Abortus Spontan Komplit [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Abortus merupakan istilah yang merujuk pada pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Akan tetapi, karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram dan kurang dari 20 minggu.1 Abortus dapat dibagi atas dua golongan, yaitu abortus spontan dan abortus provokatus. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis dan disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. Sedangkan abortus provokatus atau abortus buatan adalah abortus yang terjadi akibat tindakan atau disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat.1



Berdasarkan aspek klinisnya, abortus spontan dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : a. Abortus imminens (threatened abortion) Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus dan tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosis abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi perdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi perdarahan sedikit pada saat haid yang semestinya datang jika tidak



1



terjadi pembuahan. Hal ini disebabkan oleh penembusan villi koreales ke dalam desidua, pada saat implantasi ovum. Perdarahan implantasi biasanya sedikit, dan



tidak



warnanya



merah, cepat berhenti, mules-mules.1,2



disertai



Gambar 1. Abortus imminens1



b. Abortus insipiens (inevitable abortion) Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum



20 minggu



dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, bertambah.1,2



perdarahan



Gambar 2. Abortus insipiens1



2



c. Abortus inkomplit Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum.1,2



d. Abortus komplit Perdarahan pada kehamilan muda dimana seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat di permudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.1,2



Gambar 4. Abortus komplit2



3



e. Abortus tertunda (missed abortion) Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati tertahan di dalam kavum uteri tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. Missed abortion biasanya didahului oleh tanda-tanda abortus imminens yang kemudian menghilang secara spontan atau setelah pengobatan. Gejala subyektif kehamilan menghilang, mammae agak mengendor lagi, uterus tidak membesar lagi malah mengecil, dan tes kehamilan menjadi negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah mati dan besarnya sesuai



dengan



kehamilan.1,2



usia



Gambar 5. Abortus tertunda1



f. Abortus habitualis (recurrent abortion) Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut turut tiga kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu.1,2



4



g. Abortus infeksiosa dan abortus septik Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedangkan abortus septik adalah abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkomplit dan lebih sering ditemukan pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis generalisata atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok. Diagnosis abortus infeksiosa ditentukan dengan adanya abortus yang disertai gejala dan tanda infeksi genitalia, seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam berbau, uterus yang membesar, lembek, serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang- kadang menggigil, demam tinggi, dan tekanan darah menurun.1,2



Abortus buatan juga terbagi menjadi : a.



Abortus



buatan



menurut



kaidah



ilmu



(abortus



provocatus



medicinalis/therapeuticus) Indikasi abortus untuk kepentingan ibu, misalnya : penyakit jantung, hipertensi esential, dan karsinoma serviks. Keputusan ini ditentukan oleh tim ahli yang terdiri dari dokter ahli kebidanan, penyakit dalam dan psikiatri, atau psikolog.1,2



5



b. Abortus buatan criminal (abortus provocatus criminalis) Pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh orang yang tidak berwenang dan dilarang oleh hukum.1,2



Abortus komplit sendiri merupakan salah satu bentuk klinis dari abortus spontan maupun sebagai komplikasi dari abortus provokatus kriminalis maupun medisinalis. Insiden abortus komplit sendiri belum diketahui secara pasti namun yang penting diketahui adalah sekitar 60% dari wanita hamil yang mengalami abortus inkomplit memerlukan perawatan rumah sakit akibat perdarahan yang terjadi.1,2 Abortus komplit memiliki komplikasi yang dapat mengancam keselamatan ibu karena adanya perdarahan masif yang bisa menimbulkan kematian akibat terjadinya syok hipovolemik apabila keadaan ini tidak mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Seorang ibu hamil yang mangalami abortus komplit dapat mengalami guncangan psikis. Tidak hanya pada ibu, namun juga pada keluarganya, terutama pada keluarga yang sangat menginginkan anak.1,2 Mengenal lebih dekat tentang abortus spontan komplit menjadi penting bagi para pelayan kesehatan agar mampu menegakkan diagnosis kemudian memberikan penatalaksanaan



yang sesuai



dan akurat,



serta mencegah



komplikasi.1,2



6



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



1.



DEFINISI Abortus komplit merupakan abortus spontan yang tidak dapat dihindari.



Abotus komplit (keguguran lengkap) adalah abortus yang hasil konsepsi (desidua dan fetus) keluar seluruhnya sebelum usia 20 minggu dan berat badan di bawah 500 gram. Ciri terjadinya abortus komplit adalah perdarahan pervaginam, kontraksi uterus, ostium sudah menutup, ada keluar jaringan, tidak ada sisa dalam uterus, uterus telah mengecil. Diagnosis abortus komplit ditegakkan bila jaringan yang keluar juga diperiksa kelengkapannya.1,2



2.



EPIDEMIOLOGI Insiden abortus spontan komplit belum diketahui secara pasti, namun



demikian disebutkan sekitar 60% dari wanita hamil dirawat di rumah sakit dengan perdarahan akibat mengalami abortus. Insiden abortus spontan secara umum disebutkan sebesar 10% dari seluruh kehamilan. Angka-angka tersebut berasal dari data-data dengan sekurang-kurangnya ada dua hal yang selalu berubah, kegagalan untuk menyertakan abortus dini



yang tidak diketahui dan



pengikutsertaan abortus yang ditimbulkan secara ilegal serta dinyatakan sebagai abortus spontan.1,2 Lebih dari 80% abortus terjadi dalam 12 minggu pertama kehamilan dan angka tersebut kemudian menurun secara cepat pada umur kehamilan selanjutnya. Anomali kromosom menyebabkan sekurang-kurangnya separuh dari abortus pada



7



trimester pertama, kemudian menurun menjadi 20-30% pada trimester kedua dan 5-15% pada trimester ketiga.1,2 Risiko abortus spontan semakin meningkat bertambahnya paritas disamping dengan semakin lanjutnya usia ibu serta ayah. Frekuensi abortus yang dikenali secara klinis bertambah dari 12% pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun, menjadi 26% pada wanita yang berumur di atas 40 tahun. Untuk usia paternal yang sama, kenaikannya adalah dari 12% menjadi 20%. Insiden abortus bertambah pada kehamilan yang belum melebihi umur 3 bulan.1,2



3.



ETIOLOGI Mekanisme pasti yang bertanggung jawab pada peristiwa abortus tidak



selalu tampak jelas. Pada beberapa bulan pertama kehamilan, ekspulsi hasil konsepsi terjadi secara spontan hampir selalu didahului kematian embrio atau janin, namun pada kehamilan beberapa bulan berikutnya sering janin sebelum ekspulsi masih hidup dalam uterus.1,2 Kematian janin sering disebabkan oleh abnormalitas pada ovum, zigot, atau oleh penyakit sistemik pada ibu, dan kadang-kadang mungkin juga disebabkan oleh penyakit pada ayahnya.1



A.



Faktor Maternal Biasanya penyakit maternal berkaitan dengan abortus euploidi.



Peristiwa abortus tersebut mencapai puncaknya pada kehamilan 13 minggu, 8ank arena saat terjadinya abortus lebih belakangan, pada sebagian kasus dapat ditentukan etiologi abortus yang dapat dikoreksi. Sejumlah penyakit,



8



kondisi kejiwaan, dan kelainan perkembangan pernah terlibat dalam peristiwa abortus euploidi, dan beberapa hal lainnya adalah :



a.



Infeksi Organisme seperti Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis,



Neisseria gonorroeae, Streptococcus agalactina, Herpes simplex virus, Cytomegalovirus listeria monocytogenes dicurigai berperan sebagai penyebab abortus. Toxoplasma juga disebutkan dapat menyebabkan abortus. Isolasi Mycoplasma homonis dan Ureaplasma urealyticum dari traktus



genitalia



sebagian



wanita



yang



mengalami



abortus



telah



menghasilkan hipotesis yang menyatakan bahwa infeksi mikoplasma yang menyangkut traktus genitalia dapat menyebabkan abortus. Dari kedua organisme tersebut, Ureaplasma urealyticum merupakan penyebab utama.3,4



b.



Penyakit-penyakit Kronis yang Melemahkan Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan



keadaan ibu misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus. Hipertensi jarang disertai dengan abortus pada kehamilan sebelum 20 minggu, tetapi keadaan ini dapat menyebabkan kematian janin dan persalinan premature.5



c.



Pengaruh Endokrin Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidisme,



diabetes mellitus, dan defisiensi progesterone. Diabetes tidak menyebabkan



9



abortus jika kadar gula dapat dikendalikan dengan baik. Diabetes maternal pernah ditemukan oleh sebagian peneliti sebagai faktor predisposisi abortus spontan, tetapi kejadian ini tidak ditemukan oleh peneliti lainnya. Defisiensi progesterone karena kurangnya sekresi hormone tersebut dari korpus luteum atau plasenta mempunya hubungan dengan kenaikan insiden abortus. Progesterone berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormone tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya.6,7



d.



Nutrisi Pada saat ini, hanya malnutrisi umum sangat berat yang paling besar



kemungkinannya menjadi predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus. Nausea serta vomitus yang lebih sering ditemukan selama awal kehamilan dan setiap deplesi nutrient yang ditemukan jarang diikuti dengan abortus spontan. Sebagian besar mikronutrien pernah dilaporkan sebagai unsur yang penting untuk mengurangi abortus spontan.7



e.



Obat-obatan dan Toksin Lingkungan Beberapa toksin di lingkungan seperti benzene dapat menyebabkan



malformasi fetus dan keguguran. Selain itu bahan kimia lain seperti arsenik, formaldehid, timah, ethylen oxide, dan diklorodifeniltrikloroethan (DDT) juga dikaitkan.8,9



10



f.



Factor-faktor Imunologis Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan



abortus spontan yang berulang, antara lain : antikoagulan lupus (LAC) dan antibody anti cardiolipin (ACA) yang mengakibatkan destrusi vaskuler, thrombosis, abortus, serta destruksi plasenta.10,11



g.



Gamet yang Menua Baik umur sperma dapat mempengaruhi angka insiden abortus



spontan. Insiden abortus meningkat terhadap kehamilan yang berhasil bila inseminasi terjadi empat hari sebelum atau tiga hari sesudah peralihan temperature basal tubuh, karena itu disimpulkan bahwa gamet yang bertambah tua di dalam traktus genitalia wanita sebelum fertilisasi dapat menaikkan kemungkinan terjadinya abortus. Beberapa percobaan binatang juga selaras dengan hasil observasi tersebut.12



h.



Trauma Fisik dan Trauma Emosional Kebanyakan abortus spontan terjadi beberapa saat setelah kematian



embrio atau kematian janin. Jika abortus disebabkan khususnya oleh trauma, kemungkinan kecelakaan tersebut bukan peristiwa yang baru terjadi, tetapi lebih merupakan kejadian yang terjadi beberapa minggu sebelum abortus. Abortus yang disebabkan oleh trauma emosional bersifat spekulatif, tidak ada dasar yang mendukung konsep abortus dipengaruhi oleh rasa ketakutan, marah, ataupun cemas.1,2



11



i.



Kelainan Uterus Kelainan uterus dapat dibagi menjadi kelainan acquired (didapat) dan



kelainan yang timbul dalam proses perkembangan janin, defek duktus Mulleri yang dapat terjadi secara spontan atau yang ditimbulkan oleh pemberian dietilstilbestrol (DES). Malformasi kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit yang dapat menyebabkan uterus unikornus, bikornus atau uterus ganda. Defek pada uterus yang acquired sering dihubungkan dengan



kejadian abortus spontan berulang termasuk



perlengketan uterus atau sinekia dan leiomioma. Leiomioma uterus yang besar dan majemuk sekalipun tidak selalu disertai dengan abotus, bahkan lokasi leiomioma tampaknya lebih penting daripada ukurannya. Mioma submucosa, tapi bukan mioma intamural atau subserosa, lebih besar kemungkinannya untuk menyebabkan abortus. Namun demikian, leiomioma dapat dianggap sebagai faktor kausatif hanya bila hasil pemeriksaan klinis lainnya ternyata negatif dan histerogram menunjukkan adanya defek pengisian dalam kavum endometrium. Miomektomi sering mengakibatkan jaringan parut uterus yang dapat mengalami rupture pada kehamilan berikutnya, sebelum atau selama persalinan.13 Trauma akibat laparotomy kadang-kadang dapat mencetuskan terjadinya abortus. Pada umumnya, semakin dekat tempat pembedahan tersebut dengan organ panggul, semakin besar kemungkinan terjadinya abortus. Meskipun demikian, sering kali kista ovarium dan mioma bertangkai dapat diangkat pada waktu kehamilan apabila mengganggu gestasi. Peritonitis dapat menambah besar kemungkinan abortus. Perlekatan



12



intrauteri (sinekia atau sindroma Ashennen) paling sering terjadi akibat tindakan kuretasu pada abortus yang terinfeksi atau pada missed abortion atau mungkin pula akibat komplikasi postpartum. Keadaan tersebut akibat destruksi endometrium yang sangat luas. Selanjutnya keadaan ini mengakibatkan amenore dan abortus habitualis yang diyakini terjadi akibat endometrium yang kurang memadai untuk mendukung implantasi hasil pembuahan.13



Gambar 6. a. Uterus Bikornu Komplit b. Uterus Septata13



j.



Inkompetensi Serviks Kejadian abortus pada uterus dengan serviks yang inkompeten



biasanya terjadi pada trimester kedua. Ekspulsi jaringan konsepsi terjadi setelah membran plasenta mengalami ruptur pada prolaps yang disertai dengan ballooning membran plasenta ke dalam vagina.14



13



B.



Faktor Paternal Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan factor paternal dalam



proses timbulnya abortus spontan. Yang pasti, translokasi kromosom sperma dapat menimbulkan zigot yang mengandung bahan kromosom yang terlalu sedikit atau terlalu banyak, sehingga terjadi abortus.8,15,16 Penyakit ayah: umur lanjut, penyakit kronis seperti TBC, anemia, dekompensasi kordis, malnutrisi, nefritis, sifilis, keracunan (alcohol, nikotin, Pb, dan lain-lain), sinar rontgen, avitaminosis.8,15,16



C.



Faktor Fetal Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian



janin atau cacat. Kelainan berat biasanya menyebabkan kematian janin pada hamil muda. Faktor-faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan janin antara lain kelainan kromosom, lingkungan kurang sempurna, dan pengaruh dari luar. Kelainan kromosom merupakan kelainan yang sering ditemukan



pada



abortus



spontan



seperti



trisomi,



poliploidi,



dan



kemungkinan pula kelainan kromosom seks. Trisomi autosomalmerupakan anomaly yang paling sering ditemukan (52%), kemudian diikuti oleh poliploidi (21%), dan monosomi X (13%). Lingkungan yang kurang sempurna terjadi bila lingkungan endometrium di sekitar tempat implantasi kurang sempurna sehingga pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi terganggu.17 Pengaruh dari luar, seperti radiasi, virus, obat-obat yang sifatnya teratogenik.8,17



14



D.



Faktor Plasenta Pada plasenta, seperti endarteritis dapat terjadi dalam vili koriales dan



menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin, keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda, misalnya karena hipertensi yang menahun.1,2



4.



PATOFISIOLOGI Proses abortus komplit dapat berlangsung secara spontan maupun sebagai



komplikasi dari abortus provokatus kriminalis maupun medisinalis. Proses terjadinya berawal dari perdarahan pada desidua basalis yang menyebabkan nekrosis jaringan di atasnya. Selanjutnya, sebagian atau seluruh hasil konsepsi terlepas dari dinding uterus. Hasil konsepsi yang terlepas menjadi benda asing terhadap uterus sehingga akan dikeluarkan langsung atau bertahan beberapa waktu. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya karena vili koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan antara 8 minggu sampai 14 minggu, vili koriales menembus desidua lebih dalam sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu umumnya yang mula-mula dikeluarkan setelah ketuban pecah adalan janin, disusul kemudian oleh plasenta yang telah lengkap terbentuk. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap.1,2



15



5.



GAMBARAN KLINIS a. Ditandai dengan keluarnya seluruh hasil konsepsi. b. Perdarahan pervaginam ringan terus berlanjut sampai beberapa waktu lamanya. c. Umumnya pasien datang dengan rasa nyeri abdomen yang sudah hilang. Umunya terjadi pervaginam derajat sedang sampai berat disertai dengan



kram pada perut bagian bawah, bahkan sampai ke punggung. Janin kemudian sudah keluar bersama-sama plasenta pada abortus yang terjadi sebelum minggu ke-10, tetapi sesudah usia kehamilan 10 minggu, pengeluaran janin dan plasenta akan terpisah. Bila plasenta seluruhnya atau sebagian tetap tertinggal dalam uterus, maka akan terjadi perdarahan.1,2 Cepat atau lambat akan terjadi dan memberikan gejala utama abortus komplit. Sedangkan, pada usia abortus dalam usia kehamilan yang lebih lanjut, sering perdarahan berlangsung amat banyak dan kadang-kadang masif sehingga terjadi syok hipovolemik.1,2



6.



DIAGNOSIS Diagnosis abortus spontan komplit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis



melalui anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik, setelah menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding lain, serta dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang.18



16



Pemeriksaan fisik mengenai status ginekologis meliputi pemeriksaan abdomen, inspekulo, dan vaginal toucher. Palpasi tinggi fundus uteri pada abortus spontan komplit dapat sesuai dengan umur kehamilan atau lebih rendah. Pemeriksaan penunjang berupa USG akan menunjukkan adanya sisa jaringan. Tidak ada nyeri tekan ataupun tanda cairan bebas seperti terlihat pada kehamilan ektopik yang terganggu. Pemeriksaan dengan menggunakan spekulum akan memperlihatkan adanya dilatasi serviks, mungkin disertai dengan keluarnya jaringan konsepsi atau gumpalan-gumpalan darah. Bimanual palpasi untuk menentukan besar dan posisi uterus perlu dilakukan sebelum memulai tindakan evakuasi sisa hasil konsepsi yang masih tertinggal. Menentukan ukuran sondase uterus juga penting dilakukan untuk menetukan jenis tindakan yang sesuai.18



Tabel 1. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Abortus18



17



7.



DIAGNOSIS BANDING A.



Molahidatidosa Mola Hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak



wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik mola hidatidosa mudah dikenali yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm. Secara histopatologi yang khas dari mola hidatidosa adalah edema stroma vili, tidak ada pembuluh darah pada vili/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas.1,2,18 Pada awalnya gejala mola hidatidosa sama pada gejala awal kehamilan namun kemudian perkembangannya lebih pesat, sehingga didapatkan besar uterus lebih besar dari usia kehamilan.1,2 Perdarahan merupakan gejala utama mola hidatidosa yang biasa terjadi pada bulan pertama sampai ke tujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan bisa intermitten sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian. Mola biasanya disertai dengan preeklampsia hanya perbedaannya preeklampsia pada mola terjadi pada kehamilan lebih muda dari pada kehamilan biasa. Pada USG didapatkan gambaran yang khas yaitu berupa badai salju (snow flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb). Pada kehamilan trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik sehingga seringkali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus inkomplit, atau mioma uteri.1,



18



B.



Kehamilan Ektopik Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel



telur yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Pada kehamilan ektopik penderita umumnya menunjukkan gejalagejala kehamilan muda, dan mungkin merasa sedikit nyeri di perut bagian bawah yang tidak terlalu dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan uterus membesar dan lembek walaupun mungkin tidak sebesar tuanya kehamilan. selain itu dapat dilakukan usaha menggerakkan serviks uteri yang menimbulkan nyeri yang disebut nyeri goyang serviks (+) atau slinger pain. Demikian pula kavum douglasi menonjol dan nyeri pada perabaan oleh karena terisi oleh darah.1,2 Apabila kehamilan ektopik mengalami penyulit atau terjadi ruptur pada tuba tempat lokasi nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan tanda yang khas yaitu timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian diikuti dengan syok atau pingsan. Ini adalah tanda khas terjadinya kehamilan ektopik terganggu.1,2 Pada kehamilan ektopik terganggu nyeri adalah keluhan utama. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diafragma sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina menyebabkan defekasi yang nyeri.1,2,18 Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada KET. Hal ini menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum uteri karena



19



pelepasan desidua. Perdarahan biasanya berwana coklat tua bila berasal dari uterus.1,2 Pada USG didapatkan gambaran uterus yang tidak memiliki kantong gestasi dan gambaran kantong gestasi yang berisi mudigah berada diluar uterus. Apabila sudah terganggu (ruptur) maka kantong gestasi sudah tidak jelas tetapi akan didapatkan massa hiperekoik yang tidak beraturan , tidak berbatas tegas, dan disekitarnya didapatkan gambaran cairan bebas (gambaran darah intraabdominal). Bila tidak tersedia fasilitas USG dapat dilakukan pemeriksaan pungsi kavum Douglasi (kuldosentesis).1,2,18



8.



PENANGANAN Penanganan abortus spontan komplit, antara lain19 : a. Bila kondisi pasien baik, berikan ergometrin 3 x 1 tablet selama 3-5 hari. b. Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfuse darah. c. Berikan antibiotik untuk mecegah infeksi. d. Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin, dan mineral.



9.



PROGNOSIS Kecuali adanya inkompetensi serviks, angka kesembuhan yang terlihat



sesudah mengalami tiga kali abortus spontan akan berkisar antara 70-85% tanpa tergantung pada pengobatan yang dilakukan. Abortus spontan komplit yang dievakuasi lebih dini tanpa disertai infeksi memberikan prognosis yang baik terhadap ibu.1,2



20



DAFTAR PUSTAKA



1. Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwno Prawirohardjo, 302-312. 2. Cunningham, Gary, F. dkk. 2006. Obstetri Williams Vol. 2. Jakarta: EGC, 951-964. 3. Ahmadi, A. Khodabandehloo, M. Ramazanzeah, R. Farhadifar, F. Rosham, D. Ghaderi, E. Farhangi, N. 2016. The Relationship Between Chlamydia trachomatis Genital Infection and Spontaneous Abotion. Iran: JRI, 17(2):110116. 4. Ahmadi, A. Khodabandehloo, M. Ramazanzeah, R. Farhadifar, F. Rosham, D. Ghaderi, E. Farhangi, N. 2014. Association Between Ureaplasma urealyticum Endocervical Infection and Spotaneous Abortion. Iran: IJM, 392397. 5. Oakley, C. Warnes, CA. 2007. Heart Disease in Pregnancy 2nd Ed. USA: Blackwell Publishing, 136. 6. Luisi, S. Lazzeri, L. Genazzani, AR. 2007. Endocrinology of Pregnancy Loss in Recurrent Pregnancy Loss Causes, Controversies, and Treatment. Israel: Informa Healthcare, 79-85. 7. Jung et al. 2015. Body Mass Index at Age 18-20 and Later Risk of Spontaneous Abortion in The Health Examinees Study (HEXA). BMC Pregnancy



and



Childbirth,



15:228.



Available



on



http://www.biomedcentral.com/10.1186/s12884-015-0665-2



21



8. Julia et al. 2009. Exposure To Maternal and Paternal Tobacco Consumption and Risk of Spontaneous Abortion. Public Health Reports, Vol. 124. 9. Daniel, S. Koren, G. Lanunfeld, E. Bilenko, N. Ratzon, R. Levy, A. 2014. Fetal Exposure To Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs and Spontaneous Abortions. CMAJ, 185(5). 10. Twig, G. Sherer, Y. Blank, M. Shoenfeld, Y. 2007. Antiphospholipid Syndrome – Pathophysiologi in Recurrent Pregnancy Loss Causes, Controversies, and Treatment. Israel: Informa Healthcare, 107-111. 11. Torchinsky, A. Toder, V. 2007. Does The Maternal Immune System Regulate The Embryo’s Response To Teratogens in Recurrent Pregnancy Loss Causes, Controversies, and Treatment. Israel: Informa Healthcare, 59-64. 12. Andersen, AN. Wohlfahrt, J. Christens, P. Olsen, J. Melbye, M. 2000. Maternal Age and Fetal Loss: Population Based Register Linkage Study. BMJ Vol 320: 1708-12. 13. Seidman, DS. Goldenberg, M. 2007. Uterine Anomalies And Recurrent Pregnancy Loss in Recurrent Pregnancy Loss Causes, Controversies, and Treatment. Israel: Informa Healthcare, 147-152. 14. Mason, VC. de Chabert, RA. 1963. Incompetent Cervix. New York: Journal of The National Medical Association, 542-561. 15. Wiener-Megnazi, Z. Auslender, R. Dirnfeld, M. 2012. Advanced Paternal Age and Reproductive Outcome. Asian Journal of Andrology: 14, 69-76. 16. Jalee, R. Khan, A. 2013. Paternal Factors in Spontaneous First Trimester Miscarriage.



Pak



J



Med



Sci:



29(3):748-752.



Available



on



http://dx.doi.org/10.12669/pjms.293.3388



22



17. Kim et al. 2010. Chromosomal Abnormalities in Spontaneous Abortion After Assisted Reproductive Treatment. BMC Medical Genetics, 11:153. Available on http://www.biomedcentral.com/1471-2350/11/153 18. Bickhaus et al. 2013. Re-examining Sonographic Cut-off Values for Diagnosing Early Pregnancy Loss. USA: National Institute Public Acces;3(1):1-10. 19. Griebel, C. Halvorsen, J. Golemon, TB. Day, AA. 2005. Management of Spontaneous Abortion. University of Illinois College of Medicine at Peoria, Illionis. Vol. 72, No. 7. Available on http://www.aafp.org/afp



23



LAMPIRAN



24