Analisis Kualitas Lingkungan Tpa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS KUALITAS LINGKUNGAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR ( TPA ) SAMPAH



Dwinda Maulidya H



( 2019710060 )



Mutiara Hijriyah Eve



( 2019710067 )



Fairuz Mufidah



( 2019710073 )



De Ajeng Ummu Azkiyah



( 2019710078 )



Violita Agnoviardi



( 2019710092 )



Rd. Annisa Rizky Haniifah Arsa



( 2019710100 )



Fakultas Kesehatan Masyarakat UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2021



i



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum Wr.Wb. Segala puji bagi Allah SWT, Yang dengan nikmatnya segala amal saleh tersempurnakan, dengan anugerah dan kemuliaannya segala tujuan terwujudkan. Shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi yang diutus dengan petunjuk dan agama dari atas tuju lapis langit,yaitu junjungan kita Nabi Muhammad SAW juga untuk seluruh Nabi dan Rasul, Para sahabat, Keluarga, dan semua pengikut-pengikutnya. Karena, atas Rahmat-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ANALISIS KUALITAS LINGKUNGAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR ( TPA ) SAMPAH” tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Analisis Kualitas Lingkungan . Makalah ini merupakan inovasi pembelajaran untuk memahami penelitian secara mendalam, semoga makalah ini dapat berguna untuk Mahasiswa pada umumnya. Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ernyasih, SKM, MKM selaku dosen mata kuliah Analisis Kualitas Lingkungan. Pengarahannya pada pembelajaran mata kuliah ini serta pihak-pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan pada intinya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan agar dimasa yang akan datang lebih baik lagi.



Jakarta, 22 September 2021



Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR......................................................................................................................i DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii BAB I...............................................................................................................................................1 PENDAHULUAN...........................................................................................................................1 1.1



Latar Belakang..................................................................................................................1



1.2



Rumusan Masalah.............................................................................................................2



1.3



Tujuan Penulisan...............................................................................................................2



BAB II.............................................................................................................................................3 PEMBAHASAN..............................................................................................................................3 2.1



Pengertian Lingkungan Tempat Pembuangan Akhir Sampah..........................................3



2.2



Tujuan Pengukuran Kualitas Lingkungan Tempat Sampah.............................................4



2.3 Parameter Kualitas Lingkungan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (Peraturan Perundangan, Studi Kasus)..........................................................................................................4 BAB III............................................................................................................................................5 PENUTUP.......................................................................................................................................5 3.1



Kesimpulan.......................................................................................................................5



3.2



Saran..................................................................................................................................5



DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................6



ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempat Pembuangan Akhir ( TPA ) sampah merupakan tempat di mana sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan/pengangkutan, pengelolaan dan pembuangan. TPA merupakan tempat di mana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya, diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik ( Perdebaste, 2005 ). Menurut Undang-undang No.18 tahun 2008 sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang berbentuk padat. Kelestarian lingkungan biasanya selalu dikaitkan dengan pencemaran, berbicara mengenai masalah pencemaran tidak akan terlepas dari masalah kelestarian lingkungan. Hal ini terjadi terutama di kota-kota besar yang disebabkan oleh adanya sampah yang akan berdampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya seperti pemandangan tidak sedap, bau busuk, tercemarnya air dan tanah oleh limbah buangan, juga menjadi wadah perkembangan penyakit menular dan lain-lain. Peningkatan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah yang ditimbulkan. Di kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3 ). [Bapedalda, 2000]. Selain Jakarta, jumlah sampah yang cukup besar terjadi di Medan dan Bandung. Kota metropolitan lebih banyak menghasilkan sampah dibandingkan dengan kota sedang atau kecil. Penampungan akhir sampah kota yang dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) mengalami berbagai macam kendala baik fisik maupun non fisik, seperti masalah sosial, ekonomi, pemeliharaan dan lain sebagainya. Tempat Pembuangan Akhir menimbulkan bau yang tidak sedap karena tumpukan sampah mengalami dekomposisi secara alamiah. Penguraian sampah sendiri disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang akan menghasilkan gas hidrogen sulfida (H2S) yang bersifat racun bagi tubuh21 . Sulfur dioksida (SO2) dikenal sebagai gas yang tidakberwarna bersifat iritan kuat terhadap kulitdan selaput lendir pada konsentarasi 6-12ppm. SO2 adalah senyawa yang mudah diserap oleh selaput lendir saluranpernafasan bagian atas. Amoniak (NH3) bersifat sangat toksik bahkan dalam konsentrasi rendah. Nilai ambang batas gas NH3 di udara untuk 8 jam kerja adalah 25 ppm. Toksisitas akut NH3 pada kadar >500 ppm dapat menyebabkan kematian, sedangkan efek kronis pada kadar >35 ppm dapat menimbulkan kerusakan ginjal, kerusakan paru-paru, mereduksi pertumbuhan dan malfungsi otak serta penurunan nilai darah. Keberadaan sampah juga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat karena sampah merupakan sarana dan sumber penularan penyakit. Sampah merupakan tempat yang ideal 1



untuk sarang dan tempat berkembang biaknya berbagai vektor penularan penyakit. Lalat merupakan salah satu vektor penular penyakit khususnya penyakit saluran pencernaan karena lalat mempunyai kebiasaan hidup di tempat kotor dan tertarik bau busuk seperti sampah basah. Kinerja suatu TPA perlu dikaji dalam rangka meningkatkan kemampuan mengatasi masalah sampah yang dikorelasikan dengan perkembangan penduduk. Pertambahan jumlah penduduk di suatu tempat yang berarti pula pertambahan jumlah sampah di kota tersebut memerlukan penyediaan sebuah fasilitas berupa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang memadai. Penetapan lokasi TPA sampah yang tepat serta penataan kawasan di sekitarnya perlu dilakukan secara seksama agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari, terutama yang terkait dengan masalah sosial dan lingkungan. Penelitian ini penting dilakukan untuk mempelajari/menganalisis kualitas lingkungan Tempat pembuangan Akhir (TPA) sampah. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengertian lingkungan tempat pembuangan akhir sampah ? 2. Apa tujuan pengukuran kualitas lingkungan tempat pembuangan akhir sampah ? 3. Bagaimana parameter kualitas lingkungan tempat pembuangan sampah ? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk menjelaskan pengertian lingkungan tempat pembuangan akhir sampah 2. Untuk mengetahui tujuan pengukuran kualitas lingkungan tempat pembuangan akhir sampah 3. Untuk mengetahui parameter kualitas lingkungan tempat pembuangan sampah



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Lingkungan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan salah satu tempat yang digunakan untuk membuang sampah yang telah mencapai tahap akhir pengelolaan sampah sejak timbulan pertama, pengumpulan, pengangkutan, pengelolaan dan pembuangan sampah. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah tempat untuk mengumpulkan sampah, tempat itu harus terisolasi dengan baik untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan sekitar TPA. Keterbatasan lahan merupakan permasalahan yang sering dihadapi dalam membangun sarana dan prasarana serta pelayanan penunjang. Salah satunya TPA Umum. Lokasi TPA harus ditentukan dengan mengidentifikasi karakteristik fisik lahan dengan mempertimbangkan potensi lahan yang terdapat di kawasan baru. Perlu juga mengkaji penetapan dan analisis kesesuaian lahan TPA ditinjau dari tata guna lahan untuk memastikan bahwa lahan yang digunakan untuk TPA tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah merupakan mata rantai terakhir dalam pembuangan sampah kota, sebagai sarana lahan penyimpanan atau pembuangan sampah. Proses pengolahan sampah itu sendiri dimulai dari timbulnya di sumber - pengumpulan pemindahan/pengangkutan pengolahan - pembuangan.



Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, sampah masih mengalami proses dekomposisi alami dalam waktu yang lama. Jenis sampah tertentu dapat terurai dengan 3



cepat, sedangkan jenis sampah lainnya, seperti plastik, terurai lebih lambat selama puluhan dan ratusan tahun. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada beberapa proses di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang akan menghasilkan berbagai zat yang dapat mempengaruhi lingkungan. Ada beberapa persyaratan dalam menentukan lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, yaitu:  Daerah non-geologis (daerah sesar, tanah longsor, gempa bumi, dll)  Daerah yang tidak rawan geologi, yaitu daerah yang kedalaman air tanahnya kurang dari 3 meter, jenis tanah yang mudah menyerap air, dan daerah yang dekat dengan sumber air, dll.  Bukan daerah rawan medan (kemiringan tanah > 20%)  Lokasinya bukan area dengan aktivitas yang sering seperti bandara dan pusat perdagangan  Bukan kawasan yang terlindungi. TPA adalah singkatan dari Tempat Pembuangan Akhir, yaitu tempat dimana sampah diproses secara aman bagi manusia dan lingkungan dan dikembalikan ke media lingkungan.



2.2 Tujuan Pengukuran Kualitas Lingkungan Tempat Sampah Analisis kualitas lingkungan adalah suatu kegiatan untuk menentukan apakah hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan dan kualitas ekologi dalam keadaan baik atau seperti apa dampaknya terhadap lingkungan, ekologi dan organisme yang ada di dalamnya. Tujuan dari analisis kualitas lingkungan antara lain sebagai berikut: 1. Memperoleh keselamatan hubungan antara manusia dan lingkungan 2. Melindungi lingkungan terhadap dampak dari setiap perilaku yang dapat menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan 3. Memberikan informasi kepada para pengambil keputusan ditingkat pusat dan daerah 4. Memperoleh informasi tentang besarnya masalah yang ada dan langkah-langkah pengendaliannya 5. Menentukan besar kecilnya masalah, untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit yang berkaitan dengan lingkungan Berikut terdapat juga tujuan pengukuran kualitas lingkungan secara pengetahuan umum, itu termasuk untuk melaksanakan upaya penguatan pengendalian faktor risiko penyakit dan kecelakaan pada fasilitas umum dan bangunan gedung. Tujuan pengukuran kualitas lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ini adalah untuk mengetahui gambaran kualitas tanah, kualitas udara dan kepadatan vektor di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA), serta status kesehatan masyarakat dan ada juga Tujuan lain dari pengukuran kualitas lingkungan tempat pembuangan akhir sampah yaitu untuk 4



mengukur efisiensi dan efektivitas pengelolaan lingkungan yang dilakukan, serta dampak yang akan ditimpulkan oleh tempat pembuangan akhir sampah. Dampak yang terjadi adalah peningkatan parameter komponen gas, partikulat, asap, dan peningkatan kebisingan (Rainda, 2017).



2.3 Parameter Kualitas Lingkungan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (Peraturan Perundangan, Studi Kasus) Air bersih, kualitas udara, kontaminasi makanan mempunyai ukuran-ukuran kapan dikategorikan bersih, tak terpolusi, tak terkontaminasi. Ukuran-ukuran tersebut disebut parameter. Parameter mempunyai nilai baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Parameter kualitas lingkungan harus kuantitatif supaya ukuran menjadi objektif. Parameter kualitas lingkungan sangat penting dilakukan khususnya pada tempat pembuangan akhir (TPA), parameter kualitas lingkungan TPA dibagi beberapa macam yaitu : 1. Parameter fisika a. Suhu suatu badan perairan dipengaruhi oleh musim, posisi lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air (Effendi, 2003). b. TSS (Total Suspended Solid) Padatan tersuspensi total (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 μm (Effendi, 2003). TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad -jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. 2. Parameter Kimia a. pH Pescod (1973) mengatakan bahwa nilai pH menunjukkan tinggi rendahnya konsentrasi ion hidrogen dalam air. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan apakah perairan tersebut bersifat asam atau basa (Barus, 2002). Selanjutnya beliau menambahkan bahwa nilai pH perairan dapat berfluktuasi karena dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, respirasi organisme akuatik, suhu dan keberadaan ion-ion di perairan tersebut. Menurut Pohland dan Harper (1985) nilai pH air lindi pada tempat pembuangan sampah perkotaan berkisar antara 1,5 – 9,5. b. DO (Dissolved oxygen) Oksigen terlarut (dissolved oxygen) merupakan konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari hasil fotosintesis oleh fitoplankton atau tumbuhan air dan proses difusi dari udara (Fardiaz, 1992). Faktor yang mempengaruhi jumlah oksigen terlarut di dalam air adalah jumlah kehadiran bahan organik, suhu, aktivitas bakteri, kelarutan, fotosintesis dan kontak dengan udara. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada percampuran (mixing) dan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan



5



keadaan limbah yang masuk ke badan air, sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan keberadaan unsur-unsur nutrien di perairan (Wetzel, 2001). c. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) Biochemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik yang terdapat dalam air pada keadaan aerobik yang diinkubasi pada suhu 20oC selama 5 hari, sehingga sering disebut BOD5 (APHA, 1989). Nilai BOD5 perairan dapat dipengaruhi oleh suhu, densitas plankton, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik (Effendi, 2003). Nilai BOD5 ini juga digunakan untuk menduga jumlah bahan organik di dalam air limbah yang dapat dioksidasi dan akan diuraikan oleh mikroorganisme melalui proses biologi. d. COD (Chemical Oxygen Demand) COD menyatakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik yang terdapat di perairan, menjadi CO2 dan H2O (Hariyadi, 2001). Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd, 1982). Bila BOD memberikan gambaran jumlah bahan organik yang dapat terurai secara biologis (bahan organik mudah urai, biodegradable organic matter), maka COD memberikan gambaran jumlah total bahan organik yang mudah urai maupun yang sulit terurai (non biodegradable) (Hariyadi, 2001). Analisa COD berbeda dengan analisa BOD5, namun perbandingan antara angka COD dengan angka BOD5 dapat ditetapkan. Angka perbandingan yang semakin rendah menunjukkan adanya zat-zat yang bersifat racun dan berbahaya bagi mikroorganisme (Alaerts dan Santika, 1984). 3. Drainase Drainase di TPA berfungsi untuk Mengendalikan limpasan air hujab dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah.Seperti diketahui,air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi yang dihasilkan. Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah aakn semakin kecil pula debit lindi yang dihasilkan yang pada gilirannya akan memperkecil kebutuhan unit pengolahannya. 4. Lapisan Kedap Air Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air lindi yang terbentuk di dasar TPA ke dalam lapisan tanah dibawahnya. Untuk lapisan ini harus dibentuk diseluruh permukaan dalam TPA baik dasr masupun dinding. Bila tersedia ditempat, tanah lempung setebal ± 50 cm merupakan alternatif yang baik sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak dimungkinkan, dapat diganti dengan lapisan sintetis lainnya dengan konsekwensi biaya yang relatif tinggi (Hifdziyah, 2016). 5. Penanganan Gas Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida dan metan dengan komposisi hampir sama, disamping gas- gas lain yang sangat sedikit jumlahnya. Kedua gas tersebut memiliki potensi besar dalam proses pemanasan global terutama gas metan; karenanya perlu dilakukan pengendalian agar gas tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke 6



tamosfer. Untuk itu perlu dipasang pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan sampah pada titik-titik tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan kondisi tanah penutup TPA. Tanah penutup yang porous atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan cara pembakaran sederhana dapat menurunkan potensi dalam pemanasan global.



6. Penanganan Lindi Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak sekali senyawa yang memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani dengan baik. 7. Parameter fisik kimia 1. Kualitas Udara Kegiatan pengoperasian TPA sampah, apabila tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan penurunan kualitas udara. Emisi kendaraan bermotor menuju lokasi akan mengeluarkan gas CO2, CO, Sox, HC dan Pb dapat menyebabkan menurunnya kualitas udara. Kegitan operasional pengolahan akhir sampah yang berdampak terhadap penurunan kualitas udara adalah konsentrasi dan jenis gas di lokasi landfill selama penimbunan. Gas-gas utama yang dihasilkan adalah metandan CO2. Gas metan bila terakumulasiakan mengakibatkan terjadinya ledakan, sedangkan gas CO2 akan menyebabkan perubahan suhu lingkungan mikro (Ahadi, 2011). 2. Kualitas Air Permukaan Kegitan pengoperasian pengolahan akhir sampah akan berdampak terhadap kualitas air permukaan yang akibat air leachate yang dihasilkan dari timbunan sampah yang mengandung bahanbahan organik akan di buang ke sungai/parit. Menurunnya kualitas air sungai ini pada akhirnya akan berdampak lebih lanjut terhadap kesehatan masyarakat, menurunnya keanekaragaman flora dan fauna perairan gangguan kamtibmas dan persepsi negatif masyarakat yang berada dihilir lokasi proyek (Ahadi, 2011). 8. Parameter Hayati a. Flora Perairan (Plankton) Akibat penurunan kualitas air permukaan yang disebabkan oleh air leachate yang di hasilkan oleh kegiatan pengolahan akhir sampah parameter utama Amoniak (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3), COD, BOD dan DO akan berdampak terhadap flora perairan (Plankton) (Ahadi, 2011). b. Fauna Perairan (Bentos dan Ikan)



7



Dampak kegiatan pengoperasian pengolahan akhir sampah kota terhadap fauna perairan (bentos dan ikan ) disebabkan pula oleh air leachate yang dihasilkan oleh kegiatan pengolahan sampah dengan parameter utama Amoniak (NH3), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3), COD, BOD dan DO (Ahadi, 2011).



A. Peraturan Perundangan Menurut Undang-Undang Pemerintah No.18 Tahun 2008 Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi mengakibatkan bertambahnya volume sampah. Di samping itu, pola konsumsi masyarakat memberikan kontribusi dalam menimbulkan jenis sampah yang semakin beragam, antara lain, sampah kemasan yang berbahaya dan/atau sulit diurai oleh proses alam. Selama ini sebagian besar masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna, bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah. Padahal, timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi tempat pemrosesan akhir sampah berpotensi melepas gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global. Agar timbunan sampah dapat terurai melalui proses alam diperlukan jangka waktu yang lama dan diperlukan penanganan dengan biaya yang besar. Paradigma pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengelolaan sampah. Paradigma baru memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, misalnya, untuk energi, kompos, pupuk ataupun untuk bahan baku industri. Pengelolaan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dari hulu, sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah, sampai ke hilir, yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga menjadi sampah, yang kemudian dikembalikan ke media lingkungan secara aman. Pengelolaan sampah dengan paradigma baru tersebut dilakukan dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan, penggunaan kembali, dan pendauran ulang, sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Amanat Undang-Undang Dasar tersebut memberikan konsekuensi bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha. Selain itu organisasi persampahan, 8



dan kelompok masyarakat yang bergerak di bidang persampahan dapat juga diikut sertakan dalam kegiatan pengelolaan sampah. Dalam rangka menyelenggarakan pengelolaan sampah secara terpadu dan komprehensif, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, serta tugas dan wewenang Pemerintah dan pemerintahan daerah untuk melaksanakan pelayanan publik, diperlukan payung hukum dalam bentuk undang-undang. Pengaturan hukum pengelolaan sampah dalam Undang-Undang ini berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Berdasarkan pemikiran di atas, pembentukan Undang-Undang ini sangat diperlukan dalam rangka: a. kepastian hukum bagi rakyat untuk mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan b. ketegasan mengenai larangan memasukkan dan/atau mengimpor sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia c. ketertiban dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah d. kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintahan daerah dalam pengelolaan sampah e. kejelasan antara pengertian sampah yang diatur dalam undangundang ini dan pengertian limbah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 44 : 1.) Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan system pembuangan terbuka paling lama 1 tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini. 2.) Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir samoah yang menggunakan system pembuangan terbuka paling lama 5 tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini. Pasal 45 : Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya yang belum memiliki fasilitas pemilahan sampah pada saat diundangkannya Undang-Undang ini wajib membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lama 1 (satu) tahun.



B. STUDI KASUS : TPA RAWA KUCING



Walhi Soroti Masalah Lingkungan TPA Rawa Kucing Senin, 21 Juni 2021 | 07:22 WIB Berita satu.com 9



1. Pendahuluan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Rawa Kucing terus memunculkan masalahmasalah lingkungan yang pelik. Kritik keras yang disuarakan oleh komunitas lokal mengundang solidaritas aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta, Dede Ahdi. Walhi menilai pemerintah daerah masih lamban dalam mengelola sampah di wilayahnya. Walhi DKI Jakarta melihat pengelolaan sampah di TPA Rawa Kucing berjalan lamban karena terkesan ada masalah di internal pemerintah daerahnya. "Untuk kasus TPA yang tidak terurus berarti ada masalah di internal pemdanya. Padahal, kebijakan atau aturan sudah bagus dibuat, tinggal merealisasikan" kata aktivis Walhi DKI Jakarta Dede Ahdi dalam keterangannya, Senin (21/6/2021). Sebagaimana dilaporkan, TPA Rawa Kucing adalah tempat penampungan sampah utama Kota Tangerang, kini telah melebihi kapasitas daya tampungnya. Akibatnya, rembesan sampah TPA Rawa Kucing terus menerus mencemari lingkungan dan berdampak buruk bagi masyarakat serta petani yang bermukim di sekitarnya. Penurunan derajat kesehatan masyarakat, dan risiko kerusakan lingkungan jangka panjang kini sudah menjadi bom waktu bagi warga Kota Tangerang. Dampak lingkungan kegiatan TPA ini terus memburuk meskipun revitalisasi TPA Rawa Kucing telah diselesaikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan anggaran Rp 82,7 miliar di tahun 2019. Di sisi lain, program pemusnahan sampah melalui waste-to-energy dalam Program Strategis Nasional yang direncanakan belum juga dilaksanakan meskipun sudah ada pemenangnya. Dapat diprediksikan, dalam waktu dekat, Pemerintah Kota Tangerang perlu segera mencari jalan keluar untuk membuang sampahnya di luar TPA Rawa Kucing seperti halnya yang terjadi dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang akhirnya mengirimkan sampahnya ke Kota Serang yang jaraknya hampir 100 kilometer sekali jalan sehingga membebani APBD. Permasalahan yang makin meruncing ini menimbulkan polemik antara pemerintah dan kalangan aktivis lingkungan hidup yang ada di Kota Tangerang. Forum Mahasiswa Pecinta Lingkungan (Formapel) menuntut penanganan sampah di Kota Tangerang seharusnya tidak hanya mengandalkan pasukan kebersihan (pasukan oranye), namun perlu lebih menyeluruh dari hulu ke hilir sehingga tidak merugikan warga diseputar TPA. “Jadi sinergi dari hulu ke hilir harus benar-benar konsen, bukan hanya seremonial,” tutur Arief Iskandar seorang aktivis Formapel. Arief mempertanyakan kenapa sekarang ini sampah malah makin menumpuk di TPA Rawa Kucing. Seharusnya, apabila program-program yang dijalankan Pemkot Tangerang itu memang efektif, sampah yang menumpuk di TPA Rawa Kucing kan berkurang. Artinya, program-program yang berjalan ini masih bersifat seremonial dan kurang berdampak. Formapel berharap Pemerintah Kota Tangerang melaksanakan programprogram penanganan sampah di hulu dan hilir secara massif sehingga dapat mengurangi beban TPA Rawa Kucing. Walhi juga mengamini masukan Formapel, dan lebih jauh meminta pemerintah kota memperhatikan program Jakstranas dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan 10



Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 dan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Di dalam kedua kebijakan ini, Pemerintah Kota wajib secara bersama-sama menurunkan timbulan sampah di hulu dan menanggulangi sampah di hilir (TPA) dengan tata-cara yang tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan. Aturan semua sudah lengkap, tinggal dijalankan. "Hal itu sudah termuat dalam aturan di Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017. Di hulu, pemerintah perlu membangun kesadaran sektor rumah tangga atau masyarakat untuk mengelola sampah dengan 3R mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), dan mendaur ulang (recycle). Di hilir, pemerintah kota perlu menangani sampah dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Jadi, saling membantu antara pemerintah serta lembaganya dan masyarakat," tambah Dede. Menurut Dede, pemerintah daerah sejatinya tidak perlu khawatir menjalankan programprogram penanganan sampah yang memenuhi baku mutu lingkungan karena sudah ada regulasi yang memayungi penanganan masalah sampah tersebut. Jangan sampai program dan kebijakan yang sudah ada justru terbengkalai dan masyarakat yang merasakan dampaknya. Pemerintah daerah, ujar Dedi, harus kreatif dalam pengelolaan sampah yang efisien dan efektif. Seperti mengoptimalkan kegiatan dan kebijakan pengurangan sampah di hulu dan melaksanakan program waste-to-energy di hilir yang saling melengkapi, sehingga terbentuk sistem penanganan sampah yang tersinergi dari hulu ke hilir. Terkait dengan upaya Pemerintah Indonesia berencana mempersiapkan 12 kota agar memiliki fasilitas pemusnahan sampah yang juga membangkitkan listrik untuk menangani sampah di hilir, Walhi melihat semua pihak perlu duduk bersama, mengingat kompleksitas isu dan sumber daya yang diperlukan, sehingga pelaksanaannya dapat dilakukan dengan bijak dan tidak menyisakan masalah baru.



2. Metodologi Penilaian resiko lingkungan merupakan sebuah proses untuk pengumpulan, pengorganisasian, analisis untuk mengestimasi kemungkingan dan ketidakpastian dampak yang tidak diinginkan pada lingkungan (manusia, organisme, dan populasi lainnya). Penilaian resiko didasarkan pada pemahaman bahwa keputusan diambil dibawah kondisi ketidakpastian serta kemauan dari ketergantungan keluaran (output) serta mendapatkan kemungkinan manfaat sebaik-baiknya (Glenn W. Suter II, et al., 2000). Penilaian resiko lingkungan adalah sebuah dokumen yang secara garis besar berisi gabungan resiko kesehatan melalui paparan kontaminan lingkungan pada suatu tempat dan menentukan justifikasi untuk mengambil langkah 11



remediasi atau pemindahan kontaminan (Susan Dempsey, MS, 2007). Pada dasarnya penilaian resiko mempunyai pendekatan struktur untuk menentukan secara alami dan pasti antara penyebab dan efek atau akibatnya. Secara garis besar, proses penilaian resiko mengikuti kerangka seperti ditunjukkan Gambar 1.



Sedangkan Tahapan-tahapan penilaian resiko meliputi: Indentifikasi resiko, Analisis resiko, Penilaian resiko atau Estimasi resiko dan Evaluasi resiko. Berbagai metode analisis yang digunakan dalam penilaian resiko lingkungan antara lain adalah: metode kualitatif dan metode semi kuantitatif (Damayanti A. dkk., 2004).



a. Metode kualitatif Analisis resiko dengan metode kualitatif dilakukan dengan mengkombinasikan antara nilai peluang terjadinya resiko (seperti Tabel 1) dan besarnya resiko (seperti pada Tabel 2) sehingga akan dihasilkan nilai resiko yang terdiri dari resiko tinggi, iresiko menengah, resiko berarti, dan resiko rendah seperti ditunjukkan pada Tabel



12



b. Metode semi kuantitatif Analisis resiko dengan menggunakan metode semi kuantitatif adalah menggabungkan antara unsur frekuensi kejadian, besaran kejadian dan sensitifitas seperti terlihat pada Tabel 4. Sedangkan nilai resiko seperti pada persamaan (1) (Razif. M., 2002). Resiko = Frekuensi kejadian x (Besaran kejadian + Sensitifitas) R = F x (S1 + S2) (1) Dimana jika, R = 1 – 150. : Resiko rendah,pengelolaan dengan prosedur yang rutin R = 151-300 : Resiko sedang,memerlukan perhatian manajemen tingkat tinggi R = 301-450 : Resiko tinggi, memerlukan penelitian dan manajemen terperinci



13



3. Hasil dan Pembahasan Sebelum melakukan identifikasi resiko lingkungan akibat aktifitas TPA, perlu terlebih dahulu diketahui rona lingkungan wilayah studi, yang meliputi rona fisik kimia, biologi, serta sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Berdasarkan observasi dan data sekunder di ketahui bahwa rona 24 Kasam Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan,lingkungan TPA Rawa Kucing merupakan daerah pemukiman warga karena ada nya banyak warga yang bermain di lapangan bola disekitar TPA Rawa Kucing.Sebagian besar wilayah studi merupakan pemukiman yang memiliki beberapa kelompok hutan kota. Tumbuhan yang ada di disekitar TPA Rawa Kucing adalah menurut dinas kebersihan kota Tangerang di TPA Rawa Kucing akan dibangun kebun binatang mini yang akan di huni oleh hewan seperti kalkun,dan akan membangun kandang untuk buaya selain itu ada juga bungabunga seperti anggrek,mawar dan masih banyak lagi.Adapun kerangka system konstruksi TPA seperti dijelaskan pada Gambar 2.



Identifikasi Hazard dan Resiko Dari uraian rona lingkungan yang dijelaskan dan penjelasan tentang aktifitas TPA sebagaimana disebutkan di atas, dapat diidentifikasi hazard dan diperkirakan resiko terhadap komponen lingkungan sebagai berikut: a. Tata guna lahan (tanah)



14



Prakiraan resiko terhadap tata guna lahan yang mungkin terjadi yaitu resiko berasal dari buangan limbah terutama lindi yang mencemari air tanah dan air permukaan, sehingga terjadi perubahan tata guna lahan. b. Kualitas udara Prakiraan resiko terhadap udara, yaitu resiko berasal dari bau gas yang timbul dari proses degradasi sampah yang semakin lama semakin tidak sedap. Akibat pencemaran tersebut warga khususnya masyarakat disekitar TPA Rawa Kucing merasa kurang nyaman akibat terhisapnya bau ke dalam pernafasan. Jenis resiko yang muncul bersifat negatif. Bobotnya besar karena pencemaran gas yang timbul jumlahnya besar dan berlangsung terus menerus serta merupakan gas yang berbahaya. c. Kualitas air permukaan Prakiraan resiko terhadap air permukaan yaitu berasal dari pengolahan limbah cair, yang dibuang ke sungai. Resiko yang timbul pada flora, fauna, dan manusia, yang memanfaatkan sungai. Resiko terbesar yang mungkin terjadi adalah matinya biota air, tumbuhan air, dan hewan air. Resiko yang muncul bersifat negatif. d. Kualitas air tanah Prakiraan resiko terhadap air tanah yaitu berasal dari pengolahan lindi dan rembesan lindi pada lapisan dasar TPA. Resiko yang timbul pada manusia, yang memanfaatkan air tanah untuk keperluan sehari-hari dapat menyebabkan berbagai penyakit yang menyerang pencernaan dan juga dapat menyebabkan sakit kulit. e. Flora darat Prakiraan resiko terhadap flora darat berasal dari pengolahan limbah cair kemudian kemudian dibuang ke sungai lalu dihisap oleh tumbuhan yang hidup di sekitar sungai. Selain itu gangguan terhadap flora air adanya gas Methan. Resiko yang mungkin timbul berupa berkurangnya kemampuan tumbuhan dalam berfotosintesis sehingga menyebabkan tumbuhan tersebut mati serta bersifat negatif. Tetapi bobotnya sedang karena effluen dari IPAL telah mengalami pengenceran air sungai sehingga konsentrasi pencemar juga menurun. f. Flora air Prakiraan resiko terhadap flora air berasal dari pengolahan limbah cair kemudian kemudian dibuang ke sungai lalu dihisap oleh tumbuhan yang hidup di sekitar 15



sungai. Selain itu gangguan terhadap flora air juga dari adanya gas Methan. Resiko yang mungkin timbul berupa berkurangnya kemampuan tumbuhan dalam berfotosintesis sehingga menyebabkan tumbuhan tersebut mati serta bersifat negatif. Tetapi bobotnya sedang karena efluen dari IPAL telah mengalami pengenceran air sungai sehingga konsentrasi pencemar juga menurun. g. Fauna darat Prakiraan resiko terhadap fauna darat berasal dari tumpukan sampah kemudian dimakan. Selain itu gangguan terhadap fauna darat juga dari adanya gas methan. Resiko yang mungkin timbul berupa terakumulasinya unsur-unsur berbahaya seperti logam berat pada hewan yang selalu makan tumpukan sampah. h. Fauna air Prakiraan resiko terhadap fauna air berasal dari limbah cair yang berasal dari kolam pengolahan ke sungai. Resiko yang mungkin timbul berupa berkurangnya fauna di dalam air serta bersifat negatif. Bobotnya sedang karena effluen dari pabrik tahu telah mengalami pengolahan sehingga konsentrasi pencemar juga kecil, namun demikian pada kondisi tertentu IPAL akan mengalami gangguan. i. Tingkat kesehatan masyarakat Prakiraan resiko terhadap tingkat kesehatan masyarakat berasal dari buangan pengolahan limbah cair yang masuk ke dalam air permukaan/sungai, di mana masyarakat sekitar tinggal dan memanfaatkan sungai. Disamping itu masyarakat juga mengkonsumsi air tanah yang terkontaminasi lindi yang meresap melalui lapisan dasar TPA. Resiko yang mungkin timbul berupa munculnya penyakit kulit, perut, dan sebagainya serta bersifat negatif. Bobotnya adalah besar karena berkaitan secara langsung dengan kehipuan manusia. j. Estetika lingkungan Prakiraan resiko terhadap estetika lingkungan berasal dari limbah cair yang dari kolam pengolahan yang masuk ke dalam air permukaan/sungai, limbah padat yang ditumpuk dan timbulnya gas yang menimbulkan bau tidak enak. Resiko yang mungkin terjadi berupa penurunan estetika lingkungan dan bersifat negatif serta bobotnya besar.



16



Analisis Resiko Analisis Resiko Lingkungan merupakan kegiatan memperkirakan kemungkinan munculnya suatu resiko dari suatu kegiatan dan menentukan dampak dari kegiatan/peristiwa tersebut. Dalam studi ini, analisis digunakan metode kualitatif dan metode semi kuantitatif (Idris, 2003). a. Metode kualitatif Seperti dijelaskan pada bagian metodologi, maka nilai peluang resiko pada kegiatan TPA Rawa Kucing dapat ditentukan seperti pada Tabel 5, sedangkan besarnya resiko ditunjukkan pada Tabel 6. Sehingga nilai resiko yang akan terjadi pada TPA Rawa Kucing dapat ditentukan, yaitu ditunjukkan pada Tabel 7. Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode kualitatif dan metode semi kuantitatif diketahui nilai resiko pada setiap bagian maupun nilai resiko total. Nilai resiko yang dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif diketahui sebagai berikut: dari 10 komponen lingkungan penerima resiko terdapat 3 komponen yang mempunyai nilai resiko tinggi (H) atau 30% yaitu: Pencemaran udara, Pencemaran air tanah, dan Berkurangnya estetika lingkungan. Untuk nilai resiko menengah 5 atau 50% komponen masing-masing: Perubahan tata guna lahan, Pencemaran air permukaan, Penurunan jumlah flora air (aquatik), Penurunan jumlah fauna air, dan Penurunan tingkat kesehatan masyarakat. Sedangkan yang mempunyai nilai resiko rendah 2 atau 20% komponen yaitu: Penurunan jumlah flora darat (terestrial) dan Penurunan jumlah fauna darat.



17



18



19



b. Metode semi kuantitatif Dalam metode semi kuantitatif, maka frekuensi kejadian pada kegiatan TPA Rawa Kucing dapat ditentukan seperti pada Tabel 8, besarnya pengaruh ditunjukkan pada Tabel 6 dan nilai sensitifitas ditunjukkan pada Tabel 9. Sehingga nilai resiko yang akan terjadi pada TPA Rawa Kucing dapat ditentukan, yaitu ditunjukkan pada Tabel 10. Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode semi kuantitatif diketahui nilai resiko pada setiap bagian maupun nilai resiko total. Nilai resiko yang dianalisis pada setiap komponen diketahui sebagai berikut: Dari 10 komponen lingkungan penerima resiko terdapat 3 atau 30% komponen yang mempunyai nilai resiko lebih dari 25 (tinggi) yaitu: Pencemaran udara, Pencemaran air tanah, dan Berkurangnya estetika lingkungan. Untuk nilai resiko antara 15 sd 25 (sedang) terdapat 4 atau 40% komponen masing-masing: Pencemaran air permukaan, Penurunan jumlah flora air (aquatik), Penurunan jumlah fauna air, dan Penurunan tingkat kesehatan masyarakat. Sedangkan yang mempunyai nilai resiko kurang dari 15 (rendah) atau 30% komponen yaitu: Penggunaan tata guna lahan, Penurunan jumlah flora darat 20



(terestrial) dan Penurunan jumlah fauna darat. Adapun secara total nilai resikonya adalah sedang dengan nilai 181.



BAB III PENUTUP



4. Kesimpulan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan salah satu tempat yang digunakan untuk membuang sampah yang telah mencapai tahap akhir pengelolaan sampah sejak timbulan pertama, pengumpulan, pengangkutan, pengelolaan dan pembuangan sampah yang harus terisolasi dengan baik untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan sekitar TPA. Tujuan pengukuran kualitas lingkungan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah untuk mengetahui gambaran kualitas tanah, kualitas udara dan kepadatan vektor di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA), serta status kesehatan masyarakat dan ada juga Tujuan lain dari pengukuran kualitas lingkungan tempat pembuangan akhir sampah yaitu untuk mengukur efisiensi dan efektivitas pengelolaan lingkungan yang dilakukan, serta dampak yang akan ditimpulkan oleh tempat pembuangan akhir sampah. Parameter kualitas lingkungan sangat penting dilakukan khususnya pada tempat pembuangan akhir (TPA), parameter kualitas lingkungan TPA dibagi beberapa macam yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Parameter fisika Parameter Kimia Drainase Lapisan kedap air Penanganan gas Penanganan lindi Parameter hayati



Paradigma pengelolaan sampah yang bertumpu pada pendekatan akhir sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan paradigma baru pengelolaan sampah. Paradigma baru 21



memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan, misalnya, untuk energi, kompos, pupuk ataupun untuk bahan baku industri. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Amanat Undang-Undang Dasar tersebut memberikan konsekuensi bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan sampah. Hal itu membawa konsekuensi hukum bahwa pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya dapat bermitra dengan badan usaha. Selain itu organisasi persampahan, dan kelompok masyarakat yang bergerak di bidang persampahan dapat juga diikut sertakan dalam kegiatan pengelolaan sampah.



5. Saran 1. Bagi masyarakat lebih menjaga dan memelihara lingkungan agar tidak menjadi tempat berkembangbiaknya vektor penyakit terutama yang disebabkan oleh keberadaan sampah. Untuk masyarakat hendaknya menerapkan PHBS agar kesehatan dan kebersihan lingkungan selalu tetap terjaga. Bagi masyarakat yang bermukim disekitar TPA dengan jarak