Aneka Pendekatan Studi Agama [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BOOK REVIEW APRROACHES TO THE STUDY OF RELIGION (Aneka Pendekatan Studi Agama) Peter Connolly (ed.) Pembimbing Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD (GBPMK) Prof. M. Arskal Salim, GP, MA. P.hD Prof. Dr. Suwito, MA Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA Dr. Yusuf Rahman, MA Reviewers



Sabil Mokodenseho1 [[email protected]] Asep Abdul Muhyi2 [[email protected]] Pendahulan Dalam beberapa dekade terakhir, studi agama-agama (Religious studies) dan penelitian sosial keagamaan pada umumnya, memasuki babak baru seiring dengan berkembangnya beragama problem sosial kemasyarakatan. Kompleksitas persoalan tersebut mendorong hadirnya beragam pendekatan bahkan tawaran paradigma. Hampir mustahil jika pemecahan terhadap kompleksitas persoalan hanya mencukupkan dengan perspektif tunggal, misalnya dengan pendeklatan normatif tekstual semata atau paradigma lama. Dalam konteks kekinian, kajian agama dengan pendekatan normatif-tekstual tidak lagi memadai untuk memecahkan persoalan yang semakin kompleks. Beragam pendekatan pun ditawarkan seperti pendekatan fenomenologis, feminis, antropologis, sosiologis dan aneka pendekatan lainnya. Untuk itu, dalam resume ini penulis berupaya menampilkan beberapa pendekatan dalam studi keagamaan yang ditawarkan oleh Peter Connolly dalam bukunya yang berjudul Approach to the Study of Religion.



1



Penulis adalah Mahasiswa Program Magister/Konsentrasi Sejarah Peradaban Islam, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2 Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral/Konsentrasi Tafsir Interdisiplin, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.



1



Pendekatan Antropologis (Antropology Approach) David N. Gellner Pemahaman para pemikir mengenai antropologi senatiasa mengalami perubahan. Antropologi mulai muncuk di abad ke 19 sebagai penelitian terhadap asal usul manusia. Kajian antropologi mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia apakah yang paling tua dan tetap bertahan. Antropolog-antropolog awal terlibat dalam perdebatan sengit tentang bentuk manusia yang paling awal. Misalnya adalah apakah mereka dicirikan dengan perkawinan kelompok atu dengan matriarkal?. Agama prasejarah juga menjadi persoalan kontroversial. Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Atau apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan adalah suatu bentuk agama yang dinamakan animisme?. Salah satu konsep terpenting dalam antropologi adalah holisme, yaitu sebuah pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para antropolog harus melihat agama dan praktik-praktik pertanian, relasi keluarga, politik, magic ataupun dunia pengobatan “secara bersama-sama”. Maka agama misalnya tidak bisa dilihat sebagai sebuah sistem yang otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya. Salah-satu konsep terpenting dalam antropologi modern adalah holism, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat. Antropologi terbagi menjadi dua. Pertama, antropologi fisik seperti mencari asal usul atau klasifikasi manusia. Hubungannya dengan agama Islam misalnya, dengan sejarah penyebaran Islam di Indonesia siapa yang membawa dengan meneliti tengkorak kepalanya. Kedua, antropologi budaya, yang meliputi material, seperti segala sesuatu yang dihasilkan dari karya manusia dan non material berupa konsep-konsep, makna-makna, magic, lambang, dan lain sebagainya. Mengkaji agama sebagai objek dengan menggunakan antropologi sebagai sebuah metode pendekatan pada akhirnya melahirkan persoalanpersoalan serta perdebatan-perdebatan yang panjang. Para antropolog berselisih paham tentang bagaimana agama didefinisikan. Tylor mendefinisikan agama sebagai “keyakinan yang ada pada spiritual”. Definisi ini kemudain diperbaharui oleh Spiro yang menyatakan “suatu institusi yang terdiri dari interaksi yang



2



dipola secara kultural dengan “ada” di luar manusia yang dipostulasikan secara kultural”. Dalam Religion as a Cultural System Geertz mendefinisikan agama sebagai sebuah (1) Sistem simbol yang berperan untuk; (2) Mengukuhkan motivasi dan suasana hati yang kuat, dirasakan dan hadir di mana pun dan kekal dalam diri seseorang dengan; (3) Memformulasikan konsepsi tentang keteraturan eksistensi dan; (4) Membungkus konsepsi itu dengan pancaran faktualitas, di mana; (5) Suasana hati dan motivasi itu secara khas tampak realistis. Menyikapi perbedaan pandangan tersebut, Soulthwold memunculkan suatu solusi yang barangkali mengharuskan persetujuan di antara para antropolog. Dia menegaskan adalah keliru untuk mencari karakteristik tunggal, atau daftar karakteristik baku yang ada dalam agama. Sudah seharusnya kita menerima bahwa agama merupakan kategori politetik, maksudnya adalah agama secara tidak langsung menunjukkan sekumpulan karakteristik. Karakteristik tersebut adalah : 1. Concern pada sesuatu yang ilahiah dan hubungan manusia dengan-Nya 2. Dikotomi elemen dunia menjadi sacred dan profan dengan perhatian utama kepada hal yang sacred. 3. Orientasi pada keselamatan dari keadaan biasa dalam kehidupan duniawi. 4. Praktik-praktik ritual. 5. Keyakinan yang tidak dapat ditunjukkan secara logis atau empiris, atau sangat mungkin tetapi harus ada sebagai dasar keimanan. 6. Suatu kode etis yang didukung oleh keyakinan-keyakinan itu. 7. Sanksi supernatural karena terjadi pelanggaran terhadap kode etis tersebut. 8. Mitologi. 9. Adanya suatu kitab suci atau tradisi oral yang mulia. 10. Adanya kependetaan (nabi) atau spesialis elit keagamaan. 11. Berkaitan dengan suatu komunitas moral, suatu gereja (dalam perspektif Durkheim). 12. Ada kaitannya dengan kelompok etnis atau kelompok yang sama. Pendekatan Feminis (Feminism Approach) Sue Morgan Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Feminis-feminis religius seperti Annie Carr meyakini bahwa feminisme dan agama sangat berpengaruh secara signifikan



3



bagi kehidupan perempuan secara khusus dan bagi kehidupan kontemporer secara umum. Sebagaimana agama, feminisme memberi perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam, didasarkan pada banyak pandangan interdisipliner baik itu dari antroplogi, teologi, sosiologi, dan filsafat. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain. Keterlibatan feminis dengan agama pada abad ke 19 merupakan suatu keadaan yang sangat rumit di satu sisi, namun di sisi lain turut mengilhami baik untuk kubu konservatif maupun radilak. Feminis Evangelis mendasarkan seruannya pada perluasan peran kewarganegaraan perempuan. Feminis Liberal di sisi lain menentang ide-ide Injil tentang subordinasi dan domestifikasi perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan perbedaan seks sebagai hak yang diberikan Tuhan. Pandangan-pandangan kritis tentang tugas feminis awal membawa pada tahap rekontruksi komprehensif terhadap kategori-kategori utama pemikiran keagamaan. Sejak tahun 1980, pertumbuhan dan diversifikasi pendekatan feminis dicirikan dengan upaya untuk menciptakan sumber materiil baru dan digunakannya paradigma kesarjanaan keagamaan yang baru, memperbaik model andosentris sebelumnya dengan mengistimewakan pengalaman perempuan. Seorang feminis Liberal Amerika, Elizabeth Cady Stanton dan Matilda Joslyn Gage, memiliki dua kritikan terhadap agama (injil). Gege memperlihatkan kesadaran yang sangat tajam dalam mendukung patriarki. Juga beranggapan bahwa sejarah Kristiani seakan-akan dimunculkan berdasarkan ketidaksetaraan jenis kelamin dan hanya memperlihatkan satu sisi dari perempuan berupa ketidakberdayaanya dalam berbagai kehidupan. Sekilah banyak orang yang mengklaim bahwasanya pemikiran Gege terkesan bertentangan dengan agama, bahkan nampak seseorang yang tidak religious. Sebenarnya Gaga hanya ingin memperjuangkan hak-hak perempuan sebagaimana dalam pembelannya Gaga menyatakan bahwa peremuan juga diciptakan dalam image ketuhanan. Alizabeth Cady inferioritas perempuan disebabkan oleh Injil semata. Menurutnya kemajuan sosial dan politik tidak akan pernah ada ketika perempuan masih dalam keadaan terpenjara dari dominasi image religious. Kelompok feminis juga membangun analisis berdasarkan mainstream perempuan, dengan ini banyak sarjana agama perempuan kotemporer menerima



4



dorongan ideologis yang sangat besar dari golongan feminisme kedua. Terdapat beberapa teks yang dijadikan pembahasan oleh kelompok feminis tersebut diantaranya karya Mary Daly, artikel Rachel Adler “The Cruch and the Second Sex (1968), Halakhah and the Jewism Women” (1983). Religius and Sexisme: Image of Women in the Jewish and Christian Tradition” (1974) dan yang lainya. Femenis tidak hanya mendokumentasikan sumber-sumber agama yang memiliki persepsi distortif terhadap perempuan, tetapi juga berusaha mengemukakan alasan-alasanya. Diantaranya pencemaran keagamaan terhadap perempuan bergantung pada serangkaian kesalahan teologis dan dualism antropologis. Bahwsanya perempuan dianggap bentuk lak-laki yang hina, akal, fisik, dan moralitasnya dianggap tidak sempurna. Dan masih banyak lagi asumsi-asum yang merendahkan harkat seorang perempuan. Feminis religious berupaya menyesuaikan symbol-simbol Tuhan yang ada, dengan cara menyusulkan image-image yang beragam dan insklusif yang mereflesikan kedua pengalaman kedua jenis gender. Kearifan Tuhan menjadi salah satu aspke yang diperjuangkan oleh feminis. Feminis tidak mesti harus membuang metafor-metafor tradisional, meskipun mereka berusaha mengacaukan dan mentransedensikan batasanbatasan patriarki metafor-metafor tersebut. Reinterpretasi feminis terhadap teksteks keagamaan juga dipenuhi dengan “warisan” simbol dan image. Pembacaan terhadap literatur suci Kristen, Yahudi, Islam, dan agama-agama dunia lainnya tidak hanya melibatkan kesadaran terhadap muatan naratif, tetapi juga kesadaran atas seluruh proses hermeneutik atau interpretasi yang dengannya muatan itu dipahami sebagai hal yang normatif. Perdebatan utama yang dating dari feminis radikal berkenaan dengan feminis religious yang juga sangat terkait dengan persoalan pluralitas etnik dan kultural adalah persoalan separatism feminis, yakni penolakannya terhadap agama tradisional. Paham dari feminis radikal yakni mendorong perempuan agar melampaui batas-batas masyarakat partiaklar dan menciptakan suatu dunia laternatif dengan acuan kepada perempuan yang terbebas dari intervensi lakilaki. Pandangan seperti ini dianggap sangat mencurigakan oleh feminis of colour. Dua abad sudah, studi agama yang dilakukan oleh feminis telah menghasilkan realitas seksime yang dibongkar dalam setiap aspek kajian keagamaan dan teologis. Feminis religious mencerminkan sejumlah concern yang secara pertikal didefinisikan sebagai postmodernis, memaksakan kesadaran



5



akan perluanya kajian yang dikondisikan secara sosial dan historis, kritisisme diri, dan perlawan terhadap dominasi terhadap metanaratif. Pendekatan Fenomenologis (Phenomenology Approach) Clive Erricker Istilah fenomenologi dalam kaitannya dengan studi agama tidak pernah terbakukan dengan tegas. Namun demikian, bila dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lain dalam ranah studi agama pendekatan fenomenologis bisa dianggap sebagai sesuatu yang “khas”. Pendekatan fenomenologis bisa dianggap bertentangan dengan pendekatan-pendekatan yang lain. Hal tersebut terlihat bagaimana pendekatan ini membiarkan dirinya untuk bisa “melebur” dengan agama sebagai subjek. Jacques Waardenberg menggunakan term kunci “empiris” dan “rasional” dalam penelitiannya mengenai agama sebagai subjek. Empiris mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian ilmiah (sebagai suatu metode) yang kemudian diderivasikan dari ilmu-ilmu kealaman dan diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial sebagai suatu pengujian terhadap struktur sosial dan perilaku manusia. Rasional mengacu pada penelitian perilaku manusia yang sesuai dengan premis-premis dan penemuan-penemuan ilmiah. Oleh karena itu, irasional mengindikasikan agama sebagai suatu fenomena yang tidak berjalan sesuai dengan parameter-parameter tersebut. Ini memunculkan pertanyaan, apakah agama merupakan aktifitas rasional dan apakah agama harus dipahami sebagai suatu wilayah pengetahuan atau justru dibiarkan sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman?. Tugas seorang fenomenolog lah untuk menunjukkan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberikan kontribusi yang positif kepada pehamaman kita tentang humanitas. Secara umum, kita dapat membagi fenomenolog ke dalam dua kategori. Pertama, fenomenolog yang concern terhadap kajian agama “deskriptif”. Tujuan mereka adalah untuk mengukuhkan pengetahuan tentang berbagai ekspresi fenomena. Sebagai contoh adalah bagaimana seorang ahli biologi kelautan memberitahukan kepada kita gambaran-gambaran aspek dunia senatural mungkin. Yang kedua adalah para fenomenolog yang berusaha untuk menggabungkan kajian mengenai fenomena agama dengan teori interpretasi dari disiplin-disiplin ilmu sosial yang ada. Dari penyelidikan yang telah dilakukan sedemikian jauh, dapat dinyatakan bahwa fenomenologi sebagai suatu gerakan tidak lain dari penuntut status studi agama ilmiah dan bahwa keragaman klasifikasi, objek, dan metode kajian menunjukan pruralisme penomenologi dibawah suatu disiplin. Adapun



6



kritik baru terhadap bidang antropologi, filsafat, dan studi kultural seperti ditulis oleh cendikiawan kontemporer: Rupanya ilmu agama dalam posisi khas karena menggunakan suatu istilah untuk membedakan suatu pendekatan terhadap agama, dimana istilah itu sendiri memiliki konotasi lebih banyak disbanding yang diingoinklan oleh espon-espon khusus pendektan itu. Dengan itu di zaman sekarang sangat sulit untuk menemukan kesepakatan tentang watak studi. Sejarah agama-agama seharusnya tidak hanya berhubungan dengan otoritas-otoritas besar dari tradisi. Sejarah agama-agama sangat membutuhkan hubungan dunia sosiohistiris, hubungan dengan akar rumput, dan kajian atas problem sehari-hari. Sejarah agama modern sangat membutuhkan orientasi antropologis yang lebih intensif. Sejarah agama seharusnya memiliki perhatian besar terhadap manusia biasa dan lingkunga mereka. Dari objek yang diusulkan diatas memiliki implikasi: 1. Ia memiliki penekanan pada watak kontemporer fenomena 2. Ia lebih memfokuskan pada individu, kelompok, dan pandangan keagamaan sehari-hari daripada melihat tradisi, otoritas dan pernyataanpernyataan doctrinal tentang tema-tema teologis. 3. Ia mengakui bahwa pruralitas tidak hanya terdapat dari serangkaian tradisi tetapi pada realitas agama yang jauh lebih kompleks baik realitas lokal dan global, dinamis atau tradisional, dan bahwa bentuk-bentuknya lebih sering berubah dan sering terkaity daripada apa yang diasumsikan orang. 4. Hubungan antara agama dan budaya merupakan hubungan yang kompleks. Fenomenologi telah di kritik dari presfektif yang berlawanan karena ia menghindarkan diri dari tanggung jawab mengidentifikasi kebenaran efistimologi sebagai dasar ditemukanya pengetahuan. Dapat dinyatakan bahwa kelemahan utama kerja fenomenologis sebagai kerja deskriptif yang terfokus pada penelitian objektif. Pendekatan Filosofis (Philosophy Approach) Rob Fisher Dalam pendekatan filosofis terdapat krisis identitas. Dua pernyataan akan memperjelas watak krisis ini. Pertama, “di mana” pendekatan filosofis dalam studi agama dapat ditemukan? karena pada faktanya ini bisa ditemukan di filsafat, studi agama, teologi, dan departemen kemanusiaan yang lain. Kedua, mengapa banyaknya tempat atau konteks yang berbeda-beda menyebabkan krisis identitas? Lagi-lagi hal ini tidak mendapat jawaban yang tunggal. Sebagai



7



tindak lanjut, jika dalam progam studi teologi, pendekatan filosofis dalam studi agama mungkin harus melakukan penelitian dan penyelidikan yang berfokus pada bagaimana ide-ide dan konsep-konsep dalam sejarah filsafat memungkinkan kita memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang doktrin atau memahami pandangan para teolog secara lebih akurat. Oleh sebab itu, pendekatan ini terkadang disebut dengan “teologi filosofis”. Filsafat yang dipresepsikan dengan ketidak relevanan, nilai guna yang dipertanyakan, ketidak mampuan filsafat dalam memberikan kesimpulan. Bagi Dalferd, ketika seseorang mengkaji agama, maka tidak mungkin menghindari filsafat itu sendiri. Suatu pendekatan filosifis terhadap agama merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pengalaman keagamaan pra teologis dan dalam wacan keyakinan. Dengan kata lain, tugas filsafat adalah melihat berbagai persoalan yang melingkupi pengalaman manusia, faktor-faktor yang menyebabkan pengalaman manusia menjadi pengalamn religius, membahas bahasa yang dugunakan umat beriman, dan membicarakan keyakinan mereka. Inilah yang kemudian dikatakan sebagai meniscayakan adanya hubungan agama dan filsafat yang terfokus pada rasionalitas oleh Dalferd Krisis identitas yang dialami oleh pendekatan filosofis dalam kajian agama lebih banyak disebabkan oleh beragamnya konteks dalam penggunaan pendekatan ini. Seorang mahasiswa filsafat yang mengkaji agama tentu berbeda konteks pendekatannya dengan seorang mahasiswa program keagamaan, begitupula jika dibandingkan dengan seorang mahasiswa teologi. Perbedaanperbedaan seperti inilah yang menyebabkan pendekatan filosofis dalam kajian agama menjadi seolah bias akan tujuan. Pada perjalanannya, banyak pihak yang menentang digunakannya pendekatan filsafat dalam kajian agama. Pihak tersebut memandang bahwa dunia filsafat dan dunia agama merupakan dua dunia yang bertolak belakang. Penggunaan filsafat dalam agama justru mendistorsi akan kebenaran agama alihalih memperkuat dan memperjelasnya. Pandangan seperti ini tergambar pada pertanyaan terkenal yang dikemukakan oleh Tertullian, apa keterkaitan Athena dengan Jerussalem? Apa kaitan akademi dengan gereja? Dan apa keterkaitan pelaku bid’ah dengan Kristen?. Tuduhan Tertullian kepada filsafat didasarkan pada pemahaman dia mengenai “pekerjaan” seorang filosof. Setidaknya ada tiga persepsi umum mengenai filsafat. Pertama, mengenai watak filsafat. Kedua, filsafat memiliki reputasi sebagai sesuatu “yang sulit” atau dalam pengertian sesuatu yang bersifat “intelektual”. Ketiga, filsafat merupakan hal yang “populer” dengan pengertian sebagai sistem anekdot sederhana yang digunakan



8



mayarakat untuk menghidupi kehidupan mereka. Filsafat hidup, filsafat sepakbola, filsafat musik dan lain sebagainya. Jika melihat definisi yang diberikan kepada term “filsafat” yang berarti “pecinta kebijaksanaan/kebijakan”, maka kita dapat melihat bagaimana Plato mendefinisikan filosof sebagai orang yang siap merasakan setiap bentuk pengetahuan, senang belajar dan tidak pernah puas. Aristoteles juga mendefinisikan filsafat sebagai “pengetahuan mengenai kebenaran”. Adalapun Sextus Empiricus mengatakan bahwa filsafat adalah suatu aktivitas yang melindungi kehidupan yang bahagia melalui diskusi dan argumen. Dari pemaparan tersebut maka jelaslah bahwa unsur kunci yang menyusun “cinta pada kebijakan” adalah kemauan menjaga pikiran tetap terbuka, kesediaan membaca secara luas, dan mempertimbangkan seluruh wilayah pemikiran dan memiliki perhatian pada kebenaran. Mengenai keterkaitan antara filsafat dengan agama, setidaknya kita dapat mengidentifikasikan empat posisi utama. Keempat posisi itu adalah: (1) Filsafat sebagai agama, (2) Filsafat sebagai pelayan agaman, (3) Filsafat sebagai yang membuat ruang keimanan, dan (4) Filsafat sebagai suatu perangkat analitis bagi agama. Pada umumnya, kita dapat menyatakan bahwa pendekatan filosofis dalam studi agama memiliki empat cabang, yaitu logika, metafisika, epistemologi, dan etika. John Hick beranggapan bahwasanya pandangan filosofis mengenai agama tidak termasuk kedalam ranah teologi atau stadi keagmaan yang lainya melainkan termasuk pada cabang filsafah. Maka menyatakan bahwa filsafah agama merupakan suatu ritual keteraturan kedua yang menngunakan filsafah dalam keagamaannya. Oleh karena itu maka logia ditempatkan sebagai cabang pertama dalam studi keagamaan. Cabang kedua yakni aktivitas metafisik. Selanjutnya cabang ketiga adalah epistimologi, menitik beratkan pada apa yang dapat diketahui dan untuk apa mengetahui. Cabang keempat aktivitas filosofis yakni etika, berkenaan dengan aturan dan prinsip yang menerangkan tentang cara kehidupan keagamaan. Ada empat permasalah dan kesulitan dalam pemikiran antara filsafah dan agama mengenai pemikiran bahwa Tuhan itu aktif kaitanya dengan dunia. Maka tercipta empat tema penting. 1. Bagaiman kita harus memahami agensitas dan perbuatan Tuhan 2. Bagaimana mengetahui Tuhan dengan menggunakan kacamata sejarah 3. Bagaimana perbuatan Tuhan di alam yang memiliki implikasi hubungan antara ilmu dan keagamaan



9



4. Bagaimana memahami istilah “pemeliharaan Tuhan yang khusus dan perbuatan khusus Tuhan di duni. Pendekatan Psikologis (Psychology Approach) Peter Connolly Psikologi agama merupakan bagian psikologi yang memiliki perhatian dengan subjek agama, posisi ini sama sejajar dengan katagori psikologi pendidikan, psikologo olah raga dan psikologi lainnya. Pandangan psikolog-psikolog pada awal perkembangan, lebih sering mengilustrasikan perhatidan bahwa tidak adanya ketelitian dalam psikologi agama, bahwan timbul kecurigaan dalam sebuah fenomena keagamaan dengan persoalaan yang komples. Maka, persoalan tersebut telah merumuskan perbedaan yang menjadi dua; Pertama, psikologi religius, adalah mengakui adanya rahasia (sacred). Hal ini menjelaskan bagaimana seseorang memiliki pengalaman yang dianggap sebagai dasar hubungan wilayah transempiris. Kedua, psikolog nonreligius, adalah kecenderungan bagaimana menjelaskan realitas transempiris yang memiliki porsi kurang hemat disbanding penjelasan yang tanpa memuat realitas transempiris. Sehingga dalam pembahasan ini dibedakan menjadi 2 (dua) macam psikologi yaitu psikologi agama (psychology of religion), Psikologi agama (psychology of religion); mengacu pada penerapan metode-metode dan data psikologis ke dalam studi tentang keyakinan, pengalaman, dan sikap keagamaan. Dan psikologi keagamaan (religious of psychology), Psikologi keagamaan (religious of psychology); mengacu pada penggunaan metode dan data psikologis oleh orang yang agamis dengan tujuan memperkaya dan atau membela keyakinan-keyakinan, pengalaman, dan perilaku keagamaan. Wilhelm Wundt, sebagai seorang psikologis, telah memberikan kata sepakat terhadap perkembangan pendekatan psikologis dalam studi agama. Wilhelm Wundt, telah mendirikan sebuah laboratorium Psikologis di Universitas Leipzig pada tahun 1879. Kemudian, Wilhelm Wundt, pada tahun 1979, telah mendapatkan penghargaan medali perak oleh Asosiasi Psikologi Amerika, dari hasil karyanya yang berjudul “suatu abad psikologi ilmiah” (a century of scientific psychology). Kemudian, ada seorang toko psikologi agama abad kontemporer yang bernama William James, telah menuliskan karyanya: The Principles of Psychology dan The Varieties of Religious Experience. Yaitu, prinsip-prinsip psikologi dan beberapa jenis keagamaan.



10



Karya kedua di atas ini telah menjadi sebuah pemikiran yang isi darinya saling melengkapi satu sama lain. Karakteristik pendekatan psikologis di Amerika pada awalnya adalah psikologi agama yang menggunakan metodologi kualitatif dan kuantitatif. Seorang psikiatris yang bernama Janet melakukan kajian pengembangan konseptual psikologi neorosis, obsesi, dan histeria. Hasil dari pemikirannya yang paling terkenal terhadap psikologi agama tentang konsep disosiasi (desegregation) yang telah diilustrasikan dengan penjelasan yang baik dalam bentuk teori neodisosiasi oleh Ernest Hilgard, kemudian telah diterapkan dalam pengalaman keagamaan oleh psikolog seperti John F. Schumaker. Figur-figur utama psikologi yang hampir secara eksklusif sebagai penjelajah-penjelajah Amerika adalah G.S. Hall, E.D. Starbuck, J.H. Leuba, dan William James. Figur-figur yang kurang terkenal namun tetap berpengaruh adalah E.S. Ames, G.A. Coe, dan J.B. Pratt, G.S. Hall mendirikan ''sekolah" psikologi agama pertama di Universitas Clark, di mana ia menjadi presidennya sejak tahun 1888-1920. Hall adalah yang mengundang Freud dan Jung ke Amerika tahun 1909. Spesialisasinya adalah pendidikan moral dan keagamaan anak-anak, suatu budaya yang sering dia kuliahkan selama tahun 1880-an. Karya-karyanya yang diterbitkan dalam bidang ini mencakup The Moral and Religious Training of Children (1882), The Religious Content of Child Mind (1900), Some Fundamental Principles of Sunday School and Bible Teaching (1901), dan dua volume teks Adolescence Its Psychology, and Its Relations to Physioløgy, Anthropology Sociology Sex, Crime, Religion, and Education (1904). Dia juga mendirikan jurnal pertama dalam bidang ini, American Journal of Religious Psychology and Education, yang dalam berbagai bentuk diterbitkan antara tahun 1904-1915. Hall agak dikalahkan oleh dua muridnya. E.D. Starburk dan J.H. Leuba. Starburk adalah psikolog yang sangat agamis, karyanya digambarkan sebagai tipikal pendekatan madzhab Clark. Salah satu tujuan utamanya adalah memudahkan rekonsiliasi antara agama dan ilmu. Sebaliknya Leuba sangat mengkritik konstruksi religius terhadap pengalaman dan kemungkinan masyarakat religius. Kemudian, Freud berpendapat bahwa kajian agama yang masuk dalam positifistik filosofis Prancis, Augusto Comte, yang mana telah memberikan sebuah istilah, yaitu; “sosiologi”, yang telah menganggap bahwa humanities memiliki tiga tahapah, secara perkembangan intelektual (psikoanalisis), yaitu; Tahap pertama adalah teologis yaitu dimana dunia dipahami dari sudut pandang Tuhan, jiwa, dan setan). Tahap kedua, yaitu metafisik adalah dunia dipahami



11



dari sudut pandang abstraksi filosofis seperti esensi dan substansi. Tahap ketiga, ilmiah atau tahap positif yaitu dimana dunia dipahami melalui prinsip-prinsip ilmiah. Permasalahan serta perdebatan dalam konteks pendekatan psikologi terhadap pemahaman agama adalah untuk memunculkan pertanyan yang bersifat universal yang menuntut respon multiperspektif. Dalam teori Oedipus Complex merupakan inti dari psikoanalisis Freudian, menurutnya, memiliki berbagai pemahaman yang dapat dianggap bahwa akar-akar agama terdapat dalam psike manusia harus, yang mana harus mempertimbangankan bagaimana Oedipus Complex, apakah memang diperlalukan dalam masyarakat manusia klasik, dan bagaimana hal ini bisa muncul dan diolah dalam kehidupan individual masyarakat. Adapun LB. Brown dan J.E Dittes, memberikan argumentasi bahwa; orientasi Intrinsik dan Ekstrinsik menyerupai karakteristik personalitas yang selalu hadir pada orientasi religius. Dan, pandangan lain menurut Hunt dan King, bahwa satu-satunya definisi religiusitas ekstrinsik yang dapat diterima secara faktoris dtarik dari 6 (enam) item Feagin, bahwa “I” sebagai dimensi religius yang harus ditinggalkan sebagai akumulasi sebuah pemikiran. Pendekatan Sosiologis (Sociology Approach) Michael S. Northcott Pandangan Michael dalam pendekatan sosiologis dalam studi agama memiliki perhatian pada hubungan antara agama dan masyarakat. Pendekatan ini sangat berhubungan pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk agama. Agama menurut sosiolog adalah salah satu bentuk konstruksi sosial Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinan-keyakinan, dan perilaku religius. Kritik terhadap studi agama dalam perspektif sosiologis menyatakan bahwa fokus sosiologi pada konstruksi, dan interaksi sosial terhadap watak dan kekuatan yang khas dari keyakinan dan ritual keagamaan. Dengan kata lain studi agama yang berperspektif sosiologis menyatakan bahwa fokus sosiolog terhadap imanensi dengan mengesampingkan transendensi. Kemudian telah dijumpai beberapa karya-karya perkembangan sejarah sosiologis, oleh founding fathers sosiologi, seperti; Comte, Durkheim, Marx, dan Weber, yang melihat bagaimana wacana teologis atas studi perilaku dan sistem keyakinan keagamaan. Kemudian dijumpai pada pertengahan abad ke-20, sosiolog-sosiolog Eropa dan Amerika Utara, melihat agama memiliki signifikansi marginal dalam dunia sosial.



12



Menurut Comte dan Henri Saint-Simon, yang mana mereka dianggap sebagai pendiri sosiologi, memberikan pandangan bahwa sosiologi mengikuti jejak ilmu alam. Observasi empiris terhadap masyarakat manusia akan munculkan dalam sebuah kajian rasional dan positivistic, hal ini akan berkaitan dengan kehidupan sosial yang akan memberikan prinsip-prinsip pengorganisasian ilmu kemasyarakatan. Maka, pada masyarakat modern, sosiologi seakan dapat menggantikan teologi sebagai sumber mabadi-mabadi dan natijah-natijah bagi kehidupan manusia yang bersosial. Pada perkembangan, Durkheim dalam hal memberikan sebuah analisis dari hasil karya klasiknya The Elementary Forms of the Religious Life, dimana karya ini menjelaskan bagaimana fungsi agama secara sosial yang merupakan sebuah “prinsip totemik”, memilikiki hubungan serta saling mempengaruhi antara keyakinan dan praktik religius dengan tabiat watak kesukuan. Juga, Durkheim memberikan penjelasan bahwa; pembedaan ritual dan doktrinal antara yang sacred dan profan, dimana agama memiliki fungsi sebagai wadah untuk menjembatani ketegangan dalam solidaritas sosial, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada tantangan yang mengancam kelangsungan hidup dari penyimpangan atau pemberontakan suku ataupun bencana alam. Sehingga agama merupakan sumber yang memiliki keteraturan sosial dan moral, membentuk individu-individu masyarakat dalam usaha sosial bersama, serta memiliki nilai, dan tujuan sosial. Arti dari sacred, adalah; bentuk sakralisasi dan perayaan yang bersifat keagaamaan yang berkaitan terhadap dunia sosial yang menjadikan sumber hukum atau disebut nomos dan keteraturan sosial otoritatif bagi suku itu yang dibutuhkan dalam suatu Negara. Begitu juga dengan pendapat Karl Marx, bahwa; agama dianggap produk sosial dan agen keteraturan sosial dalam masyarakat pra-modern, tetapi Karl Marx memberikan penambagan bahwa agama adalah candu, yang membius rakyat dalam suasana ketertindasan, dimana adanya pahala sebagai sebuah janji pada kehidupan akhirat, atau memberikan jalan keluar ritual agam agar dapat mencapai kebahagiaan yang absolut sebagai imbalan bagi mereka yang memiliki status rendah dan adanya penindasan. Kemudian pandangan lain Max Weber, bahwa agama bukan hanya sekedar produk sosial, atau hanya sebagai wujud kemampuan manusia untuk membentuk masyarakat, namun, lebih merupakan sebagai sumber ide dan praktik yang mentransedenkan dunia sosial yang imanen, agam juga sebagai sumber perubahan dan tantangan sosial, sumber keteraturan sosial dan legitimasi status quo. Sehingga Max Weber dianggap sebagai tokoh “Sosiologi Agama”, karena karyanya yang berjudul The Sociology of Religion, yang mengkaji secara



13



extensive dan komparatif mengenai interaksi agama dan organisasi sosial. Sedangkan sejarah pembelajaran dari Max Weber, mengenai hubungan antara agama dan kapitalisme, telah dijelaskan dalam karyanya yang lain, dengan judul The Protestant and Spirit of Capitalism, tr Talcott Parson (London: George Allen and Unwim, 1930), buku ini memberikan keterangan mengenai arti dan kegiatan agama yang lebih luas pada sebuah komuditas masyarakat. Karakteristik dasar pendekatan sosiologis dirangkai dalam kategorikategori sosiologis, meliputi: stratifikasi social, seperti kelas dan etnisitas. Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanakkanak, dan usia. Pola organisasi social meliputi politik, produksi, ekonomis, sistem-sistem pertukaran, dan birokrasi. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan globalisasi. Kemudian pada perkembangan karakteristik sosiologis telah diteruskan oleh Bryn Wilson, melalui pendekatan fungsionalis dalam sosiologi agama, membuat pembedaan yang berguna antara fungsi manifest dan fungsi laten agama. Fungsi manifest agama merupakan alat untuk memberikan penyelamatan setiap gender laki-laki dan perempuan, dan khususnya penyelamatan identitas personal. Selain itu juga menerangkan perkara yang belum jelas dari reaksi saintinisme dan rasionalisme modernitas, sehingga timbul kekuatan suprarasional meliputi “ada spiritual” (ekstraterestial). Didalam sebuah teoritisasi sosiologis, telah menggunakan paradigm dan konseptualisasi analogis tentang dunia sosial, dimana hal ini memiliki dasar pada sebuah tradisi sosiologis maupun refleksi atas data empiris, data empiris diperoleh melalui investigasi historis dan penelitian sosial kontemporer. Dalam sebuah penelitian sosial yang ada pada era kontemporer, secara prinsipil memiliki perbedaan dua hal; yang pertama adalah, diistilahkan sebagai, generic; yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. Pada pendekatan kuantitatif dalam sosiologi agama disandarkan pada skala besar survey terhadap keyakinankeyakinan keagamaan, nilai-nilai etis dan praktik-praktik keagamaan. Adapun, pada pendekatan kualitatif dalam penelitian sosial terhadap agama disandarkan pada studi komunitas-komunitas atau jama’ah keagamaan dalam skala kecil (congregational) dengan menggunakan metode seperti pengamatan partisipan atau wawancara mendalam (in depth interview). Persoalan dan perdebatan dalam pendekatan sosiologis kontemporer adalah antara pembeda dan penentang tesis sekulerisasi yang mendominasi teori sosial sejak Comte dan Durkheim. Bentuk sekulerisasi memiliki acuan pada proses dimana agama kehilangan dominasi atau signifikansi sosial dalam masyarakat.



14



Mundurnya pengaruh agama dapat diamati dengan indicator-indikator sebagai berikut: Kemunduran partisipasi dan aktifitas upacara-upacara keagamaan. Kemunduran keanggotaan organisasi keagamaan. Kemunduran pengaruh institusi keagamaan dalam kehidupan institusi sosial. Berkurangnya otoritas yang dimiliki dan menurunnya keyakinan terhadap ajaran-ajaran keagamaan. Berkurangnya ketaatan privat, doa dan keyakinan. Kemunduran otoritas tradisional yang didukung oleh nilai-nilai moral secara keagamaan. Berkurangnya professional-profesional keagamaan, lapangan pekerjaan, dan anti klerekalisme (menentang paham campur tangan rohaiwan/hegemoni tokoh agama). Privatisasi atau sekulerisasi internal terhadap ritual-ritual dan sistem keyakinan keagamaan. Pendekatan Teologis (Theology Approach) Frank Whaling Pendekatan Teologis memiliki kompleksitas tersendiri apabila dihubungkan dengan stuudi keagamaan, hal ini memiliki bahasa tertentu, diantara lain; pertama, seseorang mesti mengetahui apa yang dimaksud “teologi” dan “studi keagamaan”, kedua, seorang individu akan meneliti keterkaitan antara teologis dan studi keagamaan, ketiga, seseorang akan meneliti berbagai pendekatan teologis dalam studi agama, teologi agama-agama (theologies of religions), yaitu teologi agama (theology of religion) dalam tradisi keagamaan particular, teologi agama (theology of religion) dalam membangung teologi agama yang universal, dan teologi agama global (a global theology of religion) yaitu situasi global dalam kompleksitas moral, manusia, dan natural yang dikonsep secara teologi tradisi yang mengarah pada perkembangan situasi global dan bagimana pengaruhnya kepada setiap individu masyarakat. Dalam sejarah intelektual Barat, hubungan antara telogi dan studi agama dan keagamaan memiliki tiga (3) model dominan; pertama, model humanitas (humanity) orang Yunani menyebut paideia, titik tekannya pada literatur dan manusia, filsafat, sejarah, etika, geografi, dan bahasa. Kedua, model yang membahas gagasan transendensi, fokus memediasikan dan keyakinan atau intensionalitas dalam teologi. Ketiga, model formulasi doktrinal. Pentingnya dalam melihat contoh-contoh khusus dari pendekatan teologis dalam studi agama, yaitu: teologi agama-agama (theologies of religions), teologi-teologi agama (theologies of religion), teologi agama (theology of religion), teologi global agama-agama (global theology of religions). Terakhir penjelasan disini ada penjelasan mengenai sikap teologis dalam tradisi keagamaan, yang memiliki tujuh sikap, antara lain; 1). Eksklusivisme,



15



yaitu; asumsi dari sebuah pandangan bahwa posisi seseorang akan lebih benar dibanding yang lain, tidak ada kompromi dengan kebenaran posisi tradisi lain. 2). Diskontinuitas, yaitu; antara posisi seseorang dengan orang lain. 3). Sekularisasi dan spiritualisasi, yaitu; posisi yang bersifat sosiologis dan teologis dan menghasilkan suatu respon pada tingkat spiritualitas. 4). Penyempurnaan, yaitu; merupakan sikap teologis yang kuat dalam seluruh tradisi, dimana seluruh tradisi agama memiliki akses pada transendensi, kebenaran, dan pandangan spiritual. 5). Universalisasi, yaitu; suatu langkah lebih maju dibanding teologi penyempurnaan. 6). Dialog, yaitu; bukanlah merupakan pendekatan teologis terhadap tradisi keagamaan lain sebagai suatu upaya berhubungan dan bergaul secara berdampungan dengan tradisi-tradisi lain. 7). Relativisme, yaitu; memiliki keluasan, dan menekankan pandangan ini lebih dari agama-agama lain. Perkara inilah yang menjadikan alat sebagai pemahaman teologis secara akademisi.



16