Anestesi TIVA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CASE REPORT ANASTESI GENERAL DENGAN TOTAL INTRAVENA PADA TINDAKAN EKSTIRPASI TERHADAP PASIEN LIMFADENOPHATI AXILLA DEXTRA Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Pembimbing : dr. E. Cendra Praman Widyanaputra, Sp. An.



Disusun Oleh : Kurnia Yuniati, S. Ked. (J510155078) Rahayu Prabaningtyas, S. Ked. (J510155046)



KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI RSUD SUKOHARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015



CASE REPORT ANASTESI GENERAL DENGAN TOTAL INTRAVENA PADA TINDAKAN EKSTIRPASI TERHADAP PASIEN LIMFADENOPHATI AXILLA DEXTRA Oleh : Kurnia Yuniati, S. Ked. (J510155078) Rahayu Prabaningtyas, S. Ked. (J510155046) Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pada



November 2015



Pembimbing dr. E. Cendra Praman Widyanaputra, Sp. An.



(................................)



Dipresentasikan di Hadapan dr. E. Cendra Praman Widyanaputra, Sp. An.



(................................)



Disahkan Oleh Ka Profesi : dr. Dona Dewi Nirlawati



(.................................)



BAB I LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. DY Jenis Kelamin : Perempuan Umur : 32 tahun Alamat : Nguter, Sukoharjo Agama : Islam Pekerjaan : Swasta No. RM : 282### Tanggal operasi : 10 November 2015 B. ANAMNESIS 1. Keluhan Utama Nyeri pada ketiak kanan 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien kiriman poli bedah umum dengan keluhan nyeri pada ketiak kanan. Pasien mengatakan pada ketiak kanan terdapat benjolan. Benjolan tersebut besarnya sekitar 1 ruas jari. Benjolan muncul sejak 2 bulan yang lalu. Awalnya, benjolan tersebut tidak terasa sakit, namun dalam 1 bulan terakhir benjolan mulai terasa nyeri dan semakin nyeri hingga pasien periksa ke dokter. BAK/BAB dalam batas normal. 3. Riwayat Penyakit Dahulu  Riwayat hipertensi : disangkal  Riwayat DM : disangkal  Riwayat asma : disangkal  Riwayat alergi : disangkal  Riwayat penyakit jantung : disangkal  Riwayat penyakit hati : disangkal  Riwayat penyakit ginjal : disangkal



4. Riwayat Penyakit Keluarga  Riwayat hipertensi : disangkal  Riwayat DM : disangkal  Riwayat asma : disangkal  Riwayat alergi : disangkal 5. Riwayat Obat-obatan  Obat kortikosteroid : disangkal  Obat antihipertensi : disangkal  Obat antidiabetik : disangkal  Obat antibiotik : disangkal  Obat penyakit jantung : disangkal 6. Riwayat Operasi dan Anestesi : disangkal 7. Kebiasaan Sehari-hari  Merokok : disangkal  Konsumsi alkohol : disangkal 8. Anamnesa Sistem  Sistem serebrospinal : nyeri kepala (-), pusing (-), demam (-)  Sistem respirasi : batuk (-), pilek (-), sesak nafas (-)  Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)  Sistem pencernaan : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-)  Sistem urogenital : BAK dbn  Sistem musculoskeletal : gerak bebas  Sistem integumentum : ikterik (-), sianosis (-), akral hangat (+) C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Sistem Generalis  Keadaan umum : baik, tidak tampak kesakitan  Gizi : kesan gizi cukup  Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6  BB : 54 kg 2. Vital Sign  TD : 140/80 mmHg  N : 88x/menit  RR : 18x/menit  S : 36,8°C 3. Status Lokalis a. Kepala  Bentuk : mesosefal, simetris, deformitas (-),tanda trauma (-)  Rambut : hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut  Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)  Mulut : tidak ada gangguan dalam membuka rahang,



tampak arkus faring, uvula dan palatum molle, darah (-), susunan gigi baik b. Leher  Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-) c. Mallapati  Gradasi I (pallatum molle, istmus faucium dan uvula terlihat jelas) d. Thorax  Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi



: iktus kordis tidak tampak : iktus kordis tidak kuat angkat : batas jantung dalam batas normal : bunyi jantung I-II regular, bising (-)







Pulmo Inspeksi



: simetris, tanda trauma (-) ketinggalan gerak (-), retriksi (-) Palpasi : fremitus kanan = kiri Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru Auskultasi : vesikuler (+) normal, suara tambahan (-) e. Abdomen Inspeksi : simetris, sejajar dengan dinding thorax, sikatrik (-) Auskultasi : peristaltic (+) normal Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri tekan lepas (-), tidak teraba masa (-), hepar dan lien tidak teraba. Psoas sign (-), Obturator sign (-), Rovsing sign (-), Blumberg sign (-) Perkusi : timpani, pekak beralih (-) f. Ekstremitas  Akral hangat  Edema (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)



D. PEMERIKSAAN TAMBAHAN a. Laboratorium Darah Rutin Pemeriksaan Lekosit Hemoglobin Hematokrit Index eritrosit MCV MCH MCHC Trombosit RDW-CV Waktu pendarahan Waktu pembekuan Golongan darah GDS Ureum Kreatinin HBsAg b. Pemeriksaan Radiologi Foto thorax AP :



Hasil 9,9 12,7 37,7



Nilai Rujukan 3,6 – 11,0 µL 11,7 – 15,6 g/dL 35 – 47 %



85,3 28,7 33,7 282 12,1 2’ 3’ B 77 25,8 0,63 Non reaktif



69 – 93 fL 22 – 34 pg 32 – 36 g/dL 150 – 450 µL 11,5 – 14,5 % 1 – 3 menit 8 – 18 menit 70 – 120 mg/dL 10 – 50 mg/dL 0,50 – 0,90 mg/dL



  



Cor : Tidak membesar Pulmo : Corakan bronchovaskuler meningkat Hilus pulmo kanan dan kiri tenang Diafragma dan sinus baik Kesan : Pulmo tenang



E. DIAGNOSIS Limfadenopati axilla dextra F. KESIMPULAN  Berdasarkan sistem fisik, diklasifikasikan dalam ASA I (pasien normal 



yang sehat) ACC operasi dengan General Anaesthesia Total Intravena(TIVA)



G. PENATALAKSANAAN Terapi operatif : ekstirpasi H. TINDAKAN ANESTESI 1. Pre operatif  Informed consent / persetujuan tindakan operasi dan anestesi  Pasien puasa < 6 jam pre operatif, penting untuk mencegah aspirasi 



lambung dari regurgitasi dan muntah Keadaan umum dan vital sign baik (TD 140/80 mmHg, N 88x/menit,







RR 18x/menit, S 36,8°C) Managemen terapi cairan :



-



-



-



Pengganti puasa (PP)  (pasien 60 kg): = lama puasa (jam) x BB = 6 jam x 60 kg = 360 cc  Pasien telah mendapat 400 cc cairan sebelum operasi dimulai  cairan pengganti puasa terpenuhi Maintenance (M)  (pasien 60 kg) : 10 kg pertama x 4 cc/kgBB = 40 cc 10 kg selanjutnya x 2 cc/kgBB = 120 cc 40 kg selanjutnya x 1 cc/kgBB = 40 cc  Jumlah cairan maintenance = 200 cc Stresss operatif (SO)  (jenis operasi sedang) : = 4 cc x 60 kg = 240 cc Perdarahan Penggantian cairan selama operasi Jam I = ½ x PP + M + SO Jam II = ¼ x PP + M + SO Jam III = ¼ x PP + M + SO



 Jam I = 180 cc + 200 cc + 240 cc = 620 cc 2. Peri operatif  Pasien masuk ke ruang OK, diposisikan di atas meja operasi, diukur lagi tekanan darah, nadi, respirasi dan saturasi (TD : 163/94 mmHg, N 















: 90x/menit, RR : 22x/menit, SPO2 : 99%) Persiapan obat yang digunakan : - Midazolam dosis premedikasi 0,05 mg x 60 kg = 3 mg - Ketamin dosis induksi 1-2 mg x 60 kg = 60 mg - Propofol dosis induksi 2-3 mg x 60 kg = 120 mg - Fentanyl 1-3 mg x 60 kg = 60 mg - Ondancetron 8 mg - Ketorolac 30 mg Premedikasi 12.00 pasien diberi injeksi midazolam 1 mg IV sebagai sedasi dan diberikan ondancetron 8 mg IV sebagai antiemetik Induksi - 12.03 injeksi ketamin 60 mg, propofol 100 mg, fentanyl dan Tingkat kedalaman anestesi dinilai dari hilangnya reflek bulu mata. - 12.10 operasi dimulai Maintenance Maintenance dengan O2 2L/menit untuk menjaga respirasi



Tabel perubahan tekanan darah, nadi, respirasi rate dan saturasi O2 Waktu 12.10 12.20 12.30



TD (mmHg)



HR



RR



Sp O2 (%)



160/95 156/78 144/69



(x/menit) 98 95 89



(x/menit) 18 22 20



99 98 99



 12.30 operasi selesai 3. Post operatif  Setelah operasi pasien dipindahkan ke recovery room  Monitoring keadaan umum pasien dengan alderette score - Kesadaran : dapat dibangunkan tapi cepat tidur =1 - Warna kulit : merah muda =2 - Aktivitas : dapat menggerakkan semua ekstremitas = 2 - Respirasi : sanggup nafas dalam dan batuk =2 - Kardiovaskuler : TD deviasi 20% dari normal =2  Total alderette score =9  Kriteria pindah dari recovery room ke bangsal jika alderette score ≥8 dan tanpa ada nilai 0 atau alderette score >9, maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI General anesthesia atau anestesi umum adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh obat – obatan. Menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Selama anestesi umum, seseorang dalam keadaan tidak sadar namun bukan dalam keadaan tidur sebenarnya. Anestesi umum dengan efeknya di atas memungkinkan untuk digunakan dalam operasi atau pengobatan lainnya yang mempunyai rasa sakit yang tidak bisa ditolerir. Perbedaan dengan anestesi lokal antara lain, pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat sedang anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh saraf perifer, sedang pada anestesi umum yang terpengaruh adalah saraf sentral dan anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran. B. MEDIKASI Di dalam prakteknya, obat – obat anestesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui inhalasi, atau parental, ada pula yang dimasukkan melalui rektal tetapi jarang dilakukan. 1. Obat inhalasi antara lain:  N₂0  Halothan  Enflurane  Ether  Isoflurane  Sevoflurane  Metoxiflurane  Trilene



2. Obat melalui parental antara lain:  Intravena antara lain penthotal, ketamin, propofol, etomidat dan golongan benzodiazepin  Intramuskular antara lain ketamin. 3. Obat melalui rectal antara lain:  Etomidat (dilakukan untuk induksi anak). Beberapa obat – obatan yang paling sering digunakan pada anestesi umum adalah:  Propofol, membuat hilangnya kesadaran (induksi), pada dosis terendah akan memberikan sensasi nyaman (sedasi) bukan kehilangan 



kesadaran. Benzodiazepin, sangat baik dalam menurunkan kecemasan (ansiolisis)



 



sebelum operasi. Narkotika, untuk mencegah dan mengobati nyeri. Agen inhalasi, dihirup bersamaan dengan gas yang yang mengandung







oksigen. Antiemetik, NSAID, muscle relaxant, dan obat – obatan vasoaktif. Beberapa faktor yang mempengaruhi general anesthesia atau anestesi



umum antara lain: 1. Faktor respirasi Diperlukan tekanan parsial pada alveoli dengan sirkulasi darah agar terjadinya difusi obat anestesi. Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada edema pulmo dan fibrosis paru. Makin tinggi perbedaan tekanan parsial makin tinggi terjadinya difusi.



2. Faktor Sirkulasi Blood gas partition coefisien adalah rasio konsenterasi zat anestesi dalam darah dan dalam gas yang keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi atau BG koefisien tinggi maka obat berdifusi cepat larut dalam darah. Sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat etrjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya pasien mudah tidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri. 3. Faktor Jaringan Yang menentukan antara lain: 



Perbedaan tekanan parsial obat anestesi di dalam sirkulasi



darah dan di dalam jaringan.  Kecepatan metabolisme obat.  Aliran arah dalam jaringan.  Tissue/blood partition coefisien. 4. Faktor Zat Anestesi Zat – zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda – beda dengan ukuran MAC (minimal alveolar concentration). MAC adalah konsenterasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra maksimal pada 50% pasien, atau dapat diartikan sebagai konsenterasi obat inhalasi dalam alveolu yang dapat mencegah respon terhadapa incisi pembedahan pada 50% individu. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.



C. STADIUM ANESTESI Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether. 1. Stadium I disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil bisa dilakukan. 2. Stadium II disebut juga stadium delirium atau eksitasi. Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pasien bisa meronta – ronta, pernafasan ireguler, pupil melebar, refleks cahaya positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks fisiologis masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang – kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. 3. Stadium III disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4 plana: Plana I: dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Plana II: dari berhentinya gerkan bola mata sampai permulaan paralisa otot interkostal. Plana III: dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot interkostal. Plana IV: dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma. 4. Stadium IV juga disebut stadium over dosis atau stadium paralysis. Dimulai dari paralisa diafragma sampai apneu dan kematian.



D. KOMPLIKASI Efek samping paling sering dari anestesi umum adalah mual dan muntah setelah operasi. Beberapa orang mungkin mengalami sakit tenggorokan dan kerusakan pada gigi, gusi, lidah ataupun plica vokalis akibat masuknya endotracheal tube kedalamnya. Komplikasi paling serius dan paling jarang adalah malignant hyperthermia, serangan jantung, stroke, atau kematian. Hal tersebut dapat terjadi pada pasien dengan gangguan jantung, hipertensi, diabetes, penyakit ginjal, dan atau penyakit paru.



ANESTESI TOTAL INTRAVENA (TIVA)



A. DEFINISI Anestesi total intravena adalah teknik anestesi dimana induksi dan rumatan anestesi dicapai melalui obat-obatan yang diberikan lewat jalur intravena saja yang menghindari pemakaian agen volatile ataupun N2O. Pada teknik ini pasien dibiarkan bernafas spontan atau diberikan ventilasi dengan campuran oksigen dan air. TIVA sendiri pertama kali muncul pada awal tahun 1900 dan mulai popular digunakan di seluruh dunia sejak akhir abad 20, sekitar tahun 1990an. Konsep TIVA sendiri telah mengalami perkembangan dari induksi untuk anestesi umum menuju TIVA modern dimana sudah lebih dipahami farmakokinetik dan farmakodinamik obatobatan yang digunakan, dimana obat dapat secara akurat dititrasi dan diberikan lewat jalur intravena. B. KRITERIA OBAT UNTUK TIVA 1. Larut di dalam air sehingga penggunaan pelarut/solvent dapat dihindari 2. Obat tetap stabil meskipun terlarut dan terpapar cahahaya matahari 3. Tidak adsorpsi terhadap bahan-bahan plastik seperti infuse set 4. Tidak iritan terhadap vena (baik nyeri pada penyuntikan, vena phlebitis atau thrombosis) atau merusak jaringan ketika diberikan intravena maupun intraarterial 5. Menghasilkan hipnotik/tertidur dalam one arm circulation time 6. Mula kerja obat cepat dan diinaktifkan oleh metabolisme baik hati, darah maupun jaringan lain



7. Minimal efek terhadap kardiovascular dan respirasi C. OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN DALAM TIVA Beberapa obat anestesi intravena yang sering digunakan dalam praktek sehari-hari adalah propofol, ketamin, midazolam, dan dikombinasi dengan golongan opioid maupun ketamin dosis rendah.    Propofol Propofol menjadi obat pilihan induksi



anesthesia,



khususnya ketika bangun yang cepat dan sempurna diperlukan. Kecepatan onset sama dengan barbiturate intravena, masa pemulihan lebih cepat dan pasien dapat pulang berobat jalan lebih cepat setelah pemberian propofol. Kelebihan lainnya, pasien merasa lebih nyaman pada periode paska bedah disbanding anestesi intravena lainnya. Mual dan muntah paska bedah lebih jarang karena propofol mempunyai efek anti muntah. Propofol memberikan efek sedative hipnotik melalui intraksi reseptor GABAA. Resepor ini adalah neurotransmiter penghambat utama dalam susunan saraf pusat. Ketika reseptor GABAA diaktifkan, maka konduksi klorida transmembran akan meningkat, mengakibatkan hiperpolarisasi membrane sel postsinap dan hambatan fungsional dari neuron postsinap. Interaksi propofol dengan komponen spesifik reseptor GABAA



terlihat mampu



meningkatkan laju disosiasi dari penghambat neurotransmiter, dan juga mampu meningkatkan lama waktu dari pembukaan klorida yang diaktifkan oleh GABA dengan menghasilkan hiperpolarisasi dari membrane sel. Pemberian propofol 1.5-2.5 mg/kg IV (setara dengan thiopental 4-5 mg/kg IV atau metoheksital 1,5 mg/kg (IV) sebagai injeksi IV (< 15 detik), mengakibatkan ketidaksadaran dalam 30 detik dan efek maksimum diperoleh dalam 1 menit. Pulih sadar dari dosis tunggal juga cepat disebabkan waktu paruh distribusinya (2-8) menit.    Fentanil Fentanil adalah suatu agonis opioid sintetik derivatifphenylpiperidine yang secara struktural terkait dengan meperidin.



Sebagai analgesik, fentanil 75-125 kali lebih kuat dari morfin.Opioid agonis menghasilkan analgesia melalui ikatannya dengan reseptor spesifik yang terdapat di otak dan medula spinalis dan terlibat dalam transmisidan modulasi nyeri. Ketika pemberian fentanil intravena secara multiple atau saat pemberian obat melalui infuse kontinyu dapat terjadi penurunan konsentrasi obat inaktif pada jaringan paru. Singkatnya, konsentrasi fentanil di plasma tidak akan menurun dengan cepat dan kerjanya sebagai analgetik sama halnya dengan depresi dari ventilasi yang dapat terjadi lebih lama. Pada operasi bypass jantung dapat menyebabkan efek fentanil yang menurun yang disebabkan oleh hemodilusi, hipotermi dan aliran darah yang tidak fisiologis, serta respon inflamasi sistemik oleh batang otak didaerah nucleus solitaries, nucleus dorsal vagal, nuckleus ambigus, dan nucleus parabrachial, terutama reseptor mu, sehingga bila diberikan agonis akan menyebabkan hipotensi dan bradikardi. Selain itu juga terdapat mekanisme analgesia yang dimiliki oleh daerah ventrolateral periaqueductal gray. Reseptor yang terdapat pada jalur hipotalamuspituitary-adrenal yang dimodulasi oleh opioid juga berperan pada stess response. Fentanil secara klinis dapat digunakan dengan rentang dosis yang besar, sebagai contoh pemberian fentanil dosis rendah 1-2 µg/kgBB intravena memberi efek analgetik. Fentanil dosis 2-20 µg/kgBB intravena dapat menumpulkan respon simpatetik, contohnya pada tindakan laringoskopi untuk intubasi trakea ataupun pada stimulasi akibat pembedahan. Waktu yang dibutuhkan



oleh



penyuntikan fentanil intravena dan pencegahan berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan saat tercapainya obat ke target organ hingga memberi efek. Penyuntikan fentanil 1,5-3 µg/kgBB intravena 5 menit sebelum induksi anestesi akan menurunkan kebutuhan gas inhalasi anestesi serta respon simpatetik akibat stimulasi pembedahan. Pemberian dosis besar fentanil 50-150 µg/kgBB intravena dapat



digunakan secara tunggal untuk anestesia pembedahan. Keuntungan pemberian dosis besar fentanil bagi anestesi, antara lain : efek depresi miokard, yang langsung lebih sedikit, pengeluaran histamine tidak dijumpai dan stress respon pembedahan dapat ditekan. Kerugian penggunaan fentanil sebagai anestesi tunggal, antara lain : kegagalan pencegahan respons simpatetik terhadap stimulasi pembedahan, khususnya pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang baik kemungkinan pasien bangun dan penurunan fungsi ventilasi paska operatif.    Ketamin Ketamin,2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamino)cyclohexanonehydro-chloride, suatu arylcycloalkylamine yang secara struktural



berhubungan



dengan



phencyclidine



(PCP)



dan



cyclohexamine. Ketamin adalah obat yang menghasilkan anestesi disosiasi, yang kemudian ditandai dengan disosiasi diantara talamikortikal dan sistem limbik. Anestesi disosiasi meyerupai kondisi kataleptik dimana mata masih tetap terbuka dan adanya nistagmus yang lambat. Pasien tidak dapat berkomunikasi, meskipun dia tampak sadar. Refleks-refleks masih dipertahankan seperti refleks kornea, refleks batuk dan refleks menelan, namun semua refleks ini tidak boleh dianggap sebagai suatu proteksi terhadap jalan nafas. Variasi tingkat hipertonus dan gerakan otot rangka tertentu seringkali terjadi dan tidak tergantung dari stimulasi bedah. Ketamin mempunyai efek sedatif dan analgetik yang kuat. Pada dosis subanestesi



ketamin



menghasilkan efek analgetik yang memuaskan. D. INDIKASI TIVA 1. Sebagai alternative agen volatil. 2. Untuk situasi dimana anestesi konvensional sulit untuk dikerjakan misalnya pada operasi di medan perang, ataupun pada setting daerah yang kurang peralatan anestesi dan obat -obat anestesi



3. Pada keadaan dimana gas N2O tidak diperbolehkan atau kontraindikasi relatif, misalnya pada operasi yang membutuhkan konsentrasi inspirasi O2 yang tinggi, middle ear surgery.



DAFTAR PUSTAKA 1. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi, EGC, 1994, Jakarta. 2. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, Anestesiologi, 1989, Jakarta. 3. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology 2nd ed. Prentice-Hall International Inc, 1996; p 625-35. 4. Muhardi Muhiman, Said Latief, Gunawan Basuki. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI. Jakarta : CV Infomedika, 1989 ; 935.



102. Said Latif, Kartini Suryadi, Ruswan Dachlan. Petunjuk Praktis Anestesiologi. ed 2.Bagian Anestesiologi Dan Terapi Intensif FK UI. Jakarta, 2007 ; 9-33.