ANAK Pemberian Desferal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANAK PEMBERIAN DESFERAL Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit genetic ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007). Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh (McPhee & Ganong, 2010). Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7% dari penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasusnya adalah di Asia. Prevalensi karier thalasemia di Indonesia mencapai 3-8%. Pada tahun 2009, kasus thalasemia di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 8,3% dari 3653 kasus yang tercatat di tahun 2006 (Wahyuni, 2010). Data yang didapatkan dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, penyakit thalasemia menduduki peringkat pertama di ruang rawat inap anak. Jumlah penderita thalasemia pada tahun 2013 sebanyak 485 orang dan pada tahun 2014 jumlah pasien thalasemia sebanyak 488 orang (Rekam Medis RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, 2014). Anak yang menderita thalasemia sering mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan reproduksi. Faktor yang berperan pada pasien thalasemia adalah factor genetik dan lingkungan. Selain itu hemoglobin juga berpengaruh, bila kadar hemoglobin dipertahankan tinggi, lebih kurang 10 g/dl disertai pencegahan hemokromatosis, maka gangguan pertumbuhan tidak terjadi (Arijanty, 2008). Gangguan pertumbuhan pada penderita thalasemia disebabkan oleh kondisi anemia dan masalah endokrin. Kondisi anemia dan masalah endokrin ini dapat



mengganggu proses pertumbuhan anak penderita thalasemia, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan seperti postur yang pendek (Mariani, 2011). Penelitian yang dilakukan Febrianis (2009) menemukan adanya masalah pertumbuhan pada anak penderita thalasemia, yaitu mengalami malnutrisi berat sebanyak 20 orang (67%) dan juga ditemukan masalah perkembangan dimana anak penderita thalasemia mengalami suspek atau meragukan sebanyak 24 orang (80%). Penelitian yang dilakukan Asadi- Pooya, Karimi, dan Immanieh (2004) di Iran adanya hubungan antara kadar hemoglobin rata-rata sebelum transfusi dan kecepatan pertumbuhan. Tranfusi darah bertujuan untuk mempertahankan kadar hemoglobin 9-10 g/dl (Rahayu, 2012). Pemberian tranfusi darah secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya penumpukan besi pada jaringan parenkim hati dan disertai dengan kadar serum besi yang tinggi. Efek samping dari tranfusi adalah meningkatnya akumulasi zat besi dalam tubuh (Rudolph, Hoffmand, & Rudolph, 2007). Pemberian tranfusi yang berulang mengakibatkan kerusakan organorgan tubuh seperti hati, limpa, ginjal, jantung, tulang, dan pankreas. Terapi yang diberikan pada pasien yang melakukan tranfusi secara reguler adalah terapi kelasi besi. Pemberian kelasi besi (desferal) dimulai setelah diberikan saat kadar feritin serum ≥ 1.000 ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah 10-15 kali, dan sudah menerima darah sebanyak 3 liter. Kelebihan beban besi akan terjadi apabila penderita thalasemia dibiarkan tidak diterapi sehingga menyebabkan morbiditas berat dan kematian usia muda. Penelitian yang dilakukan Anggororini, Fadlyana, dan Idjradinata (2009) yang dilakukan pada anak usia 10-18 tahun di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ditemukan sebanyak 25 (83%) anak kelompok dengan thalasemia mengalami keterlambatan pertumbuhan dan kematangan seksual. Penyebab masalah ini adalah adanya perbedaan pemberian kelasi besi sehingga jumlah besi di dalam tubuh akan berbedabeda.



Thalasemia Thalasemia adalah kelainan herediter berupa defisiensi salah satu rantai globin pada hemoglobin sehingga dapat menyebabkan eristrosit imatur (cepat lisis) dan menimbulkan anemia. Klasifikasi thalasemia : 1.



Thalasemia minor, biasanya tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas, anemia ringan



2.



Thalasemia intermediate, ditandai dengan splenomegali dan anemia yang muncul pada usia 2-4 tahun, sehingga membutuhkan transfusi darah.



3.



Thalasemia mayor, biasanya ditandai dengan munculnya gejala face cooley, hepatosplenomegali, anemia berat, gangguan pertumbuhan dan deformitas tulang, dimana gejala-gejala tersebut muncul lebih awal sejak usia 2-12 bulan dan sangat ketergantungan terhadap transfusi darah.



Komplikasi pemberian transfusi darah yang rutin (berulang) Transfusi darah yang dibutuhkan klien thalasemia berupa PRC (Packed Red Cell), yang diberikan secara rutin setiap kadar Hb klien turun dibawah normal (< 10 mg/dl) sebanyak 10-20 cc/kgBB. Pemberian



transfusi



darah



akan



menyebabkan



pemecahan



Hb



yang



menghasilkan Fe yang dibutuhkan untuk pembentukan eritrosit yang baru, namun dengan pemberian transfusi darah secara rutin (berulang) akan menimbulkan komplikasi dari pemecahan Hb yang berlebih yang dapat menghasilkan Fe dalam jumlah yang berlebih sehingga sisa Fe ini akan menumpuk atau tertimbun dalam tubuh manusia, diantaranya :



1)



Hemosiderosis, yaitu penumpukan Fe dalam organ baik itu dalam hepar (berakibat hepatomegali), spleen (berakibat splenomegali), jantung, pancreas, atau kelenjar hypofise (penurunan growth hormone).



2)



Hemocromatosis, yaitu penumpukan Fe di bawah kulit sehingga warna kulit tampak hitam keabuan. Penumpukan Fe tersebut dapat dikurangi atau dicegah dengan



pemberian chelating agent yaitu dengan pemasangan desferal, dimana kelebihan Fe ini akan dapat terbuang melalui urin dan feces.



A. Definisi Desferal (deferoxamine)merupakan obat cair yang diberikan di bawah kulit. Biasanya obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam “portable pump”. B. Tujuan Menurunkan/mencegah penumpukan Fe dalam tubuh baik itu hemochromatosis (penumpukan Fe di bawah kulit) atau pun hemosiderosis (penumpukan Fe dalam organ) C. Indikasi/Kontraindiksi Indikasi 1. Dilakukan pada klien dengan thalasemia yang mendapatkan transfusi darah secara rutin (berulang). 2. Kadar Fe≥ 1000 mg/ml. 3. Dilakukan 4-7 kali dalam seminggu post transfuse. Kontraindikasi Tidak dilakukan pada klien dengan gagal ginjal. D. Standar Operasional Prosedur 1. Pengkajian a. Menyampaikan salam kepada klien/keluarganya. b. Melakukan pengkajian kondisi klien meliputi : usia, tingkat hemocromatosis & hemosiderosis (kadar Fe).



2. Persiapan a. Mencuci tangan. b. Menyusun alat-alat yang diperlukan dengan memperhatikan teknik aseptic dan antiseptik. Streril : 1) Syringe 10 cc 2) Wing needle Tidak Steril : 1) Alas 2) Bengkok 3) Kapas alkohol pada tempat tertutup 4) Infusa pump 5) Obat yang diperlukan (desferal) 6) Pengencer (aquadest steril) dalam botol 7) Perban gulung/kantong infusa pump 8) Plester 9) Gunting plester c. Mempersiapkan obat desferal sesuai kebutuhan. 1) Melakukan cek ulang obat yang akan diberikan sesuai perencanaan. 2) Mengkalkulasi dosis sesuai kebutuhan klien Usia > 5 tahun = 1 gram (2 vial) Usia < 5 tahun = 0,5 gram (1 vial) Mengencerkan obat dengan tepat : (catatan : 1 vial (0,5 gram) obat desferal dioplous dengan aquadest 4-5 cc). Membersihkan bagian atas botol aquadest dengan kapas alcohol dan menarik cairan aquadest dari botol secukupnya denganmenggunakan syringe/spuit 10 cc, kapas buang ke bengkok



3) Membersihkan bagian atas botol vial desferal dengan kapas alcohol dan membiarkan kering sendiri, membuang kapas alkohol ke bengkok 4) Memasukkan jarum syringe 10 cc



yang berisi aquadest



melalui karet penutup botol ke dalam botol



5) Kocok vial obat sampai mencampur rata 6) Memegang botol dengan tangan yang tidak dominan dan tarik obat sejumlah yang diperlukan



7) Memeriksa adanya udara dalam syringe/spuit, bila ada keluarkan dengan posisi tepat. 8) Mengecek ulang volume obat dengan tepat. 9) Menyambungkan syringe/spuit dengan wing needle.



10) Memeriksa kembali adanya udara dalam syringe/spuit & wingneedle, bila ada keluarkan dengan posisi yang tepat. 11) Menyiapkan infusa pump .



d. Membawa peralatan ke dekat klien. 3. Melakukan pemasangan desferal a. Mencuci tangan Menggunakan sarung tangan bila



pada pasien yang menderita



penyakit menular (AIDS, Hepatitis B) b. Menjaga privacy dan kenyamanan klien. 1) Mendekati dan mengidentifikasi klien. 2) Jelaskan prosedur kepada klien dengan bahasa yang jelas. 3) Memasang sampiran (bila perlu) c. Memperhatikan teknik aseptic dan antiseptic Mempersiapkan alat dan klien : 1) Menyiapkan plester untuk fiksasi. 2) Memasang alas/perlak. 3) Mendekatkan bengkok pada klien d. Menyuntikkan desferal dengan teknik steril



1) Bersihkan lokasi injeksi dengan alkohol dengan teknik sirkuler atau atas ke bawah sekali hapus.



2) Membuang kapas alkohol ke dalam bengkok. 3) Membiarkan lokasi kering sendiri 4) Menyuntikkan obat dengan tepat (subkutan : area m.deltoid)



5) Memfiksasi wing needle dengan plester



e. Mengatur obat desferal pada alat infusa pump



Memfiksasi infusa pump dengan menggunakan perban gulung (a) atau kantong infusa pump (b dan c).



f. Mencuci tangan 4. Evaluasi a. Melihat kondisi klien. b. Memperhatikan respon klien selama tindakan dilakukan. c. Menanyakan perasaan klien setelah tindakan dilakukan. 5. Mendokumentasikan tindakan a. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dan respon klien selama tindakan dan kondisi setelah tindakan b. Mencatat dengan jelas, mudah dibaca, ditandatangani disertai nama jelas



c. Tulisan yang salah tidak dihapus tetapi dicoret dengan disertai paraf. d. Catatan dibuat dengan menggunak ballpoint atau tinta. E. Konsep yang mendasari: Konsep Medis (Thalasemia) 1. Definisi Talasemia merupakan penyakit anemia hemalitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). (Ngastiyah, 1997 : 377). Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif. (Mansjoer, 2000 : 497). Thalasemia merupakan kelompok kelainan genetik heterogen yang timbul akibat berkurangnya kecepatan sintesis rantai alpha atau beta (Hoffbrand, 2005). Talasemia adalah suatu golongan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin. (Suriadi, 2001 : 23). Talasemia merupakan kelompok gangguan darah yang diwariskan, dikarakteristikan dengan defisiensi sintetis rantai globulin spesifik molekul hemoglobin(Muscari, 2005). Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipopkromik heriditer dengan berbagai derajat keparahan (Nelson, 1999). Talasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan masuk kedalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkanoleh gangguan system hemoglobin akibat mutasi didalam atau dekat gen globin (Nurarif, 2013 : 549) 2. Klasifikasi Secara klinik talasemia dibagi menjadi 2 golongan yaitu : a. Talasemia mayor (memberi gejala klinik jelas)



b. Talasemia minor (biasanya tidak memberi gejala klinik) (Ngastiyah, 2001 : 377) 3. Etiologi Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik (Suriadi, 2001 : 24). Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom



11.



Pada



manusia



kromosom



selalu



ditemukan



berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masingmasing membawa sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang tuanya. Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh



pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik. Jika



kedua



orang



tua



tidak



menderita



Thalassaemia



trait/pembawasifat Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka menurunkan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai darah yang normal. Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka



akan



menderita



Thalassaemia



trait/pembawa



sifat



Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-anak mereka akan menderita



Thalassaemia



mayor.



Orang



dengan



Thalassaemia



trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka. Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga menderita Thalassaemia mayor



Skema Penurunan Gen Thalasemia Mendel 4. Gambaran klinik Pada talasemia mayor gejala klinik telah terlihat sejak anak baru berumur kurang dari 1 tahun. Gejala yang tampak adalah anak lemah, pucat, perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur, berat badan kurang. Pada anak yang besar sering dijumpai adanya gizi buruk, perut membuncit, karena adanya pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba. Adanya pembesaran limpa dan hati tersebut mempengaruhi gerak pasien karena kemampuan terbatas, limpa yang membesar ini akan mudah ruptur hanya karena trauma ringan saja. Gejala lain (khas) ialah bentuk muka mongoloid, hidung pesek tanpa pangkal hidung; jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan perkembangan tulang



muka



dan



tengkorak.



(Gambaran



radiologis



tulang



memperlihatkan medula yang besar, korteks tipis dan trabekula kasar). Keadaan kulit pucat kekuning-kuningan. Jika pasien telah sering mendapat tranfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.



Penimbunan besi (hemosiderosis) dalam jaringan tubuh seperti pada hepar, limpa, jantung akan mengakibatkan gangguan fatal alatalat tersebut (hemokromatosis) (Ngastiyah, 1997 : 378). 5. Patofisiologi Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida rantai alpa dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kekurangan rantai beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan ertrosit membawa oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai beta memproduksi hemoglobin



secara defictive.



terus



menerus



Ketidak



sehingga



seimbangan



menghasilkan



polipeptida



ini



memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis. Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta dan kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada talasemia alpa. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropik aktif. Kompensator produksi RBC secara terus menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC,menimbulkan tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan edstruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh. (Suriadi, 2001 : 23-24) Pada talasemia letak salah satu asam amino rantai polipre tidak berbeda urutannya/ditukar dengan jenis asam amino lain. Perubahan susunan asam amino tersebut. Bisa terjadi pada ke-4 rantai poliper Hb-



A, sedangkan kelainan pada rantai alpha dapat menyebabkan kelainan ketiga Hb yaitu Hb-A, Hb-A2 dan Hb-F. (Hassan, 1985 : 49) 6. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan definitive test. a. Screening test Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007). 1) Interpretasi apusan darah Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi



pada



kebanyakkan



Thalassemia



kecuali



Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining. 2) Pemeriksaan osmotic fragility (OF) Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007). Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate  18.40% dan false negative rate 8.53% (Wiwanitkit, 2007). 3) Indeks eritrosit Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).



4) Model matematika Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi



kebanyakkannya



digunakan



untuk



membedakan



anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007). Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan