Analisis Good Urban Governance Dalam Pembangunan Trotoar Di Kota Yogyakarta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS GOOD URBAN GOVERNANCE DALAM PEMBANGUNAN TROTOAR DI KOTA YOGYAKARTA Oleh: Arman Kurniawan ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pembangunan trotoar di Kota Yogyakarta sesuai dengan konsep good urban governance baik dari hasil fisik saat ini maupun ketika melakukan perencanaan. Kenyataan dilapangan saat ini kondisi trotoar di kota Yogyakarta tidak inklusif dan tidak ideal bagi pejalan kaki. Good urban governance sendiri merupakan konsep yang mengedepankan perencanaan pembangunan dan atau hasil pembangunan yang inklusif. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian dilakukan dengan melihat dari sisi kesetaraan akses, transparansi dan akuntabilitas serta keterlibatan masyarakat. Hasil penelitian menunjukan pembangunan trotoar di Kota Yogyakarta secara perencanaan indikator transparansi dan akuntabilitas serta keterlibatan masyarakat sudah terpenuhi, sedangkan indikator kesetaraan akses tidak terpenuhi. Begitupun dengan hasil secara fisik saat ini, kesetaraan akses tidak dapat dipenuhi. Hal tersebut terjadi karena beberapa hal diantaranya: Pertama, keterbatasan lahan. Pemerintah Kota Yogyakarta menyadari bahwa kondisi trotoar saat ini sangat buruk, tetapi hal tersebut sulit untuk diperbaiki lantaran lahan yang terbatas. Kedua, prioritas pemerintah. Pada jalan raya, pemerintah lebih memprioritaskan lalu lintas beserta kendaraannya dibandingkan pejalan kaki. Ketiga, pemerintah menganggap bahwa tren pejalan kaki di Kota Yogyakarta masih rendah Kata kunci: Good urban governance, perencanaan pembangunan, trotoar.



GOOD URBAN GOVERNANCE ANALYSYS IN THE SIDEWALK DEVELOPMENT OF THE CITY OF YOGYAKARTA By: Arman Kurniawan ABSTRACT This research aims to determine the planning and development of sidewalk in the city of Yogyakarta in accordance with the concept of good urban governance both from the current results and when planning. The current reality of the sidewalks conditions in the city of Yogyakarta is not inclusive and not ideal for pedestrians. Good urban governance is a concept that promotes inclusive planning and development, and inclusive outcomes. The method used in this research is qualitative approach. This research is conducted by explaining the equity of access, transparency and accountability and citizens involvement. The results showed the planning of sidewalk in Yogyakarta is suitable with the indicators of transparency and accountability as well as citizens involvement, while the indicators of equality of access are not met. By the current physical results, equality of access can not be met in this development sidewalk. This happens because of several things including: First, limited land. The local government realizes that the current sidewalks condition is very bad, but it’s difficult to repaird due to limited land. Second, the government's priority. On the main road, the government prioritizes the traffic and its transportation, not the pedestrians. Third, the government considers that the trend of pedestrian in the city of Yogyakarta is still low.



Keywords: Good urban governance, planning and development, sidewalk.



PENDAHULUA N LATAR BELAKANG Ketika berbicara mengenai Kota Yogyakarta, trotoar sangat dibutuhkan lantaran masyarakat yang berada di Kota Yogyakarta terdiri dari berbagai komposisi diantaranya adalah masyarakat asli, masyarakat yang menempuh pendidikan, dan masyarakat yang berwisata. Trotoar saat ini sudah sangat jelas dibutuhkan karena hal tersebut bukan menyangkut tata kota yang baik namun juga berkaitan langsung dengan nyawa dan keselamatan pejalan kaki. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agnes Diana Br S (2015) di Kota Yogyakarta, 54% responden dari penelitian tersebut mengatakan bahwa trotoar



merupakan hal yang sangat penting bagi pejalan kaki. Berdasarka n Undang-undang No 13 tahun 1980, trotoar berfungsi untuk memperlancar lalu lintas jalan raya karena tidak terganggu atau terpengaruh lalu lintas pejalan kaki. Ruang dibawah trotoar dapat digunakan sebagai utilitas dan pelengkap jalan lainnya. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan trotoar yang layak bagi pejalan kaki, kota tidak dapat terjadi tanpa adanya suatu rencana untuk kepentingan operasionalnya. Melakukan pembangunan trotoar atau memperbaikinya menjadi suatu langkah preventif untuk menghindari timbulnya masalah baru khususnya masalah yang menjadi ancaman bagi keselamatan



para pejalan kaki di Yogyakarta. Trotoar juga menjadi salah satu ruang penting yang harus ada dalam suatu kota untuk memberikan ruang bagi pejalan kaki agar para pejalan kaki tersebut bisa berjalan kaki di kawasan yang aman tanpa adanya ancaman kecelakaan dari pengemudi kendaraan bermotor. Trotoar juga idealnya tersedia disetiap tepi jalan dan memanjang mengikuti sepanjang jalan. Berdasarka n uraian diatas, trotoar sangatlah penting keberadaan dan kegunaannya bagi suatu kota. Namun di Kota Yogyakarta berdasarkan hasil pemantauan secara pribadi, fungsi trotoar dan keberadaannya kurang begitu diperhatikan. Masyarakat Kota Yogyakarta juga mengalami



kegelisahan yang serupa mengenai kondisi dan keadaan trotoar di Kota Yogyakarta yang dianggap tidak layak bagi pejalan kaki. Berdasarka n observasi secara langsung di lapangan menunjukan bahwa trotoar di Kota Yogyakarta tidak layak bagi pejalan kaki dan penyandang disabilitas. Ketidaklayakan trotoar tersebut terjadi akibat berbagai hal. Salah satunya akibat tidak adanya koordinasi yang baik di lini pemerintahan khususnya antar dinas (Kurniawan, 2013). Hal tersebut dapat terlihat dari trotoar yang pada dasarnya sudah layak bagi pejalan kaki dan layak bagi penyandang disabilitas – dengan lebar yang cukup bagi kursi roda dan terdapat guiding block– tetapi menjadi tidak layak lantaran diatasnya



dibangun shelter atau halte Transjogja. Pembangunan halte tersebut jelas-jelas menghalangi seluruh trotoar sehingga trotoar menjadi tidak layak. Kondisi tersebut terjadi lantaran Dinas Perhubungan sebagai pihak yang berwenang atas fungsi guna trotoar dan Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah sebagai pihak yang berwenang atas fungsi fisik trotoar tidak melakukan koordinasi dengan baik sehingga terjadi pembangunan yang tumpang tindih (Kurniawan, 2013). Atas kondisi tersebut, kondisi fisik trotoar Kota Yogyakarta saat ini bisa disimpulkan tidak layak bagi masyarakat pejalan kaki maupun difabel. Maka dari itu, tujuan dari



penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pembangunan dan perencanaan trotoar di Kota Yogyakarta saat ini sesuai dengan konsep good urban governance atau tidak. RUMUSAN MASALAH Bedasarkan fenomena yang dikemukakan dalam latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah pembangunan trotoar di Kota Yogyakarta sesuai dengan konsep good urban governance? TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pembangunan trotoar di Kota Yogyakarta sesuai dengan konsep good urban governance atau tidak.



LANDASAN TEORI GOOD URBAN GOVERNANCE Good urban governance merupakan suatu konsep yang melakukan pembangunan dan penataan kawasan perkotaan ikut serta melibatkan pihak-pihak diluar pemerintah khsusunya adalah masyarakat. Good urban governance merupakan konsep yang mengedepankan kota yang inklusif/inclusive city dimana good urban governance dapat dilihat sebagai proses maupun hasil. Sebagai proses, good urban governance dapat diartikan sebagai inclusive strategic planning and decision making processes (The Global Campaign for Good Urban Governance, 2000). Selain itu good urban governance juga dapat diartikan sebagai strategi perencanaan dan



proses pengambilan keputusan yang bersifat inklusif, dalam arti seluruh elemen baik pemerintah, masyarakat, swasta dan LSM berhak untuk ikut dalam menyusun rencana dan mengambil keputusan. Pengertian dan maksud dari good urban governance tidak berbeda jauh dari good governance. Good urban governance mengadopsi nilainilai dari good governance sehingga terciptalah good governance khusus untuk paradigma pembangunan kota yaitu good urban governance. Fokusnya adalah pada pengaturan yang membentuk inisiatif dan proses pengawalan suatu kebijakan perkotaan yang dilakukan oleh pihak non pemerintah lantaran pihak



pemerintah khususnya pemerintah kota bukan merupakan single actor dalam menentukan kebijakan pembangunan kota, tetapi pihak lain seperti masyarakat, swasta dan LSM juga ikut terlibat (Hendriks, 2013). Secara hasil dari suatu proses, The Global Campaign for Good Urban Governance (2000: 8) menyatakan bahwa “good urban governance affirms that no man, woman or child can be denied access to the necessities of urban life, including adequate shelter, security of tenure, safe water, sanitation, a clean environment



, health, eduaction and nutrition, employment and public safety and mobility” “good urban governance is the sum of many ways individuals or institutions, public and private, plan and manage the common affairs of the city. It is a continuing process through which conflicting or diverse interests may be accomodate d and cooperative action can be taken. It includes formal institutions as well as informal arrangemen ts and the social capital of citizens”



Secara sederhana, good urban governance mengatakan bahwa baik lakilaki, perempuan, ataupun anakanak tidak dapat dihalangi aksesnya untuk mendapatkan keamanan, lingkungan yang baik, akses terhadap kebutuhan hidup dan kesehatan dan pendidikan. Good urban governance merupakan banyak cara yang dilakukan individu, lembaga, publik, dan swasta merencanakan dan mengelola urusan kota yang merupakan proses berkelanjutan dalam menampung berbagai kepentingan dengan mengambil tindakan secara kooperatif. Good urban governance memiliki karakterisitik yaitu berkelanjutan, desentralisasi, kesetaraan, efisiensi, transparansi dan



akuntabilitas, keterlibatan masyarakat, dan keamanan (The Global Campaign for Good Urban Governance, 2000). Hendriks (2014) merangkum berbagai pengertian mengenai good urban governance dari berbagai literatur dimana konsep dari good urban governance adalah pengaturan kerja yang lebih teratur untuk menangani berbagai masalah pembangunan perkotaan dengan melibatkan pihakpihak diluar pemerintah dengan penekanan bahwa pemerintah bukan merupakan single actor. Selain itu, good urban governance yang berpedoman pada good governance juga sangat banyak pihak yang mendefinisikanny a. Hendriks (2014: 564) menuliskan beberapa pengertian good urban governance



menurut beberapa pihak diantaranya: 1.



2.



UNDP (United Nations Development Porgramme), telah menggunakan dan menentukan standar dan kualitasnya bredasarkan mereka sendiri yaitu: partisipasi, visi strategis, rule of law, transparansi, responsif, orientasi konsensus, membangun kesetaraan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi. Dewan Eropa (2008) mendefinisika n “Dua Belas Prinsip Praktik Demokrasi yang Bagus pada Level Daerah/Lokal ” yaitu: Perilaku wajar pemilu, representatif dan partisipatif, responsif,



efisiensi dan efektifitas, keterbukaan dan transparansi, rule of law, kode etik, kompetensi dan kapasitas, inovasi dan keterbukaan terhadap perubahan, keberlanjutan dan orientasi jangka panjang, manajemen keuangan yang sehat, hak asasi manusia, dan akuntabilitas. 3.



The Dutch Ministry of the Interior and Kingdom Relations (Ministrie van BZK 2009): keterbukaan dan integritas, ketentuan pelayanan yang baik, partisipasi, orientasi tujuan dan efisiensi, legitimasi dan keadilan, self correction and learning capacity, dan akuntabilitas.



The Global Campaign for Good Urban Governance (2000), mengutarakan 7 karakteristik good urban governance yaitu diantaranya: berkelanjutan, desentralisasi otoritas, kesetaraan dalam akses, efisiensi dalam pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas, keterlibatan masyarakat, dan keamanan. Namun dalam penelitian ini hanya akan diambil tiga dari tujuh pilar tersebut yang akan digunakan sebagai alat analisis lantaran tiga hal tersebut lah yang memungkinkan untuk dilakukan analisis dalam perencanaan dan pembangunan trotoar di Kota Yogyakarta. Tiga hal tersebut yaitu kesetaraan akses, transparansi dan akuntabilitas, serta keterlibatan masyarakat. 1. Kesetaraan Akses



Sheng (2010) mengatakan bahwa good urban governance dapat didefinisikan secara sederhana yaitu relasi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat. Sheng (2010) mengatakan pilarpilarnya antara lain yaitu: inklusif, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas, kesetaraan, predictability, serta ketaatan terhadap aturan hukum. Menurut Sheng (2010) good urban governance menunjukan bahwa semua masyarakat termasuk masyarakat miskin dan kelompok masyarakat termarjinalkan memiliki hak diantaranya: 1. Untuk berpartisipasi, langsung maupun secara tidak langsung, dalam pembuatan



keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka dan mata pencaharian mereka; 2. Untuk diakui atas kontribusi mereka dalam pengembangan dan pembangunan perkotaan, meskipun hanya melalui sektor informal perkotaan; dan 3. Untuk berbagi dalam manfaat yang dihasilkan melalui pembangunan perkotaan, termasuk manfaat untuk mengakses infrastruktur dasar dan pelayanan publik, serta lahan untuk perumahan. Agar pembangunan dapat diakses secara setara oleh berbagai pihak diperlukan pembangunan yang partisipatif. Pembangunan partisipatif merupakan pendekatan



pembangunan yang semuanya bersumber dari masyarakat dan dapat dirasakan oleh masyarakat (Sumaryadi, 2005). Melalui program pembangunan partisipatif tersebut diharapkan semua elemen masyarakat dapat secara bersamasama berpartisipasi dengan cara mencurahkan pemikiran dan sumber daya yang dimiliki guna memenuhi kebutuhannya sendiri. Peningkatan tata kelola perkotaan meletakan penekanan pada kontribusi yang akan dibuat oleh sistem demokrasi dan partisipasi masyarakat dimana peran pemerintah yang terkesan single actor dapat dikurangi (Gilbert, 2006).



sangat diperlukan. Abe (2005) mengatakan bahwa perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan masyarakat (baik secara langsung maupun tidak langsung). Murtiono dan Wulandari (2014) mengungkapkan bahwa masyarakat adalah pihak yang lebih mengetahui akan kebutuhan dan permasalahan mereka, sehingga jika melibatkan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan maka masyarakat akan merasa terbantu akan kebijakan tersebut dan tidak akan terjadi kebijakan yang salah sasaran.



Selain pembangunan partisipatif, perencanaan partisipatif juga



Bagi pemerintahan yang transparansi dan akuntabel, akses yang bebas



2. Transparansi dan Akuntabilitas



terhadap berbagai informasi publik adalah merupakan sesuatu yang paling mendasar. Secara organisasi maupun secara individu sebagai pejabat publik, transparansi dan akuntabilitas harus dipegang teguh dalam rangka pemenuhan integritas birokrasi dan birokratnya. Jika ditemukan ketidaksesuaian pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai pihak yang menerima sekaligus pihak yang memonitor pembangunan diluar pemerintahan berhak untuk meminta informasi mengenai ketidaksesuaian tersebut. Pemerintah harus bersedia untuk membuka seluruh informasi yang diperlukan dan pemerintah harus terbuka kepada masyarakat



sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas mereka lantaran pemerintah adalah abdi masyarakat yang harus melakukan berbagai hal dengan orientasi citizenship. Transparansi dan akuntabilitas juga diperlukan pemerintah apabila masyarakat yang telah dilibatkan sebelumnya merasa bahwa apa yang sudah disepakati sebagai perencanaan tidak sesuai dengan realita pembangunan yang telah dilaksanakan. Bentuk atau sikap pemerintah yang demikian merupakan bentuk transparansi dari pemerintah kepada warga masyarakatnya. Berbeda lagi dengan akuntabilitas, pemerintah harus melakukan pembangunan sesuai dengan apa yang disepakati dan melakukan pembangunan



berdasarkan prosedur-prosedur yang ada sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah dalam melakukan suatu pembangunan.



a). Transparansi Secara sederhananya, konsep transparansi yaitu terbukanya akses bagi masyarakat dalam memperoleh informasi mengenai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawab an. Hal ini didasarkan pada pendapat beberapa ahli, yaitu sebagai berikut: Lalolo (2003: 43) transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggar



aan pemerintahan , yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan serta hasil yang dicapai. Mustopa Didjaja (2003 :261) transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakankebijakan sehingga dapat diketahui oleh masyarakat. Transparansi pada akhirnya akan menciptakan akuntabilitas antara pemerintah dengan rakyat. Mardiasmo dalam Kristianten (2006: 63) menyebutkan transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam memberikan



informasi yang terkait dengan aktifitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak yang membutuhkan yaitu masyarakat. b). Akuntabilitas Menurut Rasul (2002) akuntabilitas adalah kemampuan memberi pertanggungja waban mengenai halhal yang dilakukan dalam suatu lembaga/instan si kepada otoritas yang berhak atas pertanggungja waban tersebut. Hadi (2006) mengatatakan bahwa akuntabilitas yakni para pengambil keputusan (pemerintah) yang memiliki pertanggungja waban terhadap penerima keputusan (masyarakat umum).



Dalam pasal 7 UndangUndang No.28 tahun 1999 menjelaskan bahwa yang dimaksud asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjaw abkan kepada masyarakat / rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Menurut UNDP (2013), akuntabilitas adalah evaluasi terhadap proses pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi untuk dapat dipertanggungjaw abkan serta sebagai umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada masa yang



akan datang. UNDP (2013) menyebutkan bahwa akuntabilitas dapat diperoleh melalui: 1. Usaha untuk membuat para aparat pemerintahan mampu bertanggungja wab untuk setiap perilaku pemerintah dan responsive pada identitas dimana mereka memperoleh kewenangan; 2. Penetapan kriteria untuk mengukur performan aparat pemerintahan serta penetapan mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi. Rasul (2002) mengungkapka n bahwa terdapat lima dimensi akuntabilitas diantaranya: 1. Akuntabilita s hukum dan kejujuran



(accuntabili ty for probity and legality) Akuntabi litas hukum terkait dengan dilakukannya ketaatan akan humu dan aturan-aturan lain yang mengikat dalam suatu instansi, sehingga menjamin ditegakannya aturan dan supremasi hukum. Kemudian akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran berbagai penyalahgunaa n jabatan seperti korupsi dan lain sebagainya yang menjadikan organisasi lebih sehat dan para pemegang jabatannya berlaku jujur dan adil. 2. Akuntabilita s Manajerial Akuntabili tas manajerial yang dapat



juga diartikan sebagai akuntabilitas kinerja (performance accountability) adalah pertanggungja waban untuk melakukan pengelolaan organisasi secara efektif dan efisien sesuai dengan kaidah-kaidah manajemen dalam suatu organisasi yang sesuai dengan visi dan misi lembaga. 3. Akuntabilita s Program Akuntabi litas program merupakan pertanggungja waban terhadap suatu program dimana program yang dilaksanakan harus sesuai rencana dan kebutuhan serta sesuai dengan apa yang ingin dicapai oleh suatu lembaga. Suatu program harus dipertanggungj awabkan oleh lembaga



(khususnya lembaga publik) dari mulai perencanaan hingga setelah pelaksanaan. 4. Akuntabilita s Kebijakan Hal ini terkait kebijakan yang dilakukan. Bentuk akuntabilitas ini merupakan suatu pertanggungja waban atas kebijakan yang dirumuskan, apakah kebijakan tersebut memiliki output atau bahkan impact khususnya bagi keadaan dimasa depan. 5. Akuntabilita s Finansial Akuntabilita s ini merupakan pertanggungjawab an lembaga publik untuk menggunakan dana publik (public money) dengan baik. Maksudnya adalah, dana publik harus



digunakan untuk keperluan publik dengan alokasi sesuai kebutuhan tanpa terjadinya kebocoran atau bahkan bagi-bagi anggaran diantara pejabat publik. Hal tersebut harus dilaporkan oleh setiap lembaga/instansi kepada instansi/lembaga lain yang berhak untuk mengaudit serta meminta pertanggungjawab an finansial. 3. Keterlibatan Masyarakat Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan menjadi sangat penting karena masyarakat merupakan inti dari dilakukannya pembangunan. Masyarakat tidak boleh dilihat lagi sebagai objek pembangunan melainkan harus dijadikan sebagai subjek pembangunan. Oleh karena itu, untuk kebijakan pembangunan daerah yang dilakukan oleh pemerintah



setempat harus melalui berbagai dengar pendapat bersama dengan masyarakat, agar masyarakat sendiri dapat mengungkapkan permasalahan mereka serta solusi yang mereka butuhkan, sehingga kebijakan yang dibuat merupakan kebijakan yang berasal dari masyarakat, untuk masyarakat serta oleh masyarakat (Winarno, 2008). Orientasi pembangunan harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat serta pembangunan yang dilakukan harus benar-benar menjamin akses masyarakat untuk menikmati pembangunan. Hendriks (2014: 559) mengatakan bahwa hasil dari gagasan atau kebijakan yang demokratis tidak hanya diberlakukan oleh pemerintah untuk masyarakat, tetapi harus diberlakukan oleh



pemerintah bersama-sama dengan masyarakat sehingga kecenderungan memerintah sendiri dengan mengabaikan warga negara atau masyarakat harus segera diperbaiki. Bentuk partisipasi masyarakat dalam tahapan pembangunan ada beberapa bentuk. Menurut Ericson (dalam Santoso, 2016) bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbagi atas tiga tahap, yaitu: (1).



Partisipasi dalam tahap perencanaan (idea planning stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap penyusunan rencana. Masyarakat berpartisipasi dengan memberikan



pendapatnya dalam berbagai pertemuan yang diberikan oleh pemerintah (2).



Partisipasi dalam tahap pelaksanaan (implementati on stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pelaksanaan pekerjaan suatu kegiatan atau proyek. Masyarakat disini dapat menjadi pihak yang melakukan monitoring pelaksanaan pembangunan agar pembangunan berjalan dengan baik dan tidak melenceng dengan apa yang telah direncanakan. Apabila masyarakat berpartisipasi dalam tahap



ini, maka segala hal yang menurut mereka tidak sesuai dapat segera diatasi dan tidak menjadi perdebatan dikemudian hari. (3).



Partisipasi dalam pemanfaatan (utilitazion stage). Hasil dari pembangunan dalam tahap ini masyarakat dapat berpartisipasi dengan cara menggunakan atau memanfaatka n apa yang telah dibangun serta ketika dalam pemanfaatann ya ada ketidaksesuai an, maka peran masyarakat untuk melaporkan atau mengadvokas ikannya kepada pemerintah menjadi



sangat penting. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral, yang kemudian data yang berupa katakata atau teks dianalisis yang berupa gambaran atau deskripsi dari suatu fenomena (Raco, 2010). Jadi, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggambarkan hasil pengamatan fenomena saat penelitian dilakukan tanpa melalui prosedur kuantifikasi.



Penelitia n ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pedekatan studi kasus. Menurut Stake (dalam Creswel, 2010) studi kasus merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Pada penelitian ini, proses pembangunan trotoar kota Yogyakarta akan menjadi fokus utama dari mulai perencanaan hingga tahap pengambilan keputusan untuk melakukan pembangunan. Alasan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif karena peneliti ingin mengetahui lebih dalam apakah



perencanaan dan pembangunan trotoar di Kota Yogyakarta saat ini sesuai dengan konsep good urban governance atau tidak. GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN PEMBANGUNA N DAN PEMELIHARA AN TROTOAR PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA Segala hal yang terkait dengan pembangunan infrastruktur berupa fisik serta perawatan dan atau pemeliharaannya merupakan tanggung jawab dan wewenang dari Dinas Pekerjaan Umum. Begitupun dengan pembangunan dan atau pemeliharaan trotoar di kota Yogyakarta yang merupakan wewenang dan tanggung jawab dari Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman.



Namun demikian, pihak yang berwenang atas trotoar bukan hanya Dinas Pekerjaan Umum saja, melainkan banyak pihak. Dinas Pekerjaan Umum hanya bertanggung jawab atas pembangunan fisik dan pemeliharaan fisik trotoar. Ketika berbicara mengenai kegunaan serta utilitas lain yang ada pada trotoar, maka banyak pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya Dinas Perhubungan memiliki kewenangan atas fungsi trotoar untuk kepentingan parkir serta halte Transjogja, Dinas Perindagkop atas pedagang kaki lima, pihak swasta misalnya PLN terkait tiang listrik serta instrumen kabel yang berada dibawah trotoar, bahkan masyarakat sebagai pihak yang memiliki



kepentingan atas akses keluar masuk rumah atau pertokoan milik mereka masingmasing. Dalam hal ini untuk mengurusi fungsi guna trotoar, perlu komunikasi dan koordinasi antar pihak khususnya dinas-dinas terkait di Pemerintah Kota Yogyakarta agar trotoar tetap terawat secara fisik oleh Dinas Pekerjaan Umum serta digunakan sesuai fungsinya. PEMBAHASAN 1. Kesetaraan Akses a. Akses dalam Partisipasi Perencanaan dan atau Pembuatan Keputusan Dalam hal tersebut, dari sisi partisipasi dalam perencanaan dan atau pengambilan keputusan pemerintah kota Yogyakarta belum mampu untuk menciptakan kesetaraan akses bagi masyarakatnya. Dalam wawancara



bersama Kepala Seksi Jalan dan Jembatan bidang Bina Marga, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman, Sigit Setiawan pada tanggal 2 Mei 2017, beliau membenarkan bahwa belum seluruhnya masyarakat mendapatkan kesetaraan akses baik dari sisi perencanaan maupun pemanfaatan infrastruktur. “...Kemudia n untuk misalnya forum difabel dan sebagainya kami masih belum bisa kesana karena gini, kondisi eksisting jalan itu tidak semuanya bisa terencana sesuai dengan ruang-ruang yang dibutuhkan oleh difabel.



Contoh trotoar kota yang ada di kota Jogja sekarang ini mayoritas sudah berfungsi lain. Begitu berfungsi lain begitu nanti kita menerapkan konsep perencanaan ideal yang kemudian melibatkan seluruhnya contohnya seperti yang lagi ngetrend sekarang kan difabel, begitu nanti kita muncul disana hampir pasti perencanaan tidak bisa berjalan” (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PU, Sigit Setiawan: 2 Mei 2017) Jadi menurut pihak PU, dalam sisi perencanaan pada saat ini belum seluruhnya masyarakat



mendapatkan akses yang sama untuk berpartisipasi misalnya seperti kaum difabel. Kaum difabel dijadikan sebagai salah satu acuan untuk melihat kesetaraan akses dalam pembangunan trotoar lantaran kembali pada fungsi utama trotoar. Fungsi utama trotoar diperuntukan bagi pedestrian/pejalan kaki atau orang yang melakukan mobilitas tanpa menggunakan kendaraan bermotor, dan pada konteks ini difabel menjadi bagian dari pejalan kaki yang membutuhkan fasilitas tertentu untuk melakukan mobilitasnya. Masyarakat yang diundang ke perencanaan adalah masyarakat yang memiliki kepentingan langsung dengan trotoar misalnya warga sekitar seperti pemilik rumah atau toko yang



memanfaatkan akses keluar masuk melewati trotoar. Karena memiliki kepentingan langsung, maka warga yang bersangkutan akan diundang dalam perencanaan, sedangkan jika tidak memiliki kepentingan langsung maka tidak begitu dilibatkan dalam perencanaan, hanya berupa sosialisasi saja. “...Kalau ini kaum difabel masih dalam konteks diskusi ini mas. Workshopworkshop kalau itu” “...Jadi keterlibata n masyarakat disitu adalah halhal yang kira-kira mungkin, mungkin artinya memang perencanaa



n nanti bisa berjalan” “...Kalau kemudian kita dituntut trotoar tidak ramah difabel, iya memang. Tapi begitu mereka saya minta pendapat terus langkah apa yang harus dilakukan, mereka diem” (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PU, Sigit Setiawan: 2 Mei 2017). Sudah dibahas pada bab awal bahwa trotoar yang ideal sangatlah dibutuhkan lantaran penggunanya bukan hanya masyarakat saja tetapi juga kaum difabel. Maka dari itu dari sisi perencanaan maupun eksekusi



pembangunan haruslah sesuai dengan standar yang layak bagi kaum difabel. Tetapi kesetaraan akses bagi seluruh masyarakat dari sisi perencanaan infrastruktur belum bisa dipenuhi oleh pemerintah kota Yogyakarta. Pemerintah kota Yogyakarta melalui dinas PU mengakui bahwa sering mendapat kritik dan saran terkait trotoar yang tidak ramah bagi difabel. Pihak pemerintah bukan tidak menanggapi atau merespon kritik dan saran tersebut tetapi pemerintah hanya mampu membangun seperti yang ada saat ini lantaran terganjal oleh kondisi yang tidak memungkinkan. Kaum difabel belum diikutkan dalam sisi perencanaan hanya terbatas pada konteks diskusi dan workshop lantaran kaum difabel dalam piramida



prioritas pemerintah di jalan, kaum difabel bukan merupakan prioritas utama dan tidak memungkinkan untuk diterjemahkan kedalam perencanaan yang bisa berjalan nantinya. Pihak pemerintah juga mengamini bahwa trotoar tidak ramah bagi difabel lantaran pihak pemerintah mengatakan hal tersebut terkendala lahan. Maka dari itu ketika dari perwakilan kaum difabel ataupun dari masyarakat yang peduli akan hak-hak difabel, merasa kebingungan dan hanya diam ketika pemerintah menanyakan solusi apa yang harus dilakukan pemerintah. Memang pemerintah yang seharusnya mencari solusi, tetapi ketika berbagai solusi tidak memungkinkan,



kaum difabel tidak menjadi prioritas pemerintah. Pemerinta h menganggap bahwa mereka bisa saja melakukan pembangunan dan perencanaan trotoar yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat. Namun pada fakta dilapangan, hal tersebut tidak bisa dilakukan sehingga pemerintah fokus pada perbaikan fisik misalnya trotoar yang rusak, roboh, dan sebagainya, bukan fokus pada pembangunan trotoar yang ideal lantaran hal tersebut sudah susah untuk dilakukan. “...Contoh disuatu penggal trotoar ada tiang listrik, dan apabila kita mengacu pada perencanaa n ideal untuk



difabel kita suruh geser tiang listrik belum tentu nanti ada tempatnya untuk menggeser. Karena praktisi kota itu tiang listriknya ditengah, trotoar lebarnya cuma 75cm sudah tidak bisa di apaapakan lagi.” Jadi dari semua hal tersebut pada intinya kesetaraan akses dalam perencanaan pembangunan trotoar tidak tercapai lantaran pemerintah belum bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan pejalan kaki khususnya difabel, sehingga karena pemerintah mengetahui kebutuhan yang dimaksud tidak dapat



diterjemahkan kedalam suatu program pembangunan, maka akses menjadi tertutup. b. Kesetaraan Akses dalam Memanfaatkan Trotoar Pemer intah seperti yang dibahas sebelumnya menyadari dan mengakui bahwa trotoar di Kota Yogyakarta sebagian besar tidak aksesibel bagi seluruh masyarakat lantaran kondisinya yang buruk dan jauh dari ideal. Namun hal tersebut terjadi akibat kondisi lapangan yang tidak memungkin kan untuk dibangun dan bisa diakses oleh pejalan kaki



khususnya difabel. “...Lebar itu kalau nanti kita mengacu ke aturan yang dulu tahun 90an itu hanya boleh keluar 4m masuk 4m. Tapi begitu kita lihat riil dilapang an tanah mereka mukanya hanya 6m, tidak mungkin bisa dilaksan akan. Itu masalah lebar. Terus kemudia n masalah elevasi, kalau kita berbicar a masalah kenyama nan difabel, maka



kita harus membuat langsam. Dan kalau misal trotoarny a dengan lebar tertentu maka kita harus langsamk an sehingga bisa untuk kursi roda. Nah praktis dilapang an itu hampir sebagian besar trotoar dikota itu dengan lebar 1m aja sudah bersukur sekali karena keterbata san lahan. Begitu kita ingin menerap kan yang ideal untuk



difabel dengan kursi roda sudah susah sekali. Itu dari sisi lebarnya saja. Belum lagi nanti ada utilitasutilitas lain, tiang telfon, tiang PLN, apalagi nanti masalah perut (PKL).” (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PU, Sigit Setiawan: 2 Mei 2017). Jadi, alasan pemerintah belum mampu untuk menyediakan trotoar yang bisa diakses oleh seluruh elemen masyarakat adalah ketersediaan lahan. Jika lahan



yang digunakan untuk trotoar memungkinkan untuk dibuat ideal dengan dilakukan pelebaran serta penambahan fasilitas bagi difabel, itu akan dilakukan pemerintah. Tetapi pada kenyataan dilapangan, lahan untuk trotoar sangatlah sedikit dan apabila diperlebar akan memakan badan jalan yang justru membuat permasalahan lalu lintas. Ketika hal tersebut terjadi, pemerintah dibenturkan kepada dua hal yakni memprioritaskan kelancaran lalu lintas jalan atau pengguna trotoar. “...Contoh misalnya oh mau dijadikan percontohan untuk trotoar yang bagus, oke buat dulu aturannya. Sehingga nanti trotoar yang kurang dari 1m kita lebarkan.



Tapi konsekuensin ya berimbas pada jalan, padahal jalan itu lalu lintasnya sekian oh berarti harus ada manajemen lalu lintas yang ini harusnya dua arah menjadi satu arah karena akibat pelebaran trotoar. Jadi tidak bisa dipukul rata. Nanti ketika kita ketemu mengutamak an difabel maka kita nanti benturannya ke yang lain, lalu lintasnya.” “...mungkin nanti kalo trennya itu sudah seneng pada jalan kaki. Kalau sekarang kan trennya memang masyarakat jogja itu ke warung situ aja naik



motor kan” (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PU, Sigit Setiawan: 2 Mei 2017). Maka dari itu, pemerintah belum memprioritaskan pejalan kaki lantaran ada prioritas yang lebih utama yaitu kelancaran lalu lintas jalan. Selain itu, pemerintah juga menganggap bahwa pada saat ini tren untuk masyarakat berjalan kaki khususnya masyarakat kota Yogyakarta belum begitu tinggi sehingga trotoar yang benar-benar ideal belum begitu penting. Padahal seharusnya pemerintah tidak harus menunggu tren berjalan kaki masyarakat Yogyakarta meningkat lantaran menyediakan infrastruktur publik yang ideal, aman, dan nyaman adalah



keharusan bagi pemerintah dan hak bagi masyarakat. Jika ada anggapan seperti itu maka trotoar yang ideal tidak akan pernah terwujud lantaran kondisi saat ini tidak layak dan menyebabkan masyarakat enggan berjalan kaki lantaran tidak aman, nyaman, dan ideal, kemudian pemerintah menunggu tren berjalan kaki meningkat untuk memprioritaskan pejalan kaki, padahal yang membuat tren tersebut tidak meningkat adalah pemerintah itu sendiri yang terlalu melakukan pembiaran. Kemudian dari pihak Dinas Perhubungan yang memiliki kewenangan atas halte Transjogja serta parkir yang banyak terjadi diatas trotoar memberikan argumennya. Bahkan pihak Dinas Perhubungan



mengatakan bahwa mereka memiliki kewenangan terhadap keselamatan lalu lintas beserta pejalan kaki. “...Jadi kalau keselamatan itu memang juga menjadi salah satu kewenangan perhubungan . Makanya kita selalu konsen agar disetiap ruas jalan itu bisa disediakan trotoar atau dalam istilah kita itu fasilitas untuk pejalan kaki. Jadi biar dia tidak tercampur lalu lintas kendaraan. Jadi biar lebih safety. Jadi kalau dikatakan tentang kewenangan, itu kewenangan tidak langsung terkait dengan utamanya



keselamatan. ” (Kepala Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan , Heri Purwanto: 29 Mei 2017). “...Kalau terkait dengan penempatan nya di trotoar karena lahan ditempat kita kan sangat terbatas. Jadi kan memang kita lebar jalan juga sangat terbatas, sementara juga kita juga untuk menangani kemacetan lalu lintas itu memang dengan angkutan umum dan angkutan umum juga butuh prasarana berupa halte itu. Makanya akhirnya kita tempatkan di pinggir jalan



tapi akhirnya sama-sama tidak bisa maksimal, tidak bisa optimal. Tapi jadi ada halte tapi juga fungsi pejalan kakinya ada juga. Maka ketika kita buat perencanaan halte tetep diberikan akses untuk pejalan kaki.” (Kepala Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan , Heri Purwanto: 29 Mei 2017). Dari apa yang dikatakan oleh pihak Dinas Perhubungan mengenai pemanfaatan trotoar sebagai tempat untuk membangun halte Transjogja yang dibangun dengan tetap memberikan akses atau ruang untuk pejalan kaki



tidak sesuai dengan banyak fakta dilapangan. Pada kenyataannya, halte yang dibangun diatas trotoar selalu menghabiskan dan memakan badan trotoar secara keseluruhan sehingga akses bagi pengguna trotoar hilang. Kondisi tersebut menjadi berbanding terrbalik dengan kewenangan Dinas Perhubungan terkait keselamatan pejalan kaki lantaran media untuk berjalan kaki dengan aman dan nyaman yaitu trotoar telah diambil sendiri oleh Dinas Perhubungan untuk kepentingan lain. 2. Transparansi dan Akuntablitas a. Transparansi 1. Ketersediaan dan Aksesibilitas Dokumen Terkait transparansi yang dilakukan, Dinas



PU belum bisa memberikan transparansi kepada masyarakat secara langsung meskipun hal tersebut akan lebih baik jika dilaporkan secara langsung. Misalnya seperti sumber dana atau terkait informasi yang pada proses perencanaannya dibuat sendiri oleh pihak pemerintah tanpa mengundang pihak lain, itu belum bisa dilaporkan secara langsung kepada masyarakat lantaran dianggap tidak begitu urgent bagi masyarakat. Tetapi apabila masyarakat ingin mengetahui dan mencari seluruh informasi terkait perencanaan dan pembangunan trotoar dengan menemui langsung pihak pemerintah, pemerintah tidak akan menghalangi dan akan membuka seluruh informasi umum yang diinginkan.



Lantaran demikian, pihak PU menolak jika instansinya disimpulkan tidak transparan. PU mengatakan bahwa mereka sudah transparan dalam perencanaan dan pembangunan trotoar kepada masyarakat melalui dua hal yaitu ketika perencanaan dan ketika mulai pembangunan. Jadi pada awal perencanaan pembangunan atau pemeliharaan trotoar, pemerintah akan mengundang masyarakat untuk memberikan informasi bahwa di daerahnya akan dibangun trotoar atau trotoar di daerahnya akan dilakukan revitalisasi/pemeli haraan dengan design yang sudah dibuat oleh pemerintah. Design beserta dokumen pendukung lainnya akan diperlihatkan pada saat pertemuan dengan



masyarakat. Kemudian design tersebut disosialisasikan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui dan setuju terhadap apa yang akan dibangun di wilayahnya, sehingga ketika dilakukan pembangunan tidak ada protes dari masyarakat atau masyarakat yang merasa kebingungan dengan apa yang sedang dibangun oleh pemerintah melalui PU. Kemudian setelah pembangunan, pihak PU kembali mengundang elemen masyarakat untuk mensosialisasikan apa yang sudah dibangun berdasarkan kesepakatan dan sosialisasi pada tahap perencanaan. “Kalau ini laporannya tipenya ada dua. Pada saat perencanaan kemudian pada saat



mau pembanguna n. Abis itu kita ngundang lagi. Ini lho pak kemaren yang perencanaan tahun ini dikerjakan sekarang. Pada saat perencanaan itu nanti kita mengatakan kemungkinan ini akan dibangun tahun sekian, kalau didalam design itu tidak ada perubahan yang substansi kita gak ngundang masyarakat. ” (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PU, Sigit Setiawan: 2 Mei 2017). Pada tahap ini, pemerintah mampu untuk menyediakan atau memperlihatkan dokumen yang penting dan perlu disampaikan pada



masyarakat ketika melakukan pertemuan. 2. Kejelasan dan Kelengkapan Informasi Pada tahap ini, pemerintah mengungkapkan bahwa segala jenis informasi yang sifatnya umum dalam rencana pembangunan khususnya pembangunan trotoar dapat diakses oleh masyarakat secara bebas bertanggungjawab . Tetapi, pemerintah belum mampu untuk menyediakan informasi yang akan dibutuhkan masyarakat terkait perencanaan dan atau pembangunan pada media atau sesi khusus. Pemerintah mengatakan untuk hal tersebut pemerintah sangat terbuka terhadap segala informasi dan membolehkan masyarakat untuk mengaksesnya tetapi belum pada tahap menyediakan informasi yang



dimaksud tanpa diminta oleh masyarakat. “.. kalau masyarakat datang ke kita membutuhka n atau pengen tau nih rincian penggunaan anggaran atau dana, kita silahkan aja, bolehboleh saja kok mas karena itu memang sudah seharusnya jadi bentuk pertanggung jawaban kita kok. Cuma ya itu, kita belom bisa untuk menampilka n semuanya misal di web gitu, belum ada medianya. ... Bahkan mas pada saat pembanguna n masyarakat LPMK ataupun RW kalau minta RAB saya kasih kok itu.



Silahkan dicermati gitu.” (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PU, Sigit Setiawan: 2 Mei 2017). Maka dari itu, dalam hal kejelasan dan kelengkapan informasi dalam pembangunan trotoar, pemerintah mampu untuk bersikap transparan. Tetapi kekurangannya adalah pihak pemerintah tidak membuat hal tersebut bisa diakses kapan saja dan dimana saja sehingga fleksibilitas masyarakat dalam mencari informasi yang dibutuhkan menjadi terganggu. 3. Keterbukaan Proses Keterbukaan proses baik dari proses perencanaan dan atau pembangunan dapat dilakukan Pemerintah Kota



Yogyakarta. Keterbukaan proses tersebut dilakukan dengan mengadakan pertemuan khusus dalam tahap perencanaan terkait pembahasan pembangunan trotoar yang akan dilakukan, serta jika pada akhirnya terjadi perubahan ditengah proses pengerjaan, pertemuan tersebut akan dilakukan kembali oleh pemerintah. “Dari sisi perencanaan dan sebagainya (masyarakat diundang). Kalau ada perbedaan kita pasti ngundang lagi. Misal nih, kita merencanaka n jalan Cik Ditiro. Disitu panjangnya misal 1,5 km. Pada saat perencanaan ideal kita ajak masyarakat bahwa perencanaan



, tahun 2018 misalnya. Tapi ternyata pada tahun 2018 itu anggarannya gak sampe. Karena harus ada yang lebih prioritas misalnya. Dari walikota bahwa visi misi untuk tahun kedua itu harus misalnya yang ditonjolkan itu pembanguna n UMKM nya misalkan. nah itu kita komunikasik an.” (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PU, Sigit Setiawan: 2 Mei 2017). 4. Kerangka regulasi yang menjamin transparansi Dalam hal ini, kerangka regulasi yang menjamin transparansi sudah ada yang



mengatur khususnya dari pemerintah pusat sebagai bentuk implementasi birokrasi yang jujur dan bersih. Lebih jelasnya, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang sifatnya mengikat bagi lembaga publik tidak terkecuali Pemerintah Kota Yogyakarta. Undang-undang tersebut mengharuskan Pemerintah Kota Yogyakarta bersikap secara transparan dalam berbagai hal yang secara langsung mendorong pemerintah untuk menjamin transparansi. Dalam undangundang tersebut dikatakan bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu, serta keterbukaan informasi publik sebagai sarana yang bisa



dipakai oleh masyarakat untuk memonitor lembaga negara beserta penyelenggaran ya. b. Akuntabilitas 1. Akses Publik Terhadap Laporan Pada dasarnya hal ini tidak berbeda dengan apa yang dibahas sebelumnya dalam transparansi. Pemerintah Kota Yogyakarta membebaskan masyarakat untuk mengakses segala bentuk informasi atau laporan yang dibutuhkan. Bahkan untuk laporan akuntabilitas pemerintah, itu sudah ada lembaga atau otoritas yang rutin melakukan hal tersebut misalnya Kemenpan RB dan atau BPK dalam hal keuangan. “Kalau akuntabel kan lebih kepada transparansi nya, sudah



mas. Kita sudah banyak lah yang meriksa. Dari sisi perencanaan dan sebagainya. ” (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PU, Sigit Setiawan: 2 Mei 2017). Hal tersebut memang sudah menjadi suatu rutinitas bagi suatu lembaga pemerintahan dimana mereka dalam setiap periode waktu tertentu akan selalu dmintai akuntabilitasnya sebagai lembaga publik melalui berbagai laporan yang kemudian diperiksa oleh otoritas yang lebih berwenang misalnya melalui Laporan Kinerja Akuntabilitas Pemerintah kepada Kemenpan RB, dan akuntabilitas keuangan kepada BPK.



2. Penjelasan Terhadap Tindakan Pemerintah Akuntabilita s terhadap pembangunan trotoar dikatakan bahwa menurut pihak PU, lembaganya sudah akuntabel lantaran apa yang dibangun sesuai dengan apa yang direncanakan. PU mengklaim bahwa tindakan pemerintah yang dilakukan pada tahap perencanaan dan pembangunan telah sesuai kesepakatan bersama, sehingga jika ada perubahan ditengah pengerjaan maka PU dapat menjelaskan hal tersebut. “Kalau ada perbedaan kita pasti ngundang lagi. Misal nih, kita merencanaka n jalan Cik Ditiro. Disitu panjangnya misal 1,5 km. Pada saat perencanaan



ideal kita ajak masyarakat bahwa perencanaan , tahun 2018 misalnya. Tapi ternyata pada tahun 2018 itu anggarannya gak sampe. Karena harus ada yang lebih prioritas misalnya. Dari walikota bahwa visi misi untuk tahun kedua itu harus misalnya yang ditonjolkan itu pembanguna n UMKM nya misalkan. nah itu kita komunikasik an. Yang dulu sekian jadi sekian pak karena seperti ini. Jadi bentuk akuntabilitas nya seperti itu.” (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PU,



Sigit Setiawan: 2 Mei 2017). Dari sisi perencanaan dan pembanguna n, Dinas PU menganggap bahwa lembaganya sudah cukup akuntabel khususnya terkait kesesuaian antara perencanaan dan pembanguna n. Tetapi, sebagai bentuk akuntabilitas lain dari pemerintah yang harus memastikan masyarakatn ya aman dan nyaman ketika mengakses trotoar, Dinas PU mengatakan dan mengamini bahwa trotoar di kota Yogyakarta saat ini masih banyak yang belum masuk



dalam kategori aman bagi pejalan kaki. Padahal seharusnya sebagai bentuk akuntabilitas lain pemerintah yang menjamin keamanan masyarakat dalam mengakses infrastruktur publik, ketika trotoar diketahui belum aman maka harus dicarikan solusi secepat mungkin agar menjadi aman lantaran hal tersebut sangatlah penting ketika berbicara mengenai keamanan dan keselamatan. 3. Penjelasan harus dalam Forum Terbuka Dalam hal ini, pihak pemerintah khususnya



Dinas Pekerjaan Umum telah melakukan forum terbuka mengenai perencanaan dan pembangunan seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan transparansi. Jika pemerintah akan melakukan tindakan/pemba ngunan, maka pemerintah mengundang masyarakat dalam forum terbuka untuk mensosialisasik an hal tersebut. Pun demikian jika ada hal lain yang harus dijelaskan ditengah pengerjaan pembangunan trotoar (misalnya terjadi perubahan), masyarakat juga akan diundang dalam forum terbuka untuk memberi sosialisasi. 3. Keterlibatan Masyarakat a. Partisipasi dalam Tahap Perencanaan



Ketika proses perencanaan, masyarakat akan diundang untuk diberikan informasi dan sosialisasi mengenai trotoar yang akan dibangun/direvital isasi diwilayahnya. Dalam pertemuan tersebut, masyarakat diberikan informasi perencanaan oleh pemerintah sehingga apabila masyarakat tidak setuju ataupun memberikan kritik dan saran, pemerintah dapat menampungnya dalam sesi tersebut. Dengan demikian, ketika dilakukan pembangunan tidak ada protes dari masyarakat sekitar yang menganggap pembangunan yang dilakukan tidak sesuai dan atau lain sebagainya. Begitupun setelah pembangunan dilakukan, pemerintah akan kembali



mengundang masyarakat untuk menunjukan hasil dari kinerja mereka selama ini dan menunjukan bahwa apa yang dibangun adalah apa yang telah disepakati dan direncanakan bersama-sama. Namun ketika ada perubahan ditengah proses pembangunan., pemerintah akan segera kembali mengundang masyarakat untuk menginformasikan hal tersebut. “Hal ini kalau konteks sebagai pemangku kepentingan iya. Jadi misalnya saya merencanaka n trotoar di jalan mana, itu maka masyarakat sekitar yang kami libatkan” “Nah begitu akan kita perbaiki maka kita ngundang masyarakat



yang berkepenting an disitu. Contoh misalnya daerah tersebut adalah daerah pertokoan, maka dia memerlukan akses untuk keluar masuk pertokoan. Maka disitu kita perlu akan keterlibatan mereka” (Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas PU, Sigit Setiawan: 2 Mei 2017). b. Partisipasi dalam Tahap Pelaksanaan Terkait keterlibatan masyarakat dalam rangka pelaksanaan pembangunan trotoar, konteks ini bisa juga diartikan sebagai patisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam mendukung pembangunan



atau pemeliharaan sesuai kapasitas yang bisa dilakukan seperti memberikan laporan, kritik dan atau saran. Dalam memberikan laporan, kritik dan saran mengenai kondisi existing trotoar di kota Yogyakarta, pemerintah juga memberikan akses terhadap hal tersebut melalui laporan online milik Pemerintah Kota Yogyakarta yang dinamakan UPIK (Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan). Setiap masyarakat yang melihat secara langsung kondisi trotoar yang rusak ataupun masyarakat yang menganggap bahwa salah satu ruas trotoar berbahaya, maka masyarakat bisa melaporkan hal tersebut melalui UPIK dengan mengakses upik.jogjakota.go. id. Dari laporan tersebut yang kemudian akan diterima oleh



Dinas PU, Dinas PU akan memberikan tanggapan terhadap laporan tersebut apakah laporan tersebut masuk dan akan ditindaklanjuti atau masuk dan sudah diterima tetapi tidak bisa langsung ditindaklanjuti. “Kalo dari sisi ke PU an, ini yang bisa ditangani PU saja. Misalnya trotoar ambrol, guiding blocknya rusak, itu langsung kita tangani. Tapi begitu mengatakan pak itu kurang lebar, pak itu elevasinya harus naik turun, tapi begitu dilapangan yang punya toko tokonya saja udah masuk begini kalau kita naikan ya mereka gabisa.



Kritik dan sarannya itu lewat UPIK ada, maka responnya ya semampu yang bisa kita. Begitu sudah berbenturan dengan tata ruang kemudian kepentingan ekonomi masyarakat, ya seperti yang diutarakan tadi mau diprioritaska n yang mana dulu gitu. Itu yang mampu kami laksanakan. Kalau memang mau yang ideal ya harus sadar kalau memang trotoar mau difungsikan untuk pejalan kaki ya semuanya harus berbesar hati, PKL ya jangan disitu.” (Kepala Seksi Jalan dan



Jembatan Dinas PU, Sigit Setiawan: 2 Mei 2017). Dinas PU akan menindaklanjuti dalam waktu dekat jika laporan yang diterima menurut mereka merupakan laporan yang bisa ditindaklanjuti oleh PU seperti trotoar rusak dan lain sebagainya. Tetapi jika laporan yang diterima meminta untuk dilakukan pelebaran dan lain sebagainya, Dinas PU tidak bisa menindaklanjuti hal tersebut secara langsung lantaran adanya keterbatasan lahan jalan, serta seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa PU akan menentukan skala prioritas. Maka dari itu sebenarnya masyarakat dilibatkan dari



mulai perencanaan sampai setelah selesai dibangun, begitupun masyarakat diberikan akses untuk memberikan kritik dan saran terhadap pembangunan secara langsung kepada pemerintah, namun kemudian pemerintah tidak bisa menindaklanjuti hal tersebut seluruhnya lantaran terkendala halhal yang sudah sulit untuk ditindaklanjuti dilapangan. C. Partisipasi dalam Pemanfaatan Dalam hal ini masyarakat belum seluruhnya bisa berpartisipasi dan sadar akan pemanfaatan tersebut. Dikatakan demikian lantaran belum semua masyarakat bisa untuk mengakses trotoar dengan aman dan



nyaman. Tetapi salah satu penyebab terutupnya partisipasi pemanfaatan tersebut juga akibat tidak sadarnya masyarakat akan fungsi dan pentingnya trotoar sehingga masyarakat sendiri banyak yang menyalahgunakan demi kepentingan pribadi atau kelompok. PENUTUP KESIMPULAN Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa trotoar di kota Yogyakarta secara fisik saat ini tidak ideal bagi pejalan kaki tetapi secara perencanaan sebagian besar telah memenuhi dan sesuai dengan prinsip good urban governance meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan konsep tersebut. Tetapi, dengan tidak terpenuhinya trotoar yang ideal bagi pejalan kaki menjadikan kota



Yogyakarta bukan merupakan good urban. Konsep good urban governance yang dijadikan indikator dalam penelitian ini diantaranya kesetaraan akses, transparansi dan akuntabilitas, serta keterlibatan masyarakat. Hal yang paling tidak terpenuhi adalah dari sisi kesetraan akses baik dari sisi perencanaan maupun hasil dari pembangunan berupa fisik trotoar yang sudah ada saat ini. Dari sisi perencanaan, pemerintahan belum mampu untuk mewujudkan kesetaraan akses bagi seluruh pihak khususnya masyarakat sebagai pengakses infrastruktur kota. Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas PU dalam perencanaan trotoar hanya mengundang masyarakat sekitar wilayah yang akan dilakukan



pembangunan dan pemilik utilitas yang berada di trotoar, sedangkan masyarakat yang berkebutuhan lain seperti difabel tidak diundang oleh pemerintah. Hal tersebut lantaran pemerintah menganggap bahwa apa-apa yang sekiranya akan diinginkan oleh kaum difabel dalam perencanaan tidak bisa diwujudkan dalam pembangunan. Dari segi hasil pembangunan dan kondisi trotoar di kota Yogyakarta yang ada saat ini diakui oleh Dinas PU masih jauh dari ideal bagi pejalan kaki serta masih banyak yang belum aman dan hal tersebut terjadi disebagian besar trotoar kota Yogyakarta. Hal tersebut terjadi akibat dua hal. Pertama, keterbatasan lahan di kota Yogyakarta yang mengakibatkan trotoar hanya



dibangun seadanya dan jauh dari ideal tanpa fasilitas tambahan bagi difabel. Kedua, skala prioritas dimana pemerintah lebih memprioritaskan kelancaran lalu lintas dibandingkan pejalan kaki. Kemudian trotoar di kota Yogyakarta banyak yang sudah cukup lebar dan terdapat fasilitas bagi difabel tetapi terhalang oleh fasilitas publik lain misalnya halte Transjogja. Hal tersebut menurut Dinas Perhubungan terjadi lantaran tidak ada opsi lain untuk membangun halte selain diatas trotoar akibat lahan yang terbatas sehingga trotoar dan pejalan kaki kembali dikorbankan. Untuk mengatasi hal tersebut saat ini Dinas Perhubungan belum memiliki rencana jangka pendek maupun jangka panjang



yang nyata sehingga kondisi tersebut masih akan tetap terjadi dalam beberapa tahun kedepan. Mengenai Transparansi dan akuntabilitas serta keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan trotoar di kota Yogyakarta, pihak pemerintah khususnya Dinas PU dan Dinas Perhubungan dapat dikatakan telah transparan dan akuntabel serta selalu melibatkan masyarakat sebagai pihak yang harus diperhatikan dalam pembangunan trotoar di kota Yogyakarta, serta pemerintah selalu memberikan laporan kepada masyarakat jika hal tersebut dibutuhkan. REKOMENDAS I 1. Jika pemerintah tidak mampu menyediakan trotoar yang



2.



ideal karena pada beberapa ruas jalan terkendala lahan, maka pemerintah tetap harus memperbaiki dan atau membangun trotoar yang ideal tersebut pada wilayah tertentu yang memiliki volume pejalan kaki yang tinggi seperti daerah pusat pendidikan, pusat ekonomi, dan pusat pelayanan publik lainnya. Trotoar yang sudah ideal seperti di Jalan Cik Ditiro dimana terdapat sekolah, rumah sakit serta pasar swalayan harus disterilkan dari PKL dan halte Trans Jogja lantaran hal tersebut menghalangi trotoar dan



menghambat pejalan kaki. 3. Dalam melakukan perencanaan pemerintah harus mengundang seluruh pihak tanpa terkecuali (misalnya pihak difabel yang tidak diikut sertakan) lantaran hal tersebut adalah hak masyarakat. 4. Setiap stakeholders baik itu pihak swasta ataupun pemerintah yang memiliki kepentingan dan kewenangan di trotoar harus memiliki rencana jangka panjang untuk menciptakan trotoar yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki di kota Yogyakarta. Rencana jangka panjang tersebut bisa dilakukan bertahap, tidak harus dalam



kurun waktu satu atau dua tahun harus terlaksana, yang terpenting adalah adanya progress perbaikan, pembangunan, dan atau revitalisasi fisik trotoar. 5. Setiap SKPD yang bertanggung jawab atas kondisi fisik dan pemanfaatan trotoar harus memiliki visi dan misi yang sama untuk mewujudkan trotoar yang ideal. Parkir liar, halte, PKL, dan lain sebagainya yang menjadi penghalang harus diatasi oleh SKPD masing-masing dengan visi yang terintegasi bersama agar tidak ada tumpang tindih kebijakan yang nantinya akan membuat permasalahan di trotoar teratasi.



Misalnya Dishub fokus mengatasi parkir liar dan halte diatas trotoar, Dinas PU fokus terhadap pembangunan fisik trotoar, Dinas Perindagkop fokus mengatasi PKL diatas trotoar dan lain sebagainya. 6. Setiap SKPD harus menghargai fasilitas publik beserta hak pemakainya yang sudah ada, dan tidak boleh berpikiran pendek tanpa ada rencana jangka panjang untuk memakai trotoar sebagai tempat untuk ditempatkanny a fasilitas publik yang lain yang menghilangkan fungsi utama trotoar. DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal, Penelitian dan Artikel



Abe, Alexander. (2005). Perencanaan Daerah Partispatif. Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri. Awang, San Afri. (1999). Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: CCS Budiati, Lilin. (2012). Good Governance dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: PT Ghalia Indonesia. Budihardjo dan Djoko Sujarto. (2009). Kota Berkelanjutan. Bandung: PT Alumni. Cohen, John M. dan Norman Thomas Uphoff. (1977). Rural Development Participation: Concepts and Measures for Project Design, Implementatio n and Evaluation. New York:



Cornell University. Conyers, Diana. (1991). Perencanaan Sosial Dunia Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Creswell, W. John. (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. New York: Sage Publications. Fraenkel Jack R. dan Norman E. Wallen. (1990). How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill Publishing Company. Gilbert, A. (2006). Good Urban Governance: Evidence from a Model City?. Bulletin of Latin American Research, 25 (3), 392-419.



Hendriks, F. (2014). Understanding Good Urban Governance: Essentials, Shifts, and Values. Urban Affairs Review, 50 (4), 553576. Heryanto, Bambang. (2011). Roh dan Citra Kota. Surabaya: Brilian Internasional. Kurniawan Pratama, Arief. (2013). Fragmentasi Birokrasi dan Implikasinya dalam Pengelolaan Fungsi Trotoar Studi Kasus: Jalan Hayam Wuruk Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta. Skripsi. Fisipol, Manajemen dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mardikanto, Totok. (1994). Bunga Rampai



Pembangunan Pertanian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Melville, C. Branen. (1995). Perencanaan Kota Komprehensif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Muluk, Khairul. (2007). Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah. Malang: Banyumedia. Nurmandi, Achmad. (2014). Manajemen Perkotaan. Yogyakarta: Jusuf Kalla School of Government Universitas Muhammadiya h Yogyakarta. Raco, J.R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo Sabari Yunus, Hadi. (2011). Manajemen Kota Perspektif Spasial. Yogyakarta:



Pustaka Pelajar. Santoso, Widjajanti Mulyono. (2016). Ilmu Sosial di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Soejachmoen, Kuki. H. (2004). Keselamatan Pejalan Kaki dan Transportasi. Artikel. Slamet, Y. (1992). Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press. Sheng, Y.K (2010). Good Urban Governance in Southeast Asia. Environment and Urbanization ASIA, 1(2), 131-147. Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan



Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sumarto, Hetifah. (2003). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tangkilisan, Hessel Nogi. (2005). Manajemen Publik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Winarno, Budi. (2008). Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Jakarta: Erlangga.



Undang-Undang Republik Indonesia. 1965. UndangUndang No 18 tahun 1965, tentang PokokPokok



Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. 1980. Undang-Undang No 13 Tahun 1980, tentang Jalan. Republik Indonesia. 1999. UndangUndang No 22 Tahun 1992, tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia. 2009. UndangUndang No 22 Tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2010, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Artikel Berita dan Laman Badan Pusat Statistik, 2015,



BPS http://bps.go.id /linkTabelStatis /view/id/1276.h tml diakses tanggal 12 September 2016 Fauziah, Lutfi. (2016). Daffa, Trotoar dan Hak Pejalan Kaki, National Geographic http://nationalg eographic.co.id /berita/2016/04 /daffa-trotoardan-hakpejalankaki.html diakses tanggal 17 Juli 2017



Dimulai, Ini Tahapannya, Harian Jogja http://www.hari anjogja.com/ba ca/2016/04/20/ penataanmalioboropembangunantrotoarmalioborodimulai-initahapannya712256.html diakses tanggal 29 Mei 2017



Ikatan Ahli Perencanaan, (2014). Indonesia Most Livable City Index 2014, IAP http://www.iap. or.id/publicatio ns/indonesiamost-liveablecity-index2014.html diakses tanggal 2 Februari 2017



Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, (2014). Upik Dongkrak Partisipasi Masyarakat di Kota Yogyakarta https://www.m enpan.go.id/cer ita-suksesrb/2254-upikdongkrakpartisipasimasyarakat-dikotayogyakarta.htm l diakses tanggal 15 Juni 2017



Jiwana. Gilang. (2016). Pembangunan Trotoar Malioboro



Pemerintah Kota Yogyakarta, Kondisi Geografis Kota Yogyakarta



http://www.jogj akota.go.id/abo ut/kondisigeografis-kotayogyakarta.htm l diakses tanggal 18 September 2016 Pemerintah Kota Yogyakarta, (2016). Bappeda Kota Yogyakarta Gelar Training dan Workshop Perencanaan Kota Inklusi, https://www.jo gjakota.go.id/n ews/BappedaKotaYogyakartaGelar-Trainingdan-WorkshopPerencanaanKotaInklusi.html diakses tanggal 15 Juni 2017 Sabandar, Switzy. (2016). Kritik Para Difabel Atas Trotoar Kota Yogyakarta, Liputan6 http://regional.l iputan6.com/re ad/2686208/kri tik-paradifabel-atastrotoar-kotayogyakarta .html diakses



tanggal 15 Juni 2017 Sajarwo, Gandang. (2013). Problem Kemacetan Ancam Kota Jogja, Kompas http://regional. kompas.com/re ad/2013/03/08/ 10421493/Prob lem.Kemacetan .Ancam.Kota.J ogja.html diakses tanggal 19 September 2016 Setiawan, Priyo. (2012). 80 Persen Trotoar di Kota Yogyakarta Tak Layak Digunakan, Okezone http://news.oke zone.com/read/ 2012/08/29/51 0/682286/80trotoar-di-kotayogyakartatak-layakdigunakan.html diakses tanggal 19 september 2016 Teristi Ardi, Hadi. (2012). Yogyakarta Bertekad Ciptakan Kenyamanan Bagi Pejalan



Kaki, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia http://www.wal hijogja.or.id/inde x.php/ruangmedia/walhidi-media/265yogyakartabertekadciptakankenyamananbagi-pejalankaki.html diakses tanggal 16 Juni 2017 University College London, The Global Campaign for Good Urban Governance, http://www.ucl. ac.uk/dpuprojects/drivers _urb_change/ur b_governance/ pdf_trans_corr upt/HABITAT_ Global_Campa ign_Good_Urb an_Governance .pdf.html diakses tanggal 5 September 2016