Sebuah Perspektif dalam Ilmu Budaya (2008; 2018) lebih banyak memaparkan keefektifan penelitian lapangan, tertuma dengan penelitian yang berhubungan dengan data-data kualitatif (antropologi, sosiologi, psikologi dan sebagainya). Saya juga anjurkan di dalam buku saya tersebut, agar studi lapang sebaiknya digunakan, baik secara terpisah maupun dikombinasi dengan metode survai ataupun eksperimen, ketika keduanya dirasakan tidak praktis lagi. Saya juga anjurkan, agar studi lapang dapat diposisikan sebagai pembuka jalan kepada metode survei dan eksperimen atau metode-metode lainnya. a. Langkah-Langkah Penelitian Lapangan Metode penelitian lapangan (field reseach) adalah kegiatan untuk mengumpulkan data di lapangan dengan menggunakan langkah sistematis, agar peneliti tidak mengalami masalah dan menghadapi tantangan yang serius. Saya menganjurkan kepada seluruh mahasiswa saya, baik yang hendak menyusun skripsi (S-1), menyusun tesis (S-2) maupun yang akan menulis disertasi (S-3), bahwa seorang peneliti yang handal adalah peneliti yang sudah mempersiapkan diri sematang mungkin. Ia harus mengatur jadual dan ancangan penelitiannya secermat dan sebaik mungkin. Oleh karena itu, saya membagi tahapan penelitian kedalam beberapa fase, yaitu: 1) Pra-penelitian yaitu mempersiapkan segala sesuatunya (isin meneliti, alat-alat penelitian, bekal, keuangan, fisik, psikis, kesehatan, penelitian pustaka, kontak person, konsultasi dengan ahli dan sebagainya). Persiapan seperti ini harus selesai sebelum betul-betul memasuki lokus penelitian, 2) Penelitian lapangan yaitu peneliti memasuki arena penelitian dengan mempersiapkan (informan, melakukan wawancara, perekaman, pencatatan, elisitasi dan analisis awal) dan 3) pasca-penelitian yaitu merangkum dan mengalisis data lanjutan (data primer, data sekunder, draft hasil penelitian Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



99



dan sebagainya). Semua hal tersebut harus rampung sebelum kembali ke rumah untuk selanjutnya menyusun hasil penelitiannya. Menurut Neuman (2006), bahwa ada beberapa langkah dalam penelitian lapang sebagai berikut: 1) Peneliti mempersiapkan diri, membaca literatur dan fokus, 2) Cari lapangan penelitian dan dapatkan akses ke dalamnya, 3) Masuki lapangan penelitian, kembangkan hubungan sosial dengan anggota komunitas, 4) Adopsi sebuah peran sosial ke dalam diri, bergaul dengan anggota komunitas, 5) Lihat, dengar, cermati dan kumpulkan data kualitatif, 6) Mulai menganalisis data dan mengevaluasi hipotesa kerja, 7) Fokus pada aspek spesifik dan gunakan sampling teoritikal, 8) Gunakan wawancara lapangan dengan anggota komunitas dan informan, 9) Putuskan hubungan dan tinggalkan lapangan penelitian secara fisik dan 10) Sempurnakan analisis dan tuliskan laporan penelitian. Sebagaimana halnya penelitian kualitatif lainnya, penelitian lapang meneliti permasalahan dalam seting yang natural dalam upaya untuk memaknai, menginterpretasi fenomena yang teramati (Groat & Wang, 2002). Ia kemudian memberikan 4 (empat) komponen kunci berkaitan dengan penelitian lapang sebagai bagian dari penelitian kualitatif: 1) Penekanan pada seting natural. Seting natural berarti subjek penelitian tidak berpindah dari tempat asli kejadiannya. Peneliti harus menerapkan berbagai taktik untuk menempatkan diri dalam konteks penelitiannya, karena konteks tidak boleh berubah dalam pelaksanaan penelitian, 2) Fokus pada interpretasi dan makna. Peneliti tidak hanya mendasari penelitiannya pada realitas empiris dari observasi dan wawancara yang dilakukannya. Akan tetapi, ia juga memainkan peran penting dalam menginterpretasi dan memaknai data melalui simbol-simbol budaya (cultural symbols), 3) Fokus pada cara responden atau informan dalam memaknai dirinya. Tujuan dari peneliti adalah mempresentasikan dan mengabstrasikan gambaran menyeluruh dari seting atau fenomena studi, sesuai dengan pemahaman dari responden sendiri (emik), 4) Penggunaan beragam taktik dan strategi. Sebagai bagian dari pengamatan realitas yang cenderung cair, penelitian lapang tidak memiliki kecenderungan untuk hanya mengandalkan taktik atau strategi tunggal, melainkan beragam sebagai paduan dari berbagai taktik (longitudial methods) sesuai keadaan lapangan. b. Problem dan Tantangan Penelitian Lapangan Masalah waktu sering menjadi kendala di dalam pelaksanaan penelitian lapangan, karena membutuhkan waktu yang cukup panjang (long term reseach). Neuman (2006) memperkirakan rentang waktu penelitian lapangan yaitu antara beberapa minggu hingga bertahun-tahun. Hal ini bisa dipahami, karena obyek penelitian lapangan ilmu-ilmu sosial umumnya memiliki karakteristik yang berubah secara evolusi. Akibatnya, peneliti harus Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



100



menelusuri arah (dicetion of evolution) dan tingkatan (stage) perubahan (evolution) sosial yang telah terjadi. Sangat tidak dibenarkan seorang peneliti yang terjun ke lapangan dengan hanya mengambil sepenggal dari keseluruhan sistem evolusi social yang telah terjadi. Mereka benar-benar harus berperinsip komparatif dan holistis, bukan parsial-parsial. Penelitian yang dilakukan mengenai inkulturasi, misalnya, dilakukan dalam rentang puluhan tahun. Peneliti datang dan tinggal bersama sebuah komunitas masyarakat selama beberapa bulan hingga satu tahun, untuk kemudian menuliskan laporan awal penelitiannya. Sepuluh tahun kemudian si peneliti kembali ke lokasi yang sama dan memulai lagi penelitiannya. Dari sinilah peneliti membandingkan inkulturasi yang terjadi pada saat ini dan sepuluh tahun silam. Hasilnya berkisar pada proses apakah yang berlangsung, siapa yang terlibat, bagaimana saluran-saluran inkulturasi tercipta serta bagaimana reaksi masyarakat terhadap perubahan dalam jangka waktu sepuluh tahun tersebut. Untuk mempersingkat masalah ini, saya selalu menganjurkan kepada mahsiswa saya, agar melakukan studi kombinasi penelitian lapangan dan studi kepustakaan. Permasalahan selanjutnya adalah biaya, yang sangat ditentukan oleh jangka waktu penelitian yang dilakukan. Studi lapang, dalam hal ini membutuhkan dana yang cukup besar, karena peneliti lebih banyak menghabiskan waktunya di lapangan. Sesuai dengan pengalaman saya selama melakukan penelitian di berbagai tempat di Indonesia, sekitar 80% biaya penelitian saya habiskan untuk biaya penelitian lapangan (konsumsi, akomodasi, transportasi dan alat pendukung penelitian, termasuk tips-tips bagi informan). Sedangkan 20% selebihnya saya gunakan untuk penyusunan hasil penelitian (ATK, biaya seminar, konsumsi seminar dan sebagainya). Itulah sebabnya mengapa saya anjurkan kepada peneliti lapangan, agar mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan penelitiannya untuk mengurangi biaya yang mereka harus keluarkan. Banyak peneliti yang gagal dalam melaksnakan penelitiannya, karena tidak memperhatikan etika yang harus ditaati oleh seorang peneliti. Oleh karena itu, dalam seluruh penelitian yang pernah saya lakukan masalah etika selalu menjadi prioritas saya. Saya harus mengedepankan pendekatan good rapport yaitu melakukan penjajakan dan pendekatan kepada seluruh anggota masyarakat yang saya ingin teliti. Dalam survai dan eksperimen di lapangan, etika jarang memang disebut-sebut, namun etika menjadi kendala yang mencolok dalam studi lapang. Kendala yang paling besar, ketika penelitian dilakukan pada kelompok atau individu yang sifatnya tertutup. Untuk memperoleh informasi mengenai ruang dan arsitektur yang dibentuk oleh ritual dari kelompok tersebut, peneliti mau tidak mau harus masuk menjadi bagian (inner circle) dari kelompok yang hendak diteliti. Kelompok Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



101



semacam ini kebanyakan sangat tertutup dan tidak ramah terhadap orang luar. Dengan demikian untuk mengatasi kesulitan akses, peneliti kerap terpaksa melakukan penyamaran atau kamuplase. Hal ini merupakan permasalahan tersendiri, karena penelitian seharusnya dilandasi dengan sikap jujur penuh keterbukaan. Sebaliknya, berterus terang mungkin pula bukan solusi yang tepat, karena dapat membatasi akses peneliti, atau bahkan dapat menimbulkan sikap reaktif. Padahal, studi lapang menuntut keadaan senatural mungkin, yang hanya dapat dicapai dengan keadaan non reaktif dari informan penelitian. Beberapa kasus penelitian yang pernah saya lakukan adalah terkait dengan masalah etika (keamanan, kenyamanan dan keintiman antara peneliti dengan obyeknya) memaksa saya untuk merahasiakan nama-nama infor-man saya. Hampir 3 bulan saya bolak-balik Sinjai – Karampunag (jarak 32 km), pada tahun 2003 untuk mengumpulkan data tesis S-2, ternyata tidak membuahkan hasil apa-apa. Hampir semua informan saya menutup diri dengan hanya memberikan data sekunder belaka. Empat bulan berikutnya saya ubah taktik dan strategi penelitian saya melalui berpartisipasi penuh dalam semua kegiatan masyarakat Karampuang. Hasilnya mereka membukakan pintu selebar-lebarnya kepada saya. Saya juga teringat waktu saya meneneliti Pasang ri Kajang untuk pengumpulan data disertasi saya, yang saya mulai dengan good rapport. Saya bisa mengatakan, bahwa hampir tidak ada masalah apa-apa. Tidak cukup satu tahun pengumpulan data disertasi saya dianggap mencapi 90%. Setiap ada pelaksanaan ritual saya berusaha hadir, duduk bersama (tudang ade’), makan bersama (angnganre ada’a), bercengkrama dan minum sesuai dengan adat-istiadat mereka. Akhirnya, pada kedua masyarakat adat (Karampuang di wilayah adat mereka masing-masing. Banyak peneliti, dengan berbagai faktor, cenderung berubah jati dirinya. Peneliti yang sebelumnya terlalu radikal tiba-tiba menjadi peneliti yang lemah dalam perinsipnya. Keobyektifan penelitian yang sebelumnya menjadi keharusan baginya tiba-tiba menjadi peneliti asal jadi (arm chair philosophy), karena dia telah mengubah data sesuai kehendaknya. Karakteristik dari studi lapang, yang saling pengaruh-memengaruhi antara peneliti dengan obyek penelitian, mungkin menjadi penyebab utama kendornya perinsip ilmiah dalam diri seorang peneliti. Seiring lamanya waktu di lapangan, objektivitas peneliti dapat saja meluntur disertai hilangnya sikap keasingan. Peneliti menjadi kehilangan jati dirinya sebagai peneliti dan berubah menjadi orang dalam. Menurut Neuman (2006), bahwa bagi peneliti teradopsinya nilai-nilai lokal secara berlebihan oleh peneliti, termasuk di antaranya pindah agama atau menikah dengan salah seorang informannya. Bila hal ini terjadi tentu saja kurang menguntungkan. Untuk mengatasinya, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



102



saya menyarankan kepada peneliti, agar memiliki mawas diri untuk selalu menjadi orang luar dari obyek penelitiannya. Ada beberapa masalah lainnya, yang secara umum menuntut peneliti dalam banyak hal untuk lebih tangguh dibandingkan dengan peneliti metode lain, baik fisik maupun mental. Secara intelektual, peneliti membutuhkan kondisi yang prima, karena beberapa kesulitan yang akan timbul dalam pelaksanaan studi lapang. Salah satunya adalah proses generalisasi yang dilakukan selama di lapangan adalah jauh lebih sulit dibandingkan penelitian lainnya. Studi lapang sangat terkait dengan tradisi si peneliti sendiri yang dibenturkan dengan tradisi masyarakat subjek penelitian. Selain itu, kejadian-kejadian yang timbul juga banyak yang bersifat kebetulan, meskipun banyak pula yang dibangun dengan kesengajaan. Secara mental, studi lapang pada fase awal memang sangat berat, karena sering terjadi penolakan dari pihak masyarakat penerima (obyek). Saya teringat ketika saya dan mahasiswa saya hendak melakukan penelitian di wilayah adat masyarakat Tolotan di Amparita Kabupaten Sidrap pada tahun 1985. Waktu itu, kampanye pemilihan umum dan anti Tolotang sedang berkecamuk di sana, sehingga kami pun tidak mau diterima. c. Studi Kasus Studi kasus adalah sebuah penelitian yang benar-benar memerlukan perinsip-perinsip penelitian lapang untuk mencari keabsahan dan kejelasan dalam sebuah contoh kasus. Dapat dikatakan, bahwa studi kasus bukan merupakan metode ilmiah yang spesifik, tetapi lebih merupakan suatu metode yang lazim diterapkan untuk memberikan penekanan pada spesifikasi dari unit–unit atau kasus–kasus yang diteliti. Dengan kata lain, metode ini berorientasi pada sifat–sifat unik (casual) dari unit–unit yang sedang diteliti berkenaan dengan permasalahan–permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Menurut Patton (2004: 447), bahwa studi kasus merupakan upaya mengumpulkan dan kemudian mengorganisasikan. Data yang sudah terorganisasi kemudian dianalisis berdasarkan kasus–kasus tertentu yang berkenaan dengan permasalahan. Perhatian peneliti kemudian membandingkan dan menghubungkan satu kasus dengan yang lainnya dengan tetap berpegang pada perinsip holistik dan kontekstual. Hal yang dapat diangkat menjadi kasus adalah individu, keluarga, kelompok organisasi, institusi nilai atau corak budaya atau bahkan wilayah. Penerapan studi kasus sebagaimana yang lazim adalah menggunakan metode standar seperti observasi, interview, FGD atau penggabungan dari beberapa metode (longitudial methods). Dalam konteks penelitian komunikasi, studi kasus memiliki karakter dinamis di dalam penggunaannya untuk memperoleh gambaran mengenai berbagai persoalan menarik dalam kehidupan sosial. Dalam kaitan ini, studi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



103



kasus memiliki semacam keistimewaan yakni bukan hanya studi kasus dalam penelitian komunikasi yang telah lama dikembangkan dalam studi sosiologis dan antropologis. Akan tetapi, yang saya maksudkan di sini adalah studi kasus dalam penelitian komunikasi, yang juga digunakan untuk meneliti gejala–gejala humaniora. Studi kasus dalam hal ini digunakan untuk melacak nilai–nilai yang terkandung di dalam berbagai bentuk naskah cerita seperti novel dan darama. Palacakan terhadap teknik–teknik retorika yang dikembangkan oleh para elit kekuasaan dan tokoh–tokoh masyarakat juga dapat dilakukan dengan meggunakan studi kasus ini. Hal ini dapat dianalisis di dalam beberapa lokus yang menggunakan bahasa; metafor, ironi, paradoks, anekdot dan eufeminisme. Menurut Creswell (2005), bahwa ada beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu: 1) Mengidentifikasi kasus untuk suatu studi, 2) Kasus tersebut merupakan sebuah sistem yang terikat oleh waktu dan tempat, 3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan 4) Menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti akan menghabiskan waktu dalam menggambarkan konteks atau seting untuk suatu kasus. Pengumpulan data dalam studi kasus dapat diambil dari berbagai sumber informasi, karena studi kasus melibatkan pengumpulan data yang kaya untuk membangun gambaran yang mendalam dari suatu kasus. Menutu Yin (2004), bahwa terdapat enam bentuk pengumpulan data dalam studi kasus yaitu: 1) dokumentasi yang terdiri dari surat, memorandum, agenda, laporan-laporan suatu peristiwa, proposal, hasil penelitian, hasil evaluasi, kliping, artikel, 2) rekaman arsip yang terdiri dari rekaman layanan, peta, data survei, daftar nama, rekaman-rekaman pribadi seperti buku harian, kalender dsb, 3) wawancara biasanya bertipe open-ended, 4) observasi langsung, 5) observasi partisipan dan 6) perangkat fisik atau kultural yaitu peralatan teknologi, alat atau instrumen, pekerjaan seni dan sebagainya. Creswell (2005) menampilkan pengumpulan data melalui matriks sumber informasi untuk pembacanya. Matriks ini mengandung empat tipe data yaitu: wawancara, observasi, dokumen dan materi audio-visual E. Etnografi dan Etnometodologi 1. Etnografi (ethnography) Secara etimologis Etnografi berasal dari bahasa Yunani ethnos, yang artinya ‘rakyat (folk), orang (people), bangsa (nation)’ dan grapho artinya ‘saya tulis (I write)’. Jadi, etnografi adalah uraian tentang bangsa-bangsa dan suku yang diabadikan dengan tulisan. Dengan demikian, dapat pula dikatakan, bahwa etnografi lebih dekat dengan etnologi (studi agama dan kepercayaan) dan filologi (studi tentang naskah-naskah). Etnografi adalah studi sistematis Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



104



tentang orang dan budaya. Pendekatan ini dirancang sedemikian rupa untuk mengeksplorasi fenomena budaya di mana peneliti harus mengamati masyarakat dari sudut pandang subjek penelitian dan bukan menurut pandangan peneliti. Etnografi adalah sarana untuk merepresentasikan secara grafis dan secara tertulis budaya suatu kelompok. Menurut Geerzt (1973), bahwa studi lapangan atau laporan kasus yang mencerminkan pengetahuan dan sistem makna dalam kehidupan kelompok budaya disebut etnografi. Etnografi merupakan kajian lapangan yang yang sering digunakan dalam kajian ilmu budaya, sosiologi dan antropologi. Menurut Sabitha Marican (2005), bahwa etnografi juga dianggap sebagai satu kajian yang paling asas dalam penyelidikan sosial. Etnografi juga kadang-kadang didefinasikan sebagai penjelasan tertulis mengenai sesuatu budaya tentang adat, kepercayaan, tingkah laku yang berdasarkan pada aturan-aturan yang dikumpulkan dari kajian lapangan. Etnografi juga merupakan kajian deskriptif terhadap kebudayaan, sub-budaya, institusi atau kumpulan sesebuah masyarakat. Hal-hal yang yang menjadi fokus dalam penyelidikan etnografi, seperti; apakah kebudayaan itu milik bersama? Oleh karena itu, etnografi menggambarkan apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehafi-hari mereka. Ia merupakan potret atau gambaran mengenai manusia. Dengan demikian, kajian etnografi merupakan kajian yang memokuskan diri pada penggambaran yang terperinci dan tepat (Marican, 2005). Menurut Creswell (2005), etnografi merupakan bentuk kajian yang praktis untuk mengkaji suatu kumpulan, seperti; pendidikan, kepercayaan, tingkah laku dan bahasa. Kajian etnografi merupakan bentuk kajian kualitatif yang digunakan untuk menerangkan, menganalisa dan menginterpretasi bentuk kebudayaan milik bersama (culture-sharing) dari suatu kumpulan, seperti: tingkah laku, kepercayaan, bahasa, ekonomi, struktur politik, interaksi, kehidupan dan bentuk interaksi sosial. Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial. Peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa dan interaksi dalam kelompok. Metode ini cenderung meneliti suatu kebudaayan di sebuah wilayah tertentu. Bentuk penelitiannya adalah: apa yang dilakukan masyarakat dan apa tujuannya mereka melakukan hal tersebut. Hal ini sesuasi dengan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



105



pernyataan Crang dan Cook (dalam Marshal, 1995), bahwa secara historis, penelitian etnografi telah mengembangkan suatu perhatian untuk memahami pandangan dunia dan cara hidup manusia dalam konteks pengalaman hidup sehari–hari mereka. Secara harafiah, etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun. Etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun sebagai metode penelitian dianggap sebagai asal-usul ilmu antropologi. Margareth Mead (1999) menegaskan, bahwa anthropology as a science is entirely dependent upon field work records made by individuals within living societies. Menurut James Spardley dalam buku Metode Etnografi, perjalanan etnografi dari awal sampai pada bentuk etnografi baru. Oleh karena itu, menurut dia langkah-langkah praktis untuk mengadakan penelitian etnografi, itulah yang dimaksud sebagai sebagai etnografi baru ini. Etnografi dekat dengan kebudayaan. Bahkan merupakan hal yang pokok dalam studi etnografis. Oleh karena itu, kalangan budayawan dan antropolog yang telah merintis kajian tentang kebudayaan, lebih banyak yang menggunakan istilah ini. Mereka sangat yakin, manusia hidup berkelompok dan saling berinteraksi antara satu individu dan individu lainnya, pada akhirnya membentuk kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kumpulan dari pola–pola perilaku dan keyakinan. Pola-pola inilah, yang kemudian menentukan patokan (standard) tentang: sesuatu itu apa (what is it), kemungkinannya apa (what can be), Apa yang harus kita lakukan (what we have to do), keputusan bagaimana untuk merespons (how can be) dan bagaimana cara menentukan dan memilihnya (how to choose). Istilah etnografi kerapkali digunakan untuk menunjukkan dua hal yang sebenarnya berbeda, yakni: a) Metode Penelitian dan b) hasil laporan penelitian atau kajian. Dalam arti metode, istilah etnograf biasanya diartikan sebagai fildwork conducted by a single investigator who lives with and lives like whose who are studies, usually for a  year or more (Penelitian lapangan, kata lain dari metode observasi terlibat, yang dilakukan oleh seorang peneliti yang untuk itu ia tinggal bersama dan hidup sebagaimana layaknya orang–orang yang diteliti, untuk waktu satu tahun atau lebih). Dalam arti hasil penelitian, etnografi berarti the written respresention of a culture (suatu bentuk laporan tertulis mengenai suatu kebudayaan). Maenen (1996: 263-265), bahwa kendati demikian, secara umum istilah etnografi biasa dipakai untuk menunjuk a study of the culture that a given group of people more or less share (studi tentang kebudayaan yang ada pada kelompok masyarakat tertentu). Menurut Manen lebih lanjut, bahwa ada tiga momen dalam kajian etnografi: a) Kegiatan pengumpulan informasi atau data mengenai suatu kebuIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



106



dayaan yang diteliti, b) penyusunan laporan etnogarfi dan c) bacaan dan penerimaan (reading and reception) karya etnografi oleh khalayak yang relevan dan beraneka ragam. Entografi pada dasarnya adalah ancangan yang berawal dari disiplin antropologi budaya. Etnografi pada pokoknya bertujuan mengkaji bagaimana bentuk budaya sekelompok manusia. Metode pengumpulan premier yang digunakan ialah observasi partisipatif, yang menuntut kerja lapangan yang intensif dengan peneliti yang terlibat penuh di dalam kebudayaan yang dikajinya. Etnografi mementingkan asas relativisme (kenisbian) budaya: setiap kelompok manusia akan mengembangkan budayanya dan budaya itu dihargai sebagaimana adanya tanpa membawa nilai–nilai dari budaya si peneliti. Ini juga menuntut penghargaan penuh (termasuk upaya empati) dari seorang etnograf terhadap kelompok manusia yang hendak di teliti. 2. Etnometodelogi Etnometodelogi bersumber dalam disiplin sosiologi mokro dan dipelopori oleh Harold Garfinkel (1967). Etnometodologi mempersoalkan: bagaimana orang bisa memahami kegiatan sehari–hari, sehingga perilakunya dapat diterima oleh masyarakatnya? Berbeda dengan penyelidikan hueristis yang memperhatikan pengalaman intens, entnometodelogi lebih memperhatikan hal-hal yang begitu lumrah dalam kehidupan sehari–hari, sehingga tidak pernah terpikirkan secara mendalam oleh para pelakunya. Berakar dalam fenomenologi, etnometodelogi berusaha memahami secara akal sehat (common sense) yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk dapat berfungsi dalam suatu kelompok yang hendak mencapai suatu tujuan tertentu. Istilah etnometodologi (ethonomethodology), yang berakar pada bahasa Yunani berarti ‘metode’ yang digunakan untuk menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Yang dimaksud dengan kehidupan sehari-hari di sini adalah secara praktis dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah berkelanjutan. Manurut Ramlan Surbakti (2010: 185), bahwa manusia dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan seharihari, mereka menggunakan penalaran praktis, bukan formula logika. Etnometodologi adalah studi tentang metode yang digunakan untuk memahami dan menghasilkan tatanan sosial (social institutions) dimana mereka tinggal. Etnometodologi, secara umum mencari alternatif dari pendekatan sosiologis makro. Menurut Muhammad  Zeitlin (1998: 128), bahwa etnometodologi dalam bentuknya yang paling radikal, ia menimbulkan tantangan bagi ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan. Di sisi lain, penyelidikan awal etnometodologi mengarah pada pembentukan analisis percakapan. Bentuk analisis tersebut telah diterima sebagai disiplin dalam Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



107



dunia akademik. Etnometodologi menyediakan metode yang telah digunakan dalam studi etnografi untuk menghasilkan akun tentang metode penelitian berkenaan situasi sehari-hari. Ini adalah disiplin yang secara mendasar bersifat deskriptif. Ia tidak terlibat dalam penjelasan atau evaluasi tatanan sosial tertentu sebagai topik studi. Akan tetapi, aplikasinya banyak ditemukan dalam berbagai disiplin ilmu terapan; desain perangkat lunak dan studi manajemen. Etnometodologi adalah studi tentang kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat (common sense). Etnometodologi merupakan rangkaian prosedur, serta pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat bisa memahami, mencari tahu dan bertindak. Ketiganya berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri (Heritage, 1984: 4). Pemahaman lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi, memberi peluang bagi kita untuk memahami pikiran Garfinkel. Granfinkel, seperti halnya dengan Durkheim, menganggap fakta sosial (social fact) sebagai fenomena sosiologi yang fundamental. Perlu saya jelaskan di sini, bahwa pengertian fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dengan fakta sosial yang dipahami Durkheim. Menurut Duekheim, bahwa fakta sosial berada di luar dan sifatnya memaksa individu. Pakar yang menerima pemikiran demikian cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata social. Akibatnya, actor memiliki sedikit sekali kemampuan untuk membuat pertimbangan. Seperti halnya sosiolog, para pakar etnometodologi juga cenderung membicarakan aktor yang tidak bisa memberikan pertimbangannya. Sebaliknya, etnometodologi membicarakan objektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota sebagai produk aktivitas metodologis anggotanya. Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi sebagai berikut: 1) Realitas objektif fakta sosial bagi etnometodologi adalah fenomena fundamental sosiologi, karena setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara alamiah. Garfinkel (1991: 11), etnometodologi dapat dijelaskan secara reflektif. Penjelasan berisi cara aktor mendeskripsikan, mengkritik dan mengidealisasikan situasi tertentu. Penjelasan (caunnting) adalah proses yang dilalui aktor dalam memberikan penjelasan untuk memahami dunia. Pakar etnometodologi menekankan perhatiannya untuk menganalisis penjelasan aktor, termasuk penekanan yang diberikan dan diterima (atau ditolak) orang lain. Inilah salah satu alasan mengapa pakar etnometodologi memusatkan perhatian pada analisis percakapan. Satu contoh, ketika seorang mahasiswa menerangkan kepada profesornya mengapa ia gagal lulus dalam ujian. Ia sebenarnya memberikan penjelasan kepada dosennya, kenapa ia tidak lulus ujian. Mahasiswa tersebut mencoba mengemukakan pemikirannya mengenai suatu peristiwa kepada dosennya. Hakikat pertanyaan mahasiswa kepada profesornya adalah sebuah fakta Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



108



yang dialami oleh mahasiswa yang direfleksikan kepada profesornya, sehingga yang patut menjawab adalah mahasiswa itu sendiri. Seorang pakar etnometodologi tentu saja tertarik pada sifat dasar dari panjelasan mahasiswa tadi, termasuk cara penjelasan kepada profesornya yang berpotensi menerima atau menolak penjelasan mahasiswa tersebut. Dalam menganalisis penjelasan, pakar etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan metodologis. Artinya mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam suatu tindakan praktis. a. Munculnya Etnometodologi Etnometodologi sendiri adalah suatu studi tentang praktek sosial keseharian yang diterima secara baik berdasarkan akal sehat (common sense). Etnometodologi mulai berkembang pada tahun 1950 dengan tokoh penggagasnya adalah Harold Garfinkel. Garfinkel sendiri adalah dosen Ucla di West Coast University. Akan tetapi, ia baru terkenal pada akhir 1960-an dan awal 1970-an (Poloma, 1994: 281). Garfinkel memunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional, yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Penelitian konvensional selalu dilengkapi dengan asumsi, teori, proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas dalam memahami kenyataan sosial (social fact) sesuai dengan kenyataannya. Garfinkel sendiri mendefinisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Etnometodologi Garfinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat disini adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja. Inti dari etnometodologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan seharihari (Furchan, 1992: 39-41). Dalam prakteknya, etnometodogi Garfinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Garfinkel, ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di toko tersebut Garfinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut, serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Sementara untuk eksperimen (simulasi), Garfinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu: responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



109



kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Latihan pertama (responsif) adalah meminta orangorang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (subersif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian seharihari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Garfinkel untuk mengungkapkan dunia akal sehat. Dunia yang diwarnai oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi. Kemunculan Garfinkel membuat beberapa pakar ikut mengembangkan studi etnometodologi, di antaranya; Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. Di antara para pakar tersebut, Jack Douglaslah yang paling lengkap pembahasan etnometodologinya. Douglas menggunakan etnometodologi untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab-musabab kematian seseorang, termasuk karena bunuh diri). Douglas mencatat, bahwa untuk menentukan hal itu, koroner harus menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar untuk menetapkan adanya unsur kesengajaan (Furchan, 1992: 39). Di sini seorang koroner mengumpulkan bukti-bukti berupa peristiwa hidup terakhir dari seseorang yang mati tersebut. Apakah ia mengalami peristiwa yang memungkinkan ia bunuh diri atau tidak. Jika ia tidak menemukan bukti-buktinya, ia akan menyimpulkan, bahwa kematian tersebut bukanlah suatu tindakan bunuh diri. Padahal mungkin saja ia telah melakukan bunuh diri. Atau sebaliknya, jika ia menemukan bukti, ia akan menyimpulkan kematian tersebut adalah suatu tindakan bunuh diri, Pada hal belum tentu seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Pendekatan ini sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh diri (suicide) yang dilakukannya dengan pendekatan statistikal. Di sini tampak, bahwa etnometodologi adalah suatu studi atas realitas kehidupan manusia atau masyarakat yang secara radikal menolak pendekatan-pendekatan sosiologi. Etnometodologi dapat didefenisikan sebagai suatu cabang dari studi sosiologi itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di atas, etnometodologi sebagai sebuah cabang studi sosiologi berurusan dengan pengungkapan realitas dunia kehidupan (lebenswelt) dari individu atau masyarakat. Menueut Talcott Parsons (dalam Poloma, 1994: 283 & Coulon, 2003: 1), Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



110



bahwa sekalipun etnometodologi dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi dan interaksionis simbolik. Garfinkel pada awalnya, sebelum memunculkan atau mengembangkan studi etnometodolgi telah mendalami fenomenologi dari Alfred Schutz di New School For Social Research. Ada dugaan kuat, bahwa fenomenologi Schutz mempengaruhi etnometodologi Garfinkel. Ini terbukti dari asumsi, sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia intersubjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Dunia intersubjektif terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda di mana realitas seharihari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian pada dunia sehari-hari yang merupakan common sense. Realitas seperti inilah yang kita terima secara yakin dimana kita mengenyampingkan keragu-raguan, kecuali realitas yang dipermasalahkan. Yang dimaksudkan dengan realitas sosial (social reality) oleh Schutz adalah keseluruhan objek dan kejadian di dunia kultural dan sosial, yang dihidupkan oleh pikiran umum manusia bersama dengan sejumlah hubungan interaksi. Itu adalah dunia objek kultural dan institusi sosial, dimana kita semua lahir, saling mengenal, berhubungan satu dengan yang lainya. Sejak permulaan para aktor di atas panggung sosial, menjalani dunia sebagai suatu dunia budaya, sekaligus dunia alam. Hal itu bukan sebagai suatu dunia pribadi, tetapi dunia antar subjektif. Artinya, sebagai suatu dunia yang umum untuk kita semua yang dibentangkan di hadapan kita atau yang secara potensial dapat dinikmati oleh siapa saja dari kita. Hal ini berimplikasi pada komunikasi dan bahasa (Coulon, 2003: 4). Pembahasan realitas akal sehat (common sense), Schutz kemudian memberi Garfinkel suatu perspektif untuk melaksanakan studi etnometodologi, sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya (Poloma, 1994: 284). Pandangan Schutz tentang dunia sehari-sehari sebagai dunia intersubjektif, yang dimiliki bersama melalui proses interaksi. Hal ini senada dengan interaksionisme-simbolik yang diperkenalkan Herbert Mead. Menurut asumsi interaksionisme-simbolik, bahwa proses interaksi antar manusia dalam masyarakat dilangsungkan dengan simbol-simbol (signifie) atau tanda (sign). Simbol atau tanda yang hadir dalam interaksi tersebut lalu dimaknai bersama oleh mereka yang terlibat dalam interaksi tersebut. Pemaknaan ini diperoleh dengan proses tafsir (interpretation) berdasarkan situasi atau konteks sosial (social context) di mana interaksi itu terjadi. Asumsi itu setara dengan pendirian pokok dari etnometodologi yang hendak mengungkapkan dunia sosial berdasarkan makna akal sehat yang diterima oleh setiap individu dari situasi sosial di mana mereka hidup. Lain pula halnya dengan pengaruh Talcott Parsons Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



111



dalam etnometodologi. Parsons memperkenalkan teori aksi atau tindakan. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat, bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat dimana seorang individu hidup. Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model-model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat, yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parson ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama Garfinkel dan Douglas. Menurut keduanya mengatakan, bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan atau perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Etnometodologi dalam keseluruhan studi sosiologi sendiri, sekalipun dianggap sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan sosiologi konvensional, namun tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari pendekatan-pendekatan sosiologi terdahulu. Keunggulan etnometodologi adalah secara radikal membiarkan setiap situasi berbicara tentang dirinya, tanpa melakukan intervensi seorang peneliti kedalamnya. Etnometodologi sendiri skeptis terhadap setiap definisi mengenai dunia sosial yang dibuat oleh sosiologi. Etnometodologi membebaskan setiap situasi untuk mendefenisikan dirinya sendiri. Seorang etnometodolog di dalam menghadapi realitas hanya bisa melihat dan mendengar lalu melukiskan apa yang sedang terjadi di sana. Etnometodologi dalam metode penelitian kualitatif, didefinisikan secara luas sebagai proses, prinsip serta prosedur yang digunakan oleh seorang peneliti untuk mencari jawaban atas masalah tersebut. Terdapat dua perpektif pokok dalam ilmu sosial yaitu positivisme dan fenomenologi. Postivisme, terutama dari Auguste Comte dan Emile Durkheim adalah paham yang ingin mencari fakta atau sebab-musabab sebuah gejala sosial dengan tidak mempertimbangkan keadaan subjektif. Fakta sosial atau gejala sosial sebagaimana didefenisikan oleh Durkheim adalah sesuatu yang bersifat eksternal, sekaligus mengatasi individu itu sendiri. Apa yang disebut kebenaran oleh para penganut positivisme adalah fakta sosial itu sendiri dan bukannya apa yang dialami atau dirasakan oleh individu. Sementara fenomenologi menekankan studi mereka pada individu itu sendiri. Fenomenologi berusaha memahami perilaku manusia dari kerangka berpikir pelaku itu sendiri. Jack Douglas, seorang etnometodolog menuliskan, bahwa kekuatan yang menggerakkan manusia sebagai manusia, bukan sebagai badan yang nyata, melainkan sesuatu yang abstrak tapi berarti. Kekuatan-kekuatan itulah yang disebut gagasan, perasaan dan motif yang internal (Furchan, 1992: 18). Perbedaan paradigma ini kemudian serta-merta mempengaruh metodologi yang dipakai oleh masing-masing aliran terebut. Kaum positivis di dalam studi atau penelitiannya dilalui Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



112



dengan metode kuesioner, survei, inventori yang menghasilkan data kuantitatif. Sebaliknya, kaum fenomenologis mencari pemahaman lewat metode kualitatif dengan metode participant observation, open-ended interviewing dan dokumen pribadi. Ada anggapan, bahwa penelitian yang dilakukan terhadap keluarga dan komunitas di Eropa oleh Frederick LePlay pada abad ke-19 adalah asal mula dari penelitian kualitatif. Akan tetapi, penggunaan metode kualitatif sendiri menjadi populer di dunia sosiologi Amerika yang dipelopori oleh pakar-pakar dari Chicago. Metode kualitatif seperti yang didefenisikan oleh Bogdan dan Tylor adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskreptif: ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini langsung menunjukkan seting dan individu-individu secara keseluruhan, individu dalam batasan yang sangat holistik (Furchon, 1992: 19-20 & Maleong, 2004: 4). Sementara Jane Richie mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai upaya untuk menyajikan dunia sosial, dari segi konsep, perilaku, persepsi dan persoalan tentang manusia yang diteliti (Maleong, 2004: 6). Maleong sendiri membatasi penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, seperti: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Hal tersebut dideskripsikan secara holistik dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Maleong, 2004: 6). Defenisi Maleong tersebut dengan tegas menghantar kita untuk melihat hubungan antara penelitian kualitatif dan etnometodogi. Etnometodologi sebagai studi tentang praktek sosial keseharian yang diterima secara penuh. Etnometpdologi sebagai pengungkapan dunia akal sehat yaitu dunia yang digeluti individu dalam kesehariannya. Dengan demikian, hubungan antara etnometodolgi dengan metode penelitian kualitatif erat sekali. Dalam kerangka penelitian kualitatif, etnometodologi diposisikan sebagai sebuah landasan teoritis dalam metode tersebut (Maleong, 2004: 14-24). Etnometodologi adalah salah satu teori yang dipayungi oleh paradigma ilmu sosial. Paradigma tersebut dilandasi analisis Weber tentang tindakan sosial (social action). Analisis Weber dan Durkheim terlihat dengan jelas. Durkheim memisahkan struktur dan institusisosial. Sebaliknya Weber melihat hal tersebut dalam satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Menurut Weber, tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya, yang kemudian diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati sebagai obyek fisik, tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain, yang bukan berupa tindakan sosial (Ritzer, 2009: 38). Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



113



b. Tantangan Etnometodologi           Kemunculan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional, karena penekatan tersebut dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa peneliti konvensional selalu dilengkapi hal-hal yang sifatya membatasi kebebasan peneliti dalam memahami kenyataan sosial yang sebenarnya. Etnometodologi ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat, yang biasanya diterima begitu saja.           Para sosiolog memandang etnometodologi terlalu memusatkan perhatian pada masalah sepele dan mengabaikan masalah yang sangat penting. Menurut Atkinson (dalam Ritzer, 2009), bahwa etnometodologi terus menghanyutkan diri pada ketidak-pahaman dan permusuhan yang tidak ada ujung pangkalnya. Pada hal keseluruhan apa yang ditinggalkannya perlu diperhitungkan apabila menyangkut teori, metode dan tindakan empiris dalam penelitian sosiologi. Ia yakin, bahwa etnometodologi telah melupakan akar fenomenologisnya dan mengurangi perhatiannya terhadap kesadaran dan proses kognitif. Etnometodologi lebih memusatkan perhatian pada ciri struktur percakapan itu sendiri.           Etnometodologi mendapat kritik keras dari Pollner, karena kehilangan refleksivitas radikal aslinya. Refleksivitas mengarah pada pandangan, bahwa semua aktivitas sosial adalah prestasi, termasuk aktivitas pakar etnometodologi. Etnometodologi berada di pinggiran sosiologi. Artinya, ketika keberadaannya semakin diterima, pakar etnometodologi cenderung mengabaikan kebutuhan menganalisis karya mereka. Akibatnya, etnometodologi terancam kehilangan kemampuan menganalisis dan mengkritik dirinya sendiri. Akibatnya, etnpmetodologi hanya menjadi bidang lain dari teori yang sudah mapan.               Menurut Raho (2007), bahwa dalam mengembangkan dan memperluas ide-ide, etnometodologi  memberikan pandangan yang berbeda tentang dunianya. Akibatnya, ia bisa menjadi paradigma alternatif dalam sosiologi. Akan tetapi, untuk melihat pandangan yang berbeda tersebut dari konsep yang telah ada perlu menghubungkan antara etnometodologi dengan akarakar intelektualnya. Dengan demikian, etnometodologi perlu menentukan sikap, seperti berikut ini: Pertama, jika interaksionisme simbolik menekankan proses penciptaan makna, maka ia harus mengakui adanya keberadaan dunia eksternal yang bersifat obyektif dalam bentuk norma, nilai, peran dan struktur sosial. Akan tetapi, bila etnometodologi memusatkan perhatiannya pada bagaimana interaksi menciptakan perasaan diantara para aktor akan dunia faktual yang berada di luar sana. Kedua, Analisis dramaturgi yang digagas oleh Erving Goffman, menekankan betapa pentingnya proses Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



114



manajemen kesan dan tidak peduli dengan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dari aksi tersebut. Analisis ini berpusat pada bentuk interaksi itu sendiri. Bukan pada struktur-struktur yang diciptakan, dipertahankan dan diubah. Goffman tertarik membuat analisa tentang bagaimana aktor mengesahkan konsep tentang dirinya dan membenarkan tindakannya melalui isyarat: a) bagaimana mereka menjaga jarak dengan obykenya dan b) bagaimana melakukan manipulasi untuk memperlancar keadaan. Meskipun etnometodologi setuju dengan konsep Goffman tentang teknik aktor untuk menciptakan kesan dalam dunia sosial, namun minat etnometodologi bukanlah tertuju pada manajemen kesan individu tersebut. Etnometodologi memokuskan perhatiannya pada bagaimana aktor-aktor menciptakan perasaan akan realitas yang sama. Ketiga, Harus diakui, banyak konsep etnometodologi yang diambil dari fenomenologi Husserl dan Schutz. Akan tetapi, etnometodologi menyesuaikan analisis fenomenologi dengan isu tentang bagaimana keteraturan sosial dipertahankan dengan praktek-praktek yang biasa dilakukan aktor untuk menciptakan sense. E. Determinisme dan Posibilisme Kebudayaan Franz Boas dan Alfred Koeber (Marquette, 1977: 2) adalah dua ahli yang berhasil mengangkat isu posibilisme lingkungan (environmental possibilisme). Perspektif terhadap lingkungan alam seperti ini dapat menimbulkan kemungkinan (possibilities) atau opsi tertentu, dimana sebuah kebudayaan dapat dikondisikan dan ditentukan melalui sejarah dari budaya-budaya tertentu. Pandangan posibilistik tentang hubungan antara kebudayaan dan lingkungan dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk kompromi antara budaya (hanya budaya yang dapat menentukan budaya) dan determinisme lingkungan (hanya lingkungan yang dapat menentukan budaya). Posibilisme lingkungan dalam berbagai hal dapat menandai adanya sebuah paradigma penting yang lebih mengarah pada sebuah lingkungan integratif dan dialektif daripada ke arah padangan deterministik yaitu lebih mementingkan hubungan antara kebudayaan dan lingkungannya. Pendekatan posibilistik tersebut banyak mewarnai pendekatan ekologi kebudayaan (cultural ecological approaches) saat ini. Perbedaan kedua pendekatan tersebut di atas dengan jelas diuraikan oleh Poerwanto (2000: 79-84). Pendekatan posibilis dan determinis tidak lain hanya merupakan upaya untuk melihat manusia dengan latar belakang habitat mereka, yang merupakan cerminan dari hasil adaptasi makhluk manusia itu sendiri. Menurut kaum posibilisme, pada hakikatnya perilaku dalam suatu kebudayaan dipilih secara selektif, atau jika tidak, secara tak terduga merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Dengan demikian, kaum posibilis sangat yakin, suatu lingkungan tertentu tidak dapat dipandang sebagai penyebab utama munculnya perbedaan kebudayaIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



115



an, melainkan hanya sebagai pembatas atau penyeleksi saja. Kaum posibilis juga beranggapan, pada dasarnya faktor geografis tidak mungkin membentuk suatu kebudayaan manusia, karena pembentukannya merupakan suatu gejala yang sepenuhnya bersifat historis, bahkan superorganis. Dengan kata lain, bahwa keadaan alam lingkungan tidak sepenuhnya merangsang timbulnya suatu pola kebudayaan tertentu. Itulah sebabnya, mengapa kaum possibilis yakin seratus persen, bahwa hampir semua praktek-praktek kebudayaan bersifat khas dan spesifik. Mengapa, karena kebudayaan tidak langsung berkaitan secara logika dengan keadaan alam habitat geografisnya. Kaum antropogeografis (Poerwanto, 2000: 79-84), di pihak lain, lebih berdasar pada suatu pendekatan yang menekankan sejauh mana dan bagaimana cara-cara kebudayaan manusia itu dibentuk oleh kondisi lingkungannya. Pendapat ini tampak pada teori klimatologi Elsworth Huntington. Sekalipun demikian, kaum antropogeografis juga masih mengakui, bahwa ada berbagai variasi dalam kebudayaan manusia yang dapat terlepas dari pengaruh geografis. Jika hal itu terjadi, variasi yang ada seringkali dianggap sebagai akibat kebetulan saja, karena adanya faktor ras. Para penganut antropogeografis yakin, bahwa faktor geografislah yang seringkali tampak atau memainkan peranan dinamis. Bukan pasif dalam perkembangan kebudayaan manusia. Julian Steward (dalam Marquette, 1977: 2), merupakan salah satu murid Kroeber. Ia telah meneliti kelompok masyarakat pribumi di Amerika Barat Daya. Dalam penelitiannya tersebut ia mengembangkan sebuah prinsip umum yang oleh banyak pihak dipandang sebagai landasan eksplisit dan penting dalam studi ekologi kebudayaan (cultural ecology). Steward dalam studinya memokuskan kajiannya pada bagian-bagian kebudayaan (part of culture) atau pada inti kebudayaan (culture core). Menurutnya, inti kebudayaan mempunyai hubungan paling dekat dengan alam semesta (physical world). Ini merupakan subsistensi atau strategi produktif dalam sebuah kebudayaan. Inti kebudayaan sebagai pola subsistensi banyak berhubungan dengan eksploitasi dari bagian-bagian yang relevan dengan lingkungan tertentu atau lingkungan yang efektif (tanah, iklim dan sebagainya). Sebaliknya, inti kebudayaan sebagai suatu ciri kebudayaan (cultural trait), dapat membentuk wajah baru dalam kebudayaan itu sendiri seperti organisasi sosial (social organization). Oleh karena itu, ide pokok dari inti kebudayaan adalah untuk menandai sebuah peran interaktif, baik lingkungan maupun kebudayaan dalam rangka pembentukan perubahan budaya (cultural change). Tidak berlebihan, jika Geertz (1992) berpendapat, bahwa analisis ekologis hanya relevan pada aspek inti kebudayaan. Melalui inti kebudayaan, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



116



analisis ekologi akan mampu menunjukkan konstelasi unsur-unsur penting dalam penyelenggaraan atau pengaturan kehidupan dan penyusunan ekonomi. Secara empirik, pola-pola sosial, politik dan agama diduga berkaitan dengan pengaturan pola-pola kehidupan dan ekonomik. Oleh karena itu, ekologi budya meusatkan perhatiannya ada pengalaman empirik, terutama yang ada hubungannya dengan pemanfaatan lingkungan (Poerwanto, 2000: 76-77). Menurut Gadgil dan Berkers (dalam Mitchell, 2000: 299), bahwa sepertinya telah menjadi suatu ketentuan, bahwa sepanjang sejarah manusia selalu ada sekelompok masyarakat yang masih peduli terhadap penggunaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Kelompok tersebut rela mempraktekkan sistem konservasi sumber daya alamnya dengan tepat. Praktekpraktek seperti ini biasanya didasarkan pada beberapa aturan sederhana, namun menjamin adanya penggunaan sumberdaya alam jangka panjang. Aturan-aturan tersebut secara alamiah didapat melalui proses uji-coba (trial and error) dengan meneruskan sistem pengelolaan yang dianggap mampu mempertahankan sumberdaya alam. Mereka akan meninggalkan pengelolaan yang dianggap dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Dengan demikian, dapat dikatkan sistem pengetahuan lokal sangat besarnya sumbangsihnya di dalam pengelolaan lingkungan, khususnya sumberdaya hutani. Koentjaraningrat (1990: 372-375) kemudian mengusulkan, agar pemakaian istilah sistem pengetahuan lokal (local knowledge) perlu dibedakan dengan konsep ilmu pengetahuan (science atau know1edge). Mengapa, karena isi sistem pengetahuan yang terkandung di dalam suatu kebudayaan menurut Koentjaraningrat, meliputi: 1) Pengetahuan alam sekitarnya, 2) Pengetahuan alam flora, 3) Pengetahuan alam fauna, 4) Pengetahuan zat-zat bahan mentah dan benda-benda dalam lingkungannya, 5) Pengetahuan tubuh manusia, 6) Pengetahuan sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia dan 7) Pengetahuan ruang dan waktu: perhitungan jumlah dan pengukuran volume atau waktu (tanggalan) dan penimbangan berat. Bannet (dalam Kartasubrata, 2003: 137-140) juga memperlihatkan bagaimana kedekatan hubungan antara kebudayaan dengan masalah ekologi. Hubungan keduanya, dikembangkan dalam suatu bentuk studi khusus yaitu ekologi kebudayaan (cultural ecology). Ekologi kebudayaan tersebut memiliki 5 (lima) pendekatan, berikut ini: 1) Antropogeografi (determinisme lingkungan), 2) Posibilisme lingkungan, 3) Ekologi kebudayaan, 4) Ekosistemisme kebudayaan, dan 5) Dinamika adaptif. Menurut Bennet (1976), bahwa salah satu model yang paling banyak digunakan dalam studi ekologi adalah dinamika adaptif. Hal tersebut melihat hasil-hasil tingkah laku sebagai suatu bentuk konsekuensi dari keputusan dan pilihan manusia. Bukan sebagai akibat-akibat yang tidak Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



117



dapat dihindarkan dari fenomena-fenomena yang ada. Model adaptasi tersebut mampu mengubah sistem wawasan dalam artian, bahwa pengendalian atau keseimbangan dianggap dapat tercapai. Pencapaian tersebut disebabkan dengan adanya keputusan atau persetujuan (conventional) manusia. Jadi, bukan proses-proses otomatis yang terjadi di luar kesadaran, sekalipun hal ini kadang-kadang memang bisa terjadi. F. Etnosentrisme dan Relativisme Jauh sebelum para penjajah (colonialist) mengembangkan sayapnya untuk menjajah bangsa-bangsa lain, persiapan demi persiapan mutlak dilakukan. Persiapan tersebut, terutama untuk mempelajari watak dan kebudayaan masyarakat yang akan dijajahnya. Tidak sedikit mereka mengirim ahli-ahli budaya yang ketika itu dijuluki sebegai etrnograf dan misionaris keagamaan untuk mengubah pandangan dan kosmologi masyarakat calon jajahannya. Sebagai seorang peneliti atau ahli yang belum cukup berpengalaman, sebahagian dari mereka mengambil kebudayaan miliknya sebagai pembanding kebudayaan yang menjadi obyeknya. Dari sinilah muncul streotipe31 dalam diri mereka. Akibatnya, mereka pun menciptakan istilah-istilah yang bukan pada tempatnya. Timbullah istilah masyarakat primitif (primitive society) yang ia bandingkan dengan masyarakat maju (modern society), yang konon miliki peradaban maju. Istilah masyarakat primitif tersebut diindentikkan dengan keterbelakangan (mental, ekonomi, spiritual dan sebagainya). Sedangkan masyarakat modern diidentikkan dengan kemajuan dalam segala hal. Kalangan kaum konglomerat Perancis, misalnya, menurut Max Weber diciptakan dalam dua golongan masyarakat: proletar yang diduduki oleh para buruh dan pekerja biasa. Mereka tidak memiliki saham atau modal. Sebaliknya golongan borjois yang memiliki segala-galanya. Dalam era pos-modern timbul istilah lain seperti negara Barat dan negara Timur (Timur Dekat, Timur Tengah dan Timur Jauh), yang melahirkan pandangan-pandangan dan penilaian-penilaian baik-buruknya sebuah masyarakat dan kebudayaannya. Pandangan-pandangan seperti ini disebut etnosentrisme (enthnocentrism). Padangan ini berupa kepercayaan, bahwa kebudayaan sendiri dalam segala hal lebih tinggi daripada semua kebudayaan orang lain. Boas sendiri sangat yakin dan menyimpulkan, bahwa variasi dari fenotipe (phenotype)32 dalam sebuah ras tidak memungStreotipe menurut Koentjaraningrat (2003: 225) adalah konsepsi mengenai sifat-sifat suatu golongan bedasarkan prasangka subyektif dan tidak tepat. Fenotipe Koentjaraningrat (2003: 62) adalah ciri-ciri fisik yang nampak dari luar sebagai akibat evolusi biologi pada orgamsme. 32 Fenotipe adalah suatu karakteristik (baik struktural, biokimiawi, fisiologis, dan perilaku) yang dapat diamati dari suatu organisme yang diatur oleh genotipe dan lingkungan serta interaksi keduanya. Pengertian fenotipe mencakup berbagai tingkat dalam ekspresi gen dari suatu organisme. 31



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



118



kinkan untuk menjustifikasi adanya tingkatan kemajuan suku bangsa (ethnocentrsim) sebagai yang terkebelakang (inperio) dan yang cukup maju (superior). Relatifisme, di pihak lain, adalah sebuah pandangan yang sangat jauh dari penilaian-penilaian suatu kebudayaan. Relatifisme merupakan tesis yang menyatakan, bahwa setiap kebudayaan bersifat karakteristik, sehingga kebudayaan hanya dapat dinilai berdasarkan norma-norma (norms) dan nilai-nilainya (values) sendiri. Relatifisme kebudayan melihat manifestasi dari sebuah kebudayaan dapat berbeda sesuai dengan tempatnya, sehingga dalam pengertian ilmu budaya tidak ada seorang yang lebih berbudaya dibandingkan dengan yang lainnya. Semua kebudayaan unggul pada tempatnya sendiri-sendiri. Orang Papua yang berasal dari suku Asmat, misalnya, begitu sangat bangga dengan pakaian adatnya berupa koteka bagi kaum adam dan gaun rok rumbai yang terbuat dari kulit kayu bagi kaum hawa. Franz Boas (1896) dalam bukunya The Limitations of the Comparative Method of Anthropology menganjurkan, agar prinsip penilaian suatu kebudayaan melalui metode perbandingan (comparative methods) sebaiknya jangan dilakukan, karena hal itu sangat rentan dengan perspektif etnosentrisme. Dengan dasar inilah, Boas mengajukan sebuah konsep baru yang melihat kebudayaan dalam level yang sama. Artianya, tidak ada keunggulan yang dapat dicapai antara satu dengan yang lainnya, sehingga semua kebudayaan sama sesuai dengan kondisinya (cultural relativism).



REFERENSI Alan Barnard. 2004. History and Theory in Anthropology. United State of America : Cambridge Press. Auyang, Sunny Y.. 1999. Foundations of Complex-system Theories: in Economics, Evolutionary Biology, and Statistical Physics. Cambridge University Press. Bailey Kanneth D.. 1982. Methods of Social Research, New York: A Division of Macmillan Publishing Co. Inc.. Barry Oshry, 2008, Seeing Systems: Unlocking the Mysteries of Organizational Life, Berrett-Koehler Publishers. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



119



Benedict, Ruth. 1934. Patterns of Culture. New York: The New American Library _______. 1946. The Chrysanthemum and the Sword. Boston: Houghton Mifflin Bennet W. John. 1976. Anticipation, Adaptation, and the Concepts of Culture in Anthropology. Science vol. 192. number 4242, 28 May 1976. Boas, Franz. 1896. An Anthropologist’s Credo, The Nation 147 (1938): 201–4. Bogdan, Robert. Participant Observation in Organizational Settings. Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1972. Bohannan, Paul & Glazer, Mark. 1988. High Points in Anthropology (Second Edition), New York : Alfred A, Knopf. Charlotte, Seymour Smith. 1986. Dictionary of Anthropology. Boston: G. K. Hall and Company. ______. 1990. Macmillan Dictionary of Anthropology. London and Basingstoke. The Macmillan Press Ltd. Catherine Marquette. 1997. Turning but not Toppling Malthus: Boserupian Theory on Population and the Environment Relationships. Working paper. Chr Michelsen Institute Development Studies and Human Rights. Bergen Norway ______. 1977. Cultural Ecology Working paper. Chr Michelsen Institute Development Studies and Human Rights. Bergen Norway Carol R. Ember and Melvin R. Ember. 2014. Cultural Anthropology. Publisher: Pearson Press. Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications, Inc: California. Doug Maynard & Steve Clayman, The Diversity of Ethnomethodology, ASR, V.17, pp. 385–418. 1991. A survey of various ethnomethodological approaches to the study of social practices. Freud Sigmund. 1913. Totem and Taboo. London: MacMillan. Fox, Robin. 1967. Kinship and Marriage. Harmondsworth, UK: Pelican Books. Furchan Arief 1992. Metode Penelitian Kualitatif, Usaha Nasional, Surabaya. Geertz Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius. ______. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta : Kanisius. George Ritzer dan Douglas J.Goodman. 2008. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern. Penerjemah Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Gopala Sarana 1975. The Methodology of Anthropological Comparisons: An Analysis of Comparative Methods in Social and Cultural Anthropology (Viking Fund Publications in Anthropology), Dallas USA: University of Arizona Press George Ritzer dan Douglas J. Goodman. 1989. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Corporation. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



120



Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc. Harold Garfinkel, 1984. Studies in Ethnomethodology, Malden MA: Polity Press/Blackwell Publishing. _______1967. Ethnomethodology, Penguin, Harmondsworth. _______. 1984. Studies in Ethnomethodology, Polity Press, Cambridge. _______. 2002. Ethnomethodology's Program. New York: Rowman and Littlefield. _______. 1992. Two Incommensurable, Asymmetrically Alternate Technologies of Social Analysis', in G. Watson & R. M. Seiler (eds.), Text in Context, Sage, London, pp. 175–206. _______. 1984. Studies in Ethnomethodology, Malden MA: Polity Press atau Blackwell Publishing Harris, Marvin. 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New York: Random Hous Haviland A. William. 1993. Antroplogi, Edisi Kempat, Jilid 1 dan 2. Jakarta : Erlangga. Heddy Shri Ahimsa Pustra, Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual dan Post-Modernistis, dalam Ketika Orang Jawa Nyeni (Yogyakarta: Galang Press Heritage, J. (1984). Garfinkel and ethnomethodology. Cambridge, U.K: Polity Press. Page 5. _______. 1991. Garfinkel and Ethnomethodology, Cambridge: Polity. Garfinkel, H. 1974)/'The origins of the term ethnomethodology', in R.Turner (Ed.) Hunter K. E. And Whitten Philip. 1982. Anthropology Contemporary Perspective. (Third edition). Boston Little, Brown and Company. Irwan Djamal Zoer’Aini. 2003. Prinsip-Pinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas & Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara. Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Kartasubrata, Junus, 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia (Buku I & II). Bogor: Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fak. Kehutanan, IPB. Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil, Jakarta: Skretaris Negera. Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I dan II. Jakarta : Erlangga. Khun Thomas S.. 1962. The Structure Of Scientific Revolution: a Brilliant, Original Analysis of Revolutions Consequences of Revolutions in Basic Scientific concepts. Cichgi : University of Chicago Press. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



121



Kobben, AJ. (1952) ‘The New Ways of Presenting an Old Idea: The Statistical Method in Anthropology’, Journal of the Royal Anthropological Institute, 83:129–46 Kroeber A. L. dan Kluckhohn C.. 1952. Culture: A Critical Review of Concept and Definitions. Peabody Museum Papers 47. 1. Cambridge: Havard University Press. Koentjaraningrat, 1972. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta _______. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta. _______. dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kottak Philip. 1991. Anthropology: The Exploration of Human Diversity edisi V, New York: McGraw-Hill, Inc .. Leach, Edmund R. 1954. Political Systems of Highland Burma. Boston: Beacon Press Levi-Strauss, Claude. 1968. Structural Anthropology. New York: The Penguin Press, 1968. (Originally published in 1958.) Levine, George, ed. Constructions of the Self. ________. 2008 [1997]. The Culinary Triangle. In Carole Counihan and Penny Van Esterik. Food and Culture: A Reader. Peter Brooks (trans.) (2nd ed.). New York: Routledge. pp. 36–43 (28–35 in first edition). Originally published. Leach, Edmund R.. 1961. Rethinking Anthropology. London: Athlone Press Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Crowell Co. Maleong, Lexy J., 2007, Motodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Malinowski, Bronislaw.. 1922. Argonauts of the Western Pacific, London: Routledge & Kegan Paul. _______. 1926. Myth in Primitive Psychology, London, reprinted in B. Malinowski, Magic, Science and Religion, and Other Essays, 1948. _______. 1939. ‘The Group and the Individual in Functional Analysis’, in American Journal of Sociology 44:938–64. _______.1948. Magic, Science and Religion, and Other Essays, Glencoe, Ill.: Free Press. _______. 1989. A Diary in the Strict Sense of the Term, Stanford, Calif.: Stanford University Press. Margaret M. Poloma, 1994. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers Margono S. Drs. 2007. Metologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK. PT. Rineka Cipta, Jakarta. McGee, Robert W.: 2006. Three Views on the Ethics of Tax Evasion, Journal Melalatoa, M. J.. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



122



Michaël Devaux and Marco Lamanna, The Rise and Early History of the Term Ontology (1606–1730), Quaestio.Yearbook of the History of the Metaphysics, 9, 2009, pp. 173-208 (on Leibniz pp. 197-198). Miller, Barabra. Cultural Anthropology. 4th ed. Boston: Pearson Education Inc., 2007. Mitchell, Bruce, Setiawan B. & Rahmi Hadi Dewita. 2000. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Mulyana.  Metodologi. 2002. Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Neuman Lawrence W.. 2006. Social Research Methods (Qualitative and Quantitative. Oshry Barry .2008. Seeing Systems: Unlocking the Mysteries of Organizational Life. Berrett-Koehler. Pelto, P. J., and G. H. Pelto, 1978. Anthropological Research: The Structure of Inquiry, 2nd ed. New York: cambridge University press. Pike. K. 1967. Language in Relation to A Unified Theory Of Human Behavior. Mouton. The Hague. Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Quine. 1953. From Logical Point of View: New York. Harper & Row. Radcliffe-Brown, A.R. 1965 [1952]. Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press Raho Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Ramlan Surbakti. 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, Malang: Aditya Media Publishing. Ritzer, George. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Ritzer George, J. Goodman Douglas. 2019. Teori Sosiologi.  Jakarta: Kencana. Robert K. Yin, Case Study Research Design and Methods.(Washington : COSMOS Corporation, 1989).hlm103 Robinson, Geoffrey B.. 2018. The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66. Princeton University Press. Sabitha Marican 2005. Kaedah Penyelidikan Sains Sosial. Petaling Jaya: Prentice Hall Steward, Julian. 1953. Evolution and Process. In Alfred Kroeber, ed. Anthropology Today. Chicago: The University of Chicago Press, 313– 26. ______. 1955. The Theory of Culture Change. Urbana. University of Illionis Press. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



123



Sunny Y. Auyang, 1999, Foundations of Complex-system Theories: in Economics, Evolutionary Biology, and Statistical Physics, Cambridge University Press Tania Murray Li, 1999. Comparison Powe: Development, Culture, and Rule in Indonesi, Dalhousie Iniversity: Department of Sociology and Social Anthropology Tylor, E.B. 1958 [1871]. Primitive Culture. New York: Harper Torchbooks White, Leslie. 1940. The Symbol: The Origin and Basis of Human Behavior. Philosophy of Science 7 (4): 451–63. ______. 1949. The Science of Culture. New York: Grove William Schabas. 2000. Genocide in international law: the crimes of crimes. Cambridge University Press, 2000, p. 25: Lemkin's interest in the subject dates to his days as a student at Lvov University, when he intently followed attempts to prosecute the perpetration of the massacres of the Armenians." Yin, Robert K. Case Study Research Design and Methods, Washington: COSMOS Zeitlin, Muhammad. 1998. Memahami kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.



BAB III MEKANISME PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN A. Evolusi Kebudayaan Lintas Waktu 1. Teori Darwin, Darwinisme, Anti Darwin a. Charles Robert Darwin dan Darwinisme Charles Darwin adalah seorang naturalis berkebangsaan Inggris. Ia menyatakan, bahwa evolusi berlangsung karena adanya proses seleksi alam (natural selection). Yang dimaksud seleksi alam adalah proses pemilihan yang dilakukan oleh alam terhadap variasi makhluk hidup di dalamnya. Hanya makhluk hidup yang memiliki variasi sesuai dengan lingkungan yang bisa bertahan hidup, sedangkan yang tidak sesuai akan punah (survival of the fittest)33. Organisme yang bisa hidup inilah yang selanjutnya 33



Seleksi alam memiliki konsep: spesies yang berhasil beradaptasi dengan baik akan terus bertahan hidup, sedangkan yang tidak dapat beradaptasi akan punah. Seleksi alam yang dimaksud dalam teori evolusi adalah teori bahwa makhluk hidup yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya lama kelamaan akan punah. Yang tertinggal hanya-lah mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Sesama makhluk



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



124



akan mewariskan sifat-sifat yang sesuai dengan lingkungan pada generasi beri-kutnya. Ada dua macam evolusi: evolusi progressif dan evolusi regressif. Evolusi progressif merupakan proses evolusi yang menuju ke kemungkinan dapat bertahan hidup, sehingga menghasilkan spesies baru. Evolusi regressif merupakan evolusi menuju ke kemungkinan mengalami kepunahan. Evolusi pertama menurut Gising (2008) kemungkinan bisa berhasil bertahan hidup, karena mereka berhasil melakukan adaptasi dengan baik (weladaptive). Sedangkan evolusi kedua tidak mampu bertahan atau mengalami kepunahan, karena mereka tidak mampu beradaptasi (mal-adaptive) dengan leingkungannya. Menurut Lamarck dalam teorinya use and disuse, bahwa bagian tubuh makhluk hidup dapat berubah baik ciri, sifat maupun karakternya, karena pengaruh lingkungan hidupnya. Apabila bagian tubuh dari makhluk hidup tersebut sering digunakan, sangat mungkin bagian tubuh tersebut berubah, karena ada kesesuaian kegunaannya pada lingkungan tersebut. Sebaliknya, bagian tubuh yang jarang digunakan, bagian tubuh tersebut akan menghilang (rudimenter). Akan tetapi, perlu saya jelaskan di sini, bahwa bagian tubuh yang telah mengalami perubahan dan sudah sesuai dengan lingkungannya, dapat dipastikan memiliki ciri atau karakter yang berbeda dengan aslinya. Sifat perolehan inilah yang akan diwariskan kepada keturunannya dari generasi ke generasi. Suatu saat nanti muncul makhluk hidup yang lebih maju daripada moyangnya. Saya ambil contoh rusa kutub dengan rusa hutan tropis. Bulu rusa kutub lebih lebat dan panjang dibandingkan dengan rusa-rusa di daerah tropis. Demikian pula beruang kutub dengan bulu putih dan lebat berbeda dengan bulu beruang yang ada di daerah tropis. Perbedaan bentuk bulu dan warna bulu kedua binatang yang satu spesies di atas sengat berkaitan dengan keadaan lingkungannya. Bulu putih sering digunakan untuk membuat kamuplase bagi binatang buruannya. Bulu yang tebal dan tipis digunakan untuk mengantisipasi perubahan temperature yang ada di dalam habitatnya. Bulu tebal untuk mengatisipasi cuaca dingin. Sedangkan bulu tipis digunakan untuk mengatur temperature tubuhnya dengan keadaan cuaca yang ada di sekitarnya. Darwin adalah ikon besar dalam evolusi biologi manusia dan mahluk hidup lainnya. Tidak sedikit dari beberapa ahli kenamaan yang terpengaruh dan mengikuti kiblat teori evolusi biologi (biological evolutions). Darwin memperkenalkan teori evolusi di dalam bukunya berjudul On The Origin of Sepecies, yang ditebitkan pada tahun 1858. Sebaliknya, tidak sedikit pula ahli dari berbagai bidang ilmu yang mengecam dan menentang habis-habisan hidup akan saling bersaing untuk mempertahankan hidupnya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



125



teori evolusi Darwin tersebut. Melalui sub-bab evolusi biologi ini, saya ingin menjelaskan, bahwa sebenarnya pro-kontra teori Darwin pada prinsipnya tidak perlu terjadi. Siapapun tidak bisa menyalahkan pendapat-pendapat Darwin, karena memang dia berangkat dari ilmu pasti, yang positifistik sifatnya. Jika, yang memprotesnya dari kalangan ahli ilmu eksakta, sudah dapat dipastikan dia tidak terlalu mendalami prinsip-prinsip seleksi alam (survival of the fittest) dan hanyutan genetika (Genetic Drift). Apa lagi kalau anda, saya dan kita semua berangkat dari kacamata (paradigm) ilmu sosial, yang relatifis sifatnya, sangat tidak mungkin mampu mengikuti alur konsep dan pemikiran evolosi biologi yang diperkenalkan oleh seorang Darwin. Teori dan Konsep Charles Darwin, pada prinsipnya bukan asli sebagai hasil renungannya sendiri. Jauh sebelumnya, abad ke-6 SM seorang filsuf Yunani, Anaximander, telah menghasilkan renungan filsafat tentang nenek moyang bersama dan transmutasi spesies (Wright, 1984). Kajian filsafat Biologi Anaximander tersebut kemudian diikuti oleh Empedokles, Lucretius, biologiawan Arab Al Jahiz, filsuf Persia Ibnu Miskawaih, Ikhwan As-Shafa (Muhammad Hamidullah dan Afzal Iqbal, 1993) dan filsuf Cina Zhuangzi (Zirkle C., 1941). Pada abad ke-18, pemikiran evolusi mulai ditelusuri oleh beberapa filsuf seperti Pierre Maupertuis tahun 1745 dan Erasmus Darwin tahun 1796 (Terrall M., 2002). Pemikiran ahli biologi Jean-Baptiste Lamarck tentang transmutasi spesies memiliki pengaruh yang luas. Charles Darwin merumuskan pemikiran seleksi alamnya pada tahun 1838 hingga pada tahun 1858. Alfred Russel Wallace kemudian mengirimkan teori yang mirip dengan teori Darwin, dalam suratnya Surat dari Ternate. Keduanya diajukan ke Linnean Society of London sebagai dua karya yang terpisah (Wallace dan Darwin, 1858). Pada akhir tahun 1859, publikasi Darwin, On the Origin of Species, yang menjelaskan seleksi alam secara mendetail membuktikan, jika teori evolusi Darwin diterima dikalangan komunitas ilmiah. b. Pengikut Darwin (Darwinisme) Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa teori kontroversial Darwin menjadi anutan beberapa ahli. Sekalipun, di pihak lain, teori Darwin tersebut banyak yang kontra. Beberapa ahli berikut ini adalah penganut teori evolusi Darwin: b.1 Herbert Spencer Herbert Spencer seringkali menganalisis masyarakat sebagai sistem evolusi. Ia juga menjelaskan definisi tentang hukum rimba dalam ilmu sosial. Oleh karena itu, ia lebih banyak berkontribusi di dalam berbagai macam subyek; etnis, metafisika, agama, politik, retorik, biologi dan psikologi. Sekalipun Spencer menerima banyak kecaman dari beberapa ilmuan, namun masih tetap eksis di dalam pengembangan teori evolusi warainnya dari Charles Darwin. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



126



Pada tahun 1879 Spencer memperkenalkan teori tentang Evolusi Sosial yang hingga kini masih dianut banyak ahli, meskipun terjadi perubahan di sana-sini. Ia juga menerapkan secara analog dengan teori evolusi karya Charles Darwin dengan konsep utama manusia berasal dari kera. Ia yakin, bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organic. Menurutnya masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain. Herbert Spencer yaitu tokoh fundamental yang lahir di masa Victorian. Perannya di bidang sosiologi, bahkan juga evolusi memiliki pemikiran– pemikiran yang tajam dan mendetail. Untuk itu seorang ilmuan yang kerap disapa dengan nama Spencer ini menarik untuk dipelajari. Herbert Spencer adalah seorang tokoh filsuf sosiologi, evolusi, antropologi, psikologi. Ia bahkan namanya mendunia di bidang politik pada masanya. Hingga sekarang pun nama Spencer masih sering disebut–sebut dalam buku panduan referensi di bidang biologi, sosiologi dan psikologi. Seorang laki-laki yang tidak pernah duduk dibangku sekolah ini, mengenyam pendidikan dari ayahnya, yang selanjutnya diteruskan oleh pamannya. Di usia 17 tahun, pria yang kerap dipanggil Spencer ini sudah menjadi insinyur di pembangunan jalan kereta api. Ketertarikannya pada biologi muncul dari pekerjaannya di Birmingham sebagai insyinyur jalan kereta api. Hal inilah yang selanjutnya menarik perhatiannya di bidang evolusi. Suatu ketika ia menemukan fosil manusia dan menelitinya. Fosil tersebut ditemukannya dari serpihan-serpihan peroyek perintisan jalan (land clearing) proyek pembangunan jalan atau rel kereta api. Dari situkah ia mendapatkan ilham, dan ia mencoba menusun formulasi tentang evolusi yang terjadi, terutama hasil perbandingan dari fosil yang sitemukan dengan manusia saat ini. Tahun 1855, ia bergerak di bidang psikologi dan evolusi, kemudian pikiran–pikirannya tertuang dalam bukunya berjudul The Principle of Psychology edisi pertama. Tahun selanjutnya 1858, Spencer memiliki minat di bidang sosiologi. Dia menyusun gagasan survei di bidang biologi, psikologi, sosiologi dan etika dari sudut pandang evolusi. Kemudian pada tahun 1862 dia menulis bagian pertama dari Synthetic Philosophy atau disebut dengan filsafat sintetik dengan judul First Principles, yang banyak membahas tentang prinsip-prinsip evolusi. Buku-buku karya Spencer banyak dibaca di belahan dunia ini. Pandangan-pandangannya mendapat perhatian besar, misalnya, buku The Principles of Biology telah diadopsi sebagai buku panduan biologi di Oxford University. Demikian pula dengan Principles of Psychology juga digunakan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



127



oleh William James sebagai buku ajar untuk dua mata kuliah. Pada saat itu Spencer menjadi pusat perhatian di dunia akademik. Spencer memiliki bakat dan talenta, karena ia mampu menjabarkan beberapa bidang ilmu, sekalipun ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Ia mampu mendiskripsikan evolusi dan menerapkan konsep evolusi secara sistematik, baik pada alam semesta pada umumnya maupun masyarakat manusia pada khususnya.  Baginya alam semesta ini pada dasarnya terdiri atas materi dan energi. Menurutnya, evolution is a change from a state of relatively indefinite, incoherent, homogeneity to a state of relatively definite, coherent, heterogeneity. Ia pun dalam konsepnya tersebut bermaksud, bahwa perubahan dari keadaan yang relatif terbatas dan tidak pasti homogenitas, dapat menjadi keadaan yang relatif pasti, masuk akal dan heterogenitas. Menurut Spencer, sebuah evolusi harus dilihat sebagai suatu bentuk proses yang berpangkal dari suatu hal yang paling sederhana menuju halhal yang lebih rumit. Hal tersebut berangkat dari sebuah proses yang berturut-turut dengan pembedaan-pembedaan tertentu. Dengan demikian, evolusi manusia harus dilihat melalui struktur lapisan tanah dan iklim bumi. Kemudian dilihat pada kumpulan ras, peradaban individu, segi politik, agama, ekonomi dan tingkat aktivitas manusia dari kegiatan konkrit hingga yang abstrak. Jadi, bagi Spencer evolusi itu dimulai dari hal yang sederhana hingga pada hal-hal yang kompleks. Evolusi tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti; adanya seleksi alam (survival of the fittest). Menurutnya evolusi harus pula dilihat dari proses sebab dan akibatnya (causative). Hanya sesuatu yang kuat atau yang mampu mempertahankan adaptasinya, yang memiliki kesempatan untuk hidup. Sedangkan, yang lemah dan malas, akan tersisih dan dengan sendirinya kurang berhasil dalam hidupnya. Pandangan–pandangan evolusi Spencer lebih menjurus pada evolusi tingkah laku manusia, sehingga ia dalam hal ini mengarah pada sosiologi. Ia telah menerbitkan tiga jilid buku berjudul The Principles of Sociology. Spencer memiliki gagasan yang jelas mengenai ilmu perbandingan masyarakat yang didasarkan pada prinsip-prinsip evolusi. Ia berpendapat, bahwa kemajuan organisme dari jenis rendah ke tinggi adalah jenis kemajuan dari keseragaman struktur. Ia juga mempertahankan pola sebab akibat dalam memandang suatu masalah, misalnya, dalam kaitannya dengan perilaku sosial manusia dan semua hal yang berasal dari alam. Spencer melihat struktur sosial (social structure) yang timbul berawal pada sebab, kemudian berkembang mempunyai akibat, sehingga struktur sosial tersebut dapat terbentuk. Prinsip sosiologi dikhususkan untuk menelusuri pengkhususan fungsi dan menyertai pengkhususan yang lebih Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



128



detail. Spesifikasi struktur menjadi suatu yang baru. Hal inilah yang menjadi ciri evolusi budaya dari seorang jenius bernama Spencer. Spencer pernah menyebutkan hal-hal yang terkait dengan superorganic, yaitu sebuah penunjuk dari elemen atau bagian unik, yang berbeda dalam perilaku manusia. Perilaku inilah, yang selanjutnya memiliki kesamaan arti dengan budaya. Tidak hanya budaya manusia, tetapi juga hal-hal lain yang ada di alam. Pandangan Sepencer dalam bidang sosiologi, bahwa fenomena sosial (social phenomenon) tergantung dari sebagian sifat individual dan sebagian pada kekuatan, yang terkait dengan apa yang ada di sekitarnya. Kemungkinan bertahan hidup terletak pada akar dari solidaritas sosial manusia (social solidarity). Hidup bersama-sama dalam bentuk kelompok jauh lebih menguntungkan daripada hidup terpisah. Hal ini akan terus berjalan, jika dibarengi dengan komunikasi dan pemeliharaan solidaritas yang baik pula. Bagi Spencer, kebenaran terdalam bisa tercapai melalui pernyataan dari keseragaman terluas atau terbanyak dalam hubungan manusia. Menurut Spencer energi sangat dibutuhkan dalam evolusi budaya. Ia adalah salah satu dari para ilmuan yang pertama kali menyebutkan, bahwa perubahan budaya lebih baik dijelaskan dalam hal kekuatan sosial (social capital) budaya daripada akibat tindakan-tindakan manusia. Spencer juga menghargai adanya perkembangan ekonomi dalam sebuah negara yang kemudian mempengaruhi perkembangan adat istiadat (civilization) dan lembaga pemerintahan. Hal ini tidak hanya merujuk, baik pada polotik maupun sosiologi. Baginya, peran penting ada dalam perekonomian, khusunya di bidang perdagangan dan industri. Hal ini mampu merubah, baik tatanan masyarakat maupun lembaga pemerintahan. Spencer dianggap sebagai pelopor teori evolusi. Ide yang memiliki kontribusi penting dalam teori-teori social, sering dicampakkan begitu saja oleh banyak kalangan, Terutama konsep sintetis filsafatnya (synthetic philosophy) betul-betul telah terlupakan. Mengapa Spencer masih terus diingat, karena ia banyak membuat formulasi teori yang masih digunakan hingga saat ini. Dialah yang pertama-tama menggunakan konsep: superorganic, function, structure dan system. Keaslian fungsionalisme struktur juga dapat ditemukan dalam karyakarya Spencer. Menurutnya, evolusi dan fungsionalisme adalah dua hal yang saling bertentangan. Spencer sebagai penggagas konsep filsafat sintetis tidak hanya tertarik pada ilmu sosial saja, akan tetapi pada semua bidang ilmu. Dia juga telah menaruh perhatian khusus pada bidang studi biologi. Adalah Spencer (bukan Darwin), yang telah memperkenalkan konsep persaingan hidup (the survival of the fittest), sekalipun Wallace dan Darwin Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



129



memang menggunakan konsep tersebut dalam studinya tentang mekanisme biologi. Menurut Spencer, keuniversalan hanya dapat dibahas dalam istilahistilah evolusi. Ia juga mengklaim, bahwa masyarakat sebagai sesuatu yang tidak terpecah-pecah (undifferentiated atau unity) dan merupakan sebuah sistem yang simple (organic). Melalui evolusi masyarakat ia telah mengembangkan struktur-struktur tertentu (misalnya, pemerintahan) untuk membentuk fungsi-fungsi khusus (misalnya, koordinasi semua sistem). Menurutnya semakin terstruktur dan berfungsinya sebuah diferensiasi dalam masyarakat, semakin jelas pula taksonomi-taksonomi proses evolusi yang terjadi di dalamnya. Selain Spencer memberikan pengabdiannya secara total pada pengkonseptualisasian teori evolusi, teori-teori evolusi modern Morgan jauh lebih langsung daripada apa yang sudah dilakukan Spencer. Struktural funsionalisme mucul untuk memperkuat landasan pikir Spencer tentang; structure, junction, organism dan evolution. b.2 Lewis Henry Morgan Morgan adalah seorang etnologi Amerika Serikat yang terkenal, karena penelitiannya mengenai hubungan kekeluargaan (kinship). Peneliti-annya ini sebagai bagian dari usahanya untuk membuktikan, bahwa bangsa Amerind telah melakukan migrasi ke Amerika Utara. Tujuannya, agar publik bisa mengetahui dan menentukan asal mula kediaman bangsa ini. Hasil dari penelitiannya ini kemudian dikenal sebagai teori evolusi sosial (social evolutions). Pada awal tahun 1840an, ia mulai mengembangkan studi-nya mengenai perjuangan masyarakat asli Amerika dalam menghadapi kolonialisasi dan penindasan. Ia melakukan survai melalui metode historis, organisasi sosial dan kebudayaan. Hasil dari pengembangan studi ini ditulis di dalam bukunya The Leaguw of the Ho-dé-no-sau-nee or Iroquois pada tahun 1851. Karya lainnya yang menarik adalah penelitiannya mengenai masyarakat Anglo-Amerika pada tahun 1856. Ia kemudian menulis hasilnya di dalam bukunya berjudul Systems of Consanguinity and Affinity of the Human Family pada tahun 1871. Bukunya berjudul In Ancient Society yang terbit pada tahun 1877. Buku ini memiliki pengaruh besar terhadap karya Karl Marx dan Friedrich Engels. Berkat karya-karyanya ini, ia dikenal sebagai Bapak Antropologi Budaya. Selain itu, putra penemu Jedediah ini juga menunjukkan ketertarikannya untuk meneliti berbagai faktor pemicu terjadinya perubahan sosial. Pemikiran Morgan, mempengaruhi beberapa tokoh dan pelopor ilmu pengetahuan tingkat dunia generasi berikutnya. Mereka setidak-setidaknya membaca, teori sosial Lewis Morgan. Karl Marx dan Friedrich Engel, misalnya, dua pendiri paham komunisme Eropa, tertarik membaca karya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



130



Morgan terkait pemetaan dan perubahan struktur sosial dan budaya materil. Bahkan, dua tokoh peletak dasar ilmu pengetahuan modern, Charles Darwin (sang evolusionis) dan Sigmund Freud, (sang psikoanalis), juga tidak segan-segan mengutip teori antropolog kelahiran Aurora, New York, Amerika Serikat ini. Radcliffe-Brown A. R. (1953) menggunakan tahapan evolusi tersebut di atas untuk menyusun unsur-unsur kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian di Amerika. Akan tetapi, beberapa antropolog di Amerika justru meragukan teori Morgan tersebut, karena dianggapnya terlalu mengabaikan unsur-unsur kebudayaan yang turut berpengaruh di dalamnya. Mereka menuduh Morgan telah mengabaikan karakteristik atau keistimewaan perkembangan setiap masyarakat. Sayangnya, karena saat ini justru Franz Boaz yang diakui sebagai the father of American anthropology (bapak antropologi Amerika) ketimbang Morgan. Akan tetapi, Morgan sangat dihargai oleh kaum komunis, berkat teorinya mengenai evolusi dianggap menjadi penopang bagi ajaran Karl Marx dan F. Engels.  Meskipun demikian, konstribusi pemikiran Morgan dalam pengembangan teori-teori antropologi yang ia sebut sebagai pendekatan materealis untuk evolusi dan masyarakat, sangat banyak. Oleh karena itu, Morgan dianggap sebagai penganut teori materealis. Bukunya pun merajalela di berbagai kampus yang ada di Eropa. Ketika Engels, misalnya, menemukan dan menganggap buku ini sebagai sebuah dialektika norma yang berdasarkan prinsip materealisme (dialectical materealism), buku ini justru dianggap cocok sebagai dasar faham komunis yang Engels sedang kembangkan. Morgan juga mampu mempengaruhi beberapa arkeolog, baik aliran Marxist maupun non-Marxist, sebagai akibat dari pendekatan materealismenya tersebut. Kebesaran pengaruhnya tersebut, saat ini dapat ditemukan di dalam aliran materealisme kebudayaan (cultural materealism). Melalui bukunya Acient Society ia berusaha memahami masyarakat melalui sistem teknologi dan sistem ekonomi. Inilah yang membuat Morgan memiliki pengaruh besar pada Engels, Gordon Childe, Leslie A. White dan Marvin Harris. Tidak dapat dipungkiri, bahwa memang data-data Morgan tidak selamanya yang terbaik, tetapi hal itu tidak terlalu melenceng dari nilai-nilai prinsip, yang melatari teori Morgan. Melalui Ancient Societynya Morgan mengusulkan sebuah skema evolusi, dimana setiap jenjang evolusi (evolution stage) berkorespondensi dengan tipe-tipe teknologi dan subsitensi tertentu. Saya ambil contoh, jenjang perkembangan orang-orang Middle Barbarian yang mulai dengan mengembangkan pembuatan busur dan anak panah dan berakhir pada pembuatan gerabah (pottery). Dengan kata lain, setiap jenjang evolusi harus ada teknologi khusus yang menyertai atau menandainya. Seperti halnya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



131



dengan sebuah tipe kehidupan sosio-kultur juga harus berkorespondensi dengan teknologi tertentu dalam pengembangannya. Sekarang, teori penjenjangan Morgan, yang mengacu pada salah satu bentuk teknologi sebagai indikatornya, dianggap salah oleh banyak kalangan. Akan tetapi, jika kita melihat lebih mendalam, pada prinsipnya Morgan benar dalam hal ini. Mengapa, karena penemuan teknologi dan penemuan perubahan homeostasis sosial diperlukan untuk mengembangkan karakter sosio-kultur yang baru. Inilah yang kemudian menjadi sebuah kebutuhan mutlak manusia untuk tetap bertahan hidup. b.3 Sir Edward Burnett Tylor Tylor dikenal melalui jasanya dalam penelitian evolusi kebudayaan. Dalam karyanya Primitive Culture and Anthropology, ia mendefinisikan konteks penelitian ilmiah dalam antropologi, yang didasari oleh teori evolusi Charles Darwin. Dia percaya, bahwa ada sebuah basis fungsional dalam perkembangan masyarakat dan agama, yang bersifat universal. Ia juga yang memperkenalkan kembali istilah animisme (kepercayaan terhadap jiwa dan roh-roh nenek moyang) yang ia anggap sebagai sebuah fase awal dalam perkembangan agama dengan skema: Jiwa  Mahluk  Halus (Roh)  Dewa-Dewa ( animism)  Satu Tuhan. Tylor adalah Antropolog dari Inggris yang mewakili evolusionisme budaya. Posisi Tylor tersebut tercermin dalam bukunya berjudul Primitive Culture and Anthropology. Ia mendefinisikan konteks penelitian ilmiah antropologi berdasarkan teori evolusi Charles Lyell. Tylor percaya, bahwa ada sifat universal dalam setiap kebudayaan, terutama dalam masyarakat dan agama. E. B. Tylor dianggap oleh banyak orang sebagai tokoh pendiri ilmu antropologi sosial. Ia memiliki banyak kontribusi ilmiah dalam disiplin Antropologi yang mulai terbentuk di abad ke-19. Ia percaya penelitian yang menjadi sejarah dan prasejarah manusia dapat digunakan sebagai dasar bagi perubahan agama dalam masyarakat. Dia memperkenalkan kembali istilah animisme (iman di dalam jiwa individu atau anima segala sesuatu dan manifestasi alam). Faham ini umumnya digunakan dalam masyarakat primitif. Ia beranggapan, animisme dalam evolusi religi merupakan tahap awal dari terbentuknya sebuah agama. Menurut Koentjraningrat (2003), bahwa tahapan tertua dalam evolusi religi adalah kepercayaan, bahwa mahluk-mahluk halus memang ada. Tylor sangat terkenal sebagai akibat terbitnya dua buku dari tangannya berjudul Primitve Culture dan The Origins of Culture. Dalam The Origins of Culture, ia memberikan pemahaman berbagai aspek: etnografi, evolusi sosial, linguistik dan mitos. Bagi Taylor, seorang ahli antropolog semestinya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



132



mempelajari sebanyak mungkin tentang kebudayaan yang sangat beragam di muka bumi. Mereka harus mengumpulkan semua unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan tersebut kemudian diklasifikasi berdasarkan persamaan unsur-unsur yang ada di dalamnya, agar tahapan-tahapan evolusi kebudayaan dapat tampak dengan jelas, seperti berikut: Animism  Dinamism  Politheism  Monotheism  Atheism. Teori evolusi Tylor dipandang berbeda dengan teori evolusi, baik Spencer maupun Morgan. Keduanya (Spencer dan Morgan) tertarik pada perkembangan organisasi sosial dan kompleksitas yang menyertai pengembangan itu. Tylor, malah sebaliknya, lebih tertarik pada masalah kebudayaan ketimbang masyarakatnya, terutama perkembangan agama melalui animisme. Perlakuannya langsung pada basis-basis kognitif. Argumen utama Tylor dalam menelusuri jejak evolusi agama tampak dalam tiga jenjang perkembangan agama: animisme, politeisme dan monoteisme. Usaha untuk membangun kembali pola kognitif evolusi ternyata sangat sukar dibandingkan dengan usaha untuk membangun teori materealisme atau teori organisasi. Mengapa demikian, karena penetapan apakah kognitif melibatkan nilai dalam pengambilan keputusan, memang sulit adanya. Teori evolusi animisme Tylor mengklaim, bahwa tidak ada kaitan langsung antara kompleks atau tidaknya agama yang mereka miliki dengan tingkat kompleks atau tidaknya pemikiran yang mereka miliki. Hal ini berbeda dengan postulatpostulat yang mengkalim, bahwa masyarakat yang menganut agama yang simpel berarti memiliki pemikiran yang simpel pula. Tylor juga mengklaim, bahwa masyarakat dengan kebudayaan yang cukup berkembang tetap dapat memakai item-item primitive dalam kebudayaannya. Ia menyebut item-item seperti itu sebagai sumber kehidupan (survival). b. Evolusi Kreatif Anti Darwin Evolusi biologi merupakan penelusuran perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi dan seleksi. Sifat-sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk hidup. Gen inilah yang bervariasi dalam suatu populasi. Ketika organisme bereproduksi, keturunannya akan mempunyai sifat-sifat yang baru. Sifat baru dapat diperoleh dari perubahan gen akibat mutasi ataupun transfer gen antar populasi dan antar spesies. Pada spesies yang bereproduksi secara seksual, kombinasi gen yang baru juga dihasilkan oleh rekombinasi genetika. Hal tersebut dapat meningkatkan variasi antara organisme. Evolusi terjadi ketika perbedaan-perbedaan terwariskan ini menjadi lebih umum atau langka dalam suatu populasi. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



133



Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, bahwa evolusi didorong oleh dua mekanisme utama: seleksi alam dan hanyutan genetik. Seleksi alam merupakan sebuah proses yang menyebabkan sifat terwariskan. Ini berguna untuk keberlangsungan hidup dan reproduksi organisme menjadi lebih umum dalam suatu populasi. Sebaliknya, sifat yang merugikan menjadi lebih berkurang. Hal ini terjadi karena individu dengan sifatsifat yang menguntungkan lebih berpeluang besar bereproduksi, sehingga lebih banyak individu pada generasi selanjutnya yang mewarisi sifat-sifat yang menguntungkan ini (Futuyma dan Douglas, 2005, Lande, 1983). Setelah beberapa generasi, adaptasi terjadi melalui kombinasi perubahan kecil dari sifat yang terjadi secara terus menerus, yang berlangsung secara acak dengan seleksi alam (Ayala, 2007). Sementara itu, hanyutan genetik (genetic drift) merupakan sebuah proses bebas yang menghasilkan perubahan acak pada frekuensi sifat suatu populasi. Hanyutan genetik dihasilkan oleh probabilitas; apakah suatu sifat akan diwariskan ketika suatu individu bertahan hidup dan bereproduksi. Meskipun perubahan yang dihasilkan oleh hanyutan dan seleksi alam kecil, namu perubahan ini akan berakumulasi dan menyebabkan perubahan yang substansial pada organisme. Proses ini mencapai puncaknya dengan menghasilkan spesies yang baru (Kutschera dan Niklas, 2004). Akan tetapi, kemiripan antara organisme yang satu dengan organisme yang lain memberi sugesti, semua spesies yang kita kenal berasal dari nenek moyang yang sama melalui proses divergen34. Proses evolusi seperti ini terjadi secara perlahan. Hal ini pulalah yang menjadi pijakan dan acuan Darwin, bahwa manusia berasal dari kera. Parlu saya jelaskan di sini, bahwa pendapat Darwin memang benar ketika ia berbicara tentang arus evolusi (evolusionary netwark), dimana semua mahluk hidup di muka bumi ini berasal dari satu nenek moyang yang sama. Darwin salah ketika ia hanya berbicara tentang potongan-potongan arus evolusi. Ketika ia menyatakan, bahwa manusia berasal dari kera, ia sebenarnya memotong arus evolusi menjadi kera sebagai moyang manusia, tanpa melihat arus pewarisan gen. Dengan demikian pandangan kesamaan keturunan menusia-kera ala Darwin tidak benar dalam evolusi sosial. Dokumentasi fakta-fakta terjadinya evolusi dilakukan oleh cabang biologi evolusioner. Cabang ini juga mengembangkan dan menguji teori34



Evolusi divergen terjadi ketika dua spesies yang berbeda berbagi nenek moyang yang sama tetapi memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Ini mungkin adalah jenis evolusi yang pertama terlintas dalam pikiran ketika topik evolusi muncul. Sebaliknya, Evolusi konvergen adalah proses organisme tidak berhubungan, dan mengalami evolusi ciri yang mirip sebagai hasil beradaptasi dengan lingkungan.Ini adalah kebalikan dari evolusi divergen, yang merupakan evolusi ciri yang berbeda.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



134



teori yang menjelaskan penyebab evolusi. Kajian catatan fosil dan keanekaragaman hayati organisme-organisme hidup telah meyakinkan para ilmuwan pada pertengahan abad ke-19, bahwa spesies berubah dari waktu ke waktu (Johnston, 1999); Bowler, Peter, 2003). Namun, mekanisme yang mendorong perubahan ini tetap tidak jelas sampai pada publikasi tahun 1859 oleh Charles Darwin dalam bukunya On the Origin of Species yang menjelaskan dengan detail teori evolusi melalui seleksi alam (Darwin, 1859). Karya Darwin dengan segera diikuti oleh penerimaan teori evolusi dalam komunitas ilmiah (AAAS Council, December 26, 1922; The Interacademy Panel on International Issues, 2006). Pada tahun 1930, teori seleksi alam Darwin digabungkan dengan teori pewarisan Mendel, membentuk sintesis evolusi modern (Niklas, 2004). Penggabungan ini menghubungkan satuan evolusi (gen) dengan mekanisme evolusi (seleksi alam). Kekuatan penjelasan dan prediksi teori ini mendorong riset yang secara terus menerus menimbulkan pertanyaan baru, dimana hal ini telah menjadi prinsip pusat biologi modern. Teori sintesis evolusi modern mampu memberikan penjelasan secara lebih menyeluruh tentang keanekaragaman hayati di bumi (The Interacademy Panel on International Issues. 2006.; New Scientist, 2008). B. Neo-Evolusi Ada tiga nama tokoh, yang paling terkenal di era neo-evolusi ini yaitu Julian H. Streward, Lesie A. White dan Marshall David Sahlins. b.1 Julian Haynes Steward Julian Haynes Steward adalah seorang antropolog Amerika, yang terkenal dalam perannya sebagai perintis the concept and method of cultural ecology dan juga pencetus teori culture change. Ia kemudian menjadi populer dan mendapatkan ketenaran jurusan atau ketenaran dirinya sebagai pribadi. Pada tahun 1930 Steward pindah ke Universitas Utah, yang memberi kesempatan baginya untuk menjalin kedekatan dengan Sierra Nevada dan memberi kesempatan kerja lapangan baginya dalam bidang arkeologi di California, Nevada, Idaho dan Oregon. Penelitian Stewards terfokus pada subsistence --- dinamik interaksi antara manusia dengan lingkungannya (environment), teknologi (technology), struktur sosial (social structure) dan oganisasi pekerja (worker orgnisation) --sebuah pendekatan yang awalnya diperkenalkan oleh Kroeber sebagai eccentric dan innovative (Ethno Admin, 2003). Pada tahun 1931 ia meneliti di Great Basin Shoshone di bawah survei utama Kroeber berjudul Culture Element Distribution (CED). Pada tahun 1935 dia menerima tawaran dari Smithsonian’s Bureau of American Ethnography (BAE), yang kemudian menerbitakan beberapa penelitiannya yang berpengaruh. Beberapa diantaranya: Basin-Plateau Aboriginal Sociopolitical Groups (1938), yang sepenuhnya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



135



menjelaskan paradigma ekologi budaya dan menandai pergeseran dari orientasi difusi antropologi Amerika. Steward mencari keteraturan lintas budaya dalam upaya membedakan hukum perubahan budaya dan budaya. Ia dalam karyanya menjelaskan variasi dalam kompleksitas organisasi sosial, karena terbatas pada berbagai kemungkinan dari lingkungan. Dalam istilah evolusi, ia menemukan pandangan ekologi budaya ini sebagai multilinear, berbeda dengan model tipologis yang tidak diuji yang populer di abad ke-19 dan pendekatan universal oleh Leslie White. Selain perannya sebagai guru dan administrator, Steward paling dikenang, karena metode dan teori ekologi budayanya. Selama tiga dasawarsa pertama abad ke-20, antropologi Amerika mencurigai adanya generalisasi dan seringkali tidak mau menarik kesimpulan yang lebih luas dari monograf yang cermat terperinci yang diproduksi oleh antropolog. Steward memegang peranan penting dalam perubahan arah antropologi dari pendekatan yang lebih khusus menuju pengembangan arah ilmiah dan monotetis yang lebih nampak. Teorinya tentang evolusi budaya multilinear, yang intinya meneliti bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka. Pendekatan ini lebih bernuansa daripada teori evolusi universal rintisan Leslie White, yang lebih dipengaruhi oleh Lewis Henry Morgan. Kepentingan Steward dalam evolusi masyarakat juga membawanya untuk memeriksa proses modernisasi. Dia adalah salah satu antropolog pertama yang meneliti cara dimana tingkat masyarakat nasional dan lokal saling terkait satu sama lain. Dia mempertanyakan kemungkinan untuk menciptakan sebuah teori sosial yang mencakup keseluruhan evolusi kemanusiaan. Selain itu, dia juga berpendapat, bahwa antropolog tidak terbatas pada deskripsi budaya spesifik. Steward percaya, bahwa dimungkinkan untuk menciptakan teori yang menganalisa budaya umum dan spesifik sebagai perwakilan dari era atau wilayah tertentu. Sebagai faktor yang menentukan perkembangan budaya tertentu, ia menunjuk pada teknologi dan ekonomi, sambil mencatat, bahwa ada faktor sekunder yang ikut berpengaruh, seperti; sistem politik, ideologi dan agama. Faktor-faktor ini mendorong evolusi masyarakat tertentu dalam beberapa arah pada saat bersamaan. Berlatarbelakang keilimiahan, Steward pada awalnya fokus pada ekosistem (ecosystem) dan lingkungan fisik (physical environments), tetapi selanjutnya mengalihkan perhatiannya pada bagaimana lingkungan ini dapat mempengaruhi kebudayaan (Clemmer, 1999: ix). Steward berkarya dalam sebuah era yang penuh dengan peroblematika, yang memperhadapkannya pada posisi yang sangat sulit, terutama setelah kembalinya beberapa antropolog menggunakan cultures menjadi culture. Bandul teori evolusi memang telah diayunkan sejauh mungkin, akan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



136



tetapi problem demi problem selalu membayangi kebesaran sang evolusionis (Charles F. Darwin dan pengikutnya). Problematika yang dihadapi Steward adalah menemukan konsep evolusi yang berterima tanpa harus menghilangkan -s dari culture(s), yang mengakibatkan Steward kurang diperhitungkan di dalam teori evolusi ketika itu. Steward mencurahkan seluruh perhatiannya pada ekologi (ecology), tipe budya (cultural types) dan multilinial evolusi (multilinear evolution) yang memberi anternatif para antroplog (1930-1940-an), terutama yang masih menggunakan pendekatan tradisional untuk mempelajari evolusi kebudayaan (cultural evolution). Berbeda dengan penganut evolusi klasik, karya Steward memusatkan perhatiannya pada perbedaan kebudayaan secara individual. Ia mengklaim, bahwa keseluruhan pengalaman manusia tidak pernah bisa direduksi ke dalam seperangkat pembeda tingkatan stage dalam perkembangan suatu kebudayaan. Mulitilinear evolusi, demikian Steward menyebut pendekatannya, tidak memaksakan, bahwa tingkatan pengembangan kebudayaan harus ada. Secara metodologis, hal itu berkenaan dengan regularitas dalam perubahan sosial dan memang merupakan tujuan dari sebuah hukum perkembangan kebudayaan secara empiris. Teori Multilinier evolution juga mengacu kepada pola pengembangan budaya secara paralel, yang dianggap sebagai sebuah tipe budaya (cultural types) dengan intervaliditas budayanya yang menunjukkan karakteristik berikut ini: 1) Elemen budaya kadang-kadang menyerupai sebuah elemen pilihan dari sebuah budaya daripada sebagai budaya secara keseluruhan, 2) Elemen-elemen budaya seperti ini harus diseleksi dalam hubungannya dengan sebuah problem dan bentuk referensi dan 3) Elemen kebudayaan pilihan tersebut harus mempunyai hubungan fungsi yang sama dalam setiap kebudayaan sesuai dengan tipenya. Kelompok patrilinial merupakan hal pertama yang dianggap sebagai tipe kebudayaan oleh Steward. Berikut ini akan saya berikan beberapa bentuk elemen pilihan: 1) patrilinial (patrilineality), 2) patrilokal (patrilocal). 3) eksogami (exogamy), 4) kepemilikan (ownership) dan 5) komposisi tertentu dari tipe linial (a certain type of lineage composition). Seleksi-seleksi seperti ini merupakan elemen-elemen kebudayaan, yang menurut Steward merupakan jaringan lintas budaya (cross-culturally current). Hal ini dapat ditemukan pada masyarakat Bushmen di Afrika Selatan, Australia, Tasmania, beberapa kelompok Shoshonean dan beberapa bentuk variasi kebudayaan lainnya. Inti budaya (cultural core) yang memerlukan basis dari kelompok patrilinial (patrilinial band) sebagai sebuah tipe yang dihasilkan melalui adaptasi lingkungan. Kesamaan tipe eksploitasi lingkungan pada semua Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



137



anggota kelompok, mungki dapat diperbesar, sehingga tidak dapat diorganisir kategori evolosi yang luas sekalipun. Tipe budaya, selanjutnya, menjadi adaptasi budaya terhadap lingkungannya, sehingga setiap tipe budaya merepresentasikan seperangkat level integrasi sosio-cultural. Dengan demikian, adaptasi manusia terhadap lingkungannya, cenderung berbeda dengan organisme yang lainnya. Manusia beradaptasi lebih lancar, karena bantuan kebudayaannya, yang diangkat dari organismenya. Konsep Steward terhadap adaptasi budaya secara teoretis sangat penting, yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah argumentasi, bahwa hanya kebudayaan yang dapat menjelaskan kebudayaan. Kunci utama dalam adapatasi budaya adalah teknologinya, sehingga metode ekologi budaya yang dikembangkan Steward ditekankan pada teknologi. Metode tersebut mempunyai tiga aspek, berikut ini: 1) analisis dari cara produksi di dalam lingkungan harus ikut dianalisis dan 2) pola tingkah laku manusia yang merupakan bahagian dan cara ini harus dianalisis dalam rangka 3) memahami hubungan teknik produksi terhadap elemen-elemen kebudayaan lainnya. Oleh karena itu, Steward menekankan, bahwa perluasan aktifitas produksi akan mempengaruhi sebuah kebudayaan. Steward juga mempunyai pengaruh besar, baik pada pemikiran evolusi maupun pendekatan ekologi terhadap manusia. b.2 Leslie Alvin White Leslie Alvin White adalah seorang Antopolog Amerika yang sangat terkenal dengan teori-teorinya: cultural evolution, sociocultural evolution, serta peranannya dalam pendirian department of anthropology di University of Michigan Ann Arbor. Beliau adalah pemimpin American Anthropological Association pada tahun 1964. Periode di Buffalo menandai titik balik dalam biografi White. Saat itulah ia mengembangkan pandangannya dalam dunia antropologis, politis, etis yang akan dijalaninya sampai akhir hayatnya. Tanggapan siswa terhadap doktrin anti-kolonial dan antirasis para pengikut Boasian yang kontroversial membuat White terpanggil untuk membantu merumuskan pandangannya sendiri mengenai evolusi sosio-kultural. Pada tahun 1929, dia mengunjungi Uni Soviet dan saat kembali ia bergabung dengan Partai Buruh Sosialis. Ia kemudian menulis artikel dengan nama samaran John Steel untuk koran mereka. Pandangan White diformulasikan secara khusus melawan penganut Boasian, yang secara institusional dan intelektual bertentangan dengannya. Antagonisme ini sering dilakukan dalam bentuk serangan secara pribadi. White kadang-kadang, mengolok gaya prosa Franz Boas sebagai sesuatu yang dangkal, seperti yang ditulisnya dalam American Journal of Sociology. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



138



Robert Lowie, seorang murid relativis arch-cultural dari Boas, merujuk pada karya White sebagai sebuah aliran pemikiran metafisik yang belum matang, yang dibentuk berdasarkan kekuatan obsesif fanatisme yang secara tidak sadar dapat mengelabui orang. Salah satu penyimpangan terkuat dari ortodoksi Boasian, menurut pandangan White adalah sifat antropologi dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan lainnya. White memahami dunia ini terbagi ke dalam fenomena budaya, biologi dan fisik. Pembagian seperti itu merupakan refleksi dari komposisi alam semesta dan bukan alat heuristik belaka. Dengan demikian, White bertentangan dengan Alfred L. Kroeber, Kluck-hohn dan Edward Sapir. White melihat penggambaran obyek belajar bukan sebagai pencapaian kognitif antropolog, namun sebagai pengakuan atas fenomena yang sebenarnya dan digambarkan sebagai sesuatu yang membentuk dunia. Perbedaan antara ilmu-ilmu alami dan sosial tidak selamanya didasarkan pada metode, namun pada sifat objek penelitian. Menurut White fisikawan mempelajari fenomena fisik, fenomena biologi (oleh para ahli biologi) dan fenomena budaya oleh budayawan (istilah White). Objek studi tidak digambarkan oleh sudut pandang peneliti atau minat (ethics), tapi metode yang dengannya dia bisa mendekati mereka (emics). White percaya, bahwa fenomena dapat dieksplorasi dari tiga sudut pandang yang berbeda: sejarah, formal-fungsional dan evolusionis (atau formaltemporal). Pandangan sejarah pada dasarnya adalah wilayah Boasian, yang didedikasikan untuk memeriksa proses budaya secara diakronis. Fungsi formal, pada dasarnya, adalah pendekatan sinkronis yang dianjurkan oleh Alfred Radcliffe-Brown dan Bronisław Malinowski, yang mencoba membedakan struktur formal masyarakat dan keterkaitan fungsional komponennya. Pendekatan evolusionis, tidak hanya pendekatan formal, generalisasi, tetapi juga diakronis, melihat kejadian tertentu sebagai contoh umum dari tren yang lebih besar. Boas mengklaim, bahwa sains mempromosikan visi budaya yang kompleks dan saling tergantung. Sebaliknya, White berpikir, bahwa hal itu akan mendelegitimasi antropologi ketika menjadi posisi dominan. Ia kemudian mengeluarkannya dari wacana yang lebih luas mengenai sains. White memandang pendekatannya sendiri sebagai sintesis pendekatan historis dan fungsional, karena menggabungkan lingkup pandangan diakronis dengan generalisasi untuk saling berkaitan secara formal dengan pandangan pihak lain. Jika demikian, hal itu dapat mengacu pada perkembangan budaya pada masa lampau dan masa yang akan datang, yang menjadi tugas mulia dari seorang antropologi. Akibatnya, White sering memperjuangkan evolusionis abad kesembilan belas dalam penelitiannya yang diklaim atau dikecam tingkat keinteIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



139



lektualannya oleh Boasians, karena dianggap hanya sebagai penelitian plagiat dari pendahulu White. Sikap ini dapat dilihat dengan jelas dalam pandangan White tentang evolusi, yang berakar dari tulisan-tulisan Herbert Spencer, Charles Darwin dan Lewis H. Morgan. Meskipun dapat dikatakan, bahwa eksposisi White tentang Morgan dan Spencer bersifat tendensius, namun dapat pula dikatakan konsep ilmu pengetahuan dan evolusi White memang berakar dari karya-karya mereka. Kemajuan dalam biologi kependudukan dan teori evolusi White, tidak seperti Steward, karena konsepsi tentang evolusi dan kemajuan tetap berakar kuat pada abad kesembilan belas. Bagi White, kebudayaan adalah entitas superorganis yang sui generis dan hanya dapat dijelaskan melalui dirinya sendiri. Ini terdiri dari tiga tingkatan: teknologi, organisasi sosial dan ideologis. Setiap tingkat bertumpu pada yang sebelumnya. Meskipun mereka semua berinteraksi, namun pada akhirnya tingkat teknologinya yang menentukan, yang oleh White disebut The hero of our piece dan the leading character of our play. Faktor terpenting dalam teorinya adalah teknologi, karena sistem sosial ditentukan oleh sistem teknologi, demikian White dalam bukunya, yang menggemakan teori Lewis Henry Morgan. Menurut White, ia memandang kebudayaan sebagai fenomena manusia secara umum dan mengaku tidak berbicara budaya dalam bentuk jamak (cultures). Teorinya, yang diterbitkan pada tahun 1959 dalam bukunya The Evolution of Culture: The Development of Civilization to the Fall of Rome, membangkitkan kembali minat akan evolusionisme sosial dan dicatat secara mencolok di kalangan neo-evolusionis. Dia sangat percaya, bahwa budaya --- yang diartikan sebagai totalitas semua aktivitas kebudayaan manusia di planet ini --- berkembang. Dia juga berpendapat, bahwa komponen teknologi yang memainkan peran utama atau merupakan faktor penentu utama dalam volusi kebudayaan. Pendekatan materialisnya tergambar dalam kutipan berikut: manusia sebagai spesies hewan, yang membutuhkan kebudayaan secara keseluruhan, yang bergantung pada bahan, sarana mekanis penyesuaian diri dengan lingkungan alamnya. Komponen teknologi ini dapat digambarkan sebagai bahan, mekanik, fisik dan instrumen kimia, serta cara orang menggunakan teknik tersebut. Argumen White tentang pentingnya teknologi berjalan dengan prosedur berikut: Leslie A. White juga memberikan kontribusi penting dalam pemahaman kita terhadap sifat dan tujuan antropologi sebagai suatu aktifitas ilmiah. Dia menemukan sebuah hukum dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut hukum ini, ilmu pengetahuan mulai dan berkembang lebih pesat dalam area dimana tindakan manusia pada prinsipnya tidak penting dan menjadi lamban di dalam sebuah area dimana tindakan manusia menjadi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



140



rumit. Astronomi adalah area pertama menjadi sebuah ilmu pengetahauan. Ilmu budaya dimulai dan dikembangkan kemudian. Kulturologi, seperti yang disebutkan oleh White sebagai ilmu budaya (science of culture) dianggapnya sebagai langkah terakhir dalam ilmu evolusi. Kulturologi sebagai studi kebudayaan, yang menurut White, dapat mengungkapkan lebih banyak tentang perilaku manusia dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu lainnya, seperti sosiologi dan psikologi. Reakasi pengikut Boas terhadap ahli-ahli komparatif dan teori evolusi begitu kuatnya, sehingga selama lebih setengah abad lamanya tidak ada teori evolusi yang dikembangkan di Amerika Serikat. Adalah White dengan teori energinya dalam kaitannya dengan teknologi dan kebudayaan, yang membangun kembali pemikiran teori-teori evolusi di Amerika Serikat. White, berbeda dengan Steward, karena berterima pada semua jenis teori evolusi. Dialah mengusulkan penghilangan afiks /-s/ pada kata cultures menjadi culture, serta membicarakan kembali kebudayaan dan evolusinya. White dikenal sebagai penemu landasan baru dalam teori evolusi kebudayaan. Pondasi baru dari teori evolusi ini merupakan perluasan penggunaan energi dalam kebudayaan melalui evolusi teknologi. Menurut White, bahwa sejarah peradaban manusia merupakan dasar dalam upaya mengontrol alam melalui kebudayaan. Pendekatan inilah yang menekankan penggunaan energi dalam kebudayaan melalui tekonologi dari waktu ke waktu, sehingga semakin banyak energi yang mampu diserap dari alam, semakin berkembang pula sebuah kebudayaan. Dalam formulasi teori evolosi dikatakan, bahwa pengembangan kebudayaan dapat terwujud, baik melalui penggunaan energi dari alam maupun melalui efisiensi pengembangan teknologi. White sangat yakin, bahwa penggunaan teknologi dan energi sebagai hasil proses dalam evolusi sebuah kebudayaan, memainkan peranan penting dalam penentuan organisasi sosial dan idiologi masyarakatnya. Sesuatu yang berkenaan dengan perilaku manusia yang membuatnya menjadi manusia adalah fungsi dari penggunaan simbol (symbols). Menurut White, bahwa keseluruhan perilaku manusia adalah perilaku simbolis dan hal ini merupakan satu poin yang paling dekat dengan antropolog kognitif saat ini. Simbol menurut White adalah sebuah fenomena dimana arti diberikan oleh sekelompok manusia yang menggunakan simbol itu. Tanpa simbol sepertinya manusia tidak dapat dianggap sebagai bintang berfikir (animal tinker). Jadi, kebudayaan itu sendiri, yang sangat tergantung pada simbol, tidak dapat eksis tanpa kemampuan manusia untuk menyimbolkannya. Sekalipun demikian, jangan diinterperatsikan dengan artian, bahwa White menggunakan pendekatan psikologi dalam rangka memahami perilaku manusia. Sangat kontradiktif memang, karena White termasuk Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



141



salah seorang yang menolak pembahasan kebudayaan yang dikaitkan dengan perilaku manusia secara individual melalui pendekatan superorganik, akan tetapi ia sendiri membahas perilaku manusia sebagai sebuah simbol. Saya akan mengambil kasus, misalnya, timbulnya perbedaan perilaku manusia, yang diperlihatkan oleh adanya perbedaan masyarakatnya merupakan sebuah hasil dari tradisi budaya. White, dalam pembahasannya mengenai simbol kembali menggunakan afiks /-s/ pada penggunaan kata cultures. b.3. Marshall David Sahllins Marshall David Sahlins memulai karyanya di bawah bimbingan Leslie A. White, seorang pendukung antropologi materialis dan evolusioner di University of Michigan, tercermin dalam karya awalnya. Dalam Evolusi dan Budaya (1960), dia menyentuh bidang evolusi budaya dan neo-evolusinisme. Dia membagi evolusi masyarakat menjadi umum dan spesifik. Evolusi umum adalah kecenderungan sistem budaya dan sosial untuk meningkatkan kompleksitas, organisasi dan adaptasi terhadap lingkungannya. Oleh karena ada berbagai budaya yang tidak terisolasi, maka kualitas interaksi dan difusi dapat tergambar di dalam penemuan teknologi. Hal ini menyebabkan budaya berkembang dengan cara yang berbeda dengan evolusi spesifik, karena berbagai elemen diperkenalkan pada mereka dalam kombinasi yang berbeda dengan tahap evolusi yang berbeda pula. Konsep Moala adalah monografi utama pertama Sahlins, yang mencontohkan pendekatan ini. Sekalipun ia pernah menjadi murid White, namun ternyata Sahlins sangat membenci bila disebut sebagai penganut teori neo-evolusionisme. Menurutnya tidak ada kata neo dalam membahas masalah evolosi. Ia lebih suka dengan istilah evolusi unilinial (unilial evolution), yang kamudian diperlunak oleh Steward dalam karya-karyanya menjadi universal evolusi (universal evolutions). Steward kemudian menghubungkannya dengan tingkatan evolusi kebudayaan manusia dalam bentuk pemandangan umum. Sahlins meminta, agar kembali mengacu pada pendapat, bahwa tidak semua masyarakat melalui tingkatan pengembangan kebudayaan yang sama. Pendapat ini kemudian mendiskreditkan pendekatan evolusi uni-lineal yang mengatakan, bahwa kebudayaan itu melalui jalan pengembang-an yang sama (unity). Dalam kasus universal evolusi, mereka menganggap hubungan antara kebudayaan yang tampak --- kembali menggunakan afiks /-s/ pada kata cultures --- dengan tingkatan evolusi terjadi dengan tidak menentu (acak). Aspek inilah yang membuat hipotesis Sahlins tentang sepsi-fik dan evolusi umum menjadi terkenal. Menurut Sahlins, bahwa baik evolusi biologi maupun evolusi kebudayaan sebenarnya berjalan pada dua arah secara bersamaan. Evolusilah yang menciptakan perbedaan dan pengembangan dari keduanya. PerbedaIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



142



an (diversity) dalam evolusi mengacu pada perubahan adaptif yang melibatkan bentuk baru dari yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan pengembangan (progress) mengacu pada sebuah fakta, bahwa evolusi menciptakan bentuk yang lebih kompleks lagi. Adalah evolusi umum (general evolution) yang menyediakan dasar-dasar tingkatan dalam evolusi. Oleh karena itu, evolusi spesifik dan umum tidak dapat dianggap sebagai sebuah fakta yang berbeda, tetapi sebagai bagian dari proses evolusi itu sendiri. Evolusi spesifik mengacu pada adaptasi kebudayaan tertentu terhadap lingkungannya, yang disebut sebagai evolusi kebudayaan (cultural evolutions). Sedangkan evolusi umum mengacu pada cara pengembangan sebuah kebudayaan dalam masyarakat yang dapat memberi pertimbangan kepada kita, bahwa sebuah masyarakat jauh lebih maju (advanced) dan masyarakat tersebut dianggap telah mencapai level evolusi kebudayaan yang cukup tinggi. Pada tahun 1992, ia pun mengeluarkan statemen, bahwa: The world's most 'primitive' people have few possessions, but they are not poor. Poverty is not a certain small amount of goods, nor is it just a relation between means and ends; above all it is a relation between people. Poverty is a social status. As such it is the invention of civilization. It has grown with civilization, at once as an invidious distinction between classes and more importantly as a tributary relation. Setelah diterbitkannya Cultural and Practical Reason pada tahun 1976, fokusnya beralih ke hubungan antara sejarah dan antropologi, serta bagaimana budaya yang berbeda dapat dimengerti dan dibuat sejarahnya. Isu sentral dalam pekerjaan ini adalah masalah transformasi historis, yang pendekatan strukturalisnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara memadai dan ilmiah. Sahlins mengembangkan konsep structure of the conjuncture untuk bergulat dengan masalah struktur dan agensi, dengan kata lain masyarakat dibentuk oleh konjungtur kompleks dari berbagai kekuatan, atau struktur. Sebaliknya, model evolusi sebelumnya mengklaim, bahwa budaya muncul sebagai adaptasi terhadap lingkungan alam. Krusial, dalam rumusan Sahlins, individu memiliki agensi untuk membuat sejarah. Kadang-kadang posisi mereka memberi kekuatan dengan menempatkan mereka di puncak hierarki politik. Pada posisi lain, struktur konjungtur, campuran kekuatan yang kuat atau kebetulan, memungkinkan orang mengubah sejarah. Unsur kesempatan dan kontingensi membuat sains dari konjungtur ini tidak mungkin, walaupun studi perbandingan memungkinkan beberapa generalisasi. Historical Metaphors and Mythical Realities (1981), Islands of History (1985), Anahulu (1992) dan Apologies to Thucydides (2004), karya-karya Sahlins yang cukup memiliki kontribusi penting dalam antropologi historis. Karya Sahlins berjudul Islands of History memicu perdebatan penting dengan Gananath Obeyesekere mengenai rincian Kematian Captain James Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



143



Cook di Kepulauan Hawaii pada tahun 1779. Inti perdebatannya adalah bagaimana memahami rasionalitas masyarakat lokal. Obeyesekere berkeras, bahwa orang-orang pribumi pada dasarnya menganggapnya sama seperti orang Barat dan khawatir mereka dilukiskan sebagai masyarakat irrational and uncivilized. Sebaliknya, Sahlins berpendapat, bahwa setiap budaya memiliki jenis rasionalitas yang berbeda, yang memahami dunia dengan memusatkan perhatian pada pola yang berbeda pula untuk menjelaskan narasi budaya tertentu. Shalins kemudian berasumsi, bahwa semua budaya mengarah pada pandangan rasional tunggal adalah sebuah bentuk etnosetrisme (ethnocentrism). B. Proses Perubahan Kebudayaan Sebelum saya jelaskan perubahan kebudayaan (cultural change) atau evolusi kebudayaan (cultural evolution), terlebih dahulu saya akan mengutip tiga wujud kebudayaan yang dikemukakan oleh James Spradley (1980: 9), yaitu: 1) apa yang masyarakat lakukan (cultural behavior), 2) apa yang masyarakat ketahui (cultural knowledge) dan 3) apa yang masyarakat ciptakan dan gunakan (cultural artifacts). Sekaitan dengan hal tersebut Talcott Parsons dan A.L. Kroeber juga membedakan kebudayaan dalam tiga wujud (Koentjaraningrat, 1990: 185-186), yaitu: 1) sebagai suatu kompleks dari ideide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, 2) sebagai suatu kompleks aktivitas, serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan 3) sebagai benda-benda hasil karya manusia. Jadi, ketiga wujud kebudayaan tersebut cenderung dan wajib hukumnya melalui sebuah proses adaptasi, apabila ia tetap ingin eksis. Dapat pula dipastikan, bahwa evolusi kebudayaan hanya berlaku pada umat manusia, karena hanya manusia jualah yang mempunyai kebudayaan (cultural animal). Evolusi kebudayaan menurut Bennet sifatnya umum (general), karena hal itu berkenaan dengan sikap dan perilaku (attitude dan behavior) bukan dengan genetika (genetics). Jadi, evolusi kebudayaan sebenarnya berpusat pada perubahan kognitif (cultural cognition evolutions) dari sebuah individu atau kelompok yang mampu menimbulkan perubahan tingkah laku (cultural behavior) dan menghasilkan variasi benda-benda hasil budaya (cultural artifacts) yang mereka miliki dan gunakan. Manusia dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungannya melibatkan serangkaian proses mekanisme penyesuaian diri (copying mechanism) yaitu suatu bentuk proses yang menyebabkan manusia harus melakukan adaptasi kebudayaannya (cultural adaptation) melalui perubahan unsurunsur kebudayaannya, sehingga unsur-unsur tersebut berfungsi lebih baik bagi dirinya (Al-Barry, 2000: 10). Jadi, pendukung kebudayaan (natives) harus melakukan seleksi yang ketat terhadap unsur-unsur kebudayaan yang adaptif dengan lingkungan dan perlu tetap dipertahankan. Kebudayaan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



144



adalah sebuah sistem yang terkait antara satu dengan yang lainnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan yang tidak adaptif terhadap perubahan lingkungannya perlu segera diganti atau dihilangkan saja. Salah satu sifat kebudayaan adalah dinamis dan memang tidak pernah statis. Kedinamisan kebudayaan tersebut disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan, termasuk perubahan pada manusia sebagai pencipta (creator) dari kebudayaan tersebut. Kebudayaan sebagai alat (tools) manusia untuk menghadapi dan menyelesaikan lingkungannya selalu harus eksis dan fleksibel sesuai dengan tuntutan (demand) dan kebutuhan (needs) manusia sebagai penciptanya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk menjelaskan besarnya ketergantungan manusia akan kebudayaannya, saya akan mengutip kembali tesis universalime kebudayaan di atas, bahwa kebudayaan (culture) tanpa manusia kelihatannya tidak mungkin, karena manusia dalam fitrahnya adalah pencipta kebudayaan (the creator of culture). Sebaliknya, manusia tanpa kebudayaan juga sangat tidak mungkin, karena kebudayaan adalah alat bantu (devise atau tools) manusia dalam menyelesaikan atau menghadapi tantang hidupnya. Hubungan keduanya ibarat dua sisi mata uang. Saya ambil contoh kelompok manusia yang naik perahu dari satu pulau ke pulau lainnya, namun di tengah perjalanan mereka tedampar di sebuah pulau yang tidak bertuan. Mereka kehabisan bekal diperjalanan, tetapi ada di antara mereka yang membawa sedikit beras dan ikan kering. Nah, tantang pertama sudah muncul yaitu mereka punya beras dan ikan, yang dapat dokonsumi setelah melalui proses pemanasan (dimasak). Pikiran yang pertama yang muncul adalah bagaimana menciptakan energi berupa api, sementara tidak satupun di antara mereka yang membawa korek api. Ketika menoleh di suatu tempa, seseorang melihat sebatang kayu lapuk tergeletak di pinggir laut yang kering. Di sebelahnya jega tergeletak sepontong bambu kecil, yang juga sudah kering. Disebelah kanan kayu tersebut juga terdapat sabuk kelapa yang kering. Perjalanan evolusi manusia, seperti semua binatang atau primatprimat lainnya, terus-menerus menghadapi masalah untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Istilah adaptasi mengacu pada suatu proses yang menyebabkan suatu organisme berhasil menyesuaikan diri dengan baik pada lingkungan yang ada dan hasil proses tersebut menghasilkan karakteristik-karakteristik yang menyebabkan organisme itu mampu menghadapi bahaya dan menjamin kelangsungan (sustainable) sumber daya yang mereka butuhkan di lingkungan tertentu, dimana mereka hidup. Kecuali manusia, organisme pada umumnya beradaptasi dengan mengembangkan karakteristik-karakteristik anatomi dan fisiologi yang diperlukan. Tumbuhnya bulu lebat, misalnya, ditambah dengan beberapa mekanisme fisiologi lainnya dimaksudkan untuk melindungi mamalia dari iklim yang sangat Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



145



dingin. Ada beberapa hal yang terbentuk bagi mahluk hidup dalam rangka melakukan adaptasi, misalnya; tumbuhnya gigi-gigi yang khas bagi seekor singa membantu mereka untuk memperoleh makanan yang mereka perlukan. Tumbuhnya bulu yang tebal dan lebat bagi beruang kutub untuk melindungi diri dari cuaca dingin, tajamnya kuku dan panjang kuku macan Afrika dibutuhkan untuk menyergap mangsanya, kulit tebal bagi kadal gurun pasir untuk menghindari terik matahari dan sebagainya. Keseluruhan kejadian tersebut berlangsung sejalan dengan adaptasinya terhadap lingkungan dimana mereka berada. Perbedaan bulu antara beruang kutub dengan beruang madu Sumatera, disebabkan karena mereka hidup pada lingkungan yang berbeda. Keseluruhan hal tersebut terjadi, karena adanya seleksi alam (lihat pembahasan tentang teori Darwin di atas). Sistem adapatasi manusia sangat berbeda dengan adaptasi mahluk hidup lainnya. Mahluk hidup dibentuk oleh alam melalui adaptasi lingkungan (environmental adaptation), sedangkan manusia melakukan perubahan sesuai dengan tantangan lingkungan yang ia hadapi melalui adaptasi kulturalnya (cultural adapatations). Manusia --- bebeda dengan mahluk hidup lainnya --- makin lama makin tergantung pada adaptasi kulturalnya, karena ia tidak memiliki mekanisme adaptasi fisiologis, seperti mahluk-mahluk lainnya. Manusia es Eskimo di kutub Utara, misalnya, tidak mempuyai struktur tubuh yang menyolok dibandingkan dengan manusia kulit hitam di Afrika dan manusia kulit berwarna di Asia. Orang Afrika yang pergi ke kutub Utara tidak perlu harus mengganti kulitnya menjadi orang Eskimo dan sebaliknya, karena keduanya memiliki unsur-unsur kebudayaan yang mampu beradaptasi. Orang Afrika yang ke kutub Utara hanya dianjurkan memakai pakaian tebal dan sepatu salju dan orang Eskimo yang datang ke Afrika dianjurkan memakai payung atau alat pelindung lainnya dari terik matahari. Jadi, sekali lagi saya katakan di sini, bahwa mereka tidak pernah mengandalkan unsur-unsur biologinya untuk mendapatkan kulit berbulu secara alami guna melindungi diri mereka dari hawa dingin. Sebaliknya, mereka sendiri membuat pakaian, membuat api dan mendirikan tempat berlindung untuk melindungi diri dari hawa dingin, yang mereka harus siasati. Di samping itu, kebudayaan menyebabkan manusia dapat memanfaatkan lingkungan yang sangat beragam. Oleh karena itu, umat manusia mampu memanipulasikan lingkungannya melalui sarana kebudayaan, sehingga mereka berhasil pindah ke daerah Antartika, ke gurun Sahara dan bahkan sampai ke bulan. Dengan kebudayaannya pula, umat manusia tidak hanya menjamin kelestarian sumberdayanya, tetapi juga pemakaiannya secara berkelanjutan (sustainable). Ada beberapa suku yang berhasil melestarikan lingkungannya dengan menggunakan pranata-pranata sosialnya, berikut ini: Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



146



1. Dayak Iban Suku yang mendiami pulau Kalimantan ini patut dijadikan contoh dalam mengurus bumi ini. Suku Dayak Iban sendiri tinggal di Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tempat tinggal Suku Daya Iban memiliki hutan cadangan di Sungai Utik, yang ditumbuhi kayu meranti, kapur, ladan dan beragam jenis rotan.  Sistem pengelolaan hutan tersebut diatur oleh perangkat adat dengan mengedepankan perinsip lestari. Hak konsesi yang diberikan oleh dewan adat Suku Dayak Iban terhadap warganya terbatas hanya 30 pohon bagi setiap keluarga dengan waktu konsesi satu tahun. Setiap pelanggaran akan dikenakan denda Rp. 500.000,-. Mereka menolak semua bentuk pengelolaan hutan secara ekspolitatif, karena mereka yakin hutan adalah bagian dari diri mereka. Akibatnya, mereka selalu mempersonifikasi hutan, sehingga menurut persepsi mereka merusak hutan berarti merusak diri sendiri. Hutan menurut mereka adalah titisan yang mahaesa untuk dijaga dan dilestarikan, karena hutan memberi kami air bersih, sehingga darah kami bersih. Tanah kami utuh, tanah menua dan tidak dibabat. Hutan kami menangkap karbon, gas yang beracun sehingga kami terlindung dan kami tidak terkena penyakit. 2. Suku Rejang Jurukalang Suku Rejang Jurukalang memiliki kearifan tersendiri dalam melestarikan hutan di daerahnya. Mereka memiliki UU yang dinamakan UU Simbur Cahayo. Undang-Undang ini dibuat oleh Bangsa Belanda bernama Van Bossche. Undang-Undang ini kemudian dilakukan beberapa kali perubahan di dalamnya. Dalam perkembangannya sekarang Undang Undang Simbur Cahayo menjadi salah satu sumber undang-undang adat yang tertulis. Undang-Undang ini banyak dijadikan sebagai referensi dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat Jurukalang  Hutan Taneak Tanai adalah hamparan tanah yang berada di dalam lingkup komunitas adat, yang dimiliki secara komunal. Hutan ini merupakan bagian wilayah kelola warga (hak ulayat)35. Setiap pihak yang mengelola di kawasan tertentu di dalam taneak tanai wajib untuk menanam tanamantamanan keras yang bernilai konservasi dan ekonomi, seperti; petai, durian dan lainnya sebagai. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda, bahwa wilayah tersebut telah dimiliki oleh seseorang dan keluarga tertentu. Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. 35



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



147



Hutan keramat Imbo Piadan adalah kawasan hutan yang dipercayai meiliki penunggu gaib. Akibatnya, ada beberapa prasyarat untuk membuka kawasan ini. Tidak ada warga yang berani membuka hutan larangan ini, yang berada di kawasan Bukit Serdang, karena diyakini sebagai kawasan yang mempunyai kekuatan gaib yang memelihara kawasan tersebut. Penebangan pohon madu (sialang) adalah pohon yang ditempati lebah madu bersarang, dilarang keras untuk menebangnya. Dasar larang penebangan pohon ini, karena dianggap akan merusak ekosistem hutan. Pembalak akan dikenakan denda setengah bangun atau setengah dari denda ketika membunuh orang. Begitu juga dengan penebangan pohon di sekitar pohon sialang dianggap sebagai pelanggaran aturan adat, karena sialang dianggap sebagai hak komunal. Hasil pemanenan madu di atas pohon tersebut biasanya dibagikan kepada masyarakat sekitar. Sebagian dari hasil panen, tetap dibiarkan tinggal di sekitar pohon, karena dianggap itu adalah hak gaib penunggu pohon. Proses pemanenan madu tersebut disertai dengan ritual adat dengan nyayian-nyayian, baik pujian terhadap kayu maupun pujian terhadap penunggunya. 3. Suku Wana Suku Wana (Tau Taa Wana Bulang) di Sulawesi Tengah memiliki setidaknya 14 ritual yang dilakukan untuk kekuatan gaib. Kekuatan-keuatan gaib seperti ini, diyakini bertempat tinggal di dalam hutan. Ritual-ritual tersebut menghasilkan dampak positif terhadap konservasi hutan yang berada di sekitar domisili masyarakat Wana. Ke-14 ritual adalah ritual Manziman Tana (mohon izin), Monguyu sua (ritual penanaman pertama), Mpopondoa Sua (memberikan kekuatan hidup pada pohon), Palampa Tuvu (menolak bahaya), Nunju (mengusir roh jahat), Ranja (mengusir wabah) dan Polobian (pengobatan). Suku Wana atau Tao Taa Wana mendapat pengakuan terhadap hak masyarakat adat dalam mengelola hutan (hak ulayat). Hak-hak suku Wana tersebut ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK. 6747/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016, ter-tanggal 28 Desember 2016. Surat Kepmen Lingkungan Hidup dan Kehutan-an tersebut berisi Penetapan Hutan Adat Wana Posangke seluas ± 4.660 Ha di Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali Utara Sulteng. Hutan tersebut dibagi menjadi: Hutan Adat Wana Posangke seluas ±3.988 Ha dari kawasan CA Morowali dan ± 672 Ha dari kawasan Hutan Produksi. Salah satu model Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sul awesi Tengah tahun 2018 adalah Pengelolaan Bersama atau Swakelola Hutan Adat Di CA Morowali yang berada di hutan Paosangke dengan Masyarakat Adat Wana Posangke. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



148



Suku atau Tao Taa Wana berdomisili di kawasan hutan adat Cagar Alam Morowali, Mereka mendiami lembah dan bukit-bukit di sepanjang aliran Sungai Salato. Secara administrasi pemerintahan, wilayah adat Wana Posangke masuk ke dalam Desa Taronggo, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara. Pola mukim yang mereka lakukan adalah berkelompok (komunal). Hingga saat ini, menurut sensus dan Morowali dalam Angka, teridentifikasi 14 satuan mukim (lipu), yaitu: Vyautiro, Pu’mbatu, Sumbol, Likubae, Vatungkaya, Vomboyombe, Pantol, Pattujalanjo, Latampe, Vatuno’a, Sankiyoe, Posanke, Rapambavang. Jumlah penduduk yang menghuni lipu-lipu tersebut berjumlah 104 kepala keluarga atau sekitar 592 orang. Suku Wana sangat bergantung pada lahan berupa sawah dan kebun yang berada di dalam kawasan hutan Cagar Alam Morowali. Kebanyak suku wana menerapkan sistem ladang berpindah-pindah (slash and burn). Ladang-ladang tersebut dikelola selama kurang lebih 1-2 tahun, sebelum mereka memilih lokasi ladang baru untuk dikelola. Lahan tersebut mereka tinggal kurang lebih 3-5 tahun untuk mengembalikan unsur hara tanah mereka. Untuk menandai bekas lahan mereka, si pemilik lahan sebelum meninggalkan lahan mereka menanam pohon, yang bias menjadi penanda bekas lahan mereka (pohon kelapa, durian, sukun, manga dan sebagainya). Selain menanam komoditas dosemestik, padi dan palawija, mereka juga mengenal tanaman industri seperti coklat dan nilam. Hasil hutan, yang mereka pereleh umumnya dikonsumsi sendiri (subsistensi), kecuali damar dijual di pasar terdekat. Suku Wana pada masa lampau sangat menjunjung tinggi adat istiadat mereka. Keseluruhan kebudayaan (cipta, karsa dan rasa) orang Wana saat itu, sangat tergantung pada kearifan lingkungan alam (ecological wisdoms dan environmental awareness) yang ada di sekeliling domisili mereka. Oleh karena itu, mereka sangat mempercayai adanya ruh (spirit) yang menjaga atau memelihara setiap jengkal tanah dan hutan di wilayah domisili mereka. Seperti halnya dengan beberapa suku lin (Kajang, Baduy, Dayak Iban dan sebagainya), mereka mengkeramatkan (sacred) alam lingkungan mereka. Tujuannya, agar hutan mereka tidak dirusak, baik dari kalangan mereka sendiri mapun orang luar. Setiap kerusakan lingkungan ataupun perubahan siklus alam yang tidak berjalan tidak normal, dipercayai sebagai tanda murkanya ruh sang penjaga hutan. Oleh karena itu, setiap warga suku Wana bersedia menerima segala bentuk larang pengrusakan lingkung-an, serta pelanggarn adat lainnya yang berimplikasi ke kejadian-kejadian alam (bencana alam, penyakit mewabah, gagal panen dan sebaginya). Saat ini, adat istiadat suku Wana yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, dari generasi ke genarasi mulai terdegradasi. Sebahagian ritual adat Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



149



suku Wana sudah mulai ditinggalkan. Hanya sebagian saja di antara mereka, terutama generasi tua, yang masih melakukan tradisi adat istiadat suku Wana. Sebagian masyarakat Wana saat ini mulai berfikir ekonomis, dalam kerangka pemenuhan kebutuhan (basic needs) ekonominya. Tentu saja hal ini berimplikasi pada orientasi pemikiran masyarakat Wana demi menggapai keuntungan. Oleh karena itu, mereka harus berfikir pasar. Suku Wana yang dulunya berfikir ekonomi subsistensi, kini serta merta berorientasi ekonomi pasar. Dorongan ekonomi inilah, yang menyebabkan beberapa dari warga suku Wana rela melanggar adat istiadat mereka, sekalipun itu merupakan warisan dan hal-hal yang disakralkan oleh generasi sebelumnya. Dengan demikian, adat istiadat masyarakat suku Wana yang masih berlaku hingga saat ini: upacara pernikahan, perceraian, pembukaan lahan untuk berladang dan aturan menebang pohon. 4. Suku Naga Nama kampung Naga lebih banyak dihubungkan dengan mitos. Dengan demikian, kampung naga dihubungkan dengan sosok naga. Ada juga pendapat, karena di kampung naga banyak ditanam buah naga (hylocereus polyrhizus). Akan tetapi, kedua mitos tersebut kurang benar, karena nama kampung naga tidak ada kaitannya dengan sosok binatang apapun, termasuk kata naga di dalam kata buah naga. Kata. naga dalam kampung naga diturunkan dari bahasa sunda Gawier yang berarti kampong, yang dikelilingi tebing. Ini pun masih pendapat awam dari masyarakat sekitar. Menurut info dari Mang Ndut Suganda berumur sekitar 45 tahun, bahwa kampung naga administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke kampung naga kurang lebih 30 kilometer atau 45 menit. Sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Luas wilayah areal kampung naga sekitar 1,5, dibatasi oleh pagar yang dipasang mengelilingi kampung. Penduduk setempat dilarang mendirikan rumah di luar pagar tersebut. Kampung naga tekenal, karena masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat. Mereka juga masih tetap mempertahankan cara hidup bersahabt dengan alam, meskipun dikepung oleh peradaban modern. Sarana menuju kampung naga dari jalan besar Tasikmalaya-Garut, harus menaiki anak tangga sejumlah 439. Anak tangga tersebut sudah dicor beton hingga ke tepi sungai Ciwulan. Kemiringannya mencapai 45 derajat. Kira-kira 500 meter sebelum sampai di tepian sungai Ciwulan, harus menelusuri lalan setapak, diapit kali Ciwulan dan hamparan persawahan masyarakat kampung naga. Pada sisi sebelah Barat kampung naga dibatasi oleh hutan keramat (sacred forest). Di sebelah Selatan berbatasan dengan sawah-sawah penduduk. Sedangkan di



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



150



sebelah Timur berbatasan dengan hutan larangan. Sebelah Utara adalah parit-parit tempat mengalirnya air ke persawahan penduduk. Bentuk rumah di kampung naga dibuat seragam dengan menggunakan bahan baku ramah lingkungan. Seperti umumnya suku sunda, rumah-rumah di kampung naga berupa rumah panggung. Dinding dan langit-langit rumah terbuat dari bambu dan kayu. Atap rumah hampir seragam karena menggunakan bahan; daun nipah, ijuk dan alang-alang. Lantai rumah dianjurkan dari ramuan bambu (pilahan bambu) dan kayu (papan). Hadapan rumah harus menghadap ke utara atau ke sebelah selatan dan memanjang kearah barat-timur. Suku Naga atau lebih dikenal sebagai kampung naga berada di Jawa Barat. Secara geografis kampung naga diapit dua buah hutan: 1) Pertama terletak di sisi sungai Ciwulan disebut Leuweung Biuk. Hutan ini merupakan hutan larangan, sehingga kawasan tersebut tampak hijau dan lesatri dengan berbagai jenis tumbuhan. Tetumbuhan yang tumbuh di dalamnya dibiarkan tumbuh secara alami. Tidak seorang pun anggota masyarakat Suku Naga, yang berani merusaknya, karena kedua areal hutan itu dikeramatkan (hutan keramat) dan 2) Kedua leuweung larangan yang luasnya kurang lebih tiga hektar. Hutan ini dikeramatkan, karena di sana terdapat makam leluhur warga kampung naga bernama Sembah Dalem Eyang Singaparana. Kearifan ekologis masyarakat kampung naga membuat masyarakat hidup berdampingan dengan lingkungan hutan yang tetap lestari (sustainable). Mengapa, karena mereka menerapkan sistem nilai dan norma keramat pada semua hutan yang ada disekitarnya. Hutan dan lingkungan yang dikeramatkan membuat warga kampung naga taat dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang diwarskan oleh leluhur mereka. Dengan demikian, lahirlah beberapa langang: tidak boleh mengambil apapun dari hutan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Oleha karena itu, peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan panen gagal atau berkurang produksinya, misalnya, dianggap sebagai peristiwa yang tidak lepas dari hukum sebab akibat. Dengan demikian, ketika terjadi perambahan tanah adat yang kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan, masyarakat adat Suku Naga sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya. 5. Suku Kajang Suku Kajang disebut juga orang Kajang. Mereka bertempat tinggal di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka mengelola sumberdaya hutannya secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh hubungan orang Kajang dengan lingkungan hutannya didasari atas pandangan hidup Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



151



yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang anrong (ibu kandaung) yang harus dihormati dan dilindungi. Mereka mempraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena dapat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai orang Kajang. Orang Kajang berhasil melestarikan hutannya hingga saat ini, karena mereka mengelola hutannya secara totalitas dan bijaksana (ekological wisdoms). Mereka hidup secara harmonis dengan alamnya, sehingga seluruh cipta, karsa dan rasa mereka benar-benar digunakan untuk melestarikan lingkungan mereka. Penanaman kesadaran akan arti penting lingkungan (environmental awareness) benar-benar dilakukan melalui sosialisasi dan internalisasi kepada seluruh pendukung adat istiadat Kajang. Banyak istilah dalam pasang (pesan lisan), seperti: ako ammanraki boronga, nupanraki boronga lanupanraki kalennu sanggenna tuhusennu artinya ‘jangan rusak hutan, karena merusak hutan merusak diri sendiri hingga anak cucumu’. Penanaman akan ketergantungan orang Kajang pada lingkunnya, juga dilukiskan di dalam pasang ri Kajang (pesan lisan dari Kajang): anjo raung kajua anggontaki bosiya, naanjo aka’ kajua annampungi tumbusu’. Jari, punna anre’mi anjo borongnga anre’tommi antu raungkaju, anre’ tommi poeng aka’ kajua. Kama’mi antulinoa arenna, artinya ‘Dedaunan itulah yang mendatangkan hujan dan akar kayu pula yang menampung mata-air. Jadi, kalau sudah tidak ada hutan artinya sudah tidak ada juga daun kayu dan akar kayu, yang mendatangkan hujan dan menampung sumber air. Itulah yang disebut hari kiamat. Untuk melengkapi larangan merusak hutan, mereka mempersonifikasi hutan: anjo boronga paru-parunnai linowa. Naanjo kale’lenga pattambannai linowa, artinya ‘hutan adalah paru-paru dunia dan liliana sebagai penyeimbang dunia’. Ada empat hal yang sangat dilarang demi tetap mepertahankan keutuhan ekosistem hutan: tabbang kaju (menebang pohon), tatta’ uheya (mengambil rotan), rao doanga (menangkap udang gala) dan tunu baniyya (memanen madu). Pelanggaran dari larangan tersebut akan dikenakan sanksi adat, berupa: 1) lanigelli yaitu pengucilan tersangka di dalam interaksi sosial masyarakat adat Kajang, 2) Tunu anroli’ yaitu tersangka disuruh memegang linggis membara, sebagai uji nyali yang bersangkutan, 3) tunu passau’ yaitu pembakaran sarang madu atau kemenyan disertai dengan sumpah dan kutukan kepada tersangka yang in-absentia dalam proses persidangan dan 4) lanipaoppani tana yaitu pengusiran. Bahkan, peringatan keras ditujukan kepada peminpin adat pada saat ia dilantik dan diambil sumpahnya: Pallengeri haji-haji, nijojjoloma’kinni Tu’ Rie’ A’ra’na, addongkoki barumbunga, mingka naiyaji iya punna tanapa’loloangko Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



152



raung kaju, tannapalolorangko ere’ bosi, tannakajariangko tinanang, tannapammatiangko tuha’, tannapanaikangko juku’ sumahe’, pettai kalennu, kamaseangngi kulantu’nu. Naiya barumbunga bola-bola pa’lettekang, artinya ’dengarkan baikbaik. Engkaulah yang ditunjuk oleh Rie’ A’ra’na (yang maha pencipta), karena di bahumu ayam bertengger. Akan tetapi, ketika ia membuat dedaunan layu, tidak menurunkan hujan, tanaman tidak tumbuh, air nira tidak menetes, ikan-ikan kecil menghilang, sungguh sangat disayangkan. Segeralah mengundurkan diri dan kasihani rakyatmu, karena ayam tersebut memang suka berpindah-pindah’. Orang Kajang mampu menunjukkan kritalisasi kebudayaan lingkungan mereka melalui perjuangan Kajang Berdarah. Mereka mengorbankan segala-galanya demi untuk mempertahankan wilayah adat mereka yang direbut oleh perkebunan karet PT. London Sumatera (PT. Lonsum). Selain perjuangan fisik, orang Kajang juga melakukan perjuangan melalui proses hukum dengan kemenangan ditangan mereka melalui Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2553.K/Pdt/1987 sebagai legalitas kemenangan orang Kajang. Hal ini tidak berarti, bahwa apa saja yang dikerjakan oleh manusia selalu bersifat adaptif terhadap lingkungannya. Yang jelas, manusia tidak berinteraksi dengan lingkungannya begitu saja, karena ia harus memahami lingkungan yang sama dengan cara-cara yang sangat beragam satu sama lain. Selain itu, manusia juga berinteraksi dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan lingkungannya, seperti: sifat biologinya, kepercayaan, sikap dan konsekuensi perilaku mereka untuk orang lain. Kesemuanya menghadapkan manusia pada suatu bentuk permasalahan, sehingga mereka cenderung memelihara dan menggunakan kebudayaannya untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dengan demikian, kebudayaan mereka harus melahirkan perilaku yang mampu beradaptasi. Permasalahan lain adalah relatifitas setiap adaptasi dengan artian, bahwa apa yang adaptif dalam konteks tertentu mungkin tidak cocok dalam konteks yang lain. Saya ambil contoh, kebiasaan tidak bersih para pemburu dan peramu adalah tepat dalam konteks jumlah penduduk yang kecil dan tempat hunian yang berpindah-pindah (nomaden). Bangsa Nomaden atau bangsa pengembara, adalah berbagai komunitas masyarakat yang memilih hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka memilih hidup di padang pasir atau daerah bermusim dingin. Masyarakat yang berpindah-pindah tempat tetapi bukan di padang pasir atau daerah bermusim dingin, disebut sebagai kaum gipsi36. Terdapat tiga macam kehidupan 36



Bangsa atau kaum Gipsy merupakan bangsa yang nomaden, yang artinya suka berpindah tempat. Kaum gipsy ini pernah memiliki masa kelam sewaktu kepemimpinan Hitler di eropa, karena mereka diolongkan kedalam salah satu suku yang dianggap



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



153



nomaden, yaitu sebagai pemburu-peramu (hunter-gatherers), penggembala (pastoral nomads) dan pengelana (peripatetic nomads). Akan tetapi, hal serupa merupakan sebuah kendala kesehatan yang cukup besar bagi mereka. Ketika mereka hidup dalam konteks penduduk yang berjumlah besar dan menetap (urbanisations), disitulah masalahnya. Perilaku adapatif dalam jangka pendek mungkin memang bisa verhasil, namun dalam jangka panjang dapat menjadi tidak mampu lagi. Saya ambil contoh, keberhasilan peternakan (ranch) pada sebuah lokasi padang rumput, yang dalam waktu singkat dapat mengakibatkan penggundulan padang rumput tersebut. Nah, di sini jugalah menjadi kendala bagi para nomaden di padang pasir dan daerah musim dinging. Berbagai contoh kasus terjadi di bagian pantai Afrika Utara, yang akhirnya mengubah padang rumput menjadi padang pasir dalam waktu sekejap mata. Contoh lain adalah pengelolaan lahan pertanian di Amerika Serikat bagian Timur untuk keperluan bukan pertanian, membuat orang Amerika semakin tergantung pada pangan yang ditanam di daerah-daerah pinggiran. Kejadian serupa juga dialami oleh para masyarakat di beberapa kota besar di Indonesia, yang sebelumnya pelaku produser pangan berubah menjadi konsumen pangan, karena seba-hagian dari lahan mereka disulap menjadi lokasi perumahan, perkantoran dan gedung-gedung pencakar langit dan sebagainya. Kehidupan seperti inilah yang paling dihindari oleh para nomaden. Mereka tidak ingin kebu-dayaan mereka diatur dan diubah oleh alam, tetapi justru kebudayaanlah yang harus menyiasati lingkungan melalui proses adaptifn. Selain unsur-unsur perubahan kebudayaan tersebut di atas dianggap dapat menguntungkan, justru beberapa di antaranya sebaliknya mendatangkan petaka bagi umat manusia. Jadi, kebudayaan bukan lagi sebagai alat untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, tetapi berubah menjadi alat penghancur paling mutahir bagi manusia. Di Bali beberapa waktu yang lalu dilakukan sebuah Konfrensi Tingkat Tinggi yang membicarakan tentang pemanasan global. Ini merupakan salah satu bukti kegagalan umat manusia dalam mendayagunakan kebudayaannya. Pemanasan terjadi, karena adanya parubahan kebiasaan umat manusia dari menggunakan kipas angin menjadi AC dan pembangunan rumah dan gedung tinggi dengan menggunakan bahan-bahan yang dapat memantulkan cahaya ke atmosfir bumi. Menurut beberapa penelitian, bahwa Freon Air Condition merupakan penyebab paling utama menipisnya lapisan ozon. Cahayacahaya pantulan dari dinding kaca dan atap seng juga diyakini menjadi penyebab menipisnya lapisan ozon. Akibatnya, lapisan yang semula diciptakan Tuhan untuk menyelimuti dan melindungi bumi dari terik matahari berbahaya bagi Hitler, selain orang Jews, orang Slavia dan kaum homoseksual.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



154



sudah tidak berfungsi maksimal lagi. Demikian pula dengan terjadinya polusi udara, sebagai akibat pemakaian kendaraan bermotor yang berlebihan, juga menjadi akset besar terjadinya pemanasan global yang akan mencelakakan umat manusia itu sendiri. Orang Kajang sendiri telah mewanti-wanti umat manusia dengan pesannya jangan engkau rusak hutan (lingkungan), jika engkau merusaknya akan merusak dirimu sendiri hingga anak cucumu kelak. Menurut hasil diskusi yang dilakukan di dalam konfrensi Tingkat Tinggi tentang Pemanasan Global tersebut di atas disinyalir, bahwa pembalakan dan eksploitasi hutan secara berlebihan, terutama di negara-negara tropis, menjadi faktor utama terjadinya pemanasan global. Hutan yang dulunya menjadi paru-paru dunia sudah tidak mampu lagi menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Penyerapan C2-0 yang dilakukan tumbuhan di dalam potosintesisnya dan pelepasan H2-0 yang sangat dibutuhkan oleh manusia sudah tidak seimbang lagi. Jumlah C2-0 yang dilepaskan oleh kendaraan bermotor dan mahluk bernyawa lainnya sudah tidak terserap seluruhnya, karena hutan dimana-mana sudah gundul. Akibatnya, polusi udara pun tidak dapat dihindari lagi. Orang Kajang dengan kearifan ekologisnya lagi-lagi berpesan kepada umat manusia, bahwa hutan itu berfungsi sebagai paru-paru dunia. Liliana itu penyeimbang dunia. Jadi, kalau sudah tidak hutan dan liliana kiamatlah dunia ini, tamatlah riwayat hidup manusia. Hasil panen yang berlimpah kini dapat diusahakan dengan menggunakan teknologi canggih nan mahal, tetapi lapisan atas tanah terusmenerus menyusut. Tingkat keasaman tanah meningkat, karena penguapan air irigasi dan pengendapan lumpur di saluran-saluran irigasi, ditambah dengan semakin berkurangnya unsur hara tanah, yang menyebabkan panen dalam jangka panjang tidak mungkin dilakukan. Kesuburan tanah persawahan sudah tergantung seratus persen pada penggunaan pupuk nonorganik yang menggunakan unsur-unsur kimiawi, yang pada ambang atas normal sangat membahayakan kesehatan konsumennya. Belum lagi dengan penggunaan traktor untuk efisiensi pembajakan sawah, yang selama ini dilakukan dengan menggunakan tenaga hewan (sapi, kerbau dan kuda). Manusia tidak menyadari betapa besarnya efek setetes bahan bakar traktor terhadap keseimbangan biota tanah di area persawahan. Biota-biota tanah tersebut berfungsi untuk mengurai dan menyeimbangkan tingkat keasaman tanah (pH tanah). Mereka juga tidak sadar akan manfaat setetes air seni dan tinja hewan yang dapat menjadi pupuk organic, yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Dulu saya masih ingat (sekitar tahun 70-an), sehabis panen para pengembala sapi, kerbau dan kuda melepaskan binatang peliharaanya merumput di lahan yang baru selesai dipanen. Tidak bisa dibayangkan berapa besar air seni dan tinjai binataan peilharaan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



155



mereka tersebut dapat menyumbangkan unsur hara tanah, yang akan segera ditanami kembali. Memang betul saat ini para petani bisa panen tiga kali bahkan lebih setahun, tetapi kesempatan bagi tanah untuk bernafas sudah tidak ada lagi. Apa yang saya maksud bernafas di sini adalah kesempatan tanah mengisap unsur organic dan oksisgen dari udara melalui celah-celah retakan tanah persawahan. Inilah yang merupakan petaka besar bagi kaum petani saat ini. Mereka sangat tergantung pada pemburuan keuntungan, tetapi tidak pernah berfiker bagaimana tidak merugi. Perhitungan mereka sangat melest, karena keuntungan yang mereka buruh tidak seimbang dengan efek yang bisa timbul. Beberapa efek yang paling besar: 1) Efek kesehatan para konsumen yang mengonsumsi beras atau hasil panen lainnya yang sudah terkontaminasi dengan zat-zat kimiawi, 2) Efek kesuburan tanah37 tidak lagi menjadi prioritas utama, karena ketesedian bahan pendukung (irigasi, pupuk, tenaga kerja) sudah tersedia, 3) Efek ekonomi bagi para petani penggarap juga kurang mendapat perhatian. Sebagai akibat dari adnya mekanisasi, khususnya dalam pertanian di sawah menyebabkan para petani krang pendapatannya. Mengapa, dengan sistem pertanian ter-padu dan mekanisasi cenderung meningkatkan biaya (high cost) bagi para petani penggarap. Akibatnya, animo masyarakat untuk menjadi petani penggarap juga semakin rendah, 4) Efek Sosial-Budaya juga sangat penting untuk diperhatikan. Hubungan interkasi antara manusia juga mengalami degradasi yang cuku besar. Pada masa lampau angkat kerja dalam mena-nam padi dan menuai padi melibatkan keluarga dan orang sekampung, bahkan dari luar daerah (lasu dari kata lao su artinya keluar mencari rezeki). Akibatnya, jaminan social (social security) bagi keluarga, orang sekampung, bahkan orang luar sudah tidak ada lagi. Mengapa, hubunga gift (memberi bantuan) dan reciprocal (saling memberi balasan jasa) sudah tidak ada lagi. Angkatan kerja menanam padi (pattaneng) diganti dengan menggunakan jasa kelompok penanam padi. Demikian pula dengan menuai padi, justru menghilangkan bali reso (kerjasama atas dasar inverstasi social-budaya), karena mereka cendrung menggunakan jasa pa’daros (jasa kelompok pemanen). Bahkan, terakhir para petani di Sulawesi Selatan menggunakan jasa pemanen denga menggunkan traktor pemanen padi.



Kesuburan tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman yang diinginkan, pada lingkungan tempat tanah itu berada. Kesuburan tanah adalah terdapatnya cuku unsur hara tanah di dalamnya. Unsur hara adalah adalah beberapa nutrisi yang sangat penting bagi tanaman yang meliputi unsur hara makro maupun mikro. Unsur hara yang terkandung di dalam tanah akan memberikan nutrisi penuh, sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik 37



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



156



Ada beberapa cara untuk menyikapi perubahan kebudayaan, seperti berikut ini: 1. Antisipasi Antisipasi adalah emosi yang melibatkan kesenangan, kegembiraan, atau kecemasan dalam mempertimbangkan kejadian yang diharapkan. Antisipasi adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia berupa: tujuan (purpose), kebutuhan (needs), keinginan (desire) dan masa depan (foresight). Hal ini dapat diartikan secara sederhana sebagai kesadaran untuk melanjutkan keberadaan dan mempertahankan kehidupannya. Antisipasi seperti ini sejajar dengan konsep id dalam teori Sigmund Freud (1860-1939) yaitu sesuatu yang ada dalam diri manusia sebagai suatu insting ego berupa kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Salah satu bentuk dari insting ego tersebut (selain kebutuhan seks yang menjadi inti studi Freud) adalah kebutuhan dasar (basic needs): sandang, pangan, rasa aman dan rasa nyaman. Antisipasi pada umumnya berupa proses kognisi, sehingga hal ini dapat pula dikatakan sebagai suatu bentuk dari perwujudan kebudayaan. Banyak ahli budaya yang menggunakan dan mengasosiasikan antisipasi sebagai suatu bentuk strategi dalam bertahan hidup (copying mechanism). Manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya selalu berusaha untuk; a) mempelajarinya, b) memanipulasi dan 3) mengubahnya dalam rangka pencapaian tujuan. Ketiganya berfunsi untu pemenuhan kebutuhan dan meningkatkan kebebasan memilih dan bertindak. Menurut Al-Barry (2000: 10), manusia dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya mempunyai dua jenis kemampuan, yaitu: 1) daya adaptasi yaitu kemampuan manusia untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan (kondisi) lingkungan, adat istiadat dan sebagainya dan 2) daya antisipasi yaitu kemampuan manusia untuk melakukan tindakan antisipasi terhadap segala sesuatu yang kemungkinan akan terjadi atau dihadapinya. 2. Adaptasi Kebudayaan Konsep dan teori tentang adaptasi, pada prinsipnya, populer dan berawal ketika Darwin dalam bukunya mengatakan, bahwa di dalam setiap generasi, lebih banyak individu yang dihasilkan daripada dapat bertahan hidup (karena sumber daya terbatas) dan persaingan antar individu muncul. Hanya individu dengan karakteristik yang menguntungkan, atau variasi, yang mampu bertahan hidup untuk bereproduksi. Bahkan, Maltus (dalam Seymour-Smith, 1990: 87), seorang ahli kependudukan juga mengatakan; timbulnya persaingan antar mahluk hidup (terutama manusia), karena meningkatnya jumlah populasi dan menurunnya ketersediaan sumberdaya alam di sekitar mereka. Akibatnya, persaing-an diantara mereka cenderung meningkat. Bahkan, di lain pihak, persaingan tersebut justru membutuhkan adaptasi diri. Jadi, tidak salah, jika hampir seluruh ahli budaya, khususnya para pengikut Darwin Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



157



menggambarkan, bahwa adaptasi sebenarnya serupa dengan rangkaian rel kereta api, yang terdiri atas untaian-untaian adaptasi. Artinya, adaptasi adalah untaian yang terjadi dalam sebuah evolusi. Untaian tersebut dapat terjalin terus menerus (well-adapted) dan kadang-kadang pula harus terputus (mal-adapted), karena berbagai faktor, situasi dan kondisi. Adaptasi adalah suatu proses dimana organisme berhasil dengan baik menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan hasil dari proses tersebut berupa ciri-ciri organisme yang menyebabkan mereka cocok dengan perangkat khusus kondisi lingkugan, dimana mereka pada umumnya berada (Haviland, 1993: 45). Menurut Al-Barry (2000: 10), bahwa adaptasi pada prinsipnya adalah suatu proses penyesuaian diri terhadap lingkungan, pekerjaan dan sebagainya. Bennet (1969) memandang proses adaptasi ke dalam dua arah yang berbeda yaitu: 1) Berkaitan dengan evolusi genetik yang merupakan umpan balik (feed backs) dari interaksi sebuah kelompok gen (the gene pool) dengan lingkungannya yang mengarah pada keabadian (the persistence) atau pengembangan karakter yang memungkinkan sebuah populasi mampu bertahan hidup dan 2) Berkenaan dengan pertemuan antara perilaku sepanjang rentang waktu kehidupan dari sebuah organisme yang memberi kemampuan untuk mempetahankan (copy mechanism) kondisi lingkungannya. Perilaku ini dioperasikan oleh sebuah proses kognitif atau persepsi. Dengan demikian, Bennet memberikan pengertian dasar dari adaptasi dalam kerangka ilmu perilaku manusia, yang diturunkan dari salah satu dari dua konsep biologis yaitu: copying mechanisms berupa utilisasi organisme sepanjang hidupnya dan copying adaptation pengaruh nilai dari sebuah keputusan harus diambil dalam rangka mempertahankan diri manusia. Menurut Keesing (1993: 5), di pihak lain, proses adaptasi menghasilkan keseimbangan yang dinamis antara kebutuhan penduduk dan potensi lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dalam kasus suku Tsembaga di pegunungan Irian. Mereka umumnya hidup sebagi pekebun dengan menanam tanaman pangannya menggunakan peralatan tangan yang sederhana. Selain itu, mereka juga memelihara babi untuk keperluan ritual pada saat sakit, luka, peperangan atau pada waktu perayaan upacara adat. Pada waktu-waktu seperti itu, babi dikorbankan kepada arwah para leluhur dan dagingnya dimakan oleh orang-orang yang ikut serta dalam upacara tersebut. Dengan demikian, timbullah jaminan sosial (social security) dan penyebaran sumber gizi, karena adanya persediaan protein berkualitas di dalam pelaksanaan upacara adat tersebut. Hal yang serupa juga terjadi di dalam ritual adat rambu solo (upacara kematian) bagi orang Toraja. Prosesi upacara kematian tersebut dilakukan pemotongan hewan tedong bonga (kerbau belang) dan babi dalam jumlah banyak. Para tetamu dan masyaIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



158



rakat sekitar yang datang membantu pelaksanaan ritual adat tersebut dijamu dengan sajian makanan bergizi dan kadang-kadang mereka mendapat jatah daging untuk dibawa pulang kerumah masing-masing. Pada jaman pra-kolonial, suku Tsembaga dan tetangganya terikat dalam suatu lingkaran kurban babi yang unik, yang menandai berakhirnya permusuhan antar kelompok. Berkali-kali timbul permusuhan di antara mereka, karena jumlah populasi babi menjadi meningkat dan tidak terkendali, karena dalam keadaan normal hanya sedikit sekali babi yang disembelih. Sementara kebutuhan pakan ternak babi mereka meningkat, sehingga hama babi secepatnya menghabiskan tanaman umbi-umbian masyarakat setempat. Perlunya memperluas produksi pangan untuk keperluan babi yang memberi kewibawaan dan status sosial, sangat mendesak ketersediaan lahan yang cocok untuk pertanian. Oleh karena itu, apabila kelompok yang satu mengusir kelompok yang lain dari daerahnya, permusuhan akan berhenti dan penduduk yang menang bersama dengan sekutu-sekutunya akan merayakan kemenangannya melalui pesta adat penyembeliban babi. Bahkan, kadang-kadang pesta pemotongan babi sering dilakukan tanpa adanya perayaan kemenangan apa-apa untuk menekan laju peningkatan populasi babi. Istilah adaptasi juga mengacu pada proses interaksi timbal balik antara perubahan dan organisme. Penyebaran gen anemia sel bulan sabit merupakan salah satu contoh kasus. Pada zaman dahulu kala, di daerah tropis di Benua Lama di sebelah Barat India, muncul sebuah mutasi genetika pada populasi manusia, yang menyebabkan terbentuknya sel darah merah berbentuk bulan sabit dalam kondisi tekanan oksigen rendah. Disebut bulan sabit, karena parasit sel darah merah tersebut berbentuk bulan sabit. Manusia yang menerima gen tersebut sebagai warisan genetik dari kedua orang tuanya, umumnya akan menderita anemia yang mematikan pada usia kanak-kanak. Untuk mencegah hal itu, tindakan-tindakan selektif harus segera dilakukan, agar gen tersebut tidak meluas ke dalam lingkungan gen lokal. · Kebudayaan manusia dalam mengelola lingkungannya melalui sistem berkebun di ladang secara berpindah-pindah (slash-and-burn horticulture) yang umum dilakukan di daerah tropis, mampu menekan pengembang biakan jentik nyamuk yang mematikan tersebut. Dengan adanya sistem pengolahan lahan yang mengandalkan sistem tebas-bakar (slash-and-burn) mampu membunuh jentik jamuk penyebar gen bulan sabit melalui sistem pembakaran kayu-kayu yang sudah ditebang. Akan tetapi, seseorang yang mewarisi gen sel bulan sabit hanya dari salah seorang orangtuanya, namun dari orangtua yang lainnya ia menerima gen yang normal, terbukti memiliki daya tahan alamiah terhadap parasit tersebut. Apabila sel itu beredar Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



159



melalui limpa, yang secara rutin menyaring semua sel darah merah yang rusak, maka sel-sel tersebut bersama dengan parasit lainnya dapat dihancurkan. Oleh karena itu, manusia yang sudah mencapai keadaaan heterozigot akan menjadi semakin kebal terhadap malaria, karena frekuensi sifat sel bulan sabitnya makin lama makin besar di dalam populasi sel-sel darah merahnya. Keesing (1993: 350) memberikan contoh yang baik bagaimana faktor budaya itu terlibat dalam adaptasi manusia. Orang-orang Yanomamo di Venezuela dan Brasilia menurut Keesing memandang adaptasi mereka terhadap lingkungan sosiopolitiknya sama pentingnya dengan adaptasi mereka terhadap lingkungan alamnya, karena adaptasi mereka dengan lingkungan sosio-politik tersebut dapat mempengaruhi penyebaran mereka di suatu daerah dimana mereka bermigrasi. Keesing mempertimbangkan adaptasi yang harus dipersiapkan oleh orang-orang Yanomamo sebelum melakukan migrasi. Orang Yanomamo adalah orang-orang yang keras dan suka berperang, mendiami desa-desa di hutan tropis. Mereka hidup berkelompok dengan jumah anggota sekitar 40 sampai 250 orang. Sumber penghidupan mereka adalah menanam pisang di kebun dan berperang melawan desa-desa tetangga. Dengan alasan, keamanan yang tidak terjamin, mereka harus selalu siap siaga untuk mengungsi dan pindah ke lokasi baru atau ke desa induknya. Akan tetapi, dilihat dari segi ekonomi kebun-kebun mereka sangat penting, sehingga meninggalkannya dan membuat yang baru dipandang sebagai pekerjaan yang amat berat. Selain itu, kehadiran mereka juga selalu ditentang oleh kelompok lain yang ada di sekitarnya, sehingga perpindahan tersebut sulit dilakukan, kecuali dalam keadaan yang sangat darurat. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang memberatkan tersebut, mereka mengadakan persekutuan dengan desa-desa tetangga, sehingga desa yang satu bergabung ke desa yang lain, yang sedang berperang atau menerima penduduk desa lain bila keadaan memungkinkan. Kebudayaan tidak mungkin lestari, kalau tidak memenuhi kebutuhan pokok tertentu para pendukungnya. Jadi, ada korelasi antara seberapa jauh suatu kebudayaan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pendukungnya, sebegitu besar pula kesuksesan yang dapat digapai sebuah kebudayaan. Dengan demikian, kesuksesan diukur dengan nilai-nilai kebudayaan itu sendiri dan bukan dengan nilai-nilai yang berasal dari luar. Kebudayaan harus mampu memproduksi dan mendistribusikan barang-barang dan jasa, yang diperlukan anggotanya untuk tetap bertahan hidup. Kebudayaan harus menjamin kelestarian biologis melalui reproduksi anggota-anggotanya. Para pendukung yang baru harus dienkulturasikan, sehingga dapat mengikuti jejak perilaku orang dewasa dalam kelompoknya sebagai hasil Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



160



dari proses pembelajaran yang dilaluinya. Kebudayaan juga harus memelihara ketertiban, baik di antara para pendukungnya maupun dengan orang luar. Akhirnya, kebudayaan harus memberi motivasi kepada para pendukungnya untuk tetap bertahan hidup dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang perlu untuk kelangsungan hidup mereka. Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan akan mengalami perubahan (cultural change) untuk menanggapi hal-hal seperti masuknya orang luar atau terjadinya modifikasi perilaku dan nilai-nilai di dalam sebuah kebudayaan. Salah satu contoh perubahan kebudayaan, baik di negara-negara Barat maupun di non-Barat adalah perubahan cara berpakaian. Pada waktu lampau para kaum hawa menggunakan pakaian-pakain yang tertutup dan penuh kesopanan, sehingga bagian-bagian tertentu tubuhnya terbungkus rapi dengan pakaian adat mereka. Akan tetapi, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini kebudayaan mengizinkan orang membiarkan lebih banyak bagian tubuhnya tidak bertutup, tidak hanya pada saat mereka berenang, tetapi juga pada waktu bepergian. Perempuan Jawa pada masa lampau akrab dengan kebaya yang dipadu dengan kain batik, kini sudah jarang ditemukan. Demikian pula orang Bugis-Makassar pada masa lampau terkenal dan bangga dengan stelan jas tertutup dipadu dengan sarung sutra, serta kaum hawa memadu baju bodo dengan lipa’ sabbe (sarung sutra) dan simpolong tenttong (sanggul). Semuanya kini hampir hilang, terutama ketika pelaksanaan pesta adat (pernikahan). Kebudayaan seolaholah memberi kelonggaran dan kebebasan yang berlebihan, sehingga kesetiaan (cultural loyalities) pendukung sebuah kebudayaan kini hampir luntur. Yang lebih fatal lagi, karena hampir semua tetamu dalam pesta adat pernikahan Bugis memakai baju batik (kaum adam) dan baju gamis (kaum hawa), yang secara historis merupakan pakaian adat orang Jawa dan Minangkabau. Dengan kelonggaran pula, pendapat orang tentang tubuh dalam foto dan film juga menjadi lebih longgar. Akibatnya, sikap dan kebiasaan seksual orang-orang Amerika Utara dalam tahun-tahun belakangan ini juga ikut menjadi lebih longgar. Sangat jelas, bahwa perubahan tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya dan mencerminkan suatu perubahan sikap yang berlatar belakang peraturan-peraturan dalam hal seks bagi orang Barat. Seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa selain perubahan kebudayaan yang mendatangkan kemaslahatan bagi pendukungnya, perubahan yang terjadi di dalam sebuah kebudayaan juga dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak terduga dan sering merusak. Saya ambil contoh, untuk orang Yir-Yoront di Australia, dimana kapak batu merupakan alat teknologi yang pokok dan lambang mitos yang sangat penting, kini hampir punah. Kapak batu tersebut merupakan totem suku dan lambang kejantanIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



161



an seorang laki-laki di suku Yir-Yoront. Artinya, kapak tersebut menduduki tempat yang istimewa di dalam kosmologi Yir-Yoront. Di samping itu, kepala kapak merupakan mata dagangan yang penting yang diperoleh setiap tahun pada waktu seluruh suku berkumpul untuk keperluan upacara. Oleh karena barang tersebut termasuk barang langka, kapak-kapak batu tersebut biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang tua atau orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, beberapa waktu lalu sejumlah misionaris beritikad baik mengganti kapak-kapak batu tersebut dengan kapak besi kepada orang Yir-Yoront, sehingga jumlah dan status orang yang mampu memiliki kapak besi tersebut menjadi besar, termasuk kaum wanita dan anak-anak sudah mampu memilikinya. Akibatnya, adalah runtuhnya nilai yang terkandung di dalam kapak batu sebagai lambang kejantanan seorang laki-laki suku Yir-Yoront. Akibat lain perubahan tersebut, karena kapak besi tidak dapat dihubungkan dengan totem38 suku, maka seluruh sistem ideologi Yir-Yoront mulai runtuh. Pertemuan tahunan suku yang sering dilakukan suku YirYoront semakin berkurang, karena perdagangan guna memperoleh kapak batu sudah tidak diperlukan lagi. Dengan demikian, masuknya kapak besi tersebut mampu menggerogoti seluruh struktur nilai, norma dan aturan masyarakat Yir-Yoront dan belum ditemukannya pengganti pranata lama, yang mampu mengatur segala bentuk kehidupan masyarakat Yir-Yoront. Jadi, kejadian inilah yang menjadi konskuensi berat bagi sebuah perubahan kebudayaan yang harus dibayar mahal. D. Unit-Unit Adaptasi Ada dua hal yang menjadi unit dalam sebuah adaptasi, yaitu: organisme dan Adaptasi lingkungan. 1. Adaptasi Organisme Adaptasi oragnisame adalah sebagai anggota populasi, yang juga harus memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan variabi-litas dan perubahan di dalam lingkungannya. Secara biologis ini berarti, bahwa berbagai organisme yang ada di dalam sebuah populasi memiliki warisan bawaan yang berbeda-beda. Secara kultural, hal ini juga berarti, bahwa ada variasi dalam hal keterampilan, pengetahuan dan kepribadian individu. Organisme dan lingkungan merupakan suatu sistem interaksi. Setiap orang mungkin mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi petani atau 38



Totem menurut William A Haviland (1993: 117) adalah lambang yang mengandung arti religius, biasanya berupa binatang, tetapi kadangkadang, tumbuhan, unsur unsur alam, atau benda alam. Lihat juga Koentjaraningrat (2003 238) totemisme sebagai suatu sistem religi yang terdiri dari kelornpok-kelompok kekerabatan unilinea dan berdasarkan keyakinan bahwa warga kelompok-kelompok unilineal tersebut keturunan dewa-dewa nenek moyang dan sistem kekerabatan yang sama



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



162



nelayan, namun tidak pernah kita harapkan menemukan petani di sebelah Utara Laut Arktik atau menemukan seorang nelayan menangkap ikan di Gurun Sahara. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa unit-unit adaptasi itu harus mempunyai karakter tersendiri sesuai dengan peruntukan dalam rangka adaptasi diri. Seorang nelayan, misalnya, memiliki unit adaptasi untuk menangkap ikan di air (laut) dan bukan di gurun. Sebaliknya seorang petani unit adaptasinya adalah menanam sesuatu di gurun bukan di laut. Artinya, unit adaptasi bagi seorang nelayan dengan seorang petani tidak mungkin ditukar satu sama lain, karena masing-masing mempunyai karakter. Semua unit-unit adaptasi kebudayaan harus membuat jaringan antara satu unit dengan unit lainnya, karena unit-unit tersebut merupakan sistemsistem kebudayaan. Hal ini tentunya tidak berati, bahwa unit adaptasi seorang nelayan dengan petani pada contoh di atas samasekali lepas atau tidak ada hubungannya samasekali, meskipun hubungan keduanya tidak terlalu dekat. Saya ambil contoh sebagai ilustrasi keterkaitan antar unit-unit adaptasi berikuti ini: sekelompok orang yang hidup di tepi danau, yang hidup dengan mengkonsumsi ikan dan ikan itu sendiri hidup dari organisme-organisme yang lebih kecil. Binatang-binatang kecil ini selanjutnya memakan tumbuh-tumbuhan atau planton-planton, yang menyedot dan mengambil mineral dari air dan lumpur, yang dengan bantuan tenaga matahari ia mampu mengubahnya menjadi protein dan karbohidrat. Bahanbahan dari binatang dan tumbuh-tumbuhan yang mati dihancurkan oleh bakteri dan zat-zat kimia kembali ke dalam tanah dan air. Energi tertentu lepas dari sistem ini dalam bentuk panas. Penguapan (evavoloration) dan hujan terus-menerus menimbulkan sirkulasi air (hidrolic circulation)39. Manusia menambah zat-zat kimia pada sistem itu dalam bentuk sampah dan kalau bijaksana mereka dapat membantu mengatur keseimbangan antara hewan dan tumbuh-tumbuhan tersebut yang membentuk sirkulasi kehidupan (mutualism). Ilsutrasi tersebut memperlihatkan betapa besar ketergantungan antar unit adaptasi yang ada (simbiosis). Saya hendak menjelaskan masalah sirkulasi hidrolis di atas, karena hal tersebut sudah berakar dalam pasang ri Kajang. Beratus-ratus tahun silam orang Kajang telah mampu memprediksi sifat alam yang ada di sekitar mereka. Mereka mempelajari lingkungan mereka berdasarkan pada pengalaman-pengalaman mereka selama berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, tidak salah jika mereka membuat pernyataan, bahwa merusak hutan adalah merusak diri sendiri hingga anak cucumu. Saya juga ingin menunjukkan, seberapa besar kebudayaan mempengaruhi pola pikir orang 39



Sirklusi hidrologi (Hidrolic circulation) adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



163



Kajang, khususnya dalam memperlakukan lingkungannya secara arif dan bijaksana. Yang saya maksud dengan sirkulasi hidrolis di sini adalah jatuhnya air dalam berbagai bentuk dari atmosfir ke bumi dan kembali lagi ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Orang Kajang mampu membuat formulasi terjadinya sirkulasi penguapan air dari bumi ke atmosfir lalu kembali lagi kebumi berupa hujan. Hal ini sesuai dengan konsep sirkulasi hirdrolis oleh beberapa ahli lingkungan (lihat pembahasan di bawah ini). Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atmosfir. Sebagian lang-sung jatuh kebumi (hujan) yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda: 1) Evaporasi atau transpirasi: Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman dan sebagainya menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es, 2) Infiltrasi atau Perkolasi ke dalam tanah: Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju permukaan air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan, 3) Air Permukaan: Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau. Semakin landai lahan atau tanah permukaan, semakin sedikit pula pori-pori tanah, sehingga aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan di sekitar daerah aliran sungai menuju laut. Inilah yang dimaksudkan oleh prang Kajang Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang (danau, waduk, rawa) dan sebagian air di bawah permukaan akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Perlu saya jelaskan di sini, bahwa jumlah air di bumi secara keseluruhan relatif tetap. Perubahannya hanya terjadi pada wujud dan tempatnya. Presipitasi terjadi dalam berbagai bentuk (salju, hujan batu es, hujan dan lain-lain), yang jatuh ke atas vegetasi, batuan gundul, permukaan tanah, permukaan air dan saluran-saluran sungai (presipitasi saluran). Air yang jatuh pada vegetasi diintersepsi (yang kemudian berevaporasi atau mencapai permukaan tanah dengan menetes atau jatuh langsung ke tanah (through fall). Sebagian presipitasi berevaporasi selama perjalanannya dari atmosfer Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



164



dan sebagian pada permukaan tanah. Sebagian dari presipitasi yang membasahi permukaan tanah berinfiltrasi ke dalam tanah dan bergerak menurun sebagai perkolasi ke dalam mintakat (zone) jenuh di bawah muka air tanah. Air ini secara perlahan berpindah melalui akifer ke saluran-saluran sungai. Beberapa air yang berinfiltrasi bergerak menuju dasar sungai tanpa mencapai permukaan air tanah sebagai aliran bawah permukaan. Air yang berinfiltrasi juga memberikan kehidupan pada vegetasi sebagai lengas tanah. Beberapa dari lengas ini diambil oleh vegetasi dan transpirasi berlangsung dari stomata daun. Setelah bagian presipitasi yang pertama yang membasahi permukaan tanah dan berinfiltrasi, suatu selaput air yang tipis dibentuk pada permukaan tanah yang disebut dengan detensi permukaan (lapis air). Selanjutnya, detensi permukaan menjadi lebih tebal (lebih dalam) dan aliran air mulai dalam bentuk laminer. Dengan bertambahnya kecepatan aliran, aliran air menjadi turbulen atau arus (deras). Air yang mengalir ini disebut limpasan permukaan. Selama perjalanannya menuju dasar sungai, bagian dari limpasan permukaan disimpan pada depresi permukaan dan disebut cadangan depresi. Akhirnya, limpasan permukaan mencapai saluran sungai dan menambah debit air sungai. Air pada sungai mungkin berevaporasi secara langsung ke atmosfer atau mengalir kembali ke dalam laut dan selanjutnya berevaporasi. Kemudian, air ini nampak kembali pada permukaan bumi sebagai presipitasi. Perlu juga saya jelaskan di sini, bahwa beberapa hal yang ikut mendukung terjadinya sirkulasi hidrolis, yaitu: 1) Evaporasi yaitu suatu proses yang mengubah air dalam wujud cair menjadi air dalam wujud gas (uap). Siklus ini pertama diawali dengan penguapan air di permukaan bumi, baik itu sungai, danau, laut maupun dari permukaan tanah. Dengan adanya bantuan matahari, air di permukaan bumi kemudian menguap. Semakin panas terik di siang hari, semakin banyak pula jumlah penguapan ke angkasa, 2) Transpirasi yaitu penguapan, yang bukan hanya terjadi pada air tanah, tetapi juga penguapan yang terjadi dari jaringan mahkluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan). Selain itu, transpirasi juga mengubah air yang berwujud cair dalam jaringan mahluk hidup menjadi uap air menuju atmosfer. Setelah itu, air berubah menjadi uap melalui proses transpirasi yang sedikit jauh lebih umum dibandingkan jumlah uap air yang dihasilkan melalui proses evaporasi, 3) Kondensasi yaitu perubahan dari uap air men-jadi titik-titik air (pengembunan), akibat terjadinya penurunan salju. Partikel es yang terbentuk ini akan mendekati satu sama lain, sehingga terbentuknya embun atau awan. Apabila semakin banyak partikel yang menyatu, awan tersebut akan semakin tebal dan hitam, 4) Sublimasi yaitu proses naiknya uap air ke atas atmosfer bumi. Saya perlu jelaskan disini, bahwa yang membedakan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



165



antara proses subliminasi dengan evapolorasi adalah, subliminasi yaitu terbentuknya proses perubahan es di kutub atau puncak gunung yang membentuk uap air tanpa terlebih dahulu melalui proses pencairan, 5) Adveksi yaitu awan yang terbentuk dari proses kondensasi. Adveksi adalah proses perpindahan awan dari satu titik ke titik lain dalam satu horizontal akibat arus angin atau perbedaan tekanan udara. Adveksi memungkinkan awan akan menyebar dan berpindah dari atmosfer lautan menuju atmosfer daratan. Perlu diketahui bahwa, tahapan adveksi tidak terjadi pada siklus hidrologi pendek, 6) Run Off (limpasan) yaitu proses terjadinya siklus hidrologi sebagai akibat proses pergerakan air dari tempat tinggi menuju tempat rendah dipermukaan bumi. Proses pergerakan air ini berlangsung melalui saluran air (danau, got, muara, sungai, laut) sampai samudra. Pada tahap inilah air yang mengalami siklus hidrologi akan kembali ke lapisan hidrosfer, 7) Infiltrasi yaitu proses dimana tidak semua air hujan yang terbentuk setelah proses presipitasi akan mengalir di permukaan bumi melalui proses run-off. Sebagian kecil dari air yang jatuh ke bumi akan bergerak ke pori-pori tanah, merembes dan menumpuk menjadi air tanah (mata air). Proses pergerakan air ke dalam pori tanah disebut proses infiltrasi. Proses infiltrasi perlahan akan membawa air tanah kembali ke laut. Untuk lebih jelasnya, lihat gambar berikut:



Masyarakat adat Kajang adalah sekelompok orang yang hidup bersama di dalam suatu kawasan adat yaitu Kajang. Mereka sangat ketat mengawasi kelesatarian hutannya, karena mereka sadar akan fungsi-fungsi hutan, berikut ini: a) Fungsi hidrolis (hydrolics functions) hutan mencakup sistem tata-air hutan dan sirkulasi penguapan air hingga menjadi hujan dan b) Fungsi sosial hutan (social functions) meliputi fungsi hutan sebagai arena sosial dan tempat pelaksanaan ritual-riatual adat. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



166



Sekali lagi saya katakan, bahwa penjelasan berikut ini, saya ingin memperlihatkan kemampuan dan kesadaran ekologis (ecological awarness) yang dimiliki oleh orang Kajang. Keseluruhan kebijakan dan kearifan dalam memperlakukan alam seratus persen bersumber dari sistem pengetahuan lokal (local knowledge) yang mereka miliki. Sistem pengetahuan lokal tersebut bersumber dari Pasang ri Kajang yaitu sebuah pranata sosial berupa pean dari leluhur, yang menjadi satu-satunya palsafah hidup bagi mereka. Pasang tersebut memuat tata-nilai, tata-norma, tata-aturan dan tata-cara perikehidupan berupa hubungan manusia dengan Tuhan Yang Mahapencipta (Tu’ Rie’ A’ra’na). Pasang tersebut juga mengatur hubungan manusia dengan alamnya. Kedua bentuk hubungan dalam prikehidupan manusia tersebut disebut pedoman pannuntungan (pedoman). Kata pannuntungan juga dapat berarti puncak atau ujung atas (ketinggian) mencapai puncak sesuatu. Selain itu, kata pannuntungan dapat berarti ‘pencari’ atau ‘seseorang yang mencari sesuatu dengan mempunyai kemauan keras dan tekad yang bulat didorong keyakinannya untuk mendapatkan sesuatu yang dicarinya’. Arti pannuntungan secara denotatif adalah ‘pedoman atau pandangan hidup’. Jadi, pannuntungan berarti pemberi tuntunan atau petunjuk berupa pengetahuan (pa’ngissangan), yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam berperilaku dan bertindak. Ammatowa (pemimpian adat Kajang) diwajibkan untuk melakukan sosialisasi perencanaan umum (general planning) tentang pelestarian hutan adat kepada seluruh warganya melalui Pasang. Sosialisasi tersebut mencakup peruntukan, penyediaan dan pengelolaan hutan adat secara tepat guna, bijak dan lestari. Hutan adat menurut fungsinya dalam pasang dibagi tiga, yaitu: a) boronga ada’a, b) borong karama’ dan c) borong tattakang. Borong ada’a (hutan adat) tidak bisa dieksploitasi, kecuali hasilnya diperuntukkan untuk adat. Semua bentuk konsesi yang diberikan terhadap hutan adat adalah dibatasi (pohon hanya maksimal 3 batang, rotan hanya maksimal 5 ikat, udang gala maksimal 10 ekor dan sarang lebah hanya satu sarang). Borong karama’a (hutan lindung atau keramat) tidak diizinkan sama sekali untuk melakukan eksploitas, termasuk memasuki kawasan hutan tersebut. Borong tattakkang (hutan rakyat) diberi izin untuk melakukan eksplotasi, tetapi konsesinya tetap harus diawasi oleh dewan adat Kajang. Kearifan ekologis Pasang ri Kajang merupakan salah satu bentuk transformasi pengetahuan lokal (local knowledge) yang diabadikan dalam pasang. Salah satu pesan ekologi yang tertera di dalam pasang, yaitu: Punna nitabbangngi kajua riboronga, angngurangi bosi, appaka anre timbusu’, artinya ’menebang pepohonan di hutan berarti mengurangi hujan dan menghilangkan mata-air. Frasa angngurangi bosi diinspirasi oleh pengalaman ekologis mereka, bahwa daun kayulah yang mendatangkan hujan. Melalui daunIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



167



daun kayu embun-embun atau ion-ion air dilepas ke udara melalui proses transpirasi (lihat gambar di atas) dalam bentuk embun (lani). Kumpulankumpulan air tersebut kemudian menyatu dan membentuk gumpalan air melalui proses presipitasi berupa awan (olong), yang pada suhu tertentu meleleh dan turun menjadi hujan (pahosi). Sedangkan frasa appaka anre timbusu’ diyakini terjadi ketika tidak ada lagi akar-akar kayu (aka’ kajuwa) yang berfungsi sebagai penampungan air. Pengalaman ekologis mereka menunjukkan, bahwa ketika pohon (pokok’ kajua) bernapas (berpotosintesis), sebagian air di dalam batang pohon turun ke akar sebagai kantong-kantong persediaan air. Sisa atau kelebihan stok penyimpanan meresap ke dalam tanah (infiltirasi) dan keluar menjadi sumber mata-air (timbusu’). Larangan di atas kemudian diperkuat dalam pasang, bahwa: Punna nitabbangi kajuwa nipappinrangngangngi, nasaba anggurangi borong, appakanre timbusu ere’, nakuwa turiolowa, artinya ’Penebangan pepohonan dilarang, karena dapat mengurangi hujan dan menghilangkan sumber mata-air, sebagaimana pesan leluhur kita. Inti dari pasang di atas menunjukkan, bahwa ada keterkaitan langsung antara ketidakadaan pohon dengan sistem hidrolis alam semesta ini. Jika, melakukan penebangan berarti mengurangi populasi pohon di dalam hutan, sehingga akar-akar kayu sebagai sumber mata-air juga berkurang. Konsekuensi logisnya menurut pasang adalah debet sumber mata-air yang meresap ke dalam tanah juga mengalami kekurangan. Akibatnya, sungai-sungai (kaloro’) yang mengalir (runoff) dari hutan menjadi kering dan pepohonan akan menjadi layu, karena mengalami dehidrasi. Bahkan, dalam pasang di atas tersirat, bahwa apabila pepohonan tidak ada dapat berdampak pada menurunnya curah hujan, sekaligus mengurangi kemampuan daya tangkap atau serap tanah (infiltirasi) terhadap air hujan. Efeknya adalah meningkatnya suhu atmosfir bumi (global warming), sehingga tidak terjadi pendinginan (kondensasi) alam. Kepekaan ekologis (ecological awareness) orang Kajang sangat berdasar, karena di kawasan adat Kajang Dalam (ilalang embayya) hanya terdapat dua sumur yang mensuplai kebutuhan air bersih layak konsumsi ke seluruh warganya. Dengan demikian, tegakan pohon besar (poko’ kajua) pohon rendah (kaju ca’di-ca’diyya) dan semak belukar (kale’lenga) perlu dijaga ketat kelestariaannya. Tumbuh-tumbuhan tersebut menurut orang Kajang memiliki beberapa fungsi ekologi: 1) daunnya mendatangkan hujan (angngotaki bosiyya), 2) akarnya sebagai pensuplai mata-air (annampungi timbusu’), 3) O2 yang diproduksi melalui potosintesanya dibutuhkan manusia dan 4) daun yang jatuh menjadi humus sangat bermanfaat sebagai media penyerapan air tanah ketika terjadi hujan dan mampu mengendalikan terjadinya banjir. Orang Kajang di dalam pasang melarang keras setiap bentuk pengsurakan hutan, karena hutan menurut pemahaman berupa lingkungan fisik Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



168



juga non fisik. Menurut Koentjaraningrat (2003: 137), bahwa lingkungan fisik (natural environment) yaitu semua keadaan, kondisi dan kekuatan alam sekitar suatu organisme atau suatu kolektif organisme yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah lakunya. Sedangkan lingkungan non-fisik (social environment) adalah semua kekuatan masyarakat, serta berbagai sistem norma sekitar seorang individu atau suatu kolektif manusia, yang mempengaruhi tingkah laku mereka dan interaksi antar mereka. Hutan adat bukan hanya dipandang sebagai pemberi manfaat sosial dan spiritual (social ecology)40 belaka, tetapi lebih dari itu sebagai tiang penyangga kehidupan dalam arti luas (human ecology)41. Mengubah fungsi dan status hutan berarti merusak pula sendi-sendi kehidupan mereka, karena dedaunan dan akarakar kayu diyakini penampungan air hujan juga ikut rusak. Hutan dipercaya sebagai sumber kehidupan, sehingga ketika menebang pohon berarti mematikan sumber kehidupan dan mengganggu musim (Media Kareba, 2001). Lingkungan fisik yang dipahami mereka adalah hutan yang ditumbuhi oleh kompilasi antara tumbuhan (pohon tinggi, pohon rendah, semak belukar, rotan, tumbuhan merambat, melilit, memanjat dan rumput-rumputan dan ekosistem satwa dan binatang (rusa, kera, babi hutan, kucing hutan, ayam hutan, udang gala, burung elang, kelelawar, serangga, lebah hutan dan sebagainya sebagai pendukung habitat hutan (forest ecology). Orang Kajang, baik melalui kepekaan naluri lingkungannya maupun proses adaptasi mereka terhadap lingkungannya (environmental adaptations), secara turun temurun telah melakukan gerakan konservasi secara sukarela dan bijaksana (wisdom of nature atau environmental). Pranata-pranata sosial mereka, baik langsung maupun tidak, selalu dikaitkan dengan masalah kehutanan, khususnya konservasi sumberdaya alam. Seorang warga, misalnya, yang memperoleh izin penebangan (legal logging) dari dewan adat Kajang di dalam hutan produksi terbatas (borong tattakkang) diharuskan menanam sekurang-kurangnya 3 pohon yang sama dengan jenis pohon yang ditebangnya (previnance). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kepunahan spesies kayu di hutan adat Tanatowa. Menurut Aliardi (2001: 3) masyarakat yang memiliki pengetahuan lokal tentang konservasi, baik genetik, spesies atau jenis maupun ekosistem mempunyai kapasitas untuk melaksanakan strategi konservasi, berupa: 1) 40



41



Ekologi sosial (social ecology) menurut Koentjaraningrat (2003: 49) ekologi sosial adalah ilmu yang mempelajari penduduk dengan lingkungan alamnya, teknologinya, dan masyarakat manusianya. Ekologi manusia (human ecology) menurut Koentjaraningrat (2003: 49) adalah ilmu yang mempelajari proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya sejak 1,5 juta tahun yang lalu, yaitu sepanjang sejarah kehidupan homonimid.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



169



perlindungan sistem penyangga kehidupan, 2) pengawetan keanekaragaman hayati dan 3) pelestarian pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini jelas tertera di dalam pasang: bahwa ada aturan penebangan yang berlaku di hutan tebangan (borong tattakkang) yaitu tidak boleh menebang secara berlebihan. Jika menebang sebatang pohon kayu kecil sekalipun wajib hukumnya diganti satu dua pohon atau lebih. Karena hutan itu sama halnya dengan kehidupan manusia harus ada regenerasi. Pasang di atas menggambarkan, bahwa regulasi konservasi tumbuhan dalam hutan harus tetap dijaga kelangsungannya. Bahkan, hutan diibaratkan sama dengan kehidupan manusia, dimana harus ada pergantian atau regenerasi untuk menghindari kepunahan spesies. Menurut mereka, bahwa untuk mengganti pohon yang tumbuh di dalam hutan membutuhkan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan waktu ketika menebangnya. Dengan demikian, dalam pasang di atas diberi batasan, bahwa sebaikanya jangan dilakukan penebangan secara berlebihan. Tidak mengherankan pula bila aturan penebangan kayu bagi orang Kajang diatur sedemikian ketatnya. Setiap orang yang membutuhkan sebatang atau dua batang kayu bermohon kepada Ammatowa dengan prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan secara adat. Pemohon sebelumnya harus mengajukan permohonan secara lisan kepada penjaga khusus hutan (forest kipper). Pemohon bersama dengan jagawana memasuki hutan untuk memastikan jenis dan jumlah tegakan kayu yang dipohon. Bila yang dibutuhkan tiang rumah, jenis kayu yang dipilih adalah kayu Na’nasa (bitti) dan sulur yang dipilih adalah kayu Balatung (rambutan hutan), Ara’ (nyato) dan sebagainya. Penelitian lebih lanjut dilakukan berdasarkan fungsi dan posisi tiang rumah yang dibutuhkannya. Bila yang dibutuhkan tiang pusar (benteng tangnga), kayu yang dipilih adalah lurus, umurnya cukup tua, dapat membentuk sudut delapan dan tidak mempunyai mata hidup atau busuk. Jenis kayu-kayu seperti ini disebut (kaju ganna’ suka’na). Penelitian selanjutnya adalah berbagai dampak yang ditimbulkan dalam proses penebangan kayu tersebut. Kayu yang dipilih adalah tegakan yang berada di sekitar tegakan-tegakan kayu besar atau di celah hutan berupa semak-semak. Arah mata angin juga turut diperhitungkan mereka untuk menjaga, agar pohon yang ada di sekitar tidak tertimpa akibat penebangan. Bila musim timo’ (musim Timur) sangat diyakini kayu tebangan akan jatuh ke Barat, sehingga resiko kerusakan di sebelah barat tegakan harus diperhitungkan. Selain itu, waktu yang tepat untuk melakukan penebangan adalah musim Timo’ (kemarau) atau setelah musim panen, agar ekosistem serangga, khususnya lebah madu (apiscerana), tidak terganggu. Hal ini disebutkan dalam Pasang, bahwa sebaiknya penebangan dilakukan pada Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



170



saat kemarau, ketika panen sudah dilakukan. Lebah itulah yang melakukan perkawinan silang bagi tetumbuhan. Baik pula jika engkau menebang pohon yang kurang anakan kayu di sebelah Baratnya, karena dikhwatirkan akan tertimpa bila penebangan kayu dilakukan pada waktu kemarau (angin berhenbus dari arah Timur. Jarak tegakan yang akan ditebang dengan sumber mata-air (sumur batu dan kali-kali kecil) juga perlu dipertimbangkan. Tegakan pohon berjarak kurang dari sipaddempakkang (satu kali jangkauan lemparan orang dewasa) 15 meter tidak boleh ditebang, karena dianggap sebagai kawasan penyangga Daerah Aliran Sungai (DAS). Permohonan yang lolos seleksi dilanjutkan ke pertemuan adat (abborong ada’a). Galla Puto dalam pertemuan adat seperti ini bertindak selaku tokoh sentral didampingi oleh Lombo Ada’ (pembantu Ammatowa). Ia bertindak selaku Pa’ranrang Bicarayya (hakim ketua) untuk memutuskan diterima atau tidaknya pemohon tersebut berdasarkan ada’ tanayya (hukum adat tentang peruntukan hutan). Pemohon yang dikabulkan permohonan konseninya harus berkonsultasi dengan penjaga hutan dimana tegakan pohon tersebut berada. Ia kemudian mengumpulkan para handai tolan dan kerabatnya untuk membagi tugas dalam penebangan pohon tersebut, mulai dari penebangan, pengolahan dan pengangkutan dari dalam hutan 42. Sebelum memasuki hutan rombongan penebang terlebih dahulu melakukan A’nganro (permohonan doa restu) kepada Ammatowa. Pada saat seperti ini, Ammatowa didampingi dewan adatnya memberi wejangan dan nasehat kepada pemohon dan rombongannya, agar sedapat mungkin menghindari pengrusakan hutan. Saya kembali ke pembahasan tentang fungsi pasang sebagai pedoman tentang Fungsi Hidrolis Hutan. Pemahaman seperti ini jelas di dalam pasang, brerikut ini hutanlah yang mampu mendatangkan hujan, sebab di kawasan adat Kajang tidak ada pengairan atau irigasi teknis. Dengan demikian, hutanlah yang mampu berfungsi selaku pengairan, karena hanya hutan pula yang dapat mendatangkan hujan. Pasang di atas menggambarkan, hutan mempunyai ke-mampuan untuk mendatangkan hujan. Oleh karena itu, tidak mengheran-kan bila hutan dipersonifikasi sebagai sesuatu yang bisa 42



Menurut Butong (hasil wawancara), bahwa kayu yang sudah ditebang tidak dibenarkan diolah di dalam hutan. Kayu-kayu tersebut harus diangkut keluar dari kawasan hutan dan diolah di pinggir hutan atau jalan. Ini berkaitan erat dengan kemungkinan timbulnya pembalakan liar (illegal logging) dengan menebang tegakan pohon melebihi konsensi. Hal serupa juga dilakukan oleh masyarakat adat Karampuang melalui prosesi Maddui’ yaitu menarik kayu dari dalam hutan adat untuk mengganti ramuan rumah adat yang sudah lapuk. Selain itu, bentuk pengolahan seperti ini juga dimaksudkan, agar ekosistem hutan tidak mengalami gangguan dari para pekerja di dalam hutan.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



171



mengontak hujan. Hutan disejajarkan dengan manusia yang mampu memanggil dan mendatangkan hujan. Dengan demikian, menurut mereka ketidakadaan hutan (deforestation) dapat pula menyebabkan ketidakadaan hujan. Hutan tidak ada berarti tidak ada hujan dan tidak ada hujan berarti tidak ada pula mata-air yang mengalir ke dalam sungai. Penggunaan kata anggontaki (mengontak) di sini dikaitkan dengan pengalaman ekologis selama berinteraksi dengan hutan di sekitar mereka. Mereka memahami betul sirkulasi hidrolis terjadinya hujan. Menurut mereka ketika suhu udara meningkat berarti tanah sedang melakukan pernapasan (annapassaki buttayya) atau evapotranspirasi. Peningkatan suhu tersebut mengakibatkan terjadinya penguapan air tanah (assauki buttayya) menjadi kantong-kantong embun (lani) dipagi hari. Kantong-kantong embun tersebut akan mengalami evaporasi ke atmosfir dan membentuk kumpulan awan pekat (olong). Pada suhu tertentu awan tersebut akan meleleh dan jatuh menjadi hujan (presitipasi). Hujan yang turun sebagian ditangkap oleh tumbuhan dan sebagian pula langsung meresap ke dalam tanah. Sumber air resapan tersebut mengalir (runoff) sebagai sumber mataair melalui sungai yang mengalir ke tempat lebih rendah. Air tersebut kembali menguap (evaporasi) ke udara dan menjadi embun, awan dan kembali menjadi hujan. Mereka juga sangat yakin, bahwa pohon melakukan pernapasan pada malam hari (annappasaki kajuwa). Menurut Soerjani (2003: 37-38), bahwa sirkulasi O2 dan CO2 umumnya melalui potosintesis tumbuhan. Tumbuhan dalam potosintesisnya mengisap CO2 dari udara dan melepaskannya kembali menjadi unsur-unsur O2. Demikian pula dengan pendapat Soemarwoto (1985: 235), bahwa CO2 merupakan bahan pokok tumbuhan untuk potosisntesisnya. Gas CO2 ditambah dengan unsur H2O terbentuk melalui proses potosisntesis tumbuhan menghasilkan unsur O2 yang dibutuhkan manusia dalam melakukan pernapasannya. Jadi, alam --- dalam hal ini tumbuhan hijau --- telah memungkinkan udara dengan mengolah CO2 menjadi O2 yang di butuhkan mahluk hidup. Daun-daun kayulah yang mengisap kembali embun-embun atau gumpalan-gumpalan partikel air yang sudah terlepas ke udara menjadi hujan. Pohon ketika melakukan potosintesis, menurut persepsi mereka, mengisap udara dan kemudian melepaskannya kembali, seperti halnya ketika manusia melakukan pernapasan. Hal ini mereka buktikan ketika tumbuhan di sekitar tempat tinggal mereka mengeluarkan ion-ion air yang membentuk embun malam di malam hari. Selain fungsi ekologis (ecological functions), hutan dalam sistem kepercayaan orang Kajang juga memiliki fungsi-fungsi sosial-budaya (sociocultural functions). Fungsi yang dimaksud adalah sebagai arena sosial, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



172



seperti; tempat pelaksanaan ritual adat dan manfaat sosial dan budaya lainnya. Salah satu dampak sosial yang paling nyata adalah kekompakan orang Kajang dalam mempertahankan kelestarian hutan dan ekosistemnya. Menurut Rasyid (2002: 124-136), lestarinya hutan adat Tanatowa tidak terlepas dari keberhasilan sosialisasi program memasyarakatkan hutan keramat sebagai hutan yang harus dilindungi dan dikonservasi melalui pengajaran informal Pasang ri Kajang secara turun termurun. Sosialisasi pengajaran informal Pasang di wilayah adat dilakukan secara berjenjang sejak masa balita melalui larangan untuk tidak mendekati hutan. Untuk memperkuat larangan tersebut orang tua biasanya menakutnakuti anaknya, bahwa di dalam hutan terdapat mahluk halus bernama I Boek atau Nene’ Pakande. Mahluk tersebut sering menyembunyikan anakanak di hutan. Pada usia penggembala (berumur 5 s.d. 7 tahun) anak-anak diwanti-wanti, agar tidak membawa ternaknya merumput di dalam hutan keramat. Larangan ini juga mencakup pengambilan kayu atau rotan sebagai cambuk ternaknya. Pelanggaran tersebut dapat berupa Bala (mala petaka), bahkan kadang-kadang berujung pada kematian. Pengajaran isi pasang, termasuk tataruang dan fungsi-fungsi hutan adat secara umum diajarkan ketika seorang anak berumur 10 s.d. 15. Mereka umumnya dianjurkan untuk mempelajari pasang secara mendalam melalui sosialisasi dan internalisasi, baik di rumah tangganya sendiri maupun interkasi dengan orang Kajang lainnya. Setiap zona hutan menurut pandangan orang Kajang mempunyai keistimewaan tersendiri, serta sarat dengan nilai sejarah dan nilai-nilai sosial. Hutan Tanatowa I (Borong Iraja), misalnya, diyakini sebagai pusat dan awal penciptaan bumi oleh TRA (Tuhan Yang Mahaesa). Penghuni pertama tempat ini adalah Ammatowa I (Bohe Tomme) yang turun dari langit. Oleh karena itu, tempat ini sering disebut Borong Iraja atau Pa’rasangang Iraja (perkampungan sebelah Barat). Lokasi ini terletak di kawasan hutan Tupalo di dusun Balangbina Desa Tanatowa, sekitar 600 meter dari pusat pemerintahan adat Benteng. Di kawasan Borong Iraja terdapat hutan Parukku (tempat suci) yang disejajarkan dengan tanah suci Makkah (Mekah al-Mukarramah). Selain itu, di tempat ini juga terdapat Pa'kombengang Doanga yaitu tempat penangkapan kepiting dan udang untuk upacara adat Appanganro dan upacara adat lainnya. Pa’lengkerang Uhea yaitu tempat pengambilan rotan untuk pengikat pembuatan baruga adat juga terapat di kawasan hutan ini. Di kawasan hutan Tanatowa I dijumpai banyak anak sungai mengalir ke sungai-sungai utama untuk mengairi persawahan orang Kajang. Di dalam kawasan hutan tersebut juga dijumpai beraneka ragam satwa liar (rusa, babi hutan, kera, kucing hutan, ular dan sebagainya) dan flora (kayu Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



173



bitti, rotan, rambutan hutan, kedao, enau, saingon hutan, kesambi, pudek, angsana, kenari, kalumpang, pulai, putat, kapok hutan, asam karanji, johar, pohon beringin, ketapang, pohon damar, cempaka, kayu kertas dan sebagainya). Hutan Tanatowa II, III dan IV sering disebut Borong Ilau yaitu hutan yang terletak di sebelah Timur dusun Benteng. Kawasan hutan ini meliputi Borong Karanjang (Tanatowa II), Borong Tombolo (Tanatowa III) dan Borong Tode (Tanatowa IV). Hutan Keranjang dijadikan sebagai tempat upacara pemilihan dan pelantikan calon Ammatowa ri Kajang. Hutan ini sangat dikeramatkan, karena dianggap tempat tinggal roh nenek moyang orang Kajang, termasuk TRA. Menurut Ammatowa hutan Tombolo merupakan tempat suci bagi orang Kajang, karena sering dikunjungi setelah melakukan pesta hajatan, terutama Akkattere’. Mereka menganggap tempat ini sama dengan tanah Suci Mekah dan Medina untuk melakukan ziarah ke makam salah seorang leluhur mereka. Prosesi ziarah dilakukan mirip ketika calon jema’ah haji melakukan ziarah ke makam Nabiullah Muhammad S.A.W.. di tanah Suci Madina alMunawwarah. Hutan Tode yang luasnya diperkirakan 2 Ha dipercaya sebagai penyeimbang bumi (patambanna linowa). Morfologi hutan ini lebih padat dibanding dengan hutan adat lainnya (Tanatowa I, II dan III). Hutan ini memilki pesona flora dan fauna yang mengagumkan, karena terdapat pohon besar dengan ketinggian ratusan meter dan berdiameter ± 2.5 meter. Di dalam hutan ini juga terdapat tegakan rotan yang panjang dan berdiameter ± 40 cm. Itulah sebabnya, hutan ini disebut sebagai penyeimbang dunia (pattambanna linowa), karena pohon-pohon besar diikat lilitan rotan besar dan panjang. Penggunaan kata penyeimbang (pattambang) di sini diasosiasikan dengan berat volume isi hutan tode mencapai jutaan ton. Mereka khawatir bila hutan ini dirusak bola dunia akan mengalami ketidakseimbangan dan berujung pada pecahnya planet dunia tempat kita hidup saat ini. Beberapa ahli budaya meminjam istilah ekologi yaitu ekosistem 43, yang baru saja saya jelaskan di atas. Sebuah ekosistem terdiri atas lingkungan 43



Pengertian ekosistem menurut Zoer'aini Djamal Irwan (2003: 75) yaitu interaksi dan saling pengaruh mempengarui antara mahluk hidup dan tidak hidup di dalam suatu lingkungan. Menurut Soerjani (2006: 67), bahwa ada empat tingkatan ekosistem yang harus dijaga untuk kelangsungan hidup di bumi ini, yaitu: 1) Atmosfer yaitu ruang angkasa berisi ozon yang menjaga sinar ultra violet matahari yang berbahaya bagi kehidupan ekosistem di dunia, 2) ekosfer adalah alam jagad berupa bumi tempat manusia dan mahluk bidup darat lainnya melangsungkan kehidupannya, 3) Hidrosfe yaitu dunia kehidupan di dalam air tawar dan laut dan 4) Litosfer yaitu kehidupan di dalam tanah dan lapisan pada bumi.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



174



fisik berikut organisme-organisme yang hidup di dalamnya. Sistemnya akan terpelihara oleh kegiatan organisme itu sendiri dan oleh proses-proses fisik seperti erosi dan penguapan (evaporasi). Para ahli ekologi manusia pada umumnya mencurahkan perhatiannya pada mikro-studi yang terinci dari ekosistem manusia tertentu. Mereka menekankan, bahwa semua aspek kebudayaan manusia harus diperhatikan dan tidak hanya terbatas pada aspek-aspek teknik yang tampak saja. Sikap orang Tsembaga terhadap peningkatan populasi babi dan lingkaran upacaranya memiliki fungsi ekonomi yang penting. Kita melihatnya seperti itu, tetapi orang Tsembaga mungkin tidak. Motivasi mereka untuk memiliki dan memelihara babi berasal dari sistem kepercayaan mereka tentang kekuasaan dan kebutuhan arwah leluhur mereka. Meskipun babi dimakan oleh orang yang hidup, tetapi babi disajikan untuk leluhur mereka. Kasus yang mirip (sudah dijelaskan di atas) dapat ditemukan ketika orang Tator melaksanakan pesta adat rambu solo (pesta kematian) yang bagi orang luar --- yang menggunakan kacamata ekonomi --- menganggapnya sebagai suatu bentuk kemubasiran saja. Betapa tidak, karena pesta yang dilakukan oleh keluarga Tator yang biasanya mampu memotong puluhan kerbau dan ratusan ekor babi. Satu ekor tedong bonga (kerbau belang) harganya bisa mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Akan tetapi, pemikiran orang Tator yang melakukan pesta adat tersebut bukan pada segi ekonomi, tetapi lebih kearah penghargaan kepada keluarga dan luluhur mereka. Kasus yang sama juga dapat dilihat ketika hari raya Idul Adha tiba, dimana semua umat Islam yang dewasa dan mampu diwajibkan melakuka qurban untuk menyimbolkan pengorbanan nabi Ibrahim AS terhadap anaknya yang bernama Ismail. Harga sapi yang mereka potong tidak menjadi beban ekonomi, karena hal itu dianggap sebagai suatu kewajiban untuk memenuhi nilai-nilai spiritual yang terkandung pada saat hari raya Idul Adha tiba. b. Adaptasi Lingkungan Adaptasi harus juga dipahami dari sudut pandangan historis. Agar dapat menjadi serasi dengan ekosistem, organisme harus mempunyai kemampuan yang potensial untuk menyesuaikan diri atau menjadi bagian dari ekosistem yang ada sebagai pendukungnya. Orang-orang Comanche, yang sejarahnya merupakan sebuah suku yang berasal dari daerah Idaho Selatan, yang gundul dan kering dapat dijadikan contoh dalam menjelaskan adaptasi evolusioner ini. Di daerah asalnya, mereka hidup dari tanaman liar, binatang buruan kecil dan kadang-kadang binatang besar. Peralatan hidup mereka tergolong masih sangat sederhana dan terbatas pada barangbarang yang dapat diangkut oleh para wanitanya. Kelompok mereka relatif



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



175



kecil dan kekuasaan sosial dipegang oleh seorang Shaman44, yang merupakan kombinasi dari dukun dan penasihat spiritual mereka. Pada suatu saat dalam hidup pengembaraannya, orang-orang Comanche sampai di Great Plains, tempat bison melimpah rua dan potensial. Kebiasaan orang Indian sebagai pemburu yang ulung dapat tersalurkan sepenuhnya di sana. Oleh, karena persediaan pangan yang baru itu dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang lebih besar, maka mereka memilih menetap di sana. Dari sanalah timbul kebutuhan akan organisasi politik yang lebih kompleks pula, untuk mengatur tata kehidupan kelompok mereka. Dengan demikian, berburu merupakan sarana untuk memperoleh kekuasaan politik. Akhirnya orang Comanche memperoleh kuda dan senapan dari orang kulit putih, sehingga dapat lebih meningkatkan kemampuan berburu mereka. Akibatnya, kepala suku dari masyarakat pemburu tersebut menjadi penguasa penuh. Orang Comanche akhirnya menjadi perampok untuk memperoleh seekor kuda, karena mereka sendiri tidak terampil dalam berternak kuda. Panglima suku Comanche yang pada awalnya sebagai pemimpin dalam berburu berubah menjadi panglima perang dalam melakukan aksi kebejatannya. Mereka yang sebelumnya adalah pemburuperamu (hunter and gathering) yang miskin dan cinta damai di Great Basin, tiba-tiba berubah drastis menjadi perampok yang kaya raya dan kejam. Mereka menguasai daerah Barat Daya mulai dari perbatasan New Spain (Meksiko) di Selatan sampai di Perancis Baru (Louisiana), serta wilayah Amerika Serikat yang baru di sebelah Timur dan Utara. Dalam perpindahan dari lingkungan yang satu ke lingkungan yang lain dan dalam mengembangkan cara hidup yang satu menjadi cara yang lain, orang Comanche memanfaatkan sebaik-baiknya potensi yang mereka miliki untuk berkembang atau setidak-tidaknya menjadi potensi untuk pra-adaptasi kultural mereka. Banyak masyarakat yang berbeda berkembang, baik secara independen maupun tidak secara independen. Kelompok lain, misalnya, yang memasuki wilayah Great Plains dan mampu memperoleh bentuk kebudayaan Plains Indian, yang dalam banyak hal sama dengan kebudayaan Comanche, yang asal-usulnya orang Cheyenne. Akan tetapi, latar belakang kebudayaan mereka sangat berbeda. Sebelumnya, mereka adalah petani yang menetap, dengan lembaga sosial, politik dan keagamaan yang sangat berbeda dengan orang Comanche. Pertumbuhan adaptasi kultural yang sama terhadap kondisi lingkungan yang sama oleh bangsa-bangsa dengan 44



Shaman (Keesing, 1981: 293) adalah seseorang dalam masyarakat tribal yang dianggap memiki kemampuan khusus untuk berhubungan dengan mahluk atau kekuasaan supernatural, yang melakukannya untuk orang lain.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



176



latar belakang kebudayaan yang sangat berlainan disebut sebagai evolusi konvergen (covergen evolution)45. Evolusi konvergen tersebut mempunyai gejala dan karakteristik yang sama dengan evolusi paralel (parallel evolution)46. Perbedaannya hanya terletak pada asumsi, bahwa adaptasi yang sama tersebut dicapai oleh bangsa-bangsa dengan latar belakang kebudayaan yang agak sama. Lahirnya peradaban besar di daerah-daerah yang begitu terpencar seperti Cina, Mesopotania Barat Laut dan sebagian besar Peru dimungkinkan, karena secara independen terjadi penemuan pertanian irigasi di semua daerah tersebut. Masalah-masalah yang berhubungan dengan penerapan pertanian irigasi dalam usaha mata pencaharian di lingkungan yang memiliki sungai --- yaitu masalah tenaga kerja dan distribusi --- memainkan peranan penting dalam pengembangan sejumlah penemuan paralel di dalam semua masyarakat tersebut. C. M Perubahan Kebudayaan Proses dalam sebuah perubahan kebudayaan dapat berjalan lamban (memakan waktu lama) atau cepat (hanya memakan waktu yang relatif singkat). Proses-proses atau mekanisme yang terlibat dalam perubahan kebudayaan itu adalah penemuan baru (inventtion), difusi (diffusion), hilangnya unsur kebudayaan (deculturation) dan akulturasi (acculturation). Menurut Sugeng (2006: 258), bahwa semua kebudayaan suatu saat akan melakukan perubahan, karena adanya perubahan lingkungan yang menuntut perubahan secara adaptif pula. Perubahan tersebut dapat terjadi secara kebetulan (casually changes), direncanakan (programmed change) atau karena adanya kontak (cultural contacts) dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Dengan demikian, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa perubahan suatu kebudayaan dapat berasal dari dalam diri masyarakat (inner change) atau dari luar (external change) masyarakatnya. Selain itu, penentuan perubahan kebudayaan berdasarkan sumber-sumber perubahan (source of change), perubahan juga dapat dibedakan berdasarkan aspek waktu. Artinya, selain perubahan kebudayaan yang berlangsung lamban, juga terjadi perubahan kebudayaan yang sangat cepat. Per1u juga saya jelaskan di sini, bahwa dalam rangka perubahan kebudayaan, baik lambat



45



46



Evolusi konvergen Evolusi konvergen adalah munculnya individu dengan bentuk morfologi yang mirip walaupun berasal dari garis keturunan yang berbeda. Evolusi paralel atau divergen adalah munculnya individu yang memiliki bentuk morfologi berbeda walaupun berasal dari garis keturunan yang sama. Evolusi paralel juga dapat diartikan sebagai kelangsungan terdapatnya perbedaan mantap dalam evolusi ciri antara dua garis filogeni yang tidak berkerabat dan pemerolehan secara terpisah sifat ciri turunan berasal dari leluhur bersama oleh dua atau lebih keturunan.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



177



maupun cepat, dapat mengakibatkan hilangnya unsur-unsur kebudayaan (deculturation). Perubahan suatu kebudayaan yang melalui rangkaian sebuah proses cukup panjang dan lama yang disebut evolusi sosial (social evolutions)47. Menurut Parsons (1966) struktur setiap masyarakat adalah hasil sejarah dari siklus perubahan yang berulang, tetapi cukup progresif. Siklus yang dimaksudkan di sini tidak berarti, bahwa semua masyarakat yang mengalami perubahan seragam sifatnya antara satu kebudayaan dengan yang lainnya. Akan tetapi, setiap kebudayaan mempunyai jalur transformasi tersendiri. Siklus tersebut harus dilakukan melingkar dan berulangkali, sehingga menampakkan perbedaan yang jelas antara kebudayaan yang kurang maju (primitive) dan kebudayaan yang berkembang (modern atau advanced). Menurut Sugeng (2006: 259) siklus-siklus proses perubahan kebudayaan dapat dibedakan menjadi empat fase, yaitu: 1) Diferensiasi yaitu pembagian struktur kolektivitas atau kelompok menjadi dua proses yang saling bertentangan (binary). Ketika terjadi evolusi industri di negara-negara Eropa, misalnya, terjadi perbedaan yang begitu menyolok antara industri rumah tangga (home industries) yang dianggap sangat sederhana dengan industri dengan sistem mekanisasi (mechanical industries) yang dianggap maju dan efisien. Demikian pula masyarakat yang terlibat dalam industri ketika itu juga terbagi menjadi masyarakat industri skala keci1 yang identik dengan industri rumah tangga yang kurang profesional dan tidak memiliki modal (capital) yang memadai. Sedangkan masyarakat industri maju (mechanical atau advanced industries) dianggap profesional, memiliki banyak modal dan menggunakan alat-alat produksi (means of production) yang cukup mutakhir, sehingga sangat efisien dalam pelaksanaannya. Max Weber dalam bukunya berjudul Erika Protestan (1958) melihat kedua bentuk diferensiasi tersebut sangat menyolok dalam rangka revolusi industri di Inggris, dimana golongan yang kurang dalam segala hal akan menjadi klien atau kaum pekerja (proletar), sedangkan golongan masyarakat yang mapan cenderung menjadi patron atau penguasa dalam segala hal (borjois), 2) Perbaikan adaptif yaitu masyarakat menjalankan kontrol yang lebih besar atas lingkungannya, karena setiap kolektivitas dapat berfungsi lebih baik melalui spesialisasinya daripada melalui diferensiasi di atas. Sistem industri memindahkan sistem domistikasi produksi yang terfokus di dalam rumah tangga menjadi sistem industri pabrikasi, yang dianggap lebih efesien dan mampu memberikan kemaslahatan kepada semua orang, 3) Integrasi yaitu adanya penyatuan 47



Perubahan sosial (Social evolution) adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuanpenemuan baru dalam masyarakat.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



178



industri rumah tangga dengan industri pabrikasi. Sebagai contoh, kontrak kerja yang diberikan kepada seseorang yang memaksanya untuk bekerja di pabrik, sehingga ia mendapat upah dari pabrik untuk membeli suatu produk yang dihasilkan oleh pabrik, termasuk produk yang ia buat sendiri di pabrik tempat ia bekerja. Dengan demikian, upah dapat berfungsi sebagai integrator dari hubungannya dengan tempat ia bekerja, 4) Generalisasi nilai yaitu mekanisme proses kebudayaan dalam bentuk siklus dapat terjadi karena adanya penemuan baru, difusi kebudayaan, hilangnya unsur kebudayaan dan terjadinya proses akulturasi. Nilai di sini identik dengan konsepsi Durkheim tentang solidaritas organik (organic solidarities) berupa rasa bersatu antara warga komunitas berdasarkan kekeluargaan yang sering dikuatkan oleh agama (Koentjaraningrat, 2003: 221). Nilai-nilai tersebut diterapkan kepada kolektivitas baru, yang ditafsirkan sebagai spesifikasi dari nilai-nilai yang sudah ada. Oleh sebab itu, nilai-nilai tersebut dibuat lebih abstrak dan umum. Selain melalui siklus tersebut di atas, mekanisme atau proses perubahan kebudayaan dapat terjadi karena adanya penemuan baru (new inentions), difusi kebudayaan (cultural difusion), hilangnya unsur kebudayaan (deculturation) dan terjadinya proses akulturasi (aculturation), seperti yang akan saya jelaskan berikut ini: 1. Penemuan Baru (inventions) Istilah penemuan baru (invention) mengacu pada penemuan cara kerja, alat, atau prinsip baru oleh seorang individu, yang kemudian diterima (conventional) oleh orang-orang lain, sehingga hal tersebut menjadi milik bersama masyarakat (Haviland, 1988: 253). Istilah penemuan (baru), pada prinsipnya, dapat dibagi menjadi dua ketegori, yaitu: penemuan primer (primary invention) dan penemuan sekunder (seondary invention). Penemuan primer adalah penemuan yang biasanya diperoleh secara kebetulan dan baru pertama kalinya, sedangkan penemuan sekunder (innovation) adalah proses perbaikan dengan menerapkan prinsip-prinsip yang sudah diketahui melalui pengalaman. Penemuan primer lebih asli sifatnya, karena langsung dari sumbernya. Sedangkan penemuan sekunder cenderung mangalami perubahan, perbaikan dan penyesuaian dengan lingkungannya, sehingga keasliannya tidak terjamin lagi. Penemuan sekunder sering juga disebut sebagai inovasi (inovation) Sebagai contoh penemuan alat penetak (kapak bermata satu di beberapa suku Papua) pada zaman batu, yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi alat-alat pemotong yang terbuat dari bahan lainnya, seperti tulang binatang dan besi. Penyempurnaan bentuk dan fungsinya dilakukan berdasarkan kebutuhan masyarakat pemakainya. Contoh lain, adalah penemuan proses pembakaran tanah liat dari lembek menjadi keras dan seterusnya. Sangat memungkinkan, bahwa pada zaman dahulu kala pernah terjadi pembakaran tanah liat secara tidak disengaja, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



179



yang digunakan sebagai wadah untuk memasak sesuatu. Perlu saya jelaskan di sini, bahwa tidak semua kejadian secara kebetulan itu dapat dianggap sebagai suatu penemuan (invention), selama penemunya tidak mengetahui manfaat atau fungsi dari penemuannya tersebut. Kira-kira 25.000 tahun yang lalu, orang menemukan adanya penerapan sistem pembakaran tanah liat yang dilakukan oleh manusia purba, karena beberapa artefak patungpatung kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar, dapat ditemukan. Akan tetapi, apakah penemuan yang sama dapat terjadi di beberapa tempat, seperti di Timur Tengah. Jawabannya adalah tidak, karena penggunaan wadah seperti itu belum mengakar di sana. Nanti sekitar tahun 7.000 dan tahun 6.500 sebe1um masehi, barulah penerapan pembakaran tanah liat di Timur Tengah mulai dikenal melalui pembuatan wadah-wadah dan bejana memasak yang tebuat dari tanah liat --- yang murah, awet dan mudah dibuat --- ditemukan. Sebuah penemuan, seperti halnya dengan alat penetak dan tembikar di atas dapat berubah dari penemuan primer menjadi sekunder. Banyak bukti (arkeologi) yang dapat ditemukan dari perubahan bentuk penggunaan tanah liat menjadi bentuk kentongan untuk menyimpan air, kendi untuk menyimpan air minum, belanga untuk memasak, piring tanah untuk makan, tungku tanah untuk memasak dan sebagainya, yang mengalami perubahan bentuk sesuai dengan fungsinya. Kegiatan pembuatan grabah di Banyumulek di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), misalnya, merupakan salah satu bukti riel perubahan tersebut. Kendi atau kentongan yang dulunya difungsikan sebagai alat memasak atau wadah penyimpanan air, ·saat ini dijadikan sebagai cendera mata khas Lombok dengan sentuhansentuhan seni asesorisnya. Kendi atau kentongan tersebut dibungkus dengan menggunakan anyaman rotan kecil atau kadang-kadang diukir dan dibuat menyerupai guci yang berasal dari negeri cina. Selain perubahan bentuk dan fungsi di atas, perubahan dan efesiensi proses pembuatannya pun juga ikut terjadi. Harang tembikar, misalnya, yang dibuat oleh masyarakat purba dengan menggunakan tangan dan/atau alat sederhana lainnya, sejalan dengan perkembangan waktu mengalami perubahan yaitu dengan menggunakan alat-alat tepat guna. Para pengrajin gerabah waktu lampau melakukan pekerjaannya dengan mengadukaduk atau menginjak-injak tanah liat untuk membuat adonan, saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengaduk yang menggunakan mesin atau dinamo pemutar. Para pengrajin tembikar pada waktu silam membuat tembikarnya dengan tanpa wadah dan harus berputar dari salah satu sisi ke sisi lain, ketika membuat tembikarnya. Kini dapat dilakukan dengan menggunakan sebuah meja putar, sehingga pembuatnya tidak perlu lagi mengelilingi tembikar buatannya. Perlu juga saya kemukakan di sini, bahwa Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



180



tidak tertutup kemungkinan proses perubahan dari penemuan primer ke penemuan sekunder dapat menimbulkan penemuan baru lainnya. Pembuatan tungku pembakaran tanah liat di Timur Tengah, misalnya, yang juga diterapkan ke dalam proses-proses lainnya, seperti pembakaran batu cadas menjadi kapur, peleburan biji tambang (iron ore) menjadi lempengan logam (pig iron) dan lain sebagainya, merupakan salah satu bukti penemuan lain tersebut. Ketika, missalnya, pembakaran tanah liat di Timur Tengah manusia dikagetkan oleh temuan baru berupa kapur atau biji logam, maka ia berusaha membuat percobaan-percobaan khusus dengan membakar batu cadas dan tanah tambang yang dianggap mengandung logam. Penemuan primer dapat mengakibatkan perubahan kebudayaan yang cepat dan merangsang penemuan-penemuan lain, seperti tergambar dalam contoh di atas. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat dinamis kebudayaan, yang memungkinkan terjadinya penemuan-penemuan. Darwin, misalnya, dengan teori evolusinya menemukan sebuah bukti, bahwa manusia itu dalam perkembangan evolusi fisiknya berasal dari kera. Temuan ini akhirnya menjadi kontrovesial hingga saat ini, karena temuan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai, pola kebutuhan dan tujuan-tujuan masyarakat. Oleh karena itu, tidak salah apabila Benedict (1934) mengatakan, bahwa peluang penemuan untuk diterima (oleh masyarakat) sangat kecil, kalau penemuan tersebut tidak berhasil menyesuaikan diri dengan pola kebutuhan, nilai dan tujuan-tujuan yang sudah mapan di dalam masyarakat. Faktor lain yang dapat menghambat penerimaan sebuah temuan adalah kebiasaan (habit) masyarakat penerimanya. Dengan demikian, manusia pada umumnya akan tetap berpegang pada kebiasaannya dan cenderung enggang menerima sesuatu yang baru, yang menurutnya tidak terlalu adaptif dalam menghadapi lingkungannya. Jadi, peluang besar sebuah penemuan untuk dapat diterima, apabila penemuan tersebut lebih baik daripada apa yang digantikannya. Selain itu, prestise dan status si penemu juga menentukan diterima atau kurang berterimanya suatu temuan. Apabila temuan itu didapat oleh orang-orang yang berprestise atau berpengaruh, maka temuan tersebut cenderung cepat diterima dibandingkan dengan penemu biasa atau orangorang yang tidak berpengarub atau ahli dalam bidangnya. 2. Difusi Kebudayaan Dalam proses perubahan suatu kebudayaan, seorang penemu kadangkadang memasukkan unsur baru dari kebudayaan dalam temuannya, sehingga terjadi tiru-meniru kebudayaan yang membentuk difusi. Menurut Sugeng (2006: 261-262) difusi kebudayaan adalah penyebaran adat atau kebiasaan dari kebudayaan yang satu ke kebudayaan yang lain. Proses difusi kebudayaan disebabkan oleh beberapa faktor; adanya proses migrasi oleh kelompok-kelompok manusia, adanya individu-individu yang memIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



181



bawa unsur-unsur kebudayaan ke dalam masyarakat lain, serta adanya pertemuan antara individu-individu dalam suatu kelompok manusia. Jadi, difusi, pada prinsipnya adalah proses saling mempengaruhi antara dua kebudayaan atau lebih. Menurut Koentjaraningrat (1990: 244), bahwa penyebaran unsur-unsnr kebudayaan dapat terjadi melalui berbagai cara, seperti: 1) penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi, yang membawa serta unsur-unsur kebudayaan dalam perpindahannya, 2) penyebaran unsurunsur kebudayaan dapat juga terjadi tanpa perpindahan kelompokkelompok manusia dan/atau bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat lain, akan tetapi disebarkan oleh individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali, terutama oleh para saudagar dan pelaut, 3) penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan, pertemuan antara individu-individu dalam suatu kelompok manusia dengan individu-individu kelompok tetangga, yang berlangsung dengan berbagai cara. Sebagai contoh dari bentuk penyebaran pertama adalah adanya pengaruh adat-istiadat orang Bugis-Makassar di pulau Sumbawa Besar, terutama orang Bima yang mendapat pengaruh dari orang Bugis dan orang Sumbawa yang mendapat pengaruh dari orang Makassar. Menurut Gising (2002), bahwa keduanya pernah dijajah dan ditaklukkan oleh Kerajaan Bugis (Bone) dan Gowa (Makassar). Kerjaan Bone dibantu kerajaan Tellulimpoe Sinjai berhasil menaklukkan Tambora dan Gima (saat ini Bima) menjadi daerah kekuasaannya, sehingga bahasa dan kebudayaan mereka mirip dengan orang Bugis. Sedangkan kerajaan Gowa berhasil menaklukkan Sumbawa dan suku Sasak di pulau Lombok, sehingga bahasa dan kebudayaan mereka banyak memiliki kemiripan dengan orang Makassar. Untuk saat ini, kita dapat melihat bagaimana kebudayaan orang-orang Tionghoa mulai berdifusi dengan kebudayaan nasional Indonesia. Pemakaian sumpit (dua serpihan batang kayu atau bambu berbentuk bulat panjang) menggantikan pemakaian tangan dan sendok, ketika anda makan di restoran atau warung-warung tionghoa, khususnya yang berlabel HokaHoka Bento. Demikian, pula dengan mie bakso 48, tahu dan tempe telah berdifusi dengan beberapa kebudayaan yang ada di Indonesia, bahkan di luar negeri. Khususnya, mie bakso yang dapat anda temukan hingga ke 48



Banyak kuliner orang Jawa yang merasuk kemana-mana dibawah oleh para pedagang kaki lima hingga kepelosok-pelosok tanah air. Berbagai macam produk, seperti bakso tahu goreng (batagor), bakso tusuk (cilok), tahu isi, mie bakso, nasi goreng bakso, pangsit, mie goren atau kuah, kwiteau, gado-gado, tempe goreng, pisang molen dan sebagainya. Bahkan terakhir diperkenalkan beragam nasi: nasi kuning, nasi goreng merah, nasi hijau, nasi uduk, nasi tumpeng, nasi bakar, nasi campur, nasi remes dan sebagainya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



182



pelosok-pelosok, terutama di Sulawesi (Selatan) saat ini, mengganti sayur atau lauk-pauk masyarakat setempat. Sebagian masyarakat Indonesia, yang awalnya hanya mengenal agama leluhur (animisme, dinamisme dan politeisme) berubah menjadi agamaagama tertentu (Islam, Kristen, Hindu dan Budha) sebagai akibat dari adanya orang-orang tertentu (misionaris, penyebar agama Islam, biksu dan sebagainya) yang membawa ajaran tersebut kepada masyarakat lain. Khusus penganut Islam, yang sebelumnya mengenal penyembahan berhala dan leluhur mereka berubah menjadi penyembahan kepada Tuhan Yang Mahaesa, melalui sholat lima waktu ditambah dengan pelaksanaan rukunrukun dan syariat Islam lainnya. Sebahagian ritual-ritual adat diubah menjadi ritual-ritual menurut syariat agama Islam. Tidak sedikit pula ritualritual lama masih tetap dipertahankan dan diintegrasikan dengan unsurunsur baru, seperti ketika seorang penganut Islam melakukan acara selamatan, yang masih tetap menggunakan kemenyan, sesajen dan sebagainya disertai dengan pembacaan al-Fatiha atau bacaan ayat-ayat suci alQur'an lainnya. Penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang mungkin cepat terjadi adalah yang disebabkan oleh adanya pertemuan antar dua kelompok budaya. Orang Jawa yang lama tinggal di lingkungan orang Bugis atau Makassar dan sebaliknya, akan melakukan difusi kebudayaan keluar (external diffusion) yaitu dengan mempengaruhi kelompok budaya lain dan difusi kebudayaan kedalam (intenal diffusion) yaitu mengadaptasikan kebudayaannya dengan kebudayaan lain yang ada di sekelilingnya. Perempuan Jawa, misalnya, yang terkenal dengan pakaian khasnya kebaya dan sarung batik sebagian sudah terganti dengan model-model baju yang lagi trendi saat ini. Akhir-akhir ini lagi tren pemakaian baju (jangkist) dan celana panjang (sepinggang) bagi kaum hawa, yang mempertontonkan perut dan celana dalamnya, mulai menggeser budaya Timur yang penuh dengan kesopanan. Anak muda harapan bangsa dengan gaya rock and roll dan/atau jetsetnya dengan bangga menggunakan anting-anting, tato di badan, celana jeans yang robek di bagian lutut, rambut dijambul dan dipirang dan sebagainya, juga merupakan salah satu bukti adanya difusi kebudayaan melalui media televisi dan alat-alat audio-visual lainnya. Jadi, arus globalisasi dan informasi sebenarnya juga dapat merupakan media untuk mempercepat perubahan unsur-unsur kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Murdock (1956) menyebut para kolonialis Eropa, yang datang ke Amerika tidak hanya meniru pemanfaatan jagung, labu dan buncis sebagai bahan konsumsi bagi orang Indian Amerika, tetapi juga meniru (cultre imitations) seluruh rangkaian proses yang dilakukan orang Indian dalam Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



183



menghasilkan olahan bahan tersebut. Menurut Malinowski (1945), bahwa meniru sutu kebudayaan apa adanya, sama kreatifnya dengan bentukbentuk inovasi kebudayaan lainnya. Linton (1940) juga menyatakan, bahwa sekitar 90% isi kebudayaan (cultural core) berasal dari peniruan. Sebuah kebudayaan tidak pernah meniru semua inovasi yang ada, tetapi menerapkan seleksi ketat dengan membatasi pilihan mereka pada hal-hal yang dapat disesuaikan dengan kebudayaan mereka. Guatemala (Indian Maya), misalnya, yang lebih dari setengah penduduknya, akan meniru nilai-nilai Barat (orang Amerika) selama hal itu tidak bertentangan dengan cara-cara dan nilai-nilai tradisional, seperti: penggunaan bajak di lingkungan pertanian, penggunaan sekop dalam pengambilan pasir dan parang untuk alatalat rumah tangga dan senjata. Peniruan tersebut sudah lama menjadi baku, karena lebih baik daripada alat-alat batu. Di samping itu sesuai dengan penanaman jagung secara tradisional yang dikerjakan dengan hanya menggunakan alat-alat genggam saja dianggap sudah kurang efesien lagi. Sebaliknya, nilai-nilai modernisasi orang Amerika, yang kemungkinan tidak menguntungkan bagi orang Maya cenderung ditolak (rejection)49, karena dianggap tidak terlalu menguntungkan dalam kebudayaan suku Indian Maya. Menurut Robert H. Lowie (1973), bahwa tendensi sebuah kebudayaan berpotensi untuk meniru kebudayaan asing, sehingga kebudayaan menurutnya tidak ubahnya dengan barang sobekan-sobekan dan tambalan-tambalan dari unsur-unsur yang ditiru, yang telah dimodifikasi sedemikain rupa dalam rangka penyesuaian (adaptations) dengan unsur-unsur kebuda-yaan yang meniru. Beals (1973: 296) sendiri yakin, bahwa kebanyakan barangbarang yang oleh orang Amerika ditiru dari orang-orang Indian Amerika telah dimodifikasi, seperti tanaman pangan pribumi (kentang, buncis, gambas dan umbi-umbian) telah didomestikasi menjadi sumber pangan rakyat Amerika Serikat pada khususnya dan dunia pada umumnya. Demikian pula dengan tanaman-tanaman hortikultura dan tanaman obat-obatan lainnya (herbal) --- tembakau untuk bahan rokok, coca dalam bentuk kokain (narkoba), ephedra dalam bentuk ephredrine, datura dalam bentuk obatobat penangkal sakit, dan cascara sebagai minyak urut --- juga banyak ditanam dan ditiru pemanfaatannya oleh orang luar. Keseluruhan tanaman yang didomestikasi tersebut, pada prinsipnya, telah dikenal dan digunakan masyarakat Indian Maya sejak dari nenek moyang mereka. Penggunaan dan pemanfaatan sekitar 200 spesies tumbuhan obat-obatan lokal (local medicine plantations), yang dilanjutkan melalui enkulturasi dengan menggunakan 49



Lihat Haviland (1988: 263) penolakan dalam akulturasi adalah perubahan-perubahan yang tetjadi begitu cepat, sehingga sejumlah besar orang tidak dapat menerimanya, yang menyebabkan penolakan (total). Penolakan (rejection) tersebut biasanya menimbulkan pemberontakan atau gerakan kebangkitan.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



184



sistem pengetahuan lokal (local knowledge systems), hingga saat ini masih tetap lestari. Selain bentuk difusi di atas, orang Amerika juga melakukan imitasi budaya (cultural imitations) dalam bentuk seni. Beberapa bentuk kesusastraan Amerika Utara, seperti Hiawatha arahan Longfellow dan Leather Stocking Tales karangan James Fenimore Cooper, telah dimodifikasi sedemikian rupa oleh seniman-seniman Amerika melalui sentuhan-sentuhan seni kontemporernya, sehingga unsur-unsur lama berubah menjadi hal-hal yang baru sifatnya berupa penggantian (sinceretism).50 Perubahan dan difusi tidak hanya terjadi dalam karya-karya sastra, tetapi bahkan telah merasuki seni musik tradisional orang-orang Indian Amerika. Sistem musik orang-orang India Amerika yang telah dimodifikasi dengan menggunakan sentuhansentuhan musik kontemporernya, juga telah memberi kontribusi besar dalam musik dunia, seperti adanya interval yang tidak biasa, skala yang bebas (arbitrary), irama yang saling berlawanan dan sifat yang monoton yang mengakibatkan audiensnya akan terhipnotis (hipnose). Oleh karena, terintegrasinya hasil tiruan yang dilakukan oleh musisi Amerika tersebut, sehingga banyak orang yang tidak sadar dan tidak mengetahui lagi asal dari unsur-unsur seni yang baru tersebut. Menurut Smith (1990: 77-78), bahwa difusi yang digunakan sebagai sebuah istilah ilmiah dalam antropology oleh E. B. Tylor (1958; 1871), mengacu pada transmisi lintas waktu dari unsur-unsur kebudayaan atau ciri/sifat kebudayaan (cultural traits). Transformasi elemen-elemen kebudayaan seperti ini, baik material maupun non-material, melakukan migrasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, atau melalui sebuah proses transfer dalam sebuah kontak budaya (cultural contacts). Dalam perkembangan antropologi akhir abad-19 dan awal abad-20, terjadi perdebatan sengit antara para penganut teori difusi dan penganut teori evolusi tentang independensi penemuan. Teori evolusi mengatakan, bahwa ciri pembeda psikologis yang berlaku, umumnya mempunyai kesamaan temuan dalam berbagai tempat di dunia ini. Kaum difusionis, di pihak lain beranggapan, bahwa unsur-unsur kebudayaan yang penting telah ditemukan di beberapa tempat atau bahkan hanya di suatu tempat tertentu di bagian dunia ini dan telah tersebar melalui difusi kebudayaan. Antropolog Inggris G. Elliot Smith dan W. Perry, misalnya, menganjurkan kepada penganut teori heliocentris51, bahwa kebudayaan hanya ditemukan di tempatnya di Mesir 50



51



Lihat Haviland (1998: 263), bahwa sinkeretisme dalam akulturasi berarti percampuran unsur-unsur lama menjadi sistem-sistem baru. Teori ini dipelopori G. Elliot Smith dan W. Perry (2006) yang mengatakan, bahwa peradaban asli di dalam kebudayaan Mesir Kuno telah berdifusi hampir keseluruh penjuru dunia.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



185



dan dari sanalah kebudayaan berdifusi ke negara-negara lainnya. Versi teori difusi yang agak lunak adalah yang dikembangkan oleh budayawan berkebangsaan Jerman dan para sarjana sejarah kebudayaan di Amerika Serikat. Kedua bentuk teori ini dengan teliti mengacu pada analisis hubungan kebudayaan secara historis-geografis antara satu kebudaayan dengan area kebudayaan lainnya, yang telah dibahas oleh kaum evolusionis melalui prinsip sejarah secara spekulatif (speculative history). Dalam ilmu budaya kontemporer hal-hal yang menyangkut rekonstruksi historis dan perdebatan antara kaum difusionis dengan evolusionis menghasilkan berbagai bentuk studi tentang struktur sosial (social structure) dan proses perkembangan secara historis, melalui studi akulturasi membentuk sebuah interes dalam sebuah proses dimana unsur-unsur kebudayaan dapat ditransfer dari salah satu kelompok ke kelompok lainnya dan tatacara dimana elemen-elemen kebudayaan ditransfer dan diadopsi kedalam sebuah konteks baru (additions).52 F. Hilangnya Unsur-Unsur Kebudayaan Umumnya orang yang berfikir, bahwa perubahan kebudayaan (culture change) yang terakumulasi di dalam berbagai inovasi, dimana ada unsur-unsur penambahan terhadap unsur-unsur kebudayaan (culture elements) yang sudah ada diubah melalui substitusi (substitutions)53. Perlu saya jelskan di sini, bahwa selain perubahan kebudayaan yang lebih banyak mengarah kepada penambahan, percampuran atau pemutahiran dan penemuan (inventions), juga perlu diperhatikan proses hilangnya sebuah atau beberapa unsur kebudayaan (deculturation) yang sedang mengalami perubahan tersebut. Proses hilangnya unsur-unsur penting kebudayaan tersebut dapat terjadi, karena adanya penggantian dari unsur-unsur lama yang dianggap sudah tidak relevan lagi. Haviland (1988: 262) mencoba memberikan contoh menghilangnya dan berubahnya fungsi tembikar bagi suku India Amerika. Oleh karena, adanya kebiasaan bagi suku Indian Amerika untuk selalu berpindah-pindah tempat dari suatu tempat ke tempat lainnya, wadah-wadah tembikar yang sebelumnya mereka gunakan diganti dengan wadah yang terbuat dari kulit kayu atau binatang. Rupa-rupanya pemikiran efisiensi telah mulai merasuk ke dalam sistem kognisi mereka, karena selain tembikar mudah pecah juga sangat berat untuk di bawa kemana-mana, sementara wadah dari kulit kayu atau binatang tidak gampang pecah dan 52



53



Lihat Haviland (1988: 263), bahwa adisi (additions) merupakan proses akulturasi yang mengakibatkan terjadinya penambahan unsur-unsur atau kompleks-kompleks baru dalam kebudayaan lainnya. Lihat Haviland (1988: 263), bahwa substitusi dalam akulutrasi merupakan pergantian atau unsur atau kompleks yang sudah ada oleh ynng lain ynng mengambil alih fungsi, dengan perubahan struktur minimal.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



186



sangat simpel untuk dibawa kemana-mana. Saya masih ingat waktu kecil jual beli alat-alat dapur sangat ramai di pasar Tajuncu (desa kelahiran saya) dengan beragai bentuk, kareba pada saat itu desa saya dalam keadaan kacau, akibat pemberontakan DI/TII. Alat-alat tersebut saya kelompokkan menjadi: a) Terbuat dari tanah liat: dapo (anglo), dapa-dapo (peduapaan), Uring tana (periuk), pamuttu tana (wajan tanah), bempa (tempayan), b) Terbuat dari logam yaitu: uring (periuk), panci (panci), cerei (ceret), pamuttu (wajan), piso (pisau), bangkung (parang), attunung bale (alat bakar ikan), sode’ (alat goreng ikan) baki (nampan), taring bessi (tungku besi), c) Terbuat dari bambu: pabberung (alat peniup), paccipi (penjepit), pattapi (niru), rakki (tempat mengeringkan bahan makanan), jamba’ (baku-bakul nasi), pajero (tampi belobang untuk memisahkan beras dengan gabah), assajing nanre (bakul tempat nasi tambahan), d) Terbuat dari kayu: dulang (tempat nasi), onrong penne (tempat piring), e) Terbuat dari tempurung kelapa: kaddaro innungeng (gelas tempurung), cimbokang (kebokan), sanru (sendok tempurung), penne kaddaro dan f) Terbuat dari anyaman: assok-koreng (kukusan), baku-baku (bakul nasi untuk bekal), baku datu (bakul tempat benda-benda berharga), pattapi santang (tapisan santan), paberesseng (tempat beras), tappere (tikar), pappapi (kipas). Yang paling sering terjadi, bahwa kita berfikir tentang perubahan sebagai akumulasi berbagai inovasi, ada hal-hal baru yang ditambahkan kepada yang sudah ada. Akan tetapi, hanya sedikit yang menyadari, bahwa penerimaan temuan baru itu kadang-kadang menyebabkan hilangnya unsur-unsur yang lama. Penggantian semacam itu bukan hanya ciri dalam kebudayaan Barat saja, tetapi juga di berbagai tempat dan kebudayaan. Jadi, dalam proses tersebut timbul unsur-unsur baru berupa pemakaian bahanbahan tertentu (kulit) untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda melalui orijinasi kebudayaan (cultural origination), sehingga unsur-unsur penting berupa gerabah dan tembikar menghilang (deculturation) dan ditinggal oleh pemakainya. Hal-hal lain yang juga sering mendapat perhatian para ahli budaya adalah hilangnya sebuah unsur kebudayaan, tetapi unsur-unsur yang hilang tersebut tidak ada penggantinya. William Haviland (1988: 262) kembali memberikan contoh hilangnya fungsi perahu di gugusan kepulauan Kanari, yang tepencil di sekitar laut ganas di Afrika Barat. Secara logika dapat dipastikan, bahwa nenek moyang mereka ulung dalam menggunakan perahu sebagai alat transfortasi dalam mendistribusi kebutuhan sandang dan pangan di pulau itu. Oleh karena hilangnya perahu tersebut yang membuat penduduk pada gugusan kepulauan Kanari tidak bisa berkomunikasi dengan yang lainnya, maka hilang pulalah sebuah unsur kebudayaan yang sangat penting yaitu mata kapak dari batu, yang akibatnya distribusi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



187



kayu sebagai bahan pembuatan perahu mengalami kesulitan. Hal ini pulalah yang menjadi faktor penyebab hilangnya perahu di pulau Kanari yang berupa unsur-unsur kebudayaan. Sugeng (2006: 262) memberikan contoh hilangnya alat transportasi delman di kota-kota metropolitan menjadi salah satu unsur budaya yang hilang (deculturation), karena fungsinya sudah digeser oleh alat transportasi yang lebih maju, canggih dan modern. Sepeda motor, bajai, bis kota, kereta api telah menggeser keberadaan delman sebagai alat transportasi di masa silam. Delman dalam beberapa hal menjadi unsur budaya yang hilang. Di sisi lain, agar delman tidak tergeser atau hilang dari kebudayaan masyarakat metropolitan, keberadaan delman dibatasi operasionalnya pada daerah wisata. Penambahan item, seperti kantong kotoran kuda, kantong makanan kuda, rute delman, jam operasi merupakan bentuk usaha untuk tetap mempertahankan (revitalization) unsur kebudayaan delman, agar tidak hilang. 1. Akulturasi Menurut Haviland (1988: 263), bahwa proses akulturasi mendapat perhatian khusus dari para budayawan dan antropolog. Akulturasi terjadi bila kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan secara langsung dan intensif. Hubungan tersebut menyebabkan timbulnya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara variabel-variabelnya yang banyak itu, termasuk tingkat perbedaan kebudayaan, keadaan, kondisi, intensitas, frekuensi dan semangat persaudaraan. Dengan demikian, terjadi dua kubu yaitu yang dominan dan yang tunduk, serta kemungkinan ada atau tidaknya saling pengaruh secara timbal balik dari kedua kebudayaan atau lebih yang melakukan kontak. Perlu saya jelaskan di sini, bahwa istilah akulturasi dan difusi kebudayaan merupakan dua bentuk pemakaian istilah yang bertolak belakang. Akulturasi menurut Koentjaraningrat (2003: 7) adalah proses dimana para individu warga suatu masyarakat dihadapkan pada pengaruh kebudayaan lain dan asing. Dalam proses itu sebagian mengambil alih secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu dan sebagian pula berusaha menolak pengaruh itu. Sedangkan difusi kebudayaan (Koentjaraningrat, 2003: 41), di pihak lain, adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan di muka bumi. Kalau persebaran itu merupakan akibat pengaruh suku bangsa yang satu pada suku bangsa yang lain, proses difusi itu disebut difusi meransang (stimulus diffusion) yaitu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan akibat pengaruh gagasan yang menimbulkan unsur-unsur itu. Akibatnya, sebuah kebudayaan dapat mengambil anasir dari kebudayaan lain tanpa melalui akulturasi sama sekali sebagai akibat dari salah satu atau sejumlah proses tersebut, akulturasi dapat tumbuh melalui beberapa jalur (Haviland, 1988: 263). Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



188



Percampuran atau asimilasi unsur-unsur budaya (cultural assimilations)54 dapat terjadi bila dua kebudayaan kehilangan identitas masing-masing dan menjadi satu kebudayaan baru. Inkorporasi (incorporation) terjadi kalau sebuah kebudayaan kehilangan otonominya, tetapi tetap mempunyai identitas sebagai sub-kultur, seperti kasta, kelas atau kelompok etnis. Kejadian seperti ini terjadi di beberapa daerah taklukan, yang umumnya menjadi budak dari penguasanya. Ekstinksi (extinction) atau kepunahan adalah gejala di mana sebuah kebudayaan kehilangan orang-orang yang menjadi anggotanya, sehingga tidak berfungsi lagi. Kepunahan budaya juga dapat terjadi bila anggotanya mati atau bergabung dengan kebudayaan lain. Dalam adaptasi dapat tumbuh sebuah struktur baru dalam keseimbangan yang dinamis. Perlu saya jelskan di sini, bahwa perubahan sebuah kebudayaan dapat berjalan terus, akan tetapi bentuk pertumbuhan bersama biasanya agak lamban. Haviland (1988: 264) memberikan contoh kasus masyarakat Indian di bagian Utara New England pasca terjadinya invasi dan kolonialisasi oleh orang-orang Inggris. Dari luar memang tampak, bahwa orang-orang Indian umumnya berperilaku mirip dengan para kolonisnya, yang juga hidup berdampingan dengan mereka. Mereka, misalnya, senang memakai pakaian gaya Eropa, menggunakan alat-alat besi dan bukan alat-alat batu lagi, bertempur dengan menggunakan senapan atau senjata api dan tidak lagi menggunakan busur dan anak panah, menekankan cara patrilineal dalam pembagian warisan harta benda, yang mengakui adanya perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Mereka pada umumnya lancar mengunakan salah satu bahasa Eropa (Perancis) dan bahkan memeluk agama Kristen (Katolik). Kebiasaan-kebiasaan sesuai adat-istiadat orang Indian, seperti: berburu, menangkap ikan, menanam jagung, buncis dan gambas, menggunakan kano dan sepatu salju, serta menghisap rokok sudah lama dijadikan kebiasaan kaum kolonis, sehingga hal tersebut tidak lagi menjadi ciri khas orang Indian. Dengan demikian, perbedaan antara orang Indian dan bukan Indian hampir tidak terlihat lagi, meskipun mereka tetap memelihara nilai-nilai inti (value cores) dan tradisi (customs), khusus sebagai milik mereka sendiri. Inilah yang akan menjadi ciri pembeda satu-satunya bagi mereka dengan kaum kolonis dan pasukannya. Menurut Smith (1990: 1), bahwa istilah akulturasi telah digunakan 54



Asimilasi (cultural assimilations) adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



189



sejak abad ke-19 untuk menggambarkan proses akomodasi dan perubahan yang terjadi di dalam kontak budaya. Akan tetapi, selama tahun 1930-an penggunaannya semakin meningkat, terutama oleh para antropolog Amerika Serikat yang tertarik di dalam studi perubahan kebudayaan dan perubahan sosial, serta pada problematika kerancuan sosial dan kemunduran budaya. Mereka mendefinisikan akulturasi sebagai fenomena-fenomena yang dihasilkan, ketika sekelompok manusia yang berasal dari latar kebudayaan berbeda berada dalam kontak langsung. Hal tersebut akan mengakibatkan perubahan secara sufisien dari kedua belah pihak. Memulai dari sebuah pola dasar kebudayaan (culutral baseline) pra-kontak, studi akulturasi kemudian berusaha mempelajari, menggambarkan dan menganalisa proses perubahan. Dalam aplikasinya, mereka lebih mengkonsentrasikan diri pada kontak antara masyarakat industri dengan masyarakat bersahaja (native population), dengan menekankan pengaruh satu arah dari yang lama hingga selanjutnya, seperti yang terimplikasi di dalam antropologi terapan (Applied Anthropology). Mereka dibesarkan oleh terpaan kritikan, karena keterbukaannya pada proses pengembangan dan latar belakang kelompok kebudayaan dominan dan perubahan yang muncul di dalamnya sebagai hasil dari situasi politik baru, ekonomi dan bentuk sosial. Studi khusus dalam perspektif akulturasi termasuk di dalamnya mekanisme perubahan dan resistensi dalam melakukan perubahan dan kreasi tipologi dari hasil sebuah perubahan, seperti: asimilasi, reinterpretasi, sinkeretisme, revitalisasi dan sebagainya. Studi akulturasi akhir-akhir ini cenderung menghindari pembahasan yang berkenaan dengan pola kebudayaaan (cultural pattern) dan latar belakang analisis struktur dominasi sosial, ekonomi dan politik atau interaksi etnik dan strategi penggunaan elemen kebudayaan (cultural elements) dalam kontak kebudayaan yang sedang berlangsung. 2. Enkulturasi Menurut Smith (1990: 92), bahwa enkulturasi pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat, yang dalam antropologi budaya sebagai pengganti atau alternatif dari pemakaian istilah sosialisasi (socialization). Sosialisasi menurut Koentjaraningrat (2003: 221) merupakan prosese seorang individu belajar berinteraksi dengan sesamanya di dalam suatu masyarakat menurut sistem nilai, norma dan adat istiadat yang mengatur masyarakat yang bersangkutan. Dalam aplikasinya, kedua istilah tersebut tidak terlalu menampakkan perbedaan yang menyolok. Enkulturasi digunakan untuk menjaga kelasiman dari konsep budaya di dalam antropologi Amerika Serikat



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



190



tentang struktur sosial (social structure) atau sistem sosial (social system)55, yang dinyatakan di dalam sosialisasi. Hal ini mungkin juga tidak terlalu penting untuk membedakan secara rinci antara kedua konsep tersebut, selama dalam proses peran dan pembelajaran (role and learning), serta perkembangan kepribadian. Seseorang dapat dikatakan mencapai taraf berhasil, baik berbudaya maupun bersosialisasi. Konsep enkulturisasi mengimplikasikan, bahwa proses untuk menjadi terkorporasi di dalam sebuah kebudayaan tertentu dan mempelajari norma-normanya dan pola-polanya (Patterns), berarti seseorang sedang berusaha mengubah statusnya dari masa kanak-kanak memasuki kehidupan dewasa. Enkulturasi bisa saja mencakup para migran atau perseorangan dalam situasi interaksi. Enkulitri tersebut akan berubah menjadi konfigurasi budaya yang baru dalam suatu saat dalam hidupnya. Seperti halnya dengan pembelajaran formal di sekolah, seseorang dalam mempelajari kebudayaannya sendiri tidaklah dibatasi dalam masa kanak-kanak saja, tetapi harus dilanjutkan hingga menjelang kedewasaan atau sampai seseorang tergabung di dalam sebuah peran dan status baru. Status dan peran tersebut tercermin di dalam jaringan kekeluargan, kekerabatan atau peran dan status umum dalam struktur politik dan sebuah pekerjaan. Sama halnya dengan sosialisasi, enkulturasi umumnya disejajarkan dengan sistem pembelajaran formal, yang berusaha meningkatkan interaksi sosial. Inilah yang membedakannya dengan praktek pendidikan formal atau sekolah. Dengan demikian, pemahaman umum tentang sosialisasi dan enkulturasi akan mencakup, baik mekanisme informal maupun formal. Menurut Holmes (1965: 78), bahwa segala sesuatu yang mengangkat derajat manusia dari tingkat binatang atau primat paling rendah menjadi seorang kreator yang unik, karena ia sudah mampu menggunakan bahasa dan mengembangkan kebudayaanya. Ia telah memperoleh kemampuan tersebut melalui proses belajar (enculturation). Dalam ilmu budaya, pembelajaran terhadap sebuah bahasa dan tradisi dikenal sebagai enkulturasi. Hal itu merupakan sebuah kekhususan bagi manusia, karena hanya manusialah yang memiliki kebudayaan. Melalui enkulturasi perilaku anakanak yang masih acak diarahkan menjadi jaringan perilaku yang berterima. Enkulturasi juga dapat dikatakan sebagai sebuah proses pembiasaan dimana nilai-nilai, persepakatan dan arti-arti simbolik ditransmisikan kepada yang lebih muda atau, dalam beberapa kasus, kepada orang yang baru mencapai tingkatan kedewasaan yang tergabung di dalam masyarakat. Selama proses ini berlangsung, nilai-nilai, ide-ide dan etika-etika sebuah 55



Sistem budaya(cultural system) menurut) J. J. Honigman (1954) adalah kumpulan nilai, gagasan-gagasan dan norma-norma. Sedangkan sistem sosial adalah kompleks aktifitas dan tindakan berpola dalam masyarakat dan artefak-artefak atau kebudayaan fisik.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



191



masyarakat diinternalisasikan, sehingga kepribadian secara otomatis teroperasikan di dalam nilai-nilai masyarakat tertentu, sekalipun yang bersangkutan tidak bersama-sama dengan masyarakat tersebut. Nilai-nilai masyarakat menjadi nilainya juga dan berusaha membangun inti sosial (social conscience) yang kemudian akan menjadi landasan yang akan ia ajarkan kepada anak-anaknya kelak, jika sudah tiba saatnya. Sebagai tambahan, bahwa tidak ada duanya pembelajaran melalui enkulturasi dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia. Sosialisasi mempunyai ciri tersendiri, dalam pembelajarannya cenderung melalui pengalaman, yang bejalan dari manusia satu ke manusia lainnya melalui enkulturasi. Berbeda dengan enkulturasi, sosialisasi tidak hanya dilakukan pada orang-orang tertentu saja, tetapi kepada semua mahluk sosial (social animals) pada umumnya. Enkulturasi, di pihak lain, harus dilakukan dalam kaitannya dengan pembelajaran sebuah tradisi kebudayaan, sementara sosialisasi mengacu pada pembelajaran yang berhubungan dengan tipe kepribadian yang diangkat dari kelompok sosial ke dalam kepribadian, dimana seseorang dilahirkan dan yang akan dimasuki. Tidak ada dua keluarga yang betul-betul sarna di atas dunia ini. Seorang ayah mungkin keras sedangkan ibunya lemah lembut, atau sebaliknya kedua-duanya keras atau kedua-duanya lemah lembut. Tidak ada pula perbedaan perhatian kepada yang si bungsu, yang sulung atau hanya pada seorang anak saja. Sepanjang waktu seorang anak harus mempelajari dan membedakan antara kepribadian dengan penyesuaian perilakunya di dalam masyarakat. 3. Perubahan Paksa Perubahan paksa adalah sebuah perubahan yang dipaksakan, sehingga sebuah unsur-unsur budaya akan berubah menjadi bentuk budaya lainnya. Perubahan paksa dilakuka, karena adanya kebutuhan di dalam masyarakat itu sendiri. Perubahan seperti ini dapat berupa usaha suatu masyarakat untuk beradaptasi secara ekonomis dengan revolusi teknologi yang melanda seluruh dunia, meskipun dampak perubahan itu mungkin terasa dalam masyarakat seluruhnya. Perubahan peranan wanita di Afrika, misalnya, yang sebenarnya juga terjadi di Amerika Serikat, dapat dianggap sebagai contoh perubahan paksa. Akan tetapi, perlu juga saya jelaskan di sini, bahwa perubahan paksa juga dapat terjadi, karena adanya paksaan yang timbul luar kebudayaan itu sendiri. Perubahan seperti ini biasanya berupa kolonialisme dan penaklukan, pemberontakan dan revolusi. Penduduk asli yang ditaklukkan tidak mampu menolak perubahan yang dipaksakan oleh penguasa atau penjajah. Kegiatan-kegiatan tradisional di bidang ekonomi, politik, agama, sosial dibatasi dan dipaksa untuk melakukan kegiatan-kegiatan baru yang cenderung mengisolasikan individu dan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



192



merusak integrasi sosialnya. Perubahan kebudayaan secara paksa melalui kolonialisme dan penaklukan terjadi pada abad ke-19 sampai awal abad ke20. Politik kolonilalisme dikembangkan oleh negara-negara maju, seperti; Belanda, Portugal, Inggris, Perancis, Spanyol dan Amerika Serikat. Tidak mengherankan, jika unsur-unsur budaya negara penjajah sampai sekarang masih ditemukan dan diterapkan di negara-negara bekas jajahan. Unsurunsur bahasa, agama dan sistem politik negara kolonial dapat ditemukan di negara bekas jajahannya. Apabila kolonialisme dan penaklukan merupakan bentuk perubahan kebudayaan secara paksa yang berasal dari luar, pemberontakan dan revolusi dapat timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Pemberontakan dan revolusi muncul karena kondisi-kondisi yang dianggap kurang menguntungkan bagi sebagian besar masyarakat. Kondisi tersebut bisa berupa ketidakadilan dalam distribusi (kekayaan dan kekuasaan), munculnya perasaan benci pada kelompok yang dianggap sebagai penindas dan hilangnya kepercayaan penguasa. Menurut Haviland (1988: 268) terdapat lima kondisi sebagai pencetus timbulnya pemberontakan dan revolusi, yaitu: 1) hilangnya kewibawaan pejabat-pejabat yang kedudukannya mantap, sering sebagai kegagalan politik luar negeri, kesulitan keuangan, pemecatan menteri yang popular, atau perubahan kebijakan yang popular, 2) Bahaya terhadap kemajuan ekonomi yang baru dicapai. Di Perancis dan Rusia, golongan penduduk (golongan profesi dan pekerja di kota-kota) yang nasib ekonominya mengalami perbaikan sebelumnya, tertimpa oleh kesulitankesulitan yang tidak terduga, seperti tajamnya kenaikan pangan dan tingkat pengangguran, 3) Ketidaktegasan pemerintah, seperti kebijaksanaan yang tidak konsisten. Pemerintah yang demikian kelihatannya ia yang dikendalikan dan tidak mengendalikan peristiwa, 4) Hilangnya dukungan dari kelas cendekiawan. Kehilangan seperti itu oleh pemerintah-pemerintah prarevolusi di Perencis dan Rusia menyebabkan pemerintah kehilangan dukungan falsafahnya, yang menyebabkan mereka kehilangan popularitas di lingkungan cendekiawan dan 5) Pemimpin atau kelompok pemimpin yang memiliki kharisma cukup besar untuk menggerakkan sebagian besar rakyat, melawan pemerintah. Kelima kondisi di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk menganalisis perubahan kebudayaan melalui pemberontakan dan revolusi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 (masa reformasi). Pada saat itu Presiden Soeharto, kabinet serta kroninya sudah kehilangan kewibawaan di mata rakyatnya, karena dianggap gagal membenahi persoalan ekonomi politik yang terjadi. Tingkat inflasi yang tinggi, korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sengsara. Rakyat semakin tidak percaya dengan rezim orde baru. Kalangan cendekiaIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



193



wan dan akademisi mulai mencabut dukungannya serta menuntut Soeharto untuk segera mundur. Munculnya pemimpin-pemimpin informal yang kharismatik, seperti Amin Rais, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan Hamengkubuwono X yang memiliki pengaruh besar untuk menggerakkan rakyat. Dimotori oleh gerakan mahasiswa dan didukung oleh pemimpin karismatik, akhirnya terjadilah perubahan besar-besaran di Indonesia yang diawali dengan mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998. 4. Kolonialisme dan Penaklukan Salah satu produk sampingan kolonialisme adalah tumbuhnya antropologi terapan dan digunakannya teknik, serta pengetahuan antropologi untuk keperluan praktis. Dengan demikian, tidak salah bila antropologi Inggris sering dipandang sebagai hamba politik kolonial negara tersebut, karena mereka umumnya dipaksa menyediakan informasi yang berguna untuk tetap mempertahankan kekuasaan pemerintahan kolonial di daerah jajahannya. Di Amerika Serikat, para ahli budaya dari abad-19 sangat mendambakan kegunaan disiplin mereka dan tidak jarang mereka turun tangan membantu orang-orang Indian Amerika, tempat mereka bekerja. Awal abad ini, karya Franz Boas, yang hampir seorang diri melatih satu generasi ahli antropologi di Amerika Serikat, telah membantu pemerintah untuk mengubah politik imigrasi negara tersebut. Dalam tahun 1930-an para ahli budaya menanggapi sejumlah studi yang dilakukan di lingkungan industri dan lembaga-lembaga lainnya, untuk tujuan-tujuan terapan. Timbulnya Perang Dunia II menyebabkan pekerjaan-pekerjaan khusus di bidang administrasi kolonial di luar perbatasan benua Amerika, khususnya di daerah Pasifik, yang dikerjakan oleh pegawai-pegawai yang telah mendapat latihan di bidang ilmu budaya. Timbulnya kebangkitan orang-orang Jepang untuk melawan tentara sekutu juga disebabkan oleh pengaruh dari para ahli budaya dalam menentukan struktur pendudukan Amerika Serikat. Eksperimen-eksperimen Amerika Utara yang dimaksudkan untuk memadu kebudayaan kolonial dengan struktur pribumi dengan kekacauan yang sekecil mungkin, juga telah berhasil. Meskipun banyak di antara studi itu diakui memang untuk kepentingan sandi militer, akan tetapi itu semua juga bermanfaat untuk program pengembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini. Akan tetapi, seperti yang tercermin dalam beberapa kepustakaan awal tentang hubungan antara bangsa-bangsa Eropa dengan kelompok-kelompok penduduk asli, tidak mengandung pengertian antropologis dan sering tidak ada perikemanusiaan samasekali. Pertemuan antara kolonialis dengan penduduk pribumi di beberapa tempat sering mengakibatkan kematian besar-besaran, kesengsaraan yang memilukan dan keruntuhan komunitas Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



194



atau yang lebih dikenal sebagai kerusakan kebudayaan (culture crash). Keruntuhan tradisi komunitas seperti di atas ditandai dengan terjadinya khaos atau ketidakstabilan sosial dan kecemasan setiap individu, sering diikuti dengan terjadinya intervensi atau pendudukan kolonial. Perlawanan kaum pejuang Islam Checnya, Sandikistan dan sebagainya merupakan salah satu contoh cepatnya negara adikuasa Unisovyet runtuh. lni tidak berarti, bahwa masyarakat tradisional tidak mengenal bentrokan sebelum berhubungan dengan peradaban lain, tetapi pertentangan-pertentangan tersebut masih dapat diatasi melalui lembaga-lembaga kebudayaannya atau konsolidasi melalui musyawarah dan mufakat. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan, meletus sejak tahun 1951 dan dipimpin oleh Kahar Muzakar, merupakan salah satu contoh dari terjadinya kehancuran budaya di Sulawesi Selatan. Munculnya gerakan DI/TII tersebut bermula dari usulan Kahar Muzakar untuk menempatkan laskar-laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam lingkungan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Usulan tersebut ditolak oleh Pemerintah Pusat. Kahar Muzakkar mengusulkan, agar seluruh anggota Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dimasukkan ke dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanudin dan ia sendiri yang menjadi komandan Brigade Hasanudin di Sulawesi Selatan. Sebagai buntut dari kekecewaan tersebut, Kahar Muzakar beserta pengikutnya melarikan diri pada saat pelantikannya sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII. Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Kebudayaan asli pada awal-awal terjadinya pendudukan umumnya berantakan, karena lembaga-lembaga tradisional yang diciptakan untuk mengatasi ketegangan atau pertentangan diantara masyarakat pendukung sebuah kebudayaan tidak diperbolehkan oleh para penguasa kolonial untuk menangani perubahan baru yang cepat dan tidak pada tempatnya dalam konteks sistem tradisional itu. Perubahan yang terlalu cepat dalam sistem nilai, misalnya, menyebabkan bagian-bagian lain dari kebudayaan menjadi ketinggalan. Unsur-unsur kebudayaan asli daerah taklukannya diganti, diubah dan dihilangkan demi untuk menguatkan cengkeraman kekuasaannya. Gelar bangsawan La (Latenri Tatta, Lapangerang Daeng Mangati dan sebagainya) di kalangan orang Bugis diganti menjadi andi (andi Mappanyukki, Andi Base, Andi Langkaco dan sebagainya), agar timbul kesan bahwa penjajah dianggap berjasah dalam pembentukan sistem gelar kebangsawanan Bugis. Ini juga dilakukan untuk mengganti semua raja-raja Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



195



Bugis yang membangkang melalui penggantian gelar dengan tujuan penentuan walayah dan pelantikan rajanya menjadi andi. Gelar Andi yang tertera di depan nama orang Bugis diciptakan Belanda untuk menandai kaum bangsawan yang terpelajar. Gelar atau sebutan ini baru dibudayakan di masa kekuasaan pemerintahan kolonial. Selain itu, gelar Andi tersebut juga bertujuan untuk menandai bangsawan-bangsawan yang pro-Belanda. Dengan siasat bulusnya, pemerintah kolonia memperlihatkan berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar Andi didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh raja Bugis serta merta menggunakan Gelar tersebut. Kadang-kadang penduduk pribumi memperlihatkan kekuatan dan daya tahan yang besar dalam menghadapi dominasi Eropa, dimana mereka menemukan dan melakukan cara-cara yang kreatif dan cerdik untuk mengkounternya. Penduduk yang dimaksud adalah orang-orang Trobriand yang berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris. Para misionaris suatu ketika memperkenalkan sebuah permainan tradisional Inggris bernama cricket kepada masyarakat Trobriand yang menjadi daerah jajahan negaranya. Akan tetapi, semua penduduk berusaha dan sepakat untuk membendung masuknya permainan Inggris secara utuh dengan menjadikannya sebagai suatu pertandingan yang benar-benar bersifat Trobriand. Permainan tersebut tidak primitif dan juga tidak terlalu sesuai dengan bentuk aslinya di Inggris. Cricket ala Trobriand yang kreatif ini disejajarkan dengan kegiatankegiatan yang khas, yang tetap mempertahankan pentingnya pandanganpandangan pokok dalam kebudayaan pribumi itu. Semua orang yang berkepentingan dengan permainan itu kelihatan gembira dan bangga dan para pemainnya sama semangatnya untuk memamerkan siapakah diantara mereka itu mampu mencetak nilai. Mulai dari mengecat mukanya sebagai tanda persiapan untuk bermain, nyanyian tim yang membawakan lagu-lagu yang bernada kasar, tari-tarian rombongan yang saling memberi semangat. Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa setiap pemain bermain demi kepentingannya sendiri, demi kemasyhuran timnya dan demi ratusan gadis-gadis cantik yang biasanya menonton dalam pertandingan itu. Kasus-kasus akulturasi yang paling ekstrim biasanya terjadi sebagai akibat dari kemenangan militer dan pemindah-tanganan kekuasaan politik tradisional ke tangan para penakluk, yang tidak mengetahui apa-apa tentang kebudayaan yang mereka kuasai. Rakyat pribumi, yang tidak mampu menolak perubahan-perubahan yang dipaksakan, karena kegiatan-kegiatan tradisional mereka di bidang sosial, agama dan ekonomi juga turut dibatasi, sehingga mereka dengan terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan baru, yang cenderung mengisolasikan individu dan mengoyak-koyak integrasi sosialnya. Sistem perbudakan di Amerika Serikat pada masa koionialnya, meruIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



196



pakan contoh yang paling terkenal, yang memberi penjelasan tentang masalah hubungan antar-ras yang dahulu dikemas dalam istilah inferioritas rasial. Perlu juga saya kemukakan di sini, bahwa sistem perbudakan yang terjadi di Amerika pada awalnya tidak hanya terjadi di Amerika Serikat saja, tetapi juga hingga ke negara-negara bagian, seperti di daerah-daerah perkebunan di kepulauan Karibia dan di daerah-daerah pantai Amerika Selatan hingga ke bagian tenggara Amerika Serikat. Masalah-masalah rasial yang diwarisi Amerika Serikat dari zaman perbudakan itu juga terdapat di daerah-daerah Amerika yang pernah menjalankan praktek-praktek perbudakan. 5. Modernisasi Modernisasi merupakan salah satu istilah yang paling banyak digunakan untuk menggambarkan perubahan sosial seperti yang sedang terjadi dewasa ini. Istilah ini menjadi semakin jelas bila didefinisikan sebagai proses perubahan kebudayaan dan sosio-ekonomis yang meliputi segalagalanya dan terdapat di seluruh dunia, di mana masyarakat-masyarakat berkembang berusaha mendapatkan karakteristik umum yang terdapat dalam kebanyakan masyarakat industri maju. Apabila anda perhatikan definisi tersebut lebih saksama, anda dapat menemukan bahwa yang dimaksud dengan menjadi modern lebih disejajarkan dengan menjadi seperti orang Barat dengan implikasi yang jelas, bahwa tidak seperti orang Barat itu adalah ketinggalan zaman dan kumo. Hal ini tentunya tidak hanya mencerminkan aspek etnosentris saja, tetapi juga mengandung pengertian, bahwa masyarakat yang lain harus diubah hingga mencapai taraf derajat lebih dari orang Barat, tanpa ada pertimbangan-pertimbangan lain. Sayangnya, karena istilah modernisasi tetap saja digunakan begitu luas, sehingga yang paling baik dilakukan saat ini adalah mengakui ketidaktepatan istilah tersebut, meskipun kita tetap harus menggunakannya. Menurut Haviland (1988: 272), bahwa proses modernisasi dapat dipahami melalui empat sub-proses: 1) perkembangan teknologi. Dalam proses modernisasi, pengetahuan dan teknologi tradisional yang sederhana terdesak oleh penerapan pengetahuan ilmiah dan teknologi, yang awalnya dipinjam dari negara-negara Barat, 2) pengembangan pertanian, yang berupa pergeseran dari pertanian untuk keperluan sendiri (subsistensi) menjadi pertanian untuk ekonomi pasar. Orang tidak membudidayakan tanaman dan hewan untuk keperluan sendiri (subsistensi), tetapi mereka makin lama makin banyak mengadakan budidaya untuk dipasarkan, dengan lebih banyak bersandar pada ekonomi uang dan pasar sebagai alat dan tempat transaski jual-beli hasil pertanian mereka dan untuk mengadakan pembelian-pembelian bahan-bahan kebutuhan mereka, 3) industrialisasi dengan lebih mengutamakan bentuk energi non-hewani (inanimate), Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



197



khususnya bahan bakar fosil. Tenaga manusia dan hewan menjadi kurang penting, sama halnya dengan kerajinan-kerajinan, 4) urbanisasi yang ditandai terutama oleh perpindahan penduduk dari permukiman perdesaan ke kota-kota. Selama tejadinya modernisasi dapat diharapkan pula akan terjadi perubahan-perubahan lain. Di bidang politik, sering lahir partai-partai politik dan suatu bentuk mekanisme pemilihan, bersama-sama dengan tumbuhnya birokrasi. Di bidang pendidikan, terdapat suatu perluasan kesempatan untuk belajar, lebih banyak orang yang melek huruf dan tumbuhlah suatu elit terpelajar pribumi. Hak dan kewajiban yang berhubungan dengan kekerabatan berubah, kalau tidak hilang, khususnya kalau mengenai kerabat jauh. Akhirnya, di mana ada faktor stratifikasi, di situ pula mobilitas bertambah besar. Hal ini disebabkan, karena status yang diperoleh (scribed status) menjadi kurang penting dibandingkan dengan prestasi yang lebih dihargai. Terdapat dua gejala modernisasi yang mengiringi sub-proses modernisasi tersebut di atas, yaitu diferensiasi struktural dan mekanisme integrasi. Diferensiasi structural adalah pembagian tugas-tugas tradisional yang tunggal, tetapi mengandung dua fungsi atau lebih, menjadi dua tugas atau lebih, masing-masing dengan sebuah fungsi yang khusus. lni merupakan fragmentasi yang harus ditanggulangi dengan menggunakan mekanisme integrasi baru, jika masyarakatnya tidak ingin berantakan menjadi unit yang berdiri sendiri-sendiri. Mekanisme baru itu mendapat bentuk seperti ideologi baru, struktur pemerintahan formal, partai-partai politik, kode hukum, serikat buruh dan asosiasi kepentingan. Semuanya menembus batas-batas pembagian sosial lainnya. Dengan demikian, hal ini akan berfungsi sebagai penangkal kekuatan-kekuatan pemecah. Diferensiasi struktural dan mekanisme integrasi bukanlah kekuatan tunggal yang saling berlawanan. Oleh karena itu, perlu ditambahkan kekuatan ketiga, yaitu tradisi. Tradisi kadang-kadang mempermudah terjadinya modernisasi. Sebagai contoh, seseorang yang berasal dari pedesaan dan pindah ke kota, akan mendapatkan bantuan (material maupun non-material) dari sanak keluarganya yang terlebih dahulu berada di kota. Bahkan, tidak jarang saudara yang telah sukses di kota, mencarikan pekerjaan saudaranya yang berasal dari desa. Hal ini dikarenakan adanya tradisi kekerabatan yang masih dipegang dan dianut sebagai salah satu aspek modernisasi. Modernisasi adalah eksploitasi teknologi, yang membuka kemungkinan untuk memindahkan manusia dari tempat yang satu ke tempat yang lain (migrations) dengan cepat dan dalam jumlah yang menakjubkan. Sistem-sistem budaya yang sebelumnya bebas dan terasing kini terkena sentuhan dari kebudayaan lainnya (aculturation). Perbedaan kultural antara New York dan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



198



Puka-Puka menjadi berkurang sebagai akibat adanya sentuhan tersebut. Sebaliknya, perbedaan antara penangkap ikan dan ahli fisika bertambah besar. Tidak ada orang yang tahu apakah sentuhan tersebut terjadi untuk kebudayaan seluruhnya. Akan tetapi, untung rugi dari penyebaran kebudayaan, baik dalam bentuk tindakan maupun gagasan baru, setidak-tidaknya harus dicermati maksud dan tujuannya. Manusia dan kebudayaannya yang berbeda-beda merupakan suatu argumen yang paling menarik. Meskipun demikian, kehancuran keanekaragaman adalah implisit dalam penyebaran komunisme, kapitalisme, atau apa saja ke seluruh dunia. Apabila sebuah nyanyian dilupakan, atau sebuah upacara adat tidak dijalankan lagi, sebagian warisan umat manusia telah hancur untuk selama-lamanya. Itulah salah satu bukti dari adanya sentuhan antar kebudayaan dalam bentuk modernisasi. Contoh kasus di atas memperlihatkan, bahwa beberapa kebudayaan tradisional yang terkena dampak modernisasi atau perubahan kebudayaan lain dapat membantu para antropolog untuk menunjuk masalah-masalah yang dihadapi oleh kebudayaan orang Indian Pueblo di Barat Daya Amerika dan orang Lapp Skolt di Finlandia. Menurut Sugeng (2006: 267-270), bahwa dibandingkan dengan prosesproses lainnya, modernisasi mendapat perhatian besar dari para antropolog untuk menganalisis perubahan kebudayaan dan sosial yang terjadi di dalam sebuah masyarakat. Modernisasi merupakan proses perubahan kultural dan sosio-ekonomis dimana masyarakat sedang berkembang memperoleh sebagian karakteristik dari masyarakat industri Barat. Istilah modernisasi paling sering dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya perubahan kultural dan sosio-ekonomis. Sebenarnya pengertian modernisasi di atas, jika dicermati lebih mendalam mengandung makna, bahwa yang modern adalah status yang diduduki oleh orang Barat. Pengertian seperti ini berimplikasi, bahwa hal-hal yang tidak kebarat-baratan adalah kuno atau ketinggalan jaman. Apabila pemaknaan modernisasi seperti ini, modernisasi identik dengan westernisasi dan ini mengandung pengertian etnosentris. Orang Barat dianggap lebih modern, lebih maju, sementara masyarakat lainnya yang tidak seperti Barat dianggap ketinggalan jaman, kuno dan tidak maju. Satu kata yang perlu dicermati dalam definisi modernisasi di atas adalah penggunaan kata masyarakat industri. Ini menunjukkan, bahwa proses modernisasi adalah sebuah proses perubahan kebudayaan dari tradisional menuju modern dengan indikasi adanya industrialisasi. Hal ini disebabkan, karena kata industri tersebut identik dengan modern. Jika, peristilahan ini yang dipakai, modernisasi tidak identik dengan westernisasi, karena banyak negara lain, seperti Jepang, Korea dan sebagainya yang mengarah pada industrialisasi tersebut. Modernisasi lebih mengarah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



199



pada perubahan kultural yang meliputi sosio-ekonomi-politik, sementara westernisasi lebih mengarah pada gaya hidup (life style). Menurut Selo Soemardjan (1974), bahwa masyarakat akan mengalami tahap-tahap modernisasi mulai dari taraf yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi. Tahapan yang dimaksud meliputi: a) Modernisasi tingkat alat. Tahapan ini ditandai dengan masuk dan diterimanya peralatan dan teknologi tinggi pada masyarakat tradisional (traktor, mesin penggiling padi, mobil, televisi, listrik, handphone, telepon dan sebagainya). Pada tahapan ini masyarakat baru bisa menggunakan peralatan sesuai dengan petunjuk yang ada. Seringkali peralatan yang masuk hanya sebatas pemakaian barang-barang konsumsi berteknologi tinggi tanpa memperhatikan dampak atas keberadaan peralatan tersebut, b) Modernisasi tingkat lembaga. Pada tingkat ini ditandai dengan masuknya jaringan sistem kerja modern di kalangan masyarakat lokal, misalnya, pasar terbuka yang menerima produk yang dihasilkan oleh industri multi nasional. Masuknya bengkel motor atau mobil dengan jaringan suku cadang asli dari pabrik perakit atau pembuat juga merupakan suatu proses modernisasi tingkat alat ini. Pada tataran kelembagaan modernisasi dapat terjadi dengan masuknya kelembagaan birokrasi modern yang melayani kepentingan negara (state), c) Modernisasi tingkat individu (sudah mulai mendarah daging di kalangan masyarakat). Masyarakat penganut modernitas fisik sudah dapat memperbaiki sendiri peralatan yang dimiliki, menyempurnakan atau menambah dengan peralatan lain. Komputer, misalnya, sudah dapat dianggap sebagai perangkat keras yang telah mencapai tingkat modernisasi individu. Sudah banyak orang yang dapat memperbaiki, merakit, bahkan memproduksi sendiri melalui perakitan perangkat keras yang tersedia di pasaran dalam kondisi terjual bebas. Begitu pula dengan handphone yang saat ini sedang menjadi kebutuhan sekunder individu yang paling utama dan d) Modernisasi tingkat inovasi (modernisasi yang bersifat orisinal). Pada tingkatan ini masyarakat dicirikan, karena dapat menciptakan sendiri barang teknologi yang dibutuhkan, meskipun masih harus melalui jaringan kerja dengan masyarakat yang lebih luas.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



200



REFERENSI Abdulsyani, 1992, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksara. Hlm. 10-36 Andrian, Charles F, 1992, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana. Al-Barry, Yacub, Dahlan, M.. 2000, Kamus Sosiologi dan Antropologi. Surabaya: Indah. Aliardi, Arif, 2001. Memahami Pengetahuan Lokal: Etika, Prinsip dan Metode. Bogor : Pustaka Latin. Ayala FJ (2007). Darwin's greatest discovery: design without designer. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 1 Avise JC, Hubbell SP, Ayala FJ. (2008). In the light of evolution II: Biodiversity and extinction. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. Benedict, Ruth. 1934. Patterns of Culture. New York: The New American Library Bennet J. W. 1946. The Chrysanthemum and the Sword. Boston: Houghton Mifflin. ______. 1969. Nothern Plainsman: Adaptive Strategy and Agrarian Life. Chicago: Aldine Publishing Company. ______. 1976. Anticipation, Adaptation, and the Concepts of Culture in Anthropology. Science vol. 192. number 4242. Belas L. Ralph dan Hoijer Harry, 1959. An Introduction to Anthropology (Second Edition). New York: The Macmillan Company. Bowler, Peter J. (2003). Evolution:The History of an Idea. University of California Press.. ________. 1989. The Mendelian Revolution: The Emergence of Hereditarian Concepts in Modern Science and Society. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Charlotte, Seymour Smith. 1986. Dictionary of Anthropology. Boston: G. K. Hall and Company. ______. 1990. Macmillan Dictionary of Anthropology. London and Basingstoke. The Macmillan Press Ltd. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



201



Clemmer, Richard O., L. Daniel Myers, and Mary Elizbeth Rudden, eds. . 1999. Julian Steward and the Great Basin: the Making of an Anthropologist. University of Utah Press, 1999. Darwin, Charles. 1859. On the Origin of Species (1st ed.). London: John Murray. Related earlier ideas were acknowledged in Darwin, Charles (1861). On the Origin of Species (3rd ed.). London: John Murray. xiii Draghi J Turner P.. 2006. DNA secretion and gene-level selection in bacteria. Microbiology (Reading, Engl.) Elliot Smith, Sir Grafton. 1871–1937. Australian anatomist based at Manchester and London. The leading figure of the British diffusionist school, he held the eccentric belief that virtually all high culture the world over diffused from ancient Egypt. Works include The Migrations of Early Culture (1915), The Search for Man’s Ancestors (1931), The Evolution of Man (1927) and The Diffusion of Culture (l933) Freud, Sigmund. 1913. Totem and Taboo. London: MacMillan. Futuyma Douglas J. (2005). Evolution. Sunderland, Massachusetts Sinauer Associates, Inc. Ghiselin, Michael T. (1994), Nonsense in schoolbooks: The Imaginary Lamarck, The Textbook Letter, The Textbook League (dipublikasikan September/Oktober 1994), diakses pada 23 Januari 2008. Gising Basrah. 1986. Proses Morfofonemik Bahsa Tolaki Dialek Mikongga. Makassar: Era Media Press ______. 2002. Sejarah Kerajaan Bulo-Bulo Tondong Lamatti: Manifestasi Sinjai Bersatu. Makassar : Eramedia. ______. 2005. Manfaat Ilmu Pengetahuan Lokal dalam Pengelolan Hutan Berbasis Sosial di Wilaya Adat Karampuang (tesis), Makassar: Pascasarjana Unhas. ______. 2009. Kearifan Ekologis Pasang ri Kjang dalam Sistem Pengelolaan Hutan Adat di Wilayah Adat Kajang (disertasi). Makassar: Pascasarjana Unhas. Harwood AJ (1998). Factors affecting levels of genetic diversity in natural populations. Philos. Trans. R. Soc. Lond., B, Biol. Sci. Haviland A. William. 1988. Antroplogi, Edisi Kempat, Jilid 1 dan 2. Jakarta : Erlangga. Hooguelt, Ankle MM, 1995 Sosiologi Sedang Berkembang, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Ian C. Johnston (1999). History of Science: Early Modern Geology. Malaspina University-College. Irwan Djamal Zoer’Aini. 2003. Prinsip-Pinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas & Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



202



Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I dan II. Jakarta : Erlangga. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta. ______. dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kutschera U, Niklas K. 2004. The modern theory of biological evolution: an expanded synthesis. Naturwissenschaften. Lande R, Arnold SJ (1983). The measurement of selection on correlated characters. Evolution 37. Linton Ralph, 1965. The Cultural Background of Personality, New York: Appleton Crosta. ______. 1940. The Study of Man. New York: Appleton. Lowie R. H. 1973. Primitive Society. New York: Liveright. Luzbetak. Mayeux R (2005). Mapping the new frontier: complex genetic disorders. J. Clin. Invest. Magner, LN (2002). A History of the Life Sciences, Third Edition, Revised and Expanded. CRC. Malinowski, Bronislaw. 1961 [1945]. The Dynamics of Culture Change: An Inquiry into Race Relations in Africa. New Haven and London: Yale University Press ______. 1948. Magic, Science, and Religion and Other Essays. Garden City, NY: Doubleday Anchor Books. Mallet J (2007). Hybrid speciation. Nature 446 (7133): 279–83. Media Kareba Edisi 2 Mei 2001. Makassar-ORNOP Sul-Sel bekerjasama dengan Fiet Indonesia. Rasyid, Achmad, 2002. Studi Manajemen Pelestarian Alam Hutan Adat Ammatowa Kajang Melalui Pendidikan Kearifan Lokal. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar. Muhammad Hamidullah and Afzal Iqbal (1993), The Emergence of Islam: Lectures on the Development of Islamic Worldview, Intellectual Tradition and Polity, p. Murdock P. George. 1956. How Culture Change, dalam Harry L. Sapiro ed. Man, Culture and Society. Chicago: Chicago University Press. Oetting WS, Brilliant MH, King RA (1996). The clinical spectrum of albinism in humans. Molecular medicine today. Oxford English Dictionary (3rd ed.). Spetember 2005. Engeland: )xford University Press. Parsons. 1966. The Development of A Prehistoric Complex Society: A Regional Perspektif from the Valley of Mexico. Journal of Field Archeology. Peaston AE, Whitelaw E (2006). Epigenetics and phenotypic variation in mammals. Mamm. Genome Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



203



Pujileksono Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu Antropologi. Malang: UPT Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. Quammen, D. (2006). The reluctant Mr. Darwin: An intimate portrait of Charles Darwin and the making of his theory of evolution. New York, NY: W.W. Norton & Company. Radcliffe-Brown, A.R. 1965 [1952]. Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press Rasyid, Achmad, 2002. Studi Manajemen Pelestarian Alam Hutan Adat Ammatowa Kajang Melalui Pendidikan Kearifan Lokal. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar. Robert M.Z. Lawang,1985. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 4–6, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka. Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press. Susanto, Astrid, 1985, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung. Sahlins, M. (1968) Tribesmen, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. _______. 1972) Stone Age Economics, Chicago: Aldine. _______. 1976) Culture and Practical Reason, Chicago: University of Chicago Press. _______. 1994) ‘Goodbye to Tristes Tropes: Ethnography in the Context of Modern World History’, in R.Borofsky (ed.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill. _______. 1996) Waiting for Foucault, Cambridge: Prickly Pear Press. _______. 1999) ‘Two or Three Things I Know about Culture’ JRAI 5. Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi, 1974, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Soemawoto Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Soerjani Muhammad, dkk. Ilingkungan Hidup (The Living Environment) Pendidikan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan, Jakarta: Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan (IPPL). Spradley, P. James. 1980. Participation Observtion. New York : Holt, Rinehart and Winston. Sturm RA, Frudakis TN (2004). Eye colour: portals into pigmentation genes and ancestry. Trends Genet. Suriani. 2006. Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan Kebenaran dan Perdamaian Berdasarkan Kasih No. 5221: Tanah Laksana Ibu bagi Suku Kajang.. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



204



Terrall, M (2002). The Man Who Flattened the Earth: Maupertuis and the Sciences in the Enlightenment. The University of Chicago Press.. Tylor, E.B. 1958 [1871]. Primitive Culture. New York: Harper Torchbooks Wright, S (1984). Evolution and the Genetics of Populations, Volume 1: Genetic and Biometric Foundations. The University of Chicago Press. Weiling F (1991). Historical study: Johann Gregor Mendel 1822–1884. Am. J. Med. Genet. Wu R, Lin M (2006). Functional mapping - how to map and study the genetic architecture of dynamic complex traits. Nat. Rev. Genet. Zirkle C (1941). Natural Selection before the Origin of Species. Proceedings of the American Philosophical Society..



BAB IV IIMU BUDAYA DAN KAJIAN INTERDISIPLINER A. llmu budaya dan Antropologi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



205



1. Konsep Antropologi Antropologi budaya pertama kali diperkenalkan di bangku kuliah di Universitas Vermon Amerika Serikat pada tahun 1886. IImu budaya pada awalnya selalu diasosiasikan dengan studi tentang masa lampau dan cenderung mempelajari fosil-fosil dan manusia primitif (Kottak, 1991: 2). Menurut Kottak lebih lanjut, bahwa sejalan dengan perkembangan waktu dan zaman, ilmu budaya berkembang pesat dengan pendekatan-pendekatannya yang lebih luas, komparatif dan holistis (hollistics)56, karena selain mempelajari masyarakat lampau (primitive) yang sedikit simpel, ia juga mempelajari manusia sekarang (contemporary atau modern) yang lebih komplek. Bahkan, ilmu budaya juga mempelajari masyarakat yang akan datang (future) yang mungkin lebih kompleks lagi. IImu budaya tidak hanya mempelajari manusia sebagai disiplin utama (main discipline), akan tetapi lebih dari itu ilmu budaya juga membangun hubungan interdisipliner dengan bidang ilmu lain yang mempelajari manusia dan hasil ciptaannya (culture). Cabang antropologi yang paling banyak membahas keterkaitan antara antropologi dengan cabang-cabang disiplin lainnya dalam bentuk aplikasi adalah antropologi terpan (applied anthropology)57. Istilah antropologi diturunkan dari bahasa Latin (Greek) anthropos artinya ‘man’ dan logos yang artinya ‘science’ atau ‘study’. Jadi, Antropologi adalah the study of man (Hoebel, 1972: 5). Demikian pula Berremen (1971: 350) mendefinsikan anthropologi sebagai the scientific study of man based on the comparative analysis of and subsequent generalization about his physical and behavioral characteristics. Koentjaraningrat (2003: 13), dengan definisi yang hampir sama di atas mengatakan, bahwa antropologi sebagai ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang mahluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik (phisical anthropology), kepribadian (personality anthropology), masyarakat (social anthropology), serta manusia dengan kebudayaannya (cultural anthropology). Menurut Hunter (1982: 1), bahwa anthropology is a way --- or rather a colection of many different ways --- of studying human beings and their closest primate relatives. Sedangkan Johnson 56



57



Holistic (Kottak, 1991: 17) interested in the whole of the human condition, past, present and the future; biology, society, language and culture. Lihat Oshry Barry (2008) dan Auyang Sunny Y (1999), bahwa holism is the idea that systems (physical, biological, chemical, social, economic, mental, linguistic, etc.) and their properties should be viewed as wholes, not just as a collection of parts. Lihat Keesing (1999: 246), bahwa Applied Anthropology adalah penggunaan pengetahuan dan keahlian untuk menggarap masalah-masalah umum yang nyata, misalnya dalam menerapkan inovasi teknologi, kesehatan rakyat atau skema pengembangan ekonomi (atau, dalam antropologi fisik, rancangan tempat duduk di pesawat terbang atau kokpit). Lihat juga Kottak (1991: 403), bahwa applied anthropology is tlte use of anthropological findings, cencepts, data, and methods to identify and solve problems.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



206



(1986: 691) yang mendefinisikan antropologi dalam kaitannya dengan sosiologi mengatakan, bahwa anthropology is the study of culture in small, preindustrial society. Sebagai suatu bentuk ilmu pengetahuan (science) antropologi, seperti halnya dengan disiplin ilmu lainnya, mempunyai cabang-cabang disiplin berikut ini: antropologi fisik (physical anthropology), arkeologi (archaeology), ilmu bahasa (linguistics) dan antropologi budaya (cultural anthropology). a. Antopologi Fisik Antropologi fisik (physical anthropology) adalah studi tentang fisik (organ-organ tubuh) manusia, namun tidak sepenuhnya sama dengan ilmu biologi. Antroplologi mempelajari fosil-fosil peninggalan pendahulu kita, distribusi genetik dari populasi-populasi dunia saat ini, mekanisme pewarisan genetik, perbedaan bentuk dan warna karakteristik masyarakat di berbagai daerah, mempelajari pola tingkah laku manusia dan hubungan mereka dengan primat-primat lainnya. Antropologi fisik berkenaan dengan cara dimana keseluruhan hal tersebut dibubungkan dengan alam dan lingkungan sosial tempat manusia hidup. Jadi, antropologi fisik berlandaskan pada kajian proses biologi manusia dan hubungan primat yang hidup di dalam alam ini dengan konteks sosial atau lingkungan tempat mereka berinteraksi. Antroplogi Fisik adalah studi sistematis tentang mahluk manusia sebagai organisme biologis. Antropologi fisik lebih banyak berkenaan dengan evolusi manusia (human evolutions), khususnya yang berhubungan dengan fisik manusia (biology). Oleh karena itu, antropologi fisik berusaha untuk melacak nenek moyang manusia melalui analisis fosil-fosil (paleo anthropology) dalam rangka mengetahui: bagaimana, kapan dan mengapa kita bisa menjadi manusia saat ini. Wilayah kajian antropologi fisik berkembang pesat menjadi suatu disiplin tersendiri yang terpisah dari antropologi budaya dan antropologi sosial. Perkembangan tersebut dicapai melalui hubungan dengan teori-teori lain, khususnya teori ekologi dan teori evolusi dan dengan disiplin yang sangat berhubungan seperti arkeologi. Hubungan seperti ini lebih dikembangkan di dalam antropologi biologi kontemporer, yang dengan secara luas didasarkan dan merupakan kajian interdisipliner dari ilmu alam (nature). Sekalipun demikian, banyak ahli antropologi budaya dan sosial menolak dan mengklaim, bahwa antropologi fisik atau antropologi biologi atau sering disebut sosio-biologi hanya diadakan untuk melengkapi pembahasan signifikan terhadap sifat dan variasi kebudayaan dan sosial manusia. Sebagian dari itu juga dimaksudkan untuk memperbesar determinisme biologi dan determinisme rasisme yang secara biologis berorientasi pada teori-teori yang dipelajari sebagai suatu hasil dari publikasi yang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



207



berlebihan dan memberi sedikit kontribusi ilmiah di lapangan. Meskipun demikian, hasil akhir di lapangan dari antropologi biologi mulai mengatasi tantangan dan kritikan ini dengan menunjukkan, bahwa ada kontribusi besar dalam studi kebudayaan manusia dan masyarakat sebagai adaptasi terhadap lingkungan dan tantang evolusinya. Sebelumnya Antropometri58 berupa antropologi, pengukuran fisik didominasi oleh perbedaan karakteristik fisik, yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Selanjutnya, dominasinya bergeser menjadi studi tentang evolusi manusia. Kajian tentang hominid dan sisa-sisa fosil manusia yang sebelumnya tertinggal, saat ini meningkat tajam, baik skop maupun kemutahiran metodologinya. Para antropolog fisik telah mengembangkan teknik dalam rangka merekonstruksi informasi tentang indiviual dan penduduk melalui sisa-sisa organ tubuh yang tidak lengkap; tulang belulang, gigi dan bagian-bagian lainnya. Sekalipun, antropometri yang pada awalnya hanya sibuk dengan perbandingan karakertistik perbedaan kelompok-kelompok ras saja, namun lambat laun berkembang menjadi studi mutahir tentang variasi manusia secara kontemporer. Dalam antropologi fisik kontemporer variasi manusia tidak dilakukan dalam bentuk ras sebagai siginifikasi unitunit studi, tetapi dalam bentuk penduduk lokal, yang digambarkan dalam bentuk distribusi gen-gen. Studi demografi59 yang menyelidiki faktor-faktor; interaksi, penyakit, gisi, lingkungan dan studi genetika penduduk semuanya menjadi perbendaharaan konseptual dari para ahli antropologi fisik kontemporer dalam memahami mikro-evolusi: variabelitas dan evolusi dari penduduk lokal. b. Arkeologi atau Paleoantropologi Arkeologi (archaeology) adalah ilmu yang mempelajari sejarah kebudayaan zaman kuno sebelum kebudayaan menjadi sasaran penelitian, sumber-sumber tercatat dan tertulis dalam bahasa yang berasal dari Eropa (Koentjaraningrat 2003: 15). Arkeologi adalah pencarian kembali dan studi tentang peninggalan manusia. Tidak hanya mencakup peninggalan jasadjasad mereka (yang tentunya dapat menceritakan kembali sejumlah besar tentang bagaimana mereka hidup dan mati) saja, tetapi juga segala bentuk peninggalan yang mereka bangun, produksi dan pergunakan. Dengan kata 58



59



Antropometri (Koentjaraningrat, 2003: 14) metode dalam antropologi fisik untuk mengukur bagian-bagian tubuh manusia, antara lain untuk keperluan klasifikasi aneka warna ras manusia. Kependudukan atau demografi adalah ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan manusia. Demografi meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk, serta bagaimana jumlah penduduk berubah setiap waktu akibat kelahiran, kematian, migrasi, serta penuaan. Lihat juga istilah demografi (Koentjaraningrat, 2003: 36) cabang ilmu sosial yang menghususkan studinya tentang jumlah dan komposisi penduduk serta wilayah sebarannya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



208



lain, para arkeolog berusaha untuk menemukan dan mempelajari jejak atau sisa yang telah ditinggalkan oleh sekelompok manusia (tentang diri mereka sendiri dan aktifitas-aktifitasnya) dan mereka berusaha untuk memahami alur dari peninggalan ini dihubungkan dengan masing-masing lingkungan dimana mereka berinteraksi. Arkeologi adalah studi mengenai obyek material, biasanya dari masa lampau, untuk menguraikan dan menjelaskan perilaku manusia. Tentu saja ada sebagian ahli arkeologi yang memusatkan studinya pada benda-benda dalam hubungannya dengan masa kini (contemporary archeology). Oleh karena itu, arkeologi menurut Smith (1990: 15) dapat dibagi menjadi dua tradisi utama: arkeologi klasik dan prehistoris. Arkeologi klasik umumnya menyangkut studi peradaban Yunani dan Romawi kuno. Arkeologi prehistoris memusatkan perhatiannya, baik pada kekinian (cotemporer) maupun secara geografis (geographically), selama hal itu digunakan untuk merekonstruksi cara hidup (way of life) masyarakat di seluruh jagat raya ini melalui kemunculan manusia sebagai pencipta tulisan. Arkeologi prehistoris berada pada rangking atas dari keseluruhan ilmu-ilmu sosial yang ada, selama arkeolog tidak hanya untuk memahami sisa fisik (artefacts) yang dipelajarinya. Jadi cabang arkeologi ini memahami tradisi sosial dan budaya yang diciptakan manusia dan berusaha untuk merekonstruksi proses sosial tersebut yang menjadi alur perubahan dari suatu bentuk masyarakat ke bentuk masyarakat lainnya. Terdapat banyak hubungan teori dan metode antara arkeologi prehistoris dengan studi antropologi. Hubungan-hubungan ini diperbanyak selama dua dekade, terutama tercermin dalam sifat arkeolog sebagai seorang ahli yang mempelajari topik-topik seperti fomasi urbanisme dan negara yang menunjukkan peningkatan kemutahiran penggunaan teoriteori ilmu sosial. Arkeologi baru tidak hanya membatasi dirinya untuk mendeskripsikan dan mengklasifikasi sisa-sisa material (material artefacts) dalam rangkaian kronologis dan regional, tetapi lebih dari itu ia juga mengadopsi cara sistemis populasi masa lampau dalam mengadap-tasi lingkungannya, serta peroses perubahan sosiokultur dan pengembangannya. Dalam perspektif baru ini, teori-teori ekologi dan demografi, seperti halnya dengan teori-teori sosiologi dan antropologi lainnya, akan memegang peranan penting dalam mengangkat dan mengklasifikasi sistem teknologi tradisional yang umumnya diasosiasikan dengan para arkeolog. Pada waktu yang bersamaan pula, pendekatan ilmiah baru ini dalam menandai (dating) artifak prehistoris (penandaan dengan menggunakan radiokarbon) kelihatannya lebih memungkinkan lebih baik dari rangkaian teknik-teknik yang ada. Teknik-teknik baru ini memberi kemampuan para arkeolog untuk menentukan umur temuannya melalui presisi yang mutakhir. Penggunaan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



209



model-model matematik yang paling mutahir, termasuk dengan penggunaan piranti komputer, dalam sistem analisis dan teknik analisis temuan lainnya, juga telah meningkatkan kemampuan para arkeolog untuk menya-ring informasi dari keterbatasan data yang ia proses. Jadi, arkeolog modern sanggup membentuk teori yang jauh labih kaya dan mutahir terhadap model-model kehidupan masa lalu beserta dengan pengembangannya daripada akeolog sebelumnya. c. Antropolinguistik dan Linguistik Antropologi Ilmu bahasa (linguistics) adalah kajian dan analisis yang berkenaan dengan sistem komunikasi manusia, khususnya yang berkaitan dengan bahasa. Para linguis berusaha untuk merekonstruksi bentuk-bentuk proto bahasa (proto languages) dengan bahasa yang sedang digunakan saat ini (contemporary language). Di pihak lain, studi bahasa kekinian dimaksudkan untuk mempelajari bagaimana mereka mengkodifikasi rangkaian pengalaman manusia, bagaimana tatabahasa (grammar) dapat membentuk ciri tertentu sebuah bahasa dan bagaimana kita mampu membedakan bahasa dari sistem komunikasi dari spesies lain. Beberapa linguis terkonsentrasi pada apakah penggunaan bahasa dapat mengungkapkan perbedaan kelompok sosial dalam sebuah masyarakat atau tidak? Sedangkan linguis lainnya mungkin tertarik dalam masalah: apakah yang dapat dipelajari tentang sifat alam pikiran manusia melalui studi bahasanya? Jadi, dapat saya simpulkan di sini, bahwa linguistik tidak hanya terfokus pada apa yang diucapkan oleh banyak orang, tetapi lebih dari itu melakukan penelitian kebahasaan guna mengetahui sifat dan perilaku bahasa (speech acts) manusia sebagai sebuah bentuk spesies. Menurut Koentjaraningrat (2003: 137), bahwa linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa dengan tujuan memperoleh pengetahuan tentang: a) ciri-ciri strukturnya, baik yang bersifat universal maupun yang bersifat khas bagi suatu bahasa atau suatu keluarga bahasa (language family) tertentu, b) bagaimana struktur itu berfungsi di dalam komunikasi antar manusia (crosscultural communication) dan c) bagaimana struktur itu berubah dari suatu periode ke periode lainnya (historical comparative) Antropolinguistik yang merupakan gabungan perspektif antropologi dan linguistik, berusaha untuk mengungkap hubungan antara bahasa (language) dan kebudayaan (culture) dalam domain arti melalui sistem perlambangan (semiotics). Ketika seorang antropolog yang hendak melakukan penyelidikan terhadap obyeknya (manusia), misalnya, pasti memerlukan bantuan linguistik untuk menyimbolkan ide-ide dan gagasan-gagasan pemakainya. Tujuh unsur universalisme kebudayaan (cultural universalism) oleh Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1990: 203) memperlihatkan, bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan. Ketujuh unsur tersebut, meliputi: Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



210



bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian, merupakan salah satu bukti kedekatan hubungan kedua cabang ilmu tersebut. Bukti lain dari adanya kedekatan antara ilmu bahasa (linguistik) dengan antropologi tercermin dalam penelitian etnografi yang dilakukan oleh generasi antropologi kognitif yang handal, seperti: Harold C. Conklin, Charles O. Frake dan Stephen A. Tyler. Para tokoh aliran antropologi kognitif tersebut berasumsi, bahwa setiap masyarakat mempunyai satu sistem yang unik dalam mempersepsikan dan mengorganisasikan fenomena materialnya, seperti; benda-benda, kejadian, perilaku dan emosi. Akan tetapi, yang menjadi objek kajian antropologi kognitif bukanlah fenomena material tersebut, melainkan cara fenomena tersebut diorganisasikan dalam pikiran manusia (human mind). Jadi, dapat saya katakan di sini, bahwa budaya dalam perspektif kognitif, pada prinsipnya, ada di dalam pikiran (mind) seorang manusia, yang berbentuk organisasi pikiran tentang fenomena material yang ada. Oleh karena itu, Noam Chomsky dalam bukunya Language and Mind membedakan dua bentuk bahasa: internalisasi bahasa (Ilanguage) dan eksternalisasi bahasa (E-langugae). I-language berada pada tataran kognisi (comptence), sedangkan E-language berada pada tataran ujaran (performance). Nah, tugas penting dari seorang etnografer adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut. Jalan yang paling mudah dan paling tepat untuk memperoleh dan menggambarkan budaya tersebut adalah melalui bahasa atau lebih khusus lagi, melalui daftar kata-kata (vocabularies) yang ada dalam satu bahasa. Jadi, dapat pula saya katakan, bahwa studi bahasa yang dilakukan dalam suatu masyarakat merupakan titik masuk --- sekaligus aspek utama --- dalam etnografi aliran antropologi kognitif ini. Spradley (1979; 1980) berpendapat, bahwa pendekatan apapun yang digunakan oleh sang etnografer; pengumpulan data lualitatif di lapangan atau satu strategi campuran, bahasa pasti muncul setiap fase dalam proses penelitiannya. Oleh karena itu, Spradely (1980: 19) yakin, bahwa seorang etnografer selalu bertanya pada dirinya bahasa apa yang harus saya gunakan untuk mengajukan pertanyaan dan mencatat makna yang saya temukan? Demikian pula ketika Spradley sendiri melakukan penelitian, pertanyaan serupa juga muncul ketika saya bekerja dengan para informan lepas saya menemukan mereka tidak hanya berbicara bahasa mereka sendiri, tetapi mereka telah memperoleh kemampuan yang saya sebut kompetensi penerjemahan. Ini adalah kemampuan untuk menerjemahkan makna dari satu budaya ke dalam bentuk yang sesuai dengan budaya lain. Dari pernyataan tersebut saya simpulkan, bahwa penelitian bahasa dan penelitian antropologi hendaknya harus selalu sejalan dan sebaiknya memang tidak dipisahkan. Nancy (1980: 2) pun kemudian dengan tegasnya mengatakan, bahwa tentu saja, kemudian Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



211



antropolog harus mempertimbangkan bahasa dan harus mempelajari bahasa untuk menganalisis dan menggambarkan populasi manusia dan perilaku sosial mereka. Studi bahasa adalah, seperti yang telah kita lihat, salah satu sub-bidang utama antropologi modern. Untuk melengkapi penjelasan saya tentang keterkaitan antara linguistik dengan antropologi, saya juga akan mengutip pendapat Duranti (1980: 10), yang mengajukan konsep Ethnomethodology60 yang dikemukakan oleh Garfinkel. Etnometodologi atau dengan istilah populer ethnology dalam cabang antropologi ekologi (ecological anthropology), adalah sebagai studi tentang metode yang digunakan oleh aktor sosial dalam menafsirkan kehidupan sehari-hari mereka, juga menawarkan beberapa ide penting dan inovatif bagi para peneliti yang tertarik dalam menerapkan metode etnografi tradisional untuk mempelajari percakapan sehari-hari. Dari pendekatan fenomenologis ini, antropolog linguistik dapat belajar atau melihat menegaskan beberapa intuisi berulang tentang konstitusi budaya dan masyarakat dalam pertemuan komunikatif. Jadi, antropo-linguistik adalah cabang antropologi yang selalu berusaha memahami ide-ide dan gagasan-gagasan manusia melalui interpretasi keseharian masyara-katnya, yang umumnya tergambar di dalam padanganpandangan hidup (way of life) yang mereka miliki. d. Antropologi Budaya Antropologi budaya mempelajari kebudayaan (culture) dan budaya (cultures). Kebudayaan (culture) berisi tentang pola tingkah laku dan penyatuan pemahaman, bahwa masyarakat belajar dan berpartisipasi di dalam sebuah kelompok yang mereka miliki. Setiap kelompok, direduksi menjadi kelompok kekeluargaan, mempunyai kebudayaannya sendiri-sendiri dan setiap kebudayaan adalah unik sifatnya. Tentu saja banyak kebudayaan mirip satu dengan yang lainnya, akan tetapi sekali lagi hal itu tidak mungkin sama betul. Ambil contoh kebudayaan pengembala (nomadic) bagi orang Arab dan di Eskimo. Perhatikan juga perilaku orang Indonesia dan orang Barat yang memberikan sesuatu dengan menggunakan tangan kiri kepada seseorang. Orang Timur memandang pemberian sesuatu dengan tangan kiri itu tidak sopan, karena tangan kiri lebih banyak berhubungan dengan hal-hal yang kotor. Sedangkan orang Barat memandangnya biasa-biasa saja, sebab nilai tangan kiri dan kanan 60



Lihat Garfinkel (1974) ethnomethodology adalah studi tentang metode yang digunakan orang untuk memahami dan menghasilkan tatanan sosial di mana mereka tinggal. Ini secara umum mencari alternatif dari pendekatan sosiologis arus utama. Dalam bentuknya yang paling radikal, ia menimbulkan tantangan bagi ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan. Di sisi lain, penyelidikan awal mengarah pada pembentukan analisis percakapan, yang telah menemukan tempatnya sendiri sebagai disiplin yang diterima di dalam akademi. Menurut Psathas, adalah mungkin untuk membedakan lima pendekatan utama dalam keluarga disiplin ethnomethodologi.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



212



sama saja. Sebagian antropolog tertarik mempelejari kebudayaan secara umum berkenaan dengan manusia, tetapi yang lainnya malah tertarik untuk mempelajari kebudayaan spesifik seperti kebudayaan kebaharian di sebuah desa di Norwegia atau kebudayaan barrier61 di kota Meksiko. Kebudayaan dengan kelengkapannya sebagai pola hidup (designs for living) memberi kemampuan kepada manusia untuk menjadi lebih fleksibel dan kemampuan berfikir dalam menyelesaikan setiap probelamatika lingkungan yang mereka hadapi. Dengan demikian, manusia dianggap sebagai spesies yang paling unik, karena mampu menyesuaikan diri dengan tempat yang telah dibentuk oleh alam di atas planet ini. Semakin dipahami kebudayaan secara sempurna, semakin dekat pula untuk memahami apa arti dari keberadaan manusia sesungguhnya. Antropologi Budaya adalah cabang antropolgi yang mengkhususkan diri pada pola-pola kehidupan masyarakat. Antropolinguistik, misalnya, merupakan cabang antropologi budaya yang mengadalkan studi tentang bahasa-bahasa manusia dengan menyusun geneologi bahasa dalam rangka mempelajari kehidupan masa lampau manusia. Linguistik diakronik (linguistik komparatif), sebagai bagian dari linguistik komparatif, digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan bahasa yaitu dengan menggunakan 3 metode: a) kuantitatif dengan teknik leksikostatistik dan teknik grotokronologi, 2) metode kualitatif dengan teknik rekonstruksi dan, 3) metode sosiolinguistik. Melalui studi seperti ini, kita mampu mengetahui distribusi suatu bahasa atau merekonstruksi kembali bahasa melalui korespondensinya (fonologi, morfologi dan sintaksis). Penelitian serupa dilakukan oleh Basrah Gising pada tahun 1992 dengan judul Rekonstruksi Dialek Hete-Hete Melalui Korenspondensi Fologisnya. Penelitian ini dilakukan mulai dari bahasa Makassar Dialek Layolo di Kabupaten Selayar, bahasa Makassar dialek Konjo di Kajang Kabupaten Bulukumba, bahasa Bugis-Makassar dialek Konjo di Kabupaten Sinjai, bahasa Bugis-Makassar dialek Dentong di Kabupaten Maros dan bahasa Bugis-Makassar dialek Bentong di Kabupaten Barru. Etnologi, kebalikan dari arkeologi, yang juga merupakan cabang antropologi budaya memusatkan perhatiannya pada kebudayaan zaman sekarang ini. Kalau arkeologi mengkhususkan diri pada benda-benda budaya (cultural materealism), etnologi mengkhususkan diri pada perilaku budaya manusia (cultural behavior) sebagaimana yang dapat disakasikan, dialami dan didiskusikan dengan orang-orang yang kebudayaannya hendak diteliti. Para etnograf berusaha menjadi pengamat yang terlibat langsung (full 61



Panggunaan kata barrior di sini merujuk pada sebuah situasi, dimana sebuah kebudayaan dalam masyarakat betul-betul telah mengalami kekacauan, sehingga kebudayaan tersebut mengalami kekakacauan (barrier).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



213



participation observation) dalam kebudayaan yang sedang dipelajarinya. Sedangkan para arkeolog sibuk menggali dan mengkaji sisa kebudayaan masa lampau melalui pencarian fosil-fosil budaya (cultural artefact) yang tampak dan masih terkubur di dalam tanah. Perlu juga saya jelaskan di sini, bahwa antropologi budaya sering disejajarkan dengan antropologi kognitif (cogitive anthropology) atau etnografi (enthnography). Antropologi kognitif memokuskan diri pada hubungan antara bahasa, kebudayaan dan kognisi. Dalam perkembangannya dipengaruhi oleh psikologi kognitif dan linguistik strukturalis. Antropologi kognitif juga mendapat pengaruh dari antropologi struktural, sekalipun kemudian hal itu berbeda dengan ranah studinya. Antropologi sistem ideasional --sebuah sistem pengetahuan dan konsep --- bertentangan dengan interpretasi kebudayaan material sebagai suatu bentuk sistem adaptif atau seperangkat perilaku yang tampak. Para ahli antropologi kognitif mencurakan semua perhatiannya pada keakuratan deskripsi etnografi, khususnya merekam apa yang masyarakat komunikasikan (cultural behavior) dan memperhatikan halhal yang dapat menuntun kearah apa yang masyarakat ketahui (cultural knowledge). Frake (1964), misalnya mengklaim, bahwa sebuah rekaman komunikasi akan memberikan sebuah sistem kognisi kepada masyarakat dalam rangka mengatur aktifitas sehari-harinya. Ketika mendekati subyek, kata-kata masyarakat dengan penuh kehati-hatian, dalam rangka mensignifikasi obyek-obyek komunikasi dan fenomena-fenomenanya harus direkam dan seterusnya. Termasuk di dalamnya arti-arti altematif dari kata-kata tersebut (polysemy), variasi arti sesuai dengan konteks B. Ilmu Budaya dan Sosiologi Menurut Koentjaraningrat (2003: 222) sosiologi adalah ilmu yang mengkaji perkembangan, organisasi, asas-asas dan masalah-masalah sebagai mahluk kolektif. Demikian pula al-Barry (2000: 315) mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari perkembangan dan prinsip-prinsip organisasi sosial dan umumnya tingkah laku kelompok sebagai perbedaan dari tingkah laku individual atau individu-individu dalam kelompok atau ilmu yang mempelajari sifat, perilaku dan perkembangan masyarakat. Manurut John Biezan (1969: 1), bahwa sosiologi adalah the scientific study of human relationships. Sosiologi adalah sebuah kajian, yang dibedakan berdasarkan fokus interes, konsep dan prosedurnya. Seorang sosiolog memokuskan perhatiannya pada manusia (human being) dalam kelompok dengan hubungannya dengan yang lainnya, seperti halnya dengan hubungan antar kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, termasuk kelompok dalam bentuk masyarakat (society). Ilmu yang sering dihubungkan dengah antropologi fisik adalah sosiologi, karena keduanya berusaha mengambarkan dan menerangkan perilaku Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



214



manusia dan konteks sosialnya. Hanya saja sosiologi selalu berbicara dalam konteks orang yang masih hidup di dalam masyarakat atau setidak-tidaknya pada jaman baru, sehingga teori-teori mereka tentang perilaku manusia cenderung terikat pada kebudayaan tertentu (cultural bond). Dalam Smith (1990: 263) dikatakan, bahwa sosiologi adalah the science or study of society. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Comte dan kemudian dikembangkan oleh Durkheim. Ia (Durkheim) mengusulkan konsep fakta-fakta sosial (social facts) sebagai isu sentral disiplin ilmu ini. Durkheim tidak membedakan sosiologi dengan antropologi, selama istilah ini tidak dikaitkan dengan istilah antropologi sosial yang dibangun di Inggris dan antropologi budaya yang digunakan di Amerika, dimana keduanya menggunakan teori, metodologi dan sumber empirikal yang berbeda. Perlu dipertimbangkan, bahwa sosiologi memang berkenaan dengan studi tentang masyarakat industri yang modern, dengan menggunakan analisis, metode dan investigasi yang tepat bagi kajian penduduk yang berjumah besar (large-scale populations), seperti: survei, metode statistik dan seterusnya. Sementara antropologi, di pihak lain, yang berkenaan dengan studi manusia primitif yang berjumlah kecil atau berupa rakyat jelata (smallscale or folk societies) bersama dengan kebudayaannya, ditandai dengan pendekatan holistik dengan menggunakan metode-metode yang tepat untuk jumlah penduduk yang kecil. Hal ini memungkinan untuk dilakukan dengan menggunakan teknik observasi partisipasi penuh (full participant observation). Hoebel (1972: 16) juga menyebutkan, bahwa sosiologi dan antropologi mempunyai hubungan paling dekat dalam bingkai ilmu sosial (social science). Hal ini berarti, bahwa keduanya lebih banyak ditemukan dalam departemen yang ada di beberapa universitas di Amerika Serikat. Kesamaan kedua bidang ilmu ini terletak pada interesnya yaitu organisasi sosial (social organization) dan perilaku sosial (social behavior). Dalam kajian ini, penggunaan pendekatan teori mendasar umumnya memang sama, sekalipun tidak dapat dipungkiri, bahwa di beberapa hal keduanya juga harus berbeda. Kecenderungan khusus bagi seorang sosiolog dan antropolog dalam menjalankan tugas-tugasnya sangat berbeda. Seorang sosiolog cenderung tidak memperhitungkan aspek biologis, arkeologis dan liguistik yang begitu penting bagi seorang antropolog. Seorang antropolog bekerja di dalam masyarakat yang relatif kecil dengan metode observasi partisipatif dalam bentuk interaksi intensif, dari hari ke hari, dari satu person ke person lainnya, dalam rangka memperbincangkan kebudayaan masyarakat setempat sebagai obyek penelitiannya. Penekanannya pada masyarakat (people-inculture). Seorang sosiolog, di pihak lain, umumnya bekerja dengan jumlah sampel yang cukup besar (biasanya sampel random) dengan aspek pemIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



215



bahasan tentang masyarakat yang lebih terbatas dan khusus, sehingga ia lebih menekankan pada data statistik dan prosedurnya. Di Amerika Serikat, misalnya, sosiologi mencurahkan sebagian besar perhatiannya pada problematika patologi sosial (problems of social pathology) dan penyakit sosial (social deseas), seperti: kejahatan, kriminal, kemiskinan, sakit jiwa dan keretakan rumah tangga. Hal ini memang menjadi komitmen sosiologi sejak awal di Amerika Serikat. Antroplogi kemudian mengubah perhatiannya secara konsensus pada problematika sosial (social problems) dan masalah adminsitrasinya (administration) dan hal ini merupakan tugas pertama yang diberikan kepada antropolog di masa prakolonial. C. Ilmu Budaya dan Psikologi Menurut Koentjaraningrat (2003: 199), psikologi adalah ilmu yang mempelajari pikiran, proses mental, perasaan, keinginan dan lain-lain yang berhubungan dengan jiwa manusia. Al-Barry (2000: 23) mendefinisikan antropologi psikologi sebagai cabang dari antropologi yang khusus mempelajari manusia dalam bentuk jasmaniahnya, tipe-tipe kepribadiannya, perkembangan sosialnya, serta hubungan dengan kebudayaannya. Jadi, psikologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia (culture and personality). Studi tentang hubungan antara kebudayaan (culture) dan kepribadian (personality) disponsori oleh Ruth Fulton Benedict (1887-1948), yang mendasarkan analisis tipologi kebudayaannya pada tipe-tipe psikologis. Mengikuti Nietzsche, dia membuat kontras antara watak temperamen orang Diyonisia dan Appolonia yang ia klaim dapat diangkat untuk mengkrakterisasi kebudayaan dan kepribadian secara menyeluruh. Ia berasumsi, bahwa integritas kebudayaan merupakan hasil dari seleksi kebiasaankebiasaan yang berkembang secara historis ditambah dengan nilai-nilai sesuai dengan tipe karakter yang dominan dalam sebuah masyarakat. Di dalam bukunya yang berjudul Patterns of Culture (1934) pun ia mengatakan, bahwa sebuah kebudayaan, sama halnya dengan kepribadian, setidaktidaknya berisi pola pikir dan tindakan. Oleh karena itu, dalam setiap kebudayaan dipastikan mengandung karakteristik tujuan dan pilihan-pilihan perilaku yang heterogenus, yang menampakan kemiripan ciri-ciri. Artinya, bahwa tindakan-tindakan seperti ini hanya dapat dipahami, ter-utama melalui watak emosional dan dorongan pengetahuan masyarakatnya. Jadi, Benedict --- sama halnya dengan Margaret Mead --- menunjukkan, bahwa kebudayaan sebagai gudang besar kepribadian (personality with large) dan pernyataan inilah menghasilkan aliran besar dalam psikologi yaitu pasikologi reduksionis. Mead kemudian mengatakan, bahwa variasi watak temperamen secara alamiah pada dasarnya sama saja. Akan tetapi, kebudayaan itulah yang menyeleksinya dan memungkinkan untuk membuat Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



216



bentuk kepribadian khusus. Jadi, menurut Mead peranan sekslah, misalnya, yang perlu ditampakkan dalam kebudayaan dan bukan wataknya. Penekanan Benedict terhadap pola kebudayaan atau profil masingmasing kebudayaan dipengaruhi oleh Teori Gestalt atau kaum konfigurasionis, yang mensuplai analogi kebulatan (wholeness) dan intergrasi (integration) dalam psikologi dan dalam sistem kebudayaan. Sapir, misalnya, yang kemudian menerapkan formulasi hipotetis Whorf tentang keunikan konfigurasi bahasa dan pemikiran (language and though) dalam psikologi setiap kebudayaan, memberi pengaruh pada kelompok psikologi reduksionis ini. Karya lain yang menginterpretasi hubungan antara kebudayaan dan kepribadian dilakukan oleh pengikut Freud dan teoritikus psikoanalisis dalam antropologi psikologi. Psikiatris Kardiner mengembangkan sebuah teori yang cukup berpengaruh dalam studi kebudayaan dan personalitas melalui argumentasinya, bahwa kepribadian dasar (basic personality) berfungsi sebagai mediator antara lembaga primer dan sekunder dalam sebuah masyarakat. Karakter kepribadian dasar tersebut terbentuk melalui sosialisasi dan pola subistensi, yang kemudian diproyeksi ke dalam lembaga sekunder seperti; agama, politik dan sebagainya. Linton dan DuBois (1944) ternyata mengadopsi teori ini, sehingga Dubois memperkenalkan istilah modal personaliti (modal pereonality) untuk merujuk pada daftar manifestasi perilaku dari kepribadian dasar (basic personality). Pengaruh teori psikoanalisis di atas tampak di dalam National Character Studies diambil alih oleh para antropolog yang diransang oleh sejumlah keinginan untuk menemukan strategi melalui pemahaman motivasi (motivation) dan sikap (attitute) sekutu dan lawan selama perang dunia II berlangsung. Kajian Benendict merupakan contoh yang sangat terkenal tentang karakter nasionalisme orang Jepang dalam bukunya berjudul The Chrysanthemum and the Suioro (1967) karya antropolo Inggris Geoffrey Gorer. Sekalipun demikian, studi tentang kebudayaan dan kepribadian menjadi kurang populer pada tahun 1960-an hingga 1970-an dan menuai kritik besar-besaran dari psilokogi reduksionis, sehingga menumbangkan karya besar yang dibangun selama tiga dekade sebelumnya. Hal itu dilaku-kan dengan menyatakan, bahwa tidak ada keseragaman tipe-tipe kepribadi-an dalam sebuah kebudayaan, selama kebudayaan itu sendiri dibangun atau diabtraksikan melalui seperangkat perilaku individu (individual behavior), nilai-nilai (values) dan sikap (attitute). Jadi, menurut kaum reduksionis, bahwa kebudayaan tidak menentukan kepribadian dan sebaliknya. Pendekatan spektakuler saat ini adalah kajian hubungan antara kebudayaan dan kepribadian, baik kompeksitas kepribadian perorangan dan perkembangannya maupun metode ilmiah lintas budaya yang dibutuhkan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



217



untuk mengukur tingkatan tipe-tipe kepribadian. Umumnya antropolog psikologi menerima, bahwa kepribadian perorangan merupakan hasil sebuah kombinasi kompleksitas dari pontensi-potensi khusus, watak temperamen perorangan dan pengalaman sosial dan budaya yang kita miliki. Dengan demikian, kembali lagi timbul keberatan tentang tingkatan strukutur dasar kepribadian manusia yang terekam secara universal dan secara biologis, serta tingkatan yang ditentukan secara budaya dan dipelajari. Menurut kaum reduksionis, bahwa individu tidak pernah mereproduksi sebuah model kebudayaan di dalam kepribadiannya, tetapi selalu mengadopsinya dari sejumlah besar tipe-tipe kepribadian di dalam sebuah kebudayaan dalam sebuah masyarakat. Antropolog psikolog yang paling berpengaruh adalah A. F. C. Wallace (1970) dengan tegas mengatakan, bahwa kita harus menganggap kebudayaan sebagai sebuah mekanisasi yang di dalamnya terdapat variabel-variabel individu yang dapat diorganisasikan dan dibentuk sesuai dengan sistem sosial yang ada dalam masyarakatnya. Menurut Koentjaraningrat (1990: 18), bahwa etnopsikologi muncul kira-kira setengah abad yang lalu dalam ilmu antropologi, terutama di Amerika Serikat dan Inggris, yang dalam analisanya mempergunakan konsep-konsep psikologi. Penelitian-penelitian seperti ini mulai memperhatikan tiga hal berikut ini: 1) masalah kepribadian bangsa, 2) masalah peranan individu dalam proses perubahan adat-istiadat; dan 3) masalah nilai universal dari konsep-konsep psikologi. Oleh karena, materi yang merupakan isi dari pengetahuan dan perasaan seorang individu berbeda dengan individu lain dan intensitas keterkaitan antara berbagai bentuk pengetahuan dan perasaan pada seorang individu juga berbeda dengan lainnya. Tiap manusia, pada prinsipnya, mempunyai kepribadian yang berbeda. Akan tetapi, tidaklah berarti, bahwa ada tiga milyar kepribadian di dunia ini, sekalipun jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai tiga milyar jiwa. Aneka warna kepribadian individu tersebut dapat dikategorikan menjadi tipe dan sub-tipe yang jumlahnya tidak sama dengan jumlah penduduk Indonesia. Pembuatan tipologi kepribadian individu tersebut menjadi tugas ilmu psikologi, bukan ilmu antropologi ataupun ilmu sosial lainnya atau setidak-tidaknya kaum psikologi reduksionis di atas. Antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya dalam mengkaji masalah kepribadian, tidak lebih dari hanya sekedar memperdalam dan memahami adat-istiadat, serta sistem sosial dari suatu masyarakatnya saja. Khusus, dalam mempelajari kepribadian suatu masyarakat dilakukan dengan memandang hal tersebut sebagai suatu bentuk kepribadian umum atau watak umum (modal personality). Para etnograf abad ke-19 kadang-kadang mencantumkan kepribadian umum tersebut di dalam karangan etnogra-finya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



218



untuk melukiskan watak atau kepribadian umum pendukung kebudayaan (natives), yang menjadi obyek penelitiannya. Pelukisan-pelukiskan seperti ini lebih banyak berdasarkan pada kesan-kesan intuitif saja, yang mereka dapat dari pengalaman selama berinteraksi dengan informannya. Dengan demikian, penilaian-penilaian subyektifitas pada kebudayaan yang ditelitinya juga cenderung tidak dapat dihindari. Apabila mereka mengumpulkan data dan bahan tentang kebudayaan Bali, misalnya, kemudian memperoleh pengalaman menyenangkan, biasanya kepribadian orang Bali dilukiskan bersifat ramah, setia, jujur, gembira dan sebagainya. Sebaliknya, bila pengalaman tidak menyenangkan, secara reflektif mereka menilai orang Bali itu: judes, tidak setia, penipu, tidak bermoral dan sebagainya. Sejak abad ke20 ini, timbul usaha untuk memperbaiki pelukisan etnografi kuno tersebut menjadi metode-metode yang lebih eksakt dan ilmiah. Ralp Linton (1965) kemudian mengembangkan suatu penelitian terhadap kepribadian umum dengan menjalin hubungan dengan para psikolog (triangulary research) untuk mempertajam pengertiannya mengenai konsepkonsep psikologi kepribadian umum itu. A. Kardiner adalah psikolog yang bersedia bergabung dengan Linton dalam penelitiannya di Kepulauan Marquesas bagian timur Polinesia dan Tanala bagian timur Pulau Madagaskar. Linton kemudian bertugas mencari bahan etnografinya, sedangkan Kardiner menerapkan metode-metode psikologinya, serta menganalisa data psikologinya. Hasilnya adalah sebuah buku berjudul The Individual and HisSociety (1938), yang benar-benar menghasilkan suatu kajian antroplologi psikologi berupa pendekatan psikologi dalam antropologi. Dalam proyek bersama ini, konsep kepribadian umum (general atau iniversal personality) kemudian dipertajam menjadi konsep kepribadian dasar (basic personalitu structure). Artinya, semua unsur kepribadian dimiliki bersama oleh warga suatu masyarakat. Kepribadian dasar tersebut ada, karena semua warga suatu masyarakat mendapat pengaruh lingkungan kebudayaan yang sama selama masa hidupnya. Jadi, metodologi yang paling efektif dalam pengumpulan data mengumpulkan sampel dari individu-individu warga masyarakat yang menjadi obyek penelitian kita, kemudian tiap-tiap individu dalam sampel itu kepribadiannya diteliti melalui test-test psikologi. D. Ilmu Budaya dan dan Agama a. Agama dalam Perspektif Ilmu Budaya Ilmu budaya, setelah revolusi pengetahuan terjadi, sepenuhnya dikembangkan dalam berbagai penelitian. Perhatian budayawan untuk sistem relegi tumbuh dengan cepat, terutama untuk ritual agama dalam kelompok etnis tertentu. Bahkan, jika ritual ini pada awalnya hanya dianggap sebagai hal yang unik saja, tetapi pada akhirnya mereka merumuskan karakteristik Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



219



agama ini untuk menjadi (emik) dan mencoba untuk membangun teori sehubungan dengan agama yang mereka sedang teliti. Jauh sebelum ilmu budaya menjadi sebagai kumpulan pengetahuan. Beberapa etnografer mencoba menulis beberapa karakteristik tradisi lokal yang terlalu berbeda dengan tradisi Eropa milik mereka sendiri. Mereka umumnya menggunakan paradigma etnosentrisme (melihat budaya lain lebih buruk daripada budaya sendiri) yang membawa sistem religi dan kepercayaan sebagai pusat studi mereka. Agama atau studi sistem kepercayaan dalam ilmu budaya difokuskan pada perilaku keagamaan (religious behavior) yang terkait dengan kehidupan sehari-hari pengikutnya. Ilmu budaya agama, pada prinsipnya, tidak akan mempelajari dogmatisme agama dan sistem kepercayaan. Dogmatisme artinya menerima atau mengikuti sebuah kepercaan atau agama dengan apa adanya. Umat Islam umumnya menerima Islam berdasarkan doktrin dari kepercayaannya sesuai dengan apa yang ia pahami dan yakini. Ini berarti, bahwa agama dalam pandangan ilmu budaya, misalnya, tidak akan pernah mempelajari bagaimana kaum muslim dan pengikut agama lainnya melakukan ibadah (worship), tetapi mengapa mereka melakukannya. Artinya, Antropologi agama hanya interset untuk mempelajari perilaku beragama. Pertanyaan besar yang akan muncul di sini adalah mengapa keyakinan manusia terhadap hal misterius (gaib) dianggap sebagai tingkat status paling tinggi daripada manusia? Mengapa manusia mencoba berkomunikasi dan mencari koneksi dengan hal misterius itu? Untuk menjawab pertanyaan ini ilmu budaya harus melakukan kajian sistem religi dan pengetahuan. Menurut para anthropolog dan budayawan, bahwa kegiatan keagamaan manusia selalu didasarkan pada getaran jiwa (mood)62 atau emosi agama yang tercermin dalam aktivitas atau perilaku keagamaan mereka. Mereka percaya, bahwa sekalipun seseorang benar-benar ateis, tetapi dia tetap memiliki perasaan emosi religius ini. Ini akan mendorong manusia untuk melakukan kegiatan keagamaannya. Frekuensi tinggi dari suasana hati dapat muncul denganbentuk nilai yang tidak biasa (sacret), sedangkan yang rendah dapat muncul nilai biasa-biasa saja(profan). Pengikut agama dalam budaya tertentu harus mencoba menjaga emosi agamanya sendiri. Hal ini lebih penting daripada tiga hal lainnya, yaitu: 1) keyakinan, 2) ritual keagamaan dan 3) pengikut agama tertentu. Budayawan pada umumnya menaruh perhatian mereka pada sudut (baik atau buruk) dalam pemahaman kosmogoni, hantu, malaikat tingkat, penciptaan alam, hidup, kematian, roh, dunia dan akhirat dalam pemahaman iman. 62



Lihat Basrah (2009) mood adalah suasan hati. Mood juga dapat diartikan sebagai getaran hati keagamaan seseorang yang muncuk dari dalah diri manusia. Mood juga dapat didefinisikan sebagai getara juwa seseorang ketika menyebut nama Tuahnnya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



220



Ritual keagamaan terdiri dari tempat-tempat ritual religius (kuil, kastil, gereja, masjid dll., waktu ritual keagamaan (waktu untuk beribadah, harihari suci, dll), alat-alat ritual keagamaan (patung suci, lonceng suci, seruling suci, drum suci, dll.) dan pemimpin ritual keagamaan (pendeta, uskup, imam, dukun dll.). Ritual atau upacara keagamaan juga memiliki banyak bentuk: doa, shalawat untuk Nabi Muhammad, bacaan saat potong hewan, makan bersama-sama, menari, bernyanyi, prosesi, pementasan drama, puasa, kesurupan, yoga, meditasi dan sebagainya untuk menempatkan diri mereka secara dekat kepada Tuhan dan mereka berharap mendapatkan berkat Tuhan. Simbolisme dalam sistem agama dan kepercayaan menurut Clifford Geertz (1992: 5) adalah berguna untuk memunculkan suasana hati dan mendorong motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan manusia. Itu akan tersirat dalam semua perilaku keagamaan mereka. Paull Tillich (1955) diadopsi oleh Geertz dalam analisisnya tentang hubungan antara makna dan agama. Keduanya (Geertz dan Tilllich) mengambil makna sebagai konsep analisis mereka atas makna absolut, kesatuan makna dan Impor (the meaning of the meaning atau absolutisme). Impor kadang-kadang disebut sebagai makna mutlak, kesatuan makna mendalam atau makna dari makna (Paull Tillich, 1955). Geertz sendiri cenderung menyamakan antara agama dan budaya, karena budaya dapat dianggap sebagai abstraksi agama. Menurutnya budaya adalah pola makna yang secara historis ditransfer ke simbol-simbol, dimana manusia dapat mengkomunikasikan ide-idenya, mempertahankan pandangan dunia mereka, pengetahuan dan sikap hidup. Sangat jelas, dengan konsep ini, bahwa agama adalah simbol dan budaya adalah sebagai pola makna dimana terakumulasi sebagai perwakilan dan hubungan mutlak antara hal abstrak (kebudayaan) dan hal konkrit (perilaku keagamaan). Jadi, agama adalah realisasi budaya tertentu. Oleh karena itu, agama tanpa budaya sebagai pemberi makna adalah mustahil dan budaya tanpa agama atau sistem kepercayaan sebagai simbolisasi juga sangat mustahil. McGuire (1992: 11-14) menemukan dua pemahaman agama yang ia sebut sebagai substantif dan fungsionalisme. Konsep-konsep substantif adalah realitas supranatural, realitas super empiris, realitas transenden dan kosmos sakral. Di sisi lain, konsep fungsionalisme adalah hubungan antara agama dan budaya. Konsep itu ditemukan oleh Sapiro (1966) sebagai institusi, pola budaya dan postulat kultural. Konsep ini dapat ditingkatkan menjadi manusia super (super human beeing) yang lebih kuat dari manusia. b. Agama, Sistem Kepercayaan dan Budaya Hubungan erat antara agama dan budaya mendorong antropolog untuk melakukan studi hebat dalam spesifikasi atau disiplinnya sendiri. E. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



221



B. Tylor (1913) dan G. J. Frazer (1976), misalnya, mempromosikan konsepnya tentang supernatural dari beberapa masyarakat primitif. Sistem kepercayaan dalam bentuk spiritualisme menunjukkan bagaimana langkah pertama dalam evolusi otak manusia telah terjadi. Itulah sebabnya mengapa Tylor memandang agama sama dengan sihir, karena keduanya dibangun oleh ide-ide atau dogmatisme yang tidak berdasar. Frazer, di sisi lain, berbeda dengan Tylor, karena ia cenderung melihat agama berbeda dari sihir. Sihir selalu menyangkut kekuatan sihir (roh jahat), sedangkan agama adalah kepedulian terhadap supernatural (gaib). Oleh karena itu, peningkatan agama (dogmatisme, dinamika dan transen-dental) lebih baik daripada sihir (impersonality, statis dan universalisme). Frazer memberi perbandingan antara pengikut kepercayaan yang berdoa minta hujan, yang dilakukan dengan pemotongan hewan kurban (animal slachting), biasanya tercapai dengan benar-benar turun hujan. Orang Bugis yang melakukan panini bosi (meminta penundaan turunnya hujan) dengan melempar pakaian dalam perempuan ke atas atap rumah, biasanya memang membuat hujan tertunda. Di kalangan bangsa Indonesia juga dikenal dengan pawang hujan, yang mampu meminta penundaan hujan melalui mantra-mantra mereka juga biasanya mampu menunda turunnya hujan. Sebaliknya, seorang ahli agama (pastor, shaman, biksu, ulama dan sebagainya) berdoa meminta hujan dan penundaan turunnya hujan, biasanya tidak berhasil. Keberhasilan dari keduanya tergantung pada keyakinan yang mendalam (supernatural dogmatism) dan harapan-harapan agama (religious expecting). Emile Durkheim (1964) dan Mircea Eliade (1959) mengklaim konsep supranatural dogmatisme Tylor dan Frazer di atas, karena keduanya menganggap agama sebagai hal yang sakral dan tidak semua itu harus berhubungan dengan supernatural. Bahkan, kedua ahli di atas memiliki konsep dan paradigma yang sama tentang sakral dan profan, sekalipun dalam penerapannya masih saling bertentangan. Emile Durkhiem, Tylor, Freud dan Frazer memandang agama sebagai hal fungsionalisme, sedangkan Elliade memandang agama sebagai fenomena (fenomenalisme). Durkheim melihat agama sebagai hal yang sakral dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebutuhannya. Oleh karena itu, menurut Durkheim, bahwa yang sakral berarti masalah sosial dan profan adalah masalah pribadi. Di sisi lain, Elliade tidak pernah menemukan hubungan antara hal yang sakral dan fenomena sosial, kecuali supernatural saja, karena selalu sama dengan roh Tuhan. E. E. Evans Pritchard (1956) menunjukkan bagaimana konsep religius suku Nuer mempengaruhi seluruh cara hidup mereka. Ia menemukan konsep dogmatisme mutlak Kwoth Nhial (Tuhan mutlak) seperti dalam pemahaman gaib. Dia hidup di surga, tetapi dia tidak sama seperti surga. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



222



Dia mirip angin, tetapi dia bukan angin. Dia mewakili semua hal, tetapi dia abstrak. Dia dianggap sebagai pemimpin malaikat Buk (malaikat wanita), Wiu (marga malaikat), Deng (putra Tuhan), Mani (komandan perang) dan Colwi (roh suci) tetapi dia bukan malaikat. Pritchard kemudian menunjukkan bagaimana suku Nuer membagi pandangan kosmologinya dalam tiga tahap: dunia atas tempat Kwoth Nhial dan Kwoth tinggal, dunia tengah adalah tempat di mana kehidupan manusia dan di bawah dunia di mana hewan suci atau totem kehidupan manusia. Menurut Sigmund Freud (1953 dan 1978) dalam psikoanalisisnya, bahwa aktivitas para pria religius sama seperti perilaku neurosis (kebencian, gila atau stres). Karena itu, seseorang akan merasa bersalah, jika ia mengikuti ritual ibadah yang tidak sempurna. Dia juga mengklaim, bahwa agama itu tidak bersifat sementara dan tidak diberikan oleh Tuhan, karena tidak ada metode ilmiah yang dapat membuktikannya. Agama ini juga bukan impian seperti harapan kuat dari kebutuhan manusia. Oleh karena itu, kekuatan rahasia agama hanya terletak pada kekuatan harapan manusia (ilusi) dan bukan pada sistem kepercayaan mereka. Ludwig Feuber (1957) mendukung pendapat ini dan berkata, bahwa agama adalah alat psikologis untuk memperkuat harapan, kebaikan dan gagasan untuk mencapai pemahaman supernatural yang disebut Tuhan. Dengan cara ini, manusia hanya berusaha menempatkan dirinya dalam status terendah daripada itu. C. Jung (193 8 dan 1972) menolak dua konsep di atas dan berkata, bahwa agama adalah ide manusia secara kolektif dan dibangun di dalam mitologi, cerita rakyat, filsafat dan seni. Agama itu muncul dari ketidaksadaran kolektif (unconciusly colletive) dan itu bukan perilaku neurosis seperti dikatakan Freud dan Ludwig. Itu muncul sebagai eksposisi yang sehat, dalam dan berkelanjutan dari manusia dan tidak muncul dari pernyataan neurosis frustrasi. Max Weber (1951 dan 1958), serta Jung juga menolak konsep neurosis psikologi. Menurut mereka, bahwa kepercayaan supranatural adalah fakta universal yang dapat ditemukan di semua masyarakat purba. Perilaku keagamaan tidak pernah hilang dari kegiatan sehari-hari manusia untuk mencapai tujuan dan kebutuhan ekonomi tertentu. Mereka menyimpulkan, bahwa orang-orang primitif melibatkan ahli sihir (dukun) untuk mencari individu, hal yang sakral dan dominan. Sebaliknya, menggunakan para imam (pendeta, pendeta, uskup, biksu, alim ulama dll) untuk mencari otoritas yang kooperatif, profan, penuh dan etika agama. c. Mengapa Harus Beragama ? Sejak manusia ada dan hidup di permukaan bumi ini selalu mempertanyakan dirinya: mengapa saya ada (existence)? Siapa saya (identities)? Saya mau kemana (expecting)? Siapa yang mengadakan seluruh yang ada Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



223



(creator)? Kalau Tuhan ada dimana dia ? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini membuat manusia mulai penasaran dan berusaha mencari sumber dari segala yang ada, termasuk dirinya sendiri. Manusia lalu mencari dan mencari siapa dirinya dan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan kelebihan dari seluruh mahluk hidup lainnya yang diciptakan oleh Allah. Kelebihan tersebut berupa akal budi, yang kemudian digunakan untuk berfikir dalam rangka menentukan mana yang benar dan yang tidak benar. Manusia dalam pengertian agama (terutama Islam) adalah fitrah atau annas dalam agama Islam. Pengertian fitrah yang hakiki adalah kebenaran (truth) dan tidak pernah yang tidak benar. E. B. Tylor (1871) kemudian muncul sebagai penggagas teori tentang jiwa, yang membedakan manusia yang jasmani (tubuh) dan manusia yang jiwa (rohani). Pernah saya katakan dalam kuliah filsafat, bahwa yang dimaksud benar adalah betul-betul benar dan benar-benar betul. Jika hanya benar tetapi belum betul, maka itu berati salah, karena ada unsurunsur pembentuk kebenaran yang tidak terpenuhi yaitu betul. Saya kemudian kembali dalam falsafah orang Bugis, bahwa: tongeng-tongeng mupauwwe naikiya dek natongeng maneng. Nasabak iyaro riyasengnge tongeng tongengngi riiko tongettoi ri taulaingnge. Narekko tongengeng-tongngemmi iyanaritu tongemmi rialemu, artinya ‘apa yang engkau katakan itu sudah benar, tetapi tidak semua benar. Karena yang dimaksud benar dan betul (hakiki) adalah benar bagi kamu dan benar pula bagi orang lain. Jika hanya benar tapi belum betul yang anda katakan itulah yang dimaksud keneran individu (relatif). Saya juga sempat mengatakan kepada mahasiswa saya, bahwa ada tiga kategori yang harus terpenuhi dalam rangka mencari kebenaran (truth), yaitu: 1) Kebenaran absolut yang tidak terbanthkan, karena kebenaran tersebut merupakan kebenaran dan yang benar dan ini hanya dimiliki oleh Tuhan. Ketika seseorang mendoktrin saya, bahwa Allah itu ada, aka saya harus terima Allah tidak mungkin tidak ada. Adanya Allah itu harus saya terima dengan penuh keimanan (dogmatis), bahwa memang Allah itu ada. Tidak perlu lagi saya uji kebenaran tersebut, baik secara rasional (logika) maupun secara ilmiah (empiris), 2) kebenaran hakiki yaitu kebenaran sesuai logika dan inilah yang harus diuji kebenarannya melalui premis-premis. Premis pertama: semua anjing adalah binatang, tetapi tidak semua binatang adalah anjing sudah benar. Premis ini benar, karena yang dibicarakan adalah yang hakiki binatang dan anjing. Premis kedua: semua anjing adalah bintang dan semua binatang adalah anjing. Premis kedua sudah benar menurut hakiki, tetapi tidak benar secara logika. Kalimat pertama: semua anjing adalah bintang sudah benar, baik secara hakiki maupun logika. Akan tetapi kalimat, semua binatang adalah anjing hanya benar secara hakiki, tetapi tidak benar secara logika. Hakikat binatang adalah anjing dan anjing adalah binatang sudah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



224



benar. Akan tetapi, kalau semua binatang adalah anjing dan tidak semua binatang adalah anjing juga sudah benar, karena ada bintang lain yang bukan anjing (kam-bing, domba, kucing dan sebagainya). Akan tetapi, bila semua binatang adalah anjing dan semua binatang adalah anjing itu kurang benar, karena semua binatang adalah anjing pada hal ada bintang lain yang bukan anjing (kambing, domba, kucing dan sebagainya) dan 3) Kebenaran relatif yaitu kebenaran sesuai kesepakatan. Kebenaran ini diperoleh melalui prinsip-prinsip ilmiah, yang berangkat dari: fenomen --- hipotesis --- postulat --- konsep --- teori --grand teori. Yang saya maksud kebenaran relatif di sini adalah kebenaran yang berlaku secara relatif. Kebenarannya harus diuji kembali (theory constructions), karena sifatnya dialektika. Pengujian yang tidak memenuhi kerelatifan akan menjadi konsep atau teori terbantahkan (anomaly), yang tidak memenuhi kreteria kebenaran. Binatang atau mahluk hidup lainnya hanya dibekali perasaan insting untuk melakukan yang menurutnya benar dan tidak benar berdasarkan kebiasaan-kebiasaan (habitations). Oleh karena itu, pikiran manusia diperoleh melalui pembelajaran (enculturations) dalam pengalaman-pengalaman hidupnya. Inilah juga yang merupakan landasan pemikiran para pemikir (filsuf) yang berfikir tentang siapa manusia sesungguhnya. Holmes (1965: 78) memberikan batasan, bahwa manusia adalah binatang berfikir (animal thinker). Ia juga mengatakan, bahwa manusia mampu menghadapi segala bentuk tantangan hidupnya melalui pikirannya untuk membuat sesuatu (the creator of culture) yang mampu mebantunya dalam menyelesaikan masalahnya. Pengertian sesuatu di sini adalah kebudayaan dan budaya sebagai alat (the tools) bagi manusia untuk menyelesaikan masalahanya. Spradley (1980) lalu memberikan tiga anugerah berupa kebudayaan yang diberikan oleh Tuhan kepada hamba-Nya, sebagai ciri pembeda manusia dengan mahluk lainnya, yaitu: 1) pemikiran untuk melakukan sesuatu (cultural knowledge), 2) prilaku berpola (cultural behaviuor) untuk berprilaku dan bertindak dan 3) hasil kombinasi pikiran dan prilaku (cultural artifact). Koentjaraningrat (1990) kemudian mengadopsi dasar pemikiran Emile Durkheim dan mengemukakan empat hal penyebab manusia beragama, yaitu: 1) Emosi Keagamaan (mood) yang mendorong manusia untuk menjalin hubungan dengan Tuhan, sehingga terjadi getaran-getaran kejiwaan, 2) Supernatural yaitu sistem kepecayaan yang mengandung keyakinan, serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta wujud-Nya dari alam gaib, 3) Sistem upacara religius yang berusaha mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahluk gaib yang mendiami alam gaib dan 4) Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan. d. Perkembangan Sistem kepercayan dan Agama Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



225



Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa agama dan sistem kepercaya-an muncul ketika manusia kagum terhadap dirinya dan alam di sekitarnya. Pada saat ini pula muncul apa yang disebut oleh para ahli ilmu budaya sebagai sistem kepercayaan (the belief system atau magy) dan agama (religion). Suatu hal yang perlu saya jelaskan di sini, bahwa kadang-kadang sistem kepercayaan dibedakan dan kadang-kadang pula disamakan dengan agama. Sejarah kehidupan manusia tidak akan lepas dari sebuah sistem kepercayaan. Mulai dari masyarakat primitif hingga masyarakat modern dipastikan memiliki sebuah sistem kepercayaan. Hanya saja sistem kepercayaan masyarakat primitif dimulai dari kepercayaan akan benda-benda mati ataupun binatang-binatang tertentu (animisme) sampai pada kekuatankekuatan roh (dinamisme). Seiring majunya pola pikir masyarakat, kepercayaan, baik animisme maupun dinamisme lambat laun mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Menurut Alisdair MacIntyre (1955: 167-211), seorang Profesor peneliti Senior bidang Falsafah, di University Notre Dame, bahwa kepercayaankepercayaan merupakan cahaya yang dipancarkan kepada kehidupan manusia dari sesuatu yang ada di luarnya. Geertz (1968) kemudian menyanggah pandangan ini dengan mengatakan, bahwa ahli sosiologi dan juga antropologi secara umum tidak begitu berkenan dengan rumusan seperti ini. Hal ini tidak berarti, bahwa para ahli tersebut tidak beragama (termasuk saya kata Geertz), tetapi kerana Alisdair MacIntyre betul-betul menyimpang dari jalur empirisme untuk menjelaskan tatacara kepercayaan terhadap agama yang dilakukan oleh para penganut agama yang bersangkutan. Pendekatan empirisme atau sains positif menitik beratkan pengalaman dan kajiannya pada puncak sesuatu kebenaran. Inilah juga yang menjadi perdebatan yang tidak berujung pangkal antara penjelasan tentang agama yang berlandaskan pada rasionalitas (phillosopher) dengan empiris (scientist). MacIntyre juga benar, karena memang ia seorang ahli filsafat, yang memandang agama dari segi rasionalitas. Geertz (1969: 1-46), di pihak lain, juga benar karena ia mentafsirkan agama itu sebagai apa yang dipercayai dan diamalkan oleh masyarakat itu secara realita dan bukan berdasarkan pada konsep-konsep dogmatis agama itu sendiri. Oleh karena, itu Geerzt dan para ahli antropologi agama memandang agama itu sendiri sebagai suatu sistem budaya (cultural systems). Dengan demikian, baik MacIntyre yang memandang agama sebagai agama (dogmatis) maupun Geerzt yang memandang agama sebagai sistem sosial (social system) keduanya benar menurut paradigma masing-masing. Jadi, sebaiknya hal ini jangan diperdebatkan, karena hanya menghabiskan waktu saja. Dengan berdasarkan pada perdebatan di atas, saya akan menjelaskan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



226



bagaimana evolusi sistem kepercayaan dan agama bergerak sejak masa primitif hingga saat ini, sebagai berikut: 1) Paham Animisme Animisme adalah agama yang mengajarkan, bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa mempunyai roh. Tujuan beragama dalam animisme adalah mengadakan hubungan baik dengan roh-roh yang ditakuti dan dihormati dengan senantiasa berusaha menyenangkan hati mereka. Animisme berasal dari bahasa Latin anima (nafas, roh, kehidupan). Paham ini adalah keyakinan agama, bahwa benda, tempat dan makhluk memiliki esensi spiritual yang berbeda (Martin, 1999; Alf, 2006). Secara potensial, animisme mempersepsikan semua hal --- hewan, tumbuhan, batu, sungai, laut, cuaca, karya tangan manusia dan bahkan mungkin kata-kata --sebagai animasi dan hidup. Animisme adalah agama tertua di dunia. Animisme mendahului segala bentuk agama yang terorganisasi dan dikatakan mengandung perspektif spiritual dan supranatural tertua di dunia. Paham ini mulai ada sejak Zaman Paleolitik, yang hingga saat ini menjelajahi dataran perburuan dan berkumpul, serta berkomunikasi dengan Roh Alam (Harvey dan Graham, 2006). Animisme digunakan dalam kajian antropologi agama sebagai sebuah istilah untuk sistem kepercayaan masyarakat adat atau pribumi dan berbeda dengan perkembangan agama terorganisir yang relatif lebih baru. Meskipun masing-masing budaya memiliki mitologi dan ritualnya masing-masing, namun animisme digunakan untuk mendeskripsikan benang merah antara perspektif spiritual dan supranatural masyarakat pribumi. Perspektif animisme secara luas dipegang dan melekat pada sebagian besar masyarakat adat. Bahkan, tidak memiliki kata dalam bahasa mereka yang sepadan dengan animisme (atau bahkan agama). Jadi, dapat dipastikan, bahwa istilah animisme merupakan konstruksi antropologis semata. Definisi animisme yang diterima saat ini baru dikembangkan pada akhir abad 19 oleh Sir Edward Tylor (1871), yang menciptakannya konsep awal antropologi tentang animisme. Animisme mencakup keyakinan, bahwa semua fenomena material memiliki roh. Tidak ada perbedaan antara dunia spiritual, fisik (atau materi) dan jiwa atau roh. Roh tersebut menurut paham animisme terdapat pada: hewan, tumbuhan, batu, gunung, sungai, termasuk guntur, angin dan bayangan. Dengan demikian, animisme menolak dualisme Cartesian. Animisme dapat lebih jauh menghubungkan jiwa dengan konsep abstrak seperti kata-kata, nama-nama atau metafora yang benar dalam mitologi. Beberapa anggota dari dunia non-suku juga menganggap diri mereka animis (seperti penulis Daniel Quinn, pematung Lawson Oyekan dan banyak pakar kontemporer lainnya). Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



227



Menghormati dengan cara melakukan pemujaan dan memberikan sesaji lebih umum dilakukan oleh penganut kepercayaan animisme. Bagian dari kepercayaan ini adalah adanya roh-roh orang yang telah meninggal, yang dipercayai dapat masuk ke tubuh hewan (reinkernasi). Anima adalah kata Latin untuk soul dalam bahasa Inggris. Animisme adalah kepercayaan, bahwa segala sesuatu memiliki jiwa (dan mungkin perasaan dan niat) dan berlaku untuk semua hewan, tumbuhan, benda-benda dan bahkan bagian dari alam seperti gunung dan mata air. Masyarakat purba pada masa itu melihat diri mereka sebagai bagian dari alam dan bukan di atas atau terpisah (lihat pendapat Frijcof Capra). Benda-benda alam tersebut harus dihormati, sehingga tidak mengganggu kehidupan manusia. Bentuk penghormatan tersebut bisa berupa pemberian sesaji dan juga melakukan pemujaan. Animisme telah dikenal semenjak era Paleolitik Atas atau kurang lebih 40 ribu hingga 100 ribu tahun sebelum Masehi, dimana waktu itu masyarakat belum mengenal agama. Roh yang keluar dari tubuh manusia dinamakan arwah. Arwah tadi akan terus hidup di dunia arwah dengan kehidupan sebagaimana kehidupan manusia di dunia. Para arwah dipandang juga bisa menetap di dalam kubur yang akibatnya ditakuti dan dikeramatkan. Untuk para arwah dari orang terpandang, misalnya, kepala suku atau dukun dipandang sebagai arwah suci, sehingga harus dihormati seperti halnya dengan arwah dari nenek-moyang mereka. Singkatnya, para penganut animisme mempercayai hal-hal yang tidak bisa dinalar manusia dan bersifat kurang masuk akal. 2) Paham Dinamisme Dinamisme berasal dari bahasa Yunani dunamos atau dinamo yang mempunyai arti kekuatan atau daya. Kepercayaan dinamisme adalah kepercayaan yang menyakini, bahwa semua benda-benda yang ada di dunia ini, baik hidup maupun mati mempunyai daya dan kekuatan ghaib. Bendabenda tersebut dipercaya dapat memberi pengaruh baik dan pengaruh buruk bagi manusia. Dinamisme (dalam kaitan agama dan kepercayaan) adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal menetap di tempattempat tertentu, seperti pohon-pohon besar. Arwah nenek moyang itu sering dimintai pertolongannya untuk urusan mereka. Caranya adalah dengan memasukkan arwah-arwah mereka ke dalam benda-benda pusaka seperti mustika delima, kris pusaka atau benda-benda pusaka lainnya. Ada juga yang menyebutkan, bahwa dinamisme adalah kepercayaan yang mempercayai terhadap kekuatan yang abstrak yang berdiam pada suatu benda. Saya ambil contoh maggiri’ bagi komunitas bissu di Pangkajenne Kepulauan. Mereke menusuk badannya dengan keris pusaka dan memang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



228



badannya tidak tertusuk oleh keris pusaka tersebut. Konon, karena pemimpin bissu sudah mengisi keris tersebut dengan mantra-mantra (mana)63. Benda-benda yang berisi mana disebut fetisyen yang berarti benda sihir. Benda-benda yang dinggap suci ini, misalnya pusaka, lambang kerajaan, tombak, keris, gamelan dan sebagainya akan membawa pengaruh baik bagi masyarakat; misalnya suburnya tanah, hilangnya wabah penyakit, menolak malapetaka dan sebagainya. Antara fetisyen dan jimat tidak terdapat perbedaan yang tegas. Keduanya dapat berpengaruh baik dan buruk, tergantung kepada siapa pengaruh itu hendak ditujukan. Perbedaannya, jika jimat pada umumnya dipergunakan di badan dan bentuknya lebih kecil dari pada fetisyen. Contoh fetisyen adalah panji Kiai Tunggul Wulung dan Tobak Kiai Plered dari Keraton Yogyakarta. Dinamisme adalah kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Tujuan beragama pada dinamisme adalah untuk mengumpulkan kekuatan gaib atau mana sebanyak mungkin. Dinamisme adalah paham atau kepercayaan, bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau mati, bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak dan keris) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Benda suci itu mempunyai sifat yang luar biasa (karena kebaikan atau keburukannya), sehingga dapat memancarkan pengaruh baik atau buruk kepada manusia dan dunia sekitarnya. Dengan demikian, di dalam masyarakat terdapat orang, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda dan sebagainya yang dianggap mempunyai pengaruh baik dan buruk dan ada pula yang tidak. Mitos meompalo karella’e di Soppeng dan Sidrap dan meompalo lotongnge di Sinjai dan Bulukumba merupakan contoh dari adanya pengaruh baik dan buruk yang ditimbulkan oleh seekor kucing. Kucing dianggap sebagai representasi dari dewa Sang Hyang Seri diyakini dapat menghadir rezeki bila dipelihara baikbaik dan dapat pula menimbulkan malapetaka, jika menganiaya atau membunuh seekor kucing. 3) Paham Totemisme Dalam masyarakat pra-sejara dikenal paham animisme dengan anggapan, bahwa binatang-binatang juga mempunyai roh. Hal ini disebab-kan oleh anggapan, bahwa di antara binatang-binatang tersebut ada yang lebih kuat dari manusia (gajah, buya dan kerbau), ada pula yang larinya lebih cepat dari manusia (singa dan sejenisnya), ada pula binatang yang bersahabat dengan manusia (kucing, anjing, burung dan sebagainya) dan 63



Lihat Haviland (1993: 199-200) orang Melanesia menganggap mana sebagai kekuatan yang terdapat pada semua obyek. Mana sendiri tidak bersifat fisik, tetapi dapat mengungkapkan diri secara fisik. Sukses prajurit dalam pertempuran, misalnya, tidak dianggap berasal dari kekuatannya sendiri, tetapi mana yang terdapat di dalam jimat para prajurit yang tergantung di lehernya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



229



ada pula yang bermanfaat bagi manusia: kerbau untuk bajak sawah, unggas sebagai sumber protein, kuda dan sapi sebagai binatang lomba dan sebagainya. Pendeknya, banyak yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan manusia, sehingga muncul perasaan takut atau juga menghargai binatang-binatang tersebut. Itulah sebabnya orang Sumatera menyebut macan dengan sapaan nenek dan orang orang Bugis-Makassar menyebut buaya dengan sapaan tori salo. Kedua sapaan tersebut dipersonifikasi denga maksud menjalin kedekatan emosional antara manusia dengan kedua binatang tersebut. Banyak orang Bugis yang dilarang mengkonsumsi bale balana’ (ikan salmon), karena dianggap berjasa dalam menyembukan penyakit kanker payu darah nenek moyang mereka (lampe’ susu). Bagi masyakat Lagosi desa Pammana Kabupaten Wajo dilarang mengkonsumsi tedong buleng (kerbau albino), karena dianggap berjasah menyembuhkan penyakit kusta putri raja Luwu yang diasingkan kesana. Sebaliknya, banyak pula binatang yang bermanfaat bagi manusia, seperti; kerbau, sapi, kambing dan sebagainya. Dengan demikian, hubungan antara manusia dengan hewan dapat berupa hubungan permusuhan berdasarkan takut-menakuti, ada pula hubungan baik, hubungan persahabatan, bahkan hu-bungan keturunan (totemism), seperti halnya dengan mitos tori salo di atas. Itulah sebabnya, pada bangsa-bangsa di dunia terdapat kebiasaan meng-hormati binatang-binatang tertentu untuk dipuja dan dianggapnya seketu-runan. Sapaan tori salo bagi orang Bugis dimaksudkan, bahwa jenis buaya yang berjari lima itu adalah buaya keturunan manusia. Totem berupa benda dan mahluk hidup dilarang memakannya. Sapi di India dilarang keras mengkosumsinya, karena di anggap sebagai binatang pemujaan dan sebagai binatang suci bagi mereka. Hubungan di antara penduduk India dengan lembu sangat deat, sehingga mereka merayakan hari khusus untuk lembu yaitu Mattu Ponggal. Ritual Ponggal merupakan hari perayaan di mana para petani di India mengucap terima kasih kepada bumi, air, angin dan matahari. Ritual Mattu Ponggal ucapan terima kasih kepada dewa, karena telah selesai melakukan aktifitas turun kesawah. Lembu-lembu yang habis mereka gunakan membajak di sawah dan kebun dimandikan, dihiasi dan diberi makanan, manisan. Ketika seorang bayi lahir di India hanya dua jenis susu yang boleh diminum yaitu air susu ibunya dan susu lembu. Bukan hanya itu, semua anak-anak dandan orang dewasa diwajibkan untuk meminum susu lembu. Jadi, larang untuk mengkonsumsi daging lembu ada kaitannya dengan ancaman berkurangnya produksi susu, karena lembu produser susu menjadi berkurang. Jadi dari kecamata ilmiah, larang memotong lembu tidak hanya disebabkan oleh kesakratisan lembu-lembu tersebut, melainkan nilai ekonomi yang terkandung di dalam lembu tersebut. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



230



4) Paham Politeisme Politeisme adalah bentuk kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu Tuhan. Secara harfiah berasal dari bahasa Yunani poly + theoi, yang berarti banyak tuhan. Lawan dari paham ini adalah monoteisme, atau kepercayaan yang hanya mengakui satu Tuhan. Politeisme barasal dari bahasa Yunani  (banyak) dan (Tuhan). Istilah ini pertama kali dipakai oleh penulis Yahudi Philo dari Alexandria untuk membantah orang-orang Yunani. Saat penyebaran agama Kristen di seluruh Eropa dan Mediterania, bangsa atau agama non-Yahudi dianggap kafir atau kasarnya penyambah berhala atau orang-orang musyrik yang terkutuk, karena menyembah dewa-dewa palsu. Penggunaan istilah ini pertama kali dihidupkan kembali dalam bahasa Prancis melalui Jean Bodin pada tahun 1580, diikuti oleh Samuel Purchas dalam bahasa Inggris pada tahun 1614. Ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan tetang paham politeisme tersebut; a) Para dewa dan ketuhanan Para dewa politeisme sering digambarkan sebagai tokoh yang kompleks dari status yang lebih besar atau lebih kecil, dengan keterampilan individu, kebutuhan, keinginan dan sejarah. Dalam banyak hal mirip dengan manusia (antropomorfik) dalam kepribadian, kemampuan, pengetahuan atau persepsi. Syirik tidak dapat dipisahkan dengan bersih dari kepercayaan animisme lazim di kebanyakan agama primitif. Para dewa politeisme dalam banyak kasus memiliki urutan tertinggi dari kontinum makhluk gaib atau roh. Mahluk-mahluk tersebut mungkin termasuk nenek moyang, gaib, wight dan lain-lain. Dalam beberapa kasus, roh ini dibagi ke dalam kelas langit (chthonic) dan keyakinan akan keberadaan semua makhluk ini tidak berarti, bahwa semua disembah. b) Politeisme-Gambaran Umum Politeisme adalah kepercayaan dan penyembahan banyak dewa. Biasanya, dewa-dewa ini dibedakan berdasarkan fungsi-fungsi tertentu dan sering mengambil karakteristik manusia. Ini terutama berlaku di Yunani dan Romawi kuno. Dalam budaya politeistik lainnya seperti Mesir kuno, dewa mengambil bentuk dan karakteristik benda-benda yang ditemukan di alam, termasuk pohon, ramuan suci, ternak, hewan dan hewan peliharaan manusia. Kepercayaan pada beberapa dewa adalah hasil dari kepercayaan sebelumnya pada roh, mahluk gaib dan kekuatan supranatural lainnya. Sistem kepercayaan ini mirip dengan animisme, pemujaan leluhur dan totemisme. Akan tetapi, dalam politeisme, kekuatan-kekuatan supranatural Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



231



ini dipersonifikasikan dan diorganisasikan ke dalam rumpun kosmik. Keluarga dewa ini menjadi inti dari sistem kepercayaan budaya tertentu. Keluarga dewa digunakan untuk menjelaskan fenomena alam dan untuk membangun peran budaya di alam semesta. Biasanya, jumlah dewa akan meluas ketika sistem keyakinan budaya berkembang, yang akhirnya menghasilkan sistem hierarki dewa. Seiring waktu, dewa-dewa yang lebih rendah akan berkurang perawakannya atau menghilang sama sekali. c) Politeisme - Dunia Kuno Politeisme tersebar luas di dunia kuno. Orang Mesir memiliki sistem kepercayaan yang sangat maju yang didasarkan pada beberapa dewa. Dewa-dewa ini merupakan batu pijakan budaya Mesir dan masih mempesona kita hingga hari ini. Orang Yunani kuno juga memiliki sistem mitos yang rumit berdasarkan berbagai dewa. Para dewa Yunani sering mengambil bentuk dan kepribadian manusia dan dalam banyak kasus, secara langsung mengganggu kegiatan manusia. Ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan orang-orang Yunani, orang-orang Romawi berasimilasi dengan banyak budaya politeistik Yunani. Seiring waktu, ketika pengaruh Roma menyebar, ia menyerap dewa-dewa lain dari budaya lain yang ditaklukkannya. Selain Mesir, Yunani dan Roma, politeisme tersebar luas di budaya Asia, Afrika, Eropa dan Pribumi Amerika kuno. d) Politeisme Dunia Modern Polytheisme masih mewakili sebagian besar dunia saat ini. Kecuali agama monoteis (kepercayaan pada satu Tuhan). Agama Kristen, Yudaisme dan Islam dan sebagian besar agama dunia adalah sangat politeistik. Politeisme mencirikan kepercayaan Hinduisme, Buddhisme Mahayana, Konfusianisme, Taoisme dan Shintoisme di Timur, termasuk juga agama suku kontemporer di Afrika dan Amerika. Agama-agama ini dipraktekkan secara luas di seluruh dunia dan tetap sangat populer di wilayah leluhur mereka. Beberapa keyakinan politeistis juga populer di Peradaban Barat saat ini. Ini tampaknya merupakan hasil dari meningkatnya imigrasi budaya Timur dan popularitas mainstream pluralisme New Age. Tidak seperti doktrin Kristen, Yahudi dan Islam, jarang ada kebenaran absolut yang terkait dengan pemikiran politeisme. Ide-ide moralitas (pengertian tentang benar dan salah) relatif terhadap individu atau budaya. Setiap orang bebas untuk menyembah dewa pilihannya sesuai dengan kesukaannya. Akibatnya, setiap orang bebas untuk berperilaku sesuai keinginannya. Meskipun sistem politeistik memberikan fleksibilitas dan kurangnya akuntabilitas relativistik, mereka sering meninggalkan pengikut tanpa rasa tujuan akhir dan tidak ada prospek untuk harapan abadi. Iman monoteistik seperti Kekristenan mengajarkan, bahwa kebenaran absolut adalah kenyataan, manusia ada di bumi untuk suatu tujuan. Keselamatan kekal atau abadi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



232



adalah mungkin bagi mereka yang mencari hubungan yang didamaikan dengan satu Allah yang benar. Politeisme adalah kepercayaan kepada dewa-dewa. Tujuan beragama dalam politeisme bukan hanya memberi sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dan memberikan rahmat bagi masyarakat yang bersangkutan. 5. Paham Henoteisme Menurut Mark S. Smith (2008), bahwa pada mulanya, istilah henoteisme digunakan untuk melihat sistem kepercayaan di Mesir dan Israel. Mesir dan Israel memperlihatkan sistem kepercayaan kepada satu dewa. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana melihat perbedaan dari sistem kepercayaan tersebut. Pertanyaan ini menuntut sebuah jawaban yang didasarkan pada pertimbangan yang matang. Istilah henoteisme merupakan sebuah usaha untuk merangkul perbedaan dari sistem kepercayaan tersebut. Dalam dunia akademis, istilah ini muncul dalam diskusi agamaagama. Istilah henoteisme muncul pada abad 19 oleh seorang yang bernama F. Max Muller. Tokoh lain yang memakai istilah henoteisme sebelum F. Max Muller adalah Friedrich Schelling. F. Max Muller menggunakan istilah henoteisme untuk memahami bahwa ada satu dewa yang berkuasa di atas dewa-dewa lain. Kuasa ini yang memungkinkan dewa ini memiliki posisi di atas dewa-dewa lainnya (Mark S. Smith. 2008 dan Mariasusai Davamhony, 1995). Ide tentang henoteisme ini muncul saat Muller membaca kitab Weda. Selain F. Max Muller, tokoh lain yang juga memakai istilah henoteisme adalah Henk S. Versnel. Versnel memakai istilah henoteisme untuk membaca sistem kepercayaan di Romawi. Bagi Versnel, istilah henoteisme cocok dengan sistem kepercayaan di Romawi. Henoteisme adalah suatu pemahaman, bahwa hanya ada satu dewa yang berkuasa di dalam dunia tanpa memungkiri akan keberadaan dewadewa lainnya (Gea, 2004 dan Badudu, 2003). Henoteisme juga dipahami sebagai sebuah tahap keagamaan yang berada di antara politeisme ke monoteisme (Macdonald, 2012). Tahap keagamaan yang dimaksud adalah Tahap perubahan keyakinan dari keyakinan, bahwa ada banyak dewa yang berkuasa (politeisme) sampai keyakinan, bahwa hanya ada satu dewa berkuasa (monoteisme). Henoteisme sinonim dengan monolatrisme. Secara implisit, pemahaman henoteisme ini dapat ditemukan di dalam salah satu tokoh Alkitab yaitu Musa. Dalam kaitannya dengan ibadah atau penyembahan, henoteisme dilihat sebagai suatu ibadah yang secara temporal dilakukan terhadap satu dewa yang dianggap berkuasa. Namun, dewa yang dianggap berkuasa tersebut menyerap dewa-dewa lainnya. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



233



Paham Henoteisme secara sederhana dipahami sebagai pemahaman tentang satu dewa yang berkuasa, tetapi tetap mengakui keberadaan dewadewa lain (Macdonald, 2012). Akan tetapi, ada banyak sudut pandang tentang pengertian henoteisme (Gea. 2004). Salah satunya adalah sudut pandang yang melihat, bahwa henoteisme adalah sebuah pemahaman yang menyatakan hanya ada satu dewa yang berkuasa di dunia ini. Akan tetapi, perlu dipahami, bahwa penguasa di satu tempat berbeda dengan penguasa di tempat lain. Ada pula sudut pandang yang melihat, bahwa henoteisme adalah sebuah pemahaman yang menyatakan, bahwa hanya ada satu dewa yang berkuasa di dunia, tetapi dewa itu hanya berlaku pada masa tertentu. Pada masa yang lain, dewa lain yang akan berkuasa. Jadi, ada semacam suksesi pergantian kekuasaan para dewa. 5) Paham Monoteisme Monoteisme adalah faham yang meyakini Tuhan itu tunggal dan personal, yang sangat ketat menjaga jarak dengan ciptaan-Nya. Paham seperti ini, terutama diyakini oleh para penganut agama wahyu yaitu Islam. Islam hanya mengakui Allah itu hanya satu. Allah tidak diperanakkan dan tidak memiliki anak. Allah tidak boleh disamakan dengan suatu, karena Allah memang Cuma, sehingga sangat dilarang untuk mempersekutukanNya. e. Agama dalam Pandangan Para Ahli Dalam kehidupan sehari-hari kadang-kadang sulit dibedakan mana perbuatan yang sesuai dengan agama dan mana yang tidak. Perlu juga saya sampaikan di sini, bahwa buku ini tidak membahasa hanya satu agama. Dengan demikian, dapat saya katakan pula, bahwa buku ini membahas dan mengambil contoh-contoh dari beberapa agama, yang berkenaan dengan topik yang dibahas dalam buku ini. Perlu saya jelaskan di sini sebelumnya, bahwa agama dalam pembahasan ilmu budaya adalah keberagamaan bukan agama seperti yang dipelajari dalam ilmu agama dan teologia. Jadi, yang menjadi pokok bahasan di dalam buku Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar adalah mengapa tingkah laku manusia dalam melaksanakan agamanya bervariasi ? Mengapa manusia harus memiliki agama ? Pertanyaan selajutnya adalah tentang eksistensi agama dan kebudayaan. Banyak orang berpendapat, bahwa agama adalah agama dan bukan kebudayaan. Sebaliknya ada pula yang mengatakan, bahwa agama pada prinsipnya adalah bagian dari agama. Dengan demikian, muncul pertanyaan apakah agama adalah kebudayaan atau agama bagian dari kebudayaan ataukah dalam setiap kebudayaan, atau agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial ? Menurut Emile Durkheim (Beliharz, 2003), bahwa agama tidak pernah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



234



lepas dari argumentasi agama sebagai bagian dari fakta sosial64. Selain itu, Emile Durkheim dalam studinya menghasilkan dua konsep tentang agama, yaitu: yang sakral (sacret) dan yang sosial (profan). Konsep inilah yang mengangkat namanya sejajar dengan beberapa ahli sosiologi dan antropologi agama. Ia pun kemudian disebut sebagai bapak fase teori sosiologi modern yang paling utama. Ia pun kemudian setara dengan Max Weber dan Sigmund Freud (Pals, 19..) dalam pemikiran sosiologi dan antropologi abad ke-20. Sosok Durkheim dianggap sebagai ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep fungsi sosial dari agama. Para ahli sosiologi modern lebih memilih konsep Emile Durheim untuk mendefinisikan fungsi-fungsi sosial agama, yaitu: Fungsi solidaritas sosial, memberi arti hidup, control sosial, perubahan sosial dan dukungan psikologi. Emile Durkheim membangun suatu kerangka yang luas untuk analisis sistem sosial yang penting bagi sosiologi dan disiplin ilmu yang berkaitan. Emile Durkheim dalam bukunya berjudul The Elementary Forms of Religious Life, yang merupakan peletak dasar-dasar sosiologi agama. Durkheim juga meneliti dan menganalisis masalah agama dan menukik lebih kedalam tentang hal-hal yang paling primitif. Masyarakat pada umumnya hanya melihat agama sebagai sesuatu sakralnya saja dan dia memisahkannya dari hal-hal yang profan (bersifat umum). Durkheim juster sebaliknya, karena dia melihat sesuatu yang profan itu sebagai sesuatu yang sakral dan sangat istimewa. Sekalipun demikian, ia tetap mempertahankan esensial agama yang ada, serta mengungkapkan realitas sosialnya. Menurut Durkheim, bahwa agama itu ada. Ia tidak pernah berfikir, bahwa agama itu tidak ada (Ritzar dkk., 1997). Akan tetapi, disisi lain dia tidak percaya dengan realitas supranatural yang telah menjadi pedoman agama tersebut. Durkheim juga berfikir, bahwa sebenarnya masyarakat hanya berpegang pada pemahaman reliius masyarakat itu sendiri, yang menganggap Tuhan hanya sebagai simbol atau formalitas yang seharusnya berseberangan dari pemikiran itu. Dengan kata lain, bahwa masyarakat merupakan sumber dari segala kesakralan itu sendiri. Menurut Durkheim, bahwa yang sakral bukan benda itu, melainkan berbagai sikap dan perasaan (manusianya) yang memperkuat kesakralan benda-benda itu. Dengan demikian kesakralan terwujud, karena sikap 64



Fakta sosial (social fact) adalah sebuah fakta yang berkenaan dengan hakekat interaksi, nilai dan proses sosial yang dapat diidentifikasikan (Al-Barry, 2000: 81). Koentjaraningrat dkk. (2003: 61) memandang fakta sosial sebagai fakta yang berhubungan dengan gejala masyarakat.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



235



mental yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum itu sendiri sebagai emosi sakral yang paling nyata. Ia adalah gabungan antara pemujaan dan ketakutan. Perasaan kagum itu menyebabkan daya tarik dari rasa cinta dan penolakan terhadap bahaya. Demikian juga sebaliknya hal-hal yang biasa tidak mengandung misteri atau mengagungkan di sebut sebagai profan. David Emile Durkheim muncul sebagai pahlawan dalam kekalahan Prancis dan Rusia, terutama terhadap dekadensi yang melanda negara dan bangsa Perancis, khususnya dalam bidang moral. Ia dalam studinya lebih banyak dipengaruhi oleh A. Comte. Menurut Lukes, bahwa pengaruh Comte terhadap Durkheim bersifat fomatif. Unsur yang paling penting adalah perluasan sikap ilmiah terhadap studi tentang masyarakat, seperti ditulis oleh Durkheim dalam tesisnya tentang sumbangan Montesqieue bagi lahirnya sosiologi juga masih di dalam bayang-bayang Comte. Durkheim dalam studinya menghasilkan dua teori moral. Emile Durkheim mengambil jalan tengah dan menghapus jarak antara manusia dan alam. Hal ini yang memungkinkan penjelasan tentang moral dan religi dengan cara pandang sosiologi. Ia setuju dengan kaum Idealis, bahwa pengalaman moral ini tidak dapat dikembalikan pada alam. Ia juga sependapat dengan aliran Naturalis dengan menempatkan gejala-gejala kemanusiaan seperti kebudayaan, pengetahuan, masyarakat, religi dan moral dalam dunia alam. Dalam pandangan filsafatnya yang kedua yaitu realisme, Durkheim mengakui, bahwa masyarakat sebagai suatu kenyataan. Ada beberapa pendapat tentang paham-paham keagamaan, baik dalam ruang lingkup manusia primitif maupun modern dengan pendekatannya masing-masing, sebagai berikut: 1) Pendekatan Intelektualis Pendekatan ini, berasal dari studi klasik Edward Tylor dan James Frazer yang menunjukkan, bahwa agama dapat dipahami sebagai cara untuk menjelaskan peristiwa di dunia. Seperti yang dikatakan oleh Robin Horton (1971: 94), keyakinan agama adalah sistem teoritis yang dimaksudkan untuk penjelasan, prediksi dan kontrol acara ruang-waktu. Demikian Horton menganggap pemikiran agama Afrika sama dengan ilmu pengetahuan. EvansPritchard studi klasik tentang sihir Azande dipandang sebagai contoh gaya analisis ini. Pendekatan agama seperti ini memandang, bahwa agama itu sangat parsial. Penjelasan tentang peristiwa religius hampir tidak masuk akal bila dibandingkan dengan yang ada dalam sains (Morris, 1987 :91–106 dan 304–9; Horton, 1993). 2) Pendekatan Emosionalis Teori-teori psikologi agama memiliki sejarah panjang akan kembali ke Hume dan Spinoza. Pendekatan ini menunjukkan, bahwa agama merupaIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



236



kan respons terhadap tekanan emosional. Dengan demikian, agama berfungsi untuk mengurangi ketakutan dan kecemasan. Fungsionalisme biologis Malinowski dan teori psikoanalitik Freud adalah contoh klasik dari pendekatan terhadap agama ini dan sihir. Sekalipun Wittgenstein menganggap, bahwa setiap upaya untuk menjelaskan kehidupan sosial adalah 'salah'. Dia juga berpikir, seperti halnya positivis logis lainnya, bahwa ritual religius terutama memiliki fungsi katarsis (Tambiah, 1990: 56-7). 3) Pendekatan Strukturalis Claude Levi-Strauss (1963 dan 1969) menjadi tokoh utama dalam pendekatan ini, sehingga namanya selalu diidentifikasikan dengan karya-karya penting dalam bidang strukturalis. Paradigma strukturalisme Levi-Strauss dalam antropologi memberi kemudahan kepada kita untuk mengungkap berbagai fenomena budaya yang terjadi dan diekspresikan oleh berbagai suku pemilik kebudayaan, termasuk juga seni di dalam budaya. Pokok atau fokus bahasa dari Levi-Strauss adalah pada bentuk (pattern) dari kata. Menurut Levi-Strauss bentuk-bentuk kata, erat kaitanya dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Konsep oposisi biner dianggap sebagai konsep yang sama dengan organisasi pemikiran manusia dan kebudayaan. LeviStrauss juga mengutip beberapa konsep dari Ferdinan de Saussure, seperti: tanda bahasa yang terdiri dari signifier (penanda) yang berwujud bunyi dan signified (petanda) dan juga konsep langue dan parole serta aspek sintagmatik dan paradigmatic. Selain itu Lévi-Strauss juga membedakan struktur menjadi dua macam (lihat Noam Chomsky); struktur luar (surface structure) dan struktur dalam (deep structure). Selanjutnya ia juga mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Asumsi dasar strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu kebudayaan juga diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat. 4) Pendekatan Interpretatif Pendekatan interpretatif digambarkan sebagai semantik, simbolis, semiotik, atau hermeneutik, mewakili perkembangan, serta reaksi terhadap sosiologis sebelumnya pendekatan agama, terutama struktural-fungsionalisme. Antropologi interpretatif menempatkan penekanan pada agama sebagai sistem budaya atau simbolis. Pendekatan simbolis atau interpretatif ini erat kaitannya dengan karya Clifford Geertz (1975), yang juga banya dianut oleh sarjana lainnya; Mary Douglas, Marshall Sahlins, John Beattie, Victor Turner dan Stanley Tambiah. Meskipun pendekatan interpretatif adalah bagian penting dan integral dari 'warisan ganda' antropologi, namun penganut pendekatan simbolis atau hermeneutik ini cenderung menolak ilmu sosial dan analisis komparatif. Mereka justru merangkul seorang yang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



237



agak idealis metafisika, yang anti realist dan menyiratkan epistemologis ekstrem relativisme, yang lebih banyak berkenaan dengan masalah keagamaan (Geertz 1975; Morris, 1987: 203–63; Hamilton, 2001: 177–84). 5) Pendekatan Kognitif Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa antropolog antusias mengikuti sosiobiologi dan cabang-canangnya, psikologi evolusioner, sebagai strategi untuk menggenjot antropologi agama menkadi studi saintifik yang benar-benar ilmiah. Ide dasarnya adalah, bahwa sistem keagamaan bisa dijelaskan dalam hal karakteristik psikologi manusia dasar atau panbudaya (Hinde, 1999: 14). Penekanannya terletak pada mekanisme kognitif atau kecenderungan yang telah adaptif dalam arti biologis, yaitu dalam membina kelangsungan hidup atau keberhasilan reproduksi manusia di masa lalu. Keyakinan dan ritual agama dideskripsikan sebagai counter-intuitive, yaitu bertentangan dengan asumsi yang masuk akal dan pengalaman, tetapi tetap sebagai ‘alami’; dan penjelasan untuk keyakinan dan ritual semacam itu dapat ditemukan dengan cara semua pikiran manusia bekerja (Boyer, 2001: 3). Namun, ‘pikiran’, menurut pendekatan ini, tidak sekadar ‘kosong slate ’di mana budaya menulis skenarionya, tetapi terdiri dari‘ keseluruhan variasi mekanisme kognitif yang secara kolektif tidak hanya menjelaskan keberadaan agama konsep tetapi juga ketekunan mereka dalam budaya manusia, serta menjelaskan di mana agama telah muncul dalam sejarah manusia (Boyer, 2001: 342). Bahkan ateisme dijelaskan dengan mengacu pada mekanisme kognitif yang sama dan mungkin Teori Boyer sendiri juga. Pascal Boyer cenderung meremehkan pendekatan lain untuk agama --- intelektualis, emosionalis, sosiologis --- dan membuat lebih baik klaim muluk untuk pendekatan kognitif. Pada dasarnya pendekatan ini adalah atomistik dan tampaknya tidak ada faktor penengah, seperti agensi manusia dan kehidupan sosial --- antara unit budaya atau meme. Meme adalah simbol budaya atau ide sosial yang ditransmisikan secara viral. Sebagian besar meme modern adalah foto bertepi yang dimaksudkan untuk menjadi lucu, seringkali sebagai cara untuk mengolok-olok perilaku manusia. Meme lainnya dapat berupa video dan ekspresi verbal. Beberapa meme lebih berat dan lebih filosofis. Pendekatan kognitif lebih lanjut diungkapkan oleh Stewart Guthrie (1993), yang menyarankan bahwa semua agama adalah semacam anthropomorphism, yang mensitribusi karakteristik manusia ke hal-hal dan peristiwa bukan manusia. Jadi, ia juga memandang agama sebagai dasar ilusi. Meskipun antropomorfisme itu digembar-gemborkan sebagai teori baru tentang agama --- Max Muller demikian juga Levi-Strauss --- jauh lebih awal mendefinisikan dalam istilah yang sama yaitu personifikasi atau fenomena antropomorfisme alam (Boyer, 1993; McCauley dan Lawson, 2002). Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



238



6) Pendekatan Fenomenologis Ini adalah pendekatan klasik dalam studi agama. Pada dasarnya berasal dari tulisan-tulisan filsuf Jerman Edmund Husserl. Hal ini telah banyak ditulis dan dibahas dalam karya Rudolf Otto, Carl Jung, Gerardus Van Der Leeuw dan Mircea Eliade. Fenomenologi pada intinya menyiratkan metode filosofis untuk mencoba mendeskripsika secara netral tentang peng-alaman manusia. Ini pada dasarnya memerlukan dua langkah: 1) gagasan (epoche) penangguhan penilaian sebelumnya dan sikap alami (bracketing). Jadi fokus kajian pendekatan ini berada pada pengalaman sadar (conscious), yang memungkinkan fenomena untuk berbicara sendiri, 2) gagasan intuisi eidetik, yang dapat ditemukan melalui intuisi terhadap makna penting dari fenomena tersebut. Di beberapa dekade terakhir banyak antropolog secara eksplisit bergabung ke fenomenologi, meskipun dengan istilah ini mereka tidak bermaksud 'sains ketat' Husserl, melainkan sebuah penolakan ilmu sosial dan analisis komparatif dan fokus sempit pada interpretasi fenomena budaya melalui deskripsi tebal atau hermeneutika. Ironisnya, sementara banyak antropolog postmodern telah memeluk faham fenomenologi dan teologi New Age, para sarjana studi agama, sebaliknya, telah menekankan pentingnya mengembangkan yang lebih sekuler dan pendekatan saintifik terhadap agama. Dalam prosesnya, mereka telah menawarkan beberapa kritik yang meyakinkan dari pendekatan fenomenologis terhadap agama, yaitu memperlakukan agama sebagai sui generis dan sebagai wilayah otonom independen dari kehidupan sosial dan psikologi manusia; saya t mengandaikan alam ilahi (atau entitas spiritual) bukan sebagai konstruksi sosial tetapi memiliki realitas ontologis; ini menunjukkan bahwa asal agama berada dalam pengalaman pribadi kekaguman atau misteri; dan akhirnya, itu sepenuhnya bergantung pada pemahaman intuitif dan dengan demikian mengabaikan pentingnya menjelaskan agama sebagai fenomena sosial (Jensen dan Rothstein, 2000). Perlu dicatat, tentu saja, ada banyak tumpang tindih dan umum tanah di antara pendekatan strukturalis, interpretif dan fenomenologis untuk agama, karena mereka semua memperlakukan agama sebagai sistem simbolik yang dasarnya, bercerai dari dunia sosial politik dan ekonomi yang lebih luas. Mereka berbeda dalam apa yang mereka cari mengungkap - kode simbolik atau skema, makna budaya, arketipe, atau universal. Esensi Contoh yang terakhir adalah suci (Eliade) atau iman pribadi (Cantwell Smith) - yang hampir tidak mencerahkan apa-apa (Cox, 1992: 38–9). Apa yang penting fenomenologi adalah bahwa hal itu menekankan pentingnya pendekatan empati terhadap budaya lain dan kebutuhan untuk berjalan dalam mokasin umat beriman, mengambil sudut pandang netral dan dengan demikian melihat fenomena agama dari sudut pandang orang-orang itu sendiri. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



239



Antropolog seperti Boas dan Malinowski telah, tentu saja, mengadopsi pendekatan fenomenologis ini jauh sebelum Husserl's renungan filosofis tentang 'dunia kehidupan' manusia sehari-hari dan memang demikian intrinsik untuk beasiswa antropologi (pada pendekatan fenomenologis untuk agama, lihat Morris 1987: 174–81; Erricker, 1999). 7) Pendekatan Sosiologis Ini adalah pendekatan yang diadopsi oleh sebagian besar ahli antropologi dan sosiolog selama setengah abad terakhir dan itu pada dasarnya berasal dari seminal tulisan-tulisan Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim. Dengan demikian termasuk klasik fungsionalisme struktural, terkait dengan A. R. Radcliffe-Brown, Raymond Firth dan John Middleton; pendekatan neo-Marxis yang diadvokasi oleh antropropologists sebagai W. M. Van Binsbergen, Peter Worsley dan Maurice Godelier; dan sosiologi historis yang diungkapkan oleh para sarjana neo-Weberian seperti Gananath Obeyesekere dan Ernest Gellner. Karya banyak antropolog ini dibahas nanti di ruang belajar. Inti dari semua pendekatan sosiologis adalah gagasan itu agama pada dasarnya adalah fenomena sosial, konstruksi manusia dan dengan demikian bisa hanya dipahami ketika ditempatkan dalam konteks sosio-historisnya. Keagamaan keyakinan dan nilai-nilai, praktik ritual dan struktur organisasi dengan demikian dilihat sebagai produk-produk proses sosial dan struktur sosial yang lebih luas pola-pola sosial hubungan. Oleh karena itu, agama bukanlah ranah otonom dalam kehidupan sosial tetapi secara intrinsik terkait dengan isu-isu seperti kesehatan, gender, identitas sosial dan politik yang lebih luas ekonomi dan untuk proses sosial seperti globalisasi dan hubungan antarkelompok. Tentu saja, diakui bahwa agama, pada gilirannya, memengaruhi kehidupan sosial dan budaya makna dalam berbagai tingkatan, apakah sebagai ideologi melegitimasi penindasan kelas (Marx), atau berfungsi untuk mempertahankan pola kehidupan sosial abadi (Durkheim), atau sebagai faktor penting dalam kebangkitan kapitalisme (Weber). Pendekatan sosiologis untuk agama karenanya selalu dikombinasikan pemahaman interpretatif dengan sosiologis analisis. Sebagaimana yang terkenal oleh Weber, sosiologi didefinisikan sebagai 'sains yang mencoba pemahaman interpretatif tindakan sosial agar tiba pada penjelasan kausal tentang sebab dan akibatnya. Dengan demikian ini menyiratkan metode penyelidikan yang dikenal sebagai Verstehen, pemahaman yang penuh empati makna subjektif (yaitu, fenomenologi) serta menjadi terpusat peduli dengan penjelasan fakta sosial. Raymond Firth telah secara meyakinkan menyatakan tujuan dari antropologi sosial agama sebagai bidang penyelidikan, karena tidak hanya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



240



terdiri dari pengamatan pribadi tetapi juga melibatkan 'benar-benar mengambil bagian dalam praktik agama dari orang-orang yang ada mempelajari dan pembahasan sistematis tentang keyakinan agama mereka dengan mereka. Tapi itu juga melibatkan, dia menulis, mempelajari agama dalam latar sosialnya dan mencatat parameter ekonomi dan politik untuk ide dan operasi keagamaan (1996, 3). Itu pernyataan paling ringkas dari pendekatan sosiologis terhadap agama diungkapkan oleh Beckford dalam menyarankan bahwa itu mempelajari proses di mana agama, dalam segala hal variasi dan kompleksitas, terjalin dengan fenomena sosial lainnya. Pendekatan sosiologis terhadap agama telah banyak dikritik oleh hermeneutika sarjana yang menyarankan bahwa analisis sosiologis seperti itu tidak sepenuhnya terlibat dalam drama dan intensitas ritual keagamaan dan simbolisme dan melibatkan pengenaan teori dan kategori barat atas data etnografi (Fernandez, 1978). Meskipun seseorang dapat mengakui wawasan yang ditawarkan oleh etnografi yang sangat bertekstur ritual khusus dalam konteks etnis yang sempit, antropolog seperti Van Binsbergen membela pendekatan sosiologis yang lebih sintetik. Dia menunjukkan bahwa studinya sendiri, seperti para sarjana seperti Firth, Horton dan Middleton, muncul dari pekerjaan lapangan yang bersifat eksperiensial dan partisipatif dan yang satu itu tidak dapat mengejar jenis antropologi apa pun di luar intelektual barat tradisi (Van Binsbergen 1981, 34–6). Memang, memperlakukan ritual keagamaan sebagai ranah otonom dan fokus secara eksklusif pada simbolisme, estetika dan pengalaman idiosynkratik pribadi juga mencerminkan pengenaan nilai barat dan keasyikan intelektual pada budaya lain. Dengan demikian kita perlu menggabungkan hermeneutika dengan analisis sosiologis E. Kebudayaan dan Ekonomi 1. Kebudayaan dan Ekonomi Setali Tiga Uang Kebudayaan dan ekonomi tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya sejak manusia ada di atas bumi ini. Kebudayaan adalah alat untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) dari manusia untuk melangsungkan kehidupan mereka. Ekonimi, di pihak lain, adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada intinya, kebudayaan adalah atat manusia untuk menghadapai permasalahan hidunya. Saya masih ingat konsep POJ (petik-olah-jual) yang dikemukakan oleh Prof. DR. Ahmad Amiruddin, MA, mantan rektor Universitas Hasanuddin. Ada tiga wujud kebudayaan manurut James Spradley (1980) yaitu: 1) Apa yang manusia pikirkan tentang sesuatu (cultural knowledge), 2) Apa yang manusia lakukan (cultural behavior) dan 3) apa yang menjadi hasil pikiran dan perilaku manusia (cutural artifact). Tentu saja ketiganya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



241



digunakan untuk menghasilkan tiga aspek ekonomi: 1) Sumberdaya manusia (means of human resources) sebagai pelaku ekonomi, 2) Produksi barang (means of productions) dan 3) Hasil produksi untuk transaksi di pasar (market demands). 2. Budaya dan Ekonomi dalam Pandangan Atropologi Ekonomi Menurut Stephen (2001), bahwa antropologi ekonomi hadir untuk kehidupan industri yang selalu berorientasi pasar global dan non-industri yang tidak terlalu bersentuhan pasar global. Menurutnya, bahwa antropologi ekonomi selalu memiliki dua alam: komunitas atau masyarakat sebagai pelakunya dan dan pasar sebagai tempat trasaksinya. Kedua aspek tersebut membentuk ekonomi, karena manusia termotivasi oleh pemenuhan kebutuhan sosial, rasa ingin tahu, kesenangan penguasaan, serta tujuan instrumental, persaingan dan akumulasi keuntungan. Menurut Chris Hann and Keith Hard (2011) antropolog bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip organisasi sosial di setiap tingkatan dari yang paling khusus hingga yang universal. Tujuan antropologi ekonomi pada abad ke-9, bahkan sebelum mengambil bentuk sebagai ekonomi manusia primitif, adalah untuk menguji tatanan ekonomi yang harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang menopang masyarakat industri Barat yang berjuang untuk universalitas. Pencarian dilakukan untuk mencari alternatif yang mungkin mendukung ekonomi yang lebih adil, baik liberal, sosialis, anarkis atau komunis. Karena itu minat akan asal-usul dan evolusi, karena masyarakat ada dalam gerakan. Antropologi adalah cara berpikir paling inklusif tentang kemungkin-an ekonomi. 3. Ekonomi dalam Kehidupan Sosial Budaya Tidak dapat dipungkiri, bahwa faktor ekonomi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, yang mencakup banyak bidang dalam hidup ini contohnya dalam bidang sosial budaya yang akan Saya jelaskan hubungannya. Faktor Ekonomi mampu mempengaruhi tingkat status sosial seseorang, yaitu: faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor keturunan dan pekerjaan seseorang. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bila di Indonesia justru faktor ekonomi menjadi ukur status sosial seseorang. Pola hidup seseorang meningkat sejalan dengan peningkatan tingkat kekayaan yang dimilikinya. Pola hidup tersebut akan menjadi ciri pembeda dengan orang yang tingkat ekonominya dibawah standar pada masyarakat tersebut. Perbedaan tersebut juga dapat mempengaruhi selera (taste) seseorang berdasarkan status ekonomi yang mereka milik. Orang yang memiliki tingkat ekonomi mapan umumnya memiliki selera yang tinggi pula dan sebaliknya. Orang yang mapan ekonominya, bisanya memilih tempat makan di restoran kelas papan atas. Mereka memilih maskapai penebangan terkenal bila mau bepergian (Garuda untuk indonesia, SG Airline dan Dubai Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



242



Airliner untuk ke luar negeri). Ketika ingin menginap di satu tempat mereka dipastikan memilih hotel berbintang lima. Ketika mereka ingin membeli barang: pakaian bermerek, kendaran yang mahal, rumah yang mewah dan sebaginya. Sebalinya orang yang ekonominya kurang mapan akan memilih pemenuhan selerah yang murah meriah: makan di warteg, beli pakaian di pasar cakar, bepergian dengan kapal laut, naik mobil angkutan umum dan sebagainya. Selain itu, dalam pergaulan sosial juga menampakkan perbedaan. Seseorang dengan status tinggi akan berpenampilan lebih elegan dan berbicara dengan sopan dan halus. Sedangkan masyarakat dengan status sosial rendah umumnya berpenampilan tidak menarik dan kurang memperhatikan penampilannya, dalam berbicara pun mereka sering menggunakan kata-kata yang kasar dan kurang sopan di dengar. Perbedaan ini kemudian munculkan stratifikasi social atau bisa disebut juga kasta. Stratifikasi sosial tentunya memiliki memiliki beberapa dampak yang terjadi dalam kehidupan sosial, selain dampak negatif ada pula dampak positifnya. Berikut dampak positif dan negatif dari stratifikasi sosial: a. Dampak Positif Stratifikasi Sosial Seseorang selalu berusaha untuk berprestasi dan maju, karena adanya kesempatan untuk pindah strata. Kesempatan ini mendorong orang persaingan dan mebutuhkan bekerja keras, agar dapat naik ke strata atas. Sebai contoh seorang anak miskin dari desa terpencil berusaha belajar dengan giat agar, mendapatkan pengetahuan untuk masa depannya. Sang anak tersebut berusaha membangun kapsaitas sosialnya (social capcities) untuk meraih citacitanya dan mewujudkan impiannya. Ia pun mampu melakukannya dengan baik, sehingga sang anak tersebut pada akhirnya mendapatkan modal sosial (social capital) yang ia inginkan. Persaingan seperti ini juga dapat dilihat di dalam masyarakat patimitif dan lokal. Suku kapauku, misalnya, berusaha untuk menikah sebanyak mungkin (poligami), agar ia dapat mepekerjakan istri-istrinya untuk memelihara babi. Banyak istri dan banyak babi merupakan modal sosial bagi yang bersangkutan. Strategi inilah yang membuatnya mampu memobilisasi dirinya untuk meningkatkan status sosialnya. Orang Bugis juga lebih memilih untuk berpoligami, karena ingin memobilisasi statusnya ke yang lebih baik, karena yang melakukan poligami bagi orang Bugis adalah yang bertatus tinggi. Saya pernah memberi contoh kepada mahasiswa saya tentang tiga etnis yang mendapat bantuan dari seseorang. Bantuan sejumlah 90 juta rupiah ini diserahkan masingmasing 30 juta rupiah kepada tiga etnis: Cina, Bugis dan Makassar. Bantuan pertama diserahkan kepada orang Cina, yang memang berlatar belakang dan jiwa dagang yang cukup tinggi. Orang Cina tersebut berkata hayya modal untuk jual barang kelontong. Sumbangan yang kedua diserahkan kepada orang Bugis sebanyak 30 juta rupiah dan berkata sukkuru’ka’ mappoji Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



243



lao ri Puangngalataala, nasaba’ maelokka’ makkatenning galung, artinya ‘syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena pas saya mau beli gadai sawah’. Bantuan terakhir diberikan kepada orang Makassar dan ia pun berkata syukkura’ka’ mai rikaraeng Alla Taala, sabat gappaka’ doi’ bantuang tallumpulo juta’. Ketika kita menilik lebih dalam, maka sesungguhnya ketiga orang yang berlatar belakang budaya yang berbeda. Dengan demikian, cara pandang mereka terhadap bantuan tersebut dipastikan berbeda pula. Orang Cina memandang bantuan tersebut sebagai modal aktif (active capital) untuk menjalankan usahanya di bidang perdangan kelontongan. Lain pula halnya dengan orang Bugis yang menganggap bantua tersebut sebagai modal pasif (passive capital) untuk beli gadai sawah. Sedangkan orang Makassar yang menerima bantuan tersebu hanya sebatas sebagai bantuan, bukan sebagai modal usaha, tetapi lebih cenderung ke arah modal sosial belaka. Pada tahun 1993 saya punya teman yang tinggal di Parang Bo’bo Kec. Tinggi Moncong Kab. Gowa. Suatu ketika saya sama-sama kerumah pamannya dan kami diberi uang masing-masing satu juta sebagai ongkos pembuatan rumahnya di Malino. Saat dia menerima uang dari pamannya iapun langsung melelfon taxi untuk mengantarnya ke Parang Bo’bo, yang ketika itu jalannya cukup jelek. Ia harus mengeluarkan ongkos ketika itu Rupiah 500.000,- demi memperlihatkan kepada orang sekampungnya, bahwa ia mampu naik taksi kerumahnya. Pada hal ongkos normal naik angkot ketika itu adalah Rp. 25.000,- dengan dua kali ganti kendaraan. Maaf, jika contoh ini saya berikan berdasarkan analisa yang saya lakukan berdasarkan fakta yang ada. Tidak ada niat saya untuk etnosentrisme. Apa yang kuinginkan, adalah dorongan untuk memiliki etos kerja untuk memobilisasi status sosialnya. Etos kebudayaan (cultural ethos) adalah sifat, nilai dan adat istiadat khas yang memberi watak kepada kebudayaan suatu masyarakat. Etos berarti pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial. Etos sinonimi dengan konfigurasi (patterns culture) yang digunakan R. F. Benediet (Koentjaraningrat, 2003: 57). Menurut Abu Hamid (2003), etos adalah sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetik, serta suasana hati seseorang atau masyarakat. Etos berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpu pada nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola tingkah laku dan rencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian baik atau buruknya suatu pekerjaan. Etos kerja bisa diartikan sebagai suatu sikap dan kehendak secara sukarela, tanpa dipaksa dan didorong oleh adanya keuntungan dan harapan. Etos berkaitan dengan moralitas, meskipun tidak identik. Sikap moral mengarah pada orientasi terhadap norma-norma yang harus ditaati, sedang etos kerja adalah sikap kehendak yang diperlukan untuk kegiatan tertentu. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



244



Mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Pada umumnya perkembangan sarana transportasi di Indonesia berjalan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh perbedaan regulasi pemerintah masing-masing negara dalam menangani kinerja sistem transportasi yang ada. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana transportasi seperti dermaga, bandara dan jalan rel kereta api dapat menimbulkan efek ekonomi berganda yang cukup besar, baik dalam hal penyediaan lapangan kerja, maupun dalam memutar konsumsi dan investasi dalam perekonomian lokal dan regional. Kurang tanggapnya pemerintah dalam menanggapi prospek perkembangan ekonomi yang dapat diraih dari tansportasi merupakan hal yang seharusnya dihindari. Mereka yang mempunyai kendaraan lebih bagus atau mewah daripada yang lain, akan menduduki status sosial yang tinggi. Status sosial yang ada di sini adalah status sosial penampakan belaka. Yang menjadi tujuan utama orang seperti ini nominasi nilai akset uang dan barang (material and non-material accests) yang mereka miliki. Sedangkan orang Cina di atas berusaha meraih kesempatan (chance) sebanyak mungkin dalam perputaran modal yang mereka miliki. Jadi, yang menjadi tujuan utamanya adalah omset (turnover). Orang Cina tersebut ternyata mengetahui dan menjalankan prinsip, bahwa ketika seseorang punya uang sebanyak apapun belum pasti mendapatkan banyak kesempatan. Sebaliknya, ketika saya memiliki banyak kesempatan berati saya mampu mendapatkan banyak uang. b. Dampak Negatif Stratifikasi Sosial Umumnya ada tiga dampak negative dalam  stratifikasi sosial, yaitu: 1) Konflik Antar Kelas Dalam masyarakat, terdapat lapisan-lapisan sosial, karena ukuranukuran seperti kekayaan, kekuasaan dan pendidikan. Kelompok dalam lapisan-lapisan tadi disebut kelas-kelas sosial. Apabila terjadi perbedaan kepentingan antara kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat dalam mobilitas sosial, akan muncul konflik antarkelas. Saya ambil contoh demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh yang menuntut kenaikan upah, menggambarkan konflik antara kelas buruh dengan pengusaha. Hal ini terjadi, karena adanya persepsi tentang pemenuhan hak dan kewajiban. Faktor penyebab demo kenaikan upah yang biasanya dilakukan para buruh disebab-kan oleh perbedaan kepentingan. Masing-masing kelompok memiliki kepentingan untuk mendapat keuntungan finansial. Buruh ingin naik gaji dengan alasan kurang sejahtera. Sementara investor ingin keuntungan investasi berbalik pada dirinya, bahkan dalam jumlah yang lebih besar. Apabila kepentingan satu kelompok tercapai, maka berarti kerugian bagi kelompok lain. Itulah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



245



sebabnya mengapa pencapaian kepentingan tersebut selalu menjadi penyebab konflik sosial. 2) Konflik antar Kelompok Sosial Di dalam masyatakat terdapat pula kelompok sosial yang beraneka ragam. Di antaranya kelompok sosial berdasarkan ideologi, profesi, agama, suku dan ras. Bila salah satu kelompok berusaha untuk menguasai kelompok lain atau terjadi pemaksaan, maka timbul konflik. Saya ambil contoh tawuran pelajar, yang sering terjadi di mana-mana. Terdpat dua faktor penyebab terjadinya tawuran antar pelajar yaitu faktor internal dan factor eksternal. Factor internal adalah faktor yang berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru oleh remaja dalam menanggapi milieu di sekitarnya dan semua pengaruh dari luar. Perilaku merupakan reaksi ketidakmampuan dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan sekitar. Adapun faktor eksternal adalah sebagai berikut: 1) Faktor keluarga, yang terdiri atas: a) Baik buruknya rumah tangga atau berantakan dan tidaknya sebuah rumah tangga, b) Perlindungan lebih yang diberikan orang tua, c) Penolakan orang tua, ada pasangan suami istri yang tidak pernah memikul tanggunf jawabebagai ayah dan ibu dan d) Pengaruh buruk dari orang tua, tingkah laku kriminal dan tindakan asusila, 2) faktor lingkungan sekolah yang tidak menguntungkan bisa berupa bangunan sekolah yang tidak memenuhi persyaratan, tanpa halaman bermain yang cukup luas, tanpa ruangan olahraga, minimnya fasilitas ruang belajar, jumlah murid di dalam kelas yang terlalu banyak dan padat, ventilasi dan sanitasi yang buruk dan sebagainya dan 3) Faktor milieu atau lingkungan yaitu Lingkungan sekitar yang tidak baik dan menguntungkan bagi pendidikan dan perkembangan remaja. 3) Konflik Antargenerasi Konflik antar generasi terjadi antara generasi tua yang mempertahankan nilai-nilai lama dan generasi mudah yang ingin mengadakan perubahan. Saya ambil contoh pergaulan bebas yang saat ini banyak dilakukan kaum muda di Indonesia. Bagi para generasi tua hal ini dianggap sangat bertentang dengan nilai-nilai yang dianut generasi tua. Saya masih ingat mama saya memukulku, gara-gara saya tidak meminta izin lewat di depan tamu yang berkunjung ke rumah saya. Saya dianggap salah, karena sopan santun seperti itu memang diajarkan kapada kami. 4. Ekonomi Subsistensi dan Ekonomi Formal a. Ekonomi Subsistensi Ekonomi subsistensi adalah ekonomi yang tidak didasarkan pada uang, di mana pembelian dan penjualan tidak ada atau belum sempurna, meskipun barter dapat terjadi. Sistem ekonomi susbsistensi melalui barter dan yang biasanya memberikan standar hidup minimal. Ekonomi subsisten Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



246



juga sering didefiniskan sebagai ekonomi non-moneter yang bergantung pada sumber daya alam untuk menyediakan kebutuhan dasar (basic need), melalui perburuan, pengumpulan dan pertanian subsisten. Kata subsistensi berarti mendukung diri sendiri pada tingkat minimum, sehingga dalam ekonomi subsisten, surplus ekonomi sangat minim dan hanya digunakan untuk pertukaran barang-barang pokok dan tidak ada industrialisasi. Dalam sejarah dunia sebelum ada kota-kota, semua manusia hidup dalam ekonomi subsisten. Ketika urbanisasi, peradaban dan pembagian kerja menyebar, berbagai masyarakat berpindah dari sistem ekonomi subsistensi ke sistem ekonomi lain. Beberapa tetap relatif tidak berubah, mulai dari orang-orang yang tidak terkontaminasi, ke daerah miskin di negara berkembang, hingga beberapa budaya yang memilih untuk mempertahankan ekonomi tradisional. Beberapa suku di Indonesia, yang hingga saat ini masih tetap mempertahankan ekonomi tradisonalnya (subsistensi): Orang Kajang di Kabupaten Bulukumba, Orang Karampuang di Kabupaten Sinjai, suku badui di Jawa Barat, Suku Anak Dalam di Jambi, Suku Wana di Sulawesi Tengah, Suku Ternate di pulau Bacan dan Obi Kabupaten Ternate Utara, suku Kutai di Kalimantan Timur, suku Asmat di Papua, Suku Aceh di Propinsi Aceh, suku Alor di NTT dan sebagainya. Suatu sistem ekonomi sepenuhnya bergantung pada penyediaan komunitas sendiri. Kekayaan dalam ekonomi subsisten diukur dalam hal sumber daya alam. Ekonomi subsisten bergantung pada perburuan dan budidaya untuk makanan dan pohon-pohon di sekitarnya untuk membangun tempat tinggal tergantung pada pembaharuan dan reproduksi lingkungan hidup untuk bertahan hidup Hann dan Hard (2011) kemudian membagi tingkatan ekonomi ke dalam tiga, sebagai berikut: 1) Kami mengidentifikasi tiga tahap dalam pengembangan antropologi ekonomi sebagai sebuah bidang. Yang pertama, periode dari 1870-an hingga 1940-an, dimana sebagian besar antropolog tertarik pada perilaku ekonomi orang liar (savages) didukung oleh pengertian yang sama tentang efisiensi dan rasionalitas yang diambil untuk memotivasi tindakan ekonomi di Barat. Mereka awalnya mengabdikan diri untuk mengumpulkan laporan-laporan ringkas tentang sejarah dunia yang dipahami sebagai proses evolusi. Tahun-tahun setelah Perang Dunia Pertama, praktek kerja lapangan menjadi semakin dominan dan para etnograf berusaha untuk terlibat dalam proposisi yang lebih umum dari arus utama ekonomi (neoklasik) dengan temuan khusus mereka tentang masyarakat primitif. Mereka gagal, terutama karena mereka salah kaprah dengan premis-premis epistemologis tentang ekonomi subsistensi (economical subsistance), 2) Pada 1950-an dan 1960-an, Perang dingin mencapai puncaknya, ekonomi dunia sedang booming dan pemerintah di mana-mana berkomitIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



247



men untuk memperluas layanan publik sambil mempertahankan kontrol ketat atas pasar uang. Para antropolog ekonomi berdebat di antara mereka sendiri tentang teori dan metode yang diperlukan untuk menyesuaikan terori-teori mereka yang telah dibuat sebelumnya, yang saat ini diperluas untuk memasukkan petani-petani dunia sekalipun jumlah sukunya sudah berkurang. Para ahli ekonomi formalis65 berpendapat, bahwa konsep dan alat ekonomi mainstream yang tepat untuk menghadapai laju perekonomian yang mengglobal (pasar bebas). Sebaliknya, kaum substantivis mengklaim, bahwa pendekatan kelembagaan ekonomi (economic institutions)66 justru lebih tepat. Yang saya maksud kelembagaan ekonomi di sini adalah pranata-pranata ekonomi. Institusi sosial adalah bagian dari tatanan sosial masyarakat. Mereka mengatur perilaku dan harapan anggota masyarakatnya. Setiap subsistem menjalankan tugas-tugas khusus dan telah menetapkan tanggung jawab yang berkontribusi terhadap kesejahteraan dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Institusi ekonomi mengatur bagaimana suatu masyarakat menghasilkan dan mendistribusikan sumber daya, barang dan jasa di antara anggota masyarakatnya. Di banyak negara, sistem ekonomi, terutama negara sosialis atau kapitalis dikelola oleh lembaga pemerintah. Dengan institusional mereka, berarti kehidupan ekonomi dalam masyarakat yang tidak didominasi oleh pasar impersonal selalu melekat di institusi sosial lainnya, mulai dari rumah tangga hingga pemerintah dan agama. Dalam retrospeksi, debat formalis-substansrivis ini adalah masa keemasan bagi antropologi ekonomi. Ini berakhir dengan tampa jalan keluar, sehingga membuka jalan bagi kaum Marxis dan feminis untuk sementara waktu melakukan dominasi, sekalipun mereka juga umumnya tertarik pada subjek eksotisme etnografi tradisional dan 3) Tahap ketiga yaitu sejarah perkembangan membawa kita dari hilir ke hulu pada tahun 1970-an melalui tiga dekade globalisasi neoliberal. Kami mengangkat perspektif-perspektif ekonomi kritis baru kembali keasal (culturan turn) dalam antropologi ekonomi, yang merupakan aspirasi segar pada lapisan sains berat, terutama dalam menghadapi institusional ekonomi baru (new institutional economics). Periode ini telah membuat para antropolog memperluas penyelidikan mereka untuk membahas berbagai macam organisasi ekonomi manusia, yang mereka pelajari dari berbagai perspektif. Sejauh ini, mereka 65



66



Per(ekonomi)an formal: 1) memiliki sistem kerja terorganisir dengan aturan tertulis yang jelas tentang rekrutmen, kesepakatan, dan tanggung jawab pekerjaan, dan 2) memiliki hubungan terstandardisasi antara majikan dan karyawan dipertahankan melalui kontrak formal. Institusi ekonomi (economic institutions) dalam struktur social masyarakat secara garis besar meliputi tiga hal, yaitu institusi keluarga dan kekerabatan, institusi agama dan institusi pendidikan. Institusi ini lahir sebagai factor pendukung dan pendorong lahirnya institusi ekonomi seperti insitusi pasar.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



248



lebih memilih untuk tetap berpegang pada tradisi pengamatan etnografi. Mereka berpendapat, bahwa sudah waktunya bagi para antropolog untuk melangkah lebih jauh dan membahas ekonomi dunia secara keseluruhan. Dalam fase baru ini, antropologi ekonomi akhirnya akan muncul sebagai suatu disiplin dalam dirinya sendiri. James C. Scott (1981) adalah seorang ahli ekonomi subsistensi yang menempatkan masalah kritis rumah tangga petani subsisten sebagai obyek utama di dalam penelitiannya. Mereka takut untuk kekurangan pangan, ketahanan pangan ala tradional. Apa yang dilakukan oleh orang Kajang adalah sebuah contoh yang patut saya jelaskan di sini. Orang Kajang mengenal dua ritual yang semata-mata berutujuan untuk menjaga ketahanan pangan, yaitu: appanai pare (ritual menaikkan padi di loteng) dan ritual appanaung pare (menurunkan padi dari lotang). Upacara appanai pare dirangkaikan dengan ritual appanganro akkato (panen raya). Sebelum melakukan panen di sawah, kaum ibu-ibu memindahkan sisa panen dari petak belakang loteng digeser ke posisi terdepan. Ini dimaksudkan, agar hasil panen dapat diatur penggunaannya. Orang Kajang selalu menghitung ratio ketersediaan pangan dengan hasil panen yang akan datang. Hasil panen pertama kemudian diturunkan untuk ditumbuk menjadi beras untuk konsumsi sendiri. Untuk menjaga kelangkaan pangan, orang Kajang memilih untuk mengonsumsi hasil panen sendiri. Scott kemudian menarik benang merah sejarah masyarakat agraris di Burma yang lebih rendah dan Vietnam untuk menunjukkan bagaimana transformasi dari era kolonial sistematis dilanggar oleh ekonomi moral petani dan menciptakan situasi potensi pemberontakan dan revolusi. Ia juga menunjukkan wawasan yang tajam ke dalam perilaku orang dalam budaya lain dan mampu untuk menggeneralisasi studi kasus yang ada di Burma dan Vietnam. Scott menawarkan perspektif baru tentang perilaku petani yang menarik, terutama bagi para ilmuwan politik, antropolog, sosiolog dan Asianis Tenggara. Buku Scott sungguh luar biasa dan cukup memiliki daya tarik yang sangat luas dan luar biasa. Saya pikir tesis sentral karya Scott sudah benar dan menarik. Scott dalam karya besarnya Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara memandang para petani sebagai aktor politik dan moral yang mempertahankan nilai-nilai mereka dan keamanan individu. Inilah yang membuat buku Scott sangat penting untuk memahami politik petani. Masalah paling mendasar tetap ada atau tidaknya bentuk-bentuk ekonomi pasar yang telah memungkinkan masyarakat Atlantik Utara untuk mendominasi ekonomi dunia selama dua abad terakhir bergantung pada prinsip-prinsip validitas universal. Berbagai argumen tentang kesamaan dan perbedaan telah melanda antropologi ekonomi sepanjang sejarahnya. Kita Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



249



bisa bangga dengan komitmen antropolog untuk bergabung dengan orangorang dimana mereka tinggal untuk mencari tahu apa yang mereka pikirkan dan lakukan. Mereka mengerti, bahwa untuk menganalisa aksi ekonomi non-pasar melalui lensa model pasar tidak lebih dapat dipertahankan secara intelektual daripada menganalisis krisis keuangan terbaru di Wall Street. Kontras semacam ini memiliki kegunaannya, tetapi harus digunakan dengan hati-hati. Tidak ada alasan untuk menganggap, bahwa keragaman ekonomi manusia sepanjang sejarah dapat direduksi menjadi satu pemisahan besar antara Barat dan yang lain. Bagaimanapun, para antropolog perlu membuat etnografi berbasis lapangan yang lebih terbuka untuk perspektif tentang sejarah dunia yang sebagian besar sudah ditinggalkan pada abad ke-20. Salah satu contoh penerapan ekonomi susbsestensi yang dilindungi oleh kelembagaan ekonomi mereka adalah aturan-aturan pasang ri Kajang yang mengatur semua bentuk aspek-aspek ekonomi masyarakatnya. Keseluruhan aspek dan pandangan hidup orang Kajang berpangkal pada kesahajaan (kamase-maseyya). Hal ini tercermin di dalam satu pasal berbunyi: a’ra’ki’ nganre narie’, riek care-carenna, riek bolana situju-tuju, riek galunna na kokonna, riek pammali juku’na, anjomi nikua katallassang ganna’mi, artinya ’mau makan ada makanan, mau berpakaian ada pakaian, mau berteduh ada rumah yang sederhana, butuh pangan ada sawah dan ladang, serta mau membeli ikan ada uang, itulah yang dimaksud dengan kehidupan sesungguhnya. Ada beberapa hal yang mereka jaga ketat, agar perinsip ekonomi subsistensi mereka tetap lestari untuk selamanya, yaitu: biatara (langit), linowa (dunia), buri liu (perut bumi). Menurut Said (2004: 54-57), pengaruh kosmologi orang-orang Austronesia di Sul-Sel-Bar (Toraja, Mandar, Bugis dan Makassar) sangat kental. Umumnya mereka membagi kosmosnya, yaitu: langit atas (boting langi’), dunia fana (lino) dan dunia bawah (buri’ liyu). Pembagian serupa juga dijumpai dalam kosmologi masyarakat Tator dan Batak. Rumah adat Tator terdiri atas: kolong rumah (sulluk banua) tidak mempunyai fungsi religius, tengah rumah (kale banua) terdiri atas: ruang depan (tangado’) ruang istirahat bagi tetamu dan pelaksanaan upacara adat, ruang tengah (sali) lebih rendah sedikit digunakan untuk dapur, ruang makan, musyawarah keluarga dan tempat pengurusan dan bagian belakang (sumbung) digunakan sebagai ruang tidur keluarga dan bagain atap (erang) yang menyerupai cadik perahu. Demikian pula dengan pembagian tataruang rumah adat Batak terdiri atas; langit (banua ginjang), bumi (banua tonga) dan dunia bawah (banua toru). Ini sangat sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Soerjani dkk. (2006: 3), bahwa kehidupan (ekosfer) yang kita kenal di bumi ini didukung oleh wilayah yang tumpang tindih antara Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



250



litosfer (bawah tanah), atmosfer (udara) dan hidrosfer (dalam air). Menurut Soerjani dkk. (2006: 6-7) lebih lanjut, bahwa ada empat tingkatan yang harus dijaga untuk kelangsungan hidup di bumi ini, yaitu: 1) Atmosfer yaitu ruang angkasa berisi ozon yang menjaga sinar ultra violet matahari yang berbahaya bagi kehidupan ekosistem di dunia, 2) ekosfer adalah alam jagad berupa bumi tempat manusia dan mahluk hidup darat lainnya melangsungkan kehidupannya, 3) Hidrosfe yaitu dunia kehidupan di dalam air tawar dan laut dan 4) Litosfer yaitu kehidupan di dalam tanah dan lapisan pada bumi. Hal ini tercermin di dalam pesan khusus orang Kajang: Jagalah dunia ini berserta isinya, demikian pula langit dan umat manusia dan hutannya. Lingkungan alam merupakan gambaran dari alam jagad raya. Orang Kajang sangat konsisten dengan hal-hal yang dapat merusak ekosistem aspek pendukung ekonomi. Tidak hanya itu, dalam pasang ri Kajang disebutkan pendelegasian tugas dan tanggung jawab pemimpin adat Kajang Puto Palasa untuk pengawasan dan pengaturan hal-hal: 1) tabbang Kaju (penebangan kayu), 2) Tatta Uhe’ (pengambilan rotan), 3) Rao Doang (penangkapan udang) dan 4) Tunu Bani (pamanenan lebah hutan). Keempat tugas tersebut berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management system) dan keseimbangan ekosistem lingkungan hidup (environmental ecosystems equillabelium)67, yang harus ditegakkan dari dulu, sekarang dan yang akan datang. Keempat unsur tersebut menjadi dasar hukum pengawasan yang diamanahkan oleh TRA (Sang Pencipta) kepada Ammatowa. b. Ekonomi Formal Modal dapat secara umum didefinisikan sebagai aset yang diinvestasikan dengan harapan, bahwa nilainya akan meningkat. Ini biasanya, karena ada ekspektasi laba, sewa, bunga, royalti, keuntungan modal atau beberapa jenis pengembalian lainnya. Namun, jenis ekonomi ini biasanya tidak bisa menjadi kaya berdasarkan sistem. Akan tetapi, memerlukan investasi lebih lanjut untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, ekonomi subsisten hanya memiliki cukup barang untuk digunakan oleh negara tertentu untuk mempertahankan keberadaannya dan memberikan sedikit atau tidak ada surplus untuk investasi lain.



67



Lihat Soerjani dkk. (2006: 6-7) tentang empat tingkatan yang harus dijaga untuk kelangsungan hidup dibumi ini, yaitu: 1) Atmosfer yaitu ruang angkasa berisi ozon yang menjaga sinar ultra violet matahari yang berbahaya bagi kehidupan ekosistem di dunia, 2) ekosfer adalah alam jagad berupa bumi tempat manusia dan mahluk hidup darat lainnya melangsungkan kehidupannya, 3) Hidrosfe yaitu dunia kehidupan di dalam air tawar dan laut dan 4) Litosfer yaitu kehidupan di dalam tanah dan lapisan pada bumi.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



251



Kita telah melihat, bahwa kata Yunani oikonomia yang mengacu pada pengenaan keteraturan pada urusan praktis rumah tangga. Teori ekonomi kemudian ditujukan pada swasembada melalui penghematan, penganggaran yang cermat dan menghindari perdagangan, jika memungkinkan. Citacita ini bertahan di Eropa hingga menjelang era industrialisasi. Tetapi ekonomi telah bergerak dalam beberapa ribu tahun terakhir, khususnya dalam dua abad terakhir. Revolusi intelektual Adam Smith mengalihkan perhatian dari tatanan domestik menjadi ekonomi politik, terutama pada pembagian kerja dan pasar. Olek karena itu, kegiatan ekonomi politik meliputi: 1) pasar segera didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang menguasai sumber daya besar-besaran. Sistem ini menghasilkan uang dengan uang, sehingga akhirnya diberi nama kapitalisme dan 2) negara mengklaim hak untuk mengelola uang, pasar dan akumulasi dalam kepentingan nasional. Inilah mengapa saat ini ekonomi formal biasanya dimiliki oleh negara sebagai rujukan utamanya. Ekonomi formal, sebagai kebalikan dari ekonomi susbsistensi, adalah sebuah bentuk ekonomi yang mengarah dan tergantung pada pasar. Ada tiga faktor yang berhubungan dengan ekonomi formal: sumberdaya alam (natural resouces), sistem produksi (means of productions) dan pangsa pasar (market demand). Ekonomi formal adalah ekonomi yang dibentuk oleh industri atau eksploitatif. Biaya produk dan layanan yang ditawarkan oleh pengecer adalah produk formal yang lebih mahal dalam ekonomi informal, karena harus membayar pajak atau retribusi. Sementara ekonomi informal adalah kebalikan dari hal di atas, karena ekonomi formal berbicara tentang produk domestik bruto, yang tidak membayar pajak secara langsung, meskipun mereka menggunakan sumberdaya dan layanan permintaan. Ekonomi ini menghasilkan aktivitas manusia yang mencoba untuk memenuhi kebutuhan penduduk, yang dapat dikhususkan untuk kegiatan primer (seperti pertanian, peternakan dan pertambangan), industri sekunder, industri tersier atau jasa. Ekonomi formal didasarkan pada produksi barang dan jasa (production) yang disesuaikan dengan permintaan pasar (market demand) untuk konsumsi atau penggunaan oleh konsumen. Dengan demikian, ekonomi informal menghasilkan pertukaran dan sirkulasi uang melalui transaksi barang. Kegiatan-kegiatan yang menguntungkan tersebut diatur oleh Negara, yang menetapkannya melalui peraturan perundang-undangan (regulasi), fiskal dan administrasi. Individu dan perusahaan yang didedikasikan untuk tujuan ini, harus terdaftar, mendata karyawannya dan membayar pajak. Pajak yang dibayar digunakan untuk layanan publik (pendidikan, keselamatan, kesehatan dan keadilan) yang kesejahteraan karyawan (PJPS) yang sudah terdaftar. Ini berati mereka menerima jaminan sosial (social Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



252



securities) dan fasilitas lainnya, berupa; aguinaldo, liburan, upah, tunjangan keluarga, lisensi, asuransi dan sebagainya. Pada kegiatan terdaftar ini, statistik dan pengukuran dapat dibuat. Untuk cara ini mereka melakukan kegiatan ekonomi, yang sesuai dengan aturan hukum, dalam Konstitusi dan operasi disebut sebagai ekonomi formal. Selain ekonomi formal yang diatur dan dikendalikan, juga terdapat yang informal, tidak terdaftar, mengakibatkan penggelapan pajak dalam kasus pekerja. Mengancam kesejahteraan seluruh penduduk untuk tidak mematuhi hak gadai pajak dan menciptakan situasi ketidakadilan bagi siapa saja yang dilindungi hukum. Negara harus berjuang untuk memberantasnya, sehingga persaingan adil, tanpa hak istimewa bagi mereka yang menghindari beban dan mempertahankan ekonomi yang bersih dan transparan, yang tunduk pada kontrol oleh otoritas publik, yang harus memastikan kebaikan bersama. F. Kebudayaan dan Teknologi Teknologi merupakan salah satu unsur dalam universalisme kebudayaan (cultural universalism): bahasa, mata pencaharian hidup, seni, teknologi, sistem pencarian hiudup, kelembagaan dan agama. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa manusia adalah pencipta kebudayaan (cultural creator) dan kebudayaan adalah alat (tools) bagi manusia untuk menghadapi tantangan hidupnya. Selain itu, saya juga perjelas di sini, bahwa ada tujuh unsur dari sebuah kebudayaan, salah satu diantaranya adalah teknologi. Jadi, ketika anda berbicara tentang teknologi, sudah dapat dipastikan anda tidak terlepas dari hal-hal berikut ini. 1. Perubahan Kebudayaan Sejak manusia ada dan menciptakan kebudayaannya masing-masing pada saat itu pula perubahan kebudayaan (culture change) mulai terjadi. Salah satu sifat wajib sebuah kebudayaan untuk bertahan hidup adalah adaptasi terhadap situasi dan kondisi yang ada pada saat itu. Dengan demikian, kebudayaan harus berevolusi dari waktu ke waktu, agar tetap eksis (wel-adaptive). Kebudayaan yang tidak mau berubah dan menyesuaikan diri (mal-adaptive) akan punah dengan sendirinya. Sebut saja sebagai contoh kebudayaan Yunani Kuno dan bahasa Sansekerta, yang selama ini sudah hilang ditelan bumi, karena mereka tidak melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan yang ada. Saya juga ambil contoh perubahan bentuk sepeda dari waktu ke waktu, seperti pada gambar di bawah ini:



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



253



Ada dua penyebab terjadinya perubahan, yaitu: 1) Penyebab dari dalam (internal factors) dan penyebab dari luar (external factors). Kedua bentuk penyebab terjadinya perubahan tersebut dapat berlangsung sepanjang waktu disebut evolusi (cultural evolution) dan dapat pula berlangsung singkat (cultural change). Proses prubahan kebudayaan yang memakan waktu lama disebabkan oleh faktor internal kebudayaan itu sendiri. Artinya penyesuaiannya yang diakibatkan oleh faktor internal kebudayaan itu sendiri dengan tetap mempertahankan dirinya dan mengurangi faktor yang berasal dari luar. Masyarakat adat Kajang Dalam (ilalang embayya) dan suku Badui Dalam merupakan salah satu contoh dari perubahan kebudayaan seperti ini. Sebaliknya, kebudayaan yang mampu melakukan proses perubahan relatif singkat biasanya disebabkan faktor-faktor dari luar kebudayaan itu sendiri. Perlu juga saya jelaskan di sini, bahwa ada perubahan kebudayaan yang disengaja dan ada pula yang tidak disengaja. Perubahan yang disengaja biasanya berdasarkan inisiatif kebudayaan yang bersangkutan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi. Sebut saja revolusi industri yang terjadi di antara tahun 1750-1850, yang menyebabkan terjadinya perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi dan teknologi. Perubahan seperti ini memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi dan budaya di dunia. Revolusi Industri dimulai dari Britania Raya dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang dan menyebar ke seluruh dunia. Revolusi Industri menandai terjadinya titik balik besar (titik balik peradaban demikian istilah Frijcof Capra) dalam sejarah dunia. Hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh Revolusi Industri seperti ini, khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan penduduk dan pendapatan rata-rata yang berkelanjutan. Perubahan seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Selama dua abad setelah Revolusi Industri, pendapatan rata-rata perkapita negara-negara di dunia yang terkena dampak meningkat lebih dari enam kali lipat. Itulah sebabnya, Robert Emerson Lucas (Robert, 2002) pemenang Hadiah Nobel menyatakan, bahwa: Untuk pertama kalinya dalam sejarah, standar hidup rakyat biasa mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan. Perilaku ekonomi yang seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebaliknya, banyak negara yang terkena dampak, termasuk Indonesia yang sulit mengikuti perkembangan kebudayaan secepat ini. Tidak salah, jika Prabowo Soebianto khawatir bangsa Indonesia menjadi tamu di rumah sendiri, sehingga kelak pada tahu 2030 rumah bangsa ini akan terjual. Saya pun telah menulis buku berjudul Bangsa Indonesia di Persimpangan Jalan (belum naik meja cetak). Dulunya Indonesia terkenal pengekspor beras, hasil perkebunan dan hasil laut, saat ini bangsa Indonesia Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



254



termasuk pengimpor beras, garam, cabai rawit dan produk lainnya dari negara tentangga. Saya juga masih ingat anekdot, bahwa Prof. DR. B. J. Habibie, MA. membuat pesawat terbang nusantara Nurtano CN-235 memang ditukar dengan beras ketan dari Thailand. Cacian demi cacian bermunculan di layar kaca dan surat kabar: bagaimana mungkin produk unggulan nasional itu cuma ditukar dengan 110.000 ton beras ketan? Bagaimana mungkin ratusan insinyur kita yang cerdas gemilang itu, disetarakan dengan para petani biasa di Thailand. Harga dua pesawat itu mencapai US$ 34 juta atau Rp 78,2 miliar? Banyak pertanyaan seputar kasus ini, yang dimuat di liputan media massa. Tapi sangat sedikit yang mengungkap apa dibalik peristiwa itu. Dalam buku Pak Harto, The Untold Stories diungkapkan cerita dibalik barter itu. Buku itu diluncurkan Rabu, 8 Juni 2011 bertepatan dengan peringatan hari kelahiran Soeharto. Nah, itu artinya kita semua hanya memandang, bahwa hal ini adalah salah, sehingga tidak sedikit bangsa kita sendiri yang mengolok-olok pengambil kebijakan. Saya sebagai seorang budayawan (ahli kebudayaan) memandang, bahwa hal itu tidak salah. Mengapa saya berpendapat demikian? Saya melihatnya, bahwa saat itu Indonesia merupakan penghasil beras terbesar di Asia Tenggara, bahkan dunia. Akibatnya, bangsa Indonesia waktu itu surplus pangan nasional, karena berbagai proyek unggulan (Swa-sembada pangan, lahan gambut sejuta hektar, program intensifikasi dan diversifikasi lahan pertanian dan sebagainya) benarbenar dilakukan. Untuk mengatisipasi hal ini, maka dibentuklah Badan Urusan Logistik (Bulog), Lappo Ase, ketahanan pangan nasional dan sebagainya untuk menampung jumlah stok pangan nasional. Nah, sekarang kita yang dulunya pengekspor beras ke Thailand, kini justru kita yang mengimpor beras dari Thailand. Apa ini sesuai dengan roh dan tujuan dari revolusi industri yang berjalan sejak 1750 yang lalu ? Jawaban saya tidak, karena kita sekarang kebingungan menghadapi dampak perubahan global, terutama dengan Krisis Moneter (Krismon) beberapa tahun silam. Kita tergiur dengan janji-janji revolusi industri di Inggris dan Eropa, yang memang memokuskan dirinya pada industrialisasi. Mereka memang betulbetul meninggalkan prinsip ekonomi mikro, terutama ekonomi subsistensi menuju ke ekonomi makro dengan pangsa pasar besar dan pasti. Mereka memang benar-benar melakukan bisnisnya secara totalitas dengan prinsip: uang cari uang bukan dengkul cari uang. Dalam buku saya kelak (Bangsa Indonesia di Persimpangan Jalan) saya akan jelaskan apa perbedaan antara pedagang (trader) dengan pebisnis (business man). Keduanya berangkat dari konsep tiga O: ongkos (money), otak (mind) dan otot (power). Perbedaan selanjutnya adalah pedagang selalu ingin memaksimalisasi keuntungan (profit maximization), sementara pebisnis selalu berorientasi pada pencapaian kesempatan yang lebih besar (opportunity maximization). Perbedaannya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



255



juga terletak pada asumsi pencapaian hasil akhir, dimana pedagang enggan mengeluarkan modal besar, tetapi mengasumsikan keuntungan besar. Para pebisnis, di lain pihak, cenderung menginvesatikan modal besar dengan asumsi akan mendapatkan kesempatan besar, sehingga keuntungan bisa berlipat ganda. Kepatutan bagi pebisnis memang ada, tetapi bagi seorang pedagangan sangat tidak patut. Saya teringat dengan pesan almarhum ayah saya: kalau kamu mau menangkap ikan hiu umpannya harus seekor ayam. Sebaliknya, kalau kamu mau menangkap ikan gabus cukup dengan umpan kodok kecil saja. Begitupula bila engkau mau memancing ikan sepat cukup dengan telur semut saja. Jika engkau hendak memancing ikan gabus dengan umpan telur semut, ia dipastikan enggan memakannya, karena ia membutuhkan umpan yang besar. Sebaliknya, bila ikan sepat diumpan dengan kodok kecil, ia juga pasti tidak memakannya, karena tidak sesuai dengan lebar mulutnya. Jadi, ketika engkau memancing ikan gabus dengan kodok kecil dan ikan sepat dengan telur semut itu namanya patut (sipato’). Saya juga teringat, ketika saya menjadi pembicara di depan para peserta Meeting on Procedures for Coal Import from Indonesia yang diprakarsai oleh Fly Global Commerce PTE Ltd. di Hotel Royal Park Singapura, bahwa: I came herein all the way from Indonesia just to look for opportunities, because I am not a trader but a businessman. On the other hand, I also came here to Singarupa to represent businessman from Indonesia who did not understand international business principles yet. If I were initiated, then we would change our coal business in the future using international opera-tional standards. I also hope from you, in order to understand the combination of Indonesian and Singapore business principles, because I depart from the principles of Indonesian business to Singapore's business principles. Hopefully someday we can meet in a professional and responsible business forum. Arah dan laju perubahan kebudayaan juga dipengaruhi oleh adanya kontak dengan masyarakat luar. Perubahan kebudayaan seperti ini cenderung berujung pada akulturasi (aculturations), artinya menyatunya dari dua kebudayaan yang saling melakukan kontak hubungan intensif. Terlebih dengan adanya teknologi informasi yang semakin canggih saat ini, mampu mempercepat proses perubahan kebudayaan. Ada empat hal yang berpengaruh terhadap proses perubahan kebudayaan, yaitu: discovery, invention, evolusi dan difusi. Perubahan kebudayaan tersebut harus dibarengi dengan perubahan teknologi. Salah satu contoh penggunaan kayu bakar untuk memasak bagi masyarakat tradional berubah dengan menggunakan kompor minyak tanah dan gas. Sebagai akibat perkembangan teknologi, saat ini banyak rumah tangga menggunakan kompor listrik. Perubahan seperti terjadi sebagai dampak perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Leslie A. White dalam teori evolisinya mensinyalir perubahan kebudayaan sejalan dengan pengIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



256



gunaan energi per kapita. Hal ini menandakan, bahwa evolusi kebudayaan dengan perkembangan teknologi saling mendukung satu sama lain. Perkembangan atau evolusi teknologi dapat ditelusuri beikut ini: a) Discovery (Penemuan) Penemuan adalah tindakan mendeteksi sesuatu yang baru, atau sesuatu yang sebelumnya tidak dikenal. Dengan mengacu pada ilmu pengetahuan dan disiplin akademik, penemuan adalah pengamatan fenomena baru, tindakan baru, atau peristiwa baru dan memberikan alasan baru untuk menjelaskan pengetahuan yang dikumpulkan melalui pengamatan tersebut dengan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya dari pemikiran abstrak dan pengalaman sehari-hari. Penemuan terkadang berdasarkan pada penemuan, kolaborasi, atau ide sebelumnya. Beberapa penemuan mewakili terobosan radikal dalam pengetahuan atau teknologi. Dalam disiplin ilmu, penemuan adalah pengamatan fenomena baru, tindakan, atau peristiwa yang membantu menjelaskan pengetahuan yang dikumpulkan melalui bukti ilmiah yang diperoleh sebelumnya. Dalam sains, eksplorasi adalah salah satu dari tiga tujuan penelitian, dua lainnya adalah deskripsi dan penjelasan. Penemuan dibuat dengan menyediakan bukti pengamatan dan upaya untuk mengembangkan pemahaman, awal yang kasar dari beberapa fenomena. Penemuan (discovery) adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan baru, baik berupa alat yang baru, ide yang baru, yang diciptakan oleh seorang individu atau beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Diskoveri bisa menjadi temuan (invention) apabila masyarakat sudah mengakui, menerima dan menerapkan penemu-an baru tersebut. Proses perubahan ini sering kali tidak memerlukan seorang individu saja, melainkan suatu rangkaian yang terdiri dari beberapa orang pencipta. b) Invention (Pengembangan) Pengembangan (invention) atau penemuan adalah suatu proses pembaruan dari penggunaan sumber daya alam, energi dan modal, pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi dan dibuatnya produk-produk yang baru. Dengan demikian, invention mengenai pembaruan kebudayaan yang khusus mengenai unsur teknologi dan ekonomi. Penemuan adalah perangkat, metode, komposisi atau proses yang unik atau baru. Proses penemuan adalah suatu proses dalam keseluruhan proses rekayasa dan pengembangan produk. Ini mungkin merupakan peningkatan pada mesin atau produk atau proses baru untuk membuat objek atau hasil. Penemuan yang mencapai fungsi atau hasil yang benar-benar unik bisa menjadi terobosan radikal. Karya-karya seperti itu adalah novel dan tidak jelas bagi orang lain yang terampil di bidang yang sama. Seorang penemu Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



257



mungkin mengambil langkah besar dalam keberhasilan atau kegagalan. Beberapa penemuan dapat dipatenkan. Paten secara hukum melindungi hak kekayaan intelektual penemu dan secara hukum mengakui, bahwa penemuan yang diklaim sebenarnya adalah penemuan. Aturan dan persyaratan untuk mempatenkan penemuan bervariasi dari satu negara ke negara dan proses mendapatkan paten sering mahal. c) Evolusi (perubahan) Evolusi budaya adalah teori evolusi perubahan sosial. Ini sesuai dengan definisi budaya yaitu informasi yang mampu mempengaruhi perilaku individu yang mereka dapatkan dari anggota lain dari spesies mereka melalui pengajaran, imitasi dan bentuk-bentuk transmisi sosial. Evolusi budaya adalah perubahan informasi ini dari waktu ke waktu. Evolusi budaya, secara historis juga dikenal sebagai evolusi sosiokultural, pada awalnya dikembangkan pada abad ke-19 oleh para antropolog yang berasal dari penelitian Charles Darwin tentang evolusi. Saat ini, evolusi budaya telah menjadi dasar bagi bidang penelitian ilmiah yang berkembang di bidang ilmu sosial, termasuk studi antropologi, ekonomi, psikologi dan organisasi. Sebelumnya, diyakini bahwa perubahan sosial dihasilkan dari adaptasi biologis, tetapi para antropolog sekarang umumnya menerima, bahwa perubahan sosial muncul sebagai akibat dari kombinasi pengaruh sosial, evolusi dan biologis. Ada sejumlah pendekatan yang berbeda untuk mempelajari evolusi budaya, termasuk teori pewarisan ganda, evolusi sosial budaya, memetika, evolusi budaya dan varian lain pada teori seleksi budaya. Pendekatannya tidak hanya berbeda dalam sejarah perkembangan dan disiplin asal mereka, tetapi juga bagaimana mereka mengkonseptualisasikan proses evolusi budaya dan asumsi, teori dan metode yang mereka terapkan dalam studinya. Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada konvergensi dari gugus teori terkait untuk melihat evolusi budaya sebagai disiplin terpadu dalam dirinya sendiri. Suatu evolusi dalam kebudayaan adalah proses perubahan setahap demi setahap yang relatif makan waktu dari barang yang pada awalnya diciptakan manusia (invention). Pada dasarnya evolusi tersebut dimaksudkan untuk menjadikan lebih baik, lebih canggih dan lebih nyaman dari temuan sebelumnya. Sepeda, mobil, pesawat terbang, rumah, bentuk dan kondisinya sangat jauh berbeda ketika pertama kali diciptakan. Perubahan tersebut tidak berlangsung cepat, melainkan tahap demi tahap. Bagaimana pun juga evolusi membawa dampak berupa perubahan-perubahan kebudayaan. d) Difusi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



258



Bersamaan dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi, turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan. Sejarah dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia disebut difusi (diffusion). Penyebaran unsur-unsur kebudayaan tadi dapat saja terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia atau bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat lainnya. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, bahwa ada individu-individu tertentu yang membawa unsur kebudayaan tersebut; pedagang, saudagar, pelaut dan sebagainya. Selain itu, penyebaran kebudayaan juga dapat terjadi, karena adanya pertemuanpertemuan antara individu dalam suatu kelompok dengan individu kelompok sekitarnya. Dalam antropologi budaya dan geografi budaya, difusi budaya, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Leo Frobenius dalam terbitan tahun 1897/98 Der westafrikanische Kulturkreis, adalah penyebaran benda-benda budaya — seperti gagasan, gaya, agama, teknologi, bahasa — antara individu, baik dalam budaya tunggal atau dari satu budaya ke budaya lain. Ini berbeda dari difusi inovasi dalam budaya tertentu. Contoh difusi termasuk penyebaran kereta perang dan peleburan besi pada zaman kuno dan penggunaan mobil dan pakaian bisnis Barat pada abad ke-20. Difusi budaya, pertama kali diperkenalkan oleh Alfred L. Kroeber dalam karya Stimulus Diffusion tahun 1940 untuk mendeskripsikan penyebaran benda-benda budaya — seperti gagasan, gaya, agama, teknologi, bahasa, dll. —di antara individu, baik dalam budaya tunggal maupun dari satu budaya ke budaya lainnya. Difusi budaya adalah penyebaran budaya, termasuk aspek-aspek seperti pakaian dan makanan, dari satu kelompok ke kelompok lain, biasanya sebagai akibat dari melakukan kontak untuk pertama kalinya. Penjelajah Eropa yang membawa kembali makanan dan barang-barang lain, seperti tembakau, dari tanah yang baru dieksplorasi adalah contoh difusi budaya. Ketika satu budaya mulai mengadopsi unsur-unsur yang lain, baik dalam cara, agama, makanan, pakaian, praktik pertanian atau elemen budaya lainnya, ini adalah difusi budaya. Orang-orang di Moskow mengalami difusi budaya dari Amerika ketika McDonalds pertama kali diperkenalkan di wilayah itu. Konsep restoran cepat saji yang menyajikan hamburger eksotis dan baru bagi mereka saat itu. Namun, difusi budaya tidak selalu merupakan hal yang baik. Ini dapat menyebabkan perpindahan tradisi budaya asli dan itu bahkan bisa berbahaya. Misalnya, menurut Boise State University, ketika penjelajah Prancis tiba di Amerika Utara, mereka memperkenalkan virus cacar, yang akhirnya menghancurkan populasi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



259



penduduk asli yang sistem kekebalannya tidak pernah terkena penyakit tertentu. Difusi inovasi adalah teori yang berusaha menjelaskan bagaimana, mengapa dan pada tingkat apa ide dan teknologi baru menyebar. Everett Rogers, seorang profesor studi komunikasi, mempopulerkan teori ini dalam bukunya Diffusion of Innovations. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1962 dan sekarang dalam edisi kelima (2003). Rogers berpendapat, bahwa difusi adalah proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan dari waktu ke waktu di antara para peserta dalam suatu sistem sosial. Asal-usul teori difusi inovasi bervariasi dan menjangkau berbagai disiplin ilmu. Rogers mengusulkan, bahwa empat elemen utama memengaruhi penyebaran gagasan baru: inovasi itu sendiri, saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial. Proses ini sangat bergantung pada modal manusia. Inovasi harus diadopsi secara luas untuk mempertahankan diri. Dalam tingkat adopsi, ada titik di mana sebuah inovasi mencapai masa kritis. Kategori pengadopsi adalah inovator, pengguna awal, mayoritas awal, mayoritas akhir dan lamban. Difusi memanifestasikan dirinya dalam berbagai cara dan sangat tunduk pada jenis pengadopsi dan proses pengambilan keputusan inovasi. Kriteria untuk kategorisasi adopsi adalah inovasi, yang didefinisikan sebagai tingkat di mana seseorang mengadopsi ide baru. F. Ilmu Budaya dan Politik Seperti halnya dengan hubungan ilmu kebudayaan dengan keenam unusur kebudayaan lainnya, hubungan antara kebudayaan dengan politik juga merupakan satu obyek pembahasan ilmu budaya. Hubungannya terletak pada timbulnya gejala-gejala politik dalam kehidupan manusia. Antropologi Politik adalah suatu cabang studi tentang politik sebagaimana ditinjau dari sudut pandang Antropologi, khususnya Antropologi  budaya (ilmu budaya). Kajian ini akan membahas dan mempelajari kejadiankejadian dan gejala-gejala politik, kekuatan-kekuatan politik, kerjasama politik dan aspek kehidupan politik lainnya, dengan melihatnya secara khusus dari latar belakang kebudayaan, serta sistem norma pelaku-pelakunya. Fokus perhatian dari hubungan kebudayaan dan politik tertuju pada aspek-aspek kehidupan politik yang terjadi, dengan mengingat relevansi yang besar dari permasalahan-permasalahan politik di negara-negara yang sedang berkembang dan maju.  Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam hal: pikiran (cultural knowledge), perilaku berpola (cultural behavour) dan ornamen kebudayaan (cultural artifact). Ilmu budaya dan antropologi memiliki kesamaan dan memiliki pula perbedaan. Ilmu budaya mempelajari kebudayaan dan budaya dari segi kebudayaan itu sendiri. Sedangkan, antrolopologi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



260



mempelajari kebudayaan dari manusianya sebagai pencipta kebudayaan. Jadi, ilmu budaya memilihat kebudayaan sebagai budaya (diciplinaire), sedangkan antopologi melihat kebudayaan sebagai sintesa dari manusia yang menciptakan kebudayaan (intercultural). Ilmu budaya dan antropologi sama-sama mempeljari kebudayaan dari sudut pandang (paradigm), yang berbeda. Jadi, dapat saya simpulkan, bahwa keduanya memang berbeda, tapi tujuan akhirnya sama yaitu studi kebudayaan (culture dan cultural study)68. Dengan demikian, sebaiknya jangan kita terkungkum di dalam perbedaan seperti ini, karena tidak ada gunanya. Studi kebudyaan kemudian diperluas menjadi antropologi terapan (applied anthropology). Ilmu budaya dan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam bentuk masyarakat, suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri. Dalam bidang teori ilmu budaya dan antropologi, memberikan penjelasan dalam menunjukkan perbedaaan struktur sosial dan pola-pola kebudayaan yang berbeda-beda pada tiap-tiap masyarakat. Antropologi Politik membahas pendekatan antropologi terhadap gejala-gejala politik dalam kehidupan masyarakat. Pembahasan meliputi teori-teori mengenai perwujudan politik dalam kehidupan manusia, serta sistem politik pada masyarakat sederhana dan modern. Selain itu, Ilmu budaya dan antropologi juga membahas perspektif yang digunakan dalam membedah gejala-gejala politik dalam kehidupan manusia, termasuk yang tidak terkategorikan sebagai gejala-gejala politik yang berkaitan dengan lembaga-lembaga politik formal atau pemerintah dalam masyarakat modern. Dengan demikian, cakupan pembahasan meliputi pula berbagai gejala politik dan organisasi sosial dalam komunitikomuniti masyarakat perdesaan atau non-masyarakat kompleks. Kaitan antara Ilmu budaya dan antropologi dan ilmu politik dimaksudkan untuk memberikan pengertian-pengertian dan teori-teori tentang strata (status) dan peranan (role) satuan-satuan sosial budaya yang lebih kecil dan seder-hana. Ilmu budaya dan antropologi pada awalnya lebih banyak memusat-kan perhatiannya pada kehidupan masyarakat dan kebudayaan di desa-desa dan di pedalaman. Pembahasan tentang antropologi politik tidak bisa dipisahkan dari pemahaman, berikut: 1) Ruang lingkup atau batasan yang menjadi ruang sentuhan antara disiplin antropologi dan ilmu politik. Pengertian dasar mengenai kedua disiplin ini akan memudahkan perumusan mengenai ruang lingkup antropologi politik, 2) Pendekatan-pendekatan antropologi politik melalui pemahaman atas kedua aspek di atas menjadi suatu kajian, yang dapat secara subyektif menyatakan diri memakai pen68



Studi budaya (Cultural study) adalah bidang analisis budaya secara teoritis, politik, dan empiris yang berkonsentrasi pada dinamika politik budaya kontemporer, fondasi historisnya, mendefinisikan sifat, konflik, dan kontinjensi.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



261



dekatan antropologi politik atau secara obyektif ke dalam subdisiplin ini. Secara tersirat dari istilah yang dipergunakan yaitu antropologi politik, subdisiplin ini menempati wilayah kajian yang menjembatani disiplin antropologi dengan ilmu politik. Ruang jembatan tersebut diisi dengan titiktitik persentuhan dalam teori, konsep, metodologi dan pendekatan yang dipergunakan. Dalam hal teori dan konsep, hubungan tersebut berupa hubungan antara struktur masyarakat dengan tebaran kekuasaan dalam masyarakat tersebut. Jadi, dapat saya katakan di sini, bahwa ketika antropologi menjadi kajian atas struktur masyarakat dan pranata sosial masyarakat, ilmu politik memfokuskan kajiannya dalam aspek kekuasaan yang terjadi di dalam masayarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, kajian antropologi politik berusaha menghubungkan kedua ilmu tersebut menjadi satu wilayah kajian (interdisipliner). Seperti yang sudah saya singgung di atas, bahwa kanjian Ilmu budaya dan antropologi telah menanamkan berpengaruhnya dalam bidang metodologi penelitian ilmu politik (etik, emik dan full participation research). Salah satu pengaruh yang sangat berguna, terutama metode peserta pengamat, adalah memaksa sarjana ilmu politik untuk meniliti gejala-gejala kehidupan sosial secara langsung. Mereka harus berinterkasi langsung dengan masyarakat sebagai obyek penelitiannya. Pembahasan dalam antropologi politik bisa berisi dengan berbagai persoalan yang berkaitan dengan deskripsi dan analisa tentang sistem (struktur, proses dan perwakilan) yang terdapat dalam masyarakat primitif. Antropologi politik merupakan pendekatan antropologi dalam mempelajari proses-proses dan struktur-struktur politik yang dilakukan melalui metode kajian kasus, baik yang intensif maupun melalui kajian perbandingan lintas budaya (cultural comparative)69. Akan tetapi, hasil kajian antropologi politik tidak dapat dianggap sebagai kajian spesialis dan terfokus. Menurut David Easton (2006), bahwa antropologi politik sebenarnya tidak ada, karena para ahlinya telah gagal untuk menunjukkan batas-batas yang membedakan antara sistem politik dengan sistem lain ada dalam masyarakat. Demikian pula hubungan antara pranata politik dengan pranata sosial lainnya, yang berkembang di dalam masyarakat, mereka tidak mampu membuat perbedaan yang jelas. Antropologi politik kemudian berkembang setelah terbitnya buku African Political System oleh M. Fortos dan E.E. Evan Pitchard pada tahun 1940. Redcliffe Brown, sebagai penulis kata pengantar buku ini menganggap bahwa: organisasi politik adalah organisasi yang melaksanakan aktifitas sosial yang 69



Memang salah satu label utama ilmu budaya dan antropologi adalah konsep holistis dan komparatif. Holistis artinya pembahasan yang lengkap, mendalam dan menyeluruh. Komparatif artinya kebenaran dan keabsahan sesuatu diperoleh melalui perbanding antara satu kasus dengan kasus lainnya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



262



menyangkut penjagaan keteraturan dan stabilitas masyarakat dalam suatu wilayah tertentu, dengan menggunakan kekuasaan dan kalau perlu kekerasan secara absah. Berdasarkan pada batasan dan definisi tersebut, topik-topik yang termasuk bahasan antropologi politik, meliputi: 1) masalah-masalah hukum adat, 2) organisasi kenegaraan, 3) organisasi perang, 4) organisasi kepemimpinan, 5) pemerintahan dan 6) kekuasaan. Para ahli ilmu budaya dan antropologi membatasi diri untuk membahas masalah-masalah: a) Organisasi kenegaraan: evolusi terjadinya organisasi negara, b) Organisasi perang: sebab timbulnya perang dan akibat timbulnya perang dan c) Organisasi kepemimpinan: pemerintahan, kekuasaan. Kajian antropologi politik berasal dari dua bidang ilmu yaitu: antropologi dan ilmu politik. Antropologi manurut Koentjaraningrat (1990) berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti manusia atau orang dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Jadi, antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkan. Sedangkan ilmu politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan, baik secara konstitusional maupun non-konstitusional. Ada beberapa pandangan tentang politik: 1) politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles), 2) politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara, 3) politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat dan 4) politik adalah segala sesuatu Yang berkaitan dengan proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Ada beberapa hal yang pantas menjadi wilayah kajian antropologi politik seperti di bawah ini: 1. Masyarakat (Society) Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), di mana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata masyarakat sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem atau aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



263



kemaslahatan. Menurut Selo Sumardjan (1974) masyarakat adalah orangorang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan beberapa bentuk masyarakat berikut ini: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masarakat bercocok tanam dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan paskaindustri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional. Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom dan masyarakat negara. Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama. Untuk menganalisa secara ilmiah tentang proses terbentuknya masyarakat sekaligus problem-problem yang ada sebagai proses-proses yang sedang berjalan atau bergeser kita memerlukan beberapa konsep. Konsepkonsep tersebut sangat perlu untuk menganalisa proses terbentuk dan tergesernya masyarakat dan kebudayaan serta dalam sebuah penelitian antropologi dan sosiologi yang disebut dinamik sosial (social dynamic)70. Konsep-konsep penting tersebut antara lain : 1) Internalisasi (internalization) yaitu penanaman prilaku, sikap dan nilai seseorang yang di dapatkannya dalam proses pembinaan, belajar dan bimbingan. Harapannya agar apa yang di dapatkan dan dilakukannya sesuai dengan keinginan dan harapan dalam kehidupan bermasyarakat, 2) Sosialisasi (socialization) yaitu proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sebuah proses sosial yang terjadi di dalam diri seseorang dalam mempelajari, menyesuaikan diri atau mematuhi norma – norma sosial, nilai, perilaku dan adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga dapat berperan dan berfungsi secara aktif di dalam kelompok atau masyarakatnya dan 3) Enkulturasi (enculturation) proses mempelajari nilai dan norma kebudayaan yang dialami individu selama hidupnya. Menurut E. Adamson Hoebel enkulturasi adalah kondisi saat seseorang secara sadar atau pun tidak sadar 70



Lihat Augus Comte Social dynamics adalah teori tentang perkembangan manusia. Comte tidak membicarakan tentang asal usul manusia karena itu berada di luar batas ruang lingkup ilmu pengetahuan.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



264



mencapai kompetensi dalam budayanya dan menginternalisasi budaya tersebut. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menysuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Redfield, Linton dan Herskovits (1936): Acculturation comprehends these phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continous first-hand contact, with subsequent changes in the original cultural patters of either or both groups. 2. Integrasi Sosial (Social intergrations) Kata Integrasi Sosial (Social intergrations) berasal dari bahasa inggris integration yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi sosial adalah penyatuan dua atau lebih unsur sosial menjadi satu kesatuan utuh yang dapat diterima dengan baik. Integrasi sosial juga dapat diartikan sebagai proses adaptasi antara kelompok yang berbeda kedalam suatu kehidupan bermasyarakat. Tujuan umum dari integrasi sosial adalah untuk melakukan pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial serta untuk menyatukan unsur-unsur sosial yang berbeda dalam masyarakat. Integrasi sosial penting untuk menjaga masyarakat, agar siap menghadapi tantangan, baik tantangan fisik maupun mental yang terjadi dalam kehidupan sosial. Manusia sebagai mahluk sosial dalam melakoni hidupnya senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lainnya dalam upaya mencapai aspekaspek kebutuhan hidupnya. Secara mendasar kebutuhan manusia tidak hanya persoalan makan, minum, biologis dan sebagainya. Lebih dari itu manusia menciptakan dirinya sendiri dalam mengakomodasi kebutuhannya atas bentuk lain yang memberikannya pengakuan eksistensi diri, status sebagai anggota masyarakat, posisi yang menguntungkan dalam ranahranah sosial, bahkan sampai bentuk-bentuk lainnya seperti penghargaan dari dan kepada orang lain dalam bentuk pujian. Kehidupan manusia di dalam bermasyarakat setidaknya dalam era modern ini selalu berada dalam rangkaian pengaruh sistem politik dan bernegara. Sebagai salah satu bentuk peran dan pemenuhan kebutuhan berorganisasi dan pembagian kekuasaan dalam pranata-pranata yang ada di dalam kehidupan masyarakat adalah pranata politik itu sendiri. Dalam konteks era saat ini, setidaknya setiap warga masyarakat dalam bernegara selalu bersentuhan dengan politik Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



265



praktis, baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik yang terjadi dalam realitas sosial-budaya. Jika, secara tidak langsung, hal ini memberikan gambaran, bahwa individu atau kelompok tersebut sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Apabila secara langsung, berarti individu atau kelompok tersebut terlibat langsung di dalam peristiwa politik tertentu. Menurut Almond dan Verba (1984), bahwa budaya dalam kaitannya dengan politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari suatu masyarakat terhadap sistem politik. Budaya politik adalah salah satu aspek dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos dalam suatu populasi tertentu. Kesemuanya dikenal dan diakui sebagian besar masyarakat yang memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima nilai-nilai atau norma lain. Dengan demikian, bisa dikatakan politik juga telah merasuk kedalam dunia agama, kegiatan ekonomi, sosial, kehidupan pribadi secara luas, yang memberikan corak suatu masyarakat dalam meng-operasionalisasikan cara mereka dalam menghadapi suatu masalah-masalah politik. Saya ambil contoh, konflik dalam menyelesaikan masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan, dinamika partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasa-an yang sedang memerintah. Ilmu politik pada umumnya lebih menekan-kan perspektif politik pada salah satu unsur yang ada dari berbagai unsur-unsur dalam kebudayaan. Unsur-unsur tersebut dalam kenyataannya saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya secara terpisah. Artinya, hanya sebagian saja pranata masyarakat yang berimplikasi pada pemahaman terkait masalah perilaku politik. Masalah politik, bahkan kemudian cenderung untuk dilihat terpisah sebagai induk dalam pemahaman realitas sosial, seperti bagian dalam pranata politiknya yakni sistem pemerintahan dan administrasi birokrasi. Kajian politik dengan menggunakan pendekatan antropologi berupaya meneliti kekuasaan dalam konteks sosial-kultural. Oleh karena itu, kekuasaan bersifat inklusif yang harus dikaji melalui bidang-bidang dan hirarki-hirarki kekuasaan yang ada di dalam setiap masyarakat. Kajian seperti ini, terinspirasi oleh pendekatan struktural-fungsional. Suatu masyarakat memiliki komponen dan unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain, sekalipun komponen dan unsur–unsur masyarakat ini pasti memiliki suatu perbedaan. Akan tetapi, mau tidak mau mereka harus bekerja sama untuk saling mendukung, agar sama-sama mendapat keuntungan. Untuk itu perlu terbentuk integrasi sosial berikut untuk menjamin kelancaran proses terjadinya suatu integrasi sosial : a. Tahap Interaksi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



266



Interaksi sosial (social interactions) adalah hubungan timbal balik dalam masyarakat yang tercipta, karena adanya komunikasi antara satu pihak dengan pihak lainnya melalui sebuah tindakan tertentu. Tindakan yang dimaksud di sini adalah semua tindakan yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dengan demikian, saya bisa menyamakan kata tindakan yang sesuai nilai, norma dan aturan tersebut dengan tingkah laku terpola (patterned behavior). Syarat terjadinya interaksi adalah adanya kontak sosial dan komunikasi antar pihak yang terlibat. Tentunya interaksi pasti dibutuhkan untuk saling mengenal dalam upaya membentuk integrasi sosial. b. Tahap Identifikasi Setiap orang yang saling mengenal setelah melakukan proses interaksi, dipastikan masing masing pihak akan berusaha untuk saling menerima dan memahami satu sama lain. Tahapan ini yang saya sebut sebagai tahapan identifikasi. Tahapan ini sangat menentukan diterima atau ditolaknya sebuah interaksi sosial. Apabila proses identifikasi berlangsung dengan lancar, kerjasama akan lebih cepat dan terbentuk lebih mudah. Sebaliknya, proses indetifikasi yang berbelit-belit dan lama juga dapat menghasilkan interaksi sosial yang kurang berterima, bahkan cenderung ditolak. Salah satu bentuk proses yang cenderung makan waktu lama adalah proses madduta (melamar) di kalangan orang Bugis. Madduta tersebut harus dimulai dengan mammanu’-manu’ (pra-pelamaran) dan dilanjutkan dengan proses lettu’ (melamar). Peorses selanjutnya adalah mappasiarekeng atau mappettu ada (membentuk kesepakatan): uang mahar (panai), menentukan pattenre’ sompa (pendamping mahar), tudang botting (hari peksanaan dan prosesi pelaksanaan, tanggungjawab masing-masing) dan hal-hal lain yang dianggap perlu. Proses selanjutnya adalah mappenre’ doi (penyerahan uang mahar). Proses selanjutnya kawing (menikah). Proses negoisasi yang paling menentukan dan memerlukan waktu cukup lama adalah dari madduta ke mappasiarekeng, karena menentukan proses interaksi lanjutan. Kedua belah pihak saling menyelidiki asal usul (bibit dan bobot), pekerjaan dan hal-hal lain, yang dianggap cukup menjamin kelansungan rumah tangga calon pengantin. Kadang-kadang dalam fase ini terjadi interkasi yang berbelitbelit, sehingga cenderung negosiasi gagal dan prosesnya harus dihentikan, karena proses identifikasi mengalami jalan buntu. c. Tahap Kerjasama Kerjasama timbul apabila kedua belah pihak menyadari, bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama. Pada saat bersamaan mempunyai cukup pengendalian diri untuk memenuhi kepentingan tersebut. Kesadaran ini akan menimbulkan kerjasama dengan tujuan membuat pencapaian tujuan menjadi lebih mudah. Sebaliknya, pada contoh proses Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



267



pernikahan orang Bugis di atas, dimana kedua belah pihak bertahan pada kepentingan masing-masing, sehingga sudah dapat dipastikan tujuan tidak akan tercapai. Artinya, kerjasama tidak mungkin terjalin, karena tidak ada kesamaan visi dan misi tentang proses pernikahan yang direncanakan. d. Tahap Akomodasi Akomodasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan. Setelah bekerja sama dan menjalankan tugasnya masing masing, biasanya akan muncul konflik dan pertentangan antar pihak-pihak yang terlibat. Pertentangan ini perlu diredakan, agar tidak menghasilkan perpecahan dan di sinilah akomodasi berperan. Akomodasi juga diartikan sebagai usaha untuk mencapai penyelesaian dari suatu pertikaian ataupun konflik (baca pengertian konflik) oleh pihak pihak yang bertikan dan mengarah pada kondisi ataupun keadaan selesainnya suatu konflik atau pertikaian tersebut. Apabila akomodasi diawali dengan upaya upaya oleh pihak pihak yang bertikai untuk saling mengurangi sumber pertentangan antara dua belah pihak, sehingga intensitas konflik mereda. Ada beberapa bentuk akomodasi yang digunakan untuk meredahkan sebuah konflik, yaitu: 1) Coercion adalah proses akomodasi yang proses pelaksanaannya dilakukan dengan cara paksaan ataupun menggunakan kekerasan. Coercion terjadi umumnya disebabkan adanya perbedaan derajat kedudukan yang jauh antara kedua belah pihak dalam struktur sosial. Salah satu contohnya adalah sengketa tanah antara orang kaya dengan orang miskin, 2. Compromise yaitu proses akomodasi yang membuat kedua belah pihak saling mengurangi tuntutan atau ekspektasi, sehingga sumber ketegangan berkurang aan masalah ataupun konflik dapat terselesaikan, 3. Arbitration yaitu proses akomodasi yang dilakukan dengan menghadirkan pihak ketiga, sehingga menjadi penengah pertikaian diantara kedua belah pihak yang berkonflik, 4) Mediation proses akomodasi yang merupakan penye-lesaian pertikaian antara dua kelompok atau lebih, diamana kedua belah pihak tidak sanggup mencapai kesepakatan. Akibatnya kedua belah pihak yang berkonflik menghadirkan pihak  ketiga sebagai penengah dalam konflik. Mediasi berbeda dengan arbitrasi, karena pihak ketiga dalam mediasi tidak berhak mengambil keputusan atau dengan kata lain bersifat netral. Sedangkan dalam arbitrasi, pihak ketiga dapat mengambil sebuah keputusan yang moderat (win-win solutions) demi menyelesaikan masalah, 5) Conciliation yaitu usaha untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dengan menggunakan perwakilan dari kedua pihak. Hal ini dimaksudkan, agar mereka dapat mencapai persetujuan bersama dengan fikiran yang lebih tenang. Contoh kasus yang paling nyata terjadi di Aceh yaitu GAM atau gerakan Aceh Merdeka, 6) Tolerance yaitu bentuk akomodasi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



268



yang paling acuh dari yang lainnya. Toleransi adalah bentuk akomodasi yang berusaha menghindari konflik sedapat mungkin, contohnya adalah toleransi dalam beragama, 7) Stalemate yaitu bentuk akomodasi yang terjadi antara pihak-pihak yang memiliki kedudukan ataupun kekuatan yang sama besarnya, sehingga konflik akan berhenti dengan sendirinya. Hal ini terjadi dikarenakan adanya pertimbangan apabila konflik berlanjut menjadi perseteruan ataupun kontak negatif, akan terjadi kehancuran pada kedua pihak (kalah jadi abu menang jadi arang) dan 8) Adjudication yaitu bentuk akomodasi dengan menggunakan jalan hukum yaitu pengadilan. Masing masing pihak sepakat untuk membawa masalah tersebut ke meja peradilan. e. Tahap Asimilasi Setelah melalui beberapa permasalahan dan mampu mengatasinya tanpa menimbulkan perpecahan, biasanya hubungan antara pihak yang berkaitan akan lebih erat, sehingga terjadinya proses asimilasi. Asimilasi adalah proses sosial berupa usaha untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok ke kelompok untuk mempertinggi rasa kesatuan (unity). Menurut Koentjaraningrat (1990), bahwa asimilasi adalah bagian proses sosial di antara kelompok dengan kebudayaan yang berbeda terus tumbuh berkembang disertai dengan interaksi sosial yang kontinu dan serius. Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Asimilasi juga dapat diartikan sebagai interaksi sosial dalam jangka waktu lama antara dua masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Asimilasi ditandai dengan adanya usaha untuk mengurangi perbedaan antar kelompok, serta usaha menyamakan kesatuan sikap, mental dan tindakan demi tercapainya tujuan bersama. f. Tahap Integrasi Setelah proses asimilasi, maka akan terbentuk integrasi. Pada proses integrasi penyesuaian antar unsur masyarakat yang berbeda dan kemudian membentuk keserasian dalam menjalani fungsi kehidupan. 1). Faktor yang mempengaruhi integrasi sosial a) Homogenitas Kelompok Homogenitas kelompok adalah kemiripan atau kesamaan dalam suatu kelompok masyarakat baik itu kepribadian, ciri atau adat istiadat. Kesepakatan yang dapat disetujui bersama akan lebih mudah tercapai dengan mempertimbangkan homogenitas dalam masyarakat yang bersangkutan. b) Besar Kecilnya Kelompok Masyarakat Semakin besar suatu kelompok maka perbedaan yang muncul akan semakin banyak pula. Dalam kelompok yang relatif kecil, maka hubungan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



269



pribadinya cenderung lebih akrab dan berlangsung secara informal, sehingga lebih mudah tercapainya suatu kesepakatan. c) Mobilitas Geografis (Perpindahan Fisik) Perpindahan atau pergerakan penduduk secara geografis akan menimbulkan banyak keanekaragaman dalam suatu wilayah. Masyarakat yang masuk ke suatu daerah baru membawa ideologi, kebiasaan, budaya dan kepribadian dari tempat asalnya. Oleh karena itu mobilitas sosial sangat mempengaruhi terbentuknya suatu integrasi sosial. d) Efektivitas dan Efisiensi Komunikasi Salah satu syarat terjadinya interaksi sosial adalah komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu pihak kepada pihak lainnya. Pada umumnya komunikasi yang sering kita lihat dilakukan secara verbal (berbicara) dengan menggunakan cara yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, contohnya dengan menggunakan bahasa dari suatu negara tertentu. Tetapi komunikasi juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa isyarat, menunjukkan sikap tertentu, ekspresi wajah, dll. Intinya jika informasi yang ingin disampaikan oleh satu pihak dapat diterima dengan baik oleh pihak lainnya, maka komunikasi sudah terjadi antara kedua belah pihak tersebut. Lancarnya komunikasi antar individu atau antar kelompok dalam suatu lingkungan masyarakat merupakan sebuah pertanda bahwa mereka memiliki hubungan sosial yang baik satu sama lain. Dengan ini maka akan lebih mudah untuk mencapai suatu kesepakatan, karenanya efektivitas dan efisiensi dari komunikasi akan mempengaruhi integrasi sosial. 2) Bentuk-Bentuk Integrasi Sosial a) Berdasarkan hasilnya integrasi sosial terbagi menjadi : a.1 Asimilasi Asimilasi adalah penggabungan dua atau lebih kebudayaan yang hasilnya menghilangkan ciri khas dari kebudayaan asli, artinya hasil dari asimilasi merupakan sebuah kebudayaan baru yang diterima oleh semua kelompok dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan. a.2 Akulturasi Akulturasi adalah penggabungan dua atau lebih kebudayaan tanpa menghilangkan ciri khas dari kebudayaan asli di lingkungan tersebut. Biasanya kebudayaan asing yang masuk akan mendapatkan penolakan terlebih dahulu, tetapi kemudian seiring berjalannya waktu kebudayaan ini akan diterima dan dimanfaatkan dengan tanpa menghilangkan ciri khas dari kebudayaan awal.   b) Berdasarkan penyebabnya, integrasi sosial dapat terbagi menjadi : b.1 Integrasi Normatif Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



270



Integrasi normatif adalah integrasi yang terjadi karena norma-norma tertentu yang berlaku dalam masyarakat secara keseluruhan. Norma ini menjadi hal yang mampu mempersatukan masyarakat sehingga integrasi lebih mudah terbentuk. b.2 Integrasi Instrumental Integrasi instrumental adalah integrasi yang tampak secara visual akibat adanya keseragaman antar individu dalam suatu lingkungan masyarakat. Contoh-nya adalah keseragaman pakaian, keseragaman aktivitas sehari – hari, keseragam-an ciri fisik, dll. b.3. Integrasi ideologis Integrasi ideologis adalah integrasi yang tidak tampak secara visual, terbentuk karena adanya ikatan spiritual atau ideologis yang kuat berdasarkan proses alamiah tanpa adanya paksaan. Interaksi ideologis menggambarkan adanya persamaan kepahaman dalam memandang nilai sosial, persepsi, serta tujuan antara anggota masyarakat dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan. b.4 Integrasi Fungsional Integrasi fungsional terbentuk karena adanya fungsi-fungsi tertentu dari masing masing pihak yang ada dalam sebuah masyarakat. b.5 Integrasi Koersif Integrasi koersif adalah integrasi yang terbentuk karena adanya pengaruh kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. Integrasi ini dapat bersifat paksaan. c) Syarat Berhasilnya Integrasi Sosial Proses mewujudkan integrasi sosial yang baik tidaklah mudah, apalagi pada lingkungan masyarakat multikultural dengan perbedaan yang sangat banyak. Sangat sulit untuk menemukan suatu keputusan yang dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat. Tetapi bagaimanapun sulitnya, integrasi sosial sangat penting untuk dilakukan. Menurut R William Lidle, syarat berhasilnya suatu integrasi sosial adalah sebagai berikut: 1) Sebagian besar (mayoritas) anggota dalam masyarakat sepakat tentang batas – batas teritorial dari wilayah mereka sebagai suatu kehidupan politik dan 2) Sebagian besar (mayoritas) anggota masyarakat tersebut sepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan hukum dari proses politik dan sosial yang berlaku bagi seluruh masyarakat dalam wilayah teritorial tersebut. Menurut William F. Ougburn dan Meyer Nimkoff, integrasi bisa terwujud, ketika: 1) Anggota masyarakat merasa, bahwa mereka saling mengisi kebutuhan mereka satu sama lain, 2) Masyarakat telah menciptakan kesepakatan bersama tentang nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan tersebut, 3) Nilai dan Norma sosial itu sudah berlaku cukup lama dan dijalankan secara konsisten, 4) Masing masing Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



271



individu atau kelompok mampu mengendalikan diri dan menyesuaikan diri satu sama lain dan 5) Selalu menempatkan persatuan dan kesatuan sebagai prioritas utama. 3. Konflik (conflict) Kata ini berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di dalam masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Pembahasan meliputi teori-teori mengenai perwujudan politik dalam kehidupan manusia, serta sistem politik pada masyarakat sederhana dan modern. Selain itu, ilmu budaya juga membahas gejala-gejala politik dalam kehidupan manusia, termasuk yang tidak terkategori sebagai gejala-gejala politik, yang berkaitan dengan lembaga-lembaga politik formal atau pemerintah dalam masyarakat modern. Dengan demikian, cakupan pembahasan meliputi berbagai gejala politik dan organisasi sosial dalam komunitikomuniti masyarakat pedesaan atau non-masyarakat kompleks. Kaitan antara Ilmu budaya dengan ilmu politik: ilmu budaya memberikan pengertian-pengertian dan teori-teori tentang kedudukan (status), serta peranan (role) satuan-satuan sosial budaya yang lebih kecil dan sederhana. Pada awalnya ilmu budaya lebih banyak memusatkan perhatian pada kehidupan masyarakat dan kebudayaan di desa-desa dan di peda-laman. Ilmu budaya juga telah berpengaruh dalam bidang metodologi penelitian ilmu politik. Salah satu pengaruh yang amat berguna dan terkenal, serta kini sering dipakai dalam ilmu politik adalah metode peserta pengamat (full participations research). Penelitian semacam ini memaksa sarjana ilmu politik untuk meneliti gejala-gejala kehidupan sosial dari dalam masyarakat yang menjadi obyek penelitiannya. Hal lain yang paling banyak diadopsi oleh para pengamat politik dari ilmu budaya adalah prinsip emik dan perinsip etik. Prinsip etik adalah etika seorang pengamat untuk tetap menghargai pendapat dan persepsi kliennya. Pengamat harus memperlakukan apa yang ada dan sesuai dengan fakta. Sebailknya, prinsip etik adalah pengamat berhak untuk menginterpretasi temuannya berdasarkan ilmu yang menjadi landasan pikirannya. Hal ini tidak berarti, bahwa peneliti diwajibkan memilih salah satunya, namun seorang peneliti yang handal adalah yang bisa mengkombinasikan keduanya dalam koridor-koridor keilmuan. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



272



 Antropologi Politik berkembang sesudah tahun 1940, ditandai dengan terbitnya buku African Political System oleh  M. Fortos dan E.E. Evan Pitchard. Redcliffe Brown, penulis kata pengantar dalam buku tersebut menganggap, bahwa organisasi politik adalah organisasi yang melaksanakan aktifitas sosial yang menyangkut penjagaan keteraturan dan stabilitas masyarakat dalam suatu wilayah tertentu, dengan menggunakan kekuasaan dan kalau perlu kekerasan secara absah. Berdasarkan definisi tersebut, topik-topik yang termasuk dalam Antropologi Politik meliputi: 1) masalahmasalah hukum adat, 2) organisasi kenegaraan, 3) organisasi perang, 4) organisasi kepemimpinan, 5) pemerintahan dan 6) kekuasaan.  Ahli antropologi akan membatasi diri pada masalah-masalah, berikut ini: a) Organisasi kenegaraan: tentang evolusi terjadinya organisasi negara, b) Organisasi perang, tentang sebab timbulnya perang dan akibat timbulnya perangnya dan c) Organisasi kepemimpinan, pemerintahan, kekuasaan. Pembahasan tentang Antropologi Politik di lndonesia secara teoritis masih jarang dilakukan. Kurangnya pembahasan tersebut, karena belum adanya kesepakatan bersama di antara para ahli Antropologi itu sendiri tentang ruang lingkup kajiannya. H. Ilmu Budaya dan Hukum Ilmu Budaya dan antropologi menggunakan pendekatan holistis dan komparatif dalam mengkaji permasalahan dalam kehidupan manusia meliputi: hukum, ekonomi,  politik, termasuk budaya. Antropologi Hukum adalah ilmu yang membahas tentang manusia dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah sosial yang bersifat hukum. Antropologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusai dengan kebudayaan yang khusus di bidang hukum. Antropolgi hukum adalah suatu spesialisasi ilmiah dari antropologi budaya, bahkan dari antropologi sosial. Kebudayaan  hukum yang dimaksud adalah menyangkut aspekaspek hukum, aspek-aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat untuk mengatur anggota-anggota masyarakat, agar tidak melanggar kaidahkaidah sosial yang telah ditetapkan oleh masyarakat bersangkutan. Kaidahkaidah atau norma-norma sosial yang telah ditentukan batas-batas dan sanksi-sanksinya itulah yang dimasud sebagai norma hukum. Norma hukum sejajar dengan pranata sosial (social institutions). Jadi, kesemua sistem perlaksanaan kaidah-kaidah yang mempunyai sanksi merupakan sistem kontrol sosial (social control), yang dipertahankan masyarakat merupakan proses hukum. Dengan demikian antropologi hukum merupakan ilmu tentang manusia dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah sosial (social institutions) yang bersifat hukum. Timbul pertanyaan, kaidah-kaidah sosial yang manakah yang dimaksud kaidah hukum. Untuk itu perlu diahami apakah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



273



yang dimaksud dengan kaidah atau norma menurut antropologi. Norma adalah pola ulangan perilaku yag sering terjadi. Saya kembali pada salah satu definisi kebudayaan menurut Sir Edward Burnett Tylor (1871), dimana kebudayaan dianggap sebagai suatu kompleks dari keseluruhan yang meliputi pengetahuan (knowledge), kesenian (arts), hukum (laws), moral (moralities), kebiasaan dan kecakapan lain (other capabilities) yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan menurut Tylor adalah kumpulan dari gejala sosial yang harus tunduk pada nilai, norma dan aturan. Ketiganya menurut Tylor merupakan unsur-unsur penting dalam pengambilan keputusan yang berbau hukum. Khusus Hoebel (1979: 14), bahwa norma: sebagai suatu perilaku orang-orang individu dari setiap masyarakat (atau subkelompok dalam suatu masyarakat) mengungkapkan kesamaan dalam menanggapi rangsangan khusus, yang disebut norma. Antropologi hukum menurut Hoebel (1972) adalah suatu norma sosial yang berlandaskan hukum. Ketika terjadi pelanggaran atau tindakan yang tidak mengindahkan norma sosial, yang melanggar akan diberikan sanksi hukum, baik dalam bentuk sanksi tindakan fisik (Qanun Jinayat) 71 di Aceh, hukuman pancung di Saudi Arabia, tembak mati di China dan sebagainya), diberikan sanksi sosial (hukuman masyarakat, tahanan rumah dan sebagainya) maupun sanksi yang lainnya yang diterapkan oleh pihak yang berwenang. Menurut Leopold Pospisil, bahwa segala sesuatunya tidak hanya diukur menurut ukuran yang berlaku dalam budaya sendiri, karena antropologi hukum juga memuat beberapa pengertian lainnya diantaranya: a) Antropologi hukum itu tidak membatasi pandangannya pada kebudayaan tertentu, sehigga antropologi hukum cenderung dikatakan komparatif. Antropologi hukum berbicara tentang bagaimana tahap perkembangan masyarakat lokal, sepatutnya dipelajari berdampingan dengan masyarakat yang budayanya sudah maju (masyarakat madan), yang tidak dibedakan secara kualitatif, b) Antropologi hukum berbeda dari cabang ilmu sosial lainnya, karena mempelajari masyarakat secara totalitas (holistics) dan utuh dimana bagian-bagiannya saling bertautan (systemics). Jadi, tidak dipotong menurut segi-segi tertentu (taxonomic), misalnya; segi ekonomi, segi politik dan segi hukum sebagai segi tersendiri, c) Antropologi hukum yang modern (contemporary) tidak lagi memusatkan perhatiannya pada kekuatan-kekuatan sosial dan hal-hal yang superorganis. Kajian ini memperkecil peranan individu, sehingga semuanya mendapatkan perhatian yang sama, d) Antropologi hukum tdak memandang masyarakat statis, tetapi rentang dengan gangguan dari penyimpang71



Qanun Jinayat mengatur sejumlah larangan dan sanksi yang sesuai dengan syariah Islam, termasuk larangan aktivitas seksual sesama jenis, hubungan seksual di luar nikah, dan berduaan dengan sesama jenis yang bukan suami atau istrinya (khalwat).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



274



an. Dengan demikian, antropologi hukum kontemporer memandang masyarakat secara dinamis, sehingga peranan sosial dan hukum tidak terbatas dan tetap mempertahankan status quo. Stone lalu menyimpulkan, antropologi hukum bukanlah penganut ketidakmampuan legislatif. e) Antropologi hukum termasuk ilmu tentang hukum yang bersifat empirik dan bukan rasional. Konsekuensinya, bahwa teori yang dikemukakan harus didukung oleh fakta yang relevan atau setidak-tidaknya terwakili secara representatif dari fakta yang relevan. 1. Definisi dan Konsep Antropologi Hukum



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



275



Saya akan mengutip beberapa definisi tentang hukum adat dari berbagai ahli Antropologi dan Ahli hukum (positif dan negatif), seperti berikut ini: 1) Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, bahwa hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku dulu dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Kodifikasi, di pihak lain, dapat diartikan sebagai berikut: 1) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan. Kodifikasi juga berarti penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu di dalam buku undang-undang yang baku. Menurut Prof. Djojodigoeno, bahwa kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah atau lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi), 2) Menurut Ter Haar, hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa. Keputusan-keputusan tersebut dianggap sah atau tidak sah, karena kesewenangan yang dimaksud disini adalah tidak bertentangan dengan keyakinan hukum (law awareness) rakyat, melainkan senapas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidaktidaknya ditoleransi. Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi, tetapi juga di luar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggotaanggota persekutuan tersebut. 2. Ruang Lingkup Antropologi Hukum Antropologi hukum, seperti halnya dengan disiplin ilmu lainnya, memiliki ruang lingkup hukum dalam pembahasan: 1) Apakah dalam setiap masyarakat terdapat hukum dan bagaimanakah terhukum yang universal ?, 2) Bagaimana hubungan antara hukum dan aspek kebudayaan ?, 3) Apakah mungkin diadakan Tipologi hukum tertentu sedangkan variasi karakteristik hukum terbatas ?, 4) Apakah Tipologi hukum itu dapat berguna untuk Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



276



mengetahui hubungan antara hukum dan aspek kebudayaan dan kelompok sosial ? dan 5) Mengapa hukum itu selalu berubah ? Ruang lingkup pembahasan antropologi hukum adalah hubungan antara hukum adat (adat recht) dengan hukum (positif dan negatif). Hukum yang saya maksud di sini adalah hukum (law atau recht) yang mengatur segala aspek kehidupan sadar hukum sebuah masyarakat. Keduanya akan saya bahas secara terpisah seperti berikut ini: a. Hukum Adat Hukum adat (adat recht) adalah hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam satu kelompok masyarakat tertentu. Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara lainnya seperti; Jepang, India, Cina dan beberapa negara lainnya. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia, sekalipun di beberapa tempat dan masyarakat juga dikenal hukum yang sama nilainya. Sumber hukum adat adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Peraturan-peraturan dalam hukum adat hampir semuanya tidak tertulis (pasang ri Kajang, paseng ri Karampuan, wasiat, fatwa-fatwa, petuah-petuah, pamali-pamali dan sebagainya). Akan tetapi, hukum adat tersebut tetap tumbuh kembang, sesuai dengan loyalitas dan keseakatan para pendukungny. Nilai dan norma hukum dari hukum tidak tertulis tersebut memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis dengan hukum nasional (positif dan negatif). Selain itu, dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya (cultural institutions) sebagai warga yang hidup bersama di dalam suatu persekutuan hukum, yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal (Territories atau domicile) dan atas dasar keturunan (descend). Penggunaan istilah hukum adat (adat recht) pertama diperkenalkan oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers. Istilah hukum adat tersebut kemudian dikembangkan oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum. Ia menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah adat recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie pada tahun 1901-1933. Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling. Bentuk dan isi adat recht berupa Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929. Dalam masyarakat Indonesia, istilah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



277



hukum adat tidak dikenal adanya. Menurut Hilman Hadikusuma, bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Mengapa dikatakan demikian, karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian diadopsi ke dalam suatu sistem keilmuan. Di dalam bahasa Inggris juga dikenal dengan istilah Adat Law, yang muatan dan fungsinya tetap sama dengan adat recht. Istilah tersebut perkembangannya hanya dikenal sebagai istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan hukum adat. Pendapat ini diperkuat Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe dikutif Prof. Amura, bahwa sebagai lanjutan kesempuranaan hidup mnusia selama kemakmuran berlebih-lebihan, karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat. Menurut Prof. Nasroe, bahwa adat Minangkabau telah ada sebelum agama Hindu datang ke Indonesia pada abad ke satu tahun masehi. Demikian pula, Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H., bahwa istilah hukum adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh (Hilman, 1992) yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630 (Mahadi, 1991) Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa adat adalah aturan (perbuatan dsb.) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb.) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Oleh karena istilah Adat telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan, istilah hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan (Koesnoe, 1979) Menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai hukum kebiasaan (Saragih, 1984). Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul, karena kebiasaan. Ini berarti, bahwa sangat lama orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu, sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Dmikian pula pendapat Soejono Soekanto, bahwa hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen) (Saragih, 1984). Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulangulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving. Pendapat tersebut dibantah oleh Van Dijk, bahwa hukum adat dan hukum kebiasaan perlu dibedakan. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



278



Ter Haar seorang ahli hukum dengan teorinya Beslissingenleer (teori keputusan) mengungkapkan, bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar menyatakan, bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat. Pendapat Ter Haar tersebut didukung oleh Syekh Jalaluddin (Soerjo W, 1984) dengan menjelaskan, bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada di belakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain. b. Lingkungan Hukum Adat Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Pembagian persektuan hukum adat tersebut, akan ambil dan dikutip pendapat dari (van Vollenhoven), yang secara garis mengglongkan lingkungan hukum adat berikut ini: 1) Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu), 2) Tanah Gayo, Alas dan Batak, 3) Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci), 4) Mentawai (Orang Pagai), 5) Sumatera Selatan, 6) Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar), 7)Bangka dan Belitung, 8) Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan), 9) Gorontalo (Bolaang Mongondow, Suwawa, Boilohuto, Paguyaman), 10) Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai), 11) Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Sinjai, Bulukmba, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna), 12) Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula), 13) Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar), 14) Irian, 15) Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



279



Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima), 16) Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa), 17) Jawa Tengah, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura), 18) Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta) dan 19) Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten). c. Penegakan Hukum (Adat) Menurut Hornby A. S. (1974: 869), bahwa secara etimologis, kata supremasi berasal dari kata supremacy dari akar kata sifat supreme, artinya ‘tertinggi dalam gelar atau peringkat tertinggi, Sedangkan supremacy berarti ‘kekuasaan tertinggi’. Penegakan hukum (law enforcement) juga dapat diartikan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang bersifat hukum dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum, baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan teknis dan administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Hal ini dimaksudkan untuk memberi rasa aman, naman, ketenangan, damai dan tertib bagi seluruh warga masyarakat. Penegakan hukum dilakukan dalam rangka mendapatkan kepastian hukum dalam masyarakat, dalam rangka menciptakan kondisi yang kondusif, agar pembangunan disegala sektor itu dapat dilaksanakan oleh pemerintah.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



280



Menurut Satjipto Rahardjo (2009), penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu mempunyai arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, proses  penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan, bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, menegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam-nya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya me-nyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum  (law enforcement) menghendaki empat syarat, yaitu : 1) Adanya aturan, 2) Adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan itu, 3) Adanya fasilitas untuk mendukung pelaksanaan peraturan itu dan 4) Adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan itu. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo pengamatan berlakunya hukum secara lengkap ternyata melibatkan berbagai unsur sebagai berikut: 1) Peraturan sendiri, 2) Warga negara sebagai sasaran pengaturan, 3) Aktivitas birokrasi pelaksana dan 4) Kerangka sosialpolitik-ekonomi-budaya yang ada yang turut menentukan bagaimana setiap unsur dalam hukum tersebut di atas menjalankan apa yang menjadi bagiannya. d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia Pokok permasalahan penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor, berikut ini: a) Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja, b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, b) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, c) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dan d)  Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



281



1) Pengakuan Adat oleh Hukum Formal Supremasi atau penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil, karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa. Selain itu, adat merupkan identitas bagi bangsa, sekaligus identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi. Persoalannya kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, di mana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau perangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Pelaksanaan ritual tersebut dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum dalam penerapan hukum formal. Penjatuhan pidana oleh salah satu hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, berupa hukum mati terhadap pelakuknya, menuai kontroversi berkepanjangan. Para praktisi hukum adat menginginkan, agar penajtuhan sanksi pidana tersebut perlu peninjauan beberapa delik hukum lainnya. Di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 disebutkan, hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam penjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat. Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat, pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan, serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat. Selain itu, penerbitan undang-undang yang sama UndangUndang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, dimaksdukan untuk memperkuat hak-hak dan kewajiban hukum bagi masyarakat. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA No. 5 tahun 1960, meliputi: 1) Penyamaan persepsi mengenai hak ulayat (Pasal 1), 2) Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5) dan 3) Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4) Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, di mana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dengan demikian dalam prakteknya, polarisasi hukum adat tersebut dilakukan dalam dua bentuk: a) secara deskriptif: sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



282



lingkungannya dan b) secara preskripsi --- dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan --secara resmi diakui keberadaaanya, namun dibatasi dalam peranannya. 2) Penegak dan penegakan hukum adat Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera. Dalam buku ini, saya akan mengambil contoh penegakan hukum adat di wilayah Adat Kajang dan Wilayah adat Karampuang. Mengapa demikian ? Alasan utama saya yaitu: 1) telah melakukan penelitian lapangan di kedua wilayah adat tersebut, 2) hasil penelitian saya di wilayah adat Karampuang menjadi tesis S-2 dengan judul Manfaat Ilmu Pengetahuan Lokal dalam Sistem Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Socil Forestry) pada tahun 2005 dan 3) hasil penelitian saya di wilayah adat Kajang menjadi disertasi S-3 dengan judul Pasang ri Kajang dalam Sistem Pengelolaan Hutan Adat di Wilayah Adat Kajang pada tahun 2005. Dengan demikian, sebaiknya saya memberikan penjelasan tentang kearifankearifan lokal di wilayah yang saya kenal baik dari-pada saya harus melakukan sesuatu dengan dasar katanya (kata orang). a) Proses Peradilan adat Kajang Peroses peradilan adat Kajang atau sering juga dikenal sebagai abborong ada’a (berkumpul secara adat) dilakukan di rumah adat Kajang. Mereka berukmpul untuk membicarakan penegakan hukum adat di tanah Kajang (ada’ tanayya ri Kajang), karena telah terjadi pelanggaran adat. Yang bertindak selaku hakim ketua adalah Ammatowa didampingi oleh hakim anggota (pa’rangrang bicarayya) dan dewan adat. a.1 Empat Larangab Keras di Wilayah Adat Kajang Sistem pengawasan hutan sepenuhnya dikendalikan oleh Ammatowa bersama dengan dewan adatnya. Ada empat unsur yang berkaitan langsung dengan sistem pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management system) dan keseimbangan ekosistem lingkungan hidup (environmental ecosystems equillabelium), yang harus ditegakkan dari dulu, sekarang dan yang akan datang. Keempat unsur tersebut mencakup: 1) tabbang kaju (penebangan kayu), 2) tatta uhe’ (pengambilan rotan), 3) rao doang (penangkapan udang) dan 4) tunu bani (pamanenan lebah hutan). Untuk mempertahankan fungsi-fungsi dan kelestarian hutan, penebangan kayu di kawasan adat Kajang merupakan suatu hal yang patut dihindari, kecuali dalam keadaan tertentu dan mendesak. Izin konsesi penebangan kayu yang diberikan oleh dewan adat Kajang tetap harus diawasi pelaksanaannya, karena semua orang Kajang dianggap berpotensi untuk merusak hutan bila tidak diawasi. Dalam pasang juga disebutkan, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



283



bahwa: lyyaminjo boronga, kunni pusakayya kunremange’e ri Kajang, artinya ’hutan adat itu warisan atau pusaka kita di sini di Kajang’ Hutan adalah sesuatu yang harus dijaga kelestariannya seperti halnya dengan memelihara benda-benda pusaka lainnya. Orang Kajang dianggap tidak menghargai pemberian leluhur, bila hutan tidak dipelihara sesuai dengan aturan yang digariskan oleh pewaris hutan tersebut. Penggunaan kata pusakayya di sini merupakan penekanan dalam pasang, agar manusia tidak melakukan pengrusakan hutan. Tidak satupun orang Kajang yang mau menjual, merusak dan menghilangkan harta pusakanya. Bahkan, orang Kajang cenderung menyimpan baik-baik harta pusakanya (senjata tajam, tombak, keramik, mustika, uang kuno, pakaian dan sebagainya) di tempat yang aman. Sebagian lagi mensejajarkan antara harta warisannya dengan pemberi warisan tersebut. Dengan demikian, harta warisan tersebut dipersonifikasi dan diberi perlakuan khusus seperti halnya dengan manusia. Khusus warisan berupa keris atau badik dimandikan dan diberikan sesajen (a’cera’ pareha) untuk menghormati roh yang terdapat di dalam benda pusakanya tersebut. Mereka sangat yakin, bahwa dalam benda pusaka tersebut terkandung roh Mana (kekuatan gaib) 72. Larangan menebang pohon juga disebutkan di dalam pasang, bahwa: Anjo boronga paru-parunna linowa, artinya ’hutan itu adalah paru-paru dunia’. Pasang di atas mengisyaratkan, agar manusia tidak merusak hutan. Merusak hutan berarti merusak paru-paru dunia, karena fungsi-fungsi dan prosesproses ekologis hutan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hutan adalah pensuplai oksigen (O2) untuk kehidupan manusia dan konsumen carbon dioksida (CO2) di dalam potosintesisnya. Penggunaan kata paruparu dunia dalam pasang di atas diasosiakan dengan fungsi paru-paru mahluk hidup dalam menghembuskan dan menghirup udara (ber-napas). Dapat dibayangkan bila tidak ada tumbuhan yang mengisap unsur CO2 yang dihasilkan oleh manusia dan kendaraan bermotor dan tidak ada lagi unsur-unsur O2 di udara, karena pohon sebagai produsennya sudah tidak ada lagi. Pencemaran di udara dipastikan terjadi, yang menyebabkan menipisnya, bahkan diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya lubang ozon (startosfer). Menurut Soemarwoto (1985: 3), bahwa di dalam daun oragnisme tumbuhan terdapat zat hijau daun (klorofil). Zat tersebut mampu mengubah unsur-unsur CO2 menjadi karbohidrat atau O2 melalui zat klorofil dalam potosintesisnya dengan bantuan sinar matahari. Dengan 72



Lihat Haviland (1993: 199-200) orang Melanesia menganggap mana sebagai kekuatan yang terdapat pada semua obyek. Mana sendiri tidak bersifat fisik, tetapi dapat mengungkapkan diri secara fisik. Sukses prajurit dalam pertempuran, misalnya, tidak dianggap berasal dari kekuatannya sendiri, tetapi mana yang terdapat di dalam jimat para prajurit yang tergantung di lehernya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



284



demikian, berkembangnya organisme yang berklofil akan mengurangi kadar CO2 di atmosfir dan memperkaya ketersediaan O2. Demikian pula halnya Zor’aini (2003: 76-77) memperlihatkan siklus biogeokimia O2 digunakan untuk pernapasa, pembakaran, pembusukan sisa tumbuhan dan hewan dan digunakan untuk karbohidrat yang larut dalam tumbuhan hijau. CO2 dihasilkan melalui pernapasan dan pembakaran digunakan oleh tumbuhan dalam potosintesisnya, yang menghasilkan unsur-unsur O2. Oleh karena itu, larangan pengrusakan hutan diabadikan di dalam pasang berikut: Punna lanupanraki anjo boronga nupanraki tonji kalennu, artinya ’Merusak hutan berarti merusak diri sendiri’. Hutan dalam pasang di atas disejajarkan dengan manusia. Ada konsekueansi logis antara pengrusakan hutan dengan pemusnahan ekosistem mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia yang diakibatkan terjadinya pengrusakan hutan. Merusak hutan sama dengan merusak empat jaringan sekaligus: atmosfer, ekosfer, hidrosfer dan litosfer. Penggunaan kata nupanraki kalennu tidak mengacu pada diri, tetapi pada lingkungan (human ecology) secara kolektif fisik dan non-fisik. Menurut persepsi orang Kajang, bahwa menebang pohon berarti mengurangi produsen O2, sekaligus mengurangi konsumen CO2. Jika produksi CO2 meningkat dan tidak ada organisme berklorifil yang menangkapnya, produksi O2 secara otomatis menurun dan CO2 menumpuk di udara. Akibatnya, unsur O2 yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan hidup manusia juga tidak ada. Akibatnya bencana kemanusiaan akan terjadi. Tidak salah bila pelaku pembalakan hutan adat di wilayah adat Kajang diberi sanksi seberat-beratnya, karena mereka dianggap melakukan tindakan kriminal secara berencana. Perbuatan yang bersangkutan dianggap membunuh manusia dan lingkungannya. Larangan memotong semak-semak belukar (tatta’ uhe’a), khususnya rotan tetap mereka tegakkan demi mempertahankan fungsi kanopi-kanopi hutan sebagai Pattambanna Linowa (pengikat dunia). Soerjani (2006: 60) kemudian membagi tiga kelompok kanopi hutan, yaitu: 1) kanopi puncak berupa pohon-pohon tinggi, 2) kanopi tengah yaitu tumbuhan sedang dan 3) kanopi bawah yaitu semak, perlu penutup tanah dan lumut. Kelas kanopi tengah dan bawah termasuk golongan liana Dalam pasang disebutkan, bahwa: narie kaloro battu ri boronga, narie timbusu battu ri kajua battu ri kalelenga, artinya ’ada sungai yang mengalir dari hutan, karena ada air muncul dari pepohonan dan belukar atau rotan’. Pengertian linowa (dunia) dalam pasang di atas mencakup dunia dalam pengertian umun dan dunia dalam pengertian biosfer lingkungan 73 yaitu 73



Lihat Soerjani dkk. (2006: 3), bahwa kehidupan (ekosfer) yang kita kenal di bumi ini didukung oleh wilayah yang tumpang tindih antara litosfer (bawah tanah), atmosfer (udara) dan hidrosfer (dalam air).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



285



sebuah mikrokosmos dari biosfer makrokosmos bumi secara keseluruhan. Orang Kajang membagi level-level kehidupan biosfer hutan menjadi: bagian atas sebagai alam bebas (alang lompowa), bagian tengah sebagai alas hutan (tangnga borong) ditumbuhi pepohonan dan belukar (kalelleng), serta ditempati satwa dan bagian bawah (butta) ditempati air (timbusu’) atau sungai (kaloro’). Dengan dasar ini pula mereka memadang mikrokosmos sebagai atas tanah (raung kaju), tanah (poko’ kaju) dan bawah tanah (aka’ kaju). Larangan mengambil madu atau sarang lebah (tunu bani) juga berkaitan dengan jaringan kehidupan atau mata rantai kehidupan ekosistem hutan dan sekitarnya. Dalam pasang disebutkan, bahwa: aballoi tinanang, aballoi assara’a punna rie’ bani, artinya ’tumbuh-tumbuhan (tanaman) berbuah dengan sempurna, pohon aren juga berbunga dengan baik apabila lebah hutan ada)’. Pasang di atas melarang semua bentuk pemanenan sarang lebah, kecuali untuk upacara adat yang membutuhkan sarang lebah sebagai pedupaan (tunu passau). Menurut persepsi orang Kajang, bahwa keberadaan lebah-lebah dan serangga sejenis dianggap sangat berjasa dalam proses sirkulasi pembuahan atau perkawinan serbuk silang tanaman, termasuk pohon aren. Menurut mereka perkawinan silang yang dilakukan oleh lebah-lebah pekerja jauh lebih efektif dan sempurna dibandingkan bentuk perkawinan silang lainnya. Ketika seekor lebah mengisap madu bunga jantan, misalnya, dimulutnya menempel serbuk sari yang kemudian disuntikkan ke dalam ovum bunga betina, terjadilah pembuahan. Pekerjaan yang sama dilakukan secara simultan untuk semua bunga bertina dan jantan yang ada. Dengan demikian, pelarangan memanen sarang lebah madu berkaitan dengan kecemasan orang Kajang akan terputusnya matarantai reproduksi ekosistem tumbuhan hutan di wilayah adat Kajang. Larangan penangkapan udang (rao doang) dilakukan untuk menjaga kelangsungan matarantai biosfer air sungai (hidrosphere). Sungai dalam pandangan orang Kajang adalah suatu bentuk kehidupan di dunia bawah (buri’ liu). Udang (doang) dianggap sebagai pemegang kendali (patanna ere’a) yang berjasa dalam menjaga keseimbangan ekosistem bawah air. Ia memakan dan dimakan oleh spesies pendukung biosfer lainnya. Ia memakan plankton-plankton kecil untuk mendukung reproduksinya dan menjaga kematangan telur-telur di sekucur tubuh dan kepalanya. Eksploitasi pemanfaatan udang secara berlebihan menurut orang Kajang menyebabkan pencemaran air sungai, sehingga penyakit diare, penyakit kulit atau kusta dapat merajalela di mana-mana. a.2 Pengambilan Keputusan dan Sanksi Menurut Ammatowa (pemimpin adat Kajang), bahwa ada perbedaan mendasar antara pengambilan keputusan melalui sistem peradilan adat Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



286



Kajang yang mengacu pada pasang ri Kajang dengan sistem peradilan nasional (maksudnya hukum formal) yang ditegakkan melalui hukum positivisme. Yang diputuskan dalam peradilan negara adalah kepintaran berbicara (abballoi bicara). Siapa pun yang mampu memperbaiki bicaranya, dialah yang akan memenangkan perkara tersebut. Untuk memperbaiki bicara, hakim biasanya menunda perkara guna memberi kesempatan kepada masing-masing pihak untuk mengambil pengacara (tu’ caradde’). Dalam tenggang waktu tersebut seseorang berkesempatan menyogok (pasoso’) atau melakukan kontak peribadi dengan para pengambil keputusan. Peradilan adat Kajang (ada’ tanayya ri Kajang), di pihak lain, tidak memutuskan bagus tidaknya bicara, tetapi kejujuran (lambusu’) dan kebenaran (bicara tojeng). Dalam pasang disebutkan, bahwa: manna balloi bicarannu mingka anre’ natojen, kittemintu nipatabai sala. manna ana’ punna salai nipatabai tonjiantu sala, artinya ’sekalipun bagus bicaramu, tetapi tidak benar anda tetap dianggap bersalah, sekalipun anak sendiri kalau salah tetap juga harus dipersalahkan’. Para pengambil keputusan (pa’ranrang bicarayya) tidak berani menerima sogokan (pasoso’) dalam bentuk apapun dan memihak kepada siapapun (angngalepei), sekalipun terdakwa adalah keluarga atau anak sendiri. Menurut Ammatowa: pasoso’ sangkamma racung balahowa. sangkamma pepe’ ri sahu kalukuwa. sangkammai ere’ ribujanga. sangkamma tonji poeng garring doti rikalennu. injomi nikua garring anre pabballena nakuwa toriolowa sangadinna kamaseyannai Karaeng Lompowa, yang artinya ’sogok-menyogok sama dengan bisa racun tikus, sama dengan bara api di dalam sekam atau sabut, sama rembesan air di atas kertas dan sama pula dengan guna-guna di dalam dirimu. Itulah yang disebut penyakit tidak terobati, kecuali ampunan dari Tuhan Yang Mahaesa’ Besar kecilnya sanksi pelanggaran harus ditentukan melalui peradilan adat. Keputusan-keputusan tersebut diikuti sanksi hukum adat berupa denda (passala) untuk pelanggaran pembalakan sumberdaya hutan (illegal loging). Menurut Butong, bahwa pada tahun 1997 telah terjadi pembalakan hutan yang dilakukan oleh Lekkong. Ia diadili melalui peradilan adat (abborong ada’a) dan didenda sebesar 400.000,- berikut penyitaan barang bukti yang harus tetap disimpan di dalam hutan. Demikian pula menurut Puto Palasa, bahwa orang-orang yang telah melanggar aturan-aturan pengelolaan hutan di wilayah adat Kajang terjadi sejak tahun 2000. Mereka dihukum dan diusir dari Kajang Dalam (Ilalang Embayya). Sebagai contoh Tambari, Kallasa’ dan Santa’ didenda dan diusir dari Kajang Dalam, karena telah melakukan pembalakan hutan tanpa seisin pemangku adat dan tidak sesuai dengan aturan pasang. Segala bentuk pengambilan keputusan beserta sanksi-sanksinya diatur di dalam pasang berikut: Rie’ tallu dahona tunggaukang anu pasala ri ada’a Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



287



iyamintu; tunu panroli, Tunu passau napassala, artinya ’Ada tiga akibat yang harus diterima pelanggar adat, yaitu: pembacaan sumpah melalui pembakaran linggis, 2) pembacaan kutukan melalui pembakaran sarang lebah) dan 3) denda’. Ammatowa dalam mengakkan supremasi hukum adat Kajang selalu berpedoman pada pasang ri Kajang. Tidak ada ketentuan atau putusan pengadilan adat yang boleh menyimpang dari ketentuan pasang, yang diwujudkan dalam proses-proses pengambilan keputusan di bawah ini:. a.2.1 Tunu Panroli (Pembakaran Linggis) Tunu Panroli (pembakaran linggis) dilakukan bila para perambah hutan tidak mau mengakui kesalahannya. Semua saksi dihadirkan di hadapan Ammatowa dan pemangku adatnya dalam sebuah pertemuan adat (abborong ada’). Untuk menetapkan tersangka utama dewan adat melakukan tes kebohongan (trust testing) melalui pembakaran linggis. Linggis yang sudah dimantrai Sanro dibakar dan ditancapkan di depan para saksi-saksi. Satu per satu mereka dipanggil memegang linggis yang sedang membara tersebut. Saksi yang tidak berani memegang linggis tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Sebaliknya, dengan kekuatan magik linggis yang membara tersebut tidak terasakan panasnya bagi saksi yang tidak bersalah. a.2.2 Tunu Passau (Doa Kutukan) Tunu Passau (Doa Kutukan) dilakukan bila para perambah hutan tidak mengakui kesalahannya dan bersembunyi di tempat lain. Jenis hukuman pengadilan tanpa terdakwa (in absentia) seperti ini juga dilakukan bila saksisaksi selalu menghindar atau tidak menghiraukan panggilan peradilan adat. Semua pemangku adat dihadirkan untuk melakukan musyawarah sebanyak 2 sampai 5 kali, sebelum peradilan adat sesungguhnya dilaksanakan. Kegiatan tunu passau dilaksanakan dengan membaca do'a-do'a kutukan berikut: Puppuko sangkamma sorokau. Anremo nararangi mata allo batu dilau, battu diaja, battu diattang, battu diahang. Kammako leko’ nuraung tepo’miseng. A’lorongko tappumisedeng. Naungko nu’lampa bangngi. Naikko nuturi’ (Sengsaralah hidupmu sepanjang masa. Tidak sampai engkau kena sinar matahari dari Timur, Barat, Selatan dan Utara. Engkau seperti pisang yang baru pucuk layu lagi. Terkutuklah engkau menjadi babi dan menjadi kera). Dengan seizin Allah dalam beberapa waktu tersangka betul-betul berubah menjadi babi hutan, kera dan jatuh sakit (terutama lepra, perut buncit dsb.), bahkan ada yang meninggal dunia. a.2.3 Passala (Penetapan Sanksi) Passala (Penetapan Sanksi) yaitu pengambilan keputusan dan pemberian sanksi hukuman adat kepada terdakwa dilaksanakan melalui sidang terbuka. Orang Kajang yang ingin menyaksikan jalannya sidang di balai adat (bola ada’) atau di kediaman Ammatowa dapat menghadirinya. Yang meIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



288



narik dalam sidang terbuka ini, ketika terdakwa dijatuhi hukuman denda. Semua peserta sidang, bahkan orang yang kebetulan lewat sekalipun berhak menerima pembagian hasil sanksi denda tersebut. Sanksi berupa uang tunai dibagi rata dan kadang kala Ammatowa tidak mendapatkan apa-apa, karena ia selalu mengedepankan masyarakatnya (tu’ mabbutayya). Sanksi lain berupa pengucilan dijatuhkan kepada terdakwa, karena melakukan pelanggaran adat. Sanksi ini juga dijatuhkan kepada pelaku yang membangkang dan mengulur-ulur waktu pembayaran dendanya. Sanksi pengucilan seperti ini kadang-kadang dijatuhkan secara sepihak melalui kesepakatan pemangku adat untuk tidak menghadiri ritual adat 74 (pesta perkawinan, kematian dsb.) yang dilakukan tersangka sebelum melunasi sanksi hukum adat tersebut di atas. Sanksi berupa denda (pasala) berbentuk uang tunai dijatuhkan kepada pelanggar hukum adat (ada’ tanayya ri Kajang), terutama pelangaran pengrusakan hutan. Denda ini diasosiasikan dengan cambuk (habbala) yang digunakan untuk menghukum tersangka di negara-negara Islam dan Aceh. Ukuran cambuk (habba’) umumnya berbeda dari pangkal hingga ke ujungnya. Pangkal cambuk lebih besar daripada bagian tengah dan bagian tengah lebih besar daripada ujungnya. Sanksi berat dikenakan kepada orang yang melakukan penebangan hutan (flora) dan pemanenan satwa lebah (fauna) di hutan keramat tanpa seizin Ammatowa. Keseluruhan bentuk kegiatan pembalakan lingkungan tersebut di atas sangat dilarang (kassipali, talama’ring atau karrasa’), kecuali kawanan rusa dan ayam hutan yang berkeliaran dan merusak lahan-lahan petani. Akan tetapi, tindakan tersebut masih tetap harus melalui izin Ammatowa, karena tetap mengganggu ekosistem flora dan fauna yang ada. Pelanggaran adat berat di atas diberi sangksi pangkal cambuk (poko' habbala’) dalam bentuk denda materil sebesar 12 real atau setara dengan 24 ohang75 (mata uang VOC) atau setara dengan Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah). Denda tersebut ditambah kain kafan bagi orang yang beragama Islam sebanyak 24 siku atau sekitar 12 meter. Pelanggaran sedang dikenakan kepada seseorang yang melakukan penebangan melebihi ketentuan yang diberikan Ammatowa. Pelanggaran semacam ini diberi sanksi tengah cambuk (tangnga habbala’) dalam bentuk 74



75



Orang Kajang merasa tidak lengkap atau tercela dalam pelaksanaan hajatan atau upacara adatnya, apabila tidak satupun dari pemangku adat yang menghadirinya. Ia pun mersa dikucilkan dalam pergaulan dengan sesama masyarakatnya. Bagi yang tidak bertahan dengan sanksi sosial (social sanction) banyak diantara mereka yang melakukan migrasi atau merantau keluar daerah lain, bahkan pindah ke Malaysia. Ohang atau owang sejenis uang kerajaan Belanda sebesar 25 sen atau di Pasar Balagana ohang tersebur diberi nilai Rp. 3000 per keping.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



289



denda sebesar 8 real, setara dengan 16 ohang (mata uang VOC) atau setara dengan Rp. 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah). Pelanggaran ringan dikenakan kepada seseorang yang lalai saat melakukan penebangan, yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan adat mengalami kerusakan atau tumbang. Sanksi serupa juga dijatuhkan kepada seseorang yang tidak segera mengankut kayu hasil tebangannya, sehingga ekosistem hutan mengalami kerusakan. Pelanggaran tersebut dikenakan sanksi ujung cambuk (cappa habbala’) dalam bentuk denda 4 real, serata dengan 8 ohang (mata uang VOC) atau setara dengan Rp. 400.000,(empat ratus ribu rupiah). I. Ilmu Budaya dan Kesehatan (ethnomedicine) 1. Konsep dan Wawasan Menurut Foster & Anderson (2006), bahwa antropologi kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua kutub yang berbeda: kutub biologi dan kutub sosial budaya. Antropologi kesehatan merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosiobudaya, biobudaya dan ekologi budaya dari sudut padang kesehatan dan kesakitan yang dilihat dari segi-segi fisik, jiwa dan sosial, serta perawatannya masing-masing dan interaksi antara ketiga segi ini dalam kehidupan masyarakat, baik pada tingkat individual maupun tingkat kelompok sosial keseluruhannya. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa antropologi kesehatan adalah disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosio-budya dari tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya disepanjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia (Foster & Anderson, 1986; 13). Antropologi kesehatan mempelajari sosio-kultural dari semua masyarakat yang berhubungan dengan sakit dan sehat sebagai pusat dari budaya, di antaranya objek yang  menjadi kajian disiplin ilmu ini adalah: 1) penyakit yang berhubungan dengan kepercayaan (misfortunes), 2) dibeberapa masyarakat misfortunes disebabkan oleh kekuatan supranatural maupun supernatural atau penyihir, 2) kelompok healers ditemukan dengan bentuk yang berbeda disetiap kelompok masyarakat, 3) healers mempunyai peranan sebagai penyembuh dan 4) adapun perhatian terhadap suatu keberadaan sakit atau penyakit tidak secara individual, terutama illness dan sickness pada keluarga ataupun masyarakat. Jauh sebelum apa yang disimpulkan ahli-ahli antropologi pada akhir abad 20, pada tahun 1924 W.H. R. River, seorang dokter, menyebutkan, bahwa kepercayaan medis dan prakteknya tidak dapat dipisahkan dari aspek budaya dan organisasi sosial yang lain. Ia menyatakan praktek medis primitif mengikuti dari dan membuat pengertian dalam syarat-syarat yang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



290



mendasari kepercayaan medis. Ia juga menyatakan keberadaan 3 padangan dunia yang berbeda (gaib, religi dan naturalistik) dan menghubungkan sistem-sistem kepercayaan dan tiap-tiap pandangan memilki model perilaku medis yang sesuai. Ackerkencht, seorang dokter dan ahli antropologi, orientasi teoritisnya diungkapkan dalam bentuk lima generalisasi yaitu 1) studi signifikan dalam antropologi medis bukanlah sifat tunggal melainkan konfigurasi budaya secara keseluruhan dari masyarakat dan tempat dimana pola medis berada dalam totalitas tersebut, 2) ada begitu banyak pengobatan primitif, 3) bagian dari pola medis, seperti yang ada pada keseluruhan budaya, secara fungsional saling berkaitan, 4) pengobatan primitif paling baik dipahami dalam kaitan kepercayaan dan definisi budaya dan 5) manifestasi pengobatan primitif yang bervariasi seluruhnya merupakan pengobatan gaib. Penelitian-penelitian dan teori-teori yang dikembangkan oleh para antropolog—perilaku sehat (health behavior ), perilaku sakit (illness behavior) perbedaan antara illness dan disease, model penjelasan penyakit explanatory model ), peran dan karir seorang yang sakit (sick role), interaksi dokterperawat, dokter-pasien, perawat-pasien, penyakit dilihat dari sudut pasien, membuka mata para dokter bahwa kebenaran ilmu kedokteran modern tidak lagi dapat dianggap kebenaran absolut dalam proses penyembuhan. Antropologi kesehatan menjelaskan secara komprehensif dan interpretasi berbagai macam masalah tentang hubungan timbal-balik biobudaya, antara tingkah laku manusia dimasa lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari pengetahuan tersebut. Partisipasi profesional antropolog dalam program-program yang bertujuan memperbaiki derajat kesehatan melalui pemahaman yang lebih besar tentang hubungan antara gejala bio-sosialbudaya dengan kesehatan, serta melalui perubahan tingkah laku sehat kearah yang diyakini akan meningkatkan kesehatan yang lebih baik. Tugas utama ahli dari antropologi kesehatan adalah bagaimana individu di masyarakat mempunyai persepsi dan beraksi terhadap ill dan bagaimana tipe pelayanan kesehatan yang akan dipilih, untuk mengetahui mengenai budaya dan keadaaan sosial di komunitas tempat tinggal. Antropologi kesehatan dianggap sebagai antropologi dari obat (segi teori) dan antropologi dalam pengobatan (segi praktis atau terapan). Antropologi kesehatan adalah studi tentang pengaruh unsur-unsur budaya terhadap penghayatan masyarakat tentang penyakit dan kesehatan (Sarwono, 1993). Definisi yang dibuat Solita ini masih sangat sempit, karena antropologi sendiri tidak terbatas hanya melihat penghayatan masyarakat dan pengaruh unsur budaya saja. Kajian antropologi lebih luas dan mendalam, seperti halnya yang dikaji oleh para antropolog dan budayawan. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



291



Menurut Koentjaraningrat (1984;76), bahwa ilmu antropologi mem-pelajari manusia dari aspek fisik, sosial, budaya. Pengertian Antropologi kesehatan yang diajukan Foster dan Anderson merupakan konsep yang tepat karena, termakutub dalam pengertian ilmu antropologi seperti disam-paikan Koentjaraningrat di atas. Menurut Foster dan Anderson, bahwa antropologi kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya. Penyakit dari kutub biologis, seperti: pertumbuhan dan perkembangan manusia zaman purba. Paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba) adalah ilmu yang bergelut di bidang ini. Sedangkan pokok perhatian kutub sosial-budaya, yaitu: a) Sistem medis tradisional (etnomedisin), b) Masalah petugas-petugas kesehatan dan persiapan profesional mereka, c) Tingkah laku sakit, d) Hubungan antara dokter pasien dan e) Dinamika dari usaha memperkenalkan pelayanan kesehatan barat kepada masyarakat tradisional Menurut McElroy A. (1996), studi antropologi medis memokuskan diri untuk membahas malasah kesehatan manusia dan penyakit, sistem perawatan kesehatan dan adaptasi biokultural. Ia memandang manusia dari perspektif multidimensi dan ekologi. Sedangkan Ann McElroy dan Patricia K. Townsend (1989), disiplin ilmu ini mempelajar salah satu bidang antropologi, khususnya antropologi terapan, yang saat ini sedang mengalami kemajuan pesat. Menurutnya, antopologi kesahatan merupakan sub-bidang antropologi sosial dan budaya yang meneliti cara-cara di mana budaya dan masyarakat diorganisir sekitar atau dipengaruhi oleh masalah kesehatan, perawatan kesehatan dan terkait masalah. Menurut Scotch Norman A. (1963), bahwa istilah antropologi medis telah digunakan sejak tahun 1963 sebagai label untuk penelitian empiris dan produksi teoretis oleh antropolog ke dalam proses sosial dan representasi budaya kesehatan, penyakit dan praktik ke(perawatan), yang terkait dengan ini. Selanjutnya, menurut Pedro Lain Entralgo (1968), istilah antropologi kedokteran, antropologi kesehatan dan antropologi penyakit juga telah digunakan di Eropa. Menurutnya, bahwa antropologi medis merupakan terjemahan dari istilah Belanda abad ke-19 yaitu medische anthropologie. Istilah ini dipilih oleh beberapa penulis selama tahun 1940-an untuk merujuk pada studi filosofis tentang kesehatan dan penyakit. 2. Definisi Antropologi Kesehatan Menurut Ahli Ada beberapa ahli, telah memberikan definisi tentang Antropologi Kesehatan, berikut ini: 1) Menurut Hasan dan Prasad (1959), bahwa antropologi kesehatan adalah cabang dari ilmu mengenai manusia yang mempelajari aspek-aspek biologi dan kebudayaan manusia (termasuk sejarahnya) dari titik tolak pandangan untuk memahami kedokteran (medical), sejarah kedokteran (medico-historical), hukum kedokteran (medico-legal), Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



292



aspek sosial kedokteran (medico-social) dan masalah-masalah kesehatan manusia, 2) Menurut Weaver, (1968) antropologi kesehatan adalah cabang dari antropologi terapan yang menangani berbagai aspek dari kesehatan dan penyakit, 3) Hochstrasser dan Tapp (1970) antropologi kesehatan adalah pemahaman bio-budaya manusia. Karya-karyanya, yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan, 4) Fabrga (1972) antropologi kesehatan adalah studi yang menjelaskan berbagai faktor yaitu mekanisme dan proses yang memainkan peranan didalam atau mempengaruhi cara-cara dimana individu-individu dan kelompok-kelompok terkena oleh atau berespons terhadap sakit dan penyakit dan juga mempelajari masalah-masalah sakit dan penyakit dengan penekanan terhadap pola-pola tingkahlaku, 5) Lieban (1977) antropologi kesehatan adalah studi tentang fenomena medis yang dipengaruhi oleh sosial dan kultural dan fenomena sosial dan kultural diterangi oleh aspek-aspek medis. Faktor-faktor sosial dan kultural membantu menentukan etiologi penyakit dan penyebaran melalui pengaruh mereka dalam hubungan antara populasi manusia dan lingkungan alamnya, atau melalui pengaruh langsung pada kesehatan populasi. Dalam pemahaman Lieban, kesehatan dan penyakit adalah pengukuran efektivitas dengan dimana kelompok manusia menggabungkan sumber daya kultural dan biologikal, menyesuaikan dengan lingkungan mereka. Lieban menyebutkan bahwa pada hakekatnya ada empat macam area utama dalam atropologi kesehatan yaitu ekologi dan epidemi, ethnomedicine, aspek medis dari sistem sosial dan perubahan medis dan kultural, 6) Landy (1977) antropologi kesehatan adalah studi mengenai konfrontasi manusia dengan penyakit dan keadaan sakit dan mengenai susunan adaptif (yaitu sistem medis dan obat-obatan) dibuat oleh kelompok manusia untuk berhubungan dengan bahaya penyakit pada manusia sekarang ini. Landy juga menyatakan bahwa terdapat tiga generalisasi yang pada umumnya disetujui oleh ahli antropologi, yaitu: a) penyakit dalam beberapa bentuk merupakan kenyataan universal dari kehidupan menusia. Ini terjadi dalam keseluruhan waktu, tempat dan masyarkaat, b) kelompok manusia mengembangkan metode dan peran-peran yang teralokasi, sama dengan sumber daya dan struktur mereka untuk meniru dengan atau merespon penyakit, c) kelompok manusia mengembangkan beberapa set kepercayaan, pengertian dan persepsi yang konsisten dengan matriks budaya mereka, untuk menentukan atau menyadari penyakit. Menurut Landy, Masyarakat yang berbeda, dengan budaya yang berbeda, memiliki pandangan yang berbeda pula terhadap kesehatan dan penyakit dan juga berbeda ketika memperlakukan si pasien, 7) Foster dan Anderson (1978) Antropologi Kesehatan adalah disiplin yang memberi perhatian pada aspek-aspek biologis dan sosio-budya dari tingkahlaku manusia, terutama tentang cara-cara interaksi antara keduanya diseIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



293



panjang sejarah kehidupan manusia, yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia. Dalam definisi yang dibuat Foster atau Anderson dengan tegas disebutkan bahwa antropologi kesehatan studi objeknya yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia. Menurut Foster atau Anderson, Antropologi kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit dari dua kutub yang berbeda yaitu kutub biologi dan kutub sosial budaya. Pokok-pokok perhatian kutup biologi yang dimaksud Foster atau Anderson adalah: a) Pertumbuhan dan perkembang-an manusia, b) Peranan penyakit dalam evolusi manusia dan c) Paleopatologi (studi mengenai penyakit-penyakit purba). Sedangkan pokok perhatian pada kutup sosialbudaya meliputi; a) Sistem medis tradisional (etnomedisin), b) Masalah petugas-petugas kesehatan dan persiapan profesional mereka, c) Tingkah laku sakit, d) Hubungan antara dokter pasien dan e) Dinamika dari usaha memperkenalkan pelayanan kesehatan barat kepada masyarakat tradisional, 8) Foster dan Anderson (1978), bahwa antropologi kesehatan kontemporer dapat ditemukan pada empat sumber daya yang berbeda yaitu Antropologi Fisik, Ethnomedicine, Studi Personalitas dan Kultural dan Kesehatan Publik Internasional. Menurut Foster dan Anderson (1987), bahwa lingkungan biocultural yang paling baik dipelajari adalah dari sudut pandang ekologi. Sejak Perang Dunia II, ahli antropologi banyak yang berpindah ke studi lintas budaya sistim medis, bioekologi dan faktor-faktor sosio-budaya yang mempengaruhi timbulnya kesehatan dan penyakit. Pendekatan ekologis merupakan dasar bagi studi tentang masalah-masalah epidemiologi, dimana tingkah laku  individu dan kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit yang berbeda-beda dalam populasi yang berbeda-beda.  Masyarakat yang tinggal di daerah beriklim tropis, misanya, penyakit malaria  bisa berkembang dan menyerang mereka. Sedangkan pada daerah beriklim dingin dan di daerah di atas 1700 meter permukaan laut penyakit malaria tidak ditemukan. Demikian pula dengan kembang dan tidaknya suatu bangsa turut mempengaruhi kerentangan dengan sebuah penyakit. Penyakit-penyakit infeksi: malaria, demam berdarah, TBC, dll. pada umumnya terdapat pada negara-negara berkembang. Sedangkan penyakit diabetes, jantung dan kolestrol lebih banyak didertita di negara-negara maju. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pola hidup. Kelompok manusia beradaptasi dengan lingkungannya dan manusia harus belajar mengeksploitasi sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi ini dapat berupa sosial psikologis dan budaya yang sering memainkan peranannya dalam mencetuskan penyakit. Penyakit adalah bagian dari lingkungan hidup manusia contohnya adalah pe-nyakit Kuru (lihat Foster dan Anderson, 1978: 27-29) dan 9) McElroy dan Townsend (1985) antropologi kesehatan adalah sebuah studi tentang bagaimana faktor-faktor sosial Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



294



dan lingkungan mempengaruhi kesehatan dan kesadaran cara-cara alternatif tentang pemahaman dan merawat penyakit. McElroy dan Townsend yang mengambil pandangan sejarah juga menekankan pentingnya adaptasi dan perubahan sosial dengan menyatakan bahwa sejumlah besar ahli antropologi kesehatan kini berhubungan dengan kesehatan dan penyakit yang berkaitan dengan adaptasi kelompok manusia sepanjang jarak geografis dan jangka waktu luas dari masa prasejarah ke masa depan. Kedua ahli ini menyepakati setidaknya enam sub-disiplin antropologis yang relevan dengan Antropologi Kesehatan yaitu Antropologi Fisik, Arkeologi PraHistoris, Antropologi Kultural, Antropologi Ekologikal, Teori Evolusioner dan Linguistik Antropologi. 3. Sistem Pengobatan Populer dan Sistem Medis Menurut Charuty G. (1997), bahwa untuk sebagian besar abad ke-20, konsep pengobatan populer, atau obat tradisional, telah akrab bagi para dokter dan antropolog. Para dokter, antropolog dan antropolog medis menggunakan istilah-istilah ini untuk mendeskripsikan sumber daya, selain bantuan profesional kesehatan, yang digunakan petani Eropa atau Amerika Latin untuk menyelesaikan masalah kesehatan apapun. Istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan praktik kesehatan suku aborigin di berbagai belahan dunia, dengan penekanan khusus pada pengetahuan etnobotani mereka. Pengetahuan ini penting untuk mengisolasi alkaloid dan prinsip-prinsip farmakologis aktif. Selanjutnya, mempelajari ritual seputar terapi populer yang disajikan untuk menantang kategori psikopatologi Barat, serta hubungan di Barat antara sains dan agama. Dokter tidak mencoba mengubah obat populer menjadi konsep antropologis, melainkan mereka ingin membangun konsep medis berbasis ilmiah yang dapat mereka gunakan untuk menetapkan batas budaya biomedis. Contoh praktik ini dapat ditemukan dalam arsip medis dan tradisi lisan. Konsep pengobatan tradisional diambil oleh antropolog profesional pada paruh pertama abad kedua puluh untuk mendemarkasi antara praktik magis, obat-obatan dan agama dan untuk mengeksplorasi peran dan pentingnya penyembuh populer dan praktik mengobati diri mereka sendiri. Bagi mereka, obat populer adalah fitur budaya tertentu dari beberapa kelompok manusia yang berbeda dari praktik universal biomedis. Jika setiap kebudayaan memiliki obat populer sendiri berdasarkan ciri-ciri budaya umumnya, maka akan mungkin untuk mengajukan keberadaan banyak sistem medis karena ada budaya dan, oleh karena itu, mengembangkan studi komparatif dari sistem ini. Sistem medis yang menunjukkan tidak ada fitur sinkretik obat populer Eropa disebut pengobatan primitif atau pretechnical menurut apakah mereka mengacu pada budaya aborigin Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



295



kontemporer atau budaya yang mendahului Yunani Klasik. Budaya-budaya itu dengan korpus dokumenter, seperti budaya Tibet, tradisional Cina atau Ayurvedic, kadang-kadang disebut obat-obatan sistematis. Studi komparatif sistem medis dikenal sebagai ethnomedicine atau, jika psikopatologi adalah objek studi, ethnopsychiatry (Beneduce 2007, 2008), psikiatri transkultural (Bibeau, 1997) dan antropologi penyakit mental (Lézé, 2014). Di bawah konsep ini, sistem medis akan dilihat sebagai produk spesifik dari sejarah budaya masing-masing kelompok etnis. Biomedik ilmiah akan menjadi sistem medis lain. Posisi ini, yang berasal dari relativisme budaya yang dipelihara oleh antropologi budaya, memungkinkan perdebatan dengan obat-obatan dan psikiatri berputar seputar beberapa pertanyaan mendasar: 1) Pengaruh relatif faktor genotipe dan fenotipikal dalam kaitannya dengan kepribadian dan bentuk patologi tertentu, terutama patologi psikiatri dan psikosomatis, 2) Pengaruh budaya pada apa yang dianggap masyarakat sebagai normal, patologis atau abnormal, 3) Verifikasi dalam budaya yang berbeda dari universalitas kategori nosokologis biomedis dan psikiatri dan 5) Identifikasi dan deskripsi penyakit yang termasuk ke dalam budaya tertentu yang belum dijelaskan sebelumnya oleh kedokteran klinis. Ini dikenal sebagai gangguan etnis dan, baru-baru ini, sebagai sindrom terikat budaya dan termasuk mata jahat dan tarantisme di antara petani Eropa, yang dimiliki atau dalam keadaan trance di banyak budaya dan anoreksia gugup, saraf dan sindrom pramenstruasi dalam masyarakat Barat. Sejak akhir abad ke-20, ahli antropologi medis telah memiliki pemahaman yang jauh lebih canggih tentang masalah representasi budaya dan praktik sosial yang terkait dengan kesehatan, penyakit dan perawatan medis dan perhatian. Ini telah dipahami sebagai universal dengan berbagai bentuk lokal yang diartikulasikan dalam proses transaksional. Tautan di bagian akhir halaman ini disertakan untuk menawarkan panorama luas dari posisi saat ini dalam antropologi medis. 4. Antropologi Medis Terapan Di Amerika Serikat, Kanada, Meksiko dan Brasil, kolaborasi antara antropologi dan kedokteran awalnya berkaitan dengan penerapan program kesehatan masyarakat di antara etnis dan minoritas budaya dan dengan evaluasi kualitatif dan etnografi dari institusi kesehatan (rumah sakit dan rumah sakit jiwa) dan layanan perawatan primer. Berkenaan dengan program kesehatan masyarakat, tujuannya adalah untuk menyelesaikan masalah membangun layanan ini untuk mosaik kompleks kelompok etnis. Evaluasi etnografis melibatkan analisis konflik antar kelas dalam lembagalembaga yang memiliki efek yang tidak dikehendaki pada reorganisasi administratif mereka dan tujuan institusional mereka, terutama konflik Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



296



antara dokter, perawat, staf tambahan dan staf administrasi. Laporanlaporan etnografis menunjukkan bahwa krisis interclass secara langsung mempengaruhi kriteria terapeutik dan perawatan yang sakit. Mereka juga memberikan kontribusi kriteria metodologis baru untuk mengevaluasi lembaga baru yang dihasilkan dari reformasi serta teknik perawatan eksperimental seperti komunitas terapeutik. Bukti etnografi mendukung kritik terhadap institusi kustodianisme dan berkontribusi secara tegas terhadap kebijakan deinstitutionalizing psikiatris dan kepedulian sosial secara umum dan menyebabkan di beberapa negara seperti Italia, memikirkan kembali pedoman pendidikan dan mempromosikan kesehatan. Jawaban empiris atas pertanyaan-pertanyaan ini menyebabkan para antropolog terlibat di banyak bidang. Ini termasuk: mengembangkan program kesehatan internasional dan masyarakat di negara berkembang; mengevaluasi pengaruh variabel sosial dan budaya dalam epidemiologi bentuk patologi psikiatri tertentu (psikiatri transkultural); mempelajari ketahanan budaya terhadap inovasi dalam praktik terapeutik dan perawatan; menganalisis praktik penyembuhan terhadap imigran; dan mempelajari tabib tradisional, penyembuh tradisional dan bidan empiris yang dapat diciptakan kembali sebagai pekerja kesehatan (yang disebut dokter bertelanjang kaki).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



297



REFERENSI Abu Hamid. 2003. The spirit ofIslam In Buginese-Makassarese Culture in South Sulawesi. Papers: ______. 2003. Presented in National Seminar on Islamic Cultural Development Agency of Eastern Indonesia in Gorontalo in 2003. Makassar: University of Hasanuddin. Alisdair MacIntyre. 1955. New Essays in Philosophical Theology. London: SCM Press. Allan Yooung. 1980. An Anthropological Perspective on Medical Knowledge.  The Journal of Medicine and Philosophy. Al-Barry Yacub Dahlan, M.. 2000. Kamus Sosiologi dan Antropologi. Surabaya: Indah. Almond, Gabriel & Sidney Verba. 1984.  Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di 5 Negara. Terjemahan Drs. Sahat Simamora. Bina Aksara: Jakarta. Ann McElroy; Patricia K. Townsend. 1989.. Medical Anthropology in Ecological Perspective (2nd ed.), Boulder, Colorado: Westview Press. Anderson, Foster. 2006. Antropologi Kesehatan. Jakarta : UI Press. ______. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Anton Bakker, Achmad Charris Zubair. 1990. Metode PenelitianFilsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1990). Antonius Atosokhi Gea. 2004. Character Building III Relasi Dengan Tuhan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik, cet. ke-1, C.V. Rajawali: Jakarta. Bibeau Gilles. 1997. Cultural Psychiatry in a Creolizing World. Questions for a New Research Agenda, Transcultural Psychiatry. Biezan John. 1969. An Introduction to Sociology. New York. Prentive Hall Inc. Benedict, Ruth. 1946. The Chrysanthemum and the Sword. Boston: Houghton Mifflin Berreman Gerald. Et.al. 1971. Cultural Anthropology Today. Californis: CRM Books. Biezan John. 1969. An Introduction to Sociology. New York. Prentive Hall Inc. Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1993. Kualitatif, Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



298



Boyer, P. (Ed.). 1993. Cognitive Aspects of Religious Symbolism. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ______. 2001. Religion Explained. London: Heinemann Budihardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan ke-8,: Gramedia: Jakarta. Charuty. G.. 1997. L'invention de la médecine populaire (The invention of folk medicine), Gradhiva. Chris Hann and Keith Hard. 2011. Economic Antyropology: History, Ethnography and Critique. UK: Policy Publisher Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik, Suatu Orientasi. cet. ke-1, Erlangga: Jakarta. Comelles, J. M.. 1996. Da superstizioni a medicina popolare: La transizione da un concetto religioso a un concetto médico (From superstition to folk medicine: The transition from a religious concept to a medical concepts)", AM. Rivista Italiana di Antropologia Medica (Journal of the Italian Society for Medical Anthropology) (in Italian). Cox, J. L. 1992. Expressing the Sacred. Harare, Zimbabwe: University of Zimbabwe Press. Cunningham, G. 1999. Religion and Magic. Edinburgh: Edinburgh University Press. Douglas Mary. 1966. Purity and Danger: An Analysis of Concept of Population and Taboo. London: Rotledge & Kegal Paul. Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran : Kritik Tujuh Teori Agama, terj. Ridhwan Muzir, M.Sykri, (Yogyakarta : Ircisod. Durkheim, E. 1915. The Elementary Forms of the Religious Life. London: Allen and Unwin. ______. 1964. The Elementary Forms of the Religious Life. London: Allen-Unwin. Djuretna A. Imam Muhdi, Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, (Yogyakarta : Kanisius 1994), 9. Dorian, Nancy C. 1982. Defining the Speech Community to Include Its Working. London: Arnold. _______. 1993. A Response to Ladefoged’s Other View of Endangered Languages. London: Arnold. _______. 1989. Investigating pbsulescence language Contruction and Death. Cambridge: Cambridge University Press. DuBois, Cora. 1944. The People of Alor.Minneapolis: University of Minnesota Press. Duranti, Alessandro and Charles Goodwin (eds.). 1992. Rethinking context: language as an interactive phenomenon. Cambridge: Cambrifdge University Press. Studies in the Social and Cultural Foundations of Language. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



299



Eliade M. 1959. The Sacred and The Frofane: The nature of Religion. New York: Harcourt, Brace. Erricker, C..1999. Spirituality and the Market Place of Education. Forthcoming. Evans Pitchard E. E.. 1956. Nuer Religion. New York : Oxford University Press. Fernandez, J. W. 1978. ‘African Religious Movements’. Annual Review of Anthropology 7: 198–234. Feuber Ludwig. 1957. The Essence of Christianuty. New York: Harver. Foster/Anderson. 2009. Antropologi Kesehatan, terj. UI-Press: Yogyakarta Frake. O. Charles. 1964. A Structural Description of Subanun. Religious Behavior. In Gooenough, 964: 111-29. Reprinted in Frake. ______. I 992b. Culture and Religion. Yogyakarta: Kanisius. Fraze G. J. 1976. The Golden Bough. London: MacMillan Frazer J. 1990. Toremisme and Exogamy. A. Treatis on Certain Ealrly Forms of Supertition and Society. London: MacMillan. Freud Sigmund. 1953. Introductory Lectures on Psychoanalysis. New York: Doubleday. ______. 1978. The Future of an Illusion. London: HigarthPress Garfinkel, H.. 1974. The Origins Of The Term Ethnomethodology, in R.Turner (Ed.) Ethnomethodology, Penguin, Harmondsworth, pp 15–18. ______. 1984. Studies in Ethnomethodology, Polity Press, Cambridge. Garfinkel, H. (2002) Ethnomethodology's Program: Working out Durkheim's Aphorism, Rowman & Littleford, Lanham. Geertz, Clifford. 1992a. Culural Interpretative Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. ______. 1968. Islam Observed. Chicago: University of Chicago Press. ______. 1975. The Interpretation of Cultures. London: Hutchinson. George Ritzar, Douglas J.Goodman, Teori Sosiologi, (Jakarta : Kreasi Warna, 1992). Gising Basrah. 2005. The Usage of Local Knowledge in Social Forestry Management in Customary ______. 2005. Forest Customary people of Karampuang (Thesis). Makassar: Post Graduated Program o fHasanuddin University. Gudeman Stephen. 2001. The Anthropology of Economy: Community, Market, and Culture. USA Blackwell Publishers Ltd.Feuber Ludwig. 1957. The Essence of Christianity. New York: Harper. Hinde, R. A. 1999. Why Gods Persist. London: Routledge. Hamilton, M. 2001. The Sociology of Religion. London: Routledge Clifford, R. and P. Johnson. 2001. Jesus and the Gods of the New Age. Oxford, UK: Lion. Hobbes, Thomas (1985). Leviathan. London: Penguin. Horton, R. 1971. African Conversion. Africa 41: 85–108 Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



300



Haviland A. William. 1993. Cultural Anthropolgy, Fourth Edition. Jakarta: Erlangga Press. ______. 1978. The Future of an Illusion. London: HigarthPress Haviland A. William. 1993. Cultural Anthropolgy, Fourth Edition. Jakarta: Erlangga Press. Hoebel Adamson E.. 1972. Anthropology: A Study of Man (fourth edition). New York: MacGraw-Hill Book Company. Holmes D. Lowell. 1965. Anthropology: An Introduction. New York: The Ronald Press Company. Harcourt Brace Jovanovich. Inc. Hunter K. E. David and Whitten Phillip. 1982. Anthropology: Coniemporaru Perspective (Third Edition). Boston: Little, Brown and Company. Ialenti Vincent F.. 2011. A Review of Humanistic Scholarship on Health Insurance, Policy, and Reform in the United States (April 2011). Tobin Workshop on Behavioral/ Institutional Research and Regulation of the New Health Insurance Market, Cornell Law School J. S. Badudu. 2003. Kamus kata-kata serapan asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbut Buku Kompas. Jensen, J. S. and L. H. Martin (Eds.). 1997. Rationality and the Study of Religion. London: Routledge. ______. 1982. Bwitti: An Ethnography of the Religious Imagination in Africa. Princeton, NJ: Princeton University Press Jensen, T. and M. Rothstein (Eds.). 2000. Secular Theories of Religion. Copenhagen: Tusculanum Press Johnson G. Allan. 1986. Human Arragements: An Introduction to Sociologi. New York: Hanunersley. Jung C. 1938. The Psychology and Religion. New Haven: Yale University Press. ______. I 972. Synchronicity, An Causal Connecting Principle. London: Rotladge & Kegan Paul. Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I dan II. Jakarta: Erlangga. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta. ______. dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. ______. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru: Jakarta.  ______. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas IndonesiaPress: Jakarta.  ______. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit UniversitasIndonesia Press: Jakarta. Kottak Philip. 1991. Anthropology: The Exploration of Human Diversity edisi V, New York: McGraw-Hill, Inc .. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



301



Levi-Strauss, Claude. 1968. Structural Anthropology. New York: The Penguin Press, 1968. (Originally published in 1958.) Levine, George, ed. Constructions of the Self. ________. 2008 [1997]. The Culinary Triangle. In Carole Counihan and Penny Van Esterik. Food and Culture: A Reader. Peter Brooks (trans.) (2nd ed.). New York: Routledge. pp. 36–43 (28–35 in first edition). Originally published. Lincoln, R.J. Boxhall, G.A dan Clark P.F. 1981. A Dictionary of Ecology, Evolution and Systematics. London : Cambridge University Press. Linton Ralph, 1965. The Cultural Background of Personality, New York: Appleton Crosta. ______. 1940. The Study of Man. New York: Appleton Spradley, P. James. 1980. Participation Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston. ______. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston. Lézé Samuel. 2014. Anthropology of Mental Illness", in : Andrew Scull (ed.), Cultural Sociology of Mental Illness : an A-to-Z Guide, Sage. Locke, John (1690). Two Treatises of Government (10th edition): Chapter II, Section 6. Project Gutenberg. Retrieved May 2018. McCauley, R. N. and E. T. Lawson. 2002 . Bringing Ritual to Mind. Cambridge, UK: Cambridge University Press. McElroy A.. 1996. Medical Anthropology", in D. Levinson; M. Ember, Encyclopedia of Cultural Anthropology, archived from the original. Morris, B. 1970. ‘Ernest Thompson Seton and the Origins of the Woodcraft Movement’. Natan Macdonald. 2012. Deuteronomy and the Meaning of Monotheism: 2nd Edition. Tubingen: Mohr Siebeck.Hlm 54. Mark S. Smith. 2008. God in Translation: Cross Cultural Recognition of Deity in Biblical World. Tubingen: Mohr Siebeck. Mariasusai Davamhony. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta:Kanisius. Hlm 124 Marzali. 1980. Metode Penelitian Kasus, Berita Antropologi. McGlynn, Frank & Arthur Tuden (editor). 2000. Pendekatan Antropologi pada Perilaku Politik. UI Press: Jakarta McGuire B. Meredith. 1992. Relegion: The Soscial Context. Belmont, Califrnia: Wadsworth Inc. Parsudi Suparlan dalam Robertson, Roland (ed)., Agama : Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis, (Jakarta : Rajawali, 1988).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



302



Pedro Lain Entralgo. 1968). El estado de enfermedad. Esbozo de un capítulo de una posible antropología médica (State of Disease: Outline of a chapter of a Possible Medical Anthropology) (in Spanish), Madrid: Editorial Moneday Crédito. Peter Beliharz, Social Theory : A Guide to Central Thinkers, terj. Sigit Jatmiko, Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, (Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2003).101. Psathas G. (1995) Talk and Social Structure' and 'Studies of Work, in Human Studies, 18: 139–155. Rose H. and Rose, S. (Eds.). 2000. Alas, Poor Darwin. London: Cape. Rudiansyah Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah KajianTentang Lanskap Budaya. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta. Rudy T. May, 2007. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunannya, edisi revisi. Refika Aditama: Jakarta. Satjipto Rahardjo. 2004. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah Surakarta: Muhammadiyah University Press. ______. 2009. Penegakang Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta. Genta Publishing. Said Aziz Abdul. 2004. Simboisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja. Yogyakarta: Ombak Salle, Kaimuddin. 1999. Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Suatu Kajian Hukum Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatowa Kecamatan Kajang Dati II Bulukumba (Disertasi), Makassar: Pasacasarjana Universitas Hasanuddin. Scott C. James. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Scotch Norman A.. 1963. Medical Anthropology, in Bernard J. Siegel, Biennial Review of Anthropology, 3, Stanford, California: Stanford University Press. Semma Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas  Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Yayasan Obor: Jakarta. Siahaan Hotman M., Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Jakarta : Erlangga, 1997).14 Sigit Jatmiko, Teori-teori Sosial : Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003).101. Spiro, M. (1958) Children of the Kibbutz, Cambridge, Mass.: Harvard University Press. Spradley, P. James. 1980. Participation Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



303



______. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston. ______. 1997. Metode Etnografi (diterjemahkan oleh Dr. Amri) Soemardjan, Selo dan Soleman, Soemardi (ed) (1974) Setangkai Bunga osiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Soemawoto Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Soerjani Muhammad, dkk. Lingkungan Hidup (The Living Environment) Pendidikan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan, Jakarta: Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan (IPPL). Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press). Talcott Parsons Emile Durkheim dalam D. I. Sills, e.d, International Encyclopedia of The Social Seince, (New York : Maemillah Publishing Co, Inc. and The Fress, 1978). Tambiah, S. J. 1970. Buddhism and Spirit Cults in North-East Thailand. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ______. 1976. World Conqueror and World Renouncer. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ______. 1990. Magic, Science and Religion, and the Scope of Rationality. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ______. 1992. Buddhism Betrayed? Chicago: University of Chicago Press. Taussig, M. 1980. The Devil and Commodity Fetish in South America. Chapel Hill, NC: Tillich Paul. 1955. Theology and Symbolism. New York: Harver. Tylor, E.B. 1861.  Anahuac: or, Mexico and the Mexicans, Ancient and Modern. London: Longman, Green, Longman and Roberts. ______. 1865.  Researches into the Early History of Mankind and the Development of Civilization. London: John Murray.. ______. 1871.  Primitive Culture. Volume 1. London: John Murray Wallace, Anthony F.C. 1956. Revitalization Movements. American Anthropologist 58 (2): 264–81. ______. 1961. Culture and Personality. York: Random House. ______. 1976. Religion: An Anthropological View. New York: Random House. Weber, M . 1947. The Theory of Social and Economic Organization. New York: Free Press. ______. 1958. The Religion of India. Glencoe, IL: Free Press. ______. 1965. The Sociology of Religion. London: Methuen. Wibowo, Agus Budi. 1994 Perubahan Aspek-aspke Perkawinan Pada Masyarakat Pedesaan Studi Kasus di Dusun Mojohuro, Desa Sriharjo, Kec. Imogiri Kab. Bantul DIY, Tesis Pascasarjana UGM Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



304



BAB V KELOMPOK, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN A. Kelompok Manusia dan Kelompok Sosial Kelompok sosial adalah kumpulan manusia yang saling berinteraksi dan memiliki kesadaran bersama akan keanggotaannya dalam suatu kelompok. Kelompok sosial terbentuk, karena tumbuhnya perasaan bersama akibat interaksi yang sering terjadi diantara mereka. Ada beberapa kelomIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



305



pok sosial yang tumbuh di dalam kehidupan bermasyarakat dengan dasar pembentukan kelompok yang berbeda–beda pula. Sejak dilahirkan manusia telah memiliki dua hasrat pokok dalam dirinya, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam disekitarnya. Pembentukan kelompok sosial merupakan salah satu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya tersebut. 1. Konsep dan Definis Kelompok Ada beberapa ahli yang memberikan konsep dan definisi tentang kelompok, antara lain: 1) Homans (1950), bahwa kelompok adalah sejumlah individu, yang berkomunikasi satu dengan yang lain dalam jangka waktu tertentu yang jumlahnya tidak terlalu banyak, sehingga tiap orang dapat berkomunikasi dengan semua anggota secara langsung. Jumlah anggota di dalam kelompok tersebut masih terbatas, sehingga jalur komunikasi lancar, 2) Merton (2011), bahwa kelompok merupakan sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan. Kolektiva, di pihak lain, merupakan orang yang mempunyai rasa solidaritas, karena berbagai niai bersama dan yang telah memiliki rasa kewajiban moral untuk menjalankan harapan peran, 3)  Achmad S. Ruky (2001), kelompok adalah sejumlah orang yang berhubungan (berinteraksi) antara satu dan yang lainnya, yang secara psikologis sadar akan kehadiran orang lain dan menganggap diri mereka sebagai suatu kelompok. 4) Muzafer Sherif (1966), kelompok adalah kesatuan yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga di antara individu itu sudah terdapat pembagian tugas (job descriptions), struktur dan norma-norma tertentu, 5) De Vito (1997), bahwa kelompok merupakan sekumpulan individu yang cukup kecil bagi semua anggota untuk berkomunikasi secara relatif mudah. Para anggota saling berhubungan satu sama lain dengan beberapa tujuan yang sama dan memiliki semacam organisasi atau struktur diantara mereka. Kelompok mengembangkan norma-norma, atau peraturan yang mengidentifikasi tentang apa yang dianggap sebagai perilaku yang diinginkan bagi semua anggotanya. 6) Hernert Smith, bahwa kelompok adalah suatu unit yang terdapat beberapa individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi, 7) Joseph S. Roucek (1963), suatu kelompok meliputi dua atau lebih manusia yang diantara mereka terdapat beberapa pola interasi yang dapat dipahami oleh para anggotanya atau orang lain secara keseluruhan, 8) Mayor Polak (1997), kelompok sosial adalah satu group, yaitu sejumlah orang yang ada hubungan antara satu sama lain dan hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur, 9) Wila Huky (1982), kelompok merupakan suatu unit yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang saling berinteraksi atau saling berkomuIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



306



nikasi, 10) Bonner (1959), bahwa kelompok adalah sejumlah individu yang berinteraksi dengan individu yang lain dan 11) Stogdill (1959), kelompok adalah satu sistem interaksi terbuka dimana pola interaksi tersebut ditentukan oleh struktur sistem tersebut. Saya dapat menyimpulkan dengan berdasarkan pada sekumpulan denifisi di atas, bahwa kelompok merupakan gabungan dari jumlah individu yang ada di dalamnya. Dua atau lebih manusia tersebut saling berkomunikasi lancar antara satu dengan yang lainnya, karena mereka hidup bersama dan merasa seidentitas. Komunikasi yang dimaksud adalah interaksi atau tingkah laku yang berpola, yang diatur oleh nilai, norma dan aturan yang telah disepakati bersama. Selain kelomok, ada juga kelompok yang disebut kolektifa. Kolektifa merupakan kumpulan orang yang mempunyai rasa solidaritas, karena berbagi nilai bersama dan yang telah memiliki rasa kewajiban moral untuk menjalankan harapan peran di dalam kelompoknya. Hidup berkelompok merupakan pengakuan, bahwa manusia adalah binatang sosial (social animal). Hal inilah yang membedakan antara kelompok manusia (masyarakat) dengan kelompok binatang (koloni). Interaksi antar sesama anggota kelompok yang intensif dan berjalan sesuai norma, nilai dan aturan bersama dapat memunculkan kesatuan rasa (solidarity). Demikian pula sebaliknya, interaksi antar sesama anggota kelompok yang intensif, namun berjalan tidak sesuai norma, nilai dan aturan bersama dapat memunculkan konflik (conflict). Oleh karena itu, dalam satu kelompok mutlak diperlukan sebuah kelembagaan (pranata sosial) untuk mengatur dan mengontrol jalannya interaksi tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya adanya kelompok dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi dalam kehidupan manusia. Dengan berkelompok akan terasa betapa pekerjaan yang sulit, jika dikerjakan sendiri barangkali akan menjadi ringan bila dikerjakan di dalam kelompok. Prinsip kegotongroyongan tersebut tercermin di dalam ungkapan: berat sama dipikul, ringan sama dinjinjing. Prinsip sempugi bagi orang Bugis, assikajaneng bagi orang Kajang dan paguyuban bagi orang Jawa merupakan salah satu contoh dari kelompok yang dibentuk manusia. Ketiga istilah di atas menjadi perekat rasa keselarasan, seindentitas, persaudaraan dan sebagainya. Menghadapi ancaman akibat ketidakadaan aturan, karena masing-masing individu tidak memiliki jalinan atau ikatan sosial. Hal ini menjadikan masing-masing individu melakukan pengelompokkan, agar memungkinkan dirinya memperoleh jaminan perasaan aman (safety) dalam menjalani hidup. Diawali dengan usaha mengartikan kelompok, uraian berikut ini menjelaskan makna kelompok sampai kepada adanya konflik di dalammya. Suatu kelompok (group) adalah kumpulan dua orang atau lebih yang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



307



berinteraksi dan saling tergantung untuk mencapai suatu sasaran tertentu. Dalam pengertian ini kelompok diberi tekanan pada adanya interaksi antar personal di dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Hal ini dimaksudkan, agar aktivitas komunikasi yang berlangsung dari masing-masing individu kepada individu yang lainnya dengan tanpa melalui orang lain atau orang katiga (direct comunication) dalam mentransformasikan pesannya. Oleh karena, kelompok merupakan kumpulan sejumlah orang, perilaku ataupun kinerja anggota kelompok. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang sama dari anggota lainnya yang ada di dalam kelompok tersebut. Kesamaan tindakan dan perilaku (cultural behaviuor) tersebut yang menjadi patron anggota dalam berinterkasi di antara sesama. Suatu kelompok juga merupakan suatu sistem yang terdiri dari dua atau lebih individu yang saling berhubungan, sehingga menunjukkan beberapa fungsi yang menyatakan peran (role) dan norma (norms), yang mengatur hubungan masing-masing anggotanya. Meskipun pandangan yang mengedepankan peran dan norma dianggap terlalu sosiologis, namun penting kiranya dipahami, bahwa pemahaman akan eksistensi sebuah kelompok tidak akan komprehensif, jika tanpa menyinggung tesis kontrak sosial (social contract). Thomas Hobbes (1651) dan John Locke (1961), bahwa kontrak sosial adalah perwujudan negara sebagai satu perjanjian bersama di mana setiap individu setuju dan tunduk kepadanya. Kontrak ini berarti individu-individu yang bebas menyerahkan haknya untuk memerintah diri sendiri kepada satu institusi bersama yang berkuasa dan berdaulat. Kontrak sosial, baik filsafat moral maupun politik, adalah teori atau model yang berasal dari Zaman Pencerahan dan biasanya menyangkut legitimasi otoritas negara atas individu. Definisi lain dari kontrak sosial adalah kesepakatan aktual atau hipotetis di antara anggota masyarakat terorganisir atau antara komunitas dan penguasanya yang berwenang untuk menentukan dan membatasi hak dan kewajiban masing-masing anggota dalam sebuah kelompok. Kontrak sosial juga dapat diartikan sebagai kesepakatan secara sukarela di antara individu yang terorganisasi menjadi ada dan diinvestasikan sebagai hak untuk mendapatkan keamanan, perlindungan dan kesejahteraan. Peran individu dan norma di dalam kelompok merupakan konsekuensi yang harus diterima sebagai akibat kesediaan individu menyerahkan atau mengkontrakkan sebagian kepentingannya untuk diatur oleh aturan yang disepakati atau norma yang hidup dalam kelompok. Dalam konteks fitrah manusia, setiap individu tentu menjalani hidup sesuai pandangan dan caranya sendiri. Ketika manusia belum memiliki pola dalam bertindak, sehingga sangat mungkin terjadi benturan kepentingan yang bisa mengakiIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



308



batkan situasi anarkis. Keadaan ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan hidup, karena ancaman yang mungkin selalu muncul dari individu lain sebagai akibat dari pemilikan cara pandang dan tindakan hidup yang belum terpola menjadi perilaku kelompok. Dalam situasi ini, manusia dituntut untuk selalu waspada dari ancaman. Perjalanan hidup yang penuh ancaman inilah yang lambat laun menyadarkan tiap individu untuk mengintegrasikan sebagian kepentingan hidupnya dengan melakukan sejumlah kesepakatan dengan individu lain untuk membentuk kelompok. Dengan demikian, munculnya kelompok juga memunculkan seperangkat aturan yang membatasi sejumlah tindakan yang mengacu pada norma, nilai, aturan dan bahkan hukum yang harus dipatuhi bersama. Pemahaman tentang kelompok dapat dikaji dengan menggunakan beberapa perspektif yang sesuai dengan bentuk dan karakter kelompok yang menjadi obyek kajiannya. Studi kelompok dengan menggunakan perspektif sosiologis menghasilkan definisi yang memberi sumbangan pada tekanan adanya norma. Sedangkan kajian dengan perspektif organisasi akan menghasilkan definisi yang menekankan adanya interaksi yang bertujuan membatas tindakan melalui penerapan aturan, yang telah disepakati bersama. Meskipun kedua pendekatan di atas berbeda, namun dari segi tujuan keduanya sama. Menurut saya, bahwa sangat tidak mungkin suatu kelompok terbangun tanpa didasari oleh adanya sasaran. Pembentukan kelompok tani dimaksudkan, misalnya, agar para petani yang ada di dalamnya dapat mengembangkan diri secara bersama-sama untuk meraih kehidupan yang lebih aman dan sejahtera. Akhirnya saya dapat menyimpulkan, bahwa kelompok dibangun oleh sebuah tujuan (goals) bersama, sehingga harus terbentuk kesamaan persepsi dalam berinteraksi, yang diatur oleh pranata sosial (nilai, norma dan aturan). Dengan adanya pencapaian tujuan yang berbeda dari masingmasing anggota kelompok, akan menghasilkan interaksi negatif, yang kursif dan anarkis. Tindakan seperti ini akan menimbulkan kekacauan dan ketidakstabilan (disintegrmasation) di dalam kelompok. Tidak tertutup kemungkinan ketidak stabilan ini dapat memunculkan efek konflik, baik kedalam kelompok sendiri (internal conflict) maupun di luar kelompoknya (external conflict). Untuk mengantisipasi keadaan seperti ini, saya pernah mengajukan konsep sipaka (saling) di dalam sebuah seminar bertemakan Jalinan Kasih di Antara Sesama Manusia, yang diprakarsai oleh Kelompok Pengideraan Jarak Jauh di Hotel Nusa Indah Lombok Mataram NTB. Konsep sipaka dalam kebudayaan orang Bugis dapat memiliki dua tujuan, yaitu: 1) Konsep sipaka yang mengandung nilai positif, yang dapat memberi manfaat kepada individunya. Dalam konsep sipakalebbi (saling memuliakan), sipakatau (saling memanusiakan), sipakainge’ (saling mengingatkan), Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



309



sipaka-enre’ (saling mengangkat derajat masing-masing) dan sebagainya, terkan-dung nilai-nilai positif dalam ineraksi sosial mereka dan 2) Konsep sipaka yang mengandung nilai negatif, yang dapat menimbulkan rasa tidak aman, bahkan kebencian di dalam kelomok. Kata sipakasiri (saling memalukan) adalah jalinan interaksi yang mengnadung nilai negatif. Keduanya tidak saling menguntungkan, tetap saling merugikan. Dalam interaksi sosial seperti ini, terjalin hubungan yang saling mencari celah dan kelemahan untuk memenangkan situasi dan kondisi. Konsep yang erat kaitannya degan istilah ini yaitu: a) ripakasiri (dipermalukan) oleh seseroang atau anggota kelompoknya, masiri’ (malu), karena dia dipermalukan dan dia malu karena berbuat yang tidak banar (kesalahan) dan mappakasirisiri (memalukan), karena seseorang berbuat salah, sehingga anggota kelompok lainnya ikut merasa malu. Perlu saya perjelas di sini, bahwa konsep siri’ (malu) yang saya paparkan dalam buku ini adalah siri’ (malu pada diri sendiri). Kata siri dalam buku saya ini erat kaitannya dengan harkat dan martabat seseorang, termasuk diri sendiri. Kata siri dalam konteks ini adalah malu, karena harkat dan martabatnya diinjak-injak oleh orang lain. Jadi, bukan konsep siri (malu), karena perasaan malu, yang berasal dari sesuatu yang berada di luar diri seseorang. Banyak orang yang malu, karena dia kurang mapan dalam hidupnya dibandingkan dengan orang-orang sekitarnya, sehingga timbul siasat dan cara untuk menyaingi orang sekitarnya. Atau malu, karena dia melihat orang lain lebih bisa daripada dirinya, sehingga timbul rasa cemburu yang bisa berakibat pada persaingan tidak sehat. Lalu apa yang saya maksud dalam konsep siri dalam buku ini ? Siri adalah nilai, norma dan aturan yang disepakati bersama dalam masyarakat beridentitas Bugis. Siri bukan diartikan ‘malu dan bertindak’, seperti yang saya dengar dari seorang pembicara di dalam satu seminar tentang siri. Kalu konsep siri seperti ini dibenarkan, benar yang dikatakan oleh semua orang luar identitas Bugis, bahwa orang Bugis itu temperamental, orang Bugis itu pemakan manusia, orang Bugis itu suka membunuh orang dan sebagainya. Pokoknya orang Bugis disejajarkan dengan orang yang tidak punya harga diri dan tidak menghargai harga diri orang lain. Ketika saya di London pada tahun 1987-1991, sering saya baca di koran-koran kontinental, dimana orang Bugis dilebel boegiman, yang disejajarkan dengan perompak atau bajak laut. Ini artinya, orang Bugis adalah manusia ciptaan Allah yang tidak punya harkat dan martabat. Itu semua adalah hasil konsepsi dari orang-orang yang tidak tahu persis seperti apa arti yang terkandung di dalam konsep siri. Mereka mengartikan siri pada level meaning dari sebuah surface structure, tetapi bukan deep structure, undelying of meaning atau the meaning of the meaning dari sebuah surface structure. Oleh karena itu, saya berusaha untuk Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



310



meluruskan ketimpangan konsep tersebut dengan berdasar dari dua tataran: ilmu bahasa dan Filsafat. Sekali lagi saya katakan di sini, bahwa kosep siri sangat berkaitan dengan konsep harga diri yang dimiliki oleh setiap manusia, baik secara khusus bagi Orang Bugis maupun individu yang berasal dari luar etnis Bugis. Untuk menghindari tindakan anarkis, seperti yang dikatakan dalam konsep siri (malu), orang Bugis memiliki beberapa konsep untuk meredam timbulnya tindakan yang bernilai negatif, seperti: a) taroi masennang, b) padecengi riyolo’, c) pikkiriki riyolo’, a) lesseko ribenreng, e) tangngai madecengdeceng, f) Parampengngi ininnawammu, g) sabbarakko, h) pesonako ripuangnge dan sebagainya. Keseluruhan konsep ini merupakan solusi dan penangkal dari perasaan orang Bugis, yang selalu mau dihargai dan menghargai orang lain. 2. Mengapa Orang Berkelompok Kata klan berasal dari Gaelic clann, yang berarti ‘anak-anak’ atau ‘progeni. Istiah itu tidak digunakan untuk istilah keluarga di Irlandia atau Gaelik di Skotlandia (Patrick, 1927; Nial, 1992). Menurut Oxford English Dictionary, kata klan diperkenalkan di dalam bahasa Inggris sekitar tahun 1425, sebagai label untuk sifat masyarakat Dataran Tinggi Skotlandia. Klan adalah sekelompok orang yang disatukan oleh persaudaraan yang aktual atau keturunan Hugh (1911). Apabila asal usul klan tidak diketahui, garis keturunan anggota klan dapat ditarik melalui pendiri atau leluhur apikal mereka. Klan dalam masyarakat pribumi cenderung eksogami, yang berarti bahwa anggota mereka tidak dapat menikah satu sama lain. Lawan dari eksogami adalag endogami, yang diperkenankan menikahi wanita di dalam kelompoknya. Klan mendahului bentuk organisasi masyarakat yang lebih tersentralisasi, yang ada di setiap negara. Anggota dapat mengidentifikasi diri melalui lambang atau simbol lain untuk menunjukkan, bahwa mereka adalah klan independen. Ikatan berbasis kekerabatan mungkin juga memiliki leluhur simbolis, di mana klan berbagai leluhur yang ditetapkan merupakan simbol persatuan klan. Ketika leluhur ini bukan manusia, ia disebut sebagai totem, yang lebih banyak berupa merupakan binatang. Dalam budaya dan situasi yang berbeda, klan biasanya memiliki makna yang berbeda dari kelompok berbasis kerabat lainnya, seperti suku (tribes) dan band (bands). Seringkali, faktor yang membedakan klan adalah bagian yang lebih kecil dari masyarakat yang lebih besar (negara). Di beberapa masyarakat, klan mungkin memiliki pemimpin resmi seperti kepala, matriark, atau patriark. Ditempat lain, posisi kepemimpinan mungkin harus dicapai melalui voting, bahwa yang berhak memimpin adalah orang tua, yang memiliki banyak pengalaman (senioritas). Penduduk asli Amerika mendiami beberapa daerah miskin sumber daya, seperti; Tierra del Fuego dan hutan boreal utara. Semua band modern Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



311



ini atau pengembara nomaden yang berprofesi sebagai pemburu dan produsen makanan mulai tinggal menetap, sekitar 40.000 tahun hingga 11.000 tahun yang lalu. Istilah band di dalam antropologi dan ilmu budaya adalah kumpulan masyarakat terkecil, yang terdiri dari 5-80 orang. Keseluruhan anggota kelompok tersebut adalah keluarga dekat, karena kelahiran atau pernikahan. Akibatnya, sebuah band merupakan keluarga besar, yang terdiri atas beberapa keluarga besar yang terkait. Saat ini, band-band otonom hampir terbatas pada bagian paling terpencil di New Guinea dan Amazonia. Akan tetapi, ada banyak band lain yang baru saja diintergasikan ke bawah kendali negara atau diasimilasi atau dihapus keberadaannya. Pada saat ini masih dapat kita jumpai di Pygmi Afrika, Afrika Selatan, Bushmen yang berprofesi pemburu-pengumpul (food and gathering), suku Aborigin Australia, Eskimo (Inuit) dan penduduk asli Amerika miskin dan terpencil di Amerika. Keseluruhan band-band modern ini atau pengembara nomaden sebagai pemburu daripada produsen makanan mulai menetap mulai dari 40.000 tahun yang lalu hingga tahun 11.000 tahun yang lalu. Dalam antropologi, suku (tribes) adalah kelompok sosial manusia. Definisi yang tepat tentang apa yang merupakan suku bervariasi di antara para antropolog. Istilah itu sendiri dianggap kontroversial di kalangan akademisi, karena ada hubungannya dengan kolonialisme. Dalam penggunaan umum, istilah ini dapat merujuk pada orang yang hidupnya masih primitif, sehingga menimbulkan konotasi negatif. Konsep ini sering kontras dengan konsep-konsep kelompok sosial lainnya, seperti; negara dan bentuk kekeluargaan. Saya sudah jelaskan secara sepintas di atas, bahwa sejak manusia lahir di dunia ini memang selalu muncul keinginan untuk hidup berkelompok. Kelompok bagi mereka adalah satu wadah untuk keamanan dan area untuk interaksi sosial. Beberapa mitos yang berceritra tentang kehidupan masa lampau selalu dikaitkan dengan kelompok. Paling tidak ada enam alasan untuk menjawab, mengapa manusia cenderung berkelompok, yakni: keamanan, status, harga diri, integrasi sosial, kemudahan dan prestasi. a. Keamanan: dengan bergabung dalam suatu kelompok, masing-masing orang dapat mengurangi perasaan tidak aman dalam kesendiriannya. Orang menjadi lebih percaya diri, karena merasa menjadi bagian dari suatu kesatuan kekuatan, sehingga lebih tahan terhadap berbagai ancaman yang mungkin timbul. b. Status: ketika seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok penting, orang tersebut akan dipandang oleh orang lain dengan status yang berbeda. Stratifikasi sosial memungkinkan seseorang untuk mendapatkan status yang berbeda, jika orang tersebut menjadi anggota dari suatu Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



312



kelompok. Status yang berbeda ini berasal dari pengakuan orang lain, yang tidak menjadi bagian atau anggota kelompok. c. Harga diri: kelompok juga dapat memberi rasa harga pada diri bagi anggotanya. Artinya, menjadi anggota suatu kelompok dapat menimbulkan perasaan berharga, karena dapat diterima sebagai anggota dan sudah memenuhi standar tertentu yang disyaratkan dalam inisiasi penerimaan keanggotaan. d. Integrasi sosial: berbagai kelompok dapat memenuhi kebutuhankebutuhan sosialnya: untuk berafiliasi, bersosialisasi dengan menjadi bagian dari suatu kelompok dan menunjukkan intensitas kebutuhan sosial dari seseorang. Di dalam kelompok, masing-masing anggota menikmati interaksi yang teratur, yang bagi banyak orang interaksi ini merupakan modal awal mereka untuk memenuhi kebutuhan dalam mengintegrasikan diri ke dalam lingkungan sosialnya. e. Kemudahan: apa yang tidak dapat atau terlalu sulit dicapai secara individual seringkali menjadi lebih ringan, jika diusahakan untuk dicapai melalui kerjasama dengan orang lain. Ini menunjukkan, bahwa dengan berkelompok seseorang akan mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya. Seseorang bersedia menjadi anggota suatu kelompok hanya apabila dalam pandangannya kelompok tersebut dapat memenuhi berbagai harapan, serta mampu menolong untuk mencapai atau memenuhi kebutuhannya. f. Prestasi: ketika diperlukan adanya sekelompok orang untuk mencapai suatu tugas pekerjaan tertentu, dari orang-orang tersebut muncul kebutuhan untuk menunjukkan bakat yang dimilikinya, pengetahuannya dan mungkin saja kekuatannya, agar pekerjaan dapat terselesaikan. Setelah pekerjaan terselesaikan, hasilnya dapat menjadi ukuran prestasinya. a. Kelompok Formal dan Informal Ketika terdapat dua orang yang mengangkat meja untuk dipindahkan tempatnya, kedua orang tersebut membangun sebuah kelompok kecil. Begitu pula ketik beberapa orang menjual jasa untuk melakukan penanam padi di sawah, sejulah orang tersebut membentuk sebuah kelompok penanam padi. Mencermati dua contoh tersebut, tentu akan segera tertangkap pengertian, bahwa sebenarnya berdasarkan formalitasnya, kelompok itu dapat dipilah menjadi formal dan informal. Kelompok formal adalah kelompok yang didefinisikan oleh adanya struktur organisasi, dengan pembagian kerja dan pembatasan sejumlah wewenang secara tegas untuk melakukan berbagai tugas dalam mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dalam kelompok formal, berbagai tindakan ditentukan oleh dan diarahkan kepada tujuan tertentu. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



313



Kelompok formal masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi kelompok tugas dan kelompok komando. Kelompok tugas ditetapkan secara organisasional, mewakili beberapa unit kerja untuk bersama-sama menyelesaikan suatu tugas tertentu. Kelompok yang melintasi garis komando ini dapat dimisalkan jika di suatu Fakultas terdapat kasus plagiasi atas salah satu skripsi. Dekan fakultas yang bersangkutan menentukan, agar Ketua Jurusan, Bagian Perpustakaan dan Pembantu Dekan, serta Pembimbing Utama penulisan skripsi yang diduga sebagai hasil plagiasi itu membentuk kelompok untuk melakukan penyelidikan sebelum sanksi akademik diberlakukan kepada sarjana plagiat yang bersangkutan. Kelompok komando adalah kelompok yang dari atas dan bawahan (top down) mengikuti garis komando dan sangat hierarkis. Kelompok ini dispesifikasikan oleh bagan organisasi yang memetakan secara tegas batas tugas, wewenang dan tanggungjawab masing-masing anggota kelompok. Kelompok komando biasanya jelas di salam sebuah Standar Operasional Perusahaan (SOP) sebuah perusahaan. SOP itu biasanya disertai dengan bagan dan struktur organisasi yang mencakup tugas dan wewenang masing-masing unsur dalam menjalankan roda perusahaan. Dalam sistem organisasi nelayan juga dikenal dengan Ponggawa yaitu pemilik modal dan Sawi yaitu pelaksana harian penangkapan ikan di laut. Dalam organisasi dewan adat Karampuang juga dikenal dengan perangkat adat empat orang, terdiri atas: 1) Puang Tomatowa bertindak sebagai raja, 2) Puang Gella bertindak selaku pelaksnaan harian urusan adat, 3) Puang Sanro dijabat oleh perempuan dalam urusan kemaslahatan dan kesehatan seluruh warga masyarakat adat Karampuang. Sanro juga yang mengatur semua pelaksanaan pesta adat Mappogauk Sihanuwae dan Mabbissa Lompu dan 4) Tuang Guru dalam urusan keagamaan dan pelaksanaan hari-hari besar Islam (maulid Nabi Muhammad, Idul Fitri, Indul Adha dan sebagainya). Keempat dewan adat tersebut dibantu oleh seorang putra mahkota ana’ ada’. Masyrakat adat Kajang juga memiliki dewan adat dua puluh enam orang (ada’ ruampulongngannang). Keseluruhan dewan adat tersebut terdiri atas: 1) Ammatowa ri Kajang sebagai pemimpin adat tertinggi adata, 2) Angronta ri Kajang terdiri atas: Anrongta ri Bungkina berkedudukan di Bungkina dan Anrongta ri Pangi berkedudukan di Pangi. Kedudukannya sangat dihormati, karena dianggap sebagai pendamping Ammatowa. Dengan demikian, Anrongta menurut persepsi mereka sebagai asal muasal (a’mula tau) yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Kedudukan dan status Anrongta disamakan dengan kedudukan dan posisi seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Keduanya tidak hanya membela hak-hak kaumnya (feminisme), tetapi juga sebagai penasehat dan pengawas kepemimpinan Ammatowa. Kedudukannya berfungsi sebagai dewan pertimbangan atau Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



314



penasehat Ammatowa. Kedudukan seperti ini diasosiasikan dengan kedudukan dan fungsi seorang permaisuri yang harus mendampingi Ammatowa selaku pemimpin adat tertinggi. Dalam proses ritual adat, khususnya Appanganro Kacucu Bola keduanya duduk berdampingan dengan Ammatowa. Keduanya menjadi tokoh sentral dalam berbagai ritual adat, khususnya ritual Akkatto yaitu ritual penjemputan Sang Hyang Sri di tempat peraduannya. Keduanya bertanggung jawab untuk mengatur prosesi ritual mulai dari upacara penjemputan dewi padi (appakuru’ sumanga’ pare’a), pemanenan (akkatto’) hingga pada penyimpanan padi (appanai pare’) di loteng atas rumah (parabola). Khusus Anrongta ri Bongkina pernah mengusulkan perluasan hutan Tode sejauh 20 meter dan hutan Tombolo’ sejauh 25 meter keluar hingga mencapai pinggir jalan desa, 3) Labbiriya yaitu Camat Kajang dan Kadhi imam masjid di Balagana, 4) Karaeng Tallua dijabat oleh Labbiria yaitu Camat Kajang, Sullehatang dijabat oleh Kepala Desa Tana Towa dan Moncombulowa karaeng Tambangan, 5) Ada’ Limayya ri Tana Kekeya yaitu pelaksnaan haria adat bidang bertugas khusus untuk urusan adat dan pengawasan hutan adat di kawasan Kajang Dalam. Kelimanya terdiri atas; Galla Pantama saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Posittana. Ia jarang hadir dalam kegiatan ritual adat, kecuali ritual anynyuru borong (Pemilihan dan Pelantikan Ammatowa) dan Akattere’ (aqikah). Galla Pantama juga bertanggung jawab dan bertugas untuk menjaga kelestarian hutan di wilayah kerjanya, serta membantu dan menganjurkan penanaman pohon di lahan kosong dan kebun milik rakyatnya. Galla Kajang termasuk Ada' Tana (pemangku adat) di bidang hukum adat. Ia membantu Ammatowa mengurus masalah perkara hukum perdata dan kriminal (pelanggaran pembalakan hutan) di wilayah adat Kajang. Jenjang penyelesaian permasalahannya dilakukan melaui hukum adat (ada’ tanyya) dalam bentuk musyawarah adat (abborong ada’). Galla Puto juga termasuk Ada’ Tana (pemangku adat) bidang diplomat. Ia bertugas sebagai juru bicara Ammatowa, baik untuk Kajang Dalam dengan kapasitasnya sebagai juru penerangan (pappalabbang) maupun di Kajang Luar dalam sebagai diplomat (suro ada’). Selain itu Galla Puto ikut dalam penetapan sanksi pelanggaran di bidang kehutanan dan kemasyarakatan. Galla Lombo bertugas mengurus masalah pemerintahan adat di daerah kekuasaan Ammatowa. Galla Lombo juga bertanggung jawab di bidang pelestarian hutan keramat (borong karama’) seluas ± 300 Ha atau sekitar 90% dari seluruh hutan adat yang berada di wilayah Galla Lombo (Desa Tanatowa). Ia diberi hak penuh untuk menjaga hutan adat (Tanatowa I s.d V) bersama dengan dewan adat lainnya. Galla Malelleng bertugas mengurus pajak perikanan (bilanna malleleng) dan pajak hasil laut (sassung tamparang) di desa Malelleng. Kontribusinya dalam bidang pelestarian hutan dapat dilihat ketika peradilan adat berlangsung. Selaku dewan adat ia Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



315



berhak untuk memberi masukan dan pendapatnya kepada Galla Puto dan Galla Kajang sebelum mengambil keputusan dalam peradilan adat. Selain itu, Galla Malelleng juga berhak dan bertangung jawab untuk menjaga kelestarian hutan bakau di wilayah kerjanya, khususnya di pinggir laut, 6) Ada’ Limaiya ri Tana Loheya lebih banyak bertugas untuk urusan di wilayah adat Kajang Luar, khususnya masalah pengawasan dan pelestarian hutan tebangan di Kajang Luar atau di masing-masing wilayah kerjanya. Ada’ Limaiya ri Tana Loheya terdiri atas; Galla Anjuru saat ini menjabat Kepala Desa Lembanna Kecamatan Kajang. Selain itu ia juga bertugas untuk menggalakkan penanaman kembali pohon di lahan tidur di wilayah kerjanya, baik di hutan tebangan maupun di hutan adat, Galla Ganta berhak dan berwenang memberi izin penebangan (legal logging) di Buki Tonra dan Allu'a kepada masyarakat Ganta dan sekitarnya dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama. Selain tugas tersebut di atas ia juga diberi tugas oleh Ammatowa untuk menggalakkan penanamam kembali lahan tidur atau kosong di wilayahnya, Galla Bantalang ditunjuk Ammatowa untuk mengawasi pengembangan hutan tebangan Sampaga Puanga di wilayah kerjanya. Ia berhak untuk memberikan izin penebangan kepada masyarakat Desa Tanatowa, Pattiroang, Bontobaji dan sekitarnya. Lokasi hutan tebangan Sampaga Puanga sangat berdekatan dengan hutan keramat, sehingga fungsinya sebagai hutan penyangga atau hutan pengaman (borong pa’rumpae) harus tetap dipertahankan dan Galla Sapa diberi wewenang untuk mengatur hutan tebangan A'nisia di Desa Sapanang dan Batunilamung. Galla Sapa juga diberi tanggung jawab untuk mengarahkan masyarakat pemilik lahan di wilayah kerjanya untuk tetap menanam kayukayuan sebagai pengganti hutan tebangan A'nisia yang hampir habis, 7) Tau Limayya (lima orang penjaga hutan) diberi tanggung jawab dan wewenang untuk mengawasi pembalakan hutan adat beserta ekosistemnya. Sebagai penjaga hutan dan informan khusus Ammatowa, semua kejadian pelanggaran di hutan adat terlebih dahulu dilaporkan kepada Tu’ Mutung di Kampung Sobbu. Laporan tersebut selanjutnya akan disampaikan kepada Ammatowa setelah kebenarannya sudah dicek Tu’ Mutung. Semua bentuk pelanggaran berupa pembalakan hutan diajukan ke peradilan adat Kajang, yang dihadiri Ammatowa dan pemangku-pemangku adatnya, 8) Bali Ada’ (Pendamping Adat) adalah mitra kepemimpinan adat Ammatowa di bekas kerajaan Pattongko (Karaeng Pattongko) di Desa Pattongko Kecamatan Tellulimpo’e Kabupaten Sinjai dan bekas kerajaan Jojjolo’ di Desa Jojjolo’ Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba. Keduanya mempunyai kedudukan dan fungsi dalam lembaga adat Kajang, khususnya sebagai anggota dewan adat dua puluh enam. Kepala Desa Pattongko di Kabupaten Sinjai dan Kepala Desa Jojjolo’ di Kecamatan Bulukumpa diberi tugas dan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



316



wewenang untuk mempertahankan kelestarian hutan adat di wilayahnya, 9) Panre bassi (pandai besi) memegang peranan penting dalam rangka menunjang kelestarian adat istiadat dan hutan di Kajang. Ia memegang fungsi utama untuk membuat peralatan atau persenjataan tradisional keris dan alat-alat pertanian (cangkul, kapak, gergaji, linggis dan sebagainya), 10) Lombo Karaeng (Mantan Pemangku Adat) mempunyai kedudukan khusus dalam kelembagaan adat Kajang. Ia masih tetap dihargai dan dianggap patut mendapat tempat sebagai tetua atau sesepuh adat (Tu’towa). Lombo Karaeng dalam sistem peradilan adat Kajang, khususnya masalah pembalakan hutan, dihadirkan sebagai Dewan Pertimbangan Adat untuk memberi masukan kepada Ammatowa sebelum mengambil keputusan. Kelompok informal diartikan sebagai persekutuan dua orang atau lebih yang tidak terstruktur secara formal. Kelompok jenis ini biasanya muncul merupakan tanggapan atau respon terhadap kebutuhan orang akan kontak sosial. Dengan kata lain, kelompok informal ini tidak berkembang sebagai akibat dari perancangan tetapi tumbuh secara alamiah. Di dalam suasana kerja, secara wajar seringkali kelompok informal ini terbentuk. Empat orang karyawan dari unit kerja berlainan secara teratur selalu melakukan pulang bersama-sama, merupakan contoh nyata dari kelompok informal. Ivanchevic dkk. (1996) membagi kelompok informal ini menjadi: 1) kelompok minat yakni kelompok yang terbentuk oleh beberapa individu yang tidak menjadi anggota kelompok tugas dan komando tetapi memiliki sasaran yang sama hanya saja sasaran tersebut berbeda dengan sasaran kelompok utamanya dan 2) kelompok persahabatan adalah kelompok yang interaksi anggotanya terjadi di luar aktivitas kerja. b. Kelompok Primer dan Sekunder Kelompok primer merupakan kelompok yang tiap anggotanya saling kenal sebagai suatu pribadi secara akrab. Interaksi sosial antar individu di dalamnya bersifat tidak formal (tidak rersmi), akrab, personal dan total yang mencakup banyak aspek dari pengalaman hidup. Di dalam kelompok primer, sebagaimana keluarga, klik, atau sejumlah sahabat, hubungan sosial cenderung bersifat santai. Masing-masing individu saling tertarik satu sama lain sebagai suatu pribadi. Mereka menyatakan harapan-harapan dan kecemasan-kecemasan, berbagai pengalaman dalam kesalingtergantungan dan saling memenuhi kebutuhan akan keakraban persahabatan. Biasanya, kelompok primer beranggotakan individu-individu yang jumlahnya tidak besar, atau tidak sebesar dalam kelompok sekunder. Di dalam kelompok sekunder, hubungan sosial bersifat formal, impersonal, segmental dan didasarkan atas azas manfaat (utilitarian). Sese-orang tidak berurusan dengan orang lain sebagai suatu pribadi, tetapi sebagai orang yang berfungsi dalam menjalankan sesuatu peran. Kualitas pribadi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



317



tidak sepenting cara kerja. Hanya sedikit aspek atau bagian dari keseluruhan kepribadian yang terlibat dalam pelaksanaan peran saja yang dianggap penting. Kelompok sekunder dapat berupa serikat kerja, mitra dagang, klub pendaki gunung, persatuan wali murid atau himpunan orang tua mahasiswa. Kelompok-kelompok ini muncul untuk memenuhi tujuan khusus yang terbatas, yang hanya melibatkan sebagian dari kepribadian anggotanya. Istilah primer dan sekunder menggambarkan model hubungan atau type interaksi dan tidak mengahdirkan klaim bahwa yang satu lebih baik dari yang lain. Kelompok primer dapat saja terlibat dalam penyelesaian suatu pekerjaan, tetapi penilaian terhadap kelompok jenis ini tetap berdasarkan pada kualitas hubungan manusiawi, bukannya pada efisiensi dalam penyelesaian suatu kegiatan. Kelompok sekunder mungkin juga bersifat menyenangkan, tetapi pusat orientasinya adalah penyelesaian pekerjaan. Kelompok primer dan sekunder dipandang penting karena perasaan dan perilaku atau tindakan merupakan hal yang berbeda. Dalam kelompok primerlah kepribadian dibentuk. Dalam kelompok primerlah seseorang menemukan keakraban, rasa simpati dan rasa kebersamaan yang menyenangkan terkait dengan banyak minat serta kegiatan. Dalam kelompok sekunder seseorang menemukan cara yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu walaupun cara tersebut seringkali mengorbankan hati kecil seseorang. Konsep primer dan sekunder dalam pemahaman kelompok sangat bermanfaat karena memberi gambaran perbedaan penting dari perspektif perilaku. c. Paguyuban dan Petembayan. Konsep paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesselschaft) merupakan konsep yang tidak jauh berbeda dengan primer dan sekunder sebagaimana yang dikembangkan oleh Ferdinand Tonnies (1887). Secara umum istilah paguyuban dapat mengajukan pemahaman sebagai komunitas (community) sedangkan petembayan diterjemahkan sebagai masyarakat (society). Paguyuban adalah sebuah sistem sosial yang kebanyakan interaksinya bersifat personal serta sering tradisional atau berdasarkan tradisi dan kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Biasanya, interaksi dalam paguyuban bersifat informal. Penggunaan dokumen tertulis jarang ditemukan, kontrak formal belum dikenal dan segenap kegiatan dilakukan menurut cara-cara tradisi yang dikenal dan dapat diterima oleh seluruh anggota komunitas. Ritme kehidupan berlangsung datar (monoton), namun perasaan kesepian jarang dialami oleh anggota karena mereka sudah saling Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



318



bertetangga sejak lama sehingga relatif tidak memiliki problem jarak fisik maupun sosial. Dalam konsep sistem patembayan, masyarakat tradisional digantikan oleh masyarakat yang kontraktual. Dalam patembayan, ikatan pribadi, hakhak tradisional, maupun tugas-tugas tidaklah sepenting sifat utilitarianisme. Interaksi antar individu ditentukan proses transaksional yang kemudian dituangkan dalam perjanjian-perjanjian tertulis. Sanak keluarga seringkali hidup terpisah, karena orang-orang cenderung selalu berpindah untuk tinggal di lingkungan orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya. Etika perilaku yang diterima secara umum didasarkan pada rasionalitas pragmatis dengan perhitungan untung rugi. Kelompok jenis ini tersebar luas di kota-kota metropolitan modern. B. Masyarakat Setelah selintas kita diberikan pemahaman oleh uraian mengenai sejumlah hal terkait dengan dunia kehidupan sosial manusia, maka penting untuk memahami terlebih dahulu tentang masyarakat. Uraian tentang hal ini diperlukan karena kecuali dunia kehidupan sosial itu beroperasi di masyarakat, juga pengertian masyarakat akan selalu terbawa hingga akhir buku Sosiologi Komunikasi ini. Kata sosiologi di depan komunikasi itulah yang mengharuskan kata masyarakat terbawa-bawa hingga jauh. Kata masyarakat sering dikacaukan dengan kebudayaan sekalipun keduanya sangat berbeda. Kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat. Segala sesuatu yang tidak asali, baik berupa sesuatu yang materiil maupun sebaliknya adalah konstruksi budaya atau hasil kebudayaan, atau hasil suatu budi daya manusia. Sedangkan masyarakat merupakan suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Mungkin pemakaian istilah organisasi dapat dicairkan dengan pemakaian istilah sekumpulan karena organisasi mengandung pengertian adanya pengaturan struktural yang kaku dengan pembagian tugas-tugas yang jelas. Organisme masyarakat tidaklah setegas dan seteratur sebuah organisasi. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton & Hunt 1996; 59). Pendefinisian masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh dua sosiolog dari Western Michigan University tersebut cukup memadai untuk pegangan studi Sosiologi Komunikasi ini. Intinya, masyarakat (society) adalah kumpulan manusia yang saling berhubungan dengan kebudayaan khas milik mereka sendiri sebagai pegangan hidup dan mendiami sesuatu wilayah tertentu. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



319



Adanya sekumpulan manusia yang saling berhubungan menandai adanya sistem sosial. Sebagai sistem yang terdiri atas bagian-bagian saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan, hal ini menjadi titik sentral pengertian masyarakat. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan pula pada bagian yang lain. Asumsinya adalah, bahwa setiap bagian struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain. Setiap bagian dari sebuah sistem sangat berfungsi terhadap bagian yang lain. Kesalingtergantungan antar bagian atau struktur dalam sistem sosial inilah yang membentuk masyarakat. Keyakinan ini menjadi asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural yang pentolannya adalah Robert King Merton. Keseimbangan menjadi kata kunci bagi organisme masyarakat. Sehingga, tesis atau anggapan ini mengabaikan adanya struktur yang beroperasi menentang atau bertentangan dengan struktur yang lain dalam sebuah sistem sosial. Teori ini berasumsi bahwa segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat selalu fungsional atau memiliki fungsi dalam artian positif atau negatif bagi yang lain. Bahkan kemiskinan, oleh penganut teori ini, diyakini fungsional dalam sistem sosial. Problemnya adalah, fungsional bagi siapa ? Memang, bagi si miskin tentu disfungsional, tetapi setidaknya kemiskinan itu berfungsi: 1) menyediakan tenaga kerja kasar, 2) pembukaan lapangan kerja baru, 3) memunculkan sikap altruis bagi si kaya terhadap si miskin, 4) penyedia tenaga bagi pemanfaatan barang bekas pakai orang kaya dan lain sebagainya. Yang baru diuraikan tersebut merupakan sekedar contoh dari anggapan bahwa masyarakat adalah sebuah sistem sosial yang bagian-bagiannya memiliki kesalingtergantungan sekaligus saling memiliki fungsi bagi masing-masingnya. Kecuali teori Fungsionalisme Struktural, masih terdapat sejumlah teori lain yang semuanya berbicara tentang bagaimana masyarakat bisa dilahirkan, dipelihara serta dikembangkan. Mengingat tekanan studi Sosiologi Komunikasi ini tidak saja pada sosiologi tetapi juga pada teknologi komunikasi, maka akan menjadi baik kalau kita batasi uraian tentang masyarakat tersebut hanya sampai kepada beberapa mainstream golongan besar masyarakat yang ada hubungannya dengan topik saja sebagaimana, masyarakat desa dan kota. Masing-masing kategori masyarakat ini memiliki kekhasannya sendiri dalam praktek komunikasi masyarakatnya. Dengan demikian, tentu dari masing-masing masyarakat ini dapat dicatat sejumlah hal spesifik terkait hubungan efek komunikasi dengan sistem sosialnya. 1. Masyarakat Desa. Sudah lazim orang mengelompokkan masyarakat ke dalam dua golongan besar, yakni desa dan kota. Desa dan Kota memberi penjelasan perbedaan untuk sejumlah hal, terutama fisik dan sosialnya. Karenanya, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



320



selalu terdapat perbedaan perilaku antara orang desa dan orang kota. Perbedaan tersebut merupakan sumber inspirasi yang tak habis-habisnya untuk diteliti atau sumber inspirasi bagi sastrawan untuk mengarang novel atau skenario drama dan film. Terdapat ciri tradisional kehidupan masyarakat desa yang dapat ditunjukkan dalam uraian ini yakni: 1) isolasi, 2) homogen, 3) pertanian, 4) ekonomi subsistensi. a. Isolasi; mungkin ciri kehidupan masyarakat desa yang paling menonjol pada masa silam adalah keterisolasian. Di banyak bagian dunia, orang desa mengelompkakan diri ke dalam desa-desa kecil yang ladang pertaniannya dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki. Rumah yang terpencil merupakan pola umum dari bentuk pemukiman desa. Suatu pola yang dilihat dari sudut pandang produksi lebih efisien, namun dari segi sosial bersifat terpisah. Masyarakat setempat bukan saja terpisah dari yang lain, bahkan keluarga yang satupun terpisah dengan keluarga yang lain. Bukan sesuatu yang kebetulan, jika budaya ramah tamah terdapat dalam kehidupan masyarakat desa di samping sifat lain yang menonjol lainnya yaitu budaya gotong royongnya. Budaya ini merupakan bukti nyata betapa adat dan kebiasaan muncul, karena kebutuhan sosial. Oleh karena itu, ketika kebutuhan sosial itu berubah, adat dan kebiasaannya juga ikut berubah. b. Homogen: Diseluruh pemukiman di suatu negara, sangatlah heterogen. Namun demikian, pemukiman di pedesaan cenderung sangat homogen dari segi latar belakang etnik dan budaya. Pada umumnya mereka mengikuti jejak pendahulunya. Homogenitas tersebut selanjutnya disertai oleh isolasi dari pemukiman lainnya, sangat konservatif, tradisional dan etnosentrisme masyarakat.. c. Pertanian: Hampir semua anggota masyarakat desa adalah petani atau buruh lepas di sektor tersebut. Kyai, Guru, Dokter, Pandai Besi, Pelayan Tokopun ikut terlibat dalam kehidupan pertanian. Semua menghadapi masalah dan tugas yang sama, serta sama-sama merasakan betapa tidak berdayanya mereka dalam menghadapi kekuatan alam yang berada di luar kemampuan manusia. d. Ekonomi Subsistensi: Keluarga tradisional di masyarakat pedesaan berusaha untuk memproduksi segala sesuatu untuk dikonsumsi sendiri. Dalam keadaan dimana keadaan ekonomi berkembang cepat disertai kekurangan finansial yang kronis, sistem ekonomi subsistensi dan sistem tukar (barter) merupakan jalan keluar yang secara sosial bermanfaat. Sifat hemat merupakan sifat yang harus diapresiasi sementara konsumsi yang menyolok dipandang sebagai sifat buruk orang kota. Status sosial sebuah keluarga pedesaan ditentukan oleh luasnya tanah, banyaknya ternak, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



321



hasil panen serta harta warisan yang diterima dan yang kelak mampu diwariskan kepada anak keturunannya. Dalam kehidupan ekonomi yang bersistem subsisten dan bukannya sistem ekonomi pasar, masyarakat desa cenderung curiga terhadap intelektualitas dan ilmu pengetahuan. Bahkan, pada jaman dahulu kecurigaan ini muncul sebagai ketidakpercayaan dan kebencian terhadap anggota masyarakat kota. Dari sudut pandang anggota, masyarakat desa berjumlah relatif kecil terdiri dari individu-individu yang cenderung disatukan oleh garis keturunan dengan teknologi pertanian sederhana serta interaksi sosialnya dilakukan dengan model komunikasi tatap muka. Saat ini, sepertinya ketika teknologi komunikasi menjadi sarana membanjirnya informasi dari berbagai sumbernya, masyarakat desa mengalami perubahan. Sekalipun pada dasarnya kita tetap dapat dengan mudah membedakan masyarakat desa dengan kota melalui sejumlah penanda sebagaimana telah diuraikan di depan, tetapi perbedaan yang dapat ditemukan tidaklah seekstrem keadaannya di jaman dahulu. Dewasa ini, gaya hidup desa dan kota semakin tipis perbedaannya. Meskipun memang masih terdapat sejumlah perbedaan dalam segi kepribadian, gaya hidup dan sistem nilai antara masyarakat desa dengan kota, namun perbedaan itu semakin mencair. Baik orang kota maupun desa telah dijangkau oleh media massa yang sama dan mereka memberikan respons yang sama pula terhadap isi pesan media massa tersebut. Mobil dan jalanan yang mulus telah mengubah kehidupan pedesaan menjadi tidak begitu jauh dengan kehidupan kota. Ribuan desa kecil seolah tidak lagi dihuni oleh masyarakat yang terisolasi. Transportasi ditambah dengan surat kabar, televisi, radio telah mengakhiri isolasi masyarakat pedesaan. Pertanianpun, akibat kemajuan teknologi telah mengalami semacam komersialisasi dan rasionalisasi. Di wilayah pedesaanpun sudah mulai berkembang usaha agribisnis. Teknologi pertanian juga menjadi penyumbang berkurangnya petani dan tenaga kerja agraris. 2. Masyarakat Kota Pertumbuhan kota mengalami perubahan yang revolosioner. Jika desa diorganisasi berdasarkan sistem kekerabatan dan diarahkan oleh adat kebiasaan, maka tidak demikian dengan kota. Kota memiliki pembagian kerja ke dalam beberapa bidang pekerjaan khusus. Bukan sistem kekerabatan sebagaimana yang terjadi di pedesaan, tetapi kota merupakan organisasi sosial yang didasarkan bidang pekerjaan dan kelas sosial. Perkembangan kota berlangsung terus seiring dengan pertumbuhan kota kecil (town) menjadi kota besar (city). Kota kecil biasanya ditandai dengan aktivitas khas yang terjadi di suatu wilayah atau ciri geografis suatu teritori. Misalnya, kota peribadatan, pertambangan, pelabuhan, kota peristiIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



322



rahatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan kota kecil ini biasanya memberikan rangsangan kuat bagi penemuan-penemuan yang tidak ditemukan di pedesaan, misalnya, adanya kereta, selokan dan terowongan air, sistem tulisan, sistem angka, birokrasi pemerintahan, spesialisasi pekerjaan, stratifikasi sosial, serta masih banyak lagi yang lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila di dalam pertumbuhannya sejumlah kota menjadi pusat pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, pusat pengobatan, serta sejumlah daya tari kemajuan lain. Namun demikian, kota juga merupakan pusat perilaku buruk dan kejahatan, hedonisme, pemuasan diri seolah tanpa batas, serta kepurapuraan. Singkatnya, kota merupakan tempat segala hal yang sangat berbeda dengan ciri budaya dominan. Kota juga merupakan tempat berbagai hal yang saling bertentangan (kontras) tidak sebagaimana desa yang cenderung homogen. Terdapat sejumlah ciri yang dapat membantu kita mengenali masyarakat kota yakni, 1) anominitas, 2) jarak sosial, 3) keteraturan, 4) keramaian, 5) kepribadian urban. a. Anominitas: Ledakan penduduk yang mendiami suatu wilayah perkotaan cenderung menciptakan anominitas. Kebanyakan waktu manusia anggota masyarakat kota habis ditengah kumpulan manusia yang anonim. Keadaan ini dihasilkan oleh hebatnya heterogenitas kehidupan kota yang ditandai oleh keanekaragaman ras, kelas sosial, pekerjaan, etnik, kepercayaan atau agama dan lain sebagainya. Anominitas paling heboh di masyarakat kota biasanya terdapat di kampung kumuh, yakni kampung tempat manusia, lelaki dan perempuan yang terpinggirkan sekaligus terlupakan. Mereka hidup di luar tata kehidupan yang berlaku, tidak memiliki masa lalu yang jelas dan tanpa masa depan yang cerah. Mereka merupakan kumpulan orang-orang kalah yang terlempar dari sistem sosial serta kecewa dengan peran sosialnya yang tidak penting. b. Jarak Sosial: Jarak sosial merupakan akibat dari anominitas, heterogenitas dan impersonalitas. memudahkan penjelasan tentang jarak sosial ini mungkin dapat dilakukan dengan contoh berikut. Jika kita sedang berada di sebuah mall atau di peron stasiun kereta kita tentu berada di keramaian. Saking ramainya, mungkin sekedar jalan saja kita harus bersentuhan dengan orang lain. Kebanyakan orang yang kita temui tersebut bukanlah orang-orang yang memiliki jalinan kepentingan yang panjang dengan kita atau bahkan kita tidak mengenalnya. Kita hanya dapat mengenali orang-orang yang lalu lalang itu melalui apa yang dapat kita lihat semisal pakaian, perhiasan, sikap dan mungkin barang bawaannya. Keadaan yang demikian ini hanya menjelaskan bahwa yang terjadi adalah keramaian fisik saja. Secara fisik dekat bahkan setiap oarang bisa saja bersentuhan kulit dengan orang lain ketika berada di dua tempat tersebut, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



323



namun karena orang-orang tersebut tidak saling kenal serta tidak memiliki kedekatan emosional maka hal itu berarti bahwa terdapat jarak sosial yang nyata pada suasana tersebut. Terkait hal ini, sekalipun masih dapat diperdebatkan, tentu mudah kita temukan pernyataan bahwa kota hanyalah menyediakan keramaian bagi orang-orang yang akhirnya kesepian. Dalam lagu seringkali digambarkan sebagai kesepian di tengah keramaian. c. Keteraturan: Kecenderungan kehidupan desa adalah kesantaian atau ketidakformalan, namun tidak demikian dengan masyarakat kota. Keteraturan masyarakat kota sebagai sesuatu yang wajar muncul akibat kepadatan penduduk dan spesialisasi pekerjaan. Jadwal pekerjaan yang ketat yang harus dilakukan penyesuaian dengan jam biologis (waktu tidur, bangun, istirahat, kerja) manusia merangsang pemikiran untuk mengatur sejumlah hal terkait dengan kepentingan umum. Lampu pengatur lalu lintas, selokan, kebersihan, keamanan, transportasi dan sejumlah hal lain, menandai pengaturan hidup kolektif khas perkotaan. Perkembangannya bahkan, membangun rumah tinggal keluarga saja kini harus mengikuti Peraturan Daerah. Di beberapa kota besar, ada suatu kawasan yang tidak boleh dibangun suatu bangunan tanpa rekomendasi pemerintah lokal, bahkan pusat. Begitu juga dengan perlakuan warga terhadap pepohonan jalan yang tidak boleh sembarangan mengingat pepohonan di jalanan tersebut memiliki fungsi sosial yang harus dilindungi melalui peraturan yang menghadirkan sanksi bagi pelanggarnya. Dengan demikian sebenarnya, semakin padat jumlah penduduk suatu kota, kecenderungannya adalah semakin banyak pengaturan hidup yang pusat orientasinya adalah pemeliharaan harmoni sosial. Hal tersebut sangat berbeda dengan kehidupan masyarakat desa yang cenderung mengikuti harmoni alamiah. Tidak banyak pengaturan hidup yang membatasi kegiatan dan interaksi anggota masyarakat desa. Kehidupan cenderung berjalan mengalir bahkan sebagaimana ritme ternak dan cuaca. d. Keramaian (crowding): Kepadatan penduduk merupakan keadaan obyektif yang dapat diukur, sedang keramaian berkaitan dengan penilaian subyektif. Seseorang merasa berada dalam keramaian jika ia beranggapan bahwa ia kekurangan tempat atau kebebasan pribadinya. Seseorang kawan mengatakan bahwa Kota Kediri sudah terlalu ramai untuk dijadikan tempat tinggal. Sementara kawan yang lain mengatakan sebaliknya, bahwa kota kecil ini adalah tempat yang tepat untuk menjalani hidup karena suasana kota yang tenang dengan penduduk yang hampir semua saling kenal. Kecenderungan kehidupan masyarakat perkotaan memang ditandai oleh kepadatan penduduk yang secara fisik tentu menghasilkan keramaian. Problem sosial yang muncul dari keramaian biasanya terkait dengan penyakit, tingkat kematian dan disorganisasi sosial. Dengan mengambil Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



324



contoh Hongkong sebagai kota dengan kepadatan tinggi di dunia, memang tidaklah selalu keramaian itu merupakan persemaian segala macam problem. Masyarakat Hongkong adalah daerah yang kepadatan penduduknya paling tinggi di dunia, namun tingkat kematian, penyakit dan gangguan mental lebih rendah dari pada kebanyakan kota di negara Barat (Horton & Hunt 1996; 154). Keramaian dan kepadatan penduduk tidak harus mengurangi kualitas hidup manusia, tetapi tampaknya kita harus mempertimbangkan pernyataan bahwa justru kualitas lingkungan yang dihuni manusialah yang berkorelasi positif dengan kualitas hidup manusia. Sebagai makhluk pengembang budaya, manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kepadatan dan keramaian di perkotaan demi menjaga kualitas hidupnya. e. Kepribadian urban: Beberapa penelitian (Park, 1925; Sorokin, 1929; Louis Wirth, 1938) menyimpulkan, bahwa kehidupan masyarakat perkotaan menciptakan kepribadian yang sangat berbeda dengan masyarakat desa. Orang kota cenderung memiliki kepribadian anomis, materialistis, mandiri (self sufficient), impersonal, tergesa-gesa, manipulatif dan cenderung dalam perasaan tidak aman. Seiring dengan semakin meningkatnya urbanisme, kegiatan gotongroyong, ketetanggaan serta partisipasi dalam kehidupan kolektifpun menurun. Hal ini menjadi penyumbang utama munculnya kepribadian yang menempatkan 'diri' sebagai pusat pertimbangan tindakan. Sikap tolong menolong yang altruistik sebagaimana menjadi ciri kehidupan masyarakat desa tidak banyak ditemukan pada kepribadian urban. Terdapat semacam kekosongan sosial yang alienatif yang menjadikan penduduk kota menjauh dari ciri kepribadian desa. C. Kelompok dan Kelompok Sosial Manusia Manusia sejak lahirnya memang ditakdirkan untuk hidup berkumpul atau berkelompok. Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersamayang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, saling mengenal satu sama lainnya dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Ada beberapa bentuk dan karakteristik kelompok: keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antar pribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok. 1. Ciri – Ciri Kelompok Sosial Kelompok sosial memiliki ciri-ciri berikut ini: a) Memiliki motif yang sama antara satu individu dengan individu lainnya sehingga kerjasama dan interaksi untuk mencapai tujuan yang sama lebih mudah terjadi, b)Anggota Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



325



kelompok memiliki kesadaran bahwa ia adalah bagian dari kelompok yang bersangkutan, c) Terdapat hubungan timbal balik antar anggota, d) Mempunyai struktur sosial sehingga kelangsungan hidup kelompok tergantung kepada kesungguhan anggotanya dalam menjalani peran mereka, e) Memiliki norma dan aturan yang mengatur hubungan antar anggota, f) Merupakan satu kesatuan yang nyata sehingga dapat dibedakan dengan kelompok lainnya. 2. Proses Pembentukan Kelompok Sosial Terbentuknya suatu kelompok sosial dipicu oleh naluri manusia yang tidak bisa hidup bersama dan ingin menyatu dengan manusia lain disekitarnya. Oleh karena itu bergabungnya seseorang dengan sebuah kelompok biasanya merupakan sesuatu yang murni muncul dari keinginannya sendiri. Dua faktor utama yang membuat seseorang bergabung dalam suatu kelompok adalah kedekatan dan kesamaan. Pembentukan suatu kelompok akan diawali dengan adanya kontak sosial dan komunikasi sosial yang akan menghasilkan proses sosial dalam interaksi sosial. Kata kontak berasal dari bahasa latin con yang artinya ‘bersama’ dan tango yang artinya ‘menyentuh’. Secara harfiah kontak sosial dapat diartikan ‘sama–sama menyentuh’. Arti kata kontak dalam ilmu sosial tidaklah harus dengan sentuhan atau koneksi fisik. Kontak sosial merupakan sebuah tindakan yang menimbulkan kesadaran untuk saling berhubungan dari satu pihak dengan pihak lainnya. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu pihak kepada pihak lainnya. Pada umumnya komunikasi yang sering kita lihat dilakukan secara verbal (berbicara) dengan menggunakan cara yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak, contohnya dengan menggunakan bahasa dari suatu negara tertentu. Kontak sosial dan komunikasi merupakan dua hal yang akan mengawali terbentuknya sebuah kelompok sosial. Melalui kontak dan komunikasi tersebut maka seseoang akan menemukan dasardasar untuk membentuk suatu kelompok. 3. Syarat Terbentuknya Kelompok Sosial Ada beberapa syarat berdirinya sebuah kelompok sosial, berikut ini: a) Setiap anggota memiliki kesadaran bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan, b) Ada kesamaan faktor yang dimiliki oleh anggota kelompok tersebut, sehingga hubungan mereka bertambah erat. Beberapa kesamaan tersebut antara lain: Persamaan Nasib, Persamaan Kepentingan, Persamaan Tujuan, Persamaan Ideologi, Persamaan Fisik, atau Persamaan lainnya, c) Kelompok sosial memiliki struktur, kaidah dan pola perilaku tertentu dan d) Kelompok sosial ini bersistem dan berproses Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



326



4. Nilai dan Norma dalam Kelompok Sosial Seperti halnya dengan perilaku sosial secara umum, perilaku sebuah kelompok sangat dipengaruhi oleh nilai, norma dan peraturan yang berlaku dalam kelompok tersebut. Kegiatan dalam kelompok tidak berlangsung secara acak dan bebas, melainkan harus sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Nilai dan norma ini muncul dari proses interaksi di antara anggota kelompok. Penilaian tersebut muncul dengan menilai kepantasan dan ketidakpantasan suatu perilaku yang berlangsung di dalam kelompok yang bersangkutan. 5. Klasifikasikasi Macam Macam Jenis Kelompok Sosial a. Berdasarkan Cara Terbentuknya 1) Kelompok Semu Kelompok semu merupakan kelompok yang terbentuk ditengahtengah pergaulan manusia. Kelompok semu terbentuk secara sementara, tidak mempunyai kemungkinan untuk memiliki ikatan erat antar anggota. Kelompok semu biasanya disebut dengan khalayak umum atau keramaian. Kelompok semu tidak mempunyai aturan yang bersifat mengekang. Ciri dari kelompok semu adalah: a) Terbentuk secara tidak sengaja tanpa perencanaan sebelumnya, b) Tidak terorganisir, c) Interaksi antar anggota tidak berlangsung secara terus menerus karena sifat kelompok ini hanya sementara, d) Tidak ada kesadaran berkelompok dan e) Kehadirannya tidak konstan Nah berdasarkan ciri ciri tersebut maka kelompok semu dapat dibagi lagi menjadi : a) Kerumunan (Crowd) Kerumunan adalah kumpulan orang yang tidak teratur yang terjadi secara spontan. Kerumunan merupakan kelompok sosial yang bersifat sementara. Ukuran utama adanya kerumumnan adalah hadirnya orangorang secara fisik. Kerumunan ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa bentuk: a) Kerumunan Formal (Formal Audience), merupakan kerumunan yang biasa kita sebut dengan penonton atau pendengar resmi yang mempunyai suatu pusat perhatian dan persamaan tujuan. Sifat formal audience ini sangatlah pasif. Contohnya adalah penonton bioskop, b) Planned Expressive Group, merupakan kerumunan yang tidak terlalu memusatkan perhatiannya pada suatu hal tetapi mempunyai tujuan yang sama dan tujuan tersebut dicapai dengan melakukan suatu kegiatan atau keputusan. Biasanya kelompok ini hanya ingin melepaskan ketegangan ketegangan yang dialami, contohnya adalah orang orang yang berpesta dan berekreasi, c) Inconvenient Casual Crowds, merupakan kerumunan yang terbentuk karena ingin menggunakan fasilitas yang sama. Sifat dari kelompok ini sangatlah sementar. Misalnya orang orang yang sedang menunggu bus, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



327



d) Panic Casual Crowds, merupakan kerumunan yang terbentuk karena kepanikan dari orang-orang yang berusaha menyelamtkan dirinya dari suatu bahaya, e) Spectatator Casual Crowds, kerumunan yang terbentuk dengan tujuan untuk melihat peristiwa tertentu. Kerumunan ini hampir sama dengan penonton umum, bedanya mereka terbentuk tanpa direncanakan sebelumnya. Contohnya adalah munculnya fenomena UFO di langit yang membentuk Spectator Casual Crowds, f) Acting Lawless Crowds, kerumunan yang terbentuk dengan tujuan tertentu dan biasanya mereka mewujudkan tujuan tersebut dengan menggunakan kekuatan fisik. Tindakan dari kerumunan ini akan berlawanan dengan norma-norma sosial yang berlaku, contohnya adalah kerumunan tawuran, g) Immoral Lawless Crowds, kerumunan yang segala tindakannya berlawanan atau tidak sesuai dengan norma norma yang berlaku dalam masyarakat. Ciri khas dari immoral Lawless Crowds adalah mereka tidak memiliki tujuan positif saat membentuk kelompok tersebut. b) Massa Massa adalah kelompok sosial yang memiliki ciri hampir sama dengan kerumunan, tetapi massa terbentuk disengaja dan direncanakan dengan persiapan sehingg sifatnya tidak spotan. Contohnya adalah orang orang yang dikumpulkan untuk melakukan demonstrasi. c) Publik Publik merupakan kumpulan orang yang terbentuk tidak pada suatu tempat yang sama. Pembentukan publik biasanya direncanakan, publik disatukan melalui alat – alat komunikasi, artinya publik tidak harus selalu berada dalam suatu kelompok secara fisik. Untuk memudahkan membentuk publik biasnaya digunakan cara-cara yang berkaitan dengan nilai sosial dan kebiasaan dalam suatu masyarakat. Contoh publik ada orang orang yang menonton acara yang sama pada salah satu saluran televisi. d. Kelompok Nyata Kelompok Nyata merupakan kelompok yang terbentuk dengan satu ciri khusus yang sama, yaitu kehadirannya selalu konstan. Terdapat beberapa bentuk kelompok nyata yang terbentuk pada lingkungan masyarakat, antara lain adalah sebagai berikut: 2) Kelompok Statistik (Statistical Group) Contohnya adalah ilmuwan-ilmuwan yang meneliti suatu kasus tertentu, Ciri dari kelompok statistik adalah: a) Terbentuk tidak direncanakan, tetapi tidak terbentuk secara mendadak melainkan sudah terbentuk dengan sendirinya. Kelompok Statistik (Statistical Group) memiliki ciri, berikut: a) Tidak terhimpun dan tidak terikat dalam suatu wadah tertentu, a) Tdak ada interaksi dan komunikasi secara terus menerus, c) Tidak ada kesadaran untuk berkelompok dan d) Kehadirannya konstan. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



328



Karena ada beberapa ciri yang bertolak belakang dengan ciri kelompok secara umum, yaitu ciri tidak adanya komunikasi secara terus menerus dan tidak adanya kesadaran untuk berkelompok, maka ada perdebatan tentang keberadaan kelompok statistik sebagai kelompok sosial. Tetapi karena pembentukannya memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat maka kelompok statistik lebih sering dianggap sebagai suatu kelompok sosial. b) Kelompok Sosieta / Kemasyarakatan (Societal Group) Kelompok ini terbentuk karena adanya kesadaran akan kesamaan unsur-unsur yang dimiliki oleh seluruh anggota, contohnya kesamaan jenis kelamin, warna kulit, tempat tinggal, dll. Tetapi interaksi sosial tidak selalu terjadi dalam kelompok ini. Beberapa ciri utama dari kelompok sosieta adalah: a) Tidak direncanakan dan terbentuk dengan sendirinya, b) Kemungkinan terhimpun dan terikat dalam suatu wadah tertentu, c) Bisa saja terjadi interaksi dan komunikasi antar anggota, tetapi bisa juga tidak, d) Kemungkinan terdapat kesadaran kelompok dan e) Kehadirannya konstan. c) Kelompok Sosial (Social Group) Kelompok sosial terbentuk karena adanya unsur-unsur yang sama dalam kehidupan mereka. Pengamat sosial sering menyamakan kelompok sosial dengan masyarakat dalam artian khusus. Kelompok sosial memiliki anggota sosial yang melakukan interaksi dan komunikasi secara terus menerus. Contohnya adalah kenalan, tetangga, teman sekota, teman sepermainan, dll. d) Kelompok Asosiasi Kelompok Asosiasi adalah kelompok sosial yang terorganisir dan memiliki struktur formal dalam kepengurusannya. Didalam kelompok sosial ini terdapat kesadaran dan kesamaan perhatian atau keinginan sehingga kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu lebih terlihat. Ciri – Ciri utama dari Kelompok Sosial Asosiasi adalah sebagai berikut: a) Direncanakan dan sengaja dibentuk, b) Terorganisir dan terikat secara nyata dalam suatu wadah, c) Kesadaran kelompok yang kuat, d) Interaksi dan komunikasi berlangsung secara terus menerus dan e) Kehadirannya Konstan 2. Berdasarkan Kualitas Hubungan Antar Anggotanya a. Kelompok Primer (Primary Group): Kelompok primer adalah kelompok yang hubungan antar anggotanya bersifat informal, contohnya keluarga, kelompok dan sahabat. b. Kelompok Sekunder (Secondary Group): Kelompok sekunder merupakan kelompok yang hubungan antar anggotanya bersifat formal karena didasarkan oleh manfaat dan tujuan yang ingin dicapai. Contohnya adalah Persatuan Guru Indonesia, Ikatan Dokter indonesia, dll. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



329



c. Patembayan (Gesselschaft): Patembayan merupakan kelompok sosial yang ikatan antar anggotanya tidak terlalu kuat karena berlangsung untuk waktu yang pendek. Struktrunya bersifat mekanis dan sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka. Hubungan antar anggota biasanya bersifat formal dengan memperhitungkan nilai guna dari interaksi dan komunikasi yang tejradi. Contohnya adlaah ikatan antar pedagang dan pembeli yang terjadi di pasar. 4. Berdasarkan Pencapaian Tujuan a. Kelompok Formal: Kelompok formal merupakan kelompok yang memiliki peraturan  peraturan dan tugas yang sengaja dibuat untuk mengatur hubungan antar anggotanya. Contohnya adalah lembaga pendidikan. b. Kelompok Informal: Kelompok sosial yang terbentuk karena pertemuan yang berulang dan memiliki kepentingan dan memiliki pengalaman yang sama. Contohnya teman.  D. Kebudayaan Batasan studi kebudayaan di sini lebih saya arahkan kepada studi kebudayaan interdisipliner. Maksud saya kajian kebudayaan lebih saya arahkan kepada studi yang berkaitan langsung dengan kehidupan kelompok manusia sebagai mahluk sosial. Sejumlah orang memberikan arti kebudayaan dengan pengertian yang sangat terbatas. Kebudayaan diartikan sebagai pikiran, karya dan apapun hasil penciptaan manusia untuk memenuhi hasratnya akan keindahan. Akhirnya, kita secara sembrono mengartikan kebudayaan sebagai kesenian. Ini merupakan pengartian yang terlampau sempit dan sama sekali jauh dari pendefinisian yang memadai. Sebaliknya, para ahli ilmu sosial mengartikan kebudayaan dengan sangat luas. Kebudayaan diartikan sebagai apapun yang merupakan hasil pikiran dan tindakan manusia. Singkatnya, di luar yang asali dari manusia hidup merupakan hasil kebudayaan. Seluruh aktivitas menusia dalam kehidupannya sangatlah tercakup dalam pengertian kebudayaan. Sedangkan yang bukan termasuk budaya, mungkin hanya sejumlah kecil hal terkait dengann sejumlah refleks naluriah semisal kedutan, makan, bernafas dan lain-lain yang sejenis. Makan bukan kebudayaan, tetapi tata cara makan merupakan konstruksi budaya. Pereodisasian makan tiga kali dalam sehari dengan alat berupa sendok, piring dan garpu, serta cara mengunyah makanan yang tidak bersuara, semua itu merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian maka hal penting yang harus disadari adalah bahwa konstruksi budaya sesuatu masyarakat sangat mungkin memiliki perbedaan di damping sejumlah persamaan. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



330



Dalam banyak hal, kebudayaan menjadi penyumbang bagi usaha membedakan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Apa yang tampak biasa bagi seseorang dari suatu masyarakat, mungkin akan tampak aneh bagi mereka yang berasal dari masyarakat lain. Hal demikian ini sangat dimungkinkan mengingat kebudayaan dalam setiap masyarakat itu berbeda. Kita yang berasal dari Jawa akan merasa aneh menatap pemuda bertelanjang dada dan kaki bahkan hanya pakai koteka berjalan hilir mudik di kota-kota Papua. Perbedaan kebudayaan ini tidak menyodorkan klaim benar-salah, baik-buruk, atau layak dan sebaliknya, karena memang tidak ada ukuran yang dipakai untuk menjadi pembenar penilaian budaya. Pandangan baku mengenai kebudayaan memberikan pemahaman bahwa kebudayaan adalah seperangkat kompleksitas keyakinan, nilai dan konsep yang memungkinkan bagi sebuah kelompok untuk menalar kehidupannya dan memberi arah dalam menjalani kehidupan (Fay, 2002). Dalam pandangan dasar ini kebudayaan digambarkan sebagai sebuah teks, kosakata dan tata bahasa yang dipelajari para anggotanya dan menjadikannya sebagai kekayaan miliknya. Artinya, dengan menginternalisasikan suatu sistem keyakinan tertentu beserta bentuk-bentuk perasaan maka seseorang akan mendapatkan dasar-dasar identitasnya. Sebuah kebudayaan mempenetrasi masing-masing anggotanya secara mental sehingga mereka memiliki suatu kerangka pikiran tertentu, juga secara fisik sehingga mereka memiliki ketetapan posisi tubuh tertentu, serta secara sosial yang memungkinkannya memiliki cara-cara tertentu dalam berinteraksi dengan orang lain. Fakta penting lain mengenai kebudayaan adalah bahwa pada dasarnya kebudayaan-kebudayaan itu bersifat terbuka. Ia merupakan entitas ideasional. Karena sifatnya yang terbuka, maka kebudayaan itu mudah ditembus dan rentan terhadap pengaruh dari berbagai kebudayaan lain. Apapun hubungan yang terjadi antar manusia, sangat mungkin terjadi pengaruh satu kebudayaan oleh kebudayaan lainnya. Dunia manusia tidak tersusun atas beraneka ragam kebudayaan yang mandiri, tertutup dan bebas, tetapi lebih merupakan saling mempengaruhi dan traksaksional atau pertukaran yang konstan. Pertukaran dan penyesuaian terjadi setiap saat dan disetiap waktu. Makanan yang kita makan, buku yang kita baca, musik yang kita dengar, konsep kita tentang waktu, kekuasaan, keindahan, pengetahuan, semuanya itu sangat dipengaruhi oleh respon kita terhadap kebudayaan-kebudayaan lain yang berbeda dengan kita. Hal ini penting untuk disadari agar pemahaman kita tentang kebudayaan tidak tersederhanakan sebagaimana orang membuat kategori sederhana semisal: budaya kulit hitam, budaya kulit putih, budaya Jawa, budaya Barat, budaya timur dan lain sebagainya. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



331



Sebagaimana pengertian kebudayaan yang demikian luas, maka sebenarnya ia dapat dibedakan melalui pengkategorian material dan nonmaterial. Sekedar menyebut contoh, kebudayaan material dapat berupa barang produksi pabrik, parit, jalan, kereta api, pesawat telepon dan pesawat terbang, televisi, handphone, jembatan serta masih sangat banyak lagi benda-benda yang merupakan hasil olahan dari gagasan kreatif manusia. Semua benda itu dikerjakan atau diolah manusia untuk memudahkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana binatang, manusiapun memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup. Tetapi, jika binatang pemenuhan itu sudah disediakan oleh alam dan tinggal memakainya, sementara manusia harus terlebih dahulu mengerjakan dan mengolahnya untuk dapat dipakai memenuhi kebutuhannya. Kebudayaan non-material terdiri dari kata-kata atau bahasa yang dipergunakan setiap individu dalam berkomunikasi atau berinteraksi sosial. Adat istiadat, keyakinan yang mereka anut serta sejumlah kebiasaan juga merupakan hasil kebudayaan. Berbagai disiplin ilmu yang memfasilitasi umat manusia memperoleh jalan yang memudahkan pencapaian tujuan hidup juga merupakan hasil kebudayaan yang non material. Sejumlah hasil pemikiran moyang intelektual dari berbagai ilmu, yang merupakan warisan pemikiran untuk masa sekarang dan yang akan datang hanya dimungkinkan oleh kontruksi budaya masa lalu. Begitu juga segala macam tradisi serta norma-norma sosial yang hingga sekarang masih hidup dan berlaku di sesuatu masyarakat, itu semua merupakan wujud dari kebudayaan nonmaterial. Berjabat tangan, berjalan di sebelah kiri, berciuman ketika bertemu dengan teman lama serta masih banyak lagi contoh yang dapat disebut. Berdasarkan pada definisi dan pembahasan di atas, di bawah ini saya akan menjeleskan beberapa kajian yang berhubungan langsung dengan kehidupan manusia sebagai anggota kelompok sosial, sebagai berikut: E. Perspektif Antropologi dalam Studi Lingkungan Istilah etnoekologi76 yang memusatkan perhatiannya pada hubungan kompleks antara masyarakat dengan lingkungannya kadang kala bersubstitusi dengan antropologi ekologi. Konsep ini menurut Seymor-Smith (1986: 62) menyediakan seperangkat materi pembahasan dari seke-lompok manusia dan kebudayaannya sebagai hasil adaptasi terhadap salah satu kondisi lingkungan yang ada. Pandangan serupa dikemukakan oleh 76



Menurut Smith (1990 : 97) studi etnoekologi menunjukkan, bahwa pengetahuan lokal tentang ekologi sering komplek dan rumit sifatnya, misalnya, kasus di lingkungan ekosistem hutan tropis di Amazon Basin dimana pengelolaan lahan dilakukan secara tradisional dalam mempertahankan ekosistem hutan tropisnya selama ratusan tahun yang lalu. Sistem ini sangat kontradiktif dengan hasil penghancuran yang dilkukan oleh pendatang dalam kasus lingkungan yang sama pula.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



332



antropolog lingkungan bernama Julian Stewards (Stewards dan Murphy, 1997: 43), bahwa antropologi ekologi (cultural ecology) merupakan studi tentang proses adaptasi suatu masyarakat terhadap lingkungannya. Antropologi Ekologi diinspirasi oleh Charles Darwin dengan Synthetic Theory of Evolutionnya (McGuire, 1992: 15). Darwin memandang evolusi berdasarkan pada ide pokok modifikasi dengan pengertian, bahwa pada setiap generasi lebih banyak individu yang diproduksi dari yang mampu bertahan hidup dan sebagai konskuensinya kompetisi diantara individu tersebut meningkat. Darwin lebih lanjut menilai, bahwa hanya individu-individu yang banyak memiliki karakteristik evolusi yang mampu bertahan hidup dan bereproduksi. Dengan demikian, manusia harus berkompetisi dengan manusia atau organisme lainnya untuk menjaga kelangsungan hidupnya (survival of the fittest), termasuk dengan lingkungannya dalam pengertian umum. Bennet (1976: 1) menunjukkan dua arah evolusi organisme dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup (coping mechanism): ketika organisme tersebut mampu mengantisipasi permasalahan lingkungannya (well adapted) dan ketika ia tidak mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya (maladapted). Ada dua perspektif dalam antropologi ekologi, yaitu: aliran determinisme lingkungan (anthropogeographics) dan aliran posibilisme lingkungan (environmental possibilism). Penganut determinsme berusaha mencari sejauh mana budaya manusia dibentuk oleh alamnya. Para penganut aliran ini mengklaim, bahwa keseluruhan variasi budaya manusia tidak pernah lepas dari pewarnaan geografis. Jika, pada kenyataannya, terjadi variasi-variasi budaya manusia yang tidak diwarnai oleh faktor geografis, hal itu dianggap kebetulan saja dan cenderung diwarnai oleh faktor kesukubangsaan. Sementara penganut posibilisme lingkungan (dikutip Chatherine, 1977: 2) beranggapan, bahwa faktor geografis memang sering muncul atau memiliki peran dinamik dalam perkembangan budaya manusia. Akan tetapi, hal itu tidak mempunyai andil dalam membentuk budaya apalagi menentukan karakter atau bentuk suatu budaya. Lingkungan hanya memberi warna pada setiap kebudayaan yang ada di sekitarnya. Budaya Kajang, misalnya, yang menjadikan hutan (borong) sebagai pusaka dari leluhurnya diwarnai oleh timbulnya perspektif lingkungan, khususnya dalam pengelolaan hutan. Perspektif posibilisme lingkungan memunculkan kemungkinan-kemungkinan atau pilihan-pilihan, dimana budaya manusia dapat dikondisikan dan ditentukan melalui sumber kebudayaan tersebut. Aliran posibilisme lingkungan ini mencari hubungan antara kebudayaan dan lingkungannya, sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kompromi antara budaya dan lingkungannya (only culture can determine cultures). Aliran posibilisme merupakan paradigma penting dalam banyak kasus hubungan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



333



manusia dengan lingkungannya dibandingkan dengan determinisme lingkungan, karena kecenderungan berhubungan langsung dengan lingkungan integral dan dialektik. Poerwanto (2000: 79-84) berpendapat, bahwa kedua pendekatan dalam Antropologi Ekologi di atas mencari hubungan antara manusia dengan latar belakang budaya yang tercermin dalam adaptasinya. Secara prinsipil, posibilisme lingkungan menganggap, bahwa perilaku budaya (cultural behavior) merupakan pilihan selektif atau hal itu merupakan hasil adaptasi manusia secara tidak sadar dengan lingkungannya. Manusia dan lingkungan merupakan suatu bentuk kesatuan (unitas) yang tidak terpisahkan. Menurut Poerwanto, penganut posibilisme lingkungan sangat yakin, bahwa lingkungan tertentu sebaiknya jangan hanya dipandang sebagai penyebab utama munculnya sebuah variasi budaya, karena kadangkala variasi tersebut hanya muncul sebagai imitasi atau hasil adaptasi semata. Mereka pada prinsipnya menganggap, bahwa faktor geografis tidak mungkin membentuk kebudayaan manusia, karena fundasinya lebih bersifat fenomena historis, bahkan super-organik77. Dengan kata lain, lingkungan alam tidak sepenuhnya mendorong munculnya pola budaya tertentu. Itulah sebabnya, aliran posibilisme lingkungan mengklaim, bahwa hampir seluruh aktifitas budaya tidak eksklusif dan spesifik terkait dengan kondisi sifat habitat secara geografis. Teori Darwin (Bohannan, 1988: xvii-xvii) kemudian mewarnai teoriteori antropologi, khususnya kepada Spencer. Darwin kemudian dianggap sebagai Philosopher of Evolution, karena dialah ahli pertama yang memperkenalkan konsep superorganic, function, structure dan system. Khusus konsepnya tentang superorganic telah dikembangkan, baik oleh Edward Sapir untuk melihat adanya perbedaan aspek universal dan aspek khusus sebuah bahasa melalui hakikat arti (deep structure) maupun Alfred Louis Kroeber yang mengelaborasi ide-ide tentang peradaban (civilation), area-area budaya (culture areas)78 dan ekologi (ecology) dalam kajiannya (Bohannan, 1988: 143). Morgan dikutip Bohannan (1988: 31-32) mencoba mengetahui masyarakat melalui teknologi dan ekonominya. Ia menggunakan pendekatan dan/atau paradigma materialisme kebudayaan 79 (cultural materealism). Teori 77



78



79



Proses perkembangan superorganik menurut A. L. Kroeber dikutip Koentjaraningrat (1990: 185) adalah proses perkembangan kebudayaan yang seolah-olah melepaskan diri dari evolusi organik dan terbang sendiri membumbung tinggi. Bandingkan pemakaian konsep area-area budaya (culture areas) dalam arkeologi yang membahas tentang penemuan sebuah budaya (cultural invention) dan penyebaran budaya (cultural diffusion). Marvin Harris menggunakan materealisme kebudayaan untuk mengadvokasi penelitian realitas sosialnya. Ia tidak Marksis, karena teorinya tidak bersifat dialektik. Teorinya berlandaskan pada ide pokok tentang pentingnya reproduksi atau kepadatan



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



334



Morgan kemudian dibantah oleh Lowie dalam bukunya The Determinant of Culture dengan mengklaim, bahwa teori evolusi Morgan hanya bersifat epistemologi saja. Lowie juga mengklaim, bahwa perencanaan teori evolusi kekerabatan Morgan tidak dapat dibuktikan, karena menggunakan data yang kurang tepat. Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan periode lahirnya Neo-Evolutionary Theory (Bohannan, 1988: 319-404). Teori ini dipromosikan oleh Julian Steward dengan konsepsi neo-evolution, yang memberi sumbangan dalam perkembangan antropologi tahun 1930 hingga 1940an. Steward, berbeda dengan ahli-ahli klasik dan teori evolusi lainnya, karena ia menekankan analisisnya pada variasi budaya secara individual. Steward menegaskan, bahwa keseluruhan pengalaman manusia tidak pernah dapat direduksi dalam beberapa sifat alamiah dari perkembangan kebudayaan itu sendiri. Steward juga yakin, bahwa pendekatan neo-evolution bahkan tidak pernah berkaitan dengan perkembangan kebudayaan secara universal. Teori Steward terkait dengan urutan variasi sosial dengan tujuan untuk mengembangkan sebuah urutan budaya secara empiris. Teori neo-evolution juga mengacu kepada pola pengembangan budaya secara paralel, yang dianggap sebagai sebuah tipe budaya (cultural types) dengan karakteristik intervaliditas budayanya berikut ini: 1) Elemen budaya kadangkala menjadi sebuah elemen pilihan dari sebuah budaya, 2) Elemen-elemen budaya seperti ini harus diseleksi sesuai dengan problem dan bentuk referensinya dan 3) Elemen budaya pilihan tersebut harus mempunyai hubungan fungsi yang sama dalam setiap tipe kebudayaan. Leslie A. White (dikutip Barfield, 1997: 491) dan Balee (1996) bertentangan dengan ide Steward di atas. Ia dikenal dengan proses evolusi umum (general evolution) dan pendekatan materialistiknya. Ia percaya, bahwa evolusi kebudayaan meningkat sejalan dengan penggunaan energi perkapita. Ia mengatakan, bahwa sejak manusia pertama (hominid man) hingga sekarang secara terus-menerus memanfaatkan banyak energi sebagai hasil dari evolusi kebudayaan mereka. White kemudian menggambarkan sebuah proses evolusi secara universal, dimana keseluruhan kebudayaan di atas bumi berkembang sepanjang jalur tertentu (jalur ukuran penggunaan energi per kapita).



pen-duduk, serta tekanan lingkungan dalam menentukan sistem sosio-kulutral. Menurut Harris, konstanta bio-psikologi sifat manusia (tuntutan ekonomi, hubungan seks, dsb.) menimbulkan empat komponen universal organisasi sosial manusia: a) infrastruktur atau domain produksi dan reproduksi, b) struktur atau domain domestik dan politik ekonomi, c) super-struktur perilaku hubungan sosial, serta d) mental atau superstruktur emik dalam bentuk tujuan, nilai, kepercayaan dsb..



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



335



Dalam perbandingannya, Steward seolah-olah lebih cenderung melihat regularitas antar-budaya, sementara White menggambarkan antropologi sebagai culturology. White kemudian mengajukan rumus proses evolusi C = E *T dimana C = culture (kebudayaan), E = energy (energi) dan T = technology (teknologi). Dengan demikian, White pada dasarnya memberi sumbangan pada determinisme teknologi, dimana teknologi pada akhirnya menentukan cara berfikir masyarakat. Marvin Harris dikutip Barfield (1997: 137) mengatakan, bahwa ciri-ciri teknologi dan ekonomi dari sebuah masyarakat memainkan peranan penting dalam pembentukan karakteristiknya sendiri. Dengan demikian, teori Harris masih berupa pengembangan konsepsi teori materealis White. Harris melakukan penelitian terutama untuk infrastructure di atas structure dan superstructure. Infrastructure menurut Harris terdiri atas alat produksi (mode of production), demografi (demography) dan pola perkawinan (mating patterns). Sedangkan structure mengacu pada ekonomi domestik dan politik ekonomi, serta superstructure terdiri atas rekreasional dan produk-produk estetik dan pelayanan. Harris dikutip Hamilton (2001) memperlihatkan adanya adaptif rasionalisasi materialis dari keseluruhan ciri budaya dengan lingkungannya sendiri. Roy A. Rappaport dikutip Balee (1996: 72) memadukan antara ekologi dan aliran struktural fungsional dalam penelitiannya di New Guinea. Paradigma Rappaport digolongkan sebagai aliran neo-fungsionalism, sebab ia memandang kebudayaan sebagai fungsi dari sebuah ekosistem. Sekalipun tema pokok studi Rappaport ini berfokus pada pengaruh kapasitas dan penggunaan energi, namun tetap dianggap berbeda dengan Steward, White dan Harris. Ia melihat penggunaan energi sebagai salah satu bentuk fungsi. Rappaport dengan studi upacara (ritual), religi (religion) dan ekologi (ecology), yang mengarah pada studi sinkronik dan fungsionalis menjadi sangat terkenal dalam studi ekologi. Rappaport juga tertarik pada aspek infrastruktur sebuah masyarakat. Seperti halnya dengan Steward dan Harris, ia juga menggunakan infrastruktur dalam analisisnya. Rappaport dianggap sebagai ilmuan pertama yang berhasil menggabungkan antara perspektif ekologi dengan sibernetika (cybernetics)80 dalam aliran antropologi fungsionalis.



80



Sibernetika (Cybernetics) adalah sekelompok sub-disiplin yang saling berhubungan untuk mengolah informasi, pengendalian informasi, sistem umpan balik informasi, dan seterusnya. Dalam artian umum, sibernetik adalah sebuah ilmu pengetahuan tentang sistem komunikasi dan informasi, mengenai sistem biologis dan intelegensi buatan (Keesing, 1999: 248-249). Fokus utama sibernetika adalah sistem kontrol, sistem komunikasi dan sistem kontrol umpan balik informasinya (Lincoln, 1981 : 61).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



336



Andrew P. Vayda dikutip Balee (1996: 73) mengatakan, bahwa populasi dari sebuah spesies (termasuk manusia) harus menjadi unit analisis yang ideal, bukan budayanya itu sendiri. Vayda dan Rappaport bermaksud untuk membuat pendekatan baru dalam ekologi yang dikomparasikan dengan biologi. Hal ini merupakan kebalikan dari perinsip ekologi lama, khususnya Julian Steward yang menjadikan kebudayaan sebagai dasar analisisnya. Robert McM. Netting dikutip Balee (1967: 74) menulis tentang pengelolaan agrikultur (agronomy), sistem kekerabatan (kindship system), kepemilikan tanah (land tenure), peperangan (warfare), kesejarahan demografi (historical demography) dan ekologi budaya (cultural ecology). Ia masih tetap memokuskan perhatiannya pada proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Harold Conklin (Netting, 1977: 268) memberi penekanan dalam antropoekologi untuk menunjukkan, bahwa tebas-bakar (slash and burn) dalam kondisi lahan melimpah disertai dengan tingkat kepadatan penduduk yang sedikit tidak dapat dikategorikan sebagai pengrusakan hutan (deforestation). Conklin berusaha mendeskripsikan secara lengkap, luas dan mendetail tentang spesies-spesies tumbuhan dan binatang, keadaan cuaca, topografi dan keadaan tanah, dalam daftar etnosaintifik berdasarkan produk makanan tradisional. Dia membuat deskripsi ekologi standar disertai dengan peta topografi, penggunaan tanah (land use) dan peta batas wilayah desa (village boundaries). Kajian Conklin berfokus pada intergrasi antara etnoekologi dengan ekologi budaya dalam penerapan agroeko-sistem di Hanunoo dan Ifuaga Pilipina. Roy F. Ellen (dikutip Barfield, 1997: 138) meneliti ekologi melalui perilaku subsistensi, ethnobiologi, klasifikasi dan organisasi sosial para pedagang tradisional. Ellen melengkapi penelitian ekologinya di Ka’apor Amazon, Brazil. Ia kemudian diikuti oleh William Balee, yang bekerja dengan pendekatan ekologi sejarah. Balee lebih mengintegrasikan aspek etnoekologi, ekologi budaya, ekologi biologi, ekologi politik dan ekologi regional dalam sebuah kerangka pikir prosesualnya. Selanjutnya, Balee (1996: 72) memaparkan bentuk pengelolaan lingkungan secara tidak sadar (unconscious form of environmental management) di antara suku Ka’apor. Mereka telah menyelamatkan penyupenyu berkaki kuning di lingkungan habitatnya sebelum mengalami kepunahan. Mereka belajar mengeksploitasi lingkungan di sekeliling desanya sebagai tempat penangkapan penyu-penyu tersebut secara bijaksana. Emilio F. Moran seorang ahli antropologi ekologi, pengelolaan sumberdaya dan pengembangan agrikultur. Dia terkenal dengan analisis Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



337



microlevel ecosystemnya jenis-jenis tanah di Amazon (Balee, 1996: 75). Menurutnya etnoekologi menyiapkan pemahaman yang baik tentang bagaimana masyarakat memandang lingkungannya dan bagaimana mereka mengorganisasikan persepsi seperti ini (Moran, 1979: 58-60). Etnoekologi merupakan pengembangan teori Neo-evolusi dengan menghubungkan unsur-unsur bahasa dengan pendekatan evolusi materialisme budaya. Etnoekologi pertama kali diperkenalkan oleh Harold Conklin kemudian diikuti oleh Ward Goodenough dan Charles O. Frake. Harold Conklin antropolog berlatar belakang linguistik didukung penuh oleh Charles O. Frake dalam artikelnya Cultural Ecology and Ethnography. Pendekatan etnoekologi menggunakan konsepsi-konsepsi etnosains81 untuk melukiskan perkembangan kebudayaan sesuai pandangan masyarakat yang ditelitinya (Ahimsa, 1994: 7). Teori ini terimplikasi dalam sebuah asumsi atau proposisi, bahwa lingkungan efektif yaitu lingkungan yang memberikan pengaruh pada perilaku manusia atau cara bertindak, merupakan sifat dari kebudayaan (Ahimsa, 1997: 54). Hal ini berarti, bahwa lingkungan fisik harus diinterpretasi melalui seperangkat pengetahuan yang berisi sistem nilai tertentu. Interpretasi lingkungan seperti ini disebut ethnoenvironment atau cognised environment, yang merupakan bagian dari sistem kebudayaan suatu masyarakat yang terkodifikasi di dalam tuturan mereka. Jadi, etnoekologi cenderung memberikan pemahaman untuk menginterpretasi person dalam variasi aktifitasnya, yang dihubungkan dengan lingkungannya. Untuk memahami sebuah lingkungan yang telah menjadi sebuah sistem budaya dari sebuah masyarakat dan kemudian dikodifikasi ke dalam bahasa, menurut Ahimsa (1994: 7) harus dideskripsikan melalui taksonomitaksonomi dan klasifikasi dalam istilah-istilah lokal, yang berisi statemenstatemen dan ide-ide dari masyarakat tentang lingkungannya. Spardley (1980: 8) menemukan tiga wujud kebudayaan yang sangat berarti dalam studi etnografi lingkungan, yaitu: pengetahuan budaya (cultural knowledge), perilaku budaya (cultural behavior) dan benda-benda budaya (cultural artefacts). Anderson dikutip Honingmann (1973: 188) yang terinspirasi aspek kognitif budaya (cultural knowledge) menyimpulkan, bahwa para etnoekolog yang menekankan perseptual dan deskripsi kognitif dari lingkungan pada kebudayaan tertentu merupakan sebuah strategi 81



Lihat Hari Poerwanto (2000: 32-33), bahwa pendekatan baru dalam etnografi dikenal dengan metode 'ethnoscience'. Sekalipun demikian orang berpendapat, bahwa penggunaan istilah tersebut kurang tepat untuk dua alasan: 1) seolah-olah berbagai bentuk etnografi yang ada bukan sains dan 2) karena istilah itu mengacu pada klasifikasi dan taksonomi suku bangsa dianggap sebagai ilmu pengetahuan (science). Kiranya, label etnosains cukup tepat sebagaimana label yang diberikan kepada etnobotani, etnografi dan sebagainya.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



338



penelitian dengan artian: a) untuk mendeskripsikan apa yang masyarakat ketahui tentang alamnya dan b) untuk menggambarkan bagaimana masyarakat menggunakan pengetahuan ini dalam menghadapi dunianya. Demikian pula Mead (1970: 1) membagi tiga tingkat kebudayaan sebagai berikut: 1) postfiguratif yaitu anak-anak belajar umumnya dari nenek moyang mereka, 2) cofiguratif yaitu keduanya, baik anak-anak maupun dewasa belajar dari kaum sebayanya dan 3) prefiguratif yaitu orang dewasa belajar dari anak-anak mereka. Menurut Mead, bahwa postfiguratiflah yang paling banyak digunakan dalam studi etnoekologi, khususnya pada masyarakat indigenus. E. Kearifan Lokal Kearifan lokal adalah sebuah pola dan cara berfikir dalam setiap tindakan yang didasarkan pada pertimbangan beberapa nilai (values) dan kepentingan (interest), sehingga hasil pemikiran dan tindakan tersebut berisi keadilan (justice) dan pencarian jati diri umat manusia (Gising, 2005: 13). Babcock (dikutip Salle, 1999: 91) mengatakan, bahwa kearifan masyarakat bermuara pada kebijakan lingkungan, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan. Kearifan lokal merupakan kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama. Abu Hamid (2006: 5) mengatakan, bahwa kearifan berarti kebijakan (wisdoms) mengolah alam, agar lingkungan alam tetap lestari dan lokal (local) artinya dimiliki oleh masyarakat lokal atau indigenus (indigenous people). Kearifan ini berisi berbagai macam pengetahuan lokal (Local knowledge) yang digunakan oleh kelompok manusia dalam menyelenggarakan penghidupannya, yang bersifat; a) turun dari pengetahuan budaya lokal yang membentuk kearifan sekelompok individu guna mengelola kehidupannya dari generasi ke generasi, b) mencakup berbagai mekanisme adaptif dan cara-cara untuk bersikap, berperilaku dan bertindak kedalam tatanan sosial, c) merupakan mekanisme dalam pengambilan keputusan, keterampilan lokal, sumber daya lokal, tipe solidaritas sosial, d) terwujud pada kecerdasan lokal yang ditransfer pada daya cipta, inovatif dan kreatifitas untuk kemandirian lokal dan e) mengambil sukma dan semangat dari nilainilai budaya yang telah disepakati secara sosial dan suatu kondisi matang dan mantap yang terjadi dalam masyarakat tertentu, biasanya dimiliki oleh individu-individu yang mengambil alih sukma masyarakatnya. Arzaki (2001: 16) menegaskan kearifan tradisional atau kearifan budaya lokal adalah semua keahlian-keahlian dan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tradisional untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungannya dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



339



Kearifan budaya menurutnya merupakan suatu terminologi yang diberikan untuk keseluruhan nilai-nilai dan sistem kehidupan masyarakat leluhur di masa lampau. Nilai-nilai tersebut secara signifikan masih hidup dan memberi roh dan adaptif di era kekinian, asalkan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat secara: 1) teguq (kuat dan utuh) artinya masyarakat melihat budayanya secara holistis, 2) bender atau lomboq (lurus dan jujur) artinya tingkat saling percaya (trust) masyarakatnya masih ada, 3) patut (benar) artinya kebenaran masih merupakan nilai idial dalam masyarakat, 4) tuhu (sungguh-sungguh) artinya masyarakat dengan sungguh-sungguh mengaplikasikan kearifan-kearifan lokalnya dalam kehidupan mereka dan 5) trasna (penuh rasa kasih atau sayang) artinya nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas sosial masyarakatnya masih tinggi. Arzaki sangat yakin, bahwa sesungguhnya kearifan tradisional memang sudah melekat dalam masyarakat adat Sasak pada khususnya dan masyarakat adat lain pada umumnya. Ini terbukti dengan motto patut (kesesuaian), patuh (ketaatan dan kesetiaan), serta pacu (kesungguhan) dalam membangun Nusa Tenggara Barat (pulau Lombok). Dalam Peraturan Pemerintah No. 41/1999 (pasal 51) tentang kehutanan juga disebutkan, bahwa kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia merupakan suatu bentuk kekayaan budaya, baik sebagai suatu bentuk seni dan/atau teknologi maupun nilainilai yang telah menjadi fakta sosial. Kearifan lokal tersebut digunakan dalam peningkatan dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia dan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengakuan pemerintah tentang kearifan lokal atau tradisional juga ditemukan dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 tahun 2004 (pasal 3 huruf c) tentang Perencanaan Kehutanan, bahwa kearifan tradisional merupakan kekayaan kultural, baik berupa seni dan/atau teknologi maupun nilai-nilai yang telah menjadi tradisi atau budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, kearifan lokal adalah kumpulan dari sistem pengetahuan dan pengalaman sekelompok manusia dalam kurun waktu yang cukup lama. Kearifan lokal adalah cara berfikir yang bersumber dari sistem pengetahuan lokal (local knowledge system)82, serta berakar dari kebudayaan sekelompok manusia dalam melakukan sebuah tindakan berdasarkan nilai, norma dan aturan, yang disepakati bersama oleh 82



Lihat Ellen (2000: 2) tentang sistem pengetahuan lokal (local knowledge system). Istilahistilah seperti; sistem pengetahuan indigenus (indigenous knowledge) disingkat IK, sistem pengetahuan teknik indigenus (indigenous technical knowledge) disingkat ITK dan sistem pengetahuan lingkungan indigenus (indi-genous environmental atau ecological knowledge) disingkat TEK tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan, karena sering digunakan secara bersubstitusi.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



340



sekelompok manusia. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan kebijakan (wisdoms) dalam bentuk keahlian untuk mengelola lingkungan alam dan/atau sumberdaya alam yang dimiliki oleh sekelompok manusia untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis. Jadi, tidak mengherankan bila kearifan lokal sering dianggap sebagai sebuah bentuk kekayaan kultural dalam wujud seni bersama dengan teknologi tradisional yang telah mengakar menjadi tradisi masyarakat setempat. Kearifan lokal lebih luas jangkauannya dibandingkan dengan bentuk kearifan-kearifan lainnya, termasuk kearifan ekologis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kearifan ekologis merupakan bahagian dari kearifan lokal yang berisi tentang kebijakan-kebijakan pengelolaan lingkungan. Kearifan ekologis bersumber dari sistem pengetahuan lokal, yang berkenaan dengan sistem pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam yang ada di sekitar manusia. Tidak mengherankan bila beberapa ahli cenderung menggunakan kedua bentuk kearifan tersebut secara bergantian (bersubsitusi). F. Simbo-Simbol Kebudayaan Ferdinand De Saussure (1988: 73-95) membagi tuturan ke dalam tiga tingkatan, yaitu: 1) langage yang memiliki segi individual dan sosial, 2) langue yang direkam individu secara pasif dan 3) parole yaitu suatu tindak individual terdiri atas; a) kombinasi-kombinasi kode bahasa yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya, b) mekanisme psikisfisik yang memungkinkan penutur untuk mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. Ferdinand de Saussure (1988: 11-16) dalam analisisnya menggunakan tiga hal yaitu sign, signifie dan significant. Signifie (penanda) merupakan bagian lain dari bahasa berupa konsep. Saussure sendiri tidak merinci lebih jauh tentang apa yang disebutnya konsep, kecuali menyatakan bahwa konsep itu lebih abstrak daripada citra akustis sign (tanda). Konsep bersifat pembeda semata-mata dan secara langsung bergantung pada citra bunyi yang berkaitan. Itulah sebabnya menurut Saussure, tanda bahasa (sign) mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkannya yaitu signifie (yang menandai atau petanda) dan citra akustis itu significant (yang ditandai). Ogden & Richar (1946: 24) menawarkan konsep segitiga semantik (semantic triangle) dalam menganalisis makna sebuah kata, seperti berikut ini; Bagan Segitiga Semantik Ogden Konsep (signifie)



Sintagmatis



Semantis



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



341



Simbol (sign)



Paradigmatis



Referensi (significant)



Gambar 1 : Analisis Semantik Menurut Ogden Diagram di atas memperlihatkan bagaimana hubungan antara simbol (sign) dengan konsep (signifie) sebuah kata dan yang menjadi acuannya (significant). Garis putus-putus yang menghubungkan antara simbol (sign) dengan referensi (significant) menunjukkan hubungan paradigmatik yaitu hubungan substitusi antara satu uint dengan yang lainnya. Dengan demikian, interpretasi sebuah simbol (sign) harus melalui konsep (thought atau concept) terlebih dahulu sebelum mendapatkan arti (referent atau significant). Hubungan antara bentuk (sign) dengan konsep (signifie) bersifat sintagmatik yaitu hubungan linear antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu. Artinya hubungan tersebut harus diwujudkan dalam sebuah sintagmen (keterwakilan sebuah tagmen). Hubungan antara konsep (signifie) dan referensi (significant) bersifat semantis (pemaknaan) artinya ada hubungan langsung antara konsep dengan yang diacunya. Seekor kuda, misalnya, disimbolkan dengan gambar binatang berkaki empat tidak bertanduk, menyusui, jinak, meringkik, berkuku tunggal dan sebagainya. Simbol tersebut direkam ke dalam memori konsep (mental image) yang dapat dipanggil kembali. Ketika mendengar kata kuda, misalnya, konsep tersebut membentuk sebuah pengertian ‘binatang berkaki empat, tidak bertanduk, menyusui, jinak, meringkik dan berkuku tunggal’. Tidak akan pernah terbayang seekor anjing, karena binatang tersebut memiliki konsep tersendiri. Definisi A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku diturunkan melalui simbol merupakan salah satu bukti, bahwa kebudayaan adalah suatu sistem yang dibangun dari komponen simbolik. Simbol-simbol budaya tersebut harus dimaknai melalui interpretasi budaya (cultural interpretation). J. J. Honigmann dikutip Poerwanto (2000: 53) seperti halnya dengan James Spradley (1980: 5) memandang kebudayaan dalam tiga wujud yaitu: sistem budaya (nilai, gagasan-gagasan dan norma-norma), sistem sosial (kompleks aktifitas dan tindakan berpola manusia dalam masyarakat) dan artefak atau kebudayaan fisik. Ralph Linton (1945: 30-31) membagi dua wujud kebudayaan tersebut menjadi kebudayaan tampak atau materil (overt culture) atau apa yang disebut Spradley (1980: 8) kebudayaan lahiriah (explicit culture) dan kebudayaan terselubung atau fisik (covert culture) atau kebudayaan batiniah (tacit culture) menurut Spradley. Honigmann melihat kebudayaan tidak tampak (tacit culture) sebagai suatu ideas yang memerlukan kebudayaan tampak (explicit culture) berupa pola tingkah laku Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



342



(patterns of cultural behavior) dan hasil tindakan (cultural artifacts) untuk mengangkatnya kepermukaan. Kebudayaan tampak tersebut berfungsi sebagai tanda (sign) dari simbol kebudayaan tidak tampak. Metode analisis yang memandang kebudayaan sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi sangat membantu dalam memahami keterkaitan setiap unsur-unsur kecil (covert culture) dalam kebudayaan di atas. Konsep patterns of culture Ruth Fulton Benediet dikutip Bohannan (1988: 171-175 dan Poerwanto, 2000: 55) memperlihatkan, bahwa kebudayaan manusia jangan hanya sekedar dilihat sebagai himpunan dari unsur-unsur yang terpisah-pisah, tetapi sebagai suatu kompleks jaringan yang mempunyai arti, watak dan jiwa. Oleh karena itu, tugas seorang ahli antropologi harus mampu menyelami jiwa dari suatu kebudayaan dengan memperhatikan gagasan-gagasan, perasaan-perasaan dan emosi-emosi para individu suatu masyarakat sebagai pendukungnya. Roger M. Keesing (1999) dan Goodenough (1970) memandang wujud kebudayaan dari R. Linton (1945) sebagai pola untuk dan ‘pola dari dalam perilaku sebuah masyarakat. Pola perilaku pertama terwujud dalam tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pola kedua mengacu pada gagasan atau sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Kebudayaan sebagai suatu sistem simbol pemaknaannya dapat dilakukan melalui dua sisi atau aspek. Pertama yaitu pemahaman aspek kognitif, yang di dalamnya tercakup sistem kepercayaan atau sistem pengetahuan yang memungkinkan para penganut suatu kebudayaan mampu melihat dunianya (world view), bahkan dirinya sendiri sekalipun sebagai pendukung kebudayaannya. Dengan demikian, aspek kognitif menentukan orientasi etos kebudayaan83 sekelompok orang terhadap tempat hidupnya. Selain aspek kognitif tersebut juga terdapat aspek kuantum kebudayaan (overt culture) dalam bentuk evaluatif dari sistem pengetahuan dan sistem kepercayaan tertentu. Aspek tersebut ditransformasikan menjadi 83



Etos kebudayaan (cultural ethos) adalah sifat, nilai dan adat istiadat khas yang memberi watak kepada kebudayaan suatu masyarakat. Etos berarti pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial. Etos sinonimi dengan konfigurasi (patterns culture) yang digunakan R. F. Benediet (Koentjaraningrat, 2003 : 57). Menurut Abu Hamid (2003), etos adalah sifat, karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetik, serta suasana hati seseorang atau masyarakat. Etos berada pada lingkaran etika dan logika yang bertumpu pada nilai-nilai dalam hubungannya dengan pola tingkah laku dan rencana manusia. Etos memberi warna dan penilaian baik atau buruk pekerjaan. Etos kerja bisa diartikan sebagai suatu sikap dan kehendak secara sukarela, tanpa dipaksa dan didorong oleh adanya keuntungan dan harapan. Etos berkaitan dengan moralitas, meskipun tidak identik. Sikap moral mengarah pada orientasi terhadap norma-norma yang harus ditaati, sedang etos kerja adalah sikap kehendak yang diperlukan untuk kegiatan tertentu.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



343



nilai-nilai, yang pada gilirannya akan terkonfigurasi dan mengkristal menjadi sistem nilai (norms). Sistem nilai inilah yang menentukan sikap yang akan diambil atau diputuskan oleh seseorang terhadap perihal kehidupannya menurut sistem makna atau sistem kognitif yang dianutnya. White (dikutip oleh Bohannan, 1988: 335) mengatakan, bahwa sejak dunia ini ada, maka sejak itu pula kehidupan manusia dan kebudayaan mulai ada. Kebudayaan sendiri sangat tergantung pada simbol-simbol, karena kebudayaan tidak dapat eksis tanpa kemampuan manusia sebagai pengguna untuk menyimbolkannya. Salah satu wujud dari kebudayaan adalah perilaku budaya (cultural behavior) yang dijewantahkan melalui perilaku simbolik (simbolic behavior) yang dimiliki manusia. Jadi, kebudayaan dan simbol adalah sifatnya mutualisme. Oleh karena itu, keseluruhan tingkah laku budaya manusia tercermin di dalam penggunaan simbol-simbol. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keseluruhan peradaban di muka bumi ini juga dihasilkan dan timbul melalui penggunanaan simbol-simbol. Menurut White lebih lanjut, bahwa simbol adalah sebuah fenomena yang mengandung pengertian yang diberikan oleh sekelompok manusia yang membutuhkannya. Jadi, pemaknaan simbol-simbol budaya adalah konvensional sifatnya. Tanpa simbol-simbol tersebut manusia dengan sendirinya tidak dapat disebut sebagai binatang berfikir (the thinking animals). Bahkan menurut White, bahwa hanya simbollah yang mentransformasikan nenek moyang kita menjadi manusia. Adalah simbol pula yang mentransformasi seorang anak homosapien menjadi manusia (human being). Seorang anak tuna rungu, misalnya, yang tumbuh dengan tanpa menggunakan simbol-simbol adalah bukan manusia, karena tidak mampu mengkomunikasikan dirinya dengan orang lain. Menurut White (Poerwanto, 2000: 60), bahwa pangkal dari semua tingkah laku manusia tercermin pada simbol-simbol yang tertuang dalam seni, religi dan kekuasaan dan semua aspek simbolik tadi tampak dalam bahasa. Sementara itu, kebudayaan juga merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas. Berdasarkan pada kerangka pemikiran tersebut di atas jelas, bahwa kebudayaan sebagai suatu sistem yang melingkupi kehidupan manusia pendukungnya. Kebudayaan merupakan suatu faktor yang menjadi dasar tingkah laku manusia, baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya. Oleh karena itu, mutu suatu lingkungan fisik atau lingkungan sosial, pada dasarnya, mencerminkan kualitas kehidupan sosial masyarakat para pendukung kebudayaan tersebut. Pandangan C. Geertz (1992a: 3), bahwa kebudayaan sebagai suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbolIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



344



simbol, benar-benar membuktikan, bahwa kebudayaan adalah sebuah sistem simbol. White (dikutip oleh Bohannan, 1988: 333) berpendapat, bahwa semua perilaku manusia selalu dimulai dengan penggunaan lambang. Sebuah tanda salib, misalnya, mengingatkan para pemeluk agama nasrani, bahwa Tuhan Yesus telah melakukan perjuangan dan mengalami penyiksaan berabad-abad lamanya. Deretan tanduk kerbau pada tiang depan sebuah rumah tongkonan di Tanah Toraja melambangkan prestise dan status sosial masyarakat Tongkonan yang pernah melakukan pesta adat kematian (rambu solo’). Tingkatan dan susunan atap bubungan rumah (timpa’ laja) orang Bugis melambangkan status sosial yang dimiliki pemilik rumah yang bersangkutan. Tujuh tingkat atap bubungan melambangkan, bahwa pemilik rumah berasal dari darah bangsawan penuh (maddara takku atau tomatinno’). Bentuk tanduk kerbau yang menyangga bulan dan bintang pada anjungan rumah orang Kajang menyimbolkan keteguhan hati, kekuatan, kejujuran dan kerendahan hati. Gambar bulan dan bintang menyimbolkan perlunya keselarasan antara kehidupan di dunia dan akhirat. Aspek simbolis yang terpenting dari kebudayaan adalah bahasa, yang merupakan refleksi objek kebendaan yang dilukiskan melalui, bunyi, fonem, kata-kata dan kalimat. Stanley Salthe (1985: 402) menegaskan, bahwa bahasa simbolis adalah fundamen tempat kebudayaan manusia dibangun. Dengan demikian, pranata-pranata kebudayaan (struktur politik, agama, kesenian, organisasi ekonomi) tidak mungkin ada tanpa lambang-lambang. Keseluruhan komponen-komponen budaya --- sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai --- tidak dapat diketahui tanpa adanya simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut dapat berupa bahasa lisan (oral language), gerak-isyarat (gesture language) dan hal-hal lain yang mempunyai arti. Edward Sapir (1931: 578-584) mengatakan, bahwa bahasa merupakan salah satu wahana manusia untuk menyampaikan gagasan, emosi dan keinginannya dalam bentuk sistem lambang yang diciptakan secara sukarela (arbitrair) dan persepakatan (convention). Melalui bahasa manusia mampu meneruskan kebudayaannya dari generasi ke generasi (enculturation). Simbol berduka bagi orang Jakarta, misalnya, disepakati melalui pengibaran bendera warna kuning, orang Bugis dengan bendera putih, suku lain dengan warna hitam atau mungkin dengan warna merah. Hal ini merupakan suatu bentuk enkulturasi simbol berduka dari nenek moyang mereka. Dengan demikian, jarang sekali terjadi orang Jakarta mengibarkan bendera putih atau orang Bugis dengan bendera kuning, ketika mereka sedang berduka. Pemilihan warna bendera duka tersebut tentu saja tidak dengan semena-mena, melainkan lebih mengakar pada filosofi kelompok etnis yang bersangkutan. Orang Bugis, misalnya, yang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



345



menganggap kematian seorang manusia adalah kembali kefitrahnya yang suci, karena umumnya dikafani ketika meninggal, juga merupakan salah satu bukti hubungan antara simbol dengan falsafah hidup (way of life) orang Bugis tersebut. Simbol atau simbolisme pada prinsipnya merupakan suatu bentuk ciptaan manusia secara universal, sehingga simbol dapat dikatakan sebagai cuplikan dari kehidupan sosial mereka (Firth, 1989: 15 dan 50). Firth lebih lanjut membagi simbol ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) extrinsic atau arbitrary symbols yang digunakan di dalam dunia ilmu pengetahuan. 2) intrinsic atau descriptive symbols adalah simbol yang digunakan di dalam seni dan agama, serta 3) insight symbols yang merupakan bagian penting dari poin dua, yang tidak hanya merepresentasi karakter hubungan seni dan agama dengan manusia, tetapi juga mampu memberi tuntunan untuk mengetahui hubungan tersebut, seperti dalam karya sastra (apresiasi) dan agama (fanatisme). Istilah simbol atau simbolisme telah menjadi subjek dalam berbagai kegunaan dan interpretasi di dalam antropologi, dimana para antropolog disatukan dalam sebuah kajian khusus yaitu semiotika. Secara etimologis semiotika diturunkan dari kata bahasa Yunani semainen artinya ‘bermakna atau berarti’ atau dari kata semaino artinya ‘tanda, marka dan simbol’. Ada beberapa cabang antropologi yang menaruh perhatiannya dalam analisis hubungan antara arti (semantik) dengan kebudayaan (antropologi). Antropologi simbolisme, misalnya, yang diprakarsai oleh kaum strukturalis Levi-Strauss, antropolgi kognitif oleh D. Schneider, antropologi interpretatif oleh Clifford Geertz dan antropologi sosial oleh Victor W Turner. Studi kontemporer simbolisme dalam antropologi juga melibatkan berbagai disiplin, termasuk linguistik dan sosiolinguistik, musikologi yang dipengaruhi oleh Goffman (1967), serta studi folklor, kritik sastra dan semiotik atau semiologi. Perhatian pendekatan-pendekatan tersebut umumnya berkenaan dengan arti (meaning) dan komunikasi (communications). Victor W. Turner dan M. Douglas (1966), misalnya yang merintis studi simbol dalam tindakan mengacu pada motivasi simbol (symbol) dan (sign). Pendekatan seperti ini terfokus pada hubungan alamiah antara tanda (signs), simbol (symbols), tindak dunia (world act) dan pengalaman (experience). Oleh karena, Turner lebih memandang simbol sebagai bagian dari proses sosial, sehingga ia cenderung membedakan antara tanda (sign) dan simbol (symbol). Keduanya menurut Turner sebelumnya mengacu pada hubungan indeksikal dengan dunia, kemudian mengacu pada hubungan ikonik dengan kedalaman pengalaman (inner experience). Perbedaan antara indeks dengan ikon selanjutnya digunakan oleh Turner sebagai ekuivalen dengan perbedaan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



346



antara metonimi (metonimy) dan metafora, dimana sebelumnya berupa substitusi yang simpel dan kemudian menjadi sebuah representasi yang kompleks. Meskipun demikian penggunaan istilah indeks, ikon, metonimi dan metafor bervariasi dari satu ahli dengan ahli lainnya, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kebingungan, jika kegunaan khusus tidak ditentukan sebelumnya. Perbedaan antara sign dan symbol merupakan suatu bentuk kontroversi. Dalam istilah C. S. Peirce (1980), yang digunakan dalam semiotika 84, indeks, ikon dan simbol adalah mencakup sign, sementara simbol dapat dibedakan dari yang lainnya melalui fakta, bahwa hubungan antara signifier dan signified murni sifatnya mana suka. Meskipun demikian, Turner membedakan sign dan symbol dalam istilah indeksikal dan hubungan ikonik: 'we master the world through signs ... we master ... ourselves through symbols'. Salah satu karakter kunci simbol menurut Turner adalah sifat motivated atau hubungannya dengan alam dan arti emotif, dengan artian tidak manasuka. D. Sperber (1975) mengkritik kriteria simbol Turner yang dikaitkan dengan motivation sebagai salah satu ciri pembeda simbol --- mengusulkan penghapusan pemisahan simbol --- hanya memperkuat proses kognitif dan interpretatif yang dibentuk dari berbagai hubungan sign. Para penganut Struktural Fungsionalisme menyadari perlunya studi simbolisme, yang hingga saat ini masih tetap mendominasi pendekatan Antropologi Inggris dan Amerika. Geertz, misalnya, mengkritik konsep ceberal savage yaitu analisis simbol menggunakan closed structure oleh LeviStrauss dengan menggantikannya melalui pendekatan cryptological text. Pendekatan ini dibangun melalui materi-materi sosial (social materials) yang terkandung di dalam sebuah teks. Geertz (1992b) kemudian mengusulkan pendekatan tekstual dan interpretatif (thick description) dalam sebuah budaya sebagai hasil dokumentasi (acted document). Geertz yakin, bahwa arti (meaning) diturunkan dari sebuah maksud (purpose) dan bukan dari sebuah struktur secara formal (formal structures) seperti yang diusulkan oleh LeviStrauss, tetapi lebih pada hubungan internal antara elemen simbol dalam struktur itu sendiri melalui logika formal. Sahlins (1981) kemudian menambahkan, bahwa banyak aliran antropologi yang menaruh perhatian pada hubungan antara tanda (signs) tanpa memperhatikan terlebih dahulu 84



Beberapa istilah dalam semiotika yang perlu dibedakan, yaitu: indeks mengacu pada hubungan ekstensial antara signifier dengan signified (asap sebagai indeks dari api), ikon mengacu pada hubungan kemiripan antara signifier dengan signified (dalam onomatopea bunyi kokkotek untuk ayam betina), tanda adalah guratan yang tampak pada permukaan bersifat konvensional (lampu merah, hijau dan kuning pada lampu trafficlight), dan simbol mengacu pada konsep yang melatari tanda yang sifatnya abstrak, misalnya harus berhenti ketika lampu merah menyala pada trafficlight.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



347



keseluruhan konstitusi pilihan dari aturan simbol dan arti. Dia juga mengatakan, bahwa dalam masyarakat borjois sistem ekonomi tidak bisa lari dari determinisme simbol yang kadang kala menjadi tuntutan. Tentu saja simbolisme ekonomi merupakan determinisme secara struktur terhadap masalah sosial ekonomi. Sahlins juga menganalisis masalah hubungan antara simbolisme dalam dunia modern dengan masyarakat tradisional. Menurutnya, bahwa tidak semua kebudayaan mempunyai kesamaan urutan domain semiotik. Yang paling dominan bagi dunia kita saat ini adalah jaringan yang membentuk ide dan oposisi antara alam dan budaya (nature/culture), pekerjaan dan peran (work/play), ekspresif dan praktis (expressive/practical) dan sebagainya, berdasarkan pada aplikasi simbol yang kita miliki di dalam sistem produksi. D. Schneider (1970) mengatakan, bahwa studi kebudayaan sebagai sebuah totalitas sistem arti dan simbol lebih baik daripada membahas simbol secara tersendiri. Schneider mengembangkan disiplin ilmunya dari pendekatan sosiologi ke studi simbolisme. Ia mengatakan, bahwa sistem simbol tidak sepatutnya dipisahkan dari aspek-aspek yang berhubungan dengan organisasi sosial, melainkan harus dipelajari secara holistis. Studi-studi simbol di atas sangat bermanfaat dalam menganalisis isi PrK yang mengandung tiga unsur yaitu tanda (sign), simbol (sinified) dan arti (siginifiant). Isi pasang anjo boronga paru-parunna linowa, misalnya, mengandung beberapa pengertian. Salah satu diantaranya adalah hutan menyimbolkan vitalitas fungsi paru-paru sama dengan vitalitas paru-paru bagi seorang manusia. Seseorang yang tidak mempunyai paru-paru mustahil mampu bertahan hidup, karena paru-paru merupakan pusat pruduksi dan pengelolahan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia. Secara alamiah hutan juga mampu memproduksi oksigen melalui proses potosintesis ekosistem tumbuhan di dalamnya. Menurut penelitian Departemen Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia pada tahun 1985, bahwa setiap pohon mampu menyuplai kebutuhan oksigen untuk tiga orang. Demikian pula dalam Konferensi Internasional Tingkat Tinggi tentang Pemanasan Global di Bali menghasilkan suatu temuan spektakuler, bahwa terjadinya pemanasan global diakibatkan oleh kurangnya pepohonan sebagai produsen oksigen. Temuan tersebut menggambarkan bagaimana keterkaitan antara mahluk hidup, termasuk manusia dengan ekosistem pohon dan tumbuhan. Manusia dalam sistem penapasannya melepaskan ion-ion CO2 yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan dalam melangsungkan kehidupannya. Sementara pepohonan melepaskan unsur-unsur O2 dalam proses fotosintesisnya yang sangat dibutuhkan manusia. Logika forma dalam temuan ini adalah manusia tanpa ekosistem lingkungan tidak mungkin Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



348



hidup, karena tidak ada produksi O2. Sebaliknya tumbuhan tanpa ekosistem mahluk hidup sebagai sumber CO2 juga tidak mungkin terjadi. Akibatnya menurut temuan ini, bahwa suatu saat ketika sudah tidak ada tumbuhan, suhu udara di muka bumi ini akan meningkat yang menyebabkan ekosistem hutan menjadi hangus dan layu. Fotosintesis pepohonan juga ikut terganggu, sehingga poduksi oksigen menjadi menurun. Akibat akhir dari menurut temuan ini adalah terjadinya kiamat, yang menghilangkan semua bentuk kehidupan di muka bumi ini. Capra (1988: 28 dan 1997: 57) bahkan melihat hubungan manusia dengan alamnya membentuk sebuah jaringan kehidupan menyerupai sarang laba-laba (the web of life). Menurutnya ego dalam menempuh hidupnya tidak pernah bisa lepas dari lingkungan, masyarakat, alam, khalik dan sesama, yang juga menjadi anggota habitat di dalam sumber daya alam yang sama. Oleh karena itu, demikian Capra, sistem interaksi seluruh pendukung eksosistem yang ada berlangsung secara berlapis, seperti berikut ini: Awareness Reproduction



Ecology Core



Ecology



Production Gambar 2 : Lapisan Ekologi dikutip dari Carolyn Merchant Melek lingkungan (ecoliteracy) menurut Capra (2002) adalah sebuah konsep yang dapat digunakan dalam hal: 1) membangun komunitas berkelanjutan, 2) membuat eco-design (perancangan bercorak ekologi) dan 3) membentuk komunitas berkelanjutan. Kesadaran lingkungan (ecological awarenes) dapat berkembang menjadi kebijakan lingkungan (wisdom of nature atau environmental wisdoms). Ekofeminisme merupakan pengembangan prinsip ekologi interdisipliner ke dalam studi gender. Ekofiminisme mensejajarkan lingkungan dengan manusia, khususnya perempuan. G. Konflik Pengelolaan Sumber Daya (Hutan) 1. Eksistensi Konflik Hutan merupakan salah satu sumber daya alam non-migas yang mempunyai nilai jual sangat tinggi, selain sektor migas. Tidak mengherankan,



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



349



jika sektor tersebut sejak dari dahulu hingga saat ini selalu merupakan pernik-pernik permasalahan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tidak sedikit pula konflik kepentingan (interst conflicts) yang terjadi di dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Dengan demikian, tidak sedikit pula pluralisme hukum (legal pluralism) dalam melindungi kepentingan masing-masing pihak. Pihak masyarakat adat atau orang-orang yang berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya hutan (forest management resources), misalnya, menggunakan perspektif hukum yang menguntungkan (shopping forums) bagi dirinya, sementara pihak pemerintah menggunakan perspektif hukum lainnya. Sebagai konsekuensi logisnya, supremasi hukum tidak dapat ditegakkan secara adil dan konsekuen. Salah satu pihak cenderung untuk menggunakan hukumnya sendiri (individual legal atau legal personalities), bahkan cenderung membuat hukum sendiri (artificial laws), yang ujung-ujungnya memicu timbulnya konflik vertikal (masyarakat melawan pemerintah) dan konflik horizontal (masyarakat berlawanan dengan masyarakat atau oknum-oknum lainnya). Hampir setiap hari, baik melalui kenyataan langsung (kasus Karampuang menangis, Kajang berdarah dan Sidrap Teraniaya) maupun melalui media massa dapat disaksikan, dibaca dan didengar terjadinya kasus-kasus penyimpangan hukum (illegal state atau illegal laws) dari pihak-pihak tertentu dalam rangka menguasai sumber daya alam yang ada. Tidak sedikit pula dari penyalahgunaan hukum dan wewenang tersebut menyebabkan terjadinya kekerasan dan pertumpahan darah, seperti; Papua Bergejolak, NTB Kisruh, Kajang Berdarah, Papua Menangis, Sidrap Teraniaya, Sasak Bergejolak dan sebagainya, yang dapat dijadikan sebagai contoh kasus terjadinya pemarginalan dan penganiayaan, yang berujung pada kematian (korban jiwa). 2. Penyebab-Penyebab Konflik Raplinton (1965) mengemukan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu pemenuhan rasa lapar, kebutuhan akan seks dan rasa keamanan, yang berpotensi memunculkan pola perilaku tertentu. Keseluruhan kebutuhan dasar (basic needs) manusia tersebut dapat dikaitkan dengan sistem perkembangan manusia dalam psikoanalisis Sigmund Freud dikutip Baal (1988: 32 - 40) yaitu id (dorongan insting), ego (kendali-kendali) dan superego (pilihan-pilihan). Baik Linton maupun Freud sama-sama yakin, bahwa timbulnya konflik sangat erat kaitannya dengan tingkat pemenuhan kebutuhan manusia tersebut. Menurut Linton, bahwa konflik bisa timbul karena adanya perbedaan antara harapan (expecting) dengan kenyataan (reality) atau kesenjangan antara kondisi ideal (ideal condition) dengan realita (reality). Sedangkan Freud dikutip Pals (2001: 91-148) mengatakan, bahwa apabila ketiga kebutuhan di atas tidak terpenuhi akan menimbulkan depresi berat Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



350



(neurosis) yang berujung pada konflik dalam diri seorang manusia (inner conflict) atau konflik dengan orang lain (external conflict). Konflik dan manusia merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Rauf (2002) mengatakan, bahwa konflik adalah sebuah fenomena sosial yang selalu ditemukan di dalam setiap masyarakat yang ada. Konflik tidak akan pernah bisa dihilangkan, karena setiap hubungan sosial mempunyai potensi untuk menghasilkan konflik. Dahrendorf (1959: 120) mengemukakan, bahwa konflik tidak muncul dari mana-mana (sekalipun itu dimunculkan), karena alamiah sifatnya, sehingga ketika ada kehidupan di situ pasti ada pula konflik. Simmel dikutip Coser (1956: 59) juga menambahkan, bahwa konflik pada prinsipnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh impuls konflik (conflict impulses), tetapi muncul karena adanya hubungan antara subjek (ego) dan objek (orang lain). 3. Kecenderungan Berkonflik Akhir-akhir ini, terutama setelah turunnya rezim Orde Baru dan disusul dengan merebaknya isu reformasi, perjuangan masyarakat atau orangorang yang berkepentingan dengan sumber daya alam (antara masyarakat lokal dan pengusaha hutan) yang terbungkus dalam konflik horizontal (antara sesama masyarakat Lokal) dan yang terbungkus dalam konflik vertikal (antara masyarakat lokal dengan pihak pemerintah) banyak bermunculan. Rauf (2002) menyatakan, bahwa semakin demokratis sebuah negara, semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik di dalam masyarakat yang bersangkutan karena kebebasan berpikir, berpendapat, berkumpul dan berserikat menghasilkan konflik yang meluas di dalam masyarakat. Secara umum ada banyak ahli yang memandang konflik sebagai hasil produk sosial. Lewis A. Coser (1956), misalnya, melihat konflik sebagai fungsionalism. Sebagai penganut fungsionalis, ia malah tidak memberikan banyak perhatian pada peranan konflik (role of conflicts) dan fenomena berkenaan (related phenomenon) seperti; pengkhianatan (dissent) dan penyimpangan (deviance) yang terlalu gampang dipandang sebagai pathological atau irrational terhadap sebuah sistem. Menurutnya, bahwa tingkat fleksibilitas atau rigiditas dalam sebuah sistem sosial menentukan cara mana sebuah konflik dinyatakan. Dalam konteks ini, Coser memberikan penekanan teori konfliknya, sebagai berikut: 1) Penyebab terjadinya konflik adalah tentang kelangkaan sumber daya, 2) Intensitas dan kekerasan konflik sangat berkaitan dengan pencapaian tujuan, realisasi isu-isu, akses untuk kelembagaan untuk menyerap atau melakukan konflik dan kedekatan kelompok; semakin dekat semakin kuat dan 3) Durasi konflik ada kaitannya dengan skop tujuan dan tingkat konsensus. 4. Ancangan Penyelesaian Masalah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



351



1) Sumber-Sumber Konflik Konflik pada perinsipnya ibarat menyimpan bara dalam sekam. Konflik yang kecil kadang-kadang bisa menjadi besar apabila tidak dengan segera ditangani atau diredam. Menurut Coser (1957: 49) konflik dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu konflik yang realistis (realistic conflicts) yang muncul dari frustrasi tuntutan tertentu, dimana hubungan dan bentuk perkiraan dari pencapaian tujuan diarahkan pada objek frustrasi. Konflik yang tidak realistis (unrealistic conflicts) yaitu interaksi yang melibatkan dua orang atau lebih. Konflik seperti ini tidak disebabkan oleh perseteruan akhir dari salah satu pihak. Kedua bentuk konflik tersebut tidak selamanya bernilai negatif. Parson menggambarkan, bahwa kelas-kelas konflik adalah penyakit dalam tipe masyarakat industri kita saat ini. Kebanyakan ahli konflik, sebaliknya, justru menganggap konflik sebagai sesuatu yang mampu membawa perubahan. Bahkan, dalam artikel Simmel dikutip Coser (1956: 31) dikatakan, bahwa: Groups require disharmony as well as harmony, dissociation as well as association; and conflict within the are by no means altogether disruptive factors. Simmel lebih lanjut juga mengatakan, bahwa both positive and negative factors build group relation. Conflict as well as cooperation has social finction. Far from being necessarily dysfunctional, a certain degree of conflict is an essential element in group fromation and the persistence of group life. Dari kedua pertentangan di atas disimpulkan, bahwa konflik kadangkadang harus ditumbuhkan untuk mematangkan sebuah organisasi. Sebuah organisasi buruh, misalnya, dalam revolusi Perancis memang kadang kala lebih banyak mengandung sisi negatif, jika yang melihat konflik tersebut adalah kaum Borgouis. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang kaum proletariat, konflik perjuangan kaum buruh justru mengandung sisi positif, karena menghasilkan sebuah perubahan besar, yang menguntungkan kaum buruh yang tertindas. Para pakar negara Barat, misalnya, justru selalu menyarankan untuk mencari penyelesaian yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak, sekalipun hal ini mungkin tidak selalu benar untuk banyak masyarakat Timur. Jadi, mereka lebih mengarah pada pencarian solusi konflik (conflict solution). Bukankah konflik sosial (termasuk konflik politik) memang merupakan sebuah fenomena sosial penting yang memerlukan penyelesaian konflik (conflict resolution), karena dapat mempengaruhi pembuatan keputusan (decision making). Semakin hebat konflik, semakin sulit pula dalam membuat keputusan yang mengikat semua pihak (Rauf: 2002). Karl Marx dikutip Johnson (2005) percaya, bahwa is  that the natural evolution of societies is described as a series of clashes between conflicting ideas and forces that at the end of each clash, a new and improvedset of ideas emerges; that change  needs conflict  in order to be facilitated.  This is called dialectical process. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



352



Jadi, menurut Marx justru konflik sebaiknya jangan diredam atau dimatikan sama sekali, karena hal tersebut dapat menjadi fasilitas untuk mencapai perkembangan suatu masyarakat atau organisasi. Bahkan, menurut Marx justru konflik dapat merupakan suatu bentuk proses dialektika menuju kemurnian atau kematangan suatu organisasi.      Lawan dari konflik adalah konsensus (conscensus). Konsensus juga sering disebut mufakat atau kesepakatan, yang dapat tercapai bila semua pihak mempunyai pendapat yang sama. Oleh karena itu, menurut Rauf (2002) konflik terjadi bila tidak ada konsensus dan konsensus terjadi bila konflik berhasil dihilangkan. Jadi, konflik yang berlebihan justru dapat mengganggu hubungan sosial dan mengancam keberadaan masyarakat, namun bila konflik berkembang terus (tanpa bisa diselesaikan) dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi sosial (dan disintegrasi politik), sehingga masyarakat akan terbelah sesuai dengan polarisasi yang ditimbulkan oleh konflik. Para pakar mengklaim, bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat menghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema empat dimensi, berikut ini: 1) Saling pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan usaha untuk mencari jalan keluar yang terbaik, 2) Saling pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan usaha untuk memenangkan konflik, 3) Saling pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan usaha yang memberikan kemenangan konflik bagi pihak tersebut dan 4) Tiada saling pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik. Rauf (2002) justru mengatakan, bahwa salah satu persyaratan terpenting bagi demokrasi adalah adanya kemampuan dari pemerintah dan rakyat untuk menyelesaikan konflik, sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial dan disintegrasi politik. Oleh karena itu, ada beberapa jalan penyelesaian konflik yang dapat ditempuh. Rauf, misalnya, memberikan penyelesaian konflik dengan cara persuasif (perundingan) dan cara koersif (kekerasan). Akan tetapi, menurut Rauf, yang ideal adalah cara penyelesaian konflik secara persuasif, karena digunakan cara-cara rasional dalam bentuk musyawarah. Cara koersif dianggap kurang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena penggunaan kekerasan dan/atau ancaman kekerasan tidak manusiawi. Penyelesaian konflik secara persuasif hanya bisa dicapai bila pihak-pihak yang terlibat konflik tidak bersifat fanatik dan arogan, sehingga bersedia menerima pendapat pihak lain dan/atau mau mengurangi tuntutannya sendiri. Hanya dengan cara begitu, titik temu (kompromi) bisa dihasilkan. Kompromi tercapai bila pihak-pihak yang berkonflik menyetujui hal yang sama yang ada dalam  pandangan masing-masing pihak-pihak yang berkonflik. Hal-hal yang ditentang oleh semua dibuang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



353



dengan persetujuan dari setiap pihak yang berkonflik. Hal-hal yang sama juga bisa diambil dari pendapat pihak lain yang disepakati oleh pihak-pihak yang berkonflik. Menurut Rauf, bila kompromi sulit dicapai, berarti konflik sulit diselesaikan. Yang terjadi kemudian adalah munculnya gangguan terhadap hubungan sosial yang harmonis dan kemungkinan terjadinya ancaman bagi keutuhan sebuah masyarakat. 5. Dampak Konflik Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa konflik pada prinsipnya mengandung dua aspek: positif dan negatif. Aspek negatif dari konflik adalah terjadinya tindakan-tindakan kriminal destruktif dari orang-orang yang melakukan konflik. Hal inilah yang sangat ditakuti oleh Parson, Lloyd Warner dan sebagainya, yang menganggap konflik sebagai sesuatu yang harus dihindari dan sangat merugikan dari sudut ekonomi. Nah, dikembalikan pada situasi Indonesia pada saat ini --- khususnya dalam kasus berdarah di Bulukumba yang menjadi obyek penelitian disertasi saya --- sebaiknya memang harus dihindari, karena cenderung destruktif. Sebaliknya, aspek positif dari konflik juga sangat dirasakan manfaatnya, terutama dalam kasus Borjois dan kaum Proletar dalam revolusi ekonomi Perancis. Oleh karena itu, hampir semua ahli konflik, terutama dari Barat justru melihatnya sebagai suatu sarana menuju kematangan organisasi atau masyarakat. Jadi, tidaklah mengherankan, jika Marx, Weber dan sebagainya justru menganggap konflik sebagai sesuatu yang diharapkan (expecting), diinginkan (desires), dibutuhkan (needs), perlu (necessary) dan sebagainya dalam rangka menuju kematangan suatu organisasi/masyarakat. 6. Jembatan Komunikasi Pemerintah dan masyarakat lokal memiliki kepentingan yang sama dalam hal pengelolaan sumber daya hutan. Keduanya menginginkan produktifitas dan kelestarian. Pada hakekatnya mereka tidak konflik. Kepentingan produksi dan ketidakmauan konflik pada umumnya muncul secara terbuka. Sebaliknya, kepentingan pelestarian pada pihak pemerintah relatif tersembunyi dalam konsep-konsep retoriknya, sedangkan pada pihak masyarakat lokal tersembunyi dalam pengetahuan dan kearifan lokalnya. Selain kesamaan di atas pemerintah dan masyarakat juga memiliki perbedaan. Keduanya memiliki cara pandang, pen-dekatan, teknologi dan pengetahuan yang berbeda. Dalam konteks ekonomi normatif, keduanya juga memiliki fungsi tujuan yang berbeda, karena pihak pemerintah memiliki fungsi tujuan untuk memaksimumkan pelayanan dan sebagai entitas bisnis memiliki tujuan untuk memaksimumkan keuntungan (maximazing of benefits). Sedangkan masyarakat (sebagai rumah tangga) memiliki fungsi untuk memaksimumkan utilitas dan kelestarian lingkungan (environmental sustainable). Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



354



Ada dua kelembagaan yang berbeda, yaitu masyarakat adat dan birokrasi, yang keduanya bertanggung jawab atas perlindungan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama (perlindungan sumber daya hutan) dalam hal kesepakatan rencana tindak dan aturan main formal dan informal, namun masih tersedia potensi konflik dan potensi lain untuk berkooperasi dalam pencapaian tujuannya tersebut. Norma dan kelembagaan yang ada, seperti prosedur baku, yang dianut keduanya tidak padu, sehingga dibutuhkan perubahan organisasional. Perubahan itu hanya mungkin terjadi jika: (a) keduanya memahami perilaku organisasi dan (b) pola tindak keduanya berbasis pada pengetahuan, keterampilan, teknik, metode produksi dan distribusi, serta proses-proses ekonomi yang berbasis pada budaya setempat. Perbedaan antara kedua kelembagaan tersebut perlu dijembatani, agar potensi konflik dapat ditransformasikan menjadi potensi kooperatif yang sinergik. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan prasyarat berikut ini: 1) dibutuhkan kemauan politik (political-will) pemerintah, berupa: pengenalan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, menaruh kepercayaan, bahwa identitas, budaya, kebiasaan, tatanilai adat dan pengetahuan lokal mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap model pengelolaan sumber daya hutan yang produktif dan lestari, serta memahami masyarakat sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi. Dengan demikian, patut didengar aspirasinya, 2) setiap aturan formal termasuk sistem insentifnya disusun dengan mengakomodasikan kebutuhan masyarakat adat (bukan dengan tergesa-gesa dan mengenyampingkan pendapat dan aspirasi masyarakat setempat). Hal ini merupakan model konkret yang menunjukkan, bahwa pemerintah masih percaya kepada masyarakat, 3) setiap tindakan sosialisasi hukum kepada masyarakat dilakukan secara persuasif, meski hukum itu sendiri pada hakekatnya bersifat koersif. Sosialisasi hendaknya dipandang sebagai proses pembelajaran yang dialogik, 4) agar dihasilkan organisasi pemerintahan yang lebih adaptif terhadap kepentingan masyarakat setempat, diperlukan desentralisasi penanganan masalah sumber daya hutan dan devolusi pembuatan keputusan dari pusat ke daerah (top-down) dan 5) prakarsa pembangunan jembatan komunikasi, seperti yang dituangkan dalam empat butir pertama, hendaknya datang dari pemerintah. Prakarsa tersebut diperlukan bukan sepatutnya pemerintah bermurah hati, melainkan masyarakat itu sendiri memang berhak mendapatkannya. H. Perspektif Agama dan Kebudayaan Sebelum membahas lebih mendalam tentang beberapa pandangan mengenai agama dan sistem kepercayaan, penulis terlebih dahulu menetap fokus utama (main scope) studi antropologi agama sebagai landasan berfikir Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



355



yaitu keberagamaan dan bukan agama. Antropologi agama (anthropology of religion) lebih mementingkan perilaku keagamaan yang dikaitkan dengan dunia keseharian penganutnya daripada mempelajari agama dan sistemsistem dogmatisnya. Hal lain yang perlu saya jelaskan di sini adalah menjawab pertanyaan mengapa orang menganut sebuah agama atau kepercayaan? Kontajaraningrat (1992: 229) mengatakan, bahwa setidaktidaknya ada delapan faktor yang membuat manusia memeluk atau menganut sebuah agama atau kepercayaan, yaitu: a) kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi, karena mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan dengan akalnya; (c) kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam kehidupan manusia; (d) kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi, karena ada kejadian-kejadian luar biasa dalam hidupnya dan dalam alam sekelilingnya; (e) kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena suatu getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakat; (f) kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi, karena manusia mendapat suatu firman dari Tuhan. Manusia mulai sadar akan adanya paham jiwa; (b) kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi, karena manusia 1. Pengertian Agama Secara umum agama dapat didefiniskan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya (wahablum minannas). Aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem-sistem nilai, karena pada dasarnya aturan-aturan tersebut bersumber pada etos dan pandangan hidup. Oleh karena itu, aturan-aturan dan peraturan-peraturan yang ada dalam agama lebih menekankan pada hal-hal yang normatif atau yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan, serta bukan berisikan petunjukpetunjuk yang bersifat praktis dan teknis dalam manusia menghadapi lingkungan dan sesamanya. Menurut Geertz (1992: 5) seorang antropolog yang banyak mengkaji masalah antropologi agama mengatakan, bahwa agama adalah (1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresap dan tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep ini dengan pencaran kualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi itu tampak khas dan realistik. Selanjutnya Paul Tillich (1955) seorang filosof religi, dalam artikelnya What Is Religion, juga mengemukakan analisisnya tentang makna dalam agama. Kedua ahli tersebut menjadikan makna sebagai konsep atau analisis sentral dalam pembahasannya. Sekalipun Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



356



keduanya berbeda dalam hal pemberian istilah, namun masih terdapat persamaan dalam paradigmanya, dimana Tillich seperti halnya dengan Geertz juga menggunakan istilah kemutlakan makna, unitas makna dan istilah impor85. Khusus Geertz cenderung menyejajarkan antara agama dan kebudayaan, karena menurutnya kebudayaan masih merupakan abstraksi dari agama. Hal ini tercermin di dalam konsepnya tentang kebudayaan yaitu sebagai suatu pola (1) maknamakna yang diteruskan secara historis yang (2) terwujud dalam simbol-simbol, (3) suatu sistem konsep yang diwariskan dan yang terungkap dalam bentuk simbolis yang (4) dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Dari definisi tersebut tampak jelas, bahwa hubungan antara agama sebagai simbol dan kebudayaan sebagai pola-pola makna yang terbungkus di dalam sebuah konsep merupakan hubungan representatif antara yang abstrak (kebudayaan) dengan yang konkret (perilaku agama). Jika demikian, agama menurut pandangan Geertz merupakan perwujudan dari suatu bentuk kebudayaan. Agama tanpa kebudayaan yang memaknainya tentu saja tidak mungkin, sementara kebudayaan tanpa agama atau sistem kepercayaan sebagai simbol untuk menggeneralisasikannya juga sangat tidak mungkin. McGuire (1992: 11-14) memberikan dua bentuk pemahaman tentang religi yaitu secara substantif dan fungsionalis. Menurutnya definisi Spiro (1996) yang pada intinya menyatakan, bahwa agama adalah institution, culturally patterned dan culturally postulated merupakan contoh utama dari paradigma pertama tentang agama. Sapiro kemudian mengembangkan konsepnya tentang agama sebagai superhuman being yang mempunyai kekuatan lebih besar daripada manusia, yang tidak hanya dapat membantu atau menyakiti manusia, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh tindakantindakan manusia. McGuire dalam konsep substantifnya tentang agama ini menggunakan istilah lain, seperti: supernatural realm, superempirical reality, transendent reality) and sacred cosmos. Sementara konsep fungsionalnya tentang agama ia mengadopsi definisi Geertz tentang agama sebagai contoh kasusnya. Mary Douglas (1966) dalam bukunya Purity and Danger menggambarkan pandangan dunia primitif sebagai pandangan yang pada dasarnya bersifat religius dan simbolik. Bahkan, belakangan ia mempertanyakan konsep kesalehan primitif (primitif piety) dan menegaskan, bahwa mungkin saja terdapat banyak budaya kesukuan yang mengandung bias sekuler. 85



Lihat penggunaan istilah import dalam makalah Abu Hamid (1981 dan 2003) merupa-kan kesatuan makna yang paling dalam atau hakiki (the meaning of the meaning atau deep meaning).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



357



Doglas menambahkan, bahwa antropolog harus menyingkirkan mitos tentang masyarakat primitif yang saleh tersebut. Oleh karena dekatnya hubungan antara agama dan kebudayaan --dan hal ini merupakan objek kajian antropologi paling tua --- beberapa antropolog dan ahli ilmu sosial kawakan telah melakukan kajian spektakuler, sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Edward Bernet Tylor dan George J. Frazer, dua ahli antropologi yang memberikan konsepsi supernatural terhadap agama yang dipraktikkan oleh beberapa manusia primitif. Bagi Tylor kepercayaan pada wujud spiritual menggambarkan suatu tahap awal dalam evolusi akal manusia, tetapi menurutnya ia bukanlah tahap akhir dan tentu saja tidak lagi responsif terhadap dunia sekarang, karena program dan metode sains empiris telah menjadi acuan kita dalam bertindak dan berfikir. Tylor secara umum melihat dengan bidang keahlian mereka masing-masing. Edward Burnett Tylor dan Geoge J. Frazer, misalnya, dua ahli agama serupa dengan magi, karena keduanya dibangun atas penghubungan ide-ide secara tidak kritis (intuitif). Frazer, berbeda dengan pandangan gurunya tersebut, karena ia lebih cenderung membedakan antara agama dan magi. Menurutnya magi selalu berurusan dengan masalah sihir, sementara agama berhubungan dengan hal-hal yang supernatural (dewa-dewi). Oleh karena itu, perjanalan agama menurut Frazer jauh lebih baik daripada magi (yang hukumnya impersonal, tetap dan universal, sementara agama tidak mempunyai jaminan apa-apa. Artinya, bila upacara magi meminta hujan dilakukan dengan sungguh-sungguh disertai dengan pengorbanan (ritual adat) yang tulus, hujan pun pasti turun. Sedangkan, ketika seorang pendeta berdoa minta hujan, belum pasti hujan turun, karena memang dasarnya hanya doa yang penuh dengan harapan (expecting). Frazer dalam bukunya The Golden Boch menceritakan bagaimana perjalanan (evolusi) sistem kepercayaan manusia dari primitif hingga ke yang modern: dari magi ke kepercayaan, kemudian ke agama dan terakhir pada sain. Jadi, Frazer seperti halnya dengan gurunya, meyakini adanya evolusi yang terjadi dalam sistem kepercayaan umat manusia yaitu dari primitif ke arah yang modern. Dua ahli lainnya sedikit keberatan dengan dogmatisme Supernatural Tylor dan Frazer tersebut yaitu Emile Durkheim dalam bukunya The Elementary Forms of the Religious Live dan Mircea Elliade dalam bukunya The Scred and Profane. Keduanya memandang agama sebagai sesuatu yang sakral dan tidak semuanya berkaitan dengan prinsip supernatura yang dapat dipertentangkan dengan natural. Sekalipun keduanya mempunyai konsep pembahasan yang sama, namun perspektif tentang yang sakral Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



358



(scered) dan yang profan (profane) tetap berbeda. Durkheim seperti halnya dengan Tylor, Freud dan Frazer memandang agama sebagai sesuatu yang mempunyai fungsi (fungtionalism) dan mereduksinya melalui pandangan agama secara luas. Sedangkan Elliade, di pihak lain, memandang agama sebagai suatu kumpulan fenomena (phenomenalism), yang harus dibahas dan dikaji sesuai dengan karakternya sendiri. Durkheim lebih melihat agama sebagai sesuatu yang sakral dalam kaitannya dengan masyarakat dan kebutuhannya, sehingga yang sakral (sacred) adalah yang sosial dan yang profan (profane) adalah yang berkenaan dengan individu. Eliade, ternyata tidak melihat adanya keterkaitan yang sakral dengan fenomena sosial, melainkan lebih mengarah pada apa yang disebut oleh Tylor dan Frazer sebagai supernatural. Pendapat Elliade tersebut sebenarnya masih merupakan cerminan dari pendapat teolog berkembangsaan Jerman bernama Rudolf Otto dalam bukunya The Idea of the Holy yang menyeja-jarkan sakral dengan sesuatu yang misterium tremendurn et fascinans (misterius, menakutkan dan menawan). Dengan demikian, sesuai dengan sifatnya yang sakral dinggap sebagai sesuatu yang numinous (roh atau wujud Ilahiyah). Baik Elliade maupun Otto sama-sama memandang, bahwa apa yang merupakan kebalikan dari yang sakral adalah sesuatu yang profan atau biasa-biasa saja. E.E. Evans Pritchard dalam bukunya The Nuer Religion (1956: 1-28) memperlihatkan bagaimana bentuk pemahaman religi di kalangan suku Neur di Afrika. Ia menemukan konsep dogmatis kemutlakan Kwoth Nhial (Tuhan Absolut) berupa supernatural. Ia hidup di atas langit, tetapi ia bukan langit. Ia menyerupai udara, tetapi ia bukan angin. Ia menyerupai benda yang ada di mana-mana, tetapi ia tidak tampak dalam kasat mata (abstrak). Kwoth Nhial tersebut dianggap sebagai pengendali Roh Atas yang bersemayam di langit, seperti: Buk (perempuan), Wiu (Dewa klan), Deng (anak Tuhan), Mani (pimpinan perang) dan CoLwi (Roh Kudus). Pritchard juga melihat bagaimana suku Neur membagi kosmologi keduniaan mereka ke dalam tiga tingkatan yaitu: dunia atau roh atas yang ditempati oleh Kwoth Nhial dan Kwoth, dunia atau roh tengah ditempati oleh manusia dan dunia atau roh bawah ditempati oleh benda atau binatang yang menjadi totem-totem mereka. Totem bagi beberapa suku primitif (Keesing, 1999: 259) adalah asosiasi simbolis antara sebuah kelompok sosial (misalnya, kelompok keturunan atau klan) dan suatu jenis burung, tanaman atau gejala alam. Dalam bentuknya yang klasik, anggota dari kelompok soslal tersebut mempunyai hubungan keagamaan tertentu (misalnya, larangan memakan) dengan anggota spesies alami itu. Al-Barry (2000: 336) totem adalah sesuatu atau bintang yang oleh bangsabangsa primitif dianggap suci yang dipertahanIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



359



kan dalam pemujaan, yang sekaligus dijadikan simbol bagi mereka, serta dijadikan pelindung, dilayani alam berbagai cara sesuai dengan kebiasaan dan tradisi pusat dalam berbagai hukum dan kebiasaan yang bersifat semi agama. Koentjaraningrat (2003: 239) sistem religi yang biasanya ada dalam masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang unililineal dan berdasarkan keyakinan, bahwa warga kelompok-kelompok unilimieal itu masing-masing adalah keturunan dewa-dewa nenek moyang, yang satu dengan yang lainnya juga berhubungan kekerabatan. Aktivitas upacara dalam sistem religi terdiri dari upacara intensifikasi untuk mempererat kesatuan dalam kelompok unilineal masing-masing. Dalam upacara-upacara itu dipergunakan lambang-lambang kelompok (totem) berupa jenis binatang, tumbuhan, gejala alam, benda dan sebagainya. Sigmund Freud yang memang dasarnya seorang ateis natural (Pals, 2001: 110) menggunakan psikoanalisisnya dalam melakukan pendekatan terhadap religi. Freud dalam bukunya Obsesive Action and Religious Practices mengatakan, bahwa aktifitas orang-orang religius sama halnya dengan aktifitas orang-orang yang neurosis (sakit jiwa). Menurut Freud, bahwa kedua orang tersebut sama-sama merasa bersalah, bila tidak mengikuti aturan ritual mereka secara tidak sempurna dan menekankan pada pelaksanaan hal-hal menurut cara upacara yang terpolakan. Dalam bukunya yang berjudul The Future of An Illusion. Freud dengan terang-terangan mengatakan, bahwa ajaran agama bukanlah yang diwahyukan oleh Tuhan, bukan pula kesimpulan legis (empiris) yang didasarkan pada bukti yang diperoleh melalui salah satu metode ilmiah (scientific), tetapi agama adalah harapan (expectation) umat manusia yang sangat mendesak, paling kuat dan paling tua. Oleh karena itu, rahasia kekuatan agama seseorang terletak pada kuatnya harapan tersebut dan bukan pada keyakinan hati semata. Jadi, agama menurutnya hanyalah sebuah ilusi belaka. Ludwig Feurbach (1957) dalam bukunya The Essence of Christianity merupakan sumber dan sekaligus menguatkan pendapat Freud tersebut mengatakan, bahwa agama hanyalah alat psikologis yang kita gunakan untuk menggantungkan harapan, kebaikan dan ide-ide kita sendiri kepada wujud khayal supernatural yang kita sebut Tuhan dan dalam proses itu manusia hanya mengecilkan arti diri sendiri. C. Jung (1938 dan 1972) me-nentang keras pendapat kedua ahli tersebut dengan mengatakan, bahwa agama mengambil sumber gambaran dan ide yang di dalamnya secara kolektif milik bangsa manusia dan mendapatkan ekspresi di dalam mitologi, folklore, filsafat dan sastra. Agama bersumber dari bawah sadar kolektif dan bukan sebagai bentuk neurosis, tetapi ia muncul sebagai ungkapan yang sehat dari kemanusiaan yang dalam dan sejati. Jadi, menurutnya agama bukanlah sebuah keputusasaan yang muncul dari perasaan frustrasi. Koentjaraningrat (1990: 377-378) Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



360



berdasarkan pada pebedaan-perbedaan pendapat di atas mengatakan, bahwa suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan (mood)86 itu di antara para pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lainnya, yaitu (i) sistem keyakinan, (ii) sistem upacara keagamaan (iii) suatu umat yang menganut religi itu. Sistem keyakinan secara khusus mengandung banyak sub-unsur lagi, sehingga para ahli antropologi biasanya menaruh perhatiannya terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat, konsepsi tentang roh-roh leluhur, konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam, konsepsi tentang hidup dan maut, konsepsi tentang dunia roh dan dunia akhirat dan lain-lain. Sistem upacara keagamaan mengandung empat aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi yaitu: (i) tempat pelaksanaan upacara keagamaan dilakukan; (ii) saatsaat upacara keagamaan dijalankan; (iii) benda-benda dan alat upacara; (iv) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Max Weber (Morris, 2003: 82) dalam tulisannya berjudul Economy and Society membantah pendapat yang mengatakan, bahwa agama adalah keputusasaan dan berkaitan erat dengan unsur-unsur psikologi. Ia mengatakan, bahwa keyakinan pada yang supernatural adalah fakta universal yang ditemukan dalam seluruh bentuk masyarakat awal (primitif). Perilaku atau pemikiran keagamaan atau magis tersebut tidak bisa dilepaskan dari rangkaian perilaku keseharian yang memiliki tujuan khusus, karena lahir dari keagamaan dan magis. Tujuan tersebut, pada dasarnya, tidak lain adalah tujuan ekonomi. Konsep Weber ini tercermin dalam karya spektakulernya tentang etika protestan dan spirit kapitalismenya. Max Weber (Morris, 2003: 242) menyimpulkan, bahwa manusia dalam mencari Tuhannya yang absolut menggunakan dua cara, yaitu: melalui agama dan melalui magi. Pencarian Tuhan melalui magi lebih banyak melibatkan ahli nujum (Shaman), sifatnya individu, kedudukannya sangat sakral, bersifat dogmatis dan lebih dominan. Pengertian ahli nujum tersebut di atas setara dengan beberapa status dan peran adat yang diemban oleh dukun kampung (sandro kampong) yang ada di Sulawesi Selatan. Di wilayah adat Karampuang Kecamatan desa Tompo Bulu Kecamatan Bulu Poddo Kabupaten Sinjai dikenal status ada sanro (dukun) yang harus diduduki oleh seorang perempuan (saat ini Pang Juhe). Beliau bukan dukun beranak dan dukun-dukun lainnya, tetapi sebagai piranti adat yang ditugasi untuk menjaga keselamatan warga dari semua jenis penyakit yang sewaktu-waktu dapat menimpa masyarakatnya. Status yang mirip diemban oleh pemimpin 86



Emosi keagamaan (mood) adalah getaran jiwa yang menyebabkan manusia berlaku serba religi (Koerujararungrat, 2003: 53).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



361



adat Kajang tertinggi yaitu Ammatowa ri Kajang. Ia menduduki jabatan ini, selain dari tiga tanggung jawab seorang Amma di Kajang, yaitu: 1) lambusu’nuji nu Karaeng (hanya kejujuranmu yang mampu menjadikan anda sebagai raja), 2) gettennuji nuada’ (hanya karena sikapmu yang tegas kamu bisa duduk sebagai pemangku adat), 3) sabbara’nuji nusanro (hanya kesabaranmu yang mampu mendudukkanmu sebagai sanro (sahaman) dan 4) pesonanuji nuguru (hanya karena kerendahan hatimu jualah engkau bisa dijuluki alim ulama). Kempatnya wajib dimiliki oleh seorang Amma selaku pimpinan adat tertinggi di Kajang. Sedangkan pencarian Tuhan melalui agama melibatkan pemuka agama (pendeta, kiyai, pastor dan sebagainya), sifatnya kooperatif, tidak sakral, lebih otoritas dan penuh dengan etika keagamaan. Sangat mencengangkan bila seseorang bertanya kepada kita mengapa, di semua atau hampir semua waktu dan tempat manusia menciptakan dunia entitas dan kekuatan yang tidak kelihatan Untuk menjawab pertanyaan ini Keesing (1992: 93-94) mengatakan, bahwa agama itu: 1) memberi keterangan kepada, baik kepada penganutnya maupun kepada penganut agama lainnya. Agama dalam hal ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial, seperti: bagaimana asal-mula dunia, bagaimana hubungan antara manusia dengan spesies lain, serta kekuatan alam lainnya, mengapa manusia mati dan mengapa usaha manusia bisa sukses atau gagal. 2) Agama memberi pengesahan kepada semua bentuk aturan dan dalil yang berlaku di dalam agama itu sendiri. Hal ini berarti, bahwa agama menerima adanya kekuatan-kekuatan di dalam alam semesta yang mengendalikan dan menopang tata susila dan tata sosial masyarakat. Leluhur, roh, atau dewadewa memperkuat peraturan-peraturan dan memberi pengesahan, serta arti kepada perbuatan manusia. Dengan mengeramatkan (sacred) semua aturan yang ada, serta hubungan-hubungan yang diciptakan manusia, dengan memberinya suasana kemutlakan (absolute) dan keabadian (eternity), agama menempatkan diri sebagai sesuatu yang tidak dapat ditentang (dogma), 3) menambah kemampuan manusia (skill of society) untuk menghadapi kelemahan kehidupan dan kematiannya, termasuk di dalamnya berupa penyakit, kelaparan, banjir dan kegagalan dalam berbagai usaha yang dilakukannya. Dengan memberi dukungan psikologis pada saat terjadinya tragedi, kecemasan dan krisis, agama diyakini memberi kepastian dan arti bagi manusia di dunia yang naturalistis penuh dengan hal-hal yang tidak dapat diramalkan, berubah-ubah, kejadian yang tragis. Oleh karena itu, Kluckhonn (1942) melihat agama sebagai sesuatu yang mampu menambah intensitas pengalaman bersama, intensitas pergaulan sosial. Clifford Geertz (1966: 4) merumuskan sebuah definisi agama dan peranannya secara jitu dalam kehidupan umat manusia di atas bumi ini. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



362



Agama adalah sistem simbol yang berfungsi untuk menanamkan semangat dan motivasi yang kuat, mendalam bertahan lama pada manusia dengan menciptakan konsepsi-konsepsi yang bersifat umum tentang eksistensi dan membungkus konsepsi-konsepsi itu sedemikian rupa dalam suasana faktualitas, sehingga suasana (mood) dan motivasi (lnotivation) itu kelihatan sangat realistis. Dengan kata lain, agama itu menentukan keadaan (situation) dunia sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan sikap (attitutes) yang tepat terhadapnya; perasaan, sikap, perbuatan hidup di dalamnya. Baik sifat dunia maupun emosi (relgious emotion), serta motif manusia saling menegakkan dan memperkuat. Sifat mendua inilah, yang menciptakan dua model dalam pendekatan agama, yaitu: model dari dan model untuk, yang membuat agama begitu sentral dalam pengalaman manusia. Cara agama mengatur dan mengarahkan pandangan tentang dunia menopang suatu sikap terhadap kehidupan. Seperti halnya dengan beberapa topik dalam pembahasan antropologi pada umumnya, antropologi agama (anthropology of religion) tidak memiliki definisi yang pasti dan berlaku universal yang berkenaan dengan topic sentral tentang kasus fenomena agama (Smith, 1990: 242-245). Kita dapat mendefinisikan dengan agama menggunakan nilai rasa (intuitive), bahwa perilaku sebaiknya dianggap sebagai religius. Hal ini tentu saja sangat sulit diterima di dalam ilmu budaya, yang selalu berusaha untuk melakukan sesuatu dengan mengunakan prinsip-prinsip ilmiah melalui penggunaan pemikiran empirisnya. Sebagai suatu bentuk definisi substantif dari agama yang dikutip dalam buku ini mengacu kembali pada definisi Tylor (1871), yang mendefinisikan agama (religion) sebagai kepercayaan dalam berrtuk spiritual. Meskipun demikian definisi seperti ini masih memuncul pertanyaan lain, karena belum jelas apakah sebuah fenomena dianggap spiritual atau alamiah sifatnya dan apakah keputusan seperti ini bersumber dari peneliti atau dari dalam diri penganut agama tersebut. Banyak ahli budaya kontemporer yang tidak menerima, bahwa kepercayaan spiritual atau yang supernatural secara substantif berbeda dengan fenomena alam. Ahli budaya lain berusaha memberikan definisi fungsional tentang agama, dengan tanda petik apa agama itu, merupakan pandang yang mendapat pengaruh dari teori Durkheim tentang fungsi sosial (sociological functions) terhadap kepercayaan religius (religious beliefs) dan tindakan religius (religious action). Pengembangan teori Durkheim selanjutnya memberi pandangan untuk mengisolasi simbol pembeda agama secara khsusu yang membedakan yang sakral (scred) dari yang tidak sakral atau profan (profane). Abad ke-19 merupakan fase dimana studi-studi komparatif tentang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



363



agama mulai bermunculan, yang umumnya berfokus pada pertanyaan bentuk dan evolusi agama, yang memperdebatkan permasalahan agama sebelumnya dan agama yang muncul kemudian sebagai pengembangan dari yang sudah ada. Tylor, misalnya, yang mengajukan istilah animisme (animism) sebagai salah satu bentuk agama yang paling awal dalam sejarah kehidupan menusia. Tylor beranggapan, bahwa hal itu telah berkembang menjadi pengalaman-pengalaman dari manusia terdahulu yang refleksi ke dalam keadaan tidur, bangun, bermimpi, meninggal dan seterusnya, yang memunculkan kepercayaan, bahwa dalam tubuh manusia terdapat jiwa (soul) yang terpisah dari badan manusia, bukan menyatu. Tylor yakin, bahwa bentuk agama pertama ini kemudian mengalami perkembangan menjadi pemujaan kepada leluhur (ancestor worship) kemudian menjadi politeisme (polytheism) dan akhirnya menjadi monoteisme (monotheism). Frazer (1980) yang mengikuti pemikiran rasionalis Tylor tentang faham originalitas agama (origins of religion) dalam pemahamannya juga mengatakan, bahwa agama berakar pada usaha manusia masa lampau untuk membuat pemahaman atau menjelaskan pengalaman mereka tentang lingkungannya dan perjalanan hidupnya, berusaha mengajukan beberapa jenis tipologi. Ia berargumentasi, bahwa ada tiga tingkatan dari perkembangan intelegensi dalam kebudayaan manusia, yaitu: magi (magic), religi (religion) dan ilmu pengetahun (science). Setiap tingkatan dibentuk oleh berbagai teori kausalitas dan bagaimana manusia mampu menggunakan dan menyelesaikan sebuah kejadian. Kebalikan dari teori rasionalisasi agama seperti ini juga terdapat teori lain yang menitikberatkan non-rasionalisasi atau fungsifungsi dari kepercayaan agama. Marret (1900) mengatakan, bahwa sumber dari agama dapat ditemukan di dalam animatisme yaitu sebuah kepercayaan tentang penyebaran kekuatan impersonal (impersonal power) yang berasal dari kekaguman manusia terhadap gejala alam. Freud (1913), di pihak lain, mengembangkan teori agama yang dihubungkan dengan teori psiko-dinamiknya mengatakan, bahwa kepercayaan merupakan proyeksi dari tekanan jiwa (psychic tensions), konflik (conflict) dan kompleksitas (complecity) kejiwaan. Jadi, dewa (deity) dan roh (spirit) merupakan kumpulan fantasi yang secara umum diinterpretasikan sebagai figur bapak (tuhan) yang mengakibatkan timbulnya rasa ambivalensi, sehingga agama dapat dianggap sebagai salah satu kumpulan orang yang menderita neurosis87. Meskipun demikian, 87



Neurosis (Koentjararungrat, 2003: 157) adalah penyakit syaraf yang berhubungan dengan faalnya (fungsinya organik pada bagian-bagian syaraf manusia. Neurosis adalah kelas gangguan mental fungsional yang melibatkan gangguan kronis, tetapi bukan delusi atau halusinasi. Istilah ini tidak lagi digunakan oleh komunitas psikiatri profesional di Amerika Serikat sejak tahun 1980.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



364



Durkheim melihat agama sebagai sebuah kreasi sosial yang menimbulkan dan memperkuat solidaritas, sehingga kepercayaan merupakan sebuah metafora pemahaman untuk masyarakat itu sendiri dan sifat sakral dari kewajiban sosial (social obligations) dan kohesi sosial (social choesion). Ia mengusulkan toteisme sebagai bentuk awal dari semua agama dan menolak kriteria Tylor tentang agama sebagai spiritual dalam berbagai kriteria dari yang sakral sebagai definisi dari karakter agama. Aspek fungsional inilah yang dikembangkan oleh Durkheim dalam karyanya, yang berhubungan dengan antropologi sosial di Inggris dan dalam pandangan strukturalis fungsionalisnya tentang agama yang merupakan sebuah refleksi dari struktur sosial (social structure). Meskipun demikian, di Prancis strukturalisme dan ranah-ranah di dalam antropologi simbolik merupakan aspek lain dari karya Durkheim, yang perhatiannya terfokus pada dimensi simbolik dari agama dan pembedaan antara yang sakral (sacred) dan yang profan (profane). Teori pokok lainnya tentang agama yang dipengaruhi oleh antropologi kontemporer adalah teori yang diendus oleh Karl Marx, yang memandang agama sebagai produk idiologi klas dominan, yang digunakan untuk menjustifikasi dan melanggengkan dominasinya, bersamaan untuk menetralisir serta dalam waktu potensi revolusi dari yang para oposannya dengan mengganti liberalisasi sesunggunya dengan liberalisasi palsu yang ada di dunia lain. Jadi, ketika Emile Durkheim memandang agama sebagai suatu kebenaran dan memiliki fungsi positif yang terpancar dari struktur sosial, Marx di pihak lain, menganggap agama sebagai sebuah ubahan (distorted) atau refleksi ideologis yang diciptakan melalui interesinteres kelas sosial yang ada. Perdebatan teori-teori antropologi agama abad ke-19 ini masih terus mendengung hingga saat ini. Banyak antropolog modern masih mengikuti definisi Tylor tentang agama dalam konsep kepercayaan spritual (belief in spiritual beings). Sapiro (1966) selain diperhadapkan pada kesulitan dalam mendefinisian spiritual (superhuman being) juga eksistensi dari agama itu sendiri yang --- beberapa bentuk filosofi pengukut Budha yang ateis --menyimpulkan, bahwa definisi agama yang paling bagus adalah sebuah institusi yang berisi pola interaksi budaya dengan postulat superhuman being. Salah seorang teoretis modern dalam antropologi agama adalah Geertz (1966) yang mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem simbol yang berfungi untuk membangun kekuatan, yang meresap kedalam suasana hati yang paling dalam dan memotivasi manusia membentuk formulasi konsepsi dari sebuah eksistensi aturan yang berlaku umum lalu konsepsi ini dibungkus ke dalam lingkaran cahaya (aura) faktualitas, dimana suasana hati (mood) dan motivasi (motivation) menjadi realistik. Geertz kelihatannya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



365



mencampuradukkan beberapa ciri teori yang telah ada sebelumnya, yang dalam realitasnya semuanya mengacu pada aspek fenomena keagamaan, namun tidak seorang pun yang cukup mandiri untuk menggambarkan dan mendefinisikan kekompleksan ini secara total. Geertz setuju dengan Weber (1958), bahwa agama dapat menyederhanakan hakikat permasalahan atau pemahaman (verstehen), serta permasalahan takdir yang buruk dan tawakkal dengan menghubungkannya pada kerangka kerja yang luas, yang tergantung pada penerimaan atau menolak autoritas yang ada. Agama berbeda dengan pemahaman biasa (common sense), karena bergerak di luar realitas keseharian atau realitas yang naif (naïve realism), baik dalam analisis maupun terminologi keilmuan, akan tetapi berada dalam istilah perlawanan dan otoritas. Dalam upacara keagamaan (ritual) perpaduan antara keseharian dan realitas yang sakral dipertunjukkan dan disahkan. Penekanan agama sebagai sebuah respon terhadap fakta kejahatan (suffering) dan penekanan (stress) juga menjadi penting dalam karya Malinowski (1948) yang mengusulkan, bahwa agama, magis dan upacara memberikan mekanisme sosiopsikologi (socio-psychological mechanisms) yang dikopi melalui ritual dan spiritual secara terbuka menjauhkan kecemasan. Malinowski menekankan, bahwa agama ritual dan mitos (myth) semuanya diperlukan untuk menjelaskan dan menjustifikasi keteraturan sesuatu yang ada dan bertindak selaku katup pengaman dari munculnya kecemasan, serta semua problem yang tak terselesaikan. Teori agama dan pemikiran mitos Levi-Strauss (1969) merupakan hasil pemikiran yang berlaku umum karena ia membuat postulasi (anggapan sementara), bahwa pemikiran simbolik dan mitos merupakan sebuah proses yang bekerja secara konstanta dan mengunakan kembali dasar-dasar filsafat, ekstensial, serta kontradiksi sosial dan pertentangan sosial. Ketertarikan dalam evolosi agama dan studi perbandingan sistem agama dalam berbagai masyarakat juga merupakan salah satu yang tetap dilakukan di era antropologi modern, melalui skema evulosi yang agak simpel, seperti yang lazim dilakukan dalam antropologi abad-19. Beberapa bentuk generalisasi hubungan antara agama dan sistem sosial terangkat dari situasi perbandingan agama. G. Obeyesekere (1981) menunjukkan, bahwa pengetisan (ethicization) merupakan ciri pembeda evolusi agama yang paling umum. Agama kuno (preliterate religion) umumnya dengan tanpa etika (ethics) dalam pandangan, bahwa mereka tidak memiliki konsep yang sistematis tentang dosa (sin), pahala (merit) dan moralitas (morality). Dalam agama pada tradisi maju (literate religion) lebih banyak mengembangkan ide etika keagamaan dengan cara menghubungkannya dengan sebuah kepercayaan, bahwa agama mungkin dapat memberi berkah agama (religious salvation). Berkah agama dalam Kristen atau Islam mengharapkan, agar Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



366



dijauhkan dari takdir buruk, serta ketentuan Allah yang telah memberikan kemurkaan kepadanya, serta memohon doa untuk menghilangkan persoalannya melalui pengampunan atau berkah (salvation). Berkah merupakan ritual peralihan (rite of the passages) yang membawa individu ke status akhir di luar takdir buruk. Agama kuno, tetapi tidak selamanya demikian, meninggalkan konsep berkah (salvation) ini ide dunia lain dalam agama seperti ini merupakan sebuah aturan, baik yang gaib maupun yang tidak nampak atau yang ada dimana-mana, ataukah merupakan aspek tansformasi dari sutruktur sosial sehari-hari tanpa ide tentang penghapusan kemurkaan. Seperti halnya dengan reinkarnasi (reincernations) yaitu suatu kepercayaan agama kuno yang umumnya tidak dikaitkan dengan ide etika, tetapi lebih mengarah pada reinkarnasi dari leluhur atau peredaran kembali roh (recycling of souls), jiwa (names) dan seterusnya. Dalam paham etika reinkarnasi seperti Hindu dan Budha, terdapat variasi muatan nilai reinkernasi yang tergantung pada pertimbangan etika atau moral. Jenis lain dari agama yang penuh berkah untuk hari akhirat yaitu: salah satunya memanjatkan doa (sinner) dan yang satunya lagi meminta keselamatan (saved), seperti yang dilakukan oleh umat Kristen. Antropologi agama telah menaruh sebagian perhatiannya, tidak hanya pada kostanta evolusi antara tradisi agama modern dan agama purba (literate dan preliterate religion), tetapi juga terhadap apa yang diistilahkan dialektika dan praktisi agama (dialectic of practical religion). Dikatakan sebagai hubungan dialektika yang membedakan antara agama maju (literate reliligion) dan agama samawi, serta praktik lokal filosofi keagamaan atau doktrinasi dan praktik keagamaan yang berbentuk konstanta melalui hubungan sosial antara ahli agama, pendeta dan pengikut agama. Pengikut awam sebuah agama akan diperhadapkan pada seperangkat kontradiksi antara aturan agama, yaitu: peraktek lokal, serta kebutuhan dan tuntutan di luar agama. Sebagai contoh, seorang biarawan Budha dianggap ideal dan suci, sehingga diharapkan menjadi model ideal para kaum laki-laki, akan tetapi dalam praktiknya hal itu tidak akan pernah bisa dicapai oleh orang lain. Dalam realitasnya orang khusus dan biarawan memasuki beberapa bentuk transaksi, dimana seorang awam mungkin mendapatkan beberapa pahala (merit) sebagai balasan dari perbuatannya, yang kadang-kadang berbentuk prilaku khusus dalam gaya hidup sehari-harinya (alim atau diangap sud). Studi lain dalam ruang lingkup yang sama ini memperlihatkan bagaimana agama samawi diadopsi ke dalam level lokal untuk mengekspresikan ciri pembeda organisasi sosial dan loyalitas lokal, serta pertentangan organisasi dengan ritual, pemuja dan peziarah (naik haji). Tidak ada kesepakatan umum tentang tipologi agama, sehingga kadangkadang tidak seorangpun yang mampu menghindari hadirnya tipe tipologi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



367



campuran. Seseorang yang pada umumnya menerima tipologi agama, cenderung membaginya kedalam dua kelas utama, tergantung pada jenis keahlian agama yang dimiliki: ahli agama (shaman) atau pendeta (priester). Penulis seperti Eston La Btarre (1970) yang telah melakukan studi berharga terhadap kaum samanis mengklaim, bahwa para samanis atau orang yang berpengalaman langsung dalam pertapaannya (agama yang orsinil) pengalaman langsung tersebut menjadi institusi sepanjang saat dalam karakter khutbah-khutbah keagamaan yang lebih menguntungkan dan memuaskan masyarakat. Beberapa dekade terakhir, pembahasan tentang hubungan antara agama (religy) dengan kebudayaan (culture) berkembang pesat, seperti berikut ini: 2. Agama dalam Kehidupan Sosial Masalah-masalah yang mungkin dapat diperhatikan dalam beberapa studi ilmu budaya dan agama adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan usaha manusia untuk menguasai sumber daya alam. Hal ini sangat erat kaitannya dengan penggunaan simbol-simbol agama yang terwujud dalam kehidupan sosial yang nyata. Adapun masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut: 1) Etnosentrisme or chauvinisme, 2) Peranan upacara dalam kehidupan sosial manusia dan bagi integrasi kebudayaan itu sendiri, 3) Manipulasi simbol-simbol agama dalam kehldupan sosial manusia 4) Konflik dan Integrasi diantara sesama umat dalam satu masyarakat, 5) Perubahan alam pengaktifan ajaran agama, karena perubahan dalam lingkungan sosial dan fisik yang dihadapi 6) Perubahan-perubahan dalam ajaran agama dan perubahan-perubahan dalam struktur agama itu sendiri karena perubahan kebudayaannya. Masalah-masalah tersebut diatas adalah sebagian dari tema-tema yang biasanya menjadi perhatian dari para ahli anropologi agama dalam studi-studi mereka mengenai agama. 3. Agama sebagai Sistem Kebudayaan Karya-karya Gifford Geertz mengenai agama, kebudayaan upara memperlihatkan suatu perspektif tersendiri dengan pengkajian antropologi kognitif dan simbolik. Bagi Grertz, agama merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas. Bersamaan dengan itu kedudukan agama berada dalam suatu hubungan untuk menciptakan, serta mengembangkan kateraturan kebudayaan. Oleh karena itu, agama juga mencerminkan keteraturan tersebut, seperti dikatakan oleh Geertz (1973: 90). Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh bertahan lama pada diri manusia dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum keteraturan (order) dan menyelimuti Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



368



konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut tampaknya secara tersendiri (funik) adalah nyata ada. Walaupun pamikiran agama dikatakannya sebagai tidak semata-mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari kabudayaan yaitu suatu bentuk pedoman yang ber-operasi melalui sistemsistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subjektif individual. Menurut Geertz (1973: 89) kebudayaan adalah pola dari pengertianpengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbolsimbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsikonsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik, yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan. Begitu pentingnya bentuk simbolik, hal tersebut selalu diulang-ulang dalam setiap tulisan Geertz. Simbol-simbol menurut Geertz adalah garis-garis penghubung antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar. Dengan demikian, pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan dengan manusia sebagai suatu sistem lalu lintas dalam bentuk simbol-simbol yang signifikan (1973: 362). Dengan demikian, sumber dari simbol-simbol pada hakekatnya ada dua, yaitu: (1) yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi (2) yang berasal dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi-konsepsi dan strukturstruktur sosial. Dalam hal ini simbol-simbol menjadi dasar bagi perwujudan model dari dan model untuk dari sistem-sistem konsep dalam suatu cara yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk sistem sosial. Dengan demikian, sistem kebudayaan dan sistem konsepsi dilihat sebagai mempunyai persamaan struktur-struktur yang dinamik. Begitu pula kebudayaan dan agama mempunyai persamaan dalam asal muasal yaitu dalam bentuk-bentuk simbolik. Peranan dari upacara (ritual) menurut Geertz adalah untuk memparsatukan dua sistem yang paralel dan berbeda tingkat hierarkinya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menempatkannya pada hubungan-hubungan formatif dan reflektif antara yang satu dengan yang lainnya. Bentuk-bentuk kesenian dan upacara keagamaan, adalah sama keadaannya dengan perwujudan-perwujudan simbolik lainnya, yaitu mendorong untuk menghasilkan secara berulang dan terus menerus mengenai hal-hal yang sangat subjektif dan yang secara buatan dan polesan dipamerkan (1973: 451). Dengan demikian, menurut Geertz (1973; 452) kebudayaan adalah seperangkat teks-teks simbolik, kesanggupan manusia untuk membaca teksteks tersebut dipedomani oleh struktur-struktur upacara yang bersifat metafora, kognitif dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan. Agama Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



369



dan upacara adalah dua satuan yang secara bersaman merupakan sumber dan model kateraturan sosial (social order). Secara keseluruhan terdapat suatu kesan, bahwa model dari Geertz tersebut melingkar dan selalu berulang. Tampaknya hal ini disebabkan oleh (1) bahwa pambahasan mengenai masalah tersebut memang seharusnya dilakukan demikian. Sistem sosial adalah aliran bersama yang terdiri atas dua arus atau lebih yang masing-masing menciptakan integrasi-integrasi yang bersifat sebagian atau mencakup hanya bidang-bidang tertentu saja, yang secara keseluruhan terdiri atas: a) bagian-bagian yang terlepas satu sama lainnya b) bagian-bagian yang saling berkaitan serta tergantung satu sama lainnya (1973: 408). Kesemuanya itu tidak harus berada dalam suatu keadaan yang secara menyeluruh dan saling berkaitan satu sama lainnya menjadi sistem-sistem (1973: 407) (2), bahwa model-model dari Geertz bersifat fleksibel, ilusif jauh dari sistem yang terstruktur secara kaku. Menurut Geertz, ide-ide mampu memberikan informasi pada hubunganhubungan politik, ekonomi sosial diantara kelompok-kelompok dan individu-individu yaitu struktur sosial (1973: 362). Walaupun Geertz bukanlah seorang strukturalis dalam arti yang sesungguhnya dari pengertian tersebut, tetapi banyak ide-idenya tergolong sebagai strukturalis. Sesungguhnya karya Geertz memang sangat besar artinya sebagai pegangan untuk orientasi mengenai hakikat hubunganhubungan yang bersifat umum dan mendasar. Penting juga dijelaskan di sini, bahwa sunbangan pikiran Geertz berupa pendekatan emosional mempunyai fleksibitas besar dalam hal informasi dan konsep teoretis, sehingga lebih banyak menghasilkan rumusan bila dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh para strukturalis lainnya. Akhirnya dapat pula dikatakan, bahwa penggunaan dari tujuan-tujuan emosi dan kognitif (Geertz. 1973: 449) juga merupakan salah satu ciri-ciri sosial yang ada dalam upacara yang ditunjukkan.



REFERENSI Abu Hamid. 1981. Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama Sebagai sasaran Penelitian Antropologi. Makalah disampaikan pada kuliah bagi para perserta Pusat Latihan Penelitian Agama, Dep. Agama RI tanggaL 14 September. Jakarta : IAIN (sekarang UIN). Achmad S. Ruky,2001. Sistem Manajemen Kinerja. Jakrata: Gramedia. Ahimsa-Putra HS, 1994 Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan Perkembangannya dalam Masyarakat Indonesia Maret 1994 Jilid XX Nomor 4. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



370



Al-Barry, Yacub, Dahlan, M.. 2000. Kamus Sosiologi dan Antropologi. Surabaya: Indah. Balee, William. 1996. Personal Communication (Lectures for "Ecological Anthropology"). Barfield, Thomas. 1997. The Dictionary of Anthropology. Oxford: Blackwell. Bonner, H.. 1959. Social Psychology, American Book Company. 1959 Charlotte, Seymour-Smith. 1986. Dictionary of Anthropology. Boston: G. K. Hall and Company. Chisholm, Hugh, ed. (1911). Clan: Encyclopædia Britannica (11th ed.). Cambridge University Press. Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Professional Books: Jakarta. Dineen, Patrick S. (1927). Foclóir Gaeďilge agus Béarla an Irish-English Dictionary. Dublin and Cork, Ireland: The Educational Company of Ireland. Dónaill, Niall. 1992. Foclóir Gaeilge–Béarla. Dublin, Ireland: An Gúm. Douglas Mary. 1966. Purity and Danger: An Analysis of Concept of Pupulation and Taboo. London : Rotledge & Kegal Paul. Evans-Pritchard, E.E. 1956. Nuer Religion. Oxford: Oxford University Press. ______. 1940b. The Nuer of the Southern Sudan. In M. Fortes and E. E. EvansPritchard, eds., African Political Systems. Oxford, U.K.: Oxford University Press. Freud, Sigmund. 1913. Totem and Taboo. London: MacMillan. Feurbach Ludwig. 1957. The Essence of Christianity (translated by Geprge Eliot), New York: Harper. ______. 1969a [1949]. The Elementary Structures of Kinship (revised edition, translated by James Harle Bell, John Richard von Sturmer, and Rodney Needham). Boston: Beacon Press. ______. 1969b [1962]. Totemism. Harmondsworth: Penguin Books. Frazer J. 1990. Toremisme and Exogamy. A. Treatis on Certain Ealrly Forms of Supertition and Society. London: MacMillan. ______. 1940a. The Nuer. Oxford, U.K.: Oxford University Press. Geertz, Clifford. 1992a. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius. _______.1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. ______. 1973. The Interpretation of Cultures (1973), Basic Books. 2000 paperback: ______. 1966. Religion as a Cultural System. In Anthropological Approaches to the Study of Religion. Ed. Michael Banton. pp. 1–46. ASA Monographs, 3. London: Tavistock Publications. Gibson, Ivanchevic, Donnely. 1996. Organisasi Perilaku, Struktur dan Proses. Jakarta: Binarupa Aksara. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



371



Homans, George Caspar, and Charles P. Curtis, Jr. 1934. An Introduction to Pareto, His Sociology. New York: Knopf. Horton, Paul B., dan Chester L. Hunt. 1993. Sosiologi, Jilid 1 Edisi Keenam, (Alih Bahasa: Aminuddin Ram, Tita Sobari). Jakarta: Penerbit Erlangga. Jung C. G.. 1938. Psychology and Religion. New Haven: Yale University Press. Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jilid I dan II. Jakarta: Erlangga. Kluckhohn, C. 1942. Myth and Rituals: An General Theory. United States of America: Havard Theological Reviews. Koentjaraningrat, 1972. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta Rineka Cipta. _______. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. _______. dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Malinowski, B. 1948. Magic, Sciensce and Religion. Boston: Boacon Press Mayor, Polak J.B.A.F. 1979. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. PT. Ikhtiar Baru. Jakarta. McGuire B. Meredith. 1992. Relegion: The Soscial Context. Belmont, Califrnia: Wadsworth Inc. Merton. 2011. Total Population: A Vision of Britain Through Time. Great Britain Historical GIS Project. Retrieved 6 September 2011. Moran, Emilio F. 1979. Human Adaptability: An Introduction to Ecological Anthropology. Boulder, Colorado: Westview Press. Muzafer Sherif. 1966. Goroup Conflict and Co-operation: Their Social Psychology, London: Routledge & Kegan Paul Limited. Netting, Robert McM. 1977. Cultural Ecology. Reading, Massachusetts: Cummings Publishing Company. Obeyeskere G. 1981. Medusa's Hair. Chicago: The University of Chicago Press. Pals L. Daniel. 2001. Seven Theory of Relgion: Dari Animisme E. B. Tylor, Materialisme Karl Marx Hingga Antropology Budaya Geerzt. Yogyakarta : Qalam. Roucek, Joseph S. dan Roland L. Warren. 1963. Sociology An Introduction. New Jersey: Littlefield. Sapiro M. E (1966) Religion: Problems of Defintion and Explanation, in Banton, ed. Nathropological Approaches to the Study oj Religion. London Stogdill, Ralph M. 1959. Individual Behavior and Group Achievement: A Theory: The Experimental Evidence. Tania Murray Li (ed), 1999, Transforming The Indonesian Uplands:  Marginality, Power and Production. Kanada: Harwood Academic Publishers. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



372



Tonnies, Ferdinand. 1955. Community and Association, London: Routledge and Kegan Paul Tylor, E.B. 1958 [1871]. Primitive Culture. New York: Harper Torchbooks. Wila, Huky D.A. 1982. Pengantar Sosiologi. Usaha Nasional. Surabaya.



BAB VI TOKOH DAN TEORI DALAM ILMU BUDAYA A. Teori Evolusi Unilinial 1. Herbert Spencer Herbert Spencer lahir di Derby pada tanggal 27 April 1820 dan meninggal di Brighton tanggal 8 Desember 1903, pada umur 83 tahun. Ia adalah seorang filsuf Inggris dan seorang pemikir teori liberal klasik terkemuka. Meskipun kebanyakan karya yang ditulisnya berisi tentang teori politik dan menekankan pada keuntungan akan liberalisme, dia lebih dikenal sebagai bapak Darwinisme sosial. Spencer seringkali menganalisis masyarakat sebagai sistem evolusi, ia juga menjelaskan definisi tentang hukum rimba dalam ilmu sosial. Dia berkontribusi dalam berbagai macam subyek, ter-masuk Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



373



etnis, metafisika, agama, politik, retorik, biologi dan psikologi. Spencer saat ini dikritik sebagai contoh yang kurang sempurna untuk scientism atau paham ilmiah, sementara banyak orang yang kagum kepada-nya di saat ia masih hidup. Menurutnya, objek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama, pengendalian sosial dan industri. Termasuk pula asosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja, pelapisan sosial, sosiologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta kajian terhadap kesenian dan keindahan. Pada tahun 1879 ia mengetengahkan sebuah teori tentang Evolusi Sosial yang hingga kini masih dianut walaupun di sana-sini ada perubahan. Ia juga menerapkan secara analog (kesamaan fungsi) dengan teori evolusi karya Charles Darwin (yang mengatakan, bahwa manusia berasal dari kera) terhadap masyarakat manusia. Ia yakin, bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagianbagian yang tergantung satu sama lain. Filsafat merupakan sebuah ilmu pegetahuan yang berkaitan dengan pemikiran dan hasil pemikiran, yang selanjutnya dispesifikasikan menjadi berbagai cabang. Berbicara pemikiran, tentu saja dalam mempelajari filsafat juga diartikan mempelajari para tokoh–tokoh pemikir filsafat, yang kemudian disebut sebagai filsuf. Hal ini penting dilakukan, agar pengetahuan yang didapat dalam mempelajari filsafat dapat berjalan maksimal. Ada berbagai cabang ilmu filsafat: filsafat pendidikan, filsafat sosial, filsafat politik, filsafat seni dan lain sebagainya. Dalam setiap perkembangan ilmu dalam filsafat, tidak akan terlepas pada sumbangan pemikiran dari para tokoh filsafat, misalnya, di bidang sosiologi yang akan mempelajari masayarakat yang disebut dengan manusia. Salah satu pemikir yang banyak membahas mengenai teori itu adalah Herbert Spencer yaitu tokoh fundamental yang lahir di masa Victorian. Perannya di bidang sosiologi, bahkan juga evolusi memiliki pemikiran–pemikiran yang tajam dan mendetail. Untuk itu seorang ilmuan yang kerap disapa Spencer ini menarik untuk dipelajari. Herbert Spencer adalah seorang tokoh filsuf sosiologi, evolusi, antropologi, psikologi bahkan juga politik yang mendunia pada masanya. Hingga sekarang pun namanya masih sering disebut–sebut dalam buku panduan refernsi dalam bidang biologi, sosiologi dan psikologi. Seorang laki-laki yang tidak pernah duduk dibangku sekolah ini, mengenyam pendidikan dari ayahnya, yang selanjutnya diteruskan oleh pamannya. Di usia 17 tahun, pria yang kerap dipanggil Spencer ini sudah menjadi insinyur di pembanguan jalan kereta api. Ketertarikannya pada Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



374



biologi muncul dari pekerjaannya di Birmingham sebagai insyinyur jalan kereta api. Hal inilah yang selanjutnya menarik perhatiannya di bidang evolusi, yaitu ketika ia memulai meriksa pada fosil yang diambil dari serpihan-serpihan dari land clearing proyek pembangunan jalan atau rel kereta api. Ia adalah seorang filsuf sosial Inggris yang pernah dekat dengan Marian Evans ini melanjutkan karirnya di bidang jurnalistik menjadi penulis dan redaktur The Economist. Sebuah tabloid mingguan keuangan yang penting pada saat itu untuk kelas menengah ke atas di tahun 1850 . Pada tahun yang sama, ia juga menerbitkan bukunya The Social Static. Buku ini banyak membahas tentang filsafat politik, meski juga menyinggung persoalan evolusi. Tahun 1852, ia menerbitkan sebuah artikel The Development of Hypothesis. Ia pun pernah bergerak di bidang pemerintahan, salah satunya dia berperan sebagai mediator. Tahun 1855, ia bergerak di bidang psikologi dan evolusi, kemudian pikiran–pikirannya tertuang dalam The Principle of Psychology edisi pertama. Tahun selanjutnya 1858, Spencer memiliki minat di sosiologi. Dia menyusun gagasan survei di bidang biologi, psikologi, sosiologi dan etika dari sudut pandang evolusi. Kemudian pada tahun 1862 dia menulis bagian pertama dari Synthetic Philosophy atau disebut dengan filsafat sintetik dengan judul First Principles, yang banyak membahas tentang prinsip-prinsip evolusi. Spencer memperkerjakan peneliti untuk membaca dan meneliti sumber-sumber etnografi budaya dan sumber sejarah dan mengaturnya sesuai dengan sistem yang Spencer rencanakan. Hasil dari usaha ini diterbitkan dalam beberapa edisi atau volume yang terpisah dengan judul The Descriptive Sociology. Karya ini diterbitkan antara tahun 1873 dan 1881. Edisi selanjutnya tidak diterbitkan, karena alasan finansial. Buku ini pun diterbitkan setelah kematian Spencer. Tahun 1873 Spencer menulis The Study of Sociology. Ia, dalam karya ini, menjelaskan mengenai tatanan social (social stratification). Selanjutnya buku ini disajikan sebagai buku rujukan (text book) di Yale. Buku ini kemudian memiliki pengaruh yang kuat di Amerika. Sebelum penerbitan jilid terakhir The Study of Sociology( 1896), Spencer telah dinobatkan sebagai seorang filsuf dan ilmuan yang terhormat dan dikagumi. Buku-buku karya Spencer banyak dibaca di belahan dunia ini. Pandangan-pandangannya mendapat perhatian besar, misalnya, buku Principles of Biology telah diadopsi sebagai buku panduan biologi di Oxford. Demikian pula dengan Principles of Psychology juga digunakan oleh William James Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



375



sebagai buku ajar untuk dua mata kuliah. Pada saat itu Spencer menjadi pusat perhatian di dalam dunia akademik. Tahun 1867, ia diminta menjadi kandidat untuk jabatan guru filsafat Empiris dan Logika di University College London, namun ia menolaknya. Antara tahun 1871 dan 1903 ia mendapat tawaran tidak kurang dari 32 penghargaan akademis, namu dia juga menolaknya. Dia pun juga menulis The Man Versus The State, yang isinya mengenai masyarakat manusia dengan institusi yang bernama negara. Akhirnya dalam usia 83 Spencer meninggal dunia pada tahun 1903. Lantas, bagaimana bisa seorang insyinyur jalur kereta api seperti ini mampu menjabarkan biologi, sosiologi, psikologi, evolusi, bahkan juga politik secara mendetail? Ia juga tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bangku sekolah, namun ia mampu mengkaji dan menjabarkan beberapa bidang ilmu? Kesemua keahlian yang dimiliki Spencer ternyata berawal dari hasil pemeriksaan dan pengamataannya terhadap fosil dalam proyek pembangunan jalan rel kereta api. Dengan demikian, Spencer harus dihargai sebagai seseorang yang memiliki bakat dan talenta yang cukup besar dengan pertimbangan-pertimbangan berikut: Pertama, di sini akan saya jelaskan mengenai pandangan Spencer tentang evolusi. Menurutnya, bahwa masyarakat manusia dapat dipelajari secara ilmiah dan dapat pula dipelajari dari pandangan evolusioner. Dia juga mendiskripsikan evolusi dan menerapkan konsep evolusi secara sistematik, baik pada alam semesta pada umumnya maupun masyarakat manusia pada khususnya.  Baginya alam semesta ini pada dasarnya terdiri atas materi dan energi. Dia menjelaskan, bahwa Evolusi adalah perubahan dari keadaan yang relatif tidak terbatas, tidak koheren, homogenitas ke keadaan yang relatif pasti, koheren, heterogen. Ia pun dalam konsepnya tersebut bermaksud, bahwa perubahan dari keadaan yang relatif terbatas, tidak pasti, homogenitas, dapat menjadi keadaan yang relatif pasti, masuk akal dan heterogenitas. Menurut Spencer, bahwa sebuah evolusi harus dilihat sebagai suatu bentuk proses yang berangkat dari suatu hal yang paling sederhana menuju hal-hal yang lebih rumit. Hal tersebut berangkat dari sebuah proses yang berturut-turut dengan pembedaan-pembedaan tertentu. Dengan demikian, evolusi manusia harus dilihat melalui struktur lapisan tanah dan iklim bumi. Kemudian dilihat pada kumpulan ras, peradaban individu, segi politik, agama, ekonomi dan tingkat aktivitas manusia dari kegiatan konkrit hingga yang abstrka. Jadi, bagi Spencer evolusi itu dimulai dari hal yang sederhana sampai menuju hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



376



adanya seleksi alam (survival of the fittest). Menurutnya evolusi harus pula dilihat dari proses sebab dan akibatnya (causative). Menurutnya, sesuatu yang kuat atau yang mampu memperjuangkan dirinya, yang memiliki kesempatan untuk hidup. Sedangkan, yang lemah dan malas yang akan tersisih dan dengan sendirinya kurang berhasil dalam hidupnya. Kedua, di bidang sosiologi. Pandangan–pandangan evolusi Spencer lebih menjurus pada evolusi tingkah laku manusia, sehingga ia dalam hal ini mengarah pada sosiologi. Ia telah menerbitkan tiga jilid buku berjudul The Principles of Sociology. Spencer memiliki gagasan yang jelas mengenai ilmu perbandingan masyarakat yang didasarkan pada prinsip-prinsip evolusi. Ia berpendapat, bahwa kemajuan organisme dari jenis rendah ke tinggi adalah jenis kemajuan dari keseragaman struktur. Ia juga mempertahankan pola sebab akibat dalam memandang suatu masalah, misalnya, dalam kaitannya dengan perilaku sosial manusia dan semua hal yang berasal dari alam. Menurut para tokoh ilmiah yang tidak menyukai sejarah, bahwa ia hanya tertarik pada soiologi yang lebih berkaitan dengan sejarah. Bagi Sepencer sejarah itu ibarat bangunan, sedangkan sosiologi adalah batu bata yang berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, ia pun lebih berminat pada bidang sosiologi daripada sejarah. Ia kemudian berasumsi, bahwa sejarah yang berisi tentang nilai-nilai praktis disebut dengan sosiologi deskriptif (descriptve sociology). Spencer juga berpendapat, bahwa ada kesejajaran antara organisme biologis dan masyarakat sebagai kumpulan dari manusia. Hal ini dilihat dari bentukannya, sehingga setiap individu dalam masyarakat harus dilihat dari pembentuknya. Cara melihatnya pun harus dengan metode-metode, sistem-sistem dan pengaturan yang sistematis. Kemudian digunakan. untuk menentukan kesamaan antara organisme tunggal atau individul dan organisme sosial. Spencer melihat struktur sosial (social structure) yang timbul berwal pada sebab, kemudian berkembang, yang selanjutnya mempunyai akibat, sehingga struktur sosial tersebut dapat terbentuk. Prinsip sosiologi dikhususkan untuk menelusuri pengkhususan fungsi dan menyertai pengkhususan yang lebih detail dan spesifikasi struktur menjadi suatu yang baru. Hal inilah yang menjadi ciri evolusi budaya. Spencer pernah menyebutkan hal-hal yang terkait dengan superorganic, yaitu sebuah penunjuk dari elemen atau bagian unik, yang berbeda dalam perilaku manusia, yang selanjutnya memiliki kesamaan arti dengan budaya. Tidak hanya budaya manusia, tetapi juga hal-hal lain yang ada di alam. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



377



Sepencer dalam bidang sosiologi mengutarakan, bahwa fenomena sosial (social phenomenon) tergantung dari sebagian sifat individual dan sebagian pada kekuatan, yang terkait dengan apa yang ada di sekitarnya. Kemungkinan bertahan hidup terletak pada akar dari solidaritas sosial manusia (social solidarity). Hidup bersama-sama dalam bentuk kelompok jauh lebih menguntungkan daripada hidup terpisah. Hal ini akan terus berjalan, jika dibarengi dengan komunikasi dan pemeliharaan solidaritas yang baik pula. Bagi Spencer, kebenaran terdalam bisa tercapai melalui pernyataan dari keseragaman terluas atau terbanyak dalam hubungan manusia. Spencer adalah salah satu dari para ilmuan yang pertama kali menyebutkan, bahwa perubahan budaya lebih baik dijelaskan dalam hal kekuatan sosial88 budaya (socio-cultural capital) daripada akibat tindakantindakan manusia yang penting (the result of action of important man). Ketiga, pandangan politik. Spencer berpandangan, bahwa sistem politik pada suatu negara hendaknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada dan tidak memaksakan sebuah sistem. Menurutnya, masyarakat itu tumbuh bukan karena sebuah pembentukan, tetapi karena pertumbuhan. Spencer juga menghargai adanya perkembangan ekonomi dalam sebuah negara yang kemudian mempengaruhi perkembangan adat istiadat 89 (civilization) dan lembaga pemerintahan. Hal ini tidak hanya merujuk pada polotik tetapi juga sosiologi. Baginya, peran penting ada dalam perekonomian, khusunya di bidang perdagangan dan industri. Hal ini mampu merubah tatanan masyarakat maupun lembaga pemerintahan. Keempat, pandangan Spencer mengenai pernikahan antar manusia. Dalam  karyanya The Principles of Sociology, ia juga membahas mengenai perkembangan perkawinan, bentuk keluarga, kosep-konsep harta milik dan sejenisnya. Ia tidak percaya, bahwa hubungan seks antar saudara yang tabu dikarenakan oleh faktor bawaan. Dia juga tidak percaya, bahwa hubungan seksual adalah tahap awal perkawinan manusia. Ayah merupakan faktor penentu dari garis keturunan dan kekerabatan. Ia juga memiliki pandangan, bahkan dalam masyarakat primitif yang menganut asas matrilineal atau garis keturunan ibu sebagai pusatnya masih menganggap keberadaan ayah untuk menerima garis keturunan dan kekerabatan laki-laki. Kelima, pandangan Specer mengenai agama. Dalam The Principle of Sociology, Spencer membahas teori tentang asal-usul agama yang kemudian 88



89



Kapasitas Sosial (social capacity atau social personality) yaitu potensi asli yang berhubungan dengan suatu fungsi sosial (Al-Barry, 2000 : 140). Adat istiadat Primat (Koentjaraningrat, 2003: 196) adalah suku tertinggi diantara binatang menyusui atau mamalia. Dalam suku primat ini termasuk semua jenis kera, mulai dari jenis kera kecil seperti tarsili, kera besar seperti gorilla hingga manusia.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



378



dikenal dengan teori hantu atau the ghost theory. Menurut pandangan ini, konsep jiwa yang mendiami tubuh manusia adalah keyakinan supranatural manusia, yang selanjutnya diperluas lagi untuk hewan, tumbuhan dan benda mati. Melalui suatu keberadaan dan pengkhususan menjadi lebih spesifik, konsep jiwa berubah menjadi berbagai bentuk dan kekuatan. Hal ini yang membuat kepercayaan individu berbeda, karena konsep Tuhan menjadi semakin banyak, seperi halnya kepercayaan menganut dewa (dinamism). Bagi Spencer, hal ini tidak lepas pengaruhnya dari sosiologi. Selanjutnya, Spencer beranggapan, bahwa ia lebih peduli terhadap proses daripada tahapan-tahapan. Ia melihat proses perkembangan manusia itu ditimbulkan dari proses lingkungan budaya dan alam bukan gerakan melalui serangkaian tahapan-tahapan. Spencer juga meyatakan, bahwa sistem ekonomi bekerja baik jika setiap individu diperbolehkan untuk mencari kepentingannya sendiri atau sukarela. Sedangkan negara tidak boleh ikut campur tangan, kecuali dalam urusan peraturan mengenai hak-hak orang lain atau kecuali ketika negara melakukan kontrak secara pribadi. Dengan demikian, bisnis akan berjalan lancar dan akan menciptakan persaingan. Sehingga akan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam sebuah negara. Spencer yang meninggal di usia 83 tahun telah memiliki peran besar di bidang sosiologi, evolusi, antropologi, tipologi masyarakat manusia, pembagian kerja, struktur sosial dan sebagainya. Meski, pengaruhnya akhirakhir ini hanya sedikit, namun setidaknya Spencer juga memiliki sumbangan yang besar khususnya di bidang sosiologi dan antropologi. Sebagian besar pemikiran Spencer berada pada pola tatanan masyarakat, yaitu apa yang menjadi pengaruhnya, bagaimana masyarakat mampu berkembang, faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung pengembangan masyarakat dan apa hasil yang akan diperoleh. Hal ini berkaitan dengan pandangannya terhadap hubungan sebab akibat (causal). Spencer dalam berbagai kesempatan selalu menyatakan, bahwa yang menjadi pengaruh segala gejala dan fenomena apapun tidak terlepas dari faktor budaya dan lingkungan yang mengakibatkan proses seleksi alam. Menurutnya, ilmu sosiologi telah menjadi landasan fundamental bagi ilmu lain seperti psikologi, antropologi, ekonomi, politik, evolusi dan sejarah. Sosiologi, menurutnya, diibaratkan batu bata yang tersusun, sementara ilmu ilmu lain adalah bangunannya. Dia juga beranggapan, bahwa segala sesuatu yang kuat dan mampu bertahan, akan terus melanjutkan kehidupannya. Sebaliknya, yang lemah dan tidak mampu bertahan, dengan sendirinya akan menghilang, karena proses seleksi alam. Spencer juga lebih menghargai dan peduli pada sebuah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



379



proses daripada hasil akhir dari segala sesuatu. Bukan hanya sekedar langkah–mencapai sesuatu. Spencer dianggap sebagai pelopor teori evolusi. Ide yang masih merupakan kontribusi penting beliau dalam teori-teori sosial ini sering dicampakkan begitu saja oleh banyak kalangan, termasuk konsep sintetisnya (synthetic philosophy) betul-betul telah terlupakan. Mengapa Spencer masih terus diingat, karena ia telah banyak membuat formulasi teori yang masih kita gunakan hingga saat ini. Dialah yang pertama-tama menggunakan konsep: superorganic, function, structure dan system. Superorganik menurut Smith (1990: 271) adalah pandangan budaya yang bersumber dari fenomena budaya atau sosial harus digunakan dalam hal teori-teori budaya atau sosial dan tidak direduksi ke tingkat lain seperti antropologi atau ekologis. Pandangan ini, yang pertama kali dikemukakan oleh Durkheim juga diadopsi oleh antropolog budaya AS seperti Kroeber, Lowle dan White dan antropologi sosial Inggris oleh sekolah Struktural Fungsionalis. Fungsi menurut Smith (1990, 125-126) dalam ilmu sosial sebagai teori fungsionalis seperti Spencer di Inggris dan Durkheim di Perancis menggunakan analogi secara biologis dalam studi mereka tentang masyarakat. Manurut Radcliffe Brown dan Malinowski, bahwa bagian-bagian konstitusi dari masyarakat atau perselisihan sosial dalam masyarakat adalah terintegrasi. Fungsi menurut Smith (1990, 125-126) dalam ilmu sosial sebagai teori fungsionalis awal seperti Spencer di Inggris dan Durkheim di Perancis menggunakan analogi biologis atau organik dalam studi mereka tentang masyarakat. Radcliffe-Brown dan Malinowski menyarankan, bahwa bagian-bagian konstitusi masyarakat atau institusi sosial berfungsi bersama dan saling ketergantungan sebagai keseluruhan yang terintegrasi. Struktur (sosial) Koentjaraningrat (2003: 226) adalah konsep yang pada awalnya diperkenalkan oleh ahli antropologi A. R. Radcliffe Brown, yang berarti perumusan asas-asas hubungan antar-individu dalam kehidupan masyarakat. Sistem budaya (Koentjaraningrat, 2003: 218) ada1ah rangkaian gagasan, konsepsi, norma, adat istiadat yang menata tingkah 1aku manusia dalam masyarakat dan yang merupakan wujud ideologis kebudayaan. Keaslian fungsionalisme struktur juga dapat ditemukan dalam karyakarya Spencer --- sebuah fakta, bahwa ia terlupakan beberapa dekade ketika ia berargumentasi --- bahwa evolusi dan funsionalisme adalah dua hal yang bertentangan. Spencer sebagai penggagas konsep sintetis (synthetics philosophy) tidak hanya tertarik pada ilmu sosial saja, akan tetapi pada semua bidang ilmu. Dia juga telah menaruh perhatian khusus pada bidang studi biologi. Adalah Spencer dan bukan Darwin, yang telah menghembuskan konsep persaingan hidup (the survival of the fittest), sekalipun Wallace dan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



380



Darwin memang menggunakan konsep tersebut dalam studinya tentang mekanisme biologi. Hal yang sangat penting bagi para antropolog, ketika Spencer menggunakan model organisme biologi sebagai landasan dalam memahami bidang-bidang atau realitas sosial (social realism). Spencer melihat organisme sebagai model untuk masayarakat dalam dua cara: i) sebuah masyarakat merepresentasi sebuah sistem yang mempunyai struktur dan fungsi dan ii) sebuah masyarakat merepresentasi level-level evolusi sosial khusus, yang dapat ditentukan berdasarkan pada perbedaan strukturnya. Pendekatan terhadap masyarakat seperti ini menghadirkan sebuah analogi befikir (analogi organik) dalam memperlakukan organisme biologi. Proses yang tampak dalam biologi, seperti: evolution, function, structure, homeostasis dapat dikatakan juga tampak dalam logika sosial . Menurut Spencer keuniversalan hanya dapat dibahas dalam istilahistilah evolusi. Ia mengklaim, bahwa masyarakat sebagai sesuatu yang tidak terpecah-pecah (undifferentiated) dan merupakan sebuah sistem yang simple (organic). Melalui evolusi masyarakat mengembangkan struktur-struktur tertentu (misalnya, pemerintahan) untuk membentuk fungsi-fungsi khusus (misalnya, koordinasi semua sistem). Semakin terstruktur dan berfungsi sebuah diferensiasi sebuah masyarakat, semakin jelas pula taksonomitaksonomi proses evolusi yang terjadi di dalamnya. Dengan berdasar pada konsep di atas, Spencer kemudian mengembangkan dua skema taksonomi sosial (social taxonomy). Keduanya serba tidak cukup, baik dalam teoretis maupun utilitas data yang ada. Sekalipun demikian, hal ini sudah merupakan sebuah langka awal yang sangat berarti. Sebagai catatan, Spencer juga menggunakan istilah superorganics, yang dalam teori antropologi merupakan pengembangan dari tulisan-tulisannya, seperti Edward Sapir dan Alfred Louis Kroeber. Tulisan Spencer tentang superorganik mengacu pada ide, bahwa superorganik melampaui prinsip individual (exceed the individual). Melalui superorganik, menurut Spencer, pengkoordinasian tindakan-tindakan manusia sangat mungkin terjadi. Dengan pendapat seperti ini kita akan sampai pada pembahasan tentang konsep kebudayaan, yang tentu saja bila kata kebudayaan (culture) disubstitusikan dalam berbagai konteks, arti konteks tersebut akan menjadi semakin jelas. Tentu saja istilah-istilah lain, yang dikemukakan oleh Durkheim hati nurani kolektif (conscience collective), merupakan kendala lain dalam membicarakan masalah budaya tanpa konsep budaya. Selain Spencer membeikan pengabdiannya secara total pada pengkonseptualisasian teori evolusi, juga harus ditandai, bahwa teori-teori evolusi modern Morgan jauh lebih langsung daripada apa yang sudah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



381



dilakukan Spencer. Struktural funsionalisme mucul untuk memperkuat landasan pikir Spencer tentang; structure, junction, organism dan evolution. 2. Lewis Henry Morgan Lewis Henry Morgan (lahir di Aurora, 21 November 1818 dan meninggal di Rochester 17 Desember 1881). Morgan adalah seorang etnologi Amerika Serikat yang terkenal karena penelitiannya mengenai hubungan kekeluargaan. Penelitiannya ini sebagai bagian dari usahanya untuk membuktikan, bahwa bangsa Amerika telah melakukan migrasi ke Amerika Utara, sehingga publik bisa mengetahui dan menentukan asal mula kediaman bangsa ini. Hasil dan penelitiannya ini kemudian dikenal sebagai teori evolusi sosial (social evolutions)90. Kariernya dimulai ketika Morgan belajar hukum di Rochester pada tahun 1844 hingga tahun 1862. Ia kemudian menjadi salah satu anggota Dewan Kota New York pada tahun 1868-1869. Pada awal tahun 1840an, ia mulai mengembangkan studinya mengenai perjuangan masyarakat asli Amerika dalam menghadapi kolonialisasi dan penindasan. Ia melakukan survai melalui metode historis, organisasi sosial dan kebudayaan. Hasil dari pengembangan studi ini ditulis di dalam The Leaguw of the Ho-dé-no-sau-nee or Iroquois pada tahun 1851. Karya lainnya yang menarik adalah penelitiannya mengenai masyarakat Anglo-Amerika pada tahun 1856, yang ia tulis dalam bukunya berjudul Systems of Consanguinity and Affinity of the Human Family pada tahun 1871. Bukunya berjudul In Ancient Society pada tahun 1877, memiliki pengaruh besar terhadap karya Karl Marx dan Friedrich Engels. Berkat karya-karyanya ini, ia dikenal sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan Antropologi Budaya. Pakar kelahiran Aurora, Cayuga County, New York ini bisa disebut sebagai salah satu peletak dasar ilmu antropologi sebagaimana dikenal dan dipraktikkan dunia modern, khususnya terkait beberapa teori mengenai kekeluargaan dan keturunan (kinship), serta pemetaan struktur dan perkembangan evolusi sosial (social structure map). Morgan banyak mendasari penelitian etnografis berdasarkan kajian terhadap bangsa Iroquois yaitu sekumpulan suku asli Amerika Utara. Ketika melaksanakan penelitian lapangan, Morgan meneliti berbagai faktor yang dapat membuat anggota komunitas bersatu terlepas dari segala perbedaan yang ada. Berdasar hasil kajian lapangan tersebut, suami Mary Elizabeth Steele ini mengajukan sebuah gagasan yang unik: bahwa konsep komunitas masyarakat yang paling awal muncul justru berbasis garis keturunan 90



Evolusi sosial adalah subdisiplin biologi evolusioner yang berkaitan dengan perilaku sosial yang memiliki konsekuensi kebugaran bagi individu selain aktor. Perilaku sosial dapat dikategorikan sesuai dengan konsekuensi kebugaran yang mereka emban untuk aktor dan penerima.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



382



matrilineal (matrilineality)91, atau berarti bermula dari pihak ibu dan atau leluhur ibu. Konsep ini digunakan dan diterima para ahli antropologi hingga akhir abad ke-19. Selain itu, putra penemu Jedediah Morgan ini juga menunjukkan ketertarikannya untuk meneliti berbagai faktor pemicu terjadinya perubahan sosial. Hasil penelitian Lewis Morgan dituangkan pada banyak buku yang telah diterbitkan (lihat daftar karya-karyanya di bawah) mulai paruh hingga menjelang akhir abad ke-19. Pemikiran Morgan, mempengaruhi beberapa tokoh dan pelopor ilmu pengetahuan tingkat dunia generasi berikutnya. Mereka setidak-setidaknya membaca, teori sosial Lewis Morgan. Karl Marx dan Friedrich Engel, misalnya, dua pendiri paham komunisme Eropa, tertarik membaca karya Morgan terkait pemetan dan perubahan struktur sosial dan budaya materil. Bahkan, dua tokoh peletak dasar ilmu pengetahuan modern, Charles Darwin (sang evolusionis) dan Sigmund Freud, (sang psikoanalis), juga tidak segan-segannya mengutip teori antropolog kelahiran Aurora, New York, Amerika Serikat ini. Pada tanggal 17 Desember 1881, Lewis Henry Morgan menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 63 tahun dan dimakamkan di Maoseleum wilayah Mount Hope yang menjadi pemakaman keluarga Morgan. Morgan sebenranya adalah ahli hukum dan menjadi pengacara bagi suku Indian Iroquois. Separuh hidupnya tinggal bersama suku tersebut untuk membela mereka menyelesaikan kasus sengketa tanah. Selama hubungannya dengan orang Indian Iroquois, Morgan banyak mendapat inpirasi pengetahuan mengenai kebudayaan orang Indian. Hasilnya, Morgan untuk pertama kalinya menulis etnografi berjudul League of the Ho-de-no-Sau-nie or Iroquonis (1851).  Dalam bukunya tersebut, Morgan menggambarkan sistem kekerabatan dan menemukan cara untuk mengurai semua sistem kekerabatan yang berbeda-beda, yang jumlahnya mencapai ribuan di dunia ini. Morgan tertarik dengan istilah kekerabatan Indian Iroquois yang tidak sama dengan istilah orang Inggris. Istilah seperti hanih dalam bahasa orang Iroquois mengacu pada banyak individu (saudara laki-laki ayah) berbeda dengan istilah father yang mengacu untuk satu individu saja. Morgan mengambil kecenderungan kesejajaran yang seringkali ditemukan dalam sistem istilah kekerabat (system of kinship terminology) dan sistem kekerabatan (kinship system). 91



Matrilineality adalah penelusuran keturunan melalui garis perempuan. Ini juga dapat berkorelasi dengan sistem kemasyarakatan di mana setiap orang diidentifikasi dari garis keturunan ibu. Segala bentuk pewarisan ditentukan berdasarkan ibu, sehingga matriline adalah garis keturunan dari nenek moyang perempuan ke di mana individu dalam semua generasi yang berkuasa adalah ibu. Dalam sistem keturunan matrilineal, seorang individu dianggap sebagai kelompok keturunan yang sama dengan ibu mereka.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



383



Keyakinannya tentang evolusi masyarakat ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Ancient Society (1877). Dalam bukunya tersebut, Morgam memberikan satu tese mengenai delapan tingkatan evolusi yang universal, yang ia yakini masyarakat pada semua bangsa di dunia telah-sedang-akan menyelesaikan proses evolusinya. Morgan memberikan 8 tahapan evolusi, berikut ini: 1.  Zaman Liar Tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan api. Manusia pada zaman ini hidup dari meramu, mencari akar-akar dan tumbuhan-tumbuhan liar (food and gathering). 2.  Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur/panah. Manusia dalam zaman ini mulai merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari ikan disungai-sungai dan memburu. 3.  Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata busur/panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat tembikar. 4.  Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai beternak dan bercocok tanam. 5.  Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam 6.  Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam sampai ia mengenal tulisan. 7.  Zaman Peradaban Purba (Civilization) 8.  Zaman Peradaban Masa Kini (contemporer) Morgan menggunakan tahapan evolusi tersebut di atas untuk menyusun unsur-unsur kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian di Amerika. Akan tetapi, beberapa antropolog di Amerika justru meragukan teori Morgan tersebut, karena dianggapnya terlalu mengabaikan unsurunsur kebudayaan yang turut berpengaruh di dalamnya. Mereka menganggap Morgan telah mengabaikan keunikan atau keistimewaan perkembangan setiap masyarakat. Sayangnya, karena saat ini justru Franz Boaz yang diakui sebagai the father of American anthropology ketimbang Morgan. Akan tetapi, Morgan sangat dihargai oleh kaum komunis, berkat teorinya mengenai evolusi dianggap menjadi penopang bagi ajaran Karl Marx dan F. Engels. Tiga aspek hasil karya Morgan hingga saat ini masih tetap eksis: 1) penemuannya tentang pengklasifikasian sistem kekerabatan, 2) analisisnya yang membedakan antara keluarga (family) dengan rumah tangga (houshould), khusus analisisnya yang penuh kehati-hatian di lingkunngan keluarga orang-orang Indian Amerika dan 3) kontribusinya dalam pengembangan teori-teori antropologi. Penemuannya, bahwa orang Indian Amerika, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



384



seperti halnya dengan masyarakat lain di seantero jagad ini, menggunakan istilah-istilah klasifikasi kekerabatan (mereka menggunakan kata yang sama dalam menyapa ibu ego dan saudara ibu ego dan seterusnya) adalah sangat penting dalam antropologi. Hasilnya, banyak antropolog pasca penelitian Morgan tersebut yang mengkhususkan diri untuk meneliti kekerabatan atau sistem kekerabatan. Sekalipun klasifikasi sistem kekerabatan merupakan bagian yang selalu tidak terlupakan dalam setiap kerja lapang Morgan, namun dalam bukunya Systems of Consanguity and Affinity of the Human Family (1871) hal tersebut justru jarang dimunculkan. Pembahasannya tentang rumah tangga (houshold) jesteru lebih banyak diutarakan dalam bukunya berjudul Houses and House-Life of the American Aborigines (1881). Meskipun demikian, konstribusi pemikiran Morgan dalam pengembangan teori-teori antropologi yang ia sebut sebagai pendekatan materealis untuk evolusi dan masyarakat, sangat banyak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa Ancient Society (1877) adalah salah satu karya spektakuler Morgan dan masih berpengaruh dalam pemikiran-pemikiran teori evolusi saat ini. Oleh karena itu, Morgan dianggap sebagai penganut teori materealis. Bukunya pun merajalela di bebagai kampus yang ada di Eropa. Ketika Engels, misalnya, menemukan dan menganggap buku ini sebagai sebuah dialektika92 norma yang berdasarkan prinsip materealisme (dialectical materealism), buku ini justru dianggap cocok sebagai dasar faham komunis yang Engels sedang kembangkan. Morgan juga mampu mempengaruhi beberapa arkeolog, baik aliran Marxist maupun non-Marxist, sebagai akibat dari pendekatan materealismenya tersebut. Kebesaran pengaruhnya tersebut, saat ini dapat ditemukan di dalam aliran materealisme kebudayaan (cultural materealism). Di pihak lain, karena penggunaan metode komparatif yang serampangan --- timbul dua kubu terhadap pandangan Morgan --- yaitu yang mengeritik (Boas dan pengikut-pengikutnya) dan yang tidak mengeritik umumnya berasal dari pembaca biasa (kaum komparitif dan kaum evolusionis). Oleh karena kritikan tersebut, hampir seluruh konsep Morgan diabaikan di dalam dunia antropologi Amerika selama tahun 1900 hingga tahun 1949 (bertepatan dengan terbitnya buku Leslie A. White berjudul The Science of Culture. Melalui bukunya Acient Society ia berusaha memahami masyarakat melalui sistem teknologi dan sistem ekonomi, yang membuat Morgan memberi pengaruh besar pada Engels, Gordon Childe, Leslie A. White dan Marvin Harris. Tidak dapat dipungkiri, bahwa memang data-data Morgan 92



Dialektika (Dialectic or dialectics) adalah wacana antara dua atau lebih orang yang memegang berbagai sudut pandang berbeda tentang suatu subjek tetapi ingin menetapkan kebenaran melalui argumen-argumen yang beralasan. Istilah dialektika tidak identik dengan istilah debat dan retorika.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



385



tidak selamanya yang terbaik --- karena beberapa diantaranya mungkin bisa --- tetapi hal itu tidak terlalu melenceng dari nilai-nilai prinsip, yang melatari teori Morgan. Melalui Ancient Societynya Morgan mengusulkan sebuah skema evolusi, dimana setiap jenjang evolusi (evolution stage) berkorens-pondensi dengan tipe-tipe teknologi dan subsitensi tertentu. Misalnya, jenjang orangorang Middle Barabarian yang mulai dengan mengembangkan busur dan anak panah dan berakhir pada pembuatan gerabah (pottery)93. Dengan kata lain, setiap jenjang evolusi harus ada teknologi khusus yang menyertai atau menandainya. Seperti halnya dengan sebuah tipe kehidupan sosio-kultur juga harus berkorespondensi dengan teknologi tertentu dalam pengembangannya. Sekarang, teori penjenjangan Morgan, yang mengacu pada salah satu bentuk teknologi sebagai indikatornya, dianggap banyak kalangan salah. Akan tetapi, jika kita melihat lebih mendalam, pada prinsipnya Morgan benar dalam hal ini, karena penemuan teknologi dan penemuan perubahan homeostasis sosial diperlukan untuk mengembangkan karakter sosio-kultur yang baru dan menjadi sebuah kebutuhan mutlak manusia untuk tetap bertahan hidup. 3. Edward Burnett Tylor Sir Edward Burnett Tylor lahir pada tanggal 2 Oktober 1832 dan meninggal pada tanggal 2 Januari 1917). Ia adalah seorang antropolog yang berasal dari Inggris. Tylor dikenal melalui jasanya dalam penelitian evolusi kebudayaan. Dalam karyanya Primitive culture dan Anthropology. Ia mendefinisikan konteks penelitian ilmiah dalam antropologi, yang didasari Oleh teori evolusi Charle Darwin. Dia percaya, bahwa ada sebuah basis fungsional dalam perkembangan masyarakat dan agama, yang ia anggap bersifat universal. Ia juga lebih dineal sebagai perintis antropologi sosial budaya yang berasal dari Inggeris. Salah satu karya terpenting E. B. Tylor adalah Primitive Culture: Research into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custum (1871). Ia juga yang memperkenalkan kembali istilah animisme (kepercayaan terhadap jiwa dan roh-roh nenek moyang) yang ia anggap sebagai sebuah fase awal dalam perkembangan agama 93



Menurut informasi data arkeologi, bahwa diduga gerabah pertama kali dikenal pada masa neolitik (kira-kira 10.000 tahun SM) di daratan Eropa dan mungkin pula sekitar akhir masa paleolitik (kira-kira 25.000 tahun SM) di daerah Timur Dekat. Menurut para ahli kebudayaan, gerabah merupakan kebudayaan yang universal (menyeluruh), artinya gerabah ditemukan di mana-mana, hampir di seluruh bagian dunia. Perkembangannya bahkan juga penemuannya muncul secara individual di tiap daerah tanpa harus selalu mempengaruhi. Mungkin juga masing-masing bangsa menemukan sendiri sistem pembuatan gerabah tanpa adanya unsur peniruan dari bangsa lain.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



386



dengan skema: Jiwa  Mahluk  Halus (Roh)  Dewa-Dewa ( animism)  Satu Tuhan. E. B. Tylor berpendapat, bahwa asal mula religi mencerminkan adanya kesadaran manusia tentang jiwa. Kesadaran ini disebabkan oleh dua hal: 1. Adanya perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Manusai sadar, bahwa ketika manusai hidup ada sesuatu yang menggerakkan dan kekuatan yang menggerakkan manusia itu disebut dengan jiwa. 2. Peristiwa mimpi, di mana manusia melihat dirinya di tempat lain (bukan di tempat ia sedang tidur). Hal ini menyebabkan manusia membedakan antara tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur dengan rohaninya di tempat-tempat lain yang disebut jiwa. Selanjutnya menurut Tylor, bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya roh atau mahluk halus. Inilah menyebabkan manusia berkeyakinan kepada roh-roh yang menempati alam, sehingga manusia memberikan penghormatan berupa upacara doa, sesajian kepadanya. Tylor menyebut persembahan ini sebagai anamisme. Pada tingkat selanjutnya manusia yakin terhadap gejala gerak alam, yang disebabkan oleh mahluk-mahluk halus yang menempati alam tersebut. Kemudian jiwa alam tersebut dipersoni-fikasikan sebagai dewa-dewa alam. Pada tingkat selanjutnya manusia yakin, bahwa dewa-dewa tersebut memiliki dewa tertinggi atau raja dewa. Hingga akhirnya manusia berkeyakinan pada satu Tuhan. Tylor adalah Antropolog dari Inggris yang mewakili evolusionisme budaya. Posisi Tylor terebut tercermin dalam bukunya berjudul Primitive Culture dan Anthropology. Ia mendefinisikan konteks penelitian ilmiah antropologi berdasarkan teori evolusi Charles Lyell. Tylor percaya, bahwa ada sifat universal dalam setiap kebudayaan, terutama dalam masyarakat dan agama. E B Tylor dianggap oleh banyak orang sebagai tokoh pendiri ilmu antropologi sosial dan kontribusi karya-karya ilmiahnya terlihat dalam disiplin Antropologi yang mulai terbentuk di abad ke-19. Ia percaya penelitian yang menjadi sejarah dan prasejarah manusia dapat digunakan sebagai dasar bagi perubahan agama dalam masyarakat. Awal karirnya dimulai pada saat perjalanannya ke Meksiko tahun 1856, sekalipun hanya sebagai asisten peneliti, namun ia dianggap mempunyai keahlian di bidang arkeologi. Tylor, dalam ekspedisi tersebut membuahkan buku berjudul Anahuac or Meksiko and Mexicans, Ancient and Modern (1861). Dia memperkenalkan kembali istilah animisme (iman di dalam jiwa individu atau anima segala sesuatu dan manifestasi alam), yang umum digunakan dalam masyarakat primitive. Ia beranggapan, bahwa animisme dalam evolusi religi merupakan tahap awal dari terbentuknya sebuah agama. Menurut Koentjraningrat (2003), bahwa tahapan tertua dalam Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



387



evolusi religi adalah kepercayaan, bahwa mahluk-mahluk halus (sifat abstrak dari manusia yang menimbulkan keyakinan bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmaninya) memang ada. Tylor sangat terkenal sebagai akibat terbitnya dua buku dari tangannya berjudul Primitve Culture. Dalam edisi pertama, The Origins of Culture, ia memberikan pemahaman mengenai berbagai aspek etnografi, termasuk evolusi sosial, linguistik dan mitos. Dalam edisi kedua, berjudul Religion in Primitive Culture, berkaitan dengan penafsirannya tentang animisme. Pada halaman pertama Primitve Culture, Tylor mendefinisikan secara luas tentang kebudayaan: Budaya, atau peradaban, yang diambil dalam arti luas, etnografi, adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tidak seperti pendahulunya dan koleganya, Tylor menegaskan, bahwa pikiran manusia dan kemampuan manusia pada dasarnya bersifat sama dan universal, terlepas dari tahap masyarakat tertentu dalam evolusi sosial. Dalam pengertian ini ia mengasumsikan, bahwa kemampuan intelejensi masyarakat berburu tidak jauh berbeda dengan masyarakat industri. Bagi E. B. Taylor, seorang ahli antropolog semestinya mempelajari sebanyak mungkin tentang kebudayaan yang sangat beragam di muka bumi. Mereka harus mengumpulkan semua unsur-unsur kebudayaan. Unsurunsur kebudayaan tersebut kemudian diklasifikasi berdasarkan persamaan unsur-unsur yang ada di dalamnya, agar tahapan-tahapan evolusi kebudayaan dapat tampak dengan jelas, seperti berikut: Animism  Dinamism  Politheism  Monotheism  Atheism. Beberapa aspek pekerjaan Tylor harus dicatat yaitu definesinya tentang kebudayaan, ide evolusi kognitifnya dan usaha-usahanya dalam menerapkan analisis statistik dalam studi komparatifnya. Teori evolusi Tylor dipandang berbeda dengan teori evolusi, baik Spencer maupun Morgan. Keduanya (Spencer dan Morgan) tertarik pada perkembangan organisasi sosial dan kompleksitas yang menyertai pengembangan itu. Tylor, malah sebaliknya, lebih tertarik pada masalah kebudayaan ketimbang masyarakatnya dan secara khusus perkembangan agama melalui animisme. Perlakuannya langsung pada basis-basis kognitif. Argumen utama Tylor dalam menelusuri jejak evolusi agama --- pada basis kognitif --- tampak dalam tiga jenjang perkembangan agama: ani-misme, politeisme dan monoteisme. Usaha untuk membangun kembali pola kognitif evolusi ternyata sangat sukar dibandingkan dengan usaha untuk membangun teori materealisme atau teori organisasi, karena penetapan apakah kognitif melibatkan nilai dalam pengambilan keputusan. Tylor percaya, bahwa kesamaan pemikiran secara prinsipil seluruh umat manusia di setiap Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



388



tempat, kebudayaan merupakan sebuah doktrin unitas pemikiran umat manusia secara fisik. Teori volusi animisme Tylor mengklaim, bahwa tidak ada kaitan langsung antara kompleks atau tidaknya agama yang mereka miliki dengan tingkat kompleks atau tidaknya pemikiran yang mereka miliki. Hal ini berbeda dengan postulat-postulat yang mengkalim, bahwa masyarakat yang menganut agama yang simpel berarti memiliki pemikiran yang simpel pula. Tylor juga mengklaim, bahwa masyarakat dengan kebudayaan yang cukup berkembang dapat tetap memakai item-item primitive dalam kebudayaannya. Ia menyebut item-item seperti itu sebagai sumber kehidupan (survival). Sekalipun demikian, argumen tentang pentingnya kehidupan dalam tradisi kebudayaan, bukan salah satu yang terbaik. Apa yang diperhitungkan adalah kelestarian (sustaiable) kebudayaan dan bukan fakta, bahwa beberapa dari tradisi mereka rupa-rupanya kurang berarti dan sudah ditingalkan oleh penganut sebelumnya. Pada tahun 1899 Tylor menerbitkan sebuah artikel dengan judul On a Method of Investigating the Development of Intitutions Appalied to Laws of Marriage and Descend. Artikel ini merupakan karya yang seorsinil dengan definisinya tentang kebudayaan, karena merupakan awal dari penggunaan metode statistik di dalam antropologi. Hal ini banyak dijiplak oleh studistudi antar budaya (crosscultural atau multicultural studies), yang saat ini membentuk sebuah sub-disiplin antropologi. B. Antropologi Budaya 1. Franz Boas Franz Boas adalah seorang pencetus pemikiran antropologi modern. Oleh karena itu, ia digelar Father of American Anthropology. Ia adalah adalah keturunan Jerman-Amerika. Ia lahir di Minden, Westphalia pada tanggal 9 Juli 1858 dan meninggal dunia 21 Desember 1942. Kedua orang tuanya adalah peneliti mengenai Yahudi. Boas sebenarnya sangat bermminat belajar geografi. Ketika ia belajar di Universitas Kiel, Boas berencana menulis disertasinya dan berencana meneliti hukum Gauss. Akan tetapi, Gustav Karsten pembimbingnya, menyuruhnya meneliti sifat optik air. Akhirnya, Boas menerima gelar doktor dalam bidang fisika dari Universitas Kiel pada 1881. Pada tahun 1883, ia menuju Pulau Baffin dan melakukan penelitian geografis tentang dampak lingkungan fisik pada migrasi suku Inuit asli. Dalam penelitiannya, tidak hanya menggunakan pendekatan antropologis saja, melainkan juga pendekatan geografis. Dalam bukunya berjudul The Maind of Primitive Man (1911), ia menempatkan dirinya sebagai penentang rasialisme dengan argumen, bahwa variasi dari fenotipe dalam sebuah ras tidak dapat dijadikan justifikasi untuk Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



389



melihat tingkatan kemajuan suku bangsa (ethnocentrism) sebagai yang terbelakang (inferior) dan suku bangsa yang cukup maju (superior). Boas juga mempublikasikan kritikannya terhadap berbagai tuduhan terhadap kebudayaan terkebelakang (rasialisme) dalam artikel yang berjudul The Limitations of The Comparative Method of Anthropology (1896). Konsepnya mengenai relativisme kebudayaan (cultral relativism) berhasil mendongkrak namanya dalam bidang antropologi. Boas dalam prinsip relativisme kebudayaannya menyatakan, bahwa semua kebudayaan adalah sama dan dapat dibandingkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada kebudayaan terkebelakang atau maju. Semua kebudayaan harus dipandang sebagai dirinya sendiri bukannya dalam bentuk perbandingan. Boas mencetuskan empat bidang antropologi: antropologi fisik, antropologi linguistik, arkeologi dan antropologi budaya. Dalam antropologi fisiknya, ia memimpin sarjana dari klasifikasi taksonomi statis ras untuk penekanan pada biologi manusia dan evolusinya. Dalam linguistik ia menerobos keterbatasan filologi klasik dan membangkitkan beberapa isue sentral dalam linguistik modern dan antropologi kognitif. Dalam antropologi budaya dia bersama dengan B. Malinowski mencoba mengangkat pendekatan kontekstualis budaya, relativisme budaya dan peserta-metode observasi lapangan. Menurut Boas, bahwa untuk memahami apa yang ada dalam antropologi budaya, ciri-ciri budaya tertentu (perilaku, kepercayaan dan simbol), harus diteliti dalam konteks lokal mereka. Dia juga memahami, bahwa sebagai orang bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain, dipastikan menghadapi perubahan konteks budaya dari waktu ke waktu, unsur-unsur dan makna budaya akan berubah, sehingga sejarah lokal untuk analisa budaya dipandang sangat penting. Meskipun pada saat itu Bronisław Malinowski dan Radcliffe Brown berfokus pada studi masyarakat, namun Boas malah memokuskan perhatiannya pada sejarah yang menyebar dari satu tempat ke tempat lain. Inilah membimbing Boas untuk melihat batas-batas budaya yang tumpang tindih. Boas dan murid-muridnya memahami, bahwa saat masyarakat mencoba untuk memahami dunia mereka, berarti mereka berusaha untuk mengintegrasikan elemen berbeda dalam budayanya. Budaya yang berbeda tersebut mencerminkan konfigurasi atau pola yang berbeda. Boasians juga meyakini, bahwa integrasi tersebut selalu dalam ketegangan dengan difusi, serta setiap tampilan konfigurasi yang stabil selalu kontingen sifatnya. Alfred Kroeber (muridnya), menyimpulkan prinsip-prinsip empirisme yang mendefinisikan antropologi sebagai ilmu Boasian, sebagai berikut: 1.  Metode ilmu pengetahuan adalah mulai dengan pertanyaan, tidak dengan jawaban, apalagi dengan pertimbangan nilai. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



390



2.  Ilmu adalah penyelidikan tidak memihak (emik) dan karenanya tidak dapat mengambil alih langsung setiap ideologi yang sudah dirumuskan dalam kehidupan sehari-hari, karena hal ini dipastikan bersifat tradisional dan biasanya diwarnai dengan prasangka emosional. 3. Menyapu semua-atau-tidak, penilaian hitam-putih merupakan ciri khas dari sikap kategoris dan tidak punya tempat dalam ilmu pengetahuan, yang sangat dalam dapat disimpulkan dan bijaksana. Usaha untuk memilih bagian dari karya besar Franz Boas tentang xOeuver yang representatif, terutama kontribusinya melalui mahasiswanya dalam tradisi lisan (oral tradition), adalah sangat sulit dipahami. Tulisantulisannya cenderung spesifik dan hanya cocok untuk konteks yang lebih sempit pula. Jadi, untuk mendapatkan yang terbaik dari karya-karya Boas tersebut, kita harus memperluasnya sendiri. Oleh karena itu, dalam buku ini akan dipilih dua tulisanya saja, yang kontibusi studinya dianggap terfokus. Salah satunya yang membahas ketidakprofesionalan penelitian lapangan dengan menggunakan metode komparatif, terutama yang diperkenalkan oleh Morgan. Selain itu, ia juga menentang faham rasisme, yang ia bahas dalam bukunya The Maind of Primitive Man (1911). Ia mengklaim analisis faham rasialisme, bahwa jejak-jejak kebudayaan dapat ditemukan melalui penyatuan beberapa ras. Menurut Boas, bahwa terlalu luas untuk mereka buktikan hubungan-hubungan yang ada antara ras dan kebudayaan, karena hal itu tidak tampak, sehingga kajian mereka cenderung tidak menghasilkan apa-apa. Boas juga menyimpulkan, bahwa variasi dari fenotipe (phenotype)94 dalam sebuah ras tidak memungkinkan untuk menjustifikasi adanya tingkatan kemajuan suku bangsa (ethnocentrsim) sebagai yang terkebelakang (inferior) dan suku bangsa yang cukup maju (superior). Boas tetap berpegang teguh pada ketidakpercayaannya terhadap faham rasisme tersebut selama hidupnya. Dalam sebuah artikelnya (1931) ia mengaskan, bahwa perbedaan antara penduduk (population) merupakan independensi karakteristik rasial, walaupun hal itu kadang-kadang berfungsi sebagai pembeda kebudayaan (cultural feature). Data dari artikel ini sebenarnya sangat penting, namun sayangnya karena dipublikasikan dalam bahasa Jerman. Frans Boas mempublikasikan kritikannya terhadap metode komparatif dalam artikel yang berjudul The Limitations of the Comparative Method of Anthropology (1896). Ia dalam artikelnya tersebut memperkenalkan konsep barunya tentang relativisme kebudayaan (cultural relativism), yang berhasil mencatat nama besar Boas di dalam dunia antropologi. Menurut Boas dalam prinsip relatifisme kebudayaannya, bahwa semua kebudayaan adalah sama 94



Fenotipe Koentjararungrat (2003:62) adalah ciri-ciri fisik yang nampak dari luar sebagai akibat evolusi biologi pada organisme.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



391



dan dapat dibandingkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak akan mungkin ada kebudayaan terkebelakang dan kebudayaan yang lebih maju. Semua kebudayaan harus dipandang sebagai dirinya sendiri, tanpa harus membandingkan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin pula menurut Boas untuk mengatur tinggi atau rendahnya derajat sebuah kebudayaan dalam jalur evolusi. Menurut Boas, lebih baik kita membahas tentang tertutup (covert) atau terbukanya (overt) sebuah kebudayaan daripada menentukan tingkatan yang diduki baik atau jelek dan paling bagus atau paling jelek sebuah kebudayaan. Premis-premis seperti ini cenderung merupakan ikatan kebudayaan (cultural boud) yang berujung pada prinsipprinsip etnosentrisme (ethnocentrism). Oleh karena itu, apabila sebuah karakter (trait) berasal dari kebudayaan yang sama, sangat tidak menyenangkan apabila pertanyaan maju atau tidak kebudayaan-kebudayaan tersebut tetap dipertahankan. Boas kemudian memperlihatkan beberapa bentuk kelemahan metode komparatif, beirkut ini: 1) sangat tidak mungkin mengetahui keseluruhan tipe budaya dengan hanya mengklaim, bahwa kebudayaan itu sama, karena adanya kesamaan berpikir manusianya, 2) penemuan kesamaan karakter dalam sebuah kebudayaan tidak terlalu penting bagi para ahli budaya yang akan memakainya dan 3) kesamaan karakter yang ada boleh dikembangkan untuk berbagai alasan dalam kebudayaan yang berbeda dan 4) pandangan yang menyatakan, bahwa perbedaan-perbedaan kebudayaan sangat mengakar, juga tidak terlalu berdasar, karena perbedaan-perbedaan kebudayaan itu hanya penting bagi penelitian etnografi. Boas berusaha mengubah dan menjawab kelemahan-kelamahan metode komparatif tersebut dengan penekanan-penekakan berikut: 1) adatistiadat harus dipelajari dalam bentuk detail dengan melihatnya sebagai bagian dari kebudayaan secara menyeluruh dan 2) distribusi adat-istiadat terhadap kebudayaan sekitar juga harus dianalisis, tetapi tidak melalui sebuah perbanding. Oleh karena itu, menurut Boas metode ini dapat memberi kemampuan kepada mahasiswa: 1) untuk mengungkapkan faktorfaktor lingkungan yang ikut mempengaruhi sebuah ekologi kebudayaan (cultural ecology), 2) untuk menjelaskan aspek-aspek biologis yang membentuk kebudayaan dan 3) untuk menjelaskan sejarah perkembangan adatistiadat lokal. Keseluruhan premis-premis tersebut sering juga disebut sebagai motode induktif di dalam antropologi. Boas menganjurkan, bahwa tugas utama antropologi adalah mempelajari masyarakat secara individu dan generalisasi melalui metode komparatif hanya dapat berlaku pada akumulasi data-data basis saja. Apa yang ingin disampaikan Boas dalam kajiannya adalah antropologi harus menjadi disiplin ilmu yang mengunakan metode induksi dan bukan metode komparatif. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



392



2. Alfred Louis Kroeber Alfred Louis Kroeber lahir pada tanggal 11 June 1876 dan meninggal 5 Oktober 1960 in Paris 1960. Ia adalah salah seorang pendiri Antopologi Budaya (cultural anthropologist). Ia menerima gelar Ph.D. di bawah bimbingan Franz Boas di Columbia University tahun 1901, sebagai doktor pertama dalam bidang antropologi yang menerima penghargaan dari Universitas Columbia. Ia juga professor pertama yang ditunjuk memimpin Jurusan Antropologi di Universitas California, Berkeley. Ia memiliki peran integral sebelumnya di Museum of Anthropology, dimana sebagai pelaksana Director dari 1909 hingga 1947. Kroeber telah memberikan informasi secara detail tentang Ishi, generasi terkhir yang masih hidup dalam masyarakat Yahi, yang telah dipelajarinya beberapa tahun. Dia adalah mantan bapak the acclaimed novelist, poet dan penulis cerita pendek Ursula Kroeber Le Guin. Kroeber dilahirkan di Hoboken, New Jersey, dari orang tua kelas menengah: Florence Kroeber dan Johanna Muller. Keduanya masih merupakan keturunan Jerman. Keluarganya pindah ke New York, ketika Alfred masih muda sekali dan ia diajar dan mengikuti sekolah private di sana. Keluarganya menggunakan dua bahasa (bilingual), dimana Kroeber berbahasa Jerman di rumah dan Kroeber juga mulai belajar bahasa Latin and Yunani di sekolah, memulai ketertarikan dalam bahasa sepanjang hidupnya. Kroeber mengikuti kuliah di 16 tahun, bergabung ke Philolexian Society dan hidup dari gelar A.B. dalam bahasa Inggris tahun 1896 dan mendapat gelar M.A. (master of arts) drama Romantic pada tahun 1897. Setelah mengubah orientasi akademiknya ke Antropologi, ia memnerima gelar Ph.D. di bawah bimbingan Franz Boas di Universitas Colombia pada tahun 1901, bermodalkan disertasi berhalam 28 lembarnya yang diwarnai oleh decorative symbolism pada penelitiannya di Arapaho. Ia adalah doctor pertama yang memperoleh penghargaan dari Universitas Columbia. Kroeber lebih banyak meniti kariernya di California, terutama di Universitas California, Berkeley. Dia memegang dua tugas yaitu sebagai Profesor Antropologi dan sekaligus sebagai direktur Museum Antropologi di Universitas California (sekarang menjadi Phoebe A. Hearst Museum of Anthropology). Ketua jurusan antropologi yang dibangun Universitas California diberi nama Kroeber Hall sebagai bentuk penghrgaan kepadanya. Ia tergabung sebagai anggota Berkeley hingga pension pada tahun 1946. Kroeber menikahi Henrietta Rothschild pada tahun 1906. Istrinya menderita sakit tuberculosis (TB) dan meninggal tahun 1913, setelah beberapa tahun sakit. Pada tahun 1926 Krober menikah lagi dengan Theodora Kracaw Brown, janda bernak yang ia temui dalam salah satu seminar Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



393



proposal mahasiswanya. Mereka dikaruniahi dua anak Karl Kroeber, seorang kritukus sastra dan Ursula Kroeber Le Guin seorang penulis fiksi sains. Sebagai tambahan, Alfred mengadopsi anak laki-laki Theodora dari hasil pernikahan pertamanya bernama Ted dan Clifton Brown, yang keduanya memakai Kroeber sebagai nama familinya. Pada tahun 2003, Clifton dan Karl Kroeber mempublikasikan sebuah buku dalam bentuk esei tentang sejarah Ishi, yang telah mereka edit dan terbitkan bersama dengan judul Ishi in Three Centuries. Ini adalah buku ilmiah pertama tentang Ishi yang berisi esei dari akademisi dan penulis American tulen. Sekalipun ia lebih dikenal sebagai antopolog budaya, namun ia lebih signifikan meneliti arkeologi dan antropologi linguistik dan ia pun berkontribusi dalam antropologi dengan menghubungkan antara arkeologi dengan kebudayaan. Ia melakukan ekskavasi di New Mexico, Mexico dan Peru. Di Peru ia membantu pendiri Institute for Andean Studies (IAS) dengan Peruvian anthropologist Julio C. Tello dan beberapa ilmua besar lainnya. Kroeber dan mahasiswanya melakukan pekerjaan penting untuk mengumpulkan data kebudayaan pada suku-suku pedalaman bagian Barat Amerika. Penelitian ini dilakukan sebagai lanjutan dari informasi awal tentang suku-suku di California, yang dimunculkan dalam Handbook of the Indians of California (1925). Dalam buku itu, Kroeber pertama-tama melukiskan sebuah pola kempok di California, dimana sebuah unit sosial (social unit) lebih kecil dan terorganisi kurang herarki dibandingkan dengan sebuah tribe,95 yang telah dielaborasi di dalam The Patwin and their Neighbors dimana pertama kali Kroeber menggunakan istilah tribelet untuk menggambarkan level organisasi di California. Kroeber mengembangkan konsep tersebut dengan menggabungkannya dengan konsep culture area, cultural configuration (Cultural and Natural Areas of Native North America, 1939) dan cultural fatigue (Anthropology, 1963). Pengaru Kroeber begitu kuat, sehingga banyak dari ahli kontemporer yang mengadopsi gayanya of beard and mustache as well as his views as a cultural historian. Sepanjang hidupnya, Kroeber dikenal sebagai Dean of American Anthropologists. Kroeber dan Roland B. Dixon sangat berpengaruh dalam klasifikasi genetic bahasa penduduk lokal American languages di America Utara, yang dpat dipertanggung jawabkan secara teoretis untuk mengelompokkan Penutian dan Hokan, berdasarkan kasus-kasus bahasa secara umum. 95



Suku (tribe) adalah istilah yang didefinisikan secara longgar yang digunakan untuk menunjukkan berbagai organisasi sosial yang ada di antara kelompok-kelompok pencari-berburu.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



394



Dia terkenal karena bekerja dengan Ishi, yang diklaim sebagai Indian Yahi California terakhir. (Ishi mungkin terdiri dari warisan etnis campuran, dengan ayah dari suku Wintu, Maidu atau Nomlaki.) Istri keduanya, Theodora Kracaw Kroeber, menulis sebuah biografi terkenal Ishi, Ishi in Two Worlds. Hubungan Kroeber dengan Ishi adalah subyek sebuah film, The Last of His Tribe (1992), yang dibintangi Jon Voight sebagai Kroeber dan Graham Greene sebagai Ishi. Buku teks Kroeber, Anthropology (1923, 1948), banyak digunakan selama bertahun-tahun. Pada akhir 1940-an, itu adalah satu dari sepuluh buku yang dibutuhkan untuk dibaca bagi semua siswa selama tahun pertama mereka di Universitas Columbia. Bukunya, Configurations of Cultural Growth (1944), memiliki dampak abadi pada penelitian ilmiah sosial tentang kejeniusan dan kebesaran; Kroeber percaya bahwa jenius muncul dari budaya pada waktu tertentu, daripada berpegang pada teori orang hebat (the great man). Kroeber bertugas sejak awal sebagai direktur riset penggugat pada Indians of California versus the United States, dalam sebuah kasus klaim tanah. Direktur asosiasi dan direktur penelitian untuk pemerintah federal dalam kasus ini sama-sama telah menjadi muridnya: Omer Stewart dari University of Colorado dan Ralph Beals dari University of California, Los Angeles, masing-masing. Dampak Kroeber terhadap Komisi Klaim India mungkin telah menetapkan cara saksi ahli memberikan kesaksian di depan pengadilan tersebut. Beberapa mantan muridnya juga menjabat sebagai saksi ahli, misalnya, Stewart mengarahkan penelitian penggugat untuk Ute dan untuk orang-orang Shoshone. Periode realisme kebudayaan di Amerika Serikat tidak hanya memperlihatkan kurangnya teori yang muncul, tetapi juga kuranganya antiteoriantiteori. Ketika Boas memunculkan idenya, bahwa para anropolog harus mempelajari masyarakat sebanyak mungkin dalam penelitiannya, sejumlah antropolog terkemuka rame-rame menghasilkan penelitian etnografi. Akan tetapi, pada zaman Krober, mereka tidak hanya gagal dalam menciptakan variasi teori, karena banyak diantara mereka yang memang enggan untuk membuat teori. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa kita harus menyoroti Kroeber, Lowie dan sejumlah besar figur antropolog saat itu. Dalam kasus Kroeber, jika satu problematika teori harus dipilih yang berkenaan dengan dia, hal itu adalah konsep superorganik. Perlu saya jelaskan di sini, bahwa Spencer sejak awal kebingunan dan mengalami kesulitan konsep superorganik ini, karena tidak memasukkan konsep-konsep kebudayaan di dalamnya. Kroeber, di pihak lain, kembali menggunakan ide ini untuk menjelaskan segala sesuatu yang berkenaan dengan kebudayaan. Dia menyelesaikan problematika teori ini selama hidupnya, sekalipun banyak Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



395



tekanan yang dihadapinya, karena antropologi ketika itu umumnya tetarik pada etnografi dan pendekatan psikologi. Dengan terpaksa, Kroeber harus mendekati Emile Durkheim, yang juga menerima tekanan atas konsepsi sosialnya, yang diperdebatkan oleh ahli-ahli yang menentang relativisme kebudayaan di dunia antropologi Amerika ketika itu. Kroeber juga telah lama tertarik untuk meneliti masalah sifat kebudayaan (the nature of culture), serta hal-hal yang menyebabkan kebudayaan muncul dan tetap berpola. Dia menggabungkan ide-ide ini dengan konsep superorganik, dimana ia dianggap kembali ke masa lampau. Perlu dicatat, bahwa Kroeber memperlihatkan begitu pentingnya superorganik, sama halnya dengan pola budaya (cultural pattern), melalui penelitiannya tentang perubahan cara berpakaian kaum hawa. Ia menemukan, bahwa pakaian wanita yang lebih menjurus pada pilihan pribadi, dapat mempelihatkan perubahan dalam pola kebudayaan. Dia juga menemukan contoh-contoh pola kebudayaan di dalam ilmu filsafat, seni dan obyek-obyek lainnya untuk memperlihatkan, bahwa intelegnesi individu (individual genius) merupakan bahagian dari era budaya dan bukan sebagai sesuatu atau alat yang sifatnya manasuka (arbitrair). Ketertarikan Alfred Kroeber dalam pola-pola kebudayaan (cultural patterns) memuncak pada bukunya yang berjudul Configurations of Culture Growth (1944), dimana di dalamnya ia mencoba untuk memperhatikan pertumbuhan kebudayaan di beberapa masyarakat Eropa, Timur Dekat dan Timur Jauh. Kroeber dengan asumsi dasarnya, bahwa masyarakat sering mengembangkan konfigmasi kebudayaannya secara teratur (spasmodically): ketika pola-pola kebudayaan berkembang, cluster intelegensia dalam kurung waktu tertentu sangat berhubungan dengan pertumbuhan kebudayaan tersebut. Kroeber membahas pertumbuhan filsafat, ilmu pengetahuan, seni pahat, drama, lukisan, sastra, musik dan berakhir pada pertumbuhan suatu bangsa di dalam bingkai konfigurasinya. Kesemuanya adalah projek besar, hebat, akan tetapi banyak kalangan beranggapan Kroeber akan menuai kegagalan. Akan tetapi barangkali dapat dikatakan, bahwa tuduhan seperti itu (ide Kroeber tentang kesejarahan peradaban) hanya diangkat oleh orangorang bukan berlatarbelakang antropolog, sekalipun memang banyak antropolog yang tidak tertarik dalam kerja Kroeber. Simpulan-simpulan Kroeber tentang kebudayaan di dalam kajian spektakulernya memang banyak mengandung pembelajaran dan tetap dirujuk hingga saat ini. Semasa karier Kroeber dalam dunia akademik, ia telah banyak memperoleh penghargaan, berikut ini: 1. Rekan Akademi Seni dan Sains Amerika (1912). Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



396



2. Kroeber menerima lima gelar kehormatan (Yale, California, Harvard, Columbia, Chicago). 3. Dia dianugerahi dua medali emas. 4. Dia memegang keanggotaan kehormatan di 16 masyarakat ilmiah. 5. Presiden Asosiasi Antropologi Amerika (1917–1918). Beberapa karya kesohor yang muncul sebagai hasil dari buah tangannya, sebagai berikut: 1. Indian Myths of South Central California (1907) yang di publikasikan pada University of California dan dipublikasi di American Archaeology and Ethnology 4:167-250. Di Berkeley (Six Rumsien Costanoan myths, pp. 199–202); tersedia juga dalam online at Sacred Texts. 2. The Religion of the Indians of California (1907), diterbitkan di University of California Publications in American Archaeology and Ethnology. Sedang-kan yang dipublikasikan di Berkeley, dengan judul Shamanism, Public Ceremonies, Ceremonial Structures and Paraphernalia dan Mythology and Beliefs; smuanya tersedia dalam Sacred Texts 3. Handbook of the Indians of California (1925) diterbitkan di Washington, D.C: Bureau of American Ethnology Bulletin No. 78 4. The Nature of Culture (1952) diterbitkan di Chicago. 5. Kerjasama dengan Clyde Kluckhohn: Culture. A Critical Review of Concepts and Definitions (1952) diterbitkn di Cambridge. 6. Anthropology: Culture Patterns & Processes (1963) diterbitkan New York: Harcourt, Brace & World (earlier editions in 1923 and 1948). 3. Robert H. Lowie Robert Harry Lowie lahir dengan nama baptis Robert Heinrich Löwe di in Vienna, Austria-Hungary pada tanggal 12 June 1883 dan meninggal pada tanggal 21 September 1957 di Berkeley, Calif., U.S.. Ia adalah Antropolog Amerika kelahiran Austrian. Sebagai seorang ahli pada North American Indians, dia telah menciptakan instrument dalam pengembangan antropologi modern. Lowie lahir dan menghabiskan sepuluh tahun pertama hidupnya di Wina, Austria-Hungaria. Pada tahun 1893 ia hijrah ke Amerika Serikat. Ia belajar di College of the City of New York, di mana pada tahun 1896 ia bertemu dan berteman dengan Paul Radin. Ia memperoleh gelar BA dalam Filologi Klasik pada tahun 1901. Setelah tugas singkat sebagai guru, ia mulai belajar kimia di Universitas Columbia. Ia kemudian beralih ke antropologi di bawah bimbingan Franz Boas, Livingston Farrand dan Clark Wissler. Dipengaruhi oleh Clark Wissler, Lowie memulai pekerjaan lapangan pertamanya di Lemhi Reservation di Idaho di Northern Shoshone pada tahun 1906. Ia lulus (Ph.D.) pada tahun 1908. Pada tahun 1909, ia menjadi asisten kurator untuk Clark Wissler di American Museum of Natural Sejarah, New Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



397



York. Selama berada di sana, Lowie menjadi spesialis di Indian Amerika, aktif dalam penelitian lapangan, khususnya dalam beberapa kunjungan ke Great Plains. Karya ini terutama mengarah ke identifikasi dengan Crow Indians. Pada 1917, ia menjadi asisten profesor di Universitas California, Berkeley. Dari tahun 1925 hingga pensiun pada tahun 1950, ia adalah profesor antropologi di Berkeley, bersama dengan Alfred Louis Kroeber. Ia adalah tokoh sentral dalam ilmu antropologi pada zamannya. Lowie melakukan beberapa ekspedisi ke Great Plains, dimana ia melakukan kerja lapangan etnografi di Absarokee (Crow, 1907, 1910–1916, 1931), Arikaree, Hidatsa, Mandan dan Shoshone (1906, 1912–1916). Ekspedisi penelitian yang lebih pendek membawanya ke barat daya Amerika Serikat, Great Basin dan ke Amerika Selatan dimana ia terinspirasi oleh Curt Nimuendaju. Fokus dari beberapa pekerjaan Lowie adalah penyelamatan etnografi, pengumpulan data yang cepat dari budaya yang mendekati kepunahan. Ruth Benedict dan Robert Lowie sama-sama ditugaskan selama Perang Dunia II untuk mencari informasi tentang kekuatan musuh selama masa perang oleh Kantor Informasi Perang Amerika Serikat. Tidak seperti Benediktus, Chrysanthemum dan Pedang yang menggambarkan budaya Jepang, tanpa pernah menginjakkan kaki di Jepang 96, Lowie setidaknya bisa menarik ingatannya dari dunia masa kecil yang berbahasa Jerman. Dalam bukunya, The German People, Lowie mengambil pendekatan yang hati-hati dan menekankan ketidaktahuannya tentang apa yang sedang terjadi di negara asalnya saat ini. Setelah perang berakhir, Lowie melakukan beberapa perjalanan singkat ke Jerman. Bersama dengan Alfred Kroeber, Lowie adalah salah satu murid generasi pertama Franz Boas. Orientasi teoretisnya berada di dalam arus utama pemikiran antropologis Boasian, yang menekankan relativisme kultural (cultural reativism) dan bertentangan dengan evolusi budaya (cultural evolution) dari era Victoria. Seperti banyak antropolog terkemuka pada saat itu, termasuk Boas, beasiswanya berasal dari sekolah idealisme dan romantisme Jerman yang dianut oleh para pemikir sebelumnya seperti Kant, Georg Hegel dan Johann Gottfried Herder. Lowie, yang agak lebih kuat dari mentornya, Boas, menekankan komponen historis dan elemen variabilitas dalam karyanya. Baginya, budaya tidak selesai konstruksi, tetapi selalu berubah dan dia menekankan gagasan, bahwa budaya bisa berinteraksi 96



Arm chair theory adalah seseorang membuat pernyataan ilmiah, sekalipun ia tidak penah berkunjung dan melihat langsung lokasi penelitiannya. Ia lebih banyakmengubah data sesuai dengan keinginannya, sehingga hasil angnia peroleh hanyalah berupa sekumpulan pernyataan sepekulatif.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



398



Lowie mempengaruhi disiplin antropologi sosial melalui penggunaan suatu sistem untuk membedakan hubungan kekeluargaan (kinship). Ia mengidentifikasi empat sistem utama, yang berbeda berdasarkan nama keluarga dari generasi pertama, yaitu generasi orang tua. Skema Klasifikasinya sedikit dimodifikasi oleh George P. Murdock dengan membagi salah satu dari empat sistem Lowie menjadi tiga jenis lebih lanjut. Robert H. Lowie adalah antropolog Amerika kelahiran Austria yang studi ekstensifnya tentang Indian Amerika Utara memasukkan penelitian teladan pada Gagak. Dia juga mempengaruhi teori antropologi melalui karya-karya seperti Culture and Ethnology (1917), Primitive Society (1920) dan Social Organization (1948). Lowie belajar di bawah Franz Boas di Universitas Columbia, New York City, menerima gelar Ph.D. pada tahun 1908. Sejak itu hingga 1921 ia berafiliasi dengan the American Museum of Natural History, Kota New York dan di bawah arahan Clark Wissler. Ia melakukan banyak kunjungan lapangannya ke Indian Plains, termasuk Shoshone utara, Blackfoot dan Gagak. Kontribusi etnografinya yang paling orisinal muncul dalam 18 monografnya pada suku-suku yang dia pelajari. Selain menulis penelitian, The Crow Indians (1935), ia juga mengumpulkan tiga volume teks bahasa Crow. Bukunya berjudul Primitive Society memiliki dampak besar pada antropologi, yang mendominasi teori organisasi sosial selama hampir 30 tahun. Dalam ruang lingkup yang luas, pekerjaan ini mempertimbangkan hubungan kekerabatan, keadilan, properti, pemerintah dan topik lainnya dan membuat banyak konsep difusi budaya. Salah satu kesulitan yang dapat ditemui adalah memi1ih tulisan Lowie yang membuatnya cukup terkenal. Seperti yang kita tahu, bahwa Lowie itu adalah seorang pendekar teori antropolgi sejarah, namun ia sendiri sulit berintergrasi ke dalam disiplin ini. Lowie adalah profesor antropologi di University of California, Berkeley, dari 1921 hingga 1950. Ia mempertahankan minat seumur hidup dalam psikologi dan mengatasinya dalam beberapa bagian dalam The History of Ethnological Theory (1937). Termasuk di antara ide-ide yang dikemukakannya, bahwa agama dan mitologi dapat berasal dari mimpi yang memiliki semacam dasar biologis. Dia juga menduga, bahwa seleksi budaya merupakan aspek seleksi alam. Kemudian dalam hidupnya ia menulis tentang budaya Jerman dalam bukunya Toward Understanding Germany (1945) dan Menuju Memahami Jerman (1954), yang terakhir berurusan dengan efek perang terhadap kepribadian. Karya-karya lain termasuk Robert H. Lowie, Ethnologist: A Personal Record (1959) dan 33 papers (1911–1957) dalam Selected Papers in Anthropology (1960), diedit oleh Cora Dubois. Salah satu kesulitan yang bisa ditemui Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



399



adalah memilih tulisan Lowie yang berhasil terkenal. Seperti yang diketahui, bahwa Lowie itu adalah seorang pendekar teori antropolgi sejarah, namun ia sendiri berintergrasi ke dalam disiplin ini. Mungkin dapat dikatakan, bahwa Lowie dekat Boas daripada ahli-ahli antropologi kontemporer lainnya saat ini. Dia sangat mengakar di dalam filsafat ilmu pengetahuan dan ia sendiri menganggap antropologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan (science). Argumentasi teorinya, seperti halnya dengan reputasi yang dicapai Morgan, sangat terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan. Disamping konsep-konsepnya yang non-teoretis. Lowie juga banyak menulis subyek-subyek teoretis. Dia menyibukkan dirinya dalam menulis teori evolusi, determinisme lingkungan, hubungan antara kebudayaan dengan ras dan psikologi, serta terkahir ia menulis tentang difusi sebagai sebuah eksplanasi kebudayaan. Secara epistemologis Lowie sendiri mengkritik teori evolusi Morgan dengan klaim, bahwa teori evolusi Morgan yang dikaitkan dengan sistem kekerabatan tidak dapat dibuktikan, serta menggunakan data adalah biss. Lowie hanya melihat kontribusi dasar Morgan dalam sistem organisasi sosial dan lebih kusus lagi dalam pengembangan istilah-istilah kekerabatan. Selama ia tidak mau menerima evolusionisme sebagai sebuah determinasi kebudayaan (determinant of culture), ia pun diharuskan mencari cara lain untuk penjelasan determinasi tersebut. Dia tidak pemah melihat ras sebagai determinasi kebudayaan dan sepanjang hidupnya digunakan untuk menentang penjelas kebudayaan yang dikaitkan dengan ras. Menurut Lowie, kebudayaan tidak bisa direduksi kedalam agregasi psikologi, karena psikologi bersangkutan erat dengan sikap bawaan (innate attitudes) dan perilaku individu (individual behavior). Dengan kata lain, bahwa psikologi itu mempersoalkan apa yang bukan merupakan kebudayaan (what is not culture) dalam diri manusia. Bagi Lowie, bahwa kekenyalan organisme manusia yang didemonstrasikan sebaik-baiknya oleh Boas, yang menghubungkan psikologi dengan antropologi sebagai hubungan satu arah, adalah sangat keliru. Para penganut psikologi reduksionis tidak mungkin dapat menerangkan fakta-fakta etnografi, yang tidak dapat direduksi ke dalam psikologi. Menurut Lowie, difusi atau kontak budaya (cultural contact) sifatnya tidak terlalu penting, sehingga meminjam istilah tersebut jauh lebih gampang ketimbang harus membentuknya sendiri. Kontak budaya merupakan alasan penting dalam pengembangan kebudayaan. Dalam pertukaran ideide dapat menimbulkan kontak budaya, baik masyarakat simple maupun kompleks bepartisipasi, baik sebagai donor maupun penerima. Lowie memiliki banyak tulisan secara principal, sebagai beikut: 1. Societies of the Arikara Indians, (1914) Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



400



2. 3.



Dances and Societies of the Plains Shoshones, (1915) Notes on the social Organization and Customs of the Mandan, Hidatsa and Crow Indians, (1917) 4. Culture and Ethnology, (1917) 5. Plains Indian Age Societies, (1917) 6. Myths and Traditions of the Crow Indians, (1918) 7. The Matrilineal Complex, (1919) 8. Primitive Society, (1919) 9. The religion of the Crow Indians, (1922) 10. The Material Culture of the Crow Indians, (1922) 11. Crow Indian Art, (1922) 12. Psychology and Anthropology of Races, (1923) 13. Primitive Religion, (1924) 14. The Origin of the State, (1927) 15. The Crow Indians, (1935) 16. History of Ethnological Theory, (1937) 17. The German People, (1945) 18. Social Organization, (1948) 19. Towards Understanding Germany, (1954) 20. Robert H. Lowie, Ethnologist; A Personal Record, (1959) 4. Edward Sapir Edward Sapir lahir pada tahun 1884 di Jerman Pomerania dan meninggal pada tahun 1939. Ia adalah seorang anthropologislinguis dari Amerika, yang dikenal secara umum sebagai figur penting pada awal perkembangan linguistik. Sapir lahir di Jerman Pomerania. Kedua orang tuanya bermigrasi ke Amerika ketika ia masih kecil. Ia belajar linguistik Jerman di Columbia, dimana ia terpengaruh oleh Franz Boas untuk bekerja di bahasa asli Amerika. Sembari menyelesaikan studi doktornya, ia kemudian ke California untuk bekerja dengan Alfred Kroeber untuk mendokumentasikan bahasa asli di sana. Ia kemudian dipekerjakan oleh Survei Geologis Kanada selama lima belas tahun, tempat ia menjadi linguis yang paling signifikan di Amerika Utara, berdampingan dengan Leonard Bloomfield. Ia ditawari untuk studi profesor di Universitas Chicago dan tinggal untuk beberapa tahun melanjutkan pekerjaannya menyusun prinsip linguistik. Di akhir hidupnya ia menjadi profesor antropologi di Yale. Murid-muridnya adalah Mary Haas dan Morris Swadesh (linguis) dan Fred Eggan Hortense Powdermaker (antropolog). Dengan latar belakang linguistiknya, Sapir menjadi salah satu mahasiswa Boas untuk mengembangkan paling benar-benar hubungan antara linguistik dan antropologi. Sapir mempelajari cara dimana bahasa dan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



401



pengaruh budaya masing-masing dan ia tertarik pada hubungan antara perbedaan bahasa dan perbedaan pandangan dunia budaya. Ini bagian dari pemikirannya dikembangkan oleh muridnya Benjamin Lee Whorf dalam prinsip relativitas linguistik atau hipotesis Sapir-Whorf. Dalam dunia antropologi Sapir dikenal sebagai pendukung awal pentingnya pengaruh psikologi terhadap antropologi yang meyakini, bahwa sifat hubungan antara individu yang berbeda merupakan hal yang penting untuk cara-cara di mana budaya dan masyarakat berkembang. Di antara kontribusi besarnya untuk linguistik adalah klasifikasinya bahasa Adat Amerika, yang ia uraikan selama sebagian besar kehidupan profesionalnya. Ia memainkan peran penting dalam mengembangkan konsep fonem modern dan memajukan pemahaman fonologi. Sebelumnya, Sapir itu umumnya dianggap tidak mungkin untuk menerapkan metode linguistik historis untuk bahasa pribumi, karena mereka diyakini lebih primitif daripada bahasa Indo-Europa. Sapir adalah yang pertama membuktikan, bahwa metode linguistik komparatif sama-sama valid bila diterapkan pada bahasa pribumi. Dalam edisi 1929 dari Encyclopedia Britannica ia menerbitkan apa yang kemudian klasifikasi yang paling otoritatif dari bahasa asli Amerika dan yang pertama berdasarkan bukti dari linguistik komparatif modern. Ia adalah yang pertama untuk meng-hasilkan bukti untuk klasifikasi Algic, Uto-Aztecan dan bahasa Na-Dene. Ia mengusulkan beberapa keluarga bahasa yang tidak dianggap telah dibuktikan secara memadai, tetapi yang terus menghasilkan penyelidikan seperti Kuil Hokan dan Penutian. Dia mengkhususkan diri dalam studi bahasa Athabascan, bahasa Chinookan dan bahasa Uto-Aztecan, memproduksi deskripsi tata bahasa penting dari Takelma, Wishram, Southern Paiute. Kemudian dalam kariernya ia juga bekerja dengan Yiddish, Ibrani dan Cina serta bahasa Jerman. Ia juga diinvestasikan dalam pengembangan Auxiliary Bahasa Internasional. Sapir lahir dari keluarga Ibrani Lithuanian di Lauenburg, Provinsi Pomerania di mana ayahnya, Jacob David Sapir, berkerja sebagai penyanyi. Keluarganya bukanlah penganut ortodoks dan ayahnya menganut agama Yahudi melalui musik. Keluarga Sapir tidak menetap di Pomerania dan tidak pernah mengaku sebagai warga negara Jerman. Bahasa pertama Edward Sapir adalah Yiddish dan kemudian Inggris. Pada tahun 1888, di usianya yang keempat, keluarganya pindah ke Liverpool, Inggris dan di tahun 1890 pindah ke Amerika Serikat, tepatnya di Richmond, Virginia. Di sini Edward Sapir kehilangan adiknya Max dikarenakan demam tifoid. Ayahnya mengalami krisis pekerjaan di sinagog dan akhirnya menetap di New York Lower East Side, di mana keluarganya hidup dalam kemiskinan. Sebagaimana sang ayah tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, ibu Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



402



Sapir, Eva Seagal Sapir, membuka toko untuk memasok kebutuhan dasar keluarga. Mereka secara resmi bercerai pada tahun 1910. Setelah menetap di New York, Edward Sapir tinggal kebanyakan dengan ibunya, yang menekankan pentingnya pendidikan untuk mobilitas sosial dan membawa keluarga ini semakin jauh dari Yudaisme. Meskipun Eva Sapir berpengaruh cukup penting, Sapir menerima rasa haus akan pengetahuan dan minat dalam beasiswa, estetika dan musik dari ayahnya. Pada usianya ke-14 Sapir memenangkan beasiswa Pulitzer untuk sekolah bergengsi, SMA Horace Mann, tetapi ia memilih untuk tidak menghadiri sekolah yang ia anggap terlalu mewah, malahan masuk ke SMA DeWitt Clinton. Ia menyimpan uang beasiswa untuk pendidikan perguruan tinggi. Melalui beasiswanya Sapir dapat menambah penghasilan ibunya. Sapir memasuki Columbia pada tahun 1901, masih menggunkan beasiswa Pulitzer. Pada saat itu Columbia adalah satu-satunya universitas swasta elit yang tidak membatasi kesempatan belajar calon mahasiswa Yahudi dengan kuota sekitar 12%. Kurang lebih 40% dari mahasiswa yang masuk ke Columbia adalah Yahudi. Sapir meraih sarjana pada tahun 1904 dan magister pada tahun 1905 di bidang filologi Jerman dari Columbia, sebelum memulai doktoratnya di bidang antropologi yang ia selesaikan pada tahun 1909. Beberapa buku terbit dari hasil kajian bahasa antropologi Edward Sapir, seperti brikut ini. 1. Sapir, Edward (1907). Herder's Ursprung der Sprache. Chicago: University of Chicago Press. 2. Sapir, Edward (1908). On the etymology of Sanskrit asru, Avestan asru, Greek dakru. Di Modi, Jivanji Jamshedji. Spiegel memorial volume. Papers on Iranian subjects written by various scholars in honour of the late Dr. Frederic Spiegel. Bombay: British India Press. 3. Sapir, Edward; Curtin, Jeremiah (1909). Wishram texts, together with Wasco tales and myths. E.J. Brill. 4. Sapir, Edward (1910). Yana Texts. Berkeley University Press. 5. Sapir, Edward (1915). A sketch of the social organization of the Nass River Indians. Ottawa: Government Printing Office. 6. Sapir, Edward (1915). Noun reduplication in Comox, a Salish language of Vancouver Island. Ottawa: Government Printing Office. 7. Sapir, Edward (1916). Time Perspective in Aboriginal American Culture, A Study in Method. Ottawa: Government Printing Bureau. 8. Sapir, Edward (1917). Dreams and Gibes. Boston: The Gorham Press. 9. Sapir, Edward (1921). Language: An introduction to the study of speech. New York: Harcourt, Brace and company. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



403



10.



Sapir, Edward; Swadesh, Morris (1939). Nootka Texts: Tales and ethnological narratives, with grammatical notes and lexical materials. Philadelphia: Linguistic Society of America. 11. Sapir, Edward (1949). Mandelbaum, David, ed. Selected writings in language, culture and personality. Berkeley: University of California Press. 12. Sapir, Edward; Irvine, Judith (2002). The psychology of culture: A course of lectures. Berlin: Walter de Gruyter. Beberapa tulisan essei dan makalah yang dirulis oleh Edward Sapir seperti beikut ini: 1. Sapir, Edward (1907). Preliminary report on the language and mythology of the Upper Chinook. American Anthropologist. 2. Sapir, Edward (1910). Some fundamental characteristics of the Ute language. Science. 3. Sapir, Edward (1911). Some aspects of Nootka language and culture. American Anthropologist. 4. Sapir, Edward (1911). The problem of noun incorporation in American languages. American Anthropologist. 5. Sapir, E. (1913). Southern Paiute and Nahuatl, a study in UtoAztekan. Journal de la Société des Américanistes. 6. Sapir, Edward (1915). The Nadene Languages: A Preliminary Report. American Anthropologist. 7. Sapir, Edward (1917). Do we need a superorganic?. American Anthropologist. 8. Sapir, Edward (1924). The grammarian and his language. The American Mercury. 9. Sapir, Edward (1924). Culture, Genuine and Spurious. The American Journal of Sociology. 10. Sapir, Edward (1925). Memorandum on the problem of an international auxiliary language. The Romanic Review. 11. Sapir, Edward (1925). Sound patterns in language. Language. 12. Sapir, Edward (1931). The function of an international auxiliary language. Romanic Review (11): 4–15. Diarsipkan dari versi asli tanggal. 13. Sapir, Edward (1936). Internal linguistic evidence suggestive of the Northern origin of the Navaho. American Anthropologist. 14. Sapir, Edward (1944). Grading: a study in semantics. Philosophy of Science. 15. Sapir, Edward (1947). The relation of American Indian linguistics to general linguistics. Southwestern Journal of Anthropology.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



404



Beberapa rekan dan sejawatnya menulis biografi Edward Sapir seperti berikut ini: 1. Koerner, E. F. K.; Koerner, Konrad (1985). Edward Sapir: Appraisals of his life and work. Amsterdam: John Benjamins. 2. Cowan, William; Foster, Michael K.; Koerner, Konrad (1986). New perspectives in language, culture, and personality: Proceedings of the Edward Sapir Centenary Conference (Ottawa, 1–3 October 1984). Amsterdam: John Benjamins. 3. Darnell, Regna (1989). Edward Sapir: linguist, anthropologist, humanist. Berkeley: University of California Press. 4. Sapir, Edward; Bright, William (1992). Southern Paiute and Ute: linguistics and ethnography. Berlin: Walter de Gruyter. 5. Sapir, Edward; Darnell, Regna; Irvine, Judith T.; Handler, Richard (1999). The collected works of Edward Sapir: culture. Berlin: Walter de Gruyter. Edward Sapir, selain menyandang predikat antropolog yang dibentuk oleh Boas, juga sebagai salah seorang pendiri ilmu bahasa. Kontribusinya di dalam linguistik yang sangat teknis merupakan sesuatu yang permanen dan mendasar sifatnya. Sapir, seperti halnya dengan koleha-kolehanya (kecuali Kroeber yang lebih mengarah pada penerapan psikologi daripada yang lainnya), sangat tertarik dalam masalah kebudayaan dan keribadian (individu) dan karenanya ia pun menghubungkan studi kebudayaannya dengan kepribadian (personality). Namun demikian, ketertarikannya dalam kepribadian tersebut kelihatannya lebih mengarah pada unsur-unsur kognitif daripada pendekatan emosional manusia. Sapir memasuki antropolinguistik melalui disiplin ilmu sebelumnya yaitu filologi Jerman. Sumbangsi besarnya dalam antropologi dan ilmu bahasa terletak pada penekanannya terhadap pentingannya kebudayaan dan analogi bahasa dengan kebudayaan. Dia muncul ketika masih diargumentasikan, bahwa tipe bahasa sebuah masyarakat atau ucapan per individu tidak ada kaitannya dengan suku bangsa dan kembali menjadikan bahasa primitif sebagai bahan pembanding merupakan suatu kesalahkapraan, karena semua bahasa sepenuhnya berkembang di dalam tujuan kebudayaannya sendiri, bukan melalui suku bangsa. Sapir mengatakan, bahwa tidak ada hubungan sebab-akibat antara bahasa dengan kebudayaan. Dia melihat kebudayaan sebagai apa yang dilakukan dan dipikrkan oleh kelompok sosial dan menganggap bahasa sebagai cara berpikir ke arah itu. Dia juga beranggapan, bahwa bahasa sebagai petunjuk sombolik terhadap kebudayaan (symbolic guide to culture). Pendekatan seperti ini mengacu, melalui hasil karya mahasiswanya bernama Lee Whorf, pada pengemIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



405



bangan hipotesis Sapir-Whoprf, yang memperlihatkan hubungan erat antara ketegori kebudayaan dengan bahasa. Sapir selama di bawah bimbingan Boas, merupakan mahasiswa linguitik pertama yang melihat adanya perbedaan antara aspek universal dan spesifik dari sebuah bahasa. Formulasinya tentang aspek keuniversalan bahasa membuatnya sebagai perintis teori antropologi dan linguistik yang menekankan struktur dalam (deep structure) dari sebuah bahasa, yang kemudian menjadi landasan pokok para aliran struktural di Prancis. 5. Benyamin Lee Whorf Putra dari Harry Church Whorf and Sarah Edna Lee Whorf, Benjamin Lee Whorf lahir pada tanggal 24 April 1897 di Winthrop, Massachusetts. Harry Church Whorf adalah seorang artis, intelektual dan desiner, yang awalnya bekerja pada bekerja sebagai artis komersial kemudian akhirnya menjadi pemain drama. Benyamin memiliki dua saudara, John and Richard keduanya menjadi notable artists. John menjadi renowned painter and illustrator tingkat internasional, sementara Richard menjadi actor dalam filem seperti: Yankee Doodle Dandy, kemudian Emmy dan acara nominasi televise The Beverly Hillbillies. Benyamin sudah sangat pintar ketika umumya masih 3 tahun, sehingga pada masa mudanya ia telah melakukan penelitian dengan menggunakan alat fotografi milik ayahnya. Di adalah kutu buku, tertarik dalam botani, astrologi dan Middle American prehistory. Ia membaca berulang kali buku William H. Prescott dengan judul Conquest of Mexico. Pada usia 17 tahun ia memulai menulis diarinya dengan merekam semua impian dan hayalannya. Whorf adalah lulusan dari Massachusetts Institute of Technology. Pada tahun 1918 ia lulus dengan predikat chemical engineering dengan nilai akademik di atas rata-rata. Pada tahun 1920 ia menikahi Celia Inez Peckham, yang menjadi ibu dari ketiga anaknya: Raymond Ben, Robert Peckham and Celia Lee. Pada waktu bersamaan ia bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran (setingkat inspector) pada Hartford Fire Insurance Company. Ia adalah pekerja andalan dalam pekerjaannya dan diberi penghargaan dari atasannya. Pekerjaannya tersebut meminta dirinya untuk berkeliling untuk memproduksi fasilitas melalui New England untuk diinspeksi. Salah satu anekdot berkembang tentang dirinya ketika sampai di sebuah industry kimia dimana dia menolak mentah-mentah yang diakses oleh direktur, karena ia tidak menginginkan seseorang menyaksikan prosedur peroduksi bahan kimia, karena menurutnya itu adalah rahasia perusahaan. Sehabis menerangkan prosedur industry, Whorf kemudian mengambil secarik kertas, lalu menulis formula di atas, kemudian berkata kepada direktur: I think this is what you're doing. Sang direktur yang penuh Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



406



kebingungan bertanya kepada Whorf bagaimana caranya mengetahui prosedur rahasianya. Whorf dengan santainya menjawab: You couldn't do it in any other way. Whorf membantu untuk mendemontasikan kepada konsumen barunya pada sebuah perusahaan Fire Insurance Company; mereka menyimak baik-baik inspeksi dan arahan dari Whorf. Muncul anekdot baru berkenaan dengan pekerjaannya untuk berargumentasi, bahwa language use affects habitual behavior (bahasa meniliki afek terhada perilaku. Whorf menggambarkan sebuah workshop yang penuh dengan drum minyak di dalamnya, sementara yang lainnya kosong: Whorf kemudian berargumentasi, bahwa because of flammable vapor the empty drums were more dangerous than those that were full, although workers handled them less carefully to the point that they smoked in the room with empty drums, but not in the room with full ones. Whorf argued that by habitually speaking of the vaporfilled drums as empty and by extension as inert, the workers were oblivious to the risk posed by smoking near the empty drums Whorf termasuk orang alim sepanjang hidupnya, sekalipun belum jelas agama yang dianutnya. Sebagai anak muda ia telah menulis sebuah naskan dengan judul Why I have discarded evolution, karena banyak ilmuan yang mencapnya sebagai pengikut Methodist Episcopalian, di bawah tekanan fundamentalism dan ia juga diragukan sebagai pendukung creationism. Meskipun demikian, Whorf dalam kehidupan agamanya tertarik dalam theosophy, sebuah organisasi non-sektarian berdasarkan ajaran Budha dan Hindu, yang mengajarkan padangan world as an interconnected whole dan persaudaraan umat manusia tanpa mempersoalkan latar belakang perbedaan ras, agama, jenis kelamin, kasta dan warna kulit. Beberapa ahli mengatakan, bahwa konflik antara spiritual dengan scientific inclinations telah menjadipendongkrat pengembangan intlektual Whorf, khususnya dalam abstrkasi dalam lnguistik telativitas (linguistic relativity). Beberapa naskah Whorf tentang spiritual yang belum dipublikasikan juga menginspirasikan, bahwa dia telah dipengaruhi oleh ide-ide Helena Blavatsky pendiri Theosophical Society, yang banyak menulis tentang evolusi kosmik, suatu kepercayaan yang menerima baik reinkerasi sebagai sumber dari evolusi bangsa manusia untuk menuju ketingkat lebih tinggi. Menurut Whorf, bahwa of all groups of people with whom I have come in contact, Theosophical people seem the most capable of becoming excited about ideas—new ideas. Sekitar tahun 1924 Whorf pertama kalinya tertarik dalam ilmu bahasa (linguistics). Awalnya ia menganalisis text-teks biblical, mencoba mencari arti yang terselubung di belakang teks-teks tersebut. Diinspirasi oleh pekerjaan esoteric Antoine Fabre d'Olivet dalam bukunya La langue hebraïque Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



407



restituée, dia memulai analisisnya terhadap semantik dan gramitikal Biblical Hebrew. Teks-teks Jebrew dan Maya dari Whorf sebelumnya, digambarkan sebagai exhibiting a considerable degree of mysticism, as he sought to uncover esoteric meanings of glyphs and letters. Whorf melakukan studi kepustakaan linguistik lebih banyak dilakukan di perpustakaan Watkinson (sekarang Hartford Public Library). Perpustakaan ini banyak memiliki koleksi materi tentang Native American linguistics and folklore, yang sebelumnya dikoleksi oleh James Hammond Trumbull. Di Perputskaaan Watkinsonlah Whorf bertemu dan berteman anak muda bernama John B. Carroll, yang kemudian belajar psikologi di bawah bimbingan B. F. Skinner dan yang mengedit karya-karya Whorf pada tahun 1956 dan pembulikasikan tulisan atau esei Whorf berjudul Language, Thought and Reality (Carroll, 1956). The collection rekindled Whorf's interest in Meso-american antiquity. Dia mulai belajar bahasa Nahuatl pada tahun 1925 dan kemudian awal tahun 1928, ia mempelajari Maya hieroglyphic texts. Dia cepat memahami dan mengumpulkan bahan-bahan dan mulai berdialog secara akdemik dengan ahli-ahli Mesoamerican seperti Alfred Tozzer, arkeolog Harvard University Herbert J. Spinden dan dan petugas Brooklyn Museum. Pada 1928 ia mulai membawakan makalah pada International Congress of Americanists dimana dia mempresentasekan terjemahannya dokumendokumen bahasa Nahuatl yang diambil dari Peabody Museum di Harvard. Dia juga memulai mempelajari linguistic bandingan kekerabatan bahasa UtoAztecan, dimana Edward Sapir saat itu menjadikannya sebagai contoh kasus dalam kajian kekerabatan bahasa (linguistic family) yang ia sedang teliti. Sebagai tambahan dalam bahasa Nahuatl, Whorf mempelajari bahasa Piman and bahasa Tepecano, melalui korespondensi aktif dengan seorang linguis bernama J. Alden Mason. Oleh karena janji pada dirinya seperti yang dilukiskan di dalam studinya tentang Uto-Aztecan, Tozzer dan Spinden menganjurkan kepada Whorf, agar mendapat rekomendasi dari Social Science Research Council (SSRC) untuk mendukung penelitiannya. Whorf kemudian menyiapkan sejumlah uang perjalannya ke Mexico untuk procure naskah-naskah Aztec untuk perpustakaan Watkinson. Tozzer jua menganjurkan, agar Whorf juga tinggal bebera waktu di Mexico mendokumentasi bahasa dialek-dialek modern Nahuatl. Dalam proposalnya, Whorf mengajukan untuk to establish the oligosynthetic nature of the bahasa Nahuatl. Sebelum berangkat Whorf mempresentasikan makalahnya berjudul Stem series in Maya pada konferensi Linguistic Society of America, dimana ia beragumentasi, bahwa dalam beberapa silabel bahasa Mayan berisi banyak carry symbolic. Social Science Research Council (SSRC) kemudian menghargai rencana kajian Whorf Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



408



dengan memberi rekomendasi yang isinya mendukung Whorf mengunjungi Mexico City pada tahun 1930. Professor Robert H Barlow, sebagai mitranya, akan mempertemukannya dengan beberapa penutur asli bahasa Nahuatl. Mereka akan membantu Whorf untuk bertemu beberapa informannya seperti Mariano Rojas penutur bahasa Tepoztlán dan Luz Jimenez penutur bahasa Milpa Alta. Hasil dari perjalan Whorf ke Mexico adalah sketch of Milpa Alta Nahuatl, yang baru bisa dipublikasikan setelah kematiannya dan sejumlah artikel tentang Aztec pictograms yang dapat ditemukan pada monumen Tepozteco di Tepoztlán, Morelos yang ditandainya, bahwa Aztec and Maya memiliki bentuk dan arti dan tanda (form, meaning dan sign). Setibanya dari Mexico pada tahun 1930, Whorf telah sepenuhnya otodidak dalam teori linguistik dan metodologi lapangan. Itulah yang mengangkat namanya di daam dunia linguistik di Amerika Tengah. Whorf telah menemui Sapir, yang memimpin Linguistik Amerika ketika itu, di dalam sebuah seminar profesi dan pada tahun 1931 Sapir dating ke Yale dari University of Chicago untuk menduduki posisi sebagai professor di dalam Antropologi. Alfred Tozzer mengirim ke Sapir seperangkat fotokopi artikel Whorf tentang Nahuatl tones and saltillo. Sapir menjawabnya dan mengatakan, bahwa should by all means be published, sekalipun, tidak sampai tahun 1993 makalh tersebut telah dipersipkan penerbitannya oleh Lyle Campbell dan Frances Karttunen. Hipotesis Sapir-Whorf adalah sebuah pernyataan saintifik dalam teori linguistik relativitas, bahwa ada hubungan kuat antara bahasa, budaya dan pikiran seorang penutur. Lalu, dalam proses berbahasa, terbukti bahwa kondisi dan kebudayaan seseorang sangat mempengaruhi bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Pola budaya suatu masyarakat, menurut hipotesis ini, mampu mengkonstruk klausa, sehingga memberikan variasi informasi dan kesantunan suatu bahasa. Hipotesis ini didasari oleh penelitian Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf terhadap suku Hopi di Afrika. Whorf dan Sapir sama-sama di Yale pada American Indian Linguistics. Dia terdaftar dalam program studi pascasarjana untuk mencapai gelar PhD dalam bidang linguistik, namun dia tidak serius untuk mendapatkan gelar, memuaskan dirinya dengan berpartisipasi dalam komunitas intelektual di sekitar Sapir. Di Yale, Whorf bergabung dengan lingkaran murid Sapir yang termasuk ahli bahasa termasyhur seperti Morris Swadesh, Mary Haas, Harry Hoijer, G. L. Trager dan Charles F. Voegelin. Whorf mengambil peran sentral di antara murid Sapir dan sangat dihormati. Sapir memiliki pengaruh besar pada pemikiran Whorf. Tulisan-tulisan Sapir yang paling awal telah mengemukakan pandangan tentang hubungan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



409



antara pemikiran dan bahasa (language and mind) yang berasal dari tradisi Humboldtian yang ia peroleh melalui Franz Boas, yang menganggap bahasa sebagai perwujudan historis dari volksgeist, atau pandangan etnik dunia. Akan tapi Sapir sejak itu dipengaruhi oleh arus positivisme logis, seperti; Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein awal. Ia juga secara khusus dipengaruhi melalui teori Makna Ogden dan Richards. Ia kemudian mengadopsi pandangan, bahwa bahasa alami berpotensi mengaburkan, bukannya memfasilitasi pikiran untuk memahami dan menggambarkan dunia sebagaimana adanya. Dalam pandangan ini, persepsi yang tepat hanya dapat dicapai melalui logika formal. Selama tinggal di Yale, Whorf memperoleh arus pemikiran ini sebagian dari Sapir dan sebagian melalui bacaannya sendiri tentang Russell dan Ogden dan Richards. Ketika Whorf betul-betul terpengaruh oleh ilmu positivis, ia juga membatasi diri dari beberapa pendekatan terhadap bahasa dan makna yang ia lihat masih kurang dalam ketelitian dan wawasan. Salah satunya adalah filsuf umum Polandia Alfred Korzybski, yang di AS dianut oleh Stuart Chase. Chase mengagumi pekerjaan Whorf dan sering mencari Whorf, yang enggan mengakui Chase sebagai orang yang kompeten untuk menangani permaslahan bahasa. Ironisnya, Chase kemudian akan menulis kata pengantar untuk koleksi tulisan-tulisan Whorf oleh Carroll. Sapir juga mendorong Whorf untuk melanjutkan karyanya dalam bidang linguistik historis dan deskriptif dari Uto-Aztecan. Whorf kemudian menerbitkan beberapa artikel tentang topik itu dalam periode ini. Beberapa di antaranya dengan G. L. Trager, yang telah menjadi teman dekatnya. Whorf menaruh minat khusus pada bahasa Hopi dan mulai bekerja dengan Ernest Naquayouma, seorang penutur asli dari Hopi. Ia berasal dari desa Toreva dan tinggal di Manhattan, New York. Whorf memuji Naquayouma sebagai sumber penting dari sebagian besar kebutuhan informasinya tentang bahasa Hopi, meskipun pada tahun 1938 ia melakukan kunjungan lapangan singkat ke desa Mishongnovi, di ke Mesa di Arizona. Pada tahun 1936, Whorf diangkat sebagai Honorary Research Fellow dalam Anthropologi di Yale dan dia diundang oleh Franz Boas untuk berpartisipasi di komite Society of American Linguistics (kemudian menjadi Linguistic Society of America). Pada tahun 1937, Yale menghadiahinya Sterling Fellowship. Dia adalah dosen di jurusan Antropologi dari 1937 sampai 1938, menggantikan Sapir, yang sakit parah. Whorf memberi kuliah tingkat sarjana tentang Masalah Linguistik Indian Amerika. Pada tahun 1938 dengan bantuan Trager, ia memaparkan laporan tentang perkembangan penelitian linguistik di departemen antropologi di Yale. Laporan ini mencakup beberapa kontribusi berpengaruh Whorf terhadap teori linguistik, seperti konsep the allophone and of covert grammatical categories. Menurut Lee (1996), bahwa Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



410



dalam laporan ini teori linguistik Whorf ada dalam bentuk yang kental, terutama melalui laporan yang menggambarkan, bahwa Whorf memberikan pengaruh pada disiplin linguistik deskriptif. Pada akhir 1938, kesehatan Whorf sendiri mulai menurun. Setelah operasi kanker dia akhirnya menjadi tidak produktif lagi. Dia juga sangat dipengaruhi oleh kematian Sapir pada awal 1939. Hal ini tercermina di dalam tulisan-tulisannya 2 tahun terakhir, bahwa ia menghentikan program penelitian linguistik relativitas (Linguistic relativity). Artikel peringatan tahun 1939-nya untuk Sapir, The Relation of Habitual Thought and Behavior to Language, khususnya telah dianggap sebagai pernyataan definitif Whorf tentang tentang masalah ini dan merupakan bagian yang paling sering dikutip dalam berbagai tulisan. Pada tahun-tahun terakhirnya, Whorf juga menerbitkan tiga artikel di MIT Technology Review berjudul Science and Linguistics dan Linguistics. Linguistik sebagai ilmu pengetahuan sangat tepat untuk kajian bahasa dan logika. Dia juga diundang untuk menyumbangkan artikel ke sebuah jurnal teosofi bernama Theosophist, yang diterbitkan di Madras, India dengan judul Language, Mind and Reality. Dalam karya-karya akhir ini ia menawarkan kritik terhadap sains Barat. Ia mengusulkan, bahwa bahasa-bahasa nonEropa sering mengacu pada fenomena fisik dengan cara yang lebih langsung mencerminkan aspek realitas daripada banyak bahasa Eropa. Ia juga menganjurkan, agar sains harus memperhatikan efek dari kategorisasi linguistik dalam upaya untuk menggambarkan dunia fisik. Dia terutama mengkritik bahasa Indo-Eropa, karena mempromosikan pandangan dunia esensialis yang salah, yang telah dibantah oleh kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, ia menyarankan, agar bahasa lain lebih memusatkan perhatian pada proses dan dinamika daripada esensi yang stabil. Whorf berpendapat, bahwa memperhatikan bagaimana fenomena fisik lainnya dijelaskan dalam studi linguistik dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi sains dengan menunjukkan cara-cara dimana asumsi tertentu tentang realitas tersirat dalam struktur bahasa itu sendiri. Ia malah memberikan arahan tentang bagaimana bahasa memandu perhatian pembicara terhadap fenomena tertentu di dunia yang berisiko, sementara fenomena lain yang berisiko ikut terabaikan. Pada saat kematian Whorf, temannya bernama G. L. Trager ditunjuk sebagai kurator dari manuskrip-manuskripnya yang belum diterbitkan. Beberapa dari karya Whorf tersebut diterbitkan pada tahun-tahun setelah kematiannya oleh teman-teman Whorf lainnya bernama Harry Hoijer. Pada dasawarsa berikutnya, Trager dan terutama Hoijer mempopulerkan ide-ide Whorf tentang relativitas linguistik. Hoijerlah yang menciptakan istilah hipotesis Sapir-Whorf pada konferensi bahasa tahun 1954. Trager kemudian Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



411



menerbitkan artikel berjudul The systematization of the Whorf hypothesis. Artikel ini memberikan kontribusi pada gagasan, bahwa Whorf telah mengusulkan hipotesis yang seharusnya menjadi dasar untuk program penelitian empiris. Hoijer juga menerbitkan Studies of Indigenous Languages And Cultures of The American South West dimana Whorf menemukan hubungan antara pola budaya dan bahasa. Istilah ini, meskipun secara teknis keliru, namun kemudian menjadi label yang paling dikenal luas untuk ide-ide Whorf. Menurut karya John A. Lucy, bahwa karya-karya Whorf di dalam linguistik masih diakui sebagai karya yang sangat profesional oleh para ahli bahasa seperti Whorf. Karya Whorf mulai kurang digemari selama satu dekade setelah kematiannya. Ia pun kemudian menjadi sasaran kritik keras dari para ahli bahasa, budaya dan psikologi. Pada 1953 dan 1954, psikolog Roger Brown dan Eric Lenneberg mengkritik Whorf, karena; ketergantungannya pada bukti anekdot dan ia merumuskan hipotesis untuk menguji secara ilmiah ide-idenya, yang terbatas pada pemeriksaan hubungan kausal antara struktur gramatikal atau leksikal dan kognisi atau persepsi. Whorf sendiri tidak menganjurkan kausalitas langsung antara bahasa dan pikiran. Sementara dia telah menulis, bahwa bahasa dan budaya telah tumbuh bersama dan keduanya saling dibentuk oleh yang lain. Oleh karena itu, Lucy (1992) berpendapat, bahwa untuk tujuan perumusan hipotesis SapirWhorf telah menguji sebab-akibat secara sederhana, yang sejak awal gagal untuk menguji ide-ide Whorf. Berfokus pada terminologi warna, dengan perbedaan yang mudah dilihat antara persepsi dan kosakata, Brown dan Lenneberg yang terbit pada tahun 1954. Ini adalah sebuah studi tentang istilah warna Zuni yang sedikit mendukung efek lemah dari kategorisasi semantik dalam istilah warna pada persepsi warna. Dalam melakukan hal itu mereka memulai sederetan studi empiris yang menyelidiki prinsip relativitas linguistik. Pengujian empiris hipotesis Whorfian menurun pada 1960-an hingga 1980-an, ketika Noam Chomsky mulai mendefinisikan kembali linguistik dan banyak psikologi dalam istilah formalis universal. Beberapa penelitian dari periode itu membantah hipotesis Whorf dan menunjukkan, bahwa keragaman linguistik adalah lapisan permukaan yang menutupi prinsipprinsip kognitif universal. Banyak penelitian yang sangat kritis dan meremehkan analisis bahasa Whorf dan pengikutnya, mengolok-olok analisis dan contoh-contoh Whorf yang menggambarkan kurangnya gelar akademis yang dimiliki Whorf. Sepanjang tahun 1980-an sebagian besar ahli terus meremehkan Whorf atau hipotesis Sapir-Whorf. Ini mengakibatkan munculnya pandangan, bahwa ide-ide Whorf memang telah terbukti salah. Whorf pun kemudian digambarkan sebagai salah satu anak laki-laki pemborong Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



412



teks-teks pengantar ke linguistik. Pada akhir 1980-an, dengan munculnya linguistik kognitif dan psikolinguistik, beberapa ahli bahasa berusaha untuk merehabilitasi reputasi Whorf, karena para ahli mulai mempertanyakan apakah kritik awal Whorf dibenarkan. Pada tahun 1960-an filsuf analitis juga menjadi sadar akan hipotesis Sapir-Whorf. Para filsuf seperti Max Black dan Donald Davidson menerbitkan kritik pedas dari pandangan relativis Whorf yang telah mendunia. Menurut Black, bahwa gagasan Whorf tentang metafisika, menunjukkan hasil karya seorang amatiran. Menurut Black and Davidson, sudut pandang Whorf dan konsep linguistik relativitas sangat tidak mungkin bisa dilakukan. Penilaian serupa juga dilontarkan oleh Leavitt dan Lee, bahwa interpretasi Black dan Davidson terhadap Whorf, sudut pandang Whorf yang didasarkan pada karakterisasi sangat tidak akurat, bahkan tidak masuk akal. Ini disebabkan oleh banyaknya waktu yang dihabiskan hanya untuk mencoba menerjemahkan antara skema konseptual yang berbeda. Menurut mereka, kritik tersebut didasarkan pada kurangnya keakraban dengan tulisan-tulisan Whorf. Menurut para ahli lain, bahwa deskripsi yang lebih akurat tentang sudut pandang ilmiah, ketika ia menganggap terjemah-an itu mungkin melalui perhatian yang cermat terhadap perbedaan tipis antara skema konseptual. Eric Lenneberg, Noam Chomsky dan Steven Pinker juga mengkritik Whorf, karena gagal menjelaskan formulasinya tentang bagaimana pengaruh bahasa dan berpikir. Ia juga gagal, karena tidak mampu memberikan bukti nyata untuk mendukung asumsi-asumsinya. Umumnya argumen Whorf hanya mengambil bentuk contoh yang bersifat anekdot atau spekulatif untuk menunjukkan bagaimana sifat-sifat gramatikal eksotis dihubungkan dengan apa yang dianggap dunia pemikiran yang sama eksotisnya pula. Bahkan, para pembelot Whorf mengakui, bahwa gaya tulisannya sering berbelit-belit dan ditulis dalam neologisme, yang kemudian dikaitkan dengan kesadarannya tentang penggunaan bahasa dan keengganannya untuk menggunakan terminologi yang mungkin memiliki konotasi yang sudah ada sebelumnya. Menurut McWhorter (2009: 156), bahwa Whorf terpesona oleh keaslian bahasa pribumi, kemudian melebih-lebihkan dan mengidealkannya. Menurut Lakoff, kecenderungan Whorf untuk mengeksploitasi data harus dinilai dalam konteks historis. Whorf dan Boasians lainnya menulis pada waktu di mana rasisme dan jingoisme dominan. Ketika itu memang belum terpikirkan oleh banyak orang, bahwa bahasa sebanding dalam kompleksitas. Untuk ini saja, Lakoff berpendapat, bahwa Whorf dapat dianggap bukan pelopor dalam linguistik dan bukan pula pelopor dalam ilmu humaniora. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



413



Saat ini banyak pengikut aliran pemikiran universalis terus menentang gagasan relativitas linguistik. Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang tidak sehat atau bahkan konyol. Steven Pinker, misalnya The Language Instinct berpendapat, bahwa pemikiran itu ada sebelum bahasa dan terlepas darinya. Pandangan ini juga didukung oleh filsuf bahasa, seperti; Jerry Fodor, John Locke dan Plato. Dalam sebuah interpretasi, bahasa tidak penting bagi pemikiran manusia, karena manusia tidak berpikir dalam bahasa alami, karena bahasa apa pun yang digunakan itu hanya untuk komunikasi. Sebaliknya, kami berpikir dalam bahasa meta yang mendahului bahasa alami, yang Pinker adopsi dari Fodor menyebut mentalese. Pinker menyerang apa yang dia sebut sebagai posisi radikal Whorf. Ia juga menyatakan, bahwa semakin Anda memeriksa argumen Whorf, semakin sedikit perasaan yang mereka buat. Para sarjana yang lebih relativis yang dari dulu tunduk dan patuh pada relativisme bahasa seperti John A. Lucy dan Stephen C. Levinson, mengkritik Pinker, karena salah mengartikan pandangan Whorf dan berdebat melawan orang-orangan tidak profesional. Studi linguistik relativitas telah mengalami kebangkitan sejak tahun 1990-an. Serangkaian hasil eksperimen yang menguntungkan telah membawa kembali Whorfianisme, terutama dalam psikologi budaya dan antropologi linguistik. Studi pertama yang mengarahkan perhatian positif terhadap posisi relativis Whorf adalah tulisan-tulisan George Lakoff's Women dan Fire and Dangerous Things, dimana mereka berpendapat, bahwa Whorf telah berada di jalur yang benar dalam fokusnya pada perbedaan kategori gramatikal dan leksikal sebagai sumber perbedaan dalam konseptualisasi. Pada tahun 1992, psikolog John A. Lucy menerbitkan dua buku tentang topik tersebut, yang menganalisis silsilah intelektual hipotesis, dengan alasan bahwa penelitian sebelumnya telah gagal untuk menghargai selukbeluk pemikiran Whorf, karena mereka tidak dapat merumuskan agenda penelitian yang benar-benar akan menguji klaim Whorf. Lucy mengusulkan desain penelitian baru alam bukunya One Analyzing The Intellectual Genealogy Of The Hypothesis, sehingga hipotesis linguistik relativitas dapat diuji secara empiris dan untuk menghindari perangkap penelitian sebelumnya yang diklaim Lucy cenderung mengungkap keuniversalitasan kategori yang mereka pelajari. Buku keduanya adalah An Empirical Study of The Relation Between Grammatical Categories And Cognition In The Yucatec Maya Language of Mexico. Pada tahun 1996, Penny Lee mengulas kembali tulisan-tulisan Whorf yang telah diterbitkan. Ia berusaha mengembalikan Whorf sebagai seorang pemikir yang serius dan cakap. Menurut Lee, bahwa eksplorasi sebelumnya atas hipotesis Sapir-Whorf telah mengabaikan sebagian besar tulisan Whorf yang sebenarnya. Akibatnya pertanyaan yang diajukan sangat berbeda Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



414



dengan yang diminta Whorf. Pada tahun itu pula volume linguistik relativitas yang diedit oleh John J. Gumperz dan Stephen C. Levinson mengumpulkan sejumlah peneliti yang bekerja di bidang psikolinguistik, sosiolinguistik dan antropologi linguistik untuk membawa perhatian baru pada isu tentang bagaimana teori Whorf dapat diperbarui. Sejak saat itu, penelitian empiris yang cukup besar mengenai linguistik relativitas telah dilakukan, terutama di Institut Max Planck untuk Psikolinguistik dengan beasiswa yang memotivasi dua volume studi linguistik relativitas yang telah diedit oleh para sarjana seperti Lera Boroditsky dan Dedre Gentner. Pandangan Whorf telah dibandingkan dengan para filsuf seperti Friedrich Nietzsche dan almarhum Ludwig Wittgenstein, keduanya menganggap bahasa memiliki pengaruh penting dalam pemikiran dan penalaran. Hipotesisnya juga telah dibandingkan dengan pandangan para psikolog seperti Lev Vygotsky, yang konstruktivisme sosialnya menganggap perkembangan kognitif anak-anak dimediasi oleh penggunaan bahasa sosial. Vygotsky berbagi minat Whorf dalam psikologi gestalt dan dia juga membaca karya Sapir. Yang lain telah melihat persamaan antara karya Whorf dan ide-ide teoritikus sastra Mikhail Bakhtin, yang membaca Whorf dan yang pendekatannya terhadap makna tekstual juga holistik dan relati-vistik. Ide-ide Whorf juga telah ditafsirkan sebagai kritik radikal terhadap ilmu positivis Selain Whorf dikenal sebagai pendekar prinsip relativitas linguistik, ia juga dikenal sebagai peletak dasar hipotesis Sapir-Whorf, yang disesuikan dengan nama Whorf dan Edward Sapir. Keduanya menarik secara eksplisit prinsip relativitas umum Albert Einstein. Prisnip linguistik relativitas mengacu pada konsep kategori gramatikal dan semantik dari bahasa tertentu yang menyediakan kerangka acuan sebagai media di mana observasi dibuat. Setelah pengamatan asli oleh Boas, Sapir menunjukkan, bahwa penutur bahasa tertentu merasakan bunyi yang secara akustik berbeda dengan bunyi yang mendasarinya dan tidak berkontribusi pada perubahan makna. Selanjutnya, penutur bahasa memperhatikan suara, terutama jika dua suara yang sama berasal dari fonem yang berbeda. Perbedaan semacam itu merupakan contoh bagaimana berbagai kerangka acuan observasional mengarah pada pola perhatian dan persepsi yang berbeda. Whorf juga sangat dekat dengan psikologi gestalt, yang percaya, bahwa penuturnya diperlukan untuk menunjuk keonsrtruksi gestal yang berbeda, yang disebut sebagai isolat dari pengalaman. Sebuah kata kunci yang menjelaskan bagaimana aksi membersihkan senjata yang berbeda antara bahasa Inggris dan bahasa Shawnee. Orang Inggris terfokus pada hubungan dua objek dan tujuan dari menghilangkan kotoran, sementara Shawnee fokus pada pergerakan menggunakan tangan untuk untuk tampil Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



415



di ruang bawah tanah. Kejadian-kejadian dilukiskan sama, sementara pengistilahan jari tangan dan debu berbeda. Penelitian Whorf tentang waktu di suku Hopi telah menjadi contoh linguistik relativitas yang paling banyak dibahas dan dikritik. Dalam analisisnya ia berpendapat, bahwa ada hubungan antara bagaimana orang Hopi membuat konsep waktu, bagaimana mereka berbicara tentang hubungan temporal dan tata bahasa dari bahasa Hopi. Argumen Whorf yang paling terperinci untuk eksistensi linguistik relativitas didasarkan pada apa yang dilihatnya sebagai perbedaan mendasar dalam pemahaman waktu sebagai kategori konseptual di kalangan orang Hopi. Dia berpendapat, bahwa bahasa Hopi, berbeda dengan bahasa Inggris dan bahasa SAE lainnya, yang tidak memperlakukan aliran waktu sebagai urutan contoh yang dapat dihitung, seperti tiga hari atau lima tahun, tetapi lebih sebagai proses tunggal. Karena perbedaan ini, dalam bahasa Hoki tidak memiliki kata benda yang mengacu pada satuan waktu. Whorf kemudian mengusulkan, bahwa pandangan Hopi tentang waktu merupakan hal mendasar dalam semua aspek budaya mereka dan lebih jauh lagi menjelaskan pola perilaku tertentu. Dalam esainya dalam peringatan kematian Sapir ia menulis, bahwa bahasa bahasa Hopi terlihat tidak mengandung kata-kata, bentuk-bentuk gramatikal, konstruksi atau ungkapan yang merujuk langsung pada apa yang kita sebut 'waktu', atau masa lalu, sekarang, atau masa depan. Linguist Ekkehart Malotki menantang analisis Whorf tentang ekspresi dan konsep Hopi dengan banyak contoh bagaimana bahasa Hopi mengacu pada waktu. Menurut Malotki, bahwa dalam sistem tenses bahasa Hopi terdiri dari masa depan dan non-masa depan, bahwa perbedaan tunggal antara sistem tiga-tegang bahasa-bahasa Eropa dan sistem Hopi adalah gabungan masa lalu dan masa kini untuk membentuk satu kategori waktu. Kritik Malotki secara luas dikutip sebagai bukti akhir dalam menyanggah gagasan-gagasan Whorf dan konsep relativitas linguistiknya. Para sarjana lain membela analisis Hopi, dengan alasan, bahwa klaim Whorf bukanlah Hopi tidak memiliki kata atau kategori untuk mendeskripsikan temporalitas,, tetapi Hopi memiliki konsep waktu sangat berbeda dengan konsep waktu penutur bahasa Inggris. Whorf mencatat, bahwa waktu tidak terbagi ke masa lalu, sekarang dan masa depan, seperti yang umum dalam bahasabahasa Eropa, melainkan sebuah tenggang tunggal, yang mengacu pada masa sekarang dan masa lalu sementara yang lain mengacu pada peristiwa yang belum terjadi dan mungkin atau tidak mungkin terjadi di masa depan. Dia juga menggambarkan sejumlah besar hal yang ia sebut tensor, yang menggambarkan aspek temporalitas, sekalipun tidak mengacu pada satuan waktu yang dapat dihitung seperti dalam bahasa Inggris dan sebagian besar bahasa Eropa. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



416



Pembedaan Whorf antara kategori gramatika batiniah (fenotipik) dan lahiriah (cryptotypical) telah menjadi sangat berpengaruh dalam linguistik dan antropologi. Ahli bahasa Inggris Michael Halliday menulis tentang gagasan Whorf mengenai cryptotype dan konsepsi tentang bagaimana model grammar menjadi kenyataan, yang akhirnya akan menjadi salah satu kontribusi utama linguistik abad kedua puluh. Lebih jauh lagi, Whorf memperkenalkan konsep alofon (Allophones)97, sebuah kata yang menggambarkan posisi fonetik dari satu fonem superordinat. Dengan demikian, ia menempatkan fonetik dan fonem dalam mengkonsolidasikan teori fonem awal. Istilah ini dipopulerkan oleh G. L. Trager dan Bernard Bloch dalam makalahnya tentang fonologi Inggris pada tahun 1941. Ia kemudian menjadi bagian dari penggunaan standar dalam tradisi strukturalis Amerika. Whorf menganggap alofon sebagai contoh lain dari relativitas linguistik. Prinsip alofon menggambarkan bagaimana bunyi akustik yang berbeda dapat diperlakukan sebagai cerminan dari satu fonem dalam bahasa. Ini kadang-kadang membuat suara yang berbeda muncul mirip dengan penutur asli bahasa tersebut, bahkan sampai pada titik di mana mereka tidak dapat melakukannya ciri pembeda, sekalipun melalui auditor tanpa pelatihan khusus. Whorf menulis bahwa: alofon juga bersifat relativistik. Alofon fonem mungkin sangat tidak sama secara obyektif, akustik dan fisiologis, sehingga mustahil menentukan perbedaannya. Anda harus selalu menjaga si pengamat dalam posisi yang moderat. Seperti apa pola linguistik itu dan apa yang dibuat tidak seperti itu (Whorf, 1940). Pusat penyelidikan Whorf adalah pendekatan yang kemudian digambarkan sebagai metalinguistik oleh G. L. Trager --- yang pada tahun 1950 --- menerbitkan empat esai Whorf tentang Metalinguistik. Whorf sangat tertarik pada cara-cara dimana pembicara menjadi sadar akan bahasa yang mereka gunakan dan mampu mendeskripsikan dan menganalisis bahasa itu sendiri sesuai apa adanya. Whorf melihat, bahwa kemampuan untuk mencapai deskripsi yang lebih akurat tentang dunia kenyataan, bergantung pada kemampuan untuk membangun bahasa mental untuk menggambarkan bagaimana bahasa mempengaruhi pengalaman. Dengan demikian, kita mampu untuk mengkalibrasi skema konseptual yang berbeda. Upaya Whorf sejak itu dianggap sebagai pengembangan studi metalinguistik dan kesadaran metalinguistik, yang dikembangkan oleh Michael Silverstein pada tahun 1979, yang kemudian dikembangkannya di dalam bidang antropologi linguistik. Beberapa buku telah dipublikasikan oleh Benyamin Lee Whorf, seperti berikut ini: 97



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



417



The Relation of Habitual Thought And Behavior to Language. Ditulis pada tahun 1939 dan terbitan aslinya berjudul Language, Culture and Personality: Essays in Memory of Edward Sapir diedit oleh Leslie Spier pada tahun 1941. Buku ini dikutip dalam Carroll (1956:134–59). 2. Science and linguistics terbitan pertama pada tahun 1940 dalam MIT Technology Review (42:229–31); dikutip dalam Carroll (1956:212–214) 3. Language Mind and Reality ditulis pada tahun 1941, aslinya diterbitkan oleh Theosophical Society pada tahun 1942 Madras, India. Vol 63:1. 281– 91. Dikutuip dalam Carroll (1956:246–270). Pada tahun 1952 hasilnya juga diterbitkan ulang oleh Etc., a Review of General Semantics, 9:167–188. 4. Four articles on Metalinguistics 1950 diterbitkan oleh Foreign Service Institute, Dept. of State. 5. Notes on the Tubatulabal Language. 1936 diterbitkan oleh American Anthropologist. 6. The Comparative Linguistics of Uto-Aztecan. 1935. Diterbitkan oleh American Anthropologist. 7. Review of: Uto-Aztecan Languages of Mexico. A. L. Kroeber American Anthropologist, New Series, Vol. 37, No. 2, Part 1. 8. The Milpa Alta dialect of Aztec (with notes on the Classical and the Tepoztlan dialects) ditulis pada tahun 1939, terbitan pertama tahun 1946 oleh Harry Hoijer dalam Linguistic Structures of Native America, pp. 367–97. Viking Fund Publications in Anthropology, no. 6. New York: Viking Fund. 9. Whorf, B. L. (1937). The origin of Aztec in American Anthropologist. 10. Bekerjasama dengan George L.Trager. The relationship of Uto-Aztecan and Tanoan. (1937). American Anthropologist. 11. The Phonetic Value of Certain Characters in Maya Writing. Millwood, N.Y.: Krauss Reprint. 1975 [1933]. 12. Maya Hieroglyphs: An Extract from the Annual Report of the Smithsonian Institution for 1941. Seattle: Shorey Book Store. Whorf menanamkan pengaruh yang sangat dalam, baik dalam bidang linguistik maupun antropologi budaya melalui idenya yang paling sederhana. Ia mengkalim, bahwa arti adalah esensial sifatnya, sehingga kategorinya dapat berubah (extended atau narrowed meaning) dari suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Pendapat Whorf menjadi terkenal hingga saat ini, karena dia mengklaim, bahwa bahasa merefleksikan dan mempengaruhi pikiran. Oleh karena itu, menurutnya bahasa yang dipelajari seseorang merupakan rujukan atau susunan dari apa yang telah dikatakan orang lain, sehingga dalam bertutur harus memikirkan bahasa yang digunakan orang lain. Dengan demikian, kategori pikiran sebenarnya juga merupakan kategori kebudaya1.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



418



an tertentu. Whorf, misalnya, dengan tegas mengklaim, bahwa demensi waktu dalam bahasa Hopi sangat berbeda dengan yang ada di dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, salah satu diantaranya (kebudayaan Hopi dan kebudayaan Amerika) akan menjadi penting di dalam dimensi persepsi. Whorf, seperti halnya dengan Boas, memperkenalkan konsep relativisme bahasa (language relativity) sebagai duplikasi dari relativisme kebudayaan Boas dengan menawarkan data yang sedikitpun tidak mengandung kebenaran. Oleh karena itu, Whorf akhirnya menjadi bulan-bulanan, karena ia dituduh sebagai penganut aliran determinisime linguistik, seperti halnya dengan tuduhan yang dialamatkan pada Boas. Worf menitikberatkan pemasalahannya dalam menemukan aspek kategori linguistik yang tidak tampak. Salah satu contoh yang sangat favorit (sekalipun hal itu tidak dipublikasikan) adalah bentuk jamak dari kata fish di dalam bahasa Inggris yang diacu oleh morfem jamak kosong (zero plural). Perbedaan keduanya hanya ditemukan di dalam adat istiadat setempat. Jika ikan tersebut dimakan, maka hal tersebut diacu oleh morfem jamak kosong (mislnya; tuna, herring, perch dan sebagainya). Sebaliknya jika tidak dimakan ditandai dengan bentuk morfem jamak /-s/ dalam kata shark menjadi sharks, sucker menjadi suckers dan sebagainya). Terdapat kekecualian, karena dalam menentukan jamak ell sangat membingungkan, dalam menentukan jamaknya dengan dasar dimakan atau tidak dimakan seperti di atas, tidak dapat diterapkan pada banyak kasus lain. Whorf berpendapat, bahwa ada banyak aturan gramatikal seperti itu yang dihubungkan dengan kebudayaan setempat. Apabila adat istiadat berubah, aturan Whorf tentang kedua bentuk penjamakan tersebut mungkin sudah benar. Pada artikel pertamanya tahun 1939, misalnya, ikan hiu memang belum dimakan. Akan tetapi, pada tahun 1970 ikan hiu pun sudah mulai dimakan di daerah pantai California dan Oregon. Dengan demikian, penanda jamak /-s/ untuk ikan hiupun segera dihapus. Kadang-kandang kita terganggu dengan fakta, bahwa dalam bahasa Inggris tidak ada bentuk kata ganti orang ketiga tunggal (third person singular pronoun), baik nominatif maupun obyektif, sehingga tidak memiliki penanda jenis kelamin. Demikian pula dengan fakta, bahwa bahasa Inggris tidak memiliki kata benda umum untuk beberapa spesies (dog, cow, man dan sebagainya) yang tidak memiliki penanda jenis kelamin. Whorf masih menyelidiki untuk kata-kata chairperson dan shaperson. Dua hal yang terjadi pada diri Whorf: dia dianggap sebagai ilmuan oprasional dan karya-karyanya disebut etnosains (ethnosciences). Di pihak lain, ia telah salah kaprah dan terpelset ke dalam dunia determinisme. Sekalipun demikian, kita harus selalu mengikngat, bahwa Whorf adalah seorang yang naif dan terpelajar, orang yang tidak saklek dan disiplin dan konsepIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



419



nya tentang kebudayaan imajinatif (cultural imagination) patut mendapat acungan jempol. Whorf dalam opini umum, terutama setelah membaca ideidenya tentang kebudayaan, tidak hanya seorang linguis seperti yang tercermin di dalam seluruh studinya, tetapi tidak banyak pula orang yang mampu menyodorkan tulisan antropolgi yang seenak dia. 9. Ruth Fulton Benedict Ruth Fulton Benedict (lahir 5 Juni 1887 di New York, Amerika Serikat dan meninggal 17 September 1948 di New York pada umur 61 tahun). Ia adalah seorang antropolog berasal dari Amerika. Ia menciptakan teori dan konsep dalam bukunya Patterns of Culture terbit pada tahun 1934. Teori tersebut memiliki pengaruh besar pada bidang antropologi budaya, khususnya di bidang budaya dan kepribadian. Benedict lulus dari Perguruan Tinggi Vassar pada 1909Ia kemudian tinggal di Eropa selama satu tahun. Sepulang dari Eropa, ia menetap di California dan mengajar di sekolah-sekolah perempuan. Pada tahun 1914 Benedict kembali lagi ke New York. Musim gugur tahun 1919, ia terdaftar di sebuah sekolah baru untuk Penelitian Sosial dan mengambil jurusan antropologi. Ia belajar antropologi untuk memahami konflik yang terjadi negara. Salah satu guru Benedict ialah Elsie Clews Parsons, yang kemudian menyarankannya menjadi seorang antropolog. Gurunya tersebut kemudian memperkenalkannya kepada Franz Boas salah seorang professor dari Universitas Columbia. Di sana Benedict bertemu dengan Margaret Mead dan Edward Sapir. Di Universitas Columbia pula Benedict melakukan penelitian lapangan di beberapa suku: suku Indian Serrano (1922), Zuni Pueblo (1924), Apache (1931) dan Blackfoot India (1939). Ruth Benedict dianggap sebagai seorang teoritikus, yang hanya sibuk dengan kajian hubungan antara konfigurasi budaya (cultural configuration) dengan perilaku individu (individual behavior). Menurut Benedict, setiap kebudayaan memerlukan integrasi secara keseluruhan yang kita sebut sebagai konfigurasi (configuration). Sebaliknya, setiap individu dalam sebuah konfigurasi kebudayaan memumculkan katrakteristik kebudayaan itu sendiri dan bertingkah laku harus sesuai dengan pola kebudayaan yang ada. Eksposisi pemandangan Benedict yang paling bagus dapat ditemukan di dalam tulisannya tentang patterns of culture. Di sini ia mendefinisikan antropologi sebagai sebuah disiplin yang mempelajari perbedaan antara tradisi-tradisi kebudayaan. Ada dua poin ekstrim yang akan muncul dari pandangan seperti itu: 1) penambahan /-s/ pada kata culture menjadi cultures oleh Boas dan kawan-kawannya tidak bertahan lama selama yang bersangkutan bukan pendukung kebudayaan sendiri, karena tidak mengetahui apa manfaatnya kepada yang bersangkutan dan 2) sebuah kebudaya-an Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



420



adalah sebuah bentuk integrasi. Dalam pandangan ini, setiap kebudaya-an adalah ciptaan dari manusia (human beings) dalam suatu lokasi tertentu. Oleh karena itu, sebuah kebudayaan berbeda dengan kebudayaan lainnya, sekalipun berdekatan atau berdampingan. Perbedaan tersebut sangat ditentukan oleh integritas dari sebuah kebudayaan, mengimplikasikan, bahwa sebuah kebudayaan merupakan himpunan dari bagian-bagiannya. Penekanan pada kebudayaan secara keseluruhan lebih banyak berada pada posisi kaum relativime kebudayaan yang mengatakan, bahwa kebudayaan harus dipelajari di salah satu pihak atau karakter kebudayaan di pihak lain. Dengan demikian, penekanan konfigurasi kebudayaan seperti yang dilakukan oleh Benedict, selangkah lebih maju bila dibandingkan dengan program Boas. Ketika Boas menekankan pada pengumpulan informasi, Benedict mengusulkan sebuah cara untuk mengembangkan pengertian kebudayaan yang sedang dipelajari melalui intergasi data yang berkenaan di sepanjang konsep konfigurasi kebudayaan. Penggunaan pola budaya (cultural pattern) oleh Benedict merepresentasikan sebuah reduksionis yang ekstrim dalam karakteristik kebudayaan. Ketika ia, misalnya, memberi karakter orang Zuni sebagai Appolonian --sebuah kebudayaan yang tumbuh secara moderat --- ia mereduksi pola-pola kebudayaan kedalam tingkatan seperti itu untuk menjelaskan perilaku manusia yang muncul dari mereka (orang Zuni). Sebuah pandangan logis mungkin terjadi, tetapi mungkin hal itu juga terlalu dipaksakan. Benedict, tidak seperti dengan para pendahulunya, karena ia mencoba untuk memahami perilaku individu dalam suatu masyarakat melalui penggunaan pola kebudayaan untuk menjelaskan perilaku individu dalam kasus pola tingkah laku. Sekalipun demikian, harus dicamkan, bahwa selain reduksinya yang sangat ekstrim, teori Ruth Bendecit tentang pola kebudayaan juga menjadi teori utama --- nonevolusi, non-komparatif dan non-biologi --- untuk memahami pelaku manusia dalam basis konfigurasi kebudayaan. Fokus utama kajian Ruth Benedict adalah hubungan antara individul dan masyarakatnya. Benedict merupakan wanita pertama yang mencapai keunggulan sebagai ilmuwan sosial dan menunjukkan keteguhannya dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Ia berhadapan dengan permasalahan yang dihadapi wanita dalam masyarakat Amerika saat itu yaitu penindasan dan pelemahan. Ruth Benedict mendapatkan pendidikan keras di Vassar College, sebuah sekolah yang sangat terkenal di era tahnn 1880-an. Sekolah ini bertujuan untuk mendidik kaum wanita untuk berjuan mensejajarkan dirinya dengan laki-laki (emansipasi). Awalnya, Ruth Benedict tertarik pada bidang kesastraan dan puisi. Itulah pula sebabnya, ia menerbitkan puisi-puisinya Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



421



dalam berbagai majalah dan jurnal. Pengalamannya inilan yang mempengaruhi keantropologiannya. Selain itu Benedict juga dikenal sebagi seorang wanita yang tertarik di dalam dunia politik. Ia banyak mempelajari isu-isu politik progresif, tren artistik modern dan karya sastra sastrawan Jerman dan Amerika, terutama karya Fredrich Nietzche. Nietzchelah yang menganjurkan untuk memusnahkan nilai-nilai moral yang konvensional yang berguna untuk meningkatkan kreativitas. Ia sangat menganjurkan kesenangan atau kenikmatan secara fisik. Ia menganjurkan kepada para pembacanya, agar membangun Tuhannya di dalam dirinya sendiri. Pemikiran-pemikiran Nietzche ini kemudian banyak mempengaruhi pemikiran Ruth Benedict untuk dapat berkreativitas dan membebaskannya dari kungkungan masa lalu, serta mencapai kehidupannya di masa depan. Pada tahun 1914, ia menikah dengan Stanley Benedict dan bercerai beberapa tahun kemudian. Pada umur 31 tahun, ia memasuki New School for Social Research. Beberapa tahun kemudian ia mengambil program pasca sarjana di bawah supervisi Franz Boas di Columbia University (1921–1942). Boas manjadi supervisi disertasi Benedict yang berjudul The Concept of the Guardian Spirit in North America. Penulisan disertasi Benedict lebih banyak didasarkn pada penelitian studi kepustakaan. Dengan demikian, disertasinya tersebut lebih banyak pengalaman keagamaan individu. Ia mencoba untuk melakukan pendekatan inovatif dalam mempelajari budaya melewati pemilihan keputusan yang dilakukan oleh individu. Pada tahun 1920-an, ia mengunjungi Amerika Barat Daya untuk melakukan penelitian musim panas. Korpus penelitiannya: Zuni (1924), Zuni dan Cochiti (1925), O’otam (Pima, 1927) dan Mescalero Apache (1931). Penelitian Benedict di Zuni yang kemudian mewarnai bukunya berjudul Patterns of Culture pada tahun 1934. Selama periode ini ia membangun ketertarikannya kepada kepribad-ian (personality) dan budaya (culture). 10. Margaret Mead Margaret Mead lahir pada tanggal 16 Desember 1901 dan meninggal pada tanggal 15 November 1978). Ia adalah seorang antropolog budaya Amerika, yang muncul secara berkala selaku penulis dan pembicara dalam mas media sepanjang tahun 1960an hingga 1970-an. Ia memperoleh Diploma di Barnard College Di New York City. Mead kemudian lulus dari Barnard College pada 1923 dan mendapatkan gelar Ph.D-nya di Universitas Columbia pada 1929. Pada tahun 1925 ia berangkat untuk melakukan penelitian lapangannya di Polinesia. Pada 1926 Mead bergabung dengan American Museum of Natural History, New York City, sebagai pembantu kurator dan akhirnya menjadi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



422



kurator etnologi museum itu dari 1946 hingga 1969. Selain itu, ia mengajar di Universitas Columbia sebagai dosen luar biasa sejak 1954. Mengikuti teladan gurunya Ruth Benedict, Mead memusatkan studinya pada masalahmasalah asuhan terhadap anak (child rearing), kepribadian dan kebudayaan. (Sumber: The Columbia Encyclopedia, Edisi ke-5, 1993.) Mead adalah seorang akademisi yang dihormati dan sering kontroversial. Ia mempopulerkan wawasan antropologi budaya Amerika dan Barat modern. Laporannya yang merinci sikap terhadap seks di Pasifik Selatan dan budaya tradisional Asia Tenggara mempengaruhi revolusi seksual tahun 1960an. Dia adalah pendukung untuk memperluas adat istiadat seksual dalam konteks kehidupan religius tradisional Barat. Margaret Mead, anak pertama dari lima bersaudara, lahir di Philadephia, namun dibesarkan di Doylestown, Pennsylvania. Ayahnya, Edward Sherwood Mead, seorang profesor keuangan di Wharton School of the University of Pennsylvania. Ibunya, Emily (née Fogg) Mead, adalah seorang sosiolog yang mempelajari imigran Italia. Adiknya Katharine (1906-1907) meninggal pada usia sembilan bulan. Ini adalah peristiwa traumatis bagi Mead, yang menamai gadis itu dan pikiran tentang saudarinya yang hilang meresap dalam mimpi lamanya selama bertahun-tahun. Keluarganya sering pindah, jadi pendidikan awal dia disutradarai oleh Neneknya sampai, pada usia 11, dia terdaftar di keluarganya di Buckingham Friends School di Lahaska, Pennsylvania. Keluarganya memiliki peternakan Longland dari tahun 1912 sampai 1926. Lahir dalam keluarga dengan berbagai pandangan religious. Oleh karena itu, ia mencari bentuk agama yang memberi ekspresi keyakinan, bahwa dia telah berkenalan secara formal dengan, Kekristenan. Dengan melakukan itu, dia menemukan ritual Gereja Episkopal sesuai dengan ekspresi agama yang dia cari. Margaret belajar satu tahun 1919, di DePauw University, kemudian pindah ke Barnard College dimana dia mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1923. Dia belajar dari profesor Franz Boas dan Dr. Ruth Benedict di Universitas Columbia sebelum mendapatkan gelar masternya pada tahun 1924. Pada tahun 1925, Mead melakukan kerja lapangan di Samoa. Pada tahun 1926, ia bergabung dengan American Museum of Natural History, New York City, sebagai asisten kurator. Dia menerima gelar Ph.D. dari Universitas Columbia pada tahun 1929. Sebelum berangkat ke Samoa, Mead memiliki hubungan singkat dengan ahli bahasa Edward Sapir, seorang teman dekat instruktur Ruth Benediktus. Tapi gagasan konservatif Sapir tentang pernikahan dan peran wanita itu adalah hambatan bagi Mead. Saat Mead pergi untuk melakukan pekerjaan lapangan di Samoa, keduanya terpisah secara permanen. Mead Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



423



menerima kabar tentang pernikahan kembali Sapir saat tinggal di Samoa, di mana di pantai, Mead kemudian membakar korespondensi mereka. Mead menikah tiga kali. Suaminya yang pertama (1923-28) adalah orang Amerika bernama Luther Cressman, seorang mahasiswa teologi pada saat itu yang akhirnya menjadi antropolog. Mead secara tidak sengaja mencirikan pernikahannya dengan julukan Menikah mahasiswa saya berlangsung di Blackberry Winter, sebuah sobriquet yang membesarkan nama Cressman. Suaminya yang kedua (1928-1935) adalah orang Selandia Baru bernama Reo Fortune, lulusan Cambridge dan sesame antropolog. Perkawinan ketiga dan terpanjang Mead (1936-50) adalah antropolog Inggris bernama Gregory Bateson, yang memberinya seorang anak perempuan bernama Mary Catherine Bateson, yang juga akan menjadi antropolog. Mead menjadi seorang doketer anak di Benjamin Spock. Itulah sebabnya banyak tulisannya tentang pengasuhan anak (child rearing) yang mendasari beberapa hasil pengamatan Mead selama bekerja sebagai dokter anak, termasuk pemberian susu di luar permintaan bayi. Dia dengan mudah mengakui, bahwa Gregory Bateson adalah suami yang paling dia cintai. Dia merasa hancur saat meninggalkannya dan dia tetap menjadi teman penuh pengagumnya, menjaga fotonya di samping tempat tidurnya di mana pun dia pergi, termasuk di samping ranjang kematian di rumah sakitnya. Mead juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Ruth Benedict, salah satu instrukturnya. Dalam memoarnya tentang orang tuanya, With a Daughter's Eye, Mary Catherine Bateson menyiratkan bahwa hubungan antara Benediktus dan Mead sebagian bersifat seksual. Mead tidak pernah secara terbuka mengidentifikasi dirinya sebagai lesbian atau biseksual. Dalam tulisannya dia mengusulkan, agar diharapkan orientasi seksual seseorang dapat berkembang sepanjang hidup. Dia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya dalam sebuah kolaborasi pribadi dan profesional yang erat dengan antropolog Rhoda Metraux, yang dengannya dia hidup dari tahun 1955 sampai kematiannya pada tahun 1978. Surat-surat antara keduanya diterbitkan pada tahun 2006 dengan seizin putri Mead dengan jelas mengungkapkan sebuah hubungan romantis. Kedua adik Mead yang masih hidup menikah dengan orang-orang terkenal. Elizabeth Mead (1909-1983), seorang seniman dan guru, menikah kartunis William Steig. Sedangkan, Priscilla Mead (1911-1959) menikah dengan penulis Leo Rosten. Mead juga memiliki saudara laki-laki, Richard, yang menjadi seorang profesor. Selama Perang Dunia II, Mead menjabat sebagai sekretaris eksekutif Komite Lembaga Riset Pangan Nasional. Dia menjabat sebagai kurator etnologi di American Museum of Natural History dari tahun 1946 hingga 1969. Dia terpilih sebagai Fellow dari American Academy of Arts and Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



424



Sciences pada tahun 1948. Dia mengajar di The New School dan Columbia University, dimana dia adalah seorang profesor dari tahun 1954 sampai 1978 dan merupakan profesor antropologi dan ketua Divisi Ilmu Pengetahuan Sosial di kampus Lincoln Center Fordham University dari tahun 1968 sampai 1970 dan mendirikan departemen antropologi. Pada tahun 1970, ia bergabung di fakultas Universitas Rhode Island sebagai Professor khusus bidang Sosiologi dan Antropologi. Mengikuti Ruth Benedict, Mead memfokuskan penelitiannya pada masalah pengasuhan anak (child rearing), kepribadian (personality) dan budaya (culture). Dia menjabat sebagai presiden Asosiasi Antropologi Amerika pada tahun 1960. Pada pertengahan 1960an, Mead bergabung dengan ahli teori komunikasi Rudolf Modley, yang secara bersama mendirikan sebuah organisasi bernama GYLPHS inc., yang bertujuan untuk menciptakan bahasa simbol grafis universal yang harus dipahami oleh setiap anggota budaya. Pada 1960-an, Mead menjabat sebagai Wakil Presiden New York Academy of Sciences. Dia memegang berbagai posisi di Asosiasi Amerika untuk Kemajuan Ilmu Pengetahuan, terutama presiden pada tahun 1975 dan ketua komite eksekutif dewan direksi pada tahun 1976. Dia adalah tokoh yang dikenal di dunia akademis, hang biasanya mengenakan jubah khas dan berjalan dengan menggunakan tongkat. Mead tampil di dua album rekaman yang diterbitkan oleh Folkways Records. Yang pertama, dirilis pada tahun 1959, An Interview With Margaret Mead, mengeksplorasi topik moral dan antropologi. Pada tahun 1971, dia termasuk dalam kompilasi pembicaraan oleh wanita terkemuka, But the Women Rose, Vol.2: Voices of Women in American History. Temuan-temuannya ditulis dalam bukunya yang pertama, Coming of Age in Samoa (1928), telah banyak diperdebatkan. Buku ini ditulisnya berdasarkan penelitian yang dilakukannya sebagai mahasiswa pascasarjana. Karya-karyanya yang diterbitkan didasarkan pada waktu ia tinggal di Pulau Sepik dan Manus, karena orang-orang yang membaca dari kedua kebudayaan yang digambarkan, lebih banyak menantang pengamatannya. Namun posisinya sebagai antropolog perintis—seseorang yang menulis dengan jelas untuk dibaca dan dipelajari oleh khalayak umum—tetap teguh. Dia populer melalui konsep pluralisasi istilah semiotika (semiotics)98. Mead kemudian menjadi seorang mentor bagi banyak antropolog dan sosiolog muda, termasuk Jean Houston. Pada tahun 1976, Mead adalah 98



Semiotika atau semiologi (Smith, 1990 : 255) adalah ilmu tentang simbol dan tanda yang dilakukan dalam bertingkah laku. Di dalamnya termasuk, baik studi bahasa maupun sistem komunikasi non-linguistik dan di dalamnya tercakup pola tingkah laku budaya manusia yang berpola. Tingkah laku tersebut dapat diinterpretasi sesuai dengan prinsip umum yang sering dianalogikan dengan prilaku bahasa.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



425



peserta kunci di UN Habitat I, forum PBB pertama mengenai permukiman manusia. Mead meninggal pada tanggal 15 November 1978 dan dimakamkan di Trinity Episcopal Church Cemetery, Buckingham, Pennsylvania. Kosep sopan (courtesy), kesopan (modesty), kesantunan (good manners), kenyamanan (conformity), yang merupakan standar pembentukan etika dapat dipastikan bersifat universal. Akan tetapi, apa yang menjadi dasar dari sopan, kesopanan, kesantunan, dipastikan tidak universal. Menurut Mead apa yang membuat berbeda dari ketiga hal tersebut adalah latar belakang kebudayaan, yang biasanya tidak mendapat perhatian secara seksama. Temuan Mead menunjukkan, bahwa masyarakat Barat mengabaikan anak laki-laki dan perempuan sampai usia 15 atau 16. Oleh karena itu, anakanak mereka tidak memiliki kedudukan sosial sebelumnya, sebagai hasil dari pengasuhan anak di dalam masyarakat yang bersangkutan. Mead juga menemukan, bahwa pernikahan dianggap sebagai pengaturan sosial dan ekonomi di mana kekayaan, pangkat dan keterampilan kerja suami dan istri harus dipertimbangkan. Pada 1982, lima tahun setelah Mead meninggal, Derek Freeman menerbitkan Margaret Mead and Samoa: The Making and Unmaking of an Anthropological Myth. Dalam buku ini ia menantang semua temuan utama Mead. Freeman mendasarkan kritiknya pada empat tahun pengalaman lapangannya sendiri di Samoa dan pada wawancara mutakhir dengan sejumlah informan Mead yang masih hidup. Argumennya tergantung pada tempat dari sistem taupou dalam masyarakat Samoa. Menurut Mead, sistem taupou adalah sistem keperewanan yang dilembagakan bagi kaum perempuan muda yang berkedudukan tinggi, tapi hanya untuk mereka. Menurut Freeman, semua perempuan Samoa mengikuti sistem taupou dan para informan Mead menyagkal, bahwa pada masa mudanya mereka pernah terlibat dalam hubungan seks bebas. Mereka juga mengaku, bahwa mereka telah berbohong kepada Mead (lihat Freeman, 1983). Pada tahun 1999, Freeman menerbitkan buku lain, The Fateful Hoaxing of Margaret Mead: A Historical Analysis of Her Samoan Research, termasuk materi yang sebelumnya tidak tersedia. Dalam obituari di New York Times, John Shaw menyatakan, bahwa meski membuat banyak orang marah, pada saat kematiannya, namun pada umumnya mendapat penerimaan luas. Seiring dengan kritik Freeman, ia ternyata salah mengartikan penelitian dan pandangan Mead. Dalam sebuah evaluasi perdebatan 2009, antropolog Paul Shankman menyimpulkan bahwa: There is now a large body of criticism of Freeman's work from a number of perspectives in which Mead, Samoa, and anthropology appear in a very different light than they do in Freeman's work. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



426



Indeed, the immense significance that Freeman gave his critique looks like 'much ado about nothing' to many of his critics. Beberapa antropolog sangat setuju dengan kesimpulan Mead. Ada juga beberapa antropolog non-manusia (applied Anthropolog), yang cenderung tidak setuju dengan Mead, seperti: psikolog Harvard Steven Pinker, ahli biologi Richard Dawkins, psikolog evolusioner David Buss, penulis sains Matt Ridley dan klasik Mary Lefkowitz. Filsuf Peter Singer juga mengkritik Mead dalam bukunya A Darwinian Left, di mana dia menyatakan, bahwa Freeman mengumpulkan sebuah kasus yang meyakinkan, bahwa Freeman compiles a convincing case that Mead had misunderstood Samoan customs. Pada tahun 1996, Martin Orans memeriksa catatan Mead yang tersimpan di Library of Congress dan memberinya penghargaan, karena telah meninggalkan tercatatnya untuk masyarakat umum. Orans menunjukkan, bahwa kritik dasar Freeman, bahwa Mead ditipu oleh Fa'apua'a Fa'amu peramal upacara (yang kemudian bersumpah kepada Freeman, bahwa dia telah memainkan sebuah lelucon tentang Mead) tidak jelas. Hal tersebut memiliki beberapa alasan: pertama, Mead sangat sadar dari bentuk dan frekuensi lelucon Samoan; kedua, dia memberikan penjelasan yang seksama tentang pembatasan seksual pada perawan upacara yang sesuai dengan laporan Fa'apua'a Fa'auma'a kepada Freeman dan yang ketiga, catatan Mead menjelaskan, bahwa dia telah mencapai kesimpulan tentang seksualitas Samoan sebelum bertemu Fa'apua'a Fa'amu. Orans menunjukkan, bahwa data Mead mendukung beberapa kesimpulan yang berbeda dan kesimpulan Mead bergantung pada pendekatan interpretatif, bukan positivis, terhadap budaya. Orans terus menunjukkan, karya Mead di tempat lain, bahwa catatannya sendiri tidak mendukung klaim konklusif yang diumumkannya. Namun, masih ada yang mengklaim Mead dikaburkan, termasuk Peter Singer dan zoologis David Atten-borough, yang mengevaluasi karya Mead di Samoa dari sikap positivis. Penilaian Martin Orans tentang kontroversi tersebut adalah Mead tidak merumuskan agenda penelitiannya secara ilmiah. Menurutnya, bahwa her work may properly be damned with the harshest scientific criticism of all, that it is 'not even wrong. Buku lain yang berpengaruh oleh Mead adalah Sex and Temperament in Three Primitive Societies. Ini menjadi tonggak utama gerakan feminis, karena mengklaim, bahwa perempuan lebih dominan di wilayah Danau Tchambuli (sekarang bernama Chambri) di cekungan Sepik Papua Nugini (di Pasifik Barat) tanpa menimbulkan masalah khusus. Kurangnya dominasi laki-laki mungkin merupakan hasil dari pelanggaran hukum pemerintah Australia terhadap peperangan. Menurut penelitian kontemporer, laki-laki dominan di seluruh Melanesia (walaupun beberapa percaya, bahwa penyihir peremIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



427



puan memiliki kekuatan khusus). Yang lain berpendapat, bahwa masih banyak variasi budaya di seluruh Melanesia dan terutama di pulau besar New Guinea. Selain itu, antropolog sering mengabaikan pentingnya jaringan pengaruh politik di kalangan perempuan. Institusi formal yang didominasi laki-laki yang khas dari beberapa daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, misalnya, tidak hadir dengan cara yang sama di Oksapmin, Provinsi Sepik Barat, daerah yang jarang penduduknya. Pola budaya ada yang berbeda, katakanlah, dari Mt. Hagen. Menurut Mead, bahwa orang Arapesh, juga di Sepik, merupakan orang-orang pasifis, meskipun dia mencatat, bahwa mereka kadang-kadang terlibat dalam peperangan. Pengamatannya tentang pembagian kebun di antara Arapesh, penekanan egaliter pada pembesarkan anak dan dokumentasinya mengenai hubungan damai yang sangat damai di antara keluarga sangat berbeda dengan penampilan besar pria dominasi yang didokumentasikan dalam budaya New Guinea yang berlapis-lapis, misalnya, oleh Andrew Strathern, yang memiliki pola budaya yang berbeda. Singkatnya, studi komparatifnya mengungkapkan serangkaian peran gender yang kontras: a. Di antara orang Arapesh, baik pria maupun wanita damai dalam temperamen dan baik pria maupun wanita tidak berperang. b. Di antara Mundugumor, yang sebaliknya adalah benar: pria dan wanita berperang seperti temperamen. c. Dan Tchambuli berbeda dari keduanya. Orang-orang itu 'primped' dan menghabiskan waktu mereka mendekorasi diri sementara para wanita bekerja dan bersikap praktis - kebalikan dari bagaimana rasanya di awal abad ke-20 Amerika. Deborah Gewertz (1981) mempelajari Chambri (disebut Tchambuli oleh Mead) pada 1974-1975 dan tidak menemukan bukti tentang peran gender semacam itu. Menurut Gewertz, bahwa sejauh dalam sejarah, karena ada bukti (1850-an) pria Chambri mendominasi wanita, mengendalikan produk mereka dan membuat semua keputusan politik penting. Di tahuntahun berikutnya telah ada penelitian serius untuk masyarakat dimana wanita mendominasi pria (menurut Mead), sebagai tanda-tanda masyarakat masa lalu, tapi sayangnya kasus seperti itu tidak ditemukan (Bamberger, 1974). Meskipun memiliki akar feminis, karya Mead tentang wanita dan pria juga dikritik oleh Betty Friedan atas dasar kontribusi perempuan terhadap perempuan. Pada tahun 1926, ada banyak perdebatan tentang ras dan kecerdasan. Mead merasa metodologi yang terlibat dalam penelitian psikologi eksperimental yang mendukung argumen superioritas ras dalam kecerdasan secara Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



428



substansial cacat. Dalam Metodologi Uji Rasial: Signifikansi untuk Sosiologi Mead mengusulkan, bahwa ada tiga masalah dalam pengujian perbedaan ras dalam kecerdasan: Pertama, ada kekhawatiran kemampuan untuk secara sah menyamakan skor tes seseorang dengan apa yang Mead rujuk sebagai campuran rasial atau berapa banyak darah Negro atau India yang dimiliki individu. Dia juga mempertimbangkan apakah informasi ini relevan saat menafsirkan nilai IQ. Menurut, bahwa metode silsilah dapat dianggap sah jika bisa mengalami verifikasi ekstensif (subjected to extensive verification). Jadi, sebagaimana Mead sendiri menggambarkan tujuan penelitiannya: Saya telah mencoba menjawab pertanyaan yang membuat saya pergi ke Samoa: Apakah gangguan-gangguan yang dialami remaja-remaja kita itu disebabkan oleh masa remaja itu sendiri ataukah karena peradaban? Dalam keadaan yang lain apakah kehidupan remajanya juga berbeda? Menurut Mead dalam beberapa catatannya yang tersimpan di American Museum of Natural History edisi 1973, memang demikian adanya. Mead melakukan penelitiannya di antara sekelompok kecil orang Samoans — sebuah desa yang terdiri dari 600 orang di pulau Ta‘ū — di sana ia melakukan penleitian ful-patispasi (full partipcipation research) dengan cara berkenalan, hidup bersama, mengamati langsung dan mewawancarai (melalui penerjemah) 68 orang perempuan berusia 9 hingga 20 tahun. Ia dalam penelitiannya berkesimpulan, bahwa peralihan (rites of passage) di Samoa dari kanak-kanak menjadi dewasa (masa remaja) berlangsung dengan mulus dan tidak ditandai oleh keresahan emosional ataupun psikologis, rasa cemas, atau kebingungan seperti yang tampak di AS. Seperti yang telah diduga Boas dan Mead, buku ini mengejutkan banyak orang Barat, ketika pertama kali terbit pada 1928. Banyak pembaca Amerika terkejut oleh pengamatannya, bahwa kaum perempuan muda Samoa menunda pernikahan selama bertahun-tahun sementara pada saat yang sama menikmati hubungan seksual, namun akhirnya menikah, menetap dan berhasil mengasuh anak-anaknya sendiri. Margaret Mead menghasilkan beberapa karya, seperti berikut ini: 1. Margaret Mead. (1928). Coming of Age in Samoa. 2. Margaret Mead. (1930). Growing Up in New Guinea. 3. Margaret Mead. (1932). The Changing Culture of an Indian Tribe. 4. Margaret Mead. (1935). Sex and Temperament in Three Primitive Societies. 5. Margaret Mead. (1949). Male and Female. 6. Margaret Mead. (1953) New Lives for Old: Cultural Transformation in Manus, 1928-1953. 7. Margaret Mead. (1959) People and Places; buku untuk pembaca muda. 8. Margaret Mead. (1964) Continuities in Cultural Evolution (1964). 9. Margaret Mead. (1970) Culture and Commitment. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



429



10. Margaret Mead. (1972) Blackberry Winter (1972; biografi tentang masa mudanya). 11. Ralph Linton Ralph Linton lahir pada tanggal 27 Februari 1893 di Philadelphia. Ralph Linton adalah salah satu antropolog budaya terkenal. Meraih gelar dari Swarthmore College, Philadelphia. Linton mengejar ketertarikan arkeolognya, dengan mengambil bagian dalam ekspedisi ke New Mexico, Colorado dan Guatemala pada 1912 dan 1913. Linton kembali ke Barat Daya pada tahun 1916 dan 1919. Ia menetap di Pulau Marquases selama dua tahun. Awal tahun 1920, dia mengalihkan ketertarikannya dari antropologi ke ethnologi. Dia memulai karirnya sebagai seorang arkeolog dan melakukan penelitian yang luas terhadap etnografi berbagai daerah, termasuk Madagaskar. Karirnya dimulai dengan menulis beberapa buku: The Tanala, a Hill Tribe of Madagascar diterbitkan pada tahun 1933 setelah dia menerima gelar doktor. Dia menguraikan perbedaan antara status (status) dan peran (roles) yang merupakan salah satu penunjuk utama dalam antropologi. Karya Linton yang paling terkenal adalah The Study of Man (1936) dan The Tree of Culture (1955). Ralph Linton harus dianggap sebagai seorang penulis kunci dalam studi kebudayaan dan kepribadian (personality)99. Dengan demikian, kontribusinya dalam antropologi lebih ektensif daripada itu. Pendekatan Linton dalam antropologi berkenaan dengan segalah sesuatu yang menyangkut kebudayaan dan salah satu dari seluruh karyanya yang karakteristik dan penting adalah pemberian atribut dalam seluruh studi kebudayaan dan sosial. Jadi, Linton patut dilihat sebagai seorang budayawan (culturalist) dan ahli kepribadian (individualist). Meskipun Linton menjadi antropolog terkemuka, pendidikan pascasarjananya sebagian besar terjadi di lintas disiplin ilmu yang ia geluti. Ia kuliah di University of Pennsylvania, di mana ia mendapatkan gelar masternya belajar dibawah bimbingan Frank Speck saat melakukan pekerjaan lapangan arkeologi tambahan di New Jersey dan New Mexico. Dia diterima dalam program Ph.D di Universitas Columbia setelahnya. Ia tidak terlalu dekat dengan Franz Boas, antropolog lagi getop di era itu. 99



Kepribadian (Jack David Eller, 2009) is the ways of thinking, feeling, and behaving characteristic of a particular individual. Lihat juga Gising (2009), bahwa istilah personality berasal dari kata latin persona yang berarti topeng atau kedok, yang dipakai oleh pemain-pemain panggung. Kedok tersebut menggambarkan perilaku, watak dan pribadi seseorang. Bagi bangsa Roma, persona berarti bagaimana seseorang tampak pada orang lain.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



430



Ketika Amerika memasuki Perang Dunia I. Linton mendaftar dan bertugas di Prancis pada tahun 1917-1919 dengan Battery D, Divisi Artileri ke-149, Divisi Pelangi. Linton bertugas sebagai kopral dan mempin peran melawan serangan gas Jerman secara langsung. Pengalaman militer Linton akan menjadi pengaruh besar pada karya selanjutnya. Salah satu artikel pertamanya yang diterbitkan setelah itu Totemisme and AEF (Diterbitkan di American Anthropologist vol 26: 294-300). Ia berpendapat, bahwa cara dimana unit militer sering diidentifikasi dengan simbol mereka dapat dianggap sebagai jenis totemisme Boas malah semakin tidak senang denga Linton, karena Boas membenci semua tampilan nasionalisme atau jingoisme. Sebuah anekdot mengatakan, bahwa Linton ditegur oleh Boas saat dia tampil di kelas dengan seragam militernya. Akibatnya Linton kemudian dipidahakan ke Columbia, ke Harvard, dimana dia belajar dengan Earnest Hooton, Alfred Tozzer dan Roland Dixon. Di Harvard, Linton banyak melakukan penelitian di Mesa Verde (I) dan kemudian ia menjadi anggota Ekspedisi Bayard Dominick yang dipimpin oleh E. S. C. Berguna di bawah naungan Museum Uskup ke Marquesa. Sementara di Pasifik, fokusnya beralih dari arkeologi ke antropologi budaya, meskipun ia akan tetap menaruh minat pada budaya material dan seni primitif sepanjang hidupnya. Dia kembali dari Marquesas pada tahun 1922 dan akhirnya menerima gelar Ph.D. dari Harvard pada tahun 1925. Linton menggunakan pengalamannya selama di Harvard untuk mendapatkan posisi di Field Museum of Chicago setelah kembali dari Marquesas. Ia diangkat menjadi kurator material Indian Amerika. Ekskavasinya di Ohio tetap ia kerjakan bersamaan dengan materi arsip museum di Pawnee. Sementara di Field Museum dia bekerja sama dengan ilustrator dan seniman buku anak-anak masa depan dan penulis Holling Clancy Holling. Antara tahun 1925 dan 1927, Linton melakukan perjalanan ekspedisi ekstensif ke Madagaskar untuk bahan museum tempatnya ia bekerja. Ia menjelajah ujung barat diaspora Austronesia setelah is mempelajari mempelajari budaya di ujung Timur yaitu di Marquesa. Ia kemudian menertbitkan buku dari hasil penelitian mandirinya berjudul The Tanala: A Hill Tribe of Madagascar (1933). Sekembalinya ke Amerika Serikat, Linton kemudian bekerja di University of Wisconsin-Madison, dimana Departemen Sosiologi memasukkan antropologi sebagai unit kajiannya. Tidak lama kemudian Linton memisahkan antropologi dari sosiologi. Ia mampu menciptakan beberapa antropolog hebat, seperti: Clyde Kluckhohn, Marvin Opler, Philleo Nash dan Sol Tax. Selama di Wisconsin ia diorbitkan sebagai staf pengajar, sekaligus teoretikus Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



431



kesohor. Ia kemudian membangun hubungan ilmiah dengan RadcliffeBrown (seorang professor di Universitas Chicago). Hasilnya mereka menerbitkan buku berjudul The Study of Man (1936). Saat ini pula Linton menikahi istri ketiganya bernama Adelin Hohlfeld. Dari tangan mereka terbit beberapa buku, salah satu diantaranya: Halloween Through Twenty Centuries. Pada tahun 1937, Linton pindah ke Columbia University, untuk melanjutkan pekerjaan Franz Boas, yang memasuki masa pensiun. Kehadirannya di Columbia University ditentang Boas, termasuk para Boasians menginginkan Ruth Benediktus yang menggantikan Boas. Para pengikut Boas kemudian menfitnah Linton sebagai komunis, sehingga FBI turut campurtangan dan banyak pengikut Boas yang dipenjara dan dipecat, termasuk Gene Weltfish. Sepanjang hidupnya, ia selalu bertentangan dengan Boasian, terutama Ruth Benedict dengan konsep Budaya dan Kepribadiannya yang ditentang keras oleh Linton. Menurut Sidney Mintz kolega Linton di Yale, Linton pernah bercanda, bahwa telah membunuh Benediktus dengan menggunakan pesona sihir Tanala100. Ketika Perang Dunia II pecah, Linton diminta sebagai perencana dan strategi perang dan peran Amerika Serikat (dan Antropologi Amerika). Ini dapat dilihat dalam karyanya berjudul The Science of Man in the World Crisis (1945) dan Most of the World. Selama perang, Linton melakukan perjalanan jauh ke Amerika Selatan, dimana dia mengalami oklusi koroner yang membuatnya kurang sehat. Setelah perang, Linton pindah ke Universitas Yale, dimana banyak antropologo seperti G. P. Murdock, yang telah berkolaborasi dengan pemerintah AS. Dia mengajar di sana dari tahun 1946 sampai 1953 dan tetap menulis tentang budaya dan kepribadian. Pada saat itu pula ia menulis buku The Tree of Culture, sebuah gambaran global budaya manusia yang ambisius. Linton terpilih sebagai anggota American Academy of Arts and Sciences pada tahun 1950. Dia meninggal, karena penyakit komplikasi yang dideritanya selama perjalanannya ke Amerika Selatan pada malam Natal, 1953. Istrinya, Adelin Hohlfield Linton, menyelesaikan The Tree of Culture yang kemudian menjadi sebuah buku teks populer. Linton memiliki banyak tulisan dan konsep tentang kebudayaan. The Sudy of Man, msailnya, yang mampu mengangkat namanya sebagai salah satu teoritisi utama antropologi, terutama di kalangan sosiolog non-Boasian. Dalam karya ini ia mengembangkan konsep status (status) dan peran (roles) 100



Tanala adalah kelompok etnis Malagasi yang menghuni wilayah hutan sebelah tenggara Madagaskar. Nama mereka berarti orang dari hutan. Tanala berbicara dengan dialek bahasa Malagasi, yang merupakan cabang dari kelompok bahasa Melayu-Polinesia berasal dari bahasa Barito, diucapkan di selatan Kalimantan (Daniel dkk., 2007). Istilah tanala ini digunakan Linton untuk menyindir Ruth Benedict.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



432



untuk menggambarkan pola perilaku di masyarakat. Menurut Linton, bahwa status ditugaskan kepada individu tanpa mengacu pada perbedaan atau kemampuan bawaan mereka. Sedangkan status yang dicapai ditentukan oleh kinerja atau usaha seseorang. Linton mencatat, bahwa sementara definisi kedua konsep itu jelas dan berbeda, tidak selalu mudah untuk mengidentifikasi apakah status individu dianggap berasal atau tercapai. Menurut Linton lebih lanjut, bahwa semua bentuk penyimpangan dari pandangan dari status selalu diperbaiki. Bagi Linton peran adalah seperangkat perilaku yang terkait dengan status, sehingga pemeran selalu haru berperilaku sesuai dengan yang diingkan status. Jika tidak, perpecahan dan kendala pasi akan terjadi. Sejak awal kariernya, Linton tertarik pada masalah akulturasi, sehingga dia menjalin kerjasama dengan Robert Redfield dan Melville Herskovits, yang berkeja di subkomite tingkat tinggi pada Social Science Research Council dalam Komite Kepribadian dan Budaya. Hasilnya adalah terbit buku terbitan bersama sebuah karya mani yang ditulis bersama-sama yang berjudul Memorandum for the Study of Acculturation (1936). Linton juga memperoleh beasiswa penulis maslaah akulturasi dari Works Progress Administration. Volume Acculturation in Seven American Indian Tribes meruapan bukti nyata karya Linton. Kecintaannya terhadap masalah budaya dan kepribadian juga dibuktikan adalam even yang diorganisirnya bersama dengan Abram Kardiner di New York Psychoanalytic Institute. Bukunya yang berjudul The Study of Man (1936) menjadi bahan bacaan dan acuan para ahli hingga saat ini. Tentu saja, ada hal yang menimbulkan niat para pembacanya untuk mencetak ulang buku ini. Saya akan memilih salah satu bab dalam bukunya yang membahas tentang status (status) dan peran (roles). Ide tentang peran menjadi bagian dari semua kebudayaan yang kita miliki, yang sulit direalisasikan karena hal itu diformulasi hanya sekedar istilah teknik belaka pada tahun 1930-an. Meskipun demikian, dalam menentukan pilihan, kita harus mengabaikan ide Linton tentang funsionalisme untuk sementara waktu. Ide seperti ini pernah diteliti sebelumnya, sehingga Linton dapat diserang bukan saja oleh para penulis sebelumnya, tetapi juga oleh penulis-penulis yang akan datang. Bagi banyak penulis, fungionalisme memiliki dua arti: (1) maksud (purpose), sehingga terdapat dimensi telologi di dalam tubuh fungsionalisme dan (2) ide matematika (mathematical idea), yang mengacu pada dua yaitu dua hal berubah secara bersamaan dan dua perubahan tergantung pada yang lainnya. Linton ternyata kurang mampu menyderhanakan dan menjelaskan kedua hal ini. Sekalipun Linton termasuk seorang penulis pada zamannya, ketika fungsionalisme dianggap penting dalam perkembangan antropologi baru, ia Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



433



sendiri senderung menolak penekanan terhadap aspek fungsionalisme secara sistematis, yang menekankan hubungan kelembagaan dan mengenyampingkan unsur-unsur kepribadian. Bagi Linton istilah fungsionalisme tersebut mengacu pada interelasi kepribadian dan tidak lebih dari itu. Dia memberikan atibut elemen-elemen kebudayaan dalam empat karakter, yaitu: bentuk (form), arti (meaning), kegunaan (use) dan fungsi (function). Bentuk bagi Linton mengacu pada pengasosiasian sebuah elemen kebudayaan oleh sejumlah kelompok masyarakat, sehingga hal itu mungkin subyektif dan kadang-kadang pula tidak disadari (unconscious). Kegunaan mengacu pada utilisasi dari sebuah karakter (traits) dalam sebuah kontek kebudayaan. Harus diakui, bahwa pendekatan multiguna terhadap elemenelemen kebudayaan digunakan Linton untuk membantah keseluruhan atau sebagian pembahasan yang berkenaan dengan realitas kebudayaan (cultural reality). Sekalipun demikian, Linton penah mengatakan, bahwa pengembangan yang sebenarnya dalam tubuh antropologi tidak hanya datang dari kaum funsionalis belaka, tetapi juga melalui sintetis dari berbagai pendekatan (perspectives). Linton terkenal sebagai seorang sintetiser, yang membuat Spencer cepat terkenal. Dalam membawa ide-idenya ke dalam konteks yang baru dia mengekspos pengertian baru pula. Dalam rangka pernbentukan nilai (values) Linton meletakkannya pada unsur-unsur kepribadian dan mengembangkan idenya tentang hubungan antara kepribadian dengan kebudayaan, Linton menciptakan pendekatan baru yang mengasosiasikan antara kepribadian dengan masyarakat. Dalarn penajaman konsepnya tentang status (sekalipun Max Weber dan yang lainnya telah menulis tentang hal itu) dan pengembangan konsepnya tentang peranan (role) merenungkan ia untuk membicarakan masalah masyarakat manusia sebagai supra individual dan tetap menggunakan nosi-nosinya tentang kepribadian (notion of individuals), dengan personalitasnya (personalities), serta seseoran memainkan perannya dalam sebuah kebudayaan (playing out their roles in a culture). Jaringan aktifitas dalam sebuah masyakat, menurut Linton, tergantung pacta eksistensi konfigurasi dari hubungan timbak batik (reciprocity) antara anggota-anggota sebuah masyarakat. Status mengacu pada posisi dimana struktur hubungan timbak balik dapat dianggap sebagai akumulasi dari hak-hak pribadi dan merupakan tugas (duties) dalam masyarakat. Di pihak lain, peran (role) mengacu pada aspek perilaku dari sebuah status. Ketika hak (rights) dan tugas (duties) diaplikasikan, maka seorang individu dikatakan sedang memainkan peran di dalam masyarakat. Harus diakui, bahwa peran dan status tidak dapat dipisahkan, karena keduanya menghadirkan dua aspek dalam sebuah fenomena yang sama. Peran sebagai sebuah konsep mengacu pada perilaku yang dipelajari, sementara status mengacu Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



434



pada aspek-aspek kognitif yang dimiliki masyarakatnya. Pendekatan seperti inilah yang membedakan antara arti (meaning) dengan tindakan (action), yang merupakan ciri pembeda dari karya-karya Linton. Kita juga harus melihat, bahwa Linton menggunakan kedua konsep terkhir dalam pembahasannya mengenai elemen-elemen kebudayaan. 12. Abraham Kardiner Abram Kardiner lahir tang 17 Agustus 1891 di New York City dan 20 Juli 1981 di Connecticut. Ia adalah antropolog Amerika dan psikoanalis. Dia terkenal karena studinya yang berjdul The Traumatic Neuroses of War yang terbit tahun 1941, yang meru-pakan kunci awal bagi para spesialis psikologi di zaman modern. Ia bekerja di rumah sakit psychological Trauma. Dengan berdasarkan pada tulisannya tentang Veterans' Bureau Hospital in the Bronx, New York City. Pada tahun 1920-an dan awal 1930-an, ia membuat studi satu-satunya studi tentang hubungan eksplisit antara masa perdamaian (peacetime) dengan trauma perang (war trauma) dan dengan beberapa simpton lainnya. Pada tahun 1980 ia kemudian menerbitkan buku berjudul Post-Traumatic Stress Disorder melalui the American Psychiatric Association. Dia menempuh pendidikan di New York City dan belajar dari Freud dari tahun 1921 sampai 1922. Pada tahun 1949 dia ditunjuk sebagai profesor klinis psikiatri di Universitas Columbia. Tahun 1955 ia diangkat menjadi direktur klinik psikoanalitik di sana. Dia mengadakan seminar bersama di Universitas Columbia dengan tema saling mempengaruhi antara kepribadian dan budaya individu di masyarakat yang beragam. Berbagai pola pengasuhan anak (child rearing), biografi perilaku orang dewasa dan struktur kelembagaan menjadi sasaran analisis psikodinamik. Kesimpulan tentang kepribadian yang dihasilkan dalam budaya digambar dan diperiksa oleh tes psikologi aktual. Temuan ini didokumentasikan dalam karya Kardiner The Individual and His Society (1939) dan Psychological Frontiers of Society (1945). Kardiner dan pengikutnya percaya, bahwa untuk mendapatkan struktur dasar kepribadian (basic personality structure), seperangkat studi untuk memasuki karakter semua individu yang dipelihara dalam budaya yang sama. Struktur ini merupakan produk dari institusi utama (primary institutions) seperti metode pelatihan anak dalam menghadapi agresi, seks dan organisasi keluarga. Kepribadian dasar diungkapkan secara tidak sadar di institusi sekunder seperti cerita rakyat, seni dan agama. Dari institusi budaya inilah, diharapkan kepribadian dasar ini dapat disimpulkan. Prosedur teoritis Kardiner melibatkan analisis frustrasi sosial neurotik orang dewasa dan individu normal dalam budaya Barat. Dari kesimpulanIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



435



nya, dia menetapkan bagaimana kelompok dalam budaya apapun akan bereaksi terhadap frustrasi sosial yang serupa. Kardiner adalah salah satu pendiri Association for Psychoanalytic Medicine (APM) dan Pusat Pelatihan dan Penelitian Psikoanalitik Universitas Columbia. Sebagai dedikasi atas perannya sebagai pelopor dalam penerapan psikoanalisis terhadap studi budaya, APM mendirikan Abram Kardiner Lectureship on Psychoanalysis and Culture pada tahun 1978. Kardiner ikut dalam penerbitan buku Lionel Ovesey Mark of Oppression (1951), yang mengeksplorasi dampak tekanan sosial terhadap kepribadian Afrika-Amerika. Selin itu, Kardiner juga menulis The Traumatic Neuroses of War (1941), Sex and Morality (1954), They Studied Man (1961) dan My Analysis with Freud: Reminiscences (1977). Dr. Abram Kardiner, seorang psikoanalis terkemuka Amerika, yang merupakan salah seorang terakhir yang dinobatkan oleh Sigmund Freud, meninggal dunia Senin di rumah musim panasnya di Easton, Conn. Ia berusia 89 tahun dan juga tinggal di Manhattan. Dia adalah salah satu pendiri sekolah pelatihan psikoanalitik pertama di Amerika Serikat dan tokoh utama dalam gerakan interdisipliner yang menekankan interaksi antara jiwa (personality) dan budaya (culture). Sebagai murid Freud di Wina lebih dari setengah abad yang lalu, kini Dr. Kardiner menjadi seorang psikiater berusia 30 tahun yang baru saja keluar dari rumah sakit di New York, memperoleh sebuah pencitraan seumur hidup-nya. Menurut Freud, Kardiner menemuinya di ruang konsultasi di Berggasse 19 selalu mendapatkan nilai paling rendah diantara murid-murid Freud. Rupanya-Rupanya konsultasi tersebut malah membuat Dr. Kardiner terpisah dari murid-murid Freud lainnya yang melewati waktu-waktunya di sofa sang bapak psikoanalisis. Freud kemudian menyimpulkan, bahwa Kardiner tidak mampu berbicara dengan yang lain, tetapi saya tidak bisa mengerti mengapa dia harus menemui saya. Menurut Dr. Kardiner, dalam satu wawancara eksklusif pada tahun 1977, sebuah referensi untuk percakapannya dengan Freud. Kardiner berkata Saya dapat memberitahu Anda mengapa, lanjutnya. Saya menceritakan sebuah cerita yang sangat menarik dan saya tidak membantah dengan interpretasinya tentang kejadian yang menimpaku. Rupa-rupanya ada pengalaman pahit yang dialami Kardiner selama pertemuaannya dengan Freud. Dr. Kardiner lulus dari City College of New York pada tahun 1917 di Cornell Medical School. Dia kemudian menetap di Rumah Sakit Mount Sinai selama dua tahun. Ia baru saja menyelesaikan pembangunan ruang psikiatri di Rumah Sakit Negara Bagian Manhattan di Pulau Wards, tempat dulunya diterima sebagai murid Freud. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



436



Bersama dengan Monroe Meyer dan Bert Lewin, Dr. Kardiner mendirikan New York Psychiatric Institute pada tahun 1930, yang merupakan sekolah pelatihan pertama di Amerika Serikat.  Pada tahun 1930-an, Dr. Kardiner bergabung dengan berbagai ilmuwan sosial untuk mempelajari proses dimana budaya ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan Ralph Linton, seorang antropolog, dia mengadakan seminar di Columbia University yang menghasilkan publikasi The Individual and His Society (1939) dan The Psychological Frontiers of Society (1945). Kedua bentuk publikasi mereka tersebut menjadi bahan ajar di Columbia. Karya-karya ini, menggabungkan dua disiplin ilmu: psikoanalisis dan antropologi budaya. Disiplin ilmu ini menafsirkan sejumlah masyarakat dalam kaitannya dengan disiplin dasarnya, termasuk pengasuhan anak (child rearing)101, kontrol seks (sex control), ketergantungan dan agresi (independence and agressive). Upaya Dr. Kardiner untuk mendefinisikan konsep kepribadian dasar lebih sedikit berfokus pada variabel biologis daripada pengaruh kehidupan keluarga dan kondisi sosial lainnya terhadap perkembangan manusia. Pada tahun 1950-an, Dr. Kardiner dikukuhkan sebagai seorang profesor klinis psikiatri di Universitas Columbia. Dua tahun sebelumnya (dari tahun 1955 sampai 1957) ia menjadi direktur Klinik Psikoanalitik. Bukubukunya yang lain: 1) Mark of Oppression: Explorations in the Personality of the American Negro. Ia menulis buku ini bersama dengan Lionel Ovesey dan diterbitkan pada tahun 1951. 2) They Studied Man, yang ditulis bersama dengan Edward Preble dan diterbitkan pada tahun 1961. Di Buku terakhir, dihimpun dan dievaluasi bebagai pendapat dan konsep tentang kehidupan dari berbagai karya para ahli antropologi dan ilmuwan lainnya, dengan kesimpulan, bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menemukan metode dan gagasan baru ketika yang lama gagal baginya. Berdasarkan pernyataan Kardiner, bahwa ketika Freud mempertimbangkan dirinya untuk meajadi bagian dari Zeitgeist, ia pun terbebebani untuk memberikan kontribusi dalam perkembangan antropologi. Meskpiun Freud telah menanam pengaruh yang kuat, terutama pada karya Geza Roheim, Warner Munsterberger, Erik Erikson, Margaret Mead, and Bronislaw Malinowski, namun pilihan Freud tetap pada Abraham Kardiner. Ia harus menanggalkan teori-teori Freud untuk mengembangkan studi-studi 101



Child rearing dalam kamus Inggris (…….) disebutkan, the work of taking care of children until they are old enough to take care of themselves. Lihat Brooks (posting 28 September 2012) parenting or child rearing is the process of promoting and supporting the physical, emotional, social, and intellectual development of a child from infancy to adulthood. Parenting refers to the aspects of raising a child aside from the biological relationship.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



437



kebudayaan di negara Barat, yang terutama penekanan teorinya terfokus dorong seks (sex drive)102. Kardiner, berbeda dengan Roheim, yang menitikberatkan perhatiannya pada pentingnya adaptasi kepribadian (personal adaptation) dari segala bentuk dorongan sebagai basis dari pendekatan psikodinamik. Menurut Kardiner, bahwa ada empat pendekatan Freud terhadap fenomena sosial (social phenomenons), yang dikembangkan oleh berbagai ahli. Pertama, adalah pendekatan yang digunakan oleh Freud sendiri --- seperti halnya dengan Roheim, Warner Munsterberger dan Erik Erikson --- yang mengklaim, bahwa apa yang tidak disadari manusia kontemporer merupakan hal yang disadari oleh masyarakat primitif. Kardiner menganggap posisi ini tidak dapat dipertahankan. Kedua, Pendekatan teori libido103 (the libido theory) yang mengklaim, bahwa dorongan seksual membentuk manusia secara prinsip sama dengan seluruh bentuk masyarakat yang ada, termasuk bintang. Kardiner melihat pandangan seperti ini tidak memperlihatkan konteks lingkungan dan kebudayaan, sehingga dipastikan konsep ini tidak berterima. Ketiga, pendekatan Freud yang sedang dibahas oleh Harry Stack Sullivan, Karen Horney dan Erich Fromm, yang mempertimbangkan kebudayaan dalam hubungannya dengan perkembangan kepribadian dan inilah yang membuat dirinya terhindar dari penampilan arogansi. Keempat, Pendekatan yang dipakai Kardiner sendiri, yang menekankan proses adaptasi kepribadian tehadap kebudayaan dan lingkungan. Kontribusi nyata Kardiner dalam antropologi adalah konsepnya tentang struktur dasar kepribadian (basic personality structure) dan pandangannya tentang kelembagaan primer dan sekunder (primary and secondary institutions) dalam sebuah masayarakat. Hubungan antara kepribadian dan kebudayaan telah menjadi sumber pertanyaan bagi mahasiswa jauh sebelum Kardiner. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada umumnya berkisar pada isu, bahwa pola kebudayaan (patterns of culture) mempengaruhi perilaku pribadi seseorang. Pandangan reduksionis seperti ini diganti oleh 102



103



Dorongan seks atau gairah sex (Basrah, 2017) adalah suatu energi yang timbul dalam pikiran untuk menyalurkan hasrat birahi sebagai akibat dari adanya stimuls dari sesuatu yang mampu meningkatkan libido. Lihat penjelasan Reber Arthur S. dan Reber Emily S. (2001) tentang pendapat Freud mengenai libido. Sigmund Freud mendefinisikan libido sebagai energi atau daya insting yang terkandung dalam identifikasi yang berada dalam komponen ketidaksadaran. Ia menunjukkan, bahwa dorongan libidinal ini dapat bertentangan dengan perilaku yang beradab. Kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dan pengendalian libido menyebabkan ketegangan dan gangguan dalam diri individu, mendorong untuk digunakannya pertahanan ego untuk menyalurkan energi psikis dari kebutuhan yang tidak terpenuhi, yang kebanyakan tidak disadari ini ke dalam bentuk lain. Penggunaan berlebihan dari pertahanan ego menyebabkan neurosis (stress).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



438



konsep Kardiner tentang struktur dasar kepribadian (basic personality structure), yang mengacu pada alat umum dari adaptasi dimana sebuah masyarakat memperluas keanggotaannya. Hal ini, dapat ditemukan di dalam semua anggota masyarakat, yang memiliki kebudayaan spesifik sebagai identitasnya. Kebudayaan spesifik tersebut diperoleh melalui stanrdisasi teknis dalam pengasuhan anak (child rearing), yang berbeda pada setiap masyarakat. Pada umumya pengalaman masa kanak-kanak menuntun kita pada struktur dasar kepribadian, sekalipun sangat tipikal sifatnya dalam sebuah kebudayaan. C. Strukturisme, Fungsinalisme dan Resiprositas 1. Emile Durkheim David Émile Durkheim (lahir 15 April 1858 dan meninggal dunia 15 November 1917 pada umur 59 tahun). Ia dikenal sebagai pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895. Dari tangannya terbit jurnal pertama dalam ilmu sosial L'Année Sociologique pada 1896. Durkheim dilahirkan di Épinal, Perancis tepatnya di Lorraine. Ia berasal dari keluarga penganut Yahudi Perancis ortodoks, dimana ayah dan kakeknya adalah penganut kepercayaan Rabi. Kehidupan Durkheim sendiri sepenuhnya sekuler. Kebanyakan karyanya dimaksudkan untuk membuktikan, bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan Ilahi. Namun, latar belakang yahudinya lebih dominan membentuk sosiologinya, karena banyak mahasiswa dan rekan kerjanya berfaham Yahudi dan masih sedarah dengannya. Durkheim adalah mahasiswa yang sangat jenius di zamannya. Ia duduk dibangku kuliah École Normale Supérieure pada 1879. Banyak seangkatannya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson, yang kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Perancis. Di École Normale Supérieure (ENS) Emile Durkheim dan teman-temannya belajar di Fustel de Coulanges, di bawah bimbingan seorang pakar ilmu klasik berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia juga lebih tertarik membaca karyakarya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Di sinilah Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat dan memulai kariernya. Dari sini pula konflik genderang perang dalam sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu, ditabuh oleh seorang aktivis bernama lengkap David Émile Durkheim. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan lain tidak menarik baginya. Sebagai akibatnya, Durkheim lulus dengan peringkat kedua terakhir dari semua angkatannya dalam ujian aggregation, yang merupakan syarat untuk posisi mengajar ilmu filsafat pada 1882. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



439



Minat Durkheim dalam fenomena sosial (social phenomenon)104 juga didorong oleh gejolak politik di Perancis ketika itu. Kekalahan Perancis dalam Perang Perancis-Prusia memberi pukulan berat bagi pemerintahan republikan yang sekuler. Banyak orang beraggapan, bahwa hanya pendekatan Katolik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Perancis yang memudar di daratan Eropa ketika itu. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik. Ini adalah suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis. Durkheim dengan sikapnya sebagai seorang aktivis sangat tidak mungkin menduduki posisi penting dalam bidang akademik di Paris. Oleh karena itu, setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia hijrah ke Bordeaux pada 1887 untuk belajar di sekolah guru pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial. Durkheim kemudian memperbarui sistem pendidikan Prancis dan memasukkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulum pendidikan di Perancis. Durkheim dengan gagasan kontrovesialnya kembali menuai banyak keritikan, karena dianggap memiliki kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial (social facts). Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan Pembagian Kerja dalam Masyarakat, yang pada hakikatnya adalah masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada tahun 1895 ia menerbitkan Aturan-aturan Metode Sosiologis, sebuah manifesto yang mengisyaratkan awal pembelajaran sosiologi di Perancis. Ia kemudian mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia mendirikan jurnal L'Année Sociologique untuk mempublikasikan tulisan-tulisan dari mahasiswa dan rekannya. Akhirnya, pada 1897 ia menerbitkan buku Le Suicide (Bunuh Diri), yang berlatar sebuah studi kasus. Ini pula yang menjadi contoh dari semua tulis monograf bertajuk sosiologi. Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan dan gelar terhormat di Paris, karena ia menjadi profesor di Sorbonne. Seluruh universitas yang ada di Perancis sebagai pelaksana teknis untuk mendidik guru-guru sekolah menengah, membuat Durkheim semakin bepengaruh, karena kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Setelah Peristiwa Dreyfus, Durkheim semakin memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912. Ia secara permanen diberikan jabatan yang kemudian diubah menjadi jabatan pendidikan dan sosiologi. 104



Fenomena sosial adalah gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dapat diamati dalam kehidupan social (Gising, 2009). Lihat juga Soerjono Soekanto (2006) bahwa fenomena sosial atau masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsurunsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



440



Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir dengan judul Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan. Perang Dunia I menimbulkan pengaruh yang sangat tragis dalam hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis, bahkan menjadi bumerang baginya. Ia mengusahakan, agar Perancis tetap sekuler dan rasional. Akan tetapi, dengan perang dan propaganda kaum nasionalis membuatnya sangat sulit untuk mempertahankan posisinya. Sikap Durkheim yang giat mendukung negaranya dalam perang dan rasa enggan untuk tunduk kepada semangat nasionalis, membuatnya ia menjadi sasaran empuk golongan kanan Perancis, yang saat itu berkuasa. Seluruh murid Durkheim kini dikenai wajib militer. Banyak dari mereka yang tewas, termasuk anak laki-lakinya bernama René juga ikut tewas ketika Perancis bertahan mati-matian. Pukulan mental bagi Durkheim ditambah kelelahannya akhirnya membuatnya lumpuh dan meninggal pada 1917. Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya pada masa modern, ketika latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Ia menghembuskan pendekatan pertama fenomena sosial dalam kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern. Bersama Herbert Spencer, Durkheim dianggap orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu pada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat. Pendekatan ini kemudian dikenal sebagai fungsionalisme105. Durkheim juga menekankan, bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Ia malah berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, yang memusatkan perhatian bukan pada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap fakta-fakta sosial (social fact). Pendekatan fungsionalisme diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat pada tindakan individu. Ia berpendapat, bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen, lebih besar dan lebih objektif daripada tindakantindakan individu yang membentuk masyarakat. Kesemuanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial, ketimbang melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu. 105



Functionalism (Smith, 1990: 126) sebuah perspektif yang menekankan fungsi pabean atau institusi sosial. Dalam antropologi, hal ini terutama mengacu pada perspektif B. Malinowski (dianggap fungsionalis murni) atau A. R. Radcliffe-Brown (seorang struktural fungsionalis).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



441



Dalam bukunya berjudul Pembagian Kerja dalam Masyarakat (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial (social institutions) dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Para penulis sebelumnya, seperti Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat, bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana ke arah yang lebih kompleks, sehingga mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial (social development), evolusionisme sosial (social evolution) dan darwinisme sosial (social Darwinis). Ia berpendapat, bahwa masyarakat tradisional bersifat mekanis dan dipersatukan oleh kenyataan, bahwa setiap orang lebih kurang sama. Oleh karena itu, dapat dipastikan mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif (collective consciousness) sepenuhnya mencakup kesadaran individual (Individual consciousness), normanorma sosial (social norms) dan perilaku sosial (social behaviuor) diatur dengan rapi. Menurut Durkheim, bahwa dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks dapat menghasilkan solidaritas organik (organic solidarity). Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial (social roles) dapat menciptakan saling ketergantungan, yang mampu memberi ikatan seseorang kepada sesamanya. Mereka saling tergantung dan membutuhkan dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidup mereka. Dalam masyarakat yang mekanis, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada (economic subsistensi)106 dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Hampir keseluruhan produksi mereka diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam sebuah tatanan ekonomi subsistensi. Dalam masyarakat modern yang organik, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (sandang, pangan dan papan) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menurut Durkheim pembagian kerja (work division) yang semakin rumit seperti ini 106



Istiah yang sama yaitu subsistanec fund (Kotak, 1991: 260) di seluruh dunia, orang mencurahkan sebagian waktu dan tenaga untuk membangun dana subsisten (lihat juga Wolf, 1996). Dengan kata lain, mereka harus bekerja untuk makan, untuk mengganti kalori yang mereka gunakan dalam aktivitas sehari-hari. Orang juga harus berinvestasi dana pengganti energei yang mereka telah keluarkan. Lihat Gising (2009), bahwa ekonomi subsitaensi adalah produksi hanya dipergunakan untuk konsumsi sendiri. Jadi, jenis ekonomi ini tidak berorientasi pasar.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



442



dapat mengakibatkan kesadaran individual (individual consciousness) menyimpang dari kesadaran kolektif, bahkan keduanya seringkali berbenturan. Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan, bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman. Hal itu tentunya akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan, sehingga hukuman bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif. Hukum bertujuan tidak untuk menghukum, melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Jadi, perubahan masyarakat dapat terjadi dengan cepat, karena semakin meningkatnya pembagian kerja, yang menghasilkan suatu bentuk kekacauan norma. Hal ini dapat meningkatkan sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial. Akhirnya, keadaan kaos tersebut dapat mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku masyarakatnya. Durkheim menamai keadaan ini anomie, yang memunculkan segala bentuk perilaku menyimpang dari norma-norma, sehigga bunuh diri semakin menonjol. Durkheim belakangan mengembangkan konsep anomienya dalam bukunya berjudul bunuh diri (suicide), yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri bagi pengikut Protestan dan Katolik. Ia menemukan, bahwa kontrol sosial (social control)107 yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurutnya, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial (social integration)108. Tinggi rendahnya tingkat keterikan sosial dapat mengakibatkan bertambahnya tingkat bunuh diri. Tingkat ikatan sosial 107



108



Kontrol Sosial (Jack David Eller, 2009: 408) adalah fungsi sosial politik dan umum untuk mendapatkan anggota kelompok, agar sesuai dengan harapan dan peraturan dan untuk mematuhi otoritas. Termasuk menanamkan nilai sosial, sekaligus hukuman penyimpangan dari harapan. Lihat Martin Asher (2010) teori kontrol dalam sosiologi adalah gagasan, bahwa dua sistem kontrol --- kontrol batin dan kontrol luar --- bekerja melawan kecenderungan seseorang untuk melakukan penyimpangan. Lihat Peace Dialogue yang diprakarsai UN News Center. UN, n.d. Web. 02 Jan. 2015, bahwa integrasi sosial difokuskan pada kebutuhan untuk bergerak menuju masyarakat yang aman, stabil dan adil dengan memperbaiki kondisi disintegrasi sosial dan pengucilan sosial --- fragmentasi sosial, pengecualian dan polarisasi, serta dengan memperluas dan memperkuat kondisi integrasi sosial --- menuju hubungan sosial yang damai dengan koeksistensi, kolaborasi dan kohesi.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



443



yang rendah menghasilkan integrasi sosial yang rendah pula, sehingga masyarakat tidak terorganisasi. Bunuh diri bagi mereka merupakan upaya terakhir. Sebailknya, integritas sosial tinggi, namun tetap bunuh diri, karena hal ini merupakan jalan satu-satunya untuk tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Ini berarti dalam kesimpulan penelitian Durkheim, bahwa tingkat bunuh diri bagi kaum Protestan lebih besar dibandingkan dengan Katolik. Karya ini telah mempengaruhi para penganut teori kontrol (control theory) dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik. Akhirnya, Durkheim juga sangat terkenal dalam karyanya masyarakat primitif dalam buku-bukunya Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama (1912) dan esainya Klasifikasi Primitif yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat mekanis. Durkheim juga sangat tertarik akan pendidikan. Hal ini dilatari oleh pekerjaannya sebagai tutor bagi guru-guru dan sebagai pencipta kurikulum berlatar belakang sosiologi di Perancis. Menurut Durkheim, pendidikan mempunyai tujuan berikut ini: 1) Memperkuat solidaritas sosial melalui sejarah dan pernyataan kesetiaan, 2) Mempertahankan peranan sosial melalui pendidikan dan 3) Mempertahankan pembagian kerja berdasarkan kecakapan. Karya Durkeim telah menanamkan pengaruh besar dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin sosiologi dan antropologi. Skop dan kedalaman karya Durkheim, termasuk beberapa diantaranya yang telah dipelajari ahli statistik dan ahli kognitif. Tema utama dari karya Durkheim adalah solidaritas sosial (social solidarirty)109. Ia ingin mengetahui, lebih jauh, bagaimana sebuah unit sosial (social unit) mampu menyatukan dan menjaga keutuhan angota-anggotanya. Penggunaan konsep seperti itu dikenal sebagai solidatias organic (organic solidarity) dan hati nurani kolektif (conscience collective) dalam merespon setiap pertanyaan yang akan muncul. Dalam disertasi Durkeim yang berjudul The Division of Labor in Socieiu (1893) yang terkonsentrasi pada norma-norma dalam masyarakat mencerminkan solidaritas sosial. Dia yakin, bahwa peningkatan kualitas (spesiali109



Solidaritas (Barnard dan Spencer, 2002: 569, 858 dan 916 adalah kesatuan (kelompok atau kelas) yang menghasilkan kesatuan kepentingan, tujuan, standar dan simpati. Ini mengacu pada ikatan dalam masyarakat yang mengikat orang bersama-sama menjadi satu. Dalam masyarakat sederhana, hal itu mungkin terutama didasarkan pada kekerabatan dan nilai bersama. Dalam masyarakat yang lebih kompleks ada berbagai teori mengenai apa yang berkontribusi pada rasa solidaritas sosial.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



444



sasi) kepribadian sebagai kunci untuk memperbesar tingkat solidaritas. Masyarakat sebagai gudang sejumlah besar proses spesialisasi solidatias organik (organic solidarity), yang mengandung banyak ciri pembeda kepribadian harus disatukan dengan unsur-unsur kepribadian lain, agar tetap hidup. Di pihak lain, masyarakat yang tidak mempunyai perbedaan tipetipe seperti ini akan dihimpun bersama dalam siolidaritas mekanik (mechanical solidarity)110 dengan artian, bahwa kepribadian mempunyai kepekaan yang cukup tinggi untuk menyatu dalam pengalaman, sehingga masingmasing tidak perlu disatukan dengan yang lainnya untuk membentuk pengalaman menjadi sesuatu yang mampu mengikat (a binding force). Selanjutnya Durkheim menambahkan, bahwa hati nurani kolektif (conscience collective) harus ditinggalkan untuk sementara waktu, karena sangat sulit untuk menginterpretasi conscience yang diambil dari bahasa Prancis, yang dalam bahasa Inggris berarti kesadaran (consciousness) atau kata hati (conscience) atau mungkin sadar akan (aware of). Kesadaran bersama (shared awarenessy atau kesepahaman (common understanding) juga mungkin dapat diartikan sebagai sesuatu yang digunakan dalam menandai mengklasifikasikan dunia dan masyarakat. Bagi Durkhiem pengetahuan sosial (sociological knowledge)111 tidak dapat diangkat dari unsur-unsur kepribadian, bahkan bagi psikolog yang serba tahu pun tidak mungkin untuk mempelajari hal itu. Dengan demikian, masyarakat harus dipelajari melalui studi-studi fakta sosialnya (social fact). Bagi Durkheim fakta sosial tersebut sama dengan apa yang dipahami oleh para antropolog sebagai kebudayaan (culture). Konsep tentang hati nurani kolektif (conscience collective) juga sangat asing dalam mengungkapkan konsep kebudayaan, sekalipun dalam beberapa tujuan memang sangat membantu. Pengaruh Durkheim terhadap antropologi telah meluas. Tiga dari ahli antropologi sosial kenamaan --- Mauss, Radcliffe-Brown dan Livi-Strauss --telah mendapat pengaruh besar dari dirinya. Dua diantaranya yang mem110



111



Solidaritas mekanis (Barnard dan Spencer, 2002: 569, 858 dan 916) adalah versi Durkheim tentang perpecahan besar antara tradisional dan modern. Masyarakat berdasarkan solidaritas mekanis kuran mampu menguraikan kompleksitas internal dan pembagian kerja, namun lebih berdaya guna dalam membahas kolektif kesadaran yang mampu memperstukan keberagaman mereka. Masyarakat modern, sebaliknya, ditandai oleh solidaritas organik (kebalikan solidaritas mekanik), yang disatukan berdasarkan saling ketergantungan mereka. Perdebatan tentang pengetahuan social telah terjadi jauh sebelumnya muncul tulisan tentang social knowledge sejak tahun 1960-an hingga 1970-an. Penggunaan pengetahuan sosial yang diperdebatkan tersebut ditengarai telah terkontaminasi dengan unsur-unsur politik dan ekonomi (Alan Barnard and Jonathan Spence, 2002: 162 dan 932).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



445



perlihatkan reaksi terhadap konsepnya, baik negatif seperti Benedict maupun positif seperti Malinowski. Karya-karya agung yang terbit dari tangan Durkheim. Karya-karyanya tersebut menjadi model acuan, baik dalam studi sosiologi modern maupun studi antropologi kognitif. Karya-karya Durkheim sebagai dibuat dengan membangun kerjasam dengan ilmuan lain yang sepaham dengannya, bahkan Steven Lukes (pengagum dan pengikutnya menulis buku berjudul Emile Durkheim: His Life and Work, a Historical and Critical Study (1985). Karya-karya David Emile Durkhem, sebagai berikut: 1. 1983 & 1977. The Division of Labor in Society. The Free Press. 2. 1895 dan 1982. Rules of Sociological Method. The Free Press. 3. 1897 dan 1977). Suicide. The Free Press. 4. 1912-1915 dan 1995. The Elementary Forms of the Religious Life. The Free Press. 5. 1955 dan 19920. Professional Ethics and Civic Morals. English translation by Cornelia Brookfield. 6. Bersama Steven Lukes. 1985. Emile Durkheim: His Life and Work, a Historical and Critical Study. Stanford University Press, 1985. 2. Marcel Mauss Marcel Mauss lahir pada tanggal 10 Mei 1872 Épinal, Vosges, Perancis dan meninggal dunian pada tanggal 10 Februari 1950 (umur 77) Paris, Perancis. Marcel Mauss adalah seorang filsuf Perancis pada abad 20, salah satu penginspirasi gerakan strukturalisme. Teori Mauss lebih banyak terkait dengan teknik tentang tubuh Marcel Mauss adalah keponakan dari Emile Durkheim. Seperti pamannya, ia tumbuh di lingkungan Yahudi Ortodoks. Ia banyak belajar bahasa; Yahudi, Yunani, Latin, Iran Kono di École pratique des hautes études (EPHE) tempat ia mengajar sejarah agamaagama masyarakat yang kurang beradab. Ia pernah mendapat penghargaan dan dua medali karena keberaniannya menjadi ahli bahasa sukarela dalam lingkungan tentara Inggris pada Perang Dunia I. Hal inilah yang menginspirasinya untuk meneliti teknik tubuh. Ia juga akrab dengan aspirasi sosial, dengan karya-karya Picasso dan Debussy, ia selalu terbuka dengan pemahaman baru tentang bentuk-bentuk sosial dan kultural. Dua teori tentang sosial dan tubuh bagi Mauss tidak bisa dipisahkan. Mauss mengamati setiap gerakan tubuh yang selalu berkaitan, seperti halnya manusia yang tidak terpisah dengan masyarakatnya. Pemisahan yang terjadi antara anggota tubuh sama bahayanya dengan pemisahan manusia dengan masyarakatnya. Di sini, ilmu antropologi selalu terkait dengan sosiologi. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



446



Marcel Mauss adalah seorang filsuf, sosiolog dan antropolog abad 20 dari Prancis yang menginspirasi gerakan strukturalisme. Ia lahir di Epinal, 10 Mei 1872. Mauss adalah keponakan dari sosiolog dunia, Emile Durkheim, yang pemikirannya sangat mempengaruhi perkembangan intelejensi Mauss. Mauss adalah orang yang berhasil merobohkan tembok pemisah antara ilmu sosiologi dan antropologi dimana kedua disiplin tersebut seharusnya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Selama hidupnya, Mauss menulis beberapa buku dan karyanya yang paling terkenal adalah Essai sur le don atau The Gift tahun 1923. Mauss, seperti halnya Emile Durkheim, dibesarkan di lingkungan keluarga Yahudi Ortodoks. Ia pertama kali belajar ilmu filosofi di Bordeaux, tempat sang paman mengajar, kemudian hijrah ke Paris untuk mempelajari perbandingan agama dan Bahasa Sanskrit. Ia mempelajari beberapa bahasa seperti Yahudi, Yunani, Latin dan Iran di Pratique des Hautes Etudesm, sebuah perguruan tempatnya mengajar nanti. Di tempat itu pula Mauss memperoleh pengetahuan tentang Sejarah Agama dan Masyarakat Kuno Diantara sekian banyak buku yang ditulisnya, yang paling fenomenal adalah The Gift. Buku ini berisi tentang pemikirannya bahwa tidak ada suatu pemberian pun yang bebas/gratis. Hal ini, menurutnya, didukung oleh manusia yang terus berulang dimana sebuah karunia selalu menuntut timbal balik. Satu pertanyaan Mauss yang terkenal mengenai timbal balik ini adalah kekuatan apa yang melekat pada objek yang diberikan sehingga penerima harus membayar kembali? Jawabannya ialah bahwa pemberian merupakan total prestation yang disertai mekanisme spiritual yang melibatkan kehormatan kedua belah pihak. Bagi Mauss, proses transaksi tersebut agak ajaib, sebab si pemberi tidak hanya memberikan benda namun juga bagian dari dirinya. Dengan kata lain, sebuah benda tidak akan pernah bisa terpisah seluruhnya dari orang-orang yang melakukan transaksi. Mauss menjabarkannya dalam tiga kewajiban, yaitu memberi, menerima dan timbal balik. Pemikiran Mauss banyak menginspirasi tokoh-tokoh yang lebih muda darinya, misalnya Claude Levi-Strauss dan Georges Bataille. Namun, tidak sedikit juga yang mengkritik pemikiran Mauss itu. Salah satunya adalah antropolog Prancis Alain Testart yang berpendapat bahwa ada pemberian yang tidak terikat dengan timbal balik, misalnya ketika seseorang memberi uang kepada pengemis di sebuah kota besar. Si pemberi dan pengemis tidak saling mengenal dan kemungkinan tidak akan pernah bertemu lagi sehingga tidak akan ada hubungan timbal balik atau saling ketergantungan seperti yang dicetuskan oleh Mauss. Dalam karirnya, Mauss pernah menjadi Guru Besar Agama Primitif di École des Hautes Études Pratique, Paris pada tahun 1902 dan menjadi pengIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



447



ajar di College de France pada tahun 1931 hingga 1939 setelah mengambil studi Sosiologi di tempat yang sama. Ia juga merupakan salah satu pendiri Institut Etnologi Universitas Paris tahun 1925. Mauss meninggal dunia 20 Februari 1950 di Paris, Perancis Marcel Mauss memiliki prestasi akademik dan karier berikut ini: 1. Mendapat magister di Pratique des Hautes Etudesm bidang Sejarah Agama dan Masyarakat Kuno (1901) 2. Mendapat gelar doctor di Collčge de France bidang Sosiologi (1931) 3. Dikukuhkan sebagai Guru Besar Agama Primitif di École des Hautes Études Pratique, Paris (1902) 4. Pendiri Institut Etnologi Universitas Paris (1925) 5. Sebagai tenaga pengajar di College de France (1931-1939) Dua aspek karya Mauss yang memiliki pengaruh besar pada beberapa antropolog lainnya yaitu analisisnya tentang Hadiah dan Pemberian (gift giving), yang merupakan karya kebersamaannya dengan Durkheim dalam analisis klasifikasi manusia primitif (primitive classifications). Klasifikasi manusia primitifnya, tertuma banyak mempengaruhi Levi-Strauss. Sedangkan karyanya tentang Hadiah dan Pemberian (gift giving) lebih banyak mempengaruhi antropologi ekonomi, seperti halnya dengan Levi-Strauss dan beberapa ahli antropologi ekonomi lainnya. Mauss dan Durkheim memperlihatkan fenomena kategori klasifikasi manusia pamitive sebagai klasifikasi ilmiah pertama, yang berusaha mempelajari manusia. Mereka menganggap sistem klasifikasi seperti itu sebagai sebuah pengkelasan sistem kognitif yang diorganisasikan ke dalam sebuah hirarki (hierarchies). Fungsi utama dari klasifikasi seperti ini adalah membentuk hubungan antara fenomena-fenomena yang dapat dipahami dan bukan atas bantuan tindakan (anction). Klasifikasi dianggap sebagai titik temu antara konsep dan basis unitas sistem pengetahuan. Karya agung Mauss tentang pemberian (the gift) merupakan salah satu bentuk analisis tentang pertukaran pemberian, atau prestasi (prestation) dalam masyarakat sederhana. Dengan karyanya ini, ia menjadi ahli pertama yang mengakui, bahwa fabrikasi sosial (social fabric)112 tidak menunjukkan perbedaan di dalam masyarakat yang sederhana. Dalam masyarakat seperti itu tujuan ekonomi dan politik dapat diisi melalui hubungan kekerabatan, membuat gift giving sebagai sebuah fenomena sosial secara total yang dapat ditemukan di dalam sebuah ekspresi terhadap keseluruhan aspek kehidup112



Fabrikasi social atau social reproduction (Jack David Eller, 2009: 408) pemeliharaan dan pelestarian masyarakat di luar sekedar melahirkan anak, termasuk enkulturasi dan pengajaran anggota untuk mengambil tempat dalam masyarakat dan kegiatan seharihari untuk memungkinkan anggota masyarakat melakukan tugas mereka yang spesifik (termasuk pekerjaan rumah tangga yang kadang-kadang disebut.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



448



an sosial dan institusi seperti, agama, moral dan ekonomi. Hal ini tentunya tidak berarti, bahwa agama dan ekonomi adalah satu anyaman atau rajutan, tetapi lebih baik dikatakan, bahwa hal itu tidak menampakkan perbedaan yang berarti. Mauss juga menandai, bahwa pemberian itu bukan atas dasar kemauan, tetapi merupakan bagian dari kewajiban sosial (social obligation). Dengan kata lain, gift giving atau pengembalian hadia (repayment of gift) itu merupakan kewajiban dalam fabrikasi sosial. Realisasi ini sangat penting dan sekali lagi Mauss membuktikan, bahwa pandangan etnosentrisme dalam aktifitas manusia dapat lebih memperburuk atau bahkan dapat menghancurkan hubungan sosial masyarakatnya. 3. Bronislaw Malinowski Bronisław Kasper Malinowski (lahir pada tanggal 7 April 1884 dan meninggal pada tanggal 16 Mei 1942, pada umur 58 tahun). Malinowski lahir di Kraków, Austria-Hungaria (Polandia saat ini) dalam sebuah keluarga ekonomi menengah atas. Ayahnya adalah seorang professor dan ibunya adalah putri dari keluarga seorang tuan tanah. Pada masa kecilnya, ia adalah seorang anak yang sakit-sakitan dan lemah, namun sangat pintar secara akademik. Ia menerima gelar doktor dari Jagiellonian University pada tahun 1908, dengan konsentrasi ilmu matematika dan fisika. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leipizig selama dua tahun, tempat dimana ia mulai dipengaruhi pemikiran Wilhem Wundt dan teorinya tentang folk psychology. Hal tersebut kemudian memancing Malinowski untuk mendalami ilmu antropologi. Ketika itu, James Frazer dan beberapa penulis Inggris lainnya terkenal sebagai antropolog-antropolog terbaik, sehingga Malinowski memutuskan untuk berlayar ke Inggris untuk belajar di London School of Economics (LSE) pada tahun 1910. Ia termasuk sedertan nama antropolog Polandia yang diakui sebagai salah satu antropolog terpenting pada abad ke-20, karena jasa dan kontribusinya yang besar dalam bidang etnografi, reciprocity dan penelitian tentang Melanesia. Pada tahun 1914 ia pergi ke Papua (Papua New Guinea saat ini) dan melakukan penelitian di Mailo dan kemudian, yang lebih terkenal, di Kepulauan Trobriand. Ia sempat mendapatkan masalah pada penelitian itu. Perang Dunia I pecah dan sebagai orang Polandia yang berada di teritori Inggris, ia ditahan dan tidak diperbolehkan untuk meninggalkan wilayah itu. Setelah beberapa lama tertahan, ia kemudian memutuskan untuk mempelajari suku pribumi Trobrainders dan tinggal bersama komunitas mereka hingga akhirnya ia dapat menguasai bahasa mereka, menjalin persahabatan dengan penduduk dan bahkan dikabarkan menjalin cinta dengan seorang wanita pribumi. Dalam periode itulah ia mulai melakukan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



449



penelitian tentang Kula113 dan menghasilkan teori Participant observation yang menjadi salah satu kunci metodologi penelitian antropologi saat ini. Patut diakui, bahwa tanpa adanya perang dan terisolasinya Malinowski, teori yang banyak mempengaruhi antropologi modern saat ini tidak akan pernah ada. Pada tahun 1910, Malinowski studied exchange and economics at the London School of Economics (LSE) under Seligman and Westermarck, analysing patterns of exchange in Aboriginal Australia through ethnographic documents. In 1914, he was given a chance to travel to New Guinea accompanying anthropologist R.R. Marett, but as World War I broke out and Malinowski was an Austrian subject, and thereby an enemy of the British commonwealth, he was unable to travel back to England. The Australian government nonetheless provided him with permission and funds to undertake ethnographic work within their territories and Malinowski chose to go to the Trobriand Islands, in Melanesia where he stayed for several years, studying the indigenous culture. Pada tahun 1922 Malinowski mendapatkan gelar doktor antropologi dan mulai mengajar di London School of Economics (LSE). Pada tahun itu pula bukunya yang berjudul Argonauts of the Western Pacific diterbitkan. Buku itu diakui secara luas sebagai sebuah mahakarya dan Malinowski dinobatkan menjadi salah satu antropolog terbaik yang pernah ada. Selama tiga dekade selanjutnya Malinowski membawa LSE menjadi pusat pembelajaran antropologi terbaik di Inggris. Ia mengajar banyak orang, termasuk mahasiswa dari daerah koloni Inggris yang kemudian menjadi figur penting di negaranya. Ia kemudian mengajar di Yale University, Amerika Serikat, sampai ia wafat pada tahun 1942. Banyak muridnya yang menjadi antropolog terkemukan, seperti: Raymond Firth, E. E. EvansPritchard, Hortense Powdermaker, Edmund Leach, Audrey Richards dan Meyer Fortes. Sejak tahun 1933 ia mengunjungi beberapa universitas di Amerika dan ketika Perang Dunia II pecah ia memutuskan untuk tinggal di sana, untuk dikukuhkn di Yale. Di sini ia tinggal sepanjang sisa hidupnya dan mempengaruhi generasi baru antropolog Amerika. 113



Kula atau kula ring (Smiht, 1990: 160) adalah sistem pertukaran dalam sebuah seremonial yang dideskripsikan oleh Malinowski (1992) untuk Trobriand Insland dan kepulauan New Guinea lainnya. Penduduk pulau ini, meskipun beragam dalam hubungan linguistik dan budaya mereka, namun berbagi sistem pertukaran seremonial yang umum yang ditandai dengan peredaran dua jenis objek seremonial: kalung kerang dan gelang shell. Kalung mengalir satu arah di sepanjang perputana pasangan pertukaran, gelang dengan cara lain. Transaksi kula bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya disesuaikan dengan jenis dan jumlah upacara dan aktivitas magis. Kula didampingi oleh jenis pertukaran lainnya, yang merupakan elemen penting dalam negosiasi dan pemeliharaan prestise, status dan rangk seseorang dalam suku Trobriand.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



450



Etnografinya di kepulauan Trobriand menggambarkan institusi kompleks cincin Kula (kula armband) dan menjadi fondasi bagi teori timbal balik dan pertukaran (reciprocity). Dia juga secara luas dianggap sebagai pekerja lapangan yang terkemuka, karena teks-teksnya mengenai metode lapangan (field research) menjadi dasar dalam berbagai penelitian antropologi. Ia juga yang menciptakan konsep istilah observasi partisipatif (full participatory observation). Selama tinggal dan melakukan penelitiannya di papua Nugini, Malinowski tinggal berdampingan dan berinteraksi dengan suku Trobriand dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih 4 tahun (antara tahun 1915 sampai 1918). Malinowski menerbitkan beberapa buku berkenaan dengan analisa tata sosial suku Trobriand, namun karya yang membuat namanya terkenal adalah Argonauts of the Western Pacific yang terbit pada tahun 1922. Dalam buku ini Malinowski mengalisa dan menjelaskan secara rinci tentang budaya Kula, adat tukar menukar hadiah yang dilakukan suku Trobriand dan suku bangsa lain yang tinggal di pulau berdekatan dengan mereka. Kula mengedarkan pertukaran dua jenis benda yang dilansir dalam dua arah yang berlawanan, kalung panjang terbuat dari kulit kerang merah yang disebut Soulava dan gelang-gelang dari kulit kerang putih yang disebut Mwali. Di setiap pulau peredaran kula dilakukan oleh jaringan kaum laki-laki kalangan atas, di sana mereka menjadi mitra dagang dan memperoleh prestige sebagai golongan terhormat. Kula memungkinkan seseorang, bahkan keluarga, memperoleh kehormatan bukan dari memiliki sejumlah barang berharga, namun dengan memberikannya kembali kula kepada orang lain. Seseorang tidak bisa menyimpan Mwali dan Soulava selain 1-2 tahun saja. Kedua barang ini harus diedarkan (diberikan kembali) pada orang lain yang dipercaya oleh pemilik terakhir. Pada suatu ketika seseorang bisa tiba-tiba mendapatkan Soulava, memberikannya pada orang lain dan selang waktu yang tidak terduga tiba-tiba dia diberikan Mwali oleh karabatnya yang lain. Kula dalam jaringan eredaranya, baik pemberi maupun penerima secara langsung mendapat prestis sebagai orang terhormat. Budaya memberi dan menerima dalam kula memungkinkan masyarakat membangun intergrasi ekonomi dan politik bagi masyarakat Trobriand dan suku-suku lain di sekitarnya. Menurut analisa Malinowski, Kula adalah sistem pameran kemurahan hati. Fungsi laten kula, yang tak disadari masyarakatnya; memungkinkan terciptanya hubungan perdagangan yang menimbulkan keuntungan ekonomis bersama. Sementara itu dari sisi politik, fakta Kula juga memungkinkan terbangunnya interaksi sosial jarak jauh antara suku Trobriand dan suku-suku kerabat di sekitar mereka. Kula menjalin kebersamaan sejumlah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



451



suku bangsa dan mencakup satu kompleks kegitan besar, saling berkaitan dan saling bekerjasama satu sama lain, yang membentuk suatu keseluruhan organik. (Malinowski, 1922: 83). Kula akan memperluas jaringan antara mitra yang memiliki dan yang memberi dari waktu ke waktu, dimana secara fungsional menjadi inti integrasi sosial ekonomi dan politik, baik masyarakat Trobriand sendiri maupun suku-suku lain di sekitar kepulauan Papua Nugini. Pendekatannya terhadap teori sosial menjadi merek fungsionalisme psikologis yang menekankan bagaimana institusi sosial (social institutions) dan budaya melayani kebutuhan dasar manusia. Sebuah perspektif yang menentang fungsionalisme struktural yang dipelopori Radcliffe-Brown yang menekankan cara-cara di mana institusi sosial berfungsi dalam masyarakat secara keseluruhan. Malinowski meninggal pada 16 Mei 1942 dalam usia 58 tahun, karena serangan jantung saat bersiap melakukan penelitian lapangan musim panas di Oaxaca, Meksiko. Dia dikebumikan di Evergreen Cemetery di New Haven, Connecticut. Malinowski sering dianggap sebagai salah satu ahli etnografi antropologi yang paling terampil, terutama karena pendekatannya yang sangat metodis dan teoretis dalam studi sistem sosial (social systems). Dia sering disebut sebagai peneliti pertama yang membawa antropologi di luar beranda (off the verandah), yaitu sebuah ungkapan yang juga merupakan nama sebuah film dokumenter tentang karyanya, Yng berceritra tentang kehidupan sehari-harinya bersama informannya. Malinowski menekankan pentingnya observasi partisipan yang terperinci. Ia juga berpendapat, bahwa antropolog harus memiliki kontak sehari-hari dengan informan mereka. Penelitia harus mencatat kehidupan sehari-harinya dengan para informannya untuk memahami budaya yang berbeda Dia menyatakan, bahwa tujuan antropolog atau etnografer adalah memahami sudut pandang pribumi (emik) dalam hubungannya dengan visi dan misi kehidupan mereka. Ia kemudian menulis buku tentang itu Argonaut of the Pacific Barat (Dutton 1961: 25). Malinowski dalam membahas tentang Kula, ia pun juga membahas bukunya Argonaut of the Pacific Barat (Dutton 1961: 83-84). Namun Malinowski dalam sub-pembahasannya tentang kula sedikit mengeluh, karena banyaknya institusi yang luas, rumit dan teratur, yang harus beliau kumpulkan. Selain itu, informan-informannya tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hukum-hukum yang mereka terapkan di dalam pertukaran Kula. Mereka tidak memiliki cukup pengetahuan tentang garis besar keseluruhan struktur sosial (social structure) mereka. Mereka tahu motif mereka sendiri, mengetahui tujuan tindakan individual dan peraturan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



452



yang berlaku bagi mereka. Akan tetapi, bagaimana bentuk kelembagaan kolektif yang mereka sedang jalankan, sama sekali di luar pengetahuan mereka. Bahkan orang asli yang paling cerdas pun memiliki gagasan yang jelas tentang Kula sebagai konstruksi sosial yang besar dan terorganisir, masih juga kurang faham akan fungsi sosiologis dan implikasi dari ritual ada kula tersebut. Integrasi semua rincian yang diamati, pencapaian sintesis sosiologis dari berbagai gejala yang relevan, adalah tugas dari Ethnographer. Ethnographer harus membangun gambaran tentang institusi besar, sama seperti fisikawan menyusun teorinya dari data eksperimen, yang selalu ada dalam jangkauan setiap orang, namun tetap dibutuhkan. Dalam dua bagian ini, Malinowski mengantisipasi perbedaan antara deskripsi dan analisis, serta antara pandangan aktor dan analis. Perbedaan ini terus menginformasikan metode antropologi dan teori. Kajiannya tentang cincin Kula juga penting untuk pengembangan teori antropologis timbal balik (reciprocity dan materinya dari Trobriands dibahas secara luas dalam esai The Gift, asli karya Marcel Mauss. Malinowski berasal dari sekolah antropologi sosial yang dikenal sebagai fungsionalisme. Berbeda dengan fungsionalisme struktural RadcliffeBrown, Malinowski berpendapat, bahwa budaya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan individu dan bukan masyarakat secara keseluruhan. Ia beralasan, bahwa bila kebutuhan individu, yang terdiri dari masyarakat terpenuhi, kebutuhan masyarakat juga ikut terpenuhi. Bagi Malinowski, perasaan orang dan motif mereka adalah pengetahuan penting untuk memahami bagaimana masyarakat berfungsi. Selain garis besar akan gambaran konstitusi kesukuan dan item budaya yang mengkristal, yang membentuk kerangka data kehidupan sehari-hari dan perilaku biasa yang sudaj mendara daging bagi para informannya, ia pun harus sibuk dalam mencatat semangat kerja (etos) suku trobriand di New Guenia.Terlepas dari kerja lapangan, Malinowski juga menantang klaim universalitas teori Freud tentang kompleks Oedipus. Dia memprakarsai pendekatan lintas budaya dalam Sex and Repression in Savage Society (1927) di mana dia menunjukkan bahwa kompleks psikologis spesifik tidak universal. Malinowski juga mempengaruhi jalannya sejarah Afrika, melayani sebagai mentor akademis untuk Jomo Kenyatta, ayah dan presiden pertama Kenya modern. Malinowski juga menulis pengantar untuk Faced for Kenya Mountions, studi etnografi Kenyatta tentang suku Gikuyu dan suku Kulurami di Afrika, yang juga menarik perhatiannya. Fungsionalisme Malinowski menemukan 7 unsur kebutuhan pokok manusia, yaitu: gizi (nutrition), berkembang biak (reproduction), kenyamana (bodily comforts), keamanan (safety), rekreasi (relaxation), pergerakan (moveIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



453



ment) dan pertumbuhan (growth). Kebutuhan individu seperti ini dapat dipenuhi melalui kebudayaan dan lembaga sosial, yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan kata lain, setiap lembaga sosial mempunyai kebutuhan untuk dipenuhi dan begitu pula dengan item-item budaya yang ada. Pandangan Malinowski terhadap kebudayaan juga berdasarkan pada kebutuhan bio-sosial manusia secara fundamental dan dia menganggap kebudayan sebagai alat untuk merespon kebutuhan manusia dengan ketentuan, bahwa hal itu berada di atas adaptasi. Salah satu kontribusi Malinowski yang jarang digubris oleh para komentator yaitu idenya tentang kelembangaan (institution). Alasannya mungkin, karena Malinowski menyebut fenomena-fenomena sosial yang spesifik sebagai sebuah institusi, yang mendorong masyarakat untuk memainkannya, sehingga kata tersebut memiliki banyak fungsi. Meskipun demikian, ide pokok ini sangat membantu, tidak hanya dalam deskripsi etnografi, tetapi juga dalam studi komparatif secara menyeluruh. Sebagai sebuah institusi, demikian Malinowski lebih lanjut, dapat mengarahkan suatu kelompok masyarakat pada satu tujuan. Mereka mempunyai karakter dan/atau penjelasan, serta mereka mempunyai teknologi untuk mencapai atau usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Bronisław Kasper Malinowski menghasilkan banyak karya yang berkenaan dengan antropologi lapangan, sebagai berikut: 1. 1913. The family among the Australian Aborigines: a sociological study. London: University of London Press. 2. 1922. Argonauts of the Western Pacific: An account of native enterprise and adventure in the Archipelagoes of Melanesian New Guinea. London: Routledge and Kegan Paul (Enhanced Edition reissued Long Grove, IL: Waveland Press, 2013). 3. 1924. Mutterrechtliche Familie und Ödipus-Komplex. Eine psychoanalytische Studie (in German). Leipzig: Internationaler Psychoanalytischer Verlag. 4. 1926. Myth in primitive psychology. London: Norton. 5. 1926. Crime and custom in savage society. New York: Harcourt, Brace & Co. 6. 1927. Sex and Repression in Savage Society. London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co. 7. 1929. The Sexual Life of Savages in North-Western Melanesia. An Ethnographic Account of Courtship, Marriage, and Family Life Among the Natives of the Trobriand Islands, British New Guinea. London. 8. 1935. Coral gardens and their magic. London: Allen & Unwin. 9. 1944. A Scientific Theory of Culture and Others Essays. Chapel Hill, N. Carolina: The University of North Carolina Press. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



454



10. 1947. Freedom & Civilization. London. 11. 1946. P.M. Kaberry, ed. The Dynamics of Culture Change: An Inquiry Into Race Relations in Africa. New Haven: Yale University Press. 12. 1948. Magic, Science and Religion and Other Essays. Glencoe, Illinois: The Free Press (Reissued Long Grove, IL: Waveland Press, 1992). 13. 1962. Sex, Culture, and Myth. New York: Harcourt, Brace & World. 14. 1967. A Diary in the Strict Sense of the Term. New York: Harcourt, Brace & World. 15. 1993. R.J. Thornton & P. Skalnik, ed. The early writings. Cambridge: Cambridge University Press. 4. A. R. Radclfffe-Brown Alfred Reginald Radcliffe-Brown lahir pada tanggal 17 January 1881 di Sparkbrook, Birmingham, Britania Raya dan meninggal pada tanggal 24 October 1955). Ia adalah an English social anthropologist who developed the theory of structural functionalism and coadaptation. Setelah menempuh pendidikan di Trinity College, ia hijrah ke pulau Andaman pada tahun 1906 hingga 1908 dan juga Australia Barat pada tahun 1910 hingga 1912. Misi beliau dalam penjelajahan ini adalah melakukan penelitian lapangan terhadap kehidupan masyarakat di daerah tersebut. Setelah itu, beliau membuat buku yang berjudul The Andaman Islanders (1922) dan The Social Organization of Australian Tribes (1930). Di tengah-tengah karirnya, beliau menjadi sebuah direktur di pusat pendidikan di Tonga dan pada tahun 1920, beliau pindah di CapeTown untuk menjadi profesor antropologi sosial serta menemukan sekolah untuk orang-orang Afrika. Beliau kemudian mengajar di University of Sydney (1925-1931) dan University of Chicago (1931-1937). Akhirnya, beliau kembali ke Inggris untuk mengajar Antropologi di Oxford hingga pensiun di tahun 1946. Selain mengabdikan hidupnya di bidang Antropologi, beliau juga menemukan sebuah konsep yang disebut dengan Structural Functionalism. Beliau berargumen bahwa identifikasi fungsi dari praktik sosial adalah untuk menjadi relatif pada total struktur sosial yang ada. Beliau mencetuskan paham Structural Functionalism ini atas dasar pengalamannya pada praktik lapangan yang beliau lakukan di Andaman dan Australia Barat. Kritik budaya dan sosial yang beliau cetuskan selama hidupnya menjadi sebuah pertimbangan tersendiri terhadap perubahan historis yang ada pada masyarakat yang telah beliau pelajari. Di lain kata, Alfred Radcliffe-Brown telah membawa perubahan mengenai kolonialisme. Saat ini, melalui karya-karyanya, lelaki yang telah tiada empat puluh enam tahun Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



455



silam ini dijuluki sebagai Bapak Antropologi Sosial Modern, bersama dengan Bronislaw Malinowski, rekan praktik lapangannya di masa muda. Alfred Reginald Radcliffe-Brown adalah antropolog Inggris yang terkait erat dengan perkembangan fungsionalisme struktural. Kerangka teoritis dan ketrampilan administratifnya membantu mengkonsolidasikan antropologi sosial sebagai disiplin akademis di Persemakmuran Inggris. Radcliffe-Brown menikmati pendidikan akademis elit di Universitas Cambridge, di mana A. C. Haddon (1855-1940) dan W. H. R. Rivers (18641922) adalah mentornya. Dia pertama kali ingin mempelajari ilmu alam, namun diarahkan pada ilmu moral (terdiri dari filsafat, psikologi dan ekonomi). Namun kecenderungannya terhadap ilmu pengetahuan alam tetap menyertainya sepanjang karirnya. Penggunaan analogi antara struktur sosial dan struktur yang terjadi di alam adalah simbol dari gaya pemikirannya. Pada saat yang sama, dia dapat menggabungkan penekanannya pada struktur dengan gaya kenecesannya dan ketertarikan dengan anarkisme Peter Kropotkin (18421921), membuat Radcliffe-Brown mendapat julukan 'Anarchy Brown.' Dia melakukan penelitian lapangan etnografis di Kepulauan Andaman (1906-1908) dan Australia Barat (1910-1912), namun tidak pernah mencapai keakraban mendalam dengan setting lokal yang akan segera menjadi ciri khas antropologi sosial. Karir akademik Radcliffe-Brown yang berpengaruh dimulai pada 1920, saat ia menjadi profesor antropologi sosial di Universitas Cape Town di Afrika Selatan. Dia kemudian menjadi profesor di University of Sydney (1926-1931), profesor di University of Chicago (1931-1937) dan ketua antropologi sosial di Universitas Oxford (1937-1946). Dia terus mengajar di universitas-universitas di Brazil, Mesir, Inggris dan Afrika Selatan. Ia menjabat sebagai ketua Asosiasi Antropolog Sosial sampai beberapa saat sebelum kematiannya. Meskipun dengan biaya sendiri, Radcliffe-Brown terkesan penulis yang lamban. Satu-satunya monografnya adalah The Andaman Islanders (1922). Penerbitan selanjutnya hanyalah artikel dan ilustrasi perkuliahannya saja. Meskipun karir akademisnya terbentang setengah abad, teori RadcliffeBrown masih tetap kurang sekali. Dia terus-menerus mensistematisasikan gagasan bahwa antropologi sosial harus menjadi ilmu pengetahuan alami masyarakat manusia melalui investigasi empiris mengenai struktur sosial. Perbandingan antara masyarakat yang berbeda harus memungkinkan antropolog untuk menemukan hubungan universal dan penting. Yang jelasnya, keanekaragaman harus dikurangi untuk menghapus munculnya klasifikasi. Antropologi harus berfokus pada jaringan yang dapat diamati secara langsung antara orang-orang dan menyaring bentuk struktural umum. Menolak difusiisme, evolusionisme dan segala jenis (conjectural history), Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



456



Radcliffe-Brown juga mengkritik konsep budaya (culture), yang baginya adalah abstraksi berkabut dan bawahan pada struktur sosial. Penilaian kontribusi Radcliffe-Brown terhadap antropologi cenderung terpolarisasi. Dia adalah seorang dosen karismatik, mampu memberi kesan pada orang lain sebuah habitus kekakuan ilmiah. Bahkan, beberapa aliran antropologi Amerika, dengan penekanan lama pada budaya dan kekhasan historis, dipengaruhi olehnya. Tapi sama seperti dia menyatukan para ilmuwan selama masa hidupnya, namanya segera menjadi identik dengan pendekatan yang terlalu kaku dan tidak memuaskan secara intelektual, sehingga tidak ada yang mau mengikutinya lagi. Dari tahun 1950an seterusnya, semua tokoh utama antropologi sosial Inggris, terutama E. E EvansPritchard (1902-1973), Raymond Firth (1901-2002) dan Edmund Leach (19101989), mengecam teori Radcliffe-Brown, karena tidak dapat mema-hami sejarah, perubahan sosial dan hubungan kekuasaan yang tidak setara. Bahwa ia ingin antropologi menjadi ilmu pengetahuan alam (eksakta maksudnya) menarik cemoohan dari orang-orang tertentu (mis., Leach 1976). Bahkan, jika ditilik kepentingan akan teori Radcliffe-Brown pada masa sekarang dapat dipandang secara historis, penekanannya pada jaringan sosial yang dapat diamati, yang bertentangan dengan nilai budaya, tetap juga memiliki pengaruh tertentu, terutama di Inggris. Alfred Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang antropolog, lahir pada tanggal 17 Januari 1881 di Aston, Warwickshire, Inggris. Ia adalah putra kedua Alfred Brown (meninggal tahun 1886), petugas pabrik dan istrinya Hannah, Radcliffe. Dia dididik di King Edward's School, Birmingham dan Trinity College, Cambridge (B.A., 1905; M.A., 1909), lulus dengan penghargaan kelas satu (cumlaude) dalam ilmu moral tripos. Dia belajar psikologi di bawah W. H. R. Rivers bersama A. C. Haddon, yang membawanya ke arah antropologi sosial. Bersama siswa pilihan Anthony Wilkin dalam bidang etnologi pada tahun 1906 (dan 1909), Brown menghabiskan dua tahun di lapangan di Kepulauan Andaman. Ia masih sempat mengajar seorang siswa terdaftar di Trinitas (1908-14) sebanyak dua kali seminggu tentang etnologi di London School of Economics. Ia juga mengunjungi Paris untuk menemui sosiolog kenamaan Emile Durkheim, yang teorinya mewarnai semua pekerjaan selanjutnya. Di Cambridgelah pada tanggal 19 April 1910 ia menikahi Winifred Marie Lyon. Mereka bercerai pada tahun 1938. Tinggal seorang diri di Australia Barat pada tahun 1910, Brown bergabung dengan E. L Grant Watson dan Daisy Bates dalam sebuah ekspedisi ke Utara-Barat, guna mempelajari sisa-sisa suku Aborigin selama dua tahun di rumah sakit utama di pulau Bernier dan Dorré dan pada pusat peternakan domba. Ada gesekan antara Brown dan Nyonya Bates. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



457



Dia berada di Melbourne pada tahun 1914 untuk the British Association for the Advancement of Science, di mana dia dituduh melakukan plagiarisme tidak terpuji oleh Daisy Bates. Tertahan dengan pecahnya perang, ia pun mengajar di Sydney Church of England Grammar School (Shore) dan menjadi direktur pendidikan (1916-19) di Tonga. Dari tahun 1921 ia menjadi profesor bidang ilmu antropologi di University of Cape Town, Afrika Selatan. Setahun setelah terbitnya The Andaman Islanders. Pada tahun 1926 ia mengubah namanya dengan jajak pendapat untuk Radcliffe-Brown. Sebagai seorang starter dand stirrer, pada waktu itu dia diberi kedudukan sebagai pelopor antropologi baru di University of Sydney, yang sebagian didanai oleh Rockefeller Foundation. Dia segera memiliki belasan ilmuwan lapangan di Australia, Papua, New Guinea dan kepulauan Pasifik. Dia, sebelumnya menyampaikan makalah di Institute of Pacific Relations (Honolulu, 1927), Pan Pacific Science Congress keempat (di Jawa, 1929), the Australasian Association for the Advancement of Science (di Brisbane, 1930) dan the British Association (di London, 1931). Dia juga mendirikan jurnal, Oceania, pada tahun 1930. Ia kemudian menulis monografi pertamanya berjudul Social Organization of Australian Tribes (1931). Meskipun ia dikutuk, karena tidak mau mengakui karya pendahulunya, terutama R. H. Mathews dan Bates, buku tersebut menandai dimulainya sebuah epoh, yang menggambar materi yang telah dikumpul bersama (maksudnya dengan R. H. Mathews dan Bates) telah dikelolanya dengan baik. Akan tetapi, sebagian besar dari buku tersebut berisikan deskripsi dari formulasi sistem peraturan yang ideal dan bukan system perilaku yang sebenarnya ada di lapangan. Dengan karakter flamboyan dan egosentrisnya, Radcliffe-Brown memiliki hal-hal yang istimewa. Dia tampan, menawan dan pembicara yang brilian dan menduduki lingkaran sosial tertinggi di Sydney. Dia mencintai seni dan memperjuangkan Edward de Vere, earl Oxford, sebagai penulis karya-karya yang dikaitkan dengan Shakespeare. Khawatir, bahwa depresi dapat menyebabkan keruntuhan finansial di Australia, pada tahun 1931 Radcliffe-Brown berangkat untuk mengisi jabatan di University of Chicago, meninggalkan cita-citanya untuk meminta bantuan pemerintah dan Rockefeller untuk menyelamatkan departemen Sydney. Pada tahun 1937 dia pindah jabatan baru di Oxford hingga pensiun pada tahun 1946. Hidup bersama dengan putrinya, Brown meninggal di London pada tanggal 24 Oktober 1955. Radcliffe-Browne bersama dengan teman sebayanya B. K. Malinowski adalah pendiri antropologi modern. Seorang ahli teori, sekaligus sebagai seorang pekerja lapangan, Radcliffe-Brown berusaha membuat antropologi sebagai cabang ilmu pengetahuan alam (eksakta). Tanpa usaha sungguhIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



458



sungguh untuk menerapkan metode ilmiah dalam studi masyarakat, prestasi yang dicapai para ahli belakangan ini tidak mungkin dapat tercapai. Jangkau pengaruhnya yang jauh mampu menginspirasi murid-muridnya. Dia juga mengadakan kunjungan profesor di Alexandria (Mesir), Yengching (Cina), San Paolo (Brasil), Grahamstown (Afrika Selatan) dan Manchester (Inggris), untuk penyebaran luasan ajarannya. Sayangnya, dia tidak akan pernah menerima koreksi dari pekerja lapangan di kemudian hari. Publikasi terakhirnya yang berisi sebuah catatan tentang suku Aborigin, menuai kecaman, karena menunjukkan danya kesalahan persepsi, bahwa unit fundamental struktur sosial Aborigin adalah gerombolan patrilineal eksogamous yang terlokalisasi di mana-mana. Radcliffe-Brown adalah orang yang dianggap sangat berpengaruh, baik dalam antropologi maupun sosiologi. Aspek fungsionalisme RadcliffeBrown digabungkan dengan pendekatan strukturnya, yang kemudian menghasilakn pendekatan struktural fungsinalisme, baik dalam pemikian sosiologi maupun dalam antropologi sosial. Ketika antropologi sebagai ilmu berkembang pesat di lapangan, penekanan Radcliffe-Brown jatuh pada pembentukan teori. Bahkan, di lapangan pun Radcliffe-Brown selalu tertarik pada penggenralisasian pentas-pentas sosial (social events) dibandingkan dengan pentas-pentas secara individu. Pendekatannya dalam antropologi juga sangat jauh berbeda dengan rekan-rekannya. Dua pendekatan utamanya yang sering dibantah oleh para antropolog kontemporer di Amerika. Salah satunya, bahwa individu sebaiknya jangan diperhitungkan di lapangan, karena hal itu hanyalah berupa sistem sosial yang berdiri sendiri, sehingga keberatan berdatang para ahli budaya dan psikologi budaya, yang ketikan itu sedang mendomanasi antropologi Amerika. Pendapat lainnya, adalah penggunaan analogi organik dalam rangka membuat pandangan teoretis pokok, juga menjadi bah an kontroversial para antropolog Amerika ketika itu. Ada tiga konsep vital yang sering digunakan oleh Radcliffe-Brown, yaitu: proses (process), fungsi (function) dan struktur (structure). Proses sosial mengacu pada sebuah unit aktifitas sosial, sehingga regularitas proses sosial menjadi sangat penting. Proses seperti itu dianggap sebagai proses yang berlangsung secara sinkronik, yang dipertengkan dengan proses diakronik, yang mengacu pada proses perubahan yang berlangsung lama. Radcliffe-Brown mengangkat konsep fungsi dari psikologi. Ia percaya, bahwa istilah fungsi dalam ilmu sosial sama dengan istilah proses di dalam psikologi, yang menghubungkan antara struktur dengan kehidupan. Dalam kasus masyarakat, fungsinya terletak pada struktur sosial dengan kehidupan sosial. Fungsi, menurut Borwn, mengacu pada hubungan antara proses dengan struktur sosial. Dapat juga dikatakan, bahwa fungsi merupakan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



459



kontribusi sebuah elemen yang membentuk keseluruhan sistem sosial. Radcliffe-Brown dan Malinowski berbeda dalam memandang fungsi tersebut, karena Malinowski memulainya dengan kepribadian. Kepribadian secara insidental dibutuhkan oleh Radcliffe-Brown, karena ia menganggap sistem interaksi manusia lebih berharga dari pada manusianya sendiri, yang akan menjadi isu sentral bagi pendekatan fungsionalisme Borwn dalam masyarakat. Struktur (structure) mengacu pada sejumlah bahagian pengaturan organisasi. Dalam struktur sosial, bahagian kepribadian inilah yang mendorong seseorang untuk berpartisipasi di dalam kehidupan sosial, sehingga menduduki status dalam jaringan sosial (social network). Jaringan sosial terbentuk dari hubungan sosial antar manusia di dalam sebuah masyarakat, yang dikontrol oleh norma atau pola-pola. Dalam penggunaan ide struktur seperti ini, Radcliffe-Brownlah yang menjadi pemimpinnya dan itulah yang membuat Radcliffe Brown suskses dalam membangun antropologi di Inggris. D. Ekologi Budaya dan Teori Neo-Evolusi 1. Julian H. Steward Julian Haynes Steward lahir pada tanggal 31 January 1902 di Washington, D.C. dan meninggal pada tanggal 6 February 1972. Ia adalah seorang antropolog Amerika, yang terkenal dalam perannya sebagai perintis the concept and method of cultural ecology dan juga pencetus teori culture change. Ia menghabiskan waktu kecilnya di Washington, D.C., tepatnya di Monroe Street, NW dan kemudian pindah ke Macomb Street di Cleveland Park. Umur 16, Steward meninggalkan masa kanak kecilnya yang kelam di Washington, D.C. untuk mengikuti pendidikan di Deep Springs Valley, California, di Great Basin. Steward mengenyam pengalaman di sekolah barunya di Deep Springs Preparatory School (yang kemudian dilanjutkan ke Deep Springs College), di Gunung Putih memiliki pengaruh yang signifikan terhadap minat akademis dan karirnya. Keterlibatan langsung Steward dengan tanah (secara khusus, subsisten melalui irigasi dan peternakan) dan Paiute Utara yang hidup di sana menjadi katalisator untuk teori dan metode ekologi budaya114nya (Kerns 1999; Murphy 1977). Sebagai sebuah undergraduate, Steward belajar setahun di bawah bimbingan Alfred Kroeber dan Robert Lowie, setelah itu ia dikirim ke Cornell University, dimana ia kemudian menjadi sarjana pada tahun 1925 dengan predikat B.Sc dalam bidang Zoology. 114



Cultural ecology (Alan Barnar, 2004) adalah studi tentang hubungan antara budaya dan alam, terutama dalam perspektif teoretis Julian Steward.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



460



Sekalipun Cornell, seperti halnya beberapa univesitas lainnya ketika itu, tidak memiliki jurusan antropologi, namun rektornya bernama Livingston Farrand, memiliki banyak hubungan dengan seorang professor antropologi di Columbia University. Farrand menganjurkan kepada Steward, agar ia melanjutkan minatnya utamanya (atau, dalam kata Steward, dia sudah memilih jalan hidupnya life work) dalam Antropologi di Berkeley (Kerns 2003:71-72). Steward belajar di bawah bimbingan Kroeber dan Lowie di Berkeley, dimana disertasinya berjudul The Ceremonial Buffoon of the American Indian, a Study of Ritualized Clowning and Role Reversals diterima pada tahun 1929. Steward pindah ke Universitas Michigan untuk membangun jurusan antropologi, tempat ia belajar hingga 1930, saat itu diganti oleh Leslie White, pendiri konsep evolusi budaya universal, tidak setuju. Ia kemudian menjadi populer dan mendapatkan ketenaran jurusan atau ketenaran dirinya sebagai pribadi. Pada tahun 1930 Steward pindah ke Universitas Utah, yang memberi kesempatan baginya untuk menjalin kedekatan dengan Sierra Nevada dan meberi kesempatan kerja lapangan baginya dalm bidang arkeologi di California, Nevada, Idaho dan Oregon. Penelitian Stewards terfokus pada subsistence --- dinamik interaksi antara manusia dengan lingkungannya (environment), teknologi (technology), struktur sosial (social structure) dan orbanisasi pekerja (organization of work) --- sebuah pendekatan yang awalnya diperkenalkan oleh Kroeber sebagai eccentric dan innovative (Ethno Admin 2003). Pada tahun 1931, Steward, menyiapkan sejumlah uang, untuk memulai penelitiannya di Great Basin Shoshone di bawah survei auspices Kroeber berjudul Culture Element Distribution (CED). Pada tahun 1935 dia menerima tawaran dari Smithsonian’s Bureau of American Ethnography (BAE), yang kemudian menerbitkan beberapa penelitiannya yang berpengaruh. Beberapa diantaranya: Basin-Plateau Aboriginal Sociopolitical Groups (1938), yang sepenuhnya menjelaskan paradigma ekologi budaya dan menandai pergeseran dari orientasi difusi antropologi Amerika. Selama sebelas tahun Steward menjadi seorang administrator yang berpengaruh besar, untuk mengedit Handbook of South American Indians. Ia juga menduduki posisi penting di Smithsonian Institution, dimana ia mendirikan Institute for Social Anthropology pada tahun 1943. Dia juga ditugasi oleh sebuah komite untuk mereorganisasi American Anthropological Association dan memainkan peranan penting dalam pembentukan National Science Foundation. Dia juga aktif dalam pencarian arkeologis, yang sukse melobi Kongres (Congress) untuk menciptakan Committee for the Recovery of Archaeological Remains (awal dari apa yang saat ini kita kenal Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



461



salvage archaeology dan bekerja pada Gordon Willey untuk merintis proyek Viru Valley, sebuah program peneleitian ambisius berpusat di Peru. Steward mencari keteraturan lintas budaya dalam upaya membedakan hukum perubahan budaya dan budaya (laws of culture and culture change). Karyanya menjelaskan variasi dalam kompleksitas organisasi sosial, karena terbatas pada berbagai kemungkinan oleh lingkungan. Dalam istilah evolusi, ia menemukan pandangan ekologi budaya ini sebagai multilinear, berbeda dengan model tipologis yang tidak diujai yang populer di abad ke19 dan pendekatan universal oleh Leslie White. Sumbangan teoritis Steward yang paling penting muncul selama masa mengajar di Columbia (1946-53). Tahun-tahun paling produktif secara keseluruhan Steward berawal dari tahun 1946-1953, saat mengajar di Universitas Columbia. Pada saat ini, Columbia melihat masuknya veteran Perang Dunia II yang bersekolah berkat penghargaan RUU GI (GI Bill). Steward dengan cepat mengembangkan sejumlah siswa yang akan memiliki pengaruh besar dalam sejarah antropologi, termasuk Sidney Mintz, Eric Wolf, Roy Rappaport, Stanley Diamond, Robert Manners, Morton Fried, Robert F. Murphy dan mempengaruhi ilmuwan lainnya seperti Marvin Harris. Banyak dari para siswa ini berpartisipasi dalam Proyek Puerto Riko, sebuah penelitian kelompok berskala besar lainnya yang berfokus pada modernisasi di Puerto Riko. Steward meninggalkan Columbia kemudian pindah ke University of Illinois di Urbana-Champaign, di mana dia memimpin Departemen Antropologi dan terus mengajar sampai masa pensiunnya pada tahun 1968. Di sana dia melakukan studi berskala besar lainnya, yaitu: sebuah analisis komparatif mengenai modernisasi di sebelas masyarakat dunia ketiga. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam tiga jilid berjudul Contemporary Change in Traditional Societies. Steward meninggal pada tahun 1972. Selain perannya sebagai guru dan administrator, Steward paling dikenang, karena metode dan teori ekologi budayanya. Selama tiga dasawarsa pertama abad ke-20, antropologi Amerika mencurigai adanya generaliisasi dan seringkali tidak mau menarik kesimpulan yang lebih luas dari monograf yang cermat terperinci yang diproduksi oleh antropolog. Steward memegang peranan penting dari perubahan arah antropologi dari pendekatan yang lebih khusus menuju mengembangkan arah ilmiah dan nomotetis yang lebih nampak. Teorinya tentang evolusi budaya multilinear, yang intinya meneliti bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka. Pendekatan ini lebih bernuansa daripada teori evolusi universal rintisan Leslie White, yang lebih dipengaruhi oleh pemikir seperti Lewis Henry Morgan. Kepentingan Steward dalam evolusi masyarakat juga membawanya untuk memeriksa proses modernisasi. Dia adalah salah satu antropolog pertama yang meneliti cara dimana tingkat masyarakat nasional dan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



462



lokal saling terkait satu sama lain. Dia mempertanyakan kemungkinan untuk menciptakan sebuah teori sosial yang mencakup keseluruhan evolusi kemanusiaan. Selain itu, dia juga berpendapat, bahwa antropolog tidak terbatas pada deskripsi budaya spesifik. Steward percaya, bahwa dimungkinkan untuk menciptakan teori yang menganalisa budaya umum dan spesifik sebaggai perwakilan dari era atau wilayah tertentu. Sebagai faktor yang menentukan perkembangan budaya tertentu, ia menunjuk pada teknologi dan ekonomi, sambil mencatat, bahwa ada faktor sekunder, seperti; sistem politik, ideologi dan agama. Faktor-faktor ini mendorong evolusi masyarakat tertentu dalam beberapa arah pada saat bersamaan. Julian Haynes Steward dianggap sebagai kontributor penting bidang antropologi dan sebagai pemain utama dalam pengembangan dan inovasi lapangan. Dia mungkin paling dikenal, karena tulisannya tentang pengalamannya selama di Great Basin antara tahun 1918 dan 1943, di mana dia menerbitkan sejumlah catatan yang mengesankan dan menghasilkan banyak prestasi dalam karirnya (Clemmer 1999: ix). Hampir keseluruhan karier Steward yang beraneka ragam dan berkembang, umumnya dikenal dan dipuji, karena analisis sistematis dan pendekatan empirisnya terhadap bidang antropologi, serta kontribusinya terhadap penciptaan bidang ekologi budaya (cultural ecology). Karir dan pendidikan ekstensif Steward yang mengagumkan, dikombinasikan dengan kepribadian yang bulat dan beragam membuatnya menonjol sebagai partisipan dan katalisator signifikan dalam perluasan dan perkembangan bidang Antropologi yang berkelanjutan. Berlatarbelakang keilmiahan, Steward pada awalnya fokus pada ekosistem (ecosystem) dan lingkungan fisik (physical environments), tetapi selanjutnya mengalihkan perhatiannya pada bagaimana lingkungan ini dapat mempengaruhi kebudayaan (Clemmer 1999: ix). Hal terjadi selama Steward mengajar di universitas Columbia, yang berakhir hingga pada tahun 1952, yang kemudian ia tulis kontribusi penting teorinya Cultural Causality and Law: A Trial Formulation of the Development of Early Civilizations (1949), Area Research: Theory and Practice (1950), Levels of Sociocultural Integration (1951), Evolution and Process (1953) dan The Cultural Study of Contemporary Societies: Puerto Rico (Steward and Manners 1953). Clemmer menulis, Altogether, the publications released between 1949 and 1953 represent nearly the entire gamut of Steward’s broad range of interests: from cultural evolution, prehistory, and archaeology to the search for causality and cultural laws to area studies, the study of contemporary societies, and the relationship of local cultural systems to national ones (Clemmer 1999: xiv). Kita dapat melihat dengan jelas, bahwa penelitian-penelitian Steward memiliki tajuk diversity in subfields, extensive dan comprehensive dan merupakan sebuah talenta kecerIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



463



dasan hebat menyatu dalam dirinya, sehingga membentukanya sebagai antropolog brilian. Clemmer menyebutkan dua karya yang bertentangan dengan gaya khasnya dan mengungkapkan aspek yang kurang familiar terhadap karyanya, yaitu Aboriginal and Historic Groups of the Ute Indians of Utah: An Analysis and Native Components of the White River Ute Indians (1963) dan The Northern Paiute Indians (Steward and Wheeler-Vogelin 1954; Clemmer 1999; xiv). Steward berkarya dalam sebuah era yang penuh dengan perobelamatika, yang memperhadapkannya pada posisi yang sangat sulit, terutama setelah kembalinya beberapa antropolog menggunakan cultures menjadi culture. Bandul teori evolusi memang telah diayunkan sejauh mungkin, akan tetapi problem demi problem selalu membayangi kebesaran sang evolusionis. Problematika yang dihadapi Steward adalah menemukan konsep evolusi yang berterima tanpa harus menghilangkan -s dari culture(s), akibatnya Steward kurang diperhitungkan di dalam teori evolusi ketika itu. Steward mencurahkan seluruh perhatiannya pada ekologi (ecology)115, tipe budya (cultural types) dan multilinial evolusi (multilinear evolution) yang memberi pilihan anternatif para antroplog (1930-1940-an), terutama yang masih menggunakan pendekatan tradisional untuk mempelajari evolusi kebudayaan (cultural evolution). Berbeda dengan penganut evolusi klasik, karya Steward memusatkan perhatiannya pada perbedaan kebudayaan secara individual. Ia mengklaim, bahwa keseluruhan pengalaman manusia tidak pernah bisa direduksi ke dalam seperangkat pembeda tingkatan stage dalam perkembangan suatu kebudayaan. Mulitilinear evolusi, demikian Steward menyebut pendekatannya, tidak memaks akan, bahwa tingkatan pengembangan kebudayaan harus ada. Secara metodologis, hal itu berkenaan dengan regularitas dalam perubahan sosial dan memang merupakan tujuan dari sebuah hukum perkembangan kebudayaan secara empiris. Teori Multilinier evolution juga mengacu kepada pola pengembangan budaya secara paralel, yang dianggap sebagai sebuah tipe budaya (cultural types) dengan intervaliditas budayanya yang menunjukkan karakteristik berikut ini: (1) Elemen budaya kadang-kadang menyerupai sebuah elemen pilihan dari sebuah budaya daripada sebagai budaya secara keseluruhan, (2) Elemenelemen budaya seperti ini harus diseleksi dalam hubungannya dengan sebuah problem dan bentuk referensi dan (3) Elemen kebudayaan 115



Ekologi Budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam dalam perspektif budaya. Lihat Julian H. Steward (1930), yang telah memberikan kontribusi yang sangat penting dalam metode ekologi budaya, yang merupakan pengenalan, bahwa lingkungan dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tapi terlibat dalam mempengaruhi dialektika yang disebut umpan balik atau timbal balik.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



464



pilihan tersebut harus mempunyai hubungan fungsi yang sama dalam setiap kebudayaan sesuai dengan tipenya. Kelompok patrilinial merupakan hal pertama yang dianggap sebagai tipe kebudayaan oleh Steward. Berikut ini akan deberikan beberapa bentuk elemen pilihan, berikut ini: 1) patrilinial (patri-lineality), 2) patrilokal (patrilocal). 3) eksogami (exogamy), 4) kepemilikan (ownership) dan 5) kompisisi tertentu dari tipe linial (a certain type of lineage composition). Seleksi-seleksi seperti ini merupakan elemen-elemen kebudayaan, yang menurut Steward merupakan jaringan lintas budaya (cross-culturally current). Hal ini dapat ditemukan pada masyarakat Bushmen di Afrika Selatan, Australia, Tasmania, beberapa kelompok Shoshonean dan beberapa bentuk variasi kebudayaan lainnya. Inti budaya (cultural core) yang memerlukan basis dari kelompok patrilinial (patrilinial band) sebagai sebuah tipe yang dihasilkan melalui adaptasi lingkungan. Kesamaan tipe eksploitasi lingkungan pada semua anggota kelompok, mungki dapat diperbesar, sehingga tidak dapat diorganisir kategori evolosi yang luas sekalipun. Tipe budaya, selanjutnya, menjadi adaptasi budaya terhadap lingkungannya, sehingga setiap tipe budaya memrepresentasikan seperangkat level integrasi sosio-cultural. Dengan demikian, adaptasi manusia terhadap lingkungannya, cenderung berbeda dengan organisme yang lainnya. Manusia beradaptasi lebih lancar karena bantuan kebudayaannya, yang diangkat dari organismenya. Konsep Steward terhadap adaptasi budaya secara teoretis sangat penting, yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah argumentasi, bahwa hanya kebudayaan yang dapat menjelaskan kebudayaan. Kunci utama dalam adapatasi budaya adalah teknologinya, sehingga metode ekologi budaya yang dikembangkan Steward ditekankan pada teknologi. Metode tersebut mempunyai tiga aspek, berikut ini: 1) analisis dari cara produksi di dalam lingkungan harus ikut dianalisis dan 2) pola tingkah laku manusia yang merupakan bahagian dan cara ini harus dianalisis dalam rangka 3) memahami hubungan teknik produksi terhadap elemen-elemen kebudayaan lainnya. Oleh karena itu, Steward menekankan, bahwa perluasan aktifitas produksi akan mempengaruhi sebuah kebudayaan. Steward juga mempunyai pengaruh besar, baik pada pemikiran evolusi maupun pendekatan ekologi terhadap manusia. 2. Leslie A. White Leslie Alvin White lahir pada tanggal 19 January 1900 di Salida, Colorado dan meninggal pada tanggal 31 March 1975, Lone Pine, California. Ia adalah seorang Antopolog Amerika yang sangat terkenal dengan teori-teorinya: cultural evolution, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



465



sociocultural evolution dan khususnyaism, serta peranannya dalam pendirian Department of Anthropology di University of University of Michigan Ann Arbor. Beliau adalah pemimpin American Anthropological Association pada tahun 1964. Ayah White adalah seorang insinyur sipil swasta. White pertama kali tinggal di Kansas dan kemudian pindah Louisiana. Dia mengajukan diri untuk ikut wajib militer dalam Perang Dunia I, namun tidak sempat menyelesaikannya, karena ia hanya satu tahun di Angkatan Laut Amerika Serikat sebelum selanjutnya mengikuti matrikulasi di Louisiana State University pada tahun 1919. Pada tahun 1921, dia pindah ke Universitas Columbia, di mana dia belajar psikologi, mengambil gelar BA pada tahun 1923 dan MA pada tahun 1924. Sekalipun, White belajar di universitas yang sama, dimana Boas penah belajar, pemahaman White tentang antropologi masih jelas-jelas antiBoasian. Namun, minatnya bahkan dalam karirnya beragam, dia mengikuti kelas di beberapa disiplin dan institusi lain, termasuk belajar filsafat di UCLA dan psikiatri klinis, sebelum belajar antropologi dibawah bimbingan Alexander Golden-weiser di New School for Social Research. Pada tahun 1925, White mulai belajar untuk gelar Ph.D. dalam sosiologi dan antropologi di University of Chicago dan memiliki kesempatan untuk menghabiskan beberapa minggu dengan Menominee dan Winnebago di Wisconsin. Setelah proposal tesisnya yang ditempuh dengan studi kepustakaan, White kemudian melkukan kerja lapangan di Acoma Pueblo, New Mexico. Setelah mengantongi ijasah Ph.D., dia mulai mengajar di Universitas di Buffalo pada tahun 1927. Ia kemudian bakil mengeritik pandangannya, bahwa anti pendidikan Boasianya telah tertanam dalam dirinya. Pada tahun 1930, dia pindah ke Ann Arbor, di mana dia tinggal selama karirnya. Periode di Buffalo menandai titik balik dalam biografi White. Saat itulah ia mengembangkan pandangannya dalam dunia antropologis, politis, etis yang akan dijalaninya sampai akhir hayatnya. Tanggapan siswa terhadap doktrin anti-kolonial dan antirasis para pengikut Boasian yang kontroversial membuat White terpanggil untu membantu merumuskan pandangannya sendiri mengenai evolusi sosiokultural. Pada tahun 1929, dia mengunjungi Uni Soviet dan saat kembali bergabung dengan Partai Buruh Sosialis. Ia kemudian menulis artikel dengan nama samaran John Steel untuk koran mereka. White pergi ke Michigan ketika dia dipekerjakan untuk menggantikan Julian Steward, yang meninggalkan Ann Arbor pada tahun 1930. Meskipun universitas itu adalah rumah bagi sebuah museum dengan sejarah panjang keterlibatan dalam hal-hal antropologis, White adalah satu-satunya profesor di departemen antropologi tersebut. Pada tahun 1932, ia memimpin sebuah Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



466



studi lapangan di Barat Daya yang diikuti oleh Fred Eggan, Mischa Titiev dan lain-lain. Titiev itulah yang dibawa White ke Michigan sebagai profesor kedua pada tahun 1936. Sebagai murid White --- mungkin statusnya sebagai imigran Rusia juga menonjol --- Titiev cocok dengan White menjadi pasangan yang sempurna. Namun, selama Perang Dunia Kedua, Titiev ikut dalam wajib dengan belajar di Jepang. Mungkin ini membuat si sosialis marah, sehingga White dan Titiev saling membenci. Lebih banyak fakultas tidak berfungsi hingga perang usai. Hal ini diperparah dengan usulan Titiev untuk membangun Program Studi Asia Timur dan mengimpor ilmuwan seperti Richard K. Beardsley ke departemen tersebut. Dengan demikian, perpecahan para professor yang ada di dalamnya benar-benar terjadi. Sebagai seorang profesor di Ann Arbor, White melatih generasi baru yang berpengaruh. Sementara penulis seperti Robert Carneiro, Beth Dillingham dan Gertrude Dole mengikuti program White dalam bentuk ortodoksnya. Ilmuwan lain seperti Eric Wolf, Arthur Jelinek, Elman Service, Marshall Sahlins dan Napoleon Chagnon yang telah menghabiskan banyak waktunya dengan White, memisahkan dirinya untuk membentuk kelompok antropologi baru. Pandangan White diformulasikan secara khusus melawan penganut Boasian, yang secara institusional dan intelektual bertentangan. Antagonisme ini sering dilakukan dalam bentuk serangan secara pribadi. White kadang-kadang, mengolok gaya prosa Franz Boas sebagai sesuatu yang dangkal, seperti yang ditulisnya dalam American Journal of Sociology. Robert Lowie, seorang murid relativis arch-cultural dari Boas, merujuk pada karya White sebagai sebuah aliran pemikiran metafisik yang belum matang, yang dibentuk berdasarkan kekuatan obsesif fanatisme yang secara tidak sadar dapat mengelabui orang. Salah satu penyimpangan terkuat dari ortodoksi Boasian, menurut pandangan White adalah sifat antropologi dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan lainnya. White memahami dunia ini terbabagi ke dalam fenomena budaya, biologi dan fisik. Pembagian seperti itu merupakan refleksi dari komposisi alam semesta dan bukan alat heuristik belaka. Dengan demikian, White bertentangan dengan Alfred L. Kroeber, Kluckhohn dan Edward Sapir. White melihat penggambaran obyek belajar bukan sebagai pencapaian kognitif antropolog, namun sebagai pengakuan atas fenomena yang sebenarnya dan digambarkan sebagai sesuatu yang membentuk dunia. Perbedaan antara ilmu-ilmu alami dan sosial tidak selamanya didasarkan pada metode, namun pada sifat objek penelitian. Menurut White fisikawan mempelajari fenomena fisik, fenomena biologi (oleh para ahli biologi) dan fenomena budaya culturologists (istilah White). Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



467



Objek studi tidak digambarkan oleh sudut pandang peneliti atau minat (ethics), tapi metode yang dengannya dia bisa mendekati mereka (emics). White percaya, bahwa fenomena dapat dieksplorasi dari tiga sudut pandang yang berbeda: sejarah, formal-fungsional dan evolusionis (atau formaltemporal). Pandangan sejarah pada dasarnya adalah wilayah Boasian, yang didedikasikan untuk memeriksa proses budaya secara diakronis, dengan penuh cinta mencoba menembus rahasia hingga setiap fitur sejelas-jelanya. Fungsi formal, pada dasarnya, adalah pendekatan sinkronis yang dianjurkan oleh Alfred Radcliffe-Brown dan Bronisław Malinowski, yang mencoba membedakan struktur formal masyarakat dan keterkaitan fung-sional komponennya. Pendekatan evolusionis, tidak hanya pendekatan formal, generalisasi, tetapi juga diakronis, melihat kejadian tertentu sebagai contoh umum dari tren yang lebih besar. Boas mengklaim, bahwa sains mempromosikan visi budaya yang kompleks dan saling tergantung, namun White berpikir bahwa hal itu akan mendelegitimasi antropologi ketika menjadi posisi dominan, mengeluarkannya dari wacana yang lebih luas mengenai sains. White memandang pendekatannya sendiri sebagai sintesis pendekatan historis dan fungsional, karena menggabungkan lingkup pandangan diakronis dengan generalisasi untuk saling berkaitan secara formal dengan pandangan pihak lain. Jika demikian, hal itu dapat mengacu pada perkembangan budaya pada masa lampau dan masa yang akan dating, yang menjadi tugas mulia dari seorang antropolog. Akibatnya, White sering memperjuangkan evolusionis abad kesembilan belas penelitiannya yang diklaim atau dikecam tingkat keintelektualannya oleh Boasians, karena diangga hanya sebagai penelitian plagiat dari pendahulu White. Sikap ini dapat dilihat dengan jelas dalam pandangan White tentang evolusi, yang berakar dari tulisan-tulisan Herbert Spencer, Charles Darwin dan Lewis H. Morgan. Meskipun dapat dikatakan, bahwa eksposisi White tentang Morgan dan Spencer bersifat tendensius, namun dapat pula dikatakan konsep ilmu pengetahuan dan evolusi White memang berakar dari karya-karya mereka. Kemajuan dalam biologi kependudukan dan teori evolusi White, tidak seperti Steward, konsepsi tentang evolusi dan kemajuan tetap berakar kuat abad pada kesembilan belas. Bagi White, kebudayaan adalah entitas superorganis yang sui generis dan hanya dapat dijelaskan dirinya sendiri. Ini terdiri dari tiga tingkatan: teknologi, organisasi sosial dan ideologis. Setiap tingkat bertumpu pada yang sebelumnya dan meskipun mereka semua berinteraksi, namun pada akhirnya tingkat teknologinya yang menentukan, yang oleh White disebut The hero of our piece dan the leading character of our play. Faktor terpenting dalam teorinya adalah teknologi, karena sistem sosial ditentukan oleh Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



468



sistem teknologi, demikian White dalam bukunya, yang menggemakan teori Lewis Jenry Morgan. Menurut White, yang memandang kebudayaan sebagai fenomena manusia secara umum dan mengaku tidak berbicara budaya dalam bentuk jamak. Teorinya, yang diterbitkan pada tahun 1959 dalam bukunya The Evolution of Culture: The Development of Civilization to the Fall of Rome, membangkitkan kembali minat akan evolusionisme sosial dan dicatat secara mencolok di kalangan neo-evolusionis. Dia sangat percaya, bahwa budaya --- yang diartikan sebagai totalitas semua aktivitas kebudayaan manusia di planet ini --- berkembang. White membedakan tiga komponen budaya: teknologi, sosiologis dan ideologis. Dia juga berpendapat, bahwa komponen teknologi yang memainkan peran utama atau merupakan faktor penentu utama dalam volusi kebudayaan. Pendekatan materialisnya tergambar dalam kutipan berikut: manusia sebagai spesies hewan dan akibatnya kebudayaan secara keseluruhan, bergantung pada bahan, sarana mekanis penyesuaian lingkungan alam. Komponen teknologi ini dapat digambarkan sebagai bahan, mekanik, fisik dan instrumen kimia, serta cara orang menggunakan teknik tersebuk. Argumen White tentang pentingnya teknologi berjalan dengan prosedur berikut: 1. Teknologi adalah usaha untuk memecahkan masalah kelangsungan hidup. 2. Upaya ini pada akhirnya berarti menangkap cukup energi dan mengalihkannya untuk kebutuhan manusia. 3. Masyarakat yang menangkap lebih banyak energi dan menggunakannya lebih efisien memiliki keuntungan dibanding masyarakat lain. 4. Oleh karena itu, masyarakat yang berbeda ini lebih maju dalam pengertian evolusioner. Menurut citra landast pada malam hari, yang diciptakan oleh NASA dan NOAA, daerah paling terang di Bumi adalah uraban yang paling terang, namun belum tentu yang paling padat penduduknya. Bahkan lebih dari 100 tahun setelah penemuan lampu listrik, beberapa daerah tetap gelap dan gulita. Bagi White fungsi utama kebudayaan dan yang menentukan tingkat kemajuannya adalah kemampuannya untuk memanfaatkan dan mengendalikan energi. Hukum White menyatakan, bahwa ukuran untuk menilai tingkat evolusi kebudayaan adalah jumlah energi yang dapat ditangkapnya (konsumsi energi ). White membedakan antara lima tahap perkembangan manusia: Pertama, orang menggunakan energi otot mereka sendiri. Kedua, mereka menggunakan energi hewan peliharaan. Ketiga, mereka menggunakan energi tanaman (sehingga White merujuk pada revolusi pertanian di sini). Keempat, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



469



mereka belajar menggunakan energi sumber daya alam (batubara, minyak, gas dan sebagainya). Kelima, mereka memanfaatkan sumber energi lain. White memperkenalkan formula, beikut: P = ET



Note: a. E adalah ukuran energi yang dikonsumsi per kapita per tahun. b. T adalah Ukuran efisiensi dalam memanfaatkan energi yang dimanfaatkan. c. P mewakili tingkat perkembangan budaya dalam hal produk yang dihasilkan. Dengan kata-katanya sendiri: the basic law of cultural evolution was culture evolves as the amount of energy harnessed per capita per year is increased, or as the efficiency of the instrumental means of putting the energy to work is increased. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa kemajuan dan perkembangan kebudayaan dipengaruhi oleh peningkatan sarana mekanis yang dengannya energi bisa dimanfaatkan seiring dengan peningkatan jumlah energi yang digunakan. Meskipun White berhenti dengan harapan, bahwa teknologinya adalah obat mujarab untuk semua masalah yang mempengaruhi umat manusia, seperti yang dilakukan oleh para utopia teknologi. Teorinya memperlakukan faktor teknologi sebagai faktor terpenting dalam evolusi masyarakat. Hal ini serupa dengan gagasan dalam karya Gerhard Lenski, teori skala Kardashev astronom Rusia bernama Nikolai Kardashev dan beberapa gagasan tentang singularitas teknologi. Leslie A. White juga memberikan kontribusi penting dalam pemahaman kita terhadap sifat dan tujuan antropologi sebagai suatu aktifitas ilmiah. Dia menemukan sebuah hukum dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut hukum ini, ilmu pengetahuan mulai dan berkembang lebih pesat dalam area dimana tindakan manusia pada prinsipnya tidak penting dan menjadi lamban di dalam sebuah area dimana tindakan manusia menjadi rumit. Astronomi adalah area pertama menjadi sebuah ilmu pengetahauan. Ilmu budaya dimulai dan dikembangkan kemudian. Kulturologi, seperti yang disebutkan oleh White sebagai ilmu budaya (science of culture) dianggapnya sebagai langkah terakhir alam ilmu evolusi. Kulturologi sebagai studi kebudayaan, yang menurut White, dapat mengungkapkan lebih banyak tentang perilaku manusia dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu lainnya, seperti sosiologi dan psikologi. Reakasi pengikut Boas terhadap ahli-ahli komparatif dan teori evolusi begitu kuatnya, sehingga selama lebih setengah abad lamanya tidak ada teori evolusi yang dikembangkan di Amerika Serikat. Adalah White dengan teori energinya dalam kaitannya dengan teknologi dan kebudayaan, yang Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



470



membangun kembali pemikiran teori-teori evolusi di Amerika Serikat. White, berbeda dengan Steward, karena berterima pada semua jenis teori evolusi. Dialah mengusulkan penghilangan afiks /-s/ pada kata culture, serta membicarakan kembali kebudayaan dan evolusinya. White dikenal sebagai penemu landasan baru dalam teori evolusi kebudayaan. Pondasi baru dari teori evolusi ini merupakan perluasan penggunaan energi dalam kebudayaan melalui evolusi teknologi. Menurut White, bahwa sejarah peradaban manusia merupakan dasar dalam upaya mengontrol alam melalui kebudayaan. Pendekatan inilah yang menekankan penggunaan energi dalam kebudayaan melalui tekonologi dari waktu ke waktu, sehingga semakin banyak energi yang mampu diserap dari alam, semakin berkembang pula sebuah kebudayaan. Dalam formulasi teori evolosi dikatakan, bahwa pengembangan kebudayaan dapat terwujud, baik melalui penggunaan energi dari alam maupun melalui efisiensi pengembangan teknologi. White sangat yakin, bahwa penggunaan teknologi dan energi sebagai hasil proses dalam evolusi sebuah kebudayaan, memainkan peranan penting dalam penentuan organisasi sosial dan idiologi masyarakatnya. Sesuatu yang berkenaan dengan perilaku manusia yang membuatnya menjadi manusia adalah fungsi dari penggunaan simbol (symbols). Menurut White, bahwa keseluruhan perilaku manusia adalah perilaku simbolis dan hal ini merupakan satu poin yang paling dekat dengan antropolog kognitif saat ini. Simbol menurut White adalah sebuah fenomena dimana arti diberikan oleh sekelompok manusia yang menggunakan simbol itu. Tanpa simbol sepertinya manusia tidak dapat dianggap sebagai bintang berfikir (tinking animal). Jadi, kebudayaan itu sendiri, yang sangat tergantung pada simbol, tidak dapat eksis tanpa kemampuan manusia untuk menyimbolkannya. Sekalipun demikian, jangan diinterperatsikan dengan artian, bahwa White menggunakan pendekatan psikologi dalam rangka memahami peri-laku manusia. Sangat kontradiktif, memang karena White termasuk salah seorang yang menolak pembahasan kebudayaan yang dikaitkan dengan perilaku manusia secara individual melalui pendekatan superorganik, tetapi ia sendiri membahas perilaku manusia sebagai sebuah simbol. Ambil kasus, misalnya, timbulnya perbedaan perilaku manusia, yang diperlihat-kan oleh adanya perbedaan masyarakatnya merupakan sebuah hasil dari tradisi budaya. White, dalam pembahasannya mengenai symbol kembali menggunakan afiks /-s/ pada penggunaan kata cultures.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



471



3. Marshall Sahlins Marshall David Sahlins (lahir 27 Desember 1930) adalah antropolog Amerika Serikat yang menjadi profesor emeritus di University of Chicago. Ia mendapatkan gelar Bachelor dan Master dari University of Michigan tempat ia kuliah bersama Leslie White dan mendapatkan gelar Ph.D. dari Columbia University pada tahun 1954. Tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran utamanya adalah Julian Steward, Eric Wolf, Morton Fried, Sidney Mintz dan sejarawan ekonomi Karl Polanyi. Ia kemudian mengajar di University of Michigan dan aktif di dunia politik pada tahun 1960-an. Ia pernah berunjuk rasa menentang Perang Vietnam, karena Napoleon Chagnon mengeluarkan mahasiswa yang tidak mau berunjuk rasa dari program perkuliahan. Pada tahun 1968, ia menandatangani Writers and Editors War Tax Protest dan berjanji untuk menolak pembayaran pajak sebagai bentuk protes terhadap Perang Vietnam. Pada akhir 1960-an, ia mulai menetap selama dua tahun di Paris, menikmati gaya hidup intelektual Perancis, termasuk karya Claude LéviStrauss, serta terlibat dalam protes mahasiswa bulan Mei 1968. Tahun 1973, ia pindah ke University of Chicago di bawah bimbingan seorang Professor of Anthropology Emeritus di Charles F. Grey. Komitmennya terhadap aktivisme terus berlanjut sepanjang masa di Chicago, yang paling baru-baru ini menyebabkan protesnya atas pembukaan Institut Konfusius Universitas (yang kemudian ditutup pada musim gugur 2014). Pada tanggal 23 Februari 2013, Sahlins mengundurkan diri dari National Academy of Sciences sbagai memprotes seruan penelitian militer untuk meningkatkan efektivitas kelompok tempur kecil dan juga pemilihan Napoleon Chagnon. Pengundur-an diri tersebut mengikuti publikasi pada bulan memoar Chagnon dan liputan profil Chagnon di majalah New York Times. Shalins memulai karyanya di bawah bimbingan Leslie White, seorang pendukung antropologi materialis dan evolusioner di University of Michigan, tercermin dalam karya awalnya. Dalam Evolusi dan Budaya (1960), dia menyentuh bidang evolusi budaya dan neo-evolusinisme. Dia membagi evolusi masyarakat menjadi umum dan spesifik. Evolusi umum adalah kecenderungan sistem budaya dan sosial untuk meningkatkan kompleksitas, organisasi dan adaptasi terhadap lingkungan. Namun, karena berbagai budaya tidak terisolasi, ada interaksi dan difusi kualitas mereka (seperti penemuan teknologi). Hal ini menyebabkan budaya berkembang dengan cara yang berbeda (evolusi spesifik), karena berbagai elemen diperkenalkan pada mereka dalam kombinasi yang berbeda dan pada tahap evolusi yang berbeda. Moala, adalah monografi utama pertama Sahlins, mencontohkan pendekatan ini. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



472



Sekalipun ia pernah menjadi murid White, namun ternyata Shallin sangat membenci bila disebut sebagai penganut teori neo-evolusionisme. Menurutnya tidak ada kata neo dalam membahas masalah evolosi. Ia lebih suka dengan istilah evolusi unilinial (unilial evolution), yang kamudian diperlunak oleh Steward dalam karya-karyanya menjadi universal evolusi (universal evolutions) yang dihubungkan dengan tingkatan evolusi kebudayaan manusia dalam bentuk pemandangan umum. Sahlins meinta, agar kembali mengacu pada pendapat, bahwa tidak semua masyarakat melalui tingkatan pengembangan kebudayaan yang sama. Pendapat ini kemudian mendiskreditkan pendekatan evolusi unilineal yang mengatakan, bahwa kebudayaan itu melalui jalan pengembangan yang sama (unity). Dalam kasus universal evolusi, mereka menganggap hubungan antara kebudayaan yang tampak (kembali menggunakan afiks /-s/ pada kata cultures dengan tingkatan evolusi terjadi dengan tidak menentu (acak). Aspek inilah yang membuat hipotesis Sahlins tentang sepsifik dan evolusi umum menjadi terkemuka. Menurut Sahlins, bahwa baik evolusi biologi maupun evolusi kebudayaan sebenarnya berjalan pada dua arah secara bersamaan. Evolusilah yang menciptakan perbedaan dan pengembangan dari keduanya. Perbedaan (diversity) dalam evolusi mengacu pada perubahan adaptif yang melibatkan bentuk baru dari yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan pengembangan (progress) mengacu pada sebuah fakta, bahwa evolusi menciptakan bentuk yang lebih kompleks lagi. Adalah evolusi umum (general evolution) yang menyediakan dasar-dasar tingkatan dalam evolusi. Oleh karena itu, evolusi spesifik dan umum tidak dapat dianggap sebagai sebuah fakta yang berbeda, tetapi sebagai bagian dari proses evolusi itu sendiri. Evolusi spesifik mengacu pada adaptasi kebudayaan tertentu terhadap lingkungannya, yang disebut sebagai evolusi kebudayaan (cultural evolutions). Sedangkan evolusi umum mengacu pada cara pengembangan sebuah kebudayaan dalam masyarakat yang dapat memberi pertimbangan kepada kita, bahwa sebuah masyarakat jauh lebih maju (advanced) dan masyarakat tersebut dianggap telah mencapai level evolusi kebudayaan cukup tinggi. Pada tahun 1992, ia pun mengeluarkan statemen, bahwa: The world's most 'primitive' people have few possessions, but they are not poor. Poverty is not a certain small amount of goods, nor is it just a relation between means and ends; above all it is a relation between people. Poverty is a social status. As such it is the invention of civilization. It has grown with civilization, at once as an invidious distinction between classes and more importantly as a tributary relation. Sahlins (1972). Karya Sahlins selanjutnya adalah Stone Age Economics (1972) yang mengumpulkan beberapa esai utama Sahlins dalam antropologi ekonomi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



473



substansial. Sebagai lawan dari formalis, substantianti bersikeras, bahwa kehidupan ekonomi dihasilkan melalui peraturan budaya yang mengatur produksi dan distribusi barang. Oleh karena itu, pemahaman tentang kehidupan ekonomi harus dimulai dari prinsip budaya, bukan dari asumsi bahwa ekonomi dibuat Individu yang bertindak independen (rasionalsasi ekonomi). Mungkin esai Sahlins yang paling terkenal dari koleksi, The Original Affluent Society, menguraikan tema ini melalui meditasi yang diperluas tentang masyarakat hunter-gatherer. Stone Age Economics mempublikasikan keritik-kritik Sahlins terhadap disiplin ilmu ekonomi, terutama dalam bentuk Neoklasiknya. Setelah diterbitkannya Cultural and Practical Reason pada tahun 1976, fokusnya beralih ke hubungan antara sejarah dan antropologi dan bagaimana budaya yang berbeda dimengerti dan dibuat sejarahnya. Isu sentral dalam pekerjaan ini adalah masalah transformasi historis, yang pendekatan strukturalisnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara memadai. Sahlins mengembangkan konsep structure of the conjuncture untuk bergulat dengan masalah struktur dan agensi, dengan kata lain masyarakat dibentuk oleh konjungtur kompleks dari berbagai kekuatan, atau struktur. Model evolusi sebelumnya, sebaliknya mengklaim, bahwa budaya muncul sebagai adaptasi terhadap lingkungan alam. Krusial, dalam rumusan Sahlins, individu memiliki agensi untuk membuat sejarah. Kadang-kadang posisi mereka memberi kekuatan dengan menempatkan mereka di puncak hierarki politik. Pada posisi lain, struktur konjungtur, campuran kekuatan yang kuat atau kebetulan, memungkinkan orang mengubah sejarah. Unsur kesempatan dan kontingensi membuat sains dari konjungtur ini tidak mungkin, walaupun studi perbandingan memungkinkan beberapa generalisasi. Historical Metaphors and Mythical Realities (1981), Islands of History (1985), Anahulu (1992) dan Apologies to Thucydides (2004 memiliki kontribusi penting dalam antropologi historis. Karya Sahlins berjudul Islands of History memicu perdebatan penting dengan Gananath Obeyesekere mengenai rincian Kematian Captain James Cook di Kepulauan Hawaii pada tahun 1779. Inti perdebatannya adalah bagaimana memahami rasionalitas masyarakat lokal. Obeyesekere berkeras, bahwa orang-orang pribumi pada dasarnya menganggapnya sama seperti orang Barat dan khawatir mereka dilukiskan sebagai masyarakat irrational and uncivilized. Sebaliknya, Sahlins berpendapat setiap budaya memiliki jenis rasionalitas yang berbeda, yang memahami dunia dengan memusatkan perhatian pada pola yang berbeda pula untuk menjelaskan narasi budaya



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



474



tertentu. Shalins verasumsi, bahwa semua budaya mengarah pada pandangan rasional tunggal adalah sebuah bentuk etnoselisme (etnocentrism)116. Melalui sentralitas budaya selama bertahun-tahun, Sahlins membidik berbagai bentuk determinisme ekonomi (disebutkan di atas) dan juga determinisme biologis atau gagasan, bahwa budaya manusia merupakan efek dari proses biologis. Kritik utamanya tentang sosiobiologi terkandung dalam The Use and Abuse of Biology. Buku terbarunya, What Kinship Is --- And Is Not menarik benang meranya untuk menunjukkan bagaimana system kekeluargaan mengatur seksualitas dan reproduksi manusia dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain, biologi tidak menentukan system kekerabatan (kinship). Sebaliknya, pengalaman mutuality of being yang kita sebut kekerabatan merupakan fenomena budaya. Karya Marshall David Sahlins memiliki karya-karya berikut ini: 1. Sahlins David Marshal. 1958. Social Stratification in Polynesia. Monographs of the American Ethnological Society, 29. Seattle: University of Washington Press. 2. Sahlins David Marshal. 1960. Evolution and Culture, edited with Elman R Service. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1960. 3. Sahlins David Marshal. 1962. Moala: Culture and Nature on a Fijian Island. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1962. 4. Sahlins David Marshal. 1968. Tribesman. Foundations of American Anthropology Series. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1968. 5. Sahlins David Marshal. 1972. Stone Age Economics. New York: de Gruyter, 1972. 6. Sahlins David Marshal. 1976. The Use and Abuse of Biology: An Anthropological Critique of Sociobiology. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1976. 7. Sahlins David Marshal. 1976. Culture and Practical Reason. Chicago : University of Chicago Press, 1976. 8. Sahlins David Marshal. 1981. Historical Metaphors and Mythical Realities: Structure in the Early History of the Sandwich Islands Kingdom. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1981. 9. Sahlins David Marshal. 1985. Islands of History. Chicago: University of Chicago Press, 1985. 10. Sahlins David Marshal. 1992. Anahulu: The Anthropology of History in the Kingdom of Hawaii, with Patrick Vinton Kirch. Chicago: University of Chicago Press, 1992. 116



Etrocentrism (Jack David Eller, 2009: 397) is the attitude or belief that one’s own culture is the best or only one, and that one can understand or judge another culture in terms of one’s own.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



475



12. Sahlins David Marshal. 1995. How Natives Think: About Captain Cook, for Example. Chicago: University of Chicago Press, 1995. 13. Sahlins David Marshal. 2000. Culture in Practice: Selected Essays. New York: Zone Books, 2000. 14. Sahlins David Marshal. 2002. Waiting for Foucault, Still. Chicago: Prickly Paradigm Press, 2002. 15. Sahlins David Marshal. 2004. Apologies to Thucydides: Understanding History as Culture and Vice Versa. Chicago: University of Chicago Press, 2004. 16. Sahlins David Marshal. 2012. The Western Illusion of Human Nature. Chicago: Prickly Paradigm Press, 2008. 17. Sahlins David Marshal. 2012. What Kinship Is–and Is Not. Chicago: University of Chicago Press, 2012. 18. Sahlins David Marshal. 2015. Confucius Institute: Academic Malware. Chicago: Prickly Paradigm Press, 2015. Marshal David Sahlins telah memproleh banyak penghargaan semasa hidupnya, seperti berikut ini: 1. Chevalier des Arts et des Lettres (Knight in the Order of Arts and Letters), awarded by the French Ministry of Culture honorary doctorates from the Sorbonne and the London School of Economics. 3. Gordon J. Laing Prize for Culture and Practical Reason, awarded by the University of Chicago Press. 4. Gordon J. Laing Prize for How Natives Think, awarded by the University of Chicago Press 5. J. I. Staley Prize for Anahulu, awarded by the School of American Research 4. Marvin Harris Marvin Harris (lahir August 18, 1927 dan meninggal October 25, 2001). Ia adalah seorang antropolog Amerika. He lahir di Brooklyn, New York City. A prolific writer, ia memiliki pengaruh sangat tinggi dalam pengembangan materealisme kebudayaan (cultural materialism). Dalam karyanya, dia ber gabung gabung dengan Karl Marx's guna menekankan proses produksi dengan pandangan Thomas Malthus's terhadap pengaruh fakor demografi pada bagian lain system social-budaya (sociocultural system). Melabelkan faktor demografi dan produksi sebagai infrastruktur, Harris mengemukakan faktor-faktor ini sebagai kunci dalam menentukan struktur sosial (social structure) dan budaya masyarakat. Setelah mepublikasikan bukunya The Rise of Anthropological Theory pada tahun 1968, Harris membantu memfokuskan minat para antropolog dalam hubungan budayaekologi selama sisa kariernya. Banyak dari publikasinya beredar luas di kalangan pembaca awam. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



476



Selama kehidupan profesionalnya, Harris banyak memiliki pengikut dan banyak pula keritikan yang ditujukan kepadanya. Dia ruti menjadi panitia pertemuan tahunan American Anthropological Association, di mana dia akan meminta para sarjana untuk bertanya secara intens dari mibar, podium, atau bar. Dia dianggap seorang generalis, yang memiliki minat dalam proses global yang menjelaskan asal-usul manusia dan evolusi budaya manusia. Dalam bukunya yang terakhir berujdul Theory of Culture in Postmodern Times, Harris berpendapat, bahwa konsekuensi politik dari teori postmodern sangat berbahaya, sebuah kritik tajam yang kemudian dikembangkan oleh filsuf Richard Wolin dan yang lain. Karir awal Haris dilahirkan dari keluarga miskin di Brooklyn. Dia memasuki Angkatan Darat AS menjelang akhir Perang Dunia Kedua dan menggunakan pendanaan dari G.I. Bill masuk Universitas Columbia bersama dengan generasi baru antropolog Amerika pasca perang. Harris adalah seorang kutu buku yang suka menghabiskan waktunya berjam-jam di depan rak bukunya. Ia akhirnya mengembangkan sistem taruhan matematika kompleks yang cukup berhasil untuk memberikan dukungan bagi istrinya, Madelyn dan dia selama tahun-tahun sekolah di pascasarjana. Pekerjaan awal Harris adalah dengan mentornya, Charles Wagley dan penelitian disertasinya di Brazil menghasilkan studi desa yang tidak biasa yang dilakukan pada tradisi deskriptif Boasian, yang kemudian dia kecam. Setelah lulus, Harris menjadi asisten profesor di Columbia. Untuk sementara ia melakukan kerja lapangan di Mozambik pada tahun 1957. Harris mengalami serangkaian transformasi besar yang mengubah orientasi teoretis dan politiknya. Kontribusi Teoretis Pekerjaan awal Harris dimulai dalam tradisi Boasian dalam penelitian antropologis deskriptif, tetapi pengalaman lapangannya di Mozambik pada akhir 1950-an menyebabkan dia mengalihkan fokusnya dari fitur ideologis budaya ke aspek perilaku. Sejarah pemikiran antropologisnya pada tahun 1969, The Rise of Anthropological Theory secara kritis menguji ratusan tahun pemikiran sosial dengan maksud membangun pemahaman yang layak tentang budaya manusia yang oleh Harris disebut sebagai Materialisme Budaya (cultural materealism). Buku, yang dikenal sebagai RAT di antara mahasiswa pascasarjana, adalah sintesis teori makrososial klasik dan kontemporer. Materialisme budaya memasukkan dan memperbaiki kategori suprastruktur dan pangkalan Marx. Harris memodifikasi dan menguatkan konsep inti Marxis sebagai alat produksi dan eksploitasi, tetapi Harris Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



477



menolak dua aspek kunci pemikiran Marxis: dialektika, yang dikaitkan Harris ke mode intelektual waktu Marx; dan kesatuan teori dan praktik, yang dianggap Harris sebagai sikap yang tidak pantas dan merusak para ilmuwan sosial. Harris juga mengintegrasikan teori populasi Malthus ke dalam strategi penelitiannya sebagai faktor penentu utama dalam evolusi sosiokultural, yang juga kontras dengan penolakan Marx terhadap populasi sebagai elemen kausal. Menurut Harris, mekanisme utama dimana masyarakat mengeksploitasi lingkungannya terkandung dalam infrastruktur masyarakat — cara produksi (teknologi dan pola kerja) dan populasi (seperti karakteristik populasi, kesuburan dan tingkat kematian). Oleh karena, praktik semacam itu penting untuk kelang-sungan hidup itu sendiri, struktur sosial yang tersebar luas dan nilai-nilai budaya dan keyakinan harus konsisten dengan praktikpraktik ini. Untuk tujuan sains, Harris menulis: adalah penemuan jumlah maksimum pesanan dalam bidang penyelidikannya, prioritas untuk membangun teori secara logis mengendap pada sektor-sektor di bawah pembatasan langsung terbesar dari kodrat alam. Untuk memberkati suprastruktur mental (ide dan ideologi) dengan prioritas strategis, seperti yang dianjurkan oleh para penganjur ideologi budaya, adalah taruhan yang buruk. Alam tidak peduli apakah Tuhan adalah ayah yang pengasih atau kanibal yang haus darah. Tetapi alam tidak peduli apakah periode bera di ladang berpindah (tebang dan bakar) satu atau sepuluh tahun. Kami (Harris 1979, 57) tahu, bahwa hambatan yang kuat ada di tingkat infrastruktur; oleh karena itu adalah taruhan yang baik bahwa pembatasan ini diteruskan ke komponen struktural dan suprastruktur. Harris membuat perbedaan kritis antara emik dan etik, yang sangat disempurnakan sejak eksposisi di The Rise of Anthropological Theory. Istilah emik dan etik berasal dari karya Kenneth Pike, seorang misionarislinguistik, terlepas dari perbedaan konsep dengan konstruksi Harris. Seperti yang digunakan oleh Harris, emik berarti deskripsi dan penjelasan yang benar dan berarti bagi seorang informan atau subjek, sedangkan deskripsi dan penjelasan etis adalah yang digunakan oleh komunitas ilmiah untuk menerapkan dan memaksa teori-teori kehidupan sosiokulturalnya. Artinya, emik adalah perspektif peserta, sedangkan etik adalah pengamat. Harris telah menegaskan, bahwa keduanya sebenarnya diperlukan untuk penjelasan pemikiran dan perilaku manusia. Kontribusi awal Harris untuk masalah teoritis utama termasuk revisi teori surplus biologis dalam pembentukan obesitas. Dia juga menjadi terkenal, karena telah merumuskan penjelasan materialis untuk pengobatan ternak dalam agama dan budaya India. Seiring dengan Michael Harner, Harris adalah salah satu cendekiawan yang paling terkait dengan saran Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



478



bahwa Aztec kanibalisme terjadi dan merupakan hasil dari kekurangan protein dalam diet Aztec. Sebuah penjelasan muncul dari buku Harris, Cannibals and Kings. Harris juga menyerukan pencarian manusia akan protein hewani untuk menjelaskan peperangan Yanomamo, berten-tangan dengan penjelasan sosiobiologis etnografer Napoleon Chagnon yang melibatkan agresi manusia laki-laki yang bawaan. Beberapa publikasi lain oleh Harris membahas tenatng akar budaya dan materi dari tradisi makanan di banyak budaya, termasuk Sapi, Babi, Perang dan Penyihir: The Riddles of Culture (1975); Good to Eat: Riddles of Food and Culture 1998; awalnya berjudul The Sacred Crow and the Abominable Pigs dan volume yang diedit bersama, Food and Evolution: Toward a Theory of Human Food Habits (1987). Tulisan Harris Why Nothing Works: The Anthropology of Daily Life (1981); awalnya berjudul America Now: the Anthropology of a Changing Culture menerapkan konsep-konsep dari materialisme budaya ke penjelasan perkembangan sosial seperti itu di akhir abad ke-20 Amerika Serikat sebagai inflasi, masuknya sejumlah besar angkata kerja wanita ke dalam dunia kerja, stabilitas perkawinan tidak terjamin dan produk yang jelek. Karya Haris berjudul Our Kind: Who We Are, Where We're From, Where We Are (1990) memberi kontribusi luas dalam evolusi fisik dan budaya manusia, menawarkan penjelasan provokatif dari subyek seperti transseksualisme manusia dan nontransseksualisme dan asal-usul ketidaksamaan. Akhirnya, karya Harris 1979, Cultural Materialism: The Struggle, diperbarui dan dirilis ulang pada tahun 2001, menawarkan kemungkinan pernyataan materialisme budaya yang paling komprehensif. Sebuah artikel terpisah memuat banyak dan beragam publikasi Marvin Harris. Sementara itu, kontribusi Harris terhadap antropologi sangat luas. Hampir semua antropolog dan pengamat lain memiliki pendapat yang hampir sama tentang Dr. Harris, dengan konsep mengapa orang berperilaku seperti yang mereka lakukan. Majalah Smithsonian menyebutnya sebagai salah satu antropolog paling kontroversial yang hidup. The Washington Post menggambarkannya sebagai pusat badai di ladangnya dan Los Angeles Times menuduhnya berasumsi berlebihan. Harris bisa mengkriitik pedas teori lain dan sering mendapat balasan. Dalam dekade terakhir hidupnya, ia terlibat dalam pertempuran berjalan dengan para postmodernis yang menurutnya memiliki pengaruh besar dalam antropologi di bagian akhir abad ke-20. Harris menerima gelar MA dan PhD dari Universitas Columbia, yang pertama pada tahun 1949 dan yang terakhir pada tahun 1953. Dia melakukan kerja lapangan di Brasil dan berbahasa Portugis Afrika sebelum bergabung dengan fakultas di Columbia. Dia akhirnya menjadi ketua Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



479



departemen antropologi di Columbia. Selama pendudukan kampus mahasiswa Columbia tahun 1968, Harris adalah salah satu dari beberapa pemimpin fakultas yang memihak siswa ketika mereka diancam dan dipukuli oleh polisi. Selama 1960-an dan 1970-an, ia adalah penduduk Leonia di New Jersey. Harris selanjutnya bergabung dengan departemen antropologi Universitas Florida pada tahun 1981 dan pensiun pada tahun 2000, menjadi Profesor Penelitian Antropologi Profesor Emeritus. Harris juga menjabat sebagai Ketua Divisi Antropologi Umum Asosiasi Antropologi Amerika. Harris adalah penulis tujuh belas buku. Dua buku teks kuliahnya, Budaya, Orang, Alam: Sebuah Pengantar Antropologi Umum dan Antropologi Budaya, diterbitkan dalam tujuh edisi. Penelitiannya mencakup topik ras, evolusi dan budaya. Dia sering fokus pada Amerika Latin dan Brasil, tetapi juga fokus pada Islas de la Bahia, Ekuador, Mozambik dan India. Karya Marvin Harris merupakan episode akhir dari kontribusi Morgan dalam teori antropologi, yaitu pendekatan materialis terhadap masyarakat. Penyederhanan konsep berdasarkan pada pertimbangan orangorang yang menolak metode komparatif atau yang desebut oleh Marvin Harris sebagai materialisme kebudayaan (cultural materialism) merupakan versi metode kontemporer saat ini dalam memahami masyarakat. Penyederhanaan tersebut dalam karya Harris terletak pada, baik metodologis maupun karakter analisisnya, serta menghadirkan pengembangan-pengembangan dalam antropologi melalui pendekatan materealisme kebudayaan. Pengembangan seperti ini mengacu pada studi folkIor sebagai suatu bentuk peninjauan kembali teori (theoretical apdating), sehingga Harris mampu menduduki posisi yang sama dengan Morgan atau White dalam parameter antroplogi akhir abad kedua puluh. Penyederhanaan konsep yang paling penting adalah pandangannya terhadap pendekatan emik (emic) dan dan etik (etic) dalam penelitian antroplologi. Pedekatan inilah yang mampu membedakan meterialisme kebudayaan dari pendekatan teori lainnya. Menurut Harris, emik (diambil dari fonemik) dapat membuat karakterisasi strategi dalam antropologi yang didasarkan pada pandangan sendiri terhadap kebudayaan. Jadi, seseorang dapat berasumsi dan menghadirkan sebuah strategi hermeneutika 117 dalam analisis kebudayaan. Hal ini bertetangan dengan etik (dari phonetik) yaitu metode yang melihat kebudayan 117



Hermenuitika menurut Smith (1990: 136) adalah the original meaning of this term is the interpretation of sacred texts. It has been extended within philosophy and the social sciences to mean the interpretation of or the search for meaning in texts, in human existence, in society, and so on. hle philosopher Martin Heidegger employed the term to mean the understanding of the world as the object of human thougtu and action. Hans Georg Gadamer (1979) proposed hermeneutics as a method for tile social sciences, in opposition to cientism.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



480



dari luar dan oleh karena itu mengunakan pendekatan obyektif dan pendekatan ilmiah. Aspek lain dari karya Harris adalah umumnya berkarakter nonevolusi. Berbeda dengan ahli-ahli evolusi lainnya yang tertarik dalam pengembangan sebuah kebudanyaan, Harris tidak tertarik untuk menjelaskan bagaiman sebuah kebudayaan dapat berkembang. Dia lebih tertarik dalam menjelskan karakter pengembangan kebudayaan tertentu dalam suatu masyarakat melalui pengunaan pendekatan etik dan aplikasi dari konsep materialisme kebudayaan (cultural materealism). Harris tertarik dalam meneliti dan menemukan jawaban pertanyaan seperti kenapa orang India tidak makan lembu? Ini merupakan pertanyaan khusus mengenai sebuah karakter kebudayaan secara spesifik dan bukan merupakan isu dalam evolusi kebudayaan secara global. Dapat juga dikatakan, bahwa hal itu merupakan pertanyaan yang berkenaan dengan evolusi dan adaptasi secara spesifik. Harris mendekati hal ini dan problematika lainnya melalui pendekatan etik yaitu ia melihat dasar-dasar keobyektifan dan memberikan alasan meterialis terhadap fenomena yang ada. Jika, kita menggunakan kebudayaan yang kita miliki untuk menjawab pertanyaan di atas sudah barang tentu salah dan karena itu tidak dapat diterima. Orang india tidak memakan daging, karena alasan ekonomi, bukan agama. Memakan daging berarti memutus suplai susu dari berkurangnya binatang peliharaan secara drastis. Alasan agama merupakan representasi dari alasan emik dalam kebudayaan orang India yang tidak memakan daging. Pendekatan inilah mungkin yang secara umum digunakan oleh ahli-ahli materialsme kebudayaan lainnya dan merupakan ciri pembeda dengan pendekatan lain yang menggunakan prinsip etik dan emik dalam analisis kebudayaannya. E. Simbolisme dan Strukutralisme 1. E. E. Evans-Pitchard Sir Edward Evan Evans Pritchard lahir pada tanggal 21 September 1902 di Crowborough, East Sussex, England dan meninggal pada tanggal 11 September 1973 di Oxford. Ia adalah anak laki-laki dari Anglican Clergyman. He converted to Roman Catholicism in 1944. Ia dikenal sebagai seorang antropolog Inggris yang berperan penting dalam pengembangan antropologi sosial. Pritchard merupakan Professor Antropologi Sosialdi University of Oxford dari tahun 1946 sampai 1970. Evans-Pritchard menempuh pendidikan di Winchester College dan mempelajari sejarah di Exeter College, Oxford, di mana dia telah dipengaIlmu Budaya: Sebuah Pengantar



481



ruhi oleh R. R. Marett dan kemudian melanjutkan pendidikan pascasarjana di London School of Economics (LSE). Ia banyak dipengaruhi oleh Bronislaw Malinowski dan Charles Gabriel Seligman, pelopor etnografi di Sudan. Penelitian lapangan pertamanya dimulai tahun 1926 dengan meneliti Azande, masyarakat yang hidup di dekat Sungai Nil, yang menghasilkan penelitian doktor dan buku Witchcraft, Oracles, and Magic Among The Azande (di 1937). Evans Pritchard melanjukan mengajar di LSE dan melakukan penelitian lapangan di Azande dan dataran Bongo hingga tahun 1930, dimana ia melakukan proyek penelitian barunya pada suku Nuer. Karya ini bertepatan dengan pengangkatannya di Universitas Kairo pada tahun 1932, di mana dia memberikan serangkaian ceramah tentang agama yang memberi pengaruh Seligman. Setelah kembali ke Oxford, ia melanjutkan penelitiannya tentang Nuer. Pada periode inilah dia pertama kali bertemu dengan Meyer Fortes dan A. R. Radcliffe-Brown. EvansPritchard mulai mengembangkan program fungsionalisme struktural Radcliffe-Brown. Akibatnya, trilogi karya Nuer (Nuer, Nuer Religion, and Kinship and Marriage Among the Nuer) dan volume yang dia tulis berjudul African Political Systems mulai dipandang sebagai karya klasik antropologi sosial Inggris. Sihir Evans-Pritchard, Witchcraft, Oracles and Magic Among the Azande adalah sumbangan antropologis utama pertama terhadap pengetahuan sosiologi melalui sifat netralnya --- beberapa orang akan mengatakan relativis --- sikap terhadap kebenaran kepercayaan Zande tentang sebabakibat. Karya empiris Evans-Pritchard dalam vena ini menjadi terkenal melalui diskusi sains dan perdebatan rasionalitas pada tahun 1960an dan 1970an yang melibatkan Thomas Kuhn dan terutama Paul Feyerabend. Selama Perang Dunia Kedua Evans-Pritchard bertugas di Ethiopia, Libya, Sudan dan Suriah. Di Sudan dia mengangkat pasukan tidak beraturan di antara orang Anuak untuk mengganggu orang-orang Italia dan terlibat dalam perang gerilya. Pada tahun 1942 dia dikirim ke Administrasi Militer Inggris Cyrenaica di Afrika Utara dan berdasarkan pengalamannya di sana, dia menghasilkan The Sanusi of Cyren. Dalam mendokumentasikan perlawanan lokal terhadap penaklukan Italia, dia menjadi salah satu dari beberapa penulis berbahasa Inggris yang menulis tentang tarekat (tariqa). Setelah menjalani tugas singkat di Cambridge, Evans-Pritchard menjadi profesor antropologi sosial di University of Oxford dan Fellow All Souls College. Dia tetap di All Souls College selama sisa karirnya. Di antara mahasiswa doktoral yang dia sarankan adalah almarhum M. N. Srinivas, para doyen118 di antara sosiolog India yang menciptakan beberapa konsep kunci 118



Doyen and doyenne (Oxford English Dictionary 2nd Ed. 1998) surnames derived from the French word doyen (doyenne in the feminine grammatical gender), which is the term for dean, e.g., Dean (religion) and Dean (education). In the English language, the meaning of doyen (and



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



482



dalam wacana sosiologis India, termasuk Sanskritization, dominant caste dan vote bank. Salah satu muridnya adalah Talal Asad, yang sekarang mengajar di City University of New York. Purity and Danger Maria Douglas yang klasik atas polusi dan ketidakpastian --- apa yang sering kita sebut sebagai risiko --- secara fundamental dipengaruhi oleh pandangan Evans-Pritchard tentang bagaimana tuduhan, kesalahan dan tanggung jawab dikerahkan meskipun konsepsi sial (misfortune) dan malapetaka (harm) yang spesifik secara budaya. Karya Evans-Pritchard kemudian lebih teoritis, memanfaatkan pengalamannya sebagai antropolog untuk berfilsafat tentang sifat antropologi dan bagaimana cara terbaik untuk dipraktekkan. Pada tahun 1950 ia terkenal menolak pandangan umum, bahwa antropologi adalah ilmu pengetahuan alam. Ia beralasan, bahwa ia harus dikelompokkan di antara humaniora, terutama sejarah. Dia berpendapat, bahwa isu utama yang dihadapi antropolog adalah salah satu terjemahan --- menemukan cara untuk menerjemahkan pemikirannya sendiri ke dalam dunia budaya lain. Dengan demikian, ia berhasil memahaminya dan kemudian untuk menerjemahkan pemahaman ini kembali untuk menjelaskannya kepada orang-orang, dari budaya sendiri. Pada tahun 1965, ia menerbitkan karya-karya Theories of Primitive Religion yang sangat berpengaruh, yang menentang teori-teori yang ada tentang apa yang pada waktu itu disebut praktik keagamaan primitif. Dengan berdebat sepanjang karya teorinya di tahun 1950an, dia mengklaim bahwa antropolog jarang berhasil memasuki benak orang-orang yang mereka pelajari dan memberi motivasi kepada mereka yang lebih sesuai dengan budaya mereka sendiri, bukan yang mereka pelajari. Dia juga berpendapat, bahwa orang-orang percaya dan orang-orang yang tidak beriman mendekati studi agama dengan cara yang sangat berbeda, dengan orang-orang yang tidak beriman lebih cepat muncul dengan teori biologis, sosiologis, atau psikologis untuk menjelaskan agama sebagai ilusi dan orang-orang percaya lebih cenderung datang dengan teori yang menjelaskan agama sebagai metode konseptualizing dan berhubungan dengan kenyataan. Dikenal dengan teman dan keluarganya sebagai EP (singkatan dari Evans-Pritchard) memiliki lima anak dengan istrinya bernama Ioma. Putra bungsunya, Ambrose Evans-Pritchard, adalah seorang bekas koresponden asing di Amerika Latin, Amerika Serikat dan Eropa dan menjadi Editor Bisnis Internasional untuk London Daily Telegraph. Putrinya yang lebih muda, Deirdre Evans-Pritchard, PhD, adalah seorang ahli dalam studi cerita the less common doyenne) has extended from the French definition to also refer to any senior member of a group, particularly one whose knowledge or abilities exceed those of other members.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



483



rakyat dan studi Timur Tengah. Dia adalah penerima Fulbright Fellowship. Putri sulungnya, Shineen Evans-Pritchard, adalah seorang pengusaha. Dia juga memiliki dua anak lainnya, yaitu anak kembar: Nicky Evans-Pritchard, yang bekerja di komputer dan John Evans-Pritchard, seorang guru ekonomi dan penulis beberapa buku. 1. 1937 Witchcraft, Oracles and Magic Among the Azande. Oxford University Press. 2. 1940a The Nuer: A Description of the Modes of Livelihood and Political Institutions of a Nilotic People. Oxford: Clarendon Press. 3. 1940b The Nuer of the Southern Sudan. in African Political Systems. M. Fortes and E.E. Evans-Pritchard, eds., London: Oxford University Press., p. 272-296. 4. 1949 The Sanusi of Cyrenaica. London: Oxford: Oxford University Press. 5. 1951a Kinship and Marriage Among the Nuer. Oxford: Clarendon Press. 6. 1951b Kinship and Local Community among the Nuer. in African Systems of Kinship and Marriage. A.R. Radcliffe-Brown and D. Forde, eds., London: Oxford University Press. p. 360–391. 7. (July 1953), The Sacrificial Role of Cattle among the Nuer (PDF), Africa: Journal of the International African Institute, Edinburgh University Press, 23 (3): 181–198, retrieved 20 November 2011 8. 1956 Nuer Religion. Oxford: Clarendon Press. 9. 1962 Social Anthropology and Other Essays. New York: The Free Press. BBC Third Programme Lectures, 1950. 10. 1965 Theories of Primitive Religion. Oxford University Press. 11. 1967 The Zande Trickster. Oxford: Clarendon Press. 12. 1971 La femme dans les societés primitives et autres essais d'anthropologie sociale. Paris: Presses Universitaires de France. 13. (1971), Sources, with Particular Reference to the Southern Sudan, Cahiers d'études africaines, 11 (41): 129–179, retrieved 20 November 2011. Beberap penghargaan akademik diterima oleh Evans-Pritchard, dalam karya dan dedikasinya terhadap perkembangan antropolgi. Dia adalah seorang profesor antropologi sosial di Oxford dan rekan All Souls College dari tahun 1946 hingga 1970. Ia kemudian menjadi subwarden dari tahun 1963 hingga 1965. Evans-Pritchard menjadi ksatria pada tahun 1971. Pada tahun 1972, sebuah Festschrift disiapkan untuknya, berjudul Essays in Sudan Ethnography: presented to Sir Edward Evans-Pritchard: disajikan kepada Sir Edward Evans-Pritchard. Setelah mempelajari sejarah modern di Universitas Oxford, EvansPritchard melakukan pekerjaan pascasarjana dalam antropologi di London School of Economics and Political Science. Dia kemudian melakukan kerja lapangan di antara Zande dan Nuer (sekarang Sudan Selatan). Dua buku Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



484



tentang orang-orang ini, Witchcraft, Oracles, and Magic Among the Azande (1937) and The Nuer (1940), mampu mengangkat reputasinya. Pada 1940 ia dan Meyer Fortes mengedit sejumlah esai, African Political Systems, yang merevolusi studi perbandingan pemerintah. Meskipun Evans-Pritchard selamak hidupnya adalah seorang penulis yang produktif, terutama pada kekeluargaan, agama dan sejarah antropologi, tulisan-tulisannya kemudian dikalahkan oleh karyanya sebelumnya. Tulisan-tulisannya yang belakangan sering menjadi esai teoritis dan kuliah tentang hubungan antara antropologi dan ilmu sosial lainnya. Hal ini menunjukkan tingkat keilmuan yang sangat dalam, tetapi seringkali kontroversial dan berbeda dari yang tren saat itu. Akan tetapi, pengaruhnya sebagai guru pada akhir hidupnya cukup besar, karena di bawah bimbingannya sekolah Oxford antropologi sosial menarik siswa dari berbagai belahan dunia; dan dia mensponsori kerja lapangan di Afrika dan di tempat lain sebagai anggota the Colonial Social Science Research Council. Evans-Pitchard, dalam esai berikut ini, mengutip Mitland yang sering melontarkan aporisme, bahwa suatu ketika antropologi akan diperhadapkan pada pilihan: apakah menjadi sejarah atau tidak. Roda kebentungan akan berputar terus, sehingga beberapa dekade sejarah harus menjadi wilayah kajian antropologi. Mereka memang tidak sama dalam segala hal, tetapi mereka mempunyai beberapa bentuk kemiripan. Esei ini dimulai dengan sebuah review dari antropoiogi sejarah dan selanjutnya melakukan peresentasi sebuah pandangan antropologi yang abadi dan keabadian inilah yang mendapat serangan. Untuk memakai model ilmu alam dalam ilmu perilaku, menurut Evans-Pitchard, adalah sangat sedikit menuai keritikan. Dia juga menambahkan, bahwa tidak ada bahasa Eropa lainnya dalam hal ini yang memungkin pertentangan, seperti yang hampir selalu terjadi di dalam bahasa Inggris, apakah antropologi sebagai suatu bidang ilmu (science) atau tidak. Kadang-kadang, di dalam bahasa Jerman diartikan sebagai unssenschaft. Ketika Evans-Pitchard membicarakan masyarakat sebagai suatu bentuk sistem moral (moral sysytem) dan ketika ia mengklaim untuk menjadi ahli humaniora daripada ahli ilmu alam, dia tidak mejandikan antropologi sebagai studi mistik atau ia jauh dari unssenschaft. Dengan demikan, ia mengubah kereteria dirinya menjadi orang sukses dalam antropologi yang telah menjadi keputusannya sendiri. Esei ini sebelumnya pernah diusulkan sebagai salah satu bentuk pemikiran yang diterima di dalam dunia antropologi. Beberapa tahun kemudian, khususnya dalam arkeologi kontemporer pada tahun 1960-an dan sebelum tahun 1970-an, pemikiran ini menjadi pembahasan yang cukup menarik. Evans-Pitchard menekakankan, bahwa banyak masyarakat dunia pernah diketahui dan harus dipelajari melalui metode historis. Metode-metode dan Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



485



tujuan seperti itu hanya berbeda dalam detailnya dan dalam aktifitas para ahli metode antropologi klasik. Mungkin Maitland dan orang-orang besar lainnya setuju dengan parafsiran kita; bahwa jika sejarah dan antropologi tidak digabungkan, maka keduanya akan berdiri sendiri. 2. Claude Levi-Strauss Levi Strauss lahir di Buttenheim, Jerman, pada 26 Februari 1829, di wilayah Franconian di Bavaria, Jerman, ke sebuah keluarga Yahudi Ashkenazi. Dia adalah putra Hirsch Strauss dan istri keduanya, Rebecca Strauss. Pada usia 18 tahun, Strauss, ibunya dan dua saudara perempuannya pergi ke Amerika Serikat untuk bergabung dengan saudara-saudaranya Jonas dan Louis, yang telah mulai mendirikan pasar grosis di New York City bernama J. Strauss Brother & Co Karya Levi-Strauss yang cukup besar. Strauss sangat membingungkan dan sangat sulit untuk menangkap ide-ide pokok dalam pekerjaannya. Dia menyebut apa yang dilakukannya adalah structuralism (structuralism). Meskipun demikian, strukturalisme bukan sebagai suatu bidang studi yang dimonolopoli oleh beberapa ahli, termasuk Strauss yang tidak pernah mau memonopoli kajian structural dalam antropologi tersebut, sekalipun ide-ide pokoknya jauh lebih tua dibandingkan dengan yang lainnnya. Ilmuan seperti A. R. Radcliffe-Brown, George Peter Murdock dan banyak lagi ahli lainnya menggunakan konsep struktur (structure) berbeda dengan yang digunakan oleh Strauss. Aspek utama dari pekerjaan Levi-Strauss dapat disimpulkan kedalam tiga poin berikut: (1) social anthropology and alliance theory, (2) human cognition and mental processes, and (3) structural aspects of mythology. Kontribusi teorinya terhadap antropologi memang sang at banyak dan penting. Yang paling tekenal dalam hal ini adalah teori aliansi (alliance theory). Teori aliansi ini menekankan pentingnya pernikahan dalam sebuah masyarakat, yang dipertentangkan dengan pentingnya keturunan (descent). Premis utamanya, bahwa penyerahan perempuan kepada kaum laki-laki dalam sebuah masyarakat mampu menghasilkan sejumlah solidaritas sosial dan merupakan pertukaran yang paling bernilai dalam kehidupan seluruh anggota masyarakat ini. Levi-Strauss mengklaim, bahwa regulasi pernikahan melalui aturan kebudayaan atau pemilihan dan usaha untuk pernikahan menciptakan iring-iringan (flow) dalam masyarakat. Iring-iringan seperti ini disertai dengan pemberian kado, membentuk ikatan kekeluargaan dalam masyarakat yang bersangkutan. Analisisnya tentang perkawainan sumbang (incest taboo) juga sangat menarik. Ia menganggap tabu tidak ubahnya dengan jaringan antara sifat alamiah dengan kebudayaan manusia. Melalui hal ini, menurut dia, sifat alamiah dapat melampaui dirinya sendiri dan membentuk kebudayaan, sehingga dorongan seks seseorang dapat diatur Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



486



memalui kebudayaan. Hasilnya adalah manusia akan kehilangan sifat kebinatangnannya dan menjadi budak atau tunduk kebudayaan. Aspek kedua dari kerja Levi-Strauss berkenaan dengan proses mental manusia, yang mungkin sama dalam semua kebudayaan, tetapi dalam manifestasinya sangat mungkin pula berbeda. Kesatuan proses mental seperti itu muncul dari dalam otak manusia dalam rangka pemakaiannya. Sebagai hasil dari unitas klasifikasi dari keragaman masyarakat primitif sama ketika orang lain juga melakukannya. Fakta menunjukkan, bahwa manifestasi dari klasifikasi ini mungkin berbeda alah tidak terlalu relevan bagi Strauss. Levi-Strauss juga bekerja dalam mitologi, yang paralel dengan pekerjaan sebelumnya tentang mental proses, yang menemukan ketidaksadaran (unconscious), tetapi tersusun di dalam regularitas pemikiran manusia. Kadang-kadang karakteristik struktur memungkinkan kita untuk melakukan studi tentang mitologi. Dengan menggunakan analisis struktur mitologi memungkinan untuk mereduksi materi pada sebuah proposisi yang dibentuk sebagai hasil dari penyatuan pandangan. Tanpa sebuah reduksi untuk mengacak tumpukan materi mitologi, kesempurnaan dalam analisis mitologi sangat sulit untuk dilakukan. Dengan demikian, melalui reduksi tersebut studi lintas budaya (cross-cultural study) terhadap mitologi menjadi mungkin. Tetapi apa itu struktur? Levi-Strauss setidak-tidaknya telah menyediakan definisi buat kita. Pertama untuk seluruhnya, bahwa struktur itu tidak nyata dan manifestasinya tidak riel, karena hal itu hanya berupa modelmodel kognitif dari sebuah kenyataan. Jadi, kalau begitu struktur-struktur dapat ditemukan sebagai model-model mental, baik di alam pikiran orang primitif maupun para ilmuan. Model struktur seorang ilmuan berguna untuk memahami hal-hal khusus dalam studinya, sementara model struktur mental orang primitif atau modern dapat berupa kesadaran atau ketidaksadaran, yang dapat membantu mereka bertahan hidup dalam kesehariannya. Menurut Levi-Strauss, bahwa manusia mampu memahami keragamannya dan orientasi perilakunya berdasarkan pada struktur mentalnya. 3. Victor Tunner Victor Witter Turner lahir pada tanggal 28 May 1920 di Glasgow, Scotland dan meninggal pada tanggal 18 December 1983) Charlottesville, Virginia. Ia adalah anggota British cultural anthropologist dan paling dikenal dengan studinya tentang symbols, rituals dan rites of passage. Pekerjaannya, selain Clifford Geertz dan yang lainnya, sering disebut sebagai symbolic and interpretive anthropology. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



487



Victor Turner adalah kelahiran Glasgow, Scotland, putra dari Norman dan Violet Turner. Ayahnya adalah seorang insinyur elektro dan ibunya sebagai repertory actress yang mendirikan Scottish National Players. Turner pada awalnya belajar puisi dan klasik di University College London. Pada tahun 1941, Turner terdaftar wajib militer dalam World War II dan bekerja sebagai noncombatant hingga tahun 1944. Selama tiga tahun mengikuti wajib militer, Turmer bertemu dan menikahi Edith Turner dikaruniahi anak: Robert Turner seorang ilmiawan, Frederick Turner sastrawan dan Rory Turner seorang professor antropologi di Goucher College. Dia kembali ke University College tahun 1946 dengan fokus baru di bidang antropologi. Ia kemudian lulus sebagai sarjana antrolpogi di Universitas Manchester . Pekerjaan Turner sebagai seorang peneliti di Rhodes-Livingstone Institute. Melalui poisisinya tersebut, Turner memulai penelitian panjang di suku Ndembu di Zambia. Ia menyelesaikan PhD pada tahun 1955. Seperti halnya dengan beberapa antropolog Manchester pada zamannya, Turner juga fokus pada malasah konflik (conflict) dan menciptakan konsep baru tentang sosiologi drama (social drama)119 sebagai simbil konflik dan resolusi konflik diantara desa-desa yang ada di Ndembu. Turner meluangkan banyak waktu untuk meneliti masalah ritual. Sebagai seorang profeso di Universitas Chicago, Turner memulai untuk mengaplikasikan studinya tentang rituals and rites of passage untuk mendukung para agamawan dan pejuang agama di dunia ini. Ia dan istrinya bergabing ke dalam agama Katolik pada tahun 1958. Meraih beasiswa Robert Thompson, Turner lebih awal belajar BA dalam Sastra Inggris di University College, London (1938-1941) dan kembali mengikuti Perang Dunia II untuk mengikuti gelar BA dalam Antropologi Sosial (selesai pada 1949). Seperti yang ditemukan di monograf utama dan banyak esai, formulasinya yang berpengaruh pada nilai ontologis simbolisme ritual, liminitas dan budaya dibentuk oleh hasrat seumur hidup untuk puisi, drama klasik dan drama panggung. Berpengaruh adalah prosesualisme dialektis Max Gluckman, yang memimpin Antropologi Sosial di Universitas Manchester dan menyarankan disertasi PhD Turner tentang organisasi sosial suku Ndembu di Rhodesia Utara (sekarang Zambia) (selesai pada 1955). Sementara Turner menempuh jalan di luar analisis Manchester School dan Neo-Marxis, dia mengubah perspektif strukturalfungsionalis dalam ketertinggalannya secara universal dalam kinerja manusia dan nasib agama dalam budaya pasca-industri. Keberangkatan dari struktur sosial menuju makna bertepatan dengan kepindahan ke Amerika Serikat, di mana Turner menerima sebuah penunjukan sebagai Profesor 119



Alan Barnard (2004) social drama is Turner’s characterization of a ritual process, such as a pilgrimage or a rite of passage, with precrisis and post-crisis phases.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



488



Antropologi dan Ketua Komite Studi Afrika di Cornell University di Ithaca, New York (1964-1968), memegang jabatan profesor di bidang antropologi di Amerika Serikat setelahnya. Selama hidupnya di Amerika Serikat, Turner memotong giginya sebagai esai ikonoklastik dan orator terampil yang berkisar pada berbagai disiplin ilmu. Sementara karir etnografi Turner dimulai di Afrika yang merumuskan model drama sosialnya, penyelidikan selanjutnya termasuk ziarah Kristen di Meksiko dan Irlandia (sebagai seorang Katolik yang mempraktikan), genre sastra dan pertunjukan Jepang, lokakarya teater Off-Off New York yang eksperimental dan Carnaval di Rio. Ini dan banyak genre kinerja postindustrial lainnya atau drama budaya dipahami melalui analisis prosesnya, yang menjadi bagian integral dalam pembentukan Studi Kinerja. Rekan dan rekan risetnya yang paling intim adalah istri Edith Turner, yang dinikahinya pada tahun 1943, dengan siapa dia memiliki lima anak dan yang akhirnya menjadi antropolog terhormat atas dirinya sendiri. Sambil menarik kontroversi untuk universalisme terbuka dan posisi teologisnya, gagasan Turner tetap menarik dalam studi tentang kinerja budaya kontemporer. Sepeninggal, jandanya bernama Edith Turner melanjutkan dalam kariernya selaku antropolog. Ia mengembangkan konsep-konsep Victor Turner Anthropology of experience dengan mendirikan komunitas penerbit. Turner mencoba menganalisa pendapat Arnold van Gennep, yang membagi ritual dalam tiga struktur rites of passage dan mengembangkan teori liminal phase. Teori Van Gennep berisi: pre-liminal phase (separation), liminal phase (transition) dan post-liminal phase (reincorporation). Turner menandai, bahwa dalam liminality, transisional harus ditetapkan melalui dua fase, individu berada di betwixt dan between: mereka belum memiliki kempok dimana sebelumnya menjadi bagian dari kelompoknya dan mereka belum terinkorpasi kedalam kelompok itu. Liminality adalah sebuah limbo, sebuah periode yang dibentuk oleh humility, seclusion, tests, sexual ambiguity, and communitas. Itulah sebabnya, mengapa Turner juga ditetapkan sebagai ethnographer dan banyak menghsilkan penelitian tentang ritual. Victor Turner, sebenarnya memberi pengaruh kepada beberapa ilma, namun salah satu diantaranya adalah Author Chuck Palahniuk telah kagum dengan Turner dan disebut-sebut sebagai The Believer, mengatakan, bahwa So often what I’m doing is dramatizing the writings of Victor Turner, who wrote a lot about liminal and liminoid events, anthropology, religious and theological studies, to cultural, literary, and performance studies, to folklore, literary criticism, and neurosociology. Antropologi sudah lama tertarik di dalam sifat struktur sosial dan hubungannya dengan kepribaelian. Karya Spencer dan Durkheim mengilustrasikan betapa seriusnya permasalahan yang ada di dalam antropologi Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



489



kognitif. Spencer menggunakan superorganik 120 dalam menggambarkan pandangannya dalam hubungan seperti ini, sementara Durkheim menggunakan konsep solidaritas. Kedua ilmuan ini hidup di era dimana konsep culture tidak digunakan. Dua konsep yang eligunakan oleh Turner, yaitu liminality dan communitas, membawa kita kembali pada masalah hubungan antara kepribadian (individuals) dan struktur sosial (social structure). Sebuah pemahaman dari kedua istilah ini menjadikan pendekatanTurner kuat di dalam dunia antropologi. Turner memulai pekerjaannya dengan mengikuti konsep Gennep tentang upacara peralihan (rite of passage) yang menyertai setiap perubahan status yang diterima oleh seseorang, baik dengan alasan kebudayaan maupun dengan perubahan tingkatan umur. Upacara peralihan tersebut mempunyai tiga bagian, yaitu: 1) peralihan seseorang dari status sebelumnya, 2) limen atau fase menjelang dan 3) penyatuan kembali manusia ke dalam sebuah status baru. Liminality, tingkatan kedua, merupakan sebuah keadaan yang dialami seseorang selama masa peralihan berlangsung. Selama peroses peralihan berlangsung dari satu posisi ke posisi lainnya, seseorang merasa dirinya terpisah dari status sebelumnya, tetapi sepenuhnya belum menjadi bagian selanjutnya. Liminality, menurut Turner, mampu mengembangkan sebuah komunitas. Turner menerima definisi Merton tentang struktur sosial sebagai susunan yang berpola (patterned arragements). Susunan seperti ini, menurut Turner, tidak punya arah tanpa kehadiran sebuah komunitas. Komunitas (communitas) adalah pandang ideal terhadap kebudayaan atau seperti yang dikonsepkan oleh Turner pendekatan ethic terhadap masyarakat. Tindakan sosial (social action) berada di belakang pencapaian tujuan yang dicitacitakan. Liminality menyediakan individu untuk komunitas. Ketika seseorang menjadi anggota penuh dalam sebuah status, sebagai ujung dari sebuah peralihan, maka ia sudah diterima di dalam komunitas dan ia sanggup berpartispasi penuh di dalam setiap tindakan sosial yang ada. Dia harus mempelajari aspek-aspek emic dalam status barunya melalui proses peralihan (liminality). Terakhir, sosietas (tidak ada kaitannya dengan society) merupakan sebuah proses yang melibatkan, baik struktur sosial maupun komunitas. Strategi Turner dalam mendekati sosietas tidak hanya semata-mata struktur sosial, seperti yang dilakukan oleh Radcliffe-Brown atau LeviStrauss, tetapi lebih dari itu, yaitu berupa kombinasi antara struktural dan ideologis. Jalan tengah untuk menunjukkan proses ini, bahwa liminal membentuk komitmen pribadi ke dalam komunitas. Tentu saja hal itu, merupa120



Proses perkembangan superorganik menurut A. L. Kroeber dikutip Koentjaraningrat (1990: 185) adalah proses perkembangan kebudayaan yang seolah-olah melepaskan diri dari evolusi organik dan terbang sendiri membumbung tinggi.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



490



kan hadiah dari komunitas yang memberi arah struktur sosial dan memungkinkan untuk digunakan. Apa yang menarik dari argumen-argumen Turner, bahwa umumya seperti Spencer dan Our kheim, ia tidak menggunakan konsep culture. Turner mewanti kita, bahwa tanpa cultural, aspek struktur sosial dati masyarakat tidak dapat digunakan. Adalah komunitas (community) yang menggabungkan individu-individu di dalamnya, yang mampu memberi arah struktur sosial. Sejumlah publikasi telah diterbitkan Tunner, sebagai berikut: 1. Turner, Victor. [1957] 1996. Schism and Continuity in an African Society: A Study of Ndembu Village Life. Berg Publishers. 2. Turner, Victor. [1968] 1981. The Drums of Affliction: A Study of Religious Processes Among the Ndembu of Zambia. Ithaca, NY: Cornell University. 3. Turner, Victor. 1969. The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca, NY: Cornell University. 4. Turner, Victor. 1969. The Ritual Process: Structure and Anti-structure. Walter De Gruyter Inc. 5. Turner, Victor. 1975. Dramas, Fields, and Metaphors: Symbolic Action in Human Society. Ithaca, NY: Cornell University. 6. Turner, Victor. 1975. Revelation and Divination in Ndembu Ritual. Ithaca, NY: Cornell University. 7. Turner, Victor. 1977. Secular Ritual. Assen: Van Gorcum. 8. Turner, Victor. 1978. Image and Pilgrimage in Christian Culture: Anthropological Perspectives. New York, NY: Columbia University. 9. Turner, Victor. 1982. From Ritual to Theater: The Human Seriousness of Play. New York: PAJ Publications. 10. Turner, Victor. 1986. On the Edge of the Bush: Anthropology as Experience. Tucson, AZ: University of Arizona. 4. Clifford Geertz Clifford James Geertz (San Francisco, 23 Agustus 1926–Philadelphia dan meninggal dunia 30 Oktober 2006). Ia adalah seorang ahli antropologi asal Amerika Serikat. Ia paling dikenal melalui penelitiannya mengenai Indonesia dan Maroko dalam bidang agama (khususnya Islam), perkembangan ekonomi, struktur politik tradisional, serta Jawa, yang memopulerkan dan mengelompokkan orang Jawa istilah: priyayi, santri dan abangan. Sejak tahun 1970 hingga ia meninggal dunia menjabat sebagai profesor emeritus di Fakultas Ilmu Sosial di Institute for Advanced Study. Ia juga pernah menjabat sebagai profesor tamu di Departemen Sejarah Universitas Princeton dari 1975 hingga 2000. Geertz adalah antropolog yang tampil dengan gayanya sendiri. Berbeda dengan pendahulu-pendahulunya --- seperti: Kroeber, Kluckhohn, Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



491



Ruth Benedict, Robert Redfield, Franz Boas, Ralph Linton, Bronislaw Malinowski, Edward Sapir dan Margaret Mead --- ia mampu melakukan revolusi di dalam tubuh antropologi. Sepintas lalu ide-idenya memang sangat unik, namun setelah menukik lebih dalam, pandangannya ternyata sangat cemerlang. Geertz menghendaki, agar kebudayaan dipahami melalui keunikannya, seluk beluk dan nuansa yang hendak disampaikan oleh seorang Geertz. Membaca karya-karya Geertz berarti kita berada pada wilayah arkeologi dengan pandangan, bahwa sebuah kebudayaan terekspose dan terekplisit sedalam mungkin (layer by layer), karena bercokol di dalam imaginasi mental manusia (human mental image) yang dapat dibaca. Buku Geertz yang berjudul The Thick Interpretation of Cultures merupakan satu bukti dan penjelasan, bahwa sifat kebudayaan memiliki sifat khusus dalam sebuah konsep kebudayaan. Geertz dengan secara terang-terangan menolak pendapat, bahwa kebudayaan hanya dapat dimengerti melalui aplikasi teori-teori mutahir (grand theory). Ia mengatakan, bahwa pendekatan yang paling baik untuk pengembang konsep lebih lanjut adalah menangani problem-problem secara khusus. Metode-metode seperti itu memperhalus, mempermudah dan menjaga, agar konsep kebudayaan tetap berdayaguna. Ide Geertz terhadap kebudayaan tidak elektik (electic) dengan menggunakan konsep semantik (semantical concepts) dalam karya-karyanya. Ia percaya dengan konsep Max Weber dan Durkheim, bahwa manusia itu dibayang-bayangi oleh jaringan-jaringan signifikasi (arti) yang ia ciptakan sendiri. Oleh karena itu, Geertz lebih banyak meneliti tentang arti (meaning) untuk menyibak (explication), sastra untuk menjelasakan, tetapi hukum bukan untuk berekperimen (experiment). Interpretasi (interpretation) merupakan sebuah alat yang ia gunakan untuk mencapai tujuannya untuk menyibak perilaku-perilaku manusia yang penuh dengan jaringan arti. Proses yang ia lakukan dalam mengungkap arti disebutnya sebagai thick description (sebuah istilah yang ia pinjam dari ahli filsafat Gilbert Ryle, yang juga sangat berpengaruh dalam dunia antropologi di Inggris era 1950an). Thick description melihat fakta, bahwa beberapa aspek perilaku manusia mempunyai lebih dari satu pengertian. Perilaku adalah gerakan badan yang memilki banyak latar belakang signifikan (arti). Sekali lagi di sini dapat dikatakan, demikian Geertz, bahwa analogi-analogi arkeologi sangat bermanfaat untuk mengungkap kembali keragaman level pengertian. Penemuan dan penyibakan intensi seperti ini menjadi peran bagi para etnograf, yang dalam prosesnya mempertajam perlatan pokoknya melalui konsep kebudayaan. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



492



Semasa hidupnya, Geertz telah menulis beberapa karya besar berikut



ini: 1. Geertz Jams Clifford. 1966. Religion as a Cultural System. In Anthropological Approaches to the Study of Religion. Ed. Michael Banton. pp. 1–46. ASA Monographs, 3. London: Tavistock Publications. 2. Geertz Jams Clifford. 1960. The Religion of Java . University Of Chicago Press. 3. Geertz Jams Clifford. 1963. Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesian Towns. University Of Chicago Press 4. Geertz Jams Clifford. 1964.Agricultural Involution: the process of ecological change in Indonesia. Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia (1968), University Of Chicago Press. 5. Geertz Jams Clifford. 1973.The Interpretation of Cultures. Basic Books. 6. Geertz Jams Clifford. 1975. Kinship in Bali coauthor: Hildred Geertz, University Of Chicago Press. 7. Geertz Jams Clifford. 1980.Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali. Princeton University Press 8. Geertz Jams Clifford. 1983. Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology. Basic Books. 9. Geertz Jams Clifford. 1984. Anti-Anti-Relativism (1984), American Anthropologist, vol. 86, no. 2. 10. Geertz Jams Clifford.1990.Works and Lives: The Anthropologist As Author. Stanford University Press. 11. Geertz Jams Clifford. 1995. After the Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist. Harvard University Press. 12. Geertz Jams Clifford. 2000. Available Light: Anthropological Reflections on Philosophical Topics. Princeton University Press. 13. Geertz Jams Clifford. 2002. An inconstant profession: The Anthropological Life in Interesting Times. Annual Review of Anthropology, vol. 31.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



493



REFERENCES Jane B. Brooks. 2012. The Process of Parenting: Ninth Edition. McGraw-Hill Higher Education. Lippa, R. A. (2006). Is high Sex Drive Associated with increased Sexual Attraction to Both Sexes? It Depends on Whether You Are Male Or Female. Psychological Science. Reber, Arthur S. dan Reber, Emily S. (2001). Dictionary of Psychology. New York: Penguin Reference. Bradt, Hilary dan Austin daniel. 2007. Madagascar (9th ed.). Guilford, CT: The Globe Pequot Press Inc. Alan Barnard. 2004. History and Theory in Anthropology. UK: Cambridge University Press. Martin Asher (March 11, 2010). Control Theory. Flow Chart Archived 2012-0304 at the Wayback Machine.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



494



BACAAN YANG DIANJURKAN Abu Hamid. 2004. PASSOMPE: Pengembaraan Orang Bugis. Makassar: Pustaka Refleksi. ______. 2003. Metodologi Penelitian Sosial: Suatu Strategi, Teknik dan Taktik Wawancara. Makassar: Program Pascasarjana Unhas. ______. 2003. Siri & Pacce: Harga Diri Manusia Bugis. Makassar, Mandar dan Tator. Makassar: Pustaka Refleksi. ______. 1981. Kebudayaan, Masyarakat dan Agama: Agama Sebagai sasaran Penelitian Antropologi. Makalah disampaikan pada kuliah bagi para perserta Pusat Latihan Penelitian Agama, Dep. Agama RI tanggaL 14 September. Jakarta: IAIN (sekarang UIN). ______. 2006. Etnisitas, Kemajemukan dan Integrasi Nasional. Makalah dibacakan pada Gelar Budaya Sulawesi Selatan yang diadakan oleh Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film, tanggal 29 Mei 2006 di Enrekang. Abdulsyani, 1992, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta, Bumi Aksara. Adimihardja, Kusnaka. 2004. Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan di Indonesia: Sistem Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung (diakses Desember 2004). ______. 1999. Sistem Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Masyarakat Desa Di Indonesia, Jurnal Ekologi dan Pembangunan (Ecology and Development) No 2 terbitan bulan Mei 1999 – Ekologi Industri: Menuju Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Industrial Ecology: Towards a Sustainable Economic Development). Bandung: PPSDAL. Agus Maladi Irianto. 2005. Pencarian Identitas dan Integrasi Kebudayaan pada Masyarakat Multikultural. Seminar Internasional Keanekaragaman Budaya Sebagai Perekat Keutuhan Bangsa Menuju Indonesia Baru. Lustrum VIII Fakultas Sastra UNDIP di Semarang tanggal 8 September 2005. Allan Yooung. 1980. An Anthropological Perspective on Medical Knowledge.  The Journal of Medicine and Philosophy. Alan Barnard. 2004. History and Theory in Anthropology. United State of America : Cambridge Press. Al-Barry, Yacub, Dahlan, M.. 2000, Kamus Sosiologi dan Antropologi. Surabaya: Indah. Aliardi, Arif, 2001. Memahami Pengetahuan Lokal: Etika, Prinsip dan Metode. Bogor : Pustaka Latin. Almond, Gabriel & Sidney Verba. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di 5 Negara. terjemahan Drs. Sahat Simamora. Bina Aksara: Jakarta. Andrian, Charles F, 1992, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana. Anton Bakker, Achmad Charris Zubair. 1990. Metode PenelitianFilsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1990).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



495



Antonius Atosokhi Gea. 2004. Character Building III Relasi Dengan Tuhan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Arensberg C. 1940. Theoretical Contribution of Industrial and Development Studies. In Applied Anthropology in America, ed. E. M. Eddy and W. Patridge, pp. 49-78 New York: Columbia University Press. Arzaki Djalaluddin, dkk.. 2001. Nilai-Nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal: Suku Bangsa Sasak dalam Pluralisme Kehidupan masyarakat. Nusa Tenggara Barat: Relawan untuk Demokrasi dan HAM (REDAM). Atkinson, P. (1983) Ethnography: Principle in Practice. London: Tavistock Publication. Ayala FJ (2007). Darwin's greatest discovery: design without designer. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 104 Suppl 1: 8567–73. Avise JC, Hubbell SP, Ayala FJ. (2008). In the light of evolution II: Biodiversity and extinction. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. Bachofen, J. J. 1967 [1859–1916]. Myth, Religion, and Mother Right: Selected Writings of J. J. Bachofen (translated by Ralph Manheim). Princeton: Princeton University Press (Bollingen Series xxxiv). Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik, cet. ke-1, C.V. Rajawali: Jakarta. Barth, Fredrik. 1959. Political Leadership among Swat Pathans. London: Athlone Press. _______. 1966. Models of Social Organization. London: Royal Anthropological Institute (Occasional Papers no. 23). _______. 1969. Introduction to Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture DiVerence. Bergen: Universitetsforlaget/London: George Allen & Unwin. Belas L. Ralph dan Hoijer Harry, 1959. An Introduction to Anthropology (Second Edition). New York: The Macmillan Company. Benedict, Ruth. 1946. The Chrysanthemum and the Sword. Boston: Houghton Mifflin _______. 1934. Patterns of Culture. New York: The New American Library Bennet W. John. 1976. Anticipation, Adaptation, and the Concepts of Culture in Anthropology. Science vol. 192. number 4242, 28 May 1976.Berg, L. Bruce. 1989. Quantitative Research Methods. A Phenomenotical Approach to The Social Science. New York: Jhon Wiley and Sons. Berreman Gerald. Et.a1. 1971. Cultural Anthropology Today. Californis: CRM Books. Biezan John. 1969. An Introduction to Sociology. New York. Prentive Hall Inc. Biezan John. 1969. An Introduction to Sociology. New York. Prentive Hall Inc. Binford, L. R.. 1968. Post-Pleistocene Adaptation. In New Perspectives in Archelogi, ed. S. R. binford and L. R. Binford pp. 313-341.chicago: Aldine. Boas, Franz. 1887 (1974). Museums of ethnology and their classification. In George W. Stocking, Jr. (ed.), The shaping of American anthropology, 1883–1917, 63–67. New York: Basic Books. _______. 1889 (1940). The aims of ethnology. In Franz Boas, Race, language, and culture, 626–638. New York: Basic Books. _______. 1889 (1974). On alternating sounds. In George W. Stocking, Jr. (ed.), The shaping of American anthropology, 1883–1911, 72–77. New York: Basic Books.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



496



_______. 1899. Advances in methods of teaching. In Race, language, culture, 621–625. NewYork: Free Press. _______. 1896. The Limitations of the Comparative Method of Anthropology. Science 4: 901–8 _______. 1928. Anthropology and Modern Life. New York: W. W. Norton & Co _______. 1910. Publicaciones nuevas sobre la ling¨u´istica americana. In Rese˜na de la segunda sesi´on del XVII Congreso Internacional de Americanistas, 225–232. Mexico: Museo Nacional de Arqueolog´ia, Historia y Etnolog´ia. Bogdan, Robert and, J. Steven. 1975. Introduction to Qualitative Research Methodes A Phenomenological Approach to The Social Science. New York: Jhon Wiley and Sons. _______. 1993. Kualitatif, Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional. Bohannan Paul & Glazer, Mark. 1988. High Points in Anthropology (Second Edition). New York: Alfred A, Knopf. ______. 1993. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional. Bowler, Peter J. (2003). Evolution:The History of an Idea. University of California Press. ________. 1989. The Mendelian Revolution: The Emergence of Hereditarian Concepts in Modern Science and Society. Baltimore: Johns Hopkins University Press. Boyer, P. (Ed.). 1993. Cognitive Aspects of Religious Symbolism. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ______. 2001. Religion Explained. London: Heinemann Bradt, Hilary dan Austin, Daniel. 2007. Madagascar (9th ed.). Guilford, CT: The Globe Pequot Press Inc. Budihardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan ke-8,: Gramedia: Jakarta Bungin, Burhan (ed.). 2001. Metodolologi Penelitian Kualitatif: Analisis Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. _______. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Burgees, R. G. 1982. Multiple Strategies in The Field Research. London: George Allen Unwin. Catherine Marquette. 1997. Turning but not Toppling Malthus: Boserupian Theory on Population and the Environment Relationships. Working paper. Chr Michelsen Institute Development Studies and Human Rights. Bergen Norway ______. 1977. Cultural Ecology. http:///www. dizzy. library.arizona. edu/ej/jpe/ anthenv/internet.hti. (diakses bulan Nopember 2004). Carol R. Ember and Melvin R. Ember. 2014. Cultural Anthropology. Publisher: Pearson Press. Cain, M. dan Finch, J. 1981. Toward Rehabilitation of Data. London: George Allen dan Unwin. Campbell, D. T. dan Fiske D. W .. 1959. Convergent and Discriminant Validation by the Multitrait-Multimethode Matrix. Psychological Bulletin. ______. 1981. Note on the Integration of Micro and Macro levels Analysis. London: Routledge dan Kegal Paul.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



497



Capra Fritjof. 1991. The Tao of Physics. London: Flaminggo. ______. 1997. The Web of Life A New Synthesis of Mind and Mater. London: Harper Collins Publisher. ______. 1988. Uncommon Wisdom Convertation whith Remarkable People. London: Harper Collins Publisher. ______. 2000. Titik Balik Perdaban. Yogyakarta: Bentang. ______. 2002. The Hidden Connections: A Scientific for Sustainable Living. London: Harper Collins Publisher. Catherine Marquette. 1977. Cultural Ecology. Http://dizzy. library. arizona (diakses bulan N opember 2004) Charlotte, Seymour Smith. 1986. Dictionary of Anthropology. Boston: G. K. Hall and Company. ______. 1990. Macmillan Dictionary of Anthropology. London and Basingstoke. The Macmillan Press Ltd. Chisholm, Hugh, ed. (1911). Clan: Encyclopædia Britannica. 6 (11th ed.). Cambridge University Press. Chris Hann and Keith Hard. 2011. Economic Antyropology: History, Ethnography and Critique. UK: Policy Publisher Cicourel, V., Aaron. 1964. Method and Measurement in Sociology. New York. Free Press. Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik, Suatu Orientasi. cet. ke-1, Erlangga: Jakarta. Clemmer, Richard O., L. Daniel Myers, and Mary Elizbeth Rudden, eds. Julian Steward and the Great Basin: the Making of an Anthropologist. University of Utah Press, 1999. Clifford, R. and P. Johnson. 2001. Jesus and the Gods of the New Age. Oxford, UK: Lion. Collingwood, R.. 1889-1943. The Idea of History. Oxford: Oxford University Press ______. 1956). Tagalog Speech Disguise. Language, Vol. 32, No. 1. ______. 1959a. Facts and Comments. Ecological Interpretations and Plant Domestication. American Antiquity, Vol. 25, No. 2. ______. 1959b. Linguistic Play in Its Cultural Context. Language, Vol. 35, No. 4. ______. 1963. The Study of Shifting Cultivation. Washington: Technical Publications ______. 1967. An Ethnoecological Approach to Shifting Agriculture ______. 1980. Ethnographic Atlas of Ifugao: A Study of Environment, Culture, and Society in northern Luzon ______. 1986. Symbolism and Beyond. Hanunóo Color Categories. Journal of Anthropological Research, Vol. 42. Corr, Philip J.; Matthews, Gerald (2009). The Cambridge handbook of personality psychology (1. publ. ed.). Cambridge, U.K.: Cambridge University Press. Cox, J. L. 1992. Expressing the Sacred. Harare, Zimbabwe: University of Zimbabwe Press. Cunningham, G. 1999. Religion and Magic. Edinburgh: Edinburgh University Press. Daniel L. Pals. 2001. Dekonstruksi Kebenaran : Kritik Tujuh Teori Agama, terj. Ridhwan Muzir, M.Sykri, (Yogyakarta : Ircisod.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



498



Darwin, Charles. 1859. On the Origin of Species (1st ed.). London: John Murray. p. 1.. Related earlier ideas were acknowledged in Darwin, Charles (1861). On the Origin of Species (3rd ed.). London: John Murray. xiii David Bach. 2003. 1001 Financial Words You Need to Know. Oxford University Press, USA. Delamont. S.. 1981. All Too Familiar ? A Decade of Classroom Research. Educational Analysis. Denzin, N. 1970. The Research Art in Sociology. London: Butterworth. Dineen, Patrick S. (1927). Foclóir Gaeďilge agus Béarla an Irish-English Dictionary. Dublin and Cork, Ireland: The Educational Company of Ireland. Djuretna A. Imam Muhdi, Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, (Yogyakarta : Kanisius 1994), 9. Dorian, Nancy C. 1982. Defining the Speech Community to Include Its Working. London: Arnold. _______. 1993. A Response to Ladefoged’s Other View of Endangered Languages. London: Arnold. _______. 1989. Investigating pbsulescence language Contruction and Death. Cambridge: Cambridge University Press. Douglas, Mary. 1963 [1898]. Incest: The Nature and Origin of the Taboo (translated by Edward Sagarin). New York: Stuart. _______. 1966 [1897]. Suicide: A Study in Sociology (translated by John A. Spaulding and George Simpson). New York: The Free Press. _______. 1966. Purity and Danger: An Analysis of Concepts of Pollution and Taboo. London: Routledge & Kegan Paul. _______. 1969. Natural Symbols: Explorations in Cosmology. London: Routledge & Kegan Paul. ______. 1975. Implicit Meanings: Essays in Anthropology. London and Boston: Routledge & Kegan _______. 1978. Cultural Bias. London: Royal Anthropological Institute (Occasional Papers no. 35). _______. 1980. Evans-Pitchard. Glasgow: Fontana atau Collins (Fontana Modern Masters). _______. 1982. Introduction to grid atau group analysis. In Mary Douglas (ed.), Essays in the Sociology of Perception. London: Routledge & Kegan Paul. _______. 1996. Thought Styles: Critical Essays on Good Taste. London: Sage Publications. Dónaill, Niall. 1992. Foclóir Gaeilge–Béarla. Dublin, Ireland: An Gúm. Draghi J Turner P.. 2006. DNA secretion and gene-level selection in bacteria. Microbiology (Reading, Engl.) 152 (Pt 9): 2683–8. PMID 16946263. DuBois, Cora. 1944. The People of Alor.Minneapolis: University of Minnesota Press. Duranti, Alessandro and Charles Goodwin (eds.). 1992. Rethinking context: language as an interactive phenomenon. Cambridge: Cambridge University Press. [Studies in the Social and Cultural Foundations of Language.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



499



Durkheim, Emile and Marcel Mauss. 1963 [1903]. Primitive ClassiWcation (translated by Rodney Needham). London: Cohen & West ______. 1915. The Elementary Forms of the Religious Life. London: Allen and Unwin. ______. 1964. The Elementary Forms of the Religious Life. London: Allen-Unwin. Dutton, Roderic. 1998. Local Knowledge in Tropical Agricultural Research and Development (Peper on Tropical Agriculture Association Seminar), United Kingdom : University of Durham. Ellen, Roy F. 1993. The Cultural Relations of ClassiWcation: An Analysis of Nuaulu Animal Categories from Central Seram. Cambridge: Cambridge University Press. Elliot Smith, Sir Grafton. (1871–1937) Australian anatomist based at Manchester and London. The leading figure of the British *diffusionist school, he held the eccentric belief that virtually all high culture the world over diffused from ancient Egypt. Works include The Migrations of Early Culture (1915), The Search for Mans Ancestors (1931), The Evolution of Man (1927) and The Diffusion of Culture (l933). Engels, Frederick. 1972 [1884]. The Origin of the Family, Private Property and the State, in the Light of the Researches of Lewis H. Morgan. London: Lawrence & Wishart. Dutton, Roderic. 1998. Local Knowledge in Tropical Agricultural Research and Development (Peper on Tropical Agriculture Association Seminar), United Kingdom: University of Durham. El-Santoso dan Prianto. S. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Terbit Terang. Eliade M. 1959. The Sacred and The Frofane: The nature of Religion. New York: Harcourt, Brace. Epstein Mikhail. 1995. After the Future: The Paradoxes of Postmodernism and Contemporary Russian Culture, Amherst: The University of Massachusetts Press. Evans-Pitchard, E. E. 1937. Witchcraft, Oracles and Magic among the Azande. Oxford, U.K.: Clarendon Press. ______. 1940a. The Nuer. Oxford, U.K.: Oxford University Press. ______. 1940b. The Nuer of the Southern Sudan. In M. Fortes and E. E. Evans-Pitchard, eds., African Political Systems. Oxford, U.K.: Oxford University Press. ______. 1951. Kinship and Marriage among the Nuer. New York: Oxford University Press. ______. 1956. Nuer Religion. Oxford: Oxford University Press. ______. 1962. Social Anthropology and Other Essays. New York: The Free Press. ______. 1965. The Position of Women in Primitive Societies and Other Essays in Social Anthropology. London: Faber and Faber. Fernandez, J. W. 1978. ‘African Religious Movements’. Annual Review of Anthropology 7: 198–234. Feuber Ludwig. 1957. The Essence of Christianuty. New York: Harver.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



500



______. 1969 [1949]. The Elementary Structures of Kinship (revised edition, translated by James Harle Bell, John Richard von Sturmer, and Rodney Needham). Boston: Beacon Press. ______. 1969b [1962]. Totemism. Harmondsworth: Penguin Books. Fielding, N. G. 1988. Action Research: Research Method and Social Theory. Longon: Sage. Fielding, N. G. dan Fielding. J. T.. 1986. Lingking Data: Qualitative Research Network Series 4. Longon: Sage. Firth, Raymond. 1975. Speech-making and Authority in Tikopia. In Maurice Bloch, ed. Political Language and Oratory in Traditional Society. London: Academic Press, 29–43 ______. 1989. Symbols Public and Private. New York. Cornell University Press. Foucault, Michel. 1972. The Archeology of Knowledge and The Discourse onLanguage. New York: Pantheon. ______. 1977. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Vintage. ______. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977. New York: Pantheon. ______. 1979. Discipline and Punish, Harmondsworth: Penguin. ______. 1981. The History of Sexuality, Harmondsworth: Penguin. ______. 1989. The Archaeology of Knowledge, London: Routledge. ______. 2002a. Truth and power, in James D. Faubion (ed.), Michel Foucault Essential Works: Power, Harmondsworth: Penguin. ______. 2002b. Question of method, in James D. Faubion (ed.), Michel Foucault Essential Works: Power, Harmondsworth: Penguin. ______. 2002c. Truth and juridical forms, in James D. Fabion (ed.), Michel Foucault Essential Works: Power, Harmondsworth: Penguin. ______. 2009. Method, in Cultural Theory and Popular Culture: A Reader, 4th edn, edited by John Storey, Harlow: Pearson Education Foster/Anderson. 2009. Antropologi Kesehatan, terj. UI-Press: Yogyakarta Frake. O. Charles. 1964. A Structural Description of Subanun. Religious Behavior. In Gooenough, 964: 111-29. Reprinted in Frake. ______. I 992b. Culture and Religion. Yogyakarta: Kanisius. Frank. Elwell .2001. Harris on the Universal structure of societies, archived from the original. Frazer J. 1990. Toremisme and Exogamy. A. Treatis on Certain Ealrly Forms of Supertition and Society. London: MacMillan. ________. 1976. The Golden Bough. London: MacMillan Freud Sigmund. 1953. Introductory Lectures on Psychoanalysis. New York: Doubleday. ______. 1978. The Future of an Illusion. London: HigarthPress ______. 1913. Totem and Taboo. London: MacMillan. Futuyma Douglas J. (2005). Evolution. Sunderland, Massachusetts Sinauer Associates, Inc.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



501



Gelason. 1961. An Introduction to Descreptive Linguistics. (Revised Edition). New York : Holt. Rinehart and Winston. Goodenough, Ward H. 1956. Componential Analysis and The Study of Meaning. Language 32: 195–216 Geertz, Clifford, ed. 1963. 1952 The Nature of Culture (1952). Chicago. ______. 1992. The Religion of Java. Chicagi dan London: The University of Chicagi Press. ______. Old Societies and New States: The Quest for Modernity in Asia and Africa. New York: The Free Press. ______.ed. 1966. Religion as a Cultural System. In Anthropological Approaches to the Study of Religion. Ed. Michael Banton. pp. 1–46. ASA Monographs, 3. London: Tavistock Publications. ______. 1968. Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesian Towns. University Of Chicago Press. ______. 1968. Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia (1968), University Of Chicago Press. ______. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. ______. 1976. The Religion of Java (1960), University Of Chicago Press. ______. 1976. From the Natives Point of View: On the Nature of Anthropological Understanding. In Keith Basso and Henry A. Selby, eds. Meaning in Anthropology. Albuquerque: University of New Mexico Press. ______. 1978. Kinship in Bali. Coauthor: Hildred Geertz, University of Chicago Press. ______. 1980. Negara: The Theatre State in Nineteenthcentury Bali. Princeton: Princeton University Press ______. 1990. Works and Lives: The Anthropologist As Author. Stanford University. ______. 1995. After the Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist. Harvard University Press. ______. 2000. Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology. Basic Books. ______. 2000. Available Light: Anthropological Reflections on Philosophical Topics. Princeton University Press. ______. 2001. Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali. Princeton University Press. _______. 2002 An Inconstant Profession: The Anthropological Life in Interesting Times. Annual Review of Anthropology 31:1–19. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. ______. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. ______. 1992. The Religion of Java. Chicagi dan London: The University of Chicagi Press. Gennef, van, Arnold. 1960. The Rites of Passage. New York: The University of Chicago Press. George Ritzar, Douglas J.Goodman. 1992. Teori Sosiologi, (Jakarta : Kreasi Warna. George Ritzar, Douglas J.Goodman, Teori Sosiologi, (Jakarta : Kreasi Warna, 1992).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



502



Getubig. I. P.. 1992. Non-conventional Formd of Social Security Protection for The Poor in Asia. Kuala Lumpur: Asian and Pacific Development Centre. Giddens, A. 1976. New Rules in Sociology Method. London Hutchinson. Gising, Basrah. 1986. Kasus Morfofonemik Bahasa Tolaki Dialek Mikongga, Makassar: Lembaga Penelitian Unhas. ______. 2005. Manfaat Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Katoasan Hutan Adat Karampuang (Tesis). Makassar: Pascasarjana Unhas. ______. 2004. Hutanku Jiwaku: Sebuah Kosmologi Ekologis Masyarakat Adat Karampuang. Makassar: Era Media. ______. 2008. Rutan Partisipatif: Terwujudnya Kesadaran Ekologis Masyarakat Lokal di Sidenreng Rappang. Makassar Era Media. ______. 2008. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar. Makassar: Era Media. ______. 2009. Spektrum Kebudayaan Bugis: Sebuah Tantangan di Era Globalisasi. Makassar: Alfaroby Press. ______. 2009. Kearifan Ekologis Pasang ri Kjang dalam Sistem Pengelolaan Hutan Adat di Wilayah Adat Kajang (Disertasi). Makassar: Pascasarjana Unhas. ______. 2002. Sejarah Kerajaan Tanete Barru, Makassar: Sama Jaya. ______. 2004. Sejarah Kerajaan Bulo-Bulo Tondong Lamatti: Manifestasi Sinjai Bersatu, Makassar: Alfaroby Press. ______. 2006. Metodologi Penelitian Bahasa dan Sosial, Makassar: Alfaroby Press. ______. 2007. Metodologi Penelitian Kebudayaan, Makassar: Alfaroby Press. ______. 2008. Metodologi Penelitian Bahasa Sosial, Makassar: Alfaroby Press. ______. 2009. Perang Mangarabombang: Menentang Agresi Inggris dan Belanda, Makassar: Alfaroby Press. ______. 2015. Menambang Batu Gajah Ramah Lingkungan: Sebuah Bentuk Penerapan Etno-Teknologi, Makassar: Alfaroby Press. ______. 2015. Berpetualangan dalam Filsafat Kekinian, Makassar: Alfaroby Press. ______. 2018. Wawasan Sosial Budaya dan Maritim: Bacaan bagi Mahasiswa Peserta Mata Kuliah WSBM, Makassar: Alfaroby Press. ______. 2017. I-Language Stimuli: A Therapy Language for Dislexic, Makassar: Alfaroby Press. ______. 2018. Ecomoni Subsitansi: Solusi dalam Menyelesaikan Kerisis Moneter, Makassar: Alfaroby Press. Ghiselin, Michael T.. 1994. Nonsense in schoolbooks: The Imaginary Lamarck, The Textbook Letter, The Textbook League (dipublikasikan September-Oktober 1994), diakses pada 23 Januari 2008 Goodenough, Ward H. 1956. Componential Analysis and The Study of Meaning. Language 32: 195–216 _______. 1964 (1957). Cultural anthropology and linguistics. In D. Hymes (ed.), Language in culture and society, 36–39. New York: Harper and Row. _______. 1971. Culture, language and society. Reading, MA: Addison-Wesley. _______. 1981. Culture, language, and society. Menlo Park, CA: Benjamin/ Cummings



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



503



_______. (ed.). 2001a. Linguistic anthropology: a reader. Oxford: Oxford University Press. _______. (ed.). 2001b. Key terms in language and culture. Malden, MA: Blackwell Publishers. _______. 2003. Language as culture in US anthropology: three paradigms. Current Anthropology 44(3): 323–335. Gopala Sarana 1975. The Methodology of Anthropological Comparisons: An Analysis of Comparative Methods in Social and Cultural Anthropology (Viking Fund Publications in Anthropology), Dallas USA: University of Arizona Press. Garfinkel, H.. 1974. The Origins Of The Term Ethnomethodology, in R.Turner (Ed.) Ethnomethodology, Penguin, Harmondsworth. ______. 1984. Studies in Ethnomethodology, Polity Press, Cambridge. Garfinkel, H. (2002) Ethnomethodology's Program: Working out Durkheim's Aphorism, Rowman & Littleford, Lanham. Gube G. Egon. 1987. Menuju Metodologi Inkuiri Naturalistik dalam Evolusi Pendidikan. Jakarta: Jambatan. Gudeman Stephen. 2001. The Anthropology of Economy: Community, Market, and Culture. USA Blackwell Publishers Ltd. Hall, E. T. 1966. The Hidden Dimension. Garden City, N.Y.: Dobleday Hamilton, M. 2001. The Sociology of Religion. London: Routledge Hanunersley, M. (1985) The Dilemma of Qualitatif Methods: Herbert Blumer and the Chicago Tradition. London. Routledge dan Kegal Paul. Harold Colyer Conklin. 1955a Hanunóo Color Categories. South-western Journal of Anthropology, Vol. 11, No. 4. ______. 1955b. The Relation of Hanunoo Culture to the Plant World Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Y. Crowell. ______. 1974. Cows, Pigs, Wars, and Witches: The Riddles of Culture. New York: Random House. ______. 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New York: Random Hous ______. 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New York: Random Hous ______. 1975. Cows, Pigs, Wars and Witches: The Riddles of Culture. London: Hutchinson & Co. Reissued in 1991 by Vintage, New York. ______. 1977. Cannibals and Kings: The Origins of Cultures. New York: Vintage. ______. 1981. Why Nothing Works: The Anthropology of Daily Life. New York: Simon & Schuster. (Previously America Now: The Anthropology of a Changing Culture) ______. 1987. Harris, Marvin, & Ross, Eric B., eds. (1987). Food and Evolution: Towards a Theory of Human Food Habits. Philadelphia: Temple University Press. ______. 1990. Our Kind: who we are, where we came from, where we are going. New York: HarperCollins/Harper Perennial. Good to Eat: Riddles of Food and Culture.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



504



Illinois: Waveland Press. 1998. (Previously published 1985 by Simon & Schuster. Previously titled The Sacred Cow and the Abominable Pig). ______. 2001a. [First published 1968]. The Rise of Anthropological Theory: A History of Theories of Culture, Walnut Creek, California: AltaMira Press. ______. 2001b, [First published 1979]. Cultural Materialism: the Struggle for a Science of Culture (Updated ed.), Walnut Creek, California: AltaMira Press. Harwood AJ (1998). Factors affecting levels of genetic diversity in natural populations. Philos. Trans. R. Soc. Lond., B, Biol. Sci. 353 (1366): 177–86. PMID 9533122. doi:10.1098/rstb.1998.0200. Haviland, A. William. 1993. Antroplogi, Edisi Kempat, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga. Heddy Shri Ahimsa Pustra, Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual dan Post-Modernistis, dalam Ketika Orang Jawa Nyeni (Yogyakarta: Galang Press Hinde, R. A. 1999. Why Gods Persist. London: Routledge. Hoebel Adamson E.. 1972. Anthropology: A Study of Man (fourth edition). New York: MacGraw-Hill Book Company. Holmes D. Lowell. 1965. Anthropology: An Introduction. New York: The Ronald Press Company. Harcourt Brace Jovanovich. Inc. Honingmann J. J.. 1973. The Development of Anthropological Ideas. Homewood Clifft: Dorsey Press. Hooguelt, Ankle MM, 1995 Sosiologi Sedang Berkembang, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Horton, R. 1971. ‘African Conversion’. Africa 41: 85–108 Hunter K. E. David and Whitten Phillip. 1982. Anthropology: Contemporary Perspec-tive (Third Edition). Boston: Little, Brown and Company. Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilizations: Remaking of the World Order. New York: Simon and Schuster. Humboldt, Wilhelm von. 1795 (1903). Theorie der Bildung des Menschen. In Albert Leitzmann (ed.), Wilhelm von Humboldts Gesammelte Schriften, i.282–287. Berlin: B. Behr. _______. 1820 (1905). Ueber das vergleichende Sprachstudium in Beziehung auf die verschiedenen Epochen der Sprachentwicklung. In Albert Leitzmann (ed.), Wilhelm von Humboldts Gesammelte Schriften, iv.1–34. Berlin: B. Behr. _______. (1906). Notice sur une grammaire japonaise imprim´ee `a Mexico. In Albert Leitzmann (ed.), Wilhelm von Humboldts Gesammelte Schriften, v.237–248. Berlin: B. Behr. _______. 1829 (1907). Von dem grammatischen Baue der Sprachen. In Albert Leitzmann (ed.), Wilhelm von Humboldts Gesammelte Schriften, vi. 337–486. _______. 1836 (1988). On language: the diversity of human language-structure and its influence on the development of mankind. Peter Heath, trans. Cambridge: Cambridge University Press. Hoijer, Harry et al. (ed.) 1946. Linguistic structures of native America.New York: The Vilecing Fund.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



505



Hymes, Dell. 1961. On typology of cognitive styles in language. Anthropological Linguistics 3 (1): 22–54. _______. (ed.). 1964. Language in culture and society: a reader in linguistics and anthropology. New York: Harper and Row. _______. (ed.). 1964. Language in culture and society: a reader in linguistics and anthropology. 1966. Two types of linguistic relativity. In William Bright (ed.), Sociolinguistics, 114–167. The Hague: Mouton. _______. (ed.). 1964. Language in culture and society: a reader in linguistics and anthropology. 1981. In vain I tried to tell you. Essays in native American ethnopoetics. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. _______. and John Fought. 1975. American structuralism. In Thomas Sebeok (ed.), Current trends in linguistics: historiography of linguistics, 903–1176, 13. The Hague: Mouton. Irwan Djamal Zoer’Aini. 2003. Prinsip-Pinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas & Lingkungan. Jakarta : Bumi Aksara. Ian C. Johnston (1999). History of Science: Early Modern Geology. Malaspina University-College. Jane B. Brooks (28 September 2012). The Process of Parenting: Ninth Edition. McGrawHill Higher Education J. S. Badudu. 2003. Kamus kata-kata serapan asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbut Buku Kompas. Jensen, J. S. and L. H. Martin (Eds.). 1997. Rationality and the Study of Religion. London: Routledge. ______. 1982. Bwitti: An Ethnography of the Religious Imagination in Africa. Princeton, NJ: Princeton University Press Jensen, T. and M. Rothstein (Eds.). 2000. Secular Theories of Religion. Copenhagen: Tusculanum Press Johnson G. Allan. 1986. Human Arragements: An Introduction to Sociologi. New York: Hanunersley. Johnson G. Allan. 1986. Human Arragements: An Introduction to Sociologi New York: Jung C. 1938. The Psychology and Religion. New Haven: Yale University Press. ______. I 972. Synchronicity, An Causal Connecting Principle. London: Rotladge & Kegan Paul. Khun Thomas S.. 1962. The Structure Of Scientific Revolution: a Brilliant, Original Analysis of Revolutions Consequences of Revolutions in Basic Scientific concepts. Cichgi : University of Chicago Press. Kluckhohn, C. 1942. Myth and Rituals: an general Theory. United States of America: Havard Theological Reviews. Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Karlina, Leksono-Supelli. 2003. Awal Sebuah Pemahaman Media Kerjabudaya (Online). Kartasubrata, Yunus, 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia (Buku I & II). Bogor: Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fak. Kehutanan, IPB.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



506



Kaswan Darmadi, 2005. Keterkaitan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dalam Studi Linguistik Historis Komparatif (online). Kay, Paul and Luisa Maffi. 1999. Color appearance and the emergence and evolution of basic color lexicons. American Anthropologist. ______. 1978. The linguistic significance of the meanings of basic color terms. Language 54: 610–646. ______. 1984. What is the Sapir–Whorf hypothesis? American Anthropologist 86: 65–79. ______. and William Merrifield. 1991. Biocultural implications of systems of color naming. Journal of Linguistic Anthropology 1: 12–25. ______. and Terry Regier. 2003. Resolving the question of color naming universals (pdf). Proc. Nat. Acad. Sci. 100, 9085–9089. ______. Luisa Maffi, and William Merrifield. 1997. Color namingacross languages. In C. L. Hardin and Luisa Maffi (eds.), Color categories in thought and language, 21–57. Cambridge: Cambridge University Press. ______. 2005. The world color survey. CSLI Publications. ______. Paul. 1975. Synchronic variability and diachronic change in basic color terms. Language in Society. ______. 1996. Intra-speaker relativity. In John J. Gumperz and Stephen C. Levinson (eds.), Rethinking linguistic relativity, 97–114. Cambridge: Cambridge University Press. ______. 1999. The emergence of basic color lexicons hypothesis. In Alexander Borg (ed.), The language of colour in the Mediterranean, 76–90. Stockholm: Almquist and Wiksell International. (in press) Color categories are not arbitrary. Color cognition and culture a special issue of the Journal of Cross-Cultural Research, ed. Kimberly Jameson and Nancy Alvarado Kant, Immanuel. 1991 (1768) Von dem Ersten Grunde des Unterschiedes der Gegenden im Raume (Translation On the first ground of the distinction of regions in space.) In The philosophy of right and left, 27–33. J. van Cleve and R. E. Frederick (eds.). Dordrecht: Kluwe Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I dan II. Jakarta: Erlangga. _______. 1992. Through Radcliffe-Browns spectacles: reflections on the history of anthropology. History of the Human Sciences _______. 1995. Orang Outang and the deWnition of Man: the legacy of Lord Monboddo. In Han F. Vermeulen and Arturo Alvarez Roldan (eds.), Fieldwork and Footnotes: Studies in the History of European Anthropology (E.A.S.A. Monographs Series). London: Routledge. _______. 1996. Regional comparison in Khoisan ethnography: theory, method and practice. Zeitschrift fu¨ r Ethnologie. _______. 1999. Modern hunter-gatherers and early symbolic culture. In Robin Dunbar, Chris Knight, and Camilla Power (eds.), The Evolution of Culture: An Interdisciplinary View. Edinburgh: Edinburgh University Press. _______. Barnard, Alan and Anthony Good. 1984. Research Practices in the Study of Kinship. London: Academic Press.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



507



_______. Barnard, Alan and Jonathan Spencer (eds.). 1996. Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. London: Routledge Keesing, M. Roger. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I dan II. Jakarta: Erlangga. _______. 1971. New Perspectives in Cultural Anthropology. Holt, Rineheart and Winston, (coauthored with Felix M. Keesing). _______. 1985. Kin Groups and Social Structure. Holt, Rinehart and Winston. Thomson Learning, _______. 1976. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. Holt, Rinehart and Winston. 2nd ed. CBS College Publishing, 1981. 3rd ed. Wadsworth, 1997 (edited by Andrew Strathern). _______. 1992. Custom and Confrontation: Kwaio Struggle for Cultural Autonomy. University of Chicago Press, 1992. Kaplan, David dan Manners, A. Albert. 2000. Teori-Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kartasubrata, Junus, 2003. Social Forestry dan Agroforestry di Asia (Buku I & II). Bogor: Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fak. Kehutanan, IPB. Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil, Jakarta: Skretaris Negera. Khun Thomas S.. 1962. The Structure Of Scientific Revolution: a Brilliant, Original Analysis of Revolutions Consequences of Revolutions in Basic Scientific concepts. Cichgi: University of Chicago Press. Kluckhohn, C. 1942. Myth and Rituals: a General Theory. United States of America: Havard Theological Reviews. Knor-Centina, K. 1988. The Microsocial Order: Towards Conception. London: Routledge dan Kegal Paul. Kobben, AJ. (1952) The New Ways of Presenting an Old Idea: The Statistical Method in Anthropology, Journal of the Royal Anthropological Institute, 83:129–46 Koentjaraningrat, 1972. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta. _______. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta. _______. 1992: Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. _______. dkk., 2003. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. _______. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Kottak Philip. 1991. Anthropology: The Exploration of Human Diversity, edisi V, New York: McGraw-Hill, Inc .. Kridalaksana Harimurti. 2001. Kamus Linguistik; Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kroeber A. L. dan Kluckhohn C. 1952. Culture: A Critical Review of Concept and Definitions. Peabody Museum Papers 47. 1. Cambridge: Mass : Havard University Press. _______. 1907. Indian Myths of South Central California, in University of California Publications in American Archaeology and Ethnology 4:167-250. Berkeley (Six Rumsien Costanoan myths, pp. 199–202); online at Sacred Texts.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



508



_______. 1907. The Religion of the Indians of California, in University of California Publications in American Archaeology and Ethnology 4:6. Berkeley, sections titled Shamanism, Public Ceremonies, Ceremonial Structures and Paraphernalia, and Mythology and Beliefs; available at Sacred Texts _______. dan Kluckhohn C.. 1952. Culture: A Critical Review of Concept and Definitions. Peabody Museum Papers 47. 1. Cambridge: Havard University Press. _______. dan Kluckhohn C. 1952 The Nature of Culture (1952). Chicago. _______, dan Kluckhohn C. 1963. Anthropology: Culture Patterns & Processes (1963). New York: Harcourt, Brace & World (earlier editions in 1923 and 1948). _______, 1925. Handbook of the Indians of California, Washington, D.C: Bureau of American Ethnology Bulletin No. 78 Kutschera U, Niklas K. 2004. The modern theory of biological evolution: an expanded synthesis. Naturwissenschaften. Kuhn, Thomas S. 1970 [1962]. The Structure of Scientific Revolutions (second edition). Chicago: University of Chicago Press. Kuper, Adam(ed.). 1977. The Social Anthropology of Radcliffe-Brown. London: Routledge & Kegan Paul. _______. 1979 [1977]. Regional comparison in African anthropology. African AVairs 78: 103–13. _______. 1979b. A Structural Approach to Dreams. Man (n.s.) 14: 645–62. _______. 1982. Wives for Cattle: Bridewealth and Marriage in Southern Africa. London: Routledge & Kegan Paul. _______. 1988. The Invention of Primitive Society: Transformations of an Illusion. London: Routledge. _______. 1992. Post-Modernism, Cambridge and the Great Kalahari Debate. Social Anthropology 1: 57–71. _______. 1994. The Chosen Primate: Human Nature and Cultural Diversity. Cambridge, MA: Harvard University Press. _______. 1996 [1973]. Anthropologists and Anthropology: The Modern British School (third edition). London: Routledge. _______. 1999. Culture: The Anthropologists Account. Cambridge, MA: Harvard University Press _______. 1961a. Pul Eliya, a Village in Ceylon: A Study of Land Tenure and Kinship. Cambridge: Cambridge University Press. _______. 1961b[1945–61]. Rethinking Anthropology. London: The Athlone Press (L.S.E. Monographs on Social Anthropology). _______. (ed.). 1967. The Structural Study of Myth and Totemism (A.S.A. Monographs 5). London: Tavistock Publications _______. 1970. Le´vi-Strauss. Glasgow: Fontana/Collins (Fontana Modern Masters). _______. 1976a. Social Anthropology: A Natural Science of Society? (Radcliffe-Brown Lecture, 1976). Oxford: Oxford University Press. _______. 1976b. Culture and Communication: The Logic by which Symbols are Connected. Cambridge: Cambridge University Press



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



509



Kuran Timur. 2007. Cultural Integration and Its Discontents. Department of Economics of Duke University 213 Social Sciences Building, NC 27708, Durham : Duke University LaBarre Wiston, 1970. The Ghost Dance. The Iapanes: Journal of Psyciatry. Labov, William. 1972. Sociolinguistic patterns. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. _______. 1981. Resolving the neogrammarian controversy. Language 57(2 _______. 1984. Intensity. In D. Shiffrin (ed.), Meaning, form, and use in context: linguistic applications, 43–70. Georgetown University Round Table on Languages and Literature. Washington: Georgetown University Press. _______. 1991. The three dialects of English. In Penelope Eckert (ed.), New ways of analyzing sound change, 1–44. San Diego: Academic Press. _______. 1994. Principles of linguistic change, Volume 1. Internal factors. Oxford: Blackwell. _______. 2001. Principles of linguistic change, Volume 2. Social factors. Oxford: Blackwell. Lippa, R. A. (2006). Is high Sex Drive Associated with increased Sexual Attraction to Both Sexes? It Depends on Whether You Are Male Or Female. Psychological Science. Lowie R. H. 1973. Primitive Society. New York: Liveright. Keesing, Roger. 1972. Paradigms lost: the new anthropology and the new linguistics. Southwestern Journal of Anthropology 28(4). _______. 1981. Cultural anthropology: a contemporary perspective. New York: Holt, Rinehart, Winston. _______. 1987. Models, folk and cultural: paradigms regained? In D. Holland and N. Quinn (eds.), Cultural models in language and thought, 369–93. Cambridge: Cambridge University Press. _______. 1988. Melanesian pidgin and the oceanic substrate. Stanford: Stanford University Press. _______. 1992. Anthropology and linguistics. In M. Putz (ed.), Thirty years of linguistic evolution, 593–602. Amsterdam: John Benjamins. _______. 1993. The lens of enchantment. Culture 13(1): 57–59. Kay, Paul and Brent Berlin. 1997. Science? Imperialism: there are non-trivial constraints on color categorization. Behavioral and Brain Sciences 20: 196–201. _______. 1999. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I dan II. Jakarta : Erlangga. Lande R, Arnold SJ (1983). The measurement of selection on correlated characters. Evolution 37. Lass, Roger. 1997. Historical linguistics and language change. Cambridge: Cambridge University Press Leach, Edmund R. 1954. Political Systems of Highland Burma. Boston: Beacon Press ______. 1961. Rethinking Anthropology. London: Athlone Press Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Crowell Co. ______. 1974. Cows, Pigs, Wars and Witches. New York: Vintage.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



510



______. 1977. Cannibals and Kings: The Origins of Culture. New York: Vintage Le´vi-Strauss, Claude. 1963 [1958] [1945–58]. Structural Anthropology (translated by Clare Jacobson and Brook Grundfest Schoepf ). New York: Basic Books. _______. 1966a. The future of kinship studies. Proceedings of the Royal Anthropological Institute. _______. 1966b [1962]. The Savage Mind. Chicago: University of Chicago Press. _______. 1968. The concept of primitiveness. In Richard B. Lee and Irven DeVore (eds.), Man the Hunter. Chicago: Aldine Publishing Company. _______. 1969a [1949]. The Elementary Structures of Kinship (revised edition, translated by James Harle Bell, John Richard von Sturmer, and Rodney Needham). Boston: Beacon Press. _______. 1969b [1962]. Totemism. Harmondsworth: Penguin Books. _______. 1976 [1955]. Tristes Tropiques (translated by John and Doreen Weightman). Harmondsworth: Penguin Books. _______. 1978a. Myth and Meaning. London: Routledge & Kegan Paul. _______. 1978b[1968]. The Origin of Table Manners: Introduction to a Science of Mythology, 3 (translated by John and Doreen Weightman). London: Jonathan Cape. _______. 1988 [1950]. Introduction to the Work of Marcel Mauss. London: Routledge. _______. 1997 [1993]. Look, Listen, Read (translated by Brian C. J. Singer). New York: Basic Books. _______. and Didier Eribon. 1991 [1988]. Conversations with Claude Le´vi-Strauss (translated by Paula Wissing). Chicago: University of Chicago Press Le´vy-Bruhl, Lucien. 1926 [1910]. How Natives Think (translated by Lilian A. Clare). London: George Allen & Unwin. Lincoln, R.J. Boxhall, G.A dan Clark P.F. 1981. A Dictionary of Ecology, Evolution and Systematics. London : Cambridge University Press. Linton Ralph, 1965. The Cultural Background of Personality, New York: Appleton Crosta. _______. 1940. The Study of Man. New York: Appleton. _______. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston. Lowie, Robert H. [1927] 1962. The Origin of the State. Reprint, New York: Russell and Russell _______. 1973. Primitive Society. New York: Liveright. Luzbetak. Louis J.. 1970. The Church and Cultures. Illionis: Devine Word Publication Techny. Luzbetak. Louis J.. 1970. The Church and Cultures. Illionis: Devine Word Publication Techny. Madjid, N. 2000. Masyarakat Religius. Jakarta: Pavamadina. Magner, LN (2002). A History of the Life Sciences, Third Edition, Revised and Expanded. Malinowski, Bronislaw. 1877. Ancient Society; or, Researches in the Lines of Human Progress from Savagery through Barbarism to Civilization. New York: Henry Holt. ______. 1984 [1922]. Argonauts of the Western Pacific. Long Grove, IL: Waveland Press.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



511



______. 1927a. The Father in Primitive Psychology. New York: W. W. Norton & Company. ______. 1927b. Sex and Repression in Savage Society. London: Kegan Paul. ______. 1934. Introduction. In H. Ian Hogbin, Law and Order in Polynesia: A Study of Primitive Legal Institutions. London: Christophers, pp. xvii–lxxii ______. 1935. Coral Gardens and Their Magic: A Study of the Methods of Tilling the Soil and of Agricultural Rites in the Trobriand Islands (2 vols.). London: George Allen and Unwin. ______. 1944 [1939–42]. A ScientiWc Theory of Culture and Other Essays. Chapel Hill: University of North Carolina Press. ______. 1948 [1916–41]. Magic, Science and Religion and Other Essays (selected by Robert RedWeld). Glencoe, IL: The Free Press. ______. 1948. Magic, Science, and Religion and Other Essays. Garden City, NY: Doubleday Anchor Books ______. 1961 [1945]. The Dynamics of Culture Change: An Inquiry into Race Relations in Africa. New Haven and London: Yale University Press ______. 1964. An Anthropological Analysis of War. In L. Bramson and G. Goethals, eds. War: Studies from Psychology, Sociology, Anthropology. New York: Basic Books, 245–68. ______. 1967. A Diary in the Strict Sense of the Term. London: Routledge & Kegan Paul Morgan, Lewis Henry. 1871. Systems of Consanguinity and AYnity of the Human Family (Smithsonian Contributions to Knowledge, vol. 17). Washington: Smithsonian Institution. Margolis, Maxine L (2001). Introduction, in Marvin Harris, The Rise of Anthropological Theory: A History of Theories of Culture, 2001a (first published 1968). Mallet J (2007). Hybrid speciation. Nature 446 (7133): 279–83. Marran Raga Rafael. 2000. Manusia dan Kebudayaan: dalam Perspekiif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Mark S. Smith. 2008. God in Translation: Cross Cultural Recognition of Deity in Biblical World. Tubingen: Mohr Siebeck. Mariasusai Davamhony. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta:Kanisius. Hlm 124 Marvin Harris. 2004. Cultural Materialism, Visions of Culture: An Introduction to Anthropological Theories and Theorists (2nd ed.), Walnut Creek, CA: AltaMira Press Martin Asher (March 11, 2010). Control Theory. Flow Chart Archived 2012-03-04 at the Wayback Machine. Mattulada. 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang  Bugis. Hasanuddin University Press: Ujung Pandang. Marret R., R.. 1900. The Thereshold of Religion. London: Macmillan. Marx, Karl. 1951, Theories of Surplus Value, London: Lawrence & Wishart. ______. 1973, Grundrisse, Harmondsworth: Penguin. ______. 1976a. Preface and Introduction, in Contribution to the Critique of Political Economy, Peking: Foreign Languages Press.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



512



______. 1976b, Theses on Feuerbach, in Ludwig Feuerbach and the End of Classical German Philosophy, by Frederick Engels, Peking: Foreign Languages Press. ______. 1976c. Capital, Volume I, Harmondsworth: Penguin. ______. 1977. The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, Moscow: Progress Publishers. ______. and Frederick Engels. 1957. On Religion, Moscow: Progress Publishers. ______. and Frederick Engels. 1974. The German Ideology (student edition), edited and introduced by C.J. Arthur, London: Lawrence & Wishart. ______. and Frederick Engels. 2009. Ruling Class and Ruling Ideas, in Cultural Theory and Popular Culture: A Reader, 4th edn, edited by John Storey, Harlow: Pearson Education Marzali. 1980. Metode Penelitian Kasus, Berita Antropologi. Marzali, MA.), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Massey, D. dan Allone, J.. 1988. The Economy in Question. London: Sage Mayeux R (2005). Mapping the new frontier: complex genetic disorders. J. Clin. Invest. McCauley, R. N. and E. T. Lawson. 2002. Bringing Ritual to Mind. Cambridge, UK: Cambridge University Press. McCrajen, G. 1988. The Long Interview: Qualitative Research Series. London: Sage McGlynn, Frank & Arthur Tuden (editor). 2000. Pendekatan Antropologi pada Perilaku Politik. UI Press: Jakarta McGuire B. Meredith. 1992. Relegion: The Soscial Context. Belmont, Califrnia: Wadsworth Inc. Mead Margaret. 1970. Culture and Commitment: A Studi of the Generation Gap. New York: Natural History Press. Media Kareba Edisi 2 Mei 2001. Makassar-ORNOP Sul-Sel bekerjasama dengan Fiet Indonesia. Melalatoa, M. J.. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mitchell, Bruce, Setiawan B. & Rahmi Hadi Dewita. 1997. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Michaël Devaux and Marco Lamanna. 2009. The Rise and Early History of the Term Ontology (1606–1730), Quaestio.Yearbook of the History of the Metaphysics. Mitchell, Bruce, Setiawan B. & Rahmi Hadi Dewita. 1997. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkung-an. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. _______. 2003. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Morris Brian. 2003. Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer. Yogyakarta: Al-Group Press. _______. 1993. The Emergence of Islam: Lectures on the Development of Islamic Worldview, Intellectual Tradition and Polity. Morris, B. 1970. ‘Ernest Thompson Seton and the Origins of the Woodcraft Movement’.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



513



Murphy E. Robert. 1980. Food end Population: Global Concern. Washinton, D.C.: U.S. Government Printing Office, Office of Educations Oxford English Dictionary (3rd ed.). September 2005. Oxford University Press Muller, F. Max. 1977 [1892]. Anthropological Religion. New Delhi: Asian Educational Services. Murdock P. George. 1956. How Culture Change, dalam Harry L. Sapiro ed. Man, Culture and Society. Chicago; Chicago University Press. Murphy E. Robert. 1980. Food end Population: Global Concern. Washinton, D.C.: U.S. Government Printing Office, Office of Educations. Natan Macdonald. 2012. Deuteronomy and the Meaning of Monotheism: 2nd Edition. Tubingen: Mohr Siebeck. Nida, Eugene A.. 1959. Principles of translation As Exemplified by Bible Trans-lating. In Reuben A. Brower (ed.), On Translation. Cambridge, MA: Harvard University Press Nurdjaman Progo, 2000. Metode Penelitian Terapan dan Kebijaksanaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Obeyeskere G. 1981. Medusas Hair. Chicago: The University of Chicago Press. Oetting WS, Brilliant MH, King RA (1996). The clinical spectrum of albinism in humans. Molecular medicine today. OBrien, Flann. 1977. The hair of the dogma. London: Hart-Davis. Orlove Benjamin S.. 1980. Ecological Anthropology: Annual Review of Anthropology, Vol. 9 (1980), pp. 235-273. Published by: Annual Reviews. Oshry Barry .2008. Seeing Systems: Unlocking the Mysteries of Organizational Life. Berrett-Koehler. Oxford English Dictionary (3rd ed.). Spetember 2005. Engeland: )xford University Press. Parsudi Suparlan dalam Robertson, Roland (ed)., Agama : Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis, (Jakarta : Rajawali, 1988). Peter Beliharz, Social Theory : A Guide to Central Thinkers, terj. Sigit Jatmiko, Teoriteori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003).101. Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Psathas G. (1995) Talk and Social Structure' and 'Studies of Work, in Human Studies, 18: 139–155. Pujileksono Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu Antropologi. Malang: UPT Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. Pals, L., Daniel. 2001. Seven Theory of Relgion: Dari Animisme E.B. Tylor, Materialisme Karl Marx Hingga Antropology Budaya Geerzt. Yogya-karta: Qalam. Panji Anaraga. 2001. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta. Parsons. 1966. The Development of A Prehistoric Complex Society: A Regional Perspektif from the Valley of Mexico. Journal of Field Archeology Vol. I.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



514



Peaston AE, Whitelaw E (2006). Epigenetics and phenotypic variation in mammals. Mamm. Genome Peaston AE, Whitelaw E (2006). Epigenetics and phenotypic variation in mammals. Mamm. Genome Peirce C. S.. 1980. Semiotic: The Study of Culture and Meaning. New York: Cambaridge University Press Parsons. 1966. The Development of A Prehistoric Complex Society: A Regional Perspektif from the Valley of Mexico. Journal of Field Archeology. Pearson H (2006). Genetics: what is a gene?. Nature 441 (7092). Peursen, C. A. van. 1978. Strategi Kebudayaan. Yogjakarta: Kanisius. Pelto, P. J., and G. H. Pelto, 1978 Anthropological Research: The Structure of Inquiry, 2d ed. New York: cambridge University press. Pike, Kenneth L. 1967. Language in Relation to a UniWed Theory of the Structure of Human Behavior (second edition). The Hague: Mouton. Poerwanto, Hari 2000. Kebudayaan dan Lingkungan: Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Poespowardojo, Soerjanto. 1993. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: PT. Gramedia. Pujileksono Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu Antropologi. Malang: UPT Penerbit Universita Muhammadiah. Quammen, D. (2006). The reluctant Mr. Darwin: An intimate portrait of Charles Darwin and the making of his theory of evolution. New York, NY: W.W. Norton & Company. Raba Mangga dan Asnawati. 2002. Fakta-Fakta tentang Nusa Tenggara Barat (Lombok & Sumbawa) Kerjasama antara Yayasan Pembangunan Insan Cipta dan Pemprop. Nusa Tenggara Barat. Mataram: Insan Cipta Press. Radin, P. (1927) Primitive Man as Philosopher, New York: Appleton. Radcliffe-Brown, A.R. 1965 [1952]. Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press Rafael Raga Maran, 2000. Manusia & Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Rappaport, Roy. 1968. Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People, New Haven, Conn.: Yale University Press. ______. 1994. Humanity’s Evolution and Anthropologys Future. In Assessing Cultural Anthropology. R. Borofsky, ed. Pp. 153–166. New York: McGraw-Hill. Rapport, N.J. (1987) Talking Violence. An Anthropological Interpretation of Conversation in the City, St. Johns, Nfld: ISER Press, Memorial University. Rasyid, Achmad, 2002. Studi Manajemen Pelestarian Alam Hutan Adat Ammatowa Kajang Melalui Pendidikan Kearifan Lokal. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar. Reber, Arthur S. dan Reber, Emily S. (2001). Dictionary of Psychology. New York: Penguin Reference. Reck, Gregory. 1996. What We Can Learn from the Past. Anthropology Newsletter.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



515



Robert M.Z. Lawang, 1985. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 4–6, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka. Robins R. H. 1980. General Linguistics: An Introductorq Survey; Third Edition. London UK : Longman Group Ltd. Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat. Rock, P.. 1973. Phenomenalism and Essencialism in the Sociology of Deviance. Sociologu, 78, 6J pp. 501-536. Rose H. and Rose, S. (Eds.). 2000. Alas, Poor Darwin. London: Cape. Rudiansyah Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah KajianTentang Lanskap Budaya. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta. Rudy T. May, 2007. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunannya, edisi revisi. Refika Aditama: Jakarta. Said Aziz Abdul 2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja. Yogyakarta: Ombak. Sahlins, Marshall 1959 Social Stratification in Polynesia. Monograph of the American Ethnological Society. Seattle: University of Washington Press. _______. 1960. Evolution: Specific and General. In Evolution and Culture. M. Sahlins and E. Service, eds. Pp. 12–44. Ann Arbor: University of MichiganPress. _______. 1961 The Segmentary Lineage: An Organization of Predatory Expansion. American Anthropologist 63. _______. 1963 Poor Man, Rich Man, Big-Man, Chief: Political Types in Melanesia and Polynesia. Comparative Studies in Society and History 5:285–303. _______. 1968 Tribesmen. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall. _______. 1972 Stone Age Economics. Chicago: Aldine. _______. 1976a Culture and Practical Reason. Chicago: University of Chicago Press. _______. 1976b The Use and Abuse of Biology. Ann Arbor: University of Michigan Press. ______. 1981a. Culture and Pratical Reasons. Chicago : Chicago University Press. _______. 1981b. Historical Metaphors and Mythical Realities: Structure in the Early History of the Sandwich Islands Kingdom. Association for Social Anthropology in Oceania, Special Publications no. 1. Ann Arbor: University of Michigan Press. _______. 1983 Other Times, Other Customs: The Anthropology of History. American Anthropologist 85. _______. 1985. Islands of History. Chicago: University of Chicago Press. _______. 1992 Anahulu: The Anthropology of History in the Kingdom of Hawaii. Vol. 1: Historical Ethnography. Chicago: University of Chicago Press. _______. 1993 Goodbye to Tristes Tropes: Ethnography in the Context of Modern World History. Journal of Modern History 65. _______. 1995 How Natives Think: About Captain Cook, For Example. Chicago: University of Chicago Press. _______. 1996 The Sadness of Sweetness: The Native Anthropology of Western Cosmology. Current Anthropology 37(3):395–415.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



516



_______. 1997 Reply to Borofsky. Current Anthropology 38(2). _______. 1999 Two or Three Things I Know about Culture. Journal of the Royal Anthropological Institute 5(3). _______. 2000 Culture in Practice: Selected Essays. New York: Zone Books. _______. 2004 Apologies to Thucydides: Understanding History as Culture and Vice Versa. Chicago: University of Chicago Press. Stirling, Paul _______. 1975 Review of Stone Age Economics by Marshall Sahlins. Man 10(2). Salle, Kaimuddin. 1999. Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Suatu Kajian Hukum Lingkungan Adat pada Masyarakat Ammatowa Kecamatan Kajang Dati II Bulukumba (Disertasi), Makassar: Pasacasarjana Universitas Hasanuddin. Salthe N. Stanley. 1972. Evolutionary Biology. New York: Holt, Rinehart and Winston. ______. 1949. Selected Writings. Berkeley: University of California Press. ______. 1907. Herders Ursprung der Sprache. Modern Philology 5: 109–142. ______. 1916. Time perspective in aboriginal American culture: a study in method. Ottawa: Canadian Geological Survey Memoir 90. ______. 1921. Language: an introduction to the study of speech.New York: Harcourt, Brace and World. ______. 1924 (1949). The grammarian and his language. In David G. Mandel-baum (ed.), Selected writings of Edward Sapir in language, culture and personality, 150–159. Berkeley: University of California Press. ______. 1925. Emily Dickinson: a primitive. Review of The complete poetry of Emily Dickinson. Poetry 26. ______. 1929 (1949). The status of linguistics as a science. In David G. Mandelbaum (ed.), Selected writings of Edward Sapir in language, culture and personality, 160–166. Berkeley: University of California Press. ______. 1929b (1949). A study in phonetic symbolism. In David G. Mandelbaum (ed.), Selected writings of Edward Sapir in language, culture and personality, 61–72. Berkeley: University of California Press. ______. 1931. Conceptual Categories in Primitive Languages. Majallah Science 74: 578-5841933 (1949). The psychological reality of phonemes. In David G. Mandelbaum (ed.), Selected writings of Edward Sapir in language, culture and personality, 46–60. Berkeley: University of California Press. ______. 1949. Selected writings of Edward Sapir. David Mandelbaum (ed.). Berkeley: University of California Press. ______. 1994. The psychology of culture: a course of lectures by Edward Sapir. Reconstructed and ed. Judith T. Irvine. Berlin: M. de Gruyter Sapir Edward. 1931. Conceptual Categories in Primitive Languages. Majallah Science. Sapiro M. E (1966) Religion: Problems oj Defintion and Explanation, in Banton, ed. Nathropological Approaches to the Study of Religion. London Saussure, Ferdinand de. 1916 (1972). Cours de linguistique g´en´erale. Charles Bally and Albert Sechehaye (eds.). Paris: Payot. ______. 1960. Souvenirs de F. de Saussure concernant sa jeunesse et ses ´etudes. Cahiers Ferdinand de Saussure 17.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



517



______. 1968. Cours de linguistique g´en´erale.R.Engler (ed.). Wiesbaden: Otto ______. 1974. Cours de linguistique g´en´erale. Appendice: Notes sur la linguistique g´en ´erale. R. Engler. (ed.). Wiesbaden: Otto Harrassowitz Scott C. James. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Schneider, D. (1968) American Kinship, Chicago: University of Chicago Press. _______. 1968. Sociological Approaches to Religion. New York: Holt, Rinehart and Winston. _______. (1976) Notes toward a Theory of Culture, in K.Basso and H. Selby (eds) Meaning in Anthropology, Albuquerque: University of New Mexico Press. _______. (1984) A Critique of the Study of Kinship, Ann Arbor: University Press of Michigan Siahaan Hotman M., Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Jakarta : Erlangga. Sigit Jatmiko, Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Belajar. Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas  Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Yayasan Obor: Jakarta. Simmel, G. (1971 [1908]) On Individuality and Social Forms (ed. D.Levine), Chicago: University of Chicago Press. _______. (1980) Essays on Interpretation in Social Science (ed. G.Oakes), Totowa, NJ: Rowman-Littlefield. _______. (1984) Georg Simmel: On Women, Sexuality and Love (ed. G.Oakes), New Haven, Conn.: Yale University Press Sinamo, Jansen. 2011. Delapan Etos Kerja Profesional. Jakarta: Institut Mahardika. Sperber, D. 1975 Rethinking Symbolism, Cambridge: Cambridge University Press. _______. 1985. Anthropology and Psychology: Towards an Epidemiology of Representations, Man 20:73–89. Spiro, M. 1958 Children of the Kibbutz, Cambridge, Mass.: Harvard University Press. _______. 1966 Religion: Problems oj Defintion and Explanation, in Banton, ed. Nathropological Approaches to the Study of Religion. London _______. 1982. Oedipus in the Trobriands, Chicago: University of Chicago Press Spradley, P. James. 1980. Participation Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston. ______. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston. ______. 1997. Metode Etnografi (diterjemahkan oleh Dr. Amri) Sjaifuddin Fedyani Achmad. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Me ngenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media. Steward J. H.. 1955. The Theori of Culture Change. Urbana: University of Illionis Press. ______. 1950. Area Research: Theory and PracticeNew York: Social Science Research Council, Bulletin 63.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



518



______. 1953. Evolution and Process. In Alfred Kroeber, ed. Anthropology Today. Chicago: The University of Chicago Press, 313–26. _______. 1955. The Theory of Culture Change. Urbana. University of Illionis Press. Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press. Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi, 1974, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Soemawoto Otto. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Soerjani Muhammad, dkk. Lingkungan Hidup (The Living Environment) Pendidikan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan, Jakarta: Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan (IPPL). Strinati Dominic. 2003. Popular Culture: Pengantar Menuju Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang Budaya. Suryabrata, Sturm RA, Frudakis TN (2004). Eye colour: portals into pigmentation genes and ancestry. Trends Genet. Sumardi, 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: C.V. Rajawali. Surakhmad, Winarno. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik. Bandung : Tarsito. Suriani. 2006. Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan Kebenaran dan Perdamaian Berdasarkan Kasih No. 5221: Tanah Laksana Ibu bagi Suku Kajang. Susanto, Astrid, 1985, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bandung. Sutton Q. Marks and Anderson E. N.. 2004. Introduction to Cultural Ekology. New York: BERG. Talcott Parsons Emile Durkheim dalam D. I. Sills, e.d, International Encyclopedia of The Social Seince, (New York : Maemillah Publishing Co, Inc. and The Fress, 1978). Tambiah, S. J. 1970. Buddhism and Spirit Cults in North-East Thailand. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ______. 1976. World Conqueror and World Renouncer. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ______. 1990. Magic, Science and Religion, and the Scope of Rationality. Cambridge, UK: Cambridge University Press. ______. 1992. Buddhism Betrayed? Chicago: University of Chicago Press. Tania Murray Li, 1999. Comparison Powe: Development, Culture, and Rule in Indonesi, Dalhousie Iniversity: Department of Sociology and Social Anthropology Taussig, M. 1980. The Devil and Commodity Fetish in South America. Chapel Hill, NC: Terrall, M.. 2002. The Man Who Flattened the Earth: Maupertuis and the Sciences in the Enlightenment. The University of Chicago Press. Tillich Paul. 1955. Theology and Symbolism. New York: Harver. Trencher, Susan. 2002. The American Anthropological Association and the Values of Science, 1935–1970. American Anthropologist 104:450–462. Thorsten Sellin, 1938. Culture and Conflict in Crime. New York: Social Science Research Council).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



519



Tylor, E.B. 1861.  Anahuac: or, Mexico and the Mexicans, Ancient and Modern. London: Longman, Green, Longman and Roberts. ______. 1865.  Researches into the Early History of Mankind and the Development of Civilization. London: John Murray.. ______. 1871.  Primitive Culture. Volume 1. London: John Murray. ______. 1871.  Primitive Culture. Volume 2. London: John Murray. ______. 1877. Remarks on Japanese Mythology. The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 6: 55–60. ______. 1877 . With Herbert Spencer. Review of The Principles of Sociology. Mind. 2: 415–429. 1880 Remarks on the Geographical Distribution of Games. The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 9: 23–30. ______. 1881.  On the Origin of the Plough, and Wheel-Carriage. The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 10: 74–84. ______. 1881.  Anthropology an introduction to the study of man and civilization. London: Macmillan and Co. ______. 1882.  Notes on the Asiatic Relations of Polynesian Culture. The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 11: 401–405. ______. 1884. Old Scandinavian Civilisation Among the Modern Esquimaux. The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 13: 348–357. ______. 1889. On a Method of Investigating the Development of Institutions; applied to Laws of Marriage and Descent. Journal of Royal Anthropological Institute. 18: 245–272. ______. 1890. Notes on the Modern Survival of Ancient Amulets Against the Evil Eye. The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 19: 54–56. ______. 1896. The Matriarchal Family System. Nineteenth Century. 40: 81–96.. ______. 1896. American Lot-Games as Evidence of Asiatic Intercourse Before the Time of Columbus. Leiden: E.J. Brill. ______. 1898. Remarks on Totemism, with Especial Reference to Some Modern Theories Respecting It. The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 28: 138–148. Turner, Victor. 1957. Schism and Continuity in an African Society. Manchester, U.K.: Manchester University Press ______. 1967. The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual. Ithaca and London: Cornell University Press ______. 1969. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine Publishing. ______. 1981 [1968]. The Drums of Affliction: A Study of Religious Processes among the Ndembu of Zambia. London: Hutchinson University Library for Africa Wallace Anthony F.C. 1956. Revitalization Movements. American Anthropologist 58 (2): 264–81. ______. 1961. Culture and Personality. York: Random House. ______. 1966. Religion: An Anthropological View. New York: Random House.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



520



Weber, M . 1947. The Theory of Social and Economic Organization. New York: Free Press. ______. 1958. The Religion of India. Glencoe, IL: Free Press. ______. 1965. The Sociology of Religion. London: Methuen. Weiling F (1991). Historical study: Johann Gregor Mendel 1822–1884. Am. J. Med. Genet. 40 (1): 1–25; discussion. White, Leslie. 1940. The Symbol: The Origin and Basis of Human Behavior. Philosophy of Science. ______. 1949. The Symbol: The Origin and Basis of Human Behavior. Philosophy of Science. ______. 1949. The Science of Culture. New York: Grove ______. 1949. The Science of Culture. New York: Grove. ______. 1959a. The Concept of Evolution in Cultural Anthropology. In Betty Meggers, ed. Evolution and Anthropology: A Centennial Appraisal. Washington, DC: The Anthropological Society of Washington ______. 1959b. The Evolution of Culture. New York: McGraw-Hill Whorf, Benjamin Lee. 1940. Science and Linguistics. Technology Review. ______. 1956. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf. Cambridge: The Massachusetts Institute of Technology Press Wibowo, Agus Budi. 1994 Perubahan Aspek-aspek Perkawinan Pada Masyarakat Pedesaan Studi Kasus di Dusun Mojohuro, Desa Sriharjo, Kec. Imogiri Kab. Bantul DIY, Tesis Pascasarjana UGM Wolf, Eric 1964 Anthropology. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hal Wright, S (1984). Evolution and the Genetics of Populations, Volume 1: Genetic and Biometric Foundations. The University of Chicago Press. Wu R, Lin M (2006). Functional mapping - how to map and study the genetic architecture of dynamic complex traits. Nat. Rev. Genet. Zirkle C (1941). Natural Selection before the Origin of Species. Proceedings of the American Philosophical Society.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



521



KAMUS KECIL ILMU BUDAYA ablineal relative A blood relative (e.g., a cousin) who is neither in ego’s line of descent nor the brother or sister of one who is (cf. colineal relative, collateral relative). action-centred approaches Approaches which emphasize social action over social structure, such as transactionalism. action theory: A perspective within the process approach in which the focus is on the strategies of individuals for gaining and maintaining power. age-area hypothesis Wissler’s notion that older culture traits tend to be those on the periphery of a culture area, rather than in the centre. His hypothesis is based on the idea that things are invented in the centre and diVuse outwards. agenda hopping D’Andrade’s notion of researchers changing their interests when old paradigms yield fewer and fewer insights (cf. Kuhnian) age set A category of people united by common age, often those initiated into adulthood at the same time. age-set system: In some societies, all those who undergo puberty initiation at the same time form a coherent group that passes through different statuses and roles together. In tribal societies, this can be an important pantribal sodality that overrides kinship loyalties and unites the wider group. androcentric Male-centred. animism A belief in a spiritual presence within things such as rocks and trees.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



522



anthropogeography The nineteenth-century German university subject, roughly equivalent to human geography. It gave birth to diVusionism. anthropology In its widest sense, the subject which includes social or cultural anthropology, anthropological linguistics, prehistoric archaeology, and biological or physical anthropology (cf. four Welds). In a narrower sense, a short name for social anthropology. apollonian An aspect of drama or culture characterized by measure, restraint, and harmony (cf. Dionysian). arena: This term has no agreed-upon meaning, but in the process approach and action theory, it is often used to delimit a small area within the political field in which competition between a few individuals or factions takes place. In Bailey’s game theory, it is an area in which cteams that agree on a common set of rules compete. articulation of modes of production Interaction between diVerent modes of production, for example as when colonial capitalist and lineage-based societies come into contact. associative Saussure’s term for what are now usually called paradigmatic relations in a language or symbolic system. avunculate The relationship between a child and his or her mother’s brother. More speciWcally, the term usually refers to accepted informal behavior between a boy and his mother’s brother, contrasted to formality between the boy and his father. avunculocal Another word forviri-avuncu local (residing with the husband’s mother’s brother). aYne, aYnal relative A relative by marriage. Band: The least complex level of sociocultural integration, associated with huntinggathering societies. Characterized by small, fluid groups; egalitarianism; informal leadership; and bilateral kinship. barbarism In evolutionist theory, the stage of society which lies between savagery and civilization. It is characterized by the possession of things such as pottery, livestock, etc. (cf. savagery, civilization). base The material aspect of society, believed by Marxists to be determinant of the superstructure or ideological aspect of society (cf. infrastructure, super-structure). basic needs In Malinowskian theory, the seven biological needs (e.g., safety) which are served by seven corresponding cultural responses (e.g., protection). bivocal symbolism: According to Abner Cohen, all true symbols serve both existential and political ends; that is, they are felt in a deeply personal way, but at the same time they maintain political continuity through reaffirming common myths and values. Boasian Referring to the ideas of Franz Boas, especially with reference to his cultural relativism. bridewealth Marriage gifts or payments made from the family of the groom to the family of the bride. British structuralism Originally a synonym for structural-functionalism (in the 1950s), but later used to refer to the work of British anthropologists who had taken up French structuralist ideas (from the 1960s). British structuralists (in the latter



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



523



sense) tended to be interested in structural elements of one culture at a time (cf. Dutch structuralism, French structuralism). cargo cult: A type of revitalization movement that seeks to gain access to Western trade goods (cargo in Pidgin English) by supernatural means. centre In opposition to periphery, the economically dominant place. Its centrality does not have to be geographical. For example, in worldsystems theory a colonial power may be deWned as the ‘centre’ and its colonies the ‘periphery’. chiefdom: The least complex form of a centralized political system, usually found in cultures that base their subsistence on extensive agriculture or intensive fishing. Characterized by a ranking of individuals and lineages, inheritance of power within a dominant lineage, and maintenance of power through redistribution of wealth by a charismatic chief. civil society In the eighteenth century, generally a synonym for government or the state. (More recently the term has been used to refer to anti-state groupings or occasionally to ‘society’ in contrast to ‘the state’.) civilization In evolutionist theory, the highest level of society, characterized by urbanization, social hierarchy, and complex social structure (cf. savagery, barbarism). cognitive anthropology The branch of anthropology or perspective within anthropology which emphasizes the relation between cultural categories and structures or processes of thought. cognitive relativism The form of relativism which holds that all statements about the world are culturally contingent (cf. moral relativism). cognitive science A somewhat broader term for cognitive anthropology, or any Weld which emphasizes the relation between cultural categories and structures or processes of thought. ‘cold’ societies Le´vi-Strauss’ term for societies he believed to be essentially static. ‘Cold’ societies have a concern with myth rather than history (cf. ‘hot’ societies). co-lineal relative Ego’s brother or sister or the brother or sister of someone who is in ego’s line of descent (e.g., an uncle or nephew) (cf. ablineal relative, collateral relative). collateral relative A blood relative who is not in ego’s line of descent (e.g., a cousin). Sometimes brothers and sisters are included and sometimes not (cf. lineal relative, direct relative). collective conscience, collective consciousness Durkheim’s term for the collective understandings which people within a given society share (French, conscience collective). collective representation Any of the collective understandings which people in a given society share (cf. collective conscience). communitas Turner’s term for an unstructured realm of ‘social structure’, where often the normal ranking of individuals is reversed or the symbols of rank inverted. This sense of ‘community’, he said, characterizes rites of passage. community A group of people who share common values. The term has come to be regarded as safer than ‘society’, whose existence has been challenged by some postmodernist thinkers (as well as some politicians).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



524



comparative philology An older term for the study of historical or structural relations between languages. comparative sociology A term occasionally used by Radcliffe-Brown to mean ‘social anthropology’. competence In linguistics, the ability or knowledge required by a native speaker to tell intuitively whether a construction is grammatical or not (cf. performance). complementary opposition: A system in which groups that are antagonistic at one level will unite at another level to counter a military threat. complexstructures According to Le´vi-Strauss, those kniship systems based on rules about whom one may not marry (e.g., that marriage between close relatives is forbidden) (cf. elementary structures). component In componential analysis, a synonym for ‘signiWcatum’. componential analysis A method or theoretical perspective which examines the relation between cultural categories as parts of a system of such categories, for example the system of colour terms in a given language. conjectural history Originally an eighteenth-century term for the methods of historical reconstruction favoured by thinkers such as Adam Smith and much later by evolutionists and diVusionists. connotatum An element in componential analysis which implies connotation rather than signiWcation (e.g., ‘uncle-like behaviour’ as opposed to a more formal deWning feature of the category ‘uncle’) (cf. signiWcatum). consanguine, consanguineal relative A relative by blood. conscience collective Durkheim’s term for the collective understandings which people within a given society share (in English, ‘collective conscience’ or more commonly ‘collective consciousness’). consensual power: Leadership that derives from the assent of the people, rather than force alone. This assent may be based on tradition, respect for an office, or faith in the personal qualities of a leader. consonant triangle Jakobson’s term for the structural relations between p, t, and k as representing a system deWned according to relative loudness and pitch (cf. vowel triangle). controlled comparison Any form of comparison which involves limiting the range of variables, such as by conWning comparisons to those within a region. corporatism: A model of the state in which the government functions through a limited number of monopolistic interest groups. couvade A custom whereby a man feels or pretends to be pregnant when his wife is about to give birth, often to draw malevolent forces away from his wife and child. cross-cousins The children of a brother and those of a sister. In many societies, crosscousins are marriageable whereas parallel cousins are not (cf. parallel cousins). Crow terminology A type of kinship terminology in which the father’s sister’s daughter is called by the same term as the father’s sister, or more generally one in which ego calls several members of his or her father’s matrilineal kin group by the same term (cf. ‘Omaha’ terminology).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



525



Crow-Omaha systems Le´vi-Strauss’ term for systems lying in-between elementary and complex ones: systems with ‘Crow’ or ‘Omaha’ terminologies in which all those called by kin terms are forbidden as possible spouses. culinary triangle A structural model proposed by Le´vi-Strauss in which roast, smoked, and boiled foods are seen as analogous to raw, cooked, and rotted foods. cultural anthropology The branch of anthropology or the academic discipline which is concerned with the study of cultural diversity. The term is typically used in the North American traditions, whereas in other traditions ‘ethnology’ or ‘social anthropology’ are the more common terms, often with slightly diVerent subject matter (cf. ethnology, social anthropology, four Welds). Cultural capital: For Pierre Bourdieu, anything that can be used in competitive struggles for status. Includes college degrees, professional licenses, artistic talent and the paintings produced by that talent, social skills, and so forth. cultural core, In Steward’s cultural ecology, the aspects of culture most susceptible to ecological inXuence (e.g., subsistence, patterns of migration) (cf. total culture). cultural determinism The notion that culture, rather than biology, regulates the ways in which humans perceive the world. cultural ecology The study of relations between culture and the natural world, especially in the theoretical perspective of Julian Steward. cultural materialism The theoretical perspective of Marvin Harris, who argues that there is a direct causal relation between material forces and aspects of culture (cf. vulgar materialism). cultural relativism Any of several theoretical perspectives in anthropology, including descriptive relativism, epistemological relativism, and normative relativism. cultural responses In Malinowskian theory, the seven basic aspects of culture (e.g., protection) each of which serves a biological need (in this case, safety). cultural studies The discipline concerned with the study of mass culture, popular culture, etc. Although it touches on anthropological interests, it has its origins in and its most direct links with literary criticism and sociology. culture In anthropology, usually taken as the totality of ideas, skills, and objects shared by a community or society. In other contexts, it is sometimes useful to distinguish the ‘high culture’ of the elite or the (often transient) ‘popular culture’ of the majority. ‘culture and personality’ The perspective of Ruth Benedict and her followers which emphasizes the ‘personality’ of whole cultures rather than individuals. culture area A cluster of related cultures, normally those occupying a geographical region. culture circle A cluster of related culture traits, or the geographical area where these are found. The idea is fundamental to GermanAustrian diVusionists, who saw these circles as spreading progressively over earlier culture circles (German, Kulturkreis). culture trait Any individual item of culture, either material or nonmaterial. culturo-genesis The origin of culture, or more usually, of symbolic culture. Darwinian Referring to the ideas of Charles Darwin, for example in his opposition to Lamarckian ideas (cf. Darwinism).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



526



Darwinism Any of several related perspectives derived from the evolutionist theory of Charles Darwin, and especially the idea of evolution through natural selection. deconstruction Derrida’s term for a method of literary analysis which seeks to expose the underlying assumptions of a text. deductivism, deductivist Any approach which proceeds from general assumptions to speciWc conclusions (cf. inductivism). degeneration theory, degenerativist theory The anti-evolutionist notion that organisms or societies decline in physical or moral quality. delayed direct exchange Le´vi-Strauss’ term for a type of marital exchange between kin groups where women move in one direction in one generation, and in the opposite direction in the next. It is a logical consequence of men marrying fathers’ sisters’ daughters (cf. direct exchange, generalized exchange). denotatum In componential analysis, a member of a given category. dependency theory: A broad paradigm that views the underdevelopment of the Third World as a result of the capitalist expansion of the First World. In contrast to modernization theory, dependency theory puts the emphasis on external factors of underdevelopment. dependent power: Power that is granted, allocated, or delegated by someone who holds independent power. descriptive relativism The form of relativism which holds that culture regulates the ways in which humans perceive the world, and therefore that cultural variability will produce diVerent social and psychological understandings among diVerent peoples (cf. epistemological relativism, normative relativism). designatum In componential analysis, the term for a given category. diachronic perspective A perspective through time (e.g., evolutionism), rather than one in the same time frame (cf. synchronic perspective). diachronic study: An analysis of a society in time; that is, in a historical or evolutionary context. discourse: A complex unit of analysis used in different ways by Michel Foucault. Roughly, a system of knowledge that determines the limits of thinking, perceiving, speaking, or acting for a particular group or within a particular historical period. The discourse contains the rules for designating a statement true or false. diVe´rance Derrida’s term implying roughly ‘a delay in diVerence’, in that the diVerences which deWne something in opposition to what it is not, cannot, in his view, be fully conceptualized. There is always, he argues, something beyond such diVerences. diVusion The movement of culture traits from one people to another. diVusionism, diVusionist A perspective which emphasizes diVusion (or sometimes migration) over evolution as the greater cause of cultural change in the world. dionysian An aspect of drama or culture characterized by emotion, passion, and excess (cf. Apollonian). direct exchange Le´vi-Strauss’ term for a type of marital exchange between kin groups where exchanges of women may go in either direction. It is a logical consequence of men exchanging sisters with each other or marrying women of a category which



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



527



includes both mothers’ brothers’ daughters and fathers’ sisters’ daughters (cf. delayed direct exchange, generalized exchange). direct relative A lineal relative or the brother or sister of a lineal relative (cf. collateral relative). discourse A complex concept involving the way people talk or write about something, the body of knowledge implied, or the use of that knowledge, such as in structures of power (e.g., in the work of Foucault). The term can also have the meaning (as in linguistics) of units of speech longer than a sentence. dispositions In Bourdieu’s terminology, tendencies or choices individuals have within the habitus (see also habitus). distinctive features Those features whose presence or absence deWnes a given phenomenon. For example, in phonology the feature of voicing deWnes the diVerence between a p (voiceless) and a b (voiced). Durkheimian Referring to the ideas of Emile Durkheim, especially his emphasis on social structure as a determinant of belief and ideology. Dutch structuralism Structuralism in The Netherlands, arguably as early as the 1920s, which emphasized regional structures such as that of the cultures of the Malay Archipelago taken as a whole (cf. British structuralism, French structuralism). ecosystem In ecology and ecological anthropology, the system which includes both social and natural environments. ego In discussions of kinship, the person from whose point of view a relationship is traced (meaning ‘I’ or ‘self ’). eidos According to Bateson, the form or structure of culture or cultural phenomena (cf. ethos). elementargedanken ‘Elementary thoughts’, those beliefs and aspects of culture held by Bastian to be common to all humankind (cf. psychic identity, Vo¨ l kergedanken). elementary structures According to Le´vi-Strauss, those kinship systems based on categories between which marriage is prescribed (e.g., the category of the cross-cousin) (cf. complexstructures). embodiment The notion that social or cultural categories are inseparable from the bodies of the individuals who possess them. emic Relating to a culture-speciWc system of thought based on indigenous deWnitions (cf. etic). empiricism, empiricist The doctrine which holds that knowledge is derived from experience rather than from prior reasoning (cf. rationalism). enculturation The process by which people, especially children, acquire culture (cf. socialization). Enlightenment The mainly eighteenth-century movement which stressed the importance of reason for the critical understanding of nature and society. environmental circumscription: A theory by Robert Carniero epistemological relativism The form of relativism which holds that human nature and the human mind are culturally variable, and therefore that all general theories of culture are fallacious (cf. descriptive relativism, normative relativism) epistemology In philosophy, the theory of knowledge.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



528



esprit general Montesquieu’s term (meaning ‘general spirit’) for the fundamental essence of a given culture. esprit humain Le´vi-Strauss’ term (meaning ‘human spirit’) for the psychic unity or collective unconsciousness of humanity as a whole. In his usage it implies a structure of thought universal among humanity. ethnicity: A self-conscious...identity that substantializes and naturalizes one or more attributes—the usual ones being skin color, language, religion, and territory— and attaches them to collectivities as their innate possession and myth-historical legacy (Tambiah 1996: 168). ethnography Literally, ‘writing about peoples’, the term also implies the practice of anthropological Weldwork. ethnology The study of ethnic groups, broadly a synonym for social or cultural anthropology. The term was in general use in Britain prior to the 1870s, but since then has been more common on the Continent and to some extent in North America (cf. cultural anthropology, social anthropology). ethnoscience Most literally, the scientiWc notions of indigenous peoples. More commonly the term implies methods such as componential analysis, designed to elucidate such knowledge. ethos According to Bateson, the distinctive character or spirit of an event or a culture (cf. eidos). etic Relating to categories held to be universal or based on an outside observer’s objective understanding (cf. emic). evolution A change or development, such as from simple to complex. Usually this change is regarded as gradual (cf. revolutionist). evolutionism, evolutionist Any perspective which stresses change for the better or advancement from simple to complex. In contrast to diVusionism, a perspective which emphasizes evolution over diVusion or migration as the greater cause of cultural change in the world. In contrast to a revolutionist perspective, one which argues for gradual over revolutionary change. extended case study A case study presented in detail within an ethnographic article or book, in order to illustrate a more general point. The idea came into anthropology from legal studies and is characteristic of the Manchester School. factions: Informal, leader-follower political groups organized for a particular purpose and disbanding when that purpose is accomplished or defeated. See also pervasive factionalism and segmentary factional political system. feminism, feminist The movement which developed to counteract male-dominant representations and male dominance generally. feral child A child existing in a ‘natural’ state, unsocialized by humans but sometimes believed to have been reared by wild animals. fetishism The belief in fetishes, or objects believed to have supernatural power. fetishization The act of treating something as a fetish or as being like a fetish. It is used especially in the latter, metaphorical sense (e.g., Marxist references to the ‘fetishization of commodities’).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



529



field: The basic unit of study in the process approach. Previous researchers tended to focus on a defined group, such as a tribe or community; a field, which is defined anew by each researcher, may cross the boundaries of different groups and may change over time. In Bailey’s game theory, a field is more specifically defined as an area in which rival political structures interact, but without agreed-upon rules between them. For Pierre Bourdieu, a field is an area of competitive struggle over a particular type of cultural capital. forces of production In Marxist theory, things such as raw materials and technology which form the material as opposed to the social aspect of the economic base; or the interaction of these elements of the means of production with labour (cf. base, mode of production, relations of production). Foucauldian, Foucaultian Referring to the ideas of Michel Foucault (cf. discourse). four Welds The classic division of American and Canadian anthropology: cultural anthropology, anthropological linguistics, prehistoric archaeology, and biological or physical anthropology. In other countries these ‘four Welds’ tend to be treated as separate disciplines rather than as branches of the same subject. French structuralism In its widest sense, the ideas of Claude Le´viStrauss and his admirers. In a narrower sense, the perspective within anthropology which emphasizes structures of the human mind rather than structures in the minds of members of particular cultures or people from particular culture areas (cf. British structuralism, Dutch structuralism). function A term variously used to denote the purpose of a custom or social institution in the abstract, or its relation to other customs or social institutions within a social system. functionalism, functionalist Any perspective which emphasizes the functions of customs or social institutions. In anthropology it refers especially to the perspectives of either B. Malinowski (regarded as a ‘purer’ functionalist) or A. R. RadcliffeBrown (a structural-functionalist). Geertzian Referring to the ideas of CliVord Geertz (cf. interpretivism). Geist Literally, the ‘ghost’ or ‘spirit’ of a society. game theory: Introduced into political anthropology by F. G. Bailey, this approach seeks to discover the normative rules and pragmatic rules of political manipulation. Politics is viewed as a game composed of teams competing for prizes. gender: The culturally constructed aspect of sexual identity. Sex refers to the biological aspect. genealogical grid The set of statuses believed to lie at the foundation of all kinship systems, no matter how relatives are classiWed in any given culture or society. general spirit Montesquieu’s term (esprit general) for the fundamental essence of a given culture. general systems theory: A complex paradigm for the social sciences originally derived from cybernetics and biology. Systems are viewed as adapting to changes in their internal and external environments through feedback mechanisms (see negative feedback and positive feedback). This orientation has been especially useful in explaining the rise of primary states.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



530



generalized exchange Le´vi-Strauss’ term for a type of marital exchange between kin groups where ‘exchanges’ of women are in one direction only, for example where a son may marry into the same kin group as his father but a daughter may not. It is a logical consequence of men marrying mothers’ brothers’ daughters (cf. delayed direct exchange, direct exchange). genotype The genetic makeup of an organism (cf. phenotype). global comparison, global-sample comparison Comparison on a world-wide basis in the search for universal cross-cultural generalizations or predictions. globalization The process of increasing contact between societies, especially in the economic sphere, across the globe (cf. localization, relocalization) globalization: The increasing flow of trade, finance, culture, ideas, and people brought about by the sophisticated technology of communications and travel, and by the worldwide spread of neoliberal capitalism. For anthropology, globalization also includes the local-level resistances and adaptations to these processes. God’s truth’ In linguistics and cognitive anthropology, the view that a good analysis of a set of emic categories will represent the true psychological reality of informants (cf. ‘hocus-pocus’). Great Chain of Being The view of the world as consisting of a hierarchy of entities from God to humanity to animals to plants, etc. It was prevalent in the sixteenth, seventeenth, and eighteenth centuries and, in contrast to the theory of evolution, based on a notion of the Wxity of species. grid Mary Douglas’ term for the ‘dimension’ of constraint through individual isolation (cf. group, grid/group analysis). grid/group analysis The analysis of ‘grid’ and ‘group’ constraints in the style of Mary Douglas. group Mary Douglas’ term for the ‘dimension’ of constraint on individuals as members of groups (cf. grid, grid/group analysis). gumlao, gumsa Among the Kachin of Burma, the two social formations, gumlao being egalitarian and gumsa being hierarchical. habitus: A term coined by Pierre Bourdieu; the largely unconscious internalization of the objective norms and rules of society that suggest how we might act within any given situation heliocentrism, heliocentric Literally ‘with the sun at the centre’, the extreme diVusionist perspective of the early twentieth century which held that the sun-worshipping ancient Egyptians were the source of greatest invention in human culture. historicist Any approach which emphasizes historical or diachronic aspects of culture or society. hocus pocus’ In linguistics and cognitive anthropology, the view that a good analysis of a set of emic categories will be one which correctly accounts for the data but which will not necessarily represent the (elusive) ‘true’ psychological reality of informants (cf. ‘God’s truth’). ‘hot’ societies Le´vi-Strauss’ term for societies he believed to be essentially dynamic. ‘Hot’ societies have a concern with history rather than myth (cf. ‘cold’ societies)



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



531



hybridity: A syncretism or compartmentalization of different culture traits in self-identity or social identity. hydraulic theory: A theory of state formation proposed by Karl Wittfogel. Canal irrigation required a division of classes into workers and administrators and tended to concentrate power in the hands of those who controlled the water supplies upon which the life of the community depended. hypergamous Involving marriage where the man is of higher status than his wife (cf. hypogamous). hypogamous Involving marriage where a woman is of higher status than her husband (cf. hypergamous). ideal types Weber’s notion of the basic forms of social phenomena, simpliWed from observed cases. For example, his studies of Protestantism assume an ideal type which is not necessarily an accurate representation of all Protestant societies. ideographic Referring to the speciWc rather than the general (e.g., the description of exact instances rather than generalizations on social processes) (cf. nomothetic). ideology Literally, the study of ideas. It generally carries the meaning of a system of values, such as those Marxists and some postmodernists argue give power to one group over another. illustrative comparison Comparison of speciWc ethnographic cases, for example to highlight some feature of culture or social structure which may be unusual. independent power: A relation of dominance based on the direct capabilities of an individual, such as knowledge, skills, or personal charisma. In centralized societies, such power may attach to a particular office, such as that of king. See dependent power. inductive computation Malinowski’s term for the process of discovery of the ‘invisible facts’ which govern the interconnection of facets of social organization. inductivism, inductivist Any approach which proceeds from specific examples to general conclusions (cf. deductivism). infrastructure Another word for the ‘base’ or material aspect of society (cf. base, superstructure). institutionalization of leadership: A theory by Elman Service that the development of centralized political organization can be explained in terms of the perceived benefits of strong leadership and political continuity. intensification: As used by Marvin Harris, this refers to a fundamental process of cultural evolution by which population pressures combine with resource depletion to force improved means of producing food. Such technological changes in turn require new modes of social organization. interactive perspective Any perspective in anthropology which emphasizes action over structure. interpretation Intuitive understanding, or more precisely the understanding of culture as being like a language, to be ‘translated’. interpretive An approach or method based on interpretation. interpretivism, interpretivist A perspective which emphasizes the interpretation of culture over the quest for formal structures. Geertz’s anthropology is the most commonly cited example.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



532



intersubjective Referring to methods which privilege equally the ethnographer and his or her informants. intertextual, intertextuality Referring to relations between texts, where each represents a commentary on another. irony A verbal construction, often humorous, in which words are used to mean the opposite of what they normally mean. ‘Iroquois’ terminology A type of kinship terminology in which crosscousins are distinguished from parallel cousins. Often parallel cousins are classed together with siblings. Kuhnian Referring to the ideas of Thomas Kuhn, especially his notion of science as a sequential series of paradigms. kula In the Trobriand Islands and surrounding areas, the formalized system of exchange of bracelets for armshells. Kulturkreis A cluster of related culture traits, or the geographical area where these are found. The idea is fundamental to German-Austrian diVusionists, who saw these circles as spreading progressively over earlier culture circles (English, ‘culture circle’). Lamarckian Referring to the ideas of Jean-Baptiste de Lamarck, especially that learned traits can be passed from parent to child. langue Saussure’s term for language in the sense of linguistic structure or grammar; by analogy, this can be the grammar of culture as well as of language as such (cf. parole). legitimacy: A primary basis for power that derives from the people’s expectations about the nature of power and how it should be attained, for example, by election in the United States or by holding redistributive feasts in Polynesia. Le´vi-Straussian Referring to the ideas of Claude Le´vi-Strauss (cf. structuralism). lineal relative A relative who is in ego’s line of descent (e.g., a grandmother or granddaughter). localization The interplay between local forms of knowledge and external pressures (cf. relocalization, globalization). male dominance: Control of productive resources and political power by men. Although widespread, cross-cultural studies suggest that male dominance is not universal. Malinowskian Referring to the ideas of Bronislaw Malinowski, either as a Weldwork methodologist or a functionalist theorist. Manchester School The school of thought centred around Max Gluckman at Manchester in the 1950s, 1960s, and 1970s. manitoo In Ojibwa belief, the guardian spirit of an individual (cf. totem). Man-the-Hunter theory of evolution: The belief that the evolution of homo sapiens focused on the cooperative hunting of big game. The theory is presently disputed. Marxism, Marxist Referring to the ideas of Karl Marx. In anthropology, the term implies a theoretical interest in the connections between material forces and relations of power but not necessarily adherence to Marx’s political ideology. matrilineal descent, matrilineality Descent through women, from mother to child, etc. (cf. patrilineal descent).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



533



matriarchy: Political control by women. Despite a widespread belief in primitive matriarchies, no such social system, either past or present, has ever been documented by anthropologists. means of production In Marxist theory, the organized arrangement of raw materials, tools, and know-how; the technological system of a society, especially in relation to subsistence (cf. mode of production). metanarrative Lyotard’s term for grand theory. metaphor An analogy, or relation of similarity across diVerent levels of analysis (e.g., a red traYc light means ‘stop’). metonymy A relation between objects in the same level of analysis (e.g., a red traYc light in relation to a green traYc light). mode of production: For Karl Marx, the way that production, especially labor, is organized. As reinterpreted by anthropologist Eric Wolf, there are three main modes of production: the kin-ordered mode, typical of bands, tribes, and chiefdoms; the tributary mode, in which an elite demands the products of labor as tribute; and the capitalist mode, which directly buys and sells human labor. modern In contrast to postmodern, emphasizing a holistic, coherent view of the world. modernism: In contrast to postmodernism, refers to Enlightenment values of progress through science and technology, the perfectibility of man and culture, rationalism, and the belief that reality is subject to articulation through grand theories or metanarratives. modernization theory: The assumption that the internal dynamics of a country are responsible for its development or underdevelopment. In some permutetions, the emphasis is put on what a country is lacking, such as entrepreneurial spirit, technology, capital, and so forth. Other versions emphasize such dynamics as internal colonialism or the growth of a vast informal economy. Contrasted with dependency theory. moiety Literally ‘half’ a society, deWned by membership in one or the other of two unilineal descent groups. monogenesis One origin for all human ‘races’ (cf. polygenesis). monogenist A person who believes in monogenesis (also the adjectival form of ‘monogenesis’). monotheism Belief in only one deity (cf. polytheism). moral relativism The form of relativism which holds that aesthetic and ethical judgements must be assessed in terms of speciWc cultural values (cf. cognitive relativism). morpheme The smallest meaningful unit of language (e.g., the English word cars consists of two morphemes: ‘car’ and ‘plural’). morphological In linguistics, referring to the level of the morpheme. multilinear evolutionism The theory of social evolution which emphasizes cross-cultural diversity and the inXuence of the environment in the process. mytheme In Le´vi-Strauss’ terminology, a unit within a mythological corpus which may be combined with similar units to make up a given myth. Mythologiques Literally, ‘mythologics’, Le´vi-Strauss’ four volumes on mythology.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



534



naiscent society Rousseau’s notion of an idyllic, egalitarian society before the emergence of ‘artiWcial’ inequalities. nationalism: Group self-identification with a real or desired sovereign territory. State nationalism refers to an existing government’s attempt to gain an overriding identification and loyalty from the subgroups that comprise the country. Ethnonationalism refers to the often-fervent desire of an ethnic group to attain or regain a homeland or sovereignty within a state. natural law The theory of law or the essence of law in that theory, as embedded in human nature. It was characteristic of Enlightenment legal theory, but opposed by later conceptions of law as a set of rules. natural selection The Darwinian notion (also called sexual selection) that individuals with superior characteristics will tend to breed more often than other individuals, thus giving rise to better-adapted individuals in later generations. naturism Not to be confused with nudism, F. Max Mu¨ ller’s notion of early religion as nature-worship. naven Ceremonies of the Iatmul of Papua New Guinea involving transvestism and other ritual reversals of ordinary behaviour. negative feedback: Deviation-minimizing processes. Change in a system will be limited by other elements of the system so that equilibrium is maintained (e.g., in hot weather, the body is cooled by sweating to maintain a constant temperature). neo-Darwinism In its most usual meaning today, the perspective in human biology which combines Darwinian theory with modern gen etics in seeking biological explanations of human social behaviour. Neo-evolutionism: A revival by Leslie White in the 1940s of nineteenth-century cultural evolutionary theory. Later theorists distinguished general evolution— broad changes in cultural complexity, such as from band to tribal society— from specific evolution—the observable adaptational changes of particular societies network analysis A methodological tool which emerged as part of the Manchester School. It seeks an understanding of social relations through chains or networks of individual associations. new archaeology In the 1960s, a perspective in archaeology which emphasizes ethnographic analogy. new ethnography In the 1960s, a perspective essentially synonymous with the cognitive anthropology of the time. In the 1980s, a rather difererent perspective essentially synonymous with the approach or approaches typiWed by CliVord and Marcus’ edited volume, Writing Culture. noble savage A seventeenth and eighteenth-century notion of the goodness of natural humanity or primitive social humanity embodied in ‘savages’. Typically, these were identiWed with the populations of Native North America. nomothetic Referring to the general rather than the speciWc, e.g., the search for regularities or general laws rather than the description of speciWc instances (cf. ideographic). normative relativism The form of relativism which holds that because cultures judge each other according to their own internal standards, there are no universal standards



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



535



to judge between cultures. There are two positions within normative relativism: cognitive relativism and moral relativism (cf. descriptive relativism, epistemological relativism). normative rules: In F. C. Bailey’s game theory, the political rules that are publicly professed, such as honesty, sportsmanship, and so forth. Contrasted with pragmatic rules. occidentalism A relatively recent term for the stereotyping of the West by oriental or other non-Western peoples (cf. orientalism). Oedipus complex In psychiatry, the complex of emotions of desire for the parent of the opposite sex (especially a boy for his mother). Oedipus myth The Greek myth in which, by a strange sequence of events, Oedipus kills his father and marries his mother. ‘Omaha’ terminology A type of kinship terminology in which the mother’s brother’s son is called by the same term as the mother’s brother, or more generally one in which ego calls several members of his or her mother’s patrilineal kin group by the same term (cf. ‘Crow’ terminology). Orang Outang In the eighteenth century, a term roughly equivalent to the modern generic concept of the ‘ape’, but often believed to be human or nearly human. Not to be confused with the orang-utan of Southeast Asia as known to science today. organic analogy The notion that society is ‘like an organism’ in being composed of evolving or interrelated parts or systems. orientalism In anthropology, the stereotyping of the East by Western peoples, especially as described by Edward Said (cf. occidentalism). Paideuma Greek for ‘education’, though in Frobenius’ German usage it identiWes the ‘soul’ of a culture (cf. Volksgeist). paradigm Thomas Kuhn’s term for a set of suppositions common to practitioners of a given science at a given time. It constitutes a large theory or perspective (e.g., Newtonian physics, Einsteinian physics). In the social sciences, the term bears much the same meaning (e.g., evolutionism and functionalism are anthropological paradigms). paradigmatic In structuralist usage, the relation between elements which might occupy the same position in a syntagmatic chain (e.g., Mary and Sally, in the sentences ‘John loves Mary’ and ‘John loves Sally’). In the anthropology of symbolism, paradigmatic relations are those of metaphor as opposed to metonymy. parallel cousins The children of two brothers or two sisters. In many societies parallel cousins are treated as brothers and sisters and sharply distinguished from crosscousins (cf. cross-cousins). parole Saussure’s term for speech in the sense of actual utterances; by analogy, it refers also to the social action as opposed to social structure (cf. langue). participant observation The Weldwork methodology in which the ethnographer learns through both observation and participation in the social life of the people under study. patrilateral parallel-cousin marriage Marriage of a man to his father’s brother’s daughter (or a woman to her father’s brother’s son).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



536



patrilineal descent, patrilineality Descent through men, from father to child, etc. (cf. matrilineal descent). performance In linguistics, the actual utterances which make up language (cf. competence). periphery An economically weak or dependent place or region, in contrast to the ‘centre’. The concept is important in Marxist anthropological theory (cf. centre, world system). pervasive factionalism: A condition in which formal political structures have broken down or have become inoperative, and temporary factions arise to solve each problem as it appears phenotype The physical makeup of an organism, as produced by both genetic and environmental factors (cf. genotype). phone A sound. In phonetics, the smallest unit of speech. phoneme The smallest meaningful unit of sound, more specifically one which exists within a language-speci Wc system of sounds. phonemics The study of systematic relations between sounds (as phonemes). Phonetics The study of speech sounds (phones) in their fundamental essence. phonological Relating to sounds as part of a system of phonemes. phonology The systematic relations between sounds (as phonemes), or the study of these (in the latter sense, synonymous with phonemics). phratry A large unilineal descent group, usually a cluster of smaller groups such as clans. pinalua In Hawaii, a relationship of intimacy or of common sexual possession. politics: One of those indefinable words that depends on the particular interests of the researcher. A good working definition is as follows: The processes involved in determining and implementing public goals and...the differential achievement and use of power by the members of the group concerned with these goals (Swartz, Turner, and Tuden 1966: 7). polygenesis Multiple and separate origins for the diVerent human ‘races’ (cf. monogenesis). polygenist A person who believes in polygenesis (also the adjectival form of ‘polygenesis’). polytheism Belief in more than one deity (cf. monotheism). positive feedback: Deviation-amplifying processes. A slight initial kick will start a process of increasingly rapid change, which will be stopped only when the system attains a new level of equilibrium or collapses. See negative feedback. postmodern A term originally employed in architecture and the arts to denote a reaction against ‘modernism’ (e.g., modern architecture) and a revival of classical traditions, often mixed indiscriminately (cf. postmodern condition, postmodernism). postmodern condition Jean-Franc¸ois Lyotard’s term for the state of society characterized by, among other things, globalization and a complexity of social groupings. postmodernism: An overarching term for multiple theories dating from the 1970s that reject anthropology’s scientific pretensions and all grand theory. Writings are often self-referential, emphasizing subjectivity, evocation, discourse, the subaltern voice, and the social construction of reality. Contrasted with modernism.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



537



poststructuralism, poststructuralist Any perspective based on a rejection of structuralist methodology or classic structuralist distinctions such as langue/parole or synchronic/diachronic. potlatch A ceremony performed by peoples of the North West Coast of North America involving feasting and the giving away (or sometimes the destruction of ) their own movable property, thereby redistributing goods and gaining prestige for themselves. power: In its broadest sense, an ability to influence the behavior of others and/or gain influence over the control of valued actions (R. Cohen 1970: 31). In its purely political aspect, such influence would be limited to the public domain. This amorphous term is better defined by breaking it into its component parts: consensual power, dependent power, independent power, legitimacy, and support. power/knowledge: In the works of Michel Foucault, the embedding of power within all discourse. Institutions determine what is normal or abnormal. Specialized knowledge, such as that of doctors or scientists, provides the power to classify, analyze, observe, and experiment and thus determine truth or falsity. practice theory Any perspective which emphasizes practice (or individual action) over social structure. Prague School In linguistics, the school of thought whose analysis was based on the identiWcation of distinctive features, especially in phonology. It originated in Central Europe and was transplanted to New York during the Second World War. praxis Especially in Marxist theory, practice or action related to the furtherance of social good. pre-logical mentality Lucien Le´vy-Bruhl’s term for the supposed thought processes of peoples who are culturally not equipped to distinguish cause from eVect. presentist In the study of the history of anthropology, the position which sees the past through the concerns of the present. The term is usually used disparagingly. processualism, processualist Any perspective which emphasizes social process over social structure, or which sees social or symbolic structures in terms of their propensity for transformation. psychic identity, psychic unity The idea that all humankind shares the same mentality (cf. logical mentality, pre-logical mentality). pragmatic rules: In F. C. Bailey’s game theory, those political rules that are concerned with gaining or maintaining power—that is, with winning the game, not with public display. Contrasted with normative rules. primary states: 1) arose when population growth and other pressures within areas bounded by mountains or desert forced increasingly complex modes of political and social organization, 2) a state that developed independently of pre-existing states. This occurred in six areas: Mesopotamia, the Nile Valley, the Indus Valley of India, the Yellow River Valley of China, Mesoamerica, and Peru. process approach: Sometimes referred to as process theory, although it is too amorphous to constitute a coherent theory. Originally a reaction against structuralfunctiona-lism, this approach emphasizes change and conflict.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



538



Radcliffe-Brownian Referring to the ideas of A. R. Radcliffe-Brown (cf. structuralfunctionalism). rationalism, rationalist The doctrine which holds that knowledge can be derived from reason without the necessity of prior experience (cf. empiricism). rationality debate A debate among philosophers and anthropologists, roughly from the 1960s to the 1980s, over the degree to which ‘primitive peoples’ were culturally capable of rational thought. reciprocal altruism In sociobiological theory, the notion of performing acts for others with the expectation of a return gain. reXexivism, reXexivist A perspective which holds reXexivity as central to anthropological method and theory. reXexivity The reXection on the place of one’s self (the ethnographer) in ethnographic practice. regional comparison A form of controlled comparison which confines comparisons to those within a region (e.g., Aboriginal Australia, Great Plains North America, etc.). relations of production The social relations around which production is organized; more technically, the appropriation of surplus labour on the basis of control over the forces of production and especially the means of production (cf. mode of production). relativism, relativist A view of the world which opposes the assumption of cultural universals or universal values. In anthropology, broadly a synonym for ‘cultural relativism’. In other words, any of several theoretical perspectives which include descriptive relativism, epistemological relativism, and normative relativism. re-localization The assertion, rediscovery or invention of locally based knowledge, especially knowledge which can be used in agrarian economic and social development (cf. localization, globalization). representations collectives French for ‘collective representations’. reproduction In Marxist theory, not merely reproducing children but reproducing existing aspects of culture or society through the generations. Restricted exchange A synonym for ‘direct exchange’ (as opposed to ‘delayed direct’ or ‘generalized’). Le´vi-Strauss and his followers use the terms interchangeably. revolutionist The view that social evolutionary change is the result of revolutionary events such as a literal ‘social contract’ or the invention of symbolism. rites of passage Rituals to mark the transition from one stage of life to another (such as adolescence to adulthood). retribalization: The tendency for some tribal groups to become more cohesive, to protect economic and political interests, during the process of modernization revitalization movement: A deliberate attempt by a group, usually in a situation of cultural collapse and/or subjugation by a foreign power, to create a better society. Such movements may seek apocalyptic transformation through supernatural means, try to recreate a Golden Age of the past, or expel all foreign influences. A cargo cult is a type of revitalization movement.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



539



role What an individual does, or more technically the dynamic aspect of a social status (cf. status). Sapir–Whorf hypothesis The hypothesis that the structure of the language people speak has an unconscious determining eVect on their worldview. It was formulated by Benjamin Lee Whorf on the basis of his own research and that of his mentor, Edward Sapir, on Native North American languages. Also known as the Whor Wan hypothesis. Saussurian Referring to the ideas of Ferdinand de Saussure (e.g., his distinction between langue and parole). savage In earlier times and to some extent in Le´vi-Strauss’ usage, ‘wild’ or ‘natural’. In the eighteenth century the term often had positive overtones (in opposition to ‘polished’ or ‘civil’ society, believed to exhibit less of human nature). In the nineteenth century, it was a term identifying the earliest and lowest level of society (cf. savagery). savagery In evolutionary theory the earliest and lowest level of society, characterized by egalitarianism and a low level of material culture (cf. barbarism, civilization). secondary state: Any state that came into existence through the influence of preexisting states. segmentary factional political system: A system either without formal political structures or in which such structures have broken down, so that competition between factions becomes the normal mode of political decision making. segmentary lineage: A unilineal system based on small, local, relatively autonomous units that can be put together, building-block fashion, into increasingly larger struc-tures for ritual or military purposes. semantics In linguistics, the study of meaning; the highest level of linguistic analysis (above phonetics, phonology, and syntax). semi-complexsystems A synonym for ‘Crow-Omaha systems’, socalled because in Le´viStrauss’ theory of kinship they contain attributes of both ‘elementary structures’ and ‘complex structures’ (cf. Crow Omaha systems). semiology, semiotics The study of ‘signs’, which include signiWers and the objects signiWed (cf. signiWer, signiWed). shamanism The practice of mediation between the ordinary world and the spirit world by a ritual specialist (a shaman). The term is from Tungus, a Siberian language, and refers especially to such practices as trance, out-of-body travel, etc., as practised by Siberian, Arctic, and Amerindian shamans. sign In Saussurian linguistics, the combination of the signiWer (a word) and what is signiWed by it. By extension, any similar pairing in the study of symbolism. significatum An element of componential analysis which, along with other signiWcata, deWnes a given category (cf. connotatum). signified An object or concept which is represented by a signifier (cf. sign). signifier The word or symbol which stands for something (the object ‘signified’; cf. sign). sociability An eighteenth-century concept implying both sociality and conviviality (cf. sociality).



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



540



social action In opposition to social structure, what people actually do, i.e., the roles they play as opposed to the social statuses they occupy. social anthropology The branch of anthropology or the academic discipline which is concerned with the study of society in cross-cultural perspective. The term is typically used in British and certain other traditions, whereas in North America ‘cultural anthropology’ is the more common term (cf. cultural anthropology, ethnology). social drama Turner’s characterization of a ritual process, such as a pilgrimage or a rite of passage, with precrisis and post-crisis phases. social fact Durkheim’s term for the smallest unit of social structure: a custom, institution, or any aspect of society. social institution An element of a social system (e.g., marriage is an aspect of the kinship system). social organization The dynamic aspect of social structure, i.e., the activities people engage in as part of the social structure. social processes A general term employed for cyclical changes in society or changes in society over time. social structure The relations between elements of society, either with reference to speciWc individuals (Radcliffe-Brown’s usage) or to the statuses they occupy (cf. structural form). social system A term variously referring to speciWc systems within society (economics, politics, kinship, religion) or to the society as a whole in its systematic aspects. social theory The branch of sociology which deals with grand theoretical problems, or any area of the social sciences concerned with similar phenomena. social values The values people acquire by virtue of membership in a community or society. sociality The capacity for living in a society, a concept of importance in theoretical perspectives as diverse as seventeenth-century political philosophy and late twentieth-century sociobiology. socialization The process by which people, especially children, acquire a knowledge of how to live in society (cf. enculturation). society A social unit equivalent variously to a language group, a cultural isolate, or a nation state. Also the social relations which exist between members of such a unit. sociobiology The study of social relations in a biological framework. More speciWcally, a discipline or theoretical position which treats human culture and society as adjuncts of humankind’s animal nature. sound shift A systematic change in a language, such as where one set of sounds is transformed into another set (e.g., voiced stops b, d, g become the equivalent voiceless stops p, t, k). state: The most complex level of political integration. Found in societies whose subsistence is based on intensive agriculture, and characterized by leadership centered in an individual or elite group supported by a bureaucracy, suprakinship loyalties, class structure, and economic redistribution based on tribute or taxation. Some globalization theorists view the state as in demise.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



541



state of nature The notion of humanity without society, an idea prevalent in the eighteenth-century European social theory. status The position an individual occupies within a social structure (cf. role). Stewardian Referring to the ideas of Julian H. Steward (cf. cultural ecology). stratigraphy In archaeology, the relation of layers of earth in a site. From these the relative age of artefacts, the remains of dwellings, etc. can be inferred. structural form Radcliffe-Brown’s term for generalities based on observations of the social structure. As his notion of ‘social structure’ was more concrete than that of others (referring to individuals), his term ‘structural form’ thus carried the more generic meaning which others ascribed to the term ‘social structure’. structural-functionalism: The dominant theoretical orientation of British anthropology during the 1930s and 1940s. Synchronic analysis, usually of groups treated as closed systems, showed how the various component institutions contributed to the equilibrium of the whole. structural opposition In structuralist theory, the relation between two elements of a structure according to the presence or absence of some distinctive feature. structuralism, structuralist Any perspective which emphasizes structural relations as a key to understanding. For structuralists, things acquire meaning through their place in a structure or system. In anthropology, it is the perspective identiWed most closely with Claude Le´vi-Strauss. subaltern studies A perspective in history and literary criticism, and prominent in South Asia, which emphasizes the position of the subordinate rather than the dominant group. It has been of influence in feminist anthropology. superstructure The ideological aspect of society, which in Marxist theory is determined by the base or infrastructure (cf. base). support: A broad concept, including virtually anything that contributes to or maintains political power. Two basic supports are coercion (force) and legitimacy. surface reading For Althusser, a reading (of Marx) which focuses on the actual words rather than the deeper meaning of the text (cf. symptomatic reading). symbolic culture The domain of culture concerned with symbols and symbolism, as opposed to material objects, social relations, etc. symptomatic reading For Althusser, a reading (of Marx) which focuses on the deeper meaning of the text rather than the actual words (cf. surface reading). synchronic analysis: A type of analysis, typical of the structural-functionalists and French structuralists, that treats societies as though they are outside of time; that is, without reference to historical context. synchronic perspective A perspective in the same time frame (e.g., functionalism), rather than one through time (cf. diachronic perspective). synecdoche A Wgure of speech in which a part represents a whole, or vice versa. syntactic In linguistics, either the level concerned with the structure of the sentence or more broadly the domain which lies between the phonological and semantic levels. By extension, any analogous aspect of the structure of culture.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



542



syntagmatic In structuralist usage, the relation between sequential elements such as words in a sentence. In the anthropology of symbolism, syntagmatic relations are those of metonymy as opposed to metaphor (cf. associative, paradigmatic). theism Belief in one or more deities (cf. monotheism, polytheism). theory In science or social science, any discourse, perspective or statement which leads to some conclusion about the world. Anthropological theory is centrally concerned with making sense of ethnography and with generalizations about culture or society. theory of the gift Mauss’ notion that gifts are given because of social obligations and not simply voluntarily. These social obligations entail relations of reciprocity which are fundamental to society, though perhaps in some parts of the world (e.g., Polynesia, Melanesia, the North West Coast of North America) more than in others. thick description Geertz’s notion of good ethnography as consisting of a multiplicity of detailed and varied interpretations (both the ethnographer’s and those of the people under study). three-age theory In archaeology, the idea of human prehistory as consisting of three ages, namely the Stone Age, the Bronze Age, and the Iron Age. total culture In Steward’s cultural ecology, the general aspects of culture, especially those least susceptible to ecological inXuence (e.g., language, religious belief ) (cf. cultural core). totem In Ojibwa belief, the spirit of a patrilineal clan, represented by an animal (cf. manitoo). By extension, a similar spirit among any people (cf. totemism). totemism Any belief system which entails the symbolic representation of the social (e.g., clan membership) by the natural (e.g., animal species and their characteristics). As phenomena described as ‘totemism’ are so varied across the world, some anthropo-logists have questioned the utility of calling them all by this one term (cf. totem). transnationalism: The process, made possible by globalization, of living in two or more countries at the same time. Immigrants do not assimilate into the new country but maintain close cultural, economic, and political ties with the home country through regular travel, media, e-mail, the Internet, and money transfers. transactionalism, transactionalist: A perspective which emphasizes transactions betwe-en individuals as the basis for social analysis. tribe: A loosely defined term used to denote a wide range of social organizations that exist between hunting-gathering bands and centralized systems. Associated with horticulture or pastoralism, charismatic leadership, unilineal kinship, and pantribal sodalities. tributary elites: The owners and managers of production, banking, and trade within periphery and semiperiphery countries who really represent the interests of the core. trope A Wgure of speech, such as metaphor, metonymy, synecdoche, or irony. unilinear evolutionism The theory of social evolution which holds that all humankind passes through the same stages of evolution irrespective of environment or speciWc historical inXuences.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



543



universal evolutionism The theory of social evolution which emphasizes broad, general stages rather than speciWc unilinear sequences of evolution. uxorilocal Residing with the wife’s group (cf. virilocal). Uxorilocal residence repeated through the generations creates localized matrilineal kin groups centred on women. Verstehen German for ‘understanding’ or ‘interpretation’, the basis of Max Weber’s sociology. viri-avunculocal Residing with the husband’s mother’s brother’s group (also called avunculocal; cf. uxorilocal, virilocal). Viri-avunculocal residence repeated through the generations creates localized matrilineal kin groups centred on men. virilocal Residing with the husband’s group (cf. uxorilical, viriavunculocal). Virilocal residence repeated through the generations creates localized patrilineal kin groups centred on men. vital sequences Malinowski’s notion of the biological foundations of all cultures. Vo¨ lkergedanken ‘Peoples’ thoughts’, those beliefs and aspects of culture held by Bastian to be speciWc to given cultures and not common to all humankind (cf. Elementargedanken). Volkerkunde The study of peoples, a German synonym for ‘ethnology’ but distinguished sharply from Volkskunde Volksgeist The spirit or soul of a people or culture. Volkskunde In Germany and some other countries, the study of folklore and local customs, including handicrafts, of one’s own country (cf. Vo¨ lkerkunde). vowel system The set of vowels found in a particular language and the structural relations which deWne them. vowel triangle Jakobson’s term for the structural relations between u, i, and a as representing a system deWned according to relative loudness and pitch (cf. consonant triangle). vulgar materialism Jonathan Friedman’s disparaging term for what Marvin Harris calls ‘cultural materialism’. It is ‘vulgar’ in the sense that it does not distinguish base from superstructure (cf. cultural materialism). Weberian Referring to the ideas of Max Weber, especially his emphasis on action over social structure (cf. Durkheimian). Wechselwirkung Simmel’s notion of ‘reciprocal eVect’, i.e., that the social exists when two or more people engage in interaction with each other, and when the behaviour of one is seen as a response to the behaviour of the other. Weltanschauung German for ‘worldview’. WhorWan hypothesis Another name for the Sapir–Whorf hypothesis. world Capitalist System: According to Immanuel Wallerstein, the expansion of capitalism outward from Europe beginning in the sixteenth century created a single world economy, consisting of a core of developed nations, a periphery of underdeveloped countries that supply raw materials and cheap labor to the core, and an intermediary group of semiperipheral countries world system Wallerstein’s idea of a system which links the economies of the smallest societies to the powerful capitalist economies of the West and the Far East.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



544



worldview A loan translation of German Weltanschauung, the term used especially by Boasian anthropologists for the broad perspective on the world maintained by a people through their culture.



Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar



545