Analisis Permintaan Layanan Kesehatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Pada dasarnya kesehatan merupakan salah satu aspek yang menentukan tinggi rendahnya standar hidup seseorang (Todaro, 2002). Oleh karena itu, status kesehatan yang relatif baik dibutuhkan oleh manusia untuk menopang semua aktivitas hidupnya. Setiap individu akan berusaha mencapai status kesehatan tersebut dengan menginvestasikan dan atau mengkonsumsi sejumlah barang dan jasa kesehatan (Grossman, 1972). Maka untuk mencapai kondisi kesehatan yang baik tersebut dibutuhkan sarana kesehatan yang baik pula. Dalam perspektif ekonomi, kesehatan merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia. Teori ekonomi mikro tentang permintaan (demand) jasa pelayanan kesehatan menyebutkan bahwa harga berbanding terbalik dengan jumlah permintaan jasa pelayanan kesehatan. Teori ini mengatakan bahwa jika jasa pelayanan kesehatan merupakan normal good, makin tinggi income keluarga maka makin besar demand terhadap jasa pelayanan kesehatan tersebut. Sebaliknya jika jenis jasa pelayanan kesehatan tersebut merupakan inferior good, meningkatnya pendapatan keluarga akan menurunkan demand terhadap jenis jasa pelayanan kesehatan tersebut (Folland et al., 2001). Dalam penelitian Joko et al (2005) menyimpulkan bahwa kaum wanita di pedesaan memperoleh hak yang sederajat dengan kaum pria dalam hal memperoleh jasa pelayanan kesehatan. Bahkan wanita lebih banyak melakukan akses jasa pelayanan kesehatan karena kewanitaannya. Satu hal yang



1



menggembirakan adalah kaum wanita memperoleh keadilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum pria jika tingkat kekayaan keluarga berbeda. Dengan kata lain, semakin kaya suatu keluarga, wanita (ibu) lebih banyak mendapat perhatian dalam hal kesehatan. Faktor kesehatan bukan merupakan barang inferior, karena semakin tinggi tingkat kekayaan akan meningkatkan akses jasa pelayanan kesehatan. Faktor-faktor lain yang cenderung meningkatkan akses jasa pelayanan kesehatan adalah usia dan banyaknya gangguan kesehatan yang diderita. Faktor pendidikan cenderung menurunkan akses jasa pelayanan kesehatan adalah hal yang harus disikapi dengan bijak melalui penyuluhan kesehatan. Jasa pelayanan kesehatan terdiri dari dua macam yaitu jasa pelayanan kesehatan modern dan tradisional. Jasa pelayanan kesehatan modern adalah jasa yang memberikan pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran yang modern, termasuk di dalamnya adalah jasa pelayanan kesehatan swasta dan pemerintah. Jasa pelayanan antenatal adalah jasa pelayanan kesehatan oleh profesional (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan pembantu dan perawat bidan) untuk ibu selama masa kehamilannya sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang meliputi 5T yaitu timbang berat badan, ukur tinggi badan, ukur tekanan darah, pemberian imunisasi TT (Tetanus Toxoid), umur tinggi fundus uteri dan pemberian tablet besi minimal 90 tablet selama masa kehamilan (Dep- Kes, 1997).



2



Pelayanan asuhan antenatal di rumah bersalin atau perawatan antenatal swasta mempunyai kelebihan dan kekurangan. Beberapa rumah bersalin mempunyai tempat tidur dalam sebuah kamar atau ruangan kecil untuk pasien ibu hamil yang bersedia membayar kenyamanannya. Rumah bersalin mampu memberikan pemeriksaan dan pengetesan khusus yang modern dan canggih, tetapi harus menunggu giliran. Bagi ibu yang mempunyai risiko tinggi dalam kehamilan/ melahirkan maka disarankan untuk di rawat di rumah sakit bersalin/ rumah sakit umum (Rose dan Neil, 2005). Berdasarkan penelitian Agung Komaruddin dan Bhisma Murti mengenai Perbedaan Pengaruh Kelengkapan Pemeriksaan Antenatal Antara Rumah Bersalin dan Puskesmas di Kota Surakarta, disimpulkan bahwa Odds Ratio jenis penyedia pelayanan antenatal adalah 0,5. Hal ini menunjukkan pelayanan antenatal di Rumah Sakit Bersalin 0,5 kali lebih kecil kelengkapan pemeriksaan antental dibandingkan dengan Puskesmas setelah mempertimbangkan confounding faktors biaya pelayanan antenatal, pendapatan keluarga, kepesertaan asuransi kesehatan, jumlah anak ibu hamil dan tenaga pemberi pelayanan. Hasil pelayanan antenatal dapat dilihat dari cakupan pelayanan K1 dan K4. Cakupan K1 atau juga disebut akses pelayanan ibu hamil merupakan gambaran besaran ibu hamil yang telah melakukan kunjungan pertama ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Sedangkan cakupan K4 adalah gambaran besaran ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan ibu hamil sesuai dengan standar serta paling sedikit empat kali kunjungan, dengan distribusi sekali pada trimester pertama, sekali pada trimester dua dan dua kali



3



pada trimester ketiga. Angka ini dapat dimanfaatkan untuk melihat kualitas jasa pelayanan kesehatan kepada ibu hamil. Peningkatan jasa pelayanan kesehatan bagi ibu hamil merupakan faktor penting yang berkaitan dengan keberhasilan program kesehatan khususnya dalam hal menurunkan angka kematian ibu. Dinas Kesehatan Kota Makassar beserta jajarannya memberi perhatian lebih pada jasa pelayanan kesehatan bagi ibu hamil terutama ibu hamil yang beresiko tinggi (Bumil Resti). Sasarannya adalah agar ibu hamil secara rutin melakukan pemeriksaan pada fasilitas kesehatan yang ada, tahu akan kondisinya serta dapat dilakukan deteksi dini tentang resiko yang mungkin timbul dalam persalinan antara lain anemia, eklampsia, perdarahan, gangguan pada janin, dan lain-lain. Data terakhir yang diperoleh dari Bidang Peran Serta Masyarakat, pada tahun 2007 sebanyak 32.966 orang, dan yang melakukan pemeriksaan kehamilan 4 kali (K4) sebanyak 25.431 orang atau sebesar 77,14 %. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan dari tahun sebelumnya dimana pada tahun 2006 tercatat jumlah Ibu Hamil sebesar 29.371 orang, serta yang tercatat pada kunjungan K4 sebesar 21.997 orang atau sebesar 74,9% (Profil Kesehatan Makassar, 2007). Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dilihat sejauh mana pengaruh beberapa faktor seperti pendapatan, biaya atau harga kunjungan, jarak, umur, dan biaya atau harga obat alternatif dapat mempengaruhi permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar. Oleh



4



karena itu penelitian ini berjudul “Analisis Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Bersalin di Kota Makassar” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah : “Seberapa besar pengaruh pendapatan, biaya atau harga kunjungan, pendidikan, jarak, umur, dan biaya atau harga obat alternatif terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar”. 1.3 Tujuan Penelitian Sehubungan dengan judul penelitian serta bertolak pada rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengukur besarnya pengaruh pendapatan, biaya atau harga kunjungan, pendidikan, jarak, umur, dan biaya atau harga obat alternatif terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar. 1.4



Manfaat Penelitian Setelah penelitian ini dilaksanakan diharapkan dapat memberikan manfaat



sebagai berikut : 1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bagaimana perilaku dan pilihan yang dilakukan oleh individu atau keluarga untuk mencapai status kesehatan yang optimum yang tercermin pada pemanfaatan (utilization) fasilitas jasa pelayanan kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah. 2. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pemerintah kabupaten/ kota setempat maupun pihak-pihak yang terkait untuk menentukan kebijakan pengembangan jasa pelayanan kesehatan.



5



3. Sebagai bahan informasi dan menambah literatur bagi pihak-pihak lain yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang permintaan jasa pelayanan kesehatan.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



6



2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Perdebatan tentang Konsep Teori Permintaan Teori permintaan menerangkan sifat dari permintaan pembeli pada suatu komoditas (barang dan jasa) dan juga menerangkan hubungan antara jumlah yang diminta dan harga serta pembentukan kurva permintaan (Sugiarto, 2005). Dalam teori permintaan beberapa istilah perlu diketahui seperti permintaan, hukum permintaan, daftar permintaan, kurva permintaan, permintaan dan jumlah barang yang diminta dan sebagainya. Permintaan/ demand adalah sejumlah barang atau jasa yang diminta oleh konsumen pada beberapa tingkat harga pada suatu waktu tertentu dan pada tempat atau pasar tertentu (Palutturi, 2005). Menurut Lipsey (1990), demand adalah jumlah yang diminta merupakan jumlah yang diinginkan. Jumlah ini adalah berapa banyak yang akan dibeli oleh rumah tangga pada harga tertentu suatu komoditas, harga komoditas lain, pendapatan, selera, dan lain-lain. Fungsi permintaan menunjukan hubungan antara kuantitas suatu barang yang diminta dengan semua faktor yang mempengaruhinya: harga, pendapatan, selera dan harapan-harapan untuk masa mendatang (Arsyad, 1991 : 22). Hubungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : Q = f ( Harga, Pendapatan, Selera, Harapan-harapan ................) Dalam hukum permintaan dihipotesiskan bahwa semakin rendah harga suatu komoditas (barang dan jasa) semakin banyak jumlah komoditas tersebut



7



yang diminta, sebaliknya semakin tinggi harga suatu komoditas semakin sedikit komoditas tersebut diminta (ceteris paribus) (Sugiarto, 2005). Hubungan antara harga satuan komoditas (barang dan jasa) yang mau dibayar pembeli dengan jumlah komoditas tersebut dapat disusun dalam suatu tabel yaitu daftar permintaan. Data yang diperoleh dari daftar permintaan tersebut dapat digunakan pula untuk menggambarkan sifat hubungan antara harga suatu komoditas dengan jumlah komoditas tersebut yang diminta dalam suatu kurva permintaan. Perlu dibedakan antara permintaan dan jumlah barang yang diminta. Permintaan adalah keseluruhan daripada kurva permintaan sedangkan jumlah barang yang diminta adalah banyaknya permintaan pada suatu tingkat harga tertentu (Sugiarto, 2005). Kurva permintaan dapat bergeser ke kiri atau ke kanan sebagai efek faktor bukan harga. Secara umum faktor penentu permintaan yaitu harga barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan erat dengan barang tersebut, pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat, corak distribusi pendapatan dalam masyarakat, cita rasa masyarakat, jumlah penduduk, dan ramalan mengenai keadaan di masa yang akan datang (Palutturi, 2005). Secara umum elastisitas permintaan dapat dibedakan menjadi elastisitas permintaan terhadap harga (price elasticity of demand), elastisitas permintaan terhadap pendapatan (income elasticity of demand), dan elastisitas permintaan silang (cross price elasticity of demand). Elastisitas permintaan terhadap harga, mengukur seberapa besar perubahan jumlah komoditas yang diminta apabila



8



harganya berubah. Jadi elastisitas permintaan terhadap harga adalah ukuran kepekaan perubahan jumlah komoditas yang diminta terhadap perubahan harga komoditas tersebut dengan asumsi ceteris paribus. Nilai elastisitas permintaan terhadap harga merupakan hasil bagi antara persentase perubahan harga. Nilai yang diperoleh tersebut merupakan suatu besaran yang menggambarkan sampai berapa besarkah perubahan jumlah komoditas yang diminta apabila dibandingkan dengan perubahan harga (Sugiarto, 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi elastisitas permintaan yaitu tingkat kemampuan komoditas-komoditas lain untuk menggantikan komoditas tersebut, persentase pendapatan yang akan dibelanjakan untuk membeli komoditas tersebut, jangka waktu untuk menganalisis permintaan, kategori suatu komoditas (komoditas kebutuhan pokok, komoditas mewah, dan sebagainya) (Sugiarto, 2005). Koefisien yang menunjukkan besarnya perubahan permintaan atas suatu komoditas sebagai akibat dari perubahan pendapatan konsumen dikenal dengan elastisitas permintaan terhadap pendapatan. Elasisitas permintaan terhadap pendapatan merupakan suatu besaran yang berguna untuk menunjukkan responsivitas konsumsi suatu komoditas terhadap perubahan pendapatan (income) (Sugiarto, 2005).



2.1.2



Perdebatan Konsep Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan



9



Secara umum keadaan demand dan need jasa pelayanan kesehatan dapat dilukiskan dalam suatu konsep yang disebut fenomena gunung es atau ice-berg phenomenon. Konsep ini mengacu pada pengertian bahwa demand yang benar seharusnya merupakan bagian dari need. Secara konseptual, need akan jasa pelayanan kesehatan dapat berwujud suatu gunung es yang hanya sedikit puncaknya terlihat sebagai demand (Palutturi: 2005). Dalam pemikiran yang rasional semua orang ingin menjadi sehat. Kesehatan merupakan modal untuk bekerja dan hidup untuk mengembangkan keturunan. Latar belakang inilah yang membuat orang ingin menjadi sehat. Ada keinginan yang bersumber dari kebutuhan hidup. Tentunya demand utuk menjadi sehat tidaklah sama antarmanusia. Seseorang yang kebutuhan hidupnya sangat tergantung dari kesehatannya tentu akan mempunyai demand yang lebih tinggi akan status kesehatannya (Palutturi: 2005). Menurut teori Blum dalam Palutturi (2005), kesehatan dipengaruhi oleh lingkungan hidup, perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan. Akan tetapi konsep ini dinilai sulit untuk menerangkan hubungan antara demand terhadap kesehatan



dengan



demand



terhadap



jasa



pelayanan



kesehatan.



Untuk



menerangkan hubungna tersebut, dipergunakan suatu konsep yang berasal dari prinsip ekonomi. Pendekatan ekonomi menekankan bahwa kesehatan merupakan suatu modal untuk bekerja. Jasa pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit merupakan salah satu input dalam proses untuk menghasilkan hari-hari sehat. Dengan konsep ini, maka jasa pelayanan kesehatan merupakan salah satu input yang digunakan untuk proses produksi yang akan menghasilkan kesehatan. 10



Demand terhadap jasa pelayanan pada rumah sakit tergantung terhadap demand akan kesehatan sendiri (Palutturi: 2005). 2.1.3



Perdebatan Teori Kebutuhan Dasar Manusia Kebutuhan manusia sangatlah beragam dari kebutuhan yang paling



mendasar (fisiologis) yang lebih diarahkan pada upaya mempertahankan kelangsungan hidup sampai dengan kebutuhan manusia akan keindahan. Upaya pengklasifikasian kebutuhan manusia telah banyak dilakukan oleh psikolog, antara lain oleh Abraham Maslow pada tahun 1970 dengan hipotesisnya kebutuhan diorganisir sedemikian rupa untuk menetapkan prioritas dan hierarki kepentingan. Menurut Maslow terdapat lima tingkatan kebutuhan yang berjajar dalam prioritas dari urutan terendah hingga urutan yang tertinggi. Tingkatantingkatan ini masuk kedalam tiga tingkatan kategori dasar, yaitu (1) kelangsungan hidup dan keamanan, (2) interaksi manusia, cinta dan afilasi, (3) aktualisasi diri (kompetensi, ekspresi diri dan pengertian) (Andhika: 2010). Maslow mengidentifikasikan hierarki tujuh tingkatan kebutuhan yang disusun berjenjang dengan urutan manusia. Orang akan tetap berada dalam sebuah tingkat kebutuhannya dalam tingkat itu terpuaskan. Kemudian kebutuhan yang baru muncul pada tingkat yang lebih tinggi. Untuk kebutuhan pengetahuan dan keindahan diidentifikasikan Maslow sebagai tambahan kebutuhan kognitif bagi sejumlah orang yang memenuhi kebutuhan aktualisasi diri (Andhika: 2010). Dalam konteks kebutuhan Maslow, kesehatan merupakan bagian dari kebutuhan fisiologis yang paling mendasar di samping kebutuhan fisiologis lainnya seperti makan, minum dan perumahan. Menurut Mills dan Gilson (1990) 11



kesehatan merupakan suatu kebutuhan (need) yang diartikan secara umum yang merupakan perbandingan antara situasi nyata dan standar teknis tertentu yang telah disepakati. Selain itu juga kesehatan merupakan kebutuhan yang dirasakan (felt need) yaitu kebutuhan yang dirasakan sendiri oleh individu. Sehingga keputusan untuk memanfaatkan suatu jasa pelayanan kesehatan merupakan pencerminan kombinasi normatif dan kebutuhan yang dirasakan (Andhika: 2010). 2.1.3.1 Perbedaan keinginan (wants), permintaan (demand), dan kebutuhan (need) Dalam manajemen pemasaran (Kasali, 2000) terdapat dua konsep yang sangat mendasar yaitu kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Kebutuhan adalah hal-hal yang mendasar yang dibutuhkan makhluk hidup untuk melangsungkan kehidupannya. Tanaman membutuhkan air, tanah, pupuk dan udara untuk hidup. Manusia tidak hanya membutuhkan makanan dan minuman, tetapi juga cinta, penghargaan, persaudaraan, pengetahuan dan sebagainya. Kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi, mereka akan merasa tidak bahagia, ada yang dirasakan kurang dalam kehidupannya. Kebutuhan manusia amat bervariasi dan kompleks. Sedangkan keinginan adalah pernyataan manusia terhadap kebutuhankebutuhannya yang dipertajam oleh budaya dan kepribadiannya. perbedaannya dengan kebutuhan terletak pada barang-barang yang dipilih untuk melangsungkan kehidupannya. Untuk membahas pengertian ini, model dari Cooper (Posnett 1988) dalam Palutturi (2005) juga sangat menarik untuk dibahas. Dalam model Cooper, keinginan (wants) diartikan sebagai keinginan seseorang untuk menjadi lebih



12



sehat dalam hidup. Keinginan ini didasarkan pada penilaian diri terhadap status kesehatannya.



Permintaan (demand) merupakan keinginan untuk lebih sehat



diwujudkan dalam perilaku mencari pertolongan tenaga kedokteran. Sedangkan kebutuhan (needs) adalah keadaan



kesehatan yang dinyatakan oleh tenaga



kedokteran harus mendapatkan penanganan medis. 2.1.3.2 Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Prinsip dasar teori ekonomi menyatakan bahwa suatu barang atau jasa sebagai faktor produksi mempuyai harga dapat ditukar dengan barang lain atau mempunyai kegunaan dan bersifat langka (jumlah yang tersedia sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan). Debreu (1959) dalam Palutturi (2005) mengemukakan bahwa sesuatu dapat dikategorikan sebagai komoditas bila memiliki sifat temporary (mempunyai jangka waku penggunaan), spatially (membutuhkan tempat untuk memakainya), dan physically (mempunyai ukuran , jam kerja tertentu dalam pemakiannya). Kriteria tersebut dimiliki oleh jasa pelayanan kesehatan dan karenanya dapat dikatakan sebagai komoditas ekonomi yang dikonsumsi individu atau rumah tangga. Adanya demand terhadap jasa pelayanan kesehatan menurut Grossman (1972) karena kesehatan merupakan komoditas yang harus dibeli (consumption commodity) sebab dapat membuat pembelinya merasa dirinya lebih baik dan nyaman. Kesehatan dianggap sebagai suatu investasi (investment commodity) artinya bila keadaan sehat maka semua waktu yang tersedia dapat digunakan secara produktif sehingga secara tidak langsung merupakan investasi. Meskipun jasa pelayanan kesehatan merupakan suatu komoditas ekonom, namun memiliki perbedaan dengan komoditas ekonomi pada umumnya karena



13



adanya karakteristik tersendiri berupa; demand terhadap jasa pelayanan kesehatan timbul akibat adanya permintaan kesehatan yang baik, dimana meningkatnya umur seseorang bisa merupakan mulai menurunnya kondisi kesehatan yang lebih baik; demand terhadap jasa pelayanan kesehatan mempunyai faktor-faktor eksogen



antara



lain



ketidak



tahuan



pasien-pasien



sehingga



penderita



mendelegasikan keputusannya kepada petugas kesehatan (dokter/ paramedik), faktor penghasilan pemakai jasa pelayanan kesehatan dan sebagainya; dan demand terhadap jasa pelayanan kesehatan melibatkan banyak hal, antara lain penyediaan dan tingkat keterampilan petugas kesehatan yang ada, dimana peran ganda yang dimilikinya (penyedia jasa pelayanan medis dan wakil pasien) dapat menciptakan motif ekonomi berupa jasa pelayanan kesehatan yang berlebihlebihan (unnecessary procedure) Amran Razak (2000) dalam Haeruddin (2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi demand terhadap jasa pelayanan kesehatan yaitu faktor kebutuhan yang berbasis pada aspek fisiologis, penilaian pribadi akan status kesehatannya, variabel-variabel ekonomi seperti : tarif, ada tidaknya sistem asuransi, dan penghasilan, serta variabel-variabel demografis dan organisasi. Disamping faktor-faktor tersebut masih ada faktor lain misalnya: pengiklanan, pengaruh jumlah dokter dan fasilitas jasa pelayanan kesehatan, serta pengaruh inflasi. Dunlop dan Zubkoff (1981) dalam Palutturi (2005). Faktor pertama dan kedua sangat erat hubungannya. Kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis menekankan pentingnya keputusan petugas medis yang menentukan perlu tidaknya seseorang mendapatkan pelayanan medik. Keputusan petugas medik ini akan mempengaruhi penilaian seseorang akan status kesehatannya. Dari situasi ini maka demand pelayanan kesehatan dapat



14



ditingkatkan atau dikurangi. Faktor-faktor ini dapat diwakilkan dalam pola epidemiologi yang seharusnya diukur berdasarkan kebutuhan masyarakat (Palutturi: 2005). Menurut Santerre dan Neun (2000) dalam Andhika (2010), ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah permintaan pemeliharaan pelayanan kesehatan (Quantity demanded) seperti harga pembayaran secara langsung oleh rumah tangga, pendapatan bersih (real income), biaya waktu (time cost), termasuk di dalamnya adalah biaya (uang) untuk perjalanan termasuk muatan bis atau bensin di tambah biaya pengganti untuk waktu, harga barang substitusi dan komplementer, selera dan preferensi, termasuk di dalamnya status pernikahan, pendidikan dan gaya hidup, phisik dan mental hidup, status kesehatan serta kualitas pelayanan (quality of care). Menurut Mills & Gilson (1990) dalam Andhika (2010), hubungan antara teori permintaan dengan jasa pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang sangat dipengaruhi oleh pendapatan, sarana dan kualitas pelayanan kesehatan. Pendapatan memiliki hubungan (asosiasi) dengan besarnya permintaan akan pemeliharaan kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan modern. Harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap pemeliharaan kesehatan. Meningkatnya harga mungkin akan lebih mengurangi permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah dibanding dengan kelompok yang berpendapatan tinggi. Sulitnya pencapaian sarana pelayanan kesehatan secara fisik akan menurunkan permintaan. Kemanjuran dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk meminta pelayanan dan pemberi jasa tertentu.



15



Ada 2 pendekatan yang lazim digunakan dalam membahas permintaan (demand) terhadap jasa pelayanan kesehatan. Pertama yaitu teori agency relationship atau yang lebih dikenal dengan supplier - induced demand model. Sedangkan pendekatan yang kedua yaitu investment model yang diajukan oleh Grossman (1972). Supplier Induced Demand menggambarkan suatu keadaan dimana seorang dokter menetapkan demand pasiennya dengan cara tidak berbasis pada need. Penetapan ini dilakukan dengan basis usaha meningkatkan demand dari tingkat yang seharusnya. Dengan demikian istilah terjemahannya adalah “dokter meningkatkan demand” pasiennya. Supplier Induced Demand terjadi akibat tidak seimbangnya informasi yang ada pada dokter pasiennya (McGuire et.Al. 1998) dalam Palutturi (2005). Berbasis pada pendidikan dan pengalamannya dokter lebih menguasai informasi keluhan penyakit yang diderita oleh pasien dibanding si pasien sendiri. Akibat ketidakseimbangan pengetahuan ini maka hubungan kerja menjadi berat ke arah keuntungan dokter. Keadaan ini terjadi terutama pada sistem pembayaran free-forservice. Apabila tidak pada etik yang kuat, maka dengan mudah akan terjadi penyimpangan profesi seperti: diperiksanya pasien dengan USG walaupun secara medis tidak memerlukan pemeriksaan tersebut. Dengan bergesernya sifat rumah sakit menjadi suatu lembaga ekonomi, maka risiko penyimpangan profesi akan semakin tinggi akibat tuntutan investasi. Pada kasus diatas. Apabila pembelian USG dilakukan atas dasar pinjaman kredit bank, maka kaidah-kaidah investasi harus diperhatikan misalnya melalui payback period. Prinsip bahwa “bangsal rumah sakit harus diisi” dapat mendorong terjadinya Supplier Induced Demand”



16



Supplier Reduced Demand mencerminkan keadaan dimana justru dokter atau rumah sakit menetapkan demand di bawah yang seharusnya. Pada kasus pasien yang seharusnya diperiksa menggunakan USG. Akan tetapi mungkin reimburstment asuransi kesehatan yang dimiliki perusahaan tersebut memberikan ganti rugi yang di bawah unit cost pemerikasaan USG. Rumah sakit akan rugi jika menggunakan USG untuk pasien tersebut. Secara perhitungan ekonomi, tidak diperiksanya dengan USG akan menghindarkan rumah sakit dari kerugian. Dengan demikian need pasien tersebut tidak dapat terwujud sebagai demand. Contoh lain adalah pada sistem pembayaran rumah sakit yang berbasis pada anggaran. Apabila rumah sakit dapat menyelenggarakan pelayanan di bawah anggaran, misalnya 90% maka 10% sisanya dapat masuk sebagai jasa rumah sakit. Dengan konsep seperti ini rumah sakit akan mempunyai insentif untuk melakukan Supplier Reduced Demand. Perbedaan utama antara kedua pendekatan tersebut ada pada asumsinya tentang kedudukan pasien dalam model tersebut. Pada pendekatan pertama, peranan pasien begitu kecil dibandingkan pada ahli kesehatan/ dokter dalam membentuk permintaan terhadap jasa pelayanan kesehatan. Sementara Grossman menyatakan bahwa konsumen (pasien) cukup memiliki informasi dan kebebasan dalam menentukan permintaannya. 2.2 Karakteristik Permintaan Kesehatan dan Jasa Pelayanan Kesehatan dalam Konteks Ekonomi Jasa pelayanan kesehatan berbeda dengan barang dan jasa pelayanan ekonomi lainnya. Jasa pelayanan kesehatan atau jasa pelayanan medis sangat heterogen, terdiri atas banyak sekali barang dan pelayanan yang bertujuan memelihara, memperbaiki, memulihkan kesehatan fisik dan jiwa seorang. Karena 17



sifatnya yang sangat heterogen, jasa pelayanan kesehatan sulit diukur secara kuantitatif. Beberapa karakteristik khusus jasa pelayanan kesehatan yaitu intangibility, inseparability, inventory, dan inkonsistensi (Santerre dan Neun, 2000) dalam Andhika (2010). Intangibility merupakan karakteristik jasa pelayanan kesehatan yang tidak bisa dinilai oleh panca indera. Konsumen (pasien) tidak bisa melihat, mendengar, membau, merasakan, atau mengecap jasa pelayanan kesehatan.



Inseparability yaitu



karakteristik dimana produksi dan konsumsi jasa pelayanan kesehatan terjadi secara simultan (bersama). Makanan bisa dibuat dulu, untuk dikonsumsi kemudian. Tindakan operatif yang dilakukan dokter bedah pada saat yang sama digunakan oleh pasien. Inventory merupakan karakteristik dimana jasa pelayanan kesehatan tidak bisa disimpan untuk digunakan pada saat dibutuhkan oleh pasien nantinya. Inkonsistensi merupakan karakteristik jasa pelayanan kesehatan dimana komposisi dan kualitas jasa pelayanan kesehatan yang diterima pasien dari seorang dokter dari waktu ke waktu, maupun jasa pelayanan kesehatan yang digunakan antar pasien, bervariasi. Jadi jasa pelayanan kesehatan sulit diukur secara kuantitatif. Biasanya jasa pelayanan kesehatan diukur berdasarkan ketersediaaan (jumlah dokter atau tempat tidur rumah sakit per 1,000 penduduk) atau penggunaan (jumlah konsultasi atau pembedahan per kapita) (Palutturi: 2005). Hubungan antara keinginan kesehatan dengan permintaan akan jasa pelayanan kesehatan hanya kelihatannya saja yang sederhana, namun sebenarnya



18



sangat kompleks. Penyebab utamanya karena persoalan kesenjangan informasi. Menterjemahkan keinginan sehat menjadi konsumsi jasa pelayanan kesehatan melibatkan berbagai informasi tentang berbagai hal, antara lain; aspek status kesehatan saat ini, informasi status kesehatan yang lebih baik, informasi tentang macam pelayanan yang tersedia, tentang kesesuaian pelayanan tersebut, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena permintaan jasa pelayanan kesehatan mengandung masalah uncertainty (ketidakpastian), sakit sebagai ciri-ciri persoalan kesehatan merupakan suatu ketidakpastian. Keduanya, imperfect information dan uncertainty merupakan karakteristik umum dari permintaan kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan. 2.3



Hubungan antara Pendapatan, Biaya atau Harga Kunjungan, Jarak, Umur, dan Biaya atau Harga Obat Alternatif terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan



2.3.1



Pengaruh Pendapatan Kesehatan



terhadap



Permintaan



Jasa



Pelayanan



Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan corak permintaan terhadap berbagai barang. Perubahan pendapatan selalu menimbulkan perubahan terhadap permintaan berbagai jenis barang. Ada hubungan (asosiasi) antara tingginya pendapatan dengan besarnya permintaan akan pemeliharaan kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan modern. Jika pendapatan meningkat maka garis pendapatan akan bergeser kekanan sehingga jumlah barang dan jasa kesehatan meningkat. Pada masyarakat berpendapatan rendah, akan mencukupi kebutuhan barang terlebih dahulu, setelah kebutuhan akan barang tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan



19



(Andersen et al, 1975; Santerre & Neun, 2000 dalam Andhika 2010; Mills & Gilson,1990). Sebagian besar jasa pelayanan kesehatan merupakan barang normal di mana kenaikan pendapatan keluarga akan meningkatkan demand untuk jasa pelayanan kesehatan. Akan tetapi ada kecenderungan mereka yang berpendapatan tinggi tidak menyukai jasa pelayanan kesehatan yang menghabiskan banyak waktu. Hal ini diantisipasi oleh rumah sakit-rumah sakit yang menginginkan pasien dari golongan mampu. Masa tunggu dan antrean untuk mendapatkan jasa pelayanan medis harus dikurangi (Palutturi, 2005). Kerangka teori yang mendasari penelitian ini adalah teori konsumsi dan ekonomi kesejahteraan merurut Pindyck dan Rubinfeld (1998). Untuk mecapai kesejahteraan tertentu individu akan mengkonsumsi sejumlah barang dan jasa, yang dalam hal ini konsumsi jasa ditekankan dalam bentuk jasa pelayanan kesehatan. Kurva kepuasan konsumsi barang dan kesehatan menjelaskan bahwa kepuasan seseorang ditentukan oleh konsumsi kesehatan dan konsumsi barang yang dibatasi oleh garis pendapatan (Joko: 2005). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan dan biaya jasa pelayanan kesehatan akan juga berpengaruh terhadap jumlah jasa pelayanan kesehatan yang diminta. Jika pendapatan meningkat, maka garis pendapatan akan bergeser ke kanan sehingga jumlah barang dan kesehatan meningkat. Meningkatnya konsumsi barang dan kesehatan berimplikasi pada meningkatnya kesejahteraan individu tersebut. Jadi dalam hal ini konsumsi kesehatan ditentukan oleh besarnya tingkat pendapatan. Oleh karena itu faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan juga akan mempengaruhi konsumsi kesehatan.



20



Faktor tersebut antara lain biaya jasa kesehatan dan jarak tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan serta jumlah tanggungan keluarga (Joko: 2005). Faktor lainnya yang mempengaruhi konsumsi kesehatan sangat banyak, terutama yang berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi, dan budaya seperti tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan kebiasaan. Besar kecilnya kekayaan dapat mempengaruhi konsumsi kesehatan. Misalnya pada masyarakat yang berpendapatan rendah, akan mencukupi kebutuhan barang lebih dulu, setelah kebutuhan akan barang tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan. Faktor yang berpengaruh langsung terhadap pendapatan, misalnya biaya yang terkait dengan jasa pelayanan kesehatan, menjadikan biaya jasa pelayanan kesehatan naik. Keadaan ini menurunkan konsumsi kesehatan, karena dengan naiknya biaya kesehatan akan menurukan pendapatan relatif, yaitu pendapatan tetap sementara biaya kesehatan naik (Joko: 2005). Menurut Miler dan Meineres (1997) dalam Andhika (2010), Engel sebagai pelopor dalam penelitian tentang pengeluaran rumah tangga. Penelitian Engel melahirkan empat butir kesimpulan, yang kemudian dikenal dengan hukum Engel. Keempat butir kesimpulannya yang dirumuskan tersebut adalah jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin kecil, persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan, persentase pengeluaran untuk konsumsi keperluan rumah relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan dan jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang mewah dan tabungan semakin meningkat.



21



2.3.2



Pengaruh Pendidikan Kesehatan



terhadap



Permintaan



Jasa



Pelayanan



Faktor sosial dan budaya akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pentingnya kesehatan. Sebagai contoh faktor tingkat pendidikan dan pengetahuan mempengaruhi nilai pentingnya kesehatan. Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung mempunyai demand yang lebih tinggi. Pendidikan yang lebih tinggi cenderung untuk meningkatkan kesadaran status kesehatan dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi menganggap penting nilai kesehatan, sehingga akan mengkonsumsi jasa kesehatan lebih banyak dibandingkan masyarakat yang pendidikan dan pengetahuannya lebih rendah. Faktor budaya setempat juga sangat menentukan konsumsi kesehatan (Joko: 2005). Grossman mengembangkan model dimana kesehatan dipandang sebagai stok modal yang menghasilkan output kehidupan yang sehat. Individu dapat mengadakan investasi pada kesehatan yang dikombinasikan dengan waktu (kunjungan dokter) dengan membeli input (jasa medis). Model Grossman menghipotesiskan bahwa permintaan terhadap modal kesehatan berhubungan negatif terhadap umur, positif terhadap tingkat upah dan pendidikan. Grossman percaya pula bahwa umur, pendapatan dan pendidikan memiliki efek pada permintaan jasa pelayanan kesehatan baik sebagai modal kesehatan maupun sebagai derived demand dalam rangka untuk menjaga tingkat kesehatan tertentu (Rahmatia: 2004).



22



Status pendidikan ibu berpengaruh terhadap pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan, karena status pendidikan mempengaruhi kesadaran dan pengetahuan wanita tentang kesehatan. Hal yang sering menjadi penghambat bagi pemanfaatan jasa pelayanan tersebut adalah kurangnya kesadaran dan pengetahuan ibu tentang hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kesehatan. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan wanita sangat bervariasi, mulai dari tidak mengetahui tempat jasa pelayanan kesehatan yang tersedia hingga kurangnya pemahaman tentang manfaat pelayanan, tanda-tanda bahaya atau kegawatan yang memerlukan pelayanan. Sebagai contoh, di banyak Negara, kehamilan tidak dianggap sebagai kondisi yang memerlukan perawatan kecuali jika ada komplikasi kehamilan sampai trimester kedua karena mereka tidak menyadari atau mengabaikan pentingnya pelayanan (Joko: 2005). Pengetahuan



dan



kesadaran



wanita



tentang



pentingnya



upaya



pemeliharaan kesehatan terkait erat dengan status pendidikan. Wanita adalah orang yang bertanggungjawab terhadap kesehatan diri dan keluarganya, jika status pendidikan wanita meningkat maka status kesehatan keluarganya akan meningkat pula (Joko: 2005). 2.3.3



Pengaruh Biaya atau Harga Kunjungan terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap jasa pemeliharaan



kesehatan. Biaya atau harga pelayanan kesehatan dengan permintaan jasa pelayanan kesehatan berpengaruh negatif. Meningkatnya harga mungkin akan lebih mengurangi permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah



23



dibanding dengan kelompok yang berpendapatan tinggi (Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson, 1990). Sangat penting untuk dicatat bahwa hubungan negatif ini secara khusus terlihat pada keadaan pasien mempunyai pilihan. Pada pelayanan rumah sakit, tingkat demand pasien sangat dipengaruhi oleh dokter. Keputusan dari dokter sangat mempengaruhi dalam length of stay, jenis pemeriksaan, keharusan untuk operasi, dan lain-lain. Pada keadaan yang membutuhkan penanganan medis segera maka faktor biaya mungkin tidak berperan dalam mempengaruhi demand. Hubungan biaya dengan demand yang bersifat negatif pada pelayanan rumah sakit terutama pada pelayanan yang bersifat efektif (Sukri : 2005).



2.3.4



Pengaruh Jarak terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan



berpengaruh negatif terhadap jumlah pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena semakin jauh tempat tinggal dari tempat pelayanan kesehatan akan semakin mahal. Ini telah sesuai dengan teori permintaan yang dikemukakan oleh Nicholson (2003), yaitu jika barang yang diminta semakin mahal, maka jumlah barang yang dibeli akan semakin sedikit (Andersen et al,1975; Mills & Gilson,1990). Jarak membatasi kemampuan dan kemauan wanita untuk mencari pelayanan, terutama jika sarana transportasi yang tersedia terbatas, komunikasi sulit dan di daerah tersebut tidak tersedia tempat pelayanan. 2.3.5 Pengaruh Umur terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan



24



Faktor umur sangat mempengaruhi demand terhadap jasa pelayanan preventif dan kuratif. Semakin tua seseorang, lebih meningkat demandnya terhadap pelayanan kuratif. Sementara itu demand terhadap jasa pelayanan kesehatan preventif menurun. Dengan kata lain, semakin mendekati saat kematian, seseorang merasa bahwa keuntungan dari jasa pelayanan kesehatan preventif akan lebih kecil dibandingkan dengan saat masih muda (Palutturi: 2005). Umur berpengaruh terhadap tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan. McDonald & Coburn, (1998) dalam Joko (2005) menemukan bahwa kelompok wanita dengan umur lebih dewasa memiliki tingkat pemanfaatan layanan pre-natal yang lebih. Hubungan antara umur dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada umumnya digambarkan dengan kurva U. kelompok umur yang sangat muda dan kelompok umur yang tua merupakan kelompok umur yang paling banyak memanfaatkan pelayanan kesehatan karena dihubungkan dengan morbiditas. 2.3.6



Pengaruh Biaya atau Harga Obat Alternatif terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan Obat alternatif merupakan komoditas yang dapat menggantikan fungsi dari



biaya atau harga kunjungan ke rumah sakit sehingga harga komoditas pengganti dapat mempengaruhi permintaan komoditas yang dapat digantikannya. Pada umumnya bila harga komoditas pengganti bertambah murah maka komoditas yang digantikannya akan mengalami pengurangan dalam permintaan. Adanya barang pengganti (subsitusi) dari suatu barang/jasa dapat mengubah jumlah permintaan, kemudian berpengaruh pada harga dan penawaran. Munculnya barang pengganti yang lebih murah, kemungkinan besar akan



25



mendorong sebagian besar konsumen untuk memilih barang subsitusi tersebut (Sugiarto: 2005). 2.4 Tinjauan Empiris Untuk menunjang penelitian ini, telah dilakukan beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu dimulai pada tahun 1980-an. Ascobat (1981) dalam Andhika (2010) membuktikan adanya pengaruh-pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel tertentu terhadap permintaan pelayanan kesehatan tertentu. Pengeluaran



per



kapita,



misalnya



mempengaruhi



kecenderungan



untuk



memanfaatkan (berkunjung) ke fasilitas pelayanan kesehatan tradisional atau modern. Semakin tinggi pengeluaran per kapita maka semakin besar kemungkinan si individu untuk memilih dan mampu membayar pelayanan kesehatan modern dibandingkan pelayanan kesehatan tradisional. Faktor harga atau biaya kunjungan juga mempengaruhi tingkat kunjungan ke fasilitas pelayanan. Fasilitas modern umumnya menetapkan biaya yang relatif lebih tinggi dibandingkan fasilitas tradisonal didalam kelompok fasilitas modern sendiri ada perbedaan biaya antara fasilitas kesehatan swasta yang relatif lebih tinggi biayanya dibandingkan fasilitas kesehatan publik milik pemerintah. Perbedaan harga tersebut terjadi karena pada fasiltas kesehatan permerintah umumnya terdapat sejumlah subsidi kesehatan. Berdasarkan penelitian Haeruddin (2007) mengenai analisis permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit umum daerah syekh yusuf di Kabupaten Gowa menyimpulkan bahwa faktor pendapatan, pendidikan, umur mempunyai pengaruh yang tidak signifikan dalam hubungannya dengan permintaan jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah syekh yusuf



26



sungguminasa. Faktor jarak mempunyai pengaruh yang signifikan dan konsumsi terhadap pelayanan kesehatan tidak dipengaruhi oleh naik turunnya pendapatan (fixed). Jadi, meskipun pendapatan berubah (bertambah atau berkurang), maka pengeluaran terhadap pelayanan kesehatan tidak berubah. Andhika Widyatama Putra (2010) dalam penelitiannya menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan layanan kesehatan khususnya di Kabupaten Semarang. Beberapa faktor tersebut adalah pendapatan keluarga, biaya kunjungan, tingkat pendidikan, jarak dan kualitas layanan kesehatan. Dengan metode analisis regresi linier berganda, beberapa faktor tersebut dicari pengaruhnya terhadap frekuensi kunjungan ke layanan kesehatan. Hasil penelitian yang diperoleh adalah pendapatan keluarga, tingkat pendidikan, jarak dan kualitas layanan berpengaruh secara signifikan terhadap frekuensi kunjungan ke layanan kesehatan. Pembenahan infrastruktur sektor kesehatan disertai dengan upaya aktif dari pemerintah menjadi suatu solusi yang dianggap tepat atas permasalahan yang ada. Serta didukung oleh peningkatan kesadaran dan kemauan pola konsumsi masyarakat terhadap layanan kesehatan yang ada, sehingga terjadi pola permintaan dan penawaran kesahatan yang dinamis. Hasil penelitian Joko et al (2005) mengenai permintaan pelayanan kesehatan rumah tangga petani di Jawa Tengah menyebutkan bahwa jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena semakin jauh tempat tinggal dari tempat pelayanan kesehatan akan semakin mahal.



27



Tingkat kekayaan secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan pelayanan kesehatan. Ini terjadi karena variasi kekayaan petani di desa sangat kecil. Namun ada kecenderungan bahwa keluarga yang lebih kaya lebih banyak



melakukan



akses



terhadap



pelayanan



kesehatan.



Keadaan



ini



menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan bukanlah barang inferior karena meningkatnya tingkat kekayaan suatu rumah tangga tidak menyebabkan permintaan pelayanan kesehatan turun. Masyarakat pedesaan telah menempatkan factor kesehatan sebagai jasa yang penting (Joko: 2005). Demikian juga faktor-faktor yang lain, secara statistik tidak berpengaruh terhadap permintaan pelayanan kesehatan di desa karena variasinya kecil. Usia dan penyakit cenderung meningkatkan pelayanan kesehatan. Gejala ini wajar karena semakin tua seseorang, kondisi kesehatannya semakin menurun sehingga cenderung lebih banyak melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan. Demikian juga semakin banyak jenis penyakit/ gangguan kesehatan yang diderita oleh masyarakat, akan meningkat pula akses pelayanan kesehatan. Ada satu hal yang mungkin agak kurang masuk akal, yaitu tingkat pendidikan cenderung menurunkan akses pelayanan kesehatan. Secara normatif, semakin tinggi tingkat pendidikannya, seharusnya masyarakat lebih menganggap penting faktor kesehatan. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah rata-rata tingkat pendidikan di pedesaan masih rendah, sehinga dengan tingkat pendidikan tersebut masyarakat belum tergugah bahwa faktor kesehatan adalah penting. Untuk mengantisipasi gejala tersebut, diperlukan penyuluhan khusus di bidang kesehatan masyarakat (Joko: 2005).



28



Satu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah wanita lebih cenderung banyak melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan. Pengamatan di lapangan memang menunjukkan bahwa yang mengunjungi tempat pelayanan kesehatan adalah kaum wanita. Ada dua hal yang menjadi penyebab. Pertama, gangguan kesehatan kaum wanita lebih banyak dari pada pria, terutama yang berhubungan dengan masalah kewanitaan. Kedua, wanita biasanya mengunjungi tempat pelayanan kesehatan karena mengantar anaknya, dan pada saat yang bersamaan mereka juga sekaligus mendapatkan pelayanan kesehatan. Keadaan ini yang menyebabkan, mengapa wanita lebih banyak mengakses tempat pelayanan kesehatan (Joko: 2005).



2.5



Kerangka Pikir Pembangunan kesehatan di Indonesia bertujuan untuk mencapai hidup



sehat bagi penduduk agar dapat diwujudkan derajat kesehatan yang opimal. Sedangkan pencapaian tujuan tersebut dihadapkan pada berbagai kendala, utamanya masalah pembiayaan penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh pemerintah. Untuk mengatasi hal tersebut, maka jalan yang harus ditempuh adalah dengan meningkatkan peran aktif masyarakat dan swasta. Masalah pembiayaan ini sangatlah berpengaruh terhadap pencapaian sasaran



yang



mempunyai



tujuan



membantu



pemerintah



dalam



rangka



meningkatkan derajat kesehatan masyrakat, dan memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat yang memerlukannya agar sasaran yang ditetapkan



29



dapat tercapai dan masalah pembiayaan dapat diatasi, maka salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan menentukan harga yang dianggap layak secara ekonomis. Setiap individu akan berusaha mencapai status kesehatan tertentu dengan menginvestasikan dan atau mengkonsumsi sejumlah barang dan jasa kesehatan (Grossman, 1972). Dalam hal ini investasi dianggap sebagai jumlah permintaan individu terhadap jasa pelayanan kesehatan, dengan unit analisis yaitu jumlah atau frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan dalam kurun waktu tertentu. Jadi, investasi inilah yang akan menjadi variabel bebas (dependent variable) dalam analisis ini. Diasumsikan bahwa jumlah atau frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan merupakan kuantitas permintaan individu terhadap jasa pelayanan kesehatan atas permasalahan kesehatan yang dimiliki individu tersebut. Jika pendapatan meningkat maka garis pendapatan akan bergeser kekanan sehingga jumlah barang dan jasa kesehatan meningkat. Pada masyarakat berpendapatan rendah, akan mencukupi kebutuhan barang terlebih dahulu, setelah kebutuhan akan barang tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan (Andersen et al, 1975; Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson,1990). Harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap pemeliharaan kesehatan. Biaya atau harga jasa pelayanan kesehatan dengan permintaan jasa pelayanan kesehatan berpengaruh negatif. Meningkatnya harga mungkin akan lebih mengurangi permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah



30



dibanding dengan kelompok yang berpendapatan tinggi (Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson, 1990). Tingkat pendidikan dan pengetahuan mempengaruhi nilai pentingnya kesehatan. Masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi menganggap penting nilai kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikannnya, masyarakat lebih menganggap penting faktor kesehatan (Andersen et al, 1975; Santerre & Neun, 2000). Jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah pelayanan kesehatan. Semakin jauh tempat tinggal dari tempat pelayanan kesehatan akan semakin mahal. Hal ini sesuai dengan teori permintaan yaitu jika barang yang diminta semakin mahal, maka jumlah barang yang dibeli akan semakin sedikit (Andersen et al,1975; Mills & Gilson,1990). Faktor umur sangat mempengaruhi demand terhadap jasa pelayanan preventif dan kuratif. Semakin tua seseorang, lebih meningkat demandnya terhadap pelayanan kuratif. Sementara itu demand terhadap jasa pelayanan kesehatan preventif menurun. Dengan kata lain, semakin mendekati saat kematian, seseorang merasa bahwa keuntungan dari jasa pelayanan kesehatan preventif akan lebih kecil dibandingkan dengan saat masih muda (Palutturi: 2005). Obat alternatif merupakan komoditas yang dapat menggantikan fungsi dari biaya atau harga kunjungan ke rumah sakit sehingga harga komoditas pengganti dapat mempengaruhi permintaan komoditas yang dapat digantikannya. Pada umumnya bila harga komoditas pengganti bertambah murah maka komoditas



31



yang digantikannya akan mengalami pengurangan dalam permintaan (Sugiarto: 2005). Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai analisis permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar dapat dilihat pada bagan dibawah ini:



Pendapatan Biaya atau Harga Kunjungan Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan di Kota Makassar (Rumah Sakit Bersalin)



Pendidikan Jarak Umur Biaya atau Harga Obat Alternatif



Gambar 1. Kerangka Pikir Analisis Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan



32



pada Rumah Sakit Bersalin di Kota Makassar Uraian diatas berakhir pada permasalahan pokok, yaitu tentang bagaimana pengaruh dari faktor tingkat pendapatan, biaya atau harga kunjungan, lama pendidikan, jarak, umur, dan biaya atau harga obat alternatif terhadap besarnya permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar. Berdasarkan permasalahan pokok tersebut kemudian dikemukakan tujuan dan kegunaan serta hipotesis yang merupakan jawaban sementara terhadap masalah yangg dikemukakan. Kemudian untuk membuktikan hipotesis, maka digunakan model analisis regresi berganda yang akan menunjukkan pengaruh dari faktor-faktor yang telah diajukan terhadap besarnya jumlah permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar.



2.8



Hipotesis Berdasarkan permasalahan yang telah diajukan sebelumnya maka dapat



dikemukakan hipotesis sebagai berikut: Pendapatan, lama pendidikan, umur, dan biaya atau harga obat alternatif berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan biaya atau harga kunjungan, jarak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar.



33



BAB III METODE PENELITIAN



3.1



Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada beberapa rumah sakit bersalin di Kota



Makassar meliputi rumah sakit bersalin milik pemerintah yaitu RSB Pertiwi, RSB Fatimah dan rumah sakit bersalin milik swasta, yaitu RSB St. Khadijah, RSB Sentosa, RSB Restu, RSB Bunda, RSB Budi Mulia, RSB Ananda, Rumah Bersalin dan Balai Pengobatan (RBBP) Wihdatul Ummah, serta RBBP Melati. 3.2



Populasi dan Sampel



34



Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung fasilitas kesehatan di Kota Makassar, dalam hal ini fasilitas kesehatan yang berupa rumah sakit bersalin baik rumah sakit bersalin milik pemerintah maupun rumah sakit bersalin milik swasta yang ada di Kota Makassar. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan metode accidental sampling yaitu pengambilan sampel secara acak. Jumlah sampel yang akan diteliti sebanyak 100 responden. Accidental sampling adalah cara pengambilan sampel dengan cara mengambil sampel dimana pun didapatkan tanpa syarat pengambilan tertentu. Hasil dari sampling tersebut memiliki sifat yang objektif. 3.3



Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis



berdasarkan pada pengelompokannya yaitu : a. Data Primer Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melalui perantara). Data primer secara khusus dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan penelitian (Indiriantoro, 1999). Dalam penelitian ini data diambil berdasarkan kuesioner yang diwawancarakan kepada responden. Data primer tersebut meliputi identitas responden, jumlah kunjungan untuk menggunakan fasilitas jasa pelayanan kesehatan di lingkup Kota Makassar, pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan ke fasilitas kesehatan, lama



35



pendidikan, jarak tempat tinggal terhadap fasilitas kesehatan, umur responden, dan biaya atau harga obat alternatif yang dikeluarkan. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara atau diperoleh dan dicatat oleh pihak lain (Indriantoro, 1999). Dalam penelitian ini data diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Makassar, Badan Pusat Statistik Kota Makassar, literatur-literatur lain yang membahas mengenai materi penelitian berupa data jumlah pengunjung dan data pendukung lainnya yang dianggap dapat mendukung penelitian ini. Adapun yang termasuk dalam data sekunder berupa data jumlah pengunjung Rumah Sakit Bersalin milik pemerintah dan swasta di Kota Makassar.



3.4



Metode Pengumpulan Data 1. Penelitian lapangan Yaitu pengambilan data di daerah/ lokasi penelitian dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut: -



Observasi Teknik ini digunakan untuk mendeskripsikan tentang keadaan lapangan dengan pengamatan yang dilakukan terhadap pasien yang senantiasa bersifat obyektif faktual. Tujuannya untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai keadaan lokasi penelitian.



-



Interview



36



Untuk mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap mengenai pasien, maka dilakukan wawancara terhadap narasumber dan responden yaitu pasien. -



Kuisioner Kuisioner digunakan untuk merekam data tentang kegiatan pasien. Pengisian kuisioner dilakukan secara terstruktur dengan mempergunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan.



2. Penelitian kepustakaan (library research) Yaitu penelitian melalui beberapa buku bacaan, literatur atau keteranganketerangan ilmiah untuk memperoleh teori yang melandasi dalam menganalisa data yang diperoleh dari lokasi penelitian.



3.5



Metode Analisis Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pendapatan, biaya atau harga



kunjungan, lama pendidikan, jarak, umur, dan biaya atau harga obat alternatif terhadap jumlah permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar akan dianalisis dengan menggunakan model analisis inferensial, yaitu analisis regresi berganda yang dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut: Y = f (X1, X2, X3, X4, X5, X6) ………………………………………(1) atau secara eksplisit dapat dinyatakan dalam fungsi Cobb-Douglas berikut: Y = β0 X1 β1 X2 β2 X3 β3 X4 β4 X5 β5 X6 β6 e …………………………………..(2)



37



Untuk mengestimasi koefisien regresi, Feldstein (1988) mengadakan transformasi ke bentuk linear dengan menggunakan logaritma natural (ln) ke dalam model sehingga diperoleh persamaan berikut: LnY = Ln β0 + β1Ln X1 + β2 Ln X2 + β3 Ln X3 + β4 Ln X4 + β5 Ln X5 + β6 Ln X6 +



μ



i



…………………………………………………(3)



dimana: Y



: Permintaan terhadap jasa pelayanan kesehatan



Β0



: Konstanta / intersep



β1, β2, β3, β4, β5, β6 : Parameter X1



: Pendapatan keluarga



X2



: Biaya atau harga kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan



X3



: Lama pendidikan



X4



: Jarak tempat tinggal dengan fasilitas kesehatan



X5



: Tingkat umur atau usia para pengguna jasa pelayanan kesehatan



X6



: Biaya atau harga obat alternatif yang menunjang kesehatan pengguna jasa pelayanan kesehatan



μ



i



: Error term



38



Sedangkan untuk mengetahui tingkat signifikansi dari masing-masing koefisien regresi variabel independen terhadap variabel dependen maka dapat menggunakan uji statistik diantaranya : 1. Analisis koefisien determinasi (R2) Untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel independen yaitu pendapatan keluarga (X1), biaya atau harga kunjungan (X2), lama pendidikan (X3), jarak (X4), umur (X5), dan biaya atau harga obat alternatif (X6) terhadap variabel dependen dalam hal ini permintaan jasa pelayanan kesehatan (Y) maka digunakan analisis koefisien determinasi (R2). Koefisien Determinan (R2) pada intinya mengukur kebenaran model analisis regresi. Dimana analisisnya adalah apabila nilai R 2 mendekati angka 1, maka variabel independen semakin mendekati hubungan dengan variabel dependen sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan model tersebut dapat dibenarkan. Model yang baik adalah model yang meminimumkan residual berarti variasi variabel independen dapat menerangkan variabel dependennya dengan α sebesar diatas 0,75 (Gujarati, 2003), sehingga diperoleh korelasi yang tinggi antara variabel dependen dan variabel independen. Akan tetapi ada kalanya dalam penggunaan koefisisen determinasi terjadi bias terhadap satu variabel indipenden yang dimasukkan dalam model. Setiap tambahan satu variabel indipenden akan menyebabkan peningkatan R 2, tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara siginifikan terhadap varibel dependen (memiliki nilai t yang signifikan). 2. Uji Statistik F 39



Uji signifikansi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh variabel independen yaitu pendapatan keluarga (X1), biaya atau harga kunjungan (X2), lama pendidikan (X3), jarak (X4), umur (X5), dan biaya obat alternatif (X6) berpengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen yaitu permintaan jasa pelayanan kesehatan (Y). Uji F digunakan untuk menunjukkan apakah keseluruhan variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen dengan menggunakan Level of significance 5 persen, Kriteria pengujiannya apabila nilai F-hitung < F-tabel maka hipotesis diterima yang artinya seluruh variabel independen yang digunakan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Apabila Fhitung > Ftabel maka hipotesis ditolak yang berarti seluruh variabel independen berpengaruh secara signifikan taerhadap variabel dependen dengan taraf signifikan tertentu.



3. Uji Statistik t Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen secara sendiri-sendiri mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Dengan kata lain, untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen dapat menjelaskan perubahan yang terjadi pada variabel dependen secara nyata. Untuk mengkaji pengaruh variabel independen terhadap dependen secara individu dapat dilihat hipotesis berikut: H0 : ß1 = 0 tidak berpengaruh, H1 : ß1



40



> 0 berpengaruh positif, H1 : ß1 < 0 berpengaruh negatif. Dimana ß1 adalah koefisien variabel independen ke-1 yaitu nilaiparameter hipotesis. Biasanya nilai ß dianggap nol, artinya tidak ada pengaruh variable X1 terhadap Y. Bila thitung > ttabel maka Ho diterima (signifikan) dan jika t hitung < ttabel Ho diterima (tidak signifikan). Uji t digunakan untuk membuat keputusan apakah hipotesis terbukti atau tidak, dimana tingkat signifikan yang digunakan yaitu 5%. 3.6



Definisi Variabel



a. Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan (Y) adalah banyaknya kunjungan yang dilakukan pengguna jasa pelayanan kesehatan selama beberapa bulan terakhir yaitu ibu-ibu dalam tahap kehamilan sampai melahirkan yang menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan di lingkungan Kota Makassar, dalam hal ini fasilitas yang dimaksud adalah rumah sakit bersalin. Skala pengukuran variabel ini adalah dalam frekuensi kunjungan. b. Pendapatan (X1) adalah seluruh pendapatan yang diterima oleh keluarga pengguna jasa pelayanan kesehatan baik dari pendapatan utama, sampingan dan lainnya, variabel ini diukur dengan rata-rata jumlah total semua pendapatan yang diterima keluarga konsumen dengan satuan rupiah tiap bulannya. c. Biaya atau harga kunjungan (X2) merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan pengunjung selama menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan meliputi biaya rawat jalan, biaya rawat inap, dan biaya konsultasi yang diukur dengan satuan rupiah.



41



d. Lama pendidikan (X3) merupakan latar belakang pendidikan pengunjung atau pendidikan terakhir yang sudah diluluskan, yang diukur dengan jumlah tahun pendidikan yang sudah ditempuh. Misalnya lulusan SD (6 tahun), lulusan SMP (9 tahun), lulusan SMA (12 tahun), dst. Dengan catatan pada variabel ini koefisien regresi tidak bisa dijelaskan. e. Jarak (X4) merupakan jarak lokasi tempat tinggal pengunjung dengan fasilitas kesehatan yang digunakan, yang diukur dengan satuan meter (m). f. Umur (X5) merupakan tingkat umur atau usia pengguna jasa pelayanan kesehatan, yang diukur dengan satuan tahun (thn). g. Biaya atau harga obat alternatif (X6) merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh para pengguna jasa pelayanan kesehatan selain dari biaya kunjungan seperti biaya ke bidan atau dukun yang diukur dengan satuan rupiah.



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1 Kota Makassar Kota Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan juga merupakan pintu gerbang dan pusat perdagangan Kawasan Timur Indonesia. Secara geografis 42



Kota Makassar terletak di Pesisir Pantai Barat bagian selatan Sulawesi Selatan, pada titik koordinat 119°, 18’, 27’, 97” Bujur Timur dan 5’. 8’, 6’, 19” Lintang Selatan. Secara administratif Kota Makassar mempunyai batas-batas wilayah yaitu Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa, Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar. Topografi pada umumnya berupa daerah pantai. Letak ketinggian Kota Makassar berkisar 0,5 – 10 meter dari permukaan laut. Kota Makassar memiliki luas wilayah 175,77 km2 yang terbagi kedalam 14 Kecamatan dan 143 Kelurahan. Selain memiliki wilayah daratan, Kota makassar juga memiliki wilayah kepulauan yang dapat dilihat sepanjang garis pantai Kota makassar. Adapun pulau-pulau di wilayahnya merupakan bagian dari dua Kecamatan yaitu Kecamatan Ujung Pandang dan Ujung Tanah. Pulau-pulau ini merupakan gugusan pulau-pulau karang sebanyak 12 pulau, bagian dari gugusan pulau-pulau Sangkarang, atau disebut juga Pulau-pulau Pabbiring atau lebih dikenal dengan nama Kepulauan Spermonde. Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Lanjukang (terjauh), pulau Langkai, Pulau Lumu-lumu, Pulau Bone Tambung, Pulau Kodingareng, pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, pulau Kodingareng Keke, Pulau Samalona, Pulau Lae-Lae, Pulau Gusung, dan Pulau Kayangan (terdekat). Penduduk Kota Makassar tahun 2009 tercatat sebanyak 1.272.349 jiwa yang terdiri dari 610.270 laki-laki dan 662.079 perempuan. Sementara itu jumlah



43



penduduk Kota Makassar tahun 2008 tercatat sebanyak 1.253.656 jiwa. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dapat ditunjukkan dengan rasio jenis kelamin Rasio jenis kelamin penduduk Kota Makassar yaitu sekitar 92,17 persen, yang berarti setiap 100 penduduk wanita terdapat 92 penduduk laki-laki. Penyebaran penduduk Kota Makassar dirinci menurut kecamatan, menunjukkan bahwa penduduk masih terkonsentrasi diwilayah kecamatan Tamalate, yaitu sebanyak 154.464 atau sekitar 12,14 persen dari total penduduk, disusul kecamatan Rappocini sebanyak 145.090 jiwa (11,40 persen). Kecamatan Panakkukang sebanyak 136.555 jiwa (10,73 persen), dan yang terendah adalah kecamatan Ujung Pandang sebanyak 29.064 jiwa (2,28 persen). Ditinjau dari kepadatan penduduk kecamatan Makassar adalah terpadat yaitu 33.390 jiwa per km persegi, disusul kecamatan Mariso (30.457 jiwa per km persegi), kecamatan Bontoala (29.872 jiwa per km persegi). Sedang kecamatan Biringkanaya merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah yaitu sekitar 2.709 jiwa per km persegi, kemudian kecamatan Tamalanrea 2.841 jiwa per km persegi), Manggala (4.163 jiwa per km persegi), kecamatan Ujung Tanah (8.266 jiwa per km persegi), kecamatan Panakkukang 8.009 jiwa per km persegi. Wilayah-wilayah yang kepadatan penduduknya masih rendah tersebut masih memungkinkan untuk pengembangan daerah pemukiman terutama di 3 (tiga) kecamatan yaitu Biringkanaya, Tamalanrea, Manggala. 4.1.2 Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Makassar Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan bisa dilihat dari 2 aspek kesehatan yaitu sarana kesehatan dan sumber daya manusia. Pada tahun 2009 di



44



Kota Makassar terdapat 16 Rumah Sakit, yang terdiri dari 7 Rumah Sakit Pemerintah/ABRI, 8 Rumah Sakit Swasta serta 1 Rumah Sakit khusus lainnya. Jumlah Puskesmas pada tahun 2009, dari 121 unit puskesmas dapat dikategorikan menjadi 37 puskesmas, 47 puskesmas pembantu dan puskesmas keliling 37 buah. Di samping sarana kesehatan, ada sumber daya manusia di bidang kesehatan seperti dokter praktek sebanyak 3.551 orang dan bidan praktek sebanyak 117 orang. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar pada tahun 2009 tercatat ada 37 buah rumah sakit, 13 buah rumah sakit bersalin, dan 16 buah puskesmas. Sarana kesehatan di Kota Makassar dapat dirinci sebagai berikut.



Tabel 4.1 Jumlah Sarana Kesehatan di Kota Makassar No.



1 2 3 4 5 6 7



Sarana Kesehatan Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Jiwa Rumah Sakit Bersalin RS.Khusus lainnya Puskesmas Puskesmas Pembantu Puskesmas Keliling



Pemilikan /Pengelolaan Pem. Pem. TNI/ Prop. Kota Polri 2 1 3 1 2 1 37 47 37



Pem. Pusat 1



45



Swasta 8 10



8 9 10 11



Balai Pengobatan 2 2 Apotik Toko Obat Dokter Praktek Sumber : Makassar Dalam Angka, 2010



291 46 2176



4.2 Hubungan Antar Variabel yang Berhubungan dengan Frekuensi Kunjungan Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan bahwa sebagian besar responden menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, lama pendidikan, jarak tempat tinggal terhadap rumah sakit bersalin, tingkat umur, dan biaya atau harga obat alternatif. Selain itu, faktor kualitas dari pelayanan rumah sakit bersalin juga sangat mempengaruhi frekuensi kunjungan responden.



4.2.1 Hubungan Antara Pendapatan Keluarga dengan Frekuensi Kunjungan Tabel di bawah ini adalah distribusi reponden dilihat dari pendapatan keluarga dengan jumlah kunjungannya ke rumah sakit bersalin selama satu tahun terakhir dalam hal ini ibu-ibu pada tahap pemeriksaan kehamilan sampai melahirkan yang menggunakan fasilitas jasa pelayanan kesehatan di lingkungan Kota Makassar. Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Pendapatan Keluarga dan Frekuensi Kunjungan Pendapatan (Ribu) 500 - 999,999 1000 - 1999,999



Frekuensi Kunjungan 1-3 kali 19 13 46



4-6 kali > 6 kali 1 0 12 0



Total 20 25



2000 - 3000 6 > 3000 10 Total 48 Sumber : Data Primer, 2011



26 3 42



5 5 10



37 18 100



Pada umumnya ibu-ibu yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar tingkat keseringannya di bawah 7 kali. Berdasarkan observasi hal ini dikarenakan responden cenderung menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin tersebut hanya pada saat akan memasuki masa persalinan. Berdasarkan pada tabel 4.2 diketahui bahwa dari 100 responden (100 persen) yang memiliki pendapatan keluarga antara Rp. 500.000,00 sampai Rp. 999.999,00 per bulan sebanyak 19,00 persen (19 orang) dengan frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali selama satu tahun terakhir dan hanya 1,00 persen (1 orang) dengan frekuensi kunjungan antara 4 sampai 6 kali. Kemudian dari 25 responden (25 persen) yang memiliki pendapatan keluarga antara Rp. 1.000.000,00 sampai Rp. 1.999.999,00 per bulan, sebanyak 13,00 persen (13 responden) memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali dan 12,00 persen (12 responden) memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali. Adapun dari 37 responden yang memiliki pendapatan keluarga antara Rp. 2.000.000,00 sampai Rp. 3.000.000,00 sebanyak 6 persen (6 responden) memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali kunjungan, 26 persen (26 responden) memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 5 persen (5 responden) memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali. Kemudian dari 18 responden (18 persen) yang memiliki pendapatan keluarga di atas Rp. 3.000.000,00 per bulan, sebanyak 10 responden (10 persen) memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 47



hanya 3 responden (3 persen) yang memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 5 responden 95 persen) memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali. Hal itu menunjukkan bahwa mayoritas pengguna jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar adalah kalangan yang berpenghasilan di atas Rp.2.000.000,00 atau bisa dikategorikan kalangan menengah ke atas/ mampu jika di bandingkan dengan pendapatan per kapita berdasarkan harga konstan yang sebesar Rp. 5.890.286,00 per tahun atau Rp. 490.857,16667 per bulan pada tahun 2010 (BPS Kota Makassar, 2011).



4.2.2 Hubungan Antara Biaya atau Harga Kunjungan dengan Frekuensi Kunjungan



Distribusi besarnya biaya yang dikeluarkan oleh tiap-tiap responden dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.3 Distribusi Responden Menurut Biaya atau Harga Kunjungan dan Fekuensi Kunjungan Biaya atau Harga Kunjungan (Ribu)



Frekuensi Kunjungan 1-3 kali 4-6 kali



>6 kali



Total



100 - 499,999



32



40



7



79



500 - 999,999



8



1



0



9



1000 - 2000



2



1



0



3



> 2000



6



0



3



9



Total



48



42



10



100



48



Sumber : Data Primer, 2011 Berdasarkan pada tabel 4.3 diketahui bahwa dari 79 responden (79 persen) yang memiliki biaya atau harga kunjungan antara Rp. 100.000,00 sampai Rp. 499.999,00, sebanyak 32 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 40 responden memiliki frekuensi kunjungan sebanyak 4 sampai 6 kali, dan 7 responden frekuensi kunjungannya lebih dari 6 kali. Adapun pada level biaya atau harga kunjungan antara Rp. 500.000,00 sampai Rp. 999.999,00 yang memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali sebanyak 8 responden dan hanya 1 responden yang memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali. Kemudian dari 100 responden hanya 3 responden yang memiliki biaya atau harga kunjungan antara Rp. 1000.000,00 sampai Rp 2.000.000,00 yang terdiri dari frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali sebanyak 2 responden dan 1 responden yang frekuensi kunjungannya sebanyak 4 sampai 6 kali. Sisanya dari 9 responden yang memiliki biaya atau harga kunjungan lebih dari Rp. 2.000.000,00, sebanyak 6 responden yang memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali dan 3 responden frekuensi kunjungannya lebih dari 6 kali. Dari pengamatan yang telah dilakukan variasi biaya kunjungan yang dikeluarkan oleh responden tergantung pada keperluan menggunakan jasa pelayanan kesehatan, jenis konsultasi, lama atau tidaknya perawatan dan beberapa faktor lain yang mempengaruhinya. Dari tabel tersebut menunjukkan biaya kunjungan responden terbanyak diantara kisaran Rp 100.000,00 hingga Rp 500.000,00.



49



4.2.3 Hubungan Antara Lama Pendidikan dengan Frekuensi Kunjungan Lama pendidikan ditentukan berdasarkan banyaknya tahun yang telah ditempuh



responden



dalam



menyelesaikan



pendidikan



terakhir



yang



diluluskannya. Gambaran mengenai lama pendidikan responden dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.4 Distribusi Responden Menurut Lama Pendidikan dan Frekuensi Kunjungan Frekuensi Kunjungan >6 Pendidikan 1-3 kali 4-6 kali kali SD 20 0 0 SMP 11 4 2 SMA 3 15 1 Perguruan Tinggi 14 23 7 Total 48 42 10 Sumber : Data Primer, 2011



Total



20 17 19 44 100



Tingkat pendidikan responden dari yang terbesar adalah lulusan Perguruan Tinggi (44 responden), SD (20 responden), SLTA (19 responden), dan SLTP (17 responden). Dari 20 responden yang berpendidikan sampai tingkat SD, semuanya memiliki frekuensi kunjungan sebanyak 1 sampai 3 kali. Kemudian dari 17 responden yang berpendidikan sampai tingkat SMP, sebanyak 11 responden memiliki frekeunsi kunjungan 1 sampai 3 kali, 4 responden memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 2 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali. Adapun dari 19 responden yang memiliki pendidikan sampai tingkat SMA, sebanyak 3 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 15 responden memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan hanya 1 responden



50



yang memiliki frekuensi kunjungan leih dari 6 kali. Sisanya 44 responden yang berpendidikan sampai tingkat perguruan tinggi, sebanyak 14 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 23 responden memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 7 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali. Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesadaran akan kesehatan seperti penanganan penyakit, pemeriksaan kesehatan kehamilan yang tepat, dan lainnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut peran pemerintah dalam menggalakkan pentingnya kesehatan bagi ibu-ibu hamil dengan sosialisasi juga harus terarah dan tepat sasaran.



4.2.4 Hubungan Antara Jarak Tempat Tinggal dengan Frekuensi Kunjungan Gambaran jarak tempat tinggal responden terhadap jasa pelayanan kesehatan (rumah sakit bersalin) dalam penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut.



Tabel 4.5 Distribusi Responden Jarak Tempat Tinggal dan Frekuensi Kunjungan Frekuensi Kunjungan Jarak (meter) >6 1-3 kali 4-6 kali kali < 1000 0 0 2 1000 - 5000 9 25 6 6000 - 10000 31 17 2 > 10000 8 0 0 Total 48 42 10 Sumber : Data Primer, 2011



51



Total 2 40 50 8 100



Sebagian besar responden yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar mempunyai tempat tinggal yang jaraknya 6000 meter hingga 10000 meter terlihat dari tabel di atas, 50 responden memiliki tempat tinggal 6000-10000 meter dan 40 responden memiliki tempat tinggal yang jaraknya 1000-5000 meter, 8 responden bertempat tinggal lebih dari 10000 meter dan 2 responden memiliki tempat tinggal kurang dari 1000 meter. Berdasarkan tabel 4.6, terdapat 2 responden yang memiliki jarak tempat tinggal kurang dari 1000 meter dengan frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali dan 8 responden memiliki jarak tempat tinggal lebih dari 1000 meter dengan frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali. Adapun dari 40 responden yang memiliki tempat tinggal yang jaraknya 1000 hingga 5000 meter, sebanyak 9 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 25 responden memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 6 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali. Kemudian dari 50 responden yang memiliki tempat tinggal yang jaraknya 6000 hingga 10000 meter, sebanyak 31 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 17 responden memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 2 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali.



4.2.5 Hubungan Antara Umur Responden dengan Frekuensi Kunjungan Distribusi umur responden yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.6 Distribusi Responden Menurut Umur dan Frekuensi Kunjungan



52



Frekuensi Kunjungan >6 1-3 kali 4-6 kali kali < 20 0 1 0 20 - 25 16 10 4 26 - 30 25 23 4 > 30 7 8 2 Total 48 42 10 Sumber : Data Primer, 2011 Umur (thn)



Total 1 30 52 17 100



Berdasarkan tabel di atas, responden yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar pada umumnya adalah ibuibu muda yang berusia di bawah 30 tahun, 52 responden berumur 26-30 tahun, 31 responden berumur 18-25 tahun, 17 responden berumur di atas 30 tahun dan 1 responden yang berumur di bawah 20 tahun. Responden yang berumur di bawah 20 tahun tersebut memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali. Adapun dari 30 responden yang berumur antara 20 sampai 25 tahun, sebanyak 16 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 10 responden memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 4 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali. Kemudian dari 52 responden yang berumur antara 26 sampai 30 tahun, sebanyak 25 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 23 responden memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 4 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali. Sisanya 17 responden yang berumur diatas 30 tahun dengan frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali sebanyak 7 responden, 4 sampai 6 kali sebanyak 8 responden, dan frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali sebanyak 2 orang.



53



4.2.7 Hubungan Antara Biaya atau Harga Obat Alternatif dengan Frekuensi Kunjungan Distribusi besarnya biaya yang dikeluarkan oleh tiap-tiap responden selain dari biaya kunjungan, dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.7 Distribusi Responden Menurut Biaya atau Harga Obat Alternatif dan Frekuensi Kunjungan Biaya atau Harga



Frekuensi Kunjungan >6 Obat Alternatif 1-3 kali 4-6 kali kali < 50.000 1 0 0 50.000 - 70.000 19 18 2 80.000 - 100.000 21 20 4 > 100.000 7 4 4 Total 48 42 10 Sumber : Data Primer, 2011



Total 1 39 45 15 100



Dari observasi yang telah dilakukan, besarnya biaya atau harga obat alternatif yang dikeluarkan berkisar Rp 50.000,00 – Rp 100.000,00. Terdapat 1 responden yang memiliki pengeluaran untuk biaya atau harga obat alternatif kurang dari Rp. 50.000,00 dengan frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali. Dari 39 responden yang memiliki pengeluaran untuk biaya atau harga obat alternatif antara Rp. 50.000,00 sampai Rp. 70.000,00 sebanyak 19 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 18 responden memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 2 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali. Kemudian dari 45 responden yang memiliki pengeluaran untuk biaya atau harga obat alternatif antara Rp. 80.000,00 sampai Rp. 100.000,00 sebanyak 21 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 20 responden memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 4 responden memiliki frekuensi



54



kunjungan lebih dari 6 kali. Sisanya dari 15 responden yang memiliki pengeluaran untuk biaya atau harga obat alternatif lebih dari Rp. 100.000,00 sebanyak 7 responden memiliki frekuensi kunjungan 1 sampai 3 kali, 4 responden memiliki frekuensi kunjungan 4 sampai 6 kali, dan 4 responden memiliki frekuensi kunjungan lebih dari 6 kali.



4.3 Analisis Statistik Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Bersalin Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda yaitu persamaan regresi yang melibatkan 2 (dua) variabel atau lebih (Gujarati, 2003). Regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari suatu variabel dependen terhadap variabel independen. Perhitungan data dalam penelitian ini menggunakan program SPSS-16.0. Program SPSS-16.0 membantu dalam melakukan pengujian model yang telah ditentukan, mencari nilai koefisien dari tiap-tiap variabel, serta pengujian hipotesis secara parsial maupun bersama-sama.



4.3.1 Pengujian Hipotesis 4.3.1.1 Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien determinasi adalah nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabelvariabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan 55



hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Dari hasil regresi pengaruh variabel pendapatan keluarga,



biaya atau



harga kunjungan, lama pendidikan, jarak tempat tinggal, umur dan biaya atau harga obat alternatif terhadap permintaan jasa pelayanan kesehatan (Y) diperoleh nilai R2 sebesar 0,526827. Hal ini berarti variasi variabel independen (bebas) menjelaskan variasi permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar sebesar 52,68 persen. Adapun sisanya variasi variabel lain dijelaskan diluar model sebesar 47,32 persen. Untuk R2 sebesar 0,526827 ini dinyatakan bahwa model valid sebab data yang digunakan adalah data primer. Dimana model yang valid apabila menggunakan data primer lebih dari 0,25 (R2 > 0,25). Secara terperinci hasil regresi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.



Tabel 4.8 Rekapitulasi Data Hasil Regresi Linear Berganda



Variabel Penelitian Konstanta (c) * Pendapatan Keluarga Biaya atau Harga Kunjungan * Lama Pendidikan * Jarak Tempat Tinggal * Umur *



Coefficien



Std.



t-Statistic



Prob.



t 8.622306 0.101264 -0.226777 0.946164 -0.314596 -1.622420



Error 1.938387 0.099485 0.050725 0.180710 0.078269 0.389544



4.448185 1.017885 -4.470705 5.235816 -4.019425 -4.164927



0.0000 0.3114 0.0000 0.0000 0.0001 0.0001



56



Biaya atau Harga Obat Alternatif -0.030680 0.079988 R-squared 0.526827 R 0.726 Adjusted R-squared 0.496300 S.E. of regression 0.477545 F-statistic 17.25758 F-tabel (0,05;5;94) 2.31 n 100 Df 94 t tabel (0,05:94) 1.66123 * Signifikansi pada level 5% Sumber : lampiran B, data diolah, 2011



-0.383560



0.7022



4.3.1.2. Deteksi Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) Pengujian terhadap pengaruh semua variabel independen di dalam model dapat dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Dari regresi pengaruh pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, lama pendidikan, jarak tempat tinggal, umur, dan biaya atau harga obat alternatif terhadap frekuensi kunjungan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar , maka diperoleh F-tabel sebesar 2,31 (α:5% dan df :100-6=94) sedangkan F-statistik / Fhitung sebesar 17,25758 dan nilai probabilitas F-statistik 0,000000. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (F-hitung > F-tabel). 4.3.1.3. Deteksi Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik T) Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh masingmasing variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen. Dalam regresi pengaruh pendapatan keluarga, biaya atau harga 57



kunjungan, lama pendidikan, jarak tempat tinggal, umur, dan biaya atau harga obat alternatif terhadap frekuensi kunjungan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar, dengan α:5% dan df = 94 (n-k =100-6), maka diperoleh nilai t-tabel sebesar 1,66123. Berdasarkan nilai t-tabel tersebut dan dengan asumsi t-statistik / t-hitung > t-tabel, variabel independen yang signifikan terhadap variabel frekuensi kunjungan adalah variabel biaya atau harga kunjungan (t-hitung = 4.470705), lama pendidikan (t-hitung = 5.235816), jarak (t-hitung = 4.019425 ), dan umur (thitung = 4.164927). 4.4 Interpretasi Hasil Dalam regresi pengaruh pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, lama pendidikan, jarak tempat tinggal, umur, dan biaya atau harga obat alternatif terhadap frekuensi kunjungan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar, dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), diperoleh nilai seperti pada tabel 4.9. 1. Pendapatan Keluarga Dari hasil regresi ditemukan bahwa besarnya pendapatan keluarga tidak signifikan terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin. Hasil yang didapatkan tidak signifikan yang berarti variabel pendapatan keluarga tidak mempengaruhi besarnya permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar. Hal ini sejalan dengan Haeruddin (2007) mengenai analisis permintaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit umum daerah syekh yusuf di Kabupaten Gowa menyimpulkan bahwa faktor pendapatan, pendidikan, umur mempunyai pengaruh



58



yang tidak signifikan dalam hubungannya dengan permintaan jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah syekh yusuf sungguminasa. Dari observasi yang dilakukan pada umumnya responden cenderung ke dokter praktek jika pendapatannya meningkat. Hal ini berimplikasi pada frekuensi kunjungan ke rumah sakit bersalin berkurang karena sebagian besar responden hanya menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin setelah memasuki fase persalinan. 2. Biaya atau Harga Kunjungan Berdasarkan hasil regresi diperoleh hasil bahwa biaya atau harga kunjungan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Jika diasumsikan variabel tetap maka kenaikan 1% biaya atau harga kunjungan akan menurunkan 0.227



%



frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama satu tahun terakhir. Hal ini sejalan dengan Santerre & Neun, 2000 serta Mills & Gilson, 1990 yang menyebutkan harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap jasa pemeliharaan kesehatan. Biaya atau harga pelayanan kesehatan dengan permintaan jasa pelayanan kesehatan berpengaruh negatif. Meningkatnya harga mungkin akan lebih mengurangi permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah dibanding dengan kelompok yang berpendapatan tinggi. 3. Lama Pendidikan Berdasarkan hasil regresi diperoleh hasil bahwa lama pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Jika diasumsikan variabel tetap maka



59



kenaikan 1% lama pendidikan akan meningkatkan 0.227 % frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama satu tahun terakhir. Dari hasil regresi ditemukan bahwa tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan berpengaruh signifikan dan positif terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu Andhika (2010) dan Sugiarti (2005) yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan, sesuai dengan hipotesis penelitian yang diajukan, sehingga hipotesis penelitian dapat diterima. 4. Jarak Tempat Tinggal Berdasarkan hipotesis penelitian jarak tempat tinggal berpengaruh negatif terhadap frekuensi penggunaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar, hal itu sejalan dengan hasil regresi yang menunjukkan bahwa jarak tempat tinggal berpengaruh signifikan dan negatif terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Jika diasumsikan dengan fungsi log maka kenaikan 1% jarak tempat tinggal seseorang terhadap lokasi jasa pelayanan kesehatan akan menurunkan 0.315% frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama satu tahun terakhir. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andhika (2010) yang menyebutkan bahwa permintaan penggunaan jasa pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh variabel jarak tempat tinggal terhadap lokasi daripada jasa pelayanan kesehatan. 5. Umur



60



Berdasarkan hasil regresi diperoleh hasil bahwa umur berpengaruh negatif dan signifikan terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar. Jika diasumsikan dengan fungsi log maka kenaikan 1% umur akan menurunkan 1.622 % frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama satu tahun terakhir. Dari hasil observasi di lapangan, pada umumnya responden yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar adalah ibu-ibu muda. 6. Biaya atau Harga Obat Alternatif Berdasarkan hasil regresi diperoleh hasil bahwa biaya atau harga obat alternatif berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap frekuensi kunjungan dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan. Samuelson & Nordhaus (1992) menyebutkan bahwa seseorang dalam usaha memenuhi kebutuhannya, pertama kali yang akan dilakukan adalah pemilihan atas berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan, selain itu juga dilihat apakah harganya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Jika harganya tidak sesuai, maka ia akan memilih barang dan jasa yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Konsep choice dan opportunity cost (Mills & Gilson 1990) berkaitan dengan beberapa pilihan atas layanan kesehatan yang ada, yang berakibat pada biaya yang dikeluarkan untuk masing-masing pilihan dengan tingkat kepuasan tertentu pula di masing-masing pilihan. Karena menurut Grossman (1972) permintaan kesehatan yang efektif akan terjadi ketika konsumen memiliki kesediaan (willingness) dan kemampuan (ability) untuk membeli atau membayar sejumlah jenis pelayanan kesehatan yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian



61



mengenai biaya atau harga obat alternatif yang tidak signifikan terhadap frekuensi kunjungan, dapat dijelaskan bahwa kesediaan (willingness) tidak pada kondisi yang sama. Kurang spesifiknya variabel biaya atau harga obat alternatif menjadi kelemahan dalam proses pengukuran variabel ini.



BAB V PENUTUP



5.1 Kesimpulan Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola permintaan yang terjadi di Kota Makassar terhadap jasa pelayanan kesehatan khususnya pada rumah sakit bersalin pada dasarnya berjalan cukup optimal. Ada beberapa aspek yang menyangkut hal tersebut seperti pengetahuan masyarakat akan kesadaran tentang kesehatan ibu dan anak, kepuasan masyarakat dalam



62



menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin, dan faktor-faktor lainnya. 2. Penggunaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar dipengaruhi oleh beberapa variabel diantaranya biaya atau harga kunjungan, lama pendidikan masyarakat, jarak layanan kesehatan ataupun aksesibilitas dan umur serta kualitas layanan kesehatan, sedangkan pendapatan keluarga dan biaya atau harga obat alternatif tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan berdasarkan tingkat signifikansi variabel dan uji t yang diukur pada α=5%. 3. Jika diasumsikan variabel lain tetap maka kenaikan 1% biaya atau harga kunjungan akan menurunkan 0.227 % frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama satu tahun terakhir, kenaikan 1% lama pendidikan akan meningkatkan 0,946% frekuensi kunjungan, kenaikan 1% jarak tempat tinggal seseorang terhadap lokasi jasa pelayanan kesehatan akan menurunkan 0.315 % frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama satu tahun terakhir, dan kenaikan 1 % umur seseorang akan menurunkan 1,622 % frekuensi kunjungan yang telah dilakukan selama satu tahun terakhir . 4. Hasil uji koefisien determinasi (R2) pengaruh pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, lama pendidikan, jarak tempat tinggal, umur responden dan biaya atau harga obat alternatif terhadap frekuensi kunjungan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar menunjukkan



63



bahwa besarnya nilai R-squared sedang yaitu 0,526827. Nilai ini berarti bahwa hanya 52,68 % variabel independen dapat dijelaskan oleh model. 5. Uji F-statistik menunjukkan bahwa semua variabel independen dalam model regresi yaitu pengaruh pendapatan keluarga, biaya atau harga kunjungan, lama pendidikan, jarak tempat tinggal, umur responden dan biaya atau harga obat alternatif berpengaruh secara bersama-sama mempengaruhi variabel frekuensi kunjungan dalam penggunaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin di Kota Makassar. 5.2 Keterbatasan Kelemahan dalam analisis penelitian ini adalah tidak signifikannya pengaruh pendapatan keluarga dan biaya atau harga obat alternatif terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan padahal beberapa teori menyebutkan bahwa variabel tersebut berpengaruh terhadap penggunaan layanan kesehatan, di sisi lain ada teori yang menyebutkan bahwa permintaan harus berdasarkan kesediaan (willingness) dan kemampuan (ability) untuk membeli atau membayar sejumlah jenis pelayanan kesehatan yang diperlukan, tidak samanya kesediaan dari semua responden menjadikan variabel ini tidak signifikan dan seharusnya lebih spesifik lagi dalam proses pengukurannya. 5.3 Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian di atas, maka pada bagian ini dikemukakan beberapa saran dan rekomendasi sebagai berikut:



64



a. Berkaitan dengan adanya pengaruh yang signifikan lama pendidikan terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan yang berarti perlu dilakukannya upaya peningkatan kesadaran terhadap status kesehatan ibu dan anak terutama masyarakat yang berpendidikan rendah, sedangkan implikasi kebijakan yang berkaitan dengan pengaruh jarak terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin adalah dengan cara mendirikan atau merencanakan program kesehatan untuk ibu hamil yang memiliki kualitas tinggi sehingga dapat menarik minat masyarakat dalam menggunakan jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin. Selain itu, penyebaran rumah sakit bersalin sebaiknya merata di seluruh wilayah sehingga dapat membantu



aksesibilitas



masyarakat



dalam



menggunakan



jasa



pelayanan kesehatan tersebut. b. Dilihat dari sisi permintaan, maka rekomendasi yang diberikan adalah dengan meningkatkan permintaan masyarakat terhadap jasa pelayanan kesehatan khususnya pada rumah sakit bersalin dengan peran serta masyarakat yang kooperatif terhadap kebijakan pemerintah yang dilakukan, sehingga kedepannya bisa tercipta penawaran dan permintaan yang seimbang. c. Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini masih terbatas pada lingkup jasa pelayanan kesehatan pada rumah sakit bersalin. Oleh karena itu, lingkup penelitian ini bisa diperluas lagi untuk mendapatkan analisis yang lebih menyeluruh. Berkaitan dengan



65



variabel dan metode penelitian yang digunakan perlu dikaji lagi pengukurannya terutama variabel pendapatan keluarga dan biaya atau harga obat alternatif. Oleh karena itu, studi lanjutan perlu dilakukan sehubungan dengan saran tersebut sehingga hasilnya bisa lebih baik lagi.



66