Adat Suku Buton [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KELOMPOK



Etika Profesi Dan Ilmu Perilaku “ADAT SUKU BUTON



OLEH



HARMILA LA KARIADIN MERLIN WAODE MARSITA AYUB



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI JURUSAN AHLI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK 2019



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.Makalah yang penulis susun ini dalam rangka memenuhi mata kuliah ETIKA PROFESI DAN ILMU PERILAKU Dalam makalah ini penulis menguraikan pembahasan mengenai “ ADAT SUKU BUTON “ terima kasih atas segala partisipasi semua pihak yang mendukung tersusunnya makalah ini. Penulis menyadari penulisan makalah masih jauh dari kesempurnaan, olehnya itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah ini.



Kendari, 23 Oktober 2019



Penyusun



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. ........................................................................ DAFTAR ISI. ....................................................................................... BAB I. PENDAHULUAN. .................................................................. A. Latar Belakang. ........................................................................ B. Rumusan Masalah. ................................................................... C. Tujuan. ..................................................................................... BAB II. PEMBAHASAN. ................................................................... A. Deskriptif Suku Buton. ............................................................ B. Jenis-jenis Adat Suku Buton. ................................................... C. Adat Poriwangaa. ..................................................................... D. Adat Upacara Perkawinan. ....................................................... E. Adat Ritual Alo. ....................................................................... F. Adat Ma’acia. ........................................................................... BAB III. PENUTUP. ........................................................................... A. Kesimpulan. ............................................................................. B. Saran. ........................................................................................ DAFTAR PUSTAKA



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat di temui dengan Jumlah yang Signifikan di Luar Sulawesi Tenggara Seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua. Seperti sukusuku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton. Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah-daerah itu kini telah



menjadi



beberapa



kabupaten



dan



kota



di Sulawesi



Tenggara diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Muna Barat. Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman dulu sudah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayahwilayah Kesultanan Buton, diantaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi. Jika melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang



dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar akhir abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke 14. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya. Suku Buton memiliki banyak kebudayaan. Bedasarkan hasil wawancara dengan warga yang mediami suku Buton, setidaknya sekitar 20 macam adat budaya yang didapatkan diantaranya : Ma’acia ( pesta kampung), Pancak silat, Kande-kandea, Upacara tutura, Tandaki/Posusu, Posuo,Tari Kompania, Haroa No Tau, Poriwangano Lipu, Perampu, Kawi’a, Tarian Lense, Alionda, Kabengka ( Sunatan), Manca, Ngibi, Balumpa, Pesondo, Pekoiri (Khitanan), Pesta Panen, serta Ritual Alo B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana deskriptif dari Suku Buton? 2. Apa-apa sajakah jenis-jenis adat di suku Buton? 3. Bagaimana kebiasaan, perilaku, karakter, masalah kesehatan yang ditimbulkan serta peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik dalam pelaksanaan adat Poriwangaa? 4. Bagaimana kebiasaan, perilaku, karakter, masalah kesehatan yang ditimbulkan serta peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik dalam pelaksanaan adat Upacara Perkawinan (Kawi’a)? 5. Bagaimana kebiasaan, perilaku, karakter, masalah kesehatan yang ditimbulkan serta peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik dalam pelaksanaan adat Ritual Alo?



6. Bagaimana kebiasaan, perilaku, karakter, masalah kesehatan yang ditimbulkan serta peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik dalam pelaksanaan adat Ma’acia? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui bagaimana deskriptif dari Suku Buton 2. Untuk mengetahui apa-apa sajakah jenis-jenis adat di suku Buton. 3. Untuk mengetahui bagaimana kebiasaan, perilaku, karakter, masalah kesehatan yang ditimbulkan serta peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik dalam pelaksanaan adat Poriwangaa. 4. Untuk mengetahui bagaimana kebiasaan, perilaku, karakter, masalah kesehatan yang ditimbulkan serta peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik dalam pelaksanaan adat Upacara Perkawinan (Kawi’a). 5. Untuk mengetahui bagaimana kebiasaan, perilaku, karakter, masalah kesehatan yang ditimbulkan serta peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik dalam pelaksanaan adat Ritual Alo. 6. Untuk mengetahui bagaimana kebiasaan, perilaku, karakter, masalah kesehatan yang ditimbulkan serta peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik dalam pelaksanaan adat Ma’acia.



BAB II PEMBAHASAN A. Deskriptif Suku Buton Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat di temui dengan Jumlah yang Signifikan di Luar Sulawesi Tenggara Seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua. Seperti sukusuku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton. Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah-daerah itu kini telah



menjadi



beberapa



kabupaten



dan



kota



di Sulawesi



Tenggara diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Muna Barat. Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman dulu sudah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayahwilayah Kesultanan Buton, diantaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi. Jika melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang



dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar akhir abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke 14. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya. Dalam Riwayat H. J. Van Den Berg, ia menuliskan antara lain: Dalam tahun 1275 bertolaklah satu tentara kertanagara dari pelabuhan Tuban. Tentara itu mendarat di daerah muara sungai Jambi dan: rebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah takluk bagi kerajaan Singosari. Dalam waktu 10 tahun saja, jajahan kerajaan Jawa itu telah dapat diluaskan sampai kedaerah hulu sungai jambi. Didirikanlah kembali kerjaan Melayu lama didaerah itu, tetapi sebagai negara bagian pada kerajaan Singosari. Raja Melayu dijadikan Raja takluk kepada Baginda Kertanagara. Kerajaan Melayu menjadi penting kedudukannya, sehingga dalam abad ke 14 seluruh Sumatra kerapkali disebut juga melayu. Suatu kumpulan karya, yang di dapat orang di daerah jambi, atas perintah Kertanagara diangkut ke melayu dalam tahun 1286. Maksud kertanagara telah jelas, yaitu mendirikan satu kerajaan Jawa di Sumatra tengah, yang akan menjadi pusat kebudayaan Jawa dipulau itu. Kerajaan Jawa yang di Sumatra itu merupakan suatu bahaya yang besar sekali bagi Sriwijaya. Akan tetapi Sriwijaya terlalu lemah untuk mencegah maksud Kertanagara itu. Kekuasaan Sriwijaya telah runtuh pada segenap pihak. Dibagian Utara Semenanjung Malaka.



Sebagian



dari



daerah Sriwijaya telah



direbut



kerajaan Siam yang baru saja berdiri. Di Aceh pun telah mulai pula timbul kerajaan baru, umpamanya kerajaan Perlak dan Kesultanan Samudra Pasai. Kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan islam (yang pertama di Indonesia).



Perhubungannya



dengan Sriwijaya hampir



tidak



ada



lagi.



Kerajaan Pahang pun yang terletak di Semenanjung Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada kerajaan Singosari, yang telah sejak lama mengakui kekuasaan tertinggi dari Sriwijaya, rupanya terlepas pula dalam zaman itu dan telah menjadi bagian kerjaan Singosari. Sipanjonga dan teman-temannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai seorang raja di negerinya, yang termasuk di dalam kerjaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan



Sriwijaya



sudah



demikian



lemahnya,



Ia



mengambil



kesempatan untuk meninggalkan kerajannya mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan Untuk dapat menetap sebagai seorang raja yang berkuasa dan tibalah mereka di Pulau Buton. Tibanya Sipanjonga dengan kawan-kawan tidak bersama-sama dan tidak pula pada suatu tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan mereka yang disebut dalam zaman “palulang”. Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan mengadakan pendaratan yang pertama di Kalaupa, suatu daerah pantai dari raja toboTobo, sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kirakira kampung Boneatiro atau di sekitar kampung tersebut Kecamatan Kapontori sekarang). Pada waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga mengibarkan bendera kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari Kalampa, pertanda kebesarannya. Bendera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan buton yang disebut “tombi pagi” yang berwarna warni, “longa-longa” bahasa wolionya. Di kemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama “sula” yang sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak jauh lapangan udara Betoambari. Kemudian maka keempat pemuka tersebut di atas yang membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang mengawali pembentukan kampungkampung, yang kemudian sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang



sebagai Rajanya yang pertama Ratu I Wa Kaa Kaa. Di tempat pendaratannya tersebut Sipanjonga dan kawan-kawannya membangun tempat kediamannya yang lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak lama setelah pendaratannya itu Rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga di Kalampa. Oleh karena letak tempat tinggal dari Sipanjonga dekat pantai bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadinya gangguan-gangguan keamanan, terutama sekali dari bajak laut yang berasal dari Tobelo Maluku – masyuurnya gangguan keamanan dari apa yang dikenal dengan tobelo, demikian di takuti sehingga menjadi akta menakuti anak-anak dari kalangan orang tua dengan “jaga otobelo yitu” artinya “awas tobelo itu”. Untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim. Karena di tempat yang baru itu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman mereka ditebasnya belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya dikatakan “Welia”. Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi tempat pusat kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan. Diriwayatkan lebih jauh bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-teman menebas hutan belukar di tempat itu didapati banyak pohon enau. Terlebih di atas sebuah bukit bernama “Lelemangura” Rahantulu – Di tempat ini diketemukan putri Raja Wa Kaa Kaa. Lelemangura bahasa Wolio terdiri dari anak kata “lele” dan “mangura”. Lele berarti tetap dan mangura mudah. Ini mengandung makna kiasan terhadap putri Wa Kaa Kaa yang karena ditemukan dan dianggap sebagai bayi dalam arti “diberi baru menerima, disuap lalu menganga dan hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya”. Tujuan hakekatnya supaya tetap diingat bahwa Raja adalah “anak” dari Betoambari



Bontona



Peropa



dan



Sangariarana



Bontona



Baluwu



Siolimbona pada keseluruhannya Bukit inilah yang kemudian masyur dengan sebutan Lelemangura. Salah seorang teman dari Sipanjonga yang



bernama Sijawangkati mendapatkan enau dan dengan diam-diam ia menyadap enau itu. Ketika yang empunya enau yang bernama Dungkungeangia datang menyadap enaunya, didapatinya enaunya sudah di sedap orang yang tidak diketahuninya. Timbullah marahnya. Dipotongnya sebatang kayu yang cukup besar. Melihat potongan batang kayu itu, timbul dalam pemikirannya betapa besar dan kuat orang yang memotong kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut pada diri Sijawangkati. Untuk mengimbangi potongan kayu itu, dipotongnya rotan yang panjangnya satu jengkal yang cukup besar juga, kemudian batang rotan itu disimpulnya. Karena kekuatan simpulan pada batang rotan itu, hampir tidak kelihatan, kemudian diletakkannya di atas bekas potongan batang kayu itu. Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin bukan manusia biasa. Suatu waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka terjadilah perkelahian yang sengit, yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah. Pada akhirnya keduanya karena sudah kepayahan berdamai. Mufakatlah keduanya untuk hidup damai dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka dikemudian akan hidup di dalam alam kesatuan dan persatuan. Dengan adanya perdamaian sijawangkai Dungkusangia tersebut maka negeri tobe-tobe masuk dan bersatu dengan Wolio. Letak negeri tobe-Tobe itu dari tempat tinggal Sipanjonga +7 KM. Dapat dijelaskan disini bahwa Dungkusangia dimaksudkan menurut keterangan leluhur adalah berasal dari Cina yang selanjutnya dalam buku silsilah bangsawan Buton dikatakan asal “fari” asal “peri”. Menurut Pak La Hude (Sejarawan) dikatakan orangnya amat putih, sama halnya dengan putihnya isi kelapa yang dimakan fari (binatang semacam serangga). B. Jenis-jenis Adat di Suku Buton 1. Ma’acia ( pesta kampung) 2. Pancak silat 3. Kande-kandea



4. Upacara tutura 5. Tandaki/Posusu 6. Posuo 7. Ritual Alo 8. Tari Kompania 9. Haroa No Tau 10. Poriwangano Lipu 11. Perampu 12. Kawi’a 13. Tarian Lense 14. Alionda 15. Kabengka ( Sunatan) 16. Manca 17. Ngibi 18. Balumpa 19. Pesondo 20. Pekoiri (Khitanan) 21. Pesta Panen C. Adat Poriwangaa Poriwangaa merupakan adat yang dilakukan oleh masyarakat Buton Utara. Poriwangaa dilakukan setiap tiga tahun sekali tepatnya 15 Bulan di langit. Poriwangaa merupakan adat yang dijadikan sebagai salah satu ajang pengharapan kepada pencipta. Begtu banyak makna dari adat ini diantaranya, seangbagai bentuk pengharapan agar kampung atau tempat tinggal masyarakat dapat terhindar dari mara bahaya, selain itu agar msyarakat setempat dapat selalu di beri kesehatan, rejeki, dan lain sebagainya. Selain itu, Poriwangaa merupakan salah satu kegiatan adat istiadat yang mampu menyatukan masyarakat untuk memperkuat silaturohim diantara masyarakat.



a.



Kebiasaan Pada pelaksanaan adat Poriwangaa biasanya pada pagi hari ibu-ib akan mulai mempersiapkan dulang/talang yang berisi makanan. Dulang atau talang tersebut nantinya akan dibawah kesumur tua untuk dilakukan acara do’a bersama. Ketika sore hari tiba, maka masyarakat akan berkumpul di area sumur tua untuk melaksanakan ataupun menyaksikan rangkaian kegiatan adat Poriwangaa. Biasanya pada sore hari sebelum acara doa bersama dilaksanakan terlebih dahulu para orang tua baik laki-laki ataupun perempuan akan melakukankegiatan



seolah-olah



saling



menyerang



dengan



menggunakan kris atau parang. Namun sebelumnya, seorang lakilaki yang memegang parang dan tamengnya akan mengelilingi sumur tua. Sambil kegiatan seolah saling menyerang tersebut berlangsung, ibu-ibu akan berbondong-bondong membawah dulang/talang yang berisi makanan di dekat sumur tua. Setelah kegiatan seolah saling menyerang tersebut selesai maka akan dilanjutkan dengan acara Haroa atau baca-baca di dekat sumur tua oleh tertua adat. Setelah itu makanan-makanan tersebut akan di makan bersama didekata sumur tua dan juga akan dibagi-bagikan kepada masyarakat yang telah dating menghadiri kegiatan adat tersebut. Pada Malam hari akan dilanjutkan dengan kegiatan tarian adat seperti tari ngibi, tari lense dan juga manca. Setelah itu dilanjutkan dengan acara malam seperti lulo. Selain itu pada malam hari ada 2 orang ibu-ibu yang akan tidur didekat sumur untuk menjaga dulang/talang berisi sesajian didekat sumur hingga pagi hari. b.



Perilaku Pada kegiatan adat Poriwanga ini tentunya dapat memunculkan perilaku baik dan buruk. Pada pelaksanaannya, biasanya setelah masyarakat melakukan kegiatan adat seperti tarian ngibi,lense dan juga manca msyarakat masih melanjutkan dengan acara hiburan malam seperti molulu. Tentu kegiatan ini merupakan salah satu



kebiasaanyang seharusnya sudah tidak perlu dilaksanakan lagi karena kebiasaan ini dapat memunculkan perilaku buruk



seperti



dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, aktivitas minumminuman beralkohol bahkan dapat menimbulkan perkelahian dan lain sebagainya. Selain itu, kebiasaan ib-ibu menjaga dulang berisi sesajian di dekat sumur tua kemudian ibu-ibu menjaga dulang tersebut hanya beralaskan tikar dan dibuatkan tenda-tenda untuk tempat ibu-ibu menjaga dulang tersebut hal ini tentunya dapat menimbulkan berbagai masalah khususnya lagi masalah kesehatan seperti



masuk



angin,



kelelahan,



dan



mungkin



saja



dapat



menyebabkan anemia, selain itu kegiatan ini tentunya salah satu kegiatan yang bertentangan dengan agama. c.



Karakter Dalam pelaksanaan kegiatan adat Poriwangaa dapat mempererat tali



silaturohim



dan



terjalinnya



keakraban



ditenga-tengah



masyarakat. d.



Masalah Kesehatan Masalah kesehatan yang dapat muncul dari pelaksanaan keiatan adat ini yaitu dapat memicu terjadinya kelelahan karena banyaknya rangkaian kegiatan fisik yang dilakukan oleh msyarakat, masuk angin dan menurunnya kadar Hb oleh ibu-ibu yang menjaga dulang berisi sesajian didekat sumur yang hanya berlaskan tikar dan dipasangkan tenda hingga pagi hari. Selain itu dapat memicu peningkatan kolesterol karena aktivitas makan-makan pada sore hari ketika dilakukan acara doa bersama.



e.



Peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) Adapun peran ATLM pada kegiatan adat Poriwangaa ini yaitu ATLM dapat melakukan pemeriksaan kolesterol untuk memantau kadar kolesterol bagi ibu-ibu dan bapak-bapak yang mengikuti pelaksanaan kegiatan adat Poriwangaa.



D. Upacara Kawi’a (Perkawinan) Kabupaten mempertahankan



Buton adat



Utara



sampai



istiadatnya



saat



termaksud



ini



masih



masih



adatistiadat



dalam



perkawinan. Perkawinan di Buton Utara memiliki tahapan tertentu yang harus dilalui dalam setiap tahapan terhadap makna simbolik salah satu perilaku yang menarik dan unik dalam sistem perkawinan di Buton Utara adalah Kebiasaan atau Adat yang mengharuskan seseorang calon mempelai laki-laki untuk duduk semalam (mompapoi’a) dirumah calon mempelai wanita sebelum dilaksanakannya upacara perkawinan pada keesokan harinya. Sementara sahnya perkawinan menurut adat perkawinan masyarakat Buton Utara di samping harus memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam adat termaksud mahar perkawinan, juga harus berdasarkan hokum dalam agama islam, karena aturan agama merupakan aturan yang paling hakiki yang harus di laksanakan. Kondisi inilah yang menjadi dasar untuk mengkaji makna-makna yang terkandung dalam symbol ritual perkawinan adat masyarakat Buton Utara. Ada beberapa tahap perkawinan di Buton Utara antara lain : 1.



Lumanci (Mengintip)



2.



Mowawa Katangka



3.



Lumako mo ia (pergi tinggal) Maksud dari kata pergi tinggal ini adalah pengantin laki-laki yang akan tinggal di rumah pengantin perempuan. Setelah calon peengantin laki-laki tiba dirumah calon pengantin perempuan maka dia akan duduk bersila di atas tikar berlapiskan kain putih. Tempat duduk calon pengantin laki-laki disebut dengan totorokano ana.totorokano ana ini dibentangkan mengarah atau berhadapan langsung dengan kamar calon pengantin perempuan. Di atas tikar tersebut itulah calon pengantin laki-laki duduk bersila dari malam sejak dia memasuki rumah calon pengantin wanita



sampai pada pagi



sekitar jam 2-3 subuh . Selama calon



pengantin laki-laki duduk dia tetap ditemani atau di dampingi oleh seorang tokoh adat. Dihadapan calon pengantin laki-laki dimana dia duduk, dinyalakan lampu kecil yang disebut dengan badamara yang berbahan bakar minyak kelapa bersama dengan tempat sirih pinang yang disebut dengan pempangana dan tempat rokok. Lampu padamara yang dinyalakan ini tidak boleh padam hingga pada pagi hari. Minyak kelapa yang digunakan pada lampu kecil,menurut ritual adat di daerah ini bahwa sebelum adanya peralatan medis moderen seperti sekarang ini,kelapa dianggap sebagai teman manusia dimana pada saat lahir ari-ari yang di potong dibungkuskan sabut kelapa secarah utuh yang disebut towuni. Ini mengandung makna bahwa kita tidak boleh bersikap mengganggu,tetapi harus ulet dan terampil mempertahankan kehidupan. Dipihak calon pengantin perempuan, juga berlaku hal yang sama dimana calon pengantin perempuan juga duduk bersila di atas tikar dengan peralatan yang sama dan yang ada di hadapan calon pengantin laki-laki. Perbedaanya adalah,calon pengantin perempuan duduk di dalam kamar sedangkan calon pengantin laki-laki duduknya di luar kamar. Makna dari calon pengantin perempuan duduk bersila dikamarnya adalah bahwa dia akan menunggu dan siap dijemput oleh calon suaminya. Adapun makna duduk bersila secara berhadapan selama semalam itu adalah untuk menguji kesabaran, ketaqwaan, keimanan, dan keuletan kedua calon pengantin. Ujian ini dimaksudkan agar dalam menjalani kehidupan mereka kelak, akan memiliki kesabaran,ketaqwan, keimanan,serta keuletan yang cukup dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan. Duduk bersila sampai siang dengan keris dipegang calon pengantin laki-laki bermakna bahwa dia siap menghadapi



segala kemungkinan atau bahaya dan siap untuk membela calon istrinya. Duduk menghadap kekamar calon istrinya bermakna agar ia bisa melihat dan mengetahui langsung semua gejala dan kemungkinan gangguan yang dapat menimpa istrinya dikemudian hari. Lampu kecil yang tidak boleh padam membawa arti bahwa ada yang menerangi pengawasannya serta mendukung keamanan dan ketertiban penjagaanya.semua situasi ini memberi makna dan peringatan kepada kedua calon pengantin bahwa dideepan mereka terletak sesuatu beban dimana mereka tidak bleh lengah dan harus bertanggung jawab terutama calon pengantin laki-laki untuk keselamatan jiwa kehidupan istri dan keturunannya. Dan pada saat lumako moia ini di selenggarakan juga acara malam untuk kerabat-kerabat atau tetangga yang datang seperti lulo, joget, dan malaya. 4.



Mebaho



5.



Metanda



6.



Moato..



7.



Membaso



8.



Totoro kumawi



9.



Toba dan pakawi



a. Kebiasaan Disini kebiasaan baiknya adalah semua keluarga, kerabatan dan tetangga akan berkumpul saling berbincang-bincang, dan molulo bersama Dan kebiasaan buruknya adalah pada saat calon mempelai pria dan wanita harus duduk bersilah dan tidak di perbolehkan berdiri dan tidur sampai jam 2-3 subuh. b. Perilaku



Di masa sekarang, Kawi’a (Perkawinan) adalah juga tradisi mempererat tali silaturahmi antar keluarga, tetangga dan masyarakat. Juga hubungan social agama c. Karakter Baik, menghargai lebih tua, membantu dan menjaga tali siraturahmi d. Masalah Kesehatan Pada upacara Kawi’a (Lumako Mo ia) calon mempelai laki-laki dan perempuan tidak tidur dari jam 8 malam sampai subuh jam 2-3 sehingga pempelai laki-laki dan perempuan akan mengalami letih dan kurang istrahat. e. Pemeriksaan TLM Yang berkaitan dengan pemriksaan TLM adalah dengan melakukan pemeriksaan Hb (Hemoglobin) karena kurang istrahat E. Ritual Alo Pada Masyarakat Cia-Cia Burangasi Menurut pandangan beberapa ahli antropologi, ritual merupakan salah satu bentuk drama sosial yang menampilkan peran-peran simbolik. Melalui



drama



sosial



itu,



berbagai



segi



kehidupan



masyarakat



dipertunjukkan untuk ditanggapi bersama (Turner, 1987: 32-33). Secara spesifik di dalam ritual peralihan atau the rites of passages terjadi proses pengolahan batin yang menyebabkan manusia mampu keluar dari berbagai konflik akibat adanya perubahan-perubahan yang dihadapi manusia dalam hidupnya (Turner, 1982: 94). Turner membagi proses itu dalam tiga tahapan, yakni tahap pemisahan atau separation, tahap liminalitas, dan tahap pengintegrasian kembali (reaggregation) (Turner, 1982: 94). Melalui ketiga tahapan itu terjadi proses pembentukan diri atau formatif secara psikologis sehingga si subyek ritual diteguhkan dan memiliki orientasi hidup yang baru. Proses ketiga tahapan tersebut berlangsung sejak peristiwa kematian hingga diselenggarakannya ritual alo, yaitu dimulai dari hari ketiga sesudah kematian (tolu alono), hari ketujuh (picu alono), hari keempat puluh (pato puluno) dan berakhir pada hari yang keseratus (ahacu alono)



sebagai ritual pelepasan atau penghabisan (polapasia atau kapolapasia). Unsur-unsur simbolik yang mengindikasikan tahap pemisahan atau separation antara lain, bendera putih, pantangan dan suasana hening. Turner mengistilahkan unsur-unsur simbolis ini sebagai simbol-simbol anti struktur, yang melahirkan kondisi hidup yang berbeda dari suasana hidup normal pada umumnya. Tahap liminalitas berlangsung selama masa perkabungan yakni antara peristiwa kematian hingga saat pelaksanaan ritual alo, sedangkan tahap pengintegrasian kembali atau reaggregation terjadi ketika ritual alo secara keseluruhan dilaksanakan. Berikut ini akan di. Tahap Pemisahan atau separation.Ketika seseorang menghembuskan nafas yang terakhir, maka salah seorang anggota keluarganya memasang bendera putih. Hal ini dimaksudkan bahwa di areal rumah tersebut tidak diperkenankan untuk melakukan berbagai kegiatan yang bersifat gaduh karena adanya peristiwa kematian. Menurut para informan, selama masa perkabungan tersebut roh orang yang meninggal dunia masih berada bersama sanak keluarganya karena itu suasana tenang perlu dijaga dengan sebaik-baiknyakemukakan ciri dan bentuk ketiga tahapan proses peralihan tersebut. 1. Tahap Pemisahan Atau Separation. Ketika seseorang menghembuskan nafas yang terakhir, maka salah seorang anggota keluarganya memasang bendera putih. Hal ini dimaksudkan bahwa di areal rumah tersebut tidak diperkenankan untuk melakukan berbagai kegiatan yang bersifat gaduh karena adanya peristiwa kematian. Menurut para informan, selama masa perkabungan tersebut roh orang yang meninggal dunia masih berada bersama sanak keluarganya karena itu suasana tenang perlu dijaga dengan sebaikbaiknya. Semua jenis aktivitas yang dapat menimbulkan gangguan seperti teriakan, tawa, makian, tangisan, nyanyian, musik dan sejenisnya tidak boleh dilakukan selama masa perkabungan ini. Demikian pula kegiatan mencari nafkah untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari seperti



melaut, membuka lahan perkebunan, berburu, pergi merantau dan sebagainya, selama masa perkabungan tidak diperbolehkan karena mengandung ancaman-ancaman gaib. Beraktivitas pada kurung waktu tersebut diyakini hanya akan mendatangkan malapetaka dan kegagalan (sial) bagi pelakunya. Kondisi kehidupan mereka benar-benar menjadi berubah dari hari-hari sebelumnya. Suasana saat ini nampak tenang walaupun kadang suara tangisan tidak dapat terhindarkan terutama dari anggota keluarga yang ditinggalkan karena tidak kuasa menahan kesedihannya. Umumnya tangisan tersebut banyak terjadi pada kaum wanita. Keheningan dan ketenangan ini berlangsung hingga diadakan pelepasan simbol-simbol duka yakni antara 1 hingga 2 hari sebelum dilaksanakannya ritual alo. Berbagai unsur simbolik anti struktur ini bertujuan menciptakan kondisi “awal” atau eksistensial sebagai tahap persiapan di mana proses penyadaran diri para pelaku ritual atau subjek ritual itu akan berlangsung (Winangun, 1990: 35). 2. Tahap Liminal Atau Liminalitas. Masa antara peristiwa kematian hingga pelaksanaan ritual alo merupakan masa perkabungan yang ditandai oleh suasana dan aktivitas khusus yang berbeda dari masa sebelumnya. Semua aktivitas harian seperti melaut, membuka lahan perkebunan, berburu, pergi merantau dan sebagainya, yang biasanya dilakukan sebelum masa perkabungan, umumnya tidak boleh dilakukan. Selain berbagai aktivitas tersebut, perkara lain yang pantang dilakukan pada masa ini adalah membagibagi harta peninggalan anggota keluarga yang telah meninggal dunia tersebut, seperti tanah ulayat, tabungan, pakaian, perhiasan dan sebagainya. Simbol-simbol berupa bendera putih yang ditancapkan di halaman



depan rumah duka dimaksudkan



menciptakan kondisi



hening bagi anggota kerabat yang ditinggalkan. Semua bentuk aktivitas simbolik itu menandakan diawalinya masa perkabungan.



Sejak saat itu, kaum kerabat yang ditinggalkan menjalani berbagai pantangan sebagaimana telah disebutkan di atas. Di dalam kondisi ini seluruh dari mereka baik perasaan-perasaan maupun aktivitas lainnya tertuju pada pengalaman yang sedang mereka hadapi yakni peristiwa kematian anggota keluarga mereka. Berdasarkan keyakinan mereka, selama masa ini roh orang yang telah meninggal dunia tersebut masih berada bersama-sama dengan mereka. Karena itu suasana ketenangan atau keheningan perlu dipelihara dengan sebaik-baiknya jangan sampai mengundang kemarahan roh tersebut dan mendatangkan marabahaya bagi mereka yang melanggarnya. Di dalam masa perkabungan ini para kerabat melaksanakan beberapa



kegiatan,



di



antaranya



mengkhatamkan



al



Quran



(membacakan al Quran 30 juz) beberapa kali untuk melapangkan jalan (kabhembasano lala) bagi roh tersebut menuju tempatnya yang abadi (surga). Mereka yang hadir dalam kegiatan ini umumnya lancar dalam membaca al Quran, sebab kesalahan dalam membaca diyakini berpengaruh terhadap perjalanan roh tersebut. Dengan mengkhatamkan al Quran diharapkan roh anggota keluarga mereka tersebut memperoleh kemudahan dalam perjalanannya ke surga, berupa terhindar dari siksa kubur, diberatkan timbangan amalnya, dan selamat ketika melewati “shirat“ (jembatan menuju surga). Selain aktivitas mengkhatamkan al Quran, aktivitas lain yang juga nampak dilakukan dalam masa ini adalah kunjungan dan perhatian dari berbagai pihak, sanak keluarga atau kerabat, tetangga, kenalan dan sahabat. Meskipun kehadiran mereka tersebut tidak rutin dan hanya sesaat, namun memiliki pengaruh psikologis yang luar biasa bagi kaum kerabat yang sedang berkabung itu. Kunjungan dan perhatian sanak keluarga, tetangga dan sahabat itu membuat mereka merasa terhibur, terbangkitkan, terkuatkan dan terteguhkan. Dalam kunjungan dan pertemuan seperti ini khusus di antara kerabat yang ditinggalkan, diperbincangkan pula mengenai beberapa hal berupa hak waris atas



wilayah tanah, tanaman peninggalan, utang-piutang, dan hal-hal lain yang dianggap penting. Namun jika tidak ada peninggalan apa-apa, maka dalam kesempatan ini isi perbincangan lebih berkaitan pewarisan hak tanah ulayat dan persiapan untuk pelaksanaan ritual alo almarhumalmarhumah hingga yang keseratus harinya (ahacu alo) nanti. Berbagai aktivitas selama masa perkabungan baik mengkhatamkan al Quran, kunjungan sanak keluarga, tetangga, sahabat, dan isi perbincangan menyangkut hak waris tanah ulayat, secara tidak disadari para pelaku itu telah berrefleksi terhadap pengalaman yang tengah mereka hadapi dan diri mereka sendiri. Aktivitas mengkhatamkan al Quran dan perbincangan menyangkut hak waris tanah ulayat, secara tidak langsung telah membeberkan orientasi hidup ke depan yang lebih baik, membangun harapan dan semangat yang baru dalam kehidupan mereka. Turner menyebutnya “proses refleksi formatif. Melalui proses tersebut terbentuk dalam diri para pelaku ritual pemahaman (kognisi), nilai-nilai (moral) dan semangat hidup yang baru (psikologis spiritual). Pemahaman, moral dan semangat hidup itulah yang kemudian menjadi landasan atau pegangan bagi hidup mereka nanti. Dengan kata lain aktivitas ritual diatas dengan berbagai unsur simbolik tersebut memperlihatkan adanya suatu proses dekonstruksi terhadap kondisi hidup yang ada dan sekaligus rekonstruksi huidup yang baru, di mana pandangan dan semangat hidup pelaku ritual itu diperbaharui. Dengan pemahaman dan semangat hidup yang baru, kehidupan dapat berjalan secara normal kembali. Salah satu aspek dalam tahap liminalitas yakni kommunita yakni suatu relasi antar pribadi yang dibentuk oleh adanya pengalaman dan kondisi batin yang sama. Hal ini bukan hanya terjadi di kalangan pelaku ritual itu saja. Kehadiran berbagai pihak baik kaum kerabat, tetangga dan sahabat dalam perbincangan maupun sumbangan material dalam konteks ini membentuk sebuah komunitas. Kehadiran simbolis itu mengungkapkan adanya perasaan-perasaan dan pengalaman yang



sama dalam peristiwa tersebut. Kebersamaan ini untuk sementara waktu



meredam



berbagai



konflik



akibat



peristiwa



kematian.



Pengalaman kematian menjadi pengalaman bersama tidak hanya pengalaman sanak keluarga yang berduka semata. Menurut para informan, kunjungan dan perhatian sanak keluarga, tetangga dan sahabat itu membuat mereka yang berduka merasa terhibur dan diteguhkan. Beban batin akibat peristiwa kematian itu menjadi ringan. Kesepian dan kedukaan mereka menciptakan suasana kebersamaan yang mendalam di antara mereka. Dengan kata lain, di dalam aktivitas simbolik itulah kaum kerabat alamarhum mendapat peneguhan dan kekuatan secara psikologis maupun spiritual. Berbagai aktivitas selama masa perkabungan di atas merupakan bagian terpenting dari tahap liminal. Melalui berbagai aktivitas dalam kondisi tersebut secara tidak disadari terjadi proses retrospeksi dan introspeksi di dalam diri kaum kerabat almarhum tersebut. Di dalam proses tersebut mereka dihadapkan pada kenyataan yang mereka alami sebagai pengalaman mendasar (eksistensial) yang harus diolah untuk menemukan nilai positif dari pengalaman itu. Menurut Turner, proses demikian akan menghasilkan perubahan secara kognitif, psikologis dan sisiologis dalam diri pelaku ritual itu. Melalui proses tersebut mereka memperoleh pemahaman, dan pengetahuan hidup yang baru bagi diri mereka. Kematian bukan lagi menjadi akhir dari suatu kehidupan yang mencemaskan dan menakutkan, tetapi bagian dari proses hidup manusia di dunia ini menuju kehidupan yang lebih sempurna di akhirat yaitu surga, tempat semua arwah berkumpul dan rnenikmati ketentrarnan hidup yang purna waktu. Dalam kondisi demikian (psikologis, kognisi dan moral yang baru) para subjek ritual siap menjalani kehidupan di tengah masyarakatnya.



3. Tahap Pengintegrasian Kembali Atau Reaggregation Pelaksanaan ritual alo (mulai tolu alono, picu alono, pato puluno, hingga ahacu alono), menandai terjadinya proses pengintegrasian kembali (reaggregation) perubahan batin yang diakibatkan peristiwa kematian. Pada saat ritual itu, kaum kerabat orang yang meninggal terbebaskan dari rasa perkabungan. Demikian pula roh kerabat yang meninggal dunia dapat melanjutkan perjalanannya ke syurga dan berkumpul bersama roh kerabat lain yang telah mendahuluinya. Kemeriahan ritual alo khususnya selamatan hari yang ketujuh (picu alono) dan keseratus (ahacu alo) ditandai oleh kehadiran para kerabat, tetangga, sahabat, kenalan, suasana riang dan makan bersama. Sejak saat itu mereka boleh melakukan aktivitas harian dengan bebas seperti tertawa, menyanyi, mendengarkan musik dan sejenisnya yang tidak boleh dilakukan selama masa perkabungan. Demikian pula kegiatan mencari nafkah untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti melaut, membuka lahan perkebunan, berburu, pergi merantau, menjual ke pasar dan sebagainya, mulai diperbolehkan. Pada masa ini, seluruh harta dan barang peninggalan kerabat yang telah meninggal dunia seperti tanah ulayat, tanaman, tabungan, pakaian, perhiasan, dan sebagainya, sudah diperbolehkan untuk dibagi-bagi oleh segenap kaum kerabat yang masih hidup. Uraian ini memperlihatkan bahwa ritual alo



memiliki mekanisme



pengolahan batin yang berjalan secara bertahap. Menurut hemat penulis tahapan ini berhubungan dengan apa yang dimaksudkan Turner dengan tahapan separation, liminal dan reaggregation. Melalui proses pelaksanaan ritual ini, berbagai konflik dan ketegangan batin yang dialami kaum kerabat yang ditinggalkan diakomodir. Hasil dari proses tersebut ialah konflik dan ketegangan hidup diredam dan sekaligus tercipta orientasi hidup yang baru bagi para pelaku ritual tersebut.



Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritual alo, sesungguhnya bermakna produktif dan sekaligus konstruktif. Makna produktif nampak dari mekanisme pengolahan batin/psikologis yang dijalani para pelaku ritual selama masa perkabungan. Berbagai unsur simbolik yang digunakan di dalam ritual tersebut menjadi media yang mengakomodir proses tersebut. Makna konstruktif dari ritual tersebut ialah hasil yang dicapai dari mekanisme tersebut. Melalui pelaksanaan ritual, kondisi batin pelaku ritual yang mengalami krisis akibat kematian seperti lesu, kalut, linglung, putus asah dan tidak memiliki masa depan dihidupkan kembali. Proses tersebut menghantar para pelaku ritual tersebut kepada suatu orientasi hidup yang baru dan menumbuhkan semangat hidup dalam diri mereka. Adanya orientasi dan semangat hidup baru dalam diri para pelaku ritual membuat mereka siap untuk menerima dan menjalani kehidupan harian dengan mantap tanpa adanya kekawatiran atau kecemasan lagi. a. Kebiasaan Kebiasaan dalam pelaksanaan dalam kegiatan ritual alo ini masyarakat di desa ini selalu mencari nafkah untuk pemenuhan kebutuhan



hidup



sehari-hari



seperti



melaut,



membuka



lahan



perkebunan, berburu, pergi merantau dan sebagainya, selama masa perkabungan tidak diperbolehkan karena mengandung ancamanancaman gaib. Dalam masa perkabungan ini para kerabat melaksanakan beberapa kegiatan, di antaranya mengkhatamkan al Quran (membacakan al Quran 30 juz) beberapa kali untuk melapangkan jalan (kabhembasano lala) bagi roh tersebut menuju tempatnya yang abadi (surga). Mereka yang hadir dalam kegiatan ini umumnya lancar dalam membaca al Quran, sebab kesalahan dalam membaca diyakini berpengaruh terhadap perjalanan roh tersebut. Dengan mengkhatamkan al Quran diharapkan roh anggota keluarga mereka tersebut memperoleh kemudahan dalam perjalanannya ke surga, berupa terhindar dari siksa



kubur, diberatkan timbangan amalnya, dan selamat ketika melewati “shirat“ (jembatan menuju surga). b. Perilaku Dalam pelaksanaan kegiatan ritual alo ini dapat menimbulkan gangguan seperti teriakan, tawa, makian, dan tangisan c. Karakter Dalam pelaksanaan kegiatan Ritual Alo ini dapat menimbulkan rasa kepedulian terhadap sesama, saling bekerja sama dan saling membantu terhadap sesama , dan dapat menambah tali silaturrahim pada masyarakat burangasi. d. Masalah Kesehatan Masalah kesehatan yang yang dapat muncul dari pelaksanaan kegiatan ritual alo ini yaitu dapat memicu terjadinya karena banyak yang rangakaina kegiatan fisik yang mereka laksanakan. Selain itu dapat memicu penigkatan kolesterol karena aktifitas makan-makan pada pelaksanaan ritual alo tersebut. e. Peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) Adapun peran ATLM pada kegiatan ritual alo ini yaitu dapat melakukan pemeriksaan kolesterol untuk memantau kadar kolesterol pada masyarakat yang telah melaksanakan kegiatan tersebut. F. Upacara Ma’acia Pesta adat Ma’acia ( pesta kampung) adalah salah satu momen untuk mempererat tali silaturahmi antara sesama warga. Pesta adat ini juga untuk menguatkan dan memperkenalkan budaya lokal Burangasi kepada generasi muda sehingga memahami budaya leluhur. Pesta kampung Ma’Acia ini sudah digelar puluhan tahun sejak adanya kampung Burangasi. Tujuannya adalah, dalam pesta adat ini untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan, mewujudkan bentuk rasa bersukur kepada tuhan yang maha kuasa. Dalam bahasa setempat, Ma’Acia ini berarti acara makan. Arti meluasnya, nilainya membagi hasil panen, nilai mensyukuri rizki tuhan



yang maha esa. Untuk masuk musim tanam di tahun berikutnya, karena masuk musim hujan merka berdoa, mensyukuri masa panen tahun ini.Meskipun perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan semakin maju, namun adat budaya Ma’acia ini akan tetap dipertahankan masyarakat Burangasi. Karena itu, seluruh kegiatan budaya, seni dipekenalkan sejak dini kepada generasi muda Burangasi. Hingga saat ini acara tradisi Ma’Acia telah menjadi acara wajib yang selalu diadakan setiap tahunnya. a. Kebiasaan Pada acara Ma’acia para tokoh adat seperti Moji, Parabela, dan waci mereka ini



akan melakukan batanda (nyayian) selama satuh



minggu sebelum di lakukan pesta Ma’acia. Setelah itu para tokoh adat akan berziarah dikubur memberikan makanan (sesajen) untuk para leluhur dan para tokoh adat kembali dibaruga (rumah adat burangasi) untuk duduk di tempat khusus yang di sediakan para tokoh adat itu sendiri. Setelah itu talang (nampan/wadah makanan) yang telah diisi oleh beragam makanan mulai dari hopa, ubi kayu, nasi, ikan, dan lauk pauk lainnya hingga buah-buahan akan di berikan ke pada Moji untuk menceritakan sejarah ma’acia. Kemudian moji akan memberikan makanan seperti hopa, ubi kayu kepada kolaki begitupun parabela akan memberikan makan kepada kolaki. Setelah itu moji akan membacakan doa adat dan melakukan batanda (nyayian) disitu para tamu akan melakukan symbol kacucundua (kita sudah sampai di burangasi ) Dan para tokoh adat akan melakukan tarian adat yang dinamakan cungka dan tarian mangaru para tokoh ada ini akan mengakiri acara di baruga ( rumah adat burangasi ) dan para tokoh untuk turun di kampung untuk melaksanakan shalat zuhur setelah selesai mereka ngibi ,tarian mangaru dari jam 02.00-03.00 di lanjutkan dengan silat dari jam 04.00-06.00. kemudian acara ma’acia di katakana selesai.



b. Perilaku Dalam kegiatan adat ini tentunya akan menimbulkan salah satu perilaku yang seharusnya untuk tidak dilaksanakan lagi yaitu berziarah dikubur memberikan makanan (sesajen) untuk para leluhur dan para tokoh adat kembali dibaruga (rumah adat burangasi) untuk duduk di tempat khusus yang di sediakan para tokoh adat itu sendiri. Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan yang seharusnya untuk tidak dilaksanakan karna bertentangan dengan agama c. Karakter Baik, saling menghargai dan menjaga tali siraturahmi d. Masalah Kesehatan Pada upacara Ma’acia di laksanakan para tokoh adat dan selama satu minggu sehingga akan mengalami letih dan kelelahan serta pegalpegal karena seharian mengikuti acara tarian, serta anemia e. Peran Ahli Teknologi Laboratorium Medik (ATLM) Adapun peran ATLM pada kegiatan ma’acia yaitu dapat melakukan pemeriksaan Hemoglobin (Hb) untuk memantau kadar Hb pada tokoh adat yang telah melaksanakan kegiatan tersebut.



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan a) Deskriptif Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat di temui dengan Jumlah yang Signifikan di Luar Sulawesi



Tenggara Seperti



di Maluku



Utara, Kalimantan



Timur, Maluku, dan Papua. b) Jenis suku buton yaitu : Ma’acia ( pesta kampung), Pancak silat, Kande-kandea,



Upacara



tutura,



Tandaki/Posusu,



Posuo,Tari



Kompania, Haroa No Tau, Poriwangano Lipu, Perampu, Kawi’a, Tarian Lense, Alionda, Kabengka ( Sunatan), Manca, Ngibi, Balumpa, Pesondo, Pekoiri (Khitanan), Pesta Panen, serta Ritual Alo c) Poriwangaa merupakan adat yang dilakukan oleh masyarakat Buton Utara. Poriwangaa dilakukan setiap tiga tahun sekali tepatnya 15 Bulan di langit. Poriwangaa merupakan adat yang dijadikan sebagai salah satu ajang pengharapan kepada pencipta. d) Perkawinan di Buton Utara memiliki tahapan tertentu yang harus dilalui dalam setiap tahapan terhadap makna simbolik salah satu perilaku yang menarik dan unik dalam sistem perkawinan di Buton Utara e) Proses ketiga tahapan tersebut berlangsung sejak peristiwa kematian hingga diselenggarakannya ritual alo, yaitu dimulai dari hari ketiga sesudah kematian (tolu alono), hari ketujuh (picu alono), hari keempat puluh (pato puluno) dan berakhir pada hari yang keseratus (ahacu alono) sebagai ritual pelepasan atau penghabisan (polapasia atau kapolapasia) f) Pesta adat Ma’acia ( pesta kampung) adalah salah satu momen untuk mempererat tali silaturahmi antara sesama warga. Pesta adat ini juga



untuk menguatkan dan memperkenalkan budaya lokal Burangasi kepada generasi muda sehingga memahami budaya leluhur B. SARAN Dengan adanya makalah ini di harapkan pembaca yang nantinya dapat memahami isi dari makalah ini, serta kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca agar yang nantinya penulisan yang di lakukan dapat lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA



Rukyah, wainulu. 2016. “Makna Interaksi Simbolik pada Proses Upacara Adat Buton di Samarinda.” Skripsi Universitas



Mulawarman. Fakultas Ilmu



Komunikasi Mustafa Abdullah. 1985. Struktur bahasa Cia-Cia. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sulawesi Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press Jilid I. Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan dan Agama (cetakan kedua). Yogyakarta: Kanisius. Spradley, James, P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Turner, Victor. 1967. The Forest of Symbols Aspecs of Ndembu Ritual. London: Cornell Paperback. Cornell University Press. Turner, Victor. 1982. The Forest of Symbols, Aspects Of Ndembu Ritual. Ithaca and London. Sixth Printing: Cornell University Press. Winangun, Wartaya. 1990. Masyarakat Bebas Struktur, Liminalitas dan Komunitas Menurut Turner. Yogyakarta: Kanisius Alo Liliweri,M.S.2003,Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Pelajar: Yogyakarta. H.AhmadSihabudin,M.Si.2011,komunikasi antarbudaya, PT Bumi Aksara:Jakarta Havilland,William,A,1985,Antropologi jilid 2,( Editor: Herman Sinaga Terjemahan oleh:r.g.soekadijo),erlangga, Jakarta Ichan,ahmad,et.al.,1986. Hukum perkawinan bagi yang beragama islam, suatu tinjauan dari ulasan secara sosiologi hukum. Jakarta: pradya paramitha. Jakarta. James Spradley.p,1997. Metode etnografi,cet I,PT Tiara Wacana,Yogyakarta Rahman A, Bakri,et.al., 1987.hukum perkawinan menurut islam undang- undang perkawinan dan hukum perdata ( BW ) Jakarta :



Hilda karya agung. Rahman, Abdul,1978.kedudukan hukum adat dalam rangka pembangunan nasional,alimi Bandung. Ubo, La. 2019. Adat Poriwanga. [Wawancara, via telfon].