Analisis Kasus Perlindungan Konsumen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN SERTA PELAKU USAHA 1. KONSUMEN a.



Hak-hak konsumen Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban.



Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut : 



Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.







Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .







Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.







Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.







Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.







Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.







Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.







Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.







Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan



dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hakhak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh



1



pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang”. Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hakhak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya. b.



Kewajiban Konsumen Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,



Kewajiban Konsumen adalah : 



Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.







Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.







Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.







Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.



2.



PELAKU USAHA a. Hak Pelaku Usaha Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku



usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah: 



Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.







Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.







Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. 2







Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.







Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. b. Kewajiban Pelaku Usaha Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:







Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.







Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.







Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.







Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.







Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;







Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;







Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha



bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.



3



B.



PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17



UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni: a)



Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8).



b)



Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16).



c)



Larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17). Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK,



yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : 



Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;







Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;







Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;







Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;







Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;







Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;







Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;







Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.







Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat 4



sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat. 



Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang



makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi. Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut: Ayat (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Ayat (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut: Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi. Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna. Bekas: sudah pernah dipakai. Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi). Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda 5



tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi. Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah: Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. C. TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum. Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen. Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19 Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila : Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan Cacat barang timbul pada kemudian hari. Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.



6



Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan



D. SANKSI BAGI PELAKU USAHA Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Sanksi Perdata : Ganti rugi dalam bentuk :



- Pengembalian uang atau



- Penggantian barang atau



- Perawatan kesehatan, dan/atau



- Pemberian santunan



Ganti



rugi



diberikan



dalam



tenggang



waktu



7



hari



setelah



tanggal



transaksi



Sanksi Administrasi : maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25.



7



Sanksi Pidana :



Kurungan



:



- Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18.



- Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f.



* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.



* Hukuman tambahan , antara lain :



o Pengumuman keputusan Hakim



o Pencabuttan izin usaha.



o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.



o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.



o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .



8



E. CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengungkapkan hasil investigasinya mengenai produk pembalut dan pantyliner yang mengandung zat berbahaya bagi kesehatan. Menurut YLKI, perempuan Indonesia terancam mengidap keputihan, kanker, dan infertilitas akibat penggunaan pembalut dan pantyliner tersebut. Penelitian terbaru dari YLKI menunjukkan bahwa sebagian besar pembalut yang terdaftar di Kementerian Kesehatan dan beredar di pasaran ternyata mengandung klorin dengan kadar yang beragam. Pengujian kadar klorin dilakukan pada Januari-Maret 2015 di laboraturium independen yang terakreditasi dengan mengambil sampel sembilan merek pembalut dan tujuh merek pantyliner yang dijual di retail moderen (supermarket). Hasil pengujian lab menunjukkan bahwa seluruh sampel mengandung klorin dengan rentang 5 sampai dengan 55 ppm. ANALISIS Menurut analisis saya pada kasus diatas, pihak konsumen sangat dirugikan dan produk yang dikeluarkan oleh produsen amat sangat membahayakan konsumen, hal tersebut sangat jelas dilarang dan telah melanggar peraturan perundangan yang berlaku dalam hal ini UU No. 8 Tahun 99 Tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan kasus diatas pihak produsen melanggar: 



Pasal



8



Ayat



1



Butir



a



UUPK



:



Pelaku



usaha



dan/atau



jasa



dilarang



memproduksi/memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan. 



Pasal



8



Ayat



1



Butir



e



UUPK



:



Pelaku



usaha



dan/atau



jasa



dilarang



memproduksi/memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. 



Pasal 8 Ayat 4 UUPK : Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. 9



Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan diatas pembalut dan pantyliner yang diproduksi oleh produsen tidak sesuai dan tidak memenuhi standar produksi pembalut dan pantyliner karena jelas-jelas setelah diteliti oleh YLKI pembalut dan pantyliner tersebut mengandung klorin suatu zat berbahaya yang bias menyebabkan keputihan, kanker, dan infertilitas, karena standar suatu produk harus mengutamakan bahan-bahan yang aman untuk dikonsumsi dan/atau digunakan oleh konsumen. Selanjutnya adalah tidak sesuai dengan komposisi, bahwa pembalut yang diproduksi oleh pelaku usaha tidak mencantumkan komposisi klorin tersebut dalam kemasan karena sudah jelas ketika kandungan atau komposisi tersebut dicantumkan tidak akan mendapatkan izin dari BPOM. Penyelesaian dari kasus tersebut adalah pihak produsen yang memproduksi maupun pelaku usaha yang menjual pembalut dan pantyliner yang mengandung klorin tersebut wajib menarik barang tersebut dari pasaran. Sesuai dengan Pasal 1 Ayat 4 UUPK. Selain dari pelaku usaha dan/atau produsen, kasus ini pun harus mendapatkan perhatian penting dalam hal pengawasan dan tanggungjawab dari pemerintah itu sendiri yang tercantum dalam Pasal 29 dan 30 UUPK serta peran dari BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL dalam rangka pengembangan upaya perlindungan konsumen di Indonesia.



10



HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN 1. Hak-hak konsumen Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :         



Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan . Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa. Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.



Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”. Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya. 2.



Kewajiban Konsumen Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah : 



Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. 11



  



Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA



1.



Hak Pelaku Usaha Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:     



2.



Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.



Kewajiban Pelaku Usaha Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:     



 



Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.



Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha. PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA 12



Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni: 1.



larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )



2.



larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)



3.



larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)



Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :     



   







Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.



Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi. Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut: (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.



13



UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:    



Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi. Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna. Bekas: sudah pernah dipakai. Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).



Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi. Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah: (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum. Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen. Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19 Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :    



Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan Cacat barang timbul pada kemudian hari. Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.



Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan SANKSI BAGI PELAKU USAHA 14



Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Sanksi Perdata : Ganti rugi dalam bentuk : -Pengembalian uang atau -Penggantian barang atau -Perawatan kesehatan, dan/atau -Pemberian santunan Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi Sanksi Administrasi : maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25 Sanksi Pidana : Kurungan : -Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18 -Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f * Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian * Hukuman tambahan , antara lain : o Pengumuman keputusan Hakim o Pencabuttan izin usaha. o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa. o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa. o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .



KASUS 1 “INDOMIE DI TAIWAN” Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.



15



Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntahmuntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker. Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini. Analisis kasus berdasarkan Undang - Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Kasus penarikan indomie di Taiwan dikarena pihak Taiwan menuding mie dari produsen indomie mengandung bahan pengawet yang tidak aman bagi tubuh yaitu bahan Methyl PHydroxybenzoate pada produk indomie jenis bumbu Indomie goreng dan saus barbeque. Hal ini disanggah oleh Direktur Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya. Permasalahan diatas bila ditilik dengan pandangan dalam hokum perlindungan maka akan menyangkutkan beberapa pasal yang secara tidak langsung mencerminkan posisi konsumen dan produsen barang serta hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh produsen. Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang berhubungan dengan kasus diatas serta jalan penyelesaian:    



Pasal 2 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 3 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 (c) UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7 ( b dan d )UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen



16



Perlu ditilik dalam kasus diatas adalah adanya perbedaan standar mutu yang digunakan produsen indomie dengan pemerintahan Taiwan yang masing-masing berbeda ketentuan batas aman dan tidak aman suatu zat digunakan dalam pengawet,dalm hal ini Indonesia memakai standart BPOM dan CODEX Alimentarius Commission (CAC) yang diakui secara internasional. Namun hal itu menjadi polemic karena Taiwan menggunakan standar yang berbeda yang melarang zat mengandung Methyl P-Hydroxybenzoate yang dilarang di Taiwan. Hal ini yang dijadikan pokok masalah penarikan Indomie. Oleh karena itu akan dilakukan penyelidikan dan investigasi yang lebih lanjut. Untuk menyikapi hal tersebut PT Indofood Sukses Makmur mencantumkan segala bahan dan juga campuran yang dugunakan dalam bumbu produk indomie tersebut sehingga masyarakat atau konsumen di Taiwan tidak rancu dengan berita yang dimuat di beberapa pers di Taiwan. Berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya. Direktur Indofood Franciscus Welirang bahkan menegaskan, isu negatif yang menimpa Indomie menunjukkan produk tersebut dipandang baik oleh masyarakat internasional, sehingga sangat potensial untuk ekspor. Menurutnya, dari kasus ini terlihat bahwa secara tidak langsung konsumen di Taiwan lebih memilih Indomie ketimbang produk mie instan lain. Ini bagus sekali. Berarti kan (Indomie) laku sekali di Taiwan, hingga banyak importir yang distribusi.



KASUS 2 “Kasus Penarikan Produk Obat Anti-Nyamuk HIT” Pada hari Rabu, 7 Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia, sementara yang di pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung. HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006.Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT. Masalah lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini menjadi tanggung jawab BPOM. Namun Kepala BPOM periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat nyamuk harus terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM.Ternyata pada kenyataanya, 17



selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan. Deptan akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas terjadi tumpang tindih tugas dan kewenangan di antara instansi-instansi tersebut. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu : 1. a. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, peraturan yang berlaku, ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya. b. Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang dan/atau jasa yang menyangkut berat bersih, isi bersih dan jumlah dalam hitungan, kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran, mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu, janji yang diberikan. c. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang tertentu, informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku d. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label e. Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih, komposisi, tanggal pembuatan, aturan pakai, akibat sampingan, ama dan alamat pelaku usaha, keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat. f. Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 2. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa. a. Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu, dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu. b. Secara tidak benar dan seolah -olah barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu, dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi, telah tersedia bagi konsumen, langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain, menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap, menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti, dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan, dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji, dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan. 3. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai : a. Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan. b. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa. c. Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa. 18



4. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan. b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa. c. Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. 5. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis. 6. Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi. b. Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain. c. Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.



KASUS 3 “Keterlambatan Maskapai Penerbangan Wings Air” Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit. Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli.Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal. DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.



19



ANALISA



Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam arti Luas. Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi.Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat. Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah



tindak



pidana



ekonomi



yang



secara



tegas



melanggar



Undang-Undang



7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi. Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU.RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK).UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama 20



disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif dapat dilindungi. Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer. Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi 21



serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum Perdata. Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,,namun



dengan



tidak



mengesampingkan



prinsip



Ultimum



Remedium.



Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni: (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undangundang



ini.



Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari



22



pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya. Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen.Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen.Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan. Analisis Agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka kita sebagai konsumen harus lebih teliti lagi dalam memilah milih barang/jasa yang ditawarkan dan adapun pasal-pasal bagi konsumen, seperti: 1. 2. 3. 4.



Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk; Teliti sebelum membeli; Biasakan belanja sesuai rencana; Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan; 5. Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan; 6. Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa; Pasal 4, hak konsumen adalah : a. Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”. b. Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas asalnya, 1 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample.Pada tahun 2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.Hasil kajian dan analisa BPKN juga masih menemukan adanya penggunaan bahan 23



terlarang dalam produk makanan Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil yellow). c. Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”. d. Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi makanannya bahkan mencampur adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui informasi komposisi bahan makanannya. KASUS 4 “ANALISIS KASUS SUSU FORMULA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN” Di Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih. Hal-hal ini menyangkut kepentingan konsumen memang masih sangat miskin perhatian. Setelah setahun menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47 merk susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Hasil survei menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri Enterobacter Sakazakii. Hasil ini berbeda dengan temuan penelitian Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi E. Sakazakii . Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi. Tanggung Jawab Produk Dalam perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Doktrin tersebut selaras dengan doktrin perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUHPerdata) yang menyatakan, “Tiap per buatan melanggar hukum yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.” Doktrin tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Selama ini, kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah wanprestasi (default). Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dan pengusaha, kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah diisyaratkan. Bila tidak, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum. Jadi, konsumen dihadapkan pada beban pembuktian berat, karena harus 24



membuktikan unsur melawan hukum. Hal inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses produksinya adalah pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak lalai dalam proses produksinya. Untuk membuktikan unsur "tidak lalai" perlu ada kriteria berdasarkan ketentuan hukum administrasi negara tentang "Tata Cara Produksi Yang Baik" yang dikeluarkan instansi atau departemen yang berwenang. Kedigdayaan Produsen Berdasarkan prinsip kesejajaran kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen, hal itu mestinya tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan semua unsur perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin perbuatan melawan hukum dalam perkara konsumen, seyogiannya dilakukan "deregulasi" dengan menerapkan doktrin strict product liability ke dalam donktrin perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat dijumpai landasan hukumnya dalam pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menegaskan bahwa penjual bertanggung jawab adanya "cacat tersembunyi" pada produk yang dijual. Menurut doktrin strict product liability, tergugat dianggap telah bersalah (presumption of quality), kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan. Seandainya ia gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko kerugian yang dialami pihak lain karena mengkonsumsi produknya. Doktrin tersebut memang masih merupakan hal baru bagi Indonesia. Kecuali Jepang, semua negara di Asia masih memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha. Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita, apabila perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law) Walhasil, berkait kasus susu formula ada hal yang patut ditarik pelajaran. Ternyata, selama ini yang masih terpampang adalah “kedigdayaan” produsen atau pelaku usaha termasuk pengambil kebijakan. Terlihat, pihak-pihak terkait bersikap defensif dengan seolah menantang konsumen yang merasa dirugikan untuk membuktikan unsur “ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap sebuah produk. Padahal, pihak-pihak berwenanglah yang harus membuktikan apakah betul ada kesalahan/kelalaian dalam produknya tersebut. ANALISIS Berdasarkan studi kasus diatas, perlindungan konsumen di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini terlihat ketika Kementerian Kesehatan baru mengumumkan setelah setahun lamanya para konsumen susu formula bayi ingin mengetahui fakta bahwa susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan tersebut apakah mengandung bakteri Enterobacter Sakazakii atau tidak. Namun fakta yang diumumkan oleh Kementerian Kesehatan tidak sesuai dengan hasil penelitian dari temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi E. Sakazakii Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi. Dalam perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang 25



Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.



26



Transaksi Jual Beli/Belanja Online Menurut UU Perlindungan Konsumen Dengan pendekatan UU Perlindungan Konsumen, kasus yang Anda sampaikan tersebut dapat kami simpulkan sebagai salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen. Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa hak konsumen adalah: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.



Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen adalah: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.



Terkait dengan persoalan yang Anda tanyakan, lebih tegas lagi Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi 27



penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang. Anda selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU Perlindungan Konsumen tersebut berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU Perlindungan Konsumen berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Apabila pelaku usaha melanggar larangan memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut, maka pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi: Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen Menurut UU ITE dan PP PSTE Transaksi jual beli Anda, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan Anda untuk membeli barang secara online dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami katakan juga sebagai salah satu bentuk Kontrak Elektronik.[1] Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP PSTE dianggap sah apabila: a. terdapat kesepakatan para pihak; b. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. terdapat hal tertentu; dan d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.



Kontrak Elektronik itu sendiri setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut:[2] a. b. c. d.



data identitas para pihak; objek dan spesifikasi; persyaratan Transaksi Elektronik; harga dan biaya; 28



e. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak; f. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan g. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.



Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang Anda lakukan, Anda dapat menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahan Anda. Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Lebih lanjut ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.[3] Jika Barang yang Anda Terima Tidak Sesuai dengan yang Diperjanjikan Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi. Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak sesuai dengan foto pada iklan took online tersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual. Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”, wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu: a. b. c. d.



Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.



Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/web site). Pidana Penipuan dalam Transaksi Jual Beli Online Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan sebelumnya tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata. Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit 29



dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli. Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut: Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut: Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE ini diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yakni: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sebagai referensi mengenai jual beli online Anda juga dapat baca artikel Pasal untuk Menjerat Pelaku Penipuan dalam Jual Beli Online. Catatan tentang Transaksi Secara Online Berdasarkan pengamatan dan pengalaman kami, prinsip utama transaksi secara online di Indonesia masih lebih mengedepankan aspek kepercayaan atau “trust” terhadap penjual maupun pembeli. Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment gateway), jaminan keamanan dan keandalan website electronic commerce belum menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli melalui jejaring sosial, komunitas online, took online, maupun blog). Salah satu indikasinya adalah banyaknya laporan pengaduan tentang penipuan melalui media internet maupun media telekomunikasi lainnya yang diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian Komunikasi dan Informatika. 30



Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-hatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli secara online. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.



[1] Pasal 47 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 47 ayat (1) PP PSTE [2] Pasal 48 ayat (3) PP PSTE [3] Pasal 49 ayat (2) PP PSTE



31



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. B. 1. 2. 3.



Rumusan Masalah Apa Pengertian dari Pelindungan Konsumen? Bagaiman Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen? Bagaimana Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ?



BAB II PEMBAHASAN A. Penjelasan Umum Perlindungan Konsumen Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Didalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen dan konsumen antara. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hokum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Disamping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan /atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Konsumen membutuhkan produksi barang atau jasa sesuai dengan keperluan sehari-hari. Masyarakat yang memproduksi barang dan jasa perlu memerhatikan kebutuhan-kebutuhan konsumen yang mengonsumsi. Sehubungan dengan konsumsi John M Keynes berpendapat, “ He argued that proper role of a national government is to make up for private undercomsumption by 32



undertaking its own spending on final goods and services and by reducing taxes to stimulate increased private spending.” Jumlah penduduk yang semakin meningkat memberikan dorongan pada peningkatan konsusmsi. Kebutuhan konsumsi masyarakat berpenduduk banyak, membutuhkan pelayanan yang bervariasi. Konsumsi yang bervariasi memudahkan produsen dalam memenuhi salah satu jenis konsumsi yang dibutuhkan masyarakat. Anggota masyarakat pedesaan maupun perkotaan mempunyai kekhusussan prosuksi yang dibutuhkan untuk konsumsi dirinya dan konsumen. Masyarakat yang memiliki pengetahuan ilmu konsumsi diharapkan mampu memproduksi barang atau jasa untuk di konsumsi sendiri maupun konsumen. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindunga Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Konsumen menurut Undang-Undang adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. Dalam hal ini, Undang-Undang hanya menekankan pada sifat penggunaan dan pemakaian barang atau jasa tersebut, dengan tidak membedakan untuk kepentingan siapa barang atau jasa tersebut dipakai atau dipergunakan. Di samping itu, undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaanya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti : 1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang barang, menjadi undang-undang ; 2. Undang-undang Nomor 2 tahun 1966 tentang Hygiene 3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1975 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah 4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal 5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan 6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang perindustrian 33



7. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan 8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri 9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tenatang Kesehatan 10. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Aggrement Establishing The World Trade Organizatioan ( Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia ) 11. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas 12. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil 13. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan 14. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 15. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan AtasUndang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten 16. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek 17. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 18. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran 19. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan 20. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Perlindungan Konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek yang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.



B. Asas dan Tujuan Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu : 1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan, dimaksukan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil maupun spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas kemanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum, dimasudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. 34



Perlindungan konsumen bertujuan: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan.atau jasa 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen 4. Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentinganya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. C. Hak dan Kewajiban Berdasarkan Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, hak dan kewajiban konsumen antara lain sebagai berikut: 1. Hak Konsumen a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunkan e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsmen secara patut f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen g. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak semana mestinya i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 2. Kewajiban Konsumen a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa c. Membayar seusai dengan nilai tukar yang disepakati d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut: 1. Hak Pelaku Usaha a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan



35



b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen d. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 2. Kewajiban Pelaku Usaha a. Baritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif d. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutut barang dan.atau jasa yang berlaku e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat atau diperdagangkan f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau pengganti atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.



E. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha adalah larangan dalam memproduksi/memperdagangkan, larangan dalam menawarkan / mempromosikan / mengiklankan, larangan penjualan secara obral/lelang, dan larangan dalam ketentuan periklanan. 1. Larangan dalam Memproduksi/Memperdagangkan Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan dan/atau jasa yang : a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang di persyaratkan dan ketentuan perundang-undangan b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam lebel atau etiket barang tersebut. c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan dalam menurut ukuran yang sebenarnya. d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. e. Tidak seusai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolaan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan jasa tersebut. f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan jasa tersebut.



36



g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana dinyatakan “Halal” yang dicantumkan dalam label i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan menurut ketentuan harus dipasang/dibuat j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan prundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa informasi secara lengkap dan benar atasa barang yang dimaksud. Sementara itu, pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas larangan diatas, dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. 2. Larangan dalam Menawarkan / Mempromosikan / Mengiklankan. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatau barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: a. Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standart mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karajteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu b. Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru c. Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu. d. Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi e. Barang atau jasa tersebut tersedia f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan jasa lain j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Dengan demikian, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan, misalnya: a. Harga atau tarif suatau barang atau jasa b. Kegunaan suatu barang atau jasa c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan e. Bahaya penggunaan barang atau jasa Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa, dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang daoat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Sementara itu, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan dilarang, misalnya : a. Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan 37



b.



Tidak menepati janji atau suatu pelayanan atau prestasi



3. Larangan dalam Penjualan Secara Obral/Lelang Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen, antara lain: a. Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standart mutu tertentu b. Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi c. Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang lain e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup ddengan maksud menjual jasa yang lain f. Menaikan harga atau tarif barang dan jasa sebelum melakukan obral. 4. Larangan dalam Periklanan Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan, misalnya : a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang atau jasa. b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang atau jasa tersebut c. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan atau jasa e. Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan f. Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan F. Klausula Baku dalam Perjanjian Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian antara lain: 1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha 2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen 3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen 4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindak sepihak yang berkaitan dengan barang yang diberi konsumen secara angsuran 5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen 6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa 7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya



38



8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen seara anggsuran. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klasula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klasula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memeuhi ketentuan sebagaimana telah dinayatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, pelaku usaha wajib menyesuaikan klasula baku yang bertentangan dengan undang-undang. G. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “produk yang cacat”, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan / jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum. Di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 diatur Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Dalam Pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti rugi kerugian atau kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen. Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang, penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, Pasal 20 dan 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan Pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidakya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19. Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen menganut sistem beban pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak atau tidak meberi tanggapan dan tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23 dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan ditempat kedudukan konsumen. Pelaku usaha yang menjual barang atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila: 1. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang atau jasa tersebut. 2. Pelaku usaha lain di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh mutu dan komposisi. Pelaku usaha sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang atau jasa tersebut. Di dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang di derita konsumen, apabila: 1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan. 2. Cacat barang timbul pada kemudian hari.



39



Cacat timbul di kemudian hari adalah seduah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan. 3. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang. Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standardisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdassrkan kesepakatan semua pihak. 4. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen. 5. Lewatnya jangka waktu penentuan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah garansi. H. Sanksi Sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, yang tertulis dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. 1. Sanksi Administratif a. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, pasal 25, dan Pasal 26. b. Sankso administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 2. Sanksi Pidana a. Pelaku usaha yang menlanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 18 di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimkasud dalam Pasal 11, pasal 12, Pasal 13 yat (1), pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) di pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana dena paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: 1. Perampasan barang tertentu 2. Pengumuman keputusan hakim 3. Pembayaran ganti rugi 4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbilnya kerugian konsumen 5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran 6. Pencabutan izin usaha.



40



BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 2. Asas Manfaat, memberikan kesempatan kepada konsumen dalam memperoleh hakya. Asas Keseimbangan, memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen. Asas Keamanan Dan Keselamatan Konsumen, untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, Asas Kepastian Hukum, yaknik pelaku dan maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan. 3. Sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999, yang tertulis dalam pasal 60 sampai dengan Pasal 63 dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana.



DAFTAR PUSTAKA Kansil, Christine S. T. 2001. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2. Jakarta: PT Pradnya Paramita Keynes, John. 1936. The General Theory of Employment, Interest, and Money. New York: Harcourt, Brace, and Co Mulyono. 2010. Konsep Pembiayaan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Sari, Elsi Kartika. 2008. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT Grasindo. Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. 1999. Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, Jakarta: PT Grafindo Persada



41



MAKALAH Hukum Perlindungan Konsumen Disusun Oleh: Fera Pebriyanti/180422623011 Ghufran Ghozali/180422623072 S1 AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI



UNIVERSITAS NEGERI MALANG TAHUN AKADEMIK 2018/2019 i



KATA PENGANTAR Pertama-tama kami panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas Aspek Hukum dalam Ekonomi ,Selain itu juga untuk meningkatkan pemahaman saya mengenai materi . Dengan membaca makalah ini penulis kami berharap dapat membantu teman-teman serta pembaca dapat memahami materi ini dan dapat memperkaya wawasan pembaca. Walaupun penulis telah berusaha sesuai kemampuan penulis, namun penulis yakin bahwa manusia itu tak ada yang sempurna. Seandainya dalam penulisan makalah ini ada yang kurang, maka itulah bagian dari kelemahan penulis. Mudah-mudahan melalui kelemahan itulah yang akan membawa kesadaran kita akan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini dan kepada pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca makalah ini. Untuk itu kami selalu menantikan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan penyusunan makalah ini. Malang, 6 Sepetember 2018 Tim Penulis ii



DAFTAR ISI COVER KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 2 C. Tujuan 3 BAB II PEMBAHASAN 4 A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen 4 B. Dasar dan Prisip Hukum Perlindungan Konsumen 5 42



C. Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen 7 D. Hak Dan Kewajiban Konsumen 8 E. Hak Dan Kewajiban Produsen terhadap Konsumen 9 BAB III PENUTUP 11 A. Kesimpulan 11 DAFTAR PUSTAKA 12 1



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini perlindungan konsumen mendapat perhatian yang cukup baik karena menyangkut aturan untuk menciptakan kesejahteraan. Dengan adanya keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen dapatmenciptakan rakyat yang sejahtera dan makmur. Negeri-negeri yang sekarang ini disebut negara-negara maju telah menempuh pembangunannya melalui tiga tingkat unifikasi, industrialisasi, dan negara kesejahteraan. Pada tingkat yang pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integritas politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Tingkat kedua perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Akhirya pada tingkat ketiga tugas negara yang utama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan-kesalahan pada tahap sebelumnya dengan menekankan kesejahteraan masyarakat. Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan. Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkankepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung. Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa 2



yang dikonsumsinya. Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Pemerintah menyadari bahwa diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan disegala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik. Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan 43



konsumen yang direncanakan adalah untuk meningakatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Yang perlu disadari oleh konsumen adalah mereka mempunyai hak yang dilindungi oleh undang-undang perlindungan konsumen sehingga dapat melakukan sasial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah. Dengan lahirnya undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan upaya perlindungan konsumen di indonesia dapat lebih diperhatikan. Pada penulisan makalah ini kita akan membahas mengenai bagaimana perlindungan terhadap konsumen serta apa saja hak dan kewajiban konsumen. Dalam makalah ini kami juga akan menjelaskan tentang prinsip ,asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen yang mungkin akan berguna bagi pembaca khususnya mahasiswa/I dimasa yang akan datang. 3



B. Rumusan Masalah Apa yang dimaksud dengan Hukum Perlindungan Konsumen ? Bagaimana dasar dan Prinsip hukum perlindungan konsumen ? Apa Saja Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen? Apa hak dan kewajiban konsumen ? Apa Hak Dan Kewajiban Pelaku usaha terhadap Konsumen? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hukum perlindungan konsumen. 2. Untuk mengetahui dasar dan prinsip hukum perlindungan konsumen 3. Untuk Mengetahui Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen 4. Untuk Mengetahui hak dan Kewajiban Konsumen 5. Untuk mengetahui hak dan kewajiban Pelaku usaha terhadap konsumen. 4



BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az. Nasution, misalnya berpendapat bahwa hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat megatur dan juga mengatur sifat yang melindungi kepntenigan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaintan dengan dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, defini Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas serta kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai hubungan dan masalah antara berbagai pihak yang satu dengan yang lain, dan berkaitan dengan barang dan jasa konsumen didalam pergaulan hidup masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen didalam pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa perlindungan konsumen 44



merupakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk menberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan hukum bagi konsumen merupakan sebuah perangkat hukum yang diciptakan oleh lembaga pemerintah untuk dapat memberikan perlindungan hukun dan jaminan kepastian hukum bagi para konsumen dari berbagai permasalahan ataupun sengketa konsumen karena merasa dirugikan oleh pelaku usaha. (Eli, 2015) Sebagaimana dikatakan Ensiklopedi Wikipedia, Hukum Konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara konsumen selaku individu dan pelaku usaha yang menjual barang dan jasa. Perlindungan konsumen meliputi masalah yang luas, yang tidak hanya terbatas pada tanggung jawab 5



produk, hak-hak konsumen, praktik usaha tidak sehat, penipuan, penafsiran yang keliru, hubungan lain konsumen/pelaku usaha. Hukum konsumen berhubungan dengan pelunasan kredit, pencairan pinjaman, keamanan produk, pelayan dan perjanjian penjualan, peraturan nota kolektif, harga, pembatalan, konsolidasi, pinjaman seseorang yang mungkin menjadi bangkrut, dan masih banyak lagi. B. PRINSIP DAN DASAR HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Secara garis besar prinsip-prinsip tanggung jawab produk didalam hukum perlindungan konsumen dibedakan sebagai berikut: 1.Let The Buyer Beware Pelaku Usaha kedudukannya seimbang dengan konsumen sehingga tidak perlu proteksi. Konsumen diminta untuk berhati hati dan bertanggung jawab sendiri. Konsumen tidak mendapatkan akses informasi karena pelaku usaha tidak terbuka. Dalam UUPK Caveat Emptor berubah menjadi caveat venditor. 2.The due Care Theory Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati hati dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati hati ia tidak dapat dipersalahkan. Pasal 1865 KUHP secara tegas menyatakan, barangsiapa yang mengendalikan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Kelemahan beban berat konsumen dalam membuktikan. 6



3.The Privity of Contract Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal hal diluar yang diperjanjikan.



45



Fenomena kontrak kontrak standar yang bantak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha. Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah: 1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33. 2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821 3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat. 4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa 5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen 6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota 7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, 7



dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK). Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut : 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar. 5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 46



6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan. 8



C. ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu: 1. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha. 2. Asas Keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemeritah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas Keamanan dan Keselamatan konsumen dimaksudkan untuk meberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas Kepastian Hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen mengemukakan, Perlindungan konsumen bertujuan: a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 9



d. Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam usaha. f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. D. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN HAK KONSUMEN 1. Hak atan pendidikan konsumen 2. Hak untuk mendapatkan ganti rugi atas praktik bisnis yang tidak adil, praktik bisnis yang mengekang, atau eksploitasi konsumen yang berlebihan. 47



3. Hak untuk didengar dan diyakinkan bahwa kepentingan konsumen akan diterirma berdasarkan pertimbangan pihak-pihak pada forum yang layak. 4. Hak untuk terjamin untuk mendapatkan akses ke barang dan jasa dengan harga yang bersaing, sebisa mungkin. 5. Hak untuk mendapatkan informasii tentang mutu dan jumlah barang dan jasa sehinggan dapat terlindungi dari praktik bisnis yang tidak adil. 6. Hak unruk dapat perlindungan terhadap pemasaran barang dan jasa yang berbahaya bagi kehidupan dan harta benda. KEWAJIBAN KONSUMEN 1. Bersikukuh untuk meminta tanda pembelian atau kwitansi tanpa kecuali terhadap barang yang sudah dibeli. 2. Membaca dengan teliti informasi diatas barang sebelum membeli. 10



3. Jangan tergiur dengan iklan yang menyesatkan. 4. Membeli barang yang terstandardisasi. 5. Mengajukan tuntutan tehadap barang yang tidak baik pelayanannya, atau terhadap praktik bisnis yang tidak adil. E. HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen mengatakan, Hak pelaku usaha adalah : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan menganai kondisi dan nilai tukar barang da/atau jasa yang diperdagangkan b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dar tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengkata konsumen. d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya. Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen menyatakan, Kewajiban pelaku usaha adalah; a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 11



d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasayang berlaku. e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mecoba barang dan/atau jasa tertentu serta meberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang 48



diperdagangkan. g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dalam penjelasan Pasal 7 dalam Huruf c. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen. Huruf e. Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertantu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian. 12



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban serta perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta kewajiban mereka. Semoga makalah yang kami buat ini dapat memberi penjelasan dan dapat mengingatkan para pembaca bahwa kita sebagai konsumen memiliki hak-hak serta kewajiban yang harus kita laksanakan, dan kita juga memiliki perlindungan penuh atas hukum dan UU yang berlaku yang bisa digunakan kapan saja ketika diri kita endapat perlakuakuan yang tidak sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan bagi konsumen. Semoga makalah yang kami buat ini bermanfaat bagi para mahasiswa/mahasiswi, dan bisa dijadikan referensi dalam melakukan kajian-kajian ilmiah tentang hukum perlindungan konsumen. 13



DAFTAR PUSTAKA Mawadi dkk, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Akademia, Jakarta Barat, 2012. Dewi, Eli W. Hukum Perlindungan Konsumen, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2015. Kristiyanti, Celina T S. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. https://silpiintansuseno7.wordpress.com/2017/07/06/makalah-perlindungan-kons umen/&hl=id-ID



49



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masih banyak hak-hak konsumen dilanggar oleh pelaku usaha. Pelanggaran hak konsumen tersebut harus disidang secara hukum. Selain itu, apabila pelaku usaha telah melanggar UU perlindungan konsumen, maka izin usahanya harus dicabut. Minimnya sosialisasi produk undang-undang yang dihasilkan pemerintah menjadikan masyarakat konsumen tak memahami hak dan kewajibannya. Akibatnya, hak konsumen rentan dilanggar oleh pelaku usaha dalam transaksi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Pelanggaran konsumen disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya factor oleh pelaku usaha yang sering memandang konsumen sebagai pihak yang mudah untuk dieksploitasi dan dipengaruhi untuk mengkonsumsi segala produk barang dan jasa. Sudah banyak kasus-kasus pelanggaran UU Perlindungan Konsumen yang terjadi di Indonesia. Padahal sudah secara jelas diungkapkan dalam UU Perlindungan konsumen tersebut mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Tetapi tetap saja ada pelanggaran terhadap hal tersebut. Masih banyak konsumen yang tidak mengerti akan hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Demikian pula halnya dengan para pelaku usaha 1.2 Permasalahan 



Apa yang dimaksud dengan uu perlindungan konsumen berdasarkan UU perlindungan konsumen no 8 tahun 1999?







Kasus apa saja yang pernah terjadi tentang pelanggaran uu perlindungan konsumen?



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Peraturan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen 50



Perlindungan konsumen adalah suatu hal yang sangat penting. Namun terkadang masih sering disepelekan oleh para pelaku usaha. Padahal perlindungan konsumen itu sendiri sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Th, 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada dasarnya menurut UU RI No. 8 Tahun 1999 Pasal 3, UU Perlindungan konsumen ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut : a) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindung diri b) mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen; d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat 1, secara jelas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Namun, sejauh ini UU Perlindungan konsumen tersebut belum sepenuhnya ditegakkan. Konsumen sebagai objek UU Perlindungan Konsumen masih saja sering dirugikan oleh para produsen nakal. Masih banyak saja pelanggaran UU Perlindungan konsumen yang terjadi di Indonesia. Para pelaku usaha sering kali tidak memikirkan kepuasan konsumen. Tak jarang banyak pelaku usaha yang tega berbuat curang kepada konsumen yang nantinya akan merugikan konsumen demi tercapainya keuntungan yang maksimal atau untuk menekan ongkos produksi mereka. Dan yang lebih parahnya lagi jika konsumen tersebut tidak menyadari perbuatan curang para pelaku usaha tersebut. Terkadang bukan hanya pihak pelaku usaha saja yang salah, tetapi tak jarang juga kerugian itu disebabkan oleh ketidaktelitian konsumen dalam membeli produkproduk yang dijual oleh sang pelaku usaha. 51



Sudah banyak kasus-kasus pelanggaran UU Perlindungan Konsumen yang terjadi di Indonesia. Padahal sudah secara jelas diungkapkan dalam UU Perlindungan konsumen tersebut mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Tetapi tetap saja ada pelanggaran terhadap hal tersebut. Masih banyak konsumen yang tidak mengerti akan hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Demikian pula halnya dengan para pelaku usaha Hak-hak konsumen yang dilanggar berdasarkan UU RI No. 8 Tahun 1999 pasal 4: 1. Hak atas kenyamanan, keselamatan dan keamanan 2. Hak untuk memilih 3. Hak atas informasi 4. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya 5. Hak untuk mendapatkan advokasi 6. Hak untuk mendapatkan pendidikan 7. Hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif 8. Hak utnuk mendapatkan ganti rugi; 2.1 Contoh kasus tentang pelanggaran perlindungan konsumen 1. Suatu toko menyebarkan brosur yang menyatakan bahwa produk yang dijual didiskon 30% ternyata harga barang tersebut telah dinaikkan sebelumnya sebesar 30% berarti dalam hal ini tidak pernah ada diskon sebesar 30%.



2. Ketika seorang pedagang asongan atau seles sedang mempromosikan produk barunya, mereka senang menunjukan barang-barang yang bagus akan tetapi ketika dibeli oleh konsumen produk tersebut tidak sesuai dengan yang dipromosikannya bias jadi barangnya lebih sedikit atau rusak.



3. Membeli sembako di warung; contohnya: membeli beras satu kilogram dengan di timbang di timbangan yang sudah tidak layak pakai sehingga hasilnya tidak sampai satu kilogram dengan harga yang sama.



4. Usaha yang bergerak di bidang industri retail dalam urusan uang kembalian pecahan Rp. 25,00 dan Rp. 50,00. Yang ini malah lebih parah lagi perlakuannya, biasanya diganti dengan permen dalam berbagai jenisnya (biasanya terjadi di supermarket) atau kalau tidak malah dianggap sumbangan (ini biasanya di minimarket).



52



5. Dalam jasa angkutan umum; kelayakan angkutan umum sering kali menjadi permasalah bagi pengguna jasa tersebut karena kendaraan yang ditumpangi biasanya sudah sangat tua atau tidak layak pakai yang mengakibatkan konsumen menjadi tidak nyaman.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pelanggaran terhadap hak konsumen disebabkan beberapa faktor. Di antaranya faktor sikap pelaku usaha yang sering memandang konsumen sebagai pihak yang mudah dieksploitasi dan dipengaruhi untuk mengonsumsi segala bentuk barang/jasa yang ditawarkan. Faktor ini diperparah dengan kurang mengertinya masyarakat umum sebagai konsumen terhadap hakhaknya. Jika haknya diabaikan, konsumen tidak bisa berbuat apa-apa karena memang tidak tahu dan tidak sadar. Ketika sadar, mereka justru tidak mengerti bagaimana tata cara atau prosedur pengaduan dan penuntutan atas hak-haknya yang dilanggar.



53



Seharusnya pelanggaran hak-hak dasar konsumen–yang kemudian konsumen menjadi subordinat dalam sistem ekonomi makro–tidak akan pernah terjadi jika semua pihak (pemerintah dan pelaku usaha) serius menegakkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.



Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut perlindungan konsumen belanja online masih rendah. Hal ini diindikasikan dengan dominannya aduan konsumen terkait e-commerce yang masih sangat dominan. Oleh karena itu Tulus mendesak pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau e-commerce. Tulus mengatakan aduan belanja online menjadi memuncaki jumlah total aduan pada 2017. "RPP sangat diperlukan konsumen untuk melindungi transaksi online. Ironis ditengah maraknya ekonomi digital, salah satunya belanja online, tapi regulasi perlindungan konsumennya masih rendah," kata Tulus, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (13/12).



Bisa dibilang dalam hal jual beli keberuntungan adalah faktor yang amat sangat dibutuhkan, terlebih jika kita melakukan jual beli melalui dunia maya atau biasa disebut belanja online. Beberapa orang yang berbelanja online pasti pernah mengalami peristiwa menerima barang yang tidak sesuai espektasi pada saat melihat iklan yang terpajang melalui akun-akun yang ada pada forum jual beli, bahkan bukan tidak mungkin anda juga pernah mendapatkan barang dengan cacat tersembunyi, duh jangan sampai ya! Tapi jika sudah terlanjur dan anda sedang mengalami hal ini, ternyata anda bisa menempuh langkah hukum bahkan mendapatkan ganti rugi lho. ADVERTISEMENT Tetapi sebelum membahas ke langkah hukum yang bisa ditempuh bagi anda yang sedang tidak beruntung dalam berbelanja online, perlu diketahui bahwa pembeli/konsumen memiliki perlindungan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK). Kejadian penerimaan barang yang tidak sesuai iklan sebagaimana contoh di atas merupakan salah satu pelanggaran hak konsumen, hak-hak konsumen bisa dilihat di Pasal 4 UU PK, antara lain: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; ADVERTISEMENT d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;



54



h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online) pun juga memiliki kewajiban, sesuai Pasal 7 UU PK antara lain: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Kemudian persoalan di atas diatur lebih tegas pada Pasal 8 UUPK yang melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian barang yang diterima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang. Kita selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU PK tersebut berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dipidana berdasarkanPasal 62 UUPK, yang berbunyi: Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Begitulah ulasan mengenai perlindungan konsumen bagi anda yang dirugikan oleh pelaku usaha online, jika anda mengalami hal serupa langkah pertama yang bisa dilakukan adalah kumpulkan semua bukti transaksi anda dengan pelaku usaha online kemudian apabila anda masih ragu untuk melaporkan atau menempuh jalur hukum, anda bisa berkonsultasi terlebih dahulu dengan penyedia jasa hukum sekaligus untuk mendapatkan dampingan hukum dari seorang praktisi hukum terutama yang memiliki bidang perlindungan konsumen.



55



Jakarta - Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Widodo mengatakan Achmad Supardi telah menjadi korban dari situs ecommerce Lazada. Ia mengatakan Achmad Supardi sebagai korban bisa melaporkan kasus ini kepada Kementerian Perdagangan. Widodo menjelaskan situs Lazada telah melanggar Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Ada 3 pasal yang dilanggar Lazada yaitu Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 16. Isi dari pasal 9 adalah pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan atau mengiklankan suatu barang dan jasa secara tidak benar, atau seolah olah barang tersebut telah memenuhi potongan harga, harga khusus, standar mutu, barang tersebut dalam keadaan baik, barang dan jasa tersebut telah mendapatkan sponsor atau persetujuan, menggunakan kata kata berlebihan seperti, aman, murah serta menawarkan sesuatu yang belum pasti. Isi dari pasal 10 adalah pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif, kegunaan suatu barang, tawaran potongan harga dan hadiah yang menarik. Dan isi pasal 16 adalah pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan dilarang untuk tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian dan tidak menepati janji. " Konsumen mempunyai haknya dan dilindungi," ujar Widodo kepada Investor Daily, di Jakarta, Minggu (3/1). Widodo mengatakan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain. Sementara perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. " Indonesia adalah negara hukum dan jika ada yang melanggar ada sanksinya," ujar dia. Ia mengatakan berdasarkan UU perlindungan konsumen, Lazada sudah melanggar pasal 9, pasal 10 dan pasal 16 dan dikenakan sanksi sesuai pasal 62 dan 63. Sanksinya berupa pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud pasal 9 dan pasal 10, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud pasal 16, dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.



56



Sementara Pasal 63 berbunyi, pelaku usaha bisa dicabut izin usahanya. Seperti diketahui, Achmad Supardi merupakan korban yang dirugikan Lazada, Achmad Supardi membuat pengakuan bahwa Lazada sudah membatalkan secara sepihak transaksi yang sudah dibayar lunas konsumen dan mengembalikan dana konsumen tersebut dalam bentuk voucher belanja yang hanya bisa dibelanjakan di Lazada. Achmad membeli 1 unit sepeda motor honda vario dan 3 unit sepeda motor Honda Revo pada 12 Desember 2015 di Lazada, 3 unit Honda Revo dibeli dengan harga masing masing Rp 500 ribu dengan total Rp 1.500.000, sementara Honda Revo dibeli dengan harga Rp 2.700.000 untuk pembelian cash on the road, harga pada situs Lazada adalah harga sepeda motor secara cash on the road bukan kredit, dan angka tersebut bukan angka uang muka, dan Achmad mengira harga murah bagian dari promosi gila gilaan Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas), dan ia sudah melakukan pembayaran transfer melalui ATM BCA, transaksi sah dan dikonfirmasi Lazada. Pada 14 Desember 2015, Achmad kembali membuka situs Lazada dengan tampilan sama namun sudah ada bagian tambahan bahwa harga motor sudah merupakan harga kredit, di tanggal yang sama, ia ditelepon pihak Honda Angsana yang merupakan tenant sepeda motor Lazada, staf Angsana menanyakan apakah sepeda motor dibeli secara kredit, Achmad menjelaskan sepeda motor dibeli secara cash on the road, pihak Angsana menelepon hingga dua kali. Dua hari kemudian, Achmad mengecek status transaksi di Lazada dan ia terkejut karena transaksi yang dikonfirmasi dan tinggal menunggu pengiriman ternyata berubah menjadi ditolak dan ditutup oleh Lazada. Secara sepihak Lazada memproses refund dengan memberikan voucher belanja sesuai jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli 4 unit sepeda motor dan mengganti dana dengan 2 voucher sebesar Rp 4,2 juta. Achmad mengaku kecewa, karena voucher tidak bisa diuangkan, sebagai konsumen ia meminta Lazada meminta maaf, dan sebagai perusahaan besar tidak selayaknya memperlakukan konsumen dengan tidak terhormat Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)



menyampaikan keluhan konsumen belanja online soal layanan yang disediakan sejumlah platform e-commerce. Pada periode Januari sampai Desember 2018 pengaduan konsumen terkait belanja online yang masuk ke BPKN mencapai 40 dari total 500 aduan yang masuk ke lembaga tersebut. Wakil Ketua BPKN Rolas Sitinjak mengatakan pengaduan belanja online nomor dua tertinggi setelah aduan mengenai pembiayaan perumahan. Mayoritas aduan soal belanja online bahkan ikut menyeret nama platform e-commerce besar, seperti Traveloka, Lazada, dan Tokopedia. "Paling banyak Traveloka, karena sampai ada gugatan. Nah kalau sampai ada gugatan itu biasanya ke Singapura," tegas Rolas, Senin (17/12).



Aduan lain yang diterima juga berasal dari konsumen Lazada dan Tokopedia. Persoalannya juga 57



masih berkaitan dengan transaksi beli konsumen. Namun, Rolas mengaku tak bisa merinci lebih lanjut jumlah masing-masing aduan dari e-commerce tersebut. Lihat juga:



Dituding Curang, Traveloka Lempar Kesalahan ke Konsumen "Mungkin karena mereka besar jadi banyak masalah juga," jelasnya. Ia mengatakan salah satu contoh kasus berkaitan dengan dugaan kecurangan yang dilakukan karyawan Tokopedia melalui program flash sale. Pada Mei lalu, salah satu pelanggan Tokopedia bernama Yudishtira mengaku kartu kreditnya sudah tertagih pembayaran untuk pembelian flash sale di Tokopedia. Padahal, status transaksinya belum dianggap berhasil di Tokopedia. "Iya kalau telpon bank-nya pembayaran sudah sukses, tapi transaksinya tidak muncul, tidak ada kabar," katanya. Rolas memprediksi laporan mengenai belanja di e-commerce semakin banyak seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin melesat. Dengan kata lain, tingkat belanja masyarakat di e-commerce akan semakin banyak dibandingkan belanja langsung di pusat perbelanjaan. Lihat juga:



BPKN Rekomendasikan Cabut Izin Pemberi Diskon Palsu



Bila pemerintah tak memberikan aturan tegas terkait perlindungan konsumen, maka kecurangan transaksi dalam e-commerce berpotensi semakin banyak. "Hal ini akan diperkuat oleh semakin tingginya lalu lintas e-commerce lintas batas," imbuhnya. Sementara itu, Ketua Umum Indonesia E-commerce Asociation (IdEA) Ignatius Untung mengatakan berbagai pengaduan masyarakat terhadap e-commerce perlu dilihat lagi apakah sudah diproses oleh masing-masing pihak yang dituduh atau belum. Menurut keyakinannya, seluruh e-commerce pasti menginginkan seluruh transaksi di platform mereka berjalan lancar demi kenyamanan konsumen. "Dan jumlah (kesalahan transaksi) pun tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah transaksi mereka," kata Untung. Namun, ia juga mengingatkan kepada konsumen untuk tetap waspada kepada manajemen ecommerce yang tidak merespons pengaduan atau bahkan penyelesaian kesalahan transaksi yang terlalu berbelit-belit. Untuk mengantisipasi kesalahan transaksi yang terus timbul, Untung bilang IdEA saat ini sedang merumuskan peta jalan (roadmap) mengenai perlindungan konsumen.



58



Batalkan Transaksi, Lazada Langgar UU Perlindungan Konsumen Quote: Jakarta - Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Widodo mengatakan Achmad Supardi telah menjadi korban dari situs ecommerce Lazada. Ia mengatakan Achmad Supardi sebagai korban bisa melaporkan kasus ini kepada Kementerian Perdagangan. Widodo menjelaskan situs Lazada telah melanggar Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Ada 3 pasal yang dilanggar Lazada yaitu Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 16. Isi dari pasal 9 adalah pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan atau mengiklankan suatu barang dan jasa secara tidak benar, atau seolah olah barang tersebut telah memenuhi potongan harga, harga khusus, standar mutu, barang tersebut dalam keadaan baik, barang dan jasa tersebut telah mendapatkan sponsor atau persetujuan, menggunakan kata kata berlebihan seperti, aman, murah serta menawarkan sesuatu yang belum pasti. Isi dari pasal 10 adalah pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif, kegunaan suatu barang, tawaran potongan harga dan hadiah yang menarik. Dan isi pasal 16 adalah pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan dilarang untuk tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian dan tidak menepati janji. " Konsumen mempunyai haknya dan dilindungi," ujar Widodo kepada Investor Daily, di Jakarta, Minggu (3/1). Widodo mengatakan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain. Sementara perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. " Indonesia adalah negara hukum dan jika ada yang melanggar ada sanksinya," ujar dia. Ia mengatakan berdasarkan UU perlindungan konsumen, Lazada sudah melanggar pasal 9, pasal 10 dan pasal 16 dan dikenakan sanksi sesuai pasal 62 dan 63. Sanksinya berupa pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud pasal 9 59



dan pasal 10, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud pasal 16, dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Sementara Pasal 63 berbunyi, pelaku usaha bisa dicabut izin usahanya. Seperti diketahui, Achmad Supardi merupakan korban yang dirugikan Lazada, Achmad Supardi membuat pengakuan bahwa Lazada sudah membatalkan secara sepihak transaksi yang sudah dibayar lunas konsumen dan mengembalikan dana konsumen tersebut dalam bentuk voucher belanja yang hanya bisa dibelanjakan di Lazada. Achmad membeli 1 unit sepeda motor honda vario dan 3 unit sepeda motor Honda Revo pada 12 Desember 2015 di Lazada, 3 unit Honda Revo dibeli dengan harga masing masing Rp 500 ribu dengan total Rp 1.500.000, sementara Honda Revo dibeli dengan harga Rp 2.700.000 untuk pembelian cash on the road, harga pada situs Lazada adalah harga sepeda motor secara cash on the road bukan kredit, dan angka tersebut bukan angka uang muka, dan Achmad mengira harga murah bagian dari promosi gila gilaan Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas), dan ia sudah melakukan pembayaran transfer melalui ATM BCA, transaksi sah dan dikonfirmasi Lazada. Pada 14 Desember 2015, Achmad kembali membuka situs Lazada dengan tampilan sama namun sudah ada bagian tambahan bahwa harga motor sudah merupakan harga kredit, di tanggal yang sama, ia ditelepon pihak Honda Angsana yang merupakan tenant sepeda motor Lazada, staf Angsana menanyakan apakah sepeda motor dibeli secara kredit, Achmad menjelaskan sepeda motor dibeli secara cash on the road, pihak Angsana menelepon hingga dua kali. Dua hari kemudian, Achmad mengecek status transaksi di Lazada dan ia terkejut karena transaksi yang dikonfirmasi dan tinggal menunggu pengiriman ternyata berubah menjadi ditolak dan ditutup oleh Lazada. Secara sepihak Lazada memproses refund dengan memberikan voucher belanja sesuai jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli 4 unit sepeda motor dan mengganti dana dengan 2 voucher sebesar Rp 4,2 juta. Achmad mengaku kecewa, karena voucher tidak bisa diuangkan, sebagai konsumen ia meminta Lazada meminta maaf, dan sebagai perusahaan besar tidak selayaknya memperlakukan konsumen dengan tidak terhormat.



60



61