Agama [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Peranan Sulinggih Menghadapi Era Globalisasi 1. PENDAHULUAN Dewasa ini peradaban manusia ditandai oleh perubahan sosial budaya yang sangat cepat sebagai akibat kemajuan iptek, komunikasi, dan informasi. Kemajuan-kemajuan itu yang menyebabkan globalisasi dunia, berdampak positif dan negatif. Kontak sosial dan budaya antar bangsa-bangsa di dunia tidak dapat dihindari dan sangat berpengaruh pada perubahan sikap dan perilaku manusia serta membawa perubahan pada pola pikir, nilai-nilai, dan pandangan hidup. Budaya yang satu dengan yang lain akan saling mempengaruhi; bila ada keseimbangan akan terjadi budaya campuran, sedangkan bila tidak, warna budaya yang dominan akan lebih menonjol. Sejak berabad-abad, di Bali telah terjadi perpaduan yang harmonis antara agama, adat, dan budaya. Permasalahannya sekarang, mampukah umat Hindu di Bali menjaga keharmonisan perpaduan itu dalam nilai-nilai keseimbangan. Agar tercapai keseimbangan yang harmonis, umat Hindu di Bali seharusnya senantiasa mengkaji perkembangan budaya dan berpegang pada adat dan agama Hindu. Agar tercipta jalinan yang kuat dalam membendung pengaruh negatif globalisasi maka para Sulinggih perlu mengambil prakarsa sebagai pelopor yang melindungi dan mengayomi masyarakat. 2. NILAI-NILAI KESEIMBANGAN Dasar filsafat Hindu yang terwujud dalam adat Bali adalah mengutamakan nilai-nilai keseimbangan, yaitu keinginan masyarakat untuk hidup menyesuaikan diri dengan sekitarnya agar tercipta suasana tenteram antar sesama manusia, mahluk, alam semesta dan senantiasa dalam perlindungan Hyang Widhi. Dasar itu, yang menjadi acuan segala kegiatan hidup dikenal dengan filsafat Trihita karana (Tri = tiga; hita = baik; karana = sebab) artinya tiga unsur yang menyebabkan kebaikan. Ketiga unsur itu adalah: 1. Keseimbangan hubungan manusia dengan Hyang Widhi (parhyangan) 2. Keseimbangan hubungan sesama manusia (pawongan) 3. Keseimbangan hubungan manusia dengan alam (palemahan). Ketiga keseimbangan ini tidak dapat dipisah-pisahkan, dan merupakan satu kesatuan bulat yang berjalan bersama-sama dalam tatanan kehidupan. Kesatuan yang bulat itu dikuatkan oleh ajaran agama yang terdapat pada pustaka suci Bhagawadgita, percakapan ke-3 sloka ke-10:



SAHAYAJNAH PRAJAH SRISHTVA, PURO VACHA PRAJAPATIH, ANENA PRASAVISHYA DHVAM, ESHA VO STV ISHTA KAMADHUK artinya: dahulu kala Prajapati mencipta manusia bersama bakti persembahannya dan berkata: dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi sapi perahanmu. Maksudnya, sapi perahan itu adalah alam/ sumber-sumber alam yang dapat memenuhi segala keinginan manusia asalkan manusia mampu mengolah pikirannya untuk memanfaatkan sumber-sumber alam demi kehidupan umat manusia dan kelestarian alam; pikiran yang baik datang atas karunia Hyang Widhi. Upaya menjaga keseimbangan-keseimbangan itu menjadi kewajiban seluruh umat manusia secara bersama-sama yang diwujudkan dalam bentuk ikatan adat yang didasari oleh agama Hindu. Sulinggih sebagai pemimpin agama dan pembina/ pengayom masyarakat mempunyai peranan penting dalam mewujudkan Trihita karana itu bekerja sama dengan lembagalembaga adat: Banjar dan Desa Adat. 3. PERANAN SULINGGIH DALAM MENJAGA KESEIMBANGAN HUBUNGAN ANTARA MANUSIA DENGAN HYANG WIDHI Dalam pandangan agama Hindu di Bali, Hyang Widhi adalah “Sang sangkan paraning dumadi” artinya, Hyang Widhi sebagai asal dan tujuan hidup manusia, sehingga manusia memposisikan dirinya sebagai hamba Hyang Widhi. Kesadaran seperti ini menumbuhkan bhakti marga antara lain dalam bentuk yadnya yang mendahului suatu kegiatan, baik kegiatan perorangan maupun kegiatan kelompok masyarakat misalnya upacara-upacara: mapiuning, pengaci, mapajati, bhakti pamungkah, dll. yang realisasinya mendapat pengesyahan dari: “Tri upasaksi”, yaitu: Bhuta saksi, Manusa saksi, dan Dewa saksi. Prajuru-prajuru adat berperan sebagai manusa saksi. Adat sering pula berperan sebagai: perancang, pelaksana, dan pengawas suatu upacara keagamaan pada kelompoknya. Di samping dalam lingkup penyelenggaraan upacara, Sulinggih mestinya berperan pula sebagai pemikir dan pendorong emosional bagi warganya ke arah bhakti pada Hyang Widhi. Unsur kesucian perorangan dan lingkungan dalam kaitan penghormatan dan pengabdian kepada Hyang Widhi diwujudkan dalam awig tentang cuntaka dan kekeran desa oleh adat atas petunjuk dari Sulinggih. 4. PERANAN SULINGGIH DALAM MENJAGA KESEIMBANGAN HUBUNGAN SESAMA MANUSIA Azas dasar keseimbangan hubungan sesama manusia adalah filsafat “Tat Twam Asi” (Tat = itu; Twam = kamu; Asi = adalah) artinya: saya adalah kamu, bahwa segala mahluk



adalah sama sebagai ciptaan Hyang Widhi, sehingga manusia wajib saling menghormati dan menghargai semua mahluk terutama sesama manusia, agar dapat hidup bersama secara rukun damai mengembangkan sikap tenggang rasa dan mawas diri. Intinya adalah sikap kekeluargaan dalam kebersamaan atau kegotong royongan. Manifestasi filsafat Tat Twam Asi adalah: 1. 2. 3. 4.



Suka duka, yaitu kebersamaan dalam suka maupun duka kehidupan. “Paras paros”, yaitu diri sendiri adalah bagian dari masyarakat. “Salunglung sabayantaka”, yaitu baik-buruk, mati-hidup ditanggung bersama. Saling asah, yaitu saling memberi tahu (mengingatkan atau mengoreksi), saling asih, yaitu saling mencintai sebagai keluarga, dan saling asuh, yaitu saling tolong menolong.



Wujud nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah adanya sekehe, banjar, adat matetulung, adat ngejot, adat madelokan, adat ayahan, adat pepesuan, masidhikara (sidhi = suci/ baik/ rahayu, kara = tangan/ perbuatan), adat cuntaka Desa, dll. Kepemimpinan dalam agama Hindu menggunakan prinsip “sesana manut linggih, linggih manut sesana” artinya sikap yang sesuai dengan jabatan/ tugas, dan jabatan/ tugas seorang pemimpin harus sesuai dengan sikap perilakunya sehari-hari. Selain itu kepemimpinan dalam komunal juga menggunakan konsep “tri kang sinangguh werda” (tiga yang disebut tua), yaitu: 1. Wahya werda (tua karena usia), 2. Jnana werda (dituakan karena ilmu/ kepandaiannya dan wawasannya), dan 3. Tapo werda (dituakan karena pengalaman hidup/ karirnya yang luas). Prinsip-prinsip agama itulah yang perlu dikembangkan oleh Sulinggih dalam dharma bhaktinya kepada masyarakat. 5. PERANAN SULINGGIH DALAM MENJAGA KESEIMBANGAN HUBUNGAN ANTARA MANUSIA DENGAN ALAM Di-”alam nyata” manusia adalah juga bagian dari alam semesta; oleh karena itu manusia disebut sebagai bhuwana alit, dan alam semesta disebut sebagai bhuwana agung. Unsur kesamaan sebagai bhuwana antara manusia dan alam disebut “panca mahabutha”, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.



Unsur padat tubuh manusia adalah perthiwi; Unsur cair tubuh manusia adalah apah; Unsur panas tubuh manusia adalah teja; Unsur udara tubuh manusia adalah bayu, dan Unsur ether tubuh manusia adalah akasa.



Unsur kesamaan ini mengharuskan manusia menyatukan diri dengan alam, artinya kehidupan manusia mengacu pada alam antara lain dalam konsep agama Hindu tentang: 1. Alam atas sebagai swah loka yang bersifat utama dalam anatomi tubuh manusia adalah bagian kepala, 2. Alam tengah sebagai bwahloka yang bersifat madya dalam anatomi tubuh manusia adalah tangan dan bagian badan, 3. Alam bawah sebagai bhurloka yang bersifat kanista dalam anatomi tubuh manusia adalah bagian kaki. Di samping itu filsafat tentang hulu teben juga mengacu pada alam; di arah gunung atau matahari terbit disebut hulu, ke arah mana manusia tidur meletakkan kepalanya sedangkan arah yang berlawanan adalah teben, letak kaki. Konsep hulu teben juga digunakan dalam tata ruang, tata linggih (tempat duduk dalam forum formal) di mana mereka yang lebih “tua” duduk lebih di hulu dari pada yang lainnya. Agama Hindu juga mengatur tentang pra-daksina dan uttara-yana dalam pelaksanan ritual, mengikuti arah matahari terbit (timur = purwa) yang menjadi patokan/ hulu. Wariga dewasa yang disepakati sebagai ala-ayu atau baik buruknya manusia memulai suatu kegiatan juga mengacu pada astronomi atau ilmu perbintangan yang tiada lain adalah bhuwana agung. Agama Hindu juga menjaga kelestarian alam dengan menetapkan pemeliharaan kesucian sumber-sumber mata air, sungai, danau, laut, hutan, pohon-pohonan, tegalan, dll. mengingat alam adalah pendukung utama kehidupan dan kesucian manusia. Di-”alam tidak nyata” manusia meyakini adanya roh yang derajatnya lebih rendah dari manusia namun tetap perlu dihormati dan diperhatikan agar terjadi keseimbangan; untuk itu ditetapkan pelaksanaan bhuta yadnya baik bagi perorangan maupun bagi lingkungan tertentu. Dalam lontar Ekapratama disebutkan bahwa tiga kelompok Sulinggih masing-masing bertugas sebagai berikut: kelompok Sulinggih yang berpaham Bujangga amretista Bhurloka, kelompok Sulinggih yang berpaham Bodda amretista Bwahloka, dan kelompok Sulinggih yang berpaham Siwa amretista Swahloka. 6. KESIMPULAN Peranan Sulinggih dalam menghadapi globalisasi adalah membimbing masyarakat agar mencapai kebenaran, kebajikan, dan kedamaian. Landasan pencapaian tujuan adalah agama Hindu, karena: 1. Agama Hindu adalah kebenaran hakiki, 2. Agama Hindu adalah acuan melaksanakan kebajikan, 3. Agama Hindu adalah sumber kedamaian.



Oleh karena itu manusia senantiasa mendekatkan diri pada Hyang Widhi. Karena peranannya demikian besar maka Sulingih diharapkan lebih meningkatkan pengabdiannya dalam memberikan bimbingan dan pengayoman kepada masyarakat.