Alur Perkara Pidana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Alur Perkara Pidana



 



 



Prosedur Penerimaan Perkara Pidana Biasa



MEJA PERTAMA 1. Menerima berkas perkara pidana, lengkap dengan surat dakwaannya dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut. Terhadap perkara yang terdakwanya ditahan dan masa tahanan hampir berakhir, petugas segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan. 2. Berkas perkara dimaksud di atas meliputi pula barang¬-barang bukti yang akan diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik yang sudah dilampirkan dalam berkas perkara maupun yang kemudian diajukan ke depan persidangan. Barang-barang bukti tersebut didaftarkan dalam register barang bukti. 3. Bagian penerimaan perkara memeriksa kelengkapan berkas. Kelengkapan dan kekurangan berkas dimaksud diberitahukan kepada Panitera Muda Pidana. 4. Dalam hal berkas perkara dimaksud belum lengkap, Panitera Muda Pidana meminta kepada Kejaksaan untuk melengkapi berkas dimaksud sebelum diregister. 5. Pendaftaran perkara pidana biasa dalam register induk, dilaksanakan dengan mencatat nomor perkara sesuai dengan urutan dalam buku register tersebut. 6. Pendaftaran perkara pidana singkat, dilakukan setelah Hakim melaksanakan sidang pertama. 7. Pendaftaran perkara tindak pidana ringan dan lalu lintas dilakukan setelah perkara itu diputus oleh pengadilan. 8. Petugas buku register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait, semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara dan pelaksanaan putusan ke dalam register induk yang bersangkutan. 9. Pelaksanaan tugas pada Meja Pertama, dilakukan oleh Panitera Muda Pidana dan berada langsung dibawah koordinasi Wakil Panitera.



MEJA KEDUA



1. Menerima pernyataan banding, kasasi, peninjauan kembali dan grasi/ remisi. 2. Menerima dan memberikan tanda terima atas: 1. Memori banding; 2. Kontra memori banding; 3. Memori kasasi; 4. Kontra memori kasasi; 5. Alasan peninjauan kembali; 6. Jawaban/tanggapan peninjauan kembali; 7. Permohonan grasi/remisi; 8. Penangguhan pelaksanaan putusan.



Pemeriksaan Perkara Pidana dengan Acara Biasa 1.  Penunjukan hakim atau majelis hakim dilakukan oleh KPN setelah Panitera mencatatnya di dalam buku register perkara seterus¬nya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan Hakim/ Majelis yang menyidangkan perkara tersebut. 2. Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan pembagian perkara kepada Wakil Ketua terutama pada Pengadilan Negeri yang jumlah perkaranya banyak. 3. Pembagian perkara kepada Majelis/ Hakim secara merata dan terhadap perkara yang menarik pehatian masyarakat, Ketua Majelisnya KPN sendiri atau majelis khusus. 4. Sebelum berkas diajukan ke muka persidangan, Ketua Majelis dan anggotanya mempelajari terlebih dahulu berkas perkara. 5. Sebelum perkara disidangkan, Majelis terlebih dahulu mempelajari berkas perkara, untuk mengetahui apakah surat dakwaan telah memenuhi-syarat formil dan materil. 6. Syarat formil: nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat tinggal, pekerjaan terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan dan agama. 7. Syarat-syarat materiil: 1. Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti); 2. Perbuatan yang didakwakan harus jelas di¬rumuskan unsur-unsurnya;



3. Hal-hal yang menyertai perbuatan-perbuatan pidana itu yang dapat menimbulkan masalah yang memberatkan dan meringankan.



PROSEDUR PERKARA PIDANA BIASA MEJA PERTAMA Menerima perkara pidana, lengkap dengan surat dakwaannya dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut. Pendaftaran perkara pidana biasa dalam buku register induk, dilaksanakan dengan mencatat nomor perkara sesuai dengan urutan dalam buku register tersebut. Pendaftaran perkara pidana singkat, dilaksanakan setelah Hakim menetapkan dalam persidangan, bahwa perkara tersebut akan diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat. Pendaftaran perkara tindak pidana ringan dan lalu lintas dilaksanakan setelah perkara itu diputus oleh Pengadilan. Pengisian kolom-kolom buku register, harus dilaksanakan dengan tertib dan cermat, berdasarkan jalannya penyelesaian perkara. Berkas perkara yang diterima, harus dilengkapi dengan formulir Penetapan Majelis Hakim disampaikan kepada Wakil Panitera, selanjutnya segera diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri melalui Panitera. Perkara yang sudah ditetapkan Majelis Hakimnya, segera diserahkan kepada Majelis Hakim yang ditunjuk setelah dilengkapi dengan formulir Penetapan Hari Sidang, dan pembagian perkara dicatat dengan tertib. Penetapan hari sidang pertama dan penundaan sidang beserta alasan penundaannya yang dilaporkan oleh Panitera Pengganti setelah persidangan, harus dicatat didalam buku register dengan tertib.



Pemegang buku register, harus mencatat dengan cermat dalam register yang terkait, semua kegiatan perkara yang berkenaan dengan perkara banding, kasasi, peninjauan kembali, grasi dan pelaksanaan putusan ke dalam buku register induk yang bersangkutan. MEJA KEDUA Menerima pernyataan banding, kasasi, peninjauan kembali, dan grasi/remisi. Menerima/memberikan tanda terima atas: (a) Memori banding. (b) Kontra memori banding. (c) Memori kasasi. (d) Kontra memori kasasi. (e) Alasan peninjauan kembali. (f) Jawaban/tanggapan peninjauan kembali. (g) Permohonan grasi/remisi. (h) Penangguhan pelaksanaan putusan. Membuat akta permohonan berpikir bagi terdakwa. Membuat akta tidak mengajukan permohonan banding. Menyiapkan dan menyerahkan salinan-salinan putusan Pengadilan, apabila ada permintaan dari pihak yang bersangkutan. Pelaksanaan tugas-tugas pada Meja Pertama dan Meja Kedua, dilakukan oleh Panitera Muda Pidana dan berada langsung dibawah pengamatan Wakil Panitera.



  ADMINISTRASI PERKARA PIDANA BANDING Permohonan banding diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan, atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan putusan. Permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut harus ditolak dengan. membuat surat keterangan. Permohonan banding yang telah memenuhi prosedur dan waktu yang ditetapkan, harus dibuatkan akta pemyataan banding yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon banding, serta tembusannya diberikan kepada pemohon banding. Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan disertai alasannya dan catatan tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana. Permohonan banding yang diajukan harus dicatat dalam buku register induk perkara pidana dan register banding. Panitera wajib memberitahukan permohonan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Tanggal penerimaan memori dankontra memori banding, harus dicatat dan salinannya disampaikan kepada pihak yang lain, dengan membuat relas pemberitahuan/penyerahannya. Sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi, selama 7 hari pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara. Dalam waktu 14 (empat betas) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas perkara banding berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi.



Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu, dan dalam hal sudah dicabut tidak boleh diajukan permohonan banding lagi. PERKARA PIDANA KASASI Permohonan kasasi diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi diberitahukan. Permohonan kasasi yang telah memenuhi prosedur, dan tenggang waktu yang te1ah ditetapkan harus dibuatkan akta pernyataan kasasi yang ditandatangani oleh Panitera. Permohonan kasasi wajib diberitahukan kepada pihakl awan dan dibuatkan akta/relaas pemberitahuan permohonan kasasi. Terhadap permohonan kasasi yang melewati tenggang waktu tersebut, tetap diterima dengan membuat surat keterangan oleh Panitera yang diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri, dan berkas perkara tersebut dikirim ke Mahkamah Agung. Memori kasasi selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat betas) hari sesudah pernyataan kasasi, harus sudah diterima pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Dalam hal terdakwa selaku pemohon kasasi kurang memahami hukum, Panitera wajib menanyakan dan mencatat alasan-alasan kasasi dengan membuat memori kasasi baginya. Dalam hal pemohon kasasi tidak menyerahkan memori kasasi, panitera harus membuat pernyataan bahwa pemohon tidak mengajukan memori kasasi. Sebelum berkas perkara dikirim kepada Mahkamah Agung, pihak yang bersangkutan hendaknya diberi kesempatan mempelajari berkas perkara tersebut. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tenggang waktu mengajukan memori kasasi berakhir, berkas perkara berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.



Foto copy relas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, supaya dikirim ke Mahkamah Agung. PERKARA PIDANA PENINJAUAN KEMBALI Permohonan Peninjauan Kembali dari terpidana atau ahli warisnya beserta alasan-alasannya, diterima oleh Panitera dan ditulis dalam suatu surat keterangan yang ditanda tangani oleh Panitera dan pemohon. Dalam hal terpidana selaku pemohon peninjauan kembali kurang memahami hukum, Panitera wajib menanyakan dan mencatat alasan-alasan secara jelas. dengan membuatkan surat permohonan peninjauan kembali. Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permintaan peninjauan kembali, wajib memberitahukan permintaan peninjauan kembali kepada Jaksa Penuntut Umum. Dalam waktu 14 (empat belas) hari, setelah permohonan peninjauan kembali diterima Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali, untuk memeriksa alasan permintaan peninjauan kembali tersebut, yang mana pemohon dan Jaksa ikut hadir dalam menyampaikan pendapatnya. Panitera wajib membuat berita acara pemeriksaan peninjauan kembali dan ditandatangani oleh Hakim, Jaksa, pemohon dan Panitera. Panitera wajib membuat berita acara pendapat Ketua/Hakim Pengadilan Negeri tentang peninjauan kembali. Dalam waktu 30 hari Panitera mengirimkan berkas perkara permohonan peninjauan kembali, berita acara pemeriksaan, dan berita acara pendapat Ketua/Hakim, dan menyampaikan tembusan surat pengantarnya kepada pemohon dan Jaksa. Dalam hal yang dimintakan peninjauan kembali putusan Pengadilan tingkat banding, maka tembusan surat pengantar, berita acara pemeriksaan, dan berita acara pendapat Ketua/Hakim disampaikan kepada Pengadilan Tingkat Banding yang bersangkutan.



Foto copy relas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung supaya dikirim ke Mahkamah Agung. PROSEDUR PENERIMAAN PERMOHONAN GRASI/REMISI. Permohonan grasi/remisi harus diajukan kepada Panitera Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama. Surat permohonan grasi tersebut, beserta berkas perkara semula termasuk putusan-putusan atas perkara tersebut, disampaikan kepada Hakim yang memutus pada tingkat pertama atau kepada Ketua Pengadilan untuk mendapatkan pertimbangan tentang permohonan grasi tersebut. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan grasi/remisi diterima, maka permohonan grasi serta berkas perkara yang bersangkutan, dengan disertai pertimbangan Hakim/Ketua Pengadilan, kepada Kepala Kejaksaan Negeri. Dalam perkara singkat permohonan dan berkas perkara dikirim kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi/remisi dicatat dalam register induk perkara pidana dan register grasi/remisi. Sumber: Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Buku II), Cet. II, 1997.



TEKNIK PERADILAN SEMU (BERPERSPEKTIF KEADILAN JENDER) By admin | Published May 20, 2011 Oleh :  Junaedi, S.H.,M.Si.,LL.M.*   1. A. Pendahuluan Para Sarjana lulusan pendidikan tinggi hukum sangat diharapkan untuk dapat mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan hukum yang didapat untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan masyarakat. Untuk itu mutu lulusan pendidikan tinggi hukum perlu terus ditingkatkan dengan teknik pendidikan pengajaran yang lebih berorientasi pada penggabungan kemampuan teori dan praktis. Tuntutan yang tinggi untuk mutu lulusan juga sangat diharapkan bagi sarjana hukum yang memiliki moralitas tinggi dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dengan penerapan hukum yang tidak didasarkan pada yuridis normative belaka, namun juga mempertimbangkan sisi lain dari penerapan hukum guna distribusi keadilan secara berimbang. Pola pendidikan dan pengajaran yang berorientasi pada kemampuan praktik hukum mahasiswa adalah dengan menggabungkan pemahaman teori dan pemahaman praktik hukum secara riil yaitu dengan pendidikan yang berorinetasi pada latihan pemecahan permasalahan hukum yang ada di masyarakat. Dengan metode ini maka akan semakin mendekatkan mahasiswa kepada permasalahan riil yang ada di masyarakat, sehingga capaian untuk ‘menelurkan’ sarjana hukum yang mampu membantu memecahkan masalah di masyarakat akan terwujud. Seorang sarjana hukum pada hakikatnya adalah ‘dokter’ bagi penyembuhan atau pengikisan masyarakat lewat rekomendasi pemecahan masalah melalui berbagai cara. Mekanisme peradilan sendiri adalah salah satu media bagi penyelesaian permasalahan yang timbul di masyarakat. Pendidikan tinggi hukum yang saat ini banyak didominasi dengan pola pendidikan satu arah atau ceramah, meskipun di berbagai perguruan tinggi kini juga sudah di gabungkan dengan metode diskusi terarah. Sedangkan pengajaran dengan menggabungkan kemampuan praktik hukum saat ini lebih banyak diarhkan berdasarkan rumpun perkara yang ada dalam cabang peradilan



misalnya Praktik Hukum Pidana, Praktik Hukum Perdata dan Praktik Hukum PTUN, sedangkan pengajaran pada pendidikan tersebut dibatasi oleh masa pengajaran yang hanya berlangsung 14 (empat belas) Pertemuan sedangkan materi pengajaran yang diajarkan akan juga mengalami berbagai irisan dengan perkuliahan Hukum Acara meskipun dalam pengajaran Praktik hukum banyak diarahkan pada pemberkasan sedangkan pemahaman materi hukum sendiri bukanlah prioritas karena hal ini telah ada dalam perkuliahan tersendiri. Sedangkan pengajaran pada perkuliahan “materiil” tersebut kurang diarahkan pada pembelajaran kasus hukum yang terkini dan pemberian kesempatan kepada mahasiswa untuk menyelesaikan perkara yang ada dalam mekanisme peradilan dalam hal perkara tersebut dibawa ke pengadilan (moot court). Untuk itu pendidikan dan pengajaran peradilan seharusnya tidak saja diserahkan pada perkuliahan praktik hukum namun juga diterapkan pada perkuliahan lain sebagai media pemberian pemahaman yang lebih baik bagi mahasiswa. Metode peradilan semu juga dapat dijadikan sebagai media bagi penyebarluasan pemahaman akan issue hukum atau mekanisme hukum terkini. Metode peradilan semu telah pula dijalankan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia dan Komnas Perempuan. Dalam kerjasama yang dilakukan selama lebih kurang satu tahun dengan penyelenggaraan kompetisi peradilan semu sebanyak tiga kali dengan tiga tingkatan yang berbeda[1], penyebarluasan akan pemahaman keadilan berperspektif Jender berhasil ditampilkan dengan baik oleh peserta berdasarkan komponen penilaian yang telah ditetapkan. Kegembiraan tak terhingga saya lahir ketika diberitahu akan adanya kompetisi peradilan semu pidana berperspektif keadilan jender dilangsungkan di Yogyakarta. Terlebih penyelenggaran ini dilakukan pasca ditetapkannya UU tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga[2]. Dengan begitu saya sangat yakin,  kompetisi akan lebih hidup dan mahasiswa akan menampilkan penampilan yang jauh lebih baik dar ang diselenggarkan di UI sebelumnya. Dalam bagian-bagian selanjutnya, saya akan memaparkan berbagai hal yang berkaiatan dengan penyelenggaran atau keikutsertaan dalam kompetisi peradilan semu berperspektif Jender. Dimana tulisan ini dibuat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya yang masih sangat terbatas.



  1. B. Teknik Pembuatan Berkas Peradilan Semu Bahwa dalam kompetisi peradilan semu pembuatan berkas sangat penting dalam memberikan daya dukung bagi penampilan peradilan semu yang optimal, karena berkas ini dapat menjadi bahan acuan yang sangat baik bagi penampilan team. Untuk itu pembuatan berkas hendak mengacu pada pemberkasan sebagaimana yang terdapat dalam peraturan-perundangan yang berlaku atau pedoman pembuatan berkas yang berlaku dimasing-masing instansi dalam buku petujuk pelaksanaan/petunjuk teknis/petunjuk adminisrasi yang berlaku dalam tiap instansi atau lembaga penegakan hukum. Pentingnya pemberkasan yang sesuai dengan kaidah tersebut maka akan semakin mendekatkan penilain yang lebih bik dan penampilan teknis peradilan yang baik 1. 1. Pembuatan Surat Dakwaan[3]



Posisi hukum surat dakwaan sangat penting proses peradilan pidana karena surat dakwaan memegang posisi sentral dalam proses penegakan hukum dan keadilan di pengadilan. Surat juga menjadi dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dituntut adanya kemampuan dan kemahiran mahasiswa yang memerankan jaksa dalam penyusunan surat dakwaan. Untuk itu pembahasan perihal surat dakwaan dilakukan diawal dalam pembahasan pembuatan berkas ini.  Selanjutnya akan dilakukan pembahasan yang lebih jauh seluk beluk surat dakwaan dan fuingsinya dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. 1. a. Fungsi Surat dakwaan Surat Dakwaan menempati posisi sentral dan tombak dari pemeriksaan perkara di pengadilan yang menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan. Surat dakwaan merupakan penataan konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang terungkap dalam proses penyelidikan dan penyidikan akan terlihat dari suatu Surat Dakwaan. Dakwaan disusun dengan cara merangkai perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur-unsur tindak pidana yang bersangkutan.



Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan tindak pidana, maka fungsi surat dakwaan dapat diatagorikan sebagai berikut: 1)      bagi pengadilan/hakim, surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan; 2)      bagi penuntut umum, Surat Dakwaan merupakan dasar pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum; 3)      bagi terdakwa/penasehat hukum, surat dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan.   1. b. Dasar Pembuatan Surat Dakwaan Surat dakwaan adalah berkas yang dipersiapkan oleh Jaksa penuntut Umum sebagai bentuk pertanggungjawabannya kepada public atas penyerahan kekuasaan untuk menuntut yang diberikan oleh public kepadanya[4]. Dalam pasal 14 huruf d KUHAP ditetapkan bahwa yang berwenang membuat Surat Dakwaan adalah Penuntut Umum, sebagaimana disebutkan sebagai berikut: Penuntut umum mempunyai wewenang: d. membuat surat dakwaan; Dalam pasal 137 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkaranya ke pengadilan. Dealam pasal 140 ayat 1 disebutkan bahwa pembuatan surat dakwaan dilakukan oleh penuntut umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan.   1. c. Syarat Surat Dakwaan



Syarat-syarat dalam pembuatan surat dakwaan terdapat dalam pasal 143 ayat (2) KUHAP, yakni syarat yang berkaitan dengan tanggal, tanda tangan, dan identitas lengkap terdakwa. Hal tersebut dalam praktek disebut syarat formil surat dakwaan. Sesuai dengan bunyi pasal 143 ayat 2 huruf a KUHAP disebutkan bahwa syarat formil surat dakwaan meliputi : 1. surat dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan penuntut umum pembuat surat dakwaan; 2. Surat dakwaan harus memenuhi secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi : nama lengkap, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan. Selain harus memuat persyaratan formil sebagaimana disebutkan diatas, surat dakwaan juga harus memenuhi persyaratan materiil sebagaimana disebutkan dalam pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, yang meliput: 1. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan; 2. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. -          Uraian secara cermat berarti menuntut ketelitian jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang akan lalu diterapkan kepada terdakwa. Dengan menenpatkan kata cermat paling depan dalam rumusan pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, pembuat Undang-undang menghendaki agar JPU dalam membuat surat dakwaan selalu bersikap korek dan teliti. -          Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam surat dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaan dengan sebaik-baiknya. Dimana gambaran yang akan didapat oleh terdakwa adalah gambaran siapa yang melakukan tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan, kapan dan dimana tindak pidana tersebut dilakukan, apa akibat yang ditimbulkan dan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.



-          Uraian secara lengkap, berarti surat dakwaan itu memuat semua unsure atau elemen tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan temapt tindak pidana dilakukan. Unsur-unsur tersebut harus terlukis dalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam surat dakwaan. Secara materiil surat dakwaan dipandang telah memnuhi syarat apabila surat dakwaan tersebut relah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang: a)      Tindak pidana yang dilakukan; b)     Siapa yang melakukan tindak pidana; c)      Dimana tindak pidana dilakukan; d)     Bilamana/kapan tindak pidana dilakukan; e)      Bagaimana tindak pidana dilakukan; f)       Akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materiil) g)     Apa yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut (delik-delik tertentu); h)     Ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan. Komponen-komponen tersebut diatas secara kasuistis harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang didakwakan (apakah tindak pidana tersebut termasuk delik materiil atau delik formil). Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang berkenaan dengan formalitas pembuatan suarat dakwaan, sedangkan syarat materiil adalah syarat yang berkenaan dengan materi atau substansi surat dakwaan. Untuk keabsahan surat dakwaan, kedua syarat tersebut harus dipenuhi. Tidak dipenuhinya syarat formil akan menyebabkan surat dakwaan dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedangkan dengan terpenuhinya syarat materiil menyebabkan dakwaan batal demi hukum (absolutnietig).



  1. d. Bentuk Surat Dakwaan Undang-undang tidak menetapkan bentuk surat dakwaan dan adanya berbagai bentuk surat dakwaan dikenal dalam perkembangan praktek. Adapaun bentuk surat dakwaan yang dikenal adalah sebagai berikut:   1) Tunggal Dalam surat dakwaan ini hanya satu tindak piadan asaja yang didakwakan, tidak terdapat tindak pidana lain baik sebagai alternative maupun sebagai pengganti. Misalnya dalam surat dakwaan hanya didakwakan tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP). 2) Alternatif Dalam bentuk ini surat dakwaan disusun atas beberapa lapisan yang satu mengecualikan dakwaan pada lapisan yang lain. Dakwaan alternative dipergunakan karena belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang akan dapat dibuktikan. Lapisan dakwaan tersebut dimaksudkan sebagai “jaring berlapis” guna mencegah lolosnya terdakwa dari dakwaan. Meskipun dakwaan berlapis, hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan, bila salah satu dakwaan terbukti, maka lapisan dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Contoh dakwaan yang disusun secara alternative: Pencurian (pasal 362 KUHP) atau Penadahan (pasal 480 KUHP) Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada lapisan dakwaan yang dipandang terbukti. 3) Subsidair Bentuk dakwaan ini dipergunakan apabila satu tindak pidana menyentuh beberapa ketentuan pidana, tetapi belum dapat diyakini kepastian perihal kualifikasi dan ketentuan pidana yang lebih



tepat dapat dibuktikan. Lapisan dakwaan disusun secara berurutan dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana teringan dalam kelompok jenis tindak pidana yang sama. Misalnya lapisan dakwaan disusun secara berurut: Primer: Pembunuhan Berencana (pasal 340 KUHP) Subsidair: Pembunuhan (338 KUHP) Lebih Subsidair: Penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang (pasal 355 ayat 2 KUHP) Lebih Subsidair lagi: Penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang (pasal 354 ayat 2 KUHP) Lebih-lebih Subsidair lagi: Penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang (pasal 351 ayat 3 KUHP) Persamaannya dengan dakwaan alternative adalah hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan, sedangkan perbedaannya pada system penyusunan  lapisan dakwaan dan pembuktiannya yang harus dilakukan secara berurutan dimulai dari lapisan pertama sampai kepada lapisan yang dipandang terbukti. Setiap lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas disertai dengan tuntutan untuk dibebaskan dari dakwaan yang bersangkutan. 4) Kumulatif Bentuk ini digunakan bila kepada terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus dan tindak pidana tersebut masing-masing berdiri sendiri. Semua tindak pidana yang didakwakan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas



disertai dengan tuntutan untuk membebaskan terdakwa dari dakwaan yang bersangkutan. Persamaannya dengan dakwaan subsidair karena sama-sama terdiri dari beberapa lapisan dakwaan dan pembuktiannya dilakukan secara berurutan. Misalnya dakwaan disusun: Kesatu      : Pembunuhan (pasal 338 KUHP) Kedua      : Pencuruan dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP) Ketiga      : Perkosaan (pasal 285 KUHP) 5) Kombinasi Bentuk ini merupakan perkembangan baru dalam praktek sesuai perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk/jenisnya dalam modus operandi yang dipergunakan. Kombinasi/gabungan dakwaan tersebut terdiri atas dakwaan kumulatif dan dakwaan subsidair. Misalnya dakwaan disusun dengan sistematika sebagai berikut: Kesatu: Primer: Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP) Subsidair: Pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP) Lebih Subsidair: Penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang (pasal 355 ayat 2 KUHP) Kedua: Perampoka/pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat 3 dan 4 KUHP) Ketiga:



Perkosaan (pasal 285 KUHP)   1. e. Tips Pembuatan Surat Dakwaan Teknik pembuatan surat dakwaan berkenaan dengan pemilihan bentuk surat dakwaan dan redaksi yang dipergunakan dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan 1) Pemilihan bentuk Bentuk surat dakwaan disesuaikn dengan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka digunakan dakwaan tunggal. Dalam hal terdakwa melakukan satu tindak pidana yang menyentuh beberapa perumusan tindak pidana dalam undang-undang dan belum dapat dipastikan tentang kualifikasi dan ketentuan pidan ayang dilanggar, dipergunakan dakwaan alternative atau subsidair. Dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang berdiri sendiri, dipergunakan bentuk dakwaan kumulatif. 2) Teknis Redaksional Hal ini berkenaan dengan cara merumuskan fakta-fakta dan perbuatan tedakwa yang dipadukan dengan unsure-unsur tindak pidana sesuai perumusan ketentuan pidana yang dilanggar, sehingga nampak dengan jelas bahwa fakta-fakta perbuatan terdakwa memenuhi segenap unsure tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan. Perumusan dimaksud harus dilengkapi dengan uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Uraian kedua komponen tersebut dilakukan secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang efektif.   1. 2. Pembuatan Surat Tuntutan 2. a. Format Tuntutan



Dalam penyusunan surat tuntutan pidana terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan semisal menempatkan surat dakwaan dalam bagian awal dan menempatkan hasil pembuktian yang telah dilakukan dalam tahap pembuktian kedalam analisa fakta maupun analisa yuridis.  Adapun format umum dalam penyusunan surat tuntutan adalah sebagai berikut: 1) Bagian Pendahuluan Dalam bagian ini JPU memberikan pernyataan pembuka sebagai bagian dari ungkapan terima kasih atas kepemimpinan hakim yang telah memimpin perkara ini dengan baik dan lancer sehingga tahap pembuktian berjalan dengan baik. 2) Surat dakwaan Bagian ini adalah pemuatan surat dakwaan dalam tuntutan pidana yang diajukan. Penempatan surat dakwaan dalam surat tuntutan adalah sebagai upaya mengingatkan kembali seluruh pihak dalam perjara aquo perihal surat dakwaan yang telah diajukan diawal persidangan. Hal ini juga sekaligus bertujuan untuk menghubungkan seluruh proses yang telah dilakukan dalam berbagai persidangan terdahulu. 3) Fakta-fakta yang terungkap dipersidangan Dalam bagian ini, diunkapkan berbagai fakta yang berjhasil terungkap dalam persidangan, dimana JPU mengungkapkan satu persatu fakta yang telah terungkap dalam tahap sebelumnya. Jadi bagian ini adalah upaya untuk mengungkapkan kepada khalayak bahwa terdapat fakta-fakta yang terungkap dipersidangan sehingga perlu diungkapkan dalam penuntutan untuk mempersiapkan berbagai fakta atau alat bukti yang mendukung bagi pembuktian pasal-pasal yang telah didakwakan sebelumnya. Termasuk penempatan alat bukti lain selain alat bukti saksi, terdakwa dan keterangan ahli yang didengar dalam persidangan seperti misalnya terdapat alat bukti surat atau petunjuk yang diajukan ke persidangan. Juga diungkapkan perihal barang bukti yang telah diajukan ke muka siding. 4) Analisa fakta



Analisa fakta berisikan ekstraksi dari keseluruhan fakta yang telah terungkap dalam persidangan baik itu melalui alat bukti saksi atau alat bukti lain. Analisa fakta ini ditujukan untuk memudahlan dalam penyusunan analisa yuridis yang akan dibuktikan berdasarkan pasal-pasal dakwaan. 5) Analisa Yuridis Dalam melakukan analisis yuridis inil, dibuktikan perihal unsure-unsur pasal dakwaan yang dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap dimuka siding. Dalam hal ini penjabaran unsur pasal dakwaan dilakukan secara cermat dan teliti jangan sampai ada unsure yang belum dibuktikan. Untuk metode pembuktian merujuk pada bentuk surat dakwaan yang dipilih (baca bagian bentuk surat dakwaan dalam bagian terdahulu) 6) Kesimpulan Dalam bagian kesimpulan ini, JPU harus mengungkapkan kesimpulan yang diambil atas berbagai fakta yang terungkap dan berdasarkan analisis yuridis pasal-pasal dakwaan, dimana dalam kesimpulan termaksud dinyatakan apakah terbukti atau tidak pasal dakwaan yang diajukan dalam surat dakwaan aquo. Dalam bagian kesimpulan juga diungkapkan hal-hal yang memberatkan dan meringkan berdasarkan pengamatan ataupun fakta yang didapat dalam persidangan. Dalam bagain kesimpulan yang terakhir diungkapkan tuntutan yang diajukan JPU atas perkara aquo misalnya “Menuntut” dstnya. 7) Penutup Bagian penutup ini adalah bagian untuk menutup keseluruhan isi tuntutan pidana yang telah diajukan sebelumnya dimana hal ini hanyalah pernyataan penutup atas proses persidangan yang telah dilakukan. 1. b. Hal-hal yang harus diperhatikan [5]



1) Faktor-faktor yang harus diperhatikan



Berikut ini adalah beberapa factor yang menjadi perhatian JPU dalam melakukan tuntutan pidana dimana berbagai hal yang diuraikan berikut ini dapat menjadi acuan dalam mepertimbangkan berat ringannya tuntutan pidana yang akan diajukan oleh JPU. Adapun hal yang harus menjadi perhatian tersebut, yaitu: a) Perbuatan Terdakwa (1)   dilakukan dengan cara yang sadis (2)   dilakukan dengan cara kekerasan (3)   menyangkut kepentingan Negara, stabilitas keamanan dan pengamanan pembangunan (4)   menyangkut SARA b) Keadaan Diri Pelaku Tindak Pidana (1)  



sebab-sebab



yang



mendorong



dilakukannya



tindak



pidana



(kebiasaan,



untuk



mempertahankan diri, balas dendam, ekonomi dan lain-lain) (2)   Karakter, moral dan pendidikan, riwayat hidup, keadaan social ekonomi pelaku tindak pidana. (3)   Peranan pelaku tindak pidana (4)   Keadaan jasmani dan rohani pelaku tindak pidana dan pekerjaan (5)   Umur tindak pidana c) Dampak Perbuatan Terdakwa (1)   menimbulkan keresahan dan ketakutan dikalangan masyarakat (2)   menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam dan berkepanjangan bagi korban atau keluarganya



(3)   menimbulkan kerugian bagi Negara dan masyarakat (4)   menimbulkan korban jiwa dan harta benda (5)   merusak pembinaan generasi muda   2) Tuntutan Pidana Dengan memperhatikan keadaan masing-masing perkara secara kasuistis, Jaksa penuntut umum harus mengajukan tuntutan pidana dengan wajib berpedoman pada criteria seagai brikut: a)      Pidana Mati (1)   Perbuatan yang didakwakan diancam pidana mati (2)   Dilakukan dengan cara yang sadis diluar perikemanusiaan; (3)   Dilakukan secara berencana; (4)   Menimbulkan korban jiwa atau sarana umum yang vital (5)   Tidak ada alasan yang meringankan b)     Seumur hidup (1)   Perbuatan yang didakwakan diancam pidana mati (2)   Dilakukan dengan cara yang sadis (3)   Dilakukan secara berencana; (4)   Menimbulkan korban jiwa atau sarana umum yang vital (5)   Terdapat hal-hal yang meringankan



c)      Tuntutan pidana serendah-rendahnya ½ dari ancaman pidana, apabila terdakwa: (1)   Residivis (2)   Perbuatannya menimbukan peneritaan bagi korban dan keluarganya; (3)   Menimbulkan kerugian materi (4)   Terdapat hal-hal yang meringankan d)     Tuntutan pidana serendah-rendahnya ¼ dariancaman pidana yang tidak termasuk dalam ketiga butir sebelumnya. e)      Tuntutan Pidana bersyarat (1)   Terdakwa sudah membayar ganti rugiyang diderita korban; (2)   Terdakwa belum cukup umur (vide UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) (3)   Terdakwa berstatus pelajar/mahasiswa/expert; (4)   Alam menuntut hukuman bersyarat hendaknya diperhatikan ketentuan pasal 14 f KUHP.   1. 3. Upaya hukum oleh JPU Jaksa sebagai wakil public idah selayaknya berupaya untuk melakukan upaya yang optimal dalam melakukan penuntutan tindk pidana yang terjadi, dalam hal ini terdaat beberapa hal yang harus enjadi perhatian dalam hal sikap JPU atas putusan yang diterbitkan oleh majelis hakim yaitu; a)      Upaya hukum banding diajukan ole JPU dalam hal-hal sebaai berikut:



(1)   Dalam hal terdakwa mengajukan banding maka jaksa penuntut umum harus meminta banding agar masih dapat menggunakan upaya hukum kasus karena adanya ketentuan pasal 43 UU nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. (2)   Putusan hakim kurang dari tuntuan piana mati atau seumur hidup atau sekurang-kurangnya 20 tahun penjara namun pertimbanganJPU diambilalih sebagan atau seluruhnya sebagai pertimbangan hakim dalam putusannya maka JPU tidak harus mengajukan banding. (3)   Putusan hakim ½ dari tuntutan JPU namun apabila pertimbangan JPU dalam tuntutan diambil alih sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan hakim dalam putusnnya maka JPU tidak harus mengajukan banding. (4)   Putusan hakim 2/3 dari tuntutan JPU walaupun pertimbangan JPU dalam tuntutan tidak diambil alih sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan hakim dalam putusnnya maka JPU tidak harus mengajukan banding. b)     Upaya hukum kasasi digunakan oleh JPU dalam hal putusan akim dengan amar yang membebaskan terdakwa dan adanya alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 253 ayat 1 KUHAP.   1. 4. Pembuatan Pembelaan Dalam pembuatan pembelaan atas tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum dalam praktik maupun dalam teori tidak ditemukan standar baku dalam pembuatan pembelaan. Pembelaan dalam praktik diserahkan pada selera advokat sendiri, hal ini terjadi karena tidak terdapat ketentuan baku yang mengatur pembuatan surat pembelaan.  Yang terpenting dalam pembuatan pembelaan untuk kepentingan terdakwa adalah upaya untuk membela kepentingan hukum terdakwa, yang meliputi pembelaan kepentingan terdakwa atas tuntutan jaksa yaitu dengan menanggapi analisis tuntutan JPU baik itu analisis yuridis maupun analisa fakta. Dalam konteks peradilan berperspektif keadilan jender, peran advokat dalam hal ini sangat ini penting terutama dalam kaitannya melakukan pembelaan terhadap perempuan sebagai pelaku,



dalam konteks ini advokat diharapkan dapat menmapilkan sisi lain diluar sisi yuridis baik itu sisi sosiologis maupun psikologis terdakwa. Untuk itu advokat dalam pembelaannya akan memiliki sudut pandang yang tidak semata-mata yuridis namun juga menampilkan hal-hal lain diluar yuridis. Hal inilah yang akan dinamakan sebagai hal penemuan hukum keadilan berperspektif jender.   1. 5. Pembuatan Putusan Dalam membuat Putusan pengadilan, seoraang hakim harus memperhatikan apa yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang berisikan berbagai hal yang yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun berbagai hal yang harus dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 197 KUHAP adalah sebagai berikut: 1. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; 2. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; 3. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; 4. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alatpembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; 5. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; 6. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; 7. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; 8. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;



9. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; 10. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; 11. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; 12. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera; Dalam hal tidak terpenuhinya semua ketentuan tersebut diatas akan berakibat putusan batal demi hukum. Untuk itu kesemua persyaratan yang tersebut diatas harus dicantumkan dalam putusan pemidanaan agar jangan sampai putusan yang akan dinilai tersebut menjadi tidak mengalami pengurangan nilai atau nilai yang akan diberikan juri menjadi tidak optimal. Dalam pembuatan putusan yang akan dijatuhkan oleh majelis hakim, pertimbangan atas fakta dan pertimbangan yuridis sangat penting untuk dituliskan secara lengkap untuk kepentingan distribusi keadilan yang lebih baik. Dalam konteks peradilan tematik seperti kompetisi peradilan semu ini, maka pertimbangan akan penemuan keadilan berperspektif jender akan tergambar dari pertimbangan fakta dan yuridis.  Selain itu juga amar putusan menjadi titik perhatian penting dalam putusan dan penilaian akan putusan untuk itu amar yang akan dijatuhkan selayaknya disesuaikan dengan pertimbangan fakta dan yuridis yang telah dipaparkan sebelumnya.   1. C. Penampilan Praktik Peradilan Semu Dalam penampilan praktik peradilan semu pidana terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya adalah mekanisme pembuktian yang dalam hal ini adalah terkait dengan tata cara dan materi pengajuan pertanyaan. Sebelum memulai penampilan praktik peradilan semu, terlebih dahulu diperhatikan materi perkara yang akan ditampilkan oleh team peradilan semu. Misalnya dalam hal perkara yang akan diajukan adalah perkara pelanggaran HAM berat maka komposisi majelis hakim terdiri dari 5 orang anggota majelis hakim, sedangkan dalam dalam hal perkara pidana biasa maka majelis hakim cukup 3 orang (dalam hal perkara tersebut adalah termasuk dalam kualifikasi perkara pidana biasa), namun dalam hal perkara pidana yang diajukan dimuka



sidang adalah terdakwa yang dibawah umur maka majelis yang memeriksa perkara adalah hakim tunggal. Khusus untuk perkara pengadilan anak amak hakim dan seluruh aparat penegak hukum yang memeriksa perkara ini tidak diperkenankan untuk mengenakan jubah hakim atau pakaian dinas harian lainnya atau seragam. Dalam memulai persidangan maka pembukaan sidang didahului dengan kalimat pembuka yang dilakukan oleh panitera/panitera pengganti[6] dengan kalimat pembuka sebagai berikut: “…Sidang Pengadilan Negeri (nama pengadilan negeri) yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan nomor register perkara (misalnya 123/Pid.B/PN Yogyakarta/2004) akan segera dimulai, majelis hakim akan memasuki ruangan sidang hadirin dimohon untuk berdiri…”.   Setelah pembukaan sidang dilakukan maka majelis hakim memasuki ruangan sidang yang selanjutnya mempersilahkah pengunjung untuk duduk yang dilanjutkan dengan membuka sidang, sebagai berikut: “…Sidang Pengadilan Negeri (nama pengadilan negeri) yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dengan nomor register perkara (misalnya 123/Pid.B/PN Yogyakarta/2004) dengan ini dinyatakan dibuka  dan terbuka/tertutup (untuk perkara dalam pengadilan anak dan perkara kesusilaan) untuk umum…”.   Setelah pembukaan sidang ini dilakukan, maka dilanjutkan dengan kepemimpinan ketua majelis hakim untuk memeriksa sidang pengadilan dengan urutan yang disesuaikan sebagaimana pengaturan dalam pasal-pasal yang dalam KUHAP. Majelis hakim menanyakan identitas terdakwa, yang dilanjutkan dengan menanyakan keberadaan penasehat hukum/advokat. Pertanyaan ini dilanjutkan dengan menanyakan surat kuasa dan surat izin praktek beracara yang dibuktikan dengan kartu advokat. Selanjutnya hakim memerintahkan JPU untuk memulai membacakan surat dakwaannya yang didahului dengan permintaan kepada para saksi untuk sementara tidak berada dalam ruangan sidang (hal ini



dipastikan kembali oleh majelis hakim pada saat memeriksa atau memita keterangan dari saksi. Hal ini dilakukan karena pada prisnipnya pemeriksaan terhadap saksi dilakukan dengan cara satu persatu). Setelah surat dakwaan dibacakan maka dilanjutkan dengan menanyakan kepada terdakwa (melalui Penasehat hukumnya) apakah akan mengajukan eksepsi atau tanggapan atas surat dakwaan JPU. Bila terdakwa melalui PH-nya tidak mengajukan eksepsi  maka dilanjutkan dengan pembuktian perkara. Bila terdapat ada eksepsi maka harus ada tanggapan dari JPU dan dilanjutkan dengan putusan sela. Pembuktian surat dakwaan diperoleh dari dukungan alat bukti yang sah (pasal 184 ayat 1 KUHAP). Dalam melakukan pembuktian perkara maka terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terutama materi pertanyaan yang selayaknya diajukan, yaitu sebagai berikut : 1. a. Keterangan Saksi Dalam mengajukan pertanyaan untuk pembuktian terhadap saksi maka materi pertanyaan diarahkan pada materi pengetahuan, penglihatan ataupun berbagai hal yang dirasakan oleh saksi[7]. Sebelum diajukan pertanyaan maka saksi terlebih dahulu diperiksa identitasnya dan disumpah dengan lafal sumpah dan tata cara sumpah sebagai berikut: 1)      Bagi saksi yang beragama Islam, maka petugas sumpah cukup memegang kitab Al Qur’an diatas kepala daripada yang mengucapkan sumpah. Lafadz sumpah yang dibacakan adalah : ”Wallahi atau (Demi Allah) saya bersumpah bahwa saya akan me nerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya” 2)      bagi mereka yang beragama Kristen Protestan, maka selain menurut cara-cara agamanya, yakni dengan berdiri sambil mengangkatkan tangan sebelah kanan sampai setinggi telinga dan merentangkan jari telunjuk dan jari tengah sehingga merupakan bentuk huruf V, sedangkan untuk yang beragama Katolik dengan Merentangkan jari telunjuk, jari tengah dan jari manis dengan mengucapkan sumpah yang bunyinya sebagai berikut:



“Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya, Semoga Tuhan Menolong saya” 3)      bagi saksi yang beragama Hindu, berdiri sambil mengucapkan sumpah yang berbunyi sebagai berikut : “Om Atah Parama Wisesa, Saya Bersumpah bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya” 4)      bagi saksi yang beragama Budha, berdiri/berlutut sambil mengucapkan sumpah yang bunyinya sebagi berikut: “Demi Sang Hyang Adhi Budha, Saya Bersumpah bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya” 5)      Bila ada saksi yang berhubungan dengan kepercayaannya tidak bersedia mengucapkan sumpah, maka yang bersangkutan cukup mengucapkan janji sebagai berikut: “Saya berjanji bahwa Saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya”. Adapun pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal sebagai berikut: à        Ditanyakan kepada saksi mengenai kejadian dari tindak pidana tersebut yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, alami sendiri dengan menyebut alas an dan pengetahuan tersebut (Pasal 1 butir 27 KUHAP) à        Mengajukan pertanyaan kepada saksi yang difokuskan kepada pembuktian unsure-unsur tindak pidana. Untuk itu sebelum memformulasikan daftar pertanyaan maka terlebih dahulu diurai unsure tindak pidana yang didakwakan selanjutnya dikaitkan dengan fakta yang ada. Dan pertanyaan diarahkan kepada pembuktian unsure tersebut. à        Mengajukan pertanyaan yang bersifat persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain.



à        Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain dan barang bukti. à        Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian adalah merupakan alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian/keadaan tertentu. à        Cara hidup kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat/tidaknya keterangan itu dipercaya. à        Penderitaan/ kerugian yang dialami atau diderita oleh saksi korban dan keluarganya akibat kejahatan tersebut. 1. b. Keterangan Ahli Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan (pasal 1 angka 28 KUHAP). Dalam memeriksa keterangan ahli, maka ahli dapat disumpah dengan lafal sumpah yang sama sebagaimana saksi namun terdapat tambahan untuk memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya. Adapun secara lengkap bunyi lafal sumpah yang diucapkan dalah sebagai berikut: “Saya bersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat, soal-soal yang dikemukankan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya” Untuk saksi yang beragama Islam tentu saja diawali dengan “wallahi” atau Demi Allah, bagi yang berama Kristen diakhiri dengan kata-kata “semoga Tuhan Menolong Saya”. Bagi yang beraga Hindu diawali dengan “Om Atah Parama Wisesa” dan bagi yang beragama Budha diawali dengan “Demi Sang Hyang Adhi Budha”.   1. c. Surat



Alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat 1 huruf C KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah sebagaimana tersebut dalam pasal 187 huruf a, b, c, dan d KUHAP, sebagai berikut: Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.   1. d. Petunjuk Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa yang merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menendakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (pasal 188 KUAP).  Lebih jelasnya redaksional Pasal 188 KUHAP, yaitu : Pasal 188



(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.   1. e. Keterangan Terdakwa Terhadap diri terdakwa agar ditanyakan hal-hal sebagai berikut: -          Motivasi yang mendorong dan sebab-sebab lain yang menyebabkan terdakwa melakukan kejahatan tersebut; -          Keadaan diri dan lingkungan terdakwa pada saat terdakwa melakukan kejahatan. Dalam persidangan tidak tertutup kemungkinan terdakwa akan mencabut keterangannya yang telah diberikan dihadapan penyidik, menghadapi hal tersebut perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut: -          Menghadirkan penyidik dalam persidangan guna diminta keterangannya untuk membuktikan bahwa pemeriksaan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai ketentuan Undang-undang;



-          Membuktikan bahwa pencabutan keterangan tersebut tidak beralasan. Keterangan terdakwa dalam berita acara pemeriksaan pada tingkat penyidikan (diberikan diluar sidang) dapat digunakan membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat 2 KUHAP) kemudian digunakan sebagai sarana analisis yuridis dalam requisitoir/ surat tuntutan pidana. Perhatikan beberpa yurisprudensi berikut ini: Putusan Mahkamah Agung RI Regno 117 K/Kr/1967 tanggal 20 September 1967 menyatakan bahwa pengakuan-pengakuan tertuduh I dan II dimuka polisi dan jaksa ditnjau dalam hubungannya satu sama lain dapat dipergunakan sebagai petunjuk kesalahan terdakwa. Putusan MARI Regno 229 K/Kr/1959 tanggal 25 Februari 1959 menyatakan bahwa pengakuan terdakwa diluar sidang yang kemudaian dicabut disidang tanpa alas an yang mendasar merupakan petunjuk kesalahan terdakwa Yurisprudensi lain yang berbunyi senada tedapat pula dalam Putusan MARI masing-masing Regno 225 K/Kr/1960 tanggal 25 Februari 1960, Regno 6 K/Kr/1961 tangal 25 Juni 1961 dan Regno 5 K/Kr/1961 tanggal 27 September 1961. Kesemua putusan zaman HIR tersebut diatas masih relevan untuk digunakan dimana hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Putusan MARI regno 414 K/Pid/1984 tanggal 11 Desember 1984 yang menyatakan bahwa pencabutan keterangan terdakwa di persidangan tidak dapat diterima karena pencabutan keterangan tersebut tidak beralasan. -          Dalam hal tertangkap tangan yang telah diberikan dalam tahap penyidikan adalah pembuktian atas kesalahan terdakwa; -          Berita acara penerimaan dan penelitian tersangka yang membenarkan keterangannya dalam berita acara pemeriksaan penyidik setidak-tidaknya dapat berupa petunjuk tentang kesalahan terdakwa (Pasal 188 ayat 2 KUHAP).   1. f. Barang Bukti



Semua barang bukti yang ada kaitannya dengan tindak pidana dan telah disita secara sah diajukan dalam persidangan.  Apabila terdapat barang bukti yang tidak dapat dibawa persidangan di pengadilan karena jumlahnya banyak dan demi pengamanan atau karena barang tidak bergerak agar dapat dimintakan kepada majelis untuk dilakukan sidang ditempat.   1. g. Penemuan Aspek Hukum berperspektif Keadilan Jender Dalam kompetisi peradilan semu tematik, terdapat beberapa issue penting yang menjadi bagian penilaian dalam hal ini adalah penemua aspek hukum berperspektif keadilan jender. Dalam penampilan yang ingin diajukan beberapa argumentasi dan sikap yang dapat dikatagorisasi sebagai upaya untuk penemua aspek tersebut menjadi penilaian penting dalam role-playing ditampilkan. Adapun beberapa hal yang menjadi aspek penilaian untuk hal ini adalah sebagai berikut: Pemilihan pasal yang memberi keadilan kepada perempuan, dalam hal ini adalah upaya pembelaan terhadap kepentingan hukum dari perempuan sebagai pelaku maupun perempuan sebagai korban. Dalam hal upaya optimal penegakan distribusi keadilan hukum yang lebih baik kepada perempuan baik sebagai pelaku maupun korban. Dalam hal ini digunakan pasal-pasal ketentuan perundang-undangan yang bersifat membela kepentingan hukum terdakwa/korban, misalnya penerapan UU Pengadilan Anak bagi pelaku dibawah umur, UU Nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan CEDAW atau ketentuan perundang-undangan lainnya yang relevan. Argumentasi yang mempertimbangkan keadilan kepada korban, dalam hal ini terkait dengan penggunaan perspektif keadilan yang akan dimajukan, dimana argumentasi baik dalam berkas yang diberikan ataupun secara oral memperlihatkan aspek perlindungan terhadap korban yang tidak semata yuridis namun juga aspek non yuridis. Pemilihan Saksi, dalam pemilihan saksi ini terkait dengan kekuatan pembuktian perkara pidana yang diajukan atau pemilihan saksi yang akan meringankan yang bersifat yuridis maupun non yuridis dalam kerangka distribusi keadilan yang lebih baik kepada korban atau perempuan sebagai pelaku.



Pertanyaan2 yang dilontarkan kepada saksi, pertanyaan-pertanyaan yang dilontark tidak bersifat menekan, mengarahkan (perhatikan pasal 166 KUHAP) atau yang dapat mendiskreditkan baik posisi korban maupun perempuan sebagai pelaku. Sikap aparat penegak hukum terutama ketika berinteraksi dengan korban, apakah mempertimbangkan aspek psikologis korban. Hal ini sekilas memiliki bobot yang sama dengan penjelasan sebelumnya namun hal ini yang ditonjolkan adalah sikap bukan dalam bentuk oral tapi gerak tubuh. Apakah ada pendamping untuk korban (khususnya dalam kasus kesusilaan, kehadiran pendamping sangat penting. Pendamping dalam hal ini adalah pengacara, psikolog atau pekerja social). Dalam perkara tertentu perlu adanya pendamping korban yang akan membantu pengungkapan fakta peradilan dalam peradilan semu yang akan dilakukan. Dalam hal ini peran pendamping tidak saja berperan dalam menenangkan sisi psikologis korban namun sekaligus membantu menerjemahkan pertanyaan kepada korban sehingga pertanyaan dapat dimengerti dengan baik oleh korban. Peka terhadap argumentasi di persidangan yang menyudutkan korban dan melakukan counter terhadap pertanyaan-pertanyaan yang merugikan korban tersebut kuasa hokum terdakwa yang menyudutkan korban. Dalam hal ini adalah upaya pengajuan keberatan atas pertanyaan atau sikap yang diajukan pihak lain (lawan) yang terindikasi menekan, mengarahkan atau mendiskreditkan korban atau perempuan sebagai pelaku. 1. h. Teknik Penggunaan Palu Dalam persidangan semu peran ketua majelis hakim sangat vital dalam memperlancar proses peradilan, dimana termasuk penggunaan palu agar dilakukan secara efektif dan optimal digunakan untuk menjaga ketertiban dan kelancaran proses peradilan semu ditampilkan. Berikut ini adalah penggunaan ketukan palu yang lazimnya digunakan dalam persidangan: Dalam membuka (persidangan pertama) dan menutup (persidangan terakhir) sidang maka ketukan palu yang digunakan adalah tiga kali ketukan.



Dalam menunda sidang dan membuka sidang tunda maka ketukan palu yang digunakan adalah cukup satu ketukan saja. Dalam hal menetapkan putusan yaitu setelah dibacakan amar putusan maka ketua majelis mengetukan palu sekali untuk menetapkan amar tersebut. Dalam hal terjadi kericuhan atau ketua majelis perlu menenangkan pengunjung sidang sekaligus upaya untuk menarik perhatian pengunjung sehingga mendengar peringatan majelis, Ketua majelis dapat mengetukan palu berulang kali (lebih dari tiga). Namun cara ini agar dilakukan sebagai upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh ketua majelis dalam hal mutlak perlu dilakukan. 1. D. Penutup Demikianlah sekelumit paparan yang dapat saya sampaikan semoga dapat bermanfaat dalam melakukan praktik peradilan semu, dan hal ini dapat menjadi masukan bagi seluruh team dalam menampilkan peradilan semu tematik yang akan dikompetisikan. Adapun tulisan ini juga tetap dapat digunakan untuk melakukan praktik peradilan semu yang bersifat umum atau pidana umum (non tematik), atau juga dapat digunakan dalam perkuliahan praktik hukum pidana.   ——- Selamat Berkompetisi——-



* Penulis saat ini adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk Bidang Studi Praktisi Hukum dan Peneliti pada Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia – Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI-FHUI). SH (2002,FHUI), M.Si (2005, Kajian Eropa UI), LL.M. (2008, University of Canberra) [1] Kami di Fakultas Hukum Universitas Indonesia telah melakukan kompetisi Peradilan Semu tingkat Internal fakultas hukum Universitas Indonesia yang diikuti oleh 5 Team Moot court dari berbagai angkatan. Setelah sukses kompetisi internal dilakukan, selanjunya dilakukan kompetisi peradilan semu tingkat Jakarta yang diikuti oleh 7 Team dari berbagai Universitas. Selanjutnya



dilangsungkan kompetisi perdailan Semu Tingkat Jawa bagian Barat, yang diikuti oleh 7 team  Moot Court undangan. [2] Dua dari ketiga kompetisi yang pernah diselenggarakan oleh FHUI, dilakukan  sebelum ditetapkannya UU kekerasan dalam Rumah Tangga bahkan workshop seperti yang dilakukan hari ini, diselenggarakan sebelum UU ditetapkan. [3] Sebagian besar materi dalam pembuatan Surat Dakwaan ini diambil dari Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan. [4] Bahwa pada hakikatnya peristiwa pidana ynag terjadi adalah hubungan privat antara pelaku dan korban yang hubungan ini tetap tidak dapat dipisahkan. Namun untuk menjaga ketentraman bersama dan kepentingan pihak diluar korban yang juga akan merasa terganggu akan keberadaan peristiwa pidana yang terjadi (dimana setiap orang enggan untuk terulangnya peristiwa pidana yang terjadi dan menimpa korban terjadi padanya), untuk itu kewenangan untuk menuntut atas peristiwa pidana yang ditimbulkan pelaku maka kewenangan ini diserahkan kepada Negara (Kejaksaan) untuk mewakili kepentingan public atas peristiwa pidana yang terjadi. Untuk itu Jaksa merupakan wakil public. (baca Soerjono Soekanto dalam Pengantar Sosiologi) [5] Keseluruhan berbagai catatan yang harus diperhatikan dalam pembuatan surat tuntutan ini berasal dari Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Umum perihal pembuatan Surat Tuntutan. [6] Perlu dicatat bahwa dalam suatu pengadilan negeri hanya ada satu panitera yang dibantu oleh beberapa panitera muda dan panitera pengganti. [7] Kualifikasi keterangan saksi dalam KUHAP adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 27 yang berbunyi sebagai berikut “keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.



Standar Operasional Prosedur  dibagi menjadi 4 bagian yaitu 1. SOP Pra Penuntutan 2. SOP Penuntutan 3. SOP Pengawalan Tahanan 4. SOP Barang Bukti 1. SOP Sub Seksi Prapenuntutan - Pembuatan P-16 1-5 menit sejak SPDP diterima - Penelitian Berkas Perkara 1-3 hari - Pembuatan Perpanjangan Penahanan 2 Menit - Pembuatan P-18 2 Menit - Pembuatan P-21 2 Menit 2. SOP Sub Seksi Penuntutan - Penerimaan Tersangka dan Barang Bukti                    15 Menit - Jaksa Penuntut Umum menerima Tersangka dan Barang Bukti di ruang Pemeriksaan - Pelimpahan Perkara ke Pengadilan - Untuk Perkara yang mudah pembuktiannya maksimal             1X24 jam - Untuk Perkara yang sulit Pembuktiannya maksimal                  3X24 jam



3. SOP Pengawalan Tahanan



Pengawal tahanan terdiri dari : - Komandan Regu Pengawal Tahanan - Wakil Komandan Regu Pengawal Tahanan - Anggota Pengawal Tahanan - Pengemudi Kendaraan Tahanan Teknis Pengawalan - Jam 07.30 pengawal siap di RUTAN - Tahanan wajib diborgol 2 orang 1 borgol saat turun dari mobil menuju Sel Tahanan di Pengadilan - Pengawal Tahanan wajib mengawal tahanan ke ruang sidang



KASUS PIDANA UMUM CONTOH-CONTOH KASUS PIDANA: • Kekerasan akibat perkelahian atau penganiayaan • Pelanggaran (senjata tajam, narkotika, lalu lintas) • Pencurian • Korupsi • Pengerusakan • Kekerasan dalam rumah tangga • Pelecehan seksual dan pemerkosaan



Proses Hukum Kasus Pidana Umum: 1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian.



Siapa yang bisa melapor ? a. Korban (Terutama untuk delik aduan) b. Saksi c. Siapa saja yang mengetahui bahwa ada tindak kejahatan 2. PENYIDIKAN Setelah menerima laporan, Polisi melakukan penyidikan. Penyidikan adalah: serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat jelas tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam kasus korupsi yang dilakukan pegawai negeri, penyidikan dilakukan oleh penyidik PNS. Dalam penyidikan, diperlukan kerjasama dari anggota masyarakat yang diminta sebagai saksi. Seringkali karena tidak terbiasa berhubungan dengan aparat penegak hukum, warga yang diminta menjadi saksi memerlukan pendampingan dari paralegal selama proses penyidikan berlangsung. 3. PENUNTUTAN Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang. Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan meminta Hakim Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan perkara. Lalu Jaksa akan membaca dengan tekun dan teliti untuk merumuskan dokumen tuntutan untuk di limpahkan ke Pengadilan Negeri yang berwenang. 4. PERSIDANGAN Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak. Hakim mengadili kasus di depan sidang pengadilan. Dalam persidangan diperlukan pemantauan dari warga bersama paralegal baik bila warga masyarakat menjadi korban maupun bila dituduh sebagai tersangka. 5. EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN Bila semua pihak setuju dengan putusan pengadilan, maka putusan akan memiliki kekuatan hukum tetap, dan disusul dengan pelaksanaan eksekusi. Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Eksekusi akan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Tapi bila salah satu pihak keberatan dengan putusan tingkat pertama, maka bisa mengajukan banding. Untuk meminta banding/kasasi, diperlukan dasar hukum dan alasan yang kuat. Untuk itu sebaiknya minta nasihat dari pengacara bila ingin mengajukan banding atau kasasi. Semua putusan hakim wajib ditulis dan bisa diakses oleh para pihak dan masyarakat umum



Upaya Hukum Setelah Keluar Putusan Pengadilan Negeri: Banding



Banding ke Pengadilan Tinggi (di tingkat Propinsi): bila jaksa atau terdakwa atau kedua-duanya keberatan dengan putusan majelis hakim di pengadilan negeri, maka mereka bisa mengajukan banding atas putusan tersebut ke pengadilan tinggi. Kasasi Kasasi: bila jaksa atau terdakwa atau kedua-duanya tetap keberatan dengan putusan Pengadilan Tinggi, maka bisa dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung (di tingkat Nasional)



PN PT PUTUSAN



PT MA PUTUSAN



Apa Yang Harus Diperhatikan Bila Kita Menjadi Tersangka Sebuah Tindak Pidana ? Bila Terjadi Penangkapan: A. Pertama, periksa prosedur penangkapan, tanyakan apa kesalahan yang dituduhkan. Tanyakan surat perintah penangkapan, dan bacalah surat itu dengan teliti. Surat penangkapan dikeluarkan oleh kantor polisi atau jaksa untuk kasus pidana khusus. B. Hubungi pengacara/lembaga bantuan hukum. Sekalipun kita memang melakukan apa yang dituduhkan, kita tetap berhak atas bantuan/pendampingan hukum. (daftar LBH/pengacara masyarakat bisa dilihat di kantor LBH atau posko bantuan hukum terdekat). C. Proses pemeriksaan: kita boleh menolak memberi kesaksian selama proses pemeriksaan bila belum didampingi oleh pengacara hukum. Surat Perintah Penangkapan, minimal isinya memuat: 1. Identitas lengkap si tersangka 2. Pelanggaran pasal/peraturan yang disangkakan Hak tersangka: • Persidangan yang adil • Didampingi oleh penasehat hukum • Memperoleh berkas perkara dalam setiap tingkat pemeriksaan • Tidak mengalami kekerasan atau tekanan. Bagaimana Bila Anda Mengalami Kekerasan Fisik Selama Proses Penyidikan Segera Hubungi Keluarga Atau Pengacara Untuk Minta Visum Dokter D. Lamanya masa penahanan untuk penyidikan dan persidangan Penyidikan/Kepolisian 20 hari dapat ditambah 40 hari Penuntut Umum/Jaksa 20 hari dapat ditambah 40 hari lagi Persidangan tingkat pertama 30 hari dapat ditambah 60 hari lagi Persidangan tingkat banding 30 hari dapat ditambah 60 hari lagi



Persidangan tingkat kasasi 50 hari dapat ditambah 60 hari lagi KALAU MASA PENAHANAN YANG BENAR TIDAK DIPATUHI Apa yang bisa dilakukan oleh korban atau keluarga dan teman korban? Yang bisa dilakukan adalah mengajukan gugatan praperadilan... Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tersangka ditahan. Yang jadi tergugat adalah Polisi tempat ia ditahan



AB Presumption of Innocence Asas Praduga Tidak Bersalah Selama Proses Pidana Berlangsung, Seseorang Dianggap Tidak Bersalah Sampai Pengadilan Dapat Membuktikan Sebaliknya



Definisi: SAKSI Orang yang dianggap mengetahui terjadinya tindak pidana atau kasus perdata. Dia diminta oleh polisi untuk menceritakan apa yang dia ketahui tentang kasus tersebut. TERSANGKA Orang yang diduga melakukan tindakk pidana namun sesuai asas praduga tak bersalah, sebelum ada keputusan pengadilan maka dia belum dianggap bersalah. TERDAKWA Tersangka disebut terdakwa pada saat dia mulai disidangkan dipengadilan. TERPIDANA Setelah ada putusan pengadilan maka terdakwa menjadi terpidana, terpidana adalah orang yang telah dinyatakan bersalah dan menjalani hukuman.



Apa Yang Perlu Dilakukan Jika Kita Adalah Korban Tindak Kejahatan ? A. Melaporkan: bisa dilakukan oleh anda sendiri atau orang yang anda percayai (paralegal/pengacara/LBH/Kepala Desa dan lain-lain). Lapor kepada Kepolisian setempat. Untuk pidana korupsi, anda bisa laporkan langsung ke Kantor Kejaksaan Negeri setempat. B. Memantau perkembangan kasus yang sudah anda laporkan. Bagaimana bila terjadi kemandegan dalam penanganan sebuah kasus ? Datangi kantor aparat hukum untuk menanyakan perkembangan kasus dan catat keterangan yang diberikan. Beritahukan kepada paralegal, bila kita menganggap proses hukum berjalan tidak transparan.



C. Melakukan tindakan tekanan penyelesaian kasus; bekerja sama dengan LSM advokasi, pengacara masyarakat atau rekan-rekan media massa untuk bersama-sama melakukan pemantauan dan penyebarluasan hasil pemantauan tersebut ke media massa atau cara penyebaran informasi yang lain.



KASUS PERDATA CONTOH-CONTOH KASUS PERDATA: • Sengketa Tanah • Hutang Piutang • Sengketa Jual Beli • Perceraian



Proses Hukum Kasus Perdata: Persengketaan perdata adalah persengketaan kepentingan perseorangan/badan hukum. Sebelum menempuh penyelesaian lewat jalur hukum. Sebelum menempuh penyelesaian lewat jalur hukum, disarankan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi melalui proses musyawarah/mediasi, baik melalui mekanisme adat, lembaga keagamaan maupun kebiasaan masyarakat setempat. Bila tidak berhasil, barulah proses penyelesaian perdata di pengadilan dimulai. Proses hukum perdata secara berurutan adalah sebagai berikut: 1. Pendaftaran Pendaftaran gugatan dilakukan oleh penggugat di Pengadilan Negeri dimana tergugat bertempat tinggal. 2. Pengajuan Gugatan Gugatan yang sudah didaftarkan lalu diajukan ke pangadilan untuk diproses lebih lanjut. Sebaiknya surat gugatan dilengkapi dengan salinan berbagai dokumen atau bukti-bukti tertulis lainnya. 3. Pemeriksaan dan Tawaran Perdamaian Hakim akan memeriksa kasus dan menawarkan kepada Tergugat dan Penggugat untuk melakukan perdamaian. 4. Persidangan Jika tidak disetujui untuk berdamai maka diteruskan dengan pembacaan gugatan, putusan sela, pemeriksaan alat bukti, kesimpulan dan putusan. 5. Eksekusi Eksekusi keputusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Pengadilan Negeri.



Apa yang perlu Diperhatikan bila anda Menjadi penggugat ? A. Syarat formil gugatan (bentuk gugatan yang harus dipenuhi secara memadai) yaitu: • Dibuat secara tertulis • Ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri • Memuat identitas para pihak secara lengkap • Memuat dasar-dasar/alasan/fakta/hukumnya • Sebaiknya surat gugatan dilengkapi dengan salinan berbagai dokumen atau bukti-bukti tertulis lainnya.



• Memuat tuntutan secara jelas • Diberi materai • Ditandatangani oleh penggugat B. Syarat materiil gugatan (isi gugatan yang harus dipenuhi secara memadai) yaitu: • Berdasarkan alasan/fakta yang sebenarnya • Memiliki urutan fakta yang sesuai dan sebenarnya • Gugatan diajukan dengan logika yang patut dan wajar (untuk kerugian yang MEMANG disebabkan oleh tergugat dan merupakan akibat langsung) (Sumber Data : Proses Hukum Pidana, Perdata & Pengorganisasian Rakyat Untuk Advokasi, Justice For The Poor Program)