Akne Vulgaris [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT ACNE VULGARIS



Pembimbing : dr. Ayu Nur Ain H., Sp.KK



Disusun Oleh : Aprila Citra Dara (1713020043)



KEPANITERAAN KULIT DAN KELAMIN RSUD DR. SOESELO SLAWI KABUPATEN TEGAL PERIODE 05 NOVEMBER – 08 DESEMBER 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO



1



ACNE VULGARIS



Disusun oleh : 1. Roro Puji Waty/105070100111010 2. Rudi Rakhmad H/105070100111099 3. Hashini Vijayakumar /105070108121004 4. Khine Zar Phyu/105070108121013 5. Zaw Myo Aung/105070108121015



Disetujui untuk dibacakan pada : Hari : Kamis Tanggal : 30 Oktober 2014



Menyetujui, Pembimbing



dr. Sinta Murlistyarini, Sp. KK



2



DAFTAR ISI Halaman Judul.....................................................................................................................i Halaman Pengesahan...........................................................................................ii Daftar Isi.............................................................................................................iii BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................5 1.1 Latar Belakang...................................................................................5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................10 2.1 Definisi............................................................................................10 2.2 Epidemiologi....................................................................................11 2.3 Etiopatogenesis................................................................................12 2.4 Gejala Klinis....................................................................................18 2.5 Klasifikasi........................................................................................20 2.6 Diagnosis.........................................................................................22 2.7 Diagnosis Banding...........................................................................22 2.8 Penatalakasanaan.............................................................................24 2.9 Prognosis .........................................................................................32 BAB 3 PENUTUP............................................................................................34 3.1 Kesimpulan......................................................................................34 3.2 Saran................................................................................................34 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................35



3



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar belakang Acne vulgaris atau istilah awam disebut dengan jerawat adalah penyakit peradangan kronis pada unit pilosebaseus yang ditandai dengan adanya lesi non inflamatif berupa komedo dan/atau lesi inflamatif berupa papul, pustul dan nodul yang dapat mengalami progresivitas menjadi jaringan parut (Elsaie dkk, 2010). Menurut Kligman, tidak ada seorangpun yang sama sekali tidak pernah menderita acne (Sutanto, 2013). Acne vulgaris banyak dijumpai pada usia remaja



sekitar 70%



kasus



(Dreno



dan Poli,



2003). Beberapa studi



menunjukkan prevalensi acne pada remaja dan dewasa yang bervariasi pada berbagai ras dan negara. Prevalensi acne di Turki sekitar 63,6% populasi remaja (Uslu et. al., 2008), sedangkan



di



Hongkong



prevalensi



sekitar



52,6%



populasi remaja (Yeung et. al., 2002). Di Amerika Serikat, tercatat lebih dari 17 juta penduduk yang menderita acne setiap tahunnya, di mana 75 hingga 95% di antaranya adalah usia remaja (Sutanto, 2013). Pada umumnya insiden acne terjadi pada usia 14-17 tahun pada wanita dan 16-19 tahun pada laki-laki, dengan lesi predominan adalah komedo dan papul. Rothman 1997 mengatakan acne sudah timbul pada anak usia 9 tahun namun puncaknya pada laki-laki terutama usia 17-18 tahun sedangkan wanita usia 16-17 tahun. Dengan bertambahnya umur angka kejadiannya berangsur berkurang, meskipun kadangkadang, terutama pada wanita, acne vulgaris menetap sampai pada usia 30 tahun atau bahkan lebih. Selain itu, acne vulgaris umunya lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita pada rentang usia 15-44 tahun yaitu 34% pada laki-laki dan 27% pada wanita. Pada laki-laki, umumnya acne vulgaris lebih cepat berkurang, walaupun gejala yang berat justru terjadi (Tjekyan, 2009). Acne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda. Walaupun bukan merupakan suatu penyakit yang mengancam nyawa, namun acne dapat menyebabkan masalah psikologi



4



yang berbeda-beda, mulai dari perasaan rendah diri hingga stres. Selain itu tidak jarang pula dapat terjadi scaryang permanen pada wajah. Etiologi pasti dari acne vulgaris belum diketahui secara pasti, namun diduga bahwa



acne



merupakan penyakit multifaktorial yang manifestasi klinisnya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti hormon, genetik, kosmetik, makanan, trauma, lingkungan fisik, stress psikis (Astuti, 2011). Karena tingginya epidemiologi acne vulgaris serta efek jangka panjangnya yang mempengaruhi sosioekonomi penderita sehingga membuat penderita merasa tidak nyaman dan kurang percaya diri, oleh karena itu penulis menyusun laporan kasus ini dengan tujuan untuk menambah pengetahuan dokter muda dalam menghadapi kasus acne vulgaris di masa yang akan datang dan mampu memberikan penanganan yang tepat.



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.



DEFINISI Acne vulgaris adalah peradangan kronik folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustul, dan kista. Predileksi acne vulgaris pada daerah-daerah wajah, bahu bagian atas, dada, dan punggung.1 Acne pada pada dasarnya merupakan penyakit pada remaja, dengan 85% terjadi pada remaja dengan beberapa derajat keparahan. Dimana didapatkan frekuensi yang lebih besar pada usia antara 15-18 tahun pada kedua jenis kelamin. Pada umumnya, involusi penyakit terjadi sebelum usia 25 tahun.2 Acne vulgaris dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang pasti belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan, antara lain : genetik, endokrin (androgen, pituitary sebotropic factor, dsb), faktor makanan, keaktifan dari kelenjar sebasea, faktor psikis, pengaruh musim, infeksi bakteri (Propionibacterium acnes), kosmetika, dan bahan kimia lainnya.3 Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya acne yakni, peningkatan sekresi sebum, adanya keratinisasi folikel, bakteri, dan peradangan (inflamasi).2,3 Tidak terdapat sistem grading yang seragam dan terstandarisasi untuk beratnya acne yang diderita. Acne pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan tipe (komedoal/papular, pustular/noduokistik) dan atau beratnya penyakit ( ringan/sedang/sedang-berat/berat). Lesi kulit dapat digambarkan sebagai inflamasi dan non-inflamasi.4 Diagnosis acne vulgaris dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan tes laboratorium. Diagnosis banding acne vulgaris antara lain erupsi acneiformis, rosasea, dan dermatitis perioral.2,8 Penatalaksanaan acne vulgaris berupa terapi sistemik, topikal, fisik, dan diet. Pada umumnya prognosis dari acne ini cukup baik, pengobatan sebaiknya



6



dimulai pada awal onset munculnya acne dan cukup agresif untuk menghindari sekuele yang bersifat permanen.2,5,6 II.



EPIDEMIOLOGI Acne vulgaris pertama kali dipublikasikan pada tahun 1931 oleh Bloch. Pada saat itu dinyatakan bahwa insiden terjadinya acne vulgaris lebih banyak pada anak perempuan dibanding anak laki-laki dengan usia sekitar 13% pada anak usia 6 tahun dan 32% pada anak usia 7 tahun. Sejak saat itu tidak ada evolusi yang signifikan mengenai usia timbulnya jerawat. Menurut studi yang berbeda dari literatur berbagai negara, usia awal rata-rata 11 tahun pada anak perempuan dan 12 tahun pada anak laki-laki.5 Acne pada pada dasarnya merupakan penyakit pada remaja, dengan 85% terjadi pada remaja dengan beberapa derajat acne. Hal tersebut terjadi dengan frekuensi yang lebih besar pada usia antara 15-18 tahun pada kedua jenis kelamin. Pada umumnya, involusi penyakit terjadi sebelum usia 25 tahun. Bagaimanpun, terdapat variabilitas yang besar pada usia saat onset dan resolusi 12% perempuan dan 3% laki-laki akan berlanjut secara klinis sampai usia 44 tahun. Sebagian kecil akan menjadi papul dan nodul inflamasi sampai usia dewasa akhir.7 Acne vulgaris derajat ringan biasanya terjadi pada bayi yang terjadi oleh karena stimulasi folikular oleh kelenjar androgen adrenal yang berlanjut pada periode neonatal. Acne juga biasanya bermanifestasi awal pada pubertas, dengan komedo sebagai lesi predominan pada pasien yang sangat muda. Jumlah kasus terbanyak terjadi pada periode pertengahan sampai akhir remaja, setelah itu insidennya akan menurun. Namun pada wanita dapat terus berlanjut sampai lebih dari dekade ketiga.2



7



III.



ETIOPATOGENESIS Acne vulgaris dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang pasti belum diketahui secara jelas, namun terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan, antara lain : genetik, endokrin (androgen, pituitary sebotropic factor, dsb), faktor makanan, keaktifan dari kelenjar sebasea, faktor psikis, musim, infeksi bakteri (Propionibacterium acnes), kosmetika, dan bahan kimia lainnya.3 1. Sebum Sebum merupakan faktor utama penyebab timbulnya acne. Pada acne terjadi peningkatan sebum. Sebum yang meningkat tidak hanya terjadi pada acne, tetapi dapat juga pada penyakit parkinson dan akromegali.3 2. Bakteri Mikroba



yang



terlibat



pada



terbentuknya



acne



adalah



Propionibacterium acnes, Stafilococcus epidermidis, dan Pityrosporum ovale. Dari ketiga mikroba ini yang terpenting yakni Propionibacterium acnes. Bakteri ini merupakan bakteri komensal pada kulit. Pada keadaan patologik, bakteri ini membentuk koloni pada duktus pilosebasea yang menstimulasi trigliserida untuk melepas asam lemak bebas, memproduksi substansi kemotaktik pada sel-sel inflamasi, dan menginduksi duktus epitel untuk mensekresi sitokin pro-inflamasi.3 3. Herediter Faktor herediter yang sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar palit (glandula sebasea). Apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas acne, kemungkinan besar anaknya akan menderita acne.3 4. Hormon Hormon androgen berasal dari testis, ovarium, dan kelenjar adrenal. Hormon ini menyebabkan kelenjar sebasea bertambah besar dan produksi sebum meningkat pada remaja laki-laki dan perempuan.1 Hormon androgen merupakan stimulus utama pada sekresi sebum oleh kelenjar sebasea. Pada penderita acne, kelenjar sebasea berespon sangat 8



cepat pada peningkatan kadar hormon ini di atas normal. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan aktivitas 5α-reductase yang lebih tinggi pada kelenjar sebasea dibanding kelenjar lain dalam tubuh.3 5. Diet Pada beberapa pasien, acne dapat diperburuk oleh beberapa jenis makanan, seperti coklat, kacang, kopi, dan minuman ringan.1 6. Iklim Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya acne bertambah hebat pada musim dingin, dan dapat pula meningkat oleh paparan cahaya matahari langsung.1 7. Faktor iatrogenik Kortikosteroid baik topikal maupun sistemik dapat meningkatkan keratinisasi duktus polisebasea. Androgen, gonadotropin, dan kortikotropin dapat menginduksi acne pada dewasa muda. Kontrasepsi oral dapat pula menginduksi terjadinya acne.1 Patogenesis acne vulgaris sangat kompleks, dipengaruhi banyak faktor dan kadang-kadang masih kontroversial. Ada empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya acne, yakni peningkatan sekresi sebum, adanya keratinisasi folikel, bakteri, dan peradangan (inflamasi).2 1. Peningkatan sekresi sebum Faktor pertama yang berperan dalam patogenesis acne ialah peningkatan produksi sebum oleh glandula sebacea. Pasien dengan acne akan memproduksi lebih banyak sebum dibanding yang tidak terkena acne meskipun kualitas sebum pada kedua kelompok tersebut adalah sama. Salah satu komponen dari sebum yaitu trigliserida mungkin berperan dalam patogenesis acne. Trigliserida dipecah menjadi asam lemak bebas oleh P.acnes, flora normal yang terdapat pada unit pilosebacea. Asam lemak bebas ini kemudian menyebabkan kolonisasi P.acnes, mendorong terjadinya inflamasi dan dapat menjadi komedogenik.1,2



9



Hormon androgen juga mempengaruhi produksi sebum. Serupa dengan aktifitasnya pada keratinosit infundibuler follikular, hormon androgen berikatan dan mempengaruhi aktifitas sebosit. Orang-orang dengan acne memiliki kadar serum androgen yang lebih tinggi dibanding dengan orang yang tidak terkena acne. 5α-reduktase, enzim yang bertanggung jawab untuk mengubah testosteron menjadi DHT poten memiliki aktifitas yang meningkat pada bagian tubuh yang menjadi predileksi timbulnya acne yaitu pada wajah, dada, dan punggung.1,2 Peranan estrogen dalam produksi sebum belum diketahui secara pasti. Dosis estrogen yang diperlukan untuk menurunkan produksi sebum jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dosis yang diperlukan untuk menghambat ovulasi. Mekanisme dimana estrogen mungkin berperan ialah dengan secara langsung melawan efek androgen dalam glandula sebacea, menghambat produksi androgen dalam jaringan gonad melalui umpan balik negatif pelepasan hormon gonadotropin, dan meregulasi gen yang yang menekan pertumbuhan glandula sebacea atau produksi lipid.2



10



P a Gambar. 1.



b



c



d



Patogenesis Acne: a) Hiperkeratosis primer b) Komedo c) Inflamasi papul



(pustul) d) Nodul (Diambil dari kepustakaan 2 )



2. Keratinisasi folikel Hiperproliferasi epidermis follikular menyebabkan pembentukan lesi primer acne yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut paling atas, yaitu infundibulum menjadi hiperkeratosis dengan meningkatnya kohesi dari keratinosit.



Kelebihan



sel



dan



kekuatan



kohesinya



menyebabkan



pembentukan plug pada ostium follikular. Plug ini kemudian menyebabkan konsentrasi keratin, sebum, dan bakteri terakumulasi di dalam folikel. Hal tersebut kemudian menyebabkan pelebaran folikel rambut bagian atas, yang kemudian membentuk mikrokomedo. Stimulus terhadap proliferasi keratinosit dan peningkatan daya adhesi masih belum diketahui. Namun terdapat beberapa faktor yang diduga menyebabkan hiperproliferasi keratinosit yaitu stimulasi androgen, penurunan asam linoleat, dan peningkatan aktifitas interleukin (IL)-1α.2 Hormon androgen dapat berperan dalam keratinosit follikular untuk menyebabkan



hiperproliferasi.



Dihidrotestosteron



(DHT)



merupakan



androgen yang poten yang memegang peranan terhadap timbulnya acne. 17βhidroksisteroid dehidrogenase dan 5α-reduktase merupakan enzim yang berperan untuk mengubah dehidroepiandrosteron (DHEAS) menjadi DHT. 11



Jika dibandingkan dengan keratinosit epidermal, keratinosit follikular menunjukkan peningkatan aktifitas 17β-hidroksisteroid dehidrogenase dan 5α-reduktase yang pada akhirnya meningkatkan produksi DHT. DHT dapat menstimulasi proliferasi keratinosit follikular. Hal lain yang mendukung peranan androgen dalam patogenesis acne ialah bahwa pada orang dengan insensitivitas androgen komplet tidak terkena acne.1,2 Proliferasi keratinosit follikular juga diatur dengan adanya asam linoleic. Asam linoleic merupakan asam lemak esensial pada kulit yang akan menurun pada orang-orang yang terkena acne. Kuantitas asam linolic akan kembali normal setelah penanganan dengan isotretinoin. Kadar asam linoleic yang tidak normal dapat menyebabkan hiperproliferasi keratinosit follikular dan memproduksi sitokin proinflamasi. Terdapat asumsi bahwa asam linoleic diproduksi dengan kuantitas yang tetap tetapi akan mengalami dilusi seiring dengan meningkatnya produksi sebum.2 IL-1 juga memiliki peranan dalam hiperproliferasi keratinosit. Keratinosit follikular pada manusia menunjukkan adanya hiperproliferasi dan pembentukan mikrokomedoe ketika diberika IL-1. Antagonis reseptor IL-1 dapat menghambat pembentukan mikrokome.2 3. Bakteri Faktor ketiga yakni bakteri. Propionibacterium acnes juga memiliki peranan aktif dalam proses inflamasi yang terjadi. P.acnes merupakan bakteri gram-positif, anaerobik, dan mikroaerobik yang terdapat pada folikel sebacea. Remaja dengan acne memiliki konsentrasi P.acnes yang lebih tinggi dibanding orang yang normal. Bagaimanapun tidak terdapat korelasi antara jumlah P.acnes yang terdapat pada glandula sebacea dan beratnya penyakit yang diderita.2 Dinding sel P.acnes mengandung antigen yang karbohidrat yang menstimulasi perkembangan antibodi. Pasien dengna acne yang paling berat memiliki titer antibodi yang paling tinggi pula. Antibodi propionibacterium meningkatkan respon inflamasi dengan mengaktifkan komplemen, yang pada 12



akhirnya mengawali kaskade proses pro-inflamasi. P.acnes juga memfalisitasi inflamasi dengan merangsang reaksi hipersensitifitas tipe lambat dengna memproduksi lipase, protease, hyaluronidase, dan faktor kemotaktik. Disamping itu, P.acnes tampak menstimulasi regulasi sitokin dengan berikatan dengan Toll-like receptor 2 pada monosit dan sel polimorfonuklear yang mengelilingi folikel sebacea. Setelah berikatan dengan Toll-like receptor 2, sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan TNF-α dilepaskan.2 4. Inflamasi Pada awalnya telah diduga bahwa inflamasi mengikuti proses pembentukan komedo, namun terdapat bukti baru bahwa inflamasi dermal sesungguhnya mendahului pembentukan komedo. Biopsi yang diambil pada kulit yang tidak memiliki komedo dan cenderung menjadi acne menunjukkan peningkatan inflamasi dermal dibandingkan dengan kulit normal. Biopsi kulit dari komedo yang baru terbentuk menunjukkan aktifitas inflamasi yang jauh lebih hebat.1,2 Mikrokomedo akan meluas menjadi keratin, sebum, dan bakteri yang lebih terkonsentrasi. Walaupun perluasan ini akan menyebabkan distensi yang mengakibatkan ruptur dinding follikular. Ekstrusi dari keratin, sebum, dan bakteri ke dalam dermis mengakibatkan respon inflamasi yang cepat. Tipe sel yang dominan pada 24 jam pertama ruptur komedo adalah limfosit. CD4 + limfosit ditemukan di sekitar unit pilosebacea dimana sel CD8 + ditemukan pada daerah perivaskuler. Satu sampai dua hari setelah ruptur komedo, neutrofil menjadi sel yang predominan yang mengelilingi mikorkomedo.2 Keempat elemen dari patogenesis acne yaitu hiperprofliferasi keratinosit follikular, seboroik, inflamasi, dan P.acnes merupakan langkah-langkah yang saling berkaitan dalam pembentukan acne.1,2



IV.



GEJALA KLINIS



13



Acne vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronik dari folikel pilosebacea yang memiliki karakteristik komedo, papul, pustul, dan nodul. Komedo merupakan lesi primer dari acne. Hal tersebut dapat dilihat sebagai papul yang datar atau sedikit meninggi dengan pembukaan sentral yang melebar berisi keratin hitam ( komedo terbuka ). Komedo tertutup biasanya berupa papul kekuningan berukuran 1 mm yang membutuhkan peregangan pada kulit untuk dapat terlihat. Makrokomedo, yang jarang terjadi, dapat mencapai ukuran 3-4 mm. Papul dan pustul biasanya berukuran 1-5 mm dan disebabkan oleh inflamasi, oleh sebab itu pasti terdapat eritema dan edema. Bentuk tersebut dapat membesar dan membentuk nodul dan bergabung membentuk plak yang terindurasi mengandung traktus sinus dan cairan apakan itu serosaginosa atau pus kekuningan.7,8,9 Pasien secara umum akan memiliki lesi yang bervariasi. Pada pasien dengan kulit yang lebih terang, lesi biasanya pecah dengan makula kemerahan sampai keunguan yang memiliki umur yang lebih pendek. Pada pasien dengan warna kulit yang lebih gelap, makula hiperpigmentasi akan terlihat dan bertahan sampai beberapa bulan. Skar dari acne memiliki penampakan yang heterogen. Morofologi yang dibentuk termasuk skar yang dalam, narrow ice-pick yang terlihat kebanyakan pada dahi dan pipi, lesi canyon-type atrophic pada wajah, skar papular putih kekuningan pada badan dan dagu, skar tipe anetoderma pada badan, serta skar hipertrofik dan keloidal yang meninggi pada badan dan leher.7 Predileksi acne umunya pada wajah, leher, badan bagian atas, dan lengan atas. Pada wajah hal tersebut paling sering terjadi pada pipi, dan sebagian kecil pada hidung, dahi, dan dagu. Telinga dapat terlibat, dengan komedo yang besar pada concha, kista pada lobus, dan kadang-kadang komedo dan kista pre dan retro-aurikuler. Pada leher khususnya pada daerah nuchae, lesi kistik yang besar dapat mendominasi.7 Acne umumnya muncul pada saat pubertas dan seringkali merupakan tanda awal dari produksi hormon seks yang meningkat. Ketika acne muncul pada usia 8-12 tahun, yang tampak biasanya berupak komedo yang utamanya



14



muncul pada dahi dan pipi. Hal tersebut dapat tetap menjadi ringan dalam ekspresinya dengan papul inflamasi yang kadang-kadang terjadi. Bagaiman pun, sebagaimana kadar hormon meningkat pada usia-usia pertengahan remaja, pustul dan nodul inflamasi yang lebih berat dapat terjadi yang dapat menyebar pada tempat lainnya. Laki-laki muda cenderung memiliki kompleks yang lebih berminyak dan penyebaran penyakit yang lebih berat dibanding perempuan usia muda. Perempuan dapat mengalami perjalanan penyakit yang berat dari lesi papulopustular seminggu sebelum mensturasi. Acne juga dapat muncul pada perempuan usia 20-35 tahun yang belum mendapatkan acne pada saat remaja. Acne ini kebanyakan bermanifestasi sebagai papul, pustul, dan nodul dalam persisten yang nyeri pada daerah dagu dan leher bagian atas.7 V.



KLASIFIKASI Tidak terdapat sistem grading yang seragam dan terstandarisasi untuk beratnya acne yang diderita. Acne pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan tipe (komedoal/papular, pustular/noduokisitk) dan/atau beratnya penyakit ( ringan/sedang/sedang-berat/ berat). Lesi kulit dapat digambarkan sebagai inflamasi dan non-inflamasi.4 1. Klasifikasi sederhana Acne ringan (Mild acne): Komedo merupakan lesi utama. Papul dan pusutl mungkin ada tetapi memiliki ukuran yang kecil serta jumlah yang sedikit (umumnya 30 tahun) dengan kontraindikasi relatif terhadap pil kontrasepsi yang mengandung estrogen, salah satu terapi pilihan adalah dengan penggunaan spironolakton. Dosis efektif yang diberikan antara 100-200 mg. 2,5 Anti androgen hormone dapat diberikan pada pasien perempuan dengan target pilosabaseus unit dan menghambat produksi serum 12.565%. Jika keputusan untuk hormonal terapi telah dibuat, ada berbagi macam pilihan disekitar androgen reseptor blocker dan inhibitors of androgen synthesis pada ovarium dan glandula adrenal.2 2. Topikal Penggunaan obat-obatan sebagai terapi topikal merupakan satu cara yang banyak dipilih dalam mengatasi penyakit acne vulgaris. Tujuan diberikan terapi ini adalah untuk mengurangi jumlah acne yang telah ada, mencegah terbentuknya spot yang baru dan mencegah terbentuknya scar (bekas jerawat). Terapi topikal diberikan untuk beberapa bulan atau tahun, tergantung dari tingkat keparahan acne. Obat-obatan topikal tidak hanya dioleskan pada daerah yang terkena jerawat, tetapi juga pada daerah disekitarnya.8,13 Ada berbagai macam obat-obatan yang dipakai secara topikal, yaitu: a. Retinoid topical. Mekanisme kerja dari retinoid topical: - Mengeluarkan komedo yang telah matur. - Menghambat pembentukan dan jumlah dari mikrokomedo. - Menghambat reaksi inflamasi. - Menekan perkembangan mikrokomedo baru yang penting untuk maintenance terapi.13 b. Tretinoin



22



Tretinoin merupakan retinoid pertama yang diperkenalkan oleh Stuttgen dan Beer.Mengurangi komedo secara signifikan dan juga lesi peradangan acne.Hal ini ditunjukkan pada percobaan untuk 12 minggu menurunkan 32-81% untuk non-inflamnatory lesi dan 17-71% untuk inflammatory lesi. Tretinoin tersedian dalam galanic formulation: cream 0.025%, 0.1%, gel 0.01%, 0.025%) dan dalam solution (0.05%). Formula topical gel ini mengandung polyoprepolymer-2, tretinoin prenetration.11,13 c. Isotretinoin Isotretinoin tersedia dalam sediaan gel, mempunyai efikasi yang sama dengan tretinoin, mereduksi komedo antara 48-78% dan inflammatory lesi antar 24 dan 55% setelah 12 minggu pengobatan.13 d. Adapalene Adapalene adalah generasi ketiga dari retinoid tersedia dalam gel, cream, atau solution dalam konsentrasi 0.1%.dalam survey yang melibatkan



1000 pasienditunjukkan



bahwa adapalen



0.1% gel



mempunya efikasi yang sama dengan tretinoin 0.025%. 13 e. Tazarotene Disamping untuk psoriasis, tazarotene juga digunakan sebagai terapi untuk acne, di US 0.5 dan 0.1% gel atau cream. 13 f. Antibiotik Topikal Keguanaan paling penting dan mendasar dari antibiotik topical adalah rendah iritasi, tapi kerugiannya adalah menambah obat-obat yang resisten terhadap P.acnes dan S. Aureus.Untuk mengatasi masalah ini, klindamisin dan eritromisin ditingkatkan konsentrasinya dari 1 menjadi 4% dan formulasi baru dengan zinc atau kombinasi produk denganBPOs atau retinoid. 2,5,13 Antibiotika topikal banyak digunakan sebagai terapi acne. Mekanisme kerja antibiotik topikal yang utama adalah sebagai antimikroba. Hal ini telah terbukti pada efek klindamisin 1% dalam mengurangi jumlah P.acnes baik dipermukaan atau dalam saluran kelenjar sebasea.Lebih efektif diberikan pada pustul dan lesi papulopustular yang kecil. Eritromisin 3% dengan kombinasi benzoil



23



peroksida 5% tersedia dalam bentuk gel. Thomas dkk melakukan penelitian dengan membandingkan eritromisin 1,5% dengan klindamisin 1% mendapatkan hasil yang sama-sama efektif, duapertiga pasien mendapatkan respon yang sangat baik dalam waktu 12 minggu, tetapi penggunaan eritromisin secara tunggal tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan resistensi. Penggunaan eritromisin kombinasi dengan benzoil peroksida lebih direkomendasikan. 2,5,13 Keefektifan antibiotik topikal pada acne terbatas karena mekanisme kerja dalam mengeliminasi bakteri membutuhkan jangka waktu yang panjang. Bakteri dapat timbul di mana-mana dan tidak secara langsung menyebabkan acne. Pada keadaan di mana kelenjar sebasea memproduksi sebum berlebihan, pori-pori kulit juga akan lebih mudah terbuka sehingga banyak bakteri yang akan masuk dan berkembang. Adanya sel kulit mati juga bisa memperburuk keadaan. Bila kelenjar sebasea tidak memproduksi sebum berlebihan, maka bakteri tidak mudah masuk ke dalam kulit. Dengan kata lain, jumlah produksi sebum menjadi masalah utama dalam acne. Antibiotik topikal kerjanya terbatas, karena tidak mengatasi masalah dalam jumlah produksi sebum. 2,5,13 g. Asam Salisilat Asam salisilat efek utamanya adalah keratolitik, meningkatkan konsentrasi dari substansi lain, selain itu juga mempunyai efek bakteriostatik dan bakteriosidal. 2,5,13 h. Anti-androgen Sejak diketahui bahwa acne merupakan salah satu penyakit yang berhubungan dengan aktivitas hormon androgen, beberapa dermatologis dan industri farmakologi mengembangkan anti androgen topikal sebagai salah satu terapi acne yang tidak mempunyai efek sistemik. Studi yang dikembangkan



adalah



tentang



penggunaan



topikal



dari



17α-



propylmesterolone, akan tetapi preparat ini belum tersedia secara komersial. 2,5,13 3. Terapi Fisik



24



Selain terapi topikal dan terapi oral, terdapat beberapa terapi tambahan dengan menggunakan alat ataupun agen fisik, diantaranya adalah: a. Ekstraksi komedo Pengangkatan komedo dengan menekan daerah sekitar lesi dengan menggunakan alat ekstraktor dapat berguna dalam mengatasi acne. Secara



teori,



pengangkatan



closed



comedos



dapat



mencegah



pembentukan lesi inflamasi. Dibutuhkan keterampilan dan kesabaran untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.13 b. Kortikosteroid Intralesi Acne cysts dapat diterapi dengan triamsinolon intralesi atau krioterapi. Nodul-nodul yang mengalami inflamasi menunjukkan perubahan yang baik Dalam kurun waktu 48 jam setelah disuntikkan dengan steroid. Dosis yang biasa digunakan adalah 2,5 mg/ml triamsinolon asetonid dan menggunakan syringe 1ml. Jumlah total obat yang diinjeksikan pada lesi berkisar antara 0,025 sampai 0,1 ml dan penyuntikan harus ditengah lesi. Penyuntikan yang terlalu dalam atau terlalu superfisial akan menyebabkan atrofi.5,13 Injeksi glukokortikoid dapat menurunkan secara drastic ukuran dari lesi nodular.Injeksi 0.05-0.25 ml perlesi dari triamcinolone acetat dengan



suspense (2.5-10mg/ml)



direkomendasikan



sebagai



anti



inflamasi. Terapi jenis ini sangat bermanfaat dibandingkan terapi lain untuk acne tipe nodular.



Akan tetapi harus diulang dalam 2-3



minggu.Manfaat utamanya adalah menghilangkan lesi nodular tanpa insisi sehingga mengurangi pembentukan scar.5,13 c. Liquid Nitrogen Cara lain untuk terapi acne cysts adalah dengan mengaplikasikan nitrogen cair selama 20 detik, aplikasi kedua diberikan 2 menit berikutnya. Terapi ini bekerja dengan mendinginkan dinding fibrotik dari acne cysts sehingga akan terjadi kerusakan pada dinding tersebut. 13 d. Radiasi Ultraviolet Radiasi UV mempunyai efek untuk menghambat inflamasi dengan menghambat aksi dari sitokin. Radiasi UVA dn UVB sebaiknya diberikan secara bersama-sama untuk meningkatkan hasil yang ingin



25



dicapai. Fototerapi dapat diberikan dua kali seminggu.Radiasi ultraviolet alami (UVR) yang didapat dari paparan matahari, 60% dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada acne, tetapi sekarang terapi ini tidak dianjurkan lagi. 2,5,13 4. Diet Beberapa artikel menyarankan pengaturan diet untuk penderita acne vulgaris. Implikasi dari penelitian tentang diet coklat, susu, dan makanan berlemak dan hubungannya dengan acne masih diteliti. Hingga saat ini belum ada evidence base yang mendukung bahwa eliminasi makanan akan berdampak pada acne, akan tetapi beberapa pasien akan mengalami kemunculan acne setelah mengkonsumsi makanan tersebut. 5



IX. PROGNOSIS Onset dari acne vulgaris sangat bervariasi, dimulai dari 6 hingga 8 tahun dan kemudian tidak timbul lagi hingga umur 20 atau lebih.Kejadian acne ini biasanya diikuti oleh remisi yang terjadi secara spontan. Walaupun rata-rata pasien akan mengalami penyembuhan pada usia awal 20an tapi ada juga yang masih menderita acne hingga decade ketiga sampai decade keempat.2



26



Acne pada wanita biasanya berfluktuasi berkaitan dengan siklus haid dan biasanya bermunculan sesaat sebelum menstruasi.Kemunculan acne ini tidak seharusnya berhubungan dengan perubahan aktivitas glandula sabaseus, dimana tidak terjadi peningkatan produksi sebum pada fase luteal dalam siklus menstruasi.2 Pada umumnya prognosis dari acne ini cukup menyenangkan, pengobatan sebaiknya dimulai pada awal onset munculnya acne dan cukup agresif untuk menghindari sekuele yang bersifat permanen.2 Pada kebanyakan kasus, acne biasanya sembh secara spontan ketika melewati usia remaja dan memasuki usia 20an. Alasan untuk hal ini masih belum diketahui secara jelas, tidak ada penurunan secara bersama-sama pada produksi sebm ataupun perubahan komposisi lemak.14



27



BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Acne vulgaris adalah penyakit radang menahun folikel polisebasea dengan gejala klinik : komedo, papul, pustul, kista dan nodus. Dengan tempat predliksi di muka, bahu, leher, dada, punggung bagian atas dan lengan atas. Acne biasanya terdapat pada masa remaja dan hampir 100% orang pernah mengalami penyakit ini. Ada 4 penyebab terjadinya acne yaitu : produksi sebum yang meningkat, hiperkeratinisasi, peningkatan flora folikel dan peradangan. Tempat predileksi acne vulgaris adalah dimuka, bahu, dada bagian atas, dan punggung bagian atas, dapat berupa: erupsi kulit polimorfi, komedo, papul dan pustul, nodus dan kista yang beradang juga dapat disertai rasa gatal. Diagnosa acne dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan lain. Pengobatan acne memerlukan waktu yang cukup lama serta keteraturan dan kepatuhan berobat. Pengobatan setiap individu berbeda – beda tergantung pada tipe kulit, jenis acne, serta kebiasaan dan kepeduliaan pasien dalam merawat kebersihan wajah. Acne vulgaris umumnya dapat sembuh sendiri dan tidak perlu sampai dirawat inap dirumah sakit. 3.2 SARAN Acne vulgaris adalah penyakit dari folikel pilosebaseus yang disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor psikis juga mempengaruhi. Kondisi psikis dapat mempengaruhi



kulit,



sebaliknya



keadaan



gangguan kulit dapat juga



berpengaruh terhadap psikis. Perlu dipertimbangkan penambahan psikoterapi dan psikofarmaka pada pengobatan acne vulgaris. Bidang pengobatan tubuh-pikiran (mind-body) menawarkan



pengobatan yang lebih daripada hanya



memberikan



resep sederhana untuk pengobatan simptomatik. Melalui pengobatan yang holistik diharapkan pengobatan acne vulgaris dapat dilakukan dengan tepat.



28



29



DAFTAR PUSTAKA 1. Boxton PK. ABC of Dermatology 4th ed. London:BMJ Group;2003. p:47-9. 2. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne Vulgaris and Acneiform Eruptions. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2007. p: 690-703. 3. Hunter John, Savin John, Dahl Mark. Clinical Dermatology 3 rd ed. Massachusetts: Blackwell Science,Inc.;2002. p:148-156. 4. Anonim. Acne Vulgaris. Cited on 02 June 2011.



Available



from:



http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/basics/classification.html 5. Dreno B, Poli F. Epidemiology of Acne. Dermatology, Acne Symposium at the World Congres of Dermatology Paris July 2002. p:7-9. 2003 6. Webster, Guy. Overview of the Patogenesis of Acne. In: Webster GF, Rawlings AV, eds. Acne and its Therapy. London:Informa Healthcare;2007. p:1-5 7. James WD, Berger TG, Elston DM. Acne. In : James W, Berger T, Elston DM, eds. Andrews’ disease of the skin Clinical Dermatology 10 th ed. Canada : El Sevier; 2000. p: 231-44. 8. Batra, Sonia. Acne. In: Ardnt KA, Hs JT, eds. Manual of Dermatology Therapeutics 7th ed. Massachusetts:Lippincot Williams and Wilkins; 2007. P:418 9. Sheen, Barbara. Diseases and Disorders Acne. Framington Hills: Lucent Books;2005. p:10-20. 10. Schalock PC. Rosaceae and perioral (periorificial) dermatitis. In: Manual of Dermatology Therapeutics 7th ed. Massachusetts:Lippincot Williams and Wilkins; 2007. P:175-180 11. Boothroyd, Steve. Topical therapy and formulation priciples. In: Webster GF, Rawlings AV, eds. Acne and its Therapy. London:Informa Healthcare;2007. p:253-256 12. Gupta AK, Swan JE. Perioral dermatitis. In: Wiiliams H, Bigbi Mc, Diepgen T, Herxheimer H, Nalgi L, Rzany B. Evidence-Based Dermatology. London:BMJ Books;2003. p:125-131. 13. Zouboulis, Christos C. Update and Future of Systemic Acne Treatment. Dermatology, Acne Symposium at the World Congres of Drematology Paris July



30



2002. p:37-42. 2003 14. Garner SE. Acne vulgaris. In: Wiiliams H, Bigbi Mc, Diepgen T, Herxheimer H, Nalgi L, Rzany B. Evidence-Based Dermatology. London:BMJ Books;2003. p:87-98. 15. Anonim. Acne Vulgaris. Cited on 02 June 2011. Available from : http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/basics/classification.html 16. Astuti, Dipta W. 2011. Hubungan antara Menstruasi dengan Angka Kejadian Akne Vulgaris pada Remaja. Skripsi : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. 17. Tjekyan, Suryadi. 2009. Kejadian dan Faktor Resiko Akne Vulgaris. Media Medika Indosiana, Volume 43, Nomor 1, Semarang. 18. Sutanto, Rosita S. 2013. Derajat Penyakit Acne Vulgaris Berhubungan Positif dengan Kadar MDA. Thesis : Universitas Udayana, Bali. 19. Yeung, et. al. 2002. A community-based epidemiological study of acne vulgaris in Hong Kong adolescents. PubMed : Acta Derm Venereol. 2002;82(2):104-7. 20. Uslu, et. al. 2008. Acne: prevalence, perceptions and effects on psychological health among adolescents in Aydin, Turkey. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2008 Apr;22(4):462-9. doi: 10.1111/j.1468-3083.2007.02497.x. Epub 2007 Dec 20. 21. Dreno dan Poli. 2003. Epidemiology of Acne. Dermatology. 2003;206(1):7-10. 22. Elsaie et. al. 2010. Photodynamic therapy in the management of acne: an update. Journal of Cosmetic Dermatology, Volume 9, Issue 3, p211–217.



31