Alasan Penghapus Pidana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI



DAFTAR ISI



BAB I



BAB II



BAB III



ii



PENDAHULUAN



2



A. Latar Belakang............................................................. .......... B. Rumusan Masalah ....................................................... .......... C. Tujuan Penulisan ......................................................... ..........



2 3 3



PEMBAHASAN



4



A. B. C. D. E.



4 5 8 12 13



Alasan Penghapus Pidana ............................................ .......... Teori Penghapus Pidana .............................................. .......... Alasan Penghapus Pidana Umum ................................ .......... Alasan Penghapus Pidana Khusus ............................... .......... Alasan Penghapus Pidana Putatif ................................ ..........



PENUTUP



14



A. Kesimpulan .................................................................. .......... B. Saran ............................................................................ ..........



14 14



DAFTAR PUSTAKA



15



ii



BAB I PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG Hukum pidana merupakan suatu keseluruhan dari aturan-aturan yang mengatur perbuatan apa yang dilanggar dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya1. Oleh sebab itu, peranan hukum pidana dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Di dalam Hukum Pidana itu sendiri, di samping melarang suatu tindakan untuk dilakukan dan menghukum suatu tindakan yang melanggar, juga terdapat teori tentang suatu tindakan yang memenuhi unsur tindak pidana, namun tidak dipidanakan. Hal ini biasa disebut dengan alasan penghapus pidana, yang dimana suatu tindak pidana akan dapat dihapus apabila memenuhi alasan-alasan yang ditentukan. Unsur tindak pidana yang dimaksud adalah:2 1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); 2) Diancam dengan pidana; 3) Melawan hukum; 4) Dilakukan dengan kesalahan; 5) Orang yang mampu bertanggung jawab. Singkatnya, dalam teori ini, seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dapat dibebaskan dari jeratan hukum dengan jika terbukti memenuhi alasan-alasan yang ditentukan. Berdasar oleh inilah makalah ini dibuat, agar kiranya dapat menjelaskan serinci-rincinya tentang bentuk dan konsep daripada hal yang dapat menghapuskan suatu tindak pidana yang mengacu pada aturan yang berlaku di Indonesia.



1 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum-Pidana, diakses pada Selasa, 28 Mei 2019. 2 http://digilib.unila.ac.id/10936/3/BAB%20II.pdf, diakses pada Selasa, 28 Mei 2019.



2



B. RUMUSAN MASALAH Adapun mengenai alasan penghapus pidana tentunya banyak membahas berbagai permasalahan. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami memutuskan untuk membuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.



Apa sajakah alasan dalam penghapus pidana? Apa sajakah teori daripada penghapus pidana? Apa sajakah alasan dalam penghapus pidana umum? Apa sajakah alasan dalam penghapus pidana khusus? Apakah yang dimaksud dengan alasan penghapus pidana putatif?



C. TUJUAN PENULISAN Adapun tujuan penulisan dari makalah yang kami sajikan mengenai alasan penghapus pidana ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apa saja alasan yang terdapat dalam penghapus pidana; 2. Untuk mengetahui apa saja teori yang terdapat dalam penghapus pidana; 3. Untuk mengetahui apa saja alasan yang terdapat dalam penghapus pidana umum; 4. Untuk mengetahui apa saja alasan yang terdapat dalam penghapus pidana khusus; 5. Untuk mengetahui apa saja alasan yang terdapat dalam penghapus pidana putatif.



3



BAB II PEMBAHASAN A. ALASAN PENGHAPUS PIDANA Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana.3 Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, menjadi tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana. Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan si pelaku dihapuskan atau kesalahan si pelaku dihapuskan karena adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan perbuatan tersebut. Jadi dalam hal ini, hak melakukan penuntutan dari jaksa tetap ada, tidak hilang, namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan kata lain undang-undang tidak melarang jaksa penuntut umum untuk mengajukan tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan penghapus pidana. Oleh karena hakimlah yang menentukan apakah alasan penghapus pidana itu dapat diterapkan kepada pelaku tindak pidana atau tidak melalui vonisnya. Sedangkan dalam alasan penghapus penuntutan, undang-undang melarang sejak awal jaksa penuntut umum untuk mengajukan/menuntut tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya pembuktian tentang kesalahan pelaku atau tentang terjadinya perbuatan pidana tersebut (hakim tidak perlu memeriksa tentang pokok perkaranya). Oleh karena dalam putusan bebas atau putusan lepas, pokok perkaranya sudah diperiksa oleh hakim, maka putusan itu tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP. Meskipun KUHP yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan penghapus pidana, akan tetapi KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang alasan penghapus pidana tersebut. Pengertiannya hanya dapat ditelusuri melalui sejarah pembentukan KUHP (WvS Belanda). Dasar atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Dalam beberapa literatur hukum pidana, dapat dilihat tentang pengertian dari alasan pembenar dan alasan pemaaf serta perbedaanya, salah satunya dalam buku Roeslan Saleh (1983:125) bahwa:



3 materihukum.wordpress.com/2013/11/04/alasan-penghapusan-pidana/amp/ (diakses pada minggu, 26 Mei 2019)



4



a.



b.



c.



Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai alasan-alasan pembenar. Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipandang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru; Sebaliknya apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memaafkannya. Juga dipendeki dengan alasan-alasan pemaaf; Alasan penghapus pidana ini dapat digunakan untuk menghapuskan pidana bagi pelaku/pembuat (orangnya sebagai subjek), dan dapat digunakan untuk menghapuskan pidana dari suatu perbuatan/tingkah laku (sebagi objeknya). Dalam hal inilah alasan penghapus pidana itu dapat dibedakan antara, tidak dapat dipidananya pelaku/pembuat dengan tidak dapat dipidananya perbuatan/tindakan.



Dalam ajaran alasan penghapusan pidana, terdapat tiga asas yang sangat penting (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 57), yaitu : a. Asas Subsidiaritas, yaitu ada benturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum, kewajiban hukum dan kewajiban hukum; b. Asas Proporsionalitas, yaitu ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela atau kewajiban hukum yang dilakukan; c. Asas “culpa in causa”, yaitu pertanggungjawaban pidana bagi orang yang sejak semula mengambil risiko bahwa dia akan melakukan perbuatan pidana. B. TEORI PENGHAPUS PIDANA George P.Fletcher dalam Rethinking criminal law mengemukakan ada tiga teori terkait alasan penghapus pidana. PERTAMA, theory of pointles punishment diterjemahkan sebagai teori hukuman yang tidak perlu. Teori ini berpijak pada theory of excuse atau teori kemanfaatan alesan pemaaf sebagai bagian dari utilitarian theory of punishment atau teori manfaat dari hukuman. Menurut teori ini tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada orang gila atau orang yang menderita sakit jiwa. Dikatakan oleh Fletcher, “If punhisment is pointless in a particlar class of cass, in inflichts poin without a commensurate bnefit and therefore should not be permited”4. Menurut ajaran Jeremy Bentham ada tiga pemanfaatan dari pemidanaan, yakni: 1) Pemidanaan akan sangat bermanfaat jika dapat meningkatkan perbaikan diri pada pelaku kejahatan; 2) Pemidanaan harus menghilangkan kemampuan untuk melakukan kejahatan;



4 George P. Flatcher, Op.Cit., hlm. 813-814.



5



3) Pemidanaan harus memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.5 Bentham kemudian menyatakan bahwa pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembnaran apapun bila semata-mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian pada masyarakat.6 Tidak ada gunanya menjatuhkan pidana kepada orang yang tidak menyadari apa yang diperbuatnya. Pelaku yang gila atau sakit jiwa atau cacat dalam tumbuhya tidak mampu bertanggung jawab pada perbuatannya dan tidak dapat mencegah terjadinya perbuatan yang dilarang, sehingga penjatuhan pidana kepada orang yang demikian tidak akan memberikan manfaat sedikitpun, justru akan melukai rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh, seorang gila yang berada di tengah keramaian kemudian melempari orang-orang sekelilingnya dengan batu sehingga beberapa orang di antara mereka menderita lukaluka, orang gila itu tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, bahkan tidak mengerti apa yang dilakukannya. Dengan demikian orang gila tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya yang membawa konsekuensi tidak dapat dipidana. Kalaupun orang gila tersebut dijatuhi pidana, maka tidak akan mendatangkan manfaat sedikitpun terhadapnya. Theory of pointless punishment adalah teori alasan penghapus pidana yakni alasan pemaaf. Hanya saja alasan pemaaf disini berasal dari dalam diri pelaku (inwendig). Theory of Pointless Punishment sangat berkaitan erat dengan tidak mampu bertanggung jawab. KEDUA, Theory of lessers evils atau teori peringkat kejahatan yang lebih ringan. Theory of lessers evils merupakan teori alasan pembenar, oleh karna itu teori ini merupakan alasan penghapus pidana yang berasal dari luar diri pelaku atau uitwendig. Di sini pelaku harus memilih salah satu dari dua perbuatan yang sama-sama menyimpang dari aturan. Perbuatan yang dipilih sudah tentu adalah perbuatan yang peringkat kejahatannya lebih ringan.7 Menurut theory of lesser evils suatu perbuatan dapat dibenarkan atas dasar dua alasan, yakni: 1) meskipun perbuatan tersebut melanggar aturan, namun perbuatan itu harus dilakukan untuk mengamankan kepentingan yang lebih besar. Tegasnya, tingkat bahaya yang harus dihindari lebih besar daripada sekedar penyimpangan dari suatu aturan; 2) Perbuatan yang melanggar aturan tersebut hanya merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakuka secara cepat dan paling mudah untuk menghindari bahaya atau ancaman yang akan timbul.8 Teori ini lebih mempertimbangkan sudut peringkat kurang-lebihnya atau untungruginya dampak dari suatu perbuatan itu dilakukan untuk mengutamakan kepentingan yang lebih besar atau kepentingan yang lebih baik atau lebih menguntungkan, maka perbuatan yang melanggar aturan itu dapat dibenarkan.9 Tegasnya, teori ini lebih pada pilihan objektif untuk melindungi kepentingan hukum dan/atau kewajiban hukum yang 5 Jeremy Bentham, Loc.Cit. 6 Harkristuti Harkrisnowo, Loc.Cit. 7 George P. Flatcher, Op.Cit., hlm. 774. 8 Ibid., hlm. 775. 9 H.M. Hamdan, 2012, Alasan Penghapus Pidana, Teori dan Studi Kasus, Reflika Aditama, Bandung, hlm. 65.



6



timbul dari dua keadaan atau situasi secara bersamaan. Contoh sederhana, mobil pemadam kebakaran yang melaju dengan kencangnya melebihi kecepatan maksimum yang dibolehkan. Bahkan, mobil tersebut melanggar rambu-rambu lalu lintas, termasuk lampu pengatur lalu lintas, karena harus segera memadamkan api akibat kebakaran yang terjadi di suatu tempat. Di sini, kepentingan memadamkan api termasuk menyelamatkan nyawa beserta harta benda yang mungkin timbul akibat kebakaran tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh mobil pemadam kebakaran terhadap rambu-rambu lalu lintas. KETIGA, adalah Theory of Necessary Defense atau teori pembelaan yang diperlukan. Menurut Fletcher, di dalam Theory of Necessary Defense terdapat juga Theory Of Self Defense atau teori pembelaan diri.10 Apakah teori ini merupakan teori alasan pembenar atau kah teori alasan pemaaf, kiranya tidak terdapat kesepakatan di antara para ahli hukum pidana. Ada kalanya theory of necessary defense dapat menghapuskan sifat melawan hukum. Dalam konteks yang demikian, maka sudah tentu theory of necessary defense dapat menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku, maka dengan demikian ini digolongkan dalam teori alasan pemaaf. Dalam Theory of Necessary Defense, menurut Fletcher, ada empat hal yang selalu menjadi perdebatan mendasar, yakni: 1) Terkait tingkat penggunaan kekuatan yang dibolehkan dalam situasi-situasi tertentu. Artinya kekuatan yang digunakan harus sebanding dengan serangan tersebut; 2) Kewajiban untuk menghindari. Dalam hal ini jika dapat menghindari dari serangan tersebut, maka jalan yang demikian haruslah ditempuh; 3) Hak pihak ketiga untuk campur tangan. Artinya, dapat saja pihak ketiga menghalangi atau menghentikan suatu serangan; dan 4) Membolehkan melawan untuk membebaskan diri dari serangan tersebut, Necessitas facit licitum quod alias non est licitum, artinya keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang terjadinya dilarang oleh hukum. Theory of Necessary Defense akan dibahas lebih lanjut ketika mengulas alasan penghapus pidana, khususnya berkaitan dengan daya paksa, keadaan darurat, pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. C. ALASAN PENGHAPUS PIDANA UMUM Alasan penghapus pidana umum dibagi menjadi alasan penghapus pidana umum menurut undang-undang, yakni yang terdapat dalam KUHP dan di luar UU. 1. Di dalam Undang-undang a. Dalam Pasal 44 KUHP (Kemampuan Bertanggung Jawab) “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.” 10 George P. Fletcher, Op.Cit., hlm. 856.



7



Di dalam pasal 44 tersebut memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Dalam M.v.T menyebutkan tak dapat dipertanggungjawabkan karena sebab yang terletak di dalam si pembuat sendiri. Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab menghapuskan kesalahan perbuatannya tetap melawan hukum sehingga dapat dikatakan suatu alasan menghapaus kesalahan.11 b. Pasal 48 KUHP Daya Paksa (Overmacht) “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya upaya tidak dapat dipidana”. Dalam MvT paksaan adalah: “setiap kekeuatan, setiap paksaan, setiap tekanan yang tidak dapat dapat dielakkan.” Dalam hubungan ini perlu diketahui bahwa terdapat doktrin tentang Daya Paksa yaitu: 1) Paksaan absolut (vis absolut), adalah paksaan yang pada umumnya dilakukan dengan kekuatan tenaga manusia atau alam yang tidak dapat ditahan. 2) Paksaan relatif (vis compulsive), adalah suatu jenis yang mungkindapat di elakkan, akan tetapi, pada orang dalam paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat melakukannya. 3) Pembelaan Darurat (Noodweer) tidak ada di dalam KUHP, di dalam Pasal 49 KUHP hanya ditemukan syarat-syarat bila alasan penghapusan pidana ini bisa dilakukan. Di dalam Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa ini juga menjelaskan beberapa bentuk daya paksa lainnya, yaitu: 1. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Pasal 49 KUHP “(1) Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman, serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain: terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. (2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan itu, tidak di pidana.” Dari ketentuan Pasal tersebut maka dalam pembelaan darurat (noodwer), ada dua hal yang pokok, antara lain:12 11 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana., hlm. 132. 12 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, hlm. 137.



8



1) Harus ada serangan → tidak terhadap setiap serangan dapat dilakukan pembelaan diri, akan tetapi hanya terhadap serangan yang memenuhi syaratsyarat yang ditentukan, yaitu: a. seketika atau tiba-tiba; b. yang langsung mengancam; c. melawan hukum; dan d. sengaja ditujukan pada badan, perikesopanan, dan harta benda. 2) Harus ada pembelaan → terhadap serangan itu perlu dilakukan pembelaan diri, akan tetapi pembelaan diri juga harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, yaitu: a. Pembelaan harus ada perlu diadakan; dan b. Pembelaan harus mengenai kepentingan-kepentingan yang disebutkan dalam UU yaitu, serangan terhadap badan, peri kesopanan, harta benda kepunyaan sendiri atau orang lain. Terhadap serangan itu, harus dilakukan pembelaan dengan syarat serangan tersebut adalah seketika atau tiba-tiba dan tidak terduga. Serangan tiba-tiba disini adalah serangan yang sedang berlangsung dan dalam hal ini diperbolehkan melakukan pembelaan, sedangkan serangan yang berlangsung adalah serangan yang sudah dimulai akan tetapi belum diakhiri. 2. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Pasal 49 (2) KUHP “pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh guncagan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” Syarat-syarat untuk adanya pembelaan melampaui batas: 1) Kelampauan batas pembelaan yang dilakukan; 2) Pembelaan yang dilakukan sebagai akibat dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang sangat panas); dan 3) Goncangan jiwa yang hebat itu timbul karena adanya serangan atau antara kegoncangan jiwa dan serangan harus ada hubungan sebab akibat.13



3. Keadaan Darurat (Noodtoestand) Dalam KUHP tidak ada aturan mengenai apa yang dimaksudkan dengan keadaan darurat. Keadaan darurat atau noodtoestand adalah alasan pembenar. Artinya, perbuatan pidana yang dilakukan dalam keadaan darurat menghapuskan elemen melwan hukumnya perbuatan. Menurut Van Bemmelen dan Van Hattum perbuatan daya paksa dan keadaan darurat adalah tipe pada daya paksa dalam 13 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana., hlm. 140.



9



arti sempit, si pelaku berbuat atau tidak berbuat disebabkan satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pelaku, tidak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan. Dalam keadaan darurat, si pelaku ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong pelaku untuk melakukan pelanggaran terhadap undang-undang14. c. Melaksanakan Perintah Undang-Undang Pasal 50 KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan kepentingan undang-undang tidak dipidana.” Dalam melaksanakan peraturan undang-undang ini diberikan suatu kewajiban. Jadi, untuk dapat menggunakan KUHP, maka tindakan tersebut harus seimbang dan patut. Misalnya penyidik KPK menahan seorang anggota DPR dalam sebuah OTT.15 d. Melaksanakan Perintah Jabatan Pasal 51 KUHP (1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. (2) Perintah Jabatan tanpa wenang, tidak menyebabkan harusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan iktikad baik mengira bahwa perintah yang diberikan dengan wenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. Yang dirumuskan dalam Pasal 51 KUHP ini adalah alasan penghapus pidana yang bersandar pada pelaksanaan perintah yang sah. Misalnya, seorang polisi diperintahkan oleh komandonya untuk menangkap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.16 Pada hakikatnya polisi tersebut merampas kemerdekaan orang tersebut, akan tetapi penangkapan tersebut berdasarkan perintah yang sah, maka polisi tersebut tidak dapat dihukum. Syarat dalam melakukan perintah jabatan yaitu: 1) Antara yang memerintah dan diperintah berada dalam dimensi hukum publik; 2) Antara yang memerintah dan yang diperintah terdapat hubungan subordinasi atau hubungan dalam dimensi kepegawaian; dan



14 J.M. van Bemmelen En W.F.C van Hattum, Op.Cit., hlm. 351. Bandingkan dengan Sudarto, Op.Cit., hlm. 144. 15 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana., hlm. 142. 16 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana., hlm. 143.



10



3) Melaksanakan perintah jabatan harus dengan cara yang patut dan seimbang sehingga tidak melampaui batas kewajaran. 2. Di luar Undang-undang Alasan penghapus pidana umum yang terdapat di luar undang-undang berisi tentang: a. b. c. d.



Tidak ada sifat melawan hukum materiil; Error facti; Error juris; Grasi → Grasi adalah suatu hak dari Presiden untuk memberikan pengurangan hukuman kepada orang yang dijatuhi hukuman. Pasal 1 pada UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi menjelaskan bahwa grasi adalah hak yang dimiliki oleh Presiden untuk memberikan pengampunan berupa pembebasan seseorang dari suatu hukuman yang diberikan kepada terpidana lewat keputusan hakim pengadilan atau tindakan untuk mengurangi hukuman tersebut maupun mengganti hukuman yang dibebankan dengan sejenis hukuman lain yang sifatnya lebih ringan. Grasi yang diberikan dengan tujuan untuk mengurangi hukuman atau masa tahanan disebut dengan istilah remisi. Jika grasi diberikan dengan mengganti suatu hukuman dengan hukuman lain yang lebih ringan, maka tindakan tersebut dinamakan komutasi. Adapun beberapa alasan mengapa Presiden dapat menjatuhkan grasi adalah sebagai berikut17: 1) Bila pihak terhukum ternyata menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan; 2) Ada sejumlah perkembangan yang belum dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim ketika menjatuhkan putusan. 3) Grasi dapat diberikan jika terpidana telah selesai menjalani masa percobaan dan pada masa tresebut terpidana dianggap pantas untuk menerima pengampunan karena berkelakuan baik.



a. b. c.



d. e. f.



Selain itu ada pula: Hak dari orangtua atau guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (Tuchtrecht); Hak yang timbul dari pekerjaan (Beroepsrecht), seperti seorang dokter, apoteker, bidan, dan penyelidik ilmiah; Ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (Consent Of Victim); Mewakili urusan orang lain (Zaakwaarneming); Tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materIil (Arrest dikter hewan); dan Tidak adanya kesalahan sama sekali.



17 https://guruppkn.com/pengertian-grasi/amp (diakses pada Selasa, 02 Juli 2019)



11



D. ALASAN PENGHAPUS PIDANA KHUSUS Alasan penghapus pidana khusus adalah alasan penghapus pidana yang hanya berlaku pada delik-delik tertentu. Pada dasarnya, pelaku yang memenuhi unsur delik tersebut dianggap telah melakukan perbuatan pidana, namun ada pengecualianpengecualian yang dirumuskan secara eksplisit dalam rumusan delik sehingga tidak terjadi penuntutan pidana terhadap pelaku.18 Apakah pasal-pasal tersebut merupakan alasan pembenar atau kah alasan pemaaf, tentunya tidak terlepas dari konstruksi pasalnya. Beberapa pasal yang merupakan alasan penghapus pidana khusus antara lain: Pasal 221 KUHP “(2) Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.” Ketentuan ayat (2) Pasal 221 KUHP merupakan alasan penghapus pidana jika perbuatan tersebut dilakukan keluarga, termasuk suami/istri atau bekas suami/istri. Di sini perbuatan yang dilakukan tetaplah perbuatan pidana, namun elemen dapat dicela pelaku yang dihapuskan. Dengan demikian Pasal 221 ayat (2) KUHP merupakan alasan pemaaf. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan merupakan alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela atau dengan kata lain ia tidak bersalah, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin untuk dilakukannya pemidanaan. Pasal 310 KUHP “(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh suatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri”.



18 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana., hlm. 288.



12



Berdasarkan konstruksi pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat alasan penghapus pidana, jika perbuatan tersebut demi kepentingan umum atau untuk membela diri. Artinya, elemen melawan hukum perbuatan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) dihapus. Dengan demikian ketentuan ayat (3) Pasal 310 KUHP merupakan alasan pembenar. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund) merupakan alasan yang digunakan untuk menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.



E. ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIF Penghapus pidana putatif terjadi bila seseorang mengira telah melakukan suatu perbuatan yang termasuk daya paksa atau pembelaan terpaksa atau menjalankan undangundang. Orang tersebut tidak dapat dijatuhi pidana bila perbuatan tersebut dapat diterima secara wajar. Dalam hal ini, pelaku berlindung dibawah ketiadasalahan. Artinya, unsur kewajaran yang diterima menghapuskan kesalahan yang dilakukan, sehingga tindak pidana tersebut menjadi afweijgheid van alle schuld atau tindak pidana tanpa kesalahan. Tanpa adanya alasan penghapus pidana putatif ini, seorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan suatu tindak pidana dapat dijatuhi pidana meskipun tidak ada maksud sama sekali dari pelaku untuk melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Sebagai contoh, jika seseorang yang berada dalam suatu keadaan mendesak yang mengancam nyawanya dan oleh karena itu melakukan tindak kejahatan, maka orang tersebut dapat terbebas dari pemidanaan oleh karenannya tindakan yang dilakukan tersebut bukan berasal dari niat untuk melakukannya.19



19 https://pengacaranasional.co.id/artikel/alasan-penghapusan-pidana/ (diakses pada Selasa, 28 Mei 2019)



13



BAB III PENUTUP



A. KESIMPULAN Berdasarkan pada apa yang telah dibahas di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan penghapus pidana adalah peraturan yang memberikan penghapusan pidana pada pelaku tindak pidana yang diberikan oleh hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, menjadi tidak dipidana. Dengan dianutnya sifat melawan hukum materiil dan alasan tidak ada kesalahan sama sekali, hakim dapat selalu menghasilkan putusan yang sesuai dengan perkembagan dan rasa keadilan masyarakat dan tidak hanya menjadi corong undang-undang. B. SARAN Dalam menilai sebuah kesalahan kiranya perlu terlebih dahulu melihat alasan daripada pebuatan tersebut dilakukan. Jika perbuatan tersebut didasarkan pada niatan jahat, maka perbuatan itu adalah kesalahan. Namun jika perbuatan tersebut tidak dilakukan atas dasar niatan yang tercela, maka perlu diadakan toleransi di dalamnya. Hal ini lah yang menjadi konsep dasar daripada unsur pemaaf dalam alasan penghapus pidana. Mengingat bahwa hukum pada dasarnya ada untuk menjamin keadlian dan kesejahteraan setiap orang, maka kiranya haruslah mencerminkan hal tersebut. Sehingga perlu disadari bahwa alangkah lebih baik jika unsur ini diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari, sebab kesalahan bukan hanya terdapat di ruang lingkup pidana saja, kesalahan juga dapat terjadi di dalam kehidupan dalam banyak bentuk. Dan sebagai akademisi hukum, dalam menyikapinya tentu haruslah berdasar pada logika hukum, dalam hal ini yaitu memaknai terlebih dahulu pokok permasalahan, melihat unsur alasan dari kesalahan tersebut, lalu menyikapinya dengan etika yang berlaku.



14