Abses Leher Dalam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR DIAGRAM BAB I



PENDAHULUAN



BAB II



TINJAUAN PUSTAKA ABSES LEHER DALAM



BAB III



2.1



Anatomi Leher



2.2



Definisi



2.3



Epidemiologi



2.4



Faktor resiko



2.4



Etiologi dan Patogenesis



2.5



Patofisiologi



2.6



Gambaran klinis dan diagnosa



KESIMPULAN



DAFTAR PUSTAKA



PENDAHULUAN Infeksi yang terjadi pada telinga, hidung dan tenggorokan dapat bermanifestasi menjadi abses pada leher dalam bila tidak ditangai dengan tepat. Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi. Sumber infeksi yang lainnya adalah mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. . (Andrina YMR. Abses retrofaring. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. 2003. Diunduh dari:repository.usu.ac.id pada tanggal 15 April 2011



Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteriodes atau kuman campuran. Abses leher dalam, dapat berupa abses peritonsil, abses retrofiring, abses parafaring, abses submandibular dan angina Ludovici. (THT IJO) Abses leher dalam dapat mengancam jiwa bila terjadi komplikasi seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan sara kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga rupture arteri karotis interna. Lokasinya yang terletak di dasar mulut dapat menjadi ancaman yang sangat serius. Namun komplikasi ini sudah jarang terjadi sejak diperkenalkannya antibiotik, hygiene mulut yang meningkat, angka kematian yang terjadi menjadi lebih rendah Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotic diperlukan untuk terapi yang adekuat, sehingga diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan antibiotic terhadap kuman, namun hal ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga diperlukan pemberian antibiotik secara empiris. Pulungan,



M.



Rusli. Pola



Kuman



Abses



Leher



Dalam.



Diunduh



darihttp://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAM-Revisi pada tangga 28 Juni 2013



Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta penyebab abses eher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat.



TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ANATOMI LEHER Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula. Fasia superfisial merupakan jaringan konektif yang terletak dibawah dermis. Fasia ini secara sempurna mengelilingi leher, tipis dan sulit untuk didemonstrasikan. Fasia ini berisikan platysma dan vena-vena superfisialis. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu: -



Lapisan superfisial o



lapisan ini juga dikenal dengan sebutan lapisan selimut (investing layer). Lapisan ini mengelilingi leher, membungkus muskulus sternokleidomastoideus, dan muskulus trapezius Selain otot, lapisan ini juga membungkus kelenjar submandibular dan parotis. Ruangan yang terbentuk adalah trigonum coli posterior di kedua sisi lateral leher dan ruang suprasternal Burns.



-



Lapisan tengah o



lapisan ini juga dikenal dengan nama lapisan viseral yang mencakup fasia pretiroid dan pretrakea. Lapisan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian muskular yang membungkus muskulus infrahyoid dan bagian viseral yang membungkus faring, laring, esofagus, kelenjar tiroid, dan trakea.



-



Lapisan dalam.



o Lapisan dalam ini berasal dari prosesus spinosus dari tulang vertebra servikal dan ligamentum nuchae. Pada prosesus transversus dari tulang vertebra servikal, lapisan ini terbagi menjadi



lapisan alar anterior dan lapisan alar prevertebra posterior. Fasia alar memanjang dari dasar tengkorak ke tulang vertebra torak ke-2, dan bersatu dengan fasia viseral. Fasia ini terletak diantara lapisan viseral dan lapisan prevertebra. Fasia prevertebra terletak di sebelah anterior dari corpus vertebra dan memanjang sepanjang kolumna vertebralis.



Fasia ini berjalan secara sirkumferensial mengelilingi leher dan membungkus otototot vertebralis, otot-otot profunda trigonum coli posterior, dan otot scalene. Lapisan fasia ini mengelilingi pleksus brakialis dan pembuluh subkalvian dan berlanjut di tepi lateral sebagai vagina aksilaris.



(http://radiographics.rsna.org/content/19/3/583/F1.expansion.html Ruang potensial leher dalam Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.6,8  Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:







ruang retrofaring







ruang bahaya (danger space)







ruang prevertebra.



 Ruang suprahioid terdiri dari: 



ruang submandibula







ruang parafaring







ruang parotis







ruang mastikor







ruang peritonsil







ruang temporalis.



 Ruang infrahyoid terdiri dari







Ruang visceral







Ruang karotis







Ruang retropharyngeal







Ruang serviks posterior







Ruang perivertebral



Gam bar 3. Potongan Sagital Leher (Dikutip dari: 6)



2.2



DEFINISI Abses adalah sekumpulan nanah setempat yang terkubur dalam jaringan, organ, atau



rongga tertutup. Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh. (DORLAND) Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.



2.3 EPIDEMIOLOGI Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).



Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%. Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus (Porter MJ, Deep Neck Space Infection . Seminar in Otorhinolaryngology. 2005. Diunduhdari: [http://www.sunzi.lib.hku.hk ] pada tanggal 28 Juni 2013) 2.5



ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Sebelum meluasnya penggunaan antibiotik, 70% kejadian abses leher dalam



disebabkan oleh penyebran infeksi melalui tonsil dan faring. Saat ini, tonsilitis adalah penyebab tersering pada abses leher dalam di anak, sedangkan pada dewasa sering disebabkan pada infeksi gigi. Penyebab dari infeksi abses leher dalam meliputi: a. Infeksi tonsil dan faring b. Infeksi pada gigi c. Prosedur bedah mulut d. Infeksi atau obstruksi dari kelenjar saliva e. Trauma pada rongga mulut dan faring f. Aspirasi benda asing g. Kista duktus tiroglosus h. Tiroiditis i. Mastoiditis j. Laryngopyocele k. Penggunaan obat IV l. Nekrosis dan supurasi dari tumor atau keganasan kelenjar getah bening servikal Sebanyak 20-50% dari abses leher dalam tidak diketahui etiologinya. Pertimbangan penyebab lainnya adalah imunosupresi pada infeksi HIV, kemoterapi atau akibat obat



imunosupresan pada pasien transplantasi. Kejadian abses meningkat disebabkan oleh bakteri atypical dan komplikasi yang lebih berat. Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus. Tabel. 2. Kuman Penyebab Abses leher dalam Jenis Kuman Streptococcus viridans Staphylococcus epidermidis Staphylococcus aureus Bactroides Sp Streptococcus βhaemolyticus Klebsiella pneumonia Streptococcus pneumonia Mycobacterium tb Anaerob gram negatif Neisseria sp Peptostreptococcus Jamur Enterobacter Bacillus sp Propionibacterium Acinetobacter Actinimicosis israelii Proteus sp Klepsiella sp Bifidobacterium Microaerophilic streptococcus Enterococcus sp Moraxtella catarrhalis Dan lain-lain



Jumlah pasien 63 46



% kultur + 39 28



35 22 34



22 14 21



11 10 10 9 8 8 8 7 6 6 5 3 3 3 3 3



6,8 6,2 6,2 5,5 4,9 4,9 4,9 4,3 3,7 3,7 3,1 1,9 1,9 1,9 1,9 1,9



3 2



1,9 1,2 6,8



(Dikutip dari: 5)



Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan kuman flora normal di saluran nafas atas seperti streptokokus dan stafilokokus. Infeksi yang berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti, Prevotella, Fusobacterium spp,. Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu



hematogen,



limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.



2.5



INFEKSI LEHER DALAM Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi pada



umumnya yaitu, demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi.1-3 Abshirini H, dkk4 melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada



147 kasus didapatkan: bengkak



pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang sesuai



dengan



ruang potensial yang



terlibat.1-3



2.5.1 ABSES PERITONSIL Epidemiologi Abses peritonsil dapat ditemukan dalam rentang usia 10 hingga 60 tahun, namun kebanyakan terjadi pada usia rentang 20-40 tahun. Pada anak-anak juga dapat terjadi walaupun insidennya rendah,



biasanya



dapat



terjadi



(http://emedicine.medscape.com/articl e/764188-overview#a0101, )



Gejala Klinik



dikarenakan



kondisi



imunocompromised.



Gejala yang pertama kali muncul adalah nyeri tenggorok. Terjadinya demam dan gejala lainnya akan berkembang seiring perjalanan abses. Periode dari infeksi menjadi abses dapat terjadi dalam waktu 2-5 hari. Gejala yang dapat terjadi: 



Pembengkakan dari mulut dan tenggorok pada daerah inflamasi







Letak uvula kontralateral dengan focus infeksi







Kelenjar getah bening di leher membesar dan konsistensinya lunak







Nyeri menelan, demam, menggigil, spasme pada mulut (trismus) dan leher (torticollis)







Nyeri telinga pada bagian yang sama dengan abses







Hot potato voice







Sulit menelan ludah



(http://www.webmd.com/oral-health/guide/peritonsillar-



abcess) Patologi



Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil terserig menempati daerah in, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proes berlanjut, terjadi supurasi sehinga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula kea rah kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan disekitarnya kaan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbu trismus. Abses dapat peh spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru. (Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8) Diagnosis Mendiagnosis pasien dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif atau punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan penatalaksanaan. Pemeriksaan secara klinis seringkali sukar



dilakukan karena adanya trismus. Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis Pemeriksaan radiologi, dapat berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi computer. Saat ini ultrasonografi telah dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan dapat digunakan sebagai alternative



pemeriksaan.



Mayoritas



kasus



yang



diperiksa menampakkan gambaran cincin isoehoid dengan gambaran sentral hypoechoic



Terapi Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan terapi antibiotika diikuti oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian. (Beriault M, Green J. Innovative AirwayManagement for Peritonsillar Abscess. Cardiothoracic J Anesth 2006;53:92-5) 1. Terapi antibiotika Salah satu factor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan. Antbiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai dengan obat simptomatik, kumur kumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher (untuk mengendurkan tegangan otot). Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama kedua atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan kontraindikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi organisme penisilin digunakan untuk penderita yan disebabkan olh kuman Staphylococcus. Metronidazole merupakan antibiotika yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai antibiotic pilihan untuk menangani bakteri



yang



memproduksi betalaktamase. 2. Insisi dan drainase Tujuan dari tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya



dapat diidentifikasi pada



pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling berfluktuasi. 3. Tonsilektomi Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topic yang kontroversial sejak beberapa



abad.



Filosofi



tindakannya



karena



berdasakan



pemikiran



bahwa



kekambuhan pada penderita absesterjadi cukup banyak, sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya kekambuhan. Waktu pelaksanaan tonsilektomi bervariasi : a. Tonsilektomi a chaud : dilakukan segera / bersamaan dengan drainase abses b. Tonsilektomi a tiede



: dilakukan 3 – 4 hari setelah insisi dan drainase



c. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4 – 6 minggu setelah drainase (UP DJAMIL PADANG 2009) Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan dapat menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.7 (https://pedclerk.bsd.uchicago.edu/page/peritonsillar-abscess) the university of chcago



2.5.2 ABSES RETROFARING Epidemiologi Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang di terapi di Children’s Hospital, Los Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australiadidapati sebanyak 55% kasus berusia kurang dari 1 tahun, dimana 10% diantaranya dijumpai pada periode neonatus. (Kahn J. retropharyngeal abscess. eMedicine Journal. February 1 2001, Volume 2, Number 2 : http://www.emedicine.com/EMERG/topic506.htm)



Etiologi Secara umum abses retrofaring terbagi menjadi dua jenis, yatu: 1. Akut Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan in terjadi akibat infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofiring (limfadenitis) sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung olehkarena trauma penggunaan instrument (intubasi endotrakea, endoskopi sewaktu adenoidektomi) atau benda asing. 2. Kronis Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi akibat infeksi tuberculosis (TBC) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior . selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe retrofiring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Gejala Klinik Marques PM, Spratley JE, Leal LM, Cardoso E, Santos M. Parapharyngeal abscess in children: five year retrospective study. Braz J Otorhinolaryngol. Dec 2009;75(6):826-30. [Medline]. Gejala dari abses retrofiring berbeda pada dewasa, anak dan infant, 1. Gejala pada dewasa berupa nyeri tenggorok, demam, disfagia, odinofagia, nyeri leher dan dyspnea 2. Gejala pada anak yang usianya lebih dari 1 tahun berupa nyeri tenggorok (84%), demam (64%), kekakuan leher (64%), odinofagia (55%), batuk 3. Gejala pada infant berupa demam (85%), pembengkakan leher (97%), oral intake yang sangat buruk (55%), rinorhea (55%), lethargy (38%), dan batuk (33%) Pada bentuk yang kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi pembengkakan yang besar dan menumbat hidung serta saluran nafas. (Maran AGD. Diseases of the nose, throat and ear. Edisi ke-10.Singapore: PG Publishing Pte Ltd, 1990, h. 104 – 5.) Diagnosis



Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik pada abses retrofaring. Pada pemeriksaan darah rutin akan didapatkan hasil lekositosis. Hasil kultur specimen dari hasil aspirasi juga dapat menegakkan diagnosis, serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring (level C2) lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal (level C6) lebih dari 14 mm pada anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebra servikal akibat spasme dari otot prevertebral. (Berger TJ, Shahidi H. Retropharyngeal Abscess. Emedicine Journal. 2001, Volume 2, Number 8. Diunduh dari: [http://www.author.emedicine.com/PED/topic2682.html] pada tanggal28 juni 2013. ) Radiografi jaringan lunak lateral leher menunjukkan bayangan jaringan lunak yang jelas antara saluran udara faring dan korpus vertebra servikalis. Pada fase akut dapat ditemukan air-fluid level dan gas. Pada fase kronis ditemukan bayangan homogenous pada prevertebral. Laring dan trakea ditunjukkan dalam posisi ke arah depan. Jika terdapat keraguan mengenai radiografi, maka dapat dipertegas dengan radiografi penelanan barium.6 Pilihan lain bila hasil pemeriksaan rontgen belum jelas, dapat digunakan CT Scan dan MRI. Terapi Terapi yang dapat dilakukan terbagi menjadi tiga langkah, yaitu: 1. Mempertahankan jalan napas yang adekuat: a. Posisi pasien supine dengan leher ekstensi b. Pemberian O2 c. Intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optic d. Trakeostomi / krikotirotomi 2. Medika Mentosa a. Antibiotik Pemberian antibiotic secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotic yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positif dan gram negative. Pilihan utama adalah



Klindamisisn yang dapat diberikan tersendiri atau kombinasi dengan sefalosporin generasi kedua (seperti cefuroxime) atau beta lactamase – resistant penicillin seperti ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin / sulbactam. Pemberian antibiotic biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari (USU 2003) b. Simptomatis c. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan d. Simtomatis e. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan f. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika. 3. Operatif a. Aspirasi pus (needle aspiration) b. Insisi dan drainase (BOEIS) Jalan napas harus dilindungi, kepala direndahkan sehingga pengeluaran pus tidak akan di aspirasi, dan dengan menggunakan pisau scalpel tajam yang kecil dilakukan insisi vertika yang pendek pada titik dimana pembengkakan paling besar.



Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi ialah (1) penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera, (2) mediastinitis, (3) obstruksi jalan napas sampai asfiksia, (4) bila pecah spontan, dapat menyebkan pneumonia dan abses paru. Asfiksia karena aspirasi debris septik dan perdarahan merupakan komplikasi abses retrofaring yang ditakuti. Asfiksia terjadi waktu memasukkan alat ke mulut untuk pemeriksaaan dan drainase atau akibat pecahnya abses yang besar tiba-tiba, sehingga memenuhi laring dengan pus. Jika terjadi perdarahan, dapat dilakukan ligasi arteri karotis interna pada sisi yang terkena untuk mengendalikan perdarahan. Infeksi pada ruang ini dapat meluas ke mediastinum dengan akibatnya terjadi mediastinitis.7 Dispnea, nyeri dada, takikardi, demam, dan mediastinum yang melebar merupakan tanda-tanda mediastinitis (Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355)



2.5.3 ABSES PARAFARING



Etiologi Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring maupun mastikator. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8 Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara6: (1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melaukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (M. Konstriktor Faring Superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. (2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid (mastoiditis sebagai komplikasi dari otitis media dengan penetrasi dari digastric ridge/ abses Bezold. Pasien biasanya memiliki infeksi telinga dengan spasme dari m.sternocleidomastoid dan kepala cenderung fleksi dan rotasi kea rah berlawanan) dan vertebra servikalis dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. (3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.



Gejala Klinik Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi, odinofagia, torticollis.( Snow JB, Phillip A. Ballenger’s Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery. USA: PMPH. 2009). Jika infeksi meluas dari faring ke ruang ini, pasien akan menunjukkan trismus yang jelas. Hal ini disebabkan karena kompartemen prestyloid terdapat kompartemen otot yang berdekatan dengan fossa tonsilaris secara medial dan m.ptyerigoid interna. Sedangkan dinding faring lateral akan terdorong ke medial, seperti pada abses peritonsilaris. Infeksi ini sebaiknya selalu dilakukan drainase melalui insisi vertikal. Dalam melakukan insisi drainase abses peritonsilar harus dilakukan palpasi karena pulsasi di daerah tersebut dapat menunjukkan adanya aneurisma dari a.karotid interna. Pembengkakan di dinding lateral orofaring tanpa adanya inflamasi akut dan trimus



tidak selalu merupakan abses parafaring atau peritonsil, namun harus dicurigai tumor atau aneurisma. Penyebab infeksi saluran pernafasan mungkin sudah terjadi resolusi ketika pasien datang sehingga anamnesis onset kejadian penting.( Schreiner C, Quinn FB. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections of the Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. 1998. Diunduh dari: [http://www.otohns.net] pada tanggal 16 Februari 2012)



3.3.3. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Pemeriksaan penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan tomografi komputer. Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang penting.1,3,5,9,16 Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.1,8,9 Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses.( Sari, Diana. Dkk. “Abses Leher Dalam, Abses Parafaring”. Bagian Departemen IlmuPenyakit THT-KL, Universitas Sumatera Utara. Hal : 8-13 ) Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian anitbiotika yang sesuai. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang



berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT Scan.6



Terapi Untuk terapi diberi antibiotik dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi insisi dari luar dan intra oral. (BUKU THT) Insisi dari luar dilakukan dua setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di selubung karotis, insisi dilanjutkan



vertikal



dari



pertengahan



insisi



horozontal



ke



bawah



di



depan



m.sternokleidomastoideus (cara Mosher). (Porter MJ, Deep Neck Space Infection. Seminar in Otorhinolaryngology. 2005. Available at: www.sunzi.lib.hku.hk in July 17, 2011. ) Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.13 (idem) Komplikasi Komplikasi yang paling berbahaya pada ruang parafaring adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi romboflebitis septik vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan massif yang tiba tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. Komplikasi ini juga dapat memberikan kesan dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar). Jika diduga terjadi komplikasi ini dan rencana akan di buat untuk drainase dari abses, maka identifikasi arteri karotis interna harus dilakukan. Dengan demikian, jika terjadi perdarahanketika dilakukan drainase abses, maka dapat segera dilakukan ligase arteri karotis interna atau arteri karotis komunis (boieis)



2.5.4 ABSES SUBMANDIBULA Etiologi Ruang potensial ini terletak berdekatan dengan spatium faringomaksilaris. Ruang ini termasuk otot pterigoideus interna, otot maseter, dan ramus mandibula. Walaupun infeksi pada spatium faringomaksilaris yang berdekatan terutama akibat infeksi pada faring, ruang mastikator paling sering terkena sekunder dari infeksi yang berasal dari gigi.7 Penyebab lainnya adalah infeksi pada kelenjar air liur dan sinus. Kuman dapat berupa aerob dan anaerob (Keat Jin Lee. Essential otolaryngology: head & neck surgery. McGraw-Hill Professional. 2003.)



Patogenesis Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang cortical. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran



secara perkontinuitatum



karena



adanya



celah/ruang



di



antara



jaringan



yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual, abses submental, abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludwig. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringal. Selain infeksi gigi abses ini juga dapat disebabkan pericoronitis, yaitu suatu infeksi gusi yang disebabkan erupsi molar ketiga yang tidak sempurna. (Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355)



Gambar 22. Linea mylohyoidea, tempat perlekatan m. mylohyoideus. Infeksi premolar dan molar menyebabkan perforasi, kemudian menyebar keruang-ruang yang dibatasi oleh m.mylohyoideus.8



Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras dari fasia servikal profunda dengan m. digastricus anterior dan tulang hyoid. Edema dagu dapat terbentuk dengan jelas. Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Whartoni dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang fasia leher.



Gambar 23. Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fasia dan kulit. Ruang submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga.8 Ruang sublingual, terletak antara mukosa mulut dan m. mylohyoid. Ruang ini dapat terinfeksi yang berasal dari premolar dan molar pertama.8



Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah dibagian superior dan posterior, sehingga menghambat jalan nafas.8



Gambar 24. Penyebaran pembengkakan akibat abses di ruang sublingual dan submandibular. Gejala Klinik Pembengkakan dan nyeri tekan terjadi di atas ramus mandibula demikian juga dengan kekerasan yang timbul sepanjang lateral dasar mulut. Fetor ex ore, hipersalivasi, disfagia, odinofagia, dan obstruksi jalan nafas juga ditemukan. Lidah tidak mungkin ditekan karena



pembengkakan dan edema dari dasar mulut.7 Trismus sering ditemukan.



Gambar 25. Abses submandibula Terapi Infeksi pada ruang ini sebaiknya diobati dari awal dan cepat menggunakan antibiotika yang sesuai. Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Jika infeksi gagal diatasi setelah satu minggu dengan terapi antibiotik yang intesif, maka perlu dilakukan pembedahan drainase. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda. (Keat Jin Lee. Essential otolaryngology: head & neck surgery. McGraw-Hill Professional. 200)3.



Komplikasi Angina Ludovici merupakan infeksi berat dari lantai dasar mulut dan ruang submental dan submandibular. Penyebaran melalui fascia dan bukan dari kelenjar limfe. Dari anamnesis biasanya pasien mengalami inflamasi dari pencabutan gigi sebelumnya. Dapat terjadi sepsis dan mengganggu jalan nafas yang dapat menyebabkan kematian.



2.5.5 ANGINA LUDOVICI Angina Ludwig ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis atau flegmon yang progresif dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses dan tidak ada limfadenopati, sehingga keras pada perabaan submandibula. Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan ke belakang. Dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial. Etiologi Angina Ludwig berawal dari infeksi odontogenik, khususnya dari molar dua atau tiga bawah. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot myohyloid, dan abses di sini akan menyebar ke ruang submandibula. Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain adalah sialadenitis, abses peritonsilar, fraktur mandibula terbuka, infeksi kista duktus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar atau lantai mulut. Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita angina Ludwig melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. (Rosen, JE. Deep neck spaces and infections. 2002. Diunduh dari: [http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Deep-Neck-Spaces-2002-04/Deep-neck-spaces-2002-04.pdf ]pada tanggal 16 Februari 2012)



Gejala Klinik Terdapat



nyeri tenggorokan dan leher, disertai pembengkakan



di



daerah



submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan (board-like), disfonia (hot potato voice), hipersalivasi, dan disarthria. Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak napas, karena sumbatan jalan napas. Takipnea, dispnea, dan stridor merupakan signal terganggunya jalan nafas.6, 9, 11



Gambar 26. Angina Ludwig Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, dengan gejala dan tanda klinik. Ada lima kriteria yang dikemukakan Grodinsky untuk membedakan Angina Ludovici dengan bentuk lain dari infeksi leher dalam. Kriteria pada infeksi pada Angina Ludovici: 1.



Proses selulitis dari ruang submandibula, bukan pembentukan abses



2.



Melibatkan hanya ruang submandibula secara bilateral



3.



Terdapat gangren serosanguis, infiltrasi pus sedikit/ tidak ada



4.



Melibatkan jaringan ikat, fascia, dan muskulus tetapi tidak melibatkan glandula



5.



Penyebaran secara langsung, bukan secara limfatik



Terapi Setelah diagnosis angina Ludwig ditegakkan, maka penanganan yang utama adalah menjamin jalan nafas yang stabil melalui trakeostomi yang dilakukan dengan anestesia lokal. Trakeostomi dilakukan tanpa harus menunggu terjadinya dispnea atau sianosis karena tandatanda obstruksi jalan nafas yang sudah lanjut. Jika terjadi sumbatan jalan nafas maka pasien dalam keadaan gawat darurat.8 Sebagai terapi diberikan dengan antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral.1 Antibiotik yang digunakan adalah Penicilin G dosis tinggi, kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan obat antistaphylococcus atau Metronidazole. Jika pasien alergi penicillin, maka Clindamycin adalah pilihan yang terbaik. Dexamethasone yang disuntikkan secara intravena, diberikan dalam 48 jam untuk mengurangi edem dan perlindungan jalan nafas.8 Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus atau jaringan nekrosis.1 Perlu juga dilakukan pengobatan terhadap infeksi gigi untuk mencegah kekambuhan. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.8 Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi ialah 1) Sumbatan jalan napas 2) Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain (abses parafaring dan retrofaring)



dan



mediastinum 3) Aspirasi pneumonia 4) Sepsis.



Gambar 27. Proses penjalaran ke mediastinum sebagai salah satu komplikasi ludwig angina8



KESIMPULAN Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofiring, abses parafaring, abse submandibular dan angina Ludovici. Abses leher dalam dapat terjadi dikarenakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Kuman yang dapat menyebabkan abses dapat berupa campuran kuman aerob dan anaerob. Kuman aerob yang paling dominan adalah stafilokokus dan streptokokus. Kuman anaerob paling banyak adalah kuman gram negatif anaerob. Manifestasi dari abses serupa dengan kejadian peradangan lainnya, namun harus diperhatikan kondisi kondisi yang dapat mengancam jiwa akibat komplikasi-komplikasi terjadinya abses yang dapat menyebabkan kondisi lain yang lebih serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya terletak di ruang potensial di antara dua fascia leher. Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi. Untuk penanganan abses dapat dilakukan melalui dua jalan, pengobatan medikametosa dengan antibiotik dosis tinggi, bila perlu dilakukan pula tindakan operatif, selain punksi abses, dapat dilakukan pula insisi dan tonsilektomi.



BAB V DAFTAR PUSTAKA



1. Ymr Andrina. Abses retrofiring. Universitas Sumatera Utara 2003; p 1-7. 2. Fachruddin D. Abses leher dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Teggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.2007; p 185-8. 3. Novialdi,



Rusli



M.



Pola



kuman



abses



leher



dalam.



Available



at



http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAM. June 28, 2013. 4. Gadre AK, Garde KC. Infection of deep space of the neck. In: Bailey BJ, Jhonson JT, editors. Otolryngology Head and Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia : JB. Lippincolt Company 2006. P 666-81 5. Murray A.D. MD, Marcincok M.C.MD. Deep neck infection. 2009. Available at: www.emedicinespecialties//Otolaryngology&facialplasticsurgery.com. In June 28, 2013. 6. Poter MJ. Deep neck space infection smnr in otorhinolaryngology. 2005. Available at http://www.sunzi.lib.hku.hk. In 28th juni 2013 7. Tan J Avarey.peritonsillar Abcess in emergency medicine. Medscape reference (social



online).



April



30



2012



available



at



http://emedicine.madspace.com/article/764188-overciece #90101 8. Peritosillar



Abscess.



Web



MD



(serial



online).



2013



available



at



www.webmd.com/one-nealtb/guide/peritonsillar-abcess. 9. Beriault m, Green J. Innovative Airway Management for peritonsillar Abscess Cardiothoracic J Aresth 2006; 53:92-5 10. Novialdi, Prijadi Jon. Diagnosis & penatalaksanaan Abses Peritonsil. Universitas Andalas. 2011 p:1-5 11. Kahn J. Retropharyngeal abscess. Emedicine journal. February 1, 2001, vol2. Available at http://www.emedicine.com/EMERG/topic506.htm 12. Marques PM, Sprattey JE, Leal LM. Cardoso E, Santus M. Parapharyngeal abscess in children: five year retrospective study. Braz J Otorhinolanyngl. Dec 2009: 75(6). 82630



13. Maran AGD. Disease of the nose, throat, ear. Ed 10th. Singapore: p6 publishing ple Ltd, (990, h 1045) 14. Berger TJ, Shahidi H. retrophanyngeal Abscess. emedicine journal. 2001, vol 2. Available at: http://www.emedicine.com/ped/topic2682.html 15. L Adam George, Boies Lautence R. Abses Retrofaring. BOIEIS buku agat peny THT. 6th ed. Jakarta: e6d, 384, (320-355) 16. 16. Snow JB, Philip A. Ballenger’s Otorhinolaryngology: Head&neck Surgery USA: PM PH 2009. 17. Porter MJ, Deep Neck Space Infection. Seminar in Otorhinolaryngology. 2005. Available at: www.sunzi.lib.hku.hk in July 17, 2011. 18. Keat Jin Lee. Essential otolaryngology: head & neck surgery. McGraw-Hill Professional. 2003. 19. Rosen,



JE.



Deep



neck



spaces



and



infections.



2002.



Available



at:



[http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Deep-Neck-Spaces-2002-04/Deep-neck-spaces-200204.pdf ] June 28, 2012.