ADAT Kehamilan PADA Suku Kaili 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS PROMKES



Melakukan pendekatan budaya pada ibu Nifas , BBL , Kontrasepsi pasca nikah dan Pantangan pada ibu hamil



Nama kelompok 3 : 1.INGGRIT 2.SUSANTI 3.SUCI MARGAHAYU 4.NADHA DETTY T 5.SILPIANTI



AKADEMI KEBIDANAN BETANG ASI RAYA PALANGKARAYA ANGKATAN TAHUN XIII



ADAT Kehamilan PADA Suku kaili Asal-Usul Kesehatan bayi dalam kandungan harus selalu dijaga. Salah satu cara agar bayi dalam kandungan senantiasa sehat adalah dengan menjaga kesehatan si ibu yang mengandung si bayi. Sebelum dikenal adanya dokter yang mampu memeriksa dan mengobati seorang ibu yang sedang hamil, masyarakat tradisional mempunyai cara khusus untuk mengupayakan kesehatan si ibu yang sedang mengandung. Salah satu suku di Indonesia yang mempunyai cara khusus untuk menyembuhkan seorang ibu hamil yang sedang sakit adalah Suku Kaili yang berada di Sulawesi Tengah, Indonesia. 1.



Upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama (Nolama Tai)



Upacara ini adalah upacara selamatan kandungan pada kehamilan anak yang pertama apabila kandungan berusia 7 bulan. Upacara ini sering dinamakan No jemparaka manu (memisah-misahkan bagian daripada daging ayam) atau biasa disebut mantale (membuat sesajian). Nama-nama itu ditonjolkan sesuai dengan penonjolan dari bagian upacara ini yaitu memenggal bagian daging ayam untuk upacara sebagai sesajian utama dalam upacara Nolama Tai. Upacara ini bagi masyarakat Kaili berbeda kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan kedudukan sosial seseorang atau Vati seseorang dalam masyarakat. a.



Maksud Penyelengaraan Upacara Tujuan upacara ini adalah dimaksudkan agar kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan selamat tanpa cacat jasmani dan rohani, serta keselamatan ibu yang akan melahirkan, dan juga agar ibu terhindar dari gangguan-gangguan rate. Dari mantera-mantera sando (dukun) diketahui bahwa tujuan upacara ini adalah agar anak yang lahir kelak tidak tuli, kudisan, bodoh, nakal, penyakitan,



dan sebagainya. Menurut kepercayaan masyarakat Kaili bahwa leluhur mereka yang disebut rate selalu mengganggu dan menjadi sebab berbagai penyakit tersebut di atas, dan bagi bayi dalam kandungan apabila upacara diabaikan. b.



Waktu Penyelenggaraan Upacara Upacara ini dilakukan pada siang hari sebelum matahari condong ke barat. Hal ini sebagai suatu simbol bahwa bayi yang akan lahir kelak memiliki sumber kekuatan dan tenaga serta murah rezeki. Usia kandungan yang diupacarakan berkisar antara 7 sampai 9 bulan dan pantang untuk bulan ke 8 karena dianggap bulan yang kurang baik. Penetapan waktu ditetapkan dengan seksama melalu ilmu Kotika dengan cara menghitung hari bulan di langit yang dianggap sebagai hari baik dan disepakati oleh dua belah pihak orang tua suami istri dan sando.



c.



Tempat Penyelenggaraan Upacara Upacara diselenggarakan di rumah dan tempat-tempat tertentu yang dianggap berkaitan dengan kekuatan magis religius, atau tempat yang dianggap dikuasai oleh kekuatan roh halus dan dihuni oleh rate di dalam dan di luar rumah. Di dalam rumah upacara ini dilaksanakan di beranda depan, yaitu di depan pintu rumah (tambale), sedangkan kalau di luar rumah disiapkan tempat tertentu sebagai tempat sesajian sesuai kondisi lingkungan desa bersangkutan.



d.



Penyelenggaran Teknis Upacara Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun wanita (sando) yang dapat berkomunikasi dengan mahluk halus dan telah berusia lanjut. Tidak kurang peranannya ialah orang tua kedua belah pihak yang menyediakan korban upacara seperti kambing atau domba bagi keluarga bangsawan dan ayam bagi keluarga biasa.



E.



Jalannya Upacara Dalam upacara nolama bagi keluarga bangsawan, pertama ialah mengadakan undangan (pegaga), yaitu suatu undangan dengan jalan



mengundang langsung dari rumah ke rumah jauh sebelum upacara diadakan. Bila telah tiba hari yang ditentukan, undangan-undangan dijemput kembali (neala) dari rumah ke rumah. Kegiatan ini disebut peonggotaka (suatu penghormatan dari keluarga yang berpesta) kepada orang tua adat. Pada hari upacara diadakan penyembelihan kambing/domba yang disembelih tersebut dibakar/dipanggang di atas api (nilambu), sehingga seluruh bulu-bulunya habis terbakar. Maksudnya agar kulitnya dapat diproses menjadi bahan makanan. Sebelum dagingnya dipotong-potong hatinya diambil lebih dahulu yang biasa disebut nompesule (mengambil hati) dan langsung ditusuk dan dibakar sebagai bahan sesajian atau nilanjamaka (dijadikan sesajian). 2. Pengobatan Ibu Hamil Upacara Novero (upacara pengobatan apabila sang ibu yang hamil kurang sehat)



Upacara ini dapat juga dilaksanakan bagi ibu yang tidak hamil, namun ada perbedaan-perbedaan yang tidak berarti. 1.



Maksud Penyelenggaraan Upacara Novero (mengobati penyakit) atau moragi ose (memberi warna warni beras) bertujuan untuk menyembuhkan ibu hamil dari penyakit yang dideritanya karena nilindo nuviata (diganggu mahluk halus).



2.



Waktu Penyelenggaraan Upacara Upacara ini sering dilaksanakan serentak dengan upacara nolama, yaitu bila ibu hamil kelihatannya kurang sehat. Perbedaannya ialah nolama lebih dekat kepada pemujaan arwah nenek moyang, sedangkan novero lebih berorientasi kepada mahluk-mahluk halus yang dianggap jahat.



3.



Tempat Penyelenggaraan Upacara



Tempat upacara diadakan di luar rumah, di tempat yang dipercayai sebagai tempat hunian mahluk halus, seperti di tepi sungai, tepi pantai, di pohon-polion besar, dan sebagainya. Dan di sini pula dibuat suampela, sebuah tempat penyimpangan sesajian yang dibuat dari kayu bertiang tiga. Pada bagian atas dibuat sebuah anyaman dari ranting kayu atau bambu tempat sesajian itu disimpan, dan kulili (kayu yang dibuat seperti model parang, yang diberi warna belang hitam putih). Ketiganya (suampela, kulili, dan berbagai jenis makanan) merupakan perlengkapan upacara novero tersebut termasuk ose ragi (beras yang telah diberi warna-warni) seperti disebutkan di atas. 4.



Penyelenggara Teknis Upacara Yang berperan dalam upacara ini ialah seorang dukun wanita sejak awal sampai dengan upacara ini selesai. Pihak-pihak lain yang terlibat terbatas dalam lingkungan keluarga terdekat saja, yang mempersiapkan perlengkapan upacara adat lainnya.



5.



Persiapan dan Perlengkapan Upacara Perlengkapan-perlengkapan selain yang telah disebutkan di atas ialah membuat pekaolu nuvayo (tempat berlindungnya bayangan), maksudnya tempat roh kita berlindung bila mendapat gangguan mahluk halus. Juga perlengkapan yang disebut toge, yang dibuat semacam janur dari daun kelapa seperti bentuk tombak, kepala kuda yang berkepala dua dan berkepala sebelah dan lain-lain. Pada bagian bawah janur tersebut bersusun 4-5 dan yang terakhir inilah yang disebut pekaolu nuvayo. Perlengkapan lainnya ialah tuvu mbuli seperti yang telah disebutkan terdahulu. Di dalam rumah disiapkan mbara-mbara (barang perhiasan/pakaian adat) yaitu vuya (sarung), baju, dan bulava (emas). Ketiganya disimpan di atas dula palangga (dulang berkaki). Selanjutnya diadakan acara noronde (dialog dukun dengan orang-orang yang ada dalam rumah). Dialog tersebut terjadi sebagai berikut:



Dukun : "Nolompemo yanu!!" (Si Anu sudah sembuh). Orang di rumah menjawab : "Yo nalompemo" (Ya sudah), eva apu nitulaka uve (seperti api kena air), eva kuni niboli toila (seperti kunyit diberi kapur). Dukun naik ke rumah sambil berkata kepada ibu hamil: "niratakumo vayo miu, naialaku riviata, rikarampua, rirate njae, rirate vou" (saya sudah menemukan sumber kekuatan hidup yang hilang dari viata (setan/jembalang) dari para dewa dan roh-roh nenek moyang yang telah lama dan baru meninggal). Acara terahir ialah noave ose niragi, bila ibu telah melahirkan dengan selamat, maka ose niragi (beras 4 warna) yang disebutkan di atas valas suji (semacam rakit kecil). Noave (mengalirkan) barang tersebut mengandung arti nompakatu (mengirimkan sesajian) tersebut kepada pue ntasi (penghuni laut) diiringi pula dengan mantera-mantera yang isinya minta segera ibu hamil yang sakit segera sembuh, dan karena penyakit sudah terbawa ke laut, pergi bersama penyakit. Dengan selesainya acara ini, selesailah upacara novero tersebut bagi seorang ibu hamil yang kurang sehat.



3. Upacara penyembuhan masyarakat dan tradisi lainnya a. Balia: Upacara Penyembuhan Penyakit Etnik Kaili



Etnik Kaili melakukan penyembuhan penyakit melalui dukun bila ada orang sakit yang dianggap ditegur oleh makhluk halus. Orang sakit itu diobati dengan suatu upacara yang disebut "Nobalia" atau "Novurake". Upacara Nobalia, yaitu: dukun membaca mantera-mantera kemudian ia menjadi kesurupan. Ketika dukun tersebut kesurupan maka menari-nari di atas bara api, yang kemudian ia melawan/mengusir makhlus halus supaya kembali ke tempat-nya atau berhenti mengganggu orang yang sakit. (anehnya belum satupun fotografer berhasil mengabadikan dukun menari diatas api) Secara etimologi “Balia” berasal dari bahasa Kaili “Nabali ia” artinya “berubah ia”. Perubahan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang



pelaku Balia telah dimasuki oleh roh halus, maka segala perilaku, gerak, perbuatan, cara berbicara sampai pada cara berpakaian orang tersebut akan berubah. Salah satu contoh, seorang pelaku Balia wanita, bila roh yang masuk ke dalam tubuhnya adalah laki - laki, maka ia pun langsung merubah cara berpakainnya seperti memakai sarung, kemeja, kopiah dan merokok. Gerak, tingkah laku dan cara berbicaranya pun tak ubahnya laki-laki. Sebaliknya, hal ini juga berlaku pada pelaku Balia pria yang dimasuki oleh roh halus wanita, dalam bahasa Kaili disebut “Bayasa” ( laki-laki yang berperilaku wanita ). Pengertian lain tentang kata “Balia” adalah “bali ia” atau “robah dia”. Dalam pengertian ini, kata “robah dia” lebih dikonotasikan pada penyakit yang diderita seseorang yang diupacarakan agar disembuhkan. Sederhananya dapat diartikan merubah seseorang yang “sakit” menjadi “sembuh”. Seperti diketahui bahwa nilai budaya merupakan konsep - konsep mengenai apa yang hidup dan alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, penting, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tersebut. Demikian halnya dengan upacara ritual penyembuhan “Balia”. Dari pengertian kebudayaan serta unsur - unsurnya secara umum, Balia merupakan salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili. Meskipun sebagian besar etnis Kaili ( To Kaili ) memeluk agama Islam, namun sampai saat ini masih memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan animisme dimana segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, baik buruknya, semua ada yang mengaturnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa (bahasa Kaili: “Tupu Taala”). Selain kekuatan “Tuhan”, orang Kaili juga mempercayai adanya hal-hal gaib, kekuatan roh yang dapat mendatangkan petaka, musibah, penyakit, bila murka akan perilaku manusia. Di kalangan etnis Kaili, kekuatan - kekuatan gaib itu dipercaya ada di manamana, dalam pengertian bahwa langit dan bumi serta segala isinya di dunia ini memiliki penghuni / penjaga. Kekuatan gaib di langit disebut “karampua” dan pemilik kekuatan gaib di bumi / tanah disebut “anitu”. Selain itu segala isi alam seperti batu, pohon, laut, gua, gunung, bukit, dan lain - lain, juga diyakini berpenghuni. Kelalaian, pelanggaran dari perilaku manusia dalam kehidupannya membuat para penghuni dan pemilik kekuatan gaib tersebut murka dan memberikan azab bagi manusia berupa bencana atau penyakit. Konsekwensi dari segala kejadian tersebut, manusia diwajibkan untuk bertobat, memohon kepada “Penguasa” alam agar dijauhkan dari malapetaka, disembuhkan dari penyakit yang diderita. Wujud pertobatan itulah yang dilakukan oleh orang Kaili melalui upacara ritual



“Balia” dengan memberikan sesajian sebagai persembahan seraya memohon kesembuhan dan keselamatan bagi umat manusia. Mempelajari sejarah orang Kaili dari sudut antropologi, menurut legenda, cikal bakal orang Kaili berasal dari “bambu kuning”, erat kaitannya dengan “Sawerigading” Savi = lahir / timbul rigading = di bambu kuning ( bahasa Makassar ), artinya sama dengan bahasa Kaili “Topebete ribolovatu mbulava” atau “orang yang lahir / muncul dari bambu kuning”. Sawerigading diyakini oleh orang Kaili sebagai nenek moyang mereka, sehingga apa yang dilakukan oleh Sawerigading diikuti oleh oleh keturunannya, termasuk Balia. Berdasarkan keterangan - keterangan dari tokoh - tokoh pelaku upacara ritual Balia, bahwa yang pertama - tama mempertunjukan Balia adalah Sawerigading. Balia yang dilakukan oleh Sawerigading berupa gerak - gerak tari seperti orang yang kesurupan sampai mengalami trance. Kala itu banyak orang yang datang menonton Balia, termasuk orang yang sakit. Anehnya ketika menyaksikan Balia, orang - orang yang sakit ketika sampai dirumahnya pulang menonton Balia, ia menjadi sembuh. Dari peristiwa itulah, Balia mulai dilakukan oleh orang Kaili. Namun diyakini bahwa penyakit yang diderita tentu ada penyebabnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan kepada kekuatan gaib dan penghuni / penjaga alam semesta. Kaitan keterangan sejarah singkat orang Kaili seperti yang telah disebutkan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan semua apa yang dikerjakannya ( Ralfh L Beas dan Harry Hoijen:1954:2 ). Ditengah perkembangan dan kemajuan peradaban dewasa ini, Balia sebagai salah satu media penyembuhan orang sakit, masih dilaksanakan oleh orang Kaili. Tak jarang dijumpai dalam pola hidup orang Kaili, bila ada anggota keluarga yang sakit, sudah dibawa ke dokter, diinapkan di rumah sakit, tapi tak kunjung sembuh, sebagai upaya penyembuhan secara adat istiadat diupacarakan dengan ritual Balia. Pelaksanaan upacara ritual Balia umumnya dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan atau halaman rumah yang luas, terdapat sebuah bangunan besar tidak permanen yang dibangun secara gotong royong oleh keluarga yang akan melaksanakan upacara, dibantu oleh masyarakat sekitarnya. Bangunan ini disebut “Bantaya” atau balai pertemuan, tempat berkumpulnya para pelaku upacara selama prosesi upacara berlangsung. Waktu pelaksanaan upacara pada malam hari selama 3 - 4 hari berturut - turut. Penetapan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh tokoh adat setempat, disesuaikan dengan hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Dalam upacara Balia instrumen musik berupa



gendang, gong, lalove (suling panjang khas Kaili) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pelaksanaannya. Instrumen music ini dimainkan untuk mengiringi para pelaku Balia yang menari - nari (bahasa Kaili: Notaro) karena telah kesurupan roh halus. Bila upacara Balia digelar, selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat. Ritual ini menjadi sebuah media pertemuan masyarakat dari segala tingkatan usia dan strata sosial. Selain sebagai sebuah bentuk upacara tradisi, Balia telah menjadi konsumsi hiburan masyarakat bahkan menjadi pasar kecil - kecilan karena masyarakat lainnya juga memanfaatkan momen ritual ini dengan menggelar dagangan makanan kecil seperti : kacang, pisang, kue-kue, minuman, dan lain lain. Balia adalah salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili yang masih terpelihara, membentuk sebuah nilai, norma, etika, tatanan sosial orang Kaili di Sulawesi Tengah yang hingga kini belum ada satu pihak pun menolak keberadaannya. Terlepas dari ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas etnis Kaili, Balia memiliki nilai seni yang tinggi sebagai salah satu local genius ( kearifan lokal ), wujud dari sebuah kebudayaan yang telah diakui oleh masyarakat Sulawesi Tengah sebagai culture icon ( ikon budaya ). Apresiasi dan penghargaan, itulah yang sangat diharapkan terhadap ke Bhinneka - an kebudayaan negeri ini. Menjaga, merawat, memelihara dan melestarikan kebudayaan sebagai perekat pemersatu bangsa, tentunya menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama sebagai pemilik kebudayaan tersebut. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya. B.Upacara Masa Kanak-kanak pada Suku Kaili (Nosuna / khitan)



Upacara ini sudah menjadi adat dan tradisi di kalangan masyarakat Kaili sejak masuknya Islam hingga dewasa ini, secara turun temurun. Upacara nosuna (khitan) dilaksanakan pada anak laki-laki dan perempuan. Namun pada bahagian ini hanya diuraikan khusus pada upacara nosuna bagi anak laki-laki yang dilakukan menjelang anak berumur sekitar 7 sampai 8 tahun, yaitu pada anak-anak yang belum memasuki puber atau balig (nabalego). Maksud dan Tujuan Upacara Upacara ini dilaksanakan karena mempunyai maksud dan tujuan tertentu menurut adat dan kepercayaan masyarakat setempat, yaitu :



Mentaati perintah agama (sunah Nabi) yang disebut Noinpataati Parenta Nabita (mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW). Nompakavoe koro (mensucikan diri) . Nompataati ada (mematuhi adat kebiasaan masyarakat agar sang anak tersebut (yang disunat) terlepas dari dosa, di samping anak itu terhindar dari berbagai penyakit (perkembangan yang tidak normal baik psikhis maupun phisik). Waktu Penyelenggaraan Upacara Upacara ini memerlukan persiapan-persiapan yang cukup selain bahan yang dibutuhkan untuk upacara juga menentukan pula adanya kesiapan waktu yang baik untuk diselenggarakannya upacara ini, karena soal waktu adalah faktor menentukan suksesnya kelangsungan hidup anak yang disunat; keadaan waktu yang tidak baik merupakan pantangan timbulnya suatu kecelakaan pada diri sang anak. Menurut kepercayaan adat setempat bahwa pelaksanaan upacara ini hendaknya jatuh pada bulan ke 1, 4, 7, 10, 13, 16, 19, 22, 25, serta ke 28 bulan di langit (Nopalakia) telapak tangan, yakni diawali dari telapak tangan bagian dalam, jari kelingking, jari manis, jari tengah kemudian jari telunjuk lalu ibu jari. Setiap bulan yang jatuh pada bagian dalam telapak tangan dan jatuh pada jari tengah bagian dalam akan mempunyai arti yang baik, serta mendapatkan keselamatan, rezeki bagi anak dan semua keluarganya. Adapun hari-hari yang baik dalam melaksanakan upacara ini menurut palakia (buku perhitungan bulan), yaitu hendaknya jatuh pada hari Senin, Minggu, dan hari Jum'at yang sedianya dilaksanakan pada siang hari jam 2 sampai jam 4, dengan alasan bahwa pada saat itu merupakan waktu yang menguntungkan untuk menuju keselamatan.



Pantangan-pantangan yang Dihindari



Dalam upacara adat nolama, hampir tidak ada pantangan yang berarti, tetapi selama ibu hamil dijumpai sejumlah pantangan-pantangan. Pantangan tersebut tidak saja berlaku untuk sang ibu yang hamil, tetapi juga berlaku bagi sang suami. Pantangan-pantangan bagi ibu hamil tersebut antara lain: a)



Duduk di muka pintu atau pada anak tangga (mungkin suatu upaya preventif).



b)



Pantang minum air terlalu banyak karena bila melahirkan terlalu banyak air dan atau beranak kembar.



c)



Pantang makan gula merah atau tebu serta nenas karena dapat membuat perut sakit.



d)



Pantang mencela, mengejek orang-orang yang cacat jasmani karena dapat melahirkan bayi yang cacat.



e)



Pantang mengurai rambut pada sore hari karena dapat di ganggu mahluk halus.



f)



Pantang makan ikan cumi-cumi dan memukul hewan karena dapat melahirkan bayi dalam bentuk cumi-cumi dan hewan sebagainya.



g)



Pantang duduk di sembarang tempat.



h)



Tidak boleh kikir (nemo masina), agar sifat/watak anaknya tidak seperti itu.



i)



Tidak boleh menggulung handuk di leher (moveve handuri tambolo), agar bayi bakal lahir tidak tercekik pada bagian lehernya.



j)



Tidak boleh melicinkan tempurung (mo gau bobo/banga), agar rambut anak tidak akan botak.



k)



Pantang mandi pada sore hari, dapat membuat kelamin bengkok karena ilirasi pue nu tive (disetubuli oleh hantu penghuni air) atau mandi dipagi buta karena bayi kedinginan dan lahir dalam keadaan lemah



8.



Pantangan bagi sang suami adalah:



a)



Menyembelih atau membunuh binatang karena dapat mengakibatkan bayi nantolu moro (kemarahan)



b) c)



Pantang memakai celana bila istri dalam keadaan melahirkan Pantang menginjak papan penutup liang lahat (dindi ngari) sebab dapat membuat bayi lahir dalam keadaan lemah. Lambang-Lambang atau Makna yang Terkandung dalam Unsur-unsur Upacara Dari uraian-uraian terdahulu



telah disebut kan beberapa jenis



perlengkapan upacara adat yang merupakan simbol tertentu dalam upacara tersebut, baik dalam bentuk nama, sifat, ataupun keadaan benda itu. Tuvu mbuli adalah tumbuh-tumbuhan yang melambangkan sifat dan keadaan benda yang diidentifikasikan dengan kebabahagiaan rumpun keluarga, yaitu siranindi (daun si tawar dingin), sebagai simbol agar anak yang bakal lahir tetap tenang dan berpikiran dingin serta jernih sekalipun dalam suasana penuh tantangan. Sifat tumbuh-tumbuhan tersebut tahan hidup dalam keadaan musim kemarau. Suatu lambang dari suatu kehidupan yang tidak pernah susah. Kadombuku adalah semacam tumbuh-tumbuhan yang selain tahan musim kemarau juga berkembang biak melalui akar. Suatu simbol perkembangbiakan yang begitu cepat tanpa mengalami kesulitan. Tinggora dan doke adalah simbol dari kekuatan/keberanian sebagai sifat dari sebuah besi dan senjata (tombak) melambangkan agar anak keras kemauan, kuat, dan berani. Piring adat adalah simbol kesejahteraan dan kecukupan pangan. Kain mesa adalah kain adat tenunan dari Sulawesi Selatan adalah simbol kebangsawanan seseorang yang diupacarakan.



Dula palangga (dulang berkaki) adalah salah satu perlengkapan upacara di mana benda-benda tersebut di atas diletakkan, adalah lambang dari simbol status seseorang bangsawan.



Pantangan pada BBL 1. Bayi tidak boleh dibawa keluar rumah saat magrib, karna taakut akan diganggu oleh roh halus. 2. Bayi tidak boleh tidak memakai Kariango ( peniti yang ditusuk dengan jeruk nipis ) pada saat diluar rumah dan didalam rumah. 3. Orang luar yang datang kerumah bayi tsb tidak boleh langsung memengang bayi tsb . harus mencuci tangan dan kaki terlebih dahulu.



Kontrasepsi pasca nikah Kontrasepsi pasca nikah adalah alat kontrasepsi yang akan digunakan setelah menikah lansung tanpa ingin mempunyai anak terlebih dahulu atau memberi jarak antara jarak pernikahan dengan kehamilan dalam waktu yang cukup lama . Cara menaggapi “ kontrasepsi pasca nikah “ Dengan cara kita seorang bidan menjelaskan terlebih dahulu jenis-jenis kontrasepsi dan efek samping yang ada disetiap kontrasepsi . jika ibu tersebut masih bersih keras melakukan ingin menggunakan kontrasepsi kita sebagai bidan harus menjelaskan secara rinci tentang alat kontrsepsi yang diada baik yang hormonal dan non hormonal. Lalu setelah itu kita tanya kepada ibunya ingin menggunakan jenis kb apa hormonal atau non hormonal. Sebiknya kita sebagai seorang bidan menyarankan agar ibu menggnakan non hormonal .



Nilai-nilai Jika diamati secara seksama, pelaksanaan upacara Novero oleh masyarakat suku Kaili merupakan bentuk ekpresi dari keyakinananya kepada Yang Gaib, pengharapan dan pemahaman terhadap alam sekitar. Adanya keyakinan dalam masyarakat bahwa jika ada perempuan yang hamil sakit, maka perempuan tersebut sedang diganggu oleh mahluk halus memunculkan “kesadaran” masyarakat untuk melakukan penyikapan secara cepat dan tepat, yaitu dengan mengadakan upacara Novero. Upacara Novero, dengan demikian, merupakan cara masyarakat suku Kaili untuk membujuk dan menaklukkan mahluk halus. Dengan kata lain, pelaksanaan upacara Novero merupakan cara masyarakat suku Kaili merespon sebuah fenomena yang didasarkan pada pemahaman dan keyakinan mereka. Penggunaan peralatan-peralatan upacara yang dipersiapkan secara khusus merupakan symbol-simbol yang mengekspresikan pengharapan masyarakat suku Kaili. Misalnya Tuvu mbuli digunakan agar keluarga selalu hidup bahagia; siranindi (daun si tawar dingin) digunakan agar anak yang akan lahir selalu bersikap tenang dalam menghadapi tantangan; Tinggora dan Doke adalah bentuk



pengharapan



agar



anak



mempunyai



kekuatan,



keberanian,



dan mempunyai kemauan kuat; Piring adat adalah simbol kesejahteraan dan kecukupan pangan; dan Kain Mesa sebagai simbol kebangsawanan. Penggunaan pantangan-pantangan berkaitan dengan keyakinan yang berlandaskan pada pemahaman terhadap berbagai fenomena alam yang terjadi disekitarnya. Keberadaan pantangan tersebut merupakan cara masyarakat suku Kaili agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang kurang baik sehingga mengakibatkan tidak tercapainya tujuan upacara. Masyarakat suku Kaili, meyakini bahwa tindakan kurang baik yang dilakukan oleh kedua suami dan istri yang sedang mengandung akan berpengaruh secara langsung kepada bayinya. Misalnya larangan mencela atau mengejek orang cacat muncul karena ada keyakinan bahwa anak yang



dikandung akan lahir dalam keadaan cacat. Adanya keyakinan bahwa perbuatan buruk yang dilakukan oleh orang tua si bayi akan berdampak buruk kepada si bayi menunjukkan bahwa ada proses pensakralan perbuatan-perbuatan yang kurang baik.



A. Kesimpulan Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Budaya kaili Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat. Bagi suku kaili apa bila ada anggota dari sukunya yang hamil maka kehamilan itu harus di jaga. Dalam adat istiadat suku kaili apa bila seseorang hamil maka akan diadakan upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama (Nolama Tai). Upacara ini apabila kandungan berusia 7 bulan. Upacara ini sering dinamakan No jemparaka manu (memisah-misahkan bagian daripada daging ayam) atau biasa disebut mantale (membuat sesajian). Selain itu ada juga Upacara novero (upacara pengobatan apabila sang ibu yang hamil kurang sehat) atau moragi ose adalah suatu upacara pengobatan yang bila ibu hamil kurang sehat dan lemah, yang dianggap sebagai gangguan mahluk halus yang jahat. Novero (mengobati penyakit) atau moragi ose (memberi warna warni beras) bertujuan untuk menyembuhkan ibu hamil dari penyakit yang dideritanya karena nilindo nuviata (diganggu mahluk halus)



Masyarakat suku Kaili yang ada di Desa Jono Kalora masih memiliki budaya dan adat istiadat yang diterapkan dalam kehidupan. Hal itu dapat diketahui dari masih berlakunya hukum adat dan pelaksanaan upacara-upacara adat di masyarakat. Mereka meyakini bahwa ramuan dan mahluk supranatural dapat mempengaruhi kehamilan dan persalinan. Sando mpoana menjadi pilihan utama sebagai penolong persalinan, karena dianggap memiliki pengetahuan berkaitan dengan mahluk-mahluk supranatural. Ibu-ibu hamil di



Desa Jono Kalora memiliki konsep persalinan. Konsep persalinan yang dipahami selama ini oleh ibu hamil suku Kaili, bahwa persalinan adalah proses alami yang setiap ibu rumah tangga akan mengalaminya. Risiko sakit terhapus setelah berhasil mengeluarkan bayi. Ibu hamil juga meyakini mahluk supranatural dan melanggar pantangan dapat mempersulit proses persalinan. Ibu hamil di Desa Jono Kalora dalam kehamilan dan persalinan melakukan upaya-upaya agar proses persalinan berjalan dengan lancar, seperti meminum ramuan dan beraktivitas. Untuk mencegah gangguan mahluk supranatural, ibuibu hamil membawa lemon atau bawang merah. Pola perilaku ibu hamil di Jono Kalora ketika akan bersalin, yaitu penolong persalinan yang pertama dipanggil adalah sando mpoanananti setelah selesai, barulah bidan dipanggil untuk mendapatkan suntikan dan obat. Maksud dari pola perilaku tersebut, yaitu untuk mempercepat pemulihan kesehatan. Pola perilaku lain ibu hamil adalah bidan dilibatkan dalam persalinan apabila dalam proses persalinan mengalami kesulitan atau pendarahan. Bila semuanya dianggap normal atau aman-aman saja bidan tidak dilibatkan sama sekali. Dalam kehidupan suku Kaili, budaya adat istiadat dan kepercayaan masih menjadi acuan dalam bermasyarakat, sehingga hal tersebut juga mempengaruhi ibu hamil dalam penerimaan penolong persalinan. Ibu hamil lebih mudah menerima penolong persalinan yang mengetahui budaya dan adat istiadat yang berlaku di desa mereka, dari pada penolong persalinan yang tidak mengetahui hal tersebut dan penggunaan bahasa Kaili oleh penolong persalinan dapat membantu penerimaan 78 .



B. Saran Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, diketahui bahwa ibu hamil suku Kaili dalam pemilihan pertolongan persalinan masih kuat dipengaruhi oleh budaya, adat istiadat dan kepercayaan kepada mahkluk supranatural. Di samping itu, mereka juga selektif dalam menerima perubahan. Dengan demikian, untuk tercapainya tujuan pelayanan kesehatan khususnya persalinan, maka disarankan kepada: 1.Dinas Kesehatan Kabupaten Parigi Moutong, khusus bidang Sumber Daya Kesehatan (SDK) dan bidang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), untuk memberikan pelatihan kepada bidan berkaitan dengan kepercayaan masyarakat, adat istiadat dan interaksi sosial, dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di tempat tugas. 2.Pengelola Promosi Kesehatan dan Kesehatan Ibu dan Anak agar memberikan pengetahuan kepada masyarakat berkaitan dengan risiko hamil dan persalinan, melalui penyuluhan dan media promosi kesehatan. 3.Pengelola Promosi Kesehatan dan Kesehatan Ibu dan Anak agar memberikan pengetahuan kepada ibu-ibu pentingnya pemeriksaan kehamilan di sarana kesehatan. 4.Pemerintah daerah agar mendorong masyarakat untuk bersalin di sarana kesehatan, dengan mengeluarkan surat himbauan dan memberikan reward pada ibu hamil yang melahirkan di bidan desa, berupa keperluan bayi. 5.Bidan desa agar lebih aktif berinteraksi sosial dengan masyarakat melalui kunjungan ke rumah ibu hamil dan menghadiri pertemuan-pertemuan yang ada di desa. 6.Para petugas kesehatan lebih memposisikan diri sebagai masyarakat setempat agar lebih memahami budaya, adat istiadat dan kepercayaan suku Kaili, dan akan lebih baik lagi bila bidan desa bisa menguasai bahasa Kaili.