Agama Atheis Agnostik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

AGAMA, NEGARA, SEKULER, ATHEIS, AGNOSTIK, RELATIVISME ATEIS Dalam artikel ini, Tuhan (dengan T besar) merujuk pada Tuhan monoteisme, manakala tuhan (dengan t kecil) merujuk pada Tuhan/Dewa semua kepercayaan secara umum. Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewadewi[1] ataupun penolakan terhadap teisme.[2][3] Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.[4][5] Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (átheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis.[6] Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).[7] Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah. Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).[8] Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana.[9] Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik.[10] Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,[11] rasionalisme, dan naturalisme,[12] tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.[13] Asal istilah Kata Yunani αθεοι (atheoi), seperti yang tampak pada Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus di papirus abad ke-3. Kata Yunani αθεοι (atheoi), seperti yang tampak pada Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus di papirus abad ke-3.



Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός "tuhan") berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat pula ἀθεότης (atheotēs), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani Kuno (Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara peyoratif.[14] Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri" pada akhir abad ke18 di Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis.[15] Pada abad ke20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan pada semua tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai "ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)".[16] Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi", daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas.[16][17][18] Definisi dan pembedaan Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi ateisme kuat/lemah dengan ateisme implisit/eksplisit. Ateis implisit tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada tuhan; individu seperti itu dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan pada tuhan. Ateis eksplisit mengambil posisi terhadap kepercayaan pada tuhan; individu tersebut dapat menghindari untuk percaya pada tuhan (ateisme lemah), ataupun mengambil posisi bahwa tuhan tidak ada (ateisme kuat). Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi ateisme kuat/lemah dengan ateisme implisit/eksplisit. Ateis implisit tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada tuhan; individu seperti itu dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan pada tuhan. Ateis eksplisit mengambil posisi terhadap kepercayaan pada tuhan; individu tersebut dapat menghindari untuk percaya pada tuhan (ateisme lemah), ataupun mengambil posisi bahwa tuhan tidak ada (ateisme kuat). Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi ateisme,[19] yakni apakah ateisme merupakan suatu kepercayaan tersendiri ataukah hanyalah ketiadaan pada kepercayaan, dan apakah ateisme memerlukan penolakan yang secara sadar dan eksplisit dilakukan. Berbagai kategori telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk ateisme. Ruang lingkup Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ateisme terletak pada sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata ateisme. Dalam konteks teisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada Tuhan monoteis, orangorang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya pula, orang-orang Romawi kuno juga menuduh umat Kristen sebagai ateis karena tidak menyembah dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20, pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya teisme meliputi keseluruhan kepercayaan pada dewa/tuhan.[20] Bergantung pada apa yang para ateis tolak, penolakan ateisme dapat berkisar dari penolakan akan keberadaan tuhan/dewa sampai dengan keberadaan konsep-konsep spiritual dan paranormal seperti yang ada pada agama Hindu dan Buddha.[21]



Implisit dan eksplisit Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa. Definisi yang luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme sebagai ateis. Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa "Semua anak-anak dilahirkan sebagai ateis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan."[22] George H. Smith (1979) juga menyugestikan bahwa: "Orang yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan. Kategori ini juga akan memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu yang terlibat, tetapi masih tidak sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis).



Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut ateis."[23] Smith menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar. Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai ateis merupakan pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas sedemikiannya keberadaan ateisme yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan keberadaannya. Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik), yakni suatu nosi bahwa semua orang percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para ateis hanyalah menyangkal diri sendiri.[24] Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa ateis akan dengan cepat percaya pada Tuhan pada saat krisis, bahwa ateis percaya pada tuhan pada saat meninggal dunia, ataupun bahwa "tidak ada ateis dalam lubang perlindungan perang (no atheists in foxholes)."[25] Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa keuntungan antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih baik. Beberapa ateis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang membuktikan sebaliknya, di antaranya contoh-contoh "ateis yang benar-benar berada di lubang perlindungan perang."[26] Kuat dan lemah Para filsuf seperti Antony Flew,[27] Michael Martin,[16] dan William L. Rowe[28] membedakan antara ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan bahwa tuhan tidak ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme lainnya. Menurut kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah ateis yang lemah ataupun kuat.[29] Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru; namun istilah yang setara seperti ateisme negatif dan positif telah digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi[27] dan apologetika Katolik (dalam artian yang sedikit berbeda).[30] Menggunakan batasan ateisme ini, kebanyakan agnostik adalah ateis lemah. Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan ateisme lemah,[16] kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari ateisme, yang mereka liat ateisme sama saja tidak benarnya dengan teisme.[31] Ketidaktercapaian pengetahuan yang diperlukan untuk membuktikan atau membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat sebagai indikasi bahwa ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis terhadap argumen ini adalah bahwa dalil-dalil keagamaan yang tak terbukti seharusnyalah pantas mendapatkan ketidakpercayaan yang sama sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak terbukti lainnya,[32] dan bahwa ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan bahwa probabilitas keberadaan tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan.[33] Filsuf Skotlandia J. J. C. Smart bahkan berargumen bahwa "kadang-kadang seseorang yang benar-benar ateis dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena generalisasi skeptisisme filosofis tak beralasan yang akan menghalangi kita dari berkata kita tahu apapun, kecuali mungkin kebenaran matematika dan logika formal."[34] Karenanya, beberapa penulis ateis populer seperti Richard Dawkins memilih untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis sebagai spektrum probabilitas terhadap pernyataan "Tuhan ada" (spektrum probabilitas teistik).[35]



Dasar pemikiran "Salah satu anak dari gerombolan orang pernah menanyai seorang ahli astronomi siapa ayah yang membawanya ke dalam dunia ini. Cendekiawan tersebut menunjuk langit dan seorang tua yang sedang duduk, dan berkata: 'Yang di sana adalah ayah tubuhmu, dan yang itu adalah ayah jiwamu.' Anak lelaki tersebut membalas: 'Apa yang di atas kita bukanlah urusan kita, dan saya malu menjadi anak dari orang setua itu!' 'Oh sangatlah tidak berbudi, tidak ingin mengenali ayahmu, dan tidak berpikir bahwa Tuhan adalah penciptamu!' [36] Ilustrasi ateisme praktis dan asosiasi historisnya dengan amoralitas, judul "Supreme Impiety: Atheist and Charlatan", dari Picta poesis, oleh Barthélémy Aneau, 1552. "Salah satu anak dari gerombolan orang pernah menanyai seorang ahli astronomi siapa ayah yang membawanya ke dalam dunia ini. Cendekiawan tersebut menunjuk langit dan seorang tua yang sedang duduk, dan berkata: 'Yang di sana adalah ayah tubuhmu, dan yang itu adalah ayah jiwamu.' Anak lelaki tersebut membalas: 'Apa yang di atas kita bukanlah urusan kita, dan saya malu menjadi anak dari orang setua itu!' 'Oh sangatlah tidak berbudi, tidak ingin mengenali ayahmu, dan tidak berpikir bahwa Tuhan adalah penciptamu!' [36] Ilustrasi ateisme praktis dan asosiasi historisnya dengan amoralitas, judul "Supreme Impiety: Atheist and Charlatan", dari Picta poesis, oleh Barthélémy Aneau, 1552.



Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis dengan ateisme teoretis. Bentuk-bentuk ateisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan pemikiran tentang tuhan/dewa.



Ateisme praktis Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun memengaruhi kehidupan sehari-hari.[37] Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau memercayainya."[38] Ateisme praktis dapat berupa: -



Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya; Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis; Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama; dan; Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.[39]



Ateisme teoretis Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.



Argumen epistemologis dan ontologis Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume, menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.[37] Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan "Tuhan ada" bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak berarti.



Argumen metafisika Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan bahwa realitas adalah homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut termasuk ke dalam beberapa bentuk fisikalisme, sehingga secara eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus. Ateis metafisik relatif menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan pada ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang biasanya ditujukan kepada tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh ateisme metafisik relatif meliputi panteisme, panenteisme, dan deisme.[40] Epikouros sering disebut sebagai orang yang pertama menguraikan secara terperinci masalah kejahatan. David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion (1779) mengutip argumen Epikouros dalam bentuk sederet pertanyaan:[41]



"Apakah [Tuhan] berniat mencegah kejahatan, namun tidak dapat? Maka apakah ia lemah. Apakah ia dapat, namun tidak berniat? Maka apakah ia berhati dengki. Apakah ia dapat dan berniat? Maka darimanakah kejahatan?" Epikouros sering disebut sebagai orang yang pertama menguraikan secara terperinci masalah kejahatan. David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion (1779) mengutip argumen Epikouros dalam bentuk sederet pertanyaan:[41] "Apakah [Tuhan] berniat mencegah kejahatan, namun tidak dapat? maka apakah ia impoten. Apakah ia dapat, namun tidak berniat? Maka apakah ia berhati dengki. Apakah ia dapat dan berniat? maka darimanakah kejahatan?"



Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach[42] dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan dan kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis.[43] Karl Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya Feuerbach, berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja. Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan keadilan; ia merupakan negasi kebebasan manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam teori dan praktiknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka adalah perlu untuk menghapusnya."[44]



Argumen logis dan berdasarkan bukti Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.[45] Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan belas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang.[46] Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama, pendiri Agama Buddha.[47]



Argumen antroposentris Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan individu untuk menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.[37] Salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak keberadaan Tuhan akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral ataupun tidak memiliki dasar etika,[48] atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan.[49] Blaise Pascal memaparkan argumen ini pada tahun 1669.[50]



Demografi Kadar ateisme dan agnostisisme di seluruh dunia[51][52] Adalah sulit untuk menghitung jumlah ateis di dunia. Para responden survei dapat mendefinisikan "ateisme" secara berbeda-beda ataupun menarik garis batas yang berbeda antara ateisme, kepercayaan non-religius, dan kepercayaan religius non-teis dan spiritual.[53] Selain itu, masyarakat di beberapa belahan dunia enggan melaporkan dirinya sebagai ateis untuk menghindari stigma sosial, diskriminasi, dan penganiayaan.



Survei tahun 2005 yang dipublikasi dalam Encyclopædia Britannica menunjukkan bahwa kelompok non-religius mencapai sekitar 11,9% populasi dunia, dan ateis sekitar 2,3%. Jumlah ini tidak termasuk orang-orang yang memeluk agama ateistik, seperti agama Buddha.[6] Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa, dan dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung lebih percaya kepada tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang Eropa. Di antara orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling banyak percaya (62%) dan orang Perancis adalah yang paling rendah (27%). Di Perancis, 32% mengaku dirinya sebagai ateis, dan 32% lainnya mengaku sebagai agnostik.[54] Survei resmi Uni Eropa memberikan hasil-hasil berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak percaya pada tuhan; 27% yakin akan keberadaan beberapa "makhluk halus atau roh", manakala 52% percaya pada tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang percaya naik menjadi 65% pada orangorang yang putus sekolah pada usia 15; responden survei yang menganggap dirinya berasal dari latar belakang keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada yang merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras.[55] Sebuah surat yang dipublikasi di Nature pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa kepercayaan pada tuhan personal ataupun kehidupan setelah mati berada dalam posisi terendah di antara para anggota Akademi Sains Nasional Amerika Serikat, hanya 7,0% anggota yang percaya pada tuhan personal, dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat AS secara umumnya.[56] Pada tahun yang sama pula, Frank Sulloway dari Institut Teknologi Massachusetts dan Michael Shermer dari California State University melakukan sebuah kajian yang menemukan bahwa pada sampel survei mereka yang terdiri dari orang dewasa AS yang "dipercayai" (12% Ph.D dan 62% lulusan perguruan tinggi), 64%-nya percaya pada Tuhan, dan terdapat sebuah korelasi yang mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan.[57] Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah ditemukan pada 39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah artikel dalam Majalah Mensa.[58] Penemuan ini secara luas sesuai dengan meta-analisis statistis tahun 1958 yang dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dari Universitas Oxford. Ia menganalisa tujuh kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi antara sikap terhadap agama dengan pengukuran kecerdasan pada pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinggi AS. Walaupun korelasi negatif ditemukan dengan jelas, analisis ini tidak mengidentifikasi sebab musababnya, namun menilai bahwa faktor-faktor seperti latar belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial mungkin memainkan sebagian peran penting.[59] Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan Apakah agama anda? Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak beragama ataupun menulis sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius (humanisme, agnostik, ateis). Pertanyaan ini bersifat sukarela dan 11,2% tidak menjawab pertanyaan ini.[60] Pada sensus Selandia Baru 2006 yang menanyakan Apakah agama anda?, 34,7% mengindikasikan tidak beragama, 12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.[61] Ateisme, agama, dan moralitas Karena ketiadaan Tuhan pencipta, Agama Buddha umumnya dideskripsikan sebagai nonteis. Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal.[62] Pada akhirakhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis[63][64] dan Kristen ateis.[65][66][67] Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun di luar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.[68] Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat politik.[69][70][71]



Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.[72] Filsuf Susan Neiman[73] dan Julian Baggini[74] menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.[75] Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif.[76] Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.[77] Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dan dogmatisme.[78] Sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan)[79] berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.[80] Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.[81] ---------------------------------



Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.[note 1] Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.[1] Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktik agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi.[2] Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas;[3] Namun, dalam kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" [4] Émile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Sebuah jajak pendapat global 2012 melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah beragama, dan 36% tidak beragama, termasuk 13% yang ateis, dengan penurunan 9 persen pada keyakinan agama dari tahun 2005.[5] Rata-rata, wanita lebih religius daripada laki-laki [6]. Beberapa orang mengikuti beberapa agama atau beberapa prinsip-prinsip agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah atau tidak prinsip-prinsip agama mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme.[7][8][9]



Etimologi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi".[10]. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.



Menurut filolog Max Müller, akar kata bahasa Inggris "religion", yang dalam bahasa Latin religio, awalnya digunakan untuk yang berarti hanya "takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan" (kemudian selanjutnya Cicero menurunkan menjadi berarti " ketekunan ").[11][12] Max Müller menandai banyak budaya lain di seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian yang memiliki struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa yang disebut agama kuno hari ini, mereka akan hanya disebut sebagai "hukum".[13] Banyak bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai "agama", tetapi mereka mungkin menggunakannya dalam cara yang sangat berbeda, dan beberapa tidak memiliki kata untuk mengungkapkan agama sama sekali. Sebagai contoh, dharma kata Sanskerta, kadangkadang diterjemahkan sebagai "agama", juga berarti hukum. Di seluruh Asia Selatan klasik, studi hukum terdiri dari konsep-konsep seperti penebusan dosa melalui kesalehan dan upacara serta tradisi praktis. Medieval Jepang pada awalnya memiliki serikat serupa antara "hukum kekaisaran" dan universal atau "hukum Buddha", tetapi ini kemudian menjadi sumber independen dari kekuasaan.[14][15] Tidak ada setara yang tepat dari "agama" dalam bahasa Ibrani, dan Yudaisme tidak membedakan secara jelas antara, identitas keagamaan nasional, ras, atau etnis.[16] Salah satu konsep pusat adalah "halakha" , kadang-kadang diterjemahkan sebagai "hukum" ",yang memandu praktik keagamaan dan keyakinan dan banyak aspek kehidupan sehari-hari. Penggunaan istilah-istilah lain, seperti ketaatan kepada Allah atau Islam yang juga didasarkan pada sejarah tertentu dan kosakata.[17]



Definisi Kegiatan keagamaan di seluruh dunia Definisi tentang agama di sini sedapat mungkin sederhana dan meliputi. Definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit maupun terlalu longgar, tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa di luar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain. Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu: -



menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan, dan menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan.



Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul, bagaimana kita beribadah, dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama. Definisi menurut beberapa ahli Di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budhisme, dan Khonghuchu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut ―religi‖.[18] Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjukpetunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat.



Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.[19]



Jenis agama Kategori Beberapa ahli mengklasifikasikan agama baik sebagai agama universal yang mencari penerimaan di seluruh dunia dan secara aktif mencari anggota baru, atau agama etnis yang diidentifikasi dengan kelompok etnis tertentu dan tidak mencari orang baru untuk bertobat pada agamanya.[20] Yang lain-lain menolak perbedaan, menunjukkan bahwa semua praktik agama, apa pun asal filosofis mereka, adalah etnis karena mereka berasal dari suatu budaya tertentu.[21][22][23] Pada abad ke-19 dan ke-20, praktik akademik perbandingan agama membagi keyakinan agama ke dalam kategori yang didefinisikan secara filosofis disebut "agama-agama dunia". Namun, beberapa sarjana baru-baru ini telah menyatakan bahwa tidak semua jenis agama yang harus dipisahkan oleh filosofi yang saling eksklusif, dan selanjutnya bahwa kegunaan menganggap praktik ke filsafat tertentu, atau bahkan menyebut praktik keagamaan tertentu, ketimbang budaya, politik, atau sosial di alam, yang terbatas.[24][25][26] Keadaan saat studi psikologis tentang sifat religiusitas menunjukkan bahwa lebih baik untuk merujuk kepada agama sebagai sebagian besar fenomena invarian yang harus dibedakan dari norma-norma budaya ( yaitu " agama " )[27]. Beberapa akademisi mempelajari subjek telah membagi agama menjadi tiga kategori : -



agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada yang transkultural, agama internasional; agama pribumi, yang mengacu pada yang lebih kecil, budaya-tertentu atau kelompok agama-negara tertentu, dan gerakan-gerakan keagamaan baru, yang mengacu pada agama baru ini dikembangkan.[28]



Kerjasama antar agama Karena agama tetap diakui dalam pemikiran Barat sebagai dorongan universal, banyak praktisi agama bertujuan untuk bersatu dalam dialog antaragama, kerja sama, dan perdamaian agama. Dialog utama yang pertama adalah Parlemen Agama-agama Dunia pada 1893 Chicago World Fair, yang tetap penting bahkan saat ini baik dalam menegaskan " nilai-nilai universal " dan pengakuan keanekaragaman praktik antar budaya yang berbeda. Abad ke-20 terutama telah bermanfaat dalam penggunaan dialog antar agama sebagai cara untuk memecahkan konflik etnis, politik, atau bahkan agama, dengan rekonsiliasi Kristen-Yahudi mewakili reverse lengkap dalam sikap banyak komunitas Kristen terhadap orang Yahudi. Inisiatif antaragama terbaru termasuk " A Common Word ", diluncurkan pada tahun 2007 dan difokuskan pada membawa para pemimpin Muslim dan Kristen bersama-sama bersatu,[29] yang "C1 World Dialogue",[30] yang " Common Ground " inisiatif antara Islam dan Buddhisme,[31] dan PBB disponsori " World Interfaith Harmony Week ".[32][33]



Cara Beragama Berdasarkan cara beragamanya: Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.



Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.



Unsur-unsur Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok: -



Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama



Fungsi -



Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan Pedoman perasaan keyakinan Pedoman keberadaan Pengungkapan estetika (keindahan) Pedoman rekreasi dan hiburan Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.



Agama di Indonesia -



Sesajian (gambar Sesajian (gambar



di Candi Parikesit, dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, pada tahun 1880-an dari majalah Eigen Haard) di Candi Parikesit, dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, pada tahun 1880-an dari majalah Eigen Haard)



Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabatpejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit. Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agamaagama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut. Tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri Dalam Negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. SK tersebut kemudian dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia. Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.



Kelompok agama Daftar gerakan-gerakan keagamaan yang masih aktif yang diberikan di sini merupakan upaya untuk meringkas pengaruh regional dan filosofis yang paling penting pada masyarakat lokal, tetapi tidak berarti keterangan lengkap dari setiap umat beragama, juga tidak menjelaskan elemen yang paling penting dari religiusitas individu. Kelima kelompok agama terbesar menurut jumlah penduduk dunia, diperkirakan mencapai 5 miliar orang, yaitu Kristen, Islam, Budha, Hindu (dengan angka relatif untuk Buddha dan Hindu tergantung pada sejauh mana sinkretisme) dan agama tradisional rakyat Cina. Agama dan kepercayaan yang dicantumkan di bawah ini merupakan agama dan kepercayaan dengan jumlah pemeluk yang signifikan di seluruh dunia. Beberapa komunitas di berbagai belahan dunia juga memeluk berbagai aliran kepercayaan yang dianggap sebagai golongan minoritas dan belum dipaparkan. Beberapa agama dan kepercayaan dengan jumlah pemeluk yang besar antara lain: Agama/kepercayaan



Jumlah pemeluk



Kekristenan



2,000 - 2,200 miliar[34]



Islam



1,570 - 1,650 miliar[35][36][37]



Keterangan



Non-Adherent (Sekuler/Ateis/Tidak 1,1 miliar[38] Beragama/Agnostik) Hinduisme



828 juta - 1 miliar[39]



Buddhisme



450 juta - 1 miliar[40][41][42]



Kepercayaan tradisional (di Afrika, Amerika, Asia)



400 - 500 juta[nb 1]



Kepercayaan tradisional Tionghoa



400 - 500 juta[43][nb 1]



Sikhisme



23 juta[44]



Yudaisme (agama Yahudi)



14 juta[40]



Jainisme



8 - 12 juta



Baha'i



7,6 - 7,9 juta[45][46]



Shinto



27 - 65 juta



Cao Dai



1 - 3 juta[48]



Spiritisme



2,5 juta[49]



Tenrikyo



2 juta[50]



Neo-Paganisme



1 juta[51]



Gerakan Rastafari



700 ribu[52]



Unitarian Universalisme



630 ribu[53]



Zoroastrianisme (Majusi)



145 - 210 ribu[54]



beberapa aliran kepercayaan seperti Ayyavazhi dan Kaharingan diakui sebagai bagian dari Hinduisme[39]



termasuk Taoisme dan Khonghucu



beberapa komunitas Jaina dianggap suatu sekte Hinduisme[nb 2] banyak orang Jepang yang memeluk agama Shinto dan Buddha sekaligus[47]



meliputi Druid, Wicca, Magick, Asatru, Agama Asli Suku Indian, dll.



Abrahamik Patriark Abraham (oleh József Molnár) Agama-agama abrahamik adalah agama monoteisme yang percaya bahwa ajaran mereka turunan dari Abraham. ● Yudaisme adalah yang tertua dalam agama Abrahamik, yang berasal dari orang-orang Israel kuno dan Yudea. Yudaisme didasarkan terutama pada Taurat, teks yang beberapa orang Yahudi percaya diturunkan kepada orang-orang Israel melalui Nabi Musa. Ini bersama dengan jeda dari Alkitab Ibrani dan Talmud yang adalah teks utama Yudaisme. Orang-orang Yahudi yang tersebar setelah penghancuran Bait Suci di Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Saat ini ada sekitar 13 juta orang Yahudi, sekitar 40 persen tinggal di Israel dan 40 persen di Amerika Serikat.[55]



● Kekristenan didasarkan pada kehidupan dan ajaran Yesus dari Nazaret ( abad ke-1 ) yang disajikan dalam Perjanjian Baru. Iman Kristen pada dasarnya adalah iman kepada Yesus sebagai Kristus, Anak Allah, dan sebagai Juruselamat dan Tuhan. Hampir semua orang Kristen percaya pada Tritunggal, yang mengajarkan kesatuan Bapa, Anak ( Yesus Kristus ), dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi dalam satu Ketuhanan. Kebanyakan orang Kristen dapat menjelaskan iman mereka dengan Kredo Nicea. Sebagai agama Kekaisaran Bizantium di milenium pertama dan Eropa Barat pada masa penjajahan, Kristen telah disebarkan di seluruh dunia. Divisi utama Kekristenan, menurut jumlah penganut: Gereja Katolik, yang dipimpin oleh Paus di Roma, adalah persekutuan penuh Gereja Katolik Roma (Barat) dan 22 Gereja Katolik Timur—yang mana masing-masing adalah otonom (Gereja partikular). Protestan, terpisah dari Gereja Katolik dalam Reformasi abad ke-16 dan membentuk perpecahan dalam banyak denominasi, Kristen Timur, yang meliputi Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental, dan Gereja Timur. Kelompok-kelompok kecil lainnya, seperti Saksi-Saksi Yehuwa dan Gerakan Orang Suci Zaman Akhir, yang dimasukkan ke dalam agama Kristen yang kadang-kadang diperdebatkan.[oleh siapa?]



Muslim melakukan Tawaf di Ka'bah, situs paling suci dalam Islam ● Islam didasarkan pada Al-Quran, salah satu buku suci yang dianggap oleh umat Islam sebagai wahyu dari Tuhan, dan ajaran-ajaran nabi Muhammad, tokoh politik dan tokoh agama dari abad ke-7 Masehi. Islam adalah agama yang paling banyak dipraktikkan di Asia Tenggara, Afrika Utara,Asia Barat, dan Asia Tengah, sementara negara-negara mayoritas Muslim juga ada di beberapa bagian Asia Selatan, Sub-Sahara Afrika, dan Eropa Tenggara. Ada juga beberapa republik Islam, termasuk Iran, Pakistan, Mauritania, dan Afghanistan. -



-



Islam Sunni adalah denominasi terbesar dalam Islam dan mengikuti Quran , hadist yang merekam sunnah, sementara menempatkan penekanan pada sahabat tersebut. Islam Syiah adalah denominasi terbesar kedua Islam dan penganutnya percaya bahwa Ali adalah suksesor Nabi Muhammad dan lebih menekankan pada keluarga nabi Muhammad. Denominasi lain dari Islam termasuk Ahmadiyah, Nation of Islam, Ibadi, tasawuf, Quranisme, Mahdavia, dan Muslim non-denominasi. Baha'i adalah sebuah agama Abrahamik yang didirikan pada abad ke-19 di Iran dan sejak itu telah menyebar ke seluruh dunia. Ini mengajarkan kesatuan semua filsafat agama dan menerima semua nabi-nabi Yahudi, Kristen, dan Islam serta nabi tambahan termasuk pendiri Bahá'u'lláh sendiri. Kelompok yang lebih kecil dari regional Abrahamik, termasuk Samaria ( terutama di Israel dan Tepi Barat ), gerakan Rastafari ( terutama di Jamaika ), dan Druze ( terutama di Suriah dan Lebanon ).



Iran Agama Iran mencakup agama-agama kuno yang akarnya mendahului Islamisasi di Iran Besar. Saat ini agama ini dilakukan dan dianut hanya oleh minoritas. ● Zoroastrianisme adalah agama dan filsafat berdasarkan ajaran nabi Zarathustra pada abad ke-6 SM. Zoroastrian menyembah Sang Pencipta Ahura Mazda. Dalam Zoroastrianisme baik dan yang jahat memiliki sumber-sumber yang berbeda, dengan kejahatan yang berusaha menghancurkan penciptaan Mazda, dan yang baik mencoba untuk mempertahankannya. ● Mandean adalah agama monoteistik dengan pandangan dunia sangat dualistik. Mandean yang kadang-kadang diberi label sebagai "Gnostik terakhir". ● Agama Kurdi termasuk kepercayaan tradisional Yazidi, Alevi, dan Ahl-e Haqq. Kadang-kadang diberi label Yazdânisme.



India Agama-agama India dipraktikkan atau didirikan di anak benua India. Mereka kadang-kadang diklasifikasikan sebagai agama dharma, karena mereka semua memiliki dharma, hukum spesifik realitas dan tugas yang diharapkan sesuai dengan agama.[56] ● Hindu adalah synecdoche menjelaskan filosofi serupa Vaishnavisme, Shaivisme, dan kelompokkelompok terkait dipraktikkan atau didirikan di anak benua India. Konsep kebanyakan dari mereka berbagi dalam praktik umum termasuk karma, kasta, reinkarnasi, mantra, yantras, dan Darsana.[note 2]



Hindu adalah agama yang paling kuno yang masih aktif,[57][58] dengan asal usul mungkin sejauh waktu prasejarah.[59] Hindu bukanlah agama monolitik tetapi kategori agama yang berisi puluhan filosofi terpisah digabung sebagai Sanatana Dharma, yang merupakan nama dari Hindu yang telah dikenal sepanjang sejarah oleh para pengikutnya. ● Jainisme, diajarkan terutama oleh Parsva (abad ke-9 SM) dan Mahavira (abad ke-6 SM), adalah sebuah agama India kuno yang mengatur jalur non-kekerasan untuk semua bentuk makhluk hidup di dunia ini. Jain kebanyakan ditemukan di India. ● Buddhisme didirikan oleh Siddhartha Gautama pada abad ke-6 SM. Buddha umumnya sepakat bahwa Gotama bertujuan untuk membantu makhluk hidup mengakhiri penderitaan mereka (dukkha) dengan memahami hakikat fenomena, sehingga melarikan diri dari siklus penderitaan dan kelahiran kembali (samsara), yaitu mencapai Nirvana. ● Theravada Buddhisme, yang dipraktikkan terutama di Sri Lanka dan Asia Tenggara bersama agama tradisional, saham dari beberapa karakteristik agama-agama India. Hal ini didasarkan pada kumpulan besar teks disebut Pali Canon. ● Buddhisme Mahayana (atau "Kendaraan Besar") di bawah banyak doktrin yang dimulai perkembangan mereka di Cina dan masih relevan di Vietnam, Korea, Jepang dan pada tingkat lebih rendah di Eropa dan Amerika Serikat. Buddhisme Mahayana mencakup ajaran-ajaran yang berbeda seperti Zen, Tanah Suci, dan Soka Gakkai. ● Vajrayana Buddhisme pertama kali muncul di India pada abad ke-3.[60] Saat ini paling menonjol di daerah Himalaya [61] dan meluas di seluruh Asia[62] (lih. Mikkyo). ● Dua dari sekte terkenal Buddha baru Hoa Hảo dan gerakan Dalit Buddha, yang dikembangkan secara terpisah pada abad ke-20. ● Sikhisme adalah agama monoteisme yang didirikan pada ajaran-ajaran Guru Nanak dan sepuluh guru Sikh secara berturut-turut pada abad ke-15 Punjab. Ini adalah agama yang terorganisasi terbesar kelima di dunia, dengan sekitar 30 juta pengikut Sikh.[63][64] Sikh diharapkan untuk mewujudkan kualitas dari Sant-Sipāhī-tentara saint, memiliki kontrol atas kejahatan intern seseorang dan menjadi mampu terus-menerus tenggelam dalam kebajikan diklarifikasi dalam Guru Granth Sahib. Keyakinan utama Sikhi adalah iman Waheguru-diwakili oleh frase ōaṅkār ik, yang berarti satu Tuhan, yang berlaku dalam segala hal, bersama dengan praksis di mana Sikh diperintahkan untuk terlibat dalam reformasi sosial melalui mengejar keadilan bagi semua manusia.



Tradisional Afrika Agama tradisional Afrika meliputi keyakinan agama tradisional orang di Afrika . Ada juga agamaagama diaspora Afrika terkenal dipraktikkan di Amerika . Afrika Utara : Agama Berber tradisional (Mauritania , Maroko , Aljazair , Tunisia , Libya) Agama Mesir kuno (Mesir , Sudan) Afrika Timur Laut : Waaq (Horn of Africa) Afrika -



Barat : Agama Akan (Ghana) Dahomey (Fon) mitologi (Benin) Mitologi Efik (Nigeria, Kamerun) Odinani orang Igbo (Nigeria , Kamerun) Agama Serer (Senegal, Gambia) Agama Yoruba (Nigeria, Benin)



Afrika -



Tengah : Mitologi bantu (Central, Tenggara, dan Afrika Selatan ) Mitologi Bushongo (Kongo) Mbuti (Pygmy) mitologi (Kongo) Mitologi Lugbara (Kongo) Agama Dinka(Sudan Selatan) Mitologi Lotuko (Sudan Selatan)



Afrika -



Tenggara : Mitologi bantu (Central, Tenggara, dan Afrika Selatan ) Mitologi Akamba (Kenya) Mitologi Masai (Kenya, Tanzania) Mitologi Malagasi (Madagaskar)



Afrika -



Selatan : Mitologi bantu (Central , Tenggara , dan Afrika Selatan) Agama Saan (Afrika Selatan) Mitologi Lozi (Zambia) Mitologi Tumbuka (Malawi) Mitologi Zulu (Afrika Selatan)



Diaspora : Santeria (Kuba) Candomble (Brasil) Vodun (Haiti, Amerika Serikat) Lucumi (Karibia) Umbanda (Brasil) Macumba (Brasil)



Tradisional Agama tradisional merujuk pada kategori yang luas dari agama-agama tradisional yang mencakup perdukunan dan unsur-unsur animisme dan ibadah leluhur, di mana cara tradisional "pribumi, bahwa yang asli atau dasar, diturunkan dari generasi ke generasi ...".[65] Ini adalah agama yang berkaitan erat dengan sekelompok orang tertentu, etnis atau suku, mereka sering tidak memiliki kepercayaan formal maupun teks-teks suci [66] Beberapa agama yang sinkretik, menggabungkan keyakinan agama yang beragam dan termasuk praktik [67]. ● Kepercayaan tradisional Tionghoa, misalnya: aspek-aspek Konfusianisme dan Taoisme yang dipandang sebagai agama oleh pihak luar, serta beberapa Buddhisme Mahayana. Gerakan-gerakan keagamaan baru termasuk Falun Gong dan I Kuan Tao. ● Agama rakyat lainnya di kawasan Asia-Pasifik, misalnya: pergerakan Cheondoisme, perdukunan ● Korea, Shinbutsu-Shugo dan Modekngei. ● Mitologi Aborigin Australia. ● Agama rakyat Amerika, misalnya: agama asli Amerika



Baru Gerakan-gerakan keagamaan baru termasuk : ● Shinshūkyō adalah kategori umum untuk berbagai gerakan-gerakan keagamaan yang didirikan di Jepang sejak abad ke-19. Gerakan-gerakan ini dalam pembagiannya hampir tidak ada kesamaan kecuali tempat pendirian mereka. Gerakan keagamaan terbesar yang berpusat di Jepang termasuk Soka Gakkai , Tenrikyo , dan Seicho - No- Ie antara ratusan kelompok-kelompok kecil . ● Cao Đài adalah sinkretistis, agama monoteistik, yang didirikan di Vietnam pada tahun 1926. ● Raelianisme adalah gerakan keagamaan baru didirikan pada tahun 1974 mengajarkan bahwa manusia diciptakan oleh alien. Ini adalah numerik dunia agama UFO terbesar. ● Gerakan reformasi Hindu , seperti Ayyavazhi, Iman Swaminarayan dan Ananda Marga, adalah contoh dari gerakan-gerakan keagamaan baru dalam agama-agama India. ● Unitarian Universalisme adalah agama ditandai dengan dukungan untuk "pencarian bebas dan bertanggung jawab atas kebenaran dan makna", dan tidak memiliki kredo yang diterima atau teologi. ● Noahidisme adalah ideologi Alkitab-Talmud dan monoteistik untuk non-Yahudi berdasarkan Tujuh Hukum Nuh, dan interpretasi tradisional mereka dalam Yudaisme. ● Scientology mengajarkan bahwa orang adalah makhluk abadi yang telah melupakan sifat sejati mereka. Metode rehabilitasi spiritual adalah jenis konseling yang dikenal sebagai audit, di mana praktisi bertujuan untuk menyadarkan kembali pengalaman dan memahami peristiwa menyakitkan atau traumatis dan keputusan pada masa lalu mereka dalam rangka untuk membebaskan diri dari efek yang membatasi mereka. ● Eckankar adalah agama panteistik dengan tujuan membuat Allah realitas sehari-hari dalam kehidupan seseorang . ● Wicca adalah agama neo-pagan pertama kali dipopulerkan pada tahun 1954 oleh PNS Inggris Gerald Gardner, yang melibatkan penyembahan Allah dan Dewi. ● Druidry adalah agama yang mempromosikan harmoni dengan alam, dan menggambar pada praktik-praktik dari druid. ● Satanisme adalah kategori yang luas dari agama yang, misalnya, menyembah setan sebagai dewa ( teistik Setanisme ) atau menggunakan "Setan" sebagai simbol hawa nafsu dan nilai-nilai duniawi (LaVeyan Setanisme).



Klasifikasi sosiologis gerakan keagamaan menunjukkan bahwa dalam setiap kelompok agama tertentu, masyarakat dapat menyerupai berbagai jenis struktur, termasuk " gereja ", " denominasi ", " sekte ", " sekte ", dan " lembaga ".



Isu dalam agama Ekonomi Pendapatan nasional negara berkorelasi negatif dengan religiusitas mereka.[5] Meskipun telah ada banyak perdebatan tentang bagaimana agama mempengaruhi perekonomian negara-negara, secara umum ada korelasi negatif antara religiusitas dan kekayaan bangsa. Dengan kata lain, semakin kaya suatu bangsa, semakin kurang religius cenderung.[68] Namun, sosiolog dan ekonom politik Max Weber berpendapat bahwa negara-negara Protestan yang kaya karena etika kerja Protestan mereka.[69] Kesehatan Mayo Clinic peneliti meneliti hubungan antara keterlibatan agama dan spiritualitas, dan kesehatan fisik, kesehatan mental, kualitas hidup terkait kesehatan, dan hasil kesehatan lainnya. Para penulis melaporkan bahwa: "Sebagian besar penelitian telah menunjukkan bahwa keterlibatan agama dan spiritualitas yang dikaitkan dengan hasil kesehatan yang lebih baik, termasuk umur panjang lebih besar, keterampilan coping, dan kualitas kesehatan yang berhubungan dengan kehidupan (bahkan selama penyakit terminal) dan kurangnya kecemasan, depresi, dan bunuh diri. "[70] Para penulis penelitian selanjutnya menyimpulkan bahwa pengaruh agama terhadap kesehatan adalah "sebagian besar menguntungkan", didasarkan pada tinjauan literatur terkait.[71] Menurut akademik James W. Jones, beberapa studi telah menemukan "korelasi positif antara keyakinan agama dan berlatih dan kesehatan mental dan fisik dan umur panjang. " [72] Sebuah analisis data dari 1998 US Survei Sosial Umum, sementara luas membenarkan bahwa kegiatan keagamaan dikaitkan dengan kesehatan yang lebih baik dan kesejahteraan, juga menyarankan bahwa peran dimensi yang berbeda dari spiritualitas / religiusitas dalam kesehatan agak lebih rumit. Hasil penelitian menunjukkan "bahwa itu mungkin tidak tepat untuk menyamaratakan temuan tentang hubungan antara spiritualitas / religiusitas dan kesehatan dari satu bentuk spiritualitas / religiusitas yang lain, seluruh denominasi, atau menganggap efek seragam untuk pria dan wanita.[73] Infeksi. Sejumlah praktik keagamaan telah dilaporkan menyebabkan infeksi. Ini terjadi selama praktik sunat Yahudi ultra-ortodoks yang dikenal sebagai metzitzah b'peh, ritual 'sisi gulungan' dalam agama Hindu [note 3], persekutuan komuni Kristen, dan Islam selama haji dan setelah wudhu mereka.[74][75]



Kekerasan Perang Salib adalah serangkaian dari kampanye militer berjuang terutama antara Kristen Eropa dan Muslim. Ditampilkan di sini adalah adegan pertempuran dari Perang Salib Pertama. Charles Selengut mengkarakterisasikan frase "agama dan kekerasan" sebagai "gemuruh", menyatakan bahwa "agama dianggap menentang kekerasan dan kekuatan untuk perdamaian dan rekonsiliasi. Ia mengakui, bagaimanapun, bahwa" sejarah dan kitab suci agama-agama di dunia memberitahu cerita kekerasan dan perang karena mereka berbicara tentang perdamaian dan cinta."[76] Hector Avalos berpendapat bahwa, karena agama mengklaim kemurahan ilahi untuk diri mereka sendiri, dan melawan kelompok lain, hal kebenaran ini mengarah pada kekerasan karena konflik klaim untuk sebuah keunggulan, berdasarkan alasan banding yang diverifikasi kepada Tuhan, yang kemudian tidak dapat diadili secara obyektif.[77] Kritik agama dari Christopher Hitchens dan Richard Dawkins melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa agama luar biasa merugikan kepada masyarakat dengan menggunakan kekerasan untuk mempromosikan tujuan mereka, dengan cara yang didukung dan dimanfaatkan oleh para pemimpin mereka.[78][halaman dibutuhkan][79][halaman dibutuhkan] Regina Schwartz berpendapat bahwa semua agama monoteistik secara inheren kekerasan karena suatu eksklusivisme yang pasti mendorong kekerasan terhadap mereka yang dianggap orang luar.[80] Lawrence Wechsler menegaskan bahwa Schwartz tidak hanya menyatakan bahwa agama-agama Ibrahim memiliki warisan kekerasan, tetapi warisan sebenarnya genosida di alam.[81]



Byron Bland menegaskan bahwa salah satu alasan yang paling menonjol untuk "kebangkitan sekuler dalam pemikiran Barat" adalah reaksi terhadap kekerasan agama dari abad 16 dan 17. Dia menegaskan bahwa " sekuler adalah cara hidup dengan perbedaan agama yang telah menghasilkan begitu banyak horor. Dalam sekularitas, entitas politik memiliki surat perintah untuk membuat keputusan independen dari kebutuhan untuk menegakkan versi tertentu ortodoksi agama. Memang, mereka mungkin bertentangan dengan keyakinan tertentu yang dipegang teguh jika dibuat untuk kepentingan kesejahteraan bersama. Dengan demikian, salah satu tujuan penting dari sekuler adalah untuk membatasi kekerasan."[82] Richard Dawkins telah menyatakan bahwa kekejaman Stalin dipengaruhi bukan oleh atheisme tetapi dengan dogmatis Marxisme,[83] dan menyimpulkan bahwa sementara Stalin dan Mao kebetulan adalah atheis, mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan mereka dalam nama ateisme.[84] Pada kesempatan lain , Dawkins telah membalas argumen bahwa Adolf Hitler dan Josef Stalin yang antireligius dengan respon bahwa Hitler dan Stalin juga sama tumbuh kumis, dalam upaya untuk menunjukkan argumen yang menyesatkan [85]. Sebaliknya, Dawkins berpendapat dalam The God Delusion bahwa "Yang penting bukanlah apakah Hitler dan Stalin adalah ateis, namun apakah ateisme secara sistematis mempengaruhi orang untuk melakukan hal-hal buruk. Tidak ada bukti terkecil tentang hal itu." Dawkins menambahkan bahwa Hitler sebenarnya, berulang kali menegaskan keyakinan yang kuat dalam agama Kristen,[86] tetapi kekejaman nya tidak lebih disebabkan teisme ketimbang Stalin atau Mao adalah untuk ateisme mereka. Dalam semua tiga kasus ini, menurutnya, tingkat pelaku 'religiusitas adalah insidental.[87] D'Souza menjawab bahwa seorang individu tidak perlu secara eksplisit memanggil ateisme dalam melakukan kekejaman jika sudah tersirat dalam pandangannya, seperti halnya dalam Marxisme.[88]. Sains Ilmu agama, menurut praktisi agama, bisa diperoleh dari para pemimpin agama, teks-teks suci, kitab suci, atau wahyu pribadi. Beberapa agama melihat pengetahuan seperti terbatas dalam lingkup dan sebatas cocok untuk menjawab pertanyaan, yang lain melihat pengetahuan agama sebagai memainkan peran yang lebih terbatas, sering sebagai pelengkap pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan fisik. Penganut berbagai agama agama sering mempertahankan bahwa pengetahuan agama yang diperoleh melalui teks-teks suci atau wahyu adalah mutlak dan sempurna dan dengan demikian menciptakan sebuah kosmologi agama yang menyertainya, meskipun bukti seperti yang sering disebut tautologis dan umumnya terbatas pada teks-teks agama dan wahyu yang membentuk dasar dari keyakinan mereka. Sebaliknya, metode ilmiah kemajuan pengetahuan dengan menguji hipotesis untuk mengembangkan teori-teori melalui penjelasan fakta atau evaluasi oleh eksperimen dan dengan demikian hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan kosmologi tentang alam semesta yang dapat diamati dan diukur. Ini mengembangkan teori-teori dunia yang paling sesuai dengan bukti-bukti fisik yang diamati. Semua pengetahuan ilmiah tunduk pada perbaikan di kemudian, atau bahkan penolakan langsung, dalam menghadapi bukti tambahan yang mendukung. Teori-teori ilmiah yang memiliki dominan besar terhadap bukti yang menguntungkan sering diperlakukan sebagai de facto verities dalam bahasa umum, seperti teori relativitas umum dan seleksi alam untuk menjelaskan masing-masing mekanisme gravitasi dan evolusi. Mengenai agama dan ilmu pengetahuan, Albert Einstein menyatakan (1940): "Untuk ilmu pengetahuan hanya bisa memastikan apa yang ada, tetapi tidak apa yang seharusnya, dan di luar pertimbangan nilai domainnya dari segala macam tetap diperlukan. Agama, di sisi lain, hanya berurusan dengan evaluasi pemikiran dan tindakan manusia, tidak dapat dibenarkan berbicara tentang fakta-fakta dan hubungan antara fakta...Kini, meski alam agama dan ilmu pengetahuan dalam diri mereka ditandai dengan jelas keluar dari satu sama lain, namun ada di antara dua hubungan timbal balik yang kuat dan dependensi. Meskipun agama bahwa mungkin yang menentukan tujuan, dan bagaimanapun belajar dari ilmu pengetahuan, dalam arti yang luas, apa yang diartikan akan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan."[89]



Hewan kurban Hewan kurban adalah ritual pembunuhan dan korban binatang untuk menenangkan atau mempertahankan nikmat dengan dewa. Bentuk-bentuk pengorbanan yang dipraktikkan dalam banyak agama di seluruh dunia dan telah muncul historis di hampir semua budaya.



Sekularisme dan tidak beragama Ranjit Singh mendirikan pemerintahan sekuler di wilayah Punjab pada awal abad ke-19. Istilah "ateis" (tidak mempercayai pada setiap dewa atau tuhan) dan "agnostik" (keyakinan namun dalam ketidaktahuan tentang keberadaan/eksistensi dewa atau tuhan), meskipun secara khusus bertentangan dengan para teistik (misalnya Kristen, Yahudi, dan Muslim) dalam ajaran agama, menurut definisi tidak berarti kebalikan dari "agama". Ada agama (termasuk agama Buddha dan Taoisme) yang pada kenyataannya mengelompokkan beberapa pengikut mereka sebagai agnostik, ateis, atau nonteistik. Kebalikan sebenarnya dari "agama" adalah kata "tidak beragama". Tidak beragama menggambarkan absen terhadap agama apapun, sedangkan anti-agama menggambarkan oposisi aktif atau keengganan terhadap agama pada umumnya. Agama menjadi urusan pribadi secara lebih dalam budaya Barat, diskusi masyarakat menjadi lebih terfokus pada makna politik dan ilmiah, dan sikap keagamaan (dominan Kristen) yang semakin dilihat sebagai tidak relevan untuk kebutuhan dunia Eropa. Di sisi politik, Ludwig Feuerbach merombak keyakinan Kristen dalam terang humanisme, membuka jalan bagi karakterisasi terkenal Karl Marx tentang agama sebagai "candu rakyat". Sementara itu, dalam komunitas ilmiah, T.H. Huxley pada tahun 1869 menciptakan istilah "agnostik" istilah-kemudian diadopsi oleh tokoh-tokoh seperti Robert Ingersoll-bahwa, sementara secara langsung bertentangan dengan dan novel untuk tradisi Kristen, diterima dan bahkan memeluk di beberapa agama lain. Kemudian, Bertrand Russell mengatakan kepada dunia Mengapa Saya Bukan seorang Kristen, yang dipengaruhi beberapa penulis kemudian untuk membahas memisahkan diri mereka dari asuhan agama mereka sendiri dari Islam ke Hindu. Beberapa ateis juga membangun agama parodi, misalnya, Gereja SubGenius atau Monster Spageti Terbang, yang memparodikan argumen ketika waktu yang sama yang digunakan oleh perancangan cerdas teori Kreasionisme[90]. Agama Parodi juga dapat dianggap sebagai pendekatan postmodernisme dengan agama. Misalnya, di Discordianisme, mungkin sulit untuk mengetahui apakah bahkan ini "serius" ketika pengikutnya tidak hanya mengambil bagian dalam sebuah lelucon yang lebih besar. Lelucon ini, pada gilirannya, dapat menjadi bagian dari jalan besar menuju pencerahan, dan seterusnya ad infinitum.



Kritik agama Kritik agama memiliki sejarah panjang, akan kembali setidaknya sejauh abad ke-5 SM. Selama zaman klasik, ada kritikus agama di Yunani kuno, seperti Diagoras "ateis" dari Melos, dan pada abad ke-1 SM di Roma, dengan Titus Lucretius Carus's De Rerum Natura. Selama Abad Pertengahan dan terus ke masa Renaissance, kritikus potensial terhadap agama dianiaya dan sebagian besar dipaksa untuk tetap diam. Ada kritikus terkenal seperti Giordano Bruno, yang dibakar di tiang karena tidak setuju dengan otoritas keagamaan.[91] Pada abad ke-17 dan ke-18 dengan Pencerahan, pemikir seperti David Hume dan Voltaire mengkritik agama. Pada abad ke-19, Charles Darwin dan teori evolusi menyebabkan meningkatnya skeptisisme tentang agama. Thomas Huxley, Jeremy Bentham, Karl Marx, Charles Bradlaugh, Robert Ingersol, dan Mark Twain telah tercatat dalam abad ke-19 dan kritikus awal abad ke-20. Pada abad ke-20, Bertrand Russell, Sigmund Freud, dan lain-lain terus mengkritik agama. Sam Harris, Daniel Dennett, Richard Dawkins, Victor J. Stenger, dan almarhum Christopher Hitchens adalah kritikus aktif selama akhir abad 20 dan awal abad ke-21. Kritikus menganggap agama sudah menjadi usang, berbahaya bagi individu (misalnya pencucian otak anak-anak, iman kesembuhan, mutilasi alat kelamin perempuan, sunat), merugikan masyarakat (misalnya perang suci, terorisme, pemborosan sumber daya), menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, untuk melakukan kontrol sosial, dan untuk mendorong tindakan asusila (misalnya pengorbanan darah, diskriminasi terhadap kaum homoseksual dan perempuan, dan bentuk-bentuk tertentu dari kekerasan seksual seperti perkosaan) [92][93][94]. Sebuah kritik utama dari banyak agama adalah bahwa dari mereka membutuhkan keyakinan yang tidak rasional, tidak ilmiah, atau tidak masuk akal, karena keyakinan agama dan tradisi tidak memiliki dasar ilmiah atau rasional. Beberapa kritikus modern, seperti Bryan Caplan, menahan agama yang tidak memiliki utilitas dalam masyarakat manusia; mereka mungkin menganggap agama sebagai irasional[95] pemenang Nobel Perdamaian Shirin Ebadi telah berbicara untuk menentang negara-negara Islam yang tidak demokratis karena membenarkan "tindakan menindas" dalam nama Islam [96]. -----------------------------------



Referensi : [1] Hegel adalah seorang filsuf yang hidup pada tahun 1770 hingga 1831. Ia adalah seorang tokoh besar bagi idealisme di Jerman. Pandangan filosofisnya menghantarkan dirinya sebagai tokoh puncak dalam filsafat Barat Modern. Filsafat Hegel berbicara tentang Yang Absolut atau ―Roh‖, ―Idea‖, ―Ratio‖. [Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Garamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 172-177.] [2] Bdk. Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 64; bdk. juga F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm.228.; bdk. juga K. Bertens, Ringkasan Sejarah Fisafat (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 42. [3] Dalam bahasa inggris ditulis atheism. Namun kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni atheos (άθέώοζ). ά artinya tidak dan θέώοζ artinya Allah. Jadi artinya adalah tanpa Tuhan. Itulah pengertian secara nominal tentang arti kata ateis. Menurut Loren Bagus ada beberapa pengertian tentang arti kata dari ateis. Ateis dapat diartikan sebagai bentuk penolakan adanya Tuhan atau dewa/dewi. Selain itu ateis juga dapat diartikan sebagai pandangan yang menolak adanya yang adikodrati termasuk hidup sesudah mati. [ Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996) hlm. 94.] [4] Franz Magnis-Suseno, Menalar…, hlm. 64. [5] Cara berada setiap ada-an yang tidak terbatas pada kenyataan jasmaniah dan kenyataan rohaniah. Setiap ada-an mempunyai identitasnya. [Lihat Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 210] [6] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Garamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 6. [7] Hayden. V. White ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy vol.3, (New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press, 1972), hlm. 191. [8] Buku ini adalah karya yang paling penting dari Ludwig Feuerbach. Dia memberikan pendasaran ide bahwa Allah itu tidak ada dalam kenyataan tetapi Allah adalah sebuah proyeksi dari pemikiran manusia dan prinsip Kristen tentang cinta dan solidaritas akan diikuti manusia dibandingkan hormat secara tidak langsung terhadap refleksi Allah. [ Lihat ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Concise Routlege Encyclopedia of Philosophy (London and New York: Routledge, 2000), hlm. 282.] [9] Tidak lama setelah Hegel meninggal para muridnya terpecah menjadi dua golongan; Hegelian sayap kanan dan Hegelian sayap kiri. Hegelian sayap kanan bersifat konservatif. Mereka menganggap bahwa filsafat Hegel sebagai titik akhir. Bertitik tolak dari filsafat Hegel ini para pengikut sayap kanan membela hak agama Kristen melawan semua serangan yang dilancarkan oleh pihak lain. Hegelian sayap kiri menolak memandang filsafat Hegel sebagai suatu system pemikiran yang definitive dan dengan menggunakan prinsip Hegelian mereka berusaha meneruskan filsafat Hegel. Hegelian sayap kiri memeluk pendirian-pendirian yang ekstrem baik dalam bidang politik maupun bidang agama. [Lihat K. Bertens, Ringkasan..., hlm. 76.] [10] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 227; bdk. juga Ludwig Andreas Feuerbac, http://plato.stanford.edu/entries/ludwig-feuerbach/, 27 Maret 2012. [11] Michael Vlach, Ludwig Andreas Feuerbac, http://theologicalstudies.org/resource-library/philosophydictionary/122-ludwig-feuerbach, 27 Maret 2012. [12] Simon-Petrus L. Tjahjadi, ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I. Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 348. [13] Simon-Petrus L. Tjahjadi, ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I. Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 348. [14] F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 228. [15] Louis Leahy, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 72. [16] K. Bertens, Ringkasan..., hlm. 77. [17] Simon-Petrus L. Tjahjadi, ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I. Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 349. [18] Simon-Petrus L. Tjahjadi, ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I. Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 347. [19] F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 228. [20] Simon-Petrus L. Tjahjadi, ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I. Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 348. [21] D.F. Strauss (1808-1874) adalah seorang teolog, ahli sejarah Gereja, dan ahli moral. Ia adalah salah seorang murid Hegel dan menerbitkan karya Das Lebens Jesu Kritisch Bearbeitet –The Life of Jesus Critically Examined. Bukunya itu menampilkan pandangan serta kritik-kritiknya yang cukup kontroversial hidup religius dan akan iman kristiani zaman itu. Strauss berpendapat bahwa agama, mitos, ritual, dan dogma sesungguhnya lebih banyak mengungkapkan hidup rohani seorang individu daripada mengenai objek-objek yang dianggap sebagai sasaran penyembahan atau Tuhan. [Lihat Hayden V. White ―Strauss, David Friedrich‖ dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Vol.8 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press, 1972), hlm.25-26.] [22] ―I do not generate the object from the thought, but the thought from the object; and I hold that alone to be a proper object which has an exsistence beyond one‘s brain‖, [Lihat Hayden V. White ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia ..., hlm. 191.] [23] Hayden V. White ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia ..., hlm. 191. [24] Proyeksi berasal dari kata kerja bahasa Latin, projicere, yang berarti melempar keluar. Dalam bahasa teknis psikologi, proyeksi diartikan sebagai suatu tindakan manusia yang tidak disadari atau suatu proses menganggap, bahwa seolah-olah ia berasal dari ide di luar dirinya, khususnya dalam ide-ide yang kurang baik. Noah Webster, Webster‘s New Twentieth Century Dictionary Unabridged, (New York: Prentice Hall Press, 1972), hlm. 1439.



[25] Alienasi berasal dari kata sifat bahasa Latin, alius-a-um, yang berarti ―yang lain‖. Dalam bahasa Inggris, kata alienasi diterjemahkan menjadi alienation, yang berarti ―suatu proses pemindahan gelar, hak, atau harta dari seseorang kepada seseorang yang lain‖. Noah Webster, Webster‘s …, hlm. 46. [26] Hayden V. White ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia…, hlm. 191. [27] Frans-Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006) , hlm.66. [28] Frans-Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.66. [29] Frans-Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.68. [30] Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat : Manusia, Paradoks, dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm.145. [31] Frans-Magnis Suseno, Menalar...,, hlm. 68. [32] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm. 68-71. [33] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.70. [34] Theo Huijbres, Manusia mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1977) hlm. 158. [35] Theo Huijbres, Manusia mencari ..., hlm. 158. [36] Franz Magnis Suseno, Menalar..., hlm.70. [37] Theo Huijbres, Manusia mencari ..., hlm.158. [38] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.71. [39] Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme: Tujuan Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm.92. [40] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92. [41] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92-93. [42] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92-93. [43] Feuerbach mewakili suatu subjektivisme epistemologis yang tidak dapat dipertahankan dan subjektivisme ini dijadikan suatu dogma. [Lihat H. Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: [tidak ada penerbit]), hlm. 67.] [44] Louis Leahy, ... hlm.93. -------------------------------



Agnostisisme Agnostisisme adalah suatu pandangan filsafat bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas.[1][2] Seorang agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif pengetahuan tentang "Yang-Mutlak"; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif dimungkinkan, namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi dasar yang dapat diverifikasi secara rasional. Filsuf William L. Rowe menyatakan bahwa dalam arti sempit, bagaimanapun agnostisisme adalah pandangan bahwa manusia saat ini tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan dan/atau alasan untuk memberikan landasan secara rasional yang cukup untuk membenarkan keyakinan bahwa dewa/tuhan baik melakukan atau tidak ada.[3] Dalam kedua hal ini maka agnostikisme mengandung unsur skeptisisme.



Etimologi Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (artinya "tahu; mengetahui") dan a (artinya "tidak"). Arti harfiahnya "seseorang yang tidak mengetahui".



Agnostisisme bukan sinonim dari ateisme. Thomas Henry Huxley, seorang ahli biologi Inggris, mencetuskan kata "agnostik" pada tahun 1869. [4] Namun, pemikir sebelumnya dan karya tulisnya telah mempromosikan poin pandangan agnostik. Mereka yang lainnya termasuk Sanjaya Belatthaputta, abad-5 SM filsuf India yang menyatakan agnostisisme tentang akhirat apapun, [5] Protagoras, abad-5 SM filsuf Yunani yang agnostik tentang dewa/Tuhan/Allah,[6] dan Nasadiya Sukta dalam Rig Veda yang agnostic tentang asal usul alam semesta.[7] Sejak Huxley mencetuskan istilah ini, banyak pemikir lain telah menulis tentang agnostisisme.



Definisi agnostitisme Menurut filsuf William L. Rowe, dalam arti populer seorang "agnostik" adalah seseorang yang tidak percaya atau mendustakan keberadaan dewa atau dewa, sedangkan teis dan ateis masing-masing adalah orang percaya dan tidak percaya akan Allah, tetapi bahwa dalam agnostisisme arti sempit adalah pandangan bahwa akal manusia tidak mampu secara rasional membenarkan keyakinan tentang apa yang dilakukan Allah atau juga apakah Allah itu ada atau tidak.[3]



Thomas Henry Huxley mengatakan: Agnostisisme, pada kenyataannya, tidak kredo, tapi metode, esensi yang terletak pada aplikasi ketat satu prinsip ... Positif prinsip dapat dinyatakan: Dalam hal kecerdasan, ikuti alasan Anda sejauh akan membawa Anda, tanpa memperhatikan pertimbangan lain. Dan negatif: Dalam hal intelek tidak berpura-pura bahwa kesimpulan yang tertentu yang tidak menunjukkan atau dibuktikan. — Thomas Henry Huxley[8]



Perkembangan istilah Agnostik (dari Yunani Kuno ἀ-(a-), yang berarti "tanpa", dan γνῶσις (gnosis), berarti "pengetahuan") digunakan oleh Thomas Henry Huxley dalam pidatonya pada pertemuan Metafisika Masyarakat pada tahun 1869 [9] untuk menggambarkan filsafat yang menolak semua klaim pengetahuan spiritual atau mistis. Para pemimpin gereja Kristen awal menggunakan kata Yunani "gnosis" (pengetahuan) untuk menggambarkan "pengetahuan spiritual". Agnostisisme tidak sama dengan pandangan keagamaan menentang gerakan keagamaan kuno "Gnostisisme" pada khususnya,. Huxley menggunakan istilah dalam lebih luas, pengertian yang lebih abstrak [10] Huxley mengidentifikasi "agnostisisme" bukan sebagai "kredo" melainkan sebagai "metode penyelidikan skeptik, berbasis bukti". [11] Dalam beberapa tahun terakhir, literatur ilmiah yang berhubungan dengan ilmu saraf dan psikologi telah menggunakan kata itu dalam makna "tidak dapat diketahui". [12] Dalam literatur teknis dan pemasaran, "agnostik" sering memiliki arti dekat dengan "independen", misalnya, "platform agnostik " atau "perangkat keras agnostik".[13] Kualifikasi agnostisisme Filsuf zaman Pencerahan asal Skotlandia, David Hume berpendapat bahwa pernyataan yang berarti tentang alam semesta selalu dikualifikasi oleh suatu tingkat keraguan.[14] Ia menegaskan bahwa kelemahan manusia untuk dapat membuat kesalahan berarti bahwa mereka tidak dapat memperoleh kepastian yang mutlak kecuali dalam kasus sepele di mana suatu pernyataan itu benar menurut suatu definisi (yaitu "tautologi" seperti "semua bujangan belum menikah" atau "semua segitiga memiliki tiga sudut"). Semua pernyataan rasional yang menegaskan klaim faktual tentang alam semesta yang dimulai "Saya percaya bahwa ...." hanya singkatan untuk, "Berdasarkan pengetahuan saya, pemahaman, dan interpretasi dari bukti yang berlaku, saya secara ragu-ragu percaya bahwa ...." Misalnya, ketika seseorang mengatakan, "Saya percaya bahwa Lee Harvey Oswald menembak John F. Kennedy", seseorang tidak menyatakan suatu kebenaran mutlak tetapi keyakinan tentatif berdasarkan interpretasi dari bukti-bukti yang dirakit. Meskipun seseorang dapat mengatur jam alarm pada hari sebelumnya, dan percaya bahwa ia mungkin akan terbangun, keyakinan tersebut bersifat tentatif, masih dihantui oleh suatu tingkatan keraguan tertentu, meskipun kecil (bahwa jam atau mekanisme alarm mungkin rusak, atau seseorang mungkin mati sebelum alarm berbunyi).



Jenis agnostisisme Agnostisisme dapat dibagi menjadi diperdebatkan. Variasinya termasuk:



beberapa



kategori,



beberapa



di



antaranya



dapat



Agnostik teisme Pandangan mereka yang tidak mengaku tahu konsep keberadaan dewa/Tuhan apapun, tapi masih percaya pada keberadaan tersebut.[15] Apatis atau agnostisisme pragmatis Pandangan bahwa tidak ada bukti baik ada atau tidaknya dewa/Tuhan apapun, tapi karena setiap dewa yang mungkin saja ada itu dapat bersikap tidak peduli kepada alam semesta atau kesejahteraan penghuninya, pertanyaan ini lebih bersifat akademik.[16] Agnostisisme kuat (juga disebut "keras", "tertutup", "ketat", atau "agnostisisme permanen") Pandangan bahwa pertanyaan tentang ada atau tidak adanya dewa/Tuhan, dan sifat realitas tidak dapat diketahui dengan alasan ketidakmampuan alamiah kita untuk memverifikasi pengalaman dengan apapun selain pengalaman subyektif lain. Seorang penganut agnostik kuat akan mengatakan, "Saya tidak bisa tahu apakah dewa itu ada atau tidak, begitu juga kamu." Agnostisisme lemah (juga disebut "lunak", "terbuka", "empiris", atau "agnostisisme duniawi") Pandangan bahwa ada atau tidaknya setiap dewa saat ini tidak diketahui, tetapi belum tentu untuk kemudian hari, sehingga orang akan menahan penilaian sampai muncul bukti yang menurutnya bisa menjadi alasan untuk percaya. Seorang penganut agnostik lemah akan berkata, "Saya tidak tahu apakah ada dewa ada atau tidak, tapi mungkin suatu hari, jika ada bukti, kita dapat menemukan sesuatu." --------------------------------



Referensi ^ Hepburn, Ronald W. (2005) [1967]. "Agnosticism". Di Donald M. Borchert. The Encyclopedia of Philosophy. Vol. 1 (2nd ed.). MacMillan Reference USA (Gale). p. 92. ISBN 0-02-865780-2. "Dalam penggunaan paling umum istilah ini, agnosticism adalah pandangan bahwa kita tidak tahu apakah ada Allah atau tidak." (halaman 56 dalam edisi 1967)



^ "agnostic, agnosticism". OED Online, 3rd ed. Oxford University Press. September 2012. "agnostic. A. kata benda." "1. Orang yang percaya bahwa tidak ada yang diketahui atau dapat diketahui dari hal-hal non-material, khususnya keberadaan atau hakekat Allah." "2. Dalam penggunaan lebih lanjut: orang yang tidak terbujuk atau berkomitmen terhadap suatu sudut pandang tertentu; seorang skeptik. Juga: orang yang mempunyai idelogi atau keyakinan tidak tentu (indeterminate); seorang equivocator." "B. kata sifat." "1. Berkaitan dengan kepercayaan bahwa keberadaan segala sesuatu di luar atau di balik gejala material adalah tidak diketahui dan (sejauh dapat dipertimbangkan) tidak dapat diketahui. Juga: menganut kepercayaan ini." "2." "a. Dalam penggunaan lebih lanjut: tidak berkomitmen atau terbujuk oleh suatu sudut pandang tertentu; skeptikal. Juga: secara politik atau ideologi tidak berpihak; non-partisan, equivocal." "agnosticism, n. Doktrin atau tenet orang agnostik terkait keberadaan segala sesuatu di luar atau di balik gejalan material atau pengetahuan Sebab Pertama atau Allah." ^ a b Rowe, William L. (1998). "Agnosticism". Di Edward Craig. Routledge Encyclopedia of Philosophy. Taylor & Francis. ISBN 978-0-415-07310-3. "Dalam makna populer, seorang agnostic adalah orang yang percaya maupun tidak percaya akan Allah, sedangkan seorang ateis tidak percaya akan Allah. Namun, dalam makna sempit, agnosticism adalah pandangan bahwa akal manusia tidak mampu memberikan alasan rasional yang memadai untuk memutuskan kepercayaan apakah Allah ada atau kepercayaan apakah Allah tidak ad. Sejauh ini orang memegang bahwa kepercayaan kami adalah rasional hanya jika mereka cukup didukung oleh akan manusia, orang yang menerima posisi filsafat agnosticism tidak akan memegang kepercayaan bahwa Allah ada atau kepercayaan bahwa Allah tidak ada itu sesuatu yang rasional." ^ Dixon, Thomas (2008). Science and Religion: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press. p. 63. ISBN 978-0-19-929551-7. ^ "Samaññaphala Sutta: The Fruits of the Contemplative Life". a part of the Digha Nikaya translated in 1997 by Thanissaro Bhikkhu. "Jika Anda bertanya kepada saya apakah ada dunia lain (setelah kematian), ... Saya pikir tidak. Saya tidak berpikir demikian. Saya tidak berpikir sebaliknya. Saya tidak berpikir tidak. Saya tidak berpikir tidak tidak." ^ "The Internet Encyclopedia of Philosophy - Protagoras (c. 490 - c. 420 BCE)". Diakses tanggal 2013-0722. "Jika seorang saleh berkeinginan untuk memandang kepada dewa-dewa agar memberi petunjuk moral mutlak dalan alam semesta yang relativistik dari Pencerahan Sofistik, bahwa kepastian juga dapat dibuat meragukan oleh pemikir filsafat dan sofistik, yang menunjukkan absurditas dan imoralitas kisah epos konvensional mengenai dewa-dewa. Prosa Protagoras yang merisalahkan tentang dewa-dewa dimulai dengan 'Mengenai dewa-dewa, saya tidak punya cara untuk mengetahui apakah mereka ada atau tidak ataupun jenis apa mereka itu. Banyak hal menghalangi pengetahuan termasuk ketertutupan subyek dan singkatnya hidup manusia.'" ^ Patri, Umesh and Prativa Devi. "Progress of Atheism in India: A Historical Perspective". Atheist Centre 1940-1990 Golden Jubilee. Vijayawada, February 1990. Retrieved 2007-04-02. ^ Huxley, Thomas Henry (April 1889). "Agnosticism". The Popular Science Monthly (New York: D. Appleton & Company) 34 (46): 768. Wikisource has the full text of the article here. ^ Antony, Flew. "Agnosticism". Encyclopaedia Britannica online. Diakses tanggal 2011-12-15. ^ American Heritage Dictionary, 2000, di bawah judul agnostic ^ Aphorisms and Reflections. Kessinger Publishing. 2004 (reprint). pp. 41–42. ISBN 978-1-4191-0730-6. ^ Oxford English Dictionary, Additions Series, 1993 ^ English Language and Usage - pemakaian aneh istilah agnostic ^ Hume, David, "An Enquiry Concerning Human Understanding" (1748) ^ a b Smith, George H (1979). Atheism: The Case Against God. pp. 10–11. "Dengan pertimbangan sepatutnya, agnosticism bukan alternatif ketiga dari teisme dan ateisme, karena lebih berkaitan dengan aspek yang berbeda dari kepercayaan agamawi. Teisme dan ateism merujuk kepada keberadaan atau ketidak adaan kepercayaan akan suatu dewa; agnosticism merujuk kepada ketidakmungkinan pengetahuan tentang suatu dewa atau pribadi supranatural. Istilah agnostic sendiri tidak mengindikasikan apakah seseorang percaya kepada suatu dewa atau tidak. Agnosticism dapat bersifat teistik atau ateistik." ^ B.A. Loftus. "Ontario Consultants on Religious Tolerance: Apatheism: "Does God exist? I don't know & I don't really care"". Diakses tanggal 2010-10-01. Bacaan lanjutan Thomas Huxley (1889) Agnosticism ISBN 1-4400-6878-X Robin Le Poidevin, (2010) Agnosticism: A Very Short Introduction, Oxford University Press, ISBN 978-0-19957526-8 Thomas Huxley, (1919) Man's Place In Nature, ISBN 0-375-75847-X Bertrand Russell, (1779–2009) Why I Am Not a Christian, ISBN 0-671-20323-1 David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ISBN 0-14-044536-6 Immanuel Kant. "Critique of Pure Reason". Diakses tanggal 2012-04-17. Søren Kierkegaard, Philosophical Fragments, ISBN 978-0-691-02036-5 A. J. Ayer, Language, Truth, and Logic, ISBN 0-486-20010-8 George H. Smith, Atheism, the Case Against God, ISBN 0-87975-124-X



Pranala luar (Inggris) Propaganda vs.Critical Thought, oleh Roderick Hindery (Indonesia) Apakah Agnostik itu? oleh Bertrand Russell, [1953]. (Inggris) Kenapa saya bukanlah seorang kristen. oleh Bertrand Russell (6 Maret 1927). (Inggris) Kenapa saya seorang Agnostis oleh Robert G. Ingersoll, [1896]. (Inggris) Kamus sejarah ide-ide: Agnostisisme (Inggris) The Internet Infidels Discussion Forums(Worldwide) (Inggris) The Secular Web (Inggris) Some reflections and quotes about agnosticism (Inggris) Stanford Encyclopedia of Philosophy entry (Inggris) ReligiousTolerance.org – Agnostisisme



----------------------------Gnostisisme (bahasa Yunani: γνῶσις gnōsis, pengetahuan) merujuk pada bermacam-macam gerakan keagamaan yang beraliran sinkretisme pada zaman dahulu kala. Gerakan ini mencampurkan pelbagai ajaran agama, yang biasanya pada intinya mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah jiwa yang terperangkap di dalam alam semesta yang diciptakan oleh tuhan yang tidak sempurna. Secara umum dapat dikatakan Gnostisisme adalah agama dualistik, yang dipengaruhi dan memengaruhi filosofi Yunani, Yudaisme, dan Kekristenan. Istilah gnōsis merujuk pada suatu pengetahuan esoteris yang telah dipaparkan. Dari sana manusia melalui unsur-unsur rohaninya diingatkan kembali akan asal-muasal mereka dari Tuhan yang superior. Yesus Kristus dipandang oleh sebagian sekte Gnostis sebagai perwujudan dari makhluk ilahi yang menjadi manusia untuk membawa gnōsis ke bumi[1]. Pada mulanya Gnostisisme dianggap sebagai cabang aliran sesat dari Kekristenan, namun sekte Gnostis telah ada sejak sebelum kelahiran Yesus[2][3]. Keberadaan kaum Gnostik sejak Abad Pertengahan semakin berkurang dikarenakan pengikutnya memeluk Islam atau akibat dari Perang Salib Albigensian (1209–1229). Gagasan Gnostis kembali muncul seiring dengan bertumbuhnya gerakan mistis esoteris pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20 di Eropa dan Amerika Utara. -------------------------



Referensi ^ Rowe, William L. (1998). "Atheism". Di Edward Craig. Routledge Encyclopedia of Philosophy. ^ Nielsen, Kai (2009). "Atheism". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 2007-04-28. "Atheism, in general, the critique and denial of metaphysical beliefs in God or spiritual beings.... a more adequate characterization of atheism consists in the more complex claim that to be an atheist is to be someone who rejects belief in God for [reasons that depend] on how God is being conceived." ^ Edwards, Paul (1967). "Atheism". The Encyclopedia of Philosophy. Vol. 1. Collier-MacMillan. p. 175. "On our definition, an 'atheist' is a person who rejects belief in God, regardless of whether or not his reason for the rejection is the claim that 'God exists' expresses a false proposition. People frequently adopt an attitude of rejection toward a position for reasons other than that it is a false proposition. It is common among contemporary philosophers, and indeed it was not uncommon in earlier centuries, to reject positions on the ground that they are meaningless. Sometimes, too, a theory is rejected on such grounds as that it is sterile or redundant or capricious, and there are many other considerations which in certain contexts are generally agreed to constitute good grounds for rejecting an assertion." ^ Artikel pendek religioustolerance.org pada Definitions of the term "Atheism" menyatakan bahwa tidak ada konsensus mengenai definisi istilah ateisme. Simon Blackburn pada The Oxford Dictionary of Philosophy: "Atheism. Either the lack of belief in a god, or the belief that there is none". ^ Runes, Dagobert D.(editor) (1942 edition). Dictionary of Philosophy. New Jersey: Littlefield, Adams & Co. Philosophical Library. ISBN 0064634612. Diakses tanggal 2010-02-01. "(a) the belief that there is no God; (b) Some philosophers have been called "atheistic" because they have not held to a belief in a personal God. Atheism in this sense means "not theistic". The former meaning of the term is a literal rendering. The latter meaning is a less rigorous use of the term though widely current in the history of thought" ^ a b "Worldwide Adherents of All Religions by Six Continental Areas, Mid-2005". Encyclopædia Britannica. 2005. Diakses tanggal 2007-04-15. 2.3% Atheists: Persons professing atheism, skepticism, disbelief, or irreligion, including the militantly antireligious (opposed to all religion). 11.9% Nonreligious: Persons professing no religion, nonbelievers, agnostics, freethinkers, uninterested, or dereligionized secularists indifferent to all religion but not militantly so. ^ a b Zuckerman, Phil. "Atheism: Contemporary Rates and Patterns", The Cambridge Companion to Atheism, ed. by Michael Martin, Cambridge University Press: Cambridge, 2005. ^ Cline, Austin (2005). "Buddhism and Atheism". about.com. Diakses tanggal 2006-10-21. ^ "Ceramah Bhikkhu Uttamo - Ketuhanan dalam agama Buddha". Samaggi Phala. Diakses tanggal 2010-0818. ^ Kedar, Nath Tiwari (1997). Comparative Religion. Motilal Banarsidass. pp. hal. 50. ISBN 81-208-0293-4. ^ Honderich, Ted (Ed.) (1995). "Humanism". The Oxford Companion to Philosophy. Oxford University Press. p 376. ISBN 0-19-866132-0. ^ Fales, Evan. "Naturalism and Physicalism", in Martin 2007, hlmn. 122–131. ^ Baggini 2003, hlmn. 3–4.



^ Drachmann, A. B. (1977 ("sebuah cetakan ulang yang tidak berubah dari versi tahun 1922")). Atheism in Pagan Antiquity. Chicago: Ares Publishers. ISBN 0-89005-201-8. "Atheism and atheist are words formed from Greek roots and with Greek derivative endings. Nevertheless they are not Greek; their formation is not consonant with Greek usage. In Greek they said atheos and atheotēs; to these the English words ungodly and ungodliness correspond rather closely. In exactly the same way as ungodly, atheos was used as an expression of severe censure and moral condemnation; this use is an old one, and the oldest that can be traced. Not till later do we find it employed to denote a certain philosophical creed." ^ In part because of its wide use in monotheistic Western society, atheism is usually described as "disbelief in God", rather than more generally as "disbelief in deities". A clear distinction is rarely drawn in modern writings between these two definitions, but some archaic uses of atheism encompassed only disbelief in the singular God, not in polytheistic deities. It is on this basis that the obsolete term adevism was coined in the late 19th century to describe an absence of belief in plural deities. Britannica (1911). "Atheonism". Encyclopædia Britannica (11th Edition ed.). ^ a b c d Martin, Michael. The Cambridge Companion to Atheism. Cambridge University Press. 2006. ISBN 0-521-84270-0. ^ Cline, Austin (2006). "What Is the Definition of Atheism?". about.com. Diakses tanggal 2006-10-21. ^ Flew, Antony (1984). God, Freedom, and Immortality: A Critical Analysis. Buffalo, NY: Prometheus. ISBN 0-87975-127-4. ^ ""Atheism"". Encyclopedia Britannica. 1911. Diakses tanggal 2007-06-07. ^ Martin, Michael. The Cambridge Companion to Atheism. Cambridge University Press. 2006. ISBN 0-52184270-0. ^ Britannica (1992). "Atheism as rejection of religious beliefs". Encyclopædia Britannica (15th Edition ed.) 1: 666. 0852294735. Diakses tanggal 2006-10-27. ^ d'Holbach, P. H. T. (1772). Good Sense. Diakses tanggal 27-10-2006. ^ Smith 1979, hlm. 14. ^ Cudworth, Ralph (1678). The True Intellectual System of the Universe: the first part, wherein all the reason and philosophy of atheism is confuted and its impossibility demonstrated. ^ Lihat : "Atheists call for church head to retract slur". 1996-09-03. Diakses tanggal 2008-07-02. ^ Lowder, Jeffery Jay (1997). "Atheism and Society". Diakses tanggal 10-01-2007.. ^ a b Flew, Antony. "The Presumption of Atheism". The Presumption of Atheism and other Philosophical Essays on God, Freedom, and Immortality. New York: Barnes and Noble, 1976. pp 14ff. ^ Rowe, William L. "Atheism". Routledge Encyclopedia of Philosophy. Edward Craig (editor). Routledge: Juni 1998. ISBN 0-415-18706-0. 530-534. ^ Cline, Austin (2006). "Strong Atheism vs. Weak Atheism: What's the Difference?". about.com. Diakses tanggal 2006-10-21. ^ Maritain, Jacques (Juli 1949). "On the Meaning of Contemporary Atheism". The Review of Politics 11 (3): 267–280. ^ Kenny, Anthony (2006). "Why I Am Not an Atheist". What I believe. Continuum. ISBN 0-8264-8971-0. "The true default position is neither theism nor atheism, but agnosticism … a claim to knowledge needs to be substantiated; ignorance need only be confessed." ^ Baggini 2003, hlmn. 30–34. "Who seriously claims we should say 'I neither believe nor disbelieve that the Pope is a robot', or 'As to whether or not eating this piece of chocolate will turn me into an elephant I am completely agnostic'. In the absence of any good reasons to believe these outlandish claims, we rightly disbelieve them, we don't just suspend judgement." ^ Baggini 2003, hlm. 22. "A lack of proof is no grounds for the suspension of belief. This is because when we have a lack of absolute proof we can still have overwhelming evidence or one explanation which is far superior to the alternatives." ^ Smart, J.C.C. (2004-03-09). "Atheism and Agnosticism". Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diakses tanggal 2007-04-12. ^ Cudworth, Ralph. The true intellectual system of the universe. 1678. Dawkins, Richard. The God Delusion. Bantam Books: 2006, hal. 50. (ISBN 0-618-68000-4) ^ Terjemahan dari teks berbahasa Latin dari "Summa impietas" (1552), Picta poesis, by Barthélémy Aneau. Glasgow University Emblem Website. Diakses pada 26 Maret 2007. ^ a b c Zdybicka 2005, hlm. 20. ^ Schafersman, Steven D. "Naturalism is an Essential Part of Science and Critical Inquiry". Conference on Naturalism, Theism and the Scientific Enterprise. Department of Philosophy, The University of Texas. February 1997. Revised May 2007. Diakses pada 9 April 2007. ^ Zdybicka 2005, hlm. 21. ^ Zdybicka 2005, hlm. 19. ^ David Hume. Dialogues Concerning Natural Religion. Project Gutenberg (e-text). ^ Feuerbach, Ludwig (1841) The Essence of Christianity ^ Walpola Rahula, What the Buddha Taught. Grove Press, 1974. Halaman 51–52. ^ Bakunin, Michael (1916). "God and the State". New York: Mother Earth Publishing Association. Diakses tanggal 2007-04-12. ^ Various authors. "Logical Arguments for Atheism". Internet Infidels, The Secular Web Library. Diakses pada 9 April 2007. ^ Drange, Theodore M. (1996). "The Arguments From Evil and Nonbelief". Internet Infidels, Secular Web Library. Diakses pada 18 April 2007. ^ V.A. Gunasekara, "The Buddhist Attitude to God.". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-01-02. In the Bhuridatta Jataka, "The Buddha argues that the three most commonly given attributes of God, viz.



omnipotence, omniscience and benevolence towards humanity cannot all be mutually compatible with the existential fact of dukkha." ^ Gleeson, David (2006). "Common Misconceptions About Atheists and Atheism". American Chronicle. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-04. Diakses tanggal 2006-10-21. ^ Smith 1979, hlm. 275. "Perhaps the most common criticism of atheism is the claim that it leads inevitably to moral bankruptcy." ^ Pascal, Blaise (1669). Pensées, II: "The Misery of Man Without God". ^ Dentsu Institute (2006) ^ Zuckerman (2005) ^ "Major Religions of the World Ranked by Number of Adherents, Section on accuracy of non-Religious Demographic Data". Diakses tanggal 2008-03-28. ^ "Religious Views and Beliefs Vary Greatly by Country, According to the Latest Financial Times/Harris Poll". Financial Times/Harris Interactive. 2006-12-20. Diakses tanggal 2007-01-17. ^ Social values, Science and Technology (PDF). Directorate General Research, European Union. 2005. pp. hal. 7–11. ^ Larson, Edward J.; Larry Witham (1998). "Correspondence: Leading scientists still reject God". Nature 394 (6691): 313. doi:10.1038/28478. Available at StephenJayGould.org, Stephen Jay Gould archive. Diakses pada 17 Desember 2006. ^ Shermer, Michael (1999). How We Believe: Science, Skepticism, and the Search for God. New York: William H Freeman. pp. pp76–79. ISBN 0-7167-3561-X. ^ Menurut Dawkins (2006), hal. 103. Dawkins mengutip pernyataan Bell, Paul. "Would you believe it?" Mensa Magazine, UK Edition, Feb. 2002, hal. 12–13. Analyzing 43 studies carried out since 1927, Bell found that all but four reported such a connection, and he concluded that "the higher one's intelligence or education level, the less one is likely to be religious or hold 'beliefs' of any kind." ^ Argyle, Michael (1958). Religious Behaviour. London: Routledge and Kegan Paul. pp. pp 93–96. ISBN 0415-17589-5. ^ Australian Bureau of Statistics, Census of Population and Housing, 2006, Census Table 20680-Religious Affiliation (broad groups) by Sex - Australia ^ Statistics New Zealand, QuickStats About Culture and Identity, Religious affiliation ^ Winston, Robert (Ed.) (2004). Human. New York: DK Publishing, Inc. pp. hal. 299. ISBN 0-7566-1901-7. "Nonbelief has existed for centuries. For example, Buddhism and Jainism have been called atheistic religions because they do not advocate belief in gods." ^ "Humanistic Judaism". BBC. 2006-07-20. Diakses tanggal 2006-10-25. ^ Levin, S. (May 1995). "Jewish Atheism". New Humanist 110 (2): 13–15. ^ "Christian Atheism". BBC. 2006-05-17. Diakses tanggal 2006-10-25. ^ Altizer, Thomas J. J. (1967). The Gospel of Christian Atheism. London: Collins. pp. 102–103. Diakses tanggal 2006-10-27. ^ Lyas, Colin (January 1970). "On the Coherence of Christian Atheism". Philosophy: the Journal of the Royal Institute of Philosophy 45 (171): 1–19. ^ Smith 1979, hlmn. 21-22. ^ Smith 1979, hlm. 275. "Among the many myths associated with religion, none is more widespread -or more disastrous in its effects -than the myth that moral values cannot be divorced from the belief in a god." ^ In Dostoevsky's The Brothers Karamazov (Book Eleven: Brother Ivan Fyodorovich, Chapter 4) there is the famous argument that If there is no God, all things are permitted.: "'But what will become of men then?' I asked him, 'without God and immortal life? All things are lawful then, they can do what they like?'" ^ For Kant, the presupposition of God, soul, and freedom was a practical concern, for "Morality, by itself, constitutes a system, but happiness does not, unless it is distributed in exact proportion to morality. This, however, is possible in an intelligible world only under a wise author and ruler. Reason compels us to admit such a ruler, together with life in such a world, which we must consider as future life, or else all moral laws are to be considered as idle dreams..." (Critique of Pure Reason, A811). ^ Baggini 2003, hlm. 38. ^ Susan Neiman (November 6, 2006). Beyond Belief Session 6 (Conference). Salk Institute, La Jolla, CA: The Science Network. ^ Baggini 2003, hlm. 40 ^ Baggini 2003, hlm. 43. ^ 101 Ethical Dilemmas, 2nd edition, by Cohen, M., Routledge 2007, pp184-5. (Cohen notes particularly that Plato and Aristotle produced arguments in favour of slavery.) ^ Political Philosophy from Plato to Mao, by Cohen, M, Second edition 2008 ^ Harris, Sam (2006a). "The Myth of Secular Moral Chaos". Free Inquiry. Diakses tanggal 2006-10-29. ^ Moreira-almeida, A.; Lotufo Neto, F.; Koenig, H.G. (2006). "Religiousness and mental health: a review". Revista Brasileira de Psiquiatria 28: 242–250. Diakses tanggal 2007-07-12. ^ See for example: Kahoe, R.D. (June 1977). "Intrinsic Religion and Authoritarianism: A Differentiated Relationship". Journal for the Scientific Study of Religion. 16(2). hal. 179-182. Also see: Altemeyer, Bob and Bruce Hunsberger (1992). "Authoritarianism, Religious Fundamentalism, Quest, and Prejudice". International Journal for the Psychology of Religion. 2(2). hal. 113-133. ^ Harris, Sam (2005). "An Atheist Manifesto". Truthdig. Diakses tanggal 2006-10-29. "In a world riven by ignorance, only the atheist refuses to deny the obvious: Religious faith promotes human violence to an astonishing degree."



-----------------------



Ateisme dalam Hindu (bahasa Sanskerta: nir-īśvara-vāda, "pernyataan tak ada Tu(h)an") atau "tidak percaya kepada Tuhan/Dewa" merupakan salah satu konsep yang terdapat dalam tubuh filsafat Hindu, selain mengenal konsep henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, dan politeisme dalam konsep ketuhanannya. Ateisme Astika Istilah Āstika kadangkala diterjemahkan sebagai "bertuhan" dan Nāstika sebagai "ateis" atau "tak bertuhan". Kata berbahasa Sanskerta asti berarti "ada", dan Āstika menurut Panini 4.2.60 diambil dari kata kerja atau verba yang artinya "seseorang yang mengatakan 'asti', ia yang percaya akan keberadaan [Tuhan/Dewa, atau dunia lain, dsb.]" Jika digunakan sebagai istilah teknis, dalam filsafat Hindu, istilah Āstika merujuk kepada kepercayaan pada Veda, dan bukan kepercayaan akan adanya Tuhan. Ada enam mazhab falsafi dalam agama Hindu yang seringkali dirujuk sebagai Shat (Astik) Darshana (darshana artinya "sudut pandang"). Dalam mazhab Astika dari filsafat Hindu, Saṃkhya dan mazhab awal mīmāṃsā tidak menerima akan adanya Tuhan dalam sistematik kepercayaan mereka. Sudut pandang ateistis seperti disajikan dalam mazhab Saṃkhya dan Mīmāṃsā dalam filsafat Hindu berwujud penolakan akan adanya sang Tuhan Pencipta. Mazhab Saṃkhya percaya akan adanya keberadaan dualis daripada Prakreti ("alam") dan Purusa ("jiwa") dan tidak memiliki tempat untuk Iswara ("Tu(h)an") pada sistematikanya. Kedua unsur tersebut merupakan unsur pokok pembentuk alam semesta, menggantikan peran Tuhan sebagai pencipta. Para ahli meyakini bahwa ajaran ini berakar dari nilai-nilai positif atheis. Kaum Mimamsaka awal percaya akan adanya adṛṣṭa ("tak tampak") yang merupakan hasil pelaksanaan daripada karma ("karya") dan tidak melihat keperluan adanya Tuhan atau Iswara dalam sistematika mereka. Mīmāṃsā, sebagai filsafat hanya secara khusus berurusan dengan karma dan oleh karena itu kadangkala disebut sebagai Karma-Mīmāṃsā. Karma yang dibahasa dalam Mīmāṃsā berurusan dengan pelaksanaan Yajña ("kurban kepada Tuhan/Dewa") yang ada dalam kitab Veda. Falsafah Vedanta memiliki pengikut yang gencar memperkenalkan sebuah Nirguna Brahman di mana contoh utamanya adalah Adi Shankara. Ateisme Nastika Dalam filsafat India, ada tiga mazhab falsafi yang biasanya disebut sebagai Nastika: Jainisme, Buddhisme dan Carvaka karena ketiganya menolak ajaran Veda. Nastika lebih merujuk ketidakpercayaan terhadapa\ Veda daripada ketidakpercayaan kepada Tuhan. Namun mazhab ini semua juga menyangkal adanya konsep bahwa ada Tuhan Pencipta dan kata Nastika menjadi diasosiasikan kepada mereka. Carvaka, sebuah mazhab ateis merunut asal-usulnya sampai tahun 600 SM. Mazhab ini memperkenalkan gaya hidup hedonis dan menyatakan bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian. Filsafat Carvaka nampaknya punah setelah tahun 1400. Buddhisme dan Jainisme asalnya juga dari sebelum tahun 300 SM, tapi berbeda dengan Carvaka karena mereka tidak hedonis. Sampai sekarang diperdebatkan apakah pengikut kuna Jainisme dan Buddhisme adalah umat Hindu atau non-Hindu, sebab sama seperti umat Hindu mereka membicarakan Aryasanga, karma, brahman dan Moksha. Kaum ateis Hindu masa kini Pemenang Hadiah Nobel India, Amartya Sen, pada sebuah wawancara dengan Pranab Bardhan dari California Magazine yang diterbitkan pada bulan Juli-Agustus 2006 oleh University of California, Berkeley menyatakan:[1] ― In some ways people had got used to the idea that India was spiritual and religionoriented. That gave a leg up to the religious interpretation of India, despite the fact that Sanskrit had a larger atheistic literature than exists in any other classical language. Even within the Hindu tradition, there are many people who were atheist. Madhava Acharya, the remarkable 14th century philosopher, wrote this rather great book called Sarvadarshansamgraha, which discussed all the religious schools of thought within the Hindu structure. The first chapter is "Atheism" - a very strong presentation of the argument in favor of atheism and materialism. ‖ Terjemahan: “ "Secara langsung atau tidak orang sudah dari dulu terbiasa dengan gagasan bahwa India itu berorientasikan rohani dan oleh agama. Hal ini menyumbang hal besar dalam interpretasi agama India, meskipun ada fakta bahwa bahasa Sanskrit mempunyai kesusasteraan ateis yang lebih besar daripada yang ada di bahasa klasik lain yang mana pun. Dalam tradisi Hindu pun, ada banyak orang ateis.



Madhava Acharya, seorang filsuf luar biasa dari abad ke-14, menulis buku ini yang lumayan hebat Sarvadarshansamgraha, yang membicarakan semua mazhab agama dalam struktur Hindu. Bab pertama adalah "Ateism" - penyajian argumen yang sangat kuat yang menyukai ateisme dan materialisme." ----------------------



Samkhya (bahasa Sanskerta:



), juga disebut dengan Sankhya adalah salah satu aliran dalam



filsafat Hindu. Para ahli meyakini bahwa ajaran ini berakar dari nilai-nilai positif atheis. Kemudian Maharsi Kapila, putra Devaguti, membangun ajaran Samkhya yang bersifat theistik, seperti yang disebutkan dalam Bhagavatapurana.[1] Samkhya adalah ajaran filsafat tertua dalam filsafat India. Karya sastra mengenai Saṁkhya yang kini dapat diwarisi adalah Saṁkhyakarika yang di tulis oleh Īśvarakṛṣṇa sekitar 200 SM. Ajaran Saṁkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatanya ajaran Saṁkhya dalam sastra-sastra Śruti, smrti, itihasa dan purana. Saat ini ajaran Samkhya yang murni sudah tidak eksis lagi, tetapi ajaran ini banyak membawa pengaruh pada ajaran Yoga dan Wedanta. Kata Saṁkhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Saṁkhya bersifat realistis karena di dalamnya mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti. Epistemologi Samkhya Terkait dengan ajaran Samkhya, pengetahuan didapatkan melalui tiga pola pemikiran yang disebut dengan tri pramana: -



Pratyaksa Pramana — pengamatan langsung Anumana Pramana — pemikiran logis / logika Sabda Pramana — melalui tradisi lisan antara guru dengan siswa. Di Nusantara, Sabda Pramana, disebut juga dengan Agama Pramana, sebagai mana yang termuat dalam Wrhaspati Tattwa, sloka 26.[2] -----------------------^ Titib, I Made. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Paramita. ISBN 979-9044-04-9. ^ "Babad Bali - Tripramana" (HTML). Tattwa. Diakses tanggal 2006-11-15. ---------------------------Yoga (Aksara Dewanagari ) dari bahasa Sanskerta ( ) berarti "penyatuan", yang bermakna "penyatuan dengan alam" atau "penyatuan dengan Sang Pencipta". Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktivitas meditasi atau tapa di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan. Masyarakat global umumnya mengenal Yoga sebagai aktivitas latihan utamanya asana (postur) bagian dari Hatta Yoga. Yoga juga digunakan sebagai salah satu pengobatan alternatif, biasanya hal ini dilakukan dengan latihan pernapasan, olah tubuh dan meditasi, yang telah dikenal dan dipraktikkan selama lebih dari 5000 tahun.[1][2] Orang yang melakukan tapa yoga disebut yogis, yogin bagi praktisi pria dan yogini bagi praktisi wanita. Sastra Hindu yang memuat ajaran Yoga, di antaranya adalah Upaishad, Bhagavad Gita, Yogasutra, Hatta Yoga serta beberapa sastra lainnya. Klasifikasi ajaran Yoga tertuang dalam Bhagavad Gita, di antaranya adalah Karma Yoga/Marga, Jnana Yoga/Marga, Bakti Yoga/Marga, Raja Yoga/Marga. Sejarah Yoga Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat populer di kalangan umat Hindu. Ajaran yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga berakar dari kata Yuj yang berarti berhubungan, yaitu bertemunya roh individu (atman/purusa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai Cittavrttinirodha yaitu penghentian gerak pikiran. Sastra Yogasutra yang ditulis oleh Maharsi Patanjali, yang terbagi atas empat bagian dan secara keseluruhan mengandung 194 sutra. Bagian pertama disebut: Samadhipada, sedangkan bagian kedua disebut: Sadhanapada, bagian ketiga disebut: Vibhutipada, dan yang terakhir disebut: Kailvalyapada. Catatan kaki ^ The Bhagavad-Gita and Jivana Yoga By Ramnarayan Vyas ^ Hatha Yoga: Its Context, Theory and Practice By Mikel Burley (page 16)



------------------------



Mimamsa (Sanskerta:



) adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu.



Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara khusus melakukan pengkajian pada bagian Veda: Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini tertuang dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi kedalam 60 pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut Veda. --------------------



Nyaya (Sanskerta:



) adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu.



Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama yang menyusun Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis. Ajaran ini berdasarka pada ilmu logika, sistematis, kronologis dan analitis. ----------------------



Waisesika (Dewanagari:



; ) adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu.



Ajaran Waisiseka dipelopori oleh Maharesi Kanada, yang menyusun Waisesikasutra. Meskipun sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri, namun dalam perkembangannya ajaran ini menjadi satu dengan Nyaya. ----------------------



Wedanta (Sanskerta:



; Védānta) adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu. Ajaran



Wedanta sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa, yaitu "penyelidikan yang kedua", karena ajaran ini mengkaji salah satu bagian kitab Weda, yaitu kitab Upanisad. Kata Wedanta berakar kata dari wedasya dan antah yang berarti "akhir dari Weda". Sumber ajaran ini adalah kitab Wedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharesi Byasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwaipayana. Bacaan lebih lanjut (Inggris) Modern Physics and Vedanta by Swami Jitatmananda (Inggris) The Eye of Shiva. New York, William Morrow & Co. 1981. Amaury de Reincourt (Inggris) The Dancing Wu Li Masters by Gary Zukav (Inggris) The Philosophical Impact of Contemporary Physics by Milic Capek (Inggris) Mysticism and the New Physics Michael Talbot (Inggris) The Cosmic Code, Quantum Physics as the Language of Nature by Heinz R Pagels; (Inggris) Philosophical Aspects of Modern Science by C.E.M. Joad (Inggris) The Holographic Paradigm (Inggris) Causality and Chance in Modern Physics by David Bohm (Inggris) Forgotten Truth: The Primordial Tradition by Huston Smith (Inggris) Theology After Vedanta by Francis X. Clooney (Inggris) Sankara and Indian Philosophy, by Natalia Isayeva (Inggris) A History of Early Vedanta Philosophy by Hajime Nakamura (Inggris) Encyclopedia of Indian Philosophies and "Vedanta Sutras of Narayana Guru" by Karl Potter and Sibajiban Bhattacharya (Inggris) The Upanishads by Sri Aurobindo [1]. Sri Aurobindo Ashram, Pondicherry. 1972. Pranala luar (Inggris) The Schools Of Indian & Vedanta Philosophy (Inggris) Brahma sutras (Vedanta sutras) online (Inggris) Advaita Vedanta and the works of Adi Sankara (Inggris) Advaita Vedanta homepage (Inggris) Vedanta Society of New York (Inggris) Ramakrishna-Vivekananda Center of New York (Inggris) Vedanta Society of Southern California (maintains a comprehensive list of Vedanta Society locations worldwide). (Inggris) Vedanta Society of Northern California (Inggris) Vedanta & Vedanta Philosophy (Inggris) From the Unreal to the Real (Inggris) NeoVedanta (Inggris) "Vedanta in America" (Inggris) Nikola Tesla and Swami Vivekananda (Inggris) A lecture about Vedanta by Swami Vivekananda (Inggris) The Upanishads Sri Aurobindo Ashram, Pondicherry ----------------------------



Topik dalam agama Hindu Śruti



Weda • Upanisad • Srauta



Smerti



Itihasa (Ramayana • Mahabharata • Bhagawadgita) • Purana • Sutra • Agama (Tantra • Yantra)



Konsep



Awatara • Atman • Brahman • Kosa • Dharma • Karma • Moksa • Maya • Istadewata • Murti • Reinkarnasi (Punarbhawa) • Tatwa • Trimurti • Turiya • Guru



Filosofi



Darshana • Samkhya • Nyaya • Waisiseka • Yoga • Mimamsa • Wedanta • Tantra • Bhakti Yoga • Jnana Yoga • Karma Yoga



Ritual



Aarti • Bhajan • Diksa • Mantra • Puja • Satsang • Stotra • Trisandya • Yadnya



Guru



Shankara • Ramanuja • Madhvacharya • Ramakrishna • Sarada Devi • Vivekananda • Narayana Guru • Aurobindo • Ramana Maharshi • Sivananda • Chinmayananda • Sivaya Subramuniyaswami • Swaminarayan • Prabhupada • Lokenath • Sant Sri Asaramji Bapu • Sathya Sai Baba



Denominasi Waisnawa • Saiwisme • Saktisme • Smartisme • Reformasi Hindu Mitologi Yuga



Dewa-Dewi Hindu • Daftar Dewa-Dewi Hindu • Peperangan dalam mitologi Hindu • Kosmologi Hindu Satyayuga • Tretayuga • Dwaparayuga • Kaliyuga



Caturwarna Brahmana • Ksatriya • Waisya • Sudra • Dalit



Hindu di Nusantara



   



Hindu Hindu Hindu Hindu



Dharma Jawa Kaharingan Tolotang



Sejarah panjang dari kebudayaan bangsa Arya di wilayah anakbenua India pada masa peradaban Veda, diikuti oleh perkembangan filsafat dan agama dalam periode yang panjang, melahirkan ajaran-ajaran filsafat ortodok. Ajaran filsafat ortodok ini disebut dengan Sad Darshana. Keenam ajaran ini dikembangkan dari ajaran-ajaran Veda sehingga diklasifikasikan sebagai astika. Sedangkan ajaran filsafat yang tidak didasarkan atas ajaran Veda dikenal dengan istilah nastika. ------------



―Ketika seseorang yang menderita ―delusion‖ (khayalan,red), maka itu dapat disebut suatu kegilaan. Ketika banyak orang yang menderita ―delusion‖ maka itu disebut Agama.‖ (R.M. Pirsig) Baru-baru ini saya membaca buku yang sangat bagus. Temanya lumayan berat sich, tentang wacana anti-Tuhan atau Atheisme yang di tulis oleh kritikus agama terbesar abad ini, Richard Dawkins. Berlatar belakang sebagai seorang ilmuwan Biologi beraliran Darwinian, beliau mengkritik habis-habisan nalar agama-agama besar dunia, dan sekaligus meneguhkan kedudukan sains (ilmu pengetahuan) sebagai satu-satunya dasar keyakinan yang rasional, masuk akal. Konsekuensi dari itu, dawkins menyebut agama sebagai delusion, semacam khayalan manusia tentang keberadaan Tuhan yang sebenarnya tidak ada. Om Richard Dawkins ini merupakan salah satu dari empat penunggang kuda (the four horsemen) Atheisme Baru di abad 21 bersama Sam Harris, Daniel Dennett, dan Christopher Hitchens. Ateisme Baru memandang bahwa agama tidak hanya harus ditoleransi, tetapi juga dijawab, dikritik, dan dibongkar dengan argumen rasional saat pengaruhnya muncul. Untuk info saja, BUku dengan Judul The God Delusion yang terbit pada 2006 di Inggris ini, Pada Januari 2010, telah terjual sebanyak lebih dari dua juta copy.Buku ini telah mengundang berbagai komentar, dan banyak buku ditulis sebagai tanggapan. Ini menunjukkan kelas buku ini. Kalo di tanya buat apa baca beginian? Saya bisa menjawab; pertama, untuk kebutuhan saya dalam melatih objektifitas dalam berfikir. kedua, agar mampu melihat kemungkinan lain di luar dimensi keyakinan kita. ketiga, mencoba respect terhadap berbagai macam gagasan. keempat, biar kita jangan terlalu keras kepala dengan pendapat sendiri. (biasanya kaum fundamentalis nih, yang begini) terakhir, itung-itung buat refreshing otak, hehe….



Kudu dibaca deh, buat yang berencana tinggal landas dari kepercayaan agama, hehe… Berani??? Mau tau isinya? Here we goooo…!!!! Book‘s Contents of The God Delusion, Richard Dawkins: Chapter-1 A deeply religious non-believer Chapter-2 The God Hypothesis Chapter-3 Arguments for God‘s existence Chapter-4 Why there almost certainly is no God Chapter-5 The roots of religion Chapter-6 The roots of morality: why are we good? Chapter-7 The ‗Good‘ Book and the changing moral Zeitgeist Chapter-8 What‘s wrong with religion? Why be so hostile? Chapter-9 Childhood, abuse and the escape from religion Chapter-10 A much needed gap? Biar lebih lengkap, nih gue kasih pengantar langsung dari penulisnya, Om Dawkins, hehe.. Oohh iya, ini buku gw baca versi englishnya lho, tapi karena gw baik hati, gw translate nih pengantarnyaa… Pengantar Sebagai seorang anak kecil, dahulu isteri saya tidak menyukai sekolahnya dan dia ingin agar bisa keluar dari sekolahnya itu. Bertahun-tahun kemudian, ketika usianya menginjak duapuluhanan tahun, dia mengungkapkan kenyataan yang tidak membahagiakan ini (ingin keluar dari sekolah) kepada orang tuanya, dan ibunya terkejut, dan mengatakan: ‖Tetapi sayang, kenapa kamu sebelumnya tidak datang dan menceritakannya kepada kami?‖. Jawaban Lalla (sang isteri,red) tentang pertanyaan tersebut menjadi poin saya untuk kali ini, yaitu: ―I didn‘t know I could.‖ (arti: ―Tetapi aku tidak tau apakah aku mampu untuk mengatakannya (bahwa berkeinginan untuk keluar dari sekolah).‖) ―I didn‘t know I could.‖ (arti: Aku tidak tau apakah aku mampu untuk mengatakannya.) Saya mengira -bahkan saya meyakini- bahwa banyak orang-orang di dunia ini yang telah dididik dalam banyak keyakinan agama masing-masing, dan mereka merasa tidak bahagia dalam kepemelukan terhadap agamanya itu, tidak mempercayai agamanya, atau khawatir akan tindakan kejahatan yang terjadi atas nama agama; orang-orang yang diam-diam secara tersembunyi berkeinginan untuk meninggalkan agama orangtua mereka dan berharap bahwa mereka bisa untuk melakukan itu, hanya saja mereka belum menyadari bahwa itu merupakan suatu pilihan. Jika anda termasuk salah satu dari mereka, buku ini ditulis untuk anda. Buku ini ditulis, dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran kita -kesadaran tentang kenyataan bahwa untuk menjadi seseorang yang tak berTuhan (Atheist) adalah suatu cita-cita yang realistis, suatu keputusan yang berani dan sangat baik. Anda bisa menjadi seorang Atheist yang bahagia, adil, bermoral, dan dengan sangat beralasan. Ini adalah poin pertama yang menjadi ―pesanpenyadaran‖ saya kepada anda. Saya juga ingin membangkitkan kesadaran anda dengan tiga cara yang lain, yang akan saya jelaskan selanjutnya. Pada bulan Januari 2006 saya mempersembahkan sebuah film dokumenter dalam dua bagian, yang disiarkan di televisi inggris (Channel Four) dengan judul Root of All Evil?. Dari awal, saya tidak suka dengan judul itu. Agama bukanlah penyebab dari semua kejahatan/malapetaka, tapi tidak terkecuali untuk hal lain, agama menjadi akar persoalan dari segala sesuatu. Tetapi saya dihibur dengan iklan Channel Four di surat kabar nasional. Yaitu sebuah gambar di gedung pencakar langit kota manhattan dengan tulisan ‗Bayangkan suatu dunia tanpa agama.‘ Apa yang menjadi penghubung?, menara kembar WTC dengan jelas memperlihatkan tulisan itu. Bayangkanlah kata John Lennon, suatu dunia tanpa agama. Bayangkanlah dunia tanpa bom bunuh diri, tanpa tragedi serangan 11 september , tidak ada tragedi 7/7, tidak ada perang salib, tidak ada tragedi witch-hunts, tidak ada Gunpowder plot, tidak ada diskriminasi suku indian, tidak ada peperangan antara Israel dan Palestina, tidak ada pembantaian Muslim Serbia, tidak ada penyiksaan Yahudi oleh para pembantai kristen (Holocaust,red), tidak ada ‗troubles‘ di Irlandia bagian utara, tidak ada ‗honour killings‘ (seperti mati syahid dalam islam,red), tidak ada orangorang yang mudah tertipu dengan uang mereka (―Tuhan ingin anda untuk memberi hingga anda menderita‖). Bayangkan tidak ada kelompok Taliban yang meledakkan patung jaman kuno, tidak ada publik yang saling menuduh kesesatan pada yang lain (Pengkafiran,red), tidak ada cambukan pada tubuh wanita karena kesalahannya yang telah mempertunjukkan bagian tubuhnya (membuka aurat,red).



Bersamaan dengan itu, suatu ketika rekan kerja saya, Desmond Morris memberitahu saya bahwa lagu John Lennon kadang-kadang dinyanyikan di Amerika dengan kalimat ‗and no religion too‘ yang telah diedit. Bahkan, salah satu versi lagu tersebut telah dengan lancang diubah menjadi ‗and one religion too‘. Barangkali anda berfikir sikap agnostik (meragukan adanya Tuhan,red) itu adalah suatu posisi yang pantas, tetapi atheisme (anti-Tuhan) itu sama saja, sama dogmatisnya seperti kepercayaan terhadap agama? Jika demikian, saya berharap Bab 2 akan merubah pikiran anda, dengan menunjukkan kepada anda bahwa ‗Hipotesis tentang Tuhan‘ adalah suatu hipotesis ilmiah tentang alam semesta, yang harus diteliti se-skeptis seperti pada penelitian lainnya. Barangkali anda telah diajarkan bahwa para ahli filsafat dan ahli ilmu agama sudah mengemukakan pertimbangan yang baik untuk percaya terhadap Tuhan. Jika anda berpikir demikian, anda sebaiknya mengikuti Bab 3 tentang ‗Argumentasi keberadaan Tuhan‘- argumentasi ini ternyata terbukti secara mengejutkan, sangat lemah. Barangkali anda berpikir bahwa sudah sangat jelas, Tuhan haruslah ada. Jika tidak, bagaimana mungkin tanpa Tuhan, dunia ini bisa menjadi ada?. Bagaimana mungkin tanpa Tuhan, bisa terjadi kehidupan, dengan segala keanekaragamannya yang sangat kaya, dengan tiap-tiap jenis yang terlihat secara hebat, seolah-olah dirancang oleh sesuatu (Tuhan,red)? Jika anda berfikir demikian, Saya berharap anda akan memperoleh pencerahan dari Bab 4, dengan judul ‗Mengapa hampir bisa dipastikan tidak ada Tuhan‘. Alih-alih mencari perancang, ilusi tentang rancangan kehidupan di dunia ini dapat diterangkan dengan hukum ekonomi dan dengan teori seleksi alam Darwinian. Dan, saat teori seleksi alam sangat terbatas untuk menjelaskan dunia yang hidup ini, maka akan membangkitkan kesadaran kita terhadap kemungkinan penjelasan yang komparatif mengenai teori ―keran‖ yang dapat menopang pemahaman kita menyangkut alam semesta. Kekuatan teori ―keran‖, yaitu seleksi alam merupakan poin kedua dari empat pesan-penyadaran yang saya sampaikan. Barangkali anda berpikir tentang keharusan adanya Tuhan atau tuhan-tuhan, sebab ahli antropologi dan sejarawan melaporkan bahwa para penganut agama selalu ada dan mendominasi sepanjang sejarah peradaban manusia. Jika anda menemukan bahwa hal ini sangat meyakinkan, silahkan membaca Bab 5, tentang ‗Akar-akar keyakinan agama‘, yang menjelaskan mengapa kepercayaan (Tuhan,red) selau dapat ditemui di berbagai tempat di dunia ini. Atau apakah anda berpikir kepercayaan agama itu diperlukan bagi kita untuk menuntun moralitas? Bukankah kita memerlukan Tuhan untuk menjadi baik? Silahkan baca Bab 6 dan 7 untuk melihat mengapa hal ini tidak seperti yang kita pikirkan. Apakah anda masih melihat sesuatu yang baik dalam agama untuk memberikan kebaikan bagi dunia, sekalipun anda tidak beriman terhadap hal itu? Bab 8 akan mengajak anda untuk memikirkan bagaimana agama tidak menjadi sesuatu yang baik bagi dunia. Jika anda merasakan terjerat dalam agama pada masa kanak-kanak, hal ini akan menjadi pertanyaan yang berharga bagi diri anda, bagaimana ini bisa terjadi. Jawaban pada umumnya adalah indoktrinasi yang terjadi di masa kanak-kanak anda. Jika anda menjadi sangat religius , hal itu sangat mungkin bahwa agama anda adalah warisan orang tua anda. Jika anda dilahirkan di Arkansas dan berpikir ajaran Kekristenan adalah benar dan Islam salah, maka anda akan berfikir sebaliknya jika anda dilahirkan di Afghanistan, anda menjadi korban indoktrinasi di masa kanakkanak anda. Keseluruhan permasalahan agama dan masa kanak-kanak menjadi pokok bahasan Bab 9, yang juga meliputi pesan-penyadaran ketiga saya. Sama halnya seperti pejuang hak wanita (feminist) tidak dapat menerima, ketika mereka mendengar kata ―He‖ bukannya ―He or She‖, atau ‗ Man‘ bukannya ‗Human‘ (sensitifitas gender dalam kaidah bahasa untuk kata ganti orang,red), saya ingin agar semua orang juga tersentak ketika kita mendengar suatu ungkapan seperti ―anak katolik‖ atau ―anak islam‖. Jika anda mendengar seseorang berbicara tentang ‖anak katolik‖, hentikan mereka dan beritahulah dengan sopan bahwa anak-anak masih terlalu muda untuk menentukan agama mereka, sama halnya mereka masih terlalu muda untuk menentukan posisi mereka dalam perdebatan masalah-masalah ekonomi dan politik. Oleh karena tujuan saya adalah untuk membangkitkan kesadaran kita, maka saya tidak akan segan-segan untuk membahas hal semacam ini dalam Kata pengantar, seperti halnya yang juga saya tulis dalam Bab 9. Jika anda tidak mampu untuk terus mengatakannya, maka saya akan terus mengatakannya. Saya tegaskan bahwa tidak ada istilah ―anak muslim‖, tapi yang ada adalah seorang anak dari orang tua yang muslim. Karena, anak-anak masih terlalu muda untuk mengetahui apakah dia muslim atau tidak. Sama halnya, tidak ada istilah ―anak kristen‖.



Bab 1 dan 10 buku ini menjelaskan, dengan cara berbeda, bagaimana kita dapat merumuskan pemahaman tentang dunia ini -sembari untuk tidak selalu mengait-ngaitkannya dengan agamadapat mendatangkan ide inspiratif bahwa agama secara historis telah menguasai dunia. Pesan-penyadaran saya yang ke empat adalah kebanggan untuk menjadi seorang Atheist. Dengan menjadi Atheist, tidak perlu ada sesuatu yang anda bantah atau anda sesalkan. Sebaliknya, ini adalah sesuatu yang seharusnya anda banggakan, berjalan dengan wajah tegak kedepan, karena pilihan untuk menjadi Atheist merupakan indikasi bagi orang yang memiliki kebebasan berfikir dan, tentu saja, berfikiran sehat. Ada banyak orang-orang menyadari dari nurani terdalam mereka, bahwa mereka sebenarnya adalah seorang Atheist, tetapi mereka takut untuk mengatakannya kepada keluarga mereka atau bahkan, bagi beberapa orang, mereka takut untuk menerima kenyataan itu bagi diri mereka sendiri. Hal ini sebagian (besar) disebabkan oleh kata ―Atheist‖ yang sejak dulu dikenal sangat menakutkan dan mengerikan. Bab 9 mengutip kisah komik dramatis komedian Julia Sweeney tentang penemuan orangtuanya, ketika membaca surat kabar, dan sampai akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang Atheist. Tidak percaya terhadap adanya Tuhan (Atheist) dapat menjadi sebuah pilihan yang dapat diambil!, Atheist..!!! Saya perlu untuk mengatakan pada para pembaca di Amerika, khususnya pada poin ini, religiusitas (semangat beragama,red) yang terjadi di Amerika saat ini menunjukkan tren yang sangat luar biasa. Seorang pengacara, Wendy Kaminer sangat berlebihan ketika mengatakan bahwa memperolok agama merupakan suatu tindakan yang penuh resiko, sama seperti ketika anda membakar bendera Amerika di markas tentara Amerika.1 Menjadi seorang Atheist saat ini di Amerika sama seperti ketika anda menjadi seorang Homoseksual pada 50 tahun yang lalu. Dewasa ini, setelah terjadinya gerakan Gay Pride, Homoseksualitas telah dimungkinkan di Amerika, meskipun masih tidak mudah bagi kaum homoseksual untuk dipilih menduduki jabatanjabatan publik. Suatu polling dilaksanakan oleh Gallup Poll pada tahun 1999, masyarakat Amerika ditanya apakah mereka akan memilih alternatif calon yang berkualifikasi, dari figur ; perempuan (95 persen akan memilih perempuan), seorang yang beragama Katolik Roma ( 94 per sen), Yahudi (92 persen), orang kulit hitam ( 92 per sen), seseorang dari gereja Mormon (79 per sen), homoseks (79 per sen) atau seorang Atheist (49 per sen). Dari polling itu, sangat jelas bahwa jalan perjuangan kita (kaum Atheist,red) masih panjang. Tetapi keberadaan kaum Atheist sebenarnya jauh lebih banyak daripada yang kita sadari, terutama di kalangan kaum elit berpendidikan. Bahkan di Abad ke-19 ini, ketika John Stuart Mill mengatakan: ―Dunia akan sangat dikejutkan jika mengetahui bagaimana proporsi yang sangat agung yang terjadi pada alam ini, yang dikatakan oleh banyak teori-teori terkenal dan bahkan oleh teori-teori populer tentang kebijaksanaan (wisdom) dan kebaikan (virtue), sangat skeptis (meragukan) terhadap eksistensi agama.‖ Kenyataan ini bahkan sangat benar adanya, tentu saja, saya akan menyajikan bukti mengenai kebenaran tersebut pada Bab 3. Alasan dari banyak orang untuk tidak mengatakan bahwa dirinya Atheist adalah karena kebanyakan dari kita masih merasa segan untuk menunjukkan diri. Harapan saya, buku ini dapat membantu orang-orang untuk bangga menunjukkan dirinya sebagai seorang Atheist. Persis seperti kasus gerakan Gay Pride-nya kaum Gay, semakin banyak orang-orang menunjukkan statusnya, maka semakin mudah bagi yang lain untuk mengikuti. Mungkin nanti akan ada kelompok orang-orang kritis yang akan mengawali gerakan ini. Polling-polling yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa jumlah Atheist dan Agnostic jauh melebihi jumlah Yahudi religius, dan bahkan jauh melebihi jumlah hampir semua kelompok religius tertentu. Tidak seperti Yahudi, yang terkenal sebagai salah satu dari kelompok yang lobi-lobi politiknya paling efektif di Amerika Serikat, dan kaum Kristen Evangelis, yang memegang kuasa politik sangat besar, kaum Atheist dan agnostik tidaklah terorganisir dan oleh karena itu hampir tidak memiliki pengaruh apa-apa. Tentu saja, mengorganisir kaum Atheist sama halnya seperti menggembalakan kucing, sebab mereka cenderung untuk berpikir bebas dan tidak akan berkompromi terhadap kekuasaan. Tetapi langkah baik pertama yang harus dilakukan adalah membangun komunitas massa untuk menunjukkan eksistensi diri kaum Atheist (show-up), dengan demikian akan memberikan harapan bagi yang lain untuk juga ikut menunjukkan eksistensinya. Sekalipun kucing-kucing itu tidak bisa digembalakan, namun kucing-kucing dalam jumlah yang cukup, dapat membuat banyak suara gaduh dan mereka tidak bisa diabaikan begitu saja. Kata ―delusion‖ (arti: hayalan,red) pada judul buku ini telah membuat gelisah beberapa psikiater yang sering menggunakan kata ―delusion‖ sebagai istilah teknis dalam ilmu kejiwaan. Tiga diantaranya mengusulkan kepada saya suatu istilah teknis khusus untuk fenomena ―religius delusion‖, yaitu ―relusion‖.2 Barangkali itu sangat cocok.



Tetapi saya masih merasa pas dengan kata ―delusion‖ untuk judul buku ini, dan disini, saya merasa perlu untuk mengungkapkan alasan pemilihan saya terhadap kata ―delusion‖ itu. Kamus Bahasa Inggris, Penguin English Dictionary mendefinisikan kata ―delusion‖ sebagai ―a false belief or impression‖ (arti: kepercayaan yang palsu/salah atau suatu kesan,red). Yang mengejutkan adalah, kutipan ilustratif pada kamus tersebut yang diberikan oleh Phillip E. Johnson: ―Darwinisme (Faham Darwin) merupakan kisah tentang pembebasan ras manusia dari delusion (khayalan,red) yang mengatakan bahwa manusia ditakdirkan untuk dikendalikan oleh sesuatu (Tuhan,red) yang memiliki kekuatan lebih besar dibanding dirinya sendiri.‖ Mungkinkah pengertian tentang ―delusion‖ itu datang dari seorang Phillip E. Johnson, seorang pemimpin ide kaum kreasionis (kreasionis: ajaran kepercayaan tentang Tuhan,red) yang selama ini konsen dalam menyerang faham darwinisme (darwinisme: cikal bakal lahirnya Atheisme,red) di Amerika? Tentu saja tidak diragukan lagi, itu merupakan pengertian yang diberikan oleh Phillip E. Johnson, dan pengertian itu, seperti yang kita kira, diberikan diluar konteks pengertian yang ingin dimaksud. Saya berharap bahwa usaha saya yang telah mencoba memberikan pengertian kata ―delusion‖ dari banyak sumber ini, dapat menjadi catatan tentang alasan saya mengambil judul itu, karena banyak dari literatur tulisan dan kutipan dari para kreasionis mengenai ―delusion‖ ini belum saya dapatkan. Bagaimanapun juga, pengertian yang diberikan oleh Johnson sangat baik untuk saya elaborasi. Kamus dari Microsft Word menggambarkan ―delusion‖ sebagai ―a persistent false belief held in the face of strong contradictory evidence, especially as a symptom of psychiatric disorder‖ (arti: ―suatu kepercayaan yang sangat salah/ palsu yang berlawanan dengan kenyataan yang ada, terutama dapat dikatakan sebagai gejala gangguan jiwa‖,red) . Di satu sisi, dapat dilihat keimanan relijius yang sempurna. Sebagai suatu gejala gangguan jiwa, Saya ingin mengutip pernyataan dari Robert M. Pirsig, pengarang buku Zen and the Art of Motorcycle Maintenance, ketika ia berkata, ―Ketika seseorang yang menderita ―delusion‖ (khayalan,red), maka itu dapat disebut suatu kegilaan. Ketika banyak orang yang menderita ―delusion‖ maka itu disebut Agama.‖ Seandainya buku ini mendapat sambutan sesuai dengan keinginan saya, maka para pembaca religius yang membaca buku ini akan menjadi Atheist ketika mereka selesai membacanya . Sungguh suatu optimisme yang berlebihan! Tentu saja, benar-benar iman telah kebal terhadap berbagai macam argumentasi, perlawanan argumentasi mereka yang di bangun bertahun-tahun berupa indoktrinasi dimasa kanak-kanak telah dilawan dengan menggunakan berbagai cara yang telah ada sejak berabad-abad yang lalu (apakah itu melalui teori evolusi ataupun teori desain) . Di antara alat pengebalan (agar tetap percaya pada adanya Tuhan,red) yang paling efektif adalah suatu peringatan mengerikan untuk menghindari, bahkan untuk sekedar membuka, buku seperti ini, yang jelas bagi mereka merupakan pekerjaan Setan. Tetapi saya percaya ada banyak orangorang yang berpandangan terbuka di luar sana: orang-orang yang indoktrinasi masa kecilnya mengenai agama tidak terlalu dalam, atau untuk beberapa pertimbangan mereka memutuskan untuk tidak beragama, atau orang-orang yang kecerdasan intelektualnya sejak awal tidak menerima indoktrinasi semacam agama. Semangat kebebasan seperti itu hanya memerlukan sedikit motivasi untuk melepaskan diri secara total dari dampak buruk pengaruh agama. Setidaktidaknya, saya berharap agar tak ada satupun orang setelah membaca buku ini, lalu berkata, ―I didn‘t know I could.‖ (arti : ―Aku tidak tau apakah aku mampu untuk melakukannya (keluar dari kepercayaan agama –menjadi Atheist-)‖) Catatan: 1Wendy Kaminer, ‗The last taboo: why America needs atheism‘, New Republic, 14 Oct. 1996; http://www.positiveatheism.org/writ/kaminer.htm. 2Dr Zoe Hawkins, Dr Beata Adams and Dr Paul St John Smith, personal communication. *Bootleg copies are being downloaded from numerous US websites. Negotiations are under way for legitimate DVDs to be marketed. At the time of going to press these negotiations are incomplete – updates will be posted at http://www.richarddawkins.net. ---------------------------



The God Delusion - Hipotesa-Hipotesa Tentang Tuhan - Terjemahan Bahasa Indonesia Tuhan Perjanjian Lama mungkin merupakan tokoh yg paling tdk menyenangkan dlmsemua pencemburu & angkuh; suatu sosok yg picik, tidak adil, &tak pemaaf; pembasmi etnis yg darah dan pendendam; suatu sosok penindasyang misoginistik, homofobik, rasis, pembunuh pembantai, pembunuh anaksendiri, penyebar penyakit, megalomaniak, sadomasokistik, pendengki.



fiksi: haus bayi, serta



Sebagian dari kita yg dididik mulai dari masa kecil untuk menerima sifat-sifattersebut bisa menjadi tidak sensitif terhadap semua horor itu. Seseorang ygnaïf dengan pandangan yg polos memiliki persepsi yg lebih jelas. Anak laki-lakiWinston Churchill, Randolph, berusaha untuk tetap mengabaikan kitab suci sampaiEvelyn Waugh dan seorang petugas, dalam suatu usaha sia-sia untuk membuatChurchill tetap diam ketika mereka ditempatkan bersama selama masa perang, bertaruh bahwa ia tidak bisa membaca seluruh Bibel dalam dua minggu: ―Sayangnya, itu tidak memunculkan hasil yg kita harapkan. Ia sama sekali tidak pernah membacanya sebelumnya, dan sangat merasa ngeri dan terpukau; Ia terus membaca berbagai kutipan keras-keras ―Kukatakan, aku bertaruh kau tidak tahuini ada dalam Bibel . . . .‖, atau menepuk-nepuk pinggangnya dan kemudian terkekeh ―Tuhan, bukankah Tuhan itu tai kucing!‖ Thomas Jefferson – yangmembaca dengan lebih baik – memiliki opini yang serupa: ―Tuhan Kristen merupakan suatu sosok dengan watak yang mengerikan—kejam, pendendam, plin-plandan tidak adil.‖ Tidak fair menyerang sebuah target yang sedemikian mudah. Hipotesa Tuhan hendaknya tidak disejajarkan atau disamakan dengan penggambarannya yang paling tidak menyenangkan, Yahweh, ataupun lawan hambarnya dalam rupa Kristen, ―Yesus yang halus dan lemah lembut‖. (Jika mau jujur, persona orang-lembek ini lebih dipengaruhi oleh para pengikut Victoriannya ketimbang Yesus sendiri. Bisakah sesuatu lebih memuakkan dibanding ungkapan Mrs C. F. Alexander ―Semua anak-anak Kristen harus / Lembut, taat, baik seperti dia‖?) Saya tidak sedang menyerang sifat-sifat tertentu dari Yahweh, atau Yesus, atau Allah, atau tuhan yang lain seperti Baal, Zeus, atau Wotan. Sebaliknya saya akan mendefinisikan HipotesaTuhan secara lebih gamblang: ada sebuah manusia-super, suatu inteligensiasupernatural yg secara sadar merancang & menciptakan alam semesta dansegala sesuatu yg ada di dalamnya, termasuk kita. Buku ini akan mendukung suatu pandangan alternatif: inteligensia kreatif apa pun, dengan kompleksitas yang memadai untuk merancang semua hal, ada hanya sebagai hasil akhir dari suatuproses evolusi bertahap yang diperluas. Inteligensia-inteligensia kreatif, karena berkembang, niscaya muncul belakangan di alam semesta, dan oleh karena itu tidak mungkin bertanggung jawab merancangnya. Tuhan, dalam pengertian yang didefinisikan tersebut, merupakan suatu khayalan; dan, sebagaimana yang akan diperlihatkan bab-bab selanjutnya, suatu angan-angan yang merusak. Tidak mengejutkan, karena ia didasarkan pada tradisi-tradisi lokal pewahyuanpribadi & bukan pada bukti-bukti, Hipotesa Tuhan tersebut muncul dalambanyak versi. Para sejarahwan agama melihat adanya progresi dari animismekesukuan primitif, lalu menjadi politheisme seperti yg ada pada bangsa Yunani,Romawi, dan Norsemen, dan kemudian monotheisme seperti pada agama Yahudi danturunan-turunannya, agama Kristen & Islam.



Politheisme Tidak jelas mengapa perubahan dari politheisme menjadi monotheisme dianggap sebagai suatu perkembangan yang jelas progresif. Namun asumsi itulah yang umum diterima—suatu asumsi yang memancing Ibn Warraq (penulis buku Why I Am Not aMuslim) untuk dengan kocak menebak bahwa monotheisme nantinya dikutuk untuk mengurangi satu tuhan lagi dan menjadi atheisme. Catholic Encyclopedia menolak politheisme & atheisme dalam satu tarikan dangkal yang sama: ―Atheisme dogmatik formal menyangkal-diri sendiri, dan secara de facto tidak pernah mendapatkan persetujuan rasional dari sejumlah besar manusia. Demikian juga politheisme, betapa pun mudahnya ia menguasai imajinasi populer, tdk pernah memuaskan akal-budi seorang filosof.‖ Chauvinisme monotheistik hingga belakangan ini tertulis di dalam undang-undang derma (charity law) di Inggris maupun Skotlandia. Undang-undang ini mendiskriminasi agama-agama politheistik dalam status bebas-pajak, memberi-kemudahan pada yayasan-yayasan derma yang tujuannya adalah memajukan agamamonotheistik, & memberi pengecualian pada yayasan-yayasan tersebut terhadap pemeriksaan ketat yang diwajibkan pada yayasan-yayasan sekular. Ambisi saya adalah meyakinkan anggota komunitas Hindu Inggris yang terhormat untuk maju & menggelar aksi sipil untuk menguji diskriminasi terhadap politheisme yang angkuh tersebut. Tentu saja yang jauh lebih baik adalah meninggalkan sama sekali promosi agama sebagai dasardasar status kedermawanan. Berbagai keuntungan dari hal ini bagi masyarakat akan sangat besar, khususnya di Amerika Serikat, di mana jumlah uang bebas-pajak yang disesap oleh gereja-gereja, dan semakin memperkaya paratelevangelis yang telah kaya raya, mencapai tingkat yang cukup bisa digambarkan sebagai keterlaluan.



Oral Roberts, yang namanya dengan jitu menggambarkannya, pernah berkata kepada audiens televisinya bahwa Tuhan akan membunuhnya kecuali jika mereka memberinya uang 8 juta dolar. Hampir tak dapat dipercaya, hal itu berjalan dengan baik. Bebas-pajak! Roberts sendiri masih menjadi semakin kuat, demikian juga ―Oral Roberts University‖ di Tulsa, Oklahoma. Bangunanbangunannya, yang bernilai 250 juta dolar, secara langsung diberkahi oleh Tuhan sendiri dalam kata-kata berikut: ―Didiklah para pelajarmu untuk mendengar suara-Ku, untuk mengunjungi tempat di mana cahaya-Ku redup, di mana suara-Ku tak begitu terdengar, dan kemampuan-Ku untuk menyembuhkan tidak diketahui, meskipun sampai ke ujung Dunia. Kerja mereka akan melampaui kerjamu,dan dalam hal ini Aku sangat senang.‖ Jika dipikirkan kembali, orang Hindu yang mengajukan tuntutan hukum yang saya bayangkan tersebut akan sangat mungkin memainkan kartu ―Jika anda tidak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka.‖ Politheismenya tidak sungguh-sungguh merupakan politheisme, melainkan monotheisme terselubung. Hanya ada satu Tuhan—Dewa Brahma sang pencipta; Dewa Wisnu sang pemelihara, Dewa Shiwa sang penghancur, dan dewi-dewi seperti Saraswati, Laksmi, dan Parwati (istri Brahma, Wisnu, dan Shiwa), Ganesha sang Dewa gajah, dan ratusan dewa yang lain, semuanya hanyalah pengejawantahan atau inkarnasi yang berbeda dari satu Tuhan tersebut. Orang-orang Kristen akan sangat senang dengan cara berpikir yang tidak masuk-akal tersebut. Sungai-sungai tinta, untuk tidak menyebut darah, Abad Pertengahan mengalir dengan sia-sia karena ‗misteri‘ Trinitas, dan dalam menindas berbagai penyimpangan seperti bid‘ah Arian. Arius of Alexandria, pada abad keempat Masehi, menyangkal bahwa Yesus con-substansial (yakni memiliki-substansi atau esensi yang sama) dengan Tuhan. Apa gerangan maksud istilah itu? Demikian mungkin anda bertanya. Substansi? ―Substansi‖ apa? Apa sesungguhnya yang anda maksud dengan ―substansi‖? ―Sangat sedikit‖ tampaknya merupakan satu-satunya jawaban yang paling masuk akal. Namun kontroversi itu memecah Kekristenan selama satu abad, dan Kaisar Konstantin memerintahkan bahwa semua salinan buku Arius tersebut harus dibakar. Kekristenan yang pecah karena perselisihan yang remeh-temeh—seperti itulah yang terjadi pada teologi. Apakah kita memiliki satu Tuhan dalam tiga bagian, atau tiga Tuhan dalam satu? Catholic Encyclopedia menjelaskan masalah tersebut pada kita, dalam sebuah karya besar pemikiran teologis: Dalam kesatuan yang Ilahiah tersebut terdapat tiga Persona, sang Bapa, sangAnak, dan Ruh Kudus, Ketiga Persona ini sama sekali terpisah satu sama lain.Dengan demikian, dalam kata-kata Kredo Athanasian: ―sang Bapa adalah Tuhan,sang Anak adalah Tuhan, dan Ruh Kudus adalah Tuhan; dan meskipun demikian tidakada tiga Tuhan melainkan satu Tuhan.‖ Seolah-olah kutipan itu tidak cukup jelas, Encyclopedia tersebut mengutipseorang teolog abad ketiga, St Gregory the Miracle Worker: Karena itu tidak ada yang diciptakan, tak ada yang tunduk pada yang lain dalamTrinitas tersebut: juga tidak ada sesuatu yang ditambahkan seolah-olah hal itusebelumnya pernah tidak ada, dan baru muncul kemudian: oleh karena itu sang Bapa tidak pernah tanpa sang Anak, demikian juga sang Anak tanpa Ruh Kudus: danTrinitas yang sama ini tetap dan tak dapat diubah selamanya. Mukjizat-mukjizat apa pun yang membuat St Gregory mengenakan nama itu, semua itu bukan mukjizat jernih yg jujur. Kata-katanya secara khas mengandung citarasa teologi yang obskurantis, yang—tidak seperti sains atau sebagian besar cabang ilmu pengetahuan manusia yang lain—tidak mengalami kemajuan sejak abad kedelapan belas. Thomas Jefferson, sebagaimana biasa, benar ketika iamengatakan, “Menertawakan adalah satu-satunya senjata yang dapat digunakan untuk melawan proposisi-proposisi yang tak dapat dipahami. Gagasan-gagasanharuslah jelas sebelum akal budi dapat memahaminya; dan tak seorang pun yang memiliki suatu gagasan yang jelas menyangkut trinitas tersebut. Ia sekadar Abracadabra para penipu yang menyebut diri mereka para pendeta Yesus.” Hal lain yang tidak dapat tidak saya kemukakan adalah rasa percaya diri yangberlebihan dan congkak yang dengan itu agama menegaskan berbagai detail kecilyang mana mereka tidak memiliki, atau tidak mungkin memiliki, bukti-bukti.



Mungkin kenyataan gamblang bahwa tidak ada bukti-bukti untuk mendukung berbagai opini teologis itulah yang mendorong permusuhan yang begitu keras terhadap mereka yang memiliki opini yang sedikit berbeda, khususnya sebagaimana yang terjadi dalam bidang Trinitarianisme ini. Jefferson menertawakan doktrin bahwa, sebagaimana yang ia kemukakan, ―Ada tiga Tuhan‖, dalam kritiknya atas Calvinisme. Namun terutama cabang agama Kristen-Katolik Roma-lah yang mendorong percumbuannya yang terus-menerus dengan politheisme. Trinitas tersebut ditambah dengan Maria, ―Ratu Surga‖, seorang dewi, yang jelas berperan sebagai Tuhan, target doa berikutnya. Kumpulan dewa-dewa tersebut semakin diperbesar oleh sekelompok santa, yang kekuatan perantaranya menjadikan mereka, jika bukan manusia setengah dewa, layak didekati karena berbagai kekhususan mereka. Forum Komunitas Katolik dengan cermat mendaftar 5.120 santa, dengan berbagai bidang keahlian mereka, yang mencakup penyakit perut, korban penyiksaan, anoreksia, pembagi senjata, pandai-besi, patah tulang, teknisi bom, dan penyakit anus, untuk menyebut yang tidak lebih dari Bs. Dan kita tidak boleh melupakan keempat Choirs of Angelic Hosts, yang disusun dalam sembilan tatanan: Seraphim, Cherubim, Thrones, Dominions, Virtues, Powers, Principalities, Archangels (kepala semua kumpulan), dan Malaikat-Malaikat biasa, termasuk sahabat-sahabat terdekat kita, Para Malaikat Pelindung yang terus mengawasi. Apa yang sangat menarik bagi saya menyangkut mithologi Katolik sebagian adalah kitsch-nya yang hambar, dan terutama keteledorannya yang begitu jelas saat orang-orang ini membuat detail-detail. Ia diciptakan dengan sembrono. Paus John Paul II menciptakan lebih banyak santa dibanding semua pendahulunya dalam beberapa abad terakhir digabungkan, dan ia memiliki ketertarikan khusus pada sang Perawan Maria. Keinginan-keinginan politheistiknya secara dramatis diperlihatkan pada 1981 ketika ia mengalami percobaan pembunuhan di Roma, dan menganggap bahwa ia selamat karena campurtangan Our Lady of Fatima: ―Sebuah tangan ibu mengarahkan peluru itu.‖ Orang tidak bisa tidak akan bertanya mengapa Ia tidak membuat peluru itu meleset darinya. Yang lain mungkin berpikir bahwa tim ahli bedah yang telah mengoperasi dia selama enam jam layak mendapatkan sebagian pujian itu; namun mungkin tangan-tangan mereka juga dituntun oleh sang Ibu itu. Poin yang relevan adalah bahwa dalam pandangan Paus tersebut bukan hanya Our Lady yang mengarahkan peluru itu, namun lebih khusus:Our Lady of Fatima. Mungkin Our Lady of Lourdes, Our Lady of Guadalupe, OurLady of Medjugorje, Our Lady of Akita, Our Lady of Zeitoun, Our Lady ofGarabandal, dan Our Lady of Knock sedang sibuk dgn urusan-urusan lain saat itu. Bagaimana bangsa Yunani, Romawi, dan Viking menghadapi rangkaian teka-teki politheologis semacam itu? Apakah Venus hanya merupakan nama lain bagi Afrodite, atau apakah mereka berdua dewi-dewi cinta yang berbeda? Apakah Thor dengan godamnya merupakan perwujudan Wotan, atau suatu dewa yang berbeda? Siapa yang peduli? Hidup terlalu pendek untuk disibukkan dengan distingsi antara satu figmen imajunasi dan banyak figmen yang lain. Setelah melangkah ke politheisme untuk melindungi diri saya dari tuduhan pengabaian, saya tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang hal itu. Agar singkat, saya akan mengacu semua entitas ilahiah tersebut, apakah itu politheistik ataupun monotheistik, hanya sebagai―Tuhan.‖ Saya juga sadar bahwa Tuhan Abrahamik (untuk mengatakannya dengan halus) sangat laki-laki, dan ini juga akan saya terima sebagai suatu konvensi dalam penggunaan kata-ganti. Para teolog yang lebih cerdas mengumumkan Tuhan yang tidak berjenis kelamin, sementara beberapa teolog feminis berusaha untuk menebus berbagai ketidak-adilan sejarah dengan merujuknya sebagai perempuan. Namun bagaimanapun, apa perbedaan antara perempuan yang tak-nyata dan laki-laki yang tak-nyata? Saya menduga bahwa, dalam persilangan tak-nyata antara teologi dan feminisme tersebut, eksistensi mungkin memang merupakan atribut yang kurang utama dibanding gender. Saya sadar bahwa para kritikus agama bisa diserang karena gagal untuk mempertimbangkan keaneka-ragaman tradisi dan pandangan dunia yang sedemikian kaya yang disebut religius.



Berbagai karya yang bersifat antropologis, mulai dari buku Sir James Frazer yang berjudul Golden Bough hingga Religion Explained karya Pascal Boyer atau In Gods We Trust karya Scott Atran, secara mengagumkan mendokumentasikan fenomenologi khayalan dan ritual yang aneh tersebut. Bacabuku-buku itu dan anda akan terkesan dengan betapa kayanya kenaifan manusia. Namun bukan itu yang akan dikaji buku ini. Saya mencela supernaturalisme dalam semua bentuknya, dan cara yang paling efektif untuk menangani itu semua adalah dengan berkonsentrasi pada suatu bentuk yang paling akrab dengan para pembaca saya—suatu bentuk memiliki pengaruh yang paling membahayakan pada semua masyarakat kita. Sebagian besar pembaca saya telah dibesarkan dalam salah satudari tiga agama monotheistik ―besar‖ zaman ini (empat jika anda memasukkan Mormonisme), yang semuanya memiliki asal usul pada kepala keluarga mitologis Ibrahim, dan akan bermanfaat untuk terus mengingat rumpun tradisi ini dalam semua bagian berikutnya dari buku ini. Ini adalah saat yang baik untuk mencegah suatu tanggapan balik yang tak-terelakkan terhadap buku ini, suatu tanggapan yang dapat dipastikan—sepasti malam setelah siang—akan muncul dalam suatu resensi: ―Tuhan yang tidak diyakini Dawkins adalah suatu Tuhan yang juga tidak saya percayai. Saya tidak percaya pada sesosok orang tua berjenggot putih panjang di langit ‖ Orang tua semacam itu merupakan suatu gangguan yang tidak relevan dan jenggotnya sedemikianmembosankan karena panjang. Jelas, gangguan itu lebih buruk ketimbang sekadar tidak relevan. Kedunguannya akan mengalihkan perhatian dari kenyataan bahwa apayg sungguhsungguh diyakini si pengucap tersebut tidak kurang dungunya. Saya tahu anda tidak percaya pada sesosok orang tua berjenggot yang duduk di atasawan, jadi mari kita tidak membuang-buang waktu lagi untuk membahas hal itu. Saya tidak sedang menyerang suatu versi Tuhan atau tuhantuhan tertentu. Saya sedang menyerang Tuhan, semua tuhan, apa pun dan semua hal yang supernatural, dimana pun dan kapan pun mereka telah atau akan diciptakan.



Monotheisme Agama tertua dari ketiga agama Ibrahimi tersebut, dan leluhur nyata dari kedua agama yang lain, adalah agama Yahudi: pada mulanya adalah suatu kultus kesukuan terhadap satu Tuhan yang sangat tidak menyenangkan, yang sangat terobsesi dengan berbagai pengekangan seksual, dengan aroma daging hangus, dengan superioritasnya sendiri atas tuhan-tuhan tandingan yang lain, dan dengan keeksklusifan suku padang pasir terpilihnya. Selama pendudukan Romawi atas Palestina, agama Kristen didirikan oleh Paul of Tarsus sebagai sebuah sekte Yudaisme monoteistik yang tidak begitu kejam dan tidak begitu eksklusif, yang memandang ke luar dari kaum Yahudi tersebut ke kaum-kaum lain di dunia. Beberapa abad kemudian, Muhammad dan para pengikutnya kembali pada monotheisme Yahudi awal yang begitu kaku, namun dengan meninggalkan keeksklusifannya, dan mendirikan Islam berdasarkan sebuah buku suci baru, Qur‘an, yang memberikan suatu ideologi penaklukan militer yang begitu kuat untuk menyebarkan keyakinan. Agama Kristen juga disebarkan dengan pedang: pertama kali dihunus oleh tangantangan orang Romawi setelah Kaisar Konstantinus menaikkan derajatnya dari kultus yang eksentrik menjadi agama resmi, kemudian oleh para tentara Perang Salib, dan kemudian oleh conquistadores, dan kemudian oleh para penyerbu dan penjajah Eropa, dengan tujuan misionaris. Untuk keperluan saya, ketiga agama Ibrahimi tersebut bisa diperlakukan secara sama. Kecuali jika ada penyebutan lain, apa yang ada dalam pikiran saya adalah agama Kristen, namun hanya karena agama ini adalah sebuah versi yang kebetulan paling saya akrabi. Untuk keperluan saya, perbedaan-perbedaan ketiganya kurang begitu penting dibanding berbagai-kesamaan. Dan saya sama sekali tidak tertarik dengan agama-agama lain seperti Budhisme atau Confusianisme. Memang, ada sesuatu yang perlu dikemukakan karena memperlakukan kepercayaan-kepercayaan lain ini bukan sebagai agama melainkan sebagai sistem-sistem etis atau filsafat kehidupan. Definisi sederhana dari Hipotesa Tuhan yang menjadi pijakan saya harus diuraikan lebih luas jika ia ingin mencakup Tuhan Ibrahimi. Ia tidak hanya menciptakan dunia; ia adalah sebuah Tuhan personal yang tinggal di dalamnya, atau mungkin di luarnya (apa pun maknanya hal ini), yang memiliki kualitas-kualitas manusiawi yang tidak menyenangkan yang telah saya sebutkan. Kualitas-kualitas personal, apakah itu menyenangkan atau tidak menyenangkan, sama sekali tidak membentuk tuhan deis dari Voltaire dan Thomas Paine.



Dibandingkan dengan pengacau psikotik Perjanjian Lama, Tuhan deis zaman Pencerahan abad kedelapan belas merupakan suatu zat yang lebih besar: menghargai kreasi kosmiknya, tidak begitu peduli dengan urusan-urusan manusia,sangat jauh dari pikiran-pikiran dan harapanharapan kita, tidak peduli padasengkarut dosa atau perasaan bersalah kita. Tuhan deis adalah suatu ahli fisika yang mengakhiri semua fisika, alpha dan omega para ahli matematika, apotheosispara desainer; suatu hiper-insinyur yang merancang hukum-hukum dan konstanta-konstanta alam semesta, memastikan mereka dengan ketepatan dan ramalan yang luar biasa, meledakkan apa yang sekarang ini kita sebut sebagai dentuman besar yang panas, beristirahat dan tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Di masa-masa di mana keyakinan yang lebih kuat, kaum deis dicaci-maki sebagai kaum yang tidak berbeda dari kaum atheis. Susan Jacoby, dalam Freethinkers: AHistory of American Secularism, mendaftar suatu kumpulan pilihan julukan yang diberikan kepada Tom Paine yang malang: ―Yudas, reptil, babi, anjing gila, orang mabuk, kutu, binatang buas, orang yang kejam, pembohong, dan, tentu saja, kafir.‖ Paine meninggal dalam keadaan yang sangat miskin, ditinggalkan (kecuali oleh Jefferson) oleh mantan teman-teman politiknya yang merasa malu karena padangan-pandangan anti-Kristennya. Sekarang ini, pandangan tersebut telah bergeser sedemikian jauh sehingga kaum deis lebih mungkin dikontraskan dengan kaum atheis dan disatukan dengan kaum theis. Bagaimanapun, mereka percaya pada suatu inteligensia agung yang menciptakan alam semesta.



Sekularisme, Para Pendiri dan Agama Amerika Merupakan suatu hal yang sangat umum untuk mengasumsikan bahwa Para Pendiri Republik Amerika adalah orang-orang deis. Memang banyak dari mereka adalah Deis, meskipun juga dikatakan bahwa yang terbesar dari mereka mungkin adalah orang-orang atheis. Jelas tulisantulisan mereka tentang agama di masa mereka membuat saya merasa pasti bahwa sebagian besar dari mereka adalah orang-orang atheis. Namun apa pun pandangan keagamaan individual mereka di masa mereka sendiri, satu hal yang bisa digunakan untuk menyebut mereka semua adalah kaum sekularis, dan inilah topik yang saya bahas dalam bagian ini. Saya mulai dengan sebuah kutipan—yang mungkin mengejutkan—dari Senator Barry Goldwater pada 1981, yang dengan jelas memperlihatkan betapa kukuhnya kandidat presiden dan pahlawan konservatisme Amerika tersebut memegang tradisi sekular pendirian Republik tersebut: Tidak ada sikap di mana orang-orang sedemikian tidak bisa diubah sebagaimana dalam keyakinan-keyakinan keagamaan mereka. Tidak ada sekutu yang lebih kuat yang dapat diklaim seseorang dalam suatu perdebatan dibanding Yesus Kristus, atau Tuhan, atau Allah, atau apa pun orang menyebut zat ilahiah ini. Namun seperti setiap senjata yang kuat, penggunaan nama Tuhan di pihak seseorang tersebut harus digunakan secara hati-hati dan hemat. Faksi-faksi keagamaan yang tumbuh di seluruh tanah kita tidak menggunakan kekuatan keagamaan mereka dengan bijaksana. Mereka mencoba memaksa para pemimpin pemerintahan untuk mengikuti pendirian mereka 100 persen. Jika anda berselisih dengan kelompok-kelompok keagamaan ini menyangkut satu isu moral tertentu, mereka mengeluh, mereka mengancam anda dengan hilangnya kekayaan atau suara atau keduanya. Sejujurnya saya muak dan lelah dengan para pengkhotbah politik di seluruh negeri ini yang menceramahi saya sebagai seorang warga negara bahwa jika saya ingin menjadi seseorang yang bermoral, saya harus percaya pada A, B, C, dan D. Mereka pikir mereka itu siapa? Dan dari mana mereka menganggap memiliki hak untuk menceramahkan keyakinankeyakinan moral mereka kepada saya? Dan sebagai pembuat undang-undang saya bahkan lebih marah karena harus mengalami berbagai ancaman dari setiap kelompok keagamaan yang menganggap memiliki hak dari-Tuhan untuk mengontrol suara saya dalam setiap rapat rutin di Senat. Sekarang saya memperingatkan mereka: Saya akan melawan mereka dengan seluruh kemampuan saya jika mereka mencoba mencekokkan keyakinan-keyakinan moral mereka kepada semua orang Amerika atas nama konservatisme. Pandangan-pandangan keagamaan Para Bapak Pendiri tersebut sangat menarik bagi kaum propagandis kanan Amerika sekarang ini, yang sangat ingin mengajukan versi sejarah mereka.



Bertolak belakang dengan pandangan mereka, kenyataan bahwa Amerika Serikat tidak didirikan sebagai sebuah negara Kristen telah dinyatakan dalam syarat-syarat perjanjian dengan Tripoli, yang dirancang pada 1796 oleh George Washington dan di tandatangani oleh John Adams pada 1797: Karena Pemerintah Amerika Serikat tidak, dalam pengertian apa pun, didirikan dengan dasar agama Kristen; karena ia pada dirinya sendiri tidak memiliki watak permusuhan terhadap hukum, agama, atau kesentosaan, orang-orang Muslim; dan karena Amerika Serikat tidak pernah masuk ke dalam suatu peperangan atau tindak permusuhan dengan negara pengikut Muhammad, dinyatakan oleh pihak-pihak- tersebut bahwa tidak ada dalih yang muncul dari opini-opini keagamaan yang akan menghasilkan suatu gangguan terhadap harmoni yang ada di antara kedua negeri tersebut. Kata-kata pembuka dari kutipan ini akan menyebabkan kegemparan dalam kekuasaan Washington sekarang ini. Namun Ed Buckner telah memperlihatkan dengan meyakinkan bahwa semua itu sama sekali tidak menyebabkan perselisihan di masaitu, baik di kalangan para politisi ataupun publik. Suatu paradoks sering kali terlihat bahwa Amerika Serikat, yang didirikan dalam sekularisme, sekarang ini merupakan negeri yang paling religius dalam Kekristenan, sementara Inggris, dengan sebuah gereja resmi yang dipimpin oleh raja konstitusionalnya, merupakan salah satu negeri yang paling kurang religius. Saya terus menerus bertanya mengapa ini bisa terjadi, dan saya tidaktahu. Saya menganggap bahwa sangat mungkin bahwa Inggris lelah dengan agama setelah suatu sejarah kekerasan antar-keyakinan yang begitu mengerikan, di manakaum Protestan dan Katolik silih berganti memegang kekuasaan dan secara sistematis membunuh banyak pihak lain. Pendapat lain didasarkan pada pengamatan bahwa Amerika adalah sebuah negeri para imigran. Seorang kolega menyatakan pada saya bahwa para imigran tersebut, yang tercerabut dari stabilitas dan kenyamanan suatu keluarga besar di Eropa, mungkin menganggap gereja sebagai suatu jenis pengganti keluarga di tanah asing itu. Ini adalah suatu gagasanyang menarik, yang layak diselidiki lebih jauh. Tidak diragukan bahwa banyakwarga Amerika menganggap gereja lokal mereka sendiri sebagai suatu unitidentitas yang penting, yang memang memiliki beberapa ciri keluarga besar. Hipotesa yang lain adalah bahwa religiusitas Amerika tersebut secara paradoksbersumber dari sekularisme konstitusinya. Tepat karena Amerika secara hukumsekular, agama menjadi suatu kegiatan yang bebas. Berbagai gereja bersaing untuk mendapatkan jemaah—dan juga untuk sumbangan besar yang mereka berikan—dan persaingan tersebut dijalankan dengan teknik-teknik pemasaran yang sangat agresif di pasar. Apa yang berlaku untuk jonjot sabun berlaku untuk Tuhan, dan hasilnya adalah sesuatu yang mendekati mania keagamaan di kalangan kelas-kelas yang kurang terdidik sekarang ini. Di Inggris, sebaliknya, agama di bawah perlindungan gereja resmi menjadi tidak lebih dari sekadar masa lalu sosial yang menyenangkan, yang hampir tidak dianggap sebagai religius sama sekali. Tradisi Inggris ini diungkapkan dengan baik oleh Giles Fraser, seorang vikaris Anglikan yang merangkap sebagai seorang pengajar filsafat di Oxford, yang menulis dalam Guardian. Artikel Fraser berjudul ―Peresmian Gereja Inggris mencerabut Tuhan dari agama, namun terdapat berbagai risiko dalam suatu pendekatan terhadap keyakinan yang lebih keras‖: Ada suatu masa ketika vikaris negeri ini merupakan suatu unsur utama para aktor-drama Inggris. Sosok peminum teh yang eksentrik ini, dengan sepatunya yangmengkilap dan perilakunya yang sopan, menyajikan suatu jenis agama yang tidak-membuat orang-orang yang non-religius tidak nyaman. Ia tidak akan memunculkan kecemasan atau menekan anda ke sebuah tembok dan bertanya apakah anda selamat, apalagi mengoarkan perang dari atas mimbar atau menanam ranjau jalan atas nama suatu kekuasaan yang lebih tinggi. Fraser kemudian melanjutkan dengan berkata bahwa ―vikaris negeri yang baik tersebut sebenarnya melindungi sebagian besar masyarakat Inggris terhadap agama Kristen.‖ Ia mengakhiri artikelnya dengan meratapi kecenderungan terbaru dalam Gereja Inggris yang kembali menangani agama secara serius, dan kalimat terakhirnya adalah sebuah peringatan: ―Apa yang mencemaskan adalah bahwa kita mungkin melepaskan jin fanatisisme keagamaan Inggris dari kotak kekuasaan resmi di mana ia tidur selama berabad-abad.‖



Jin fanatisisme keagamaan tersebut sangat tersebar luas di Amerika sekarangini, dan Para Bapak Pendiri tersebut sangat mencemaskannya. Apakah meyakini paradoks tersebut dan menyalahkan konstitusi sekular yang mereka rancangmerupakan sesuatu yang benar atau tidak, para pendiri bangsa tersebut sangat jelas merupakan kaum sekularis yang sangat ingin menjarakkan agama dari politik, dan hal itu cukup untuk menempatkan mereka secara kuat di pihak orang-orang yang menolak, misalnya, pemajangan Sepuluh Perintah Tuhan ditempat-tempat publik milik pemerintah. Namun menarik untuk berspekulasi bahwa paling tidak beberapa dari Para Pendiri tersebut mungkin telah bergerak melampau ideisme. Mungkinkah mereka adalah kaum agnostik atau bahkan sepenuhnya atheis? Pernyataan Jefferson berikut ini tak dapat dibedakan dari apa yang sekarangakan kita sebut sebagai agnostisisme: Berbicara tentang eksistensi-eksistensi imateriil berarti berbicara tentang omong-kosong. Mengatakan bahwa jiwa manusia, para malaikat, serta tuhan, adalah imateriil, berarti mengatakan bahwa mereka bukan apa-apa, atau bahwa tidak ada tuhan, tidak ada malaikat, tidak ada jiwa. Saya tidak dapat memikirkan yang sebaliknya. . . . tanpa terjerumus ke dalam jurang mimpi dan fantasi yang tak berdasar. Saya puas, dan cukup asyik dengan hal-hal sebagaimana adanya, tanpa menyiksa atau menyusahkan diri saya dengan apa hal-hal yang mungkin ada, namun yang tidak saya punyai buktinya. Christopher Hitchens, dalam biografinya yang berjudul Thomas Jefferson: Author of America, berpikir bahwa sangat mungkin Jefferson itu seorang atheis, bahkan di masanya sendiri ketika hal itu jauh lebih sulit: Tentang apakah dia adalah seorang atheis, kita harus menahan penilaian karena kebijaksanaan yang ingin ia selidiki selama kehidupan politiknya. Namun karena ia telah menulis surat kepada keponakannya, Peter Carr, pada awal 1787, seseorang tidak boleh takut untuk melakukan penyelidikan ini karena kecemasan akan konsekuensi-konsekuensinya. ―Jika hal ini berakhir dalam keyakinan bahwa tidak ada Tuhan, kamu akan menemukan berbagai dorongan ke arah kebijaksanaan dalam kenyamanan dan kesenangan yang kamu rasakan dalam usaha ini, dan cinta orang-orang lain yang akan menjangkaumu.‖ Saya menemukan nasihat Jefferson berikut ini, sekali lagi dalam suratnya kepada Peter Carr: Hilangkan semua ketakutan akan prasangka-prasangka yang merendahkan diri sendiri, yang di dalamnya pikiran-pikiran yang lemah mendekam. Tempatkanlah akal budi secara kukuh di kursinya, dan mintalah pertimbangannya untuk setiap kenyataan, setiap opini. Pertanyakanlah dengan tegas, bahkan menyangkut persoalan eksistensi Tuhan; karena jika memang ada, ia pasti lebih menyetujui penghormatan kepada akal-budi ketimbang pada ketakutan yang membabi-buta. Pernyataan-pernyataan Jefferson seperti ―Agama Kristen merupakan suatu sistem yang paling menyesatkan yang pernah bersinar pada manusia‖ dapat dihubungkandengan deisme, namun juga bisa dengan atheisme. Demikian juga anti-klericalisme James Madison yang demikian kuat: ―Selama hampir lima belas abad kekuasaan legal Kristianitas dicoba diterapkan. Apa saja yang dihasilkannya? Kurang lebih, di semua tempat, kebanggaan dan kelambanan di kalangan para pendeta; kebodohan dan ketaatan yang berlebihan di kalangan masyarakat awam; dan takhayul, kefanatikan, dan kekejaman di kalangan keduanya.‖ Hal yang sama dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan pernyataan Benjamin Franklin: ―Mercusuar lebih bermanfaat ketimbang gereja‖, dan pernyataan John Adams: ―Dunia ini merupakan dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin, jika tidak ada agama didalamnya.‖ Adams menyemburkan kemarahan yang sangat enak didengar khususnya terhadap Agama Kristen: ―Agama Kristen sebagaimana yang saya pahami adalah suatu pewahyuan. Namun bagaimana bisa terjadi bahwa jutaan fabel, cerita, legenda, dicampurkan dengan pewahyuan Yahudi dan Kristen sehingga menjadikan mereka agama yang paling berdarah yang pernah ada?‖ Dan dalam sebuah surat yang lain, kali ini kepada Jefferson, ‖Saya bergetar dan merasa jijik memikirkan contoh penyalah-gunaan kesedihan yang paling fatal yang telah dipelihara oleh sejarah kemanusiaan—Salib. Pikirkan malapetaka-malapetaka besar apa yang telah dihasilkan mesin dukacita tersebut!‖



Terlepas dari apakah Jefferson dan para koleganya adalah kaum theis, deis, agnostik, atau atheis, mereka juga merupakan kaum sekularis yang begitu kuat yang percaya bahwa opini-opini keagamaan seorang Presiden—atau tidak adanya opini-opini tersebut—sepenuhnya urusan sang presiden sendiri. Semua Pendiri Bangsa tersebut, apa pun keyakinan-keyakinan keagamaan pribadi mereka, akan sanga tterkejut membaca laporan wartawan Robert Sherman tentang jawaban George Bush Sr. ketika Sherman bertanya kepadanya apakah ia mengakui kewarganegaraan dan patriotisme yang setara dari orang-orang Amerika yang atheis: ―Tidak, saya tidak tahu bahwa kaum atheis harus dianggap sebagai warga negara, atau dianggap sebagai patriot. Ini adalah sebuah bangsa dalam kekuasaan Tuhan.‖ Dengan mengasumsikan bahwa laporan Sherman tersebut akurat (sayangnya dia tidak menggunakan kaset rekaman, dan tidak ada surat kabar lain yang menyajikan kisah tersebut saat itu), cobalah eksperimen mengganti ―kaum atheis‖ tersebut dengan―kaum Yahudi‖ atau ―kaum Muslim‖ atau ―kaum Kulit Hitam.‖ Hal itu akanmemberikan gambaran tentang prasangka dan diskriminasi yang harus diderita oleh kaum atheis Amerika sekarang ini. Tulisan Natalie Angier di New York Times,―Confessions of a lonely atheist‖ merupakan suatu gambaran yang sedih dan mengharukan tentang perasaan terkucilnya sebagai seorang atheis di Amerika sekarang ini. Namun pengucilan kaum atheis Amerika tersebut adalah suatu ilusi, yang terus-menerus dipupuk oleh prasangka. Kaum atheis di Amerika lebih banyak dibanding yang disadari oleh sebagian besar orang. Sebagaimana yang saya katakan dalam Pendahuluan, kaum atheis Amerika jauh lebih banyak dibanding kaum Yahudi, namun lobbi Yahudi terkenal sebagai salah satu lobbi yang paling berpengaruh di Washington. Apa yang mungkin akan dicapai kaum atheis Amerika jika mereka mengorganisasi diri secara tepat? David Mills, dalam bukunya yang mengagumkan, Atheist Universe, mengisahkan sebuah cerita yang akan anda anggap sebagai suatu karikatur yang tidak realistik tentang prasangka dan kefanatikan polisi jika kisah tersebut fiksi. Seorang tabib-keyakinan Kristen menjalankan suatu ―Miracle Crusade‖ yang datang ke kota di mana Mills tinggal sekali setahun. Sang tabib-keyakinan tersebut antara lain mendorong para penderita diabetes untuk membuang insulin mereka, dan menyuruh para pasien kanker untuk menyudahi kemoterapi mereka, dan sebaliknya mendorong mereka untuk memohon keajaiban. Cukup masuk akal, Mills memutuskan untuk mengorganisasi suatu demonstrasi damai untuk memperingatkan orang-orang. Namun ia membuat kesalahan dengan pergi ke kantor polisi untuk memberitahukan niatnya dan meminta perlindungan polisi terhadap kemungkinan serangan dari para pendukung tabib-keyakinan tersebut. Petugas polisi pertama yang ia temui berkata, ―Apakah anda akan menggelar protes untuk mendukungnya atau menentangnya?‖ Ketika Mills menjawab, ―Menentangnya,‖ polisi itu berkata bahwa ia sendiri berencana untuk menghadiri sebuah pawai dan bermaksud untuk meludahi wajah Mills ketika ia berpapasan dengan demonstrasi Mills tersebut. Mills memutuskan untuk mencoba keberuntungannya pada petugas polisi yang lain.Petugas yang kedua ini berkata bahwa jika ada pendukung tabib-keyakinantersebut yang menyerang Mills, petugas itu akan menangkap Mills karena ia―mencoba untuk menghalangi kerja Tuhan.‖ Mills pulang ke rumah dan mencobamenelpon kantor polisi tersebut, dengan harapan akan mendapatkan simpati yanglebih besar dari petugas yang lebih senior. Ia akhirnya disambungkan denganseorang sersan yang berkata, ―Persetan dengan kamu, Bung. Tidak ada polisi yangingin melindungi seorang atheis terkutuk. Saya berharap seseorang mencincanganda.‖ Jelas kata-kata keterangan sangat terbatas di kantor polisi ini,demikian juga susu kebaikan manusia dan perasaan bertanggung jawab. Millsmengatakan bahwa ia berbicara dengan sekitar tujuh atau delapan polisi hariitu. Tak satu pun yang ingin membantu, dan sebagian besar dari mereka secaralangsung mengancam Mills dengan kekerasan. Anekdot-anekdot tentang prasangka terhadap orang-orang atheis seperti itu sangat banyak, namun Margaret Downey, dari Masyarakat Pemikiran Bebas Philadelphia, melakukan pencatatanpencatatan sistematis atas kasus-kasussemacam itu. Bank-datanya tentang berbagai insiden, yang dikelompokkan dalam insiden komunitas, sekolah, tempat kerja, media, keluarga, dan pemerintahan, mencakup contoh-contoh tentang penganiayaan, hilangnya pekerjaan, pengucilan keluarga dan bahkan pembunuhan. Bukti-bukti yang dicatat Downey tentang kebencian dan kesalah-pahaman terhadap kaum atheis tersebut memberikan dasar untuk percaya bahwa memang hampir tidak mungkin bagi seorang atheis yang jujur untukmemenangkan suatu pemilihan umum di Amerika.



Terdapat 435 anggota DPR dan 100 anggota Senat. Dengan mengasumsikan bahwa mayoritas dari 535 orang ini merupakan sampel populasi yang terdidik, secara statistik hampir dapat dipastikan bahwa kebanyakan dari mereka pasti orang-orang atheis. Mereka past itelah berbohong, atau menyembunyikan keyakinan-keyakinan sejati mereka, agar bisa terpilih. Siapa yang dapat menyalahkan mereka, melihat para pemilih yang harus mereka yakinkan? Umum diterima bahwa suatu pengakuan akan atheisme jelas merupakan suatu bunuh diri politik bagi kandidat presiden mana pun. Fakta-fakta tentang iklim politik di Amerika Serikat sekarang ini tersebut, dan apa yang diandaikan oleh semua itu, akan sangat mencemaskan Jefferson, Washington, Madison, Adams, dan semua sahabat mereka. Terlepas dari apakah mereka adalah orang-orang atheis, agnostik, deis, atau Kristen, mereka akan merasa sangat ngeri melihat kaum teokrat Washington awal abad kedua puluh satu tersebut. Sebaliknya, mereka akan lebih tertarik pada para pendiri bangsa India pascakolonial yang sekular, khususnya Gandhi yang religius (―Saya seorang Hindu, Saya seorang Muslim, Saya seorang Yahudi, Saya seorang Kristen, Saya seorang Budha!‖), dan Nehru yang atheis: Tontonan yang disebut agama, atau katakanlah agama yang terorganisasi, di India dan di tempattempat lain, telah membuat saya merasa ngeri dan saya telah sering mengutuknya dan sangat ingin menghapusnya. Ia hampir selalu membela dan mendorong keyakinan dan reaksi buta, dogma, prasangka dan kefanatikan, takhayul, eksploitasi, dan pengagungan kepentingan-sempit. Definisi Nehru tentang India sekular yang diimpikan Gandhi (jika saja hal itu terwujudkan, dan bukan malah perpecahan negeri mereka di tengah-tengah pertumpahan darah antar-keyakinan), mungkin juga akan ditulis oleh Jeffersonsendiri: Kita berbicara tentang sebuah India yang sekular . . . . Sebagian oran gberpikir bahwa hal itu berarti sesuatu yang bertentangan dengan agama. Itu jelas tidak benar. Hal itu berarti sebuah Negara yang menghormati semua keyakinan secara setara dan memberi mereka kesempatan yang sama; India memiliki suatu sejarah panjang toleransi keagamaan . . . . Dalam sebuah negeri seperti India, yang memiliki banyak keyakinan dan agama, tidak ada nasionalisme sejat iyang dapat dibangun kecuali atas dasar kesekularan. Tuhan deis tersebut jelas suatu perbaikan atas monster Bibel. Sayangnya hampir lebih tidak mungkin ia hadir, atau pernah ada. Dalam semua bentuknya, Hipotesa Tuhan tersebut tidak diperlukan.* Hipotesa Tuhan tersebut juga sangat mungkin tersingkirkan oleh hukum-hukum probabilitas. Saya akan membahas masalah itu dalam Bab 4, setelah mengkaji apa yang dianggap sebagai bukti-bukti keberadaan Tuhan dalam Bab 3. Untuk sementara saya akan beralih ke agnostisisme, dan gagasan yang salah bahwa eksistensi atau non-eksistensi Tuhan merupakan suatupersoalan yang tak tersentuh, selamanya di luar jangkauan sains. Eksperimen Doa Agung Sebuah studi kasus yang menggelikan, dan agak menyedihkan, dalam hal mukjizat adalah Eksperimen Doa Agung: apakah berdoa bagi para pasien membantu kesembuhan mereka? Doadoa umum dipanjatkan bagi orang-orang yang sakit, baik secara pribadi maupun di tempat-tempat ibadah formal. Sepupu Darwin, Francis Galton, adalah orang pertama yang menganalisa secara ilmiah apakah berdoa bagi orang-orang memiliki pengaruh. Ia mencatat bahwa setiap Minggu, di berbagai gereja di seluruh Inggris, seluruh jemaah berdoa secara publik untuk kesehatan keluarga kerajaan. Dengan demikian, tidakkah mereka akan sedemikian kuat dan sehat, dibandingkan dengan kita, yang didoakan hanya oleh orang-orang yang terdekat dan tercinta? Galton mengamati hal itu, dan tidak menemukan perbedaan-perbedaan statistik. Maksud kegiatannya itu mungkin satiris, demikianjuga ketika dia berdoa bagi bidang-bidang tanah tertentu untuk melihat apakahtumbuh-tumbuhan di situ akan tumbuh lebih cepat (dan ternyata tidak). Beberapa waktu belakangan ini, ahli fisika Russel Stannard (salah satu dari tiga ilmuwan religius Inggris yang sangat terkenal, sebagaimana yang akan kita lihat) membuat suatu inisiatif, yang didanai tentu saja oleh Templeton Foundation, untuk menguji secara eksperimental proposisi bahwa berdoa untukpara pasien yang sakit akan memulihkan kesehatan mereka. Eksperimen-eksperimen seperti itu, jika dilakukan dengan tepat, harus double-blind (suatu eksperimen di mana informasi disembunyikan dari semua partisipan), dan standar ini ditaati dengan ketat. Para pasien tersebut secara acak ditempatkan dalam sebuah kelompok eksperimen (yang mendapatkan doa) atau kelompok kontrol (tidak didoakan).



Baik para pasien, para dokter, para perawat, maupun para pembuat eksperimen tidak diizinkan untuk mengetahui pasien-pasien mana yang didoakan dan pasien-pasien mana yang merupakan pasien-pasien kontrol. Mereka yang melakukan doa eksperimental tersebut harus tahu nama-nama para individu yang mereka doakan—jika tidak, apa bedanya mereka mendoakan individu-individu tersebut dibanding mendoakan bagi orang lain? Namun demi kewaspadaan, mereka hanya diberitahu nama pertama dan huruf pertama dari nama keluarga. Jelas hal itu sudah cukup memungkinkan Tuhan untuk memastikan ranjang rumah sakit yangtepat. Gagasan untuk melakukan eksperimen-eksperimen tersebut sangat mungkin menjadibahan tertawaan, dan proyek tersebut sudah semestinya menerima itu. Sejauh yangsaya tahu, Bob Newhart tidak membuat uraian singkat tentang hal itu, namun sayabisa dengan jelas mendengar suaranya: Apa yang engkau katakan, Tuan? Engkau tidak bisa mengobati saya karena saya adalah anggota kelompok kontrol? . . . Oh, baik, doa bibi saya tidak cukup. Tapi Tuan, Mr Evans di ranjang kamar sebelah . . . . Apa, Tuan? . . . Mr Evans mendapatkan seribu doa tiap hari? Tapi Tuan, Mr Evans tidak kenal seribu orang. . . . Oh, mereka hanya menyebutnya dengan John E. Tapi Tuan, bagaimana engkau bisa tahu mereka tidak bermaksud menyebut John Ellsworthy? . . . . Oh, baik,engkau menggunakan kemaha-kuasaanmu untuk memastikan John E. mana yang merekamaksud. Tapi Tuhan . . . Sambil dengan gagah berani memikul semua ejekan, tim para peneliti tersebut terus bekerja, menghabiskan 2,4 juta dolar uang Templeton di bawah kepemimpinan Dr Herbert Benson, seorang kardiologis di Mind/Body Medical Institute dekatBoston. Dr Benson sebelumnya dikutip dalam sebuah siaran pers Templeton sebagai ―percaya bahwa bukti-bukti bagi kemujaraban doa di bidang pengobatan meningkat.‖ Penyelidikan tersebut dilakukan dengan baik, tidak cacat karena berbagai dugaan skeptis. Dr Benson dan timnya memonitor 1.802 pasien di enam rumah sakit, yang semuanya menjalani operasi pembedahan jantung. Para pasien tersebut dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok 1 mendapatkan doa dan tidak mengetahui hal itu. Kelompok 2 (kelompok kontrol) tidak mendapatkan doa dan tidak mengetahui hal itu. Kelompok 3 mendapatkan doa dan mengetahui hal itu. Perbandingan antara Kelompok 1 dan Kelompok 2 untuk mengukur pengaruh-kemujaraban doa. Kelompok 3 untuk mengukur dampak-dampak psikosomatik yang mungkin muncul dari mengetahui bahwa seseorang sedang didoakan. Doa-doa tersebut dilakukan oleh jemaah dari tiga gereja, satu di Minnesota, satu di Massachusetts dan satu lagi di Missouri, semuanya jauh dari ketiga rumah sakit tersebut. Orang-orang yang berdoa tersebut, sebagaimana telah dijelaskan, hanya diberi nama pertama dan huruf awal dari nama keluarga masing-masing pasien yang akan mereka doakan. Ini merupakan suatu praktik eksperimental yang baik untuk melakukan standardisasi sejauh mungkin, dan mereka semua diberitahu untuk menyebutkan dalam doa mereka kalimat: ―semoga operasi pembedahan berhasil, pasien cepat pulih dan sehat, dan tidak ada komplikasi.‖ Hasil-hasilnya, yang dilaporkan dalam American Heart Jounal pada April 2006,sangat jelas. Tidak ada perbedaan antara pasien-pasien yang didoakan dan pasien-pasien yang tidak didoakan. Alangkah mengejutkan. Ada perbedaan antara mereka yang tahu bahwa mereka didoakan dan mereka yang sama sekali tidak tahu; namun perbedaan tersebut menunjuk ke arah yang salah. Mereka yang tahu bahwa mereka adalah penerima doa mengalami berbagai berbagai komplikasi yang jauhl ebih besar dibanding dengan mereka yang tidak tahu. Apakah Tuhan marah, untuk memperlihatkan ketidaksetujuannya terhadap seluruh percobaan yang gila itu? Tampaknya yang lebih mungkin adalah bahwa para pasien yang tahu mereka sedang didoakan mengalami tekanan tambahan karena hal itu: ―kecemasan akan hasil‖ (―performance anxiety‖), sebagaimana yang dikemukakan oleh orang-orang yang melakukan eksperimen tersebut. Dr Charles Bethea, salah seorang peneliti, berkata, ―Hal itu mungkin telah menjadikan mereka merasa bingung, dan bertanya-tanya apakah saya sedemikian sakit sehingga mereka perlu memanggil tim pendoa?‖



Dalam masyarakat litigasi sekarang ini, apakah terlalu berlebihan untuk berharap bahwa para pasien yang mengalami berbagai komplikasi jantung tersebut, sebagai akibat dari mengetahui bahwa mereka menerima doa eksperimental, bersama-sama mengajukan tuntutan hukum class action terhadapTempleton Foundation? Tidak mengejutkan bahwa studi ini ditentang oleh para teolog, yang mungkin cemas karena kemungkinan studi itu akan mendatangkan ejekan terhadap agama. Teolog Oxford, Richard Swinburne, yang membuat tulisan setelah studi tersebut gagal, menolak studi itu dengan alasan bahwa Tuhan menjawab doa hanya jika doa itu dipanjatkan untuk alasan-alasan yang baik. Berdoa untuk seseorang & bukan orang yang lain, hanya karena jatuhnya mata dadu dalam desain sebuah eksperimen double-blind, tidak merupakan suatu alasan yang baik. Tuhan akan melihat semua itu. Memang itu poin dari satire Bob Newhart, dan Swinburne membuat poin itu juga. Namun di bagian lain dari tulisannya, Swinburne mengemukakan sesuatu yang lebih dari satire. Bukan untuk yang pertama kalinya, ia berusaha untuk memberi pembenaran bagi penderitaan di sebuah dunia yang dipimpin Tuhan: Penderitaan saya memberi saya kesempatan untuk memperlihatkan keberanian &kesabaran. Hal itu memberi anda kesempatan untuk memperlihatkan simpati &membantu meringankan penderitaan saya. Dan ia memberi masyarakat kesempatan untuk memilih apakah akan menginvestasikan atau tidak menginvestasikan sejumlah besar uang dalam usaha untuk menemukan suatu obat bagi jenis penderitaan ini atau itu . . . . Meskipun Tuhan yang baik menyesali penderitaan kita, perhatian terbesarnya jelas adalah bahwa masing-masing dari kita akan memperlihatkan kesabaran, simpati dan kemurah-hatian dan, karena itu, membentuk suatu watak ygsuci. Beberapa orang sayangnya perlu sakit demi kepentingan mereka sendiri dan sebagian orang yang lain sayangnya perlu sakit untuk memberikan berbagai pilihan penting bagi orang lain. Hanya dengan cara itu sebagian orang dapat didorong untuk membuat pilihan-pilihan yang serius menyangkut jenis orang seperti apa mereka nantinya akan menjadi. Untuk sebagian orang yg lain, keadaan sakit tidk bergitu berharga. Cara berpikir yang kasar & aneh ini, yang sangat khas pikiran teologis, mengingatkan saya pada suatu kesempatan ketika saya ada dalam sebuah panel televisi dengan Swinburne, dan juga dengan kolega Oxford kami, Profesor Pete rAtkins. Swinburne pada satu kesempatan berusaha untuk memberi pembenaran pada Holocaust dengan alasan bahwa hal itu memberi umat Yahudi suatu kesempatan yang sangat besar untuk menjadi berani dan mulia. Peter Atkins dengan sangat baik menggeram, ―Semoga anda busuk di neraka.‖ Jenis cara berpikir teologis lain yang khas kembali bisa dilihat dalam artikel Swinburne. Ia dengan tepat mengatakan bahwa jika Tuhan ingin memperlihatkan eksistensinya, ia akan menemukan cara-cara yang lebih baik untuk melakukan hal itu ketimbang sedikit membiaskan statistik penyembuhan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pasien penyakit jantung. Jika Tuhan ada dan ingin meyakinkan kita tentang hal itu, ia dapat ―memenuhi dunia dengan berbagai mukjizat yang luar biasa.‖ Namun kemudian Swinburne menurunkan nada bicaranya: ―Bagaimanapun ada cukup banyak bukti tentang eksistensi Tuhan, dan terlalu banyak mungkin tidak baik bagi kita.‖ Terlalu banyak mungkin tidak baik bagi kita! Baca kembali kalimat ini. Terlalu banyak mungkin tidak baik bagi kita. Richard Swinburne sekarang ini adalah pensiunan pemegang salah satu jabatan guru besar teologi yang paling prestisius di Inggris, dan adalah seorang Anggota Akademi British. Jika teolog jenis ini yang anda inginkan, mereka tidak terlalu istimewa. Mungkin anda tidak menginginkan seorang teolog. Swinburne bukan satu-satunya teolog yang menolak studi tersebut setelah ia mengalami kegagalan. Pendeta Raymond J. Lawrence diberi suatu ruang istimewa disebelah halaman editorial dalam New York Times untuk menjelaskan mengapa para pemimpin keagamaan yang bertanggung jawab ―menarik nafas lega‖ bahwa tidak ada bukti yang bisa ditemukan yang menyatakan mediasi doa memiliki pengaruh.



Akankah ia menyanyikan suatu nada yang berbeda jika studi Benson tersebut berhasil memperlihatkan kekuatan doa? Mungkin tidak, namun anda bisa merasa pasti bahwa sangat banyak pastor dan teolog lain akan melakukannya. Tulisan Pendeta Raymond J. Lawrence tersebut mengesankan dalam bagian berikut: ―Baru-baru ini, seorang kolega memberi tahu saya tentang seorang perempuan terdidik yang saleh yang menuduh seorang dokter telah melakukan malpraktik dalam penanganannya atas suaminya. Pada hari-hari di saat suaminya sekarat, ia menuduh bahwa dokter tersebut gagal mendoakan suaminya.‖ Para teolog lain bersama kaum skeptis yang terinspirasi-NOMA [non-overlapping magisteria] menyatakan bahwa mempelajari doa dalam cara ini sama halnya dengan membuang-buang uang karena pengaruh-pengaruh supernatural pada dasarnya di luar jangkauan sains. Namun sebagaimana yang dengan tepat diakui Templeton Foundation ketika ia mendanai studi tersebut, apa yang dianggap kekuatan mediasi doa tersebut paling tidak secara teoretis di dalam jangkauan sains. Suatu eksperimen double-blind bisa dilakukan dan telah dilakukan. Eksperimenitu bisa memunculkan hasil yang positif. Dan jika ia memunculkan hasil yang positif, bisakah anda membayangkan bahwa seorang apologis religius akan mengabaikannya dengan alasan bahwa penelitian ilmiah tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan-persoalan keagamaan? Tentu saja tidak. Tidak perlu dikatakan, hasil-hasil negatif dari eksperimen tersebut tidak akan mengguncang orang-orang yang beriman. Bob Barth, direktur spiritual departemen doa Missouri yang memasok sebagian dari doa eksperimental tersebut, berkata: ―Seorang yang beriman akan mengatakan bahwa studi ini menarik, namun telah sejak lama sekali kami memanjatkan doa dan kami telah melihat doa berfungsi, kami tahu hal itu berfungsi, dan penelitian tentang doa dan spiritualitas tersebut baru dimulai.‖ Ya, tepat: kami tahu dari keyakinan kami bahwa doa berfungsi, jadi jika bukti-bukti gagal memperlihatkan hal itu, kami akan terusberusaha sampai akhirnya kami mendapatkan hasil yang kami inginkan.



Manusia-Manusia Kecil Berwarna Hijau Andaikan bahwa parabel Bertrand Russell tersebut tidak berkenaan dgn teko teh diruang angkasa, melainkan kehidupan di ruang angkasa—subyek penolakan Sagan yang tak terlupakan untuk berpikir secara instingtif. Sekali lagi kita tidak dapat menyangkal hal itu, dan satu-satunya sikap yang jelas-jelas rasional adalah agnostisisme. Namun hipotesa tersebut tidak lagi dangkal. Kita tidak segera mencium suatu ketidak-mungkinan yang ekstrem. Kita bisa melakukan suatu perdebatan yang menarik berdasarkan bukti-bukti yang tidak lengkap, dan kita bisa menuliskan jenis bukti-bukti yg akan mengurangi ketidak-pastian kita. Kita akan marah jika pemerintah kita membeli teleskop-teleskop yang sangat maha lsemata-mata dengan tujuan untuk mencari tekoteko teh yang mengorbit. Namun kita menghargai kasus pembelanjaan uang untuk SETI [the Search for Extraterrestrial Intelligence], yang menggunakan teleskop-teleskop gelombang radio untuk meneliti ruang angkasa dengan harapan memperoleh sinyal dari mahluk-mahluk luar angkasa. Saya menghargai Carl Sagan yang menyangkal insting dan perkiraan tentang-kehidupan alien. Namun seseorang dapat (dan Sagan melakukan hal ini) membuat suatu penilaian yang mendalam tentang apa yang perlu kita ketahui untuk menilai probabilitas tersebut. Hal ini mungkin dapat mulai dari suatu daftar titik-titik ketidak-tahuan kita, sebagaimana dalam Persamaan Drake yang terkenal yang dalam bahasa Paul Davies - mengumpulkan berbagai probabilitas. Persamaan itu menyatakan bahwa untuk memperkirakan jumlah peradaban yang berkembang secara mandiri di alam semesta ini anda harus melipat-gandakan tujuh faktor bersama-sama. Ketujuh faktor tersebut mencakup jumlah bintang-bintang, jumlah planet-planet yang menyerupai-Bumi per bintang, dan probabilitas hal ini, hal itu dan hal lain yang tdk perlu saya daftar karena satu-satunya poin yang sedang saya kemukakan adalah bahwa semua itu tidak diketahui, atau diperkirakan dengan batas-kesalahan yang sangat besar. Ketika begitu banyak faktor yang sepenuhnya atau hampir sepenuhnya tidak diketahui dilipat-gandakan terus, hasilnya—perkiraan jumlah peradaban asing—memiliki kesalahan yang sedemikian besar sehingga agnostisisme tampak merupakan suatu sikap yang sangat masuk akal, jika bukan satu-satunya sikap yang bisa dipercaya.



Sebagian dari faktor-faktor dalam Persamaan Drake tersebut telah sedikit lebih diketahui dibanding ketika ia pertama kali menuliskannya pada 1961. Pada masa itu, sistem tata surya kita yang mengorbitkan satu pusat bintang merupakan satu-satunya sistem yang diketahui, serta analogi-analogi terbatas yang disediakan oleh sistem satelit Jupiter dan Saturnus. Perkiraan terbaik kita tentang jumlah sistem-sistem orbit di alam semesta didasarkan pada model-model teoretis, serta ―prinsip-mediokritas‖ yang lebih longgar: perasaan (yang dilahirkan oleh pelajaran sejarah dari Copernicus, Hubble, dan yang lain) bahwa seharusnya tidak ada sesuatu yang sangat luar biasa menyangkut tempat yang kebetulan kita hidupi. Sayangnya, ―prinsip-mediokritas‖ tersebut pada akhirnya diperlemah oleh prinsip ―antropik‖ (lihat Bab 4): jika sistem tata surya kita benar-benar merupakan satu-satunya sistem tata surya di dalam alam semesta, maka inilah tempat di mana kita, sebagai mahluk yang memikirkan persoalan-persoalan tersebut, harus menjalani hidup. Fakta tentang eksistensikita tersebut kemudian bisa menentukan bahwa kita hidup dalam suatu tempat yang sangat tidak-lazim. Namun perkiraan-perkiraan tentang ketersebaran sistem tata surya sekarang ini tidak lagi didasarkan pada prinsip mediokritas tersebut; perkiraan-perkiraan tersebut didasarkan pada buktibukti langsung. Spektroskop, nemesis dari positivisme Comte, muncul kembali. Teleskop-teleskop kita jarang cukup kuat untuk melihat planet-planet di sekitar bintang-bintang lain secara langsung. Namun posisi sebuah bintang terganggu oleh tarikan gravitasi planet-planetnya saat mereka berputar di sekitanya, & spektroskop dapat melihat pergeseran-pergeseran Doppler dalam spektrum bintang tersebut, paling tidak dalam kasus-kasus di mana planet yang mengganggu tersebut besar. Dengan sebagian besar menggunakan metode ini, pada saat menulis buku ini kita sekarang tahu 170 planet ekstra-solar yang mengorbitkan 147 bintang, namun angka itu jelasakan meningkat pada saat anda membaca buku ini. Sejauh ini, mereka adalah ―JupiterJupiter‖ yang besar sekali, karena hanya Jupiter yang cukup besar untuk mengganggu bintangbintang mereka ke dalam zona keterdeteksian spektroskop-spektroskop sekarang ini. Kita paling tidak telah secara kuantitatif memperbaiki perkiraan-perkiraan kita tentang satu faktor dari Persamaan Drake yang sebelumnya tersamar. Hal ini memungkinkan suatu penurunan yang signifikan atas agnostisisme kita tentang nilai akhir yang dihasilkan oleh persamaan tersebut. Kita masih harus bersikap agnostik tentang kehidupan di dunia lain—namun sedikit lebih kurang agnostik, karena kita sedikit lebih mengetahui. Sains bisa terus memperlemah agnostisisme, dalam suatu cara di mana Huxley berusaha keras menyangkal kasus spesial Tuhan. Saya berpendapat bahwa, terlepas dari posisi Huxley, Gould, dan banyak pemikir lain yang dengan sopan menahan diri, pertanyaan tentang Tuhan pada dasarnya tidak diluar dan selamanya di luar wilayah sains. Sebagaimana dengan sifat bintang-bintang tersebut, kontra Comte, dan sebagaimana dengan kemungkinan kehidupan di sekitar bintang-bintang itu, sains paling tidak bisa membuat gempuran-gempuran probabilistik ke dalam wilayah agnostisisme. Definisi saya tentang Hipotesa Tuhan mencakup kata-kata superhuman dansupernatural. Untuk menjelaskan perbedaan tersebut, bayangkan bahwa sebuah teleskop radio SETI benar-benar mendapatkan suatu sinyal dari ruang angkasa yang memperlihatkan dengan jelas bahwa kita tidak sendirian. Bagaimanapun, ini merupakan suatu pertanyaan yg tidak-remeh: jenis sinyal apa yg akan meyakinkankita tentang asal-usul inteligennya. Suatu pendekatan yang (lebih) baik adalah membalik pertanyaan tersebut. Apa yang seharusnya kita lakukan untuk memberitahukan keberadaan kita kepada para pendengar di luar angkasa? Getaran-getaran bunyi yang ritmik tidak cukup. Jocelyn Bell Burnell, seorang astronom radio yangg pertama kali menemukan pulsar pada 1967, yang tergerakkan oleh ketepatan periodisitas 1,33 detiknya, menyebutnya—dengan sedikit bercanda—sinyal LGM (Little Green Man). Dia kemudian menemukan pulsar kedua, ditempat lain di angkasa dan dengan periodisitas yang berbeda, yang menyingkirkans ama sekali hipotesa LGM itu. Ritme-ritme metronomi bisa dihasilkan oleh banyak fenomena non-inteligen, mulai dari cabang-cabang yang berayun hingga air yang menetes. Lebih dari seribu pulsar sekarang ini telah ditemukan dalam galaksi kita, dan umum diterima bahwa masing-masing pulsar tersebut adalah sebuah bintang neutron yang berputar, yang memancarkan energi radio yang berpenda rseperti sorotan cahaya mercusuar.



Merupakan sesuatu yang menakjubkan untuk berpikir tentang sebuah bintang yang berotasi pada skala-waktu detik (bayangkanjika tiap-tiap hari dalam kehidupan kita berlangsung selama 1,33 detik danbukan 24 jam), namun segala sesuatu yang kita ketahui mengenai bintangbintangneutron menakjubkan. Poinnya adalah bahwa fenomena pulsar tersebut sekarang dipahami sebagai suatu produk dari fisika sederhana, bukan inteligensia. Dengan demikian, tidak sekadar sesuatu yang ritmik yang akan mengumumkan kehadiran inteligen kita kepada semesta yang menunggu tersebut. Bilangan-bilangan prima sering kali disebut sebagai resep pilihan, karena sulit untuk berpikir tentang suatu proses yang murni fisik yang bisa menghasilkan mereka. Entah dengan mendeteksi bilangan-bilangan prima atau dengan cara-cara lain, bayangkan bahwaSETI memunculkan bukti-bukti yang jelas tentang inteligensia luar angkasa, yang mungkin diikuti dengan suatu transmisi pengetahuan & kebijaksanaan yang massif, serta fiksi ilmiah Fred Hoyle, A for Andromeda, atau Contact karya Carl Sagan. Bagaimana kita harus merespons? Suatu reaksi yang bisa dimaafkan mungkin adalah sesuatu yang mirip dengan pemujaan, karena peradaban apa pun yang mampu memancarkan suatu sinyal dalam jarak yang sedemikian jauh sangat mungkin jauh lebih unggul dibanding peradaban kita. Sekalipun peradaban itu tidak lebih maju dibanding peradaban kita pada masa transmisi itu, jarak yang sedemikian jauh diantara kita memungkinkan kita untuk memperkirakan bahwa mereka pasti beribu-tahun di depan kita pada saat pesan tersebut mencapai kita (kecuali jika mereka telah menjadi punah, yang bukan tidak mungkin). Apakah kita akan pernah mengetahui mereka atau tidak, sangat mungkin ada peradabanperadaban asing yg super-human, sampai tingkat menyerupai-tuhan dalam artian yang melampaui apa pun yang mungkin bisa dibayangkan oleh seorang teolog. Pencapaian-pencapaian teknis mereka akan tampak sama supernaturalnya bagi kita sebagaimana pencapaian-pencapaian kita bagi seorang petani Abad Pertengahan yang dibawa masuk ke dalam abad ke-21. Bayangkan responsnya terhadap sebuah komputer jinjing, sebuah telepon seluler, sebuah bom hidrogen, atau sebuah jet jumbo. Sebagaimana yang dikemukakan Arthur C. Clarke, dalam Third Law-nya: ―Sebuah teknologi yang cukup maju tidak dapat dibedakan dari sihir.‖ Mukjizat-mukjizat yangdimunculkan oleh teknologi kita bagi orang-orang dari zaman purba akan tampak tidak kalah mencengangkannya dibanding kisah-kisah Musa membelah lautan, atau Yesus berjalan di atasnya. Para alien dari sinyal SETI kita tersebut akan tampak seperti dewa-dewa, sebagaimana para misionaris diperlakukan sebagai dewa-dewa (dan memanfaatkan penghormatan yang tak sepantasnya tersebut sepenuhnya) ketika mereka masuk ke dalam budaya Zaman Batu dengan membawa senapan, teleskop, korek api, & almanak yang meramalkan gerhana. Dengan demikian, dalam pengertian apa alien-alien SETI yang paling maju bukan merupakan dewa-dewa? Dalam pengertian apa mereka adalah superhuman, namun bukan supernatural? Dalam pengertian yang sangat penting, yang merupakan inti buku ini. Perbedaan penting antara dewa-dewa dan entitas-entitas luar angkasa yang menyerupai-tuhan bukan terletak dalam sifatsifat mereka melainkan dalam asal-usul mereka. Entitas-entitas yang cukup kompleks untuk menjadi inteligen merupakan produk dari suatu proses evolusioner. Meskipun mereka mungkin tampak menyerupai-tuhan ketika kita bertemu dengan mereka, mereka tidak langsung dalam keadaan demikian. Para penulis fiksi-ilmiah, seperti Daniel F. Galouye dalam karyanya yang berjudul Counterfeit World, bahkan telah menyatakan (dan saya tidak tahu bagaimana menyangkalnya) bahwa kita hidup dalam sebuah simulasi komputer, yang dirancang oleh suatu peradaban yang jauh lebih unggul. Namun para simulator itu sendiri dapat dipastikan berasal dari suatu tempat. Hukum-hukum probabilitas melarang semua gagasan tentang kemunculan mendadak mereka tanpa pendahulu yang lebih sederhana.** ----------------------------



LUDWIG FEUERBACH; MANUSIA MENCIPTAKAN ALLAH Sebuah Kritik Filosofis terhadap Agama Kristen 1. Pengantar Dewasa ini manusia semakin maju dalam pemikiran. Pemikiran yang maju ini membuat manusia lebih mengandalkan dirinya sendiri. Dampaknya, manusia mulai melupakan peran Allah. Allah dianggap sebagai formalitas bahkan ada yang secara terang-terangan menolak kehadiran Allah dalam hidup manusia. Hal ini dapat dibuktikan melalui fenomena praktik agama yang semakin kurang diminati oleh manusia modern. Manusia modern bahkan beranggapan bahwa manusialah yang sesungguhnya menciptakan Allah dan bukan Allah yang menciptakan manusia. Dengan jalan pikiran yang logis manusia dapat menjelaskan bahwa Allah itu adalah hasil dari ciptaan manusia.



Ludwig Feuerbach adalah seorang tokoh dari masa lalu yang sudah pernah memikirkan hal tersebut. Ia menjelaskan keberadaan Allah melalui filsafatnya. Pemikirannya yang paling fundamental berangkat dari kritik yang dilontarkannya terhadap filsafat Hegel[1].[2] 2. Ludwig Feuerbach dalam Sejarah 2.1 Riwayat hidup singkat Ludwig Feuerbach adalah seorang tokoh ateis[3]. Ia digolongkan sebagai orang ateis karena pemikirannya yang radikal dalam menolak keberadaan dari yang adikodrat, yakni kehadiran Allah dalam kehidupan manusia.[4] Pemikirannya yang radikal ini lahir dari gejolak filsafat yang terjadi pada abad sembilan belas dan dua puluh. Pada abad ini filsafat memasuki era modernitas. Filsafat modern pun diidentikan dengan gerakan pemberontakan intelektual. Pendapat ini dilatarbelakangi oleh sikap dari filsafat modern yang berani memisahkan diri dari teologi. Filsafat yang semula identik dengan teologi kini menjadi otonom. Filsafat ―tradisional‖ (filsafat sebelum modern) cenderung mengedepankan metafisika dan sifat-sifat transendental[5] dalam berfilsafat.[6] Ludwig Feuerbach adalah seorang filsuf, teolog dan moralis. Ia lahir di Lanshut, Bavaria, Jerman. Pada mulanya ia belajar teologi di Heidelberg dan Berlin. Kemudian tahun 1825, Hegel mempengaruhinya untuk menekuni bidang filsafat. Ia menjadi dosen pada tahun 1828-1832 di Erlangen. Di Nuremberg, ia tanpa diketahui namanya membuat sebuah skandal kecil dengan meerbitkan tulisannya yang menginterpretasikan agama kristen. Dalam tulisannya, ia menganggap bahwa agama kristen itu egois dan bukan agama yang cocok untuk manusia. Setelah kepengarangan tulisannya diketahui, ia dipecat oleh fakultas tempat dimana ia mengajar. Tahun 1836 ia tinggal di rumah yang sederhana. Rumah tersebut ia dapatkan dari pemerintah Bavaria. Pendapatan yang digunakan untuk kebutuhan hidup ia peroleh dari tulisannya, serta dibantu oleh usaha dri istrinya yang bekerja pada pabrik tembikar.[7] 2.2 Karya yang Fenomenal Ludwig Feuerbach mendapatkan perhatian yang baik dari para pemerhati filsafat atas karyanya " Critique of Hegelian Philosophy " (Kritik tentang Filsafat Hegelian) yang diterbitkan oleh Hallische Jahrbücher pada tahun 1839. Namun karya yang paling penting penting ini dirangkumkan dalam bukunya yakni ―Das Wessen des Christentums‖ (Esensi Agama Kristen)[8] dan diterbitkan pada tahun 1841. Karyanya ini memposisikannya pada sayap kiri[9] terhadap filsafat Hegel sekaligus punya pengaruh terhadap perkembangan filsafat.[10] Bagi Ludwig Feuerbach, daya dorong filsafat yang terutama adalah membebaskan orang-orang dari ilusi agama. Ia membantah pemikirannya ini bertujuan untuk memutuskan aliran protestan sehingga status demokratis republik yang ideal bisa dibentuk. Gagasannya ini sangat mempengaruhi para ahli filsafat masa depan seperti Friedrich Nietzsche Dan Karl Marx.[11] 3. Pemikiran-Pemikiran Singkat Ludwig Feuerbach 3.1 Menuju filsafat Modern Ludwig Feuerbach mendasarkan dan memusatkan penyelidikan filsafatnya hanya pada pengalaman yang konkret (indrawi) atau empiris. Filsafat yang berlandaskan kenyataan konkret (indrawi) adalah principil. Hal ini disebabkan karena hal-hal yang empiris menjanjikan kepastian dan kemantapan dalam berfilsafat. Ia menyimpulkan bahwa kebenaran, kenyataan, dan keindahan adalah identik. Keidentikan ini membawa sebuah konsekuensi bagi filsafat, yakni pengalaman indrawi adalah asas untuk berfilsafat. Berangkat dari filsafatnya ini ia mengkritik filsafat hegel yang dianggapnya ―ketinggalan zaman‖ karena Hegel dianggap menekankan roh, kesadaran atau akal budi. Hal ini dianggap tidak konkret (indrawi) terutama dalam menjelaskan seluruh realitas (termasuk manusia dan sejarahnya). Baginya cara berpikir Hegel hanyalah spekulatif melulu.[12] 3.2 Kritik Feuerbach terhadap Filsafat Roh Hege Dalam sebuah karyanya yang berjudul Das Wesen des Christentums (Esensi Agama Kristen), Ludwig Feuerbach memutarbalikan cara berpikir Hegel tentang hubungan dialektik antara manusia dengan Roh Absolut (Allah). Bukan pandangan Hegel mengenai Roh (Allah) sebagai hakekat riil absolut yang membawa ataupun menuntun dirinya sendiri, melainkan manusialah realitas sejati. Jadi, tesis utamanya adalah ―Rahasia teologi adalah antropologi‖ (baca: ilmu tentang Allah adalah ilmu tentang manusia).[13] Dari keterangan ini Ludwig Feuerbach mengarahkan filsafat Hegel (idealisme) kepada filsafatnya. Filsafat Hegel tidaklah cocok dengan kenyataan konkret (indrawi). Alam material adalah kenyataan akhir.[14] Pemikiran Ludwig Feuerbach ini digunakan untuk menyerang agama Kristen pada khususnya. Agama hadir karena aspirasi yang ada pada diri manusia. Aspirasi ini mendorong batin manusia menuju kepada kesempurnaan. Kesempuranaan itu hadir dalam nilai-nilai ideal seperti kebijaksanaan, cinta kasih tanpa pamrih, perasaan keadilan.[15]



Kepercayaan manusia terhadap Allah dalam agama itu berasal dari keinginan hati manusia. Keterbatasan-keterbatasan dalam diri manusia menuntun manusia keluar dari dirinya melalui imajinasinya untuk membayangkan Wujud tertinggi (sempurna) yaitu Allah sendiri.[16] Ludwig Feuerbach bertitik tolak dari pandangan ini untuk menjelaskan bahwa agama sebagai teori proyeksi manusia. Dalam agama sebagai kepercayaan kepada Allah, manusia sebenarnya melemparkan esensi dan sifat-sifatnya sendiri ke luar diri manusia itu sendiri, kemudian memandangnya sebagai entitas yang otonom. Entitas yang otonom inilah yang dianggap sebagai Allah. Feuerbach menjelaskan demikian ― Allah itu mahatahu...., manusia sebenarnya hanya memenuhi dambaannya untuk dapat mengetahui segala sesuatu‖.[17] 3.3 Kesadaran Manusia Menurut Ludwig Feuerbach manusia memiliki totalitas hakikat manusia yang sejati. Hal itu terungkap dalam akal budi, kehendak dan hati yang ada pada diri manusiawi. Pendapat ini seolah menerima kenyataan lain di luar empiris. Namun kesan ini tidaklah benar karena hati berkaitan dengan cinta atau perasaan. Hati yang berkaitan dengan cinta atau perasaan dikategorikan ke dalam bidang pengalaman konkret (indrawi). Apakah akal budi dan kehendak itu kenyatan rohaniah? Ia mengatakan bahwa akal budi dan kehendak adalah akativitas jiwa, namun sifatnya bukan empiris karena jiwa itu sendiri satuan menyeluruh dari semua indra. Keindrawian adalah hakekat manusia.[18] Kenyataan yang konkret itu adalah alam material. Alam material dapat diketahui oleh pikiran; objek dapat diketahui melalui subjek yang sadar. Alam material adalah dasar bagi kesadaran. Manusia mampu membedakan dirinya dari alam dan manusia mampu merefleksikan dirinya.[19] Ketika manusia mampu merefleksikan dirinya, ternyata manusia sadar bahwa dirinya mempunyai keterbatasan-keterbatasan.[20] 4. Kritik Feuerbach atas Agama Kritik terhadap agama adalah puncak pemikiran Feuerbach. Dalam bukunya Das Wesen des Christentums (Hakekat Agama Kristen), ia mulai ―menelanjangi‖ keberadaan agama, secara khusus agama Kristen, berdasarkan pandangan dan argumen-argumen filosofisnya. Berangkat dari pandangannya mengenai manusia (kesadaran), yang merupakan perkembangan kritiknya atas Hegel dan disertai dengan argumen D.F. Strauss tentang keagamaan[21], Feuerbach mencoba meneliti lebih dalam perihal agama dengan metode empiris.[22] Dengan cara pandang empiris itu, ia condong meneliti unsur-unsur psikologis yang tampak dalam realitas agama sebagaimana pernah dilakukan oleh Sigmund Freud sebelumnya.[23] Sesuai dengan pendapat Hegel mengenai proyeksi diri manusia, Feuerbach melihat bahwa proyeksi[24] dari diri manusia terjadi di dalam agama. Manusia mulai melihat kenyataan material dirinya yang terbatas. Dengan menyadari itu, manusia, dengan rasio, kehendak, dan hatinya, mulai membayangkan sesuatu yang tak terbatas dan begitu sempurna, yang bisa diidealisasikan hingga tak terhingga. Bayangan atau proyeksi ini adalah semata-mata hakikat manusia. Namun, agama membuat proyeksi ini sebagai sesuatu yang lain di luar diri manusia. Agama menciptakan suatu alienasi[25] yang berdiri sendiri di luar diri manusia dan agama menyatakannya sebagai Tuhan. Salah satu contohnya ialah ide Kristiani mengenai inkarnasi. Menurut Feuerbach, ide tentang inkarnasi tak lebih daripada suatu refleksi atas impian seorang manusia yang ingin menjadi Tuhan dan realisasinya hanya bisa diraih melalui cinta sejati.[26] Dalam agama, proyeksi itu akhirnya disembah dan dipuja. Dengan kata lain, agama adalah penyembahan manusia terhadap hasil ciptaan manusia itu sendiri,[27] sebagaimana diungkapkan dalam kutipan berikut : ―Agama, sekurang-kurangnya agama Kristiani, adalah kelakuan manusia terhadap dirinya sendiri, atau lebih tepat: terhadap hakekatnya sendiri, akan tetapi kelakuan terhadap hakekatnya seperti terhadap makhluk lain. Hakekat Ilahi bukan lain hakekat manusia, atau lebih tepat: hakekat manusia yang dipisahkan dari batas-batas manusia individual, jadi nyata, jasmani, yang diobjektifkan, artinya dipandang dan dipuja sebagai makhluk lain yang berbeda daripadanya – maka dari itu semua ciri hakekat Ilahi adalah ciri hakekat manusia.‖ [28] Bagi Feuerbach, kemanusiaan, yang diproyeksikan pada sosok Allah dalam agama, merupakan sesuatu yang positif karena melalui kemanusiaan, manusia bisa melihat hakikatnya yang sebenarnya. Namun, kesadaran manusia akan hal itu justru ditenggelamkan oleh kekuatan dogma-dogma agama. Akibatnya, manusia lupa bahwa proyeksi itu adalah dirinya sendiri dan manusia menganggap proyeksi itu sebagai sesuatu yang real. Manusia menjadi terasing dengan hakikatnya sendiri bahkan takut dan menjadi lumpuh di hadapan proyeksinya sendiri. Manusia memohon berkah dari proyeksinya secara pasif tanpa ada upaya realisasi atas potensi-potensi yang ia miliki. Agama adalah batu sandungan bagi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan, dan kebebasan manusia.[29]



Kesadaran manusia adalah satu-satunya kunci untuk mencapai kemanusiaan dan satu-satunya jalan untuk mencapai kesadaran ialah meniadakan agama dan membuangnya jauh-jauh. Dengan kesadarannya, manusia membuka matanya akan apa yang selama ini ia sembah. Dengan kesadaran itu juga, ia memulai hidup dengan tujuan yang satu, yakni menjadi dirinya sendiri tanpa campur tangan Tuhan dan agama. Dengan kesadarannya, manusia tidak lagi berteologi. Teologi harus menjadi antropologi, sebagai buah kesadaran manusia akan dirinya dan realitas agama. Segala predikat yang dikenakan oleh teologi kepada Allah (Mahaagung, Mahakuasa, dan sebagainya) dapat dipertahankan, asal subjeknya diganti dengan manusia.[30] Harapan Feuerbach ialah dengan menyadari itu semua, manusia secara umum dapat merealisasikan dirinya secara optimal dan secara khusus dapat mewujudkan dirinya sebagai mahkluk sosial, yang tidak seperti seorang beragama yang sering intoleran dan fanatik.[31] 5. Refleksi Kritis Berbicara mengenai agama, Ludwig Feuerbach mengemukakan pendapatnya bahwa manusia harus menolak kepercayaan kepada Allah.[32] Padahal manusia sudah menjalin hubungan dengan Allah sejak manusia mulai mengenal Allah. Lewat pengalamannya, manusia mengenal bahwa ada yang lebih kuat dan lebih Ilahi dari dirinya, karena itu manusia menjadikan agama sebagai cara untuk mendekatkan diri terhadap Realitas yang tak terhingga. Feuerbach menafsirkan timbulnya ide Allah ini sebagai sesuatu kekeliruan, walaupun pernah bermanfaat dalam hidup manusia dan sejarahnya. Artinya, Allah hadir dalam sejarah dan hidup manusia. Pertanyaan Apakah ada Allah atau tidak? Feuerbach tidak membuktikan hal itu dalam dirinya. Allah memang ada, sangatlah masuk akal kalau manusia menyembah memuji dan memohon bantuan Allah karena Allah adalah pencipta yang tidak mungkin menjauhkan diri dari manusia karena manusia berdasar pada Allah.[33] Menurunya, agama mengasingkan manusia dari diri dari dirinya sendiri sebagai mahkluk alam, maka untuk menemukan dirinya manusia perlu membuang ide tentang Allah yang tidak termasuk alamnya.[34] Allah tidak lain dari pada produk bayangan dan keinginan manusia,[35] atau dengan kata lain, agama adalah proyeksi manusia.[36] Ada beberapa kritik terhadap teori proyeksi yang di kemukakan oleh Ludwig Feuerbach: 1.



Teori proyeksi yang dikemukakan olehnya tidak dapat diterima karena teori tersebut dibangun dalam pemikiran manusia, tetapi proyeksi itu merupakan refleksi atas sesuatu yang sungguh-sungguh riil, sesuatu yang ada hubungannya dengan pengalaman hidup manusia.[37] Teori proyeksi justru gagal menjelaskan yang paling hakiki dalam pengalaman agama bahwa manusia berhadapan dengan realitas tak terhingga.[38]



2.



Ia menggunakan gagasan agama dengan cara yang sama sekali tidak membedabedakan dengan menggolongkan agama ke dalam kategori teisme.[39] Dia tidak membedakan antara Allah menurut iman agama monotheis dan agama primitif, dengan demikian dia tidak menghormati realitas kenyataan religius.



3.



Ia hendak kembali pada manusia yang konkret, tetapi sesungguhnya dia hanya membahas manusia sebagai hakekat generik: objek sejati agama bukanlah Allah melainkan hakekat manusia ideal.[40] Jika atribut-atribut manusia sebagai hakekat generik itu tak terbatas, bagaimana manusia memproyeksikan hal itu ke dalam suatu hakekat di luar jenis manusia, untuk mengubahnya menjadi suatu Allah-Subyek? dan jika pengasingan relegius itu terikat pada hakekat manusia, maka bagaimanakah Feuerbach dapat menghindarinya?[41] 4.



Prinsip Epistemologi yang salah. Ia juga menggunakan prinsip epistemologi yang salah, dia menyatakan sebagai prinsip umum bahwa satu-satunya objek pengetahuan pada manusia hanyalah kodrat manusia serta atribut-atributnya. Ketika manusia memikirkan yang tak terbatas, manusia sebenarnya memikirkan ciri tak terbatas dari pikirannya sendiri.[42] Objek akal budi manusia tidak lain dari pada akal budi manusia sendiri yang memikirkan dirinya, dan sama halnya dengan kemampuankemampuan lain, objek mereka masing-masing adalah mereka sendiri.[43]



Teori proyeksi justru gagal menjelaskan yang paling hakiki dalam pengalaman agama bahwa manusia berhadapan dengan realitas tertinggi. Tidak hanya itu, Feuerbach juga tidak dapat membuktikan bahwa semua ciri yang dipercayai dimiliki Allah adalah proyeksi diri manusia, Feuerbach tidak dapat menjelaskan bagaimana manusia dapat membentuk konsep pengada yang tak terhingga dan maha dalam segalagalanya, pada hal tak ada konsep katakterhinggaan dalam pengelaman empiris manusia, seakan – akan tidak ada lagi objektivitas.[44]



Penutup Pemikiran dari Ludwig Feuerbach tentang agama seharusnya membuat manusia semakin kritis terhadap agama yang dimani oleh manusia . Namun, tendensi dewasa ini manusia justru menjauhkan dirinya dari agama. Perdebatan tentang keberadaan agama seolah mengancam eksistensi dari kebebasan pikiran manusia. DAFTAR PUSTAKA ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Concise Routlege Encyclopedia of Philosophy. London and New York: Routledge. 2000 Hamersma, H., Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: [tidak ada penerbit].[tanpa tahun]. Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004. Huijbres, Theo. Manusia mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan. Yogyakarta: Kanisius. 1977. Leahy, Louis, Aliran-aliran Besar Ateisme: Tujuan Kritis. Yogyakarta: Kanisius. 1985. Snijders, Adelbert. Antropologi Filsafat : Manusia, Paradoks, dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius. 2004. Snijders, Adelbert. Seluas Segala Kenyataan.Yogyakarta: Kanisius. 2009. Suseno, Frans-Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius. 2006. Tjahjadi, Simon-Petrus L., ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I.Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.). Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz-Magnis Suseno. Yogyakarta: Kanisius. 2006. Webster, Noah. Webster‘s New Twentieth Century Dictionary Unabridged. New York: Prentice Hall Press. 1972. White, Hayden. V. ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖ dalam Paul Edward (ed.). The Encyclopedia of Philosophy vol.3. New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press. 1972. White, Hayden V. ―Strauss, David Friedrich‖ dalam Paul Edward (ed.). The Encyclopedia of Philosophy Vol.8. New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press. 1972. ----------------------------------



[1] Hegel adalah seorang filsuf yang hidup pada tahun 1770 hingga 1831. Ia adalah seorang tokoh besar bagi idealisme di Jerman. Pandangan filosofisnya menghantarkan dirinya sebagai tokoh puncak dalam filsafat Barat Modern. Filsafat Hegel berbicara tentang Yang Absolut atau ―Roh‖, ―Idea‖, ―Ratio‖. [Lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Garamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 172-177.] [2] Bdk. Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 64; bdk. juga F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm.228.; bdk. juga K. Bertens, Ringkasan Sejarah Fisafat (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 42. [3] Dalam bahasa inggris ditulis atheism. Namun kata ini berasal dari bahasa Yunani yakni atheos (άθέώοζ). ά artinya tidak dan θέώοζ artinya Allah. Jadi artinya adalah tanpa Tuhan. Itulah pengertian secara nominal tentang arti kata ateis. Menurut Loren Bagus ada beberapa pengertian tentang arti kata dari ateis. Ateis dapat diartikan sebagai bentuk penolakan adanya Tuhan atau dewa/dewi. Selain itu ateis juga dapat diartikan sebagai pandangan yang menolak adanya yang adikodrati termasuk hidup sesudah mati. [ Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996) hlm. 94.] [4] Franz Magnis-Suseno, Menalar…, hlm. 64. [5] Cara berada setiap ada-an yang tidak terbatas pada kenyataan jasmaniah dan kenyataan rohaniah. Setiap ada-an mempunyai identitasnya. [Lihat Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 210] [6] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Garamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 6. [7] Hayden. V. White ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy vol.3, (New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press, 1972), hlm. 191. [8] Buku ini adalah karya yang paling penting dari Ludwig Feuerbach. Dia memberikan pendasaran ide bahwa Allah itu tidak ada dalam kenyataan tetapi Allah adalah sebuah proyeksi dari pemikiran manusia dan prinsip Kristen tentang cinta dan solidaritas akan diikuti manusia dibandingkan hormat secara tidak langsung terhadap refleksi Allah. [ Lihat ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Concise Routlege Encyclopedia of Philosophy (London and New York: Routledge, 2000), hlm. 282.] [9] Tidak lama setelah Hegel meninggal para muridnya terpecah menjadi dua golongan; Hegelian sayap kanan dan Hegelian sayap kiri. Hegelian sayap kanan bersifat konservatif. Mereka menganggap bahwa filsafat Hegel sebagai titik akhir. Bertitik tolak dari filsafat Hegel ini para pengikut sayap kanan membela hak agama Kristen melawan semua serangan yang dilancarkan oleh pihak lain. Hegelian sayap kiri menolak memandang filsafat Hegel sebagai suatu system pemikiran yang definitive dan dengan menggunakan prinsip Hegelian mereka berusaha meneruskan filsafat Hegel. Hegelian sayap kiri memeluk pendirian-pendirian yang ekstrem baik dalam bidang politik maupun bidang agama. [Lihat K. Bertens, Ringkasan..., hlm. 76.] [10] Bdk. F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 227; bdk. juga Ludwig Andreas Feuerbac, http://plato.stanford.edu/entries/ludwig-feuerbach/, 27 Maret 2012. [11] Michael Vlach, Ludwig Andreas Feuerbac, http://theologicalstudies.org/resource-library/philosophydictionary/122-ludwig-feuerbach, 27 Maret 2012. [12] Simon-Petrus L. Tjahjadi, ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I. Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 348. [13] Simon-Petrus L. Tjahjadi, ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I. Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 348. [14] F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 228. [15] Louis Leahy, Masalah Ketuhanan Dewasa Ini (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 72. [16] K. Bertens, Ringkasan..., hlm. 77.



[17] Simon-Petrus L. Tjahjadi, ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I. Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 349. [18] Simon-Petrus L. Tjahjadi, ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I. Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 347. [19] F. Budi Hardiman, Filsafat..., hlm. 228. [20] Simon-Petrus L. Tjahjadi, ―Allah Para Filsuf: Hegel dan Feuerbach tentang Yang Absolut‖ dalam I. Wibowo- B. Herry-Priyono (ed.), Sesudah Filsafat:..., hlm. 348. [21] D.F. Strauss (1808-1874) adalah seorang teolog, ahli sejarah Gereja, dan ahli moral. Ia adalah salah seorang murid Hegel dan menerbitkan karya Das Lebens Jesu Kritisch Bearbeitet –The Life of Jesus Critically Examined. Bukunya itu menampilkan pandangan serta kritik-kritiknya yang cukup kontroversial hidup religius dan akan iman kristiani zaman itu. Strauss berpendapat bahwa agama, mitos, ritual, dan dogma sesungguhnya lebih banyak mengungkapkan hidup rohani seorang individu daripada mengenai objek-objek yang dianggap sebagai sasaran penyembahan atau Tuhan. [Lihat Hayden V. White ―Strauss, David Friedrich‖ dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Vol.8 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc & The Free Press, 1972), hlm.25-26.] [22] ―I do not generate the object from the thought, but the thought from the object; and I hold that alone to be a proper object which has an exsistence beyond one‘s brain‖, [Lihat Hayden V. White ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia ..., hlm. 191.] [23] Hayden V. White ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia ..., hlm. 191. [24] Proyeksi berasal dari kata kerja bahasa Latin, projicere, yang berarti melempar keluar. Dalam bahasa teknis psikologi, proyeksi diartikan sebagai suatu tindakan manusia yang tidak disadari atau suatu proses menganggap, bahwa seolah-olah ia berasal dari ide di luar dirinya, khususnya dalam ide-ide yang kurang baik. Noah Webster, Webster‘s New Twentieth Century Dictionary Unabridged, (New York: Prentice Hall Press, 1972), hlm. 1439. [25] Alienasi berasal dari kata sifat bahasa Latin, alius-a-um, yang berarti ―yang lain‖. Dalam bahasa Inggris, kata alienasi diterjemahkan menjadi alienation, yang berarti ―suatu proses pemindahan gelar, hak, atau harta dari seseorang kepada seseorang yang lain‖. Noah Webster, Webster‘s …, hlm. 46. [26] Hayden V. White ―Feuerbach, Ludwig Andreas‖, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia…, hlm. 191. [27] Frans-Magnis Suseno, Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006) , hlm.66. [28] Frans-Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.66. [29] Frans-Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.68. [30] Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat : Manusia, Paradoks, dan Seruan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm.145. [31] Frans-Magnis Suseno, Menalar...,, hlm. 68. [32] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm. 68-71. [33] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.70. [34] Theo Huijbres, Manusia mencari Allah: Suatu Filsafat Ketuhanan, (Yogyakarta: Kanisius, 1977) hlm. 158. [35] Theo Huijbres, Manusia mencari ..., hlm. 158. [36] Franz Magnis Suseno, Menalar..., hlm.70. [37] Theo Huijbres, Manusia mencari ..., hlm.158. [38] Franz Magnis Suseno, Menalar ..., hlm.71. [39] Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme: Tujuan Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm.92. [40] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92. [41] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92-93. [42] Louis Leahy, Aliran-aliran ..., hlm.92-93. [43] Feuerbach mewakili suatu subjektivisme epistemologis yang tidak dapat dipertahankan dan subjektivisme ini dijadikan suatu dogma. [Lihat H. Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: [tidak ada penerbit]), hlm. 67.] [44] Louis Leahy, ... hlm.93. --------------------------



Apakah Agnostik itu? Oleh Bertrand Russell, 1953. Diterjemahkan oleh Setya A. Sis



Apakah orang agnostik itu Atheis? Tidak. Seorang atheis, seperti halnya penganut Kristiani, mempercayai bahwa ia dapat mengetahui ada atau tidak adanya Tuhan. Penganut Kristiani mengatakan bahwa ia dapat mengetahui Tuhan itu ada; kaum atheis menyatakan bahwa kita dapat mengtahui Tuhan itu tidak ada. Orang agnostik menunda pengambilan keputusan, dengan menyatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menegaskan atau menolak adanya Tuhan. Pada saat bersamaan, orang agnostik mungkin mengatakan bahwa eksistensi Tuhan meskipun bukan tidak mungkin, sangat kecil kemungkinan adanya; ia mungkin menyatakan begitu kecil kemungkinan adanya Tuhan, maka Tuhan pada kenyataannya tidak cukup bermakna untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan. Dalam hal demikian, Tuhan disingkirkan tak jauh berbeda seperti dalam atheisme. Sikapnya adalah mirip seperti filsuf yang teliti terhadap dewa-dewa Yunani Kuno.



Apabila saya disuruh membuktikan bahwa Zeus dan Poseidon dan Hera dan dewa-dewi Olympia lainnya tidak ada, maka saya pasti kebingungan dalam memberikan argumen yang memadai. Orang agnostik akan berpendapat bahwa Tuhan orang Kristiani sama kecil kemungkinan adanya dengan dewa-dewi Olympia; dalam hal demikian, untuk mudahnya ia sama dengan orang atheis. Oleh karena Anda menolak ―hukum Tuhan‖, otoritas apa yang Anda terima sebagai pedoman hidup? Orang agnostik tidak menerima ―otoritas‖ apapun sebagai mana halnya yang diterima oleh orang beragama. Dipercayai bahwa orang harus memikirkan sendiri masalah pedoman hidup. Tentu saja, ia akan mengambil keuntungan dari pengalaman orang lain, tetapi harus dipilihnya sendiri orang-orang yang dianggapnya bijak, dan sama sekali tidak akan menganggap bahwa apapun yang dikatakannya tak boleh dibantah. Teramati bahwa apa yang ditentukan oleh ―Hukum Tuhan‖ itu selalu berubah setiap saat. Injil mengatakan bahwa wanita tiak boleh kawin dengan saudara laki-2 dari suami yang telah meninggal, dan bahwa dalam keadaan tertentu wanita harus kawin dengannya. Jika anda kebetulan seorang janda tak beranak dan masih ada ipar yang belum kawin, maka logikanya anda tak boleh menghindari ―hukum Tuhan.‖ Bagaimana Anda mengetahui baik dan buruk? Apakah yang dianggap Dosa oleh orang agnostik? Orang agnostik tidak begitu pasti sebagaimana yang diyakini penganut Kristiani terhadap apa yang disebut baik dan buruk. Tidak akan diklaim seperti yang diklaim penganut Kristiani di masa lalu bahwa orang yang tak setuju dengan perintah mengenai theologi yang absurd harus menerima hukum mati yang menyakitkan. Hukum mati demikian ditentang, dan lebih hati-hati mengenai tuduhan moral. Kata ―dosa‖ dianggap bukan sebagai ide yang ada gunannya. Tentu saja diakui bahwa sebagian macam tindakan adalah patut dan sebagian lagi tidak patut, tapi diyakini bahwa hukuman untuk tindakan yang tidak patut hanya diterapkan jika dimaksudkan untuk menghindari atau memperbaiki, bukan karena hukuman itu memang dianggap baik dan dengan pikiran bahwa orang jahat harus menderita. Kepercayaan inilah yang ada dalam hukuman balas dendam sehingga orang menerima idee neraka. Ini adalah bagian merugikan yang telah diakibatkan oleh adanya ide ―dosa‖. Apakah orang agnostik melakukan apapun asal dikehendakinya? Dalam satu hal tidak, dilain hal siapapun akan melakukan apa yang dikehendakinya. Kalau misalnya Anda begitu membenci seseorang sampai Anda mau membunuhnya: Kenapa tidak? Anda akan menjawab: ―Sebab agama mengatakan bahwa pembunuhan adalah dosa.‖ Namun dalam kenyataan statistik, orang-orang agnostik tidak lebih cenderung melakukan pembunuhan dari pada orang lain, dan kenyataannya kecenderungan mereka memang lebih kecil. Mereka mempunyai motif sama untuk tidak melakukan pembunuhan sebagaimana orang lain. Jauh dalam lubuk hatinya, motif paling kuat adalah takut dihukum. Namun dalam keadaan tanpa hukum, seperti demam menambang emas, segala macam orang akan melakukan kejahatan, meski dalam keadaan normal mereka adalah orang-orang yang taat pada hukum. Bukan hanya karena adanya hukuman, tapi juga ada rasa tidak nyaman mengetahui hal menakutkan itu, dan rasa sepi karena mengetahuinya, untuk menghindari kebencian orang, anda harus memakai topeng meski dengan teman terdekat anda sekalipun. dan dan ada lagi yang sering disebut ―conscience‖: Jika anda pernah berangan-angan untuk membunuh, anda akan takut pada ingatan yang mengerikan saatsaat terakhir tubuh korban anda tak bernyawa. Semua ini benar, ya, tergantung pada kehidupan anda dalam masyarakat yang taat hukum, tetapi banyak sekali alasan-alasar non agama/sekuler yang dipakai untuk menciptakan dan dan mengabadikan masyarakat demikian. Saya katakan ada alasan lain mengapa siapapun akan melakukan apa yang diinginkannya. Tak seorangpun kecuali orang tolol yang menuruti segala keinginan, tetapi apa yang menahan keinginan in check adalah selalu merupakan meinginan yang lain. Keinginan anti-sosial seseorang dapat di kendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan Tuhan, tapi dapat juga dikendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan teman-temannya, atau mendapatkan respek penghormatan dari masyarakatnya, atau agar dapat mencitrakan dirinya sendiri tanpa rasa jijik. Namun jika tak memiliki keinginan-2 tersebut, maka satu-2 nya aturan abstrak moralitas tak akan dapat meluruskan orang itu. Bagaimanaka anggapan orang agnostik terhadap Injil?



Orang agnostik menganggap Injil tepat sebagaimana yang dianggap oleh seorang enlightened clerics. Tidak dianggapnya sebagai inspirasi illahi; akan dianggapnya sebagai legenda sejarah awal, dan tak lebih akurat dari pada yang tertulis dalam Homer; dianggapnya ajaran moral yang terkandung didalamnya kadang baik, tapi kadang sangat buruk. Misalnya, Samuel memerintahkan Saul dalam perang untuk tidak saja membunuh tiap laki-laki, wanita, dan anak-anak lawan, tapi sampai semua biri-biri dan ternak sapinya. Namun demikian Saul tetap membiarkan biri-biri dan ternak sapi hidup, dan untuk hal ini kita disuruh mengutuknya. Saya tak pernah mampu menyenangi Elisha karena mengutuki anak-anak yang mengolok-oloknya, atau mempercayai (yang dinyatakan Injil) bahwa Dewa yang baik hati akan mengirimkan beruang jadi-jadian untuk membunuh anak-anak tersebut. Bagaimanakah anggapan orang agnostik terhadap Jesus, Kelahiran oleh Sang Perawan, dan Trinitas yang Suci? Karena orang agnostik tidak percaya Tuhan, tak dapat dipercayai bahwa Jesus adalah Tuhan. Kebanyakan orang-orang agnostik menghargai kehidupan dan ajaran Jesus sebagaimana ditulis dalam Injil, tetapi tidak harus melebihi penghargaan terhadap orang lain. Ada yang menempatkan Jesus sama dengan sang Buddha, sebagian dengan Socrates dan dan lainnya dengan Abraham Lincoln. Mereka juga tidak menganggap apa-apa yang dikatakannya tidak boleh dibantah, oleh karena orang Agnostik tidak menerima suatu otoritas sebagai hal yang absolute. Orang Aganostik Menganggap Kelahiran Sang Perawan sebagai satu doktrin yang diambil dari mitologi pagan/kafir, dimana kelahiran demikian bukan hal yang aneh (Zoroaster dikatakan terlahir dari seorang perawan; Ishtar, the dewi Babylon, yang disebut sebagai the Holy Virgin/Perawan Suci). Mereka tak dapat memberikan kepercayaannya kepada hal tersebut, ataupun kepada doktrin Trinitas, karena keduanya tidak mungkin tanpa adanya kepercayaan pada Tuhan. Dapatkah orang agnostik menjadi penganut Kristiani? Kata ‖ Kristiani‖ mempunyai berbagai makna dalam waktu yang berbeda. Selama berabad-abad sejak jama Kristus, kata itu berarti orang yang percaya apada Tuhan dan keabadian dan serta bahwa Kristus adalah Tuhan. Tetapi kaum Unitarians menyebut diri mereka penganut Kristiani meski tidak percaya akan keIlahian Kristus, dan banyak orang saat ini menggunakan kata ―Tuhan‖ dengan arti yang kurang pas dibandingkan dengan arti jaman sebelumnya. Banyak orang yang sekarang mempercayai Tuhan tidak lagi bermakna person/manusia, atau trinitas dari person, namun hanya berupa kecenderungan kabur atau kekuatan atau maksud dan tujuan immanent dalam evolusi. Lebih jauh lagi, orang lain mengartikan ―Kristianitas‖ hanyalah sebuah sistem etika yang dibayangkan sebagai karakter penganut Kristiani saja, karena mereka tidak peduli dengan masalah kesejarahan. Dalam buku yang baru diterbitkan, ketika saya katakan bahwa apa yang diperlukan dunia adalah ―cinta, cinta Kristiani, atau kepedulian/compassion,‖ banyak yang menyangka hal ini menunjukkan adanya perubahan dalam pemikiran saya, meski kenyataannya mungkin saya katakan hal yang sama kapanpun. Jika yang Anda maksudkan ―Penganut Kristiani‖ berarti orang yang mencintai tetangganya, yang sangat bersimpati terhadap penderitaan, dan yang sangat menginginkan agar dunia bebas dari kebuasan dan kebencian yang jaman sekarang ini diabaikan, maka jelas Anda mendapat justifikasi untuk menyebut saya seorang Kristiani. Dan dalam hal ini, saya kira anda akan dapat menemukan lebih banyak ―penganut Kristiani‖ diantara orang-orang agnostik dibandingkan dalam kalangan orthodoks. Namun menurut saya, Saya tak dapat menerima definisi demikian. Selain penolakan lainnya, namapaknya agak kasar bagi orang Yahudi, Buddhis, Muslim, penganut non Kristianilainnya , yang sepanjang sejarah ditunjukkan oleh sejarah, paling tidak cenderung untuk melakukan moralitas diklaim dengan arogan oleh penganut Kristiani sebagai unik milik agama mereka sediri. Saya kira juga bahwa siapapun yang menyebut diri penganut Kristiani di jaman-jaman awal, dan dah sebagian besar orang yang melakukannya sampai saat ini, akan menganggap bahwa kepercayaan pada Tuhan dan immortalitas adalah essensial bagi penganut Kristiani. Dengan dasar ini, saya menyebut saya sendiri sebagai penganut Kristiani, harus saya katakan bahwa orang agnostik tak dapat menjadi penganut Kristiani. Namun jika kata ―Kristianitas‖ ternyata digunakan secara umum dulunya hanya berarti sejenis moralitas, maka jelaslah mungkin bagi seorang agnostik untuk menjadi penganut Kristiani. Apakah Orang agnostik menolak bahwa manusia punya Jiwa? Pertanyaan ini tidak mempunyai arti yang tepat kecuali kita diberi definisi sari kata ―jiwa‖.



Saya kira yang dimaksudkan secara kasar adalah sesuatu nonmaterial yang berada dalam seluruh hidup seseorang bahkan, bagi yang mempercayai immoralitas, sepanjang waktu-waktu yang akan datang. Jika yang begitu maksudnya maka orang agnostik mungkin tidak akan percaya bahwa manusia mempunyai jiwa. Tetapi akan segera saya tambahkan bahwa hal ini tidak berarti orang agnostik pasti penganut materialis. Banyak orang-orang agnostik (termasuk saya sendiri) sangat ragu pada tubuh sebagaimana ketidak tahuan mengenai jiwanya, namun ini adalah cerita lama untuk mempertimbangkan metafisik yang sulit ini. Baik jiwa maupun materi harus saya katakan adalah simbol yang mudah dalam satu diskursus, sebenarnya bukan sesuatu yang eksis. Apakah orang agnostik percaya Akhirat, Surga atau Neraka? Pertanyaan mengenai apakah orang akan hidup setelah mati adalah pertanyaan mengenai bukti mana yang memungkinkan. Riset fisika dan spiritualisme dianggap oleh banyak orang dapat memberikan buktinya. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan mengenai kelangsungan jiwa kecuali dianggapnya ada bukti yang serba sedikit-pun. Menurut pandangan saya sendiri, saya anggap tidak ada alasan memadai untuk mempercayai bahwa kita akan hidup lagi setelah mati, namun saya terbuka untuk percaya jika ada bukti yang memadai. Surga atau neraka adalah hal lain lagi. Percaya pada adanya neraka terikat pada adanya kepercayaan bahwa hukuman pembalasan artas dosa adalah hal yang baik, sangat terpisah of dari tujuan pencegahan atau perbaikan yang mungkin dapat diberikan. Orang agnostik hampir tak percaya akan hal ini. Sehubungan dengan surga, barangkali ada bukti yang dapat diraba dengan eksistensinya melalui spiritualisme, namun kebanyakan orang-orang agnostik menganggap tidak ada bukti demikian, dan oleh karenanya tidak mempercayai adanya surga. Apakah anda tak pernah takut pada pembalasan Tuhan karena menolak-Nya? Tentu tidak. Saya juga menolak Zeus dan Jupiter dan Odin dan Brahma, namun hal ini tidak menyebabkan kebingungan/keraguan bagi saya. Saya perhatikan bahwa sebagian besar dari ummat manusia tidak percaya tuhan Tuhan dan tidak menderita hukuman yang nyata karenanya. dan jika memang ada Tuhan, saya kira Tuhan itu tidak akan merasa tak nyaman karena ditolak eksistensinya. Bagaimana Orang Agnostik menerangkan keindahan dan harmoni Alam? Saya tak tahu dimana ketemunya ―keindahan‖ dan ―harmoni‖. Dalam kelompok kerajaan binatang, binatang-binatang itu saling memakan. Kebanyakan dari mereka terbunuh dengan kejam oleh binatang lain atau mati pelan-pelan karena kelaparan. Menurut saya sendiri, saya tak bisa melihat keindahan luar biasa atau harmoni dalam diri Cacing Pita. Janganlah dikatakan bahwa binatang ini dikirim sebagai hukuman atas dosa-dosa kita, sebab binatang itu lebih banyak terdapat pada binatang dibandingkan manusia. Saya kira si penanya sedang memikirkan keindahan langit yang penuh bintang. Akan tetapi harus diingat bahwa bintang kadang meledak dan menghancurkan tetangga sekitarnya menjadi asap yang gelap. Keindahan, dalam segala hal adalah subyektif dan hanya ada di mata orang yang memandangnya saja. Bagaimana Orang Agnostik menjelaskan mukjizat dan wahyu lain dari Tuhan YME? Orang-orang agnostik beranggapan tidak ada bukti ―mukizat‖ dengan arti kejadian-kejadian yang bertentangan dengan Hukum Alam. Kita tahu bahwa penyembuhan dengan iman dapat terjadi dan sama sekali bukan mukjizat. Di Lourdes, penyakit tertentu dapat disembuhkan dan lainnya tidak dapat disembuhkan. Yang dapat tersembuhkan dapat saja disembuhkan oleh dokter manapun terhadap pasien yang beriman. Menurut catatan mukjizat lain, seperti Joshua yang memerintahkan Matahari agar diam, orang agnostik menolaknya dan menganggap hanya legenda dan menunjukkan bahwa semua agama penuh dengan legenda yang begitu. Sama banyaknya mukjizat yang ada pada dewa-dewa Yunani dalam cerita Homer seperti halnya Tuhan Kristiani dalam Injil. Banyak nafsu rendah dan jahat yang ditentang agama. Jika Anda meninggalkan prinsip-prinsip keagamaan, dapatkan umat manusia terus eksis? Adanya nafsu rendah dan jahat tak dapat ditolak, tapi tak saya temui bukti dalam sejarah bahwa agama agama-agama telah menentang nafsu-nafsu tersebut. Sebaliknya, malah disucikan, dan memungkinkan orang untuk mentolerirnya tanpa rasa sesal. Hukuman kejam lebih umum terjadai dalam Kristiani dibandingkan tempat lainnya. Apa yang nampak dapat membenarkan hukum mati adalah kepercayaan dogmatis. Keramahan dan toleransi hanya terjadi sejalan dengan berkurangnya kepercayaan dogmatis. Dalam jaman kita sekarang, agama baru yang dogmatis, yakni komunisme telah muncul. Untuk itu, sebagai mana terhadap sistem dogma lainnya, orang agnostik ditenentangnya.



Ciri hukum-menghukum komunisme jaman ini persis seperti Ciri hukum-menghukum Kristianitas di abad dahulu. Dengan berlangsungnya waktu, Kristianitas kurang cenderung menghukum, ini adalah hasil kerja para penganut berfikir bebas yang menjadikan penganut dogmatis berkurang ke-dogmatisannya. Jika mereka tetap dogmatis seperti jaman dulu, mereka akan tetap menganggap benar membakar orang yang tak percaya. Semangat toleransi yang dianggap oleh penganut Kristiani modern sebagaimana Kristiani, pada kenyataannya merupakan produk moderasi yang memperkenankan ketidak-jelasan dan mencurigai kepastian absolut. Saya kira siapapun yang meneliti sejarah tanpa memihak akan menuju kesimpulan bahwa agama-agama telah mengakibatkan penderitaan dari pada yang telag diselamatkannya. Apakah arti hidup bagi Orang Agnostik? Saya cenderung menjawabnya dengan pertanyaan lain: Apa maksudnya ―arti hidup‖ ? Saya kira itu adalah apa yang dimaksudkan sebagai tujuan umum. Saya tidak menganggap bahwa hidup itu ada tujuannya. Cuma asal terjadi saja. Tetapi tiap individu memiliki tujuan hidup tertentu, dan tak ada alasan dalam agnostisisme untuk meninggalkan tujuan-tujuan hidup ini. Tentu mereka tidak pasti yakin akan dapat mencapai hasil yang diusahakannya; namun anda akan menganggap gila jika seorang tentara menolak tugas bertempur sampai ia yakin pasti menang. Orang yang memerlukan agama untuk menekankan tujuan hidupnya sendiri adalah orang yang ketakutan, dan saya tidak dapat menanggapnya pula sebagai orang yang mencari jalan aman, meski mengakui juga bahwa kekalahan bukan merupakan hal yang tak mungkin. Apakah penolakan terhadap agama berarti penolakan terhadap perkawinan dan kesetiaan? Lagi, hal ini akan dijawab dengan pertanyaan: Apakah orang yang mempertanyakan ini percaya bahwa perkawianan dan kesetiaan dapat meningkatkan kebahagiaan di dunia, atau apakah ia mengaanggap bahwa perkawinan dan kesetiaan itu, meski menyebabkan kseusahan di dunia, dipakai sebagai alat mencapai surga? Orang yang mengambil pandangan terakhir jelas tak dapat mengharapkan agnostisisme akan menyebabkan menurunnya moralitas, namun harus kita akui bahwa moralitas adalah sebab utama adanya kebahagiaan umat manusia dalam kehidupannya di dunia. Jika sebaliknya ia mengambil pandangan pertama yaitu bahwa ada argumen yang membumi untuk perkawinan dan kesetiaan, harus juga diyakininya bahwa argumen-argumen ini mesti meyakinkan juga bagi orang agnostik. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan berbeda mengenai moralitas seksual. Akan tetapi kebanyakan akan mengakui bahwa, ada argumen yang shahih untuk menentang toleransi terhadap nafsu seksual tanpa kendali. Namun demikian, akan mendasarkan argumen ini pada sumber-sumber membumi yang jelas dan bukan berdasarkan digaan perintah keilahian. Apakah keimanan karena logika saja merupakan kepercayaan yang berbahaya? Bukankan logika tidak sempurna dan tidak memadai tanpa hukum spiritual dan moral? Tak seorangpun yang mau memakai otak meski ia agnostik, ―hanya mengimani logika saja‖. Logika berkaitan dengan kenyataan, sebagian teramati, sebagian lagi disimpulkan. Pertanyaan apakah ada kehidupan masa depan dan pertanyaan apakah ada Tuhan berkaitan dengan kenyataan, dan orang agnostik percaya bahwa pertanyaan-pertanyaan itu harus diselidiki mirip dengan pertanyaan, ―Apakah akan ada gerhana rembulan besok?‖ Namun kenyataan saja tidak cukup untuk menentukan tindakan, karena tidak diberitahukan apa tujuan yang harus kita capai. Dalam wilayah tujuan-tujuan, kita memerlukan hal lain selain logika. Orang agnostik menemukan tujuan dalam hatinya sendiri dan bukan dalam perintah dari luar. Coba kita ambil contoh: Misalkan Anda ingin bepergian dengan kereta api dari New York ke Chicago; Anda akan menggunakan logika untuk mengetahui kapan kereta api berangkat, dan orang yang mengira bahwa ia punya kemampuan mengetahui atau intuisi yang menyuruhnya agar menyesuaikan dengan jadwal akan dianggap agak bodoh. Namun tak ada jadwal yang akan memberitahu bahwa pergi ke Chicago adalah bijaksana. Jelas dalam menentukan apakah hal itu bijaksana, ia mesti memperhitungkan fakta-fakta lain; namun dibalik segala fakta, ada tujuan yang dianggapnya cocok untuk diusahakan, dan bagi orang agnostik sebagaimana orang-orang lain, hal-hal ini termasuk dalam wilayah yang bukan wilayah logika, meski tidak harus bertentangan sama sekali dengan logika. Wilayah yang saya maksudkan adalah emosi dan perasaan dan keinginan. Apakah anda menganggap semua agama sebagai bentuk takhayul atau dogma? Agama-agama mana yang Anda hormati, dan mengapa? Semua agama besar dan terorganisir yang mendominasi umat manusia sedikit banyak mengandung dogma, tetapi ―agama‖ adalah kata yang maknanya tidak pasti. Sebagai contoh Confucianism dapat disebut agama, meski tidak mengandung dogma. Dan dalam beberapa bentuk kepercayaan Kristen, elemen dogma diperkecil sampai minim.



Dari agama-agama besar sepanjang sejarah, Saya lebih cenderung Buddhisme, terutama dalam bentunya yang paling awal, sebab agama itu yang melibatkan hukuman paling minim. Komunisme, seperti agnostisisme bertentangan dengan agama. Apakah orang-orang agnostik itu komunis? Komunisme tidak menentang agama. Hanya menentang agama Kristiani saja, sebagaimana yang ditentang oleh agama Islam (Mohammedanism sic.). Komunisme, paling tidak dalam bentuk yang diciptakan oleh pemerintah Soviet dan Partai Komunis, adalah suatu sistem dogma baru yang maut dan banyak melibatkan penghukuman. Oleh karena itu, tiap orang agnostik asli mesti menentangnya. Apakah orang-orang agnostik menganggap sains dan agama tak mungkin bersahabat? Jawabannya kembali pada apa yang dimaksud dengan ―agama‖. Jika hanya berarti sistem etika, agama dapat akrab dengan sains. Jika hanya berarti sistem dogma, yang dianggap sebagai mutlak benar, maka hal itu tidak cocok dengan semangat ilmiah/sains yang menolak diterimanya kenyataan tanpa bukti, dan juga menganggap bahwa kepastian mutlak jarang sekali tercapai. Bukti apa yang dapat meyakinkan Anda bahwa Tuhan itu ada? Saya kira jika saya dengar suara dari langit yang memprediksi segala sesuatu yang akan terjadi pada diri saya dalam waktu 24 jam mendatang, termasuk kejadian-kejadian yang sangat tidak mungkin, dan dan jika hal-hal itu terjadi betul, barangkali saya dapat diyakinkan paling tidak terhadap adanya intelegensia superhuman. Dapat saya bayangkan bukti-bukti lain sejenis yang mungkin dapat meyakinkan saya, namun sampai kini setahu saya tak ada bukti demikian. Ryan Breedon untuk Philosophy for Everyone/Filsafat untuk Siapapun, 24 Agustus 1997. Diterjemahkan oleh Setya A. Sis (Sumber Milis Diskusi SARA) --------------------



Paham Relativisme; Pengertian, Aliran dan Kritik A. Pendahuluan Doktrin relativisme kini telah menjadi tantangan nyata dalam kehidupan. Paham ini telah memasuki bidang filsafat, akidah dan bahkan metodologi studi keilmuan. Dalam bidang filsafat, doktrin relativisme menyentuh pembahasan epistemologi — sumber-sumber ilmu. Ia juga mendobrak dinding-dinding akidah. Sebab, mengajarkan bahwa keyakinan tiap-tiap agama dan kepercayaan itu relatif, tidak ada satu agama atau keyakinan yang absolut benar. Karena telah menyentuh bidang epistemologi, maka selanjutnya relativisme juga mempengaruhi metodologi studi keilmuan. Produk paling nyata adalah penggunaan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur‘an dan teks-teks keislaman lainnya. Sikap ‗netral agama‘ dalam studi perbandingan agama juga merupakan pengaruh dari relativisme. Dari paham inilah, lalu merambat ke virus-virus pemikiran lainnya seperti liberalisme, feminisme, pluralisme, sekularisme dan lain sebagainya.[1] Maka, tulisan ini hadir untuk membahas secara singkat tentang pengertian relativisme, sejarah kemunculannya, aliran-alirannya, implikasinya dalam kehidupan dan kritik para tokoh muslim terhadap bahaya relativisme itu. B. Pengertian Relativisme Sebelum melangkah ke pembahasan yang lebih mendalam, ada baiknya mengetahui dahulu arti relativisme secara bahasa dan istilah. Secara etimologis, relativisme yang dalam bahasa Inggrisnya relativism, relative berasal dari bahasa latin relativus (berhubungan dengan). Dalam penerapan epistemologisnya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran adalah relatif. Penggagas utama paham ini adalah Protagoras, Pyrrho.[2] Sedangkan secara terminologis, makna relativisme seperti yang tertera dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Lebih lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial[3]. C. Sejarah Muncul Paham Relativisme dan Perkembangannya Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras (490 SM-420 SM), tokoh Sophis Yunani[4] terkemuka abad 5 SM. Ia termasuk salah seorang sofis pertama dan juga yang paling terkenal.[5]



Selain sebagai filsuf, ia juga dikenal sebagai orator dan pendebat ulung. Ditambah lagi, ia terkenal sebagai guru yang mengajar banyak pemuda pada zamannya. [6] Ia berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Manusia yang dimaksud di sini adalah manusia sebagai individu. Dengan demikian, pengenalan terhadap sesuatu bergantung pada individu yang merasakan sesuatu itu dengan panca indranya. Contohnya bagi orang sakit, angin terasa dingin. Sedangkan bagi orang sehat, angin itu terasa panas. Di sini kedua orang tersebut benar, sebab pengenalan terhadap angin berdasarkan keadaan fisik dan psikis orang-orang tersebut.[7] Di zaman Barat postmodern doktrin ini dicetuskan oleh F. Nietzsche dengan doktrin yang disebut nihilisme yang intinya adalah relativisme.[8] Kemudian relativisme berkembang pada peradaban modern yang didasarkan atas dasar rasionalisme, materialisme, positivisme, evolusonisme dan hedonisme. Paham ini selalu terkait dengan masalah etika, agama dan kebudayaan. Pada abad ke20 paham ini mendapat dukungan dari ahli-ahli antropologi dan pengajian kemanusiaan seperti Ruth Benedict, Edward Westermarck, Hans Reihenbach dan lain-lain. Dalam bukunya Ethical Judgment, Edel memperinci beberapa faktor suburnya relativisme pada abad ke-20.[9] Pertama, pandangan bahwa peradaban dan kebudayaan, begitu pula agama, sebenarnya hanya buatan manusia. Dan manusia, menurut Darwin, adalah bagian daripada dunia hewan. Kebenaran tidak pernah diperoleh manusia dari Tuhan, kerana Tuhan itu tidak dikenali serta nun jauh di sana dan tidak pernah ada hubungannya dengan manusia. Kedua, dalam kehidupan politik, manusia modern mengukur baik dan buruknya tindakan politik hanya berdasarkan ukuran dimilikinya kekuasaan. Cara pandang ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu politik itu sendiri. Sejak Machiavelli sampai Marx dan Lenin, terus hingga masa kini, yang dijadikan perhatian ialah bagaimana merebut dan meraih kekuasaan. Kekuasaan dijadikan tujuan dan dipergunakan sebagai sarana dalam upaya memahami perjuangan manusia di lapangan sosial. Ketiga, Teori ekonomi dan pandangan psikologi modern juga tidak kurang pentingnya dalam ikut menyuburkan relativisme, seperti misalnya teori Pavlov, Karen Horney dan Abram Kardiner. Keempat, Relativisme juga muncul kerana manusia tidak lagi mengetahui jalan yang bisa menghubungkan dirinya dengan sumber-sumber kebenaran, sedangkan citra dirinya dan hubungannya dengan sumber-sumber kebenaran telah dikaburkan oleh pandangan yang menempatkan dirinya tidak lebih tinggi dari hewan bahkan benda. D.



Aliran-Aliran Relativisme



1. Relativisme Etika Relativisme etika merupakan paham atau aliran pemikiran filsafat yang secara tegas menolak pendapat yang mengatakan bahwa norma etika berlaku untuk semua orang di mana saja.[10] Pengertian lain, Shomali telah memberikan definisi yang cukup mudah dipahami yaitu ―Relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip etika yang benar secara universal; kebenaran semua prinsip etika bersifat relatif terhadap budaya atau individu tertentu‖. Sebagai contoh, membunuh itu bisa benar dan juga bisa salah tergantung apa tujuan orang melakukan pembunuhan.[11] Orang Callatia[12] memakan ayah mereka yang telah mati sebagai penghormatan dan kebanyakan dari tanggapan kita terhadap hal itu adalah tidak beretika. Tetapi bagi orang Callatia membakar atau mengubur orang mati adalah perbuatan menakutkan dan menjijikkan atau tidak beretika.[13] Tidak sedikit filsuf yang menganut aliran ini. Protagoras, misalnya, mengatakan bahwa benarsalahnya sesuatu tergantung pada individu yang memberi penilaian. Engels menyatakan bahwa ‗penilaian moral‘ (moral judgment) tergantung pada kelas sosial tertentu; sementara Hegel menegaskan bahwa negaralah yang menentukan penilaian mana yang benar dan yang salah.[14] Kesimpulan dari paham ini adalah, tindakan yang dianggap tidak beretika di satu tempat, tidak bisa ditetapkan sebagai etika di tempat lain. Karena beda suku, budaya dan bahasa, maka beda pula standarisasi etikanya. Maka kebenaran atas etika suatu kaum adalah relatif. 2. Relativisme Budaya Relativisme budaya berbeda dengan relativisme etika. Relativisme etika berbicara tentang pengabaian prinsip dan tidak adanya rasa tangggung jawab dalam pengalaman hidup seseorang.



Sebaliknya, relativisme budaya berbicara mengenai pegangan yang teguh pada prinsip, pengembangan prinsip tersebut, dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan pengalaman seseorang.[15] Jika perkembangan budaya antara satu wilayah budaya dengan wilayah budaya lainnya berbeda, maka standar kebenaran dan kebaikan yang ada tiap kelompok budaya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah terbentuk nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif. Meskipun demikian, adanya relativitas budaya secara konseptual dan sistematis dipopulerkan oleh Frans Boaz, seorang antropolog budaya berkebangsaan Amerika. Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya. Karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Ia menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan kebudayaannya. Prinsip ini didasarkan pada hasil penelitian Frans Boaz[16] dalam dekade awal abad ke 20 dan kemudian dipopulerkan oleh murid-muridnya. Boaz sendiri tidak menggunakan istilah itu, tetapi istilah tersebut menjadi umum antar ahli antropologi setelah kematian Boas tahun 1942. Istilah tersebut pertama kali digunakan dalam jurnal Antropologi Amerika tahun 1948; yang isinya merepresentasikan bagaimana murid-murid Boas meringkas dari berbagai prinsip pemikiran Boas. Sisi positif dari paham relativisme budaya ini adalah dapat menyesuaikan dirinya dengan budaya sekitarnya, dan tidak pernah menganggap bahwa budayanya adalah budaya yang terbaik. Sedangkan dampak negatifnya bisa dirasakan oleh suatu negara, misalkan, jika Indonesia sudah memiliki paham relativisme yang sangat kuat, namun ada imigran yang baru datang, maka secara otomatis pemerintah sangat sulit untuk memberi pengarahan kepada imigran tersebut. 3. Relativisme Agama Lain halnya dengan relativisme etika dan budaya, inilah ujung dari paham relativisme yang sangat mengkhawatirkan, yaitu relativisme agama. Paham ini mengajarkan ketidakyakinan atau keraguan umat beragama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Inilah akar dari pemikiran Pluralisme Agama yang mengakui kebenaran relatif dari semua agama.[17] Doktrin ini mengajarkan bahwa agama tidak lagi berhak mengklaim mempunyai kebenaran absolut, ia dipahami sama dengan persepsi manusia sendiri yang relatif itu. Manusia dikatakan tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Pemilik kebenaran hakiki hanya Tuhan. Implikasinya, penganut paham ini membedakan agama dari pemikiran keberagamaan. Frameworknya masih berkutat dikotomi absolut relatif. Agama itu absolut dan pemikiran keagamaan itu relatif. Akibat dari doktrin ini, tafsir yang merupakan pemahaman para ulama itu menjadi relatif, demikian pula pemahaman hukum para ulama juga relatif. Karena sifatnya relatif dan tidak absolut maka ilmu para ulama tidak dapat dijadikan rujukan, sehingga para ulama itu dianggap tidak memiliki otoritas dan tidak boleh memberi fatwa. Maka dari itu tidak heran jika para pelajar Muslim penganut paham liberalisme dan relativisme itu sangat anti kepada fatwa Majelis Ulama atau sejenisnya.[18] Mengenai hal di atas, Allah berfirman di dalam al-Qur‘an yang artinya: ―Tuhan yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah orang-orang yang meyakini. Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu. Tetapi mereka bermainmain dalam keraguan‖ (QS. Al-Dukhan: 7-9). Ayat terakhir yang berbunyi ―Bal hum fi syaqqin yal‘abun‖. Merupakan tepat untuk menggambarkan kaum relativis. Mereka meragukan terhadap kebenaran agama. Meragukan terhadap kepastian iman yang final. Keragua-raguan selamanya tidak akan menunjukkan kepada pengetahuan pasti, terlebih di dalam masalah keagamaan yang sifatnya fundamental. E. Kritik Terhadap Paham Relativisme Dengan melihat dampak relativisme yang sudah dijelaskan di atas, ternyata paham relativisme ini sangat berbahaya bagi masyarakat awam. Terlebih relativisme agama. Untuk itu, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSIST) menjelaskan dan mengkritik secara tuntas logika paham relativisme agama tersebut.



Ia menulis, ―Pernyataan bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolute, mempunyai banyak kerancuannya. Pertama, jika dikatakan bahwa manusia tidak mengetahui kebenaran absolute tentu tidak benar, sebab hitungan matematis 2×2=4 adalah absolute. Nabi Muhammad saw pernah hidup dan membawa risalah Islam kemudian wafat adalah pengetahuan absolute. Kedua, jika maksudnya adalah kita tidak mengetahui kebenaran absolute seperti yang dimaksud Tuhan, ini berarti ia tidak percaya kepada kenabian Muhammad saw, manusia yang dipercaya Allah dapat menyampaikan risalah. Mustahil Allah menurunkan wahyu yang tidak bisa difahami oleh Rasul-Nya sendiri. Ketiga, seseorang yang menyatakan bahwa yang benar hanya Tuhan, maka orang tersebut mestinya telah mengetahui kebenaran yang diketahui Tuhan itu. Jika dia tidak tahu maka mustahil ia dapat menyatakan bahwa yang benar secara absolute hanya Tuhan. Jika dia tahu maka pengeteahuannya itu absolute. Jadi dengan demikian pemikiran dan pengetahuan manusia itu bisa relative dan bisa absolute. Keempat, pernyataan bahwa ―kebenaran itu relatif‖ sebenarnya juga kontradiktif (selfcontradiction). Sebab jika demikian maka pernyataan itu sendiri juga termasuk relatif alias belum tentu benar. Karena pernyataan ―kebenaran itu relative‖ belum tentu benar, maka dimungkinkan ada pernyataan lain yang berbunyi ―kebenaran itu bisa absolute dan bisa juga relative‖, dan pernyataan ini juga dapat dianggap benar. Kelima, dari perspektif epistemologi Islam, pernyataan bahwa pemikiran manusia itu relatif yang absolut hanya Tuhan dapat diterima dalam perspektif ontologis dan tidak dapat dibawa ke dalam ranah epistemologis. Benar, secara ontologis Tuhan itu absolut dan manusia itu relatif. Namun secara epistemologis kebenaran dari Tuhan yang absolut itu telah diturunkan kepada manusia melalui Nabi dalam bentuk wahyu. Kebenaran wahyu yang absolut itu dipahami oleh Nabi dan disampaikan kepada manusia. Manusia yang memahami risalah Nabi itu dapat memahami yang absolut.[19] Berkaitan dengan relativisme etika, tentunya tidak dapat dipungkiri bahwa selain memiliki segi positif, aliran relativisme ini juga memiliki segi negatif. Hal negatif tersebut ialah tidak adanya suatu ukuran moral ideal yang dapat dijadikan pegangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Kaum relativis melihat kebenaran etika terdapat dalam setiap kebudayaan. Akibatnya dalam menilai kebenaran etika suatu perbuatan bisa dihasilkan begitu banyak pandangan yang berbedabeda sehingga kebenaran yang dihasilkan tersebut tidak dapat dipercaya. Tanpa adanya suatu ukuran yang berlaku umum akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam melakukan hubungan kerja sama antara kebudayaan. Hal ini dikarenakan setiap kebudayaan tetap berpegang pada keyakinan mereka masing-masing. Karena ukuran tersebut sudah ada dan dipercaya sejak dahulu maka sulit untuk diadakan suatu perubahan-perubahan etika. Padahal mungkin saja keyakinan tersebut tidak sesuai lagi dengan konteks zaman saat ini. Oleh karena itu adanya suatu ukuran moral ideal yang bersifat universal bagi seluruh kebudayaan mutlak diperlukan. F. Penutup Akar paham pluralisme-liberalisme ini berkutat dalam tiga aliran besarnya, relativisme etika, budaya dan agama. Tapi pada hakikatnya, relativisme agama lah yang paling berbahaya. Sebab paham ini tidak hanya dalam lingkup sosial, tapi sudah masuk ke ranah teologi dan mencabikcabik akidah. Dengan jargonnya ―Kebenaran yang mutlak itu hanya dari Tuhan, manusia hanya makhluk relatif‖, sepintas terasa indah. Tapi sebenarnya mengandung paham pluralisme, bahkan ateisme yang tidak percaya adanya Tuhan. Dalam Islam ada yang namanya relatif. Tapi tidak semua hal bersifat relatif. Penilaian manusia terhadap kebenaran sesuatu harus dilandasi dengan ilmu dan iman. Ilmu mengantarkan manusia pada pencapaian pengetahuan dan iman memantapkan keyakinan terhadap pengetahuan tersebut. Jadi, ilmu dan iman tidak dapat dipisahkan dalam memahami sesuatu. Wallahu a‘lam bishshawab. G.



Referensi



A.Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z, (Jogjakarta: Kanisius, 1997) Audi, Robert, "Sophist". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999). Audi, Robert, The Cambridge Dictionary of Philosophy, (United Kingdom: Cambridge University Press, 1995) Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000)



Britannica, (Deluxe edition CD-ROM, 2001) Daud, Wan Mohd Nor Wan, Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat dalam Jurnal Islamia Thn II No. 5 2005. Edel, Abraham, Ethnical Judgment; The Use of Science in Ethnics, (Glencoe: Free Press, 1955) J. Sudarminta, Etika Umum: kajian tentang beberapa masalah pokok dan teori etika normatif (Yogyakarta: Kanisius, 2013) K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1990) Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000) Mayers, Marvin K., Absolutism and Relativism, (Michigan: Zondervan Publishing House, 1974) Shomali, A. Mohammad, Relativisme Etika, (Jakarta: Serambi, 2005) Zarkasyi, Hamid Fahmy, Liberalisasi Pemikiran Islam, (CIOS-ISID-Gontor, 2010) [1] Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan setidaknya ada lima agenda utama upaya liberalisasi pemikiran keagamaan di Indonesia, yaitu: a) Menyebarkan paham relativisme kebenaran, b) Melakukan kritik terhadap Al-Qur‘a‘n, c) Menyebarkan paham Pluralisme Agama, d) Wacana Dekonstruksi Syariah, e) Feminisme/Gender... Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (CIOS-ISID-Gontor, 2010), hal. 92 dst. [2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 949. [3] The doctrine that knowledge, truth, and morality exist in relation to culture, society, or historical context, and are not absolute. what is right or wrong and good or bad is not absolute but variable and relative, depending on the person, circumstances, or social situation. The view is as ancient as Protagoras, a leading Greek Sophist of the 5th century BC, and as modern as the scientific approaches of sociology and anthropology. Lihat: Britannica, 2001, Deluxe edition. [4] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1990) hal. 69-72. Kaum Sopist dibagi menjadi tiga. Pertama, kelompok al-la adriyah (agnostik) yaitu orang yang selalu ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu sehingga menolak kemungkinan seseorang meraih ilmu pengetahuan. Kedua, al-‗indiyah yaitu mereka yang selalu bersikap subjektif. Mereka menolak tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Bagi mereka, tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subjektif, bergantung kepada pendapat masing-masing. Ketiga, kelompok al-inadiyah, yaitu mereka yang keras kepala, yang menafikan realitas segala sesuatu dan menganggapnya sebagai fantasi dan khayalan semata-mata. Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat dalam Jurnal Islamia Thn II No. 5 2005, hal. 53-54. [5] Robert Audi, "Sophist". In The Cambridge Dictionary of Philosophy. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999). hal. 752. [6] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 36. [7] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan…, hal. 37 [8] Hamid Fahmy Zarkasyi,Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis),(Ponorogo: CIOS-ISID, 2008), hal. 92. [9] Abraham Edel, Ethnical Judgment; The Use of Science in Ethnics, (Glencoe: Free Press, 1955), hal. 36-37 [10] J. Sudarminta, Etika Umum: kajian tentang beberapa masalah pokok dan teori etika normatif (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hal. 24. [11] A. Mohammad Shomali, Relativisme Etika, (Jakarta: Serambi,2005), p. 33. [12] Menurut data www.peakery.com, daerah Callatia merupakan daerah puncak gunung dengan ketinggian 5138 m yang terletak dekat Hacienda Huancane, Puno, Peru. Gunung itu adalah tertinggi ke 18 di Puno. [13] Dalam bukunya berjudul Kisah-Kisah Sejarah, Herodotus menceritakan antara lain bagaimana Darius, raja Persia, dalam perjalanan penjelajahannya begitu terkesan oleh macam-macam perbedaan budaya bangsabangsa yang ia temui. Ia temukan misalnya bahwa bangsa Callatia (salah satu suku Indian) biasa memakan tubuh ayah mereka yang telah mati untuk mewarisi berkat dan kesaktiannya, sedangkan bangsa Yunani membakar (mengkre-masikan) tubuh setiap orang mati dan menganggap itu sebagai cara yang sesuai untuk melepas jiwa orang yang mati tersebut. Darius beranggapan bahwa pengertian yang memadai tentang dunia kita ini mesti menghargai perbedaan-perbedaan tersebut. Untuk mendidik rakyatnya, Suatu hari raja Darius memanggil dan bertanya kepada beberapa orang Yunani yang kebetulan hadir di istananya bagaimana reaksi mereka kalau ada bangsa yang memakan tubuh ayah mereka yang telah mati. Mereka menjawab bahwa hal itu tidak masuk akal bagi mereka. Suatu reaksi yang sudah diduga oleh Darius sebelumnya dan dibayar berapapun tak pernah mereka akan melakukan hal yang sekeji itu. Kemudian Darius memanggil orang-orang Callatia dan bertanya kepada mereka bagaimana reaksi mereka kalau ada bangsa yang membakar tubuh orangtua/ saudara mereka yang telah mati. Orang-orang Callatia menjawab bahwa itu tindakan yang amat keji, bahkan menyebutnya saja tidaklah pantas. [14] David E. Cooper, Illusions of Equality, (London: Routledge & Kegan Paul,1980), hal. 147. [15] Marvin K. Mayers , Absolutism and Relativism, (Michigan: Zondervan Publishing House, 1974), hal. 231232. [16] Emile Durkheim, The Division of Labor in Society, translated by George Simpson (New York: Free Press, 1964. [17] Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal. 32. [18] Hamid Fahmy Zarkasyi,Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis),(Ponorogo: CIOS-ISID, 2008), hal. 97. [19] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran …, hal. 91-93. ---------------------



SEMOGA BERMANFAAT.