Alergi Obat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL PERSIAPAN TINDAKAN MEDIS PADA PASIEN DENGAN RIWAYAT ALERGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT



NAMA



: Dhiya Salma Azminida



NIM



: 1911111220005



DOSEN PEMBIMBING



: drg. Irham Taufiqurrahman, M.Si.Med, Sp.BMM



1. Jelaskan dan berikan contoh obat dan reaksi alerginya berikut tatalaksana mekanisme hipersensitivitas alergi terhadap manifestasi klinis Reaksi alergi obat sama dengan reaksi alergi pada biasanya, yaitu urtikaria, anafilaksis, asma, penyakit serum, ruam kulit terutama eksantema, infiltrasi eosinophil ke paru, rasa panas, hepatitis, sindrom lupus, dan nefritis interisial akut. Reaksi alergi obat terjadi pada pajanan ulang karena reaksi ini memerlukan memori atau sensitasi sehingga pada pajanan berikutnya reaksi alergi terjadi lebih cepat. Metabolit obat berperan sebagai hapten atau sudah terbentuknya sistem imun membuat reaksi alergi tidak bisa hilang dengan penghentian pengguanaan obat, selain kondisi tersebut reaksi alergi akan hilang dalam beberapa hari setelah penghentian obat.1 Manifestasi klinis alergi obat umumnya terlihat pada organ kulit. Manifestasi kelainan kulit dari alergi obat antara lain, pruritus, eksantema, urtikaria, agiodema, erupsi bula, akne, fixed drug eruptions, eritema multiform, eritematosus lupus, psoriasis, purpura, dan vasculitis. Alergi obat pada kulit yang mengancam nyawa antara lain, sindrom StevensJohnson erupsi, toxic epidermal necrolysis (TEN), dermatitis exfoliative, dan drug rash with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS). 1 Eksantema (erupsi maculopapular) merupakan reaksi alergi obat yang paling sering ditemukan pada kulit dan berupa manifestasi hipersensitivitas tipe lambat. Lesi ini menunjukkan rasa gatal, penampakan makula, berkembang menjadi papula, dan berakhir menjadi plak. Lesi ini muncul dari bagian tengah badan yang menyebar ke daerah ekstrimitas secara bilateral. Mekanisme dari reaksi ini tidak menjadi reaksi anafilaksis karena tidak melibatkan IgE. Contoh obat yang dapat menyebabkan reaksi ini adalah allupurinol, aminopenisisilin, sefalosporin, obat antieplepsi, dan antibakteri sulfonamid. 1 Fixed drug eruption (FDE) digambarkan sebagai bercak ertematosa, soliter, berbentuk bulat, vesikel atau oval, berbatas tegas, berukuran milimeter sampai sentimeter, plak edematosa berwarna merah-keunguan, bula lokal atau bula generalisata, dan rekuren atau muncul berulang di tempat yang sama setelah pajanan obat yang sama kemudian memunculkan bercak hiperpigmentasi tunggal atau multiple dan luas. Varian dari FDE yang paling sering ditemukan adalah pigmenting FDE, FDE retikular, FDE generalisata atau multiel, wandering FDE, dan non-pigmenting FDE. FDE ditemukan pada daerah bibir, ekstremitas pada perempuan, genital pria, perianus, periorbital, dan batang tubuh. Gejala lokal yang dirasakan adalah rasa terbakar dan pruritus.1,2 Gambaran histopatogis dari FED adalah epidermis tampak ortokeratosis tipe basketwave, atrofi epidermis, rate ridge mendatar dengan vakuolisasi sel basal, celah di sub-



epidermis, dropping melanin pada dermis, terdapat limfosit perivascular pada pembuluh darah di dermis. Mekanisme FDE sama dengan hipersensitifitas tipe lambat. Limfosit T menetao di lesi kulit sebagai memori imunologis sehingga terjadi rekurensi lesi di tempat yang sama. Limfosit T akan bermigrasi ke sel epidermis dan mengakibatkan kerusakan. Sel diskeratotik teridentifikasi sebagai keratinosit



dan sel mononuclear sebagai sel



limfositik yang bersebelahan dengan sel diskeratotik, serta sel Langerhans yang bersebelahan dengan sel diskerototik dan limfositik. 2 FDE biasanya berasal dari obat kemoterapi, tetrasiklins, OAINS, dan karbamazepin. 1,2 Diagnosis yang harus dilakukan adalah melalui biopsi. Diagnosis banding dari FDE adalah NSCLS dan Eritema ab igne (EAI). Tatalaksana dari FDE adalah memberikan terapi berupa penghantian obat yang dicurigai. Namun, apabila hal tersebut tidak bisa dilakukan dapat dengan pemberian kortikosteroid sistemik untuk mengurangi respons inflamasi pada saat kemoterapi.2



Gambar 1. FDE retikular pada dada pada pasien kemoterapi dan gambaran dropping melanin merata pada demis2 Urtikaria (L50) dan angioedema (T78.3) merupakan manifestasi alergi obat yang melibatkan IgE.1,3 Urtikaria akut berlangsung 6 minggu sedangkan urtikaria kronik lebih dari 6 minggu. Durasi urtikaria dan angioedema adalah 24-72 jam. Manifestasi klinis angioedema pada urtikaria akut dapat mengakibatkan obstruksi nafas hingga kegawatan apabila mengenai laring. Contoh obat yang menyebabkan urtikaria dan angioedema adalah parasetamol dan alopurinol. Pasien dengan keluhan kronik dapat dilakukan serum protein elektroforesis, autologous serum skin test (ASST), tes aktivasi basophil, atau antinuclear antibody (ANA) untuk memastikan adanya autoimunitas. Pemeriksaan untuk angioedema dapat berupa komplemen serm (C1q, C1 inhibitor, dan C4). Tatalaksana dari urtikaria dan angioedema adalah identifikasi dan penghindaran faktor pencetus serta pemberian antihistamin (AH) dengan pilihan utama AH1. Pengobatan urtikaria dan



angioedema akut dengan mengkombinasikan KS dan AH1 dan tambahan berupa pyrantel pamoat. Urtikaria dan angioedema kronis diberikan AH1 non sedasi (nsAH). Apabila pasien mengalami urtikaria parah atau angioedema maka harus ditambahkan terapi kortikosteroid.3 Palmar-Plantar erythrodysesthesia (PPE) adalah toksisitas dermatologis yang disebabkan oleh beberapa obat kemoterapi atau dikenal dengan Hand-Foot Syndrome (HFS) yang ditandai dengan kesemutan dan nyeri yang berkembang menjadi kemerahan simetris, bengkak, dan nyeri terutama pada telapak tangan dan telapak kaki. Hand-Foot Skin Reaction (HFSR) adalah toksisitas dermatologis yang sangat terkait dengan inhibitor multikinase. HFS biasanya muncul 2-12 hari setelah kemoterapi dengan ciri khas edema dan eritema pada telapak tangan dan kaki yang berkembang menjadi lepuh, ulserasi, atau nekrosis. Obat yang menyebabkan lesi ini adalah obat kemoterapi doxorubicin. Tatalaksana yang dilakukan dibagi menjadi infeksi lokal, perubahan integritas kulit, dan manajemen nyeri. Infeksi lokal harus diketahui melalui tes laboratorium, kultur area yang dicurigai, penilaian suhu, peninjauan obat untuk penyesuaian, peninjauan CBC dan nilai trombosit dan hemoglobin. Apabila kulit tidak mengalami komplikasi dan tidak ada kontraindikasi, disarankan untuk merendam kaki setiap hari dengan air hangat dan garam Epsom untuk melembuntkan pembentukan kalus, kompres dingin ke telapak tangan atau telapak kaki bergantian off/on selama 15 menit untuk mengurangi rasa sakit. Manajemen nyeri diberikan dengan agen topikal atau oral. Selain itu pemberian steroid oral untuk pegilasi liposomal docorubicin, deksametason oral dapat dipertimbangkan. 1,4



Gambar 2. Plantar-Palmar erythrodysesthesia dan Hand-Foot Skin Reaction.4 Pemphigus berasal dari Bahasa Yunani, pemphix



yang artinya bula. Pemphigus



adalah suatu prototipe penyakit autoimun dengan manifestasi bula yang bersifat kronik pada permukaan mukosa dan kulit. Pemphigus bula muncul di daerah tungkai, badan, dan membrane mukosa. Pada pemphigus vulgaris, gambaran klinis yang terlihat terdapat pada mukosa mulut yang muncul pada beberapa bulan sampai tahun sebelumnya, lesi lepuhan atau bula kecil dengan dinding tipis dan mudah pecah sehingga mengakibatkan erosi yang menimbulkan rasa nyeri dan pendarahan. Obat yang menyebabkan reaksi alergi ini adalah



obat-obatan yang mengandung gugus thiol, seperti captopril atau penisilin, selain itu penghambat angiotensin converting enzyme (ACE), furosemide, penisilin, dan sulfsalazin. Penatalksanaan farmakologis diberikan dexamethasone 1,5 mg, hydrocortisone 2,5%, chloramphenicol 2%, dan loratadine 1x10mg. Selain itu, pasien berhak diberikan informasi mengenai penyakit dan penyebab. Pengobatan lanjutan, seperti control Kembali, efek samping kortikosteroid, dan alternatif pengobatan.1,5 Purpura dan petekie adalah sigmata vasculitis. 1 Petekie digambarkan sebagai lesi merah yang berbentuk bulut dengan diameter kurang dari 1-2 mm pada jaringan subkutan dan submucosa. Petekie biasaanya dutemukan pada mukosa bukal, pipi, bibir, lateral lidah, dasar lidah, palatum, dan orofaringeal. Salah satu faktor etiologi dari petekie adalah iatogenik. Iatogenik disebabkan oleh perawatan dokter terhadap pasien, seperti prosedur dental yang menyebabkan terjadinya petekie adalah penggunaan saliva ejector yang tidak tepat, handpiece, anastesi, dan penempatan sendok cetak yang tidak tepat. Tatalaksana dari petkie adalah menghilangkan faktor etiologi.1,6



Gambar 3. Petekie, Purpura, dan Ekimosis; Hematoma pada mukosa rahang atas dan gingiva.6 Eritema multiforma adalah lesi mekulopapular polimorfik yang menyebar ke arah perifer dan menimbulkan 3 zona lesi, yaitu edema yang mengelilingi papul, dan eritema di wilayah paling luar. Gambaran klinis dari lesi eritema multiforma berupa bentukan lepuh pada membrane mukosa. Diagnosis banding dari etitema multiforma adalah Sindrom Stevens-Johnson (SJS). Namun, SJS terdapat penyebaran makula-papula dan lepuh di daerah wajah, batang tubuh, dan ektemitas proksimal hinggal berkembang menjadi toksik epidermal nekrolisis (TEN) yang dipicu oleh apoptosis sel epidermis. Daerah dermoepidermal junction terpisah menyebabkan gambaran kulit yang melepuh. Contoh obat yang dapat mengakibatkan lesi ini adalah parasetamol dan kapsida. Tatalaksana untuk EM adalah mengeliminasi faktor penyebab, seperti menghentikan konsumsi obat harus dihentikan. Pada SJS dapat diberikan perawatan luka, analgesic



topikal, cairan intravena atau dier cair, antihistamin oral dan steroid topikal. Penggunaan kortikosteroid untuk lesi yang luas, sementara steroid topikal diberikan pada lesi sedikit.1,7



Gambar 4. Lesi makula, plak eritema multiple pada regio facialis, erosi multiple regio labialis, hiperemia dan secret pada mata, purpura dan makula multiple pada regio thoraks anterior dan posterior serta abdomen.7 Reaksi anafilatik adalah reaksi alergi obat yang terjadi cepat atau segera setelah obat diberikan yang dapat mengancam nyawa karena melibatkan organ saluran nafas atas dan bawah serta sistem kardiovaskuler. Gejala yang ditimbulkan adalah demam hingga 40°C, lesi pada membrane mukosa, limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri dan bengkak pada sendi.1 Penanganan anafilaksis adalah dengan menhentikan sumber alergi, dalam hal ini menghentikan pemakaian obat yang diduga menjadi etiologinya. Apabila pasien mengalami henti napas atau henti jantung, maka Resusitasi Jantung Paru (RJP), pemberian cairan infus, dan oksigen harus dilakukan. Obat-obatan yang dapat menangani anafilaksis seperti epinefrin atau adernalin injeksi subkutan dengan dosis yang tepat, 0,01 mg/kg berat badan, dan dosis maksismumnya adalah 0,3 mg pada anak-anak serta 0,5 mg pada orang dewasa. Dosis pada pemberian adrenalin adalah 0,5 ml. Tujuan dari obat ini adalah mengurangi efek inflamasi karena alergen, melebarkan saluran napas atau bronkodilatasim vasokontriksi sehingga aliran darah dan tekanan darah Kembali normal. Pemberian obat-obatan tambahan bisa diberikan, seperti antihistamin atau kortikosteroid seperti dexamethasone 5 mg melalui intravena (IV) untuk alergi pada kulit, seperti gatal, ruam, kemerahan, alergi pada hidung dan mata, dan mencegah reaksi alergi sekunder. Efedrin 0,5 ml melalui injeksi intramuscular atau subkutan dapat diberikan sebagai pemacu kerja jantung.8 2. Jelaskan tentang tatalaksana penangan alergi obat. Prinsip umum dari tatalaksana penanganan alergi obat adalah dengan mengetahui reaksi obat berdasarkan mekanisme yang terbagi menjadi 3 golongan. Golongan pertama adalah, obat yang diduga kuat menimbulkan reaksi alergi sehingga menjadi daftar obatobatan utama yang manjadi arah tatalaksana, yaitu antibiotik ß-laktam, seperti penisilin,



sefalosporin, monobactam, dan karbapenem; insulin; kemopapain; spterptokinase; serum heterologous; dan tetanus, seperti tokosid-tetanus atau difteri-Td. Selain itu, terdapat bahan yang diduga kuat dapat menimbulkan alergi, yaitu lateks dan agen biologic baru, seperti campak, mumps, MMR, dan vaksin yang berasal dari telur. Golongan kedua adalah obat yang mungkin menimbulkan reaksi alergi, seperti kuinolon; sulfonamid; dilantin; protamin; pelemas otot; anastesi local; dan kemoterapi. Kegiatan yang mungkin menimbulkan reaksi alegi adalah transfuse dan hemodialisis. Sementara itu, golongan ketiga dari reaksi obat menurut mekanismenya adalah obat yang menimbulkan reaksi psudoalergi, antara lain opiat; aspirin dan AINS. Selain itu, heparin, inhibitor ACE, aditif, larutan protein plasma, larutan pengganti berbahan gelatin, tartazin, dan kontras termasuk ke dalam golongan ini. Dasar dari tatalaksana alergi obat antara lain, menghindari faktor yang menimbulkan gejala, penanganan reaksi yang benar, dan cara-cara khusus. Faktor yang menimbulkan gejala mungkin diketahui sebelumnya sehingga pasien harus menghindari pengunaan obat tersebut dan obat-obatan yang tidak memiliki efek klinis yang penting. Biasanya, individu yang pernah mengalami alergi obat dan penanggungjawab atas pasien memilki informasi tersebut di dalam rekam mediknya. Pemberian obat anti serum asing, seperti globulin anti-timosit harus dilakukan penapisan melalui uji tusuk. Sementara itu, pemberian obat rute intravena (IV) dapat menimbulkan reaksi alergi yang paling berat, seperti anafilkasis bagi pemberian obat antibiotik seperti penisilin. 1 Penanganan reaksi yang benar dibedakan menjadi dua, yaitu pengobatan pada reaksi cepat dan reaksi lambat. Pada reaksi alergi cepat adalah penghentian obat yang diberikan, diberikan epfineprin, antihistamin jika terdapat uikaria, angioedema, dan prutius, serta pertimbangan untuk memberikan kortikosteroid oral. Sementara itu, pemberian obat pada reaksi lambat pada daasarnya sama dengan reaksi cepat, kecuali pemberian epinefrin. Namun, pemakaian obat yang sudah dihentikan tetap dapat melanjutkan reaksi alergi pada reaksi lambat. 1 Tatalaksana khusus untuk menangani alergi obat antara lain, threating through, test dosing, desensitisasi dan pramedikasi terhadap obat-obatan tertentu. Threating through adalah keadaan ketika obat yang menimbulkan alergi tidak dapat digantikan dan sangat diperlukan, maka obat diteruskan bersamaan pemberian antihistamin dan kortikosteroid untuk menekan alergi. Namun, risiko dari Tindakan ini adalah reaksi berkembang menjadi eksfoliatif atau sindrom SJS dan memicu keterlibatan organ internal.1



Tes dosing atau provocative drug challenge atau graded drug challenge atau incremental drug challeng adalah tes pemberian obat secara hati-hati dan bertahap untuk mengetahui reaksi alergi ringan secepatnya, ada tidaknya hubungan etiologi antara obat yang terlihat dari toleransi tubuh pasien terhadap obat. Tes dosing digunakan untuk memeriksa toleran terhadap obat, seperti sulfonamid, relaksan otot, asiklovir, zidovudine, pentamidine dan penisilamin, inhibitor ACE, heparin, dan ß-blocker. Selain itu, juga obatobatan yang dapat menimbulkan pseudo-alergi, seperti opiate, anastesi lokal, aspirin, dan tartazin.1 Desensitisasi adalah pemberian bertahap dosis obat yang ditngkatkan secara perlahan, mulai dari dosis subalergenik dan diteruskan sampai dosis penuh. Desentisasi diberikan apabila sudah dapat dipastikan bahwa pasien menderita alergi obat. Pada alergi obat yang melibatkan IgE, desentisasi diperoleh dengan mengeliminasi IgE, yaitu induksi toleransi terhadap obat yang dapat dipastikan dengan tes kulit, seperti penisilin. Pada alergi obat yang tidak melibatkan IgE, seperti aspirin, AINS, alopurinol, sulfametoksazol, dan sulfasalazin dilakukan desensitisasi cepat. Desensitisasi cepat adalah pemberian dosis bertahap selama beberapa jam, mulai jumlah p/1.000.000 – 1/100.000 dosis terapeutik. Pemberian intravena, dilipatgandakan setiap 15 menit dengan pemantauan penderita secara hati-hati. Desensitisasi lambat dengan meningkatkan dosis dan pemberian jarak 24-28 jam, kecuali bila pengobatan diperlukan cepat, biasanya durasi dari Tindakan ini adalah 2 minggu atau lebih.1 Premedikasi atau profilaksis dilakukan untuk anafilaksis non-IgE dengan pemberian antihistamin dan kortikosteroid saja atau dikombinasikan dengan ß-adrenergik untuk menurunkan insidens dan reaksi yang berat dari kontras. Semua tindakan harus memerlukan informed consesnt dan memperhatikan aspek medicolegal.1 3. Bagaimana upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi reaksi alergi, untuk obat yang diberikan baik melalui jalur per oral, intra vena, inta muskular ataupun subkutan? Pencegahan utama yang harus dilakukan agar tidak terjadi reaksi alergi obat adalah memiliki pengetahuan mengenai mekanisme, faktor risiko dan gejala klinis alergi obat, serta anamnesis yang baik. Anamnesis yang relevan antara lain, deskripsi gejala, penyakit atropi dan penyakit lainnya, serta pemicu dan faktor lingkungan hidup di sekitar penderita. Apabila pasien diduga memiliki alergi obat, maka riwayat pemakaian obat



yang baru saja digunakan dan durasi antara pemakaian obat dan munculnya reaksi alergi harus ditanyakan dalam rekam medik. 1 Obat-obatan oral yang biasa diberikan berupa pil, tablet, bubuk, sirup, dan kapsul. Kontraindikasi dari pemberian obat-obatan oral antara lain, muntah dan tidak bisa menelan obat, kesadaran menurun, dan perlunya tindakan suction. Pencegahan yang dilakukan adalah dengan mengkaji apakah pasien memiliki alergi terhadap obat tersebut dengan anamnesis. Mengetahui dengan jelas jenis dan kandungan obat, indikasi dan kontraindikasi dari obat, dan dosis yang diberikan. Hal yang perlu dipertimbangkan ketika memberikan obat oral pada pasien antara lain, jika pasien mulai batuk saat pemberian obat, bisa dihentikan segera, dan aspirasi obat atau cairan dapat terjadi dengan mudah, pasien harus mendapatkan intruksi yang lengkap mengenai cara meminum obat, dosis, tujuan, dan kapan obat itu diminum, pada pasien anak-anak maupun lansia harus melibatkan keluarga saat memberikan penyuluhan, serta apabila terdapat reaksi alergi segera dilakukan tindakan dan penghentian obat.1,9 Pemberian obat secara subkutan (SC), intramuscular (IM), intracutan (IC), dan intravena (IV) termasuk ke dalam pemberian obat parenteral. Injeksi subkutan (SC) adalah menyuntikkan obat ke jaringan ikat longgar di bawah kulit di mana penyerapan obat lambat dari intramuscular (IM) karena tidak memiliki banyak pembuluh darah. Injeksi ini hanya untuk obat dosis kecil yang larut dalam air dan tidak mengiritasi karena mengandung reseptor nyeri. Daerah injeksi SC adalah lengan atas belakang, abdomen dari bawah ig sampai batas Krista iliaka dan bagain paha atas depan. 9 Injeksi intramuscular (IM) adalah injeksi pada otot yang memiliki banyak pembuluh darah sehingga absorpsi obat lebih cepat daripada SC. Tujuan rute ini agar absorpsi obat lebih cepat, dosis obat yang diberikan lebih besar dibanding melalui subkutan, dan mencegah atau mengurangi iritasi obat.9 Injeksi intracutan (IC) adalah pemberian obat dengan suntikan ke dalam jaringan kulit di lengan bawah bagian dalam atau di tempat lain, biasanya digunakan sebagai skin test, hanya diberikan pada pasien yang memerlukan antibiotic, dan untuk menentukan diagnosis penyakit tertentu. Tes kulit ini digunakan untuk menunjukkan nilai prediksi yang kuat. 9 Pemberian obat melalui intravena (IV) adalah rute absorbs obat paling cepat dengan menginjeksi obat langsung ke dalam pembuluh darah menggunakan spuit pada lengan (vena basalika dan vena sefalika), tungkai (vena saphenous), leher (vena jugularis), kepala (vena frontalis atau vena temporalis). Tujuan dari rute ini agar reaksi obat cepat



diabsorbsi, menghindari terjadinya kerusakan jaringan, dan memasukan dosis obat yang besar. Pemberian obat melalui intravena dapat menghindari first pass effect oleh hati, yaitu metabolisme obat oleh hati sebelum masuk ke sirkulasi yang diserap oleh usus yang dapat menyebabkan obat menjadi inaktif dan menurunkan kadar obat yang masuk ke sirkulasi sistemik.9,10



Gambar 5. Rute Parenteral IM, SC, IV, dan Intradermal9 Pencegahan alergi obat melalui rute ini dapat dilakukan dengan anamnesis pada pasien, melihat rekam medik pasien, investigasi alergi-anastersi menyeluruh pada pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis, memahami tujuan dan dosis obat tersebut dengan perhitungan yang tepat. Pemeriksaan penunjang untuk reaksi alergi obat antara lain, tes reaksi hipersensitivitas cepat (IgE) dengan tes kulit, tes tempel, tes provkasi/dosing test, tes RAST, pengukuran IgG atau IgM yang spesifik untuk obat, pengukuran aktivasi komplemen, pengukuran pelepasan mediator dari basophil (histamin, prostaglandin, leukotrin, tryptase, transformasi limfosit, esai toksisitas leukosit), dan evaluasi komputer.1 tes alergi (skin test) pada injeksi intradermal dengan memberikan antibiotik secara intradermal dengan dosis kecil (0,1 ml), sebelum disuntikan dosis lebih besar secara intravena. Contoh dari injeksi ini adalah injeksi lamprin untuk desentisasi. Panjang jarum untuk skin test adalah ¼ - 1/2 inch dan spuit ukuran 26 atau spuit tuberculin/spuit insulin yang disuntikan pada medial atau volair regio antebrachia.11



Gambar 6. Posisi jarum pada injeksi intradermal (skin test) dan indurasi kulit setelah injeksi intradermal.10 Pemeriksaan penunjang umum berdasarkan indikasi antara lain, pemeriksaan darah perifer lengkap dengan hitung jenis, laju endap darah, c-reactive protein, tes autoantibodi,



tes imunologis khusus, pemeriksaan rontgen dan elektrodiografi. Apabila pasien memiliki alergi obat yang melibatkan ginjal, bisa dilakukan pemeriksaan urinalis untuk melihan proteinuria, eosinophil pada urin yang menunjukkan nefritis interstitial, peningkatan kadar total IgE, dan cast pada urin. Apabila pasien dicuriga vasculitis karena reaksi alergi obat maka harus dilakukan pemeriksaan laju endap darah, C-reactive protein, tes komplemen, dan beberapa tes autoantibodi, seperti anatinuclear antibody (ANA), antinuclear cytoplasmic antibody (c-ANCA), dan perinuclear cytoplasmic antibody (pANCA). Apabila hasil tes ANA positf maka diagnosis yang diberikan adalah sindrom lupus imbas obat.1



DAFTAR PUSTAKA 1. Rengganis, I, dan Pandapotan, R.A. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Obat. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2017; 4(1): 46-52. 2. Meidiyanti, P., Radiono, S., Budiyanto, A. Reticulate Fixed Drug Eruption Yang Disebabkan Obat Kemoterapi: Sebuah Varian Baru. MDVI. 2020; 47(2):73-76. 3. Wirantari N, dan Prakoeswa CRS. Urtikaria dan Angioedema: Studi Retrspektif. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin-Periodical of Dematology and Venereology. 2014;26(3):213-219. 4. Sherriff, C., et al. Symptom Management Guidelines: Palmar-Plantar Erythrodysesthesia (PPE). Provincial Health Services Authority. 2019:1-6. 5. Made, HD., Made, W., Prima, S. Pemfigus Vulgaris disertai Infeksi Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus: Sebuah Laporan Kasus. MDVI. 2019; 46(4):182187. 6. Hirawan, H., Djati, FK, Mulitasari, ER. Laporan Kasus: Petekie pada Rongga Mulut Akibat Faktor Latrogenik pada Pasien Anak. JKG Unej. 2020;17(2):57-59. 7. Limbara, EN dan Karmila, ID. Eritema Multiforme Mayor Pada Anak Diduga Disebabkan Oleh Parasetamol dan Herbal. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Udayana. 2020:1-19. 8. Salsabila, NA. Analisis Pencegahan dan Penanganan Anafilaksis di Masyarakat. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2019:1-9. 9. Adventus, MRL., Mahendra, ND., Mertajaya, IM. Farmakologi. Jakarta: Fakultas Vokasi UKI. 2019. 10. Noviani, N., dan Nurilati, V. Bahan Ajar Keperawatan Gigi: Farmakologi. Jakarta: Kemenkes RI. 2017. 11. Hermasari, BK., et al. Buku Pedoman Keteranpilan Klinis Teknik Injeksi dan Pungsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 2019.