Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Karet Pada Industri Ban (Studi Kasus Di Pt. Bridgestone Tire Indonesia, Bekasi) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU KARET PADA INDUSTRI BAN (Studi Kasus di PT. Bridgestone Tire Indonesia, Bekasi)



Oleh ELFRIDA F 34102002



2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR



Elfrida. F 34102002. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Karet pada Industri Ban (Studi Kasus PT. Bridgestone Tire Indonesia). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Irawadi Jamaran.



RINGKASAN



Pada tahun 2005, perusahaan yang bergerak dalam bisnis pengolahan karet semakin berkembang. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya permintaan terhadap karet alam dan karet sintetik di pasar lokal dan internasional. Dalam hal ini PT. Bridgestone Tire Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha pengolahan karet menjadi produk ban. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan sistem pengendalian persediaan bahan baku di PT. Bridgestone Tire Indonesia, menentukan model penentuan kebijakan pengendalian bahan dalam rangka menjaga kelancaran produksi serta mengetahui tingkat efisiensi metode yang digunakan oleh perusahaan dibandingkan dengan metode simulasi dalam hal penghematan biaya persediaan bahan baku. Terdapat delapan bahan baku utama yang digunakan oleh PT. Bridgestone Tire Indonesia dalam memproduksi ban. Pada dasarnya setiap jenis bahan baku memerlukan pengendalian persediaan, namun penelitian diprioritaskan pada pengendalian bahan baku karet yaitu karet alam dan karet sintetis. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah pemakaian bahan baku PT. Bridgestone Tire Indonesia selama tahun 2005 untuk bahan baku karet alam 2.599.145,167 kg per bulan dan karet sintetis 1.956.776,083 kg per bulan. Selain itu diperoleh pula penerimaan bahan baku pada PT. Bridgestone Tire Indonesia selama tahun 2005 untuk bahan baku karet alam 2.605.109,75 kg per bulan dan karet sintetis 2.044.690,5 kg per bulan. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengendalikan persediaan bahan baku. Metode Material Requirements Planning (MRP) dengan teknik Part Period Balancing (PPB) dijadikan prioritas dalam pengendalian persediaan bahan baku karet alam, sedangkan teknik Economic Order Quantity (EOQ) dijadikan prioritas dalam pengendalian persediaan bahan baku karet sintetis karena menghasilkan biaya persediaan yang lebih sedikit. Teknik Lot for Lot (LFL) tidak sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan dan resiko kekurangan bahan baku juga lebih besar sehingga tidak dijadikan prioritas. Simulasi dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Quantitative System Business (QSB). Model yang dipilih sebagai alternatif bagi perusahaan adalah model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) dan Continuous Review Order Up to (s,S). Berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan, maka model yang memberikan total persediaan paling minimum adalah model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) untuk pengendalian persediaan bahan baku karet alam dan karet sintetis jika semua komponen biaya tetap seperti sistem saat ini. Nilai titik pemesanan kembali dari model ini untuk bahan baku karet alam adalah 699.868,2 kg dengan jumlah pemesanan sebanyak 243.804,6 kg dan



frekuensi sebanyak 127 kali dalam setahun. Proses simulasi dilakukan selama 12 bulan dan menghasilkan total biaya persediaan rata-rata setiap bulannya sebesar Rp. 1.301.524,00. Nilai titik pemesanan kembali dari model ini untuk bahan baku karet sintetis adalah 4.110.000 kg dengan jumlah pemesanan sebanyak 2.170.000 kg dengan frekuensi pemesanan sebanyak 10 kali. Proses simulasi dilakukan selama 12 bulan dan menghasilkan total biaya persediaan rata-rata setiap bulannya sebesar Rp. 86.970.880,00. Persediaan pengaman yang dihasilkan dari simulasi ini dihitung dengan service level 99 persen. Persediaan pengaman untuk bahan baku karet alam adalah sebesar 180.039,1 kg, sedangkan persediaan pengaman untuk bahan baku karet sintetis adalah sebesar 194.519,8 kg. Kombinasi antara pemesanan optimum dan titik pemesanan kembali menghasilkan total biaya persediaan. Dari hasil perhitungan total biaya persediaan dapat disimpulkan bahwa metode simulasi lebih efisien dibandingkan metode perusahaan. Hasil simulasi ini menunjukkan adanya penghematan yang terjadi yaitu sebesar Rp. 16.974.254,58 untuk karet alam dan Rp. 1.989.474.608,00 untuk karet sintetis. Hasil uji T-student untuk data penerimaan bahan baku karet alam adalah sebesar 0,23 pada tingkat kepercayaan 95% berada dalam selang (-1,65.1,645). Maka model simulasi untuk penerimaan bahan baku karet alam adalah valid. Hasil uji T-student untuk data penerimaan bahan baku karet sintetis adalah sebesar -1.33 pada tingkat kepercayaan 95% berada dalam selang (-1,65.1,645). Maka model simulasi untuk penerimaan bahan baku karet sintetis adalah valid. Analisis sensitivitas harus dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kepekaan model terhadap sejumlah perubahan masukan pada model. Hasil analisis yang dilakukan terhadap model sistem pengendalian bahan baku karet alam dan karet sintetis menunjukkan hampir semua model sistem sensitif terhadap perubahan biaya pemesanan, biaya penyimpanan, waktu tunggu dan harga bahan baku. Perubahan yang dilakukan pada input adalah kenaikan serta penurunan sebesar 10 persen. Pada bahan baku karet alam, hasil analisis sensitivitas menunjukkan model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) cenderung memiliki total persediaan paling minimum. Pada bahan baku karet sintetis, hasil analisis sensitivitas menunjukkan model sistem Continuous Review Order Up to (s,S) cenderung memiliki total persediaan paling minimum. Agar dapat mengantisipasi terjadinya perubahan biaya pemesanan, biaya penyimpanan, harga bahan baku dan waktu tunggu, perusahaan disarankan untuk menerapkan model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) untuk pengendalian persediaan bahan baku karet alam, sedangkan model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) untuk pengendalian persediaan bahan baku karet sintetis.



Elfrida. F 34102002. The Analysis of Rubber Material Inventory Control at Tire Industry (Case Study at PT. Bridgestone Tire Indonesia). Supervised by Dr. Ir. Irawadi Jamaran.



SUMMARY



In 2005, rubber based industries was developed well. This could see from more rapid demand of natural rubber and synthetic rubber in local or international market. In this case, PT. Bridgestone Tire Indonesia is one of the companies in rubber manufacture business to produce tire. The objective of this research are to explain rubber material inventory and controlling system at PT. Bridgestone Tire Indonesia, to choose rubber material inventory controlling policy model in order to keep the production smoothness and to find the efficiency level method which used by company than simulation method in material inventory cost minimization. There are eight various main material used by PT. Bridgestone Tire Indonesia in tire production. Basically, each of material need the inventory controlling, but this research focuses at rubber material controlling, such as natural rubber and synthetic rubber. The result of this research are demand of natural rubber material at PT. Bridgestone Tire Indonesia in 2005 are 2.599.145,167 kg per month and 1.956.776,083 kg per month of synthetic rubber. In addition to this case, obtained the order of natural rubber material at PT. Bridgestone Tire Indonesia in 2005 are 2.605.109,75 kg per month and 2.044.690,5 kg per month of synthetic rubber. There are several methods can be used in material controlling. Material Requirements Planning (MRP) method with Part Period Balancing (PPB) technique is chosen as priority in natural rubber material inventory controlling, in addition to this, Economic Order Quantity (EOQ) technique is chosen as priority in synthetic rubber material inventory controlling. Lot for Lot (LFL) technique is not compatible with company policy and the risk of material shortage is also higher. The simulation is done by using Quantitative System Business (QSB) software. The chosen models as alternative to the company are Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) and Continuous Review Order Up to (s,S) system model. Based of the result of simulation, Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) system model was selected as the model which gives minimum total inventory cost for natural rubber and synthetic rubber material inventory controlling if all of the cost component are fixed like the existing system. The reorder point of this model is 699.868,2 kg for natural rubber material with 243.804,6 kg of the economic order quantity and 127 times of ordering frequency in a year. The simulation process is done for 12 months and result Rp. 1.301.524,00 as the average of total inventory cost every month. The reorder point of this model is 4.110.000 kg for synthetic rubber material with 2.170.000 kg of the economic order quantity and 10 times of



ordering frequency in a year. The simulation process is done for 12 months and result Rp. 86.970.880,00 as the average of total inventory cost every month. Safety stock level and reorder point as the result of this simulation is calculated with 99% of service level. Material safety stock is 180.039,1 kg for natural rubber and 194.519,8 kg for synthetic rubber. The combination between optimum order and reorder point result in total supply cost. The calculation of total inventory cost indicates that simulation method is more efficient than company method. The result of simulation show that the economizing cost total are Rp. 16.974.254,58 for natural rubber and Rp. 1.989.474.608,00 for synthetic rubber. The result of T-student test for natural rubber material demand data is 0,23 in 95% trust level of interval (-1,65.1,645). Then simulation model for natural rubber material demand is valid. The result of T-student test for synthetic rubber material demand data is -1.33 in 95% trust level of interval (-1,65.1,645). Then simulation model for synthetic rubber material demand is valid. Sensitivity analysis must be done to know how far the model sensitivity to the changing of model input. Analysis of natural rubber and synthetic rubber inventory controlling model result show that almost all of system model are sensitive to order cost change, holding cost change, lead time and material price change. Sensitivity analysis of natural rubber material show that Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) system model tends to result minimum total inventory cost. Sensitivity analysis of synthetic rubber material show that Continuous Review Order Up to (s,S) system model tends to result minimum total inventory cost. In order to anticipate the order cost change, holding cost change, lead time and material price change, the company has to use Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) system model for natural rubber material inventory controlling and Continuous Review Order Up To (s,S) system model for synthetic rubber material inventory controlling.



INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU KARET PADA INDUSTRI BAN (Studi Kasus di PT. Bridgestone Tire Indonesia, Bekasi)



SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor



Oleh ELFRIDA F 34102002



2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR



SURAT PERNYATAAN



Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Karet Pada Industri Ban (Studi Kasus di PT. Bridgestone Tire Indonesia, Bekasi)” adalah hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.



Bogor, 24 Januari 2007 Yang Membuat Pernyataan



E L F R I DA NRP. F34102002



INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN ;



ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU KARET PADA INDUSTRI BAN (Studi Kasus di PT. Bridgestone Tire Indonesia, Bekasi)



SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor



Oleh ELFRIDA F 34102002



Dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1985 Di Bekasi, Jawa Barat



Tanggal Lulus: Januari 2007



Disetujui: Bogor, 24 Januari 2007



Dr. Ir.



Irawadi Jamaran



Dosen Pembimbing Akademik



BIODATA PENULIS



Penulis dilahirkan di Bekasi, Jawa Barat pada tanggal 16 Mei 1985 dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara dengan ayah bernama S. Parlyn Rumahorbo dan ibu bernama Cornella Pasaribu. Penulis menjalani pendidikan dari bangku TK Methodist Pematangsiantar. Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikannya di SD Methodist Pematangsiantar. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Methodist Pematangsiantar. Setelah lulus pada tahun 1999, penulis melanjutkan studi ke SMU Negeri 4 Pematangsiantar sampai lulus tahun 2002. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui program USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) pada jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian dan menyelesaikan sarjananya pada tahun 2006. Memasuki semester ke tujuh, penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Arnott’s



Indonesia



dengan



topik



“Penerapan



Continuous



Improvement



(Peningkatan Berkesinambungan) di PT. Arnott’s Indonesia, Bekasi, Jawa Barat”. Pada semester ke delapan, penulis melakukan penelitian di PT. Bridgestone Tire Indonesia dengan topik “Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Karet pada Industri Ban (Studi Kasus di PT. Bridgestone Tire Indonesia, Bekasi)” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Irawadi Jamaran.



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa di Surga, karena atas limpahan anugerah-Nya seluruh tahapan penelitian hingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi, penulis banyak memperoleh bantuan, dorongan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih dan rasa penghargaan yang tulus kepada: 1. Dr. Ir. Irawadi Jamaran selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing, dan memberikan saran pada penulis. 2. Dr. Ir. Illah Sailah, MS. dan Dr. Ir. Ono Suparno, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis. 3. Mama, Papa, kakak serta adik-adik tercinta; Kak Ina, Dek Diana dan Dek Mela yang selalu memberikan doa, kasih sayang dan motivasi kepada penulis. 4. Pimpinan PT. Bridgestone Tire Indonesia yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan peneletian. 5. Seluruh staf dan karyawan PT. Bridgestone Tire Indonesia atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melaksanakan penelitian. 6. Ignatius yang selalu memberikan doa, kasih sayang dan dukungan moril kepada penulis. 7. Teman-temanku yang baik (Jenny Eva, Iffa, Novita, Santy dan Royan) yang selalu memberikan bantuan dan semangat kepada penulis.. 8. “All Tiners” atas kebersamaannya selama ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada hal-hal yang kurang sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.



Bogor, 24 Januari 2007



Elfrida



DAFTAR ISI



halaman KATA PENGANTAR ............................................................................



i



DAFTAR ISI ...........................................................................................



ii



DAFTAR TABEL ..................................................................................



iv



DAFTAR GAMBAR .............................................................................



vi



DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................



vii



I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...........................................................................



1



B. Tujuan ........................................................................................ C. Ruang Lingkup ........................................................................... D. Manfaat ......................................................................................



4 5 5



II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bahan baku ................................................................................. B. Persediaan .................................................................................. C. Biaya Persediaan ........................................................................



6 7 8



D. E. F. G.



Model Pengendalian Persediaan ................................................. Distribusi Data ........................................................................... Simulasi ...................................................................................... Penelitian Terdahulu ..................................................................



9 15 16 17



III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran ...................................................................



19



B. Pendekatan Berencana ............................................................... C. Tata Laksana ..............................................................................



19 20



IV. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN A. Sejarah Singkat Perusahaan ....................................................... B. Perkembangan Perusahaan ......................................................... C. Kebijakan Perusahaan ................................................................



22 22 24



D. Peningkatan dan Pengawasan Mutu .......................................... E. Fasilitas Perusahaan ................................................................... F. Bidang Usaha Perusahaan ..........................................................



25 25 25



ii



G. Struktur Organisasi .................................................................... H. Kegiatan Usaha Perusahaan ........................................................ I. Jenis Produk ...............................................................................



26 28 29



V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Bahan Baku ................................................................................



31



B. C. D. E.



Mekanisme Pengadaan Bahan Baku .......................................... Mekanisme Pengadaan Bahan Baku .......................................... Waktu Tunggu Pengadaan Bahan Baku ..................................... Pemakaian Bahan Baku .............................................................



32 34 37 38



F. Kebijakan Pengendalian Persediaan Bahan Baku Pada PT. Bridgestone Tire Indonesia .........................................



42



G. Biaya-biaya Persediaan ..............................................................



44



H. Frekuensi Pemesanan ................................................................. I. Pengendalian Persediaan Bahan Baku dengan Metode Material Requirement Planning (MRP) ....................................



47 48



J. Perbandingan Antara Metode MRP dengan Metode Perusahaan .................................................................... K. Persediaan Pengaman ................................................................. L. Titik Pemesanan Kembali............................................................. M. Output Hasil Simulasi ................................................................



52 60 61 62



N. Perbandingan Antara Hasil Simulasi dengan Model Perusahaan ...................................................................... O. Validasi Model ........................................................................... P. Analisis Sensitivitas ...................................................................



63 65 65



VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................



68



B. Saran ..........................................................................................



69



DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................



70



LAMPIRAN ..........................................................................................



73



iii



DAFTAR TABEL



halaman Tabel 1. Konsumsi karet untuk berbagai kebutuhan ............................



2



Tabel 2. Perusahaan-perusahaan ban di Indonesia ...............................



3



Tabel 3. Pangsa pasar produsen ban mobil Indonesia ..........................



3



Tabel 4. Standar spesifikasi SIR ..........................................................



6



Tabel 5. Format MRP ..........................................................................



11



Tabel 6. Daftar batas nichigen bahan baku ..........................................



37



Tabel 7. Waktu tunggu bahan baku ......................................................



38



Tabel 8. Tingkat pemakaian bahan baku karet alam ............................



39



Tabel 9. Tingkat persediaan bahan baku karet alam ............................



40



Tabel 10. Tingkat persediaan bahan baku karet sintetis .........................



41



Tabel 11. Standar stock karet alam dan karet sintetis ............................



44



Tabel 12. Biaya pemesanan bahan baku karet .......................................



45



Tabel 13. Perhitungan biaya penyimpanan karet alam ..........................



47



Tabel 14. Perhitungan biaya penyimpanan karet sintetis .......................



47



Tabel 15. Frekuensi pemesanan bahan baku karet .................................



47



Tabel 16. Perbandingan pengendalian karet alam antara metode perusahaan dengan metode MRP teknik LFL, EOQ dan PPB .........................................................................



52



Tabel 17. Penghematan metode alternatif karet alam terhadap metode perusahaan ..................................................



54



Tabel 18. Perbandingan pengendalian karet sintetis antara Metode perusahaan dengan metode MRP teknik LFL, EOQ dan PPB .........................................................................



56



Tabel 19. Penghematan metode alternatif karet sintetis terhadap metode perusahaan ..................................................



57



Tabel 20. Persediaan pengaman karet dengan berbagai tingkat pelayanan ....................................................................



60



Tabel 21. Titik pemesanan kembali bahan baku karet ...........................



62



iv



Tabel 22. Total biaya persediaan hasil simulasi bahan baku karet ........



64



Tabel 23. Penghematan hasil simulasi bahan baku karet .......................



64



v



DAFTAR GAMBAR



halaman Gambar 1. Tahapan analisis model sistem pengendalian persediaan bahan baku karet ................................................



22



Gambar 2. Diagram alir proses produksi pembuatan ban di PT. Bridgestone Tire Indonesia ........................................



28



Gambar 3. Diagram alir mekanisme pengadaan bahan baku di PT. Bridgestone Tire Indonesia ........................................



33



Gambar 4. Diagram alir mekanisme penerimaan bahan baku di PT. Bridgestone Tire Indonesia ........................................



34



Gambar 5. Grafik tingkat pemakaian bahan baku karet .........................



39



Gambar 6. Grafik tingkat persediaan bahan baku karet alam ................



41



Gambar 7. Grafik tingkat persediaan bahan baku karet sintetis .............



42



vi



DAFTAR LAMPIRAN



halaman Lampiran 1. Struktur organisasi PT. Bridgestone Tire Indonesia ........



73



Lampiran 2. Harga bahan baku karet alam ..........................................



74



Lampiran 3. Harga bahan baku karet sintetis .......................................



74



Lampiran 4. Perhitungan persediaan bahan baku karet alam dengan metode LFL ........................................



75



Lampiran 5. Perhitungan persediaan bahan baku karet alam dengan metode EOQ ........................................



77



Lampiran 6. Perhitungan persediaan bahan baku karet alam dengan metode PPB ........................................



79



Lampiran 7. Perhitungan persediaan bahan baku karet sintetis dengan metode LFL ........................................



81



Lampiran 8. Perhitungan persediaan bahan baku karet sintetis dengan metode EOQ ........................................



83



Lampiran 9. Perhitungan persediaan bahan baku karet sintetis dengan metode PPB ........................................



85



Lampiran 10. Input data hasil simulasi pengendalian bahan baku karet alam .....................................................



87



Lampiran 11. Proses simulasi model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet alam ....................



87



Lampiran 12. Grafik model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet alam ...............................



88



Lampiran 13. Output model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet alam ...............................



88



Lampiran 14. Input data hasil simulasi pengendalian bahan baku karet sintetis ......................................................................



89



Lampiran 15. Proses simulasi model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet sintetis .................



89



vii



Lampiran 16. Grafik model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet sintetis ...........................



90



Lampiran 17. Output model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet sintetis ...........................



90



Lampiran 18. Proses simulasi model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet alam ..................................



91



Lampiran 19. Grafik model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet alam .............................................



91



Lampiran 20. Output model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet alam .............................................



92



Lampiran 21. Proses simulasi model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet sintetis ..............................



92



Lampiran 22. Grafik model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet sintetis .........................................



93



Lampiran 23. Output model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet sintetis .........................................



93



Lampiran 24. Hasil Uji T-Student .........................................................



94



Lampiran 25. Total biaya persediaan untuk semua analisis sensitivitas pada bahan baku karet .....................................................



95



viii



I.



A.



PENDAHULUAN



LATAR BELAKANG Tanaman karet (Hevea braziliensis) adalah salah satu komoditas pertanian



yang berasal dari Brasilia. Tanaman ini merupakan salah satu komoditas penting baik sebagai bahan baku bagi industri maupun dalam menyumbang devisa bagi Indonesia. Hasil utama dari karet adalah lateks karet yang dapat menghasilkan bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, sepatu karet, dan lain sebagainya. Hasil sampingan dari karet adalah kayu karet yang berasal dari kegiatan rehabilitasi kebun atau peremajaan kebun karet tua yang tidak menghasilkan lateks lagi. Kayu karet dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan rumah, kayu api, arang, ataupun kayu gergajian untuk alat rumah tangga (furniture). Indonesia merupakan negara penghasil karet alam nomor dua terbesar di dunia setelah Thailand dengan total produksi pada tahun 2004 mencapai 2,06 juta ton dan naik menjadi 2,128 juta ton pada tahun 2005. Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor karet Indonesia meningkat 30,98 persen dari US$ 2,229 miliar pada tahun 2003 menjadi US$ 2,92 miliar di tahun 2004. Berdasarkan perhitungan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia, volumenya meningkat dari 1,66 juta ton di 2003 menjadi 1,886 juta ton pada 2004. Permintaan terhadap karet alam dan karet sintetik di pasar lokal dan internasional menunjukkan prospek yang cukup baik. Karet sintetis berasal dari minyak bumi yang diolah sedemikian rupa sehingga mempunyai sifat-sifat karet, seperti kekenyalan, daya lambung (plasticity resistence indeks), dan daya pegas. Konsumsi karet alam cenderung meningkat lebih cepat dengan laju pertumbuhan 6,6% pada tahun 2005 dibandingkan dengan karet sintetis yang hanya 1,4%. Total konsumsi karet dunia meningkat dari 20,68 juta ton di tahun 2005 menjadi 21,51 juta ton di tahun 2006, sedangkan konsumsi karet sintetik dunia naik sekitar 2,6% atau 12 juta ton di tahun 2005. Karet alam dapat langsung diolah menjadi barang setengah jadi, namun untuk memberikan nilai tambah yang maksimal harus ada penanganan lebih lanjut



seperti penggunaan teknologi tinggi pada industri ban. Industri ban merupakan industri yang paling banyak menyerap bahan baku karet yaitu sekitar 70 persen karet dunia. Di Indonesia, industri ban dalam dan ban luar mengkonsumsi bahan baku karet alam terbesar yaitu lebih dari 50 persen dibandingkan industri lainnya. Tabel 1. Konsumsi karet untuk berbagai kebutuhan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Konsumsi Karet dalam Berbagai Kebutuhan Ban kendaraan dan komponennya Kebutuhan perekat/lem Alas kaki Produk hasil industri celup Alat-alat teknik Suku cadang komponen industri Lain-lain



Persentase (%) 70 2 4 7 4 10 3



Sampai saat ini kebutuhan dunia diperlukan setidaknya 50 juta ban mobil untuk mobil baru. Sementara untuk jumlah mobil yang ada diperlukan setidaknya 1 milyar ban mobil untuk seluruh mobil di dunia. Data terakhir menunjukkan tingkat konsumsi ban dunia belum terpenuhi oleh produksi ban dunia. Sebuah pabrik di Indonesia rata-rata setahunnya hanya mampu menghasilkan 40.000 ban mobil. Menurut data yang ada, total produksi ban Indonesia saat ini sekitar 100.000 ban. Maka tersedia peluang untuk mengisi 50 juta ban mobil baru dengan devisa mendekati 7,5-10 milyar US dollar per tahun (Muchlis 2003). Di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan yang memproduksi ban yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI). Sembilan perusahaan memproduksi ban kendaraan roda empat dan perusahaan lainnya memproduksi ban kendaraan roda dua dan sepeda. PT. Bridgestone Tire Indonesia merupakan salah satu perusahaan ban yang memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri khusus untuk produksi ban kendaraan roda empat. Perusahan-perusahaan yang tergabung dalam APBI tersebut disajikan dalam Tabel 2 berikut.



2



Tabel 2. Perusahaan ban di Indonesia No.



Jenis Ban Kendaraan



1.



Roda Empat



2.



Roda Dua



Nama Perusahaan Intirub Good Year Bridgestone Gajah Tunggal Mega Rubber Karet Deli Ariga Mira Oroban Perkasa Sumi Rubber Gajah Tunggal Mega Rubber Karet Deli Ariga Mira Suryaraya Rubberindo Sumi Rubber Banteng Pratama



Sumber: APBI (1998)



Pangsa pasar untuk kendaraan roda empat di Indonesia masih dikuasai oleh merek-merek dari tiga perusahaan ban besar yaitu PT. Gajah Tunggal, PT. Bridgestone Tire Indonesia dan PT. Good Year. Saat ini PT. Bridgestone Tire Indonesia memiliki pangsa pasar terbesar di Indonesia baik dalam pasar pengganti maupun dalam pasar perakitan diikuti oleh perusahaan Good Year yang memiliki pangsa pasar terbesar kedua. Pangsa pasar produsen ban mobil di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Pangsa pasar produsen ban mobil Indonesia Nama Perusahaan Good Year Bridgestone Gajah Tunggal Sumi Rubber Other



Pasar Pengganti/ Replacement (%) 2000 2001 2002 19,7 20,8 18,7 47,0 51,7 48,0 12,6 11,7 9,0 14,0 11,2 10,7 6,7 4,6 13,6



Pasar Perakitan/Original Equipment (%) 2000 2001 2002 17,5 15,8 19,3 66,5 66,4 66,5 4,0 7,7 11,7 10,1 14,2 1,6



Sumber: APBI, 2003 (diolah)



Pemenuhan pangsa pasar ini harus diikuti dengan peningkatan efisiensi dalam manajemen perusahaan. Salah satu efisiensi yang perlu diterapkan perusahaan adalah dalam hal pengendalian persediaan bahan baku. Persediaan yang ada harus terkendali dengan baik dalam rangka menjamin perusahaan untuk dapat berproduksi secara kontinu.



3



Dengan pengaturan persediaan bahan baku yang baik maka kegiatan proses produksi dapat berjalan lancar sehingga dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan laba. Sebaliknya jika pengaturan persediaan tidak terkendali akan menyebabkan



terhambatnya



proses



produksi



sehingga



perusahaan



akan



mengalami kerugian-kerugian seperti menganggurnya tenaga kerja yang harus tetap dibayar serta berkurangnya barang hasil produksi perusahaan di pasar. Hal lebih jauh yang dapat terjadi yaitu beralihnya konsumen kepada produk perusahaan lain yang sejenis. PT. Bridgestone Tire Indonesia tetap melakukan antisipasi terhadap gangguan produksi akibat kekurangan bahan baku karet sebagai bahan baku utama dengan jalan memilih beberapa pemasok yang dapat memenuhi kebutuhan bahan baku karet untuk produksi. Dalam hal ini PT. Bridgestone Tire Indonesia menetapkan pembelian dalam jumlah besar agar perusahaan dapat memenuhi permintaan pelanggannya sehingga para pemasok harus dapat memenuhi seluruh pesanan perusahaan. Perusahaan terkadang menghadapi kondisi berupa adanya perubahan permintaan dari pelanggan. Perubahan permintaan tersebut dapat berupa perubahan terhadap jenis produk yang diminta atau perubahan permintaan jumlah produk sehingga harus ada penambahan atau pengurangan jumlah bahan baku. Ada beberapa metode yang digunakan dalam upaya pengendalian persediaan bahan baku dan diharapkan dengan model dengan output yang terbaik maka bahan baku selalu tersedia pada saat yang dibutuhkan sehingga perusahaan mampu menjalankan produksi dengan baik.



B.



TUJUAN Tujuan dari penelitian adalah:



1. Menjelaskan sistem pengadaan dan pengendalian bahan baku karet yang diterapkan oleh PT. Bridgestone Tire Indonesia. 2. Menganalisis metode alternatif pengendalian persediaan bahan baku karet bagi perusahaan. 3. Mengetahui tingkat efisiensi metode dalam hal penghematan biaya persediaan bahan baku karet.



4



C.



RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian ini adalah:



1. Identifikasi dan formulasi permasalahan pengendalian bahan baku karet di PT. Bridgestone Tire Indonesia. 2. Pengumpulan data primer dan data sekunder. 3. Analisis data penggunaan bahan baku karet, jumlah pemesanan kembali dan total biaya persediaan bahan baku karet. 4. Pemilihan model pengendalian persediaan bahan baku karet yang efektif. 5. Validasi model pengendalian bahan baku karet.



D.



MANFAAT DAN KELUARAN Penelitian ini berguna untuk melatih kemampuan mahasiswa dalam



menganalisa, mengobservasi pengendalian bahan baku karet dan melakukan interaksi dengan pihak-pihak yang terkait. Keluaran dari penelitian ini adalah model alternatif pengendalian persediaan bahan baku karet yang aplikatif sebagai salah satu masukan untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan persediaan bahan baku karet yang optimal.



5



II.



A.



TINJAUAN PUSTAKA



BAHAN BAKU Bahan baku merupakan bahan yang harus diperhitungkan dalam



kelangsungan proses produksi. Banyaknya bahan baku yang tersedia akan menentukan besarnya penggunaan sumber-sumber di dalam perusahaan dan kelancarannya (Assauri, 1980). Hal ini menunjukkan bahwa bahan baku merupakan faktor penting dalam suatu proses produksi karena bila terjadi kekurangan bahan baku maka kegiatan perusahaan tidak dapat berjalan lancar. Karet alam yang digunakan dalam memproduksi ban adalah karet remah (crumb rubber). Dalam perdagangan karet remah dikenal sebagai karet spesifikasi teknis karena penentuan kualitas atau jenisnya dilaksanakan secara teknis dengan analisis yang teliti di laboratorium dengan menggunakan perlengkapan analisis mutakhir (Setyamidjaja, 1993). Karet remah mempunyai standar tertentu dengan klasifikasi kualitas yang ditetapkan menurut spesifikasi teknis berupa Standard Indonesia Rubber (SIR). SIR merupakan karet alam yang baik proses maupun penentuan kualitasnya dilakukan secara spesifikasi teknis. Ketentuan dan kriteria mengenai SIR disajikan dalam Tabel 4 berikut. Tabel 4. Standar spesifikasi SIR Spesifikasi



5CV



Standard Indonesia Rubber (SIR) 5LV 5L 5 10 20



Kadar kotoran (%, 0,05 0,20 0,05 0,05 0,05 0,10 maks) Kadar abu (%, maks) 1,00 0,50 0,50 0,50 0,50 0,75 Kadar zat menguap (%, 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 maks) PRI (min) 40 60 60 50 Po (min) 30 30 30 30 Indeks Warna 6 (Lovibond, maks) ASH-T (maks) 8 8 Sari aseton 6-8 Warna kode Merah Hijau Hijau Hijau Hijau Coklat Sumber: SK Menperdag No. 293/Kp/X/1972 dalam Djoehana Setyamidjaja,1999



50 0,50 1,50 1,00 30 30 Kuning



B.



PERSEDIAAN Persediaan adalah segala sesuatu atau sumber daya suatu organisasi yang



disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan (Mecimore dan Weeks, 1985). Schroeder (1994) memberikan pengertian persediaan sebagai stok bahan yang dipergunakan untuk memudahkan produksi atau untuk memuaskan permintaan pelanggan. Pengendalian persediaan merupakan fungsi manajerial yang sangat penting, karena mayoritas perusahaan melibatkan investasi besar pada aspek ini (Render dan Heizer, 2001). Teori untuk menentukan jumlah optimal bahan baku yang disimpan untuk memenuhi permintaan pasar di masa depan (Starr dan Miller, 1986). Perencanaan dan pengendalian persediaan yang efektif harus dilakukan perusahaan mengingat konsekuensi yang dihadapi perusahaan atas kekurangan atau kelebihan persediaan. Persediaan memiliki fungsi penting yang dapat meningkatkan efisiensi operasional suatu perusahaan. Dengan adanya persediaan maka proses produksi tidak terhambat oleh kekurangan bahan baku. Selain itu, prosedur untuk memperoleh dan menyimpan bahan baku yang dibutuhkan dapat dilaksanakan dengan biaya minimum (Bedworth dan Bailey, 1982). Menurut Harding (1984), fungsi pengendalian persediaan yang terpenting adalah sebagai berikut: 1. Menyediakan informasi bagi manajemen mengenai keadaan persediaan. 2. Mempertahankan suatu tingkat persediaan yang ekonomis. 3. Menyediakan persediaan dalam jumlah yang secukupnya untuk menjaga jangan sampai produksi terhenti, bila suatu saat pemasok tidak dapat menyerahkan barang tepat pada waktunya. 4. Mengalokasikan ruang penyimpanan untuk barang yang sedang diproses dan barang jadi. 5. Memungkinkan bagian penjualan beroperasi pada berbagai tingkat melalui persediaan barang jadi. 6. Mengaitkan pemakaian bahan dengan tersedianya keuangan. 7. Merencanakan bahan yang tersedia dengan kontrak jangka panjang berdasarkan program produksi.



7



Tujuan sistem pengendalian persediaan adalah meminimalkan investasi dalam persediaan, namun tetap konsisten dengan penyediaan tingkat pelayanan yang diminta (Johns dan Harding, 1996).



C.



BIAYA PERSEDIAAN Menurut Russell dan Taylor (2003), unsur biaya yang terdapat dalam



persediaan dapat digolongkan manjadi tiga yaitu biaya pemesanan, biaya penyimpanan dan biaya kekurangan persediaan. 1. Biaya Pemesanan Biaya pemesanan adalah biaya yang berkaitan dengan kegiatan pemesanan bahan baku hingga tiba di gudang. Biaya pemesanan tidak bergantung pada banyaknya pesanan. Biaya pemesanan meliputi semua biaya yang dikeluarkan dalam rangka mengadakan pemesanan bahan baku, yang mencakup biaya administrasi, telepon, pengangkutan dan bongkar muat, biaya penerimaan dan pemeriksaan barang. 2. Biaya Penyimpanan Biaya penyimpanan adalah biaya yang berkaitan dengan penyimpanan bahan baku sebagai stok di gudang. Biaya penyimpanan per periode semakin besar apabila kuantitas barang yang dipesan semakin banyak. Biaya penyimpanan



meliputi



sewa,



penerangan,



keamanan,



administrasi



pergudangan, pelaksana pergudangan, listrik, kerusakan, kehilangan dan penyusutan barang selama penyimpanan. 3. Biaya Kekurangan Persediaan Biaya kekurangan persediaan adalah biaya yang timbul ketika kebutuhan konsumen tidak terpenuhi akibat bahan baku tidak mencukupi. Biaya kekurangan bahan baku memilki hubungan terbalik dengan biaya penyimpanan yaitu bila jumlah persediaan bahan baku meningkat, maka biaya penyimpanan meningkat sedangkan biaya kekurangan persediaan akan semakin kecil.



8



D.



MODEL PENGENDALIAN PERSEDIAAN 1. Model Pengendalian Deterministik dan Probabilistik Menurut Taha (1997), model persediaan dapat bersifat deterministik atau probabilistik. Permintaan deterministik didasarkan pada asumsi bahwa laju permintaan diketahui untuk selang periode tertentu. Permintaan deterministik dapat bersifat statis yaitu permintaan diketahui dengan pasti dan bersifat konstan sepanjang waktu. Permintaan deterministik dapat bersifat dinamis yaitu permintaan diketahui dengan pasti tetapi bervariasi dari satu periode ke periode berikutnya. Permintaan probabilistik juga dapat bersifat statis dan dinamis. Permintaan probabilistik bersifat statis bila fungsi probabilitas permintaan tetap tidak berubah sepanjang waktu, sedangkan kasus dinamis terjadi bila fungsi probabilitas bervariasi sepanjang waktu. Menurut Waters (1992), model probabilistik dibedakan menjadi dua yaitu model untuk permintaan diskrit dan kontinu. Model untuk permintaan diskrit digunakan untuk barang-barang yang sifat permintaannya tidak kontinu. Model untuk permintaan kontinu digunakan untuk barang-barang yang permintaannya berkesinambungan atau model tingkat pelayanan. 2. Model Material Requirements Planning (MRP) Material Requirements Planning (MRP) adalah suatu sistem perencanaan dan penjadwalan kebutuhan material untuk produksi (Render dan Heizer, 2001). Sistem MRP merencanakan ukuran lot sehingga barangbarang tersebut tersedia pada saat dibutuhkan. Ukuran lot adalah kuantitas yang akan dipesan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan dengan kuantitas yang dapat meminimalkan biaya persediaan sehingga perusahaan akan memperoleh keuntungan. Sistem pengendalian dengan menggunakan metode MRP memang lebih kompleks pengolahannya, namun mempunyai banyak kelebihan dibanding dengan sistem ukuran pesanan tetap untuk pengendalian barangbarang produksi. Menurut Heizer dan Render (1993) bahwa kelebihan MRP dalam menangani barang-barang diantaranya:



9



a. Meningkatkan pelayanan dan kepuasan pelanggan Sistem MRP merencanakan produk yang akan dihasilkan dan kapan produk tersebut akan diproduksi sehingga produk akan tersedia sesuai dengan permintaan atau pesanan konsumen yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen terhadap perusahaan. b. Meningkatkan penggunaan fasilitas dan tenaga kerja Untuk



menghasilkan



produk



sesuai



dengan



permintaan



konsumen, pada sistem MRP dibuat Master Production Schedule yang berisi jadwal produksi dan komponen-komponen yang diperlukan dalam proses produksinya, sehingga akan meningkatkan penggunaan fasilitas dan tenaga kerja agar proses produksi dapat sesuai dengan jadwal produksinya. c. Perencanaan dan penjadwalan yang lebih baik Dalam sistem MRP terdapat penjadwalan produksi yang memuat komponen yang diperlukan dalam proses produksi, sehingga dengan sistem ini bahan-bahan yang diperlukan akan tersedia pada saat proses produksi berjalan. d. Respon lebih cepat terhadap permintaan pasar Jadwal produksi pada sistem MRP masih memungkinkan adanya perubahan permintaan pasar, sehingga dengan sistem ini akan lebih cepat merespon permintaan pasar. e. Mengurangi tingkat persediaan tanpa mengurangi pelayanan kepada pelanggan Adanya jadwal produksi memungkinkan perusahaan untuk menyimpan persediaan dalam jumlah yang cukup dan tidak terlalu besar sesuai dengan kebutuhannya sehingga tidak mengganggu kelancaran produksi perusahaan. Sistem MRP merencanakan ukuran lot sehingga barang-barang yang tersedia pada saat dibutuhkan. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pengendalian persediaan bahan baku dalam rencana kebutuhan bahan (MRP). Teknik yang digunakan untuk menentukan ukuran



10



lot pada sistem MRP adalah teknik Lot for Lot (LFL), Economic Order Quantity (EOQ) dan Part Period Balancing (PBB). Format yang digunakan dalam sistem MRP seperti pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Format MRP Uraian



1



2



3



4



Periode 5 6 7



8



9



10



Kebutuhan Kotor (kg) Proyeksi Persediaan di Tangan (kg) Rencana Penerimaan Pesanan (kg) Kebutuhan bersih (kg) Rencana Pelaksanaan Pesanan (kg)



Langkah pertama adalah menentukan kebutuhan kotor bahan baku yaitu rencana pemakaian bahan baku perusahaan yang telah ditentukan sebelumnya pada saat penjadwalan produksi. Proyeksi persediaan di tangan adalah perkiraan persediaan awal yang ada di tangan pada suatu periode. Bila kebutuhan bersih dan rencana penerimaan pesanan pada periode sebelumnya tidak ada, maka besar proyeksi persediaan di tangan adalah proyeksi persediaan di tangan periode sebelumnya dikurangi kebutuhan kotor periode sebelumnya. Bila terdapat penerimaan terjadwal pada periode sebelumnya, tetapi tidak ada kebutuhan bersih dan rencana penerimaan terjadwal penerimaan pesanan pada periode sebelumnya, maka proyeksi persediaan di tangan adalah sebesar penerimaan terjadwal periode sebelumnya dikurangi kebutuhan kotor periode sebelumnya. Bila kebutuhan bersih dan rencana penerimaan pesanan ada pada periode sebelumnya, maka proyeksi persediaan di tangan adalah sebesar rencana penerimaan pesanan periode sebelumnya dikurangi dengan kebutuhan bersih sebelumnya. Kebutuhan bersih adalah kebutuhan bahan baku yang tidak dapat dipenuhi oleh persediaan perusahaan. Apabila jumlah penerimaan terjadwal dan proyeksi persediaan di tangan lebih besar dari kebutuhan kotor, maka tidak terdapat kebutuhan bersih untuk periode tersebut. Apabila jumlah penerimaan terjadwal dan proyeksi persediaan di tangan lebih kecil dari kebutuhan kotor, maka kebutuhan bersih adalah kebutuhan kotor dikurangi dengan jumlah penerimaan terjadwal dan proyeksi persediaan periode tersebut.



11



Rencana



penerimaan



pesanan



adalah



besar



pesanan



yang



direncanakan akan diterima untuk suatu periode. Rencana pelaksanaan pesanan adalah besar pesanan yang direncanakan akan dipesan pada suatu periode dengan harapan akan diterima oleh perusahaan pada saat yang tepat. Pesanan diasumsikan akan diterima ketika barang terakhir meninggalkan persediaan dan tingkat persediaan diisi dengan barang yang dipesan. Besar rencana penerimaan pesanan ditentukan berdasarkan teknik penentuan lot yang digunakan. Rencana pelaksanaan pesanan besarnya sama



dengan



rencana



penerimaan



pesanan,



hanya



saja



periode



pelaksanaannya adalah sebesar waktu sebelum rencana penerimaan pesanan. Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam menentukan ukuran lot pada sistem MRP diantaranya: a. Teknik Lot for Lot Teknik Lot for Lot berusaha menghilangkan biaya penyimpanan persediaan yang dipegang melewati suatu persediaan Dalam teknik Lot for Lot perusahaan memesan tepat sebesar yang dibutuhkan tanpa persediaan pengaman dan tanpa antisipasi atas pesanan lebih lanjut. Pesanan dilakukan sebesar kebutuhan bersih yaitu kebutuhan kotor dikurangi persediaan yang ada di tangan pada periode awal dan diharapkan pesanan akan diterima pada saat barang tersebut dibutuhkan. Periode berikutnya setelah persediaan awal dihabiskan tidak terdapat persediaan yang ada di tangan, sehingga kebutuhan kotor adalah sama dengan kebutuhan bersih yang akan dipesan dengan harapan akan diterima tepat pada waktunya (Buffa, 1996). b. Teknik Economic Order Quantity (EOQ) Russel dan Taylor (2003) menyatakan bahwa model EOQ digunakan untuk menentukan kuantitas pesanan persediaan yang meminimumkan biaya langsung penyimpanan persediaan dan biaya pemesanan persediaan. Model EOQ di atas dapat diterapkan apabila asumsi-asumsi berikut ini dipenuhi: 1. Permintaan akan produk adalah konstan, seragam dan diketahui. 2. Harga per unit produk adalah konstan.



12



3. Biaya penyimpanan per unit per tahun konsatn. 4. Biaya pemesanan per pesanan konstan. 5. Waktu antara pesanan dilakukan dan barang-barang diterima (lead time) konstan. 6. Tidak terjadi kekurangan barang atau back orders. Rumusan EOQ yang biasa digunakan adalah:



EOQ =



2C O D CC



dimana: D



=



penggunaan atau permintaan yang diperkirakan per periode waktu.



Co



=



biaya



pemesanan



(persiapan



pesanaan



dan



penyiapan mesin) per pesanan. Cc



=



biaya penyimpanan per unit per tahun.



Setelah diperoleh nilai kuantitas pesanan optimal dengan teknik EOQ, maka model MRP dapat dilakukan dengan melakukan pesanan sebesar kelipatan dari EOQ yang lebih besar dan terdekat dengan kebutuhan bersih. Apabila terdapat persediaan awal yang cukup besar, maka perusahaan tidak perlu melakukan rencana penerimaan bahan baku sampai persediaan awal tersebut tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan. Pesanan direncanakan akan diterima pada saat dan jumlah yang mencukupi dan mendekati kebutuhan bersih sesuai dengan kelipatan EOQ yang telah dihitung sebelumnya. c. Teknik Part Period Balancing (PPB)



Teknik Part Period Balancing merupakan pendekatan yang lebih dinamis untuk menyeimbangkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan (Render dan Heizer, 2001). Teknik ini membentuk bagian periode ekonomis yang merupakan rasio antara biaya pemesanan dengan biaya penyimpanan. PPB secara sederhana menambahkan kebutuhan sampai nilai bagian periode mencapai EPP (Economic Part Period). EPP adalah kuantitas pembelian yang dapat menyeimbangkan



13



biaya pemesanan dan biaya penyimpanan berdasarkan kebutuhan bersih kumulatif dari beberapa periode yang digabungkan yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:



EPP =



CO CC



dimana: Co



=



biaya



pemesanan



(persiapan



pesanaan



dan



penyiapan mesin) per pesanan. Cc



=



biaya penyimpanan per unit per tahun.



.Teknik PPB memiliki prinsip menggabungkan suatu periode ke periode berikutnya dan menghitung kumulatif kebutuhan bersih dari periode gabungan tersebut dan juga menghitung kumulatif bagian periodenya.



Kumulatif



bagian



periode



diperoleh



dengan



mengkumulatifkan perkalian kebutuhan bersih suatu periode dengan periode tambahan yang ditanggung. Bagian gabungan periode yang paling mendekati nilai EPP adalah merupakan pilihan gabungan periode yang dipilih, demikian juga untuk periode berikutnya. Besar pesanan adalah sebesar kebutuhan bersih kumulatif yang dilakukan sebelum kebutuhan tersebut terjadi dengan harapan akan diterima tepat pada awal periode gabungan tersebut dan akan digunkan selama periode gabungan. 3. Persediaan Pengaman



Viale (2000) menyatakan bahwa persediaan pengaman adalah jumlah stok yang disimpan untuk melindungi dari fluktuasi permintaan dan atau pasokan yang tidak diharapkan. Persediaan pengaman dapat pula diartikan sebagai persediaan tambahan yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan bahan. Ada tiga faktor utama yang menentukan besarnya persediaan pengaman yaitu penggunaan bahan baku rata-rata, faktor waktu dan biaya yang digunakan. Russel dan Taylor (2003) menyatakan bahwa untuk menghitung nilai persediaan pengaman dengan pendekatan service level yaitu peluang tidak terjadi kekurangan persediaan selama waktu tunggu. Besarnya



14



persediaan pengaman ditentukan dengan rumus sebagai berikut:



(



SS = Z Lt (σd ) + d 2 σLt 2 2



)



dimana: SS



=



persediaan pengaman.



Z



=



tingkat pelayanan.



d



=



jumlah rata-rata permintaan bahan baku.



σd



=



simpangan baku pemakaian bahan baku.



Lt



=



rataan Lead Time.



σLt



=



simpangan baku waktu tunggu.



4. Titik Pemesanan Kembali (Reorder Point)



Titik pemesanan kembali adalah suatu batas dari jumlah persediaan yang ada pada saat pesanan harus diadakan kembali (Render dan Heizer, 2001). Besarnya titik pemesanan kembali dihitung melalui rumus berikut:.



R = dL + SS dimana:



E.



R



=



Reorder Point (Titik Pemesanan Kembali).



d



=



permintaan bahan baku.



L



=



Lead Time.



SS



=



persediaan pengaman



DISTRIBUSI DATA



Hal utama yang perlu diketahui dalam pemilihan distribusi peluang untuk model yang digunakan adalah frekuensi distribusi dari data dan mencari teori distribusi peluang dimana data dapat masuk. Apabila distribusi peluang yang diduga atau ditemukan sesuai dengan distribusi peluang teoritis, maka dapat digunakan perhirungan yang sejalan dengan distribusi peluang tersebut. Uji distribusi perlu dilakukan untuk mengetahui bentuk distribusi peluang suatu kejadian (Watson dan Blackstone, 1989). Wapole (1992) menyatakan bahwa sebaran normal adalah sebaran peluang paling kontinu yang paling penting dalam statistika. Grafiknya berbentuk lonceng terbalik yang simetris dan digunakan dalam banyak gugusan data yang terjadi di



15



alam, industri dan penelitian. Menurut Nasution dan Barizi (1984), pengujian normalitas suatu data dapat dilakukan dengan menggunakan uji Liliefors yang merupakan salah satu tipe uji Kolmogorov Smirnov. Uji ini mencakup perhitungan distribusi frekuensi kumulatif yang sesuai dengan distribusi teoritisnya, serta membandingkan distribusi frekuensi tersebut dengan distribusi frekuensi kumulatif hasil observasi (Siegel, 1988). Pada uji normalitas data, contoh acak hasil pengamatan diuji dengan hipotesis nol yang menyatakan bahwa contoh berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hipotesis tandingannya adalah contoh yang berasal dari populasi yang tidak normal. Hipotesis nol dapat diterima bila nilai lebih kecil atau sama dengan nilai D tabel. Hipotesis nol ditolak bila nilai lebih besar dari nilai D tabel (Steel dan Torrie, 1991).



F.



SIMULASI



Simulasi adalah teknik untuk mendapatkan penyelesaian tertentu dari suatu model matematika yang berkaitan dengan asumsi spesifik, berkenaan dengan masukan-masukan model dan nilai-nilai parameter yang ditentukan (Manetsch dan Park, 1977). Gottfried (1984) menyatakan bahwa keuntungan dari penggunaan simulasi adalah fleksibilitasnya tinggi. Berbagai masalah yang mengandung resiko dapat terwakili melalui penggunaan model simulasi dengan derajat ketepatan yang memuaskan. Keuntungan lain adalah kemampuan menyajikan indikasi resiko yang berhubungan dengan kebijakan operasional tertentu. Menurut Hiller dan Liberman (1990) salah satu teknik simulasi yang sudah baku digunakan adalah simulasi Monte Carlo. Metode ini mencakup penetapan distribusi peluang dari peubah dan menarik contoh secara acak (probabilistik), kemudian membuat rataannya. Kelebihan teknik simulasi ini yaitu dapat mengatur jumlah simulasi yang akan diulang sehingga diperoleh peubah acak dengan deviasi yang kecil. Penarikan bilangan acak dilakukan dengan menggunakan pembangkit bilangan acak untuk menghasilkan nilai-nilai distribusi populasi sebenarnya (Law dan Kelton, 1982).



16



Menurut Chang (1997), ada beberapa model persediaan dengan waktu tunggu antara lain. 1. Model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s, Q) Pada model ini terjadi pengawasan secara kontinyu, jika posisi persediaan lebih kecil atau sama dengan titik pemesanan kembali (s), maka perusahaan akan memesan dengan jumlah tetap sebesar Q. 2. Model sistem Continuous Review Order Up To (s, S) Pada model ini juga terjadi pengawasan secara kontinyu, jika posisi persediaan lebih kecil atau sama dengan titik pemesanan kembali (s), maka perusahaan akan memesan sampai mencapai target persediaan (S) yang telah ditetapkan. Jumlah yang dipesan adalah selisih target persediaan (S) dengan tingkat persediaan pada saat titik pemesanan kembali. G.



PENELITIAN TERDAHULU



Puspitawati (1992) merancang model pengendalian persediaan bahan baku industri kelapa parut untuk mendapatkan kombinasi optimal dari jumlah pemesanan dan titik pemesanan kembali bahan baku, sedangkan Yuniarso (1996) merancang model simulasi untuk persediaan bahan baku gula dan bubuk skim untuk menentukan kombinasi jumlah pemesanan optimum, titik pemesanan kembali dan peluang kehabisan bahan baku. Sofyan (2000) merancang model persediaan untuk produk ayam di PT. Sierad dengan menggunakan pendekatan sistem untuk mendapatkan jumlah persediaan pengaman, sedangkan Hakim (2004) merancang model persediaan bahan baku pada industri daging olahan di PT. Dunia Daging Food Industries, Jakarta Timur. Model yang dibuat berupa prakiraan permintaan bahan baku dengan pendekatan sistem.



17



III.



A.



METODOLOGI PENELITIAN



KERANGKA PEMIKIRAN Konsep operasional penelitian diawali dengan mengidentifikasi motif



perusahaan dalam melaksanakan sistem pengendalian persediaan bahan baku karet. Identifikasi ini penting karena motif perusahaan sangat mempengaruhi dalam penerapan manajemen persediaan dan pengendalian. Identifikasi karakteristik bahan baku karet yang digunakan dalam proses produksi juga dilakukan. Karakteristik ini mencakup jenis dan asal bahan baku karet, sistem pembelian dan pesanan, prosedur pembelian dan penerimaan, penyimpanan bahan baku karet, dan pengawasan kualitas bahan baku karet yang selama ini dilakukan perusahaan. Analisis persediaan bahan baku karet mencakup volume pemakaian bahan baku, waktu tunggu sejak bahan baku dipesan hingga bahan baku diterima di gudang, biaya-biaya persediaan bahan baku yang dikeluarkan, serta kebijaksanaan pengendalian yang selama ini dilakukan perusahaan, seperti pengadaan persediaan pengaman, persediaan maksimum dan minimum dan waktu pemesanan kembali. Analisis komparasi perlu dilakukan antara metode yang dilakukan perusahaan dengan metode LFL, EOQ dan PPB. Selain itu dilakukan simulasi dan membandingkannya dengan metode perusahaan. Model yang dijadikan alternatif adalah model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) dan sistem Continuous Review Order Up to (s,S). Analisis ini didukung dengan analisis persediaan pengaman, analisis titik pemesanan kembali dan simulasi sehingga diperoleh kesimpulan tentang tingkat persediaan dan kebijakan pengendalian persediaan bahan baku yang optimal bagi perusahaan.



B.



PENDEKATAN BERENCANA Pendekatan berencana terdiri dari langkah-langkah seperti observasi,



identifikasi



permasalahan,



pengembangan



alternatif



solusi,



pemilihan



penyelesaian optimum dengan percobaan, verifikasi penyelesaian optimum melalui implementasi, dan membuat kontrol yang tepat. Metode penyelesaian



disesuaikan dengan peubah-peubah, batasan dan asumsi dari alternatif solusi permasalahan yang ada (Thierauf dan Klekamp, 1975). Pendekatan berencana dimulai dari observasi fakta, pendapat dan gejala permasalahan yang berhubungan dengan permasalahan, yaitu mengobservasi untuk mengidentifikasi permasalahan. Pada langkah kedua, interaksi yang efektif antara pengetahuan (fakta) dan pengertian (alasan di belakang fakta) akan mengarah



kepada



definisi



permasalahan.



Definisi



permasalahan



akan



mempengaruhi dalam penentuan variabel, pembatas dan asumsi permasalahan. Kemudian metode penyelesaiannya disesuaikan dengan tujuan, peubah-peubah, batasan dan asumí dari alternatif solusi permasalahan yang ada (Thierauf dan Klekamp, 1975).



C.



TATA LAKSANA Tata laksana penelitian dengan menggunakan pendekatan berencana adalah:



1. Identifikasi Masalah Penelitian dilakukan di PT. Bridgestone Tire Indonesia yang berlokasi di Jl. Raya Bekasi Km. 27, Kelurahan Harapan Jaya, Bekasi, Jawa Barat. PT. Bridgestone Tire Indonesia merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang agroindustri yang memproduksi ban. Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui permasalahan secara nyata di bagian persediaan bahan baku karet, yaitu sistem pemesanan bahan baku, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan bahan baku serta hal lain yang dianggap penting. 2. Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan, pencatatan langsung di lapangan dan wawancara dengan pihak perusahaan. Data sekunder diperoleh dari APBI dan literatur dari perusahaan. Data yang digunakan berupa data tahun 2005 yang berhubungan dengan kebijakan perusahaan dalam pengadaan dan penanganan bahan baku karet, prosedur pemesanan, jenis bahan baku karet, jumlah permintaan bahan baku karet, waktu tunggu, biaya persediaan bahan baku karet dan data lain yang mendukung.



19



3. Pengolahan Data Pada tahap ini dilakukan pengolahan terhadap data primer dan data sekunder yang telah diperoleh dari perusahaan. Data primer dan sekunder yang dikumpulkan tersebut berupa data kualitatif maupun data kuantitatif. Data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk tabel dan angka, sedangkan data kualitatif akan disajikan dalam bentuk uraian data. Uji distribusi data permintaan bahan dilakukan untuk mengetahui data yang diuji memiliki distribusi normal atau tidak. Pengolahan data untuk uji statistik pada penelitian ini menggunakan perangkat lunak SPSS 10.0 for Windows dan perangkat lunak Quantitative System Business (QSB) untuk simulasi model sistem pengendalian persediaan bahan baku. Penggunaan perangkat lunak Quantitative System Business (QSB) ini akan memudahkan penentuan model sistem pengendalian persediaan dengan menganalisis semua faktor yang berpengaruh dalam persediaan. Pada tahapan analisis metode sistem pengendalian persediaan ini dilakukan identifikasi kondisi perusahaan dalam pengendalian persediaan bahan baku. Dalam penelitian ini metode yang dianalisis adalah metode Material Requirement Planning (MRP) yang terdiri dari tiga teknik yaitu teknik Lot for Lot (LFL), Economic Order Quantity (EOQ) dan Part Period Balancing (PPB). Dalam simulasi yang dilakukan, model yang dianalisis adalah model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) dan model sistem Continuous Review Order Up To (s,S). Penentuan model tersebut didasarkan pada sistem persediaan yang selama ini dijalankan oleh perusahaan. 4. Pemilihan Model Pada tahap ini dilakukan pemilihan model yang sesuai bagi perusahaan berdasarkan permasalahan yang dikaji. Model tersebut diselesaikan dengan menggunakan teknik simulasi untuk mendapatkan solusi optimal dan membandingkannya dengan keadaan nyata. Model sistem pengendalian persediaan yang terpilih disarankan menjadi model yang diterapkan perusahaan.



20



5. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan pada tahap akhir penelitian ini. Analisis sensitivitas ini dilakukan untuk menguji kepekaan model matematik yang digunakan apabila terjadi perubahan pada kejadian yang nyata. Jika terjadi perubahan pada model karena adanya perubahan input, maka model peka terhadap perubahan yang terjadi pada keadaan nyata. Tahapan analisis model sistem pengendalian persediaan disajikan pada Gambar 1 berikut. Identifikasi pengendalian persediaan bahan baku karet perusahaan Sistem pengadaan dan persediaan bahan baku karet



Kuantitas pemakaian bahan baku karet



Waktu tunggu Kedatangan bahan baku karet



Biaya persediaan bahan baku karet



Analisis pengendalian persediaan bahan baku karet



MRP



LFL



EOQ



Simulasi



PPB



continuous review fixed order up to (s,S)



continuous fixed order quantity (s,Q)



Tingkat persediaan optimal



Gambar 1. Tahapan analisis model sistem pengendalian persediaan bahan baku karet



21



IV.



KEADAAN UMUM PERUSAHAAN



A. SEJARAH SINGKAT PERUSAHAAN PT. Bridgestone Tire Indonesia merupakan perusahaan patungan antara swasta nasional Indonesia dengan swasta Jepang. Perusahaan yang berlokasi di Bekasi didirikan berdasarkan UU Pemerintah Republik Indonesia No.1/1967, tentang Penanaman Modal Asing. PT. Bridgestone Tire Indonesia didirikan pada tanggal 8 September 1973 dengan landasan hukum Surat Izin Presiden No. B84/PRES/8/1973 tanggal 1 Agustus 1973 dan Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 295/M/SK/8/1973 tanggal 11 Agustus 1973. Perusahaan ini didirikan dengan modal dasar sebesar US$ 24.960.000, yang terdiri dari para pemegang saham yaitu: - PT. Sinar Bersama Makmur



: 43%



- Bridgestone Corporation



: 51%



- Mitsui & Co. Ltd



: 6%



PT. Bridgestone Tire Indonesia mempunyai kantor pusat di Wisma Nusantara Lt. 18, Jl. MH. Thamrin 59, Jakarta Pusat, Indonesia. Sedangkan untuk pabrik pembuatan produknya antara lain : •



Bekasi yang beralamat di Jl. Raya Bekasi Km. 27 Kelurahan Harapan Jaya. Bekasi–Jawa Barat, dengan luas area pabrik 27,6 Ha.







Karawang yang beralamat di Karawang Industri Surya Cipta Kav. 8–13, Teluk Jambe Karawang Timur- Jawa Barat, dengan luas area pabrik 37 Ha.



B. PERKEMBANGAN PT. BRIDGESTONE TIRE INDONESIA 1975



: Produksi pertama dimulai pada tanggal 1 Oktober.



1976



: Tanggal 1 Januari, produksi komersial dimulai. Pada tanggal 5 Februari, Perusahaan diresmikan oleh Menteri Perindustrian dan Gubernur Jawa Barat.



1977



: Bridgestone mulai menjual produknya ke perusahaan perakitan kendaraan bermotor.



1979



: Perusahaan mulai memproduksi ban dengan konstruksi Radial.



1980



: Perluasan pabrik tahap ke II selesai dilakukan.



1982



: Bulan Januari, diresmikan Loka Latihan Keterampilan (LLKBS) sebagai sumbangsih perusahaan kepada masyarakat di bidang pendidikan untuk membantu para lulusan STM menjadi tenaga kerja siap pakai.



1983



: Jaringan pemasaran diperluas sampai ke luar negeri. Ekspor perdana ke New Caledonia dimulai pada bulan Juni.



1990



: Perusahaan memperkuat jaringan pemasarannya dengan mendirikan Toko Model Bridgestone.



1994



: Perusahaan memperoleh Sertifikat Kecelakaan Nihil dari Menteri Tenaga Kerja.



1995



: Bulan Januari, Perusahaan memperoleh Sertifikat ISO 9002 dari Lloyd’s Register Quality Assurance Limited, Inggris.



1996



: Perusahaan memperingati hari ulang tahunnya yang ke-20.



1997



: Bulan April, Perusahaan memulai pembangunan pabrik Karawang. Memperoleh Akreditasi ISO 9001 dan QS 9000 yaitu aplikasi Quality Management System untuk desain dan proses produksi.



1999



: Peresmian produksi pertama pabrik Karawang. Peluncuran produk pertama dengan Teknologi AQ DONUTS: POTENZA RE711. (AQ DONUTS: Advanced Quality Driver Oriented New Ultimate Tire Science). Ekspor pertama ke Amerika.



2000



: Peluncuran produk TURANZA ER60. Memperoleh akreditasi ISO 14001. Peresmian Proving Ground (sirkuit tes mutu ban pertama di Indonesia). PT. Bridgestone Tire Indonesia secara aktif meningkatkan perlindungan, keselamatan dan kesehatan kerja dengan menerapkan sistem manajemen lingkungan dengan tujuan : •



Menekan serendah mungkin pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja.







Melaksanakan peraturan perundang-undangan keselamatan dan kesehatan kerja.







Meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam dan energi.



2001



: Perusahaan memperingati hari ulang tahun yang ke-25



2002



: Diresmikan oleh Bridgestone Coorporation Japan (BSJ) sebagai salah satu Export Base mereka.



23



Motto perusahaan PT. Bridgestone Tire Indonesia adalah “Menyumbang Masyarakat dengan Produk Mutu Tertinggi”. Misi perusahaan dengan mutu tersebut adalah menyuplai produk yang bermutu tinggi yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan. Dengan menepati komitmen ini, perusahaan mengharapkan para pelanggan benarbenar mendapatkan kepuasan melalui kenikmatan, kenyamanan dan keselamatan sewaktu berkendaraan saat menjalankan kegiatan yang akan memberikan keyakinan dan kepercayaan terhadap ban merek Bridgestone. Perusahaan mendukung kebijakan negara dalam menggalakan ekspor produk non-migas dengan mengusahaan peningkatan penjualan ekspor. Perusahaan memperluas ekspornya ke Asia Tenggara, Jepang, USA, Oceania, negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Jumlah tenaga kerja sebesar 1.902 orang pada Desember 1996. Produksi pertama dimulai pada tanggal 1 Oktober 1975 sedangkan produksi komersial dimulai pada tanggal 5 Pebruari 1976 yang diresmikan oleh Menteri Perindustrian dan Gubernur Jawa Barat. Pada tahun 1994, PT. Bridgestone Tire Indonesia memperoleh Sertifikat Kecelakaan Nihil dari Menteri Tenaga Kerja, karena berhasil mengutamakan keselamatan kerja dan menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi karyawan.



C. KEBIJAKAN PERUSAHAAN Kebijakan dasar perusahaan adalah memenuhi kebutuhan pelanggan. Untuk mewujudkannya, perusahaan melaksanakan hal-hal yang berikut : 1. Perusahaan mengetahui dengan cepat setiap gejala perubahaan tentang produk yang dibutuhkan di pasar dengan mengecek ke lapangan dengan segera. 2. Perusahaan mengembangkan teknologi baru sesuai permintaan pasar. 3. Perusahaan memenuhi kebutuhan pasar dengan menyuplai produk dengan tepat waktu. 4. Perusahaan membentuk sistem pengontrolan mutu produk untuk menjaga agar mutunya tetap tinggi untuk menjamin kepuasan pelanggan. 5. Perusahaan membentuk program pendidikan dan pelatihan bagi karyawan.



24



D. PENINGKATAN DAN PENGAWASAN MUTU Usaha-usaha untuk meningkatkan mutu produk dilakukan melalui penelitian dan pengembangan secara terus menerus. Kegiatan penelitian dan pengembangan ini tidak hanya dilakukan di Indonsia, tetapi juga di pusat penelitian dan pengembangan teknologi di Tokyo. Dari tempat ini dilahirkan konsep-konsep produk sesuai dengan permintaan dari pabrik-pabrik di manca negara. Pengawasan mutu yang sangat ketat dikembangkan melalui konsep Total Quality Management yang salah satunya dengan mengimplementasikan persyaratan ISO9002, sehingga hanya produk yang berkualitas terbaik saja yang disajikan kepada konsumen.



E. FASILITAS PERUSAHAAN PT. Bridgestone Tire Indonesia menyediakan Skills Training Center di Bekasi untuk membantu para lulusan STM mempersiapkan diri menjadi tenaga kerja siap pakai. Selama 2 tahun pendidikan, mereka tinggal di asrama dan mendapat uang saku. Setelah selesai pendidikan, mereka bebas mencari pekerjaan. PT. Bridgestone Tire Indonesia juga menyediakan fasilitas olah raga bagi karyawan seperti lapangan tenis, lapangan sepak bola, lapangan basket dan voli dan juga mesjid sebagai tempat ibadah.



F. BIDANG USAHA PERUSAHAAN PT. Bridgestone Tire Indonesia merupakan perusahaan patungan swasta nasional dengan swasta Jepang. Sebagai produsen ban utama di Indonesia, Bridgestone memiliki berbagai keunggulan seperti jaminan mutu bagi setiap produk Bridgestone, produk-produk sangat inovatif sesuai kebutuhan pelanggan, layanan penjualan yang dekat dengan pelanggan, serta dukungan manajemen dan infrastruktur yang sangat memadai. PT. Bridgestone Tire Indonesia telah mendapatkan pengakuan mutu produknya oleh Bridgestone Corporation sehingga mendapat kepercayaan sebagai basis ekspor Bridgestone ke seluruh dunia. Hal ini merupakan dorongan bagi PT. Bridgestone Tire Indonesia untuk lebih meningkatkan mutu produk dan kapasitas produksinya.



25



Industri ban kini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Seiring dengan perkembangan outomotif dan berbagai ragam tipe kendaraan, penggunaan ban menjadi bagian penting yang tidak terelakkan. Ban juga bukan hanya sematamata pelengkap memaksimalkan fungsi roda, tetapi juga bagian penting untuk kelengkapan kebutuhan keamanan dan kenyamanan berkendara. Selanjutnya untuk mengembangkan usaha, perusahaan melakukan perluasan pabrik tahap kedua yang selesai tahun 1980. Untuk memperluas jaringan pemasaran, perusahaan mengekspor produk ke luar negeri dengan New Caledonia sebagai negara tujuan ekspor perdana yang dimulai pada bulan Juni 1983. Selain mengekpor produk ke luar negeri, PT. Bridgestone Tire Indonesia juga mendirikan Model Shop Bridgestone sebagai salah satu usaha dalam memperkuat jaringan pemasarannya. Perusahaan mendukung kebijakan Negara dalam menggalakkan eksport produk non-migas dengan mengusahakan peningkatan penjualan eksport. Perusahaan memperluas eksportnya ke Asia Tenggara, Jepang, USA, Oceania, serta negara-negara Timur Tengah dan Afrika.



G. STRUKTUR ORGANISASI Struktur organisasi merupakan susunan tugas-tugas yang akan dilaksanakan oleh para petugas sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Untuk suatu perusahaan struktur organisasi mutlak diperlukan karena struktur organisasi merupakan



suatu



alat



untuk



mengendalikan



jalannya



kegiatan



yang



beranekaragam dan harus dilakukan dengan tepat, terarah dan bermanfaat sehingga tujuan perusahaan tercapai. Dasar dalam organisasi ini adalah pembagian kekuasaan (authority) dan tanggung jawab (responsibility). Ada beberapa bentuk struktur organisasi yang digunakan oleh perusahaan yaitu organisasi garis, garis dan staf, fungsional, komite, dan matrik. Struktur organisasi perusahaan PT. Bridgestone Tire Indonesia disusun berdasarkan standar yang menerangkan “Organizatiton Chart” dari masing-masing departemen di PT. Bridgestone Tire Indonesia dan dijelaskan tentang “Job Description & Authority” di masing-masing seksi. Struktur organisasi dapat dilihat pada Lampiran 1 di bagian belakang skripsi.



26



Secara general, tugas dan tanggung jawab masing-masing level adalah sebagai berikut : A. Top Management •



Menentukan strategi perusahaan serta target yang harus dicapai.







Menyediakan sumber daya yang harus diperlukan.



B. Departement Management •



Membantu top management dalam menentukan kebijakan dan target.







Mencapai target yang sudah ditentukan oleh top management khususnya di dalam lingkungan sendiri.



C. Section Management •



Membantu departement management dalam mencapai target yang ada, khususnya dalam lingkungan seksinya sendiri.



D. Production Management •



Bertanggung jawab atas semua hal–hal yang berhubungan dengan kelancaran pelaksanaan proses produksi secara efektif dan efisisen.







Memberikan bantuan dalam menyusun rencana produksi.







Melakukan penelitian kualitas bahan baku dan kualitas produk jadi.



E. Supervisor/ Chief •



Membantu section management dalam mencapai target yang ada, khususnya di jobnya sendiri.







Mengawasi langsung proses produksi yang sedang berjalan di setiap lini.







Memberikan laporan mengenai hasil proses produksi kepada manajer produksi.



F. Foreman/A. Chief •



Membantu Supervisor/Chief dalam mencapai target yang ada, khususnya di grupnya sendiri.







Memberi contoh terhadap orang yang ada di dalam grupnya. Dari uraian di atas, dijelaskan struktur organisasi yang ditetapkan di PT.



Bridgestone Tire Indonesia telah menunjukkan tugas dan wewenang yang jelas pada semua bagian. Untuk pengelolaan persediaan, bagian yang terkait di PT. Bridgestone Tire Indonesia ialah:



27



1. Fungsi penguasaan persediaan khususnya bahan baku yang akan digunakan dalam proses produksi di pegang oleh departemen Production Planning (PP) yang menetapkan kebutuhan bahan baku setiap bulan yang telah disusun dalam data rencana kebutuhan bahan baku. 2. Fungsi pembelian atas persediaan bahan baku dipegang oleh bagian Purchasing. 3. Fungsi penyimpanan persediaan khususnya bahan baku dipegang sepenuhnya oleh bagian gudang persediaan bahan baku (Raw Material House). 4. Fungsi pencatatan atas persediaan bahan baku, dipegang oleh bagian pembukuan tepatnya akuntansi (Accounting).



H. KEGIATAN USAHA PERUSAHAAN Secara umum proses produksi pembuatan ban disajikan sebagai berikut. Karet + Chemical + Carbon Black



Mixing Compound



Beading



Calendering



Extruding



Tube



Cutting Bead



Belt



Tread



Building Green Tire



Vulcanizing dengan T>150o Curing



Finishing Tire



Gambar 1. Proses produksi pembuatan ban di PT. Bridgestone Tire Indonesia



28



Proses awal dari pembuatan Tire dan Tube dimulai dari proses mixing. Pada proses mixing, seluruh bahan campuran yang terdiri dari karet alam, karet sintetis, carbon dan chemical mengalami proses pencampuran. Hasil mixing tersebut (compound) dibagi menjadi beberapa jenis yaitu: T, G, B, F, dan X. setelah mixing, compound tersebut akan mengalami proses selanjutnya sesuai dengan jenis masing-masing compound. Compound B akan diproses di bagian beading, compound G akan diproses di bagian cutting dan calendering, lalu compound T pada bagian extruding dan compound F dan X akan mengalami proses lanjutan di bagian tube yang merupakan bagian yang terpisah dari bagian-bagian yang lain. Setelah compound tersebut mengalami proses pada bagian masing-masing kecuali dari bagian tube maka selanjutnya seluruh hasil dari pemrosesan di atas akan diproses pada bagian building dimana hasil dari proses tersebut berupa green tire. Kemudian green tire akan mengalami proses curing dan diakhiri proses Finishing. Hasil akhir atau produk dari finishing adalah ban (tire). Untuk proses tube, setelah compound F dan X diproses oleh bagian tube maka langsung diproses ke bagian finishing yang hasil akhir atau produknya adalah tube.



I. JENIS PRODUK Untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan konsumen, PT. Bridgestone Tire Indonesia memproduksi berbagai jenis ban, misalnya ban kendaraan penumpang, ban komersial (truk, truk ringan, bis dan mini bis), ban untuk kperluan industri, ban untuk keperluan pertanian dan untuk pemakaian di medan yang berat. Untuk kendaraan penumpang truk ringan dan mini bis, Bridgestone menyuplai ban radial dengan konstruksi steel belt dan textile belt selain dari pada ban biasa. Agar dapat memenuhi keinginan konsumen yang berbeda-beda pada ban radial tersebut, PT. Bridgestone Tire Indonesia membuat bermacam-macam jenis ban dengan performa tinggi mulai dari seri 80 sampai yang low profile yaitu seri 50 yang dirancang dengan teknologi baru. Produksi pertama dimulai pada tanggal 1 Oktober 1975 sedangkan produksi komersial dimulai pada tanggal 5 Pebruari 1976 yang diresmikan oleh Menteri Perindustrian dan Gubernur Jawa Barat. Pada tahun 1994 PT. Bridgestone Tire



29



Indonesia memperoleh Sertifikat Kecelakaan Nihil dari Menteri Tenaga Kerja, karena berhasil mengutamakan keselamatan kerja dan menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi karyawan.



30



V.



A.



HASIL DAN PEMBAHASAN



BAHAN BAKU Bahan baku yang digunakan di PT. Bridgestone Tire Indonesia dapat



dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu bahan baku utama dan bahan baku tambahan. Bahan baku utama yang digunakan dalam memproduksi ban terdiri dari delapan bagian besar yaitu terdiri dari: 1. Natural Rubber



5. Bead Wire



2. Synthetic Rubber



6. Tube Valve



3. Carbon



7. Bead Tape



4. Bahan Kimia lainnya



8. Tire Cord



Sebagian besar bahan baku utama yang digunakan berasal dari luar negeri dan sisanya berasal dari dalam negeri. Untuk menjamin kualitas dari bahan baku yang akan digunakan dalam proses produksi, setiap jenis bahan baku mempunyai batas waktu penggunaan (nichigen). Dimana setiap pengeluaran bahan baku yang akan mengalami proses produksi diawasi secara ketat sehingga bahan baku yang akan diproses selanjutnya benar-benar terjamin kualitas dan kuantitasnya. Metode yang digunakan dalam pengaturan bahan baku dari gudang bahan baku (Raw Material House) menggunakan sistem FIFO. Dalam sistem ini, setiap bahan baku yang pertama masuk maka keluar pertama untuk diproduksi untuk mencegah bahan melewati batas waktu kadaluarsa (over nichigen). Pengaturan bahan baku juga menggunakan sistem Kanban yaitu berdasarkan pada nomor urut, dimana pada setiap bahan diberi nomor urut yang dicat pada lantai dan rak sesuai dengan tahapan produksi. Penggunaan Kanban bertujuan untuk memudahkan karyawan untuk mengetahui bahan mana yang harus dikeluarkan terlebih dahulu dari gudang yang selanjutnya akan didistribusikan ke bagian produksi sehingga karyawan dapat bekerja secara efektif dan efisien. Dalam penelitian ini, bahan baku dibatasi pada bahan baku karet yang mempunyai persentase terbesar dalam proses produksi ban. Karet yang digunakan dalam proses produksi terdiri dari karet alam dan karet sintetis. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku karet alam, PT. Bridgestone Tire Indonesia membeli dari beberapa pemasok yang berasal dari dalam negeri yaitu PT. Bersatu Abadi, PT.



Ciluar Jaya, PT. Wilson TP, PT. Sinar Bersama Makmur, PT. Bitung Agung. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku karet sintetis, PT. Bridgestone Tire Indonesia membeli dari beberapa pemasok yang berasal dari luar negeri yaitu Exxon Mobil Chemical, Shen Hua Chemical, Asahi Metal Industry, Kore KumHo, LG Chem Daesan, BST Elastomers, JSR Corporation dan Lanxess Rubber.



B.



MEKANISME PENGADAAN BAHAN BAKU Besarnya produksi ban di PT. Bridgestone Tire Indonesia bergantung dari



pesanan yang diketahui berdasarkan data dari departemen penjualan karena PT. Bridgestone memproduksi ban berdasarkan pesanan konsumen. Berdasarkan data dari hasil penjualan dan permintaan konsumen, departemen Production Planning (PP) membuat rencana produksi beserta dengan bahan baku yang dibutuhkan dalam proses produksi. Rencana produksi dan kebutuhan bahan baku tersebut diberitahukan kepada departemen Purchasing untuk menghitung rencana order/membuat Position Table of Raw Material. Purchasing juga merencanakan jadwal pemesanan dan pengiriman bahan baku dari pemasok dengan mempertimbangkan keberadaan jumlah stok dalam gudang bahan baku berdasarkan laporan RMH. Position Table diperiksa oleh manajer dan bila manajer telah menyetujuinya maka berdasarkan data dari Position Table tersebut dibuat Purchase Order (rangkap 5) yang berisi kuantitas saja dan lampiran Delivery Schedule. Manajer departemen harus memeriksanya untuk ditandatangani sehingga P/O dapat dikirim dengan rincian sebagai berikut: a. Lembar 1/5 dan 2/5 ke pemasok, setelah diproses dan ditandatangani, lembar 2/5 kembali ke bagian Purchasing. b. Lembar 3/5 dan 5/5, diarsip oleh Purchasing. c. Lembar 4/5 untuk Accounting. Berdasarkan P/O tersebut dibuat Price Confirmation (PC) yaitu dengan dasar rata-rata (Buying and Selling Singapore Quotation Noon) dari hari Senin hingga Jumat dan menggunakan rate BI hari Jumat, untuk selanjutnya harga tersebut dipergunakan untuk harga pengiriman mulai hari Kamis hingga Rabu



32



minggu berikutnya. PC diperiksa dan ditandatangani oleh Manajer Departemen. PC (rangkap 5) dikirim dengan rincian sebagai berikut: a. Lembar 1/5 dan 2/5 ke pemasok, setelah diproses dan ditandatangani, lembar 2/5 kembali ke Purchasing. b. Lembar 3/5 dan 5/5, diarsip oleh Purchasing. c. Lembar 4/5 untuk Accounting Pada saat pengiriman barang, pemasok melampirkan NBB No.3 atau surat jalan (rangkap 7), lembar 1 diarsip oleh pemasok dan enam lembar bersama barang dikirim ke Raw RMH. RMH akan memeriksa kuantitas, dan bila sesuai maka ditandatangani. Enam lembar dikirim ke teknikal untuk pemeriksaan kualitas dan ditandatangani, lembar 5 diarsip teknikal, lima lembar kembali ke RMH dan lembar 7 kembali ke pemasok sebagai tanda terima barang. Lembar 2/3/4 dikirim ke Purchasing, sedang lembar 4 diarsip Purchasing dan lembar 3 dikirim ke Accounting dan lembar ke-2 dikirim ke Accounting sewaktu settle pembayaran. Selanjutnya pemasok membuat invoice dan faktur pajak untuk penagihan. Settle pembayaran melampirkan invoice, faktur pajak NBB No.3 lembar ke-2 dan Purchase Order/Price Confirmation lembar 4/5. Gambar 3. adalah mekanisme pengadaan bahan baku di PT. Bridgestone Tire Indonesia. Sales/Market



Production Planning (PP)



Purchasing Pemasok Raw Material House



Production



Ware House



Gambar 3. Mekanisme pengadaan bahan baku di PT. Bridgestone Tire Indonesia



33



C.



MEKANISME PENERIMAAN BAHAN BAKU Raw Material House (RMH) menerima jadwal dan jumlah bahan baku yang



akan dikirim oleh pemasok serta kebutuhan bahan baku yang akan diproduksi dan mempersiapkannya. Dalam penerimaan bahan baku, inspeksi dilakukan dengan dua metode yaitu inspeksi dokumen yang dilakukan oleh seksi QA dan check appearance yang dilakukan oleh seksi penerimaan dan produksi. Tujuan dari inspeksi ini adalah untuk menjamin barang yang diterima sesuai order dan dilakukan oleh penanggung jawab material setiap kali terima material. Jika berdasarkan hasil inspeksi ternyata tidak cocok dengan P/O maka petugas yang melakukan inspeksi harus melapor ke atasan (Supervisor bagian RMH). Selanjutnya Supervisor RMH melapor ke bagian Purchasing untuk kemudian mengkonfirmasi kepada pemasok. Mekanisme penerimaan bahan baku di PT. Bridgestone Tire Indonesia dapat dilihat dari Gambar 4. Receiving (in)



Check Quantity



NG



Reject



OK Check Quality



Off Reject



OK Stock



Delivery (out)



See Lay Out Not Inspected Yet



Production



See RM Tag Inspected Not Used Yet



Product Being Use



Gambar 4. Diagram alir mekanisme penerimaan bahan baku di PT. Bridgestone Tire Indonesia



34



Inspeksi dokumen ditunjukkan dalam Shipping Inspection Report yang berisi nama pemasok, tanggal pengiriman dan tanggal inspeksi, nama produk (brand dan nomor kode), nomor lot, item-item inspeksi, nilai spesifikasi dan nilai terukur serta hasil dari judgement yaitu “Dapat Diterima”. Jika hasil cek dokumen OK maka Raw Material House (RMH) melakukan pengawasan terhadap kuantitas bahan baku yang diterima apakah sesuai dengan order yang dilakukan oleh perusahaan dan surat jalan dari pemasok. Pemeriksaan terhadap kualitas bahan baku (sampling check quality) dilakukan oleh bagian laboratorium. Bila bahan baku tidak memenuhi syarat maka bahan baku dinyatakan tidak baik dan direject. Bahan baku yang diterima harus memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Bila bahan baku sesuai dengan standar maka bahan baku dapat diterima dan disimpan sebagai stok hingga nantinya dikirim ke bagian produksi. Hasil dari proses produksi berupa barang jadi yaitu ban akan disimpan dalam gudang barang jadi (warehouse) yang nantinya produk tersebut akan dipasarkan. Bila bahan baku tidak memenuhi standar maka bahan baku dinyatakan tidak baik dan ditolak. Bahan baku yang dinyatakan bagus (OK) adalah bila hasil pemeriksaan petugas laboratorium dan data maker (QC) keduanya in spec sesuai spec masing-masing material yang telah dsetujui. Bila salah satu atau keduanya out spec maka petugas laboratorium harus melakukan tes ulang (Final Judgement) terhadap bahan baku. Untuk material yang judgement hanya diperiksa oleh QC dan bila hasil setiap tes item in spec, bahan baku adalah baik (OK) dan sebaliknya bila data pada QC out spec maka bahan baku dinyatakan jelek (NG). Sebelum bahan baku digunakan untuk proses produksi, harus diperhatikan penggunaan tag atau identitas bahan baku. Tag yang digunakan dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu: 1. Belum Periksa Dalam hal ini bahan baku belum diperiksa oleh technical dan bahan baku tersebut belum dapat digunakan oleh bagian produksi pada hari tersebut. 2. Belum Pakai atau Dilarang Memakai Tag ini dipakai untuk menunjukkan material yang bersangkutan kualitasnya diragukan atau material abnormal, untuk sementara pemakainnya ditunda dan menunggu keputusan dari technical.



35



3. Sedang Pakai Dalam hal ini bahan baku telah diperiksa oleh teknikal dan dinyatakn memenuhi syarat. Dalam hal ini bahan baku tersebut dapat digunakan oleh bagian produksi pada hari tersebut. Ada beberapa perlakuan terhadap tag bahan baku yaitu: 1. Setelah bahan baku OK/NG, petugas laboratorium harus memberi keterangan pada tag bahan baku sambil membawa nota bahan baku agar tidak menimbulkan salah judgement yaitu: a. RW yang OK Bila bahan baku dinyatakan OK, maka tanda OK dilingkari, diberi tanda tangan dan tanggal, kemudian tulisan “Dilarang Memakai” dan “Belum Periksa” harus disobek b. RW yang NG Bila bahan baku dinyatakan NG, maka tanda NG dilingkari, diberi tanda tangan dan tanggal, kemudian tulisan “Dilarang Memakai” dipasang dan tulisan “Belum Periksa” harus disobek 2. Pada nota bahan baku harus tertera nomor tag bahan baku tersebut. . Setiap material memiliki batas waktu agar mutu dan keamanan produksi tetap terjamin seperti yang tertera pada Tabel 6. Batas waktu tersebut dapat dibagi tiga yaitu batas waktu biasa A (control), luar biasa B (maksimum), luar biasa C (maksimum). Material dinyatakan over nichigan apabila melewati batas waktu luar biasa B dan C.



36



Tabel 6. Daftar batas nichigen bahan baku No. Material 1. Raw Rubber a. Natural Rubber b. Synthetic Rubber 2. Carbon (WH) 3. Filter a. WK-73 b. WK yang lain 4. Softener (WS) 5. Solvent (WT) 6. Chemicals 1. WE-18, WE-19, WE-39, WE-69 2. Khusus WF29 3. WF yang lain 4. “WR” Master Batch type 5. WR-33, WR-34 6. “WR” yang lain 7. WY51, WY52 8. Chemicals yang lain 7. Dripped cord & Canvas 8. Bead Wire 9. Tube Wire



D.



Masa Nichigen 12 bulan 12 bulan 12 bulan 24 bulan 1 bulan 24 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 12 bulan 12 bulan 12 bulan 36 bulan 60 bulan 12 bulan 6 bulan 6 bulan 10 bulan



WAKTU TUNGGU PENGADAAN BAHAN BAKU PT. Bridgestone Tire Indonesia memesan bahan baku karet dari berbagai



pemasok. Bahan baku karet alam berasal dari pemasok dalam negeri sedangkan karet sintetis berasal dari pemasok luar negeri. Perusahaan melakukan impor bahan baku karet sintetis dari negara-negara di tiga kawasan yaitu Asia, Eropa dan Amerika Serikat. Waktu tunggu untuk bahan baku yang berasal dari dalam negeri adalah 0,2 bulan atau sekitar seminggu. Waktu tunggu rata-rata untuk bahan baku yang berasal dari negara lain adalah 2 bulan. Posisi perusahaan bila dibandingkan dengan negara-negara asal bahan baku karet sintetis tersebut mempunyai jarak yang berbeda, sehingga waktu tempuh juga berbeda melalui kapal laut. Hal inilah yang menyebabkan waktu tunggu pengadaan bahan baku berbeda tergantung pada kawasan negara asal produsen bahan baku. Waktu tunggu pengadaan bahan baku PT. Bridgestone Tire Indonesia ditunjukkan dalam Tabel 7 berikut.



37



Tabel 7. Waktu tunggu bahan baku No.



1



Lokal Γ Natural Rubber Γ Chemical Γ Liquid Γ Others



2



Impor Γ Synthetic Rubber Γ Carbon Black Γ Tire Cord Γ Steel Cord Γ Bead Wire Γ Tube Valve Γ Chemical



3



0,2 0,3 0,3 0,3



Asia Eropa Amerika



Others Γ Consumption ~ 100 kg/bulan ¾ Asia ¾ Eropa ¾ Amerika Γ



E.



Lead Time (bulan) Order



Jenis



Consumption +/- 101~1000 kg/bulan ¾ Asia ¾ Eropa ¾ Amerika



2,0



1,5 2,0 2,0



1,5 2,0 2,0



PEMAKAIAN BAHAN BAKU Metode yang dipergunakan oleh PT. Bridgestone Tire Indonesia dalam



pemakaian bahan baku karet adalah FIFO (First In First Out) yaitu bahan baku karet yang lebih dahulu masuk akan lebih dahulu digunakan untuk produksi. Selama tahun 2005, PT Bridgestone Tire Indonesia menggunakan bahan baku karet sebesar 54.671.055 kg dengan perincian karet alam sebesar 31.189.742 kg dan karet sintetis sebesar 23.481.313 kg. Perkembangan pemakaian bahan baku karet PT. Bridgestone Tire Indonesia pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 5 berikut.



38



Tabel 8. Tingkat pemakaian bahan baku karet alam No.



Pemakaian (Kg) Karet Alam Karet Sintetis 2.464.884 1.816.182 2.476.982 2.049.997 2.669.668 2.159.800 2.684.069 1.942.161 2.712.906 1.881.905 2.673.370 1.997.883 2.561.957 1.909.016 2.737.932 2.051.421 2.812.619 2.111.071 2.618.184 1.999.809 2.083.352 1.505.770 2.693.819 2.056.298 31.189.742 23.481.313 2.599.145,167 1.956.776,08



Bulan



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.



Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total Rata - Rata



Tingkat Pemakaian Bahan Baku Karet 3000000 Kuantitas (kg)



2500000 2000000 Karet Alam



1500000



Karet Sintetis



1000000 500000 0 1



2



3



4



5



6



7



8



9 10 11 12



Bulan



Gambar 5. Grafik tingkat pemakaian bahan baku karet Tabel 8 dan Gambar 5 di atas menggambarkan pemakaian bahan baku karet di PT. Bridgestone Tire Indonesia, baik karet alam maupun karet sintetis tidak sama setiap bulannya. Pemakaian bahan baku karet bergantung pada permintaan pasar yang berbeda setiap bulan namun masih dalam kisaran normal. Pemakaian bahan baku karet alam dan karet sintetis terkecil terjadi pada bulan November yaitu sebesar 20.833.352 kg untuk karet alam dan 1.505.770 kg untuk karet sintetis. Rendahnya pemakaian bahan baku karet dikarenakan waktu kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan bulan lainnya yang ditandai dengan adanya hari raya Lebaran. Pemakaian bahan baku karet alam dan karet sintetis terbesar terjadi pada bulan September yaitu sebesar 2.812.619 kg untuk karet alam dan 2.111.071,2 kg untuk karet sintetis.



39



Pemakaian bahan baku karet di PT. Bridgestone Tire Indonesia selama tahun 2005 adalah sebesar 2.599.145,167 kg per bulan untuk karet alam dan 1.956.776,267 kg per bulan untuk karet sintetis. Selama tahun 2005, PT Bridgestone Tire Indonesia memiliki persediaan bahan baku karet alam sebesar 7.831.209,5 kg per bulan dan karet sintetis sebesar 42.894.915,45 kg per bulan. Tingkat persediaan bahan baku karet PT. Bridgestone Tire Indonesia pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 9 untuk karet alam dan Tabel 10 untuk karet sintetis berikut. Tabel 9. Tingkat persediaan bahan baku karet alam Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total rata-rata STD



Persediaan Awal (Kg)



Pemakaian (Kg)



Persediaan Akhir (Kg)



496.035 2.575.881 2.464.884 607.032 2.492.136 2.476.982 622.186 2.966.269 2.669.668 918.787 2.400.690 2.684.069 635.408 2.604.950 2.712.906 527.452 2.817.320 2.673.370 671.402 2.359.692 2.561.957 469.137 3.016.383 2.737.932 747.588 2.840.847 2.812.619 775.816 2.555.973 2.618.184 713.605 1.980.721 2.083.352 610.974 2.650.455 2.693.819 7.795.422 31.261.317 31.189.742 649.618,5 2.605.109,75 2.599.145,17



607.032 622.186 918.787 635.408 527.452 671.402 469.137 747.588 775.816 713.605 610.974 567.610 7.866.997 655.583,08



127.169,15



Penerimaan (Kg)



287.647,77



191.920,98



Persediaan Rata-rata (Kg) 551.533,5 614.609,0 770.486,5 777.097,5 581.430,0 599.427,0 570.269,5 608.362,5 761.702,0 744.710,5 662.289,5 589.292,0 7.831.209,5 652.600,79



120.831,40 124.000,27



Jumlah persediaan bahan baku karet alam dan sintetis di PT. Bridgestone Tire Indonesia tidak sama setiap bulannya. Tingkat persediaan yang disimpan tergantung dari penerimaan dan pemakaian bahan baku karet. Tingkat persediaan bahan baku karet juga disajikan dalam Gambar 6.



40



Perkembangan Persediaan Bahan Baku Karet Alam 3500000 Kuantitas (Kg)



3000000



Persediaan Awal (Kg)



2500000



Penerimaan (Kg)



2000000



Pemakaian (Kg)



1500000



Persediaan Akhir (Kg)



1000000



Persediaan Rata-rata (Kg)



500000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan



Gambar 6. Grafik tingkat persediaan bahan baku karet alam Persediaan bahan baku karet alam terkecil terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 551.533,5 kg dan terbesar terjadi pada bulan April yaitu sebesar 777.097,5 kg. Rendahnya persediaan bahan baku karet alam disebabkan oleh jumlah persediaan akhir pada bulan sebelumnya yaitu Desember 2004 dan penerimaan tergolong rendah, sementara tingkat pemakaian bahan baku cenderung tinggi. Tingginya persediaan bahan baku karet alam disebabkan pada bulan April masih terdapat banyak persediaan bahan baku karet sintetis pada bulan sebelumnya. Tabel 10. Tingkat persediaan bahan baku karet sintetis Bulan



Persediaan Awal (Kg)



Penerimaan (Kg)



Pemakaian (Kg)



Persediaan Akhir (Kg)



3.437.905,5 2.097.636,6 1.816.182,5 3.719.359,6 Januari 3.719.359,6 1.628.489,0 2.049.997,0 3.297.851,6 Februari 3.297.851,6 1.869.415,0 2.159.800,0 3.007.466,6 Maret 3.007.466,6 2.319.536,0 1.942.161,0 3.384.841,6 April 3.384.841,6 1.657.952,3 1.881.905,0 3.160.888,9 Mei 3.160.888,9 2.137.573,6 1.997.883,6 3.300.578,9 Juni 3.300.578,9 1.504.352,2 1.909.016,1 2.895.915,0 Juli 2.895.915,0 3.099.776,0 2.051.421,8 3.944.269,2 Agustus September 3.944.269,2 2.093.221,0 2.111.071,2 3.926.419,0 3.926.419,0 2.293.390,8 1.999.809,0 4.220.000,8 Oktober 4.220.000,8 1.357.701,2 1.505.770,0 4.071.932,0 November 4.071.932,0 2.477.245,0 2.056.298,0 4.492.879,0 Desember 42.367.428,7 24.536.288,7 23.481.315,2 43.422.402,2 Total rata-rata 3.530.619,06 2.044.690,73 1.956.776,27 3.618.533,52 435.037,94 483.257,68 172.519,63 514.025,03 STD



Persediaan Rata-rata (Kg) 3.578.632,55 3.508.605,60 3.152.659,10 3.196.154,10 3.272.865,25 3.230.733,90 3.098.246,95 3.420.092,10 3.935.344,10 4.073.209,90 4.145.966,40 4.282.405,50 42.894.915,45 3.574.576,29 474.531,48



Tingkat persediaan bahan baku karet sintetis di atas dapat disajikan dalam Gambar 7 berikut.



41



Perkembangan Persediaan Bahan Baku Karet Sintetis



Kuantitas (Kg)



5000000 4000000



Persediaan Awal (Kg)



3000000



Penerimaan (Kg) Pemakaian (Kg)



2000000



Persediaan Akhir (Kg)



1000000



Persediaan Rata-rata (Kg)



0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan



Gambar 7. Grafik tingkat persediaan bahan baku karet sintetis Persediaan bahan baku karet sintetis terkecil terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 3.098.246,95 kg dan terbesar terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 4.282.405,50 kg. Rendahnya persediaan bahan baku karet sintetis disebabkan oleh tingkat penerimaan pada bulan Juli yang rendah. Tingginya persediaan bahan baku karet sintetis disebabkan pada bulan Desember masih terdapat banyak persediaan bahan baku karet sintetis pada bulan sebelumnya ditambah lagi dengan penerimaan yang tergolong tinggi pada bulan Desember.



F. KEBIJAKAN PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU PADA PT. BRIDGESTONE TIRE INDONESIA Bahan baku merupakan salah satu hal penting dalam proses produksi sehingga diperlukan pengendalian persediaan yang baik untuk mencegah terjadinya kekurangan persediaan yang akan mengakibatkan terhambatnya proses produksi. Bahan baku di PT. Bridgestone Tire Indonesia berasal dari pemasok yang telah disetujui oleh Bridgestone Jepang dimana setiap kebutuhan bahan baku dialokasikan pada satu atau beberapa pemasok. Pengiriman material dilakukan dengan kontrak jangka waktu maksimal tiga bulan untuk setiap pemasok. Pengendalian persediaan dilakukan melalui beberapa kebijakan-kebijakan yaitu: 1. Material Requirements Planning (Perencanaan Kebutuhan Material/ Bahan Baku) Material



Requirements



Planning



(MRP)



adalah



suatu



sistem



perencanaan dan penjadwalan kebutuhan material untuk produksi yang



42



memerlukan beberapa tahapan proses atau fase. Material Requirements Planning (MRP) dapat juga diartikan sebagai suatu rencana produksi untuk sejumlah produk jadi yang diterjemahkan ke bahan baku yang dibutuhkan dengan menggunakan waktu tenggang, sehingga dapat ditentukan kapan dan berapa banyak yang dipesan untuk masing-masing komponen suatu produk yang akan dibuat. Pada PT. Bridgestone Tire Indonesia, MRP dibuat oleh Production Planning Departement (PP) yang disebut Estimate Consumption Raw Material Plan, yang berisi rencana hari produksi, rencana kebutuhan bahan baku, rencana produksi serta dasar-dasar perhitungan. 2. Pemesanan dalam Pengendalian Persediaan Dalam melakukan pemesanan bahan baku, perusahaan menggunakan metode order point system yaitu suatu sistem pemesanan bahan baku dimana pesanan dilakukan apabila persediaan yang ada telah mencapai titik atau tingkat tertentu. Setiap jenis bahan baku mempunyai titik/tingkat yang disebut standard stock dimana jumlah persediaan yang terdapat di gudang tidak boleh kurang dari titik tersebut. Ketika bahan baku hampir mencapai titik standard stock maka bagian Purchasing segera melakukan pemesanan kepada pemasok untuk segera mengirim bahan ke gudang. 3. Jumlah Pemesanan Ekonomis Dalam menentukan jumlah pemesanan yang ekonomis, perusahaan menggunakan metode tabel (tabular approach), dimana seluruh bahan baku dan bahan pembantu disusun dalam tabel yang berisi jumlah aktual dari persediaan yang ada. Besarnya jumlah pemesanan bahan baku ditentukan oleh besarnya kebutuhan bahan baku yang diperlukan untuk proses produksi, jumlah persediaan yang ada di gudang dan rencana produksi. Jumlah pemesanan yang harus dilakukan dapat dilihat pada Inventory Control of Raw Material yang dibuat oleh bagian Raw Material House (RMH) dan rencana kebutuhan bahan baku untuk produksi yang dibuat oleh departemen Production Planning. Berdasarkan kedua data tersebut bagian Purchasing dapat melakukan pemesanan bahan baku kepada pemasok. 4. Reorder Point Pemesanan kembali (reorder point) bahan baku di PT. Bridgestone Tire



43



Indonesia dilakukan dengan melihat jumlah persediaan yang terdapat pada Inventory Control of Raw Material. Berdasarkan data tersebut, bagian Purchasing dapat melihat material mana yang harus dipesan kembali untuk mengisi kembali bahan baku yang telah keluar dari gudang untuk diproduksi. 5. Persediaan Pengaman Produksi ban PT. Bridgestone Tire Indonesia dilakukan berdasarkan pesanan dari konsumen, sehingga jumlah produksi berfluktuasi tergantung pada permintaan konsumen. Karena produksi yang berfluktuasi menyebabkan kebutuhan bahan baku tidak tetap. Jika produksi ban tinggi maka kebutuhan bahan baku meningkat, sehingga diperlukan pengendalian material yang baik agar dapat menjamin terpenuhinya bahan baku yang diperlukan. Untuk mengantisipasi fluktuasi kebutuhan bahan baku maka diperlukan adanya persediaan penyelamat (safety stock) agar tidak terjadi kekurangan material (shortage stock). Perhitungan safety stock pada perusahaan didasarkan atas standard stock setiap jenis bahan baku, jika produksi meningkat maka bahan baku yang tersedia harus lebih besar daripada stock untuk produksi biasa. Persediaan pengaman bahan baku karet alam dan karet sintetis setiap bulan disajikan dalam Tabel 11 berikut. Tabel 11. Rata-rata persediaan pengaman karet alam dan karet sintetis No.



Jenis



Persediaan Pengaman Rata-rata (Kg)



1. 2.



Karet Alam Karet Sintetis Total



259.914,52 3.913.552,17 4.162.466,69



Berdasarkan Tabel 11 di atas diperoleh bahwa persediaan pengaman untuk karet alam adalah sebesar 259.914,52 kg per bulan, sedangkan untuk karet sintetis adalah sebesar 3.913.552,17 kg per bulan.



G.



BIAYA-BIAYA PERSEDIAAN PT. Bridgestone Tire Indonesia mengeluarkan sejumlah biaya atas



persediaan bahan baku karet yang dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Biaya pemesanan adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pemesanan sampai barang tersebut berada atau



44



sampai di lokasi perusahaan. Biaya ini besarnya dipengaruhi oleh kuantitas pesanan, bertambah dengan jumlah pemesanan yang dilakukan dan total biayanya adalah perkalian keduanya. Biaya pemesanan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memesan barang yang meliputi biaya administrasi, biaya pengiriman, biaya clereance, biaya ekspedisi, dan ijin impor. Biaya Kekurangan Persediaan adalah biaya yang timbul sebagai akibat terjadinya persediaan yang lebih kecil daripada jumlah yang diperlukan, seperti biaya tambahan yang timbul akibat pengiriman kembali pesanan. Untuk tambahan persediaan (additional stock) bahan lokal biaya pemesanan yang terjadi sama seperti biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan persediaan normal. Sedangkan untuk tambahan bahan baku impor terdapat tambahan biaya pengiriman sedangkan harga bahan baku tetap. Tambahan biaya pengiriman terjadi karena pengiriman yang biasanya dilakukan menggunakan kapal laut diganti dengan menggunakan pesawat untuk kuantitas kecil sehingga biaya meningkat dari biaya pengiriman dengan kapal laut. Biaya pemesanan yang dikeluarkan perusahaan berbeda untuk bahan baku yang dipesan di dalam negeri dan impor dari negara lain. Untuk bahan baku yang berasal dari dalam negeri perusahaan mengeluarkan biaya administrasi sebagai biaya pemesanannya. Biaya administrasi ini timbul karena perusahaan mengeluarkan dana untuk pembuatan dokumen-dokumen pemesanan. Jumlah biaya administrasi ini sebesar Rp. 28580,- per pesanan, sedangkan untuk biaya pengiriman dan lain-lain, keseluruhannya ditanggung oleh perusahaan pemasok. Biaya pemesanan perusahaan disajikan pada Tabel 12 berikut. Tabel 12. Biaya pemesanan bahan baku karet No. 1.



Jenis Karet Alam



Komponen Biaya Administrasi Total



2.



Sintetis



Administrasi Pengiriman Clearance Ekspedisi Ijin Impor Total



Jumlah Biaya (Rp) 28.580 28.580 28.580 35.000.000 550.000 700.000 800.000 37.078.580



45



Untuk bahan baku yang berasal dari luar negeri perusahaan juga mengeluarkan biaya administrasi sebagai biaya pemesanannya sebesar Rp. 28.580,00 per pesanan. Selain itu perusahaan juga mengeluarkan sejumlah dana untuk biaya ekspedisi, biaya clereance, biaya pengiriman dan ijin impor. Biaya pengiriman adalah biaya yang timbul sebagai kompensasi tarif kapal laut untuk pengantaran barang dari pelabuhan negara asal ke pelabuhan Indonesia. Biaya pengiriman merupakan biaya terbesar bila dibandingkan biaya pemesanan lain yaitu sebesar Rp. 35.000.000,00. Biaya clearance yang harus ditanggung perusahaan adalah sebesar Rp. 550.000,00. Biaya clearance adalah biaya yang timbul karena perusahaan menginginkan segala masalah administrasi di pelabuhan Indonesia dilakukan tanpa keterlibatan perusahaan dimana dianggap akan menambah beban tenaga dan biaya bagi perusahaan. Biaya ekspedisi adalah biaya perjalanan angkutan truk dari pelabuhan sampai dengan berada di lokasi perusahaan yaitu sebesar Rp. 700.000,00. Karena bahan baku karet sintetis berasal dari negara lain, perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk ijin impor sebesar Rp. 800.000,00. Total biaya pemesanan yang dikeluarkan perusahaan untuk bahan baku karet sintetis adalah sebesar Rp. 37.078.580,00. Selain biaya pemesanan, perusahaan juga mengeluarkan biaya penyimpanan sebagai akibat kegiatan menyimpan bahan baku karet di gudang dalam periode waktu tertentu. Pada PT. Bridgestone Tire Indonesia biaya gudang tidak dihitung sebagai biaya penyimpanan karena gudang adalah milik perusahaan yang merupakan investasi sebagai asset perusahaan. Biaya pergudangan yang terdiri atas biaya gudang, biaya tenaga kerja, biaya peralatan material handling di gudang, dan biaya administrasi gudang tidak dibebankan dalam biaya persediaan bahan baku melainkan dibebankan sebagai biaya overhead pabrik. Jadi biaya penyimpanan hanya terdiri dari biaya asuransi atas persediaan dan biaya yang timbul atas risiko-risiko yang mungkin terjadi seperti risiko kerusakan, kecurian, dan penyusutan persediaan. Biaya asuransi yang dikeluarkan perusahaan adalah Rp. 2.911,33 per bulan per ton untuk karet alam dan Rp. 30.666,17 per bulan per ton untuk karet sintetis



46



yang disimpan. Biaya penyusutan yang dikeluarkan perusahaan adalah Rp. 437,00 per bulan per ton untuk karet alam dan Rp 3.067,00 per bulan per ton karet sintetis yang disimpan. Biaya kerusakan yang dikeluarkan perusahaan adalah Rp. 291,00 per bulan per ton untuk karet alam dan Rp 1.533,00 per bulan per ton karet sintetis yang disimpan. Total biaya penyimpanan yang dikeluarkan oleh perusahaan adalah sebesar Rp. 3.639,00 per bulan per ton bahan baku karet alam dan Rp. 35.270,00 per bulan per ton bahan baku karet sintetis yang disimpan. Biaya penyimpanan bahan baku karet alam dan karet sintetis dapat dilihat dalam Tabel 13 dan Tabel 14. Tabel 13. Perhitungan biaya penyimpanan karet alam No.



Jenis Biaya



1. 2. 3.



Asuransi Penyusutan Kerusakan Total



Biaya Penyimpanan Per Tahun (Rp/kg) Per Bulan (Rp/kg) 34,936 2,911 5,2404 0,437 3,4936 0,291 43,67 3,639



Tabel 14. Perhitungan biaya penyimpanan karet sintetis No.



Jenis Biaya



1. 2. 3.



Asuransi Penyusutan Kerusakan Total



H.



Biaya Penyimpanan Per Tahun (Rp/kg) Per Bulan (Rp/kg) 367,99 30,67 36,80 3,07 18,40 1,53 423,19 35,27



FREKUENSI PEMESANAN PT. Bridgestone Tire Indonesia selama tahun 2005 melakukan pemesanan



dengan frekuensi yang berbeda antara bahan baku karet alam dan karet sintetis Frekuensi pemesanan bahan baku dapat dilihat pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Frekuensi pemesanan bahan baku karet No. 1. 2.



Jenis Karet Alam Karet Sintetis Total



Frekuensi



Rataan Jumlah Per Pesan (Kg)



143 41 184



218.610,61 613.407,15 832.017.76



Untuk bahan baku karet alam yang berasal dari dalam negeri, perusahaan melakukan pemesanan dengan frekuensi tinggi. Hal ini bertujuan untuk



47



meminimisasi biaya penanganan bahan baku di gudang. Dengan kata lain perusahaan hanya mengeluarkan biaya administrasi saja sebagai biaya pemesanannya terhadap bahan baku yang berasal dari dalam negeri. Pada tahun 2005 perusahaan memesan bahan baku karet alam sebanyak 143 kali dengan rataan jumlah per pesan adalah sejumlah 218.610,61 kg. Untuk bahan baku karet sintetis PT. Bridgestone Tire Indonesia selama tahun 2005 melakukan pemesanan sebanyak 41 kali dengan rataan jumlah pesan adalah sejumlah 613.407,15 kg. Pemesanan terhadap bahan baku karet sintetis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pemesanan bahan baku karet alam karena perusahaan lebih banyak mengeluarkan biaya penyimpanan terhadap bahan baku yang berasal dari luar negeri dibandingkan dengan biaya pemesanannya.



I.



PENGENDALIAN



PERSEDIAAN



BAHAN



BAKU



DENGAN



METODE MATERIAL REQUIREMENTS PLANNING (MRP) Dalam metode MRP, kebutuhan kotor karet alam maupun karet sintetis harus ditentukan terlebih dahulu. Setelah kebutuhan kotor ditetapkan maka kebutuhan bersih dapat dihitung yang merupakan selisih dari kebutuhan kotor dengan penerimaaan bahan baku dan persediaan di tangan. Penentuan ukuran lot pemesanan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan bersih dilakukan dengan menggunakan teknik LFL, EOQ dan PPB. Kemudian ditentukan kapan pemesanan harus dilakukan berdasarkan lead time yang telah ditetapkan. Kebutuhan karet alam pada PT. Bridgestone Tire Indonesia dapat terpenuhi dalam waktu satu minggu setelah pemesanan dilakukan, sedangkan kebutuhan karet sintetis dapat terpenuhi dalam waktu delapan mingggu setelah pemesanan dilakukan. 1. Teknik Lot for Lot a. Karet Alam Pada awal bulan Januari 2005, terdapat persediaan karet alam sebesar 496.035 kg di gudang sebagai sisa produksi pada bulan Desember 2004. Persediaan awal ini tidak mampu mencukupi kebutuhan produksi selama seminggu dan hanya mampu mencukupi kebutuhan bahan baku perusahaan pada empat hari awal produksi. Dengan waktu tunggu selama



48



seminggu atau satu periode, maka untuk memenuhi kebutuhan karet alam pada minggu ke dua, perusahaan harus mulai memesan pada awal minggu pertama atau akhir periode tahu sebelumnya dan demikian pula untuk periode seterusnya. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan teknik LFL, maka dapat diketahui bahwa total pembelian karet alam adalah sebanyak 30.693.707 kg dengan jumlah persediaan rata-rata sebesar 248.017,5 kg. Frekuensi pemesanan yang dilakukan adalah sebanyak 52 kali dengan kuantitas pemesanan yang bervariasi setiap kali pemesanan sesuai dengan kebutuhan bersih karet alam setiap minggunya. Total biaya pemesanan yang dikeluarkan oleh perusahaan adalah sebesar Rp. 1.486.160,00 dan total biaya penyimpanan sebesar Rp. 563.991,80. Total biaya persediaan karet alam yang dikeluarkan oleh perusahaan dengan menggunakan teknik LFL adalah sebesar Rp. 2.050.151,80 yang diperoleh dari penjumlahan antara total biaya pemesanan dengan total biaya penyimpanan. b. Karet Sintetis Pada awal bulan Januari 2005, terdapat persediaan karet sintetis sebesar 3.437.905 kg di gudang sebagai sisa produksi pada bulan Desember 2004. Persediaan awal ini mampu mencukupi kebutuhan produksi selama delapan minggu. Dengan waktu tunggu selama dua bulan, maka untuk memenuhi kebutuhan karet sintetis pada minggu ke sembilan, perusahaan harus mulai memesan pada awal minggu pertama atau akhir periode tahu sebelumnya dan begitu seterusnya. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan teknik LFL, maka dapat diketahui bahwa total pembelian karet sintetis adalah sebanyak 20.043.408 kg dengan jumlah persediaan rata-rata sebesar 13.244.366 kg. Frekuensi pemesanan yang dilakukan adalah sebanyak 45 kali dengan kuantitas pemesanan yang bervariasi setiap kali pemesanan sesuai dengan kebutuhan bersih karet sintetis setiap minggunya. Total biaya pemesanan yang dikeluarkan oleh perusahaan adalah sebesar Rp. 1.668.536.100,00 dan total biaya penyimpanan sebesar Rp.



49



133.207.933,9. Total biaya persediaan karet sintetis yang dikeluarkan oleh perusahaan dengan menggunakan teknik LFL adalah sebesar Rp. 1.801.744.034,00 yang diperoleh dari penjumlahan antara total biaya pemesanan dengan total biaya penyimpanan. 2. Teknik EOQ Dalam teknik EOQ, jumlah pesanan yang dilakukan adalah sebesar pesanan ekonomis (EOQ). Apabila kebutuhan bersih untuk suatu periode lebih besar dari jumlah EOQ, maka jumlah yang dipesan adalah sebesar kelipatan dari EOQ yang terdekat. a. Karet Alam Berdasarkan hasil perhitungan, kuantitas pemesanan ekonomis (EOQ) karet alam adalah sebesar 210.653,49 kg setiap kali pemesanan dengan frekuensi pemesanan sebanyak 146 kali. Total pembelian karet alam dengan menggunakan teknik EOQ adalah sebanyak 30.755.409,18 kg dengan jumlah persediaan rata-rata sebesar 5.734.322,98 kg. Dengan kuantitas pemesanan tetap sebesar 210.653,49 kg dalam setiap kali pemesanan, maka total biaya pemesanan adalah sebesar Rp. 4.172.680,00 dan total biaya penyimpanan sebesar Rp. 4.722.611,35. Total biaya persediaan karet alam yang dikeluarkan oleh perusahaan dengan menggunakan teknik EOQ adalah sebesar Rp. 8.895.291,35 yang diperoleh dari penjumlahan antara total biaya pemesanan dengan total biaya penyimpanan. b. Karet Sintetis Berdasarkan perhitungan pada lampiran



kuantitas pemesanan



ekonomis (EOQ) karet sintetis adalah sebesar 2.028.469,56 kg setiap kali pemesanan dengan frekuensi pemesanan sebanyak 10 kali. Total pembelian karet sintetis dengan menggunakan teknik EOQ adalah sebanyak 20.284.528 kg dengan jumlah persediaan rata-rata sebesar 57.623.020,6 kg. Dengan kuantitas pemesanan tetap sebesar 2.028.469,56 kg dalam setiap kali pemesanan, maka total biaya pemesanan adalah sebesar Rp. 370.785.800,00 dan total biaya penyimpanan sebesar Rp. 487.571.490,9.



50



Total biaya persediaan karet sintetis yang dikeluarkan oleh perusahaan dengan menggunakan teknik EOQ adalah sebesar Rp. 858.357.290,9 yaitu dari jumlah total biaya pemesanan dengan total biaya penyimpanan. 3. Teknik PPB Dalam teknik PPB, besarnya ukuran lot untuk pemesanan dilakukan sebesar kebutuhan bersih pada periode yang digabungkan. Penggabungan periode dilakukan terhadap penggabungan berurutan yang memilki nilai kumulatif kebutuhan bersih mendekati nilai EPP. a. Karet Alam Berdasarkan rumus dengan komponen biaya pemesanan dan biaya penyimpanan karet alam yang telah dihitung sebelumnya, maka diperoleh nilai EPP untuk karet alam sebesar 37.704,49 kg. Perhitungan pada lampiran



menunjukkan bahwa total pembelian



karet alam adalah sebanyak 30.693.707 kg dengan jumlah persediaan ratarata sebesar 248.017,5 kg. Frekuensi pemesanan yang dilakukan adalah sebanyak 52 kali dengan kuantitas pemesanan yang bervariasi setiap kali pemesanan sesuai dengan kebutuhan bersih beberapa periode yang digabungkan yang mendekati nilai EPP yaitu sebesar 37.704,49 kg. Total biaya pemesanan yang dikeluarkan oleh perusahaan adalah sebesar Rp. 1.486.160,00 dan total biaya penyimpanan sebesar Rp. 563.991,8. Total biaya persediaan karet alam yang dikeluarkan oleh perusahaan dengan menggunakan teknik PBB adalah sebesar Rp. 2.050.151,8 yang diperoleh dari penjumlahan antara total biaya pemesanan dengan total biaya penyimpanan. b. Karet Sintetis Berdasarkan rumus dengan komponen biaya pemesanan dan biaya penyimpanan karet sintetis yang telah dihitung sebelumnya, maka diperoleh nilai EPP untuk karet sintetis sebesar 4.646.438,6 kg. Perhitungan pada lampiran



menunjukkan bahwa total pembelian



karet sintetis adalah sebanyak 20.280.773,8 kg dengan jumlah persediaan rata-rata sebesar 63.962.536,4 kg. Frekuensi pemesanan yang dilakukan adalah sebanyak 9 kali dengan kuantitas pemesanan yang bervariasi setiap



51



kali pemesanan sesuai dengan kebutuhan bersih beberapa periode yang digabungkan yang mendekati nilai EPP yaitu sebesar 4.646.438,6 kg. Total biaya pemesanan yang dikeluarkan oleh perusahaan adalah sebesar Rp. 333.707.220,00 dan total biaya penyimpanan sebesar Rp. 538.192.524,6,00. Total biaya persediaan karet sintetis yang dikeluarkan oleh perusahaan dengan menggunakan teknik PBB adalah sebesar Rp. 871.899.744,6 yang diperoleh dari penjumlahan antara total biaya pemesanan dengan total biaya penyimpanan.



J. PERBANDINGAN ANTARA METODE MRP DENGAN METODE PERUSAHAAN a. Karet Alam Perbandingan hasil pengendalian kebutuhan dan persediaan karet alam pada tahun 2005 dengan menggunakan perusahaan, metode MRP teknik LFL, EOQ dan PPB disajikan dalam Tabel 16 berikut. Tabel 16. Perbandingan pengendalian karet alam antara metode perusahaan dengan metode MRP teknik LFL, EOQ dan PPB. Komponen



Metode Perusahaan



Jumlah Pembelian 31.261.317 (kg) Jumlah Persediaan 7.831.209,5 Rata-rata (kg) Frekuensi 143 Pemesanan Total Biaya 4.086.940 Pemesanan (Rp) Total Biaya 28.505.602,58 Penyimpanan (Rp) Total Biaya 32.592.542,58 Persediaan (Rp)



LFL



MRP EOQ



PPB



30.693.707



30.755.409,18



30.693.707



248.017,5



5.734.322,98



248.017,5



52



146



52



1.486.160



4.172.680



1.486.160



563.991,8



4.722.611,35



563.991,8



2.050.151,8



8.895.291,35



2.050.151,8



Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat perbedaan dalam komponen yang dianalisis baik dalam jumlah pembelian, jumlah persediaan rata-rata, frekuensi pemesanan, total biaya pemesanan, total biaya penyimpanan maupun total biaya persediaan dalam setiap metode. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa komponen dengan metode LFL dan metode PPB memiliki nilai yang sama dan merupakan nilai terkecil dibandingkan dengan metode lainnya. Hal ini



52



disebabkan nilai EPP untuk teknik PBB terlalu kecil dibandingkan dengan kebutuhan bahan baku beberapa periode yang digabungkan, sehingga pesanan yang dilakukan adalah sebesar kebutuhan bahan baku setiap periode. Jumlah pembelian karet alam terkecil diperoleh dengan metode LFL dan PPB yaitu sebesar 30.693.707 kg dibandingkan dengan metode perusahaan dan EOQ yaitu masing-masing sebesar 31.261.317 kg dan 30.755.409,18 kg. Frekuensi pemesanan karet alam dengan metode EOQ paling sering dilakukan yaitu sebanyak 146 kali dibandingkan dengan metode perusahaan yang hanya 143 kali dan metode LFL dan PPB sebanyak 52 kali. Hal ini berakibat pada total biaya pemesanan dengan teknik EOQ paling besar yaitu Rp. 4.172.680,00 dibandingkan dengan metode lainnya yaitu Rp. 4086940,00 untuk metode perusahaan dan Rp. 1.486.160,00 untuk teknik LFL dan PPB. Jumlah persediaan rata-rata karet alam terkecil juga diperoleh dengan metode LFL dan PPB yaitu sebesar 248.017,5 kg dibandingkan dengan metode perusahaan dan EOQ yaitu masing-masing sebesar 7.831.209,5 kg dan 5.734.322,98 kg. Hal ini berakibat pada total biaya penyimpanan dengan teknik LFL dan PPB paling kecil yaitu Rp. 563.991,8 dibandingkan dengan metode lainnya yaitu Rp. 28.505.602,00 untuk metode perusahaan dan Rp. 4.722.611,35 untuk teknik EOQ. Total biaya persediaan karet alam terkecil diperoleh dengan menggunakan teknik LFL dan PPB yaitu sebesar Rp. 2.050.151,8 dibandingkan dengan menggunakan metode perusahaan sebesar Rp. 32.592.542,58 dan teknik EOQ yaitu sebesar Rp. 8.895.291,35. Ketiga model alternatif tersebut cenderung menghasilkan total biaya persediaan termasuk total biaya pemesanan dan penyimpanan yang lebih rendah dari metode yang digunakan perusahaan kecuali pada teknik EOQ yang menghasilkan total biaya pemesanan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena frekuensi pemesanan pada teknik EOQ lebih besar dibandingkan dengan metode perusahaan yang berakibat pada besarnya total biaya pemesanan. Penghematan yang dihasilkan oleh ketiga alternatif tersebut disajikan pada Tabel 17.



53



Tabel 17. Penghematan metode alternatif karet alam terhadap metode perusahaan Komponen



LFL Jumlah



%



MRP EOQ Jumlah



%



PPB Jumlah



%



Jumlah Pembelian 567.610 1,82 505.907,82 1,62 567.610 1,82 (kg) Jumlah Persediaan 7.583.192 96,83 2.096.886,53 26,8 7.583.192 96,83 Rata-rata (kg) Frekuensi 91 63,64 -3 -2,1 91 63,64 Pemesanan Total Biaya Pemesanan 2.600.780 63,64 -85.740 -2,1 2.600.780 63,64 (Rp) Total Biaya Penyimpanan 27.941.610,8 98,02 23.782.991,24 83,4 27.941.610,8 98,02 (Rp) Total Biaya Persediaan 30.542.390,8 93,71 23.697.251,24 72,7 30.542.390,8 93,71 (Rp)



Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa dengan menggunakan metode MRP, jumlah bahan baku karet alam yang dibeli berkurang sebanyak 567.610 kg dengan teknik LFL dan PPB, 505.907,82 kg teknik EOQ. Berkurangnya jumlah bahan baku yang dibeli berarti menghemat modal dalam bentuk penghematan biaya pembelian. Metode MRP dengan teknik LFL dan PPB menghasilkan penghematan terbesar dalam pemesanan bahan baku, sehingga biaya pemesanan dengan kedua teknik tersebut juga menghasilkan penghematan terbesar yaitu 63,64 persen. Penghematan biaya pemesanan tersebut terjadi karena perusahaan hanya memesan sebesar kebutuhan bersih pada setiap periode saja. Berbeda dengan kedua teknik di atas, teknik EOQ tidak menghasilkan penghematan dalam total biaya pemesanan. Perusahaan harus menambah sebesar 2,1 persen dari total biaya pemesanan yang diterapkan dengan metode perusahaan. Hal ini disebabkan perusahaan memesan lebih banyak dari metode aktualnya yaitu sebesar 146 kali. Peningkatan frekuensi pembelian disebabkan karena metode alternatif pemesanan dilakukan sebesar EOQ yang ukurannya lebih kecil dari jumlah pembelian yang dilakukan perusahaan



54



dalam setiap kali pembelian. Meningkatnya frekuensi pemesanan tersebut menyebabkan



biaya



pemesanan



yang



ditanggung



juga



meningkat



dibandingkan metode perusahaan. Pembelian dalam kuantitas besar menyebabkan persediaan yang disimpan lebih tinggi dibandingkan penyimpanan persediaan yang jumlah pembeliannya lebih kecil. Penghematan biaya penyimpanan terbesar adalah dengan menggunakan metode MRP teknik LFL dan PBB yaitu sebesar Rp. 27.941.610,79. Hal ini disebabkan pada metode ini jumlah persediaan yang disimpan dapat ditekan sekecil mungkin melalui pembelian yang hanya sebesar kebutuhan bersihnya saja. Penghematan terbesar yang diperoleh dari biaya persediaan dengan metode MRP teknik LFL dan PPB yaitu sebesar Rp. 30.542.390,79 sedangkan teknik EOQ menghasilkan penghematan sebesar Rp. 23.697.251,24. Hal ini disebabkan penghematan komponen total biaya persediaan yaitu total biaya pemesanan dan biaya penyimpanan pada metode MRP teknik LFL dan PPB adalah lebih besar dibandingkan dengan teknik EOQ. Berdasarkan



analisis



yang



dilakukan,



maka



teknik



yang



direkomendasikan adalah teknik yang sesuai dengan kebijakan perusahaan dalam pengendalian persediaannya dan menghasilkan penghematan atas biaya persediaan dan biaya pembelian yang terbesar. Dari ketiga metode alternatif, metode MRP dengan teknik LFL dan PPB menghasilkan penghematan yang terbesar dalam hal biaya persediaan dibandingkan dengan metode EOQ. Bila dikaitkan



dengan kebijakan perusahaan yang



mengharuskan adanya



persediaan bahan baku karet alam di gudang dalam menjamin kelancaran proses produksinya, maka teknik LFL tidak sesuai untuk dijalankan. Berdasarkan uraian di atas, maka metode MRP dengan teknik PPB dapat dipilih sebagai prioritas alternatif yang dapat digunakan perusahaan dalam pengendalian persediaan bahan baku karet alamnya. b. Karet Sintetis Perbandingan hasil pengendalian kebutuhan dan persediaan karet sintetis pada tahun 2005 dengan menggunakan perusahaan, metode MRP teknik LFL, EOQ dan PPB disajikan dalam Tabel 18.



55



Tabel 18. Perbandingan pengendalian karet sintetis antara metode perusahaan dengan metode MRP teknik LFL, EOQ dan PPB. Komponen Jumlah Pembelian (kg) Jumlah Persediaan Rata-rata (kg) Frekuensi Pemesanan Total Biaya Pemesanan (Rp) Total Biaya Penyimpanan (Rp) Total Biaya Persediaan (Rp)



Metode Perusahaan



LFL



MRP EOQ



PPB



24.536.286



20.043.408



20.284.528



20.280.773,8



42.894.907,5



13.244.366



57.623.020,6



63.962.536,4



41



45



10



9



1.520.221.780



1.668.536.100



370.785.800



333.707.220



1.512.903.388



133.207.933,9



487.571.490,9 538.192.524,6



3.033.125.168



1.801.744.034



858.357.290,9 871.899.744,6



Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat perbedaan dalam komponen yang dianalisis baik dalam jumlah pembelian, jumlah persediaan rata-rata, frekuensi pemesanan, total biaya pemesanan, total biaya penyimpanan maupun total biaya persediaan dalam setiap teknik pada metode MRP. Jumlah pembelian karet sintetis terkecil diperoleh dengan metode LFL yaitu sebesar 20.043.408 kg dibandingkan dengan metode PPB, EOQ dan perusahaan yaitu masing-masing sebesar 20.280.773,8 kg, 20.284.528 kg dan 24.536.286 kg.



Frekuensi pemesanan karet sintetis dengan metode LFL



paling sering dilakukan yaitu sebanyak 45 kali dibandingkan dengan metode perusahaan yang hanya 41 kali dan metode EOQ dan PPB masing masing sebanyak 10 dan 9 kali. Hal ini berakibat pada total biaya pemesanan dengan teknik LFL paling besar yaitu Rp. 1.668.536.100,00 dibandingkan dengan metode lainnya yaitu Rp. 1.520.221.780,00 untuk metode perusahaan dan Rp. 370.785.800,00 untuk teknik EOQ dan Rp. 333.707.220,00 untuk teknik PPB. Jumlah persediaan rata-rata karet sintetis terkecil diperoleh dengan metode LFL yaitu sebesar 13.244.366 kg dibandingkan dengan metode perusahaan, EOQ dan PPB yaitu masing-masing sebesar 42.894.907,5 kg, 57.623.020,6 kg dan 63.962.536,4 kg. Hal ini berakibat pada total biaya penyimpanan dengan teknik LFL paling kecil yaitu Rp. 133.207.933,9 dibandingkan dengan metode lainnya yaitu Rp. 1.512.903.388,00 untuk



56



metode perusahaan, Rp. 487.571.490,9 untuk teknik EOQ dan Rp. 538.192.524,6 untuk teknik PPB. Total biaya persediaan karet sintetis terkecil diperoleh dengan menggunakan teknik EOQ yaitu sebesar Rp. 858.357.290,9 dibandingkan dengan menggunakan metode perusahaan sebesar Rp. 3.033.125.168,00 dan teknik LFL dan PPB yaitu masing-masing sebesar Rp.1.801.744.034,00 dan Rp. 871.899.744,6. Ketiga model alternatif tersebut cenderung menghasilkan total biaya persediaan termasuk total biaya pemesanan dan penyimpanan yang lebih rendah dari metode yang digunakan perusahaan kecuali pada teknik LFL yang menghasilkan total biaya pemesanan yang jauh lebih tinggi sehingga berpengaruh pada biaya persediaan yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena frekuensi pemesanan pada teknik LFL lebih besar dibandingkan dengan metode perusahaan yang berakibat pada besarnya total biaya pemesanan. Penghematan yang dihasilkan oleh ketiga alternatif tersebut disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Penghematan metode alternatif karet sintetis terhadap metode perusahaan Komponen Jumlah Pembelian (kg) Jumlah Persediaan Rata-rata (kg) Frekuensi Pemesanan Total Biaya Pemesanan (Rp) Total Biaya Penyimpana n (Rp) Total Biaya Persediaan (Rp)



LFL Jumlah



%



MRP EOQ Jumlah



%



PPB Jumlah



%



4.492.878



18,31



4.251.758



17,33



4.255.512,2



17,34



29.650.541,5



69,16



-14.728.113,1



-34,3



-21.067.628,9



-49,1



-4



-9,76



31



75,61



32



78,05



-148.314.320



-9,76



1.149.435.980 75,61 1.186.514.560 78,05



1.379.695.454



91,2



1.025.331.897 67,77



1.231.381.134



40,6



2.174.767.877



71,7



974.710.863



64,43



2.161.225.423 71,25



57



Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa dengan menggunakan metode MRP, jumlah bahan baku karet sintetis yang dibeli berkurang sebanyak 4.492.878 kg dengan teknik LFL, 4.251.758 kg dengan teknik EOQ dan 4.255.512,2 kg dengan teknik PPB. Berkurangnya jumlah bahan baku yang dibeli berarti menghemat modal dalam bentuk penghematan biaya pembelian. Metode MRP dengan teknik PPB menghasilkan penghematan terbesar dalam pemesanan bahan baku, sehingga biaya pemesanan menghasilkan penghematan terbesar. Penghematan biaya pemesanan tersebut terjadi karena perusahaan memesan sebesar kebutuhan bersih dari gabungan beberapa periode, dimana jumlah EPP yang dihasilkan sangat besar. Hal ini menyebabkan jumlah pesanan yang dilakukan sangat besar sebanyak kebutuhan bersih dari gabungan beberapa periode sehingga frekuensi pemesanan semakin sedikit. Pada metode MRP dengan teknik EOQ, frekuensi pembelian lebih rendah dibandingkan dengan metode perusahaan. Frekuensi pembelian yang rendah disebabkan karena pemesanan dilakukan sebesar EOQ yang ukurannya lebih besar dari jumlah pembelian yang dilakukan perusahaan dalam setiap kali pembelian. Hal ini menyebabkan biaya pemesanan yang ditanggung juga lebih rendah dibandingkan metode perusahaan. Berbeda dengan teknik PPB dan EOQ, teknik LFL tidak menghasilkan penghematan dalam total biaya pemesanan. Perusahaan harus menambah sebesar 9,76 persen dari total biaya pemesanan yang diterapkan dengan metode perusahaan. Hal ini disebabkan perusahaan hanya memesan sebesar kebutuhan bersih pada setiap periode saja sehingga perusahaan memesan lebih banyak dari metode aktualnya yaitu sebesar 45 kali. Pembelian dalam kuantitas besar menyebabkan persediaan yang disimpan lebih tinggi dibandingkan penyimpanan persediaan dengan metode alternatif yang jumlah pembeliannya lebih kecil. Penghematan biaya penyimpanan terbesar adalah dengan menggunakan metode MRP teknik LFL yaitu sebesar Rp. 1.379.695.454,00. Hal ini disebabkan pada metode ini jumlah persediaan yang disimpan dapat ditekan sekecil mungkin melalui pembelian yang hanya sebesar kebutuhan bersihnya saja.



58



Penghematan terbesar yang diperoleh dari biaya persediaan dengan metode MRP teknik EOQ yaitu sebesar Rp. 2.174.767.877,00 sedangkan penghematan terkecil diperoleh dengan teknik LFL yaitu sebesar Rp. 1.231.381.134,00. Sementara itu, teknik PPB menghasilkan penghematan sebesar Rp. 2.161.225.423,00. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka teknik yang disarankan adalah teknik yang sesuai dengan kebijakan perusahaan dalam pengendalian persediaannya dan menghasilkan penghematan atas biaya persediaan dan biaya pembelian yang besar. Dari ketiga metode alternatif, metode MRP dengan teknik EOQ menghasilkan penghematan yang paling besar dalam hal biaya persediaan dibandingkan dengan metode LFL dan PPB. Bila dikaitkan dengan kebijakan perusahaan yang mengharuskan adanya persediaan bahan baku karet sintetis dalam jumlah besar di gudang untuk menjamin kelancaran proses produksinya, maka teknik EOQ sesuai untuk dijalankan. Metode MRP dengan teknik LFL tidak sesuai untuk dijalankan oleh perusahaan karena selain menghasilkan penghematan yang paling kecil dibandingkan teknik lainnya, teknik LFL juga tidak sesuai dengan kebijakan perusahaan. Hal ini disebabkan pada teknik ini persediaan ditekan sekecil mungkin sehingga pemesanan bahan baku dilakukan sebesar kebutuhan kotor dari tiap periode. Metode MRP dengan teknik EOQ memudahkan manajemen dalam menentukan jumlah pesanan yaitu sebesar Economic Order Quantity (EOQ). Metode EOQ juga sesuai dengan kebijakan perusahaan untuk mempunyai persediaan bahan baku dalam jumlah besar. Berdasarkan uraian di atas, maka metode MRP dengan teknik EOQ dapat dipilih sebagai prioritas alternatif yang dapat digunakan perusahaan dalam pengendalian persediaan bahan baku karet alamnya. Metode MRP yang dapat disajikan prioritas alternatif ke dua adalah teknik PPB yang menghasilkan penghematan yang cukup besar juga. Walaupun penghematan atas biaya persediaan dengan teknik LFL paling besar dibandingkan dengan penghematan yang dihasilkan oleh teknik EOQ dan PPB namun teknik ini tidak menghasilkan penghematan dalam hal biaya pemesanan, sehingga teknik



59



LFL dijadikan sebagai prioritas ke tiga dapat memenuhi kebijakan perusahaan dalam pengendalian bahan baku karet sintaetisnya.



K.



PERSEDIAAN PENGAMAN Perhitungan besarnya persediaan pengaman dapat dilakukan dengan



menggunakan pendekatan berdasarkan tingkat pelayanan (service level). Datadata yang dibutuhkan untuk menghitung besarnya persediaan pengaman adalah data standar deviasi dari pemakaian bahan baku, waktu tunggu rata-rata (dalam bulan) dan faktor kebijakan dari tingkat pelayanan. Tingkat pelayanan adalah tingkat kemampuan persediaan pengaman untuk memenuhi kebutuhan permintaan pelanggan selama waktu tunggu. Pada perhitungan digunakan tiga tingkat pelayanan yang berbeda yaitu 90, 95 dan 99 persen agar dapat dibandingkan. Setelah dilakukan perhitungan, maka diperoleh besarnya persediaan pengaman berdasarkan ketiga tingkat pelayanan seperti pada Tabel 20. Tabel 20. Persediaan pengaman karet dengan berbagai tingkat pelayanan Jenis Karet Alam



Sintetis



Tingkat Pelayanan (Faktor Konversi)



Lead Time (Bulan)



90% (1,28) 95% (1,64) 99% (2,33) 90% (1,28) 95% (1,64) 99% (2,33)



0,2 0,2 0,2 2 2 2



Standar Deviasi Pemakaian Karet (Kg) 191.920,98 191.920,98 191.920,98 172.519,60 172.519,60 172.519,60



Persediaan Pengaman (Kg) 109.861,98 140.760,66 199.983,14 312.293,84 400.126,48 568.472,38



Pada Tabel 20 terlihat bahwa perbedaan tingkat pelayanan menghasilkan jumlah persediaan pengaman yang berbeda pula. Semakin tinggi tingkat pelayanan, semakin tinggi kemampuan persediaan produk unatuk memenuhi permintaan konsumen, sehingga semakin besar pula jumlah persediaan pengaman. Bila tingkat pelayanan rendah berarti jumlah kekurangan persediaan meningkat sehingga menyebabkan jumlah persediaan pengaman akan menurun. Jadi apabila perusahaan ingin memperkecil resiko kehabisan persediaan karet, maka perusahaan akan memilih tingkat pelayanan tinggi dengan jumlah persediaan pengaman yang lebih besar. Tingkat pelayanan persediaan pengaman karet alam 90 persen menyatakan bahwa dengan persediaan pengaman sebesar 109.861,98 kg terdapat peluang



60



sebesar 10 persen untuk mengalami kekurangan dalam satu siklus persediaan. Dengan tingkat pelayanan 95 persen maka berarti dengan adanya persediaan pengaman sebesar 140.760.66 kg terdapat peluang sebesar 5 persen untuk mengalami kekurangan bahan baku dalam satu siklus persediaan. Dengan tingkat pelayanan 99 persen maka berarti dengan adanya persediaan pengaman sebesar 199.983,14 kg terdapat peluang sebesar 1 persen untuk mengalami kekurangan bahan baku dalam satu siklus persediaan. Tingkat pelayanan persediaan pengaman karet sintetis 90 persen menyatakan bahwa dengan persediaan pengaman sebesar 312.293,84 kg terdapat peluang sebesar 10 persen untuk mengalami kekurangan dalam satu siklus persediaan. Dengan tingkat pelayanan 95 persen maka berarti dengan adanya persediaan pengaman sebesar 400.126,48 kg terdapat peluang sebesar 5 persen untuk mengalami kekurangan bahan baku dalam satu siklus persediaan. Dengan tingkat pelayanan 99 persen maka berarti dengan adanya persediaan pengaman sebesar 568.472,38 kg terdapat peluang sebesar 1 persen untuk mengalami kekurangan bahan baku dalam satu siklus persediaan. Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka perusahaan sebaiknya menggunakan tingkat pelayanan 99% dengan persediaan pengaman yang lebih besar.



L.



TITIK PEMESANAN KEMBALI Titik pemesanan kembali merupakan suatu batas dari jumlah pembelian



yang ada saat pesanan harus diadakan kembali. Dengan titik pemesanan kembali perusahaan akan mengetahui kapan waktu yang tepat untuk melakukan pemesanan. Titik pemesanan kembali ditentukan dengan cara menghitung kebutuhan bahan baku selama waktu tunggu dan menambahkan dengan persediaan pengaman. Perhitungan titik pemesanan kembali dapat dilihat pada Tabel 21.



61



Tabel 21. Titik pemesanan kembali bahan baku karet Jenis Karet



Alam



Sintetis



Tingkat Pelayanan (Faktor Konversi)



Lead Time (Bulan)



Rata-rata Pemakaian Karet (Kg)



Persediaan Pengaman (Kg)



90% (1,28) 95% (1,64) 99% (2,33) 90% (1,28) 95% (1,64) 99% (2,33)



0,2 0,2 0,2 2 2 2



2.599.145,17 2.599.145,17 2.599.145,17 1.956.776,08 1.956.776,08 1.956.776,08



109.861,98 140.760,66 199.983,14 312.293,84 400.126,48 568.472,38



Titik Pemesanan Kembali (Kg) 629.691,01 660.589,69 719.812,17 4.225.846,10 4.313.678,64 4.482.024,54



Pada Tabel 21 terlihat bahwa perusahaan sebaiknya memesan karet alam pada saat persediaan berjumlah 629.691,01 kg untuk tingkat pelayanan 90 persen, 660.589,69 kg untuk tingkat pelayanan 95 persen dan 719.812,17 kg untuk tingkat pelayanan 99 persen. Selain itu perusahaan juga sebaiknya memesan karet sintetis pada saat persediaan berjumlah 4.225.846,10 kg untuk tingkat pelayanan 90 persen, 4.313.678,64 kg untuk tingkat pelayanan 95 persen dan 4.482.024,54 kg untuk tingkat pelayanan 99 persen.



M.



OUTPUT HASIL SIMULASI PT. Bridgestone selama ini menetapkan kebijakan pengendalian bahan baku



untuk karet alam dan karet sintetis seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Model pengendalian persediaan yang telah ditetapkan oleh perusahaan memang tidak pernah mengalami kekurangan bahan baku yang dapat menyebabkan proses produksi berhenti total, namun diharapkan oleh pihak manajemen perusahaan adanya suatu model yang lebih baik dan dapat menekan total biaya persediaan. 1. Model Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) system a. Karet Alam Proses simulasi ini menghasilkan titik pemesanan kembali sebesar 699.868,2 kg dengan jumlah pemesanan sebanyak 243.804,6 kg. Nilai titik pemesanan kembali dan jumlah pemesanan merupakan nilai yang optimal karena kombinasi keduanya pada model sistem ini dapat memberikan total biaya minimum. Berdasarkan hasil proses simulasi dengan panjang waktu simulasi 12 bulan maka perusahaan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 1.301.524,00.



62



b. Karet Sintetis Proses simulasi ini menghasilkan titik pemesanan kembali sebesar 4.108.072 kg dengan jumlah pemesanan sebanyak 2.170.834 kg. nilai titik pemesanan kembali dan jumlah pemesanan merupakan nilai yang optimal karena kombinasi keduanya pada model sistem ini dapat memeberikan total biaya minimum. Berdasarkan hasil proses simulasi total biaya persediaan dengan panjang hari simulasi 12 bulan, maka perusahaan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 86.970.880.00. 2. Model Continuous Review Order Up to (s,S) system a. Karet Alam Proses simulasi ini menghasilkan titik pemesanan kembali sebesar 699.868,2 kg dengan target persediaan sebanyak 943.672,8 kg. Nilai titik pemesanan kembali dan jumlah pemesanan merupakan nilai yang optimal karena kombinasi keduanya pada model sistem ini dapat memberikan total biaya minimum. Berdasarkan hasil proses simulasi total biaya persediaan dengan panjang hari simulasi 12 bulan, maka perusahaan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 1.309.058,00. b. Karet Sintetis Proses simulasi ini menghasilkan titik pemesanan kembali sebesar 4108072.kg dengan target persediaan sebanayak 6.278.906 kg. Nilai titik pemesanan kembali dan jumlah pemesanan merupakan nilai yang optimal karena kombinasi keduanya pada model sistem ini dapat memberikan total biaya minimum. Berdasarkan hasil proses simulasi total biaya persediaan dengan panjang hari simulasi 12 bulan, maka perusahaan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 87.621.330,00.



N.



PERBANDINGAN ANTARA HASIL SIMULASI DENGAN MODEL PERUSAHAAN Hasil analisis dari model sistem simulasi pengendalian persediaan yang



diusulkan dibandingkan dengan analisis model yang dipakai oleh perusahaan. Total biaya persediaan untuk tiap model simulasi sistem pengendalian persediaan bahan baku karet alam dan karet sintetis dapat dilihat pada Tabel 22 dan 23.



63



Tabel 22. Total biaya persediaan hasil simulasi bahan baku karet Jenis Karet



Metode Perusahaan



Alam Sintetis



32.592.542,58 3.033.125.168



Total Biaya Persediaan Simulasi (tahun) (s,Q) (s,S) 15.618.288 1.043.650.560



15.708.696 1.051.455.960



Tabel 23. Penghematan hasil simulasi bahan baku karet Jenis Karet Alam Sintetis



(s,Q) 16.974.254,58 1.989.474.608



Penghematan Simulasi (tahun) % (s,S) 52,08 16.883.846,58 65,59 1.981.669.208



% 51,80 65,33



Model sistem yang memiliki total biaya persediaan yang paling minimum untuk karet alam dan karet sintetis adalah model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) yaitu model sistem pengendalian persediaan dengan titik pemesanan kembali dan jumlah pemesanan. Nilai titik pemesanan kembali dan jumlah pemesanan yang diperoleh merupakan nilai yang optimal dari model tersebut karena merupakan kombinasi yang memberikan total biaya persediaan paling minimum jika sistem yang berlaku di perusahaan tetap. Nilai titik pemesanan kembali dari model ini untuk bahan baku karet alam adalah 699.868,2 kg dengan jumlah pemesanan sebesar 243.804,6 kg. Proses simulasi dilakukan selama 12 bulan dan menghasilkan total biaya persediaan ratarata setiap bulannya sebesar Rp. 1.301.524,00. Hasil simulasi ini menunjukkan adanya penghematan sebesar Rp. 16.974.254,58 atau 52,08 persen. Nilai titik pemesanan kembali dari model ini untuk bahan baku karet sintetis adalah 4.110.000 kg dengan jumlah pemesanan sebanyak 2.170.000 kg. Proses simulasi dilakukan selama 12 bulan dan menghasilkan total biaya persediaan rata-rata setiap bulannya sebesar Rp. 86.970.880,00. Hasil simulasi ini menunjukkan



adanya



penghematan



yang



terjadi



yaitu



sebesar



Rp.



1.989.474.608,00 atau 65,59 persen. Pada model simulasi ini lebih efisien dan efektif bila dibandingkan dengan metode MRP sebelumnya karena pada simulasi ini diperkirakan adanya kemungkinan kekurangan bahan baku namun masih tetap menunjukkan penghematan atau total biaya persediaan yang lebih rendah dibandingkan dengan metode perusahaan. Tampilan hasil simulasi sistem Continuous Review Fixed



64



Order Quantity (s,Q) dan sistem Continuous Review Order Up to (s,S) disajikan dalam Lampiran 18.



O.



VALIDASI MODEL Validasi adalah proses untuk melihat apakah model yang disimulasi sesuai



dengan



sistem



nyata



pengamatan.



Validasi



model



dilakukan



dengan



membandingkan data tingkat permintaan bahan baku setiap bulan terhadap data hasil simulasi yang dijalankan dengan panjang waktu yang sama. Validasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Minitab 13.30. Dari pengujian dengan nilai alfa 0,05 diperoleh nilai t hitung untuk data penerimaan bahan baku karet alam adalah sebesar 0,23. Nilai t tabel dengan tingkat kepercayaan 95% berada dalam selang (-1,65.1,645). Maka dapat disimpulkan bahwa model simulasi untuk penerimaan bahan baku karet alam adalah valid. Hasil uji T-student untuk data penerimaan bahan baku karet sintetis adalah sebesar -1.33. Nilai t tabel dengan tingkat kepercayaan 95% berada dalam selang (-1,65.1,645). Maka dapat disimpulkan bahwa model simulasi untuk penerimaan bahan baku karet alam adalah valid.



P.



ANALISIS SENSITIVITAS Tahap akhir pada penentuan model sistem pengendalian persediaan yang



tepat adalah analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas ini dilakukan untuk mengukur seberapa jauh kepekaan model simulasi yang dipilih terhadap perubahan sejumlah input dalam model yaitu biaya pemesanan, biaya penyimpanan, harga bahan baku, waktu tunggu dan target persediaan. Perubahan yang dilakukan pada input adalah kenaikan serta penurunan 10 persen. 1. Model Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) system Pada bahan baku karet alam dan karet sintetis perubahan terhadap input memberikan perubahan terhadap total biaya persediaan. Dari berbagai perubahan input yang dianalisis, maka model ini memiliki kepekaan terhadap perubahan input tersebut. Hal ini berarti perubahan input pada model ini akan mempengaruhi total biaya persediaan yang terjadi. Total biaya bahan baku



65



karet untuk semua analisis sensitivitas disajikan dalam Lampiran 18. a. Karet Alam Pada karet alam, perubahan input sebesar 10 persen telah memberikan perubahan terhadap total biaya persediaan. Kenaikan harga bahan baku sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan minimum dibandingkan dengan kenaikan input yang lain. Kenaikan biaya pemesanan sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan maksimum dibandingkan dengan kenaikan input yang lain. Penurunan biaya penyimpanan sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan minimum dibandingkan dengan penurunan input yang lain. Penurunan harga bahan baku sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan maksimum dibandingkan dengan penurunan input yang lain. b. Karet Sintetis Pada karet sintetis, perubahan input sebesar 10 persen telah memberikan perubahan terhadap total biaya persediaan. Kenaikan harga bahan baku sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan minimum dibandingkan dengan kenaikan input yang lain. Kenaikan biaya pemesanan sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan maksimum dibandingkan dengan kenaikan input yang lain. Penurunan waktu tunggu sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan minimum dibandingkan dengan penurunan input yang lain. Penurunan biaya pemesanan sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan maksimum dibandingkan dengan penurunan input yang lain. 2. Model Continuous Review Order Up to (s,S) system Pada bahan baku karet alam dan karet sintetis perubahan terhadap input memberikan perubahan terhadap total biaya persediaan. Dari berbagai perubahan input yang dianalisis, maka model ini memiliki kepekaan terhadap perubahan input tersebut. Hal ini berarti perubahan input pada model ini akan



66



mempengaruhi total biaya persediaan yang terjadi. Total biaya bahan baku karet untuk semua analisis sensitivitas disajikan dalam Lampiran 18. a. Karet Alam Pada karet alam, perubahan input sebesar 10 persen telah memberikan perubahan terhadap total biaya persediaan. Kenaikan harga bahan baku sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan minimum dibandingkan dengan kenaikan input yang lain. Kenaikan biaya pemesanan sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan maksimum dibandingkan dengan kenaikan input yang lain. Penurunan biaya penyimpanan sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan minimum dibandingkan dengan penurunan input yang lain. Penurunan biaya pemesanan sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan maksimum dibandingkan dengan penurunan input yang lain. b. Karet Sintetis Pada karet sintetis, perubahan input sebesar 10 persen telah memberikan perubahan terhadap total biaya persediaan. Kenaikan harga bahan baku sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan minimum dibandingkan dengan kenaikan input yang lain. Kenaikan biaya pemesanan sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan maksimum dibandingkan dengan kenaikan input yang lain. Penurunan waktu tunggu sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan minimum dibandingkan dengan penurunan input yang lain. Penurunan biaya pemesanan sebesar 10 persen menjadikan model ini memiliki total biaya persediaan maksimum dibandingkan dengan penurunan input yang lain.



67



VI.



A.



KESIMPULAN DAN SARAN



KESIMPULAN PT. Bridgestone Tire Indonesia merupakan perusahaan yang bergerak



dalam bidang agroindustri yang memproduksi ban. Persediaan bahan baku karet alam dan karet sintetis harus terkendali agar proses produksi tetap lancar. Faktorfaktor yang berpengaruh pada sistem pengendalian bahan baku karet di perusahaan ini adalah jumlah permintaan bahan baku karet untuk produksi, waktu tunggu kedatangan barang dan kebijakan perusahaan terhadap manajemen pengendalian persediaan bahan baku karet. Sistem pengadaan bahan baku karet di PT. Bridgestone Tire Indonesia sudah memiliki mekanisme yang teratur dan bergantung dari pesanan konsumen. Departemen yang bertanggung jawab terhadap persediaan bahan baku karet adalah



departemen



Production



Planning



(PP),



departemen



Purchasing,



departemen Raw Material House (RMH), dan departemen Accounting. Sistem pengendalian persediaan di PT. Bridgestone Tire Indonesia dilakukan melalui beberapa kebijakan yaitu Material Requirements Planning (MRP), order point system, reorder point dan safety stock. MRP dibuat oleh departemen Production Planning berdasarkan Estimate Consumption Raw Material Plan, yang berisi rencana hari produksi, kebutuhan bahan baku dan rencana produksi. Pemesanan dilakukan bila bahan baku mencapai titik standard stock (order point system) yang menjadi dasar pada perhitungan safety stock. Pemesanan dilakukan oleh departemen Purchasing berdasarkan Inventory Control of Raw Material yang dibuat oleh bagian Raw Material House dan rencana kebutuhan bahan baku yang dibuat oleh departemen Production Planning. Metode yang menjadi prioritas utama dalam mengendalikan persediaan bahan baku karet alam adalah metode MRP dengan teknik PPB, sedangkan metode yang menjadi prioritas utama dalam mengendalikan persediaan bahan baku karet sintetis adalah metode MRP dengan teknik EOQ. Penghematan yang paling besar diperoleh dengan menggunakan metode MRP dengan teknik PPB untuk karet alam dan teknik EOQ untuk karet sintetis.



Analisis sensitivitas menunjukkan model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) menjadi prioritas utama dalam pengendalian bahan baku karet alam, sedangkan model sistem Continuous Review Order Up to (s,S) menjadi prioritas utama dalam pengendalian bahan baku karet sintetis.



B.



SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di PT. Bridgestone Tire



Indonesia, ada beberapa hal yang dijadikan saran yaitu: 1. Perusahaan dapat mempertimbangkan penerapan model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) untuk pengendalian persediaan bahan baku karet alam dan karet sintetis jika semua komponen biaya tetap seperti sistem saat ini. 2. Jika terjadi perubahan kondisi dan komponen biaya persediaan, maka disarankan untuk tetap menggunakan model sistem Continuous Review Fixed Order Quantity (s,Q) untuk pengendalian persediaan bahan baku karet alam dan model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) untuk bahan baku karet sintetis.



69



DAFTAR PUSTAKA



Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia. 2000. Industri Ban pada Tahun 2000. APBI, Jakarta. Assauri, S. 1993. Manajemen Produksi. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Industri 2005. BPS, Jakarta. Bedworth, D. D dan J. E. Bailey. 1982. Integrated Production Control System Management. Analysis Design. Jhon Wiley and Sons Inc., New York. Buffa, S. E dan K. R. Sarin. 1996. Manajemen Operasi dan Produksi Modern. Terjemahan. Edisi Kedelapan. Bina Rupa Aksara, Jakarta. Chang, Y. L. 1997. Quantitative System Business Version 1.00 for Windows. Department of System Engineering, United States Military Academy. Fatmawati, Y. 1995. Simulasi Model Pengendalian Persediaan bahan Baku Kemasan kaleng Susu Kental Manis di PT. Indomilk, Jakarta. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gottfried, B. S. 1984. Element of Stochastic Process Simulation. Prentice Hall Inc., New Jersey. Hakim, I. 2004. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada Industri Daging Olahan di PT. Dunia Daging Food Industries, Jakarta Timur. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harding, A. 1985. Manajemen Perencanaan Produksi. Terjemahan. Lembaga Penerbitan FE-UGM, Yogyakarta. Hiller, F. C. dan G. J. Liberman. 1990. Introduction to Operations Research. McGraw Hill, New York. Law, A. M. dan W. D. Kelton. 1982. Simulation Modelling and Analysis. McGraw Hill, New York. Manetsch, J. L. dan G. L. Park. 1997. System Analysis and Simulation with Application to Social and Economic System. Michigan State University, USA. Mecimore, C. D. dan J. K. Weeks. 1985. Techniques in Inventory Management and Control. National Association of Accountants, New Jersey.



Muchlis, S. 2003. Strategi Pembangunan Ekonomi Berbasis Agrobisnis Khususnya



Perkebunan



dengan



Memberdayakan



Petani



Kecil.



http://tumoutou.net/6_sem2_023/shobirin_muchlis.htm. (10 Januari 2007). Nasution, A. H. dan Barizi. 1983. Metoda Statistika untuk Penarikan Kesimpulan. PT. Gramedia, Jakarta. Render, B. dan J. Heizer. 2001. Prinsip-Prinsip Manajemen Operasi. Terjemahan. PT. Salemba Empat, Jakarta. Russell, R. S. dan B. W. Taylor III. 2003. Operations Management. Fourth Edition. Prentice Hall Inc., New Jersey. Schoerder. 1994. Manajemen Operasi Pengambilan Keputusan dalam Suatu Fungsi Operasi. Terjemahan. Erlangga, Jakarta. Setyamidjaja, D. 1999. Karet Budidaya dan Pengolahan. Kanisius, Yogyakarta. Siegel, S. 1985. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Terjemahan. PT. Gramedia, Jakarta. Sofyan, S. 2000. Analisis Pengendalian Persediaan Ayam di PT. Sierad Produce, Parung, Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Starr, M. K. dan D. W. Miller. 1981. Inventory Control Theory and Practice. Prentice Hall of India Privated Limited, New Delhi. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan. Pt. Gramedia, Jakarta. Taha, H. A. 1997. Riset Operasi: Suatu Pengantar. Jilid I. Terjemahan. Binarupa Aksara, Jakarta. Thierauf, R. J. dan R. Klekamp. 1975. Decision Making Through Operations Research. Johnwiley and Sons, Inc., New York. Viale, J. D. 2000. Dasar-dasar Manajemen. Terjemahan. Penerbit PPM, Jakarta. Walpole, C. D. J. 1992. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Terjemahan. PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. Watson, H. J. dan J. H. Blackstone, Jr. 1989. Computer Simulation. John Wiley and Sons Inc., Singapore.



71



Yuniarsa, S. E. 1996. Penentuan Tingkat Persediaan Bahan Baku (Gula dan Skim Milk Powder) pada PT. Australian Indonesia Milk Industries Jakarta. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.



72



Lampiran 1. Struktur organisasi PT. Bridgestone Tire Indonesia



Lampiran 2. Harga bahan baku karet alam Jenis



Harga (Rupiah/Kg)



TA-12 TA-30 TA-32 TA-37 TA-62



19.974 16.924 16.761 16.924 16.761



Lampiran 3. Harga bahan baku karet sintetis Jenis TB-02 TB-03 TB-03 TB-11 TB-12 TB-28 TB-28 TB-53 TC-11 TC-13 TC-62 TD-12 TD-42 TH-64 TS-23 TY-22 TY-88



USD/Kg 0,920 1,1383 1,3805 1,265 3,091 1,42 2,811 0,947 0,915 0,840 0,800 2,040 3,018 1,655 1,574 1,770 1,570



Yen/Kg



Negara



Rupiah



Korea Thailand Cina Thailand Jepang Korea Jepang Korea



8.970,552 11.099,108 13.460,703 12.334,509 30.139,105 13.845,852 27.408,937 9.233.818 8.921,799 8.190,504 7.801,280 19.891,224 29.427,311 16.137,243 15.347,444 17.258,562 15.308,442



Korea Taiwan Jepang Belgia Jepang Amerika Korea Jepang



Lampiran 4. Perhitungan persediaan bahan baku karet alam dengan metode LFL Persediaan awal = 496.035 kg Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



1



120.186



2 616.221 0 120.186 120.186 616.221



3 4 616.221 513.517,5 0 0 616.221 513.517,5 616.221 513.517,5 513.517,5 616.221



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



11 533.933,6 0 533.933,6 533.933,6 640.720,3



12 640.720,3 0 640.720,3 640.720,3 533.933,6



13 533.933,6 0 533.933,6 533.933,6 641.872,4



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



21 678.226,5 0 678.226,5 678.226,5 565.188,8



22 565.188,8 0 565.188,8 565.188,8 637.363,2



23 637.363,2 0 637.363,2 637.363,2 616.931,5



5 616.221 0 616.221 616.221 665.654



6 665.654 0 665.654 665.654 450.360,4



7 450.360,4 0 450.360,4 450.360,4 675.540,5



8 675.540,5 0 675.540,5 675.540,5 675.540,5



9 675.540,5 0 675.540,5 675.540,5 646.523,7



10 646.523,7 0 646.523,7 646.523,7 533.933,6



14 641.872,4 0 641.872,4 641.872,4 644.176,6



15 644.176,6 0 644.176,6 644.176,6 644.176,6



16 644.176,6 0 644.176,6 644.176,6 536.813,8



17 536.813,8 0 536.813,8 536.813,8 644.176,6



18 644.176,6 0 644.176,6 644.176,6 565.188,8



19 565.188,8 0 565.188,8 565.188,8 678.226,5



20 678.226,5 0 678.226,5 678.226,5 678.226,5



24 616.931,5 0 616.931,5 616.931,5 616.931,5



25 616.931,5 0 616.931,5 616.931,5 616.931,5



26 616.931,5 0 616.931,5 616.931,5 608.361,3



27 608.361,3 0 608.361,3 608.361,3 591.220,8



28 591.220,8 0 591.220,8 591.220,8 591.220,8



29 591.220,8 0 591.220,8 591.220,8 591.220,8



30 591.220,8 0 591.220,8 591.220,8 591.220,8



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



31 591.220,8 0 591.220,8 591.220,8 631.830,5



32 631.830,5 0 631.830,5 631.830,5 631.830,5



33 631.830,5 0 631.830,5 631.830,5 526.525,4



34 526.525,4 0 526.525,4 526.525,4 631.830,5



35 631.830,5 0 631.830,5 631.830,5 540.924,8



36 540.924,8 0 540.924,8 540.924,8 675.028,6



37 675.028,6 0 675.028,6 675.028,6 675.028,6



38 675.028,6 0 675.028,6 675.028,6 675.028,6



39 675.028,6 0 675.028,6 675.028,6 663.223,2



40 663.223,2 0 663.223,2 663.223,2 604.196,3



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



41 604.196,3 0 604.196,3 604.196,3 604.196,3



42 604.196,3 0 604.196,3 604.196,3 604.196,3



43 604.196,3 0 604.196,3 604.196,3 604.196,3



44 604.196,3 0 604.196,3 604.196,3 100.699,4



45 100.699,4 0 100.699,4 100.699,4 595.243,4



46 595.243,4 0 595.243,4 595.243,4 595.243,4



47 48 49 595.243,4 595.243,4 596.935 0 0 0 595.243,4 595.243,4 596.935 595.243,4 595.243,4 596.935 595.243,4 596.935 598.626,4



50 598.626,4 0 598.626,4 598.626,4 598.626,4



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



51 598.626,4 0 598.626,4 598.626,4 598.626,4



52 53 598.626,4 598.626,4 0 0 598.626,4 598.626,4 598.626,4 598.626,4 598.626,4



Lampiran 5. Perhitungan persediaan bahan baku karet alam dengan metode EOQ Persediaan awal = 496.035 kg 210.653,49 kg Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



1



EOQ 2 3 4 5 6 7 8 9 616.221 616.221 513.517,5 616.221 665.654 450.360,4 675.540,5 675.540,5 90.467,488 106.206,95 13.996,425 29.735,887 206.695,84 177.642,41 134.062,38 90.482,337



= 10 646.523,7 75.919,1



210.653,49 631.960,46 421.306,98 631.960,46 842.613,95 421.306,98 631.960,46 631.960,46 631.960,46 120.186



525.753,51 407.310,55 602.224,58 635.918,11 243.664,56 497.898,09 541.478,13 556.041,36



631.960,46 421.306,98 631.960,46 842.613,95 421.306,98 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



11 12 533.933,6 640.720,3 173.945,96 165.186,12



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



21 678.226,5 75.385,4



13 533.933,6 52.559,5



14 15 16 17 18 19 20 641.872,4 644.176,6 644.176,6 536.813,8 644.176,6 565.188,8 678.226,5 42.647,562 30.431,425 18.215,287 113.361,95 101.145,81 167.917,47 121.651,44



631.960,46 631.960,46 421.306,98 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 458.014,5



466.774,34 368.747,48



589.312,9



601.529,04 613.745,18 518.598,51 530.814,65 464.042,99 510.309,03



631.960,46 421.306,98 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 22 23 24 25 26 27 565.188,8 637.363,2 616.931,5 616.931,5 616.931,5 608.361,3 142.157,06 136.754,32 151.783,29 166.812,25 181.841,21 205.440,37



28 591.220,8 355.26,55



29 30 591.220,8 591.220,8 76.266,212 117.005,87



631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 421.306,98 631.960,46 631.960,46 602.841,1



489.803,4



495.206,14 480.177,18 465.148,21 450.119,25 426.520,09 385.780,43 555.694,25 514.954,59



631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 421.306,98 631.960,46 631.960,46 631.960,46



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



31 591.220,8 157.745,54



32 631.830,5 157.875,5



33 34 631.830,5 526.525,4 158.005,46 52.787,037



35 631.830,5 52.917



36 540924,8 143952,66



37 675028,6 100884,52



38 675028,6 57816,387



39 675028,6 14748,25



40 663223,2 194139



631.960,46 631.960,46 631.960,46 421.306,98 631.960,46



631960,46



631960,46



631960,46



631960,46



842613,95



474.214,93 474.084,96



368.519,94 579.043,46



488007,8



531075,94



574144,08



617212,21



648474,95



631.960,46 631.960,46 421.306,98 631.960,46 631.960,46



631960,46



631960,46



631960,46



842613,95



421306,98



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



41 42 604.196,3 604.196,3 11.249,675 39.013,837



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



51 52 53 598.626,4 598.626,4 598.626,4 205.687,54 28.368,112 61.702,175



473.955



43 604.196,3 66.778



44 45 46 47 48 49 50 604.196,3 100.699,4 595.243,4 595.243,4 595.243,4 596.935 598.626,4 94.542,162 204.496,25 30.559,825 67.276,887 103.993,95 139.019,41 172.353,47



421.306,98 631.960,46 631.960,46 631.960,46 210.653,49 421.306,98 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 410.057,3



592.946,63 565.182,46



537.418,3



6.157,2375 390.747,15 564.683,58 527.966,51 492.941,05 459.606,99



631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 421.306,98 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46 631.960,46



631.960,46 421.306,98 631.960,46 426.272,93 392.938,86 570.258,29 421.306,98 631.960,46



631960,46



Lampiran 6. Perhitungan persediaan bahan baku karet alam dengan metode PPB Persediaan awal = 496.035 kg Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



1



120.186



2 616.221 0 120.186 120.186 616.221



3 4 616.221 513.517,5 0 0 616.221 513.517,5 616.221 513.517,5 513.517,5 616.221



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



11 533.933,6 0 533.933,6 533.933,6 640.720,3



12 640.720,3 0 640.720,3 640.720,3 533.933,6



13 533.933,6 0 533.933,6 533.933,6 641.872,4



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



21 678.226,5 0 678.226,5 678.226,5 565.188,8



22 565.188,8 0 565.188,8 565.188,8 637.363,2



23 637.363,2 0 637.363,2 637.363,2 616.931,5



5 616.221 0 616.221 616.221 665.654



6 665.654 0 665.654 665.654 450.360,4



7 450.360,4 0 450.360,4 450.360,4 675.540,5



8 675.540,5 0 675.540,5 675.540,5 675.540,5



9 675.540,5 0 675.540,5 675.540,5 646.523,7



10 646.523,7 0 646.523,7 646.523,7 533.933,6



14 641.872,4 0 641.872,4 641.872,4 644.176,6



15 644.176,6 0 644.176,6 644.176,6 644.176,6



16 644.176,6 0 644.176,6 644.176,6 536.813,8



17 536.813,8 0 536.813,8 536.813,8 644.176,6



18 644.176,6 0 644.176,6 644.176,6 565.188,8



19 565.188,8 0 565.188,8 565.188,8 678.226,5



20 678.226,5 0 678.226,5 678.226,5 678.226,5



24 616.931,5 0 616.931,5 616.931,5 616.931,5



25 616.931,5 0 616.931,5 616.931,5 616.931,5



26 616.931,5 0 616.931,5 616.931,5 608.361,3



27 608.361,3 0 608.361,3 608.361,3 591.220,8



28 591.220,8 0 591.220,8 591.220,8 591.220,8



29 591.220,8 0 591.220,8 591.220,8 591.220,8



30 591.220,8 0 591.220,8 591.220,8 591.220,8



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



31 591.220,8 0 591.220,8 591.220,8 631.830,5



32 631.830,5 0 631.830,5 631.830,5 631.830,5



33 631.830,5 0 631.830,5 631.830,5 526.525,4



34 526.525,4 0 526.525,4 526.525,4 631.830,5



35 631.830,5 0 631.830,5 631.830,5 540.924,8



36 540.924,8 0 540.924,8 540.924,8 675.028,6



37 675.028,6 0 675.028,6 675.028,6 675.028,6



38 675.028,6 0 675.028,6 675.028,6 675.028,6



39 675.028,6 0 675.028,6 675.028,6 663.223,2



40 663.223,2 0 663.223,2 663.223,2 604.196,3



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



41 604.196,3 0 604.196,3 604.196,3 604.196,3



42 604.196,3 0 604.196,3 604.196,3 604.196,3



43 604.196,3 0 604.196,3 604.196,3 604.196,3



44 604.196,3 0 604.196,3 604.196,3 100.699,4



45 100.699,4 0 100.699,4 100.699,4 595.243,4



46 595.243,4 0 595.243,4 595.243,4 595.243,4



47 48 49 595.243,4 595.243,4 596.935 0 0 0 595.243,4 595.243,4 596.935 595.243,4 595.243,4 596.935 595.243,4 596.935 598.626,4



50 598.626,4 0 598.626,4 598.626,4 598.626,4



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



51 598.626,4 0 598.626,4 598.626,4 598.626,4



52 53 598.626,4 598.626,4 0 0 598.626,4 598.626,4 598.626,4 598.626,4 598.626,4



Lampiran 7. Perhitungan persediaan bahan baku karet sintetis dengan metode LFL Persediaan awal = 3.437.905 kg Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



1



2 454045,5 2983859,5



3 454045,5 2529814



4 5 6 378371,3 454045,5 541582,7 2151442,7 1697397,2 1155814,5



7 372726,7 783087,8



8 559090 223997,8



335092,2



525141,7



431960



518352



431960



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



11 431960 0 431960 431960 392063,5



12 518352 0 518352 518352 470476,2



13 431960 0 431960 431960 470476,2



14 500941 0 500941 500941 392063,5



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



21 470476,2 0 470476,2 470476,2 440542,2



22 392063,5 0 392063,5 392063,5 440542,2



23 464192 0 464192 464192 440542,2



24 461050 0 461050 461050 473405



466118,6



9 559090 0 335092,2 335092,2 388432,2



10 525141,7 0 525141,7 525141,7 466118,6



500941



466118,6



15 466118,6 0 466118,6 466118,6 464192



16 466118,6 0 466118,6 466118,6 461050



17 388432,2 0 388432,2 388432,2 461050



18 466118,6 0 466118,6 466118,6 461050



19 392063,5 0 392063,5 392063,5 454214



20 470476,2 0 470476,2 470476,2 440542,2



25 461050 0 461050 461050 473405



26 461050 0 461050 461050 394504



27 454214 0 454214 454214 473405



28 440542,2 0 440542,2 440542,2 405588



29 440542,2 0 440542,2 440542,2 506657



30 440542,2 0 440542,2 440542,2 506657



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



31 440542,2 0 440542,2 440542,2 506657 41 461494,4 0 461494,4 461494,4 443587,6



32 473405 0 473405 473405 499130 42 461494,4 0 461494,4 461494,4 456955



33 473405 0 473405 473405 461494,4 43 461494,4 0 461494,4 461494,4 456955



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



51 456955 0 456955 456955



52 456955 0 456955 456955



53 456955 0 456955 456955



34 394504 0 394504 394504 461494,4 44 461494,4 0 461494,4 461494,4 456955



35 473405 0 473405 473405 461494,4 45 76915,7 0 76915,7 76915,7 456955



36 405588 0 405588 405588 461494,4 46 430220 0 430220 430220



37 506657 0 506657 506657 76915,7 47 430220 0 430220 430220



38 506657 0 506657 506657 430220 48 430220 0 430220 430220



39 506657 0 506657 506657 430220 49 443587,6 0 443587,6 443587,6



40 499130 0 499130 499130 430220 50 456955 0 456955 456955



Lampiran 8. Perhitungan persediaan bahan baku karet sintetis dengan metode EOQ Persediaan awal = 3.437.905 kg kg Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



1



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



11 431.960 736.258,9



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



21 470.476,2 222.107,6



EOQ = 2.028.469,56 2 454.045,5 2.983.859,5



3 454.045,5 2.529.814



4 5 6 378.371,3 454.045,5 541.582,7 2.151.442,7 1.697.397,2 1.155.814,5



7 372.726,7 783.087,8



8 559.090 223.997,8



9 559.090 1693.360,6



10 525.141,7 1.168.218,9



2.028.452,8 335.092,2 2.028.452,8 12 518.352 217.906,9



13 14 431.960 500.941 1.814.399,7 1.313.458,7



15 466.118,6 847.340,1



2.028.452,8 16 466.118,6 381.221,5



17 18 388.432,2 466.118,6 2.021.242,1 1.555.123,5



2.028.452,8



2.028.452,8



214.053,1



7.210,7 2.028.452,8



22 23 392.063,5 464.192 1.858.496,9 1.394.304,9



24 461.050 933.254,9



20 470.476,2 692.583,8



2.028.452,8 25 461.050 472.204,9



26 461.050 11.154,9



27 28 454.214 440.542,2 1.585.393,7 1.144.851,5



2.028.452,8



2.28.452,8



169.955,9



443.059,1 2.028.452,8



19 392.063,5 1.163.060



2.028.452,8



29 440.542,2 704.309,3



30 440.542,2 263.767,1



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



31 32 440.542,2 473.405 1.851.677,7 1.378.272,7



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



41 461.494,4 1.207.680,9



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



51 456.955 1.155.030



33 473.405 904.867,7



34 394.504 510.363,7



35 473.405 36.958,7



36 37 405.588 506.657 1.659.823,5 1.153.166,5



38 506.657 646.509,5



39 506.657 139.852,5



40 499.130 1.669.175,3



2.028.452,8



2.028.452,8



2.028.452,8



176.775,1



368.629,3



359.277,5



2.028.452,8 42 461.494,4 746.186,5



2.028.452,8 43 461.494,4 284.692,1



2.028.452,8 52 456.955 698.075



53 456.955 241.120



44 45 46 461.494,4 76.915,7 430.220 1.851.650,5 1.774.734,8 1.344.514,8



47 430.220 914.294,8



48 430.220 484.074,8



49 443.587,6 40.487,2



50 456.955 1.611.985



2.028.452,8



2.028.452,8



176.802,3



416.467,8



Lampiran 9. Perhitungan persediaan bahan baku karet sintetis dengan metode PPB Persediaan awal = 3.437.905 kg Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



1



2 454.045,5 2.983.859,5



3 454.045,5 2.529.814



4 378.371,3 2.151.442,7



5 454.045,5 1.697.397,2



2.466.503,7 11 431.960 1.174.309,8



2.268.437



7 372.726,7 783.087,8



8 559.090 223.997,8



9 559.090 2.131.411,5 2.466.503,7 335.092,2



10 525.141,7 1.606.269,8



17 388.432,2 690.116,4



18 466.118,6 223.997,8



19 392.063,5 2.021.205,7 2.189.271,4 168.065,7



20 470.476,2 1.550.729,5



27 454.214 664.540,2



28 440.542,2 223.998



29 440.542,2 2.051.892,8 2.268.437 216.544,2



30 440.542,2 1.611.350,6



2.287.729 12 518.352 655.957,8



13 431.960 223.997,8



14 500.941 2.010.785,8 2.287.729 276.943,2



15 466.118,6 1.544.667,2



2.189.271,4 21 470.476,2 1.080.253,3



6 541.582,7 1.155.814,5



16 466.118,6 1.078.548,6



2.277.906,4 22 392.063,5 688.189,8



23 464.192 223.997,8



24 461.050 2.040.854,2 2.277.906,4 237.052,2



25 461.050 1.579.804,2



26 461.050 1.118.754,2



2.286.811



Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan Periode (minggu) Kebutuhan Kotor Persediaan di tangan Rencana Penerimaan Pesanan Kebutuhan bersih Rencana Pelaksanaan Pesanan



31 440.542,2 1.170.808,4



32 473.405 697.403,4



33 473.405 223.998,4



34 394.504 2.116.305,4 2.286.811 170.505,6



35 473.405 1.642.900,4



36 405.588 1.237.312,4



37 506.657 730.655,4



38 506.657 223.998,4



39 506.657 2.107.611,6 2.390.270,2 282.658,6



40 499.130 1.608.481,6



2.390.270,2 41 461.494,4 1.146.987,2



42 461.494,4 685.492,8



43 46.1494,4 223.998,4



44 461.494,4 1.591.574,1 1.829.070,1 237.496



45 76.915,7 1.514.658,4



1.829.070,1 46 430.220 1.084.438,4



47 430.220 654.218,4



48 430.220 223.998,4



49 443.587,6 2.065.185,8 2.284.775 219.589,2



50 456.955 1.608.230,8



52 456.955 694.320,8



53 456.955 237365,8



2.284.775 51 456.955 1.151.275,8



Lampiran 10. Input data hasil simulasi pengendalian bahan baku karet alam



Lampiran 11. Proses simulasi model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet alam



Lampiran 12. Grafik model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet alam



Lampiran 13. Output model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet alam



Lampiran 14. Input data hasil simulasi pengendalian bahan baku karet sintetis



Lampiran 15. Proses simulasi model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet sintetis



Lampiran 16. Grafik model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet sintetis



Lampiran 17. Output model sistem Continuous Review Fixed Order Interval (s,Q) bahan baku karet sintetis



Lampiran 18. Proses simulasi model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet alam



Lampiran 19. Grafik model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet alam



Lampiran 20. Output model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet alam



Lampiran 21. Proses simulasi model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet sintetis



Lampiran 22. Grafik model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet sintetis



Lampiran 23. Output model sistem Continuous Review Order Up To (s,S) bahan baku karet sintetis



Lampiran 24. Hasil Uji T-Student 1. Permintaan Bahan Baku Karet Alam Two-Sample T-Test and CI: aktual; simulasi Two-sample T for aktual vs simulasi



aktual simulasi



N 12 12



Mean 2605110 2580266



StDev 287648 242879



SE Mean 83037 70113



Difference = mu aktual - mu simulasi Estimate for difference: 24844 95% CI for difference: (-201165; 250853) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 0.23 = 21



P-Value = 0.821



DF



2. Permintaan Bahan Baku Karet Sintetis Two-Sample T-Test and CI: aktual; simulasi Two-sample T for aktual vs simulasi



aktual simulasi



N 12 10



Mean 2044691 2387000



StDev 483258 686214



SE Mean 139504 217000



Difference = mu aktual - mu simulasi Estimate for difference: -342310 95% CI for difference: (-892168; 207549) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.33 = 15



P-Value = 0.204



DF



Lampiran 25. Total biaya persediaan untuk semua analisis sensitivitas pada bahan baku karet Jenis Karet Alam Sintetis



Jenis Model s,Q s,S s,Q s,S



Biaya pemesanan naik 10 % 1.330.017 1.337.510 88.300.060 90.109.990



Biaya pemesanan turun 10 % 1.257.800 1.287.617 81.807.220 83.435.620



Biaya penyimpanan naik 10 % 1.400.931 1.025.628 43.430.250 45.496.570



Biaya penyimpanan turun 10 % 1.222.723 883.804,1 38.688.280 38.655.310



Harga bahan Baku naik 10 % 1.304.364 1.012.298 42.674.450 40.878.420



Harga bahan Baku turun 10 % 1.286.422 990.115,3 41.140.760 39.904.020



Waktu tunggu naik 10 % 1.333.181 1.041.208 49.410.030 49.875.010



Waktu tunggu turun 10 % 1.278.356 992.335 34.056.890 33.536.400