Abses Bartolini [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Kista Bartholin dan abses Bartholin merupakan masalah umum pada wanita usia reproduksi. Kelenjar Bartholin terletak bilateral di posterior introitus dan bermuara dalam vestibulum pada posisi arah jam 4 dan 8. Kelenjar ini biasanya berukuran sebesar kacang dan tidak teraba kecuali pada keadaan penyakit atau infeksi. Pada masa pubertas, kelenjar ini mulai berfungsi, memberikan kelembaban bagi vestibulum.1,2 Di Amerika Serikat, insidensnya adalah sekitar 2% dari wanita usia reproduksi akan mengalami pembengkakan pada salah satu atau kedua kelenjar Bartholin. Penyakit yang menyerang kelenjar Bartholin biasanya terjadi pada wanita antara usia 20 dan 30 tahun. Pembesaran kelenjar Bartholin pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun jarang ditemukan, dan perlu dikonsultasikan pada gynecologist untuk dilakukan biopsi. 1,3 Penyebab dari kelainan kelenjar Bartholin adalah tersumbatnya bagian distal dari duktus kelenjar yang menyebabkan retensi dari sekresi, sehingga terjadi pelebaran duktus dan pembentukan kista. Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi, dan selanjutnya berkembang menjadi abses. Abses Bartholin selain merupakan akibat dari kista terinfeksi, dapat pula disebabkan karena infeksi langsung pada kelenjar Bartholin. 1,2,3,4 Kista bartholin bila berukuran kecil sering tidak menimbulkan gejala. Dan bila bertambah besar maka dapat menimbulkan dispareunia. Pasien dengan abses Bartholin umumnya mengeluhkan nyeri vulva yang akut dan bertambah secara cepat dan progresif. 1,4 Dalam penanganan kista dan abses bartholin, ada beberapa pengobatan yang dapat dilakukan. Dapat berupa intervensi bedah, dan medikamentosa. Intervensi bedah yang dapat dilakukan antara lain berupa insisi dan drainase, pemasangan Word catheter, marsupialisasi, dan eksisi.1,2,6,7



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semi solid yang terbentuk di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista Bartholini adalah kista yang terdapat pada kelenjar Bartholini. Kista kelenjar Bartholin terjadi ketika kelenjar ini menjadi tersumbat. Kelenjar Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.1,2,3



(a)



(b)



Gambar 1. (a) Anatomi kelenjar bartolini, (b) Perbandingan kelenjar bartolini normal dan kista bartolini



2.2 Etiologi Kista Bartolini berkembang ketika saluran keluar dari kelenjar Bartolini tersumbat. Penyebab penyumbatan diduga akibat infeksi atau adanya pertumbuhan kulit pada penutup saluran kelenjar bartholini. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi. Abses Bartolini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk organisme yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti chlamydia dan gonorrhoeae serta bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan, seperti Escherichia coli. Selain itu bakteri staphilococcus atau streptococcus juga bisa menyebabkan infeksi pada kelenjar ini. Umumnya abses ini melibatkan lebih dari satu jenis organisme. Obstruksi distal saluran Bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam kelenjar. Kista Bartolini tidak selalu harus terjadi sebelum abses kelenjar. Kelenjar Bartolini adalah abses polimikrobial. Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah mikroorganisme aerobik yang dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling umum. Chlamydia trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun, kista saluran Bartolini dan abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian eksklusif dari infeksi menular seksual. Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan abses tersebut.1,2,3 Penyebab sumbatan :2,4 1. Infeksi



:



Sejumlah bakteri dapat menyebabkan infeksi, termasuk bakteri yang umum, seperti Escherichia coli (E. coli), serta bakteri yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti chlamydia dan gonorrhoeae 2. Non infeksi



:







Stenosis / atresia congenital







Trauma mekanik







Inspissated mucous



2.3 Gejala & Tanda Pasien dengan kista dapat memberi gejala berupa pembengkakan labia tanpa disertai nyeri. Pasien dengan abses dapat memberikan gejala sebagai berikut:1,5, 



Nyeri yang akut disertai pembengkakan labia unilateral.







Dispareunia







Nyeri pada waktu berjalan dan duduk







Nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge ( sangat mungkin menandakan adanya ruptur spontan dari abses) Hasil pemeriksaan fisik yang dapat diperoleh dari pemeriksaan terhadap



kista Bartholin adalah sebagai berikut:2,6 



Pasien mengeluhkan adanya massa yang tidak disertai rasa sakit, unilateral, dan tidak disertai dengan tanda – tanda selulitis di sekitarnya.







Discharge dari kista yang pecah bersifat nonpurulent Sedangkan hasil pemeriksaan fisik yang diperoleh dari pemeriksaan



terhadap abses Bartholin sebagai berikut:6 



Pada perabaan teraba fluktuasi dengan daerah sekitar yang eritema dan edema.







Dalam beberapa kasus, didapatkan daerah selulitis di sekitar abses.







Demam, meskipun tidak khas pada pasien sehat, dapat terjadi.







Jika abses telah pecah secara spontan, dapat terdapat discharge yang purulen.



2.4 Diagnosis Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik sangat mendukung suatu diagnosis. Pada anamnesis dinyatakan tentang gejala seperti panas, gatal, Sudah berapa lama gejala berlangsung, kapan mulai muncul, Apakah pernah berganti pasangan seks, keluhan saat berhubungan, riwayat penyakit menulat seksual sebelumnya, riwayat penyakit kelamin pada keluarga.1



Kista atau abses Bartholini didiagnosis melalui pemeriksaan fisik, khususnya dengan pemeriksaan ginekologis pelvis. Pada pemeriksaan fisis dengan posisi litotomi, kista terdapat di bagian unilateral, nyeri, fluktuasi dan terjadi pembengkakan yang eritem pada posisi jam 4-5 atau 7-8 pada labia minus posterior. jika kista terinfeksi, pemeriksaan kultur jaringan dibutuhkan untuk mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi akibat penyakit menular seksual seperti Gonorrhea dan Chlamydia. Untuk kultur diambil apusan dari abses atau dari daerah lain seperti serviks. Hasil tes ini baru dilihat setelah 48 jam kemudian, tetapi hal ini tidak dapat menunda pengobatan. Dari hasil ini dapat diketahui antibiotik yang tepat yang perlu diberikan. Biopsi dapat dilakukan pada kasus yang dicurigai keganasan.3,6 Kista Bartholin harus dibedakan dari abses dan dari massa vulva lainnya. Karakteristik dari lesi kistik dan padat dari vulva dapat dilihat pada Tabel 2. Karena kelenjar Bartholin mengecil saat usia menopause, suatu pertumbuhan massa pada wanita postmenopause perlu dievaluasi terhadap tanda – tanda keganasan, terutama bila massanya bersifat irreguler, nodular, dan keras.2



Karsinoma kelenjar Bartholin memiliki persentase sekitar 1% dari kanker vulva, dan walaupun kasusnya jarang, merupakan tempat tersering timbulnya adenokarsinoma. Sekitar 50% dari tumor kelenjar Bartholin adalah karsinoma sel skuamosa. Jenis lain dari tumor yang timbul di kelenjar



Bartholin



adalah



adenokarsinoma,



kistik



adenoid



(suatu



adenokarsinoma dengan histologis spesifik dan karakteristik klinis), adenoskuamosa, dan transitional cell carcinoma.2,3 Karena mungkin sulit untuk membedakan tumor Bartholin dari kista Bartholin yang jinak hanya dengan pemeriksaan fisik, setiap wanita berusia lebih dari 40 tahun perlu menjalani tindakan biopsi untuk menyingkirkan kecurigaan neoplasma, dimana penyakit inflamasi jarang ditemui pada usia tersebut. Karena lokasinya yang jauh di dalam, tumor dapat mempengaruhi rektum dan langsung menyebar melalui fossa ischiorectalis. Akibatnya, tumor ini dapat masuk ke dalam saluran limfatik yang langsung menuju ke kelenjar getah bening inguinal profunda serta superficialis. Kesalahan dalam mendiagosis keganasan Bartholin akan memberikan prognosa yang buruk, sehingga ketepatan dan kecepatan dalam mendiagnosa sangat diperlukan.1,2 Beberapa kondisi berikut ini dapat merupakan sugestif keganasan kelenjar Bartholin, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut hingga biopsi:6 



Usia yang lebih tua dari 40 tahun







Massa yang tidak nyeri, kronis, dan bertambah besar secara progresif







Massa yang solid, tidak fluktuasi, dan tidak nyeri







Terdapat riwayat keganasan labia sebelumnya.



2.5 Penatalaksanaan Pengobatan kista Bartholin bergantung pada gejala pasien. Suatu kista tanpa gejala mungkin tidak memerlukan pengobatan, kista yang menimbulkan gejala dan abses kelenjar memerlukan drainase.6



Jika kistanya tidak besar dan tidak menimbulkan gangguan, tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Dalam hal lain perlu dilakukan pembedahan. Tindakan itu terdiri atas ekstirpasi, akan tetapi tindakan ini bisa menimbulkan perdarahan. Akhir-akhir ini dianjurkan marsupialisasi sebagai tindakan tanpa resiko sayatan dan isi kista dikeluarkan, dinding kista yang terbuka dijahit pada kulit vulva yang terbuka pada sayatan.2 1. Bartholinitis



: Antibiotik spektrum luas6



2. Kista Bartholin



:6







Kecil, asimptomatik → dibiarkan







Simptomatis/ rekuren → pembedahan berupa insisi + word catheter → marsupialisasi → laser varporization dinding kista



3. Abses bartholin



:6



Insisi (bedah drainase) + word catheter, ekstirpasi Penanganan abses bartholin sama dengan penanganan kista bartholin simptomatis, namun ada sedikit perbedaan. Prinsipnya berikan terapi antibiotik spektrum luas, dan lakukan pemeriksaan kultur pus oleh karena ada kemungkinan disebabkan gonorrhea atau chlamydia, meskipun 67% disebabkan oleh flora normal vagina. a. Kateter Word6 Indikasi : Kista bartholini Keuntungan :  Minimal trauma, nyeri sedikit  Coitus tidak terganggu  Tindakan sederhana Teknik : a. Anestesi lokal b. Insisi 2 cm c. Kateter dipasang, balon diisi dengan 2-3 ml air



d. Pertahankan 3-4 minggu, dalam waktu ini duktus akan mengalami epithelialisasi e. Kateter diangkat Kateter word memang dirancang untuk kasus kista/abses bartholin. Setelah dipasang, kateter word ini dibiarkan selama 4 minggu dan penderita dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas seksual, sampai kateter dilepas. Setelah 4 minggu akan terbentuk saluran drainase baru dari kista bartholin Secara kosmetik hasilnya cukup bagus karena orifisiumnya akan mengecil dan hampir tidak terlihat.



Gambar 2. Kateter Word b. Marsupialisasi6 Indikasi



: Kista bartholin kronik dan berulang



Keuntungan



:



 Komplikasi < dari ekstirpasi  Fungsi lubrikasi dipertahankan Kerugian



: Rekurensi 10-15% karena penutupan dan fibrosis



orifisium Teknik



:



a. Posisi lithotomy



b. Lakukan pemeriksaan bimanual untuk menentukan luasnya kista c. Tindakan aseptik & antiseptik d. Labia diretraksi dengan benang 3.0 sehingga tampak introitus vagina e. Buat insisi di atas mukosa vagina pada perbatasan dengan introitus sampai mencapai dinding kista f. Dinding kista diinsisi, keluarkan semua isinya g. Dinding kista dipegang dengan klem Allis h. Dinding kista dijahit secara terputus dengan benang absorbable 3.0 kolateral dengan kulit introitus, ke medial dengan mukosa vagina i. Tidak diperlukan tampon/drain Marsupialisasi adalah pilihan terapi apabila setelah penggunaan kateter word terjadi rekurensi atau tidak ada kateter word. Prinsipnya adalah membuat insisi elips dengan scalpel di luar atau di dalam cincin hymen (jangan di luar labia mayor karena dapat timbul fistel). Insisi harus cukup dalam mengiris kulit dan dinding kista di bawahnya (untuk kemudian dibuang). Apabila terdapat lokulasi, dibersihkan. Kemudian dinding kista didekatkan dengan kulit menggunakan benang 3.0 atau 4.0 dan dijahit interrupted. Angka rekurens sekitar 10%.



Gambar 3. Marsupialisasi



c. Eksisi/Ekstirpasi1,6 Indikasi :  Abses/kista persisten  Abses/kista rekuren  Terdapat indurasi pada basal kista yang sulit dicapai dengan marsupialisasi  Kista pada usia > 40 tahun (dapat menjadi ganas) Keuntungan : Kecil kemungkinan rekuren Kerugian/Komplikasi :  Perdarahan (a.pudenda)  Hematoma  Selulitis  Pembentukan luka yang nyeri  Sisa jaringan kista yang tidak terangkat sepenuhnya  rekuren  Fungsi lubrikasi (-) Eksisi dilakukan jika terjadi rekurensi berulang. Sebaiknya tindakan ini dilakukan di kamar operasi oleh karena biasanya akan terjadi perdarahan yang banyak yang berasal dari plexus venosus bulbus vestibuli, dan pernah dilaporkan terjadinya septik syok pasca tindakan. Komplikasi lain adalah selulitis dan dyspareuni. d. Pengobatan Medikamentosa1,6 Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular seksual biasanya digunakan untuk mengobati infeksi Gonococcal dan Chlamydia. Idealnya, antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan drainase. Beberapa antibiotik yang digunakan dalam pengobatan 1. Ceftriaxone Ceftriaxone adalah sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi spektrum luas terhadap bakteri gram-negatif, efficacy yang lebih rendah terhadap bakteri gram-positif, dan efficacy yang lebih tinggi terhadap bakteri resisten. Dengan mengikat pada satu atau lebih penicillin-binding



protein, akan menghambat sintesis dari dinding sel bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri. Dosis yang dianjurkan: 125 mg IM sebagai single dose . 2. Ciprofloxacin Sebuah monoterapi alternatif untuk ceftriaxone. Merupakan antibiotik tipe bakterisida yang menghambat sintesis DNA bakteri dan, oleh sebab itu akan menghambat pertumbuhan bakteri dengan menginhibisi DNAgyrase pada bakteri. Dosis yang dianjurkan: 250 mg PO 1 kali sehari. 3. Doxycycline Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara berikatan dengan 30S dan 50S subunit ribosom dari bakteri. Diindikasikan untuk Ctrachomatis. Dosis yang dianjurkan: 100 mg PO 2 kali sehari selama 7 hari. 4. Azitromisin Digunakan untuk mengobati infeksi ringan sampai sedang yang disebabkan oleh beberapa strain organisme. Alternatif monoterapi untuk C trachomatis.



2.6 Komplikasi Komplikasi yang paling umum dari abses Bartholin adalah kekambuhan. Pada beberapa kasus dilaporkan necrotizing fasciitis setelah dilakukan drainase abses. Perdarahan, terutama pada pasien dengan koagulopati. Pada beberapa kasus juga dilaporkan timbul jaringan parut.4,5



2.7 Prognosis Jika abses dengan didrainase dengan baik dan kekambuhan dicegah, prognosisnya baik. Tingkat kekambuhan umumnya dilaporkan kurang dari 20%.2



BAB III LAPORAN KASUS Tanggal Pemeriksaan : 17 – September - 2018 Ruangan



: IGD RSUD Undata



Jam



: 20:00 WITA



IDENTITAS Nama



: Ny. GA



Nama suami : Tn. T



Umur



: 22 tahun



Umur



: 25 tahun



Alamat



: Jln. Dr. Wahidin



Alamat



: Jln. Dr. Wahidin



Pekerjaan



: IRT



Pekerjaan



: Wiraswasta



Agama



: Islam



Agama



: Islam



Pendidikan



: SMA



Pendidikan : SMA



ANAMNESIS Keluhan Utama : Benjolan pada bibir kemaluan sebelah kanan



Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke IGD kebidanan RSUD RSUD Palu dengan keluhan timbul benjolan pada bibir kemaluan sebelah kanan yang dirasakan sejak kurang lebih 7 bulan yang lalu dirasakan hilang timbul, hilang ketika diberikan salep dan kemudian sekitar 2 minggu muncul kembali, pasien juga mengeluhkan apabila timbul selalu ditempat yang sama. Keluhan dirasakan memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya benjolan kecil kemudian semakin hari benjolan semakin membesar, terasa panas, dan terasa nyeri yang semakin hebat sejak 1 hari sebelum masuk RS. Hal ini membuat pasien sulit untuk duduk, bergerak dan melakukan aktivitas seperti biasanya, jika berjalan pasien mengeluh mengangkang.



Pasien menyangkal ada riwayat demam sebelumnya, bernanah (-), darah atau cairan yang keluar dari benjolan (-). Pasien mengaku masih aktif berhubungan dengan suami sebelum adanya benjolan. Pusing (-), sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), BAB biasa, BAK (+) lancar.



Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat penyakit DM



: Disangkal



Riwayat penyakit Hipertensi : Disangkal Riwayat alergi



: Disangkal



Riwayat Penyakit Keluarga



: Tidak ada



Riwayat Pengobatan



: Pasien tidak pernah dirawat sebelumnya.



Riwayat Obstetri, Menstruasi, Pernikahan Riwayat Obstetri



: P0A0



Riwayat menstruasi



: Menstruasi pertama saat usia 14 tahun, siklus haid



teratur tiap bulan, lama 5-7 hari, ganti pembalut 2 kali, tidak nyeri.



Riwayat pernikahan



: Pasien menikah 1 kali dengan suami sekarang



selama 1 tahun.



PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : Sakit Sedang Kesadaran



: Compos mentis



Vital Sign



: TD



: 130/80 mmHg



Nadi



: 82 x/menit



Respirasi



: 22 x/menit



Suhu



: 36,8oC



STATUS GENERALISATA 1. Pemeriksaan Kepala Bentuk normocephal dan simetris, rambut warna hitam, tidak mudah dicabut, tidak mudah rontok, tidak ada nyeri tekan. 2. Pemeriksaan Mata Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebral -/-, secret -/3. Pemeriksaan Telinga Deformitas (-), nyeri tekan (-), othore (-), discharge (-). 4. Pemeriksaan Hidung Deformitas (-), nafas cuping hidung (-), epistasis (-), discharge (-). 5. Pemeriksaan Mulut dan Faring Sianosis (-), bibir pecah-pecah (-), stomatitis (-), hiperemis pada faring (-). 6. PemeriksaanThoraks 



Inspeksi



: Bentuk dada simetris, pergerakan simetris







Palpasi



: Pergerakan simetris, nyeri (-)







Perkusi



: Sonor dikedua lapang paru (+/+)







Auskultasi



: Paru : rhonki (-/-), wheezing (-/-) Jantung : S1/S2 murni regular



7. Pemeriksaan Abdomen 



Inspeksi



: Tampak datar







Auskultasi



: Peristaltik (+) kesan normal, Aorta abdominalis (+)







Perkusi



: Timpani 4 kuadran abdomen







Palpasi



: Nyeri tekan (-)



8. Pemeriksaan Genitalia 



Inspeksi



: Tampak benjolan pada regio vulva dextra dengan



ukuran 5x3 cm berwarna kemerahan, berbatas tegas, pus (-), darah (-). Labia mayor tampak sedikit edema. 



Palpasi



: Teraba benjolan dengan konsistensi lunak, mobile,



terasa hangat, nyeri tekan (+) jelas.



9. Pemeriksaan Ekstremitas 



Superior



: deformitas (-), akral dingin (-/-), edema (-/-)







Inferior



: deformitas (-), akral dingin (-/-), edema (-/-)



PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil Laboratorium: HASIL Eritrosit Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit HbsAg Anti-HIV



4.46 11.5 39.3 12.800 210.000 Non- Reaktif Non- Reaktif



NILAI RUJUKAN 4-6 12-14 40-45 4000-11000 150 rb- 400 rb Non-Reaktif Non-Reaktif



SATUAN mm6 g/dl % mm3 mm3



RESUME Pasien perempuan umur 22 tahun datang ke IGD Kebidanan RSUD Undata Palu dengan keluhan timbul benjolan pada regio vulva dextra sejak kurang lebih 7 bulan yang lalu dirasakan hilang timbul. Keluhan dirasakan memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya benjolan kecil kemudian membesar, terasa panas, dan terasa nyeri yang semakin hebat sejak 1 hari sebelum masuk RS. Hal ini membuat pasien sulit untuk duduk,



bergerak dan melakukan aktivitas seperti biasanya, jika berjalan pasien mengeluh mengangkang. Riwayat demam sebelumnya disangkal. Pasien mengaku masih aktif berhubungan dengan suami sebelum adanya benjolan, BAB biasa, BAK (+) lancar. Pemeriksaan fisik menunjukkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran kompos mentis. Tanda vital: TD 130/80 mmHg, N 82 x/menit, R 22 x/menit, S 36,8oC. Didapatkan pada pemeriksaan genitalia: tampak benjolan pada regio vulva dextra dengan ukuran 5 x 3 cm berwarna kemerahan, berbatas tegas, pus (-), darah (-). Labia mayor tampak sedikit edema. Pada palpasi teraba benjolan dengan konsistensi lunak, mobile, terasa hangat, nyeri tekan (+) jelas. Pemeriksaan darah rutin didapatkan leukositosis dengan leukosit 12,8 x103/mm3, sedangkan eritrosit 4,46 x106/mm3, hemoglobin 11,5 g/dL, trombosit 210 x103/ mm3.



DIAGNOSIS Abses Bartholini



PENATALAKSANAAN Medikamentosa : -



IVFD RL 20 tpm Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam/IV Inj. Dexamethasone 5 mg/8 jam/ IV Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ IV Rencana insisi dan drainase



FOLLOW UP



Hari Pertama (18 September 2018) S:



Nyeri pada bagian kemaluan dan terasa panas (+), demam (-), pusing (-), nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), BAB (+) biasa, BAK (+) lancar



O:



Keadaan umum : Sakit Sedang Kesadaran : Compos Mentis TD



: 120/80 MmHg



S



: 36.7 ºC



P



: 20x/ menit



N



: 80 x/menit



A:



Abses Bartholini



P:



IVFD RL 20 tpm Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam/IV Inj. Dexamethasone 5 mg/8 jam/ IV Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ IV Rencana insisi dan drainase



BAB IV



PEMBAHASAN Pada refleksi kasus ini seorang wanita 22 tahun didiagnosa dengan abses bartolini. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengacu pada abses bartolini. Dari anamnesis didapatkan tanda-tanda nyeri pada benjolan yang terdapat di regio vulva dextra sejak 7 bulan yang lalu dirasakan hilang timbul, memberat 2 hari SMRS semakin membesar, terasa panas, serta intensitas nyeri semakin hebat dari sebelumnya sejak 1 hari SMRS dan dirasa sangat mengganggu aktifitas pasien seperti duduk, berjalan, dan beraktifitas fisik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan benjolan pada regio vulva dextra dengan ukuran 3 x 4 cm berwarna kemerahan, berbatas tegas, pus (-) darah (-). Labia mayor tampak sedikit edema. Pada palpasi di dapatkan teraba benjolan dengan konsistensi lunak, mobile terasa hangat, nyeri tekan (+) jelas. Kelenjar Bartholini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi, maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian akan terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Sehingga sesuai dengan hasil temuan dari pemeriksaan fisik, diagnosis dapat ditentukan. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan teori mengenai tanda dan gejala abses bartholini yang telah terinfeksi. Tanda abses bartholini yang terinfeksi berupa penonjolan yang nyeri pada salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pambengkakan pada daerah vulva. Jika kista terinfeksi, gejala klinik berupa :  Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik atau berhubungan seksual.  Umunnya tidak diserati demam kecuali jika terifeksi dengan organisme yang ditularkan melalui hubungan seksual.  Biasanya ada sekret di vagina.



 Dapat terjadi ruptur spontan (nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge). Pada kasus ini, dari gejala klinis yang di dapatkan menunjukkan bahwa kista pada pasien ini telah terinfeksi ditandai adanya nyeri terutama saat duduk dan berjalan penangan yang dilakukan pada pasien ini hanyalah diberikan antibiotik serta antinyeri dan dianjurkan untuk dilakukan insisi dan drainase. Terapi yang diberikan untuk mengobati infeksi dan gejalanya sesuai dengan teori antibiotik yang bisa digunakan adalah antibiotik yang berspektrum luas dan diberikan antinyeri untuk mengurangi keluhan nyeri pada pasien ini. Diberikan terapi antibiotik berupa Inj. Ceftriaxone 1 gram/12 jam/IV. Kemudian antinyeri Inj. Ketorolac 1 Ampul/8jam/IV dan Inj. Inj. Dexamethasone 5 mg/8 jam/ IV. Penyebab terjadinya abses bartholini pada pasien ini adalah karena adanya sumbatan pada kelenjar bartholini yang bisa disebabkan oleh faktor personal hygine pasien itu sendiri (kurang menjaga kebersihan daerah kemaluan) dan sudah terjadi infeksi, hal ini bisa menjadi faktor risiko dari abses bartholini yang dideritanya saat ini.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Wiknjosastro, Hanifa. 2014. Ilmu Kandungan Edisi Empat. Jakarta. Penerbit : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.



2.



Cunnningham, F.G., et al. 2014. Sexual Transmitted Diseas Dalam William obstetrics. Edisi 22. USA: McGraw-Hill comp. inc



3.



Folashade omole, et al. 2003. American family physician : Management of bartholin’s duct cyst and gland abscess. Am fam physician. Vol. 68, No. 1. Morehouse School Of Medicine : Atlanta Georgia



4.



Anonym.



2010.



Bartholin's



cyst.



Available



from:



http://en.wikipedia.org/wiki/Bartholin%27s_cyst 5.



Linda, J., Vorvick, M.D. et al. 2010. Bartholin’s abscess. Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001489.html



6.



Mayo



clinic



Staff.



2010.



Bartholin's



cyst.



Available



http://www.mayoclinic.com/health/bartholin-cyst/DS00667



from: