Alif Chelvin - Analisis Semiotik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Analisis Semiotik A. Pengertian Analisis Semiotik Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani, simeon, yang berarti tanda. Sedangkan secara terminologis, istilah semiotik adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek, peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai sebuah tanda (Alex, 2009). Analisis semiotik merupakan salah satu teori sastra. Semiotik itu sendiri adalah kajian ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda. Seiring perkembangannya, semiiotik tidak hanya mengkaji tentang sastra saja, namun juga mengkaji tentang ilmu-ilmu sosial. Dalam kehidupan nyata, kajian semiotik menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat adalah suatu tanda-tanda, dan semiotik mempelajari tentang sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Sedangkan dalam konteks sastra, kajian semiotik tersebut menganalisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada sifat-sifat yang menyebabkan timbulnya berbagai macam cara dan wacana yang memiliki makna (Preminger, dkk., 1974). Terkait dengan hal tersebut, analisis semiotik adalah analisis yang digunakan untuk mempelajari tentang lingustik atau bahasa, dan perilaku manusia yang dapat membawa makna atau fungsi sebagai tanda. Tanda tersebut memiliki dua aspek, yaitu penanda (signifie, signifiant), dan petanda (signified, signifie) (Preminger, dkk., 19745). Penanda adalah suatu bentuk formal dari tanda tersebut, yang mana dalam bahasa dapat berupa satuan bunyi atau hruf dalam sastra tulis, dan petanda adalah apa yang ditandai oleh penanda tersebut. Semua hal yang dapat diambil sebagai sebuah tanda berarti hal tersebut memiliki arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain yang tidak seharusnya ada atau tanda tersebut ada di suatu tempat atau waktu tertentu. Dengan demikian, pada dasarnya, semiotika adalah sebuah ilmu yang mempelajari semua hal yang dapat digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan, atau dapat digunakan untuk menyatakan kebenaran (Alwan, 2016). Dalam konteks karya sastra, analisis semioitik adalah analisis yang digunakan untuk menelaah karya sastra dengan cara mempelajari setiap unsur yang ada di dalamnya, dan suatu sistem yang terikat dengan sistem tertentu yang berada di luar karya sastra. Analisis semiotik ini merupakan salah satu bentuk kritikan yang paling populer dan penting dalam bidang bahasa dan kesusasteraan. Ada banyak tokoh yang mengemukakan tentang



analisis semiotik tersebut, seperti Fredinand de Saussure, Sander Pierce, Micheal Riffaterre, Umbarto Eco, Jurij Lotman dan lain-lain. Analisis ini menitikberatkan soal kebahasaan dengan penumpuan kepada mencari dan memahami makna menerusi sistem lambang (sign) dan perlambangan dalam teks. Asas kepada kritikan ini merupakan suatu bentuk kepercayaan bahwa makna yang terdapat dalam bahasa ditandai dengan sistem lambang dan perlambangan. Lambang dan perlambangan ini pula mempunyai hubungan dengan psikologi manusia dalam sesebuah masyarakat. Makna dalam teks dapat dipahami dengan mentafsir lambang dan perlambangan yang hadir dalam teks dan dihubungkan pula dengan penerimaan umum dalam sebuah masyarakat. Menurut Pateda (2001), ada sembilan macam semiotik, antara lain: 1. Semiotik analitik, yaitu semiotik yang menganalisis mengenai sistem tanda. Dalam semiotik ini, Pierce mengatakan bahwa semiotik berobjekan tanda dan penganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Yang mana ide tersebut dikaitkan sebagai lambang, dan makna adalah sebuah beban yang terdapat dalam lambang tersebut yang mengacu pada objek tertentu. 2. Semiotik deskriptif, yaitu semiotik yang mempelajari tentang sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sudah sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. 3. Semiotik faunal (zoo semiotic), yaitu semiotik yang mempelajari sistem tanda yang dihasilkan oleh tanda. Tanda-tanda tersebut biasanya merupakan bentuk komunikasi antar sesamanya, namun terkadang tanda-tanda tersebut dapat ditafsirkan oleh manusia. 4. Semiotik kultural, yaitu semiotik yang menganalisis tentang sistem tanda yang berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu. Hal ini didasari oleh sistem budaya manusia yang berbeda-beda, yang tentunya memiliki tanda, dan maknanya masing-masing yang dapat membedakan dengan masyarakat lainnya. 5. Semiotik naratif, yaitu semiotik yang menganalisis tentang sistem tanda dalam narasi yang berupa mitos dan cerita lisan, yang tentunya baik mitos dan cerita lisan tersebut memiliki nilai kultural yang tinggi. 6. Semiotik natural, yaitu semiotik yang menganalisis tentang sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Seperti misalnya, adanya banjir atau tanah longsor yang merupakan sebuah tanda dari alam kepada manusia bahwa mereka telah merusak alam.



7. Semiotik normatif, yaitu semiotik yang menganalisis tentang sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud dalam norma-norma. 8. Semiotik sosial, yaitu semiotik yang menganalisis tentang sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berupa lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. Dengan kata lain, semiotik sosial tersebut merupakan semiotik yang menganalisis tentang sistem tanda yang terdapat dalam bahasa. 9. Semiotik struktural, yaitu semiotik yang menganalisis tentang sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. Selain itu, semiotika juga memiliki tiga cabang, yaitu sintatik, semantik, dan pragmatik. Sintatik adalah kajian yang mempelajari tentang hubungan diantara tanda atau simbol yang ada. Kajian dalam sintatik tersebut mengacu pada aturan-aturan yang dapat digunakan untuk mengkombinasikan tanda-tanda dalam sistem makna yang kompleks, dan mengacu pada prinsip bahwa tanda atau simbol tersebut akan selalu dipahami dan dikaitkan dengan tanda atau simbol lainnya. Sedangkan pragmatik adalah kajian yang mempelajari tentang bagaimana tanda atau simbol-simbol yang ada dapat membentuk suatu perbedaan dalam kehidupan manusia. Selain itu, kajian pragmatik tersebut juga mempelajari tentang dampak dan pengaruh dari tanda atau simbol tersebut dalam kehidupan manusia. Kajian pragmatik tersebut juga memiliki pengaruh yang paling penting dalam teori komunikasi karena tanda-tanda dan sistem tanda tersebut dilihat sebagai alat komunikasi (Supadiyanto, 2015). B. Landasan Paradigma Kritis Kajian semiotik ini berada pada dua paradigma yaitu paradigma konstruktif dan paradigma kritis. Paradigma kritis adalah sebuah tradisi dalam ilmu sosial yang mencoba memahami sistem yang sudah dianggap benar, struktur kekuatan, dan keyakinan atau ideologi yang mendominasi masyarakat dengan pandangn tertentu (Littlejohn, 2009). Terkait dengan semiotik, paradigma kritis ini percaya bahwa media adalah salah satu sarana yang digunakan untuk dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan dapat memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Salim (2006) mengatakan bahwa ada dua konsep paradigma kritis yang harus dipahami, yaitu pertama kritik internal terhadap analisis argumen dan metode yang digunakan dalam berbagai penelitian, yang berfokus pada alasan teoritis dan prosedur dalam memilih,



mengumpulkan dan menilai data empiris. Paradigme ini lebih mementingkan pada alasan, prosedur, dan bahasa yang digunakan dalam mengungkap kebenaran. Kedua adalah makna kritis dalam reformulasi masalah logika, yang semata-mata bukan hanya untuk pengaturan formal dan kriteria internal dalam pengamatan, namun juga melibatkan bentuk khusus pemikiran yang difokuskan pada skeptisisnme dalam pengertian rasa ingin tau terhadap institusi sosial dan konsepsi tentang realitas yang berkaitan dengan ide, pemikiran, dan bahasa melalui kondisi sosial historis. Dalam analisis semiotika, ada beberapa paradigma yang dapat digunakan, salah satunya adalah teori kritis, yaitu tradisi kritis. Tradisi kritis adalah tradisi komunikasi yang meneliti tentang bagaimana kekuatan dan tekanan serta keistimewaan sebagai hasil dari bentuk-bentuk komunikasi tertentu dalam masyarakat. Tradisi kritik ini memiliki tiga keunggulan, yaitu, pertama, tradisi kritik mencoba untuk memahami sistem yang telah dianggap benar, struktur kekuatan dan keyakinan atau ideologi yang mendominasi masyarakat dengan pandangan tertentu di mana minat-minat disajikan oleh strukturstruktur kekuatan tersebut. Kedua, teori kritik memahami penindasan dalam menghapus ilusi-ilusi ideologi dan bertindak mengatasi kekuatan-kekuatan yang menindas. Ketiga, teori kritik menciptakan kesadaran untuk menggabungkan teori dan tindakan. Hal ini disebabkan karena teori kritik tersebut bersifat normatif dan bertindak untuk mendapatkan dan mencapai peruabhan dalam kondisi-kondisi yang mempengaruhi masyarakat. Terkait dengan semiotika, Baudillard (dalam Littlejohn, 2009) mengatakan bahwa ada pemisahan tanda dari apa yang ditunjuknya. Keadaan realitas saat ini dipertanyakan karena tanda-tanda dianggap lebih nyata dibandingkan dengan tanda itu sendiri. Hal ini disebabkan karema realitas adalah suatu bentuk konstruksi yang terus berubah dan cepat berlalu. Hal tersebut sesuai dengan salah satu sifat dasar dari teori kritis yang selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat pada saat ini. Hal ini disebabkan dalam kondisi masyarakat yang terlihat produktif dan aktif namun sebenarnya di dalamnya terdapat struktur terselubung masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak. Selain itu, dalam analisis semiotik kita juga dapat menggunakan analisis wacana kritis (AWK). Analisis wacana kritis adalah bentuk dari paradigma kritis yang lebih mengacu pada penafsiran. Analisis wacana kritis tersebut adalah sebuah kajian interdisiplin antara kajian lingustik, khususnya analisis wacana, yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam banyak bidang. Dengan adanya penafsiran tersebut, masyarakat akan mendapatkan



dunia dalam, masuk menyelami teks, dan menyingkap makna yang ada di dalamnya (Eriyanto, 2011). Dalam kajian sastra, sebenarnya analisis wacana kritis tersebut sudah digunakan untuk menganalisis nilai-nilai yang terdapat pada karya sastra. Analisis wacana kritis tersebut mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar, situasu, peristiwa, dan kondisi, yang mana wacana tersebut dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada sutu konteks tertentu. Analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi, seperti siapa yang mengkomunikasikan, dengan siapa dan mengapa, jenis khalayak dan situasi apa wacana tersebut dikomunikasikan, bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi dan hubungan antar masing-masing pihak (Eriyanto, 2001). Dalam analisis wacana kritis, bahasa tidak hanya dipahami sebagai mekanisne internal dari linguistik dan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup saja, namun bahasa disini dimaknai sebagai teks dan konteks secara bersama-sama. Menurut Eriyanto (2001), dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi yang umumnya kuantitatif, yang mana analisis wacana tersebut lebih menekankan pemaknaan teks ketimbang panjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Analisis wacana tersebut berdasarkan pada interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Ia juga mengatakan bahwa analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest ( nyata ), sedangkan analisis wacana justru berpretensi memfokuskan pada pesan laten ( tersembunyi ). Makna suatu pesan tersebut tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, namun harus dianalisis dari makna yang tersembunyi. Pretensi analisis wacana juga merupakan suatu muatan, nuansa, dan makna yang laten dalam teks. C. Teknik-Teknik Analisis Semiotik Dalam melakukan analisis semiotik, kita dapat menggunakan metode interpretatif. Hal ini disebabkan karena secara metodologis, kritisme yang terkandung dalam teori-teori interpretatif menyebabkan cara berpikir mazhab kritis juga dapat terbawa dalam kajian semiotik tersebut. Hal ini sesuai dengan paradigma kritis yang mana analisis semiotik tersebut bersifat kualitatif, yang mana jemis penelitian tersebut memberikan peluang yang besar untuk membuat interpretasi alternatifnya. Seperti halnya dalam analisis wacana, ada tiga jenis masalah yang dapat diulas dalam analisis semiotika, yaitu pertama adalah masalah makna. Dalam permasalahan ini, kita dapat membahas tentang bagaimana orang



dapat memahami pesan yang diterimanya, dan informasi apa yang terkandung dalam struktur sebuah pesan. Kedua adalah masalah tindakan atau pengetahuan tentang bagaimana memperoleh sesuatu melalui pembicaraan. Sedangkan yang terakhir adalah masalah koherensi. Dalam permasalahan ini kita dapat membahas tentang bagaimana membentuk sutau pola pembicaraan masuk akal dan dapat dimengerti. Selain itu, dalam semiotika sosial, ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian penafsiran teks secara kontekstual, yaitu (Sudibyo, 2001): 1. Medan wacana, yaitu hal yang mengacu pada hal-hal yang terjadi, misalnya apa yang bisa dijadikan wacana oleh pelaku mengenai sesuatu yang terjadi di masyarakat. 2. Pelibat wacana, yaitu hal yang mengacy pada orang-orang yang dicantumkan dalam teks, sifat orang-orang tersebut, kedudukan, dan peran mereka. 3. Sarana wacana, yaitu mengenai tentang bagaimana komunikator menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan situasu dan melibatkan orang-orang, apakah menggunakan bahasa yang diperhalus atau hiperbolik, eufemistik atau vulgar. Pada dasarnya, teknik dan langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis semiotik sama dengan teknik dan langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis-analisis lainnya. Ada beberapa teknik dan langkah yang harus dilakukan dalam melakukan analisis semiotik, khususnya dalam kajian ilmu komunikasi (Christomy, 2004), antara lain: 1. Mencari topik dan konsep yang menarik untuk dibahas 2. Membuat pertanyaan mengenai topik penelitian secara menarik (mengapa, apa, dimana, dan bagaimana) 3. Menentukan alasan dari penelitian anda 4. Merumuskan penelitian dengan mempertimbangkan tiga langkah sebelumnya. 5. Menentukan metode pengolahan data (kualitatif/ semiotika) 6. Mengklasifikasi data Dalam tahap ini kita dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi data b. Memberikan alasan mengapa teks tersebut dipilih dan perlu diidentifikasi c. Menentukan pola semiosis yang umum dengan mempertimbangkan hirari maupun sekuennya, atau pola sintagmatik dan paradigmatiknya



d. Menentukan kekhasan wacananya dengan mempertimbangkan elemen semiotika yang ada 7. Menganalisis data Dalam tahap ini kita dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menentukan ideologi, interpretan kelompok, kerangka budayanya b. Menentukan aspek pragmatik, aspek sosial, dan komunikatif c. Lapis, makna, intekstualitas, kaitan dengan tanda-tanda lainnya, dan hukum yang mengaturnya d. Kamus vs ensikloedi e. Membuat kesimpulan



Referensi Christomy, T. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia. Eriyanto. 2011. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. Espede, Supadiyanto Ainun N. 2015. Review I: Tradisi-Tradisi Teori Komunikasi. Diakses



pada



26



Maret



2019



dari



https://www.kompasiana.com/supadiyanto/55009b1ca33311c56f511952/review -i-tradisi-tradisi-teori-komunikasi Foss, Littlejohn. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Husni, Alwan Ramdani. 2016. Analisis Semiotika Foto Bencana Kabut Alam. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Preminger, Alex (ed.) dkk. 1974. Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics. New Jersey: Princeton University Press. Salim, A. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial.Tiara Wacana. Yogyakarta. Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar, Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta. LKIS