Anjar Anastasia - Everything I Do [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

http://facebook.com/indonesiapustaka



http://facebook.com/indonesiapustaka



http://facebook.com/indonesiapustaka



http://facebook.com/indonesiapustaka



Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana: Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



http://facebook.com/indonesiapustaka



Anjar Anastasia



Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta



EVERYTHING I DO oleh Anjar Anastasia GM: 312 01 15 0012 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29–33, Jakarta 10270 Desain sampul oleh: Orkha Creative Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, 2015 www.gramediapustakautama.com Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.



ISBN: 978 - 602 - 03 - 1390 - 0



http://facebook.com/indonesiapustaka



184 hlm; 20 cm



Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan



Untuk tempat kota saya berkembang dan tumbuh, Bandar Lampung, beserta semua



http://facebook.com/indonesiapustaka



kenangan dan semangatnya.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Bab 1



S



IAPA yang tidak mengenal Fyanti? Cewek cantik itu duduk di kelas dua belas SMA Sukacita yang terkenal seantero Bandung. Selain karena banyak anak pejabat dan artis-artis terkenal



bersekolah di sana, SMA itu juga dikenal sebagai gudangnya para juara pelajaran. Dari juara lokal daerah sampai nasional. Internasional malah. Salah satunya, ya si Fyanti ini. Fyanti merupakan anak pengusaha terkenal di Jawa Barat. Papanya, Ferdian Sukmana, punya usaha garmen di beberapa



http://facebook.com/indonesiapustaka



kota. Kalau kita menyebut nama Pak Ferdian, orang Bandung pasti langsung ngeh dengan factory outlet yang bertebaran di banyak jalanan besar Bandung. Ya, dari segitu banyak FO, sebagian besar milik papa Fyanti.







Wuihhh… Fyanti nggak perlu repot-repot cari baju dong yaaa… Kalau mau baju model terbaru tinggal ke salah satu FO papanya, dapet deh. Makanya dari dulu, kalo ada apa-apa, Fyanti sering banget dimintai tolong teman-temannya untuk menjadi seksi repot perbajuan alias wardrobe. Dan, itu bukan pekerjaan yang susah karena Fyanti sudah hafal soal begituan. Tinggal bilang ke papanya, beres deh semua urusan. Tapi, bukan itu saja yang bikin Fyanti terkenal. Soal cantik mah emang nggak bisa dipungkiri. Dia kan pernah jadi model buat merek baju gitu. Memang sih, masih berhubungan dengan toko papanya. Tapi, dari situ dia jadi sering ikut pemotretan dan peragaan busana dalam berbagai kesempatan. Malah pernah sempat nongol di cover sebuah majalah remaja ibu kota. Bikin heboh deh tuh. Akhirnya, timbullah gosip, itu karena sokongan bokapnya. Habis, di satu halaman dalam majalah itu ada iklan besar salah satu toko terkenal sang bokap. Bikin curiga, kan? Namun, Fyanti nggak peduli. Soalnya setelah jadi gadis sampul di majalah ibu kota itu, masih ada juga majalah atau koran lokal yang mengekspos kecantikannya. Dan, itu tanpa http://facebook.com/indonesiapustaka



halaman iklan toko papanya. Selain cantik, Fyanti juga dikenal berotak encer alias pinter. Dari zaman SD, namanya selalu nangkring di tiga besar. Pernah tuh pas kelas lima, dia sakit tifus yang mengharuskannya nggak masuk sekolah nyaris dua minggu. Padahal saat itu akan ujian kenaikan kelas. Jelas paniklah orangtuanya. 



Meskipun bisa ulangan susulan, orangtua Fyanti tetap khawatir kalau anaknya tidak bisa mengerjakan soal karena sudah ketinggalan pelajaran selama sakit. Mereka kan nggak mau anaknya tinggal kelas. Sayangnya, ketakutan orang tua Fyanti nggak terbukti. Fyanti sukses mengerjakan soal ulangan susulan itu dengan baik. Malah, percaya nggak percaya, dia berhasil ranking dua di kelasnya dan rangking lima paralel di sekolahnya. Hebat. Jadi, kepintaran si cewek berambut bob dengan poni menyamping itu nggak perlu diragukan deh. Waktu SMP, dia malah langganan ikut cerdas cemat tingkat sekolahan. Oh ya, Fyanti ini anak tunggal. Nggak aneh sih kalau nyaris semua fasilitas bisa dia dapat. Sudah anak orang kaya, cantik, anak tunggal, bisa mendapatkan segalanya dengan mudah, pintar pula. Wuih, komplet rasanya! Siapa pula yang nggak iri melihat kehidupannya. Meski begitu, dalam pergaulan, Fyanti sama dengan cewek-cewek lainnya. Bahkan dari penampilan sehari-hari, nggak akan ada yang nyangka dia salah satu anak ”orang penting”. Fyanti memang nggak biasa berlaku seperti tuan http://facebook.com/indonesiapustaka



putri. Dia lebih senang tampil biasa-biasa saja. Makanya, teman-teman Fyanti pun beraneka ragam. Mulai bos-bos, teman papanya, sampai tukang becak yang ngetem di ujung jalan kompleks rumahnya. Para pembantu di rumahnya, yang berjumlah enam orang itu, juga sangat dekat dengannya. Itu bisa terlihat dari keseharian mereka di rumahnya yang besar dan megah. 



Fyanti sebenarnya lebih senang dipanggil nama, berhubung Oma-Opa yang serumah dengannya telanjur mengharuskan para pembantunya itu memanggil Fyanti dengan embel-embel ”Non”, jadi deh dia dipanggil ”Non Fyanti”. Hanya Bi Acih, pembantu yang sudah mengabdi pada keluarganya sejak papa-mamanya baru menikah, yang memanggil Fyanti dengan sebutan ”Neng Fyanti”. Itu pun harus pake izin khusus dari oma-opanya. Nah… Bi Acih ini orang Garut asli. Karena Garut itu masuk suku Sunda, maka dia punya ciri khas khusus banget orang Sunda. Ciri itu adalah penyebutan huruf F. Konon, abjad orang Sunda memang nggak ada huruf F. Jadi, kalau ada huruf itu, biasanya mereka melafalkannya dengan P. Tapi, kadang kebalik juga, huruf P dibaca F. Rada ribet juga jadinya. Karena itulah, Bi Acih terbiasa memanggil Fyanti dengan panggilan sayang, ”Neng Piyanti”. Meski udah diajarin beribu kali oleh keluarga besar Fyanti, tetep aja, panggilan sayang itu melekat dan menjadi ciri khas Bi Acih. Yah… meski sedikit risi, mau gimana lagi? Cuma Bi Acih-lah yang akhirnya diperbolehkan memanggil http://facebook.com/indonesiapustaka



si Non geulis satu itu dengan panggilan unik: Piyanti.



Hari ini akan ada dua ulangan. Ulangan Sejarah dan Bahasa Indonesia. Dua mata pelajaran hafalan dan rada boring. Beberapa anak mencap dua pelajaran itu sebagai pelajaran yang paling membosankan. 10



Untung saja Pak Januar sebagai guru Sejarah dan Pak Taslim sebagai guru Bahasa Indonesia punya trik sendiri, sehingga membuat mata pelajaran yang mereka ajarkan itu bisa masuk ke kepala muridnya. Jadi, tiap kali tugas atau ulangan, jarang sekali anak-anak didiknya mendapat nilai buruk atau bahkan sampai tidak naik kelas karena nilai merah di dua mata pelajaran itu. ”Uh, capek deh kalau tiap hari harus ulangan ngapal gini,” gerutu Ciska, teman sebangku Fyanti. ”Ya, untungnya nggak tiap hari, kan?” Fyanti balik bertanya. ”He-eh sih… Hmmm, jadi pengin cepet lulus deh. Pengin cepet kuliah kayak Bang Rivai, kakak gue. Enak banget kayaknya,” ujar Ciska lagi. ”Emang menurut lo, kuliah itu enak?” tanya Fyanti, jadi ingin tahu. ”Kalo liat dari sehari-harinya sih gitu.” Ciska menutup buku Sejarah-nya. Udah males kayaknya dia. Semalaman ngebut ngapalin. Udah biasa… SKS alias Sistem Kebut Semalam. ”Misalnya apa tuh?” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Kuliah bisa jam berapa aja tergantung jadwal. Pulangnya bisa cepet. Kadang-kadang aja lambat. Nggak ulangan tiap minggu. Malah kadang ulangannya boleh buka buku segala.” ”Wah, enak atuh bisa buka buku segala!” ”Iya. Apalagi buat murid kayak gue gini. Membantu banget.” 11



”Hehe…” Fyanti terkekeh sendiri. ”Terus, apalagi?” ”Oh ya, satu hal yang asyik banget.” Mata Ciska berbinar begitu mengingat hal yang akan dia utarakan. ”Kalo kita males kuliah, bisa tuh nitip absen.” ”Wah… Sumpe lo?” ”He-eh.” Ciska mengangguk-angguk mantab. ”Enak bangettt!” ”Iya. Makanya gue pengin cepet-cepet jadi mahasiswa.” Ciska semangat banget begitu mengutarakan keinginannya. ”Eh…” Mendadak Fyanti memetik jarinya. ”Gimana kalo sekali-kali kita nyamar jadi mahasiswa terus ikut perkuliahan mereka?” Mata Ciska membelalak. ”Lo udah gila?” ”Hehe…” Fyanti kembali terkekeh. ”Mau nggak?” ”Mau sih.” Ciska menggaruk-garuk kepalanya. ”Tapi gimana caranya euy?” Fyanti berpikir sejenak. Tak lama dia seperti mendapat ilham. ”Bokap gue kan salah satu anggota Yayasan Sekolah Tinggi Menejemen tuh. Dan orang-orang di sana udah tau http://facebook.com/indonesiapustaka



siapa gue. Jadi, kita bisa ke sana dan pura-pura kuliah.” ”Kalo ketauan sama orang sana?” ”Tenang aja, kan mereka udah kenal gue. Urusan itu mah, biar gue yang atur.” ”Boleh juga tuh!” ”Sep! Entar kalo waktunya tepat, kita laksanakan niat kita ini!” 12



”Oke bos.” Tanpa disuruh, telapak tangan Ciska langsung tertuju ke telapak tangan Fyanti, bertos. Kemudian mereka



http://facebook.com/indonesiapustaka



konsentrasi untuk mempersiapkan dua ulangan.



13



Bab 2



B



I ACIH sedang membereskan baju-baju di lemari Fyanti. Lemari yang memang sengaja disatukan dengan tembok ini rasanya sudah kelebihan isi. Segala



macam barang di dalamnya, terutama baju dan sepatu, membuat lemari itu tampak tidak teratur. Bi Acih yang diberi kepercayaan untuk selalu merapikan kamar Fyanti yang luasnya tiga kali lipat dari kamarnya sudah



14



kebingungan mesti gimana lagi. Berulang kali dia menggarukgaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesekali dia menggerutu



http://facebook.com/indonesiapustaka



tidak jelas. Kayaknya sudah kali ketiga dalam seminggu ini, Bi Acih membongkar-pasang susunan barang supaya semua muat dalam lemari itu. Tapi, kok ya tetap aja balik nggak rapi lagi.



Iya sih, kan tiap hari si Neng majikannya itu ganti baju (selain baju seragam). Pasti itu membuat susunan barang berubah. Apalagi Neng Piyanti-nya sering keluyuran selepas sekolah. Jadinya, sehari bisa ganti tiga kali. Biar bukan urusan Bi Acih untuk mencuci baju—karena setiap pembantu keluarga Pak Ferdian hanya bertugas satu bidang kerja, tapi kan tetep aja bikin capek. Capek liat Fyanti yang sering banget ganti baju. ”Waaah, si Bibi lagi bingung, ya, mau naruh baju-baju aku di mana?” Suara Fyanti mengagetkan Bi Acih. ”Eh, Si Neng udah pulang,” komentar Bi Acih malu-malu karena ketahuan lagi kebingungan. ”Iya nih, Neng, Bibi bingung mau naruh baju-baju ini teh di mana. Kayaknya tiap hari nambah.” ”Idih, aku kan punya baju barunya udah seminggu lalu. Itu juga karena kata Papa ada stok baru di toko Just Girls,” bantah Fyanti, seraya duduk di sisi tempat tidur empuknya. ”Iya-iya Neng, Bibi lupa!” Bi Acih bersungut-sungut sembari terus berusaha memasukkan dengan rapi baju-baju Fyanti yang masih tergeletak di luar. http://facebook.com/indonesiapustaka



Sejauh mata memandang, kamar tidur milik putri semata wayang Bapak Ferdian ini bernuansa merah muda. Romantis gitu. Apalagi di balik jendela, menjelang matahari terbenam, pancaran jingga yang menyelinap diam-diam dari sana membuat suasana terasa lain daripada yang lain. Indah banget. Makanya Fyanti suka duduk-duduk di teras kamarnya itu 15



sambil menikmati matahari terbenam. Pokoknya dia suka banget. Sebaliknya, matahari terbit bikin Fyanti sebal. Soalnya, itu menandakan bahwa dia harus cepat bangun karena kesiangan. Wuaaah, kalau itu terjadi, dia bisa ribet banget. Bahkan semua orang rumah akan dikerahkan untuk membantunya supaya nggak telat masuk sekolah. Maklum, SMA Sukacita terkenal sangat disiplin. Nggak peduli anak siapa, kalau telat pasti dapat sangsi. Dan, kalau sudah tiga kali kena sangsi, bisa gawat deh! Boro-boro tiga kali, sekali aja Fyanti nggak mau. Selain sangsinya pasti bikin capek—biasanya disuruh ngepel dan bersihin WC atau nyapu halaman sekolah yang super luas itu, malu juga dong. Nama baik papanya akan tercoreng. So, jendela kamar itu bisa membuat Fyanti merasakan suasana romantis sekaligus bisa bikin ribet. ”Gimana jadinya atuh, Neng? Bibi nyerah nih, dari tadi nggak kelar-kelar,” ujar Bi Acih putus asa. Dia duduk di karpet empuk yang terhampar seluas kamar Fyanti. Wajahnya http://facebook.com/indonesiapustaka



memelas. Fyanti yang melihat pemandangan pengasuhnya terduduk begitu geli sendiri. Dia tahu, Bi Acih sudah kehabisan akal untuk mengatur segala jenis barang-barangnya di lemari. ”Bilang ke Papa gih, Bi, biar aku dibeliin lemari lagi,” usul Fyanti. ”Si Eneng teh ya, mau ditaruh di mana lemarinya atuh? 16



Lemari yang ada aja udah menuhin dinding begini.” Bi Acih tidak menyetujui usulan majikan kecilnya itu. ”Hehe… Ya nggak usah di kamarku. Di ruangan lain. Kan masih ada kamar kosong tuh di lantai tiga.” ”Bukannya kamar itu buat Neng Piyanti main band?” ”Kan bisa bikin ruangan lagi di belakang. Di tempat jemuran itu baru dua lantai. Di tingkat satu lagi kan bisa.” ”Euleuh-euleuh, si Neng teh yaaa.” Bi Acih geleng-geleng. ”Terus, kalo si Maryam jemur baju kudu ke atasnya lantai tiga? Tinggi banget atuh.” ”Haha…” Fyanti nggak tahan melihat ekspresi Bi Acih yang membayangkan si Maryam yang bertugas mencuci dan menjemur pakaian harus bersusah payah. Kebayang deh sambil membawa ember harus bolak-balik ke sana. ”Ah, si Neng mah suka aneh-aneh aja.” ”Habis, mau gimana lagi coba? Dibuang barang-barangnya?” Bi Acih diam. Matanya memandangi seluruh barang yang masih berantakan itu. Di sana ada banyak pakaian, tas, dan sepatu dari beragam merek. Kebanyakan merek-merek terkenal. Sayang juga kalau dibuang begitu saja. http://facebook.com/indonesiapustaka



Meski Fyanti merelakan barang-barang itu dibuang, tapi kok malah Bi Acih yang nggak ikhlas, ya? Bukan karena dia ingin memiliki barang-barang itu, tapi dia tahu berapa banyak uang yang digunakan untuk membelinya. Dan, kalau sudah berurusan dengan uang, Bi Acih nggak mau sembarangan. Walaupun bekerja di keluarga Pak Ferdian hidupnya terjamin lahir batin, Bi Acih masih tetap ingat kondisi 1



keluarga dan saudara-saudaranya di kampung. Kehidupan mereka tidak lebih baik daripadanya. Bi Acih suka nggak tega lihat mereka kalau pulang kampung. Makanya, secara langsung ataupun tidak, Bi Acih seperti menyadarkan Fyanti untuk tetap ingat kepada orang-orang yang kehidupannya kekurangan. Bi Acih sering mengajarkan Fyanti untuk mensyukuri dan tidak menyia-nyiakan apa yang dia punya. ”Jangan dibuang deh, Neng. Ini kan barang-barang mahal,” jelas Bi Acih. ”Terus, menurut Bi Acih gimana? Disumbangin aja?” Bi Acih berpikir sejenak. ”Kalau nyumbang mah, Pak Ferdian kan sering, Neng. Nggak baik juga kalo terus-terusan nyumbang. Bikin orang jadi males berusaha.” Fyanti mengangguk-angguk. Dia mengerti apa yang dikatakan Bi Acih barusan. Papanya juga pernah mengatakan hal yang sama. Meski Papa sering membantu orang sebagai bentuk empati, bukan berarti kita terus-terusan membantu dan membuat mereka malas berusaha, Fy. Itu nggak baik. Manusia tetap harus berusaha dan jangan terlalu menggantungkan hidup pada orang lain, begitu ujar papa Fyanti. http://facebook.com/indonesiapustaka



Fyanti pun mengingat itu baik-baik. ”Naaah, gimana kalo kita buka butik murah aja, Bi? Tapi, nggak setiap hari. Kita cari waktu yang tepat aja.” ”Hah?” Bi Acih kaget mendengar ide Fyanti. ”Buka butik, Neng?” ”Iya, buka butik.” ”Ah, si Neng mah ada-ada aja.” 1



”Ih, Bibi teh malah nggak percaya.” Fyanti mendekati Bi Acih. ”Entar aku bilang ke Papa, minjem salah satu tokonya sekali waktu untuk menjual beberapa barangku dengan harga murah. Atau kalau perlu, kita jualan di depan rumah. Pasti ada yang mau deh.” Bi Acih geleng-geleng. ”Ada… aja ide Neng Piyanti ini yah.” ”Fyanti…” Fyanti menyebut namanya dengan bangga. ”Apa sih yang nggak bisa aku lakuin?” ”Iya deh, Bibi nurut aja,” Bi Acih nyerah, ikut usul Neng majikannya itu. ”Tapi teh, sebelum itu dilaksanakan, barangbarang ini ditaruh di mana, Neng? Bibi masih pusing ini.” Fyanti menahan tawa. ”Ya Bibi taruh di lemari yang kirakira masih muat. Kalau nggak, sementara ditaruh di ruang band dulu deh. Nanti aku yang bilang ke Mama biar nggak diprotes.” ”Oke deh, Neng.” Bi Acih sedikit lega mendapat pemecahan masalah yang sedari tadi membuatnya pusing.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Hari Minggu ini sengaja dihabiskan Fyanti untuk ngerujak bareng tiga ce-esnya: Ciska, Ifa, dan Rere. Sudah seminggu lalu Fyanti meminta sobat-sobatnya itu untuk datang ke rumah dan rujakan bareng. Kebetulan, mangga cengkir di halaman rumahnya sedang berbuah. Jadi deh mereka ngerujak dengan buah yang langsung dipetik dari pohonnya. ”Enak ya rumah lo, Fy. Luas, ada pohon mangganya pula,” 1



puji Rere. Biar udah berulang kali ke rumah Fyanti, dia tetap senang bisa berkunjung ke rumah besar itu. ”Oma gue sih yang telaten ngerawat pohon ini sampai tumbuh subur,” jawab Fyanti sembari mengupas mangga alias Mangifera Indica, yang baru dia petik. ”Kok buahnya bisa segurih ini?” tanya Ifa. Dia mengunyah sepotong mangga yang sebelumnya dicocolkan ke bumbu rujak yang sudah tersedia. ”Gurih? Bukannya itu istilah buat rasa kelapa?” protes Ciska. ”Yeee, mangga cengkir kan juga terkenal karena gurihnya,” protes balik Ifa. ”Apalagi coba istilah buat rasa mangga cengkir?” Ciska mengernyitkan kening. Kalau dipikir-pikir, memang bener sih mangga satu ini gurih, beda dengan mangga lainnya. Mangga jenis ini nggak berserat panjang seperti kuweni atau arum manis. Malah nyaris nggak ada serat kalau masih mengkel alias setengah matang. Fyanti pernah baca, rendemen daging mangga cengkir serta kadar seratnya rendah (0,75%). Makanya enak http://facebook.com/indonesiapustaka



banget kalau buat rujakan kayak gini. ”Udah deh, gitu aja ribut,” lerai Fyanti. Dia meletakkan hasil kupasan mangga di piring. ”Kata Oma, setiap kali dia mau masak ikan atau daging, air bekas cucian ikan atau daging itu dia siramkan ke pohon ini dan pohon buah lainnya.” ”Masa sih?” Ifa tak percaya. 20



http://facebook.com/indonesiapustaka



”Percaya nggak percaya… Tapi, kan buktinya udah kalian makan sendiri.” Ifa memandangi potongan mangga yang tadinya ingin langsung dia masukkan ke mulut. Di kepalanya terpikir hubungan antara air bekas cucian ikan atau daging dan gurihnya mangga itu. Emang bisa? ”Coba aja entar lo praktik sendiri kalau punya pohon buah, Fa,” usul Rere melihat Ifa yang masih tampak penasaran. ”Bener juga!” Ifa nyengir sendiri sembari memasukkan potongan mangga yang dari tadi dipandanginya ke mulut. Siang yang tidak terlalu terik itu pun dihabiskan dengan nikmatnya rujakan bareng di teras rumah Fyanti. Sesekali Mama Fyanti ikut nimbrung sekadar bertanya atau mencicipi rujak buatan Bi Acih itu. Mama Fyanti sempat tersedak karena kepedasan. Untung nggak pa-pa. Bi Acih segera memberikan air putih. Ciska, Ifa, dan Rere jadi nggak enak. Tapi, Fyanti bisa menenangkan suasana. Sementara mamanya juga tidak menyalahkan siapa pun atas yang terjadi. Ya sudah, berlanjut deh kumpulkumpul para cewek manis itu. ”Eh, Fy, kapan studio musik lo jadi?” tanya Ciska, sambil menuangkan limun merah ke gelasnya dan gelas lainnya. ”Kata Papa nunggu alat-alatnya komplet.” Fyanti mencocolkan potongan bengkuang, yang juga ada di rujakan itu, ke bumbu rujak. ”Lho, bukannya gitar sama keyboard-nya udah ada?” ”Drum sama bass-nya kan belum, Cis. Kemarin Papa pesan di Australia, katanya lagi sold out. Lagi pada sok-sokan jadi pemusik baru kayak gue kali, jadi diborong.” 21



Keempat cewek itu tertawa. ”Oh ya, Fy, kata Ciska lo sama dia mau nyamar jadi mahasiswa, ya?” Kali ini Rere yang nanya. ”Iya. Itu gara-gara Ciska bilang kuliah itu enak. Jadi sekalian aja kita buktiin sebelum beneran jadi mahasiswa,” jelas Fyanti. Dia kepedasan begitu kegigit cabe rawit yang masih agak utuh. Dia langsung menyambar limun yang tadi dituangkan Ciska. ”Ikut dooonggg…” Rere mendadak semangat. ”Gue juga!!!” Ifa nggak mau ketinggalan. Dia sedikit berjingkrak-jingkrak, tanda semangat untuk ikut. Kacamatanya sempat melorot, untung nggak jatuh ke tanah. ”Iya-iya, entar kalian bisa ikut. Tapi sssttt, jangan keraskeras. Nanti Papa denger, gawat,” sahut Fyanti setelah selesai meneguk limunnya. Spontan Ifa, Rere, dan Ciska meletakkan telunjuk ke bibir masing-masing, saling mengingatkan. Kayak latah gitu jadinya! ”Gue minta izin ke satpam di sana nantinya. Untungnya dosen nggak ada yang hafal gue. Ada sih satu-dua, kita harus menghindar kalo pas mereka yang ngajar.” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Caranya?” Ifa menaikkan lagi kacamatanya. ”Ya ce-esan sama satpam atau pekarya dong. Minta tolong mereka buat liat jadwal kuliahnya dulu.” ”Wah, oke banget tuh!” ”Sep-sep-sep…” ”Jadi nggak sabar pengin buru-buru nyoba kuliah.” Siang itu pun makin meriah dengan segala cerita dan 22



rencana mereka. Hari Minggu nan cerah mereka lewati dengan keceriaan khas ABG. Mereka bercanda sambil terus memakan rujak sampe ludes. Setelah kenyang dengan rujak dan beberapa panganan kecil tambahan dari Bi Acih, keempat cewek itu memutuskan untuk istirahat. Sengaja Fyanti mengajak ketiga ce-esnya ke ruang keluarga. Di sana ada fasilitas lengkap sekaligus tempat bersantai. Ada home theater lengkap dengan DVD original terbaru, satu set combo MP3 lagu-lagu baru, sofa dan karpet yang nyaman, deretan buku-buku dan majalah yang kebanyakan dari luar negeri, serta AC yang membuat ruangan itu adem. Pokoknya komplet deh. Nyaman pula. Kalau sudah masuk ke ruangan itu, dijamin males pulang. Tapi, baru setengah jam mereka di sana, tiba-tiba saja Fyanti mengajak teman-temannya untuk pergi keluar. Jalanjalan. ”Bosen nih di rumah terus,” alasannya. Meski masih nggak rela beranjak dari tempat supernyaman itu, ketiga ce-esnya akhirnya nurut saja. Apalagi jalan-jalannya nggak perlu capek atau keluar ongkos. Ada Pak Lukman, http://facebook.com/indonesiapustaka



sopir pribadi Fyanti, yang siap menyetir mobil Alphard hitam. Di dalam mobil itu pun tak kalah nyamannya dengan ruang keluarga tadi. ”Kita mau ke mana nih, Fy? Bandung teh lagi rame hari Minggu gini mah…” Rere setengah malas kalau harus bepergian jauh. 23



”Mmm, ke mana ya…” Fyanti berpikir. Dia memberi kode kepada Pak Lukman di sebelahnya yang sedang menyetir. Pak Lukman hanya nyengir. Dia kan hanya mengikuti kemauan putri majikannya itu. Akhirnya Fyanti terdiam lagi, berpikir. ”Jangan ke Lembang, Fy. Males. Pasti lebih macet daripada di sini,” Ciska mengingatkan. ”Iya nih, isinya Bandung teh plat B semua.” Ifa iseng menunjuk-nunjuk mobil-mobil yang ber-plat B. Fyanti cuma diam saja atas saran teman-temannya itu. Di kepalanya cuma terpikir mereka akan ke mana. Sekonyongkonyong dia mendapat ide menarik. ”Pak, kita ke Mode In aja deh.” ”Apa? Ke salah satu FO bokap lo? Yahhh, capek deh!” Rere menjatuhkan tubuh ke jok. ”Tenang, Re. Kita ke sana nggak cuma bengong kok.” Fyanti berusaha menenangkan Rere yang udah hopeless begitu dia menyebut nama FO papanya. ”Terus ngapain?” Mata Fyanti berkedip-kedip genit. ”Entar liat aja deh. http://facebook.com/indonesiapustaka



Pokoknya oke punya.” Fyanti mengacungkan ibu jarinya ke depan teman-temannya. Kalau udah gini sih, ketiga temannya pasrah aja…



FO Mode In terlihat lebih ramai dari biasanya. Di setiap sudut bangunan itu nyaris dipenuhi orang-orang 24



yang punya ketekunan memilih pakaian. Nggak anak kecil, orang dewasa, laki-laki ataupun perempuan, mereka tampak asyik banget di sini, seakan nggak peduli ruangan jadi penuh dan gerah. Parkiran di halaman depan yang luas pun penuh dengan kendaraan beroda empat. Sementara untuk parkiran motor juga lumayan penuh di bagian belakang. Karena mobil Alphard yang ditumpangi Fyanti itu sudah dikenali petugas parkiran, Pak Lukman tak perlu repot mencari tempat parkir. Ada tempat khusus tersedia di sana. Nggak usah susah-susah nyari. Jadi bikin iri yang melihat. Habis, mau gimana lagi? Itu kan memang parkir khusus buat owner FO plus keluarganya. Keluar dari mobil, beberapa pegawai yang mengenali Fyanti memberi senyum atau anggukan. Tentu saja Fyanti membalasnya dengan senyuman atau anggukan pula. Pemandangan seperti ini bukan pemandangan aneh untuk ketiga ce-es Fyanti. Rere, Ciska, atau Ifa juga sangat tahu, meski sangat disegani dan dihormati, Fyanti nggak pernah besar kepala. http://facebook.com/indonesiapustaka



Terkadang malah dia suka sembunyi-sembunyi supaya nggak diperlakukan terlalu sopan. Nggak nyaman aja, katanya. Tapi, mau gimana lagi? Sesampainya di ruang utama yang memajang baju-baju perempuan, Fyanti mendekati seorang satpam dan membisikkan sesuatu. Satpam itu langsung mengangguk-angguk sebagai tanda mengerti. Lalu dia beranjak ke dalam. 25



”Kita mau ngapain sih di sini? Belanja?” tanya Rere nggak sabaran. Fyanti menggeleng seiring kembalinya satpam tadi bersama seorang perempuan paruh baya yang langsung menyalami Fyanti. Nggak lama kemudian dia mengajak Fyanti dan kawan-kawannya masuk ke kantornya. Di sana perempuan paruh baya yang ternyata salah satu manajer FO itu memberikan seragam pramuniaga pada Fyanti dan ce-esnya. ”Hah? Kita jadi pramuniaga FO?” Mata Ifa membelalak, nggak percaya. ”Tepatnya, nyamar jadi pramuniaga,” Fyanti membenarkan ucapan Ifa. ”Duh, Fy… Kamu teh ada-ada aja deh. Ini gimana maksudnya?” dumel Rere, sambil mengenakan seragam yang diberi. ”Pokoknya kalian bakal merasakan sesuatu yang luar biasa deh dari penyamaran ini,” sahut Fyanti. Dia tampak bersemangat sekali dengan kegiatannya satu ini. Ciska, Rere, dan Ifa berpandangan. Mereka akhirnya menurut saja. Setelah mendapat wejangan seperlunya, mereka dipencar http://facebook.com/indonesiapustaka



di tempat yang berbeda. Rere di bagian kaus-kaus cewek, Ifa di bagian kaus-kaus cowok, Ciska di bagian tas dan sepatu, sementara Fyanti di bagian baju perempuan dewasa. Meski ditempatkan di area berbeda, mereka masih bisa saling lihat aktivitas yang lainnya. Perjanjiannya, kalau ada seseorang yang menarik, mereka harus saling memberitahu. 26



Karena mereka pramuniaga istimewa, tentu saja mereka bisa mengirim SMS lewat HP masing-masing, meski tetap harus sembunyi-sembunyi supaya nggak bikin sirik pramuniaga beneran.



Nyaris satu jam empat bersahabat itu menjadi pramuniaga samaran dan membantu para pembeli FO ini. Ada banyak peristiwa menarik yang mereka alami. Seperti yang dialami Rere. Dia harus membantu mencarikan kaus untuk seorang ibu-ibu bertubuh gemuk. Sudah segala ukuran dikeluarkan, tapi ada saja yang bikin nggak cocok di tubuh ibu-ibu itu. Padahal si ibu, katanya, sudah muter-muter berulang kali nyari baju yang muat di tubuhnya. Rere jadi nggak tega. Tapi, dia juga nggak bisa berbuat banyak. Lain lagi yang dialami Ifa. Cewek berkacamata itu sempet ge-er ketika tahu ada Darius Sinatria yang mampir ke tempatnya bertugas. Saking groginya, kaus yang diminta Darius ketuker dengan yang lain. Antara malu dan geli dia http://facebook.com/indonesiapustaka



menghadapi peristiwa itu. Untung Darius nggak curiga bahwa pramuniaga yang melayaninya adalah pramuniaga jadijadian. Dan, untung juga Ifa nggak keluar noraknya, misalnya minta foto bareng. Waaahhh… Bisa gawat itu mah… Nah, kalo Ciska biasa-biasa saja. Nggak terlalu banyak orang yang aneh-aneh yang harus dilayaninya. Justru Ciska 2



mendapat ilmu baru, cara membedakan antara kulit asli dan kulit palsu. Ilmu itu dia dapat bukan dari pramuniaga, tapi dari bapakbapak seumuran papanya yang kebetulan mencari tas kulit. Beliau sedikit menerangkan bagaimana membedakan yang palsu dan yang asli. Ciska malah jadi terheran-heran begitu tahu ada sebuah tas dengan merek cukup terkenal ternyata palsu. Pantes harganya lebih murah. Tapi, kok di FO semegah ini, milik Om Ferdian yang terkenal pula, ada barang palsu sih? Ciska jadi penasaran. Dia juga malu dan kikuk nggak bisa menjawab ketika bapak-bapak itu melontarkan pertanyaan yang sama seperti dalam benaknya. Sementara, Fyanti mendapat pengalaman menarik bukan dari pengunjung atau sesama pramuniaga. Fyanti tidak berkedip ketika dari balik kaca melihat cowok pelayan warung makanan sunda yang ada di luar FO yang masih satu kompleks. Cowok itu biasa-biasa saja. Cuma, cara dia melayani pengunjung warung itu membuat Fyanti tertarik. Sopan dan terlihat tulus. Nggak dibuat-buat. Fyanti sempat tertegun beberapa saat sebelum seorang anak kecil menarik-narik bajunya. Alhasil, Fyanti jadi disibukhttp://facebook.com/indonesiapustaka



kan dengan si anak kecil yang bertanya banyak hal sebelum akhirnya sang mama datang. Berbarengan dengan itu, jatah Fyanti dan kawan-kawannya menyamar habis. Sesuai kesepakatan dari awal, mereka menyudahi penyamaran dengan cerita yang ternyata lebih seru daripada yang mereka kira. 2



Bab 3



F



YANTI memandang ke luar jendela. Ada pelajaran Olahraga kelas sebelas di sana. Pak Jauhari, guru Olahraga yang mantan atlet binaraga selalu tampak bersemangat tiap kali menga-



jar. Padahal murid-murid yang diajarnya belum tentu sese-



mangat itu. Maklum, kadang cuaca kan nggak mendukung. Kayak hari ini nih. Terik banget. Padahal masih pukul 9.45. Baru selesai jam istirahat pula. Bikin semangat yang semula ada jadi menurun deh. Makanya sering terlihat anak-anak



http://facebook.com/indonesiapustaka



kelas sebelas itu lemas atau sedikit protes tiap kali Pak Jauhari memberi instruksi tertentu. Fyanti senyum-senyum sendiri. Dia ngerti banget rasanya dijemur. Entar, hari Jumat, giliran dia dan te-



2



men-temen kelasnya deh dijemur kalau cuacanya tetep nggak mendukung juga. Capek deh…. Sekarang, kelas 12-1 waktunya Matematika. Tapi, Bu Ros, guru Matematika mereka yang cantik mendadak harus pulang. Katanya anak bungsunya mencret-mencret. Harus dibawa ke rumah sakit. Ya udah deh, tugas menanti untuk dikerjakan. Meski Bu Ros terkenal cantik, untuk urusan pelajaran jangan tanya deh. Dia nggak pandang bulu. Tetap tegas. Jadi, biar ditinggal gini, anak-anak kelas 12-1 dan kelas lain yang juga bernasib sama nggak bisa main-main. Kalo tugas itu nggak dikerjakan, bisa-bisa besok akan terjadi kerusuhan sebab Bu Ros nan cantik akan berubah galak dan cerewet. Bagi Fyanti bukanlah hal sulit mengerjakan tugas yang diberikan Bu Ros. Otaknya yang encer membuatnya gampang-gampang saja mengerjakan semua tugas itu. Malah sudah selesai sebelum yang lainnya kelar. Kalau gini mah, makanan empuk buat dicontek. Biasanya sih, Fyanti nggak banyak protes. Dia akan dengan sukarela memberikan hasil tugasnya kepada teman-temannya. Perkara http://facebook.com/indonesiapustaka



nanti akan ketahuan atau tidak sama Bu Ros, itu di luar yang memberi contekan. Dan, ini menjadi semacam perjanjian tidak tertulis di kelas itu. ”Entar sore kita nengokin anaknya Bu Ros, yuk,” ajak Fyanti kepada Ciska yang sedang merapikan tugasnya. Berhubung Ciska murid yang cukup cerdas juga, dia pedepede aja dengan hasil tugas yang dia kerjakan sendiri. Kalau 30



bener-bener nyerah, baru deh dia akan bertanya pada teman sebangkunya itu. ”Rajin amat lo mau nengokin? Siapa tau dia udah pulang. Kan katanya mencret doang,” jawab Ciska. ”Yah… Bu Ros kan termasuk guru yang perhatian sama kita, apa salahnya kita balik berbuat baik sama dia,” sahut Fyanti. ”Gue males ahhh!” Ciska sedikit menguap dan merentangkan tangannya. ”Pengin bobo sore nanti. Udah lama nggak bobo sore.” ”Idihhh.” Fyanti jadi rada sewot. Sore-sore kok tidur. ”Eh, bukannya lo pengin nyelidikin si pelayan cowok itu?” Mendadak Ciska teringat sesuatu. Waktu itu, sepulang dari penyamaran, Fyanti cerita bahwa dia melihat cowok pelayan warung sunda yang membuatnya simpati. Fyanti berencana mengajak Ciska untuk mencari tahu tentang cowok itu. Fyanti cengar-cengir sendiri. ”Nggak usah.” ”Lho, kok nggak usah?” Fyanti tambah cengar-cengir. Lalu mengeluarkan sesuatu http://facebook.com/indonesiapustaka



dari tasnya. ”Nih. Namanya Edwin. Mahasiswa Fakultas Ekonomi, nyambi kerja jadi pelayan di sana. Orang Bandung. Anak pertama. Adiknya SMA dan SMP. Rumahnya di Sukajadi. Dia kerja tiap sore, jam lima sampe toko tutup, kecuali Sabtu-Minggu, shift.” ”Hah?!” Mata Ciska mendelik begitu melihat foto seorang 31



cowok cute yang tengah melayani pengunjung, dilengkapi dengan informasi yang dijelaskan Fyanti barusan. Fyanti mengangguk-angguk. ”Cute bangettt!” Mata Ciska nggak beralih, terpana. ”Mestinya dia jadi model nih. Masa yang kayak begini jadi pelayan warung makan?” Fyanti terkekeh lalu mengambil kembali foto yang dia perlihatkan pada Ciska itu. ”Soal beginian mah gampang. Nggak nyampe seminggu udah dapet informasi kan?” Ciska cuma geleng-geleng. Memang jagoan sobatnya satu itu. Kayaknya baru kemarin Fyanti cerita tentang pelayan itu, eeeh… sekarang udah dapat informasi lengkap. Pake foto segala lagi. Detektif aja kayaknya kalah. ”Hebat, lo. Bisa langsung dapat informasi gitu.” ”Ya iyalah. Kan dia kerja di kompleks toko bokap gue gitu loh.” Kali ini Ciska menggaruk-garuk kepalanya. Bener juga ya. Kalau udah menyangkut lingkungan bokap Fyanti mah urusan jadi mudah. ”Terus apa rencana lo selanjutnya?” http://facebook.com/indonesiapustaka



Beberapa temannya ada yang sengaja keluar kelas setelah tugas mereka selesai. Padahal kalau ketahuan sama salah satu guru, bisa dihukum. Biasanya sih mereka ke kantin. Nongkrong di sana sampe jam pelajaran Matematika selesai. Jam istirahat jadi lebih panjang deh. ”Entar ke Mode In yuk, Cis,” ujar Fyanti tiba-tiba. Dia malah nggak jawab pertanyaan Ciska. 32



”Ya elah, udah dibilang kalo gue lagi males banget. Pengin bobo.” Ciska mengelak. Fyanti langsung duduk menghadap Ciska. Tatapannya tajam memandang ke wajah sobat kentalnya itu. ”Kalo gitu nggak jadi nih kita ikutan kuliah?” ”Eh... Loh… Yaaah…” Ciska mendadak nggak bisa ngomong. ”Kok gitu?” ”Habis gitu aja lo nggak mau nemenin.” Ciska memandangi sobatnya yang memang bisa melakukan apa pun kemauannya itu. Kalau udah keluar kolokannya, nggak ada deh yang bisa merayunya. Kebawa manja karena statusnya yang anak tunggal itu kali ya… ”Emang mau ngapain kita di sana? Nyamar lagi?” ”Ya nggak dooonggg!” Tatapan Fyanti mulai melunak. Merasa bahwa rayuan mautnya nyaris membuahkan hasil. ”Kita akan jadi pelakunya, alias jadi pembeli di warung sunda itu. Dan gue pengin yang ngelayanin kita, ya si Edwin.” Ciska menggaruk-garuk dagunya. Kayak emoticon thinking itu loh… ”Tapi, gue lagi tanggal tua nih, Fy. Tapi masa iya lo traktir gue lagi?” tanya Ciska kepedean. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Yeee, yang ada, warung itu kali yang nraktir kita. Secara dia pake lokasi FO bokap gue,” ujar Fyanti sambil terkekeh. ”Ih, kok gitu. Atuh mah bangkrut kalo semua anak pemilik FO berpikiran sama kayak lo.” Fyanti melet, lalu terkekeh lagi. ”Ya nggak tiap hari kali. Lagian kalo pun gue bayar, ujung-ujungnya duit itu balik lagi ke gue, kan?” 33



Ciska mengangkat bahu. Susah emang ngomong sama orang yang udah kekeuh pada kemauannya gitu. ”Terus gimana?” Fyanti mendekati Ciska lalu merangkulnya. ”Pokoknya tugas lo nemenin gue aja. Urusan lain-lain, biar gue yang atasi.” ”Ifa dan Rere ikut nggak?” ”Boleh aja. Asal mereka nggak bolos les.” ”Sippp...” Keduanya pun saling tos. Mobil Alphard hitam itu kembali terparkir di area khusus FO Mode In. Empat penumpang di dalam mobil itu segera turun. Para cewek itu bergaya santai sore ini. Mereka memang tampak tidak berniat pengin gaul. Gaya berpakaian mereka biasabiasa saja. Beda kalau mau gaul ke mana gitu. Mereka dandan abis deh. Begitu masuk area FO yang cukup besar, keempatnya langsung menuju warung sunda Boga Rasa yang ada di sana. http://facebook.com/indonesiapustaka



Pengunjungnya yang banyak lumayan memenuhi tempat, namun mereka masih bisa mendapatkan tempat duduk yang cocok. Kedatangan cewek-cewek manis itu jadi bahan perhatian. Terlebih beberapa orang mungkin udah ngeuh. Biar gimana pun Fyanti kan model. Yah, pastilah paling nggak dilirik. Tetep keliatan beda gitu lho gaya dan penampilannya dari 34



temen-temennya. Walaupun dandanan Fyanti juga nggak heboh-heboh amat. Sederhana malah. Lagian Bandung kan memang dikenal karena mojang-mojangnya yang geulis, euy. Mereka menemukan tempat yang tepat, di pojokan dekat jendela. Di sana ada area buat lesehan. Nyaman. ”Eh, si Edwin mana, Fy?” tanya Rere sambil celingukan. ”Tenang aja. Entar juga keluar,” jawab Fyanti pede. ”Kalo bukan dia yang ngeladenin, gimana?” tanya Ifa berandai-andai. ”Ah, kecil kemungkinannya. Karyawan mereka kan sedikit. Apalagi sekarang lumayan rame.” Ketiganya tidak berkomentar lagi setelah Fyanti menyangkal. Bersamaan dengan itu seorang mbak-mbak datang membawa menu. Fyanti segera mencari alasan supaya bukan si mbak itu yang melayani mereka. Dengan alasan mau bacabaca dulu, si mbak masuk dan membiarkan tamu-tamunya itu membaca daftar makanan di menu. Fyanti berharap Edwin segera lewat sehingga bisa pesan makanan pada cowok itu. http://facebook.com/indonesiapustaka



Sesuai rencananya, belum selesai membaca semua daftar dalam menu, mendadak ekor mata Fyanti melihat sosok lakilaki sedang membawa gelas-gelas dan piring kotor. Spontan Fyanti berdiri dan memanggilnya. Cowok itu sempat bingung. Tangannya jadi rada goyang. Dia bingung antara harus jalan terus ke dapur atau memenuhi panggilan tamunya. Untunglah, ada seorang temannya yang bersedia membawakan 35



gelas-gelas dan piring kotor ke dapur sehingga cowok itu bisa menghampiri tamu yang memanggilnya. ”Sudah siap memesan?” ujarnya ramah, siap mencatat pesanan. ”Sudah dooonnnggg,” keempatnya serempak menjawab bikin suasana tambah ramai. Cowok itu cuma senyumsenyum melihat tingkah laku ABG–ABG cewek itu. Apalagi ketika mereka berebutan memesan makanan. Sikap mereka juga rada norak-norak bergembira lagi. Contohnya si Ciska, dia kan duduk paling jauh dari Edwin. Tapi, tanpa ragu-ragu dia menghampiri Edwin lalu memesan makanan yang dia mau. Beda lagi dengan Ifa. Dasar anak bungsu, dia malah nariknarik celana Edwin bikin si empunya celana bingung. Kalo Rere, dia sengaja minta notes lalu menuliskan sendiri pesanannya. Edwin tambah bingung karena keempat cewek itu memesan dengan cara masing-masing. Setelah menuliskan sendiri pesanannya, Rere menyerahkannya kembali pada Edwin sambil berbisik di dekat telinganya, ”Nggak pake lama yaaa…” http://facebook.com/indonesiapustaka



Keanehan yang dirasakan Edwin makin lengkap ketika Fyanti yang dari tadi diam saja, tiba-tiba mengikutinya ke dapur. Sementara, orang-orang yang lagi makan di situ cuma ngeliatin sambil nahan senyum. Sebagian lagi ada yang geleng-geleng. Beberapa yang memang udah tahu kalau Fyanti model, nggak berani komentar, cuma bisik-bisik. 36



Apalagi Fyanti memberi kode untuk tidak protes dengan telunjuknya. ”Ka-ka-kamu teh mau ngapain ikutan segala?” Edwin grogi sendiri. ”Mau pesan makanan,” jawab Fyanti santai. ”Tapi… tapi… kok ikut saya ke belakang?” Edwin masih belum ngerti juga. Fyanti tersenyum manis. ”Gue kan mau pesan makanan sekaligus bantu kamu nyiapin makanannya.” ”Hah?!” Fyanti mengangguk-angguk. Tanpa menunggu ditanya-tanya lagi, Fyanti mengambil celemek dan bergegas membantu apa saja yang bisa dia kerjakan. Beberapa koki yang bertugas di sana memberi satu-dua pekerjaan mudah kepadanya. Sebenarnya tujuan Fyanti ke dapur sih biar bisa deket-deket dengan Edwin. Nggak peduli dikasih kerjaan apa kek. Ternyata Edwin nggak seterusnya di dapur. Dia lebih sering keluar-masuk dapur mengambil pesanan makanan atau meletakkan piring dan gelas yang kotor. Namun, Fyanti http://facebook.com/indonesiapustaka



nggak peduli. Pokoknya asal bisa sering liat pelayan cute satu itu.



Fyanti menghabiskan Minggu paginya dengan bermain tenis di lapangan milik rekan bisnis papanya. Sebenarnya halaman belakang rumahnya bisa dijadikan 3



tempat latihan tenis. Tapi kan nggak nyaman. Kurang rame. Makanya dia memilih untuk menjadi member di sini. Selain karena tempat, di sini juga ada pelatih. Nggak perlu repotrepot nyediain bola pula. Kalo capek, ada café kecil buat istirahat, plus ada kolam renang kalau mau berenang. Lengkap deh. Tapi Fyanti nggak bisa ngajak banyak teman kalau ke sini. Dengan kartu anggota hanya diperbolehkan membawa teman satu orang. Kalau lebih, sisanya dikenai charge yang lumayan. So, dia lebih sering ditemenin sopirnya. Paling kalau mau teman sesama member, ya harus janjian. Kalau sama ce-esnya, Fyanti paling sering ngajak Rere. Biarpun nggak jago-jago amat, masih bisalah Rere jadi lawan mainnya. Lumayan bikin pede bahwa dirinya lebih jago daripada Rere hehe… Kayak hari ini, Fyanti dan Rere asyik main berdua. Meski mainnya harus pake dua tangan, Rere terus mencoba ngimbangin permainan Fyanti. Udah mulai jago tuh anak. Napas Rere ngos-ngosan karena harus ngejar bola terus. Giliran dia istirahat, Fyanti teriak-teriak minta supaya cepet http://facebook.com/indonesiapustaka



main lagi. Ukh. Nggak tau kenapa, olahraga satu ini emang makan tenaga. Udah gitu, masih sempet-sempetnya Fyanti ketawa. Capek deh! ”Boleh gue gantiin?” Sebuah suara mengagetkan Rere. Tepat di sebelahnya mendadak muncul seorang cowok 3



tinggi, gagah dengan senyum manis. Dia sudah siap menerima raket sekiranya tawarannya disetujui Rere. Rere yang masih termangu karena kagum bercampur kaget, ragu-ragu menuruti keinginan cowok itu. Tapi, karena si cowok udah lebih dulu ngambil raket di tangan Rere, apa boleh buat. Sementara di seberang, Fyanti memperhatikan dengan saksama apa yang terjadi antara Rere dan si cowok. Fyanti berpikir bahwa cowok itu kenalan Rere. Wah, hebat benar Rere, ternyata punya kenalan di sini, batin Fyanti. Fyanti sedikit kaget begitu tahu Rere menyerahkan raketnya kepada cowok itu. ”Mau ngapain tuh cowok?” gumamnya. Tanpa Fyanti duga cowok itu mengarahkan servis bola ke arahnya. Spontan Fyanti membalas meskipun rada kagok karena mendapatkan lawan yang beda banget daripada sebelumnya. Dia berusaha mengimbangi. Sekitar sepuluh menit pertama, Fyanti masih bisa bertahan untuk backhand. Lama-lama, dia kelelahan juga. Ya bayangin aja, dalam sepuluh menit itu dia nyaris nggak bisa napas karena bola-bola yang diarahkan lawannya begitu gencar. Terlebih lawannya itu menggunakan teknik groundstroke— http://facebook.com/indonesiapustaka



pukulan sepanjang lapangan. Capek juga kan? Akhirnya, sambil menahan kesal, Fyanti menuju tempat lawan main yang belum dia kenal itu. Fyanti ingin melabrak atas permainan dan kemunculannya yang tiba-tiba. ”Heh, lo siapa sih? Ujug-ujug gantiin Rere, main serang aja?” labrak Fyanti galak. Sementara Rere nggak berani buka suara. 3



Kalo Fyanti udah gini sih, jangan sampe cari gara-gara baru. Biarin aja. Entar kalo udah redaan baru deh diomongin lagi. ”Gantiin dia main. Kasian kan temen lo kecapekan,” jawab cowok itu tenang. Gayanya kalem banget kayak nggak ada masalah. ”Emang lo siapa?” Cowok itu langsung mengulurkan tangan. ”Kenalin, gue Dixon. Gue baru nyampe Bandung. Yah… setelah lima tahunan kuliah di Kanada.” Muka Fyanti mendadak berubah. Tadinya dia ingin menjabat uluran tangan Dixon. Tapi, begitu Dixon menunjukkan gaya angkuhnya, males banget! ”Eh, kalo diajak kenalan, balas ngenalin diri dong. Nggak sopan banget.” Dixon berubah ketus. Ih, cowok kok resek kayak gitu sih? Fyanti jadi kagok. Tapi, daripada dianggap lebih nggak jelas lagi terpaksa deh dia mengulurkan tangan. ”Fyanti. Masih SMA.” ”Hmmm.” Dixon memutari Fyanti dengan gaya angkuhnya. ”Lo member di sini, ya?” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Iya. Kenapa?” ”Nggak pa-pa. Lain kali kalo butuh lawan main, just call me.” Dixon mengeluarkan dompet lalu menyerahkan kartu namanya. ”Ini kartu nama lama gue. Yang baru, mungkin minggu depan. Sekalian peresmian gue jadi direktur perusahaan.” Fyanti memandang Dixon aneh. 40



”Nggak penting amat sih lo promosi gitu? Apa untungnya buat gue?” Dixon tersenyum nyepelein. ”Lo kan member. Sepengetahuan gue, yang jadi member di sini bukan orang sembarangan karena harus bayar uang member yang yah… biar buat gue nggak seberapa, tapi lumayanlah buat beli satu gadget canggih. Nah, jadi pasti lo bukan orang sembarangan karena mampu bayar harga segitu.” Fyanti merasa makin gerah. Dia segera mengambil raket yang ada di tangan Dixon dan segala perlengkapan yang lain. Lalu menarik tangan Rere. ”Fy… gimana sih ini?” Antara bingung dan nggak bisa protes membuat Rere nurut ketika Fyanti menariknya. ”Hei, mulai minggu depan tempat ini jadi milik gue. Jadi, lo bisa ketemu gue kapan aja di sini.” Teriakan Dixon semakin kencang seiring langkah Fyanti yang seperti orang kesetanan, buru-buru ingin pergi dari sana. Pak Lukman yang tadinya duduk-duduk di kursi pinggir lapangan langsung menyusul. ”Ih, jijay-jijay! Nyebelin! Kok bisa sih nemu orang kayak gitu?” seru Fyanti begitu sampai di mobilnya. http://facebook.com/indonesiapustaka



Rere memandangi sobatnya itu. Dia setengah menahan senyum melihat tingkah Fyanti yang kayak orang kena ulet bulu. ”Ya ada kali, Neng. Emang lo kira semua cowok sama kayak Edwin yang kalem-kalem cute gitu?” ”Tapi, nggak usah pamer kali. Emang dia siapa? Sombong banget pake pamer-pamer baru pulang dari Kanada. Masalah 41



buat gue?” Fyanti makin sewot. ”Tadi malah dia bilang bakal jadi pemilik tempat olahraga itu? Iiihhh… mending gue ikut member di tempat lain!” ”Itu Dixon yang anaknya Pak Rinto ya, Non?” tanya Pak Lukman, nimbrung. ”Bapak kenal?” tanya balik Fyanti. ”Kenal sih nggak, Neng.” Pak Lukman tetap waspada pada situasi jalan raya. ”Papa Non Fyanti kan udah lama jadi member di sana. Beliau pasti kenal Pak Rinto. Salah satu anaknya Pak Rinto itu kalo nggak salah namanya Dixon. Waktu Bapak sering nganter papa Non ke sini, dia masih di luar negeri. Mungkin ya di Kanada itu.” ”Terus?” ”Ya, bisa jadi seperti yang Bapak bilang, berarti Dixon itu bener anaknya Pak Rinto, yang punya tempat olahraga itu. Ganteng ya, Non?” ”Huh!” Fyanti membuang muka. Tampangnya seperti mencemooh. ”Biar gantengnya kayak apa juga, kalau sombongnya selangit gitu, males deh!” ”Hehe… Non kok jadi sewot gitu?” ”Ya sewot lah, Pak. Bapak kan tau sendiri, baru kenal aja http://facebook.com/indonesiapustaka



udah sok jago main tenis, terus pamer kekayaan dan cerita kalau dia baru pulang dari Kanada. Apa pentingnya coba?” ”Hehe…” ”Wah, kalo kata Pak Lukman tadi bener, asyik dong kita punya kenalan oke punya?” seruduk Rere seenaknya. ”Buat lo aja dah. Gue nggak mau. Males sama orang sombong gitu.” 42



Rere nggak berani komentar apa-apa lagi. Dia cuma bisa mainin mulutnya. Dan, suasana perjalanan di mobil itu pun berubah senyap.



Buru-buru Fyanti menuju kasurnya. Di sana HP-nya tergeletak. Tadi perutnya sakit, jadi dia buru-buru ke kamar mandi dan langsung melemparkan HP-nya ke kasur. Terdengar ringtone SMS bertubi-tubi. Padahal ini kan sudah malam. Dia segera membuka pesan-pesan itu. Hi. Malam. Pasti cape habis main tenis tadi ya? Fyanti mengernyitkan kening. Lalu membuka lagi SMS selanjutnya. Eh, lupa ngasih tau kalo ini SMS dari teman baru lo Fyanti makin mengernyitkan kening. Siapa sih?



http://facebook.com/indonesiapustaka



Udah nggak usah dipikirin deh! Ni Dixon, cowok yang bersedia jadi lawan main tenis lo. Gubrak! Fyanti menjatuhkan tubuh ke kasur empuknya. Kok si 43



sombong itu bisa tahu nomor gue, ya? Fyanti memperhatikan lagi HP-nya. Rupanya ada missed call dari nomor yang sama. ”Kayak nggak punya kerjaan aja,” dengus Fyanti. Belum lama Fyanti mingkem, mendadak dia dikejutkan dering HP-nya. Segera dilihatnya siapa penelepon itu. Yaaah…. Males deh… Ternyata nomor Dixon lagi. Fyanti mengabaikan panggilan itu. Dia menindih HP-nya menggunakan bantal. Tapi, percuma dering ponsel itu masih tetap mengganggunya. Kayaknya si penelepon itu akan terus berusaha sampai Fyanti nanggepin. Akhirnya, Fyanti mengalah. Dia menerima telepon itu meski dengan muka cemberut. Jelek banget. ”Halo,” ujarnya dengan nada datar. ”Hai, Nona Manis! Diangkat juga telepon gue. Emang dari tadi ke mana aja sih?” tanya Dixon. ”Gue lagi ke belakang!” ”Ke belakang mana nih? Dapur? Halaman? Kamar mandi? ”WC. Eek. Puas?!” ”Haha… galak amat. Entar ilang lho manisnya…” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Masalah buat lo?” ”Duh, untung nggak lagi ketemu. Kalau iya, udah gue cubit juga tuh pipi. Ngegemesin banget!” Fyanti tambah cemberut. Rasanya pengin matiin aja tuh telepon. ”Udah deh, nggak usah basa basi busuk. Percuma. Bilang aja langsung, mau lo apa?” ”Ah, gue nggak pengin apa-apa kok. Cuma mau mastiin 44



aja apakah bener ini nomor Fyanti, putri tercinta Pak Ferdian, bos banyak FO di kota Bandung?” ”Kalo udah pasti, terus apa urusan lo?” ”Ya, boleh dong kenalan lebih jauh.” ”Lebih jauh sampe ke Mars?” ”Emang lo nggak mau kita mengenal satu sama lain?” ”Lo aja sana. Gue mending skip aja,” jawab Fyanti ketus. Sebelnya udah di ujung kepala. Siap meledak. ”Euleuh-euleuh, si Eneng geulis teh. Galak pisan! Padahal Akang teh serius pengin kenal lebih deket.” ”Huekkk…” ”Pasti lo kayak gini karena capek, ya? Udah malem juga.” ”Akhirnya lo sadar.” Fyanti menarik napas lega. ”Ya udah deh, jangan paksa gue buat terus ngobrol sama lo kalo gitu. Bisa lama nanti.” ”Idiiiiihhhh…!!!” ”Selamat malam, Fyanti Angel Ferdian. Selamat bobo. Mimpiin aku yaaa…” ”Hhhmmm…!!!” ”Dah sayang…See…” http://facebook.com/indonesiapustaka



Klik. Fyanti lebih dahulu mematikan ponselnya. Amit-amit….



45



Bab 4



H







AHA…” Rere tertawa kencang pagi ini,



sebelum masuk kelas. Fyanti yang baru saja melaporkan ulah



Dixon semalam, melipat tangan sambil



merengut. Entar kalo dia cerita ke dua sahabatnya yang lain, mereka juga pasti ketawa. ”Udah deh, Fy. Gitu aja bikin bete. Kan emang udah dari pertama si sok ganteng itu bikin lo sebel. Cuekin aja!” Rere 46



mengingatkan Fyanti. Tawanya mulai mereda.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Teman-temannya sekelas sudah mulai berdatangan. Di antara mereka yang datang, tampak Ifa dan Ciska yang datang barengan. Mungkin mereka bertemu di depan gerbang karena rumah mereka kan bertolak bela-



kang lokasinya. Hari ini mereka sengaja kumpul dulu di kelas Fyanti-Ciska. Setelah berbasa-basi sebentar dan meletakkan tas, keduanya pun kebagian cerita tentang apa yang terjadi pada Fyanti semalam. Sama dengan reaksi Rere, kedua temannya itu pun ketawa ngakak. Meski nggak ikutan tenis kemarin, Ifa dan Ciska tahu banget sifat Fyanti yang paling nggak suka sama orang pamer kekayaan orangtua. Fyanti memang berasal dari keluarga yang sangat berada dan terkenal, namun dia nggak pernah sombong. Malah Fyanti selalu berusaha rendah hati. Dan, sahabat-sahabatnya tahu sejak awal mereka dekat. ”Udahlah, Fy. Orang kayak Dixon jangan dipikirin. Bikin capek otak aja. Mending buat persiapan ulangan besok,” ujar Ciska. ”Bener, Fy. Orang kayak Dixon itu bisanya paling cuma mamerin kekayaan orangtuanya,” tambah Ifa. ”Gue BT sama dia bukan karena tingkahnya semalam,” jelas Fyanti atas komentar teman-temannya barusan, ”Tapi karena dia bisa dapet nomor HP gue. Dari mana coba?” ”Ah, elo…” Rere mengibaskan tangan. ”Dia kan sebelashttp://facebook.com/indonesiapustaka



dua belas sama lo. Bisa melakukan apa saja yang kalian mau dengan mudah. Nah, apa susahnya dapetin nomor HP lo? Secara, lo dan keluarga dia sama-sama terkenal gitu loh!” Fyanti cengar-cengir sendiri. Bener juga… Selama ini kan kalau mau apa-apa, Fyanti nyaris nggak menemukan kesusahan untuk mendapatkannya. Itu memang karena papanya yang dikenal seantero kota kembang ini. 4



Kondisi itu pun juga dialami Dixon, yang denger-denger dari Pak Lukman, adalah putra mahkota kesayangan dari keluarga Pak Rinto. ”Pokoknya kalian itu nggak jauh-jauh amat kok nasibnya. Cuma beda waktu dan tempat lahir doang.” Ciska jadi nyerocos sendiri. ”Hal lain yang bedain kamu sama Dixon adalah kamu anak juragan FO, kalo Dixon anak juragan obat,” tambah Rere disambut tawa teman-temannya. Fyanti cengar-cengir lagi. Berdasarkan cerita Pak Lukman lagi, Pak Rinto memang lebih dikenal sebagai pengusaha obat ketimbang real estate. Namun kalau dilihat-lihat, sebenarnya muka Dixon lebih cocok kerja di bidang real estate ketimbang jadi tukang obat hehe… ”Tapi, gue lebih seneng kalo Dixon jadi tukang obat,” timpal Ifa tiba-tiba. Kok beda dengan pemikiran Fyanti, ya? ”Kenapa, Fa?” tanya Fyanti. ”Kalo dari gaya-gayanya ngerayu sih, cucoklah cyin jadi tukang obat. Meskipun cuma dikit yang bisa kena rayuannya, tapi kan sedikit-sedikit bisa jadi bukit.” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Hahaha…” Mereka tertawa. Lonceng bakal berbunyi dalam hitungan menit. Tapi, murid-murid masih banyak yang berkeliaran di luar kelas. Sepertinya bunyi lonceng nggak ada pengaruhnya. Ifa dan Rere pun belum balik ke kelasnya. Pagi ini terasa lebih segar. Mungkin karena beberapa hari sebelumnya sempat hujan deras. Terlebih, sinar matahari 4



yang menerobos dari sela-sela pepohonan yang ada di sekitar sekolahan, tidak terlalu terik. ”Nah, berhubung lo dan Dixon sebelas-dua belas buat informasi apa pun yang pasti dapet, gimana kalo lo sekarang cari tahu Twitter dan Facebook dia? Pasti Dixon bakal surprise,” usul Rere. ”Ih, najis! Buat apaan?” pekik Fyanti. ”Lo mau ’main-main’ nggak?” sahut Rere. Fyanti memetik jari, mendadak jadi bersemangat. ”Ide bagus tuh! Entar pulang sekolah kita ke perpustakaan, gue butuh wii, gue bakal mention dia, atau sekalian gue DM.” ”Jadi lo optimis bakal secepat itu dapet info?” Rere malah jadi sanksi. Fyanti memainkan sebelah matanya. ”Kalo urusan itu sih, sepuluh menit lagi juga bisa. Asal gue nggak ketahuan lagi SMS atau nelepon.” Ketiga temannya manggut-manggut bersamaan dengan bunyi bel masuk. Tak lama kemudian Ifa dan Rere berlari ke kelasnya, sementara Fyanti dan Ciska mempersiapkan buku untuk mata



http://facebook.com/indonesiapustaka



pelajaran pertama. @dixonderajad Hi Dixon! Jangan sampe nabrak-nabrak ya karena gue bisa tau akun lo. Apa sih yang nggak bisa dilakuin Fyanti! Karena merasa kurang puas, Fyanti langsung search akun Facebook Dixon yang tadi dia dapat. Saat iseng-iseng nyari 4



nama lengkap Dixon, emang banyak banget akun-akun yang muncul. Bahkan, ada beberapa akun palsu Dixon. Mungkin dari beberapa fans Dixon yang gila. Setelah memasukkan e-mail di kolom search, muncullah akun Dixon dengan foto proil dirinya mengenakan kacamata sambil memegang raket tenis. Narsis banget sih, batin Fyanti. Dia langsung mengklik message.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Gue cuma mau ngasih tau aja sama lo, hidup tuh nggak usah pamer-pamer deh. Percuma. Gue nggak akan peduli lo lulusan mana, secara gue juga udah travelling ke banyak negara. So, jadi orang yang biasa-biasa aja, bro… Nggak usah kebanyakan gaya, biar bisa nikmatin hidup! :-) Peace *fy-koe* Pesan itu langsung terkirim. Dengan fasilitas wii perpustakaan sekolah, mereka bisa mendapat jaringan internet dan bebas digunakan bagi murid yang menjadi anggota perpustakaan, kecuali untuk akses yang ”negatif-negatif”. Soal buku, Fyanti dan ce-esnya itu memang jurig-nya alias jagonya baca. Mereka demen banget baca cerita terutama Teenlit dan komik. Selain ruang baca khusus di rumah Fyanti dan toko buku favorit, ya perpustakaan sekolah inilah yang menjadi tempat favorit mereka. Bu Puji, sang pustakawan, sampai hafal kalau salah satu dari mereka atau keempatnya datang hendak membaca apa. Buku yang baru sehari jadi koleksi perpustakaan, pasti sudah dilahap habis oleh keempatnya. 50



Untuk urusan internet, memang komputer yang disediakan nggak banyak, tapi asal sabar menunggu, nggak lama juga dapet kok, karena memang paling lama satu jam saja. Selain itu juga ada wii yang lumayan kenceng kalau cuma buat browsing.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Misi selesai, tinggal menunggu jawaban Dixon deh.



51



Bab 5



D



I antara ce-es Fyanti, boleh dibilang yang sedikit beda adalah Ifa. Bukan hanya dia sendiri yang berkacamata, tapi juga dia satu-satunya teman dekat Fyanti yang berasal dari keluarga biasa



saja.



Ayah Ifa adalah pekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang percetakan. Ibunya buka warung di kantin rumah susun mereka. Ifa anak kedua dari empat 52



bersaudara. Kakaknya setelah lulus STM, bekerja di Sumatra,



http://facebook.com/indonesiapustaka



ikut saudara yang sudah lebih dulu tinggal di sana. Adiknya kelas 2 SMP dan kelas 4 SD. Keluarga Ifa tinggal di rumah susun sederhana yang terdiri atas dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur, dan kamar



mandi kecil. Dengan lima orang penghuni, sempit sekali bukan? Apalagi rumah susun yang mereka tempati itu termasuk padat penghuni. Bukan seperti apartemen-apartemen mahal di TV-TV. Kebayang kan gimana kehidupan keluarga itu? Beda jauh dengan kondisi Fyanti. Meskipun begitu, tidak menghalangi persahabatan antara Ifa dan Fyanti yang telah terjalin sejak kelas satu SMA. Nggak jarang Fyanti main ke rumah Ifa. Adik Ifa yang paling kecil, Fanny, sangat dekat dengan Fyanti. Mungkin karena Fyanti nggak punya adik, jadinya mereka terlihat akrab. Malah beberapa kali, mainan Fyanti dihibahkan kepada Fanny. Tentu saja, anak kecil itu sangat senang atas pemberiannya. Pernah juga, waktu kakak Ifa yang kerja di Sumatra mendapat kecelakaan, keluarga Fyanti membantu dengan membiayai pengobatannya selama di rumah sakit. Kejadian itu berbarengan dengan masuknya adik pertama Ifa ke SMP. Tentu saja, bantuan itu sangat berarti. ”Apa kabarnya Fyanti, Fa? Kok jarang kemari?” tanya ibu Ifa sore itu sembari melipat pakaian seusai dijemur. ”Baik, Bu. Dia lagi sibuk ngurusin beberapa kerjaan,” http://facebook.com/indonesiapustaka



jawab Ifa. ”Memangnya dia kerja juga?” ”Bukan kerja beneran sih, Bu. Fyanti kan suka bantuin papanya ngurus keuangan salah satu FO-nya.” ”Wah, hebat atuh. Kecil-kecil udah ngerti keuangan. Sok atuh kamu belajar juga dari Neng Fyanti. Biar pinter ngatur keuangan warung.” 53



”Ah, Ibu mah. Warung kita masih kecil-kecilan. Nggak sebesar FO-nya papa Fyanti.” Ifa meletakkan tas ke meja lalu mengganti seragamnya. ”Eh, si Eneng teh dibilangin. Justru karena masih kecil itu makanya kita harus belajar. Siapa tau kamu atau adikmu ada rezeki bisa ngembangin warung kecil Ibu ini.” Ibu Ifa meletakkan pakaian yang dilipatnya itu di meja yang sudah penuh dengan barang-barang lain, terutama mainan adik-adik Ifa. Meja yang tidak seberapa besar itu pun kini terlihat semakin penuh dan tidak rapi. ”Bu…” Ifa duduk di dekat ibunya. ”Sebenernya Ifa teh minder temenan sama Fyanti.” ”Lho, kenapa?” Ibu Ifa menyodorkan segelas air putih yang diambilnya dari dapur kepada anaknya itu. ”Habis, kayaknya Fyanti itu bisa melakukan apa saja yang dia mau. Malah, dia cuma mikir baru semenit lalu, eeeh nggak lama kemudian keinginannya udah ada di depan mata. Kayaknya enak banget gitu. Beda dengan kita.” ”Ifa…” Ibu Ifa menepuk bahu anaknya itu. ”Apa pun keadaan kita, kita mesti bersyukur, Nak. Allah sudah memberikan rezeki dan hidup sampai hari ini. Masing-masing http://facebook.com/indonesiapustaka



orang kan punya jatahnya sendiri-sendiri.” ”Iya, Bu. Tapi, kalau liat rumah kita yang kayak gini, Ifa iri dengan rumah Fyanti yang besar dan luas. Ada tempat bermain, ruang belajar, ruang nonton TV sampe ruang musik juga ada. Siapa yang nggak pengin?” Ibu Ifa tersenyum. ”Yah, itu kan memang rezeki mereka. Kita nggak boleh iri. Siapa tahu, nanti setelah kamu lulus 54



sekolah, terus bapakmu nguliahin kamu ke universitas bagus, kamu kerja di tempat yang bagus juga, dan kamu bisa punya rumah seperti itu,” hibur sang ibu. Ifa menunduk. Dia tahu, apa yang dikatakan ibunya bukan mustahil. Tinggal gimana daya juangnya mencapai itu. Cuma, ya tetep aja kondisinya saat ini membuatnya iri pada Fyanti. Memang Fyanti nggak pernah sombong apalagi merendahkannya, tapi Ifa tetap manusia biasa. Ada saatnya ujug-ujug rasa minder muncul. ”Sudahlah, jangan pernah bandingkan hidupmu dengan Fyanti. Dia juga punya kekurangan kok,” hibur ibunya lagi. ”Kekurangan Fyanti apa, Bu?” ”Dia nggak punya banyak saudara seperti kamu. Kan dia pernah curhat sendiri.” Ifa mencoba mengingat-ingat. Memang sih, Fyanti pernah bilang biar hidupnya berkecukupan, tapi bagian lain dari hidupnya terasa sepi karena dia cuma sendiri, nggak ada saudara. Jadi dia seneng banget kalau punya banyak teman. Dia merasa punya banyak saudara baru. Tapi, apakah benar itu kekurangan Fyanti? Sekali lagi ibu Ifa menepuk bahu anaknya. ”Setiap manusia http://facebook.com/indonesiapustaka



tetap punya kekurangan, Fa. Biar di depan mata kita kayaknya sempurna, pasti ada deh yang jadi kekurangan dalam diri atau hidupnya. Sekarang tinggal kamunya, apakah bisa bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah?” Ifa manggut-manggut. Tak lama, ibu Ifa menuju dapur dan menyuruh Ifa makan siang. Nasi dan lauk-pauknya sudah siap sejak tadi. Tinggal Ifa yang belum makan. 55



Sore-sore gini, sengaja dimanfaatkan Ifa untuk nongkrong di rooftop rumah susun lima tingkat itu. Di sana biasanya digunakan untuk menjemur pakaian, karena memang ada tempat khususnya. Kalau udah musimnya, antar atap rumah susun itu sering ada perang layang-layang atau nerbangin burung dara. Seru banget. Fyanti juga pernah merasakan serunya perang layanglayang di atap itu. Bersama Dewo, tetangga Ifa yang emang hobi banget main layang-layang, Fyanti diajarain main dan adu layang-layang dengan teman-teman dari atap sebelah. Rame deh. Dasarnya cewek, main layang-layang aja pake teriak-teriak. Bikin berisik aja. Tapi, itu bikin tambah seru plus semangat. Waktu itu Fyanti bahagia banget bisa main layang-layang. Katanya, seumur hidup baru itu kali pertamanya. Meski dia harus merelakan dua layang-layangnya—dari tiga yang dia beli—melayang karena kalah. Rona bahagia keliatan jelas di wajah putih mulusnya yang sempat memerah itu. Dia ketagihan main lagi keesokan sorenya. Sayang, kali itu Dewo harus ke rumah saudaranya dan ibu http://facebook.com/indonesiapustaka



Ifa nggak mengizinkan mereka bermain layang-layang tanpa Dewo atau teman cowok lain. Kalau ada apa-apa kan gawat juga. Akhirnya sampai sekarang, Fyanti dan Ifa nggak pernah sempet lagi bermain layang-layang. Dan, sore ini, di antara angin sepoi yang berembus, Ifa mengenang memori menyenangkan itu. Tadi dia sudah berniat menelepon Fyanti untuk ikutan nongkrong di sini. Tapi, 56



selain harus bantuin papanya ngitung duit pemasukan tokonya, Fyanti juga les ini-itu. Lebih dari tiga kayaknya. Ifa cuma les bahasa Inggris. Itu juga hasil sisihan duit jajannya tiap bulan buat bayar lesnya. Paling ditambah sedikit dari ayah-ibunya. Ifa nggak tega minta tambahan uang saku ke orangtuanya yang masih menanggung dua saudaranya lagi. Kalau dipikir-pikir, benar juga yang dibilang ibunya siang tadi. Meskipun Fyanti hidupnya berkecukupan, tapi nggak sebahagia Ifa, bisa ngapa-ngapain seperti sekarang. Nggak harus ngitung ini-itu, les di mana-mana atau terbebani nama bokapnya yang terkenal. Kalau Fyanti bisa melakukan banyak hal sebab ada banyak orang yang siap membantunya, Ifa bisa melakukan banyak hal karena memang dia bisa. Nggak perlu orang lain. Tuhan memang adil yaaa.....



Fyanti baru saja membuka Facebook-nya setelah lama ”bertapa”. Banyak banget pesan dan notiication. Memang sih, dia ikut berapa grup gitu. Mau leave group juga nggak enak, http://facebook.com/indonesiapustaka



karena masih sering komunikasi sama mereka. Sementara, satu grup yang diikuti Fyanti bisa ada sepuluh sampai dua puluh notiication per hari. Wuaahhh… Padahal ada sekitar satu-dua-tiga-empat-lima-enam-tujuhdelapan-dan masih banyak grup. Mulai dari les piano sampai pebisnis muda. Fyanti cuma mainin mouse, lalu meng-klik 5



ikon pesan, mendadak matanya tertuju pada pesan dari seseorang yang dia tunggu-tunggu. Dixon Derajad Heh, Non… Sombong amat baru bisa tau Facebook gue. Pasti lo nyebarin mata-mata ya sampai bisa tau akun asli gue? Nggak asyik lo! Usaha ndiri, ngapa? Kayak gue yang usaha sendiri biar bisa deket sama elo, dong. Tapi, makasih deh, lo udah bikin gue seneng hari ini. Sekalian deh ya, gue add nih! Jangan lupa confirm. Love Si ganteng: Dixon



Huweeek… Mendadak Fyanti pengin muntah begitu membaca balasan itu. Emang pede banget cowok satu ini. Kelamaan tinggal di luar negeri apa, ya? Ah, tapi nggak juga. Om Gery, adik Mama, segitu lamanya tinggal di Amerika, ketika balik ke Indonesia malah nggak http://facebook.com/indonesiapustaka



keliatan kalo dia pernah menetap lama di negara Paman Sam. Selain logat Sunda-nya masih kental, sopan santunnya sebagai orang timur juga masih dipakai. Nggak ada yang percaya deh kalau Om Gery lulusan dan pernah kerja di negara adikuasa itu. Kalo gitu, ini mah emang dasar orangnya kali ya… Menyebalkan. 5



Nggak kebayang deh, dia punya teman selama hidup di Kanada atau nggak? Apa nggak empet tuh teman-temannya di Bandung begitu tahu si Dixon over-pede kayak gitu? Fyanti baru menyadari bahwa si Dixon udah jarang SMS atau telepon nggak penting sejak beberapa minggu lalu. Hmm… Fyanti berpikir untuk membalas pesan itu atau tidak. Benaknya melayang ke nasihat papanya yang selalu dia pegang, agar menghargai orang lain meskipun orang itu sangat menyebalkan. Dan, orang yang sangat menyebalkan itu adalah Dixon. Fyanti mengambil napas sejenak. ”Kenapa ya gue harus kenal sama anaknya juragan obat itu?” keluh Fyanti. Tak lama, mouse-nya sudah mengarah ke ikon reply. Dia akhirnya membalas pesan itu, tapi dengan niat nggak mau cowok itu kepedean. Hi, Dixon si juragan obat… Ngaku aja deh kalo lo tuh sama kayak gue. Lo dapet http://facebook.com/indonesiapustaka



nomor gue pasti karena nyebar mata-mata ke seluruh penjuru Bandung. Nggak mungkin lah, orang yang belum lama balik dari Kanada bisa secepet itu dapet nomor gue. Secara gue orang terkenal gini, jadi nggak sembarang orang tau nomor gue.



5



Soal nyari Facebook lo, apa sih susahnya? Tinggal search ”juragan obat”, udah langsung keluar tuh berderet-deret. Haha… (nggak usah pake love-love deh… genit!) Fyanti tersenyum. Apa pun reaksi Dixon nanti, Fyanti nggak ambil pusing, pokoknya dia sudah menghargai dengan membalas pesannya.



Berita yang dibawa Fyanti hari ini amat sangat menyenangkan teman-temannya. ”Asyik-asyik, kita bisa ikutan kuliah!” sambut Ciska, seneng banget. ”Iya, bisa sambil ngecengin mahasiswa-mahasiswa,” tambah Rere. ”Wah… kita pemanasan dulu nih sebelum kuliah beneran,” Ifa nggak mau kalah. ”Iya, iya. Ngapain aja boleh deh. Mumpung gue lagi dapet celahnya,” jawab Fyanti nggak kalah seneng. Apalagi melihat http://facebook.com/indonesiapustaka



sambutan meriah dari teman-temannya. ”Tapi, ada syaratnya loh.” ”Wah, pake syarat segala. Apaan?” tanya Ciska. ”Penampilan kalian kudu kayak cewek kuliahan juga. Jangan gaya anak sekolahan kayak gini.” ”Itu sih pasti dong,” ketiga teman Fyanti serentak menjawab. 60



”Good.” Fyanti mengacungkan ibu jarinya. Ya, akhirnya niat pengin nyobain kuliah alias jadi mahasiswi gadungan bisa kesampaian. Meski satu tahun lagi mereka juga bakal merasakannya, tapi tetep aja senengnya nggak ketolongan. Kebetulan banget papa Fyanti jadi anggota yayasan pendidikan tinggi semacam sekolah tinggi ilmu ekonomi dan manajemen gitu. Jadi, setelah menunggu beberapa lama, ada celah untuk mereka bisa gabung di kelas sebagai mahasiswi. Pastinya setelah pulang sekolah. Hari Jumat kan mereka pulang lebih cepat sejam. Rencananya, saat itulah mereka beraksi.



Hari Jumat akhirnya tiba. Keempat cewek manis-manis itu udah nggak sabar ingin cepat selesai pelajaran sekolah. Ransel yang biasa dibawa, mendadak berat karena ada tambahan barang untuk persiapan kuliah. Begitu jam pelajaran selesai, tanpa banyak basa-basi, mereka langsung kabur dari kelas masing-masing menuju http://facebook.com/indonesiapustaka



mobil Alphard Fyanti yang memang selalu mengantar-jemput. Untuk sementara, Pak Lukman diminta turun sebab cewekcewek itu akan berganti pakaian. Mereka sengaja ganti baju di dalam mobil. Ganti baju kasual di toilet sekolah berisiko besar, bisa ketauan guru pulang sekolah kelayapan dulu. Untung kaca mobil Fyanti udah canggih, jadi nggak perlu khawatir kelihatan dari luar. 61



Nggak lama, tampilan keempat cewek yang semula berciri khas ABG, kini lebih menyerupai anak kuliahan. Nggak bakal ada yang nyangka deh kalau mereka sebenarnya masih kelas dua belas. Pak Lukman saja sempet pangling. Berhubung hanya menjalankan tugas, Pak Lukman langsung nurut begitu disuruh melajukan mobil ke kampus Ekonomi yang dimaksud. Lewat celotehan anak majikan dan teman-temannya itu, Pak Lukman tahu kalau dia sedang ikut dalam misi Fyanti. Sesekali Pak Lukman senyum-senyum. Mungkin dia membayangkan kekonyolan cewek-cewek itu menyamar menjadi mahasiswa. Ketahuan nggak ya kira-kira? Sesampainya di dekat kampus, Fyanti sengaja meminta Pak Lukman untuk tidak memarkirkan mobil di parkiran kampus. Fyanti nggak mau tahu tentang itu, pokoknya dia menyerahkan urusan parkir pada Pak Lukman, terserah mau di mana. Jadi, di ujung jalan menuju kampus, keempatnya turun dan berjalan menuju kampus itu. Mereka sempat berpapasan dengan beberapa mahasiswa. Sesuai kesepakatan, keempatnya terus berjalan seolahhttp://facebook.com/indonesiapustaka



olah mereka juga penghuni kampus itu. Sebisa mungkin mereka bertindak tidak mencurigakan atau tampak seperti orang asing di kampus itu. Apalagi nyasar. Waduh… jangan sampe deh. Malu-maluin dan penyamaran bisa terbongkar. Makanya, sebelum itu terjadi, Fyanti sengaja ke tempat satpam dulu yang udah ce-esan sama dia. Begitu Fyanti masuk ke ruangan itu, kedua satpam yang berjaga langsung 62



senyum-senyum dan mempersilakan Fyanti menjalankan niatnya. Dari dua satpam itu, Fyanti dan sahabat-sahabatnya tahu ruang kuliah yang sudah diperbolehkan untuk mereka. Ruangan berkapasitas sekitar seratus orang itu nggak jauh dari pintu gerbang. Kata salah satu Pak Satpam dan seorang pegawai kampus yang udah ce-esan sama Fyanti tadi, akan ada kuliah umum di ruangan itu. Perkuliahan ini diadakan paling nggak dua bulan sekali. Makanya, Fyanti mau memanfaatkan kesempatan ini. Pastinya nggak mungkin dong dosennya hafal semua mahasiswanya. Kalo soal absen mah, gampang deh! So, begitu sudah di ruangan itu, mereka sengaja mencari tempat duduk agak belakang, tapi tetap bisa melihat depan dengan jelas. Untung di deret itu masih tersisa empat bangku sehingga mereka bisa duduk berderet. Nggak sampai sepuluh menit, Pak Dosen masuk ke ruangan itu. Umurnya tampak lebih tua daripada papa Fyanti. Kata Pak Satpam, dia salah satu profesor yang mengajar di sana. Wah, pastinya orang pinter nih! Begitu perkuliahan dimulai, empat bersahabat itu langsung http://facebook.com/indonesiapustaka



mengeluarkan loose leaf yang mereka punya. Tentu saja, beberapa catatan pelajaran sekolah sudah disingkirkan. Mereka pun ikut mencatat seolah-olah mahasiswa sungguhan. Mereka lebih sering menghela napas, karena nggak ngerti apa yang dibicarakan Pak Dosen. Mereka hanya memandangi layar presentasi sambil bengong. Ukh! 63



Mending penjelasannya Pak Bagio guru PPKn deh. Seenggaknya pelajaran yang diajarkan masih nyangkut di kepala. Jadi, mereka masih bisa mencatat kalimat-kalimat penting Pak Bagio. Baru tiga puluh menit perkuliahan, Ifa dan Ciska sudah menguap. Rere malah mulai menggambar nggak jelas di notesnya. Kalo udah gitu, pertanda dia nggak ngeh dengan penjelasan sang dosen dan keadaan disekitar mereka. Fyanti masih bertahan, tapi bukan berarti dia ngerti materi perkuliahan itu. Fyanti ketawa-ketawa sendiri liat tingkah teman-temannya. Tangannya bergerak-gerak, pura-pura nulis. Lama-lama, mereka bosan juga. Padahal kuliah masih satu jam lagi. Di luar ekspektasi, ternyata kuliah itu nggak semenyenangkan yang mereka kira! Berbeda sama sekolah, satu jam sekolah paling lama 45 menit. Kalau di sini, satu SKS 50 menit bisa lebih, dan kuliah umum ini ada tiga SKS. Total kuliah umum ini lebih kurang 2,5 jam. Bosan dan ngantuk! Huwaaaa… http://facebook.com/indonesiapustaka



Sambil terkantuk-kantuk, mendadak Ciska melihat sesosok cowok yang kayaknya dia kenal baik. Ciska mengucek-kucek mata untuk memastikan. ”Fy… Bukannya itu teh si…si… si…” Ciska berusaha mengingat-ingat namanya sambil menunjuk cowok yang duduk di deretan depan sayap kiri— Fyanti ce-es duduk di deretan tengah. Mata Fyanti segera mengikuti arah telunjuk Ciska. Dia ikut 64



mengingat-ingat gerangan cowok itu. Begitu cowok itu tampak meminjam sesuatu dari teman di belakangnya, Fyanti terbelalak. ”Itu kan…” ”Edwin?” Rere segera mengenalinya. ”Hah? Edwin kuliah di sini?” Ifa segera menutup mulutnya begitu menyadari dirinya setengah berteriak. ”Ssstttt….” Ifa sedikit menunduk sebelum disewotin mahasiswa lain. Sementara Fyanti berpikir keras, matanya nggak lepas dari sosok Edwin yang kayaknya nggak sadar tengah diperhatikan. Fyanti ce-es yang tadinya ngantuk, berubah cenghar alias melek sebab bagian sayap kiri ternyata dipenuhi makhlukmakhluk yang layak dikagumi. Perkuliahan yang semula menjemukan mendadak menarik. Membuat sisa waktu perkuliahan terasa lebih cepat.



Perkuliahan berakhir. Ada tugas yang harus dikerjakan peserta kuliah. Tapi, itu kan buat mahasiswa sungguhan. Jadi, Fyanti



http://facebook.com/indonesiapustaka



ce-es itu sih cuek aja. Lagian mereka nggak ngerti urusan ekonomi makro! Dengan langkah lega, keluarlah mereka meninggalkan ruangan. Udah puas deh ngerasain jadi mahasiswa, yang ternyata lebih enak jadi anak sekolahan. ”Hei.” Sebuah suara menghentikan langkah Fyanti dan kawan-kawan. ”Kamu yang kemarin ke warung makan tempatku kerja, kan?” Suara itu tertuju pada Fyanti. 65



”Mmm…” Fyanti tak bisa menjawab. ”Kamu Fyanti, kan? Anaknya Pak Ferdian yang punya FO?” ”Mmm… Kok tahu?” ”Ya tahulah! Cuma orang-orang khusus aja yang bisa ngoprek dapur tanpa izin.” ”Mmm…” Ifa, Ciska, Rere berpandangan lalu cekikikan. Nggak bisa bantu Fyanti menjawab. ”Bukannya kamu masih sekolah di SMA Su…” Spontan Fyanti menutup mulut Edwin. ”Ssst… Jangan keras-keras.” Mata Fyanti melirik ke kanan-kiri, memastikan tidak ada yang mendengar. Edwin berusaha melepaskan tangan Fyanti dari mulutnya. ”Terus kenapa kamu di sini?” ”Ih, cerewet deh. Mau ngapain kan urusanku. Lagian kampus ini termasuk milik papaku. Boleh dong sekali-sekali main.” ”Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya kali. Apalagi kalo sampe ikut perkuliahan dan nggak ngerti kayak barusan. http://facebook.com/indonesiapustaka



Emang kamu ngerti?” ”Mmm…” Sekali lagi ketiga teman Fyanti berpandangan dan cekikikan. ”Nggak ada yang ngelarang kok kamu nyamar ke sini seperti kamu nyamar di FO papamu waktu itu. Tapi, kalo aku jadi dosennya, pasti udah aku keluarin. Penyelundup!” Edwin 66



berbisik di telinga Fyanti saat mengatakan ”penyelundup”, lalu pergi. Ifa, Rere, dan Ciska nggak tahan untuk nggak ketawa, sementara Fyanti cemberut. Sialan. Baru kali ini dia merasa disepelekan gitu. Sama seseorang yang nggak terduga pula. Sayangnya, Fyanti malah



http://facebook.com/indonesiapustaka



suka.



6



Bab 6



H



ARI ini long weekend. Seperti long weekend biasanya, Bandung



pasti diserbu para turis lokal dan internasional. Para pelancong itu akan memenuhi



setiap sudut kota. Malah kadang, di antara mereka, orang Bandung aslinya bisa dihitung jari. Ribet. Macet. 6



Pokoknya bikin males deh.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Untuk para pedagang, kesempatan seperti ini bisa digunakan untuk meraup uang sebanyak-banyaknya. Termasuk yang dilakukan papa Fyanti. Dengan menarik pengunjung melalui diskon besar-besaran, berha-



rap tokonya laku keras. Apalagi FO papa Fyanti ada hampir di setiap sudut. Gimana cara tahu FO milik papa Fyanti? Gampang kok. Di bagian depan tokonya pasti ada gambar peri kecil. Logo itu sebagai ucapan syukur majunya usaha Pak Ferdian sekaligus atas kelahiran Fyanti. Logo itu merupakan simbol kebahagiaan mereka. Kalau FO mereka sudah kebanjiran pengunjung, dijamin papa dan mama Fyanti terlihat sangat sibuk. Mengecek banyak hal dari satu FO ke FO lain. Meskipun mereka sudah punya orang yang sangat dipercaya buat ngurus, tapi ya tetap saja papa dan mama Fyanti tidak bisa lepas tangan, khususnya akhir pekan panjang. Lantas, kalau sudah begini Fyanti diminta untuk membantu mengurus keuangan. Dia tidak bekerja sendiri. Ada manajer keuangan yang sangat dipercaya papanya. Fyanti sudah belajar tentang keuangan perusahaan papanya sejak kelas sebelas. Selain bertujuan belajar tentang perusahaan untuk ke depannya, juga bisa melancarkan pelajaran akuntansi di sekolahnya. Awalnya memang susah untuk Fyanti. Apalagi saat masih http://facebook.com/indonesiapustaka



kelas sebelas. Lama-lama, berkat bimbingan sang papa dan manajer, Fyanti mulai terbiasa. ”Neng Piyanti nggak istirahat dulu? Dari tadi kok di depan komputer aja?” tegur Bi Acih sembari membersihkan tempat tidur Fyanti. ”Nanti, Bi. Lagi tanggung,” jawab Fyanti, tetap menekuri tugasnya. 6



”Nggak boleh lama-lama di depan komputer, Neng.” Bi Acih mendekati Fyanti, lalu memperhatikan nyaris setiap detail komputer itu. ”Kalo nggak kerja di sini pasti Bibi nggak tau ini namanya komputer.” Fyanti berbalik badan sejenak lalu terkekeh. ”Bibi mau belajar komputer?” Tangan Bi Acih bergerak-gerak menolak. ”Nggak. Nggak, Neng! Tadi Bibi teh cuma bilang…” Fyanti menahan senyum. ”Maksud Bibi teh, Bibi pikir-pikir komputer mirip tipi kan? Nah, dulu Emak-Bapak sering bilang ke Bibi supaya jangan keseringan nonton tipi, bisa sakit matanya.” Fyanti mengalihkan pandangan dari layar komputer. Ada benarnya apa yang dibilang pengasuhnya itu. Meskipun Bi Acih tidak mengenyam bangku sekolahan sampe tingkat tinggi, tapi pengalamannya jangan ditanya. Bisa jadi Fyanti malah kalah. Jadi, nggak ada salahnya kalau kali ini Fyanti nurut apa kata Bi Acih. ”Iya deh, Bi. Aku istirahat dulu. Tapi, ambilin air putih dingin ya,” pinta Fyanti. ”Oke, Neng.” Bi Acih langsung beranjak. http://facebook.com/indonesiapustaka



Tidak lama, Bi Acih kembali ke kamar Fyanti sambil membawa minuman dingin. Fyanti pun segera meminumnya. ”Eh, Neng, tadi pulang dari pasar, Bibi ketemu Pak Ranu, tukang becak yang sering mangkal di ujung kompleks itu,” Bi Acih mulai bercerita. ”Oh ya? Udah lama Bapak itu nggak ke sini ya, Bi?” 0



”Iya, Neng. Sejak ada Samun yang tanggung jawab taman, Pak Ranu jadi jarang dipanggil.” Pembicaran ini menarik perhatian Fyanti. ”Terus, selama ini dia kerja apa, Bi?” ”Ya, narik becak aja atuh, Neng!” ”Kan yang naik becak jarang sekarang, Bi. Banyak yang milih ojek.” ”Itulah, Neng. Dulu kan Pak Ranu sering dipanggil Tuan buat bantu bersihin taman. Seminggu sekali mah ada. Sekarang Pak Ranu cuma mengandalkan narik becak.” Benak Fyanti beralih pada sosok yang sejak kecil dia kenal dengan baik. Dulu, sebelum papanya sesukses sekarang, Fyanti selalu minta diantar-jemput becaknya Pak Ranu setiap sekolah. Meskipun sekolahnya nggak terlalu jauh mamapapanya nggak tega kalau anak semata wayangnya itu berangkat dan pulang sekolah sendiri. Jadi, dari TK hingga lulus SD, Pak Ranu setia mangantar-jemput. Mulai SMP, Fyanti sudah diantar sopir pribadi. Pak Ranu pun beralih menjadi tukang kebun panggilan. Paling nggak seminggu sekali dia datang mengurus halaman rumah Pak http://facebook.com/indonesiapustaka



Ferdian yang makin meluas berkat usaha tokonya. Dengan pekerjaan sampingan itu, Pak Ranu mendapat penghasilan tambahan untuk keluarganya. Namun, ketika Fyanti kelas 3 SMP, omanya membawa Samun dari kampung. Katanya, Samun butuh pekerjaan mengingat kampungnya sedang paceklik dan orangtuanya nggak punya pekerjaan lain. 1



Setelah mempertimbangkan banyak hal, Samun menjadi tukang kebun baru. Dengan begitu, Pak Ranu nggak dibutuhkan lagi. Namun, dia masih sering mampir ke rumah Fyanti. Pak Ranu masih dianggap seperti keluarga sendiri di rumah itu. Kedatangannya selalu disambut baik. Apalagi kalau menjelang hari raya. Keluarga Pak Ferdian memang selalu menyediakan bingkisan khusus menjelang Lebaran maupun Natal. Bingkisan ini diperuntukkan semua orang di lingkungan sekitar rumah mereka. Isinya sembako, baju, atau perlengkapan lain. ”Anak Pak Ranu berapa sih, Bi? Aku lupa.” ”Lima, Neng. Yang tiga masih kecil-kecil.” Fyanti manggut-manggut. ”Sedih juga deh, Bi, kalo inget nasib Pak Ranu. Gimanapun juga, Pak Ranu kan pernah berjasa sama, nganter-nganterin sekolah. Nggak peduli panas atau hujan.” ”Iya, Neng.” Bi Acih mengangguk dengan muka murung. ”Bibi juga sebenernya nggak tega. Apalagi inget anakanaknya yang masih kecil. Hasil genjot becak kan nggak tentu seharinya.” Fyanti terdiam. Suara serangga di luar terdengar lebih http://facebook.com/indonesiapustaka



keras daripada suara Bi Acih. Dalam hatinya yang paling dalam tentu ada iba pada nasib Pak Ranu. Fyanti ingin berbuat sesuatu, tapi apa? ”Om Danu masih kerja di showroom motor nggak, Bi?” tanya Fyanti tiba-tiba. Bi Acih tampak berpikir sejenak. ”Kayaknya masih. Ada apa, Neng?” 2



Tangan Fyanti segera meraih HP dan mencari nama yang dimaksud. Setelah ketemu, dia langsung meneleponnya. ”Om Danu kan pernah janji sama, mau kasih harga khusus kalo aku beli motor di tempatnya,” jawab Fyanti sembari menunggu telepon diangkat. ”Lho, Neng Piyanti mau naik motor? Emang udah bisa?” tanya Bi Acih, bingung. ”Bukan…” Kemudian muka Fyanti berubah sedih. Telepon tidak diangkat-angkat. ”Aku mau beliin buat Pak Ranu, Bi. Tapi, seperti pinjaman lunak gitu. Jadi, Pak Ranu bisa ngojek.” Bi Acih menggeleng-geleng. ”Ckckck… Neng Piyanti teh ya, baik bener!” Fyanti hanya tersenyum sembari kembali menelepon Om Danu. Tampaknya usahanya sia-sia. Telepon nggak diangkat juga. Fyanti menghela napas kesal. Tumben-tumbenan sepupu jauhnya itu nggak mengangkat teleponnya. Mungkin dia lagi sibuk melayani pembeli. ”Neng,” Bi Acih lebih mendekat ke Fyanti, ”Neng Piyanti tuh baik pisan. Mau nolong orang. Kalau boleh Bibi kasih http://facebook.com/indonesiapustaka



saran ya, jangan ngasih Pak Ranu sepeda motor.” Fyanti manggut-manggut lagi. ”Maksud Bibi?” ”Daripada Neng beliin Pak Ranu sepeda motor, mending modalin aja istrinya buka warung kecil di dekat rumahnya. Selain lebih praktis, kayaknya Pak Ranu itu udah ketuaan kalo harus belajar motor lagi, Neng. Bisa jatuh terus entar mah!” 3



Fyanti menahan geli. Bi Acih benar juga. Pak Ranu memang sudah terlalu tua kalau harus belajar naik motor. Apalagi merawatnya. Belum tentu juga Pak Ranu bisa bersaing dengan tukang ojek lain. Ide memberi modal pada istri Pak Ranu untuk membuka warung memang ide yang oke juga. Dari tadi nggak kepikiran oleh Fyanti. ”Gimana kalo baju-baju yang udah nggak kepake, yang Bi Acih beresin tempo hari itu, kita kasih ke anak Pak Ranu aja?” Bi Acih membelalak. ”Yang banyak pisan kemarin, Neng?” Fyanti manggut-manggut. ”Euleuh-euleuh itu teh judulnya mereka bisa buka toko baju sendiri, Neng.” Bi Acih geleng-geleng. ”Justru itu, Bi!” Fyanti bersemangat nerangin. ”Kita suruh aja mereka menjualkan baju-baju itu. Terserah deh ke mana. Entar hasilnya buat modal mereka buka warung. Gimana, Bi?” Senyum Bi Acih merekah. ”Wah, bener-bener. Neng Piyanti cerdas pisan! Bibi mah oke banget itu, Neng.” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Kalo Bibi oke, besok bantuin ngomong ke Papa. Biar makin mantep rencana ini.” Giliran Bi Acih manggut-manggut. ”Sekarang, Neng Piyanti tidur aja. Besok hari Senin loh. Kan ada upacara bendera. Entar kalo telat gawat.” ”Hehe… Iya deh, Bi. Fy juga capek.” ”Kalo gitu, Bibi ambilkan vitamin dulu ya.” 4



”Oke, Bi.” Fyanti mengacungkan jempol untuk Bibi pengasuh itu. Bi Acih pun keluar kamar untuk mengambil vitamin buat Fyanti.



Hari Senin berarti ada satu jam khusus untuk upacara bendera. Semua murid Yayasan Sukacita yang terdiri atas SD-SMA mengikuti upacara bendera di lapangan masing-masing. Minggu ini, bukan kelas Fyanti yang bertugas. Bukan juga kelas Rere dan Ifa. Mumpung sama-sama nggak bertugas, mereka yang bertetangga itu sengaja baris berdekatan. Apalagi kalau bukan supaya bisa bergosip. Selain itu, lapangannya memang rada sempit. Jadi, kudu rapet-rapet gitu. Demi bisa berdekatan, beberapa malah ada yang bertukar tempat. Tentu saja tanpa sepengetahuan guru piket yang ada di belakang mereka (atau emang tuh guru sengaja nyuekin, ya?) Kalo udah gitu bisa ngobrol bisik-bisik. ”Eh-eh-eh, liat deh si David tangannya kok merah-merah gitu sih?” tunjuk Rere ke arah Lany, tiga baris dari mereka http://facebook.com/indonesiapustaka



berdiri. David adalah teman sekelas Fyanti yang emang udah terkenal nakal seantero sekolah. Mulai kelas sebelas sampai dua belas pasti tau dia. ”Mana???” Ketiga ce-esnya semangat hendak melihat. ”Tuhhh,” tunjuk Rere makin terarah. ”Mana sih?” Ciska ikut penasaran. 5



”Oooh, itu...” Ifa mempertajam pandangannya. ”Apaan tuh?” sahut Fyanti. ”Habis kerokan kali,” jawab Ifa polos. ”Kerokan kok di situ. Malah sakit tauuukkk,” Fyanti nyaris teriak hingga dia tersadar sendiri lalu menutup mulut dengan telapak tangannya. ”Terus, kenapa dooong???” Ciska penasaran. ”Ssstt…” Rere berbisik biar omongannya nggak kedengaran yang lain, ”Merah-merah di tangan David itu bukan pertama yang gue liat. Dua minggu lalu lebih parah, sampe ada yang berdarah pula. Tapi, karena dia sering pake jaket, jadi ketutupan deh!” Keempat cewek itu berpandangan. ”Iya. Terus itu kenapa, geulis???” Ciska makin nggak sabar. Fyanti yang emang tahu saling melempar senyum. ”Dia bandel, suka cari masalah sama SMA lain. Kemarin Kamis masuk BK lagi gara-gara malak anak kelas sepuluh,” bisik Fyanti. ”Hah?! Masuk BK lagi?” Rere geleng-geleng. ”Jadi, kemarin Kamis dia nggak ada teh karena belajar di BK? Makin parah http://facebook.com/indonesiapustaka



aja tuh bocah!” ”Emang siapa yang dipalak?” tanya Ifa, tampak sangat tertarik dengan topik obrolan itu. ”Ehem. Hem…” Suara Pak Taslim dari belakang mengagetkan empat bersahabat itu. Spontan mereka kembali berdiri tegak dalam barisan. Daripada dimarahin. Ifa dan Ciska hanya bisa menahan penasaran. Sementara 6



Rere dan Fyanti menahan tawa melihat kedua temannya itu. Ifa dan Ciska emang sering nggak update. Kalau diajak ngomong serius apalagi berbau kenakalan remaja, sering lambat loading-nya. Tapi biarin aja. Paling habis upacara Fyanti dan Rere bakal dikejar-kejar. Hehe… Ketika lagi usaha konsentrasi upacara, HP Fyanti bergetar. Fyanti menoleh pelan-pelan ke belakang sambil lirik-lirik, memastikan Pak Januar lengah. Lalu Fyanti mengeluarkan HP dari saku roknya. Ada satu SMS masuk. Fyanti segera membuka. Hi, cantik…. Capek ya disuruh berdiri? Ntar gue traktir es deh… Biar adem. Fyanti membelalak. Ah, SMS dari si Juragan Obat! Dengan sembunyi-sembunyi, Fyanti memperlihatkan SMS itu ke Rere di sebelahnya. Setelah membacanya, Rere pun memberikan HP Fyanti ke Ifa dan Ciska di barisan di depanhttp://facebook.com/indonesiapustaka



nya. Mata Fyanti menyapu tiap detail sudut sekolah, mencari tahu si Dixon. Kok Dixon bisa ngerti Fyanti lagi upacara? Belum susah payah mencari, mata Fyanti menangkap sosok Dixon, begitu pula ce-es Fyanti. Dia sengaja berdadahdadah dari tempatnya berdiri. Fyanti mendadak manyun. 



”Gimana caranya dia bisa masuk sekolahan, ya?” gumamnya. ”Nyogok satpam kali, Fy,” jawab Rere yang ternyata mendengar gumaman Fyanti itu. ”Manjat tembok sekolahan kali,” bisik Ifa, ikut-ikutan. ”Hush… Itu sih sekalian terbang aja kaleee,” Ciska nggak mau kalah. Lalu ketiganya cekikikan. Ketika sadar takut berisik, mereka langsung menutup mulut masing-masing. Nggak lama, upacara bendera kelar. Seperti biasa, sehabis upacara, ada waktu 10-15 menit buat istirahat sebelum pelajaran dimulai. Nah, waktu luang ini digunakan Fyanti buat nyamperin Dixon yang udah nunggu di dekat lorong. Fyanti penasaran banget, kok bisa si Juragan Obat itu masuk ke area sekolah? ”Hai cantik, selesai juga ya upacaranya?” sambut Dixon begitu tahu dirinya sengaja didatengin. ”Heh, emang lo kira gue seneng di–SMS-in tadi?” teriak Fyanti. ”Gue nyamperin karena gue penasaran aja, kok lo bisa masuk ke sini? Kan lo makhluk asing.” Dixon membetulkan kerahnya. Berlagak sombong gitu. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Gini-gini mulai kelas 1 sampai 5 SD gue sekolah di sini loh,” jelasnya. ”Setelah kelas 6 baru pindah ke Jakarta lalu ke Kanada deh, sampe akhirnya hari ini ke sini lagi.” Fyanti nggak memercayai penjelasan Dixon. Tampang sulit dipercaya gitu, mana bisa Fyanti yakin? ”Nggak percaya?” tanya Dixon seolah tahu apa yang bergejolak di benak Fyanti. ”Sok, kamu tanya aja ke Pak 



Satpam SD itu. Gue tahu, namanya Pak Dudung. Dari zaman gue masih di sana, dia udah jadi satpam. Bahkan, sampe gue udah segede ini, Pak Dudung masih kenal gue dengan baik, makanya gue bisa masuk.” Pantesan dia bisa masuk seenaknya ke sini. Ternyata punya backing di SD, batin Fyanti. ”So, ngapain lo nyelundup ke sini?” Fyanti makin males berada di dekat Dixon lama-lama. Jatah istirahat juga hampir habis. ”Pengin ketemu lo aja.” ”Idiiihhh…” Fyanti makin BT. Kok ya alasannya nggak penting gitu siiih! ”Ini sekolahan! Bukan tempat buat janjian,” pekik Fyanti. ”Yang bilang ini mal juga nggak ada.” Dixon mengangkat bahu, cuek. ”Mau ketemu lo kan susah. Apalagi rumah lo banyak penjaganya. Jadi gue cari ide deh.” ”Ide yang nggak penting.” ”Biarin! Yang penting, kita ketemu sekarang.” ”Udah deh. Gue mau masuk kelas. Bentar lagi bel.” Fyanti siap-siap berlalu. ”Eh-eh, kapan kita ketemu lagi?” Dixon berusaha menanghttp://facebook.com/indonesiapustaka



guhkan langkah Fyanti. ”Kapan-kapan!” Lalu Fyanti meninggalkannya begitu saja.



”Neng Piyanti, ini ada bingkisan.” Suara Bi Acih menyambut kepulangan Fyanti. 



”Bingkisan apa, Bi?” tanya Fyanti sambil menerima bingkisan yang dibungkus kertas kado itu. ”Nggak tahu, Neng. Pak Satpam yang nerima.” Fyanti segera membuka bungkusan yang tidak terlalu besar itu. Jarang-jarang dia mendapat bingkisan kalau bukan momen tertentu. Itu pun juga dari orang-orang terdekatnya saja. Sejak kecil dia memang tidak diajarkan untuk menanti kado kalau bukan saat momen-momen berharga. Kata papanya, itu bertujuan tidak memupuk ketergantungan Fyanti akan hadiah-hadiah. Kalaupun Fyanti mendapatkan hadiah, itu karena prestasinya. Bukan gratisan. Nah, Fyanti merasa akhir-akhir ini tak melakukan apa pun yang bisa membuatnya mendapat hadiah. Ulang tahun masih jauh, hari penting ataupun hari raya, apalagi. Jadi, kenapa dia bisa mendapat kiriman berkertas kado merah jambu? Setelah membuka bingkisan itu, Fyanti tertegun sejenak. Ternyata isinya cangkir kecil bergambar peri, mirip logo toko papanya. Di bungkusnya, ada juga kartu kecil bertuliskan nama pengirim. Fyanti mengernyitkan kening. Di situ hanya http://facebook.com/indonesiapustaka



tertulis: Buat seorang peri kecil yang tiba-tiba hadir dalam hidupku. –ur secret admire-



0



”Segitu sewotnya sih, Neng,” komentar Ciska, saat mereka ngumpul di warung sunda Boga Rasa sore itu. ”Gimana nggak sewot. Ujug-ujug gue dapet bingkisan isinya ini?” Fyanti mengangkat tinggi-tinggi cangkir yang dia dapat siang tadi. Cangkir itu juga menarik perhatian Ifa. Lalu diambilnya dari tangan Fyanti dan diperhatikannya baik-baik. Dia menurunkan sedikit kacamatanya bak profesor. Gayanya seolah menyelidiki sesuatu di balik cangkir. Sempet bikin mesem-mesem teman-temannya. ”Cangkir ini boleh juga, Fy,” ujar Ifa setelah lama mengamati. ”Boleh apanya?” ”Boleh idenya, boleh bentuknya, boleh kreatifnya, boleh juga buat gue, kalo lo nggak mau.” ”Huuu...” Ganti Ifa yang mesem-mesem. Dia meletakkan cangkir itu di tengah-tengah meja sehingga semuanya bisa melihat. Begitu cangkir berdiri manis di sana, Rere dan Ciska jadi serius memperhatikan. Cangkir itu seakan punya daya tarik http://facebook.com/indonesiapustaka



tersendiri. Padahal dari segi warna, nggak aneh-aneh, cuma biru. Ukurannya juga nggak terlalu besar. Nggak puas deh minum di situ. Tapi, justru itu yang bikin cangkirnya menarik. ”Silakan pesanannya.” Suara pelayan cowok mengagetkan mereka. Spontan mereka menengadah, memandang cowok itu. 1



”Hei, Win… Kok udah datang?” tanya Rere membuang grogi. Edwin tersenyum. ”Sekarang memang lebih awal jam kerjanya, jam empat.” Edwin meletakkan pesanan di hadapan empat bersahabat itu. Untuk beberapa saat, mata Fyanti berserobok mata Edwin. Ketika menyadari tengah memperhatikan cowok itu, Fyanti tersipu sendiri. Edwin hanya bisa melempar senyum. ”Ehemmm.” Ciska pura-pura batuk. ”Kayaknya tadi gue pesen es lemon tea deh, bukan es teh…” Edwin kaget mendengar protes Ciska. Dan menyadari gelas itu berisi minuman berbeda dari pesanan Ciska. ”Astaga!!! Sori-sori… Pasti minumannya ketuker tamu di depan.” Edwin menepuk dahinya. ”Makanya, yang diliat itu tulisan pesanannya, bukan temennya yang pesen…” ”Hahaha…” ”Huuu…” ABG-ABG itu pun bersorak meneriaki. Edwin langsung masuk lagi, mengambil pesanan yang benar. ”Edwin beda ya sama Dixon,” ujar Fyanti sesaat setelah http://facebook.com/indonesiapustaka



Edwin masuk. ”Ya iyalah, lo pikir,” jawab Rere asal. ”Jadi, lo ke sini mau ngomongin Edwin, Dixon, atau cangkir itu, Fy?” kali ini Ciska yang menyahut. ”Ya semuanya. Biar nggak rugi gue nyuruh kalian ke sini.” Fyanti tersenyum lebar. ”Huuu....” 2



Berbarengan dengan itu, Edwin keluar lagi dari arah dapur warung. Kali ini dia membawa pesanan yang benar. ”Win, kamu tau nggak bikin cangkir kayak gini di mana?” tanya Fyanti. Langkah Edwin tertahan, begitu pertanyaan itu terdengar di telinganya. Segera dia ambil cangkir yang disodorkan Fyanti. Diperhatikannya baik-baik. Tak lama dia pun tersenyum. ”Ini mah bikinnya di Cheers Outlet, Fy.” Keempat cewek itu langsung terbelalak. Nggak nyangka Edwin bisa tahu secepat itu. ”Di sana kan ada outlet khusus bikin cangkir dan merchandise yang langsung cetak sesuai keinginan kita gitu,” jelas Edwin. Fyanti memandangi Edwin, seperti meyakinkan diri. ”Kok kamu tahu? Sering ke sana?” Edwin tersenyum. Dia membalik cangkir itu dan menunjukkan label nama di bawah cangkir. ”Ini brand Cheers Outlet kan?” Cewek-cewek itu berebutan melihat.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Bener, euy! Ada tulisan Cheers Outlet di sana. Selama ini Fyanti nggak memperhatikan. ”Saya kerja lagi ya. Kalau nanti butuh sesuatu, masih boleh kok panggil saya.” Edwin tersenyum manis dan melangkah pergi. Fyanti menghela napas. Kayaknya harapan bahwa Edwin yang mengirim cangkir itu sia-sia. 3



Bab 



K



ESEKIAN kalinya Fyanti ce-es berkumpul di rumah Fyanti. Kali ini bukan saja buat ngobrol-ngobrol, tapi juga bantuin Fyanti mengatur ruang musik yang udah lama nganggur.



Setelah lama menunggu, hari ini akhirnya alat musik yang



dibutuhkan tergenapi sudah. Keyboard, bass, drum, gitar listrik, dan gitar akustik, lengkap deh. Bahkan sound system 4



yang canggih pun juga sudah tersedia. Pokoknya latihan



http://facebook.com/indonesiapustaka



band di sini serasa di studio musik. Semua ini sengaja dibeli papa Fyanti sesuai janjinya. Papa Fyanti ingin anaknya mendalami musik, tentunya setelah prestasi Fyanti di bidang akademik. Namun,



Fyanti nggak mungkin bisa pakai studio itu karena di antara cewek-cewek itu, hanya Fyanti yang cukup bisa main alat musik. Dia sedikit menguasai keyboard. (Nggak jago-jago banget juga sih). Untuk gitar, dia harus belajar lebih serius lagi. ”Terus, nganggur atuh studionya,” ujar Ifa, menyayangkan begitu tahu Fyanti belum punya rencana ke depan terhadap studio itu, terlebih ce-esnya payah kalau soal musik. ”Nggak juga sih. Kan bisa dipinjemin ke temen-temen band sekolah, terutama kelas gue. Apalagi mau ada pensi,” jawab Fyanti enteng. ”Oooh…” Ifa manggut-manggut. ”Terus, kalo studio ini dipake, kamu ngapain?” ”Ya, paling gue ngiringin pake keyboard. Itu pun kalau temen-temen belum punya keyboardist. Atau nyanyilah dikitdikit. Kalau itu kan nggak perlu diragukan lagi.” ”Terus ngapain bangun studio atuh, Neng, kalau personel aja sebenernya nggak punya?” sambar Ciska dengan logat Sunda khasnya. Fyanti nyengir. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Kita les musik aja, Fy,” usul Rere. ”Les sama siapa? Gue males les-les segala,” sahut Fyanti sambil memetik-metik gitar akustiknya. ”Kok males sih?” ”Males aja kalo harus belajar dari awal.” ”Kalo guru les musiknya gue gimana, Fy?” Sekonyong-konyong ada suara cowok di ruangan itu. 5



Sontak keempatnya menoleh ke sumber suara. Di sana Dixon berdiri, di depan pintu yang baru saja tertutup otomatis. Dia memainkan alis kirinya. ”Eh, kok lo bisa kemari?” Fyanti langsung sewot. ”Lho, kan gue mau ngajarin lo musik. Ngapain lagi?” Fyanti menyipitkan mata. Kenapa orang yang paling menyebalkan di seluruh dunia ini tiba-tiba nongol? ”Emang lo bisa?” tanya Ciska. ”Bisa lah. Mau gue tunjukin?” Tanpa menunggu jawaban, Dixon langsung menuju keyboard. Sejenak kemudian terdengar alunan lagu, jari-jari Dixon semakin lincah menari di tuts keyboard. Sekitar lima menit kemudian, Dixon menuju drum dan memainkannya. Hmmm… oke juga pukulan dan ketukannya. Lumayan lancar dan enaklah. Terakhir, Dixon memainkan gitar. Dan, beberapa teknik sudah dikuasainya, seperti slide, tapping, alternate picking, dan lain lagi yang Fyanti sendiri udah lupa namanya. Jagoan to the max! Tepuk tangan Ifa, Rere, dan Ciska pun bergema. Fyanti masih ogah-ogahan. Dia memanyunkan bibir, kesal. Sebe-



http://facebook.com/indonesiapustaka



narnya dia memuji keahlian cowok itu dalam hati. Bisa menguasai satu alat musik aja bukan hal yang mudah. Dan ternyata, si Juragan Obat itu bisa melakukannya, nyaris semua alat musik. Huft… ”Hebat bener kamu, Xon,” puji Rere. Dixon besar kepala dipuji gitu. Dia sedikit membungkukkan badan lalu mendekati Fyanti. ”Gimana?” 6



”Gimana apanya?” jawab Fyanti, sengit. ”Ya, gimana permainan musikku? Enak, kan?” ”Huh,” Fyanti mengembuskan napas jengah. ”Kok kamu jadi sok jago, sok tau, sok perhatian gitu siiih???” ”All I wanna do dong!” Dixon nggak mau kalah. ”Denger ya, papa lo nitip beli alat-alat musik ini di toko kakak gue. Jelas gue tau lah. Secara, itu termasuk toko gue juga.” ”Bukannya lo cuma ngurusin obat doang?” ”Eits, gue orang sibuk, yang gue urus banyak. Tempat olah raga, toko musik, real estate…” ”Toko obat,” potong Fyanti cepat. Dia mengibaskan tangan, pertanda nggak minat lagi. Ketiga temannya cekikikan sembari mengikuti langkah Fyanti keluar ruangan itu. Sementara Dixon masih mencoba merayu Fyanti dengan menawarkan jasanya menjadi guru les. Gara-gara papanya si Dixon jadi tahu semuanya. Padahal seujung kuku pun nggak pernah terlintas di otak Fyanti untuk kontak atau ketemu lagi dengan si Juragan Obat satu itu. ”Gimana alat-alatnya, Fy? Lengkap kan?” tanya papa Fyanti ketika mereka sudah sampai di ruang tamu. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Udah, Pa. Lengkap semua,” jawab Fyanti rada nggak semangat. ”Terus, Dixon jadi melatih kamu dan teman-temanmu main musik?” Fyanti terbelalak. Tiga temannya apalagi. Mereka berpandangan. Kaget. ”Melatih, Pa?” 



”Iya, Dixon kan pinter main musik tuh. Jadi, sekalian ngajarin kamu dan teman-temanmu. Katanya sebenarnya kamu pengen ikut tampil di pensi sekolah.” ”Aduh!” Fyanti menepuk jidatnya. ”Saya sih siap-siap aja, Om. Yah, itung-itung bonus buat Om yang udah borong di toko kakak saya.” Dixon promosi dengan semangatnya, nggak memedulikan reaksi cewekcewek itu. Capek deh....



Beberapa hari ini Fyanti terlihat murung. Tidak seperti biasanya, penuh keceriaan. Terutama saat di sekolah. Temantemannya sampai heran. Ifa, Ciska, dan Rere tidak berani komentar apa-apa karena Fyanti lebih sering menekuk muka daripada mengumbar senyum. Padahal, tak biasanya Fyanti jauh dari keceriaan. Dia pernah bilang salah satu kebahagiaannya adalah bisa tertawa kapan pun dia mau. Menurutnya, dengan tertawa dia berusaha mensyukuri apa yang telah diberikan-Nya. (Tapi, ketawa yang beralasan ya. Kalau ketawa sendiri, ya gawat itu mah…) http://facebook.com/indonesiapustaka



”Kasian Fyanti ya,” komentar Rere sambil menatap sobatnya yang duduk sendirian di taman dekat lapangan basket. ”Iya. Mungkin gara-gara si Juragan Obat mau jadi guru lesnya, Fyanti jadi suka menyendiri gitu,” tambah Ciska. ”Dasar barokokok! Udah banyak gaya, resek pula!” Ifa jadi ikutan nafsu ngasih komentar. 



Fyanti memang sedang tidak ingin berkumpul dengan ceesnya. Dia asyik menikmati pemandangan taman. Seakan dia tidak peduli yang dilakukannya itu akan menimbulkan tanda tanya ataupun komentar orang. Tapi, nggak cuma ce-esnya yang kehilangan Fyanti, beberapa pekarya dan guru-guru yang selama ini dekat dengannya juga merasakan hal yang sama. Mereka kehilangan keceriaan Fyanti. ”Ada masalah apa sih sebenernya? Kenapa bisa murung sampe segitunya? Padahal biasanya kan dia santai-santai aja,” komentar Ciska lagi. ”Iya. Apa sih kurangnya hidup dia? Dia bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa kita lakukan.” Rere melipat tangan. Matanya tidak lepas memandang sobat baiknya itu. ”Samperin aja, yuk,” ajak Ifa. Rere dan Ciska tampak ragu-ragu. Tapi, Ifa menarik-narik tangan Ciska. Mau nggak mau, Rere jadi ikutan juga. ”Hai, Fy,” sapa Ciska ramah, dan langsung duduk di sebelah Fyanti. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut mungil Fyanti. ”Kok diem aja sih dari sih, Neng?” tanya Ifa, berdiri tepat http://facebook.com/indonesiapustaka



di depan Fyanti. ”Iya nih… Jadi kesepian nih tanpa celotehan lo.” Rere nyempil duduk di sebelah Ciska. ”Hhh…,” Fyanti menghela napas pendek. ”Kenapa, Fy?” Ciska memegang tangan sobatnya itu. Fyanti tidak menjawab. Pandangannya berkeliling ke segala penjuru. 



”Gue tuh sebel banget, kenapa dalam hidup gue sekarang muncul si Juragan Obat itu! Ngerusak kebahagiaan aja! Pake jalur Papa lagi,” cerocosnya, membuat ketiga sobatnya ternganga. Nggak nyangka apa yang Ciska duga sebagai penyebab utama sahabatnya begitu ternyata benar. ”Dia emang kaya. Tapi gue benci banget ngeliat orang kaya yang berbuat semaunya, apalagi sampai ngerusak kebahagiaan orang lain, kayak gue gini.” Ciska, Rere, dan Ifa serta-merta mengelus-elus pundak Fyanti, sekadar menenangkan. Wajah Fyanti terlihat menahan emosi yang bergejolak dalam hatinya. Angin yang berembus seakan tahu suasana siang itu, sepoi-sepoi menyejukkan tubuh. Hawa yang sempat gerah, kini sedikit berkurang. ”Emang dia bikin gara-gara lagi, Fy?” tanya Rere. ”Hhhh…iya.” Fyanti menarik napas lagi. ”Sejak ke rumah gue buat sok jadi guru musik waktu itu, dia sering neleponin, ngirim SMS, BBM, dan WhatsApp berentet. Kemarin malah pagi-pagi udah di depan rumah.” ”Ih, ngapain?” ”Mau nganterin ke sekolah katanya.” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Kok nggak jemput pas pulang aja?” tanya Ciska. ”Dia harus keluar kota siangnya.” ”Males banget…” Ketiga sobatnya sama-sama berujar. Sebentar kemudian mereka terdiam. Sesekali debu yang tertiup angin mengharuskan mereka menutup mulut dan mata. Maklum, di dekat lapangan basket kan banyak tanaman, pastinya banyak tanah-tanah, dan belum disirami pula. 0



Nah, kalau sedikit ketiup angin begini, debu-debunya jadi beterbangan. Apalagi kalau puncak musim kemarau tiba. Jauh-jauh deh dari lapangan basket. Olahraga saja biasanya diganti teori atau sesekali berenang di kolam renang umum dekat sekolah. ”Gue kira, jadi orang yang bisa melakukan apa pun semaunya itu enak, Fy. Kan nggak semua orang bisa begitu. Tapi, ternyata… malah bikin orang lain sebel juga,” Ciska mengutarakan pendapatnya. ”Yah, manusia kan punya jatahnya sendiri-sendiri, Cis,” Rere mencoba bijak. ”Bener juga sih..” ”Terus, apa rencana lo, Fy?” tanya Ifa. Fyanti menggeleng. ”Gue sendiri bingung harus gimana. Apa pun yang gue lakuin, pasti Dixon ikutan. Dia kan nggak mau kalah.” ”Eh…” Mendadak Ciska memetik jari. ”Gimana kalo kita minta bantuan Edwin?” ”Maksud looo?” ketiga temannya serempak bertanya. Ciska senyum-senyum penuh arti. ”Edwin kan sebenernya bisa main musik juga tuh. Inget http://facebook.com/indonesiapustaka



kan waktu terakhir kita main ke Mode In dia lagi istirahat sambil main gitar?” Ketiga temannya mencoba mengingat-ingat. Tak lama mereka manggut-manggut. Memang beberapa waktu lalu mereka sempat ke Mode In. Namun, mereka tidak makan di warung tempat Edwin bekerja. Mereka mengamati Edwin dari kejauhan. Dan warung tersebut tampak sepi pembeli. 1



Edwin bermain gitar mengiringi temannya menyanyi. Fyanti dan ce-es sepakat, memang Edwin lumayan jago main gitar. ”Nah, gimana kalo kita minta dia ikut Fyanti latihan musik. Lo tenang aja, Fy, urusan nanti main musiknya gimana pikir belakangan. Yang penting kita ajak dia dulu.” ”Tapi, Dixon gimana? Dia kan suka nekat. Dia bisa ngelakuin yang aneh-aneh lagi,” ujar Ifa. ”Paling nggak biar Dixon rada melek. Biar dia tahu ada orang lain yang nggak kalah bagus dari dia. Jadi, mestinya dia nggak seenaknya sendiri.” ”Ckckck… Oke juga ide lo. Kadang lo cerdas juga ya, Cis,” goda Rere. ”Yeee…” Ciska menjitak Rere. ”Bukan kadang, emang gue sering cerdas.” ”Iya, tapi sayangnya jarang ketauan. Banyak leletnya sih, alias DDR.” ”Apa tuh?” ”Daya Dong Rendah.” Tawa mereka langsung pecah. ”Sialan.” http://facebook.com/indonesiapustaka



Meski nggak terima jadi bahan olok-olok gitu, Ciska senang akhirnya Fyanti bisa ketawa. Wajah Fyanti terlihat segar lagi. ”So, what should we do?” tanya Ifa serius. Ditanya begitu, Ciska dan Rere jadi terdiam. Mereka tampak berpikir, mau ngapain habis ini. Belum lama mereka berpikir, bunyi lonceng masuk kelas 2



terdengar. Mau nggak mau, mereka harus bubar dulu. Soalnya, ini jam pelajaran Pak Rahman yang disiplin banget. Kalo ada yang telat masuk, berabe deh… So, Ciska dan Fyanti buru-buru menuju kelasnya supaya nggak dapat masalah dengan Pak Guru satu itu. Mereka berjanji akan secepatnya membahas masalah ini lagi.



Makin banyak pepohonan yang meneduhkan jalan ditebang. Katanya sih karena usia pohonnya sudah tua. Dikhawatirkan malah tumbang dan membuat masalah lebih besar. Akibat penebangan itu, jalanan jadi terasa lebih panas. Sinar matahari yang jatuh seakan langsung mengenai kulit, kayak dicubit. Yah, mungkin ini juga salah satu dampak global warming. Tambah gerah aja deh bumi. Tapi, itu tidak menghalangi Fyanti ce-es yang tengah menunggu seseorang. Mereka sengaja mencari tempat teduh. Seragam sekolah yang mereka kenakan sedikit mengundang perhatian orang-orang, namun mereka nggak memedulikannya. Lha wong mereka sebenarnya juga nggak http://facebook.com/indonesiapustaka



ngapa-ngapain kok di kampus itu. Bentar lagi juga balik. ”Eh-eh, tuh Edwin!” seru Ifa sambil menunjuk-nunjuk ke arah depannya. Semua mata langsung beralih ke sana. ”Edwin!” teriak Fyanti begitu melihat sosok Edwin yang berjalan keluar kelasnya. Edwin tampak bingung, mencari-cari orang yang me3



manggilnya. Maklum karena memang jarak mereka rada jauh. Fyanti yang mengetahui ekspresi Edwin langsung memberi tanda dengan lambaian tangannya. Tak lama, Edwin pun melangkah ke arah gerombolan cewek-cewek berseragam khas SMA Sukacita itu. ”Hai! Kalian mau ikutan kuliah lagi pakai seragam gini?” tanya Edwin sambil menahan senyum. ”Ya nggaklah,” jawab Ciska setengah centil. ”Masa iya kita nyamar pake atribut asli.” ”Lha terus, ngapain tumben-tumbenan ke kampus?” ”Mau ketemu kamu.” ”Gue?” Edwin menunjuk dirinya sendiri, mulai ber-lo-gue. ”Iya, mau ketemu lo.” Rere maju mendekati Edwin. Sekarang posisi mereka berhadap-hadapan. ”Tepatnya si Neng Fyanti ini yang mau ketemu. Gue, Ifa, sama Ciska sih nganterin doang.” ”Oooh.” Edwin manggut-manggut. Fyanti ragu-ragu. Lalu dia memberanikan diri untuk mengatakan apa yang menjadi niatnya. ”Kenapa, Fy?” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Hmmm…” Fyanti masih tampak ragu-ragu. ”Ngomong aja, Fy,” ujar Edwin. Sementara teman-teman Fyanti main lirik dan kode-kodean pake mata. ”Hmmm… Gue mau minta tolong sama lo, Win,” sahut Fyanti, ikut ber-lo-gue. ”Minta tolong?” ulang Edwin. ”Minta tolong apa?” 4



”Hmmm…kan…kan…sekolahan mau ada pentas nih, kebetulan gue sama beberapa temen punya ide buat ikutan. Nah, tapi kami merasa mainnya kurang bagus. Mau nggak, lo… lo bantuin gue dan teman-teman?” ”Ngelatih kalian?” Fyanti mengangguk-angguk. Edwin memandang Fyanti dengan tatapan heran. Dipandangi begitu, Fyanti jadi salah tingkah, lalu ganti memandangi Ifa, Ciska, dan Rere bergantian. Seolah tatapan Edwin mengatakan dia nggak percaya banget Fyanti minta bantuan seperti itu. ”Ini serius?” Sekali lagi Fyanti mengangguk-angguk. Kali ini jarinya teracung membentuk huruf ”V”, tanda bahwa dia sungguhsungguh. ”Lo lagi sakit, ya?” tanya Edwin masih dengan muka bingung. ”Sakit gimana?” Fyanti malah jadi bingung sendiri. ”Fyanti, denger ya, gue kan bukan pemain musik profesional? Mana bisa ngajarin kalian nge-band,” jawab Edwin serius. ”Mending lo nyewa pengajar profesional http://facebook.com/indonesiapustaka



sekalian…” ”Justru gue minta tolong ke lo itu supaya kita bisa samasama belajar,” Fyanti berusaha ngeles, meyakinkan Edwin agar bersedia. ”Lagian, gue juga udah tahu lo suka manggung di acara-acara kampus.” Edwin kaget. ”Kata siapa?” Fyanti memberi kode pada Ciska untuk memperlihatkan 5



album foto yang tadi sudah dia cetak. ”Nih, di sini ada fotofoto lo waktu manggung.” Memang lengkap banget senjata mereka untuk ”menangkap” Edwin. Masih dengan tampang kaget, Edwin membuka album yang diberikan padanya. Di sana ada aksinya dengan beragam pose ketika manggung di beberapa acara musik di kampus. ”Kok kalian bisa dapet ini?” ”Yah, Cozyire, band lo itu kan termasuk band yang cukup terkenal di pentas musik kampus. Sering banget dipanggil, kan?” jawab Rere mewakili Fyanti. ”Lagian, soal beginian mah nyarinya keciiil!” tambah Rere sambil memetik jarinya. Edwin nggak bisa komentar banyak. ”Tetep aja, gue bukan pelatih band. Gue cuma suka musik,” ujar Edwin berusaha membantah. ”Kan sudah gue bilang, itu bukan urusan penting. Dengan pengalaman lo manggung di banyak acara kampus aja itu udah jadi nilai plus. Kita bisa sama-sama belajar banyak nantinya,” Fyanti menjawab, berusaha meyakinkan agar Edwin mau melatihnya. Kalau sampai Edwin nggak mau, kan bisa gawat. Pokoknya Fyanti nggak mau dilatih sama Juragan http://facebook.com/indonesiapustaka



Obat itu. ”Gimana?” Edwin tidak menjawab. Dia memandangi satu per satu cewek di hadapannya itu, terutama Fyanti. Yang dipandangi sih cuek aja, meski kadang ketahuan malu-malu juga. Edwin mengambil napas. ”Oke deh! Kalo kamu yakin banget kayak gitu, tapi ada syaratnya ya, gue mau…” Belum selesai Edwin berbicara, teman-teman Fyanti itu 6



sudah bertepuk tangan kegirangan. Kacamata Ifa sampai mau jatuh saking girangnya, apalagi dia juga loncat-loncat kayak anak kecil dapet permen selusin. ”Sip!” Fyanti menyalami Edwin sebagai tanda jadi. ”Kalo gitu gue tunggu lo di rumah ya, jam enam sore entar.” ”Lho, kok di rumah lo?” Edwin bingung lagi. ”Emang latihannya di studio mana?” ”Yaaahhh… Belum tau dia,” ujar Ciska, menyepelekan Edwin yang emang nggak tahu apa-apa. Kelihatan dari tampangnya. ”Di rumah Fyanti kan ada studio musik getooo…” ”Oooh!” Tampang Edwin nggak berubah. Lempeng malah. ”So, jangan lupa nanti sore jam enam ya! Let’s go girls,” Fyanti mengajak teman-temannya pergi. Edwin hanya bisa garuk-garuk kepala. (Dijamin itu bukan karena ketombe atau koreng di kulit kepala. Tapi, memang nggak ngerti lagi sama kelakukaan ABG-ABG itu.)



Pukul enam sore lebih sedikit terdengar bel pintu gerbang http://facebook.com/indonesiapustaka



rumah Fyanti berbunyi. Pak Satpam yang bertugas segera membukakan pintu dan mempersilakan sang tamu masuk. Dengan sungkan-sungkan, sang tamu pun menuju halaman luas rumah Fyanti yang baru dia kunjungi untuk pertama kalinya. Kekaguman melingkupinya atas apa yang terpampang di depan matanya. Di dekat pintu masuk, tampak beberapa motor terparkir 



rapi. Garasi mobil yang terbuka memperlihatkan mobil-mobil bermerek. Edwin sempat menggeleng-geleng saking kagumnya. Lagi di istana apa ini ya? batinnya. ”Hai, Win! Ngapain bengong di situ? Ayo, masuk,” ajak Fyanti, lalu dia melambaikan tangan. Rambut bob-nya tampak berkilau diterpa cahaya lampu teras. Edwin mengangguk lalu segera menaiki anak tangga menuju pintu masuk, menghampiri Fyanti. Lalu Fyanti mengajaknya langsung ke studio musik. Pertama mereka melewati ruang tamu. Ruang tamu itu berukuran tidak terlalu besar, tapi cozy banget. Rumah bak istana itu terasa sangat nyaman dan tampak rapi. Nyaris nggak ada debu setitik pun yang menempel. Bersih bangeeeet… Kemudian mereka melewati ruang makan, ada semacam koridor kecil yang menghubungkan ruang makan itu dan tangga kayu. Fyanti diikuti Edwin menaiki tangga itu menuju lantai tiga. Ada dua arah, ke kiri dan kanan. Langkah Fyanti tertuju ke arah kanan. Di sana ada pintu masuk menuju sebuah ruangan. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Temen-temen udah nungguin lho,” kata Fyanti sambil membukakan pintu. Begitu pintu terbuka, ada sekitar tujuh orang di sana, termasuk tiga ce-es Fyanti. ”Haaaiii,” sambut anak-anak di dalam ruangan kedap suara itu. ”Temen-temen, ini Edwin,” Fyanti memperkenalkan Edwin. 



”Dia yang akan belajar musik sama kita. Dia sendiri udah sering manggung, kayak yang udah gue ceritain kemarin.” ”Ah, biasa aja kok,” sahut Edwin, lalu segera menjabat tangan anak-anak itu satu per satu. Teman-teman band Fyanti terdiri atas Benny pegang drum, Tatia pegang keyboard, Selo pegang bass, dan Dadang gitar elektrik. Tatia sekelas dengan Rere dan Ifa, sedangkan Benny, Selo, dan Dadang dari kelas lain. Fyanti emang sering papasan sama Benny dan Selo di kantin, lalu akhirnya mereka sepakat mendirikan band karena mereka tahu mereka samasama suka musik. Terlebih akan ada pensi, mereka tambah semangat. Sementara itu, Fyanti memang memilih menjadi vokalis (ya daripada main keyboard), dan band itu diberi nama Bintang Pagi. Fyanti lebih PD nyanyi daripada bermain keyboard. Suaranya khas. Nggak ada kesan dibuat-buat walaupun sebenarnya dia merasa suaranya nggak bagus-bagus amat. Masih sering belok alias false. Tapi, Fyanti janji untuk terus mengasahnya. ”Nah, Win, itu masih ada gitar satu lagi. Kami sih pengin http://facebook.com/indonesiapustaka



ada unsur gitar akustik gitu. Kayaknya kan oke tuh,” cerocos Fyanti sembari menunjuk sebuah gitar akustik di pojok. Edwin langsung mengambil gitar itu. Dia menimangnimangnya sebentar, lalu memetik-metiknya dengan raut muka serius, menghayati nada. Tak lama dia tersenyum. ”Kita coba deh,” ujarnya. Setelah berunding sebentar lagu apa yang akan dinyanyi



kan, band Bintang Pagi itu langsung hanyut dalam latihan mereka. Langit senja menjadi saksi bagaimana kumpulan remaja itu



http://facebook.com/indonesiapustaka



belajar berkarya.



100



Bab 







S



IANG, Pak,” sapa Edwin begitu kakinya sudah menginjak lantai rumah besar itu keesokan harinya. ”Ooh, Nak Edwin. Silakan masuk,” Pak



Ferdian mempersilakan tamunya masuk. ”Terima kasih, Pak.” Edwin pun masuk. ”Fyanti dan tementemen band-nya sudah datang, Pak?” ”Sepertinya beberapa sudah ada yang datang. Tapi, mungkin belum lengkap kok,” jawab Pak Ferdian.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Edwin senyum-senyum saja. ”Sambil nunggu yang lain, saya ingin ngobrol sebentar sama kamu. Ayo duduk!” Pak Ferdian melipat koran yang tadi dibacanya. Edwin mendadak grogi



101



karena diajak ngobrol bos besar. Cowok rapi yang punya tahi lalat di pipi kanan bawah itu merasa panas-dingin. Kira-kira bakal ditanyain apa aja ya… ”Kamu yang kerja di warung Boga Rasa di Mode In, ya?” tanya Pak Ferdian, memulai pembicaraan. ”Iya, Pak. Saya kerja di sana,” jawab Edwin, sembari sedikit mengangguk. Masih deg-degan juga. ”Sebagai apa?” ”Pelayan, Pak.” ”Kok bisa kamu kerja di sana? Ngelamar sendiri atau gimana?” ”Mmm… Lewat pengumuman di kampus, Pak.” ”Maksudnya?” ”Waktu itu ada pengumuman di kampus saya, lowongan pelayan di warung Boga Rasa. Lalu saya melamar ke sana dan diterima.” ”Oooh…” Pak Ferdian mengangguk-angguk. ”Memangnya kampusmu di mana?” ”Di Sekolah Tinggi Ekonomi Setiakata Utama, Pak.” ”Oooh… Ya, pantaslah. Saya tahu beberapa outlet memang sering mengumumkan lowongan kerja di sana.” http://facebook.com/indonesiapustaka



Edwin hanya membalas dengan senyum. ”Jurusan apa kamu?” ”Jurusan Akuntansi, Pak.” ”Good.” Beberapa saat kemudian datang pembantu Pak Ferdian meletakkan dua gelas minuman di hadapan keduanya. ”Silakan diminum, Win!” 102



”Terima kasih, Pak,” jawab Edwin sembari mengambil gelas berisi minuman berwarna kemerahan itu. ”Hari ini kamu nggak kerja?” ”Saya ambil libur hari ini, Pak. Sudah janji sama Fyanti dan kawan-kawan.” ”Oooh…” Untuk kesekian kali Pak Ferdian menganggukangguk. ”Rumahmu di mana?” ”Di Sukajadi, Pak.” ”Wah, lumayan jauh juga dari kampus dan tempat kerjamu. Gimana kamu mengatur waktu?” Edwin tersenyum kecil. Pak Ferdian ini ternyata orang yang perhatian. Jauh dari kesan seram seorang bos. Grogi yang tadinya belum bisa Edwin atasi, sekarang pelan-pelan meluruh. Edwin mulai enjoy mengobrol dengan papa Fyanti. ”Saya memang harus pinter-pinter ngatur waktu, Pak. Nggak bisa malas-malasan,” jawab Edwin sedikit bercanda. ”Tapi, kalo jamnya lagi nggak mendesak, saya biasa naik sepeda. Sekalian olahraga juga.” ”Good… good…” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Eh, Edwin udah dateng.” Fyanti tiba-tiba muncul dari dalam ruangan. Edwin menoleh dan memberikan senyum manisnya. ”Pasti diajak ngobrol dulu sama Papa, ya?” Papa Fyanti tertawa renyah. ”Kamu ini, Papa kan pengin kenal, kok nggak boleh sih?” protes Pak Ferdian. ”Pasti Papa gencar nanya, ya?” Edwin jadi serba salah. Untung Pak Ferdian segera mene103



puk bahu Edwin, menghilangkan kecanggungannya. Bersamaan dengan itu, Selo dan Benny datang. ”Kalian latihan saja dulu. Ngobrolnya dilanjut besok-besok ya, Win.” ”Siap, Pak. Terima kasih ya.” Setelah bersalaman dengan papa Fyanti, Selo, Benny, dan Edwin mengikuti Fyanti yang berjalan menuju ruang musik. Yang lain sudah menunggu di sana. Mereka konsentrasi pada dua lagu yang akan dibawakan di acara pentas seni sekolah sebentar lagi. Satu lagu Barat, satu lagi lagu lokal berbahasa Indonesia yang lagi populer. Kedua lagu itu merupakan lagu romantis, meskipun tidak mendayu-dayu. Edwin dan Dadang yang mengaransemen kedua lagu tersebut. Meskipun keduanya baru beberapa kali ketemu, tampaknya selera musik mereka sama. So, ketika mencoba mengaransemen lagu untuk pertama kalinya, mereka langsung cocok-cocok saja. Keduanya saling memberi masukan dan saran. Nggak heran kalau dalam waktu singkat, kedua lagu itu bisa dinyanyikan dalam gaya baru. Fyanti sebagai vokalis pun nggak merasa kesulitan. http://facebook.com/indonesiapustaka



Menantang malah. Pokoknya latihan band kali ini jadi latihan yang paling menyenangkan. Tiga jam kemudian mereka sepakat untuk menyudahi latihan. ”Thanks ya, Win,” ucap Fyanti sambil membereskan kabel mik. ”Buat apa?” tanya Edwin balik. 104



”Karena lo mau ikut latihan band kami. Kami jadi termotivasi.” Edwin tersenyum kecil. ”Sama-sama, gue juga seneng kok.” ”Win, Fy, gue pulang dulu ya… Hari ini gue nggak bisa nemenin kalian latihan lama-lama nih,” Ifa tiba-tiba berpamitan. ”Eh, lo ninggalin nih?” Rere nggak terima. ”Katanya mau pulang entaran aja?” tambah Ciska yang juga nggak suka Ifa mau pulang duluan. ”Lagian kan kita diantar pulang Pak Lukman nanti.” ”Bukan gitu, Cis. Gue mau ngerjain tugas dari nyokap. Tadi pulang sekolah belum selesai.” ”Emangnya rumah lo di mana, Fa?” tanya Edwin ingin tahu. ”Di Sukajadi,” jawab Ifa singkat. ”Sukajadi? Di mananya?” Edwin makin penasaran. ”Di rusunnya. Emang tau?” ”Waaah, Di blok mana?” Ifa menatap Edwin, curiga. ”Kayak lo ngerti aja…” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Jawab dulu, lo di blok mana?” Edwin tampak nggak peduli dengan kecurigaan Ifa. ”Di blok D.” ”Waaah…” Mata Edwin membelalak. ”Jauh dari rumah gue.” ”Lha emang rumah lo di Rusun Sukajadi?” Edwin mengangguk. 105



”Kalian tetanggaan dong?” tanggap Ciska sambil menunjuk Ifa dan Edwin bergantian. Edwin dan Ifa cuma ketawa. ”Kok nggak saling kenal?” ”Gue tinggal di blok K.” ”Panteees.” Ifa melengos. ”Pantes kenapa, Fa?” Fyanti yang dari tadi memperhatikan keduanya, penasaran juga. ”Pantesan gue nggak kenal dia. Blok gue sama dia kan jauh-jauhan,” jelas Ifa. ”Oooh.” Fyanti mengangguk-angguk ngerti. ”Tapi, kan satu rumah susun, Fa.” ”Eh, Neng, di rusun itu ada sekitar lima belas blok. Satu blok bisa dihuni sampe 65 kepala keluarga. Nah, lo kaliin sendiri berapa kepala keluarga yang nempatin. Emang gue bisa hafal semua penghuni?” Fyanti serius memperhatikan penjelasan Ifa barusan. Banyak juga penghuni rusun itu. Kirain cuma berapa puluh gitu. Nggak taunya ratusan orang. Wajar deh kalo Ifa dan Edwin nggak saling kenal. Terlebih Blok D dan Blok K lumayan jauh rentangnya. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Tapi, kayaknya gue pernah deh liat muka lo berkeliaran di sekitar rusun.” Ifa berpikir sejenak. ”Oooh… gue tau!!!” Ifa mendadak senang, tampaknya dia berhasil mengingat kapan pernah melihat Edwin sebelumnya. ”Lo yang main suling sama Didot waktu 17 Agustus tahun lalu kan, ya?” Edwin tersenyum kecil lagi. ”Yup. Gue emang yang main 106



suling waktu Didot tampil main kecapi di acara 17 Agustusan rusun kita.” Ifa makin ngerti. ”Terus, Didot itu siapa?” ”Didot itu adik gue yang ketiga. Dia yang paling berbeda diantara kami. Dia kena down syndrome.” Kali ini semua yang ada di sana melafalkan huruf O. ”Didot emang punya bakat musik luar biasa. Salah satunya main kecapi itu.” Semua yang hadir mengangguk-angguk. Ya nggak aneh sih kalau adiknya bisa main musik. Kakaknya aja jago bermusik gitu. Tanpa Edwin sadari, ada kekaguman yang menyeruak dari dalam hati Fyanti. Kekagumannya pada kesederhanaan Edwin. Dia nggak nyangka, selain rajin, Edwin juga berbakat. Hidupnya bernilai banget gitu. Cowok kayak gini nih yang bener-bener ganteng. ”Jadi gimana, Fa? Mau pulang sekarang atau entar aja, sekalian bareng sama tetanggamu ini?” goda Rere. Ifa mengembangkan senyumnya. ”Ya, kalo tau gitu mah, gue pulang bareng tetangga gue aja deh. Jadi, kalo gue dimarahin Ibu, ada yang bisa belain deh. Hehe…” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Huuu!” Kontan semua teman-temannya bersorak. Meskipun cuma bercanda, apa yang dikatakan Ifa barusan sedikit menorehkan luka di hati Fyanti. Tiba-tiba dia khawatir, gimana kalau Ifa dan Edwin malah jadi dekat? Benaknya melayang ke mana-mana. Mereka berdua punya rumah berdekatan. Kesempatan bertemu kan makin terbuka. Rasa tidak suka memenuhi hati Fyanti. Terlebih, Fyanti tidak mungkin 10



bisa sering-sering bertemu Edwin, ya rumahnya jauhan gitu. Kalaupun dia mau nyamperin, ya nggak enak dong nggak sekalian ke rumah Ifa. Sebel… Kok Fyanti jadi takut gini, ya? Tanpa Fyanti sadari, sepasang mata Edwin memperhatikan perubahan raut wajah Fyanti. Keningnya berkerut, seakan berpikir, apa yang membuat cewek itu jadi kelihatan nggak bahagia.



Pagi ini, Fyanti mendapat ”laporan langsung” dari Ifa tentang pengalamannya semalam ketika Edwin mengantarkannya pulang. Edwin mampir sebentar untuk sekadar berkenalan dengan orangtua Ifa, mengingat mereka juga bertetangga. Mendengar hal itu tentu saja rasa tidak suka kembali menyeruak di hati Fyanti ”Ternyata adik gue kenal dong sama Edwin! Katanya Edwin itu sayang banget sama adik-adiknya terutama si Didot itu. Didot satu-satunya yang bisa main musik seperti dia. Ya http://facebook.com/indonesiapustaka



meskipun isiknya termasuk anak berkebutuhan khusus. Jadi mereka sering main musik bareng. Makanya Edwin lebih deket sama adiknya yang itu dibanding adiknya yang lain,” jelas Ifa menggebu-gebu. ”Oh, ya?” Malah Ciska yang antusias menanggapi. ”Iya. Padahal di rumahnya itu ada delapan orang. Kebayang kan sempitnya kayak apa.” Ifa makin semangat. ”Edwin 10



memang ternyata baik sama semua orang. Seneng deh jadi tetangganya. Nggak nyangka, euy!” Sedemikian semangatnya Ifa malah nggak bikin Fyanti tertarik. Fyanti tidak berkomentar apa pun, seakan nggak mendengarkan cerita Ifa. Padahal teman-temannya yang lain antusias mendengarkan. ”Fy, lo kenapa? Kok diem aja sih?” tanya Ciska yang menyadari keganjilan sikap Fyanti. Fyanti bergeming. ”Walah, Tuan Putri kita ini nggak biasanya begini. Ada apa nih?” Rere ikut curiga. Ifa mendekati Fyanti. Dia tampak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. ”Hmmm, lo nggak suka cerita gue, ya?” tanya Ifa pelan. Fyanti mengangkat bahu. Masih cuek. ”Ya, sori deh, Fy. Gue kan nggak bermaksud bikin lo sebel dengernya,” suara Ifa makin merendah, ”Hmmm, gue nggak berniat manasin lo juga. Gue kan tau perasaan lo ke Edwin. Tenang aja, gue nggak akan ngambil Edwin dari lo.” Mata Fyanti langsung membelalak begitu mendengar pernyataan Ifa yang terang-terangan. Fyanti mengalihkan panhttp://facebook.com/indonesiapustaka



dangannya ke mata Ifa. Dia mendapati mata yang dibingkai kacamata itu menyiratkan kebenaran, sama sekali nggak dibuat-buat. Fyanti menghela napas. Seharusnya dirinya tahu, Ifa nggak mungkin berbohong apalagi membuatnya bersedih. Apa yang diceritakannya tadi sekadar berbagi kegiatannya semalam. Nggak lebih. 10



”Aku percaya sama kamu kok,” jawab Fyanti pelan. Ifa tersenyum lebar. Seneng banget, ternyata Fyanti nggak marah padanya. Tak lama, Fyanti merasakan ada yang bergetar di saku roknya. Satu SMS masuk. Segera saja Fyanti membacanya. Ekspresi wajahnya berubah total. Beberapa detik berikutnya, dia menunjukkan isi pesan itu pada teman-temannya. Hi, geulis… Sori ya akhir-akhir ini gue nggak bisa ngasih kabar. Gimana belajar musiknya? Eh, meskipun gue sibuk bukan berarti posisi gue sebagai pelatih diganti Edwin ya! Bisa apa sih dia? Pasti kalah jauh dari gue. ”PD banget ya tuh orang,” pekik Rere. ”Kayaknya emang beneran dia bisa main musik, Fy,” ujar Ciska, penuh selidik. Fyanti mengangkat bahu. ”Nggak tau deh. Meskipun dia pernah nunjukin main keyboard, drum, sama gitar, gue tetep belum yakin. Di antara kita belum pernah liat dia manggung.” ”Lebih jago Edwin atuh-lah!” Ifa membanggakan Edwin. http://facebook.com/indonesiapustaka



Fyanti mengangkat bahu. Pandangannya menerawang ke depan, tapi tatapannya kosong seperti melamunkan sesuatu. Tak lama lonceng masuk pun berbunyi. Keempat cewek itu harus berpisah dan kembali ke kelas masing-masing. Pelajaran hari ini nggak boleh ditinggalkan dengan alasan apa pun. 110



*** Fyanti dan ce-esnya keluar dari halaman sekolah dengan langkah ringan. Sekarang waktunya cabut. Memang sih, ada setumpuk PR yang harus mereka kerjakan. Tapi, setidaknya jam-jam pelajaran yang melelahkan itu selesai. Kebetulan juga pelajaran tambahan komputer untuk hari ini ditiadakan. Guru yang mengajar berhalangan hadir. Diganti minggu depan. Kelas Fyanti-Ciska dan Rere-Ifa yang kebetulan mendapat jam tambahan komputer barengan, bisa langsung pulang. Sambil mengobrol dan ketawa-ketawa, keempat cewek manis itu berencana ketemu lagi di rumah Fyanti sore nanti. Mereka mau ikut—tepatnya menyemangat—Edwin dan teman-teman band Fyanti latihan. Ketiga ce-es Fyanti itu berjanji akan terus kompak mendukung Fyanti dan band-nya. Konsekuensinya mereka harus bawa buku PR supaya mereka bisa nyicil mengerjakan. Sejak pertama dekat, mereka sudah membuat kesepakatan, pelajaran tetap nomor satu. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Siang cantik, ditungguin dari tadi kok baru nongol sih.” Suara yang sangat Fyanti kenal itu mendadak terdengar dari sampingnya. Kontan Fyanti menoleh. Didapatinya Dixon berdiri sambil tersenyum. Kenapa dia lagi sih? Bikin hari jadi suram. ”Gue seneng deh liat lo cemberut gitu. Tambah geulis,” 111



ujar Dixon cuek, tanpa memedulikan Fyanti yang mendadak manyun. Dixon hampir berhasil menyentuh tepi dagu Fyanti. Seketika langsung ditepis si empunya. Enak aja pegang-pegang, batin Fyanti. ”Ngapain sih lo ke sini lagi?” tanya Fyanti galak. Mukanya berubah serem gitu: mata melotot, dahi berkerut, bibir jadi maju. ”Ya pengin ketemu elo laaah. Masa mau ketemu ce-es lo yang sok kota itu,” sahut Dixon sambil menunjuk temanteman Fyanti yang berdiri nggak jauh darinya, dengan tampang sok angkuh. ”Dan, gue pengin sekalian jemput lo. Gue sediakan Jaguar gue yang jarang keluar dari kandang, kali ini spesial hanya untuk menjemput Tuan Putri.” Fyanti melengos sebal, tanpa menatap Dixon sedikit pun. Dia BT banget karena si Juragan Obat balik lagi, dan sekarang makin belagu pula. ”Silakan Tuan Putri masuk ke kereta kencana,” Dixon mempersilakan Fyanti masuk ke mobil Jaguar-nya. Tampak pintu sudah dibukakan sang sopir. http://facebook.com/indonesiapustaka



Bukannya senang, Fyanti malah emosi sampai ubun-ubun. Dia langsung mendekati Dixon dan menunjuk-nunjuk mukanya. ”Heh!!! Lo kira gue mau naik mobil kayak gitu? Lo kira lo udah hebat punya mobil itu? Lo kira gue seneng dijemput kayak gini?!” Fyanti membetulkan posisi tasnya. ”Asal lo tau ya, gue nggak suka gaya lo yang sok paling kaya itu. Lo tuh 112



nggak pantes jadi anak Om Rinto yang terkenal rendah hati dan santun! Nggak pantes tau nggak!!!” Dixon seakan kehabisan kata-kata melihat cewek pujaannya itu berubah garang. Detik berikutnya Fyanti menurunkan telunjuknya yang mengarah ke muka Dixon. Sebagai gantinya wajahnya makin mendekat ke wajah Dixon. Mereka berpandangan. Mata Fyanti menatap tajam, penuh kemarahan. ”Satu lagi ya, Juragan Obat. Yang sok kota itu lo!” pekik Fyanti sambil menekankan jarinya ke dada Dixon, mempertegas kalimat terakhirnya. ”Jadi jangan pernah lagi bilang teman-teman gue sok kota. Mereka memang cewek kota, dan mereka juga lebih tahu tata krama ketimbang lo, yang ngaku sekolah di luar negeri, tapi tingkah laku norak. Kampungan! Ndeso!” Fyanti berlalu. ”Kasian!” tambah Rere, memasang muka pura-pura prihatin, lalu melangkah pergi mengikuti Fyanti. ”Jualan obat kok sama Fyanti, mana laku,” ujar Ciska sambil mengangkat bahu dan menyusul dua temannya. ”Jangan lupa, Jang, sebelum pergi ngaca dulu. Udah kayak orang kota atau belum, ” tambah Ifa nggak mau kalah sambil cekikikan. http://facebook.com/indonesiapustaka



Dixon bener-bener mati kutu. Dia hanya bisa membiarkan Fyanti dan teman-temannya berlalu dengan mobil Alphard dan sopirnya yang biasa menjemput. Niat mereka untuk pulang sendiri-sendiri malah batal deh. Gara-gara Dixon, si Juragan Obat…



113



Bab 



A



IR mata Fyanti jatuh berderai di pangkuan Bi Acih. Bibi yang telah mengasuh Fyanti sejak masih



orok itu mengelus-elus rambut Fyanti penuh kasih



sayang. Bi Acih sudah menganggap anak majikannya itu seperti anak kandungnya sendiri. ”Kok ada ya sih, Bi, orang kayak Dixon itu!” ujar Fyanti di antara isak tangisnya. 114



”Ya ada atuh, Neng. Kan Gusti Allah menciptakan manusia



http://facebook.com/indonesiapustaka



dengan kelemahan dan kelebihannya masing-masing.” ”Tapi, kenapa Tuhan nyiptain orang senorak Dixon gitu!” ”Hush, jangan gitu, Neng! Kok si Eneng sebel sama Jang Dixon sampai segitunya ya?”



”Abis, si Dixon nyebelinnnnn!!!!” Tiba-tiba Fyanti memukulmukul bantal yang ada di pelukannya. ”Eh, Neng… Neng… Udah atuh...” Bi Acih berusaha menenangkan majikan ciliknya yang tampak sudah tidak bisa lagi menahan emosi. Malam sudah benar-benar menyelimuti bumi. Jarum pendek di jam dinding kamar Fyanti sudah menunjuk angka sepuluh. Sudah waktunya tidur. Biasanya jam segini Fyanti sudah teler. Apalagi sejak sore hingga jam sembilan tadi dia latihan band bersama temantemannya. Biasanya pula kalau sudah kesal begitu, Fyanti memilih tidur. Lalu besoknya bangun pagi-pagi untuk mengerjakan sisa PR yang belum selesai. Tapi, malam ini adalah pengecualian. Meskipun capeknya bikin nggak tahan, Fyanti merasa ada yang ingin dia utarakan dari dalam hatinya. Sesuatu yang menyangkut Dixon si Juragan Obat tadi siang. Dengan berbagi cerita pada pengasuhnya begini, hal yang mengganjal hatinya itu seakan terangkat. Ringan. Kayak terbang gitu. Nggak seberat yang Fyanti tahan tadi. ”Neng, orang hidup teh nggak ada yang semuanya mulus. http://facebook.com/indonesiapustaka



Ibarat jalan, pasti ada yang keriting.” Fyanti nggak bisa menahan tawa ketika Bi Acih menyebut jalan yang keriting. (Jalanan yang berlubang tuh maksudnya. Kan banyak tuh. Jalan berlubang yang menuju kompleks perumahan Fyanti aja udah nggak keitung. Kudu ati-ati biar nggak kejeblos.) ”Begitu juga dengan hidup, Neng. Nggak semua kayak 115



jalan tol, mulus. Sekali waktu pasti aya wae kejadian yang bikin kesel.” Fyanti diam saja dinasihati begitu, mendengarkan baik-baik semua kalimat Bi Acih. Dia sendiri tak habis pikir, kenapa bisa terbebani masalah si Juragan Obat yang nggak penting itu. ”Neng teh dikasih hidup enak sama Gusti Allah. Sekaligus, Neng juga diingetin, dalam enaknya hidup Neng itu pasti ada sesuatu yang bikin sebel,” lanjut Bi Acih. ”Itu teh bukan karena Gusti Allah benci sama Neng. Justru sebaliknya, Tuhan teh sayang sama Neng Piyanti. Dia pengin Neng tetep waspada meskipun hidup Neng udah enak.” Fyanti memejamkan matanya. Apa yang dikatakan Bi Acih benar. Si Juragan Obat itu memang bentuk sayang Tuhan padanya. Itu supaya dia ingat ada hal lain di luar kuasanya. Lebih jauh lagi, supaya dia nggak sombong atas segala kemudahan serta kenikmatan yang dia dapat. Fyanti berharap semoga dia diberi kesabaran. ”Inget aja, Neng. Manusia teh nggak ada yang sempurna. Sehebat-hebatnya dia, pasti aya yang kudu dia sadari sebagai kekurangan.” http://facebook.com/indonesiapustaka



Bi Acih yang tak pernah lulus SMP ini ternyata wujud kesempurnaan dari apa yang dia bilang sebagai ketidaksempurnaan tadi. Bi Acih lebih bijak dan welas asih dibanding orang-orang berilmu tinggi macam Dixon. ”Sekarang Neng Piyanti tidur ya. Sudah malam. Besok pagi kesiangan lho,” Bi Acih mengingatkan sembari menepuknepuk bantal untuk Fyanti. 116



Fyanti menurut. Dia membiarkan tubuhnya terjatuh di kasur empuknya. Lalu, Bi Acih menyelimutinya. ”Selamat malam, Neng!” Dan Fyanti tersenyum.



”Morning, Mam,” salam Fyanti begitu sampai di ruang makan untuk sarapan. ”Morning, sweety,” balas mamanya. Fyanti segera duduk dan meminum susu yang selalu tersedia untuknya di meja setiap sarapan. ”Bisa tidur nyenyak, Sayang?” tanya mamanya. Fyanti mengangguk-angguk. ”Kamu nggak keganggu ulah Dixon yang nyebelin kemarin, kan?” Fyanti berhenti mengoles roti sandwich-nya. Dia tertegun sejenak. ”Kapan Bi Acih cerita ke Mama?” Sebelum mengambil makanan lain dari dapur, mama Fyanti mengacak-acak rambut anaknya itu. Kemudian kembali duhttp://facebook.com/indonesiapustaka



duk berhadapan sambil menatap penuh kasih sayang putrinya itu. ”Kamu kan tahu, meski kamu sedemikian dekat dengan Bi Acih, dari dulu Mama sudah mewanti-wanti Bibi supaya tetap terbuka apa pun tentang kamu. Mama kan tetap ibu kandungmu yang bertanggung jawab penuh terhadap anak kesayangan Mama ini.” 11



Fyanti tersenyum. Dia mengerti—sangat mengerti—apa yang dikatakan mamanya barusan. Meski mamanya termasuk orang sibuk, lewat Bi Acih yang sudah dipercaya, dia tetap tahu tumbuh kembang Fyanti sampai umurnya itu. ”Iya, Ma, Fyanti mengerti.” Mamanya tersenyum tipis. ”Jadi, kamu bisa cerita apa pun ke Bi Acih. Tapi, Mama juga boleh dong sekali-sekali dengar curhatmu langsung?” Ganti Fyanti yang tersenyum tipis. ”Iya, Mama.” ”About Dixon, don’t worry, dear. Kayaknya dia masih jet lag dengan kondisi tanah kelahirannya. Dia pikir, di sini bisa gaya-gayaan seperti di Kanada. Dia lupa, di sini ada aturan mainnya sendiri.” Fyanti menyelesaikan sarapannya dengan semangat. ”Jadi, jangan kamu ambil hati. Cuekin ajalah. Nanti juga dia bosan sendiri. Yang penting anak Mama nggak ikut-ikutan sok gaya kayak gitu.” ”Iya, Ma, Fyanti akan selalu ingat itu.” ”Good. Itu baru namanya anak Mama!” Fyanti segera bersiap pergi ke sekolah. Pak Lukman yang http://facebook.com/indonesiapustaka



sudah stand by dengan Alphard hitamnya tampak membuka pintu. Fyanti langsung pamit pada Mama. Papanya masih tidur. Pasti pulang malam lagi karena harus mengurus toko di daerah Buah Batu yang menurun penjualannya. ”Neng Fyanti, ada tamu.” Suara Pak Lukman mengagetkan 11



Fyanti yang tengah berpamitan pada mamanya. ”Tamu? Pagi-pagi kok udah ada tamu sih,”sahut mama Fyanti. ”Iya, Nyonya, katanya mau jemput Neng Fyanti ke sekolah.” ”Jemput aku?” Fyanti menunjuk dirinya sendiri. Matanya mendelik, tidak menyangka ada yang bakal menjemputnya karena seingatnya dia memang tidak ada janji dengan siapa pun. Di kepalanya langsung tebersit nama seseorang, yang biasa bikin dia BT. ”Pagi, Fyanti!” Terdengar suara dari belakang. Spontan Fyanti berbalik. Dia nyaris menyerang pemilik suara itu dengan semburan sumpah serapah. Namun begitu didapatinya sosok yang hendak menjemputnya tadi tersenyum manis, dia langsung berubah seratus delapan puluh derajad. ”Edwin?” ”Hai, Fy. Mau berangkat, ya?” ”Eh… oh… eh… Iya-iya…” Fyanti jadi grogi sendiri. ”Mmm… Tadi gue udah bilang sama Pak Lukman, hari ini http://facebook.com/indonesiapustaka



gue pengin nganter lo ke sekolah. Kata Pak Lukman sih boleh aja, tapi tergantung elonya. Makanya gue langsung disuruh masuk.” ”Lo… lo mau nganter gue?” Fyanti masih belum percaya. Edwin manggut-manggut. ”He-eh. Tapi, naik sepeda aja, ya? Itung-itung gue olahraga dan lo juga bisa menikmati 11



udara pagi.” Fyanti bingung harus menjawab apa. Antara iya dan nggak. Otaknya tiba-tiba jadi susah mencari kalimat yang pas. Sampai akhirnya mama Fyanti angkat bicara, menyuruh Fyanti untuk bergegas supaya tidak telat. ”Yaudah, Fy. Kamu cepet berangkat sana. Bareng sama Edwin juga nggak apa-apa,” ujar mamanya, ”Tapi inget ya, Nak Edwin, jangan lupa hati-hati.” Awalnya Fyanti kaget juga, kok mamanya semudah itu ngasih izin. Dalam benaknya tebersit, mungkin papanya sudah bercerita tentang Edwin. Dia teringat beberapa waktu lalu papanya sempat mengajak Edwin mengobrol sebelum latihan band. Meskipun ini pertama kali untuknya, Fyanti sangat menikmati membonceng sepeda di belakang Edwin. Untung sekolahannya tidak terlalu jauh, jadi Edwin tidak terlalu capek menggenjot sepeda dengan penumpang cewek cantik itu. Asyik juga membonceng begitu. Terlebih udara masih sangat segar. Di sepanjang jalan itu, Fyanti mendengarkan penjelasan Edwin mengenai alasan menjemputnya. Ketika http://facebook.com/indonesiapustaka



diantar pulang Edwin waktu itu Ifa cerita tentang kekesalan Fyanti atas ulah nyebelin Dixon. Dengan begitu, Edwin jadi tahu kalau Ifa juga cerita kalau sebenernya Dixon hendak mengantar-jemput Fyanti ke sekolah, dan tentunya Fyanti nggak mau. Dan untuk menghindari hal itu, tercetuslah ide di benak Edwin untuk mengantar Fyanti. Fyanti agak ge-er. 120



Fyanti tahu, Edwin bukan tipe orang yang suka saingan. Edwin mengaku nggak suka juga kalau ada orang belagu seperti Dixon. Baginya, status sosial tidak bisa dijadikan patokan utama untuk membeda-bedakan orang karena itu hanya tampak di mata. Setiap orang punya kekurangan dan kelebihan. So, dia nggak takut kalau ulahnya ini ketahuan Dixon. Fyanti jadi terharu mendengar pengakuan Edwin itu. Apalagi di hatinya paling dalam ada kebahagiaan yang tak terkatakan atas apa yang kini sedang dialaminya. Indah banget rasanya! Namun… tanpa sepengetahuan mereka, ada sepasang mata yang rupanya sudah membuntuti mereka sejak dari rumah Fyanti.



Beberapa hari terakhir, Fyanti kembali ceria. Muka masam, cemberut, atau sejenisnya, sekarang mah jauh-jauh deh dari dia. Gantinya dia malah ketawa melulu. (Ceria gitu, bukan kayak orang gila ya). http://facebook.com/indonesiapustaka



Rere, Ifa, dan Ciska jelas jadi seneng lihat sobatnya kembali semangat dan jauh dari muka kusut. Usut punya usut, semua itu terjadi karena Edwin yang dulu sekadar pelatih band, kini justru benar-benar membuat hidup Fyanti makin meriah. Bukan hanya nyaris tiap hari Fyanti diantar-jemput Edwin, tapi juga Fyanti sering diajakin ke tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah terpikir 121



oleh Fyanti, ke pasar tradisional misalnya. Sebenernya Fyanti pernah ke pasar itu dengan Bi Acih. Tapi, sementara Bi Acih belanja, dia nunggu di mobil. (hehehe… ) Habis, pasar tradisional itu kan kesannya jorok, bau, dan kumuh. Tapi bukan berarti Fyanti sok higienis ya. Ya jijik aja gitu. Lagian waktu itu Bi Acih hanya mengambil beras yang sebelumnya sudah dipesan Mama. Jadi, ya nggak lama-lama lah…. Nah, ketika pergi ke pasar dengan Edwin, Fyanti benarbenar diajak belanja, masuk sampai ke dalam pasar. Dia ikut memilih, bahkan menawar. Awalnya dia ragu-ragu dan jijik, akhirnya pandangan itu salah besar. Pasar tradisional yang mereka kunjungi sudah modern. Meskipun bukan dari porselen atau marmer, lantainya bukan dari tanah yang mudah becek. Warung-warungnya juga teratur berjejer meski kecil-kecil. Dan, satu lagi, harganya jauh lebih murah daripada harga di swalayan yang Fyanti tahu. Soal menawar harga, ternyata Edwin jagonya loh! Kirain cuma Bi Acih yang suka nawar sampe seratus perak http://facebook.com/indonesiapustaka



ke tukang sayur keliling yang sering dipanggil buat pelengkap bahan masakan yang udah ada. Kayaknya si Edwin lebih jago. Kalo harganya nggak bisa turun meski cuma seratus perak, Edwin pura-pura nggak jadi beli. Dengan gayanya yang cuek, rasanya si pedagang susah nolak deh. Apalagi jarang-jarang kan cowok bertahi lalat kayak Edwin itu punya keterampilan 122



menawar begini? Hal lain yang dialami Fyanti semenjak hari-harinya bersama Edwin adalah bisa berkenalan dengan keluarga Edwin, termasuk si Didot yang jago main kecapi. Dengan keterbatasan fisiknya—dia mengalami down syndrome—Didot tetap mampu menunjukkan kelebihannya yang belum tentu dimiliki orang lain. Cacat bawaan Didot itu tidak membuat keluarga Edwin jadi rendah diri. Mereka tampak saling perhatian dan dekat sesama saudara. Di antara yang lain, Didot yang paling ramah dan terbuka untuk diajak kenalan Fyanti. Di laman internet yang Fyanti baca beberapa malam lalu, down syndrome merupakan salah satu kelainan genetik yang disebabkan adanya trisomi pada kromosom 21. Ini penyebab umum dari keterbelakangan mental. Salah satu gejalanya adalah menurunnya kemampuan mengingat kejadian. Tidak ada pengobatan khusus untuk down syndrome. Penderita penyakit ini harus mendapatkan pendidikan dan pelatihan khusus. Sebaiknya mereka mendapatkan stimulus sejak dini melalui berbagai permainan. Dengan stimulusstimulus seperti itu diharapkan penderita akan dapat tumbuh http://facebook.com/indonesiapustaka



dan berkembang nyaris normal. So, itu bukan alasan untuk menjauhi orang-orang seperti Didot, kan? Nggak fair dong kalau orang-orang menjauhinya. Apalagi Didot memiliki keluarga yang sangat menyayanginya. Nah, kejadian-kejadian seperti itu yang bikin hidup Fyanti kini berwarna. Menjadikan senyumnya selalu ada. Dan, lebih 123



dalam daripada itu, Fyanti menjadi semakin bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh-Nya pada diri dan keluarganya selama ini. Fyanti merasa beruntung bisa hidup lebih baik dibanding orang-orang yang kurang berkecukupan di sekitarnya. Dia jadi merasa nggak ada alasan untuk bersedih atau kesal lagi atas hal yang sebenarnya dia tahu nggak perlu terlalu dipusingin. Di balik kebahagiaan Fyanti, Dixon yang selama ini melancarkan rencana untuk mencuri hati gadis itu harus mendengus kesal. Beberapa kali dia harus rela melihat usahanya menarik perhatian Fyanti gagal. Sudah beberapa kali niatnya mengantar-jemput Fyanti sekolah keduluan Edwin. Padahal udah jelas-jelas lebih bermodal dirinya daripada Edwin. Kalau kebetulan lagi hujan dan nggak bisa naik sepedanya, Edwin cuma bisa naik angkot. Herannya, Fyanti kok ya mau. Bukannya masih enak naik mobil? Ditambah lagi, Fyanti juga mau naik angkot? Wuiiihhh… http://facebook.com/indonesiapustaka



Angkot di Bandung gini mah nggak bisa diandalkan. Kalo nggak sering ngetem, kena macet, rebutan, banyak copet, ya nggak nyaman karena sering dipaksain: tujuh di sisi tempat duduk yang seharusnya enam dan lima di sisi tempat duduk yang seharusnya empat. Kadang nggak peduli apakah penumpangnya gendut atau kurus. Belum lagi kalau ada yang merokok, udah deh, komplet banget kalau pas bete 124



level dewa kudu naik angkot. Dengan keadaan yang kayak gitu, kok ya Fyanti mau? Dipelet apa sih sampe segitunya? Bikin Dixon sempet nendang ban mobilnya saking kesalnya. Segala kepunyaan dan tawarannya yang enak-enak nggak laku di hadapan Fyanti. Malah, yang kampungan, desakdesakan, dan bikin bete kayak angkot, Fyanti terima. Ukh.



http://facebook.com/indonesiapustaka



Dixon bener-bener gondok gara-gara Edwin!



125



Bab 10



P



UKUL 06.15 Fyanti sudah bersiap di depan gerbang rumahnya. Jam segitu biasanya Edwin sudah menjemputnya. Biasanya sih sebelum Fyanti keluar rumah, Ed-



win sudah ada di depan dengan sepedanya. Kalau sudah begitu, Pak Lukman yang seneng karena berarti dia bisa istirahat sejenak. Hampir pukul 06.30, dan Edwin belum juga muncul. 126



Ditelepon, HP-nya mati. Fyanti jadi rada cemas. Lebih



http://facebook.com/indonesiapustaka



cemas lagi kalau dia nggak segera ambil keputusan untuk diantar Pak Lukman. Bisa telat masuk sekolah nanti. Alhasil, Fyanti pun berangkat naik mobil Alphard-nya seperti biasa. Daripada telat.



Sesampainya di sekolah, dia langsung menemui Ifa untuk cari tahu tentang apa yang terjadi pada Edwin sampai tidak menjemput dan tidak memberi kabar apa-apa kepadanya. Ifa yang lumayan lama belum sempat bertemu Edwin, jadi bingung juga. Akibatnya, Fyanti jadi nggak bisa konsentrasi menyerap pelajaran. Mata pelajaran yang biasanya gampang dia cerna, hari ini jadi kayak susah banget. Untung nggak ada ulangan dadakan. Bisa hancur lebur kalau itu terjadi. Tapi, ketika dikasih hitung-hitungan matematika sama Bu Ros, tiga dari tujuh soal yang salah. Tumbenan nih… Fyanti kan jagonya. Bu Ros sampe heran, kok bisa Fyanti salah tiga nomor gitu. Biasanya kalaupun salah, paling hanya satu nomor. Euleuh-euleuh… Ciska yang ngerti banget apa yang tengah terjadi nggak bisa ngasih komentar. Dia simpati dengan apa yang dirasakan Fyanti, sekaligus kasihan kalau hal itu jadi nyerempet ke halhal penting seperti pelajarannya saat ini. Akhirnya, setelah sekolah hari ini bubar, Fyanti memuhttp://facebook.com/indonesiapustaka



tuskan langsung ke rumah Edwin, mencari tahu apa yang sedang terjadi. Bersama ce-esnya yang selalu setia menemani, Fyanti pergi ke rumah susun Sukajadi di Blok K. Sesampainya di sana, kedatangan Fyanti langsung disambut Didot dengan memeluknya. Dia langsung menunjuknunjuk kamar Edwin. Setelah mendapat izin, Fyanti masuk ke 12



kamar itu, yang merupakan kamar bersama dengan dua adiknya. Betapa terkejutnya Fyanti ketika mendapati Edwin yang terbaring lemah di kasurnya. Setelah berbasa-basi sebentar, Fyanti baru tahu kalau Edwin mengalami kecelakaan tadi pagi ketika hendak menjemputnya. Baut as sepedanya kendor tanpa sepengetahuannya. Begitu menaiki sepedanya beberapa meter, Edwin langsung terjatuh dan tertimpa sepedanya. Isi tasnya berhamburan dan HP-nya rusak. Makanya dia nggak bisa mengontak Fyanti. Walaupun nggak ada luka parah, Edwin tetap nggak bisa beraktivitas hari ini, termasuk kuliah dan kerja. Kakinya keseleo, sakit ketika digerakkan. Fyanti jadi terenyuh. Segitunya Edwin bela-belain jemput Fyanti sampai kecelakaan gini. Meskipun Edwin bisa ketawa-tawa dengan kondisinya yang seperti itu, Fyanti tetap merasa bersalah. Demi menyelamatkan dirinya dari ulah Dixon yang nyebelin itu, Edwin malah jadi celaka. Edwin berjanji, paling lambat dua hari dia akan mengantarhttp://facebook.com/indonesiapustaka



jemput Fyanti sampai benar-benar terbebas dari ulah Dixon. Edwin bahkan bilang pada Fyanti bahwa dia sangat ikhlas melakukan itu semua. Sementara di kepala Fyanti tebersit sebuah rencana. Dia nggak mau bikin Edwin susah lagi. *** 12



Sabtu siang menjelang sore itu bel rumah Fyanti berbunyi. Pak Lukman yang kebetulan sedang mengelap mobil yang akan dipakai Pak Ferdian langsung membukanya karena Pak Satpam lagi ambil kopi ke dapur. Edwin dengan wajah tampak segar memasuki halaman rumah. Ketika ditanya Pak Lukman apakah sudah benarbenar sembuh, Edwin mengangguk mantap. Paling tinggal luka-luka kering yang sebentar lagi juga pasti sembuh. Edwin sudah berjanji akan kembali latihan band hari ini. Pentas seni tinggal beberapa hari lagi. Bintang Pagi, termasuk Edwin, sudah dijadwalkan naik panggung pas acara itu. Karena mereka nggak mau tampil malu-maluin, persiapan harus dilakukan semaksimal mungkin. Bahkan Edwin berjanji rutin datang agar latihan bisa lebih digalakkan. Kedatangan Edwin hari itu tentu saja disambut gembira oleh yang lain. Terlebih Fyanti. Bukan cuma karena Edwin sudah tampak lebih sehat, tetapi juga Fyanti merasa Edwin benar-benar cowok bertanggung jawab dan dapat diandalkan. Nggak salah kalau sejak awal bertemu Fyanti merasa ada hal berbeda dari pribadi Edwin. Whaaa…. Kok mendadak Fyanti jadi panas-dingin ya behttp://facebook.com/indonesiapustaka



gitu berjabatan tangan dan mata mereka saling beradu sore ini? Untung teman-temannya langsung mengajak latihan, jadi panas-dingin itu nggak berkepanjangan. (Rada malu juga sih kalo ketahuan hehe…) Latihan pun dimulai. Keinginan supaya kelak dapat menampilkan yang terbaik menjadi semangat tersendiri. Apalagi latihan ini juga dibarengi dengan keakraban anggota band 12



sendiri, bikin latihan nggak cepat jenuh dan selalu ceria. Bahkan waktu yang berputar nggak terasa. Malam telah turun, mereka sadar untuk menyudahi waktu latihan. Terlebih, rasa lelah pun tak bisa dihindari. Apalagi mereka berencana latihan lagi besok, seharian. Pastinya nggak boleh forsir tenaga dong, supaya besok bisa lebih it. Setelah semua perlengkapan dibereskan dan dikembalikan ke tempat masing-masing, mereka pun bubar, pulang ke rumah masing-masing, kecuali Edwin. Fyanti memintanya pulang belakangan karena pengin mengobrol sebentar. Edwin yang merasa nggak ada janji lain, mengiakan permintaan Fyanti, sekalian malam Mingguan. Saat Edwin menunggu gadis itu di pelataran rumah, dia sangat terkejut ketika melihat Fyanti dengan pede-nya menaiki sepeda motor bebek. Di belakangnya ada Pak Lukman yang menjaga. Naluri Edwin bilang kalau sebenarnya Fyanti nggak terlalu bisa naik motor. Spontan saja Edwin menghampiri Fyanti, berjaga kalau ada apa-apa. Dan benar saja, Fyanti oleng ketika menuju Edwin yang berjalan. Releks Edwin menangkap Fyanti. Dibantunya gadis itu bangun, sikutnya yang tergores ditiup-tiupnya perlahan. http://facebook.com/indonesiapustaka



Fyanti merasa tersanjung. Mana pernah ada cowok sebaik Edwin seperti ini. Telapak tangannya yang kotor ditepuktepuk Edwin. Pak Lukman hanya terdiam melihat adegan romantis itu. ”Kamu nggak kenapa-kenapa kan? Makanya jangan kepedean, Neng, malam-malam begini naik motor?” goda Edwin sesaat sebelum menegakkan motor itu. 130



Fyanti menyeringai. Dalam hati dia terkejut karena tibatiba Edwin beraku-kamu. ”Aku cuma pengin nyoba,” sahut Fyanti, kalem, balas beraku-kamu. ”Ya, tapi nggak usah malam-malam kali. Besok kan bisa…” ”Kalo besok kan motor ini udah nggak ada di sini,” kata Fyanti sambil mengelus-elus motor yang sudah berdiri tegak dengan standar yang sudah terpasang. ”Maksudnya?” ”Terhitung sejak malam ini motor ini kamu yang rawat, sampai kapan pun kamu mau.” ”Aku?” Edwin menunjuk diri sendiri. Saking bingungnya, dia malah menoleh ke belakangnya, siapa tahu ada orang lain yang dimaksud Fyanti, dan memang tidak ada siapasiapa. ”Maksudmu gimana sih, Fy? Nggak ngerti.” Fyanti tersenyum. Dia berdiri di samping Edwin. ”Setelah dapet izin dari Papa, motor yang pernah dipakai Pak Lukman zaman entah kapan ini bisa kamu pakai untuk keseharianmu.” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Hah?” Edwin makin tidak percaya. ”Seriusan?” Fyanti mengangguk-angguk. ”Bener. Kata Papa, biar kamu nggak harus tergesa-gesa kalau mau ke kampus dan tempat kerjamu.” ”Ckckck…” Edwin berdecak kagum, sambil mengelus sisi motor. Dia nggak nyangka bakal dapat ”warisan” semulus itu. 131



”Kamu boleh merawatnya sampai kapan pun, Win,” tambah Fyanti. ”Dan yang terpenting, mulai Senin, kamu nggak harus antar-jemput aku kok. Sebisamu aja. Jangan pikirin soal Dixon. Dia udah nggak pernah ganggu aku lagi kok.” Edwin mengalihkan pandangannya, dari motor yang sebentar lagi akan menjadi miliknya itu, ke Fyanti. Melihat kegembiraan di wajah Edwin membuat Fyanti tersenyum. ”Terima kasih, Fy. Sampaikan juga ke papamu, aku janji akan merawat motor ini sebaik-baiknya,” ujar Edwin sembari mengulurkan tangannya. Fyanti menyambut uluran tangan itu. ”Sama-sama, Win. Jangan lupa ajak Didot keliling kota sekali-kali ya.” ”Siiip!” Edwin mengacungkan ibu jarinya. Fyanti merasa sangat senang bisa melihat Edwin sebahagia itu. Usaha Fyanti merayu papanya untuk menyutujui rencananya benar-benar berhasil, meskipun dia harus sedikit berbohong pada Edwin tentang motor itu. Motor itu sebenarnya Fyanti pesan dari Om Danu beberapa waktu lalu. Sejak Edwin kecelakaan tempo hari, dia memang ingin meminjami Edwin motor. Biar nggak kelihatan baru-baru amat, Fyanti sengaja memesan motor second. http://facebook.com/indonesiapustaka



Karena udah second itu, dibikinlah skenario seolah-olah motor itu pernah dipakai Pak Lukman, yang padahal seumurumur belum pernah diberi tanggung jawab memegang motor. Berbohong demi kebaikan sih nggak pa-pa lah ya... Apalagi itu berguna dan membuat orang lain tersenyum. Sama seperti ketika Fyanti berhasil membantu Pak Ranu, 132



tukang becak langganannya dulu. Sekarang Pak Ranu punya warung kecil di depan rumah mereka. Ada penghasilan tambahan, selain pekerjaan tetapnya sebagai tukang becak. Ya, seperti kata papanya tempo hari, kalau mau bantu orang sebisa mungkin jangan beri ikan, tapi kail untuk



http://facebook.com/indonesiapustaka



memancing. Itu bisa selamanya bermanfaat.



133



Bab 11



L



ATIHAN demi latihan telah Fyanti dan teman-teman band-nya lakukan. Dengan kerja keras seperti itu, nggak aneh kalau



mereka yakin bakal berhasil di panggung nanti.



Emang sih, nggak boleh berharap muluk-muluk. Tapi nggak



ada salahnya juga kalau para personel Bintang Pagi itu punya keinginan kuat untuk tampil memuaskan. Mereka nggak mau cuma tampil ece-ece. Perkara apakah nanti ada yang nawarin 134



manggung lagi, itu urusan belakang. Pokoke mereka ber-



http://facebook.com/indonesiapustaka



usaha memberikan yang terbaik. Demi itulah, hari ini mereka berencana latihan full.



H-1 pentas seni akhirnya datang juga. Sekolah pun memberi-



kan kebijakan hari ini dan besok anak-anak boleh masuk sampai jam keempat saja. Selanjutnya jam bebas dan mereka diperbolehkan pulang mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan acara pentas seni besok. Kesempatan itu pun digunakan sebaik-baiknya oleh panitia dan pengisi acara untuk menyiapkan segala sesuatunya. Panitia sibuk menyiapkan perlengkapan, keamanan, dan sebagainya. Sementara para pengisi acara, tentunya sibuk latihan dan gladi resik. Seperti biasanya, Alphard hitam itu menjemput Fyanti dan beberapa personel band, plus ce-es Fyanti yang tetap setia jadi penggembira. Edwin dan Benny membawa motor sendiri-sendiri. Satu mobil dan dua motor itu pun saling konvoi di jalan. Sebenarnya Fyanti ingin membonceng Edwin, namun untuk alasan keamanan dia harus ikut naik mobilnya. Terlebih mereka harus segera sampai rumah untuk latihan. Jendela mobil itu dibiarkan terbuka lebar sehingga Fyanti bisa melihat ke luar untuk sesekali mengawasi laju motor Edwin. Edwin otomatis mengerti. Dia selalu berusaha menjaga http://facebook.com/indonesiapustaka



jaraknya dari mobil Fyanti. Kadang senda gurau terdengar di antara mereka. Pokoknya hari itu jadi hari penuh keceriaan deh. Sesampainya di rumah Fyanti, semuanya segera menuju tempat latihan. Keletihan setelah pulang tidak tampak di wajah mereka. Edwin juga masih tampak bersemangat meskipun hari ini ada kuis di kelasnya. 135



Hari penuh keceriaan itu ditutup dengan sore yang seru dari latihan mereka.



Fyanti baru saja selesai mandi malam. Dia baru sempat mandi sekarang karena baru selesai latihan band. Selain itu, mandi malam terasa lebih segar dan bikin tubuh enak, terlebih kalau pakai air hangat. Sembari menghanduki tubuh dan rambutnya, Fyanti tak henti bernyanyi. Dia tampak sangat girang. Sampai-sampai dehaman Bi Acih yang sudah ada di belakangnya tidak dia dengar. ”Aih-aih, si Neng teh segitu seriusnya sampe nggak tahu ya kalo Bibi udah di sini?” Ditanya begitu, baru deh Fyanti membalikkan badan. Senyumnya menahan malu terkembang. ”Eh, si Bibi udah ada di sini. Mana teh angetnya, Bi?” Bi Acih menunjuk sebuah mug bergambar abstrak yang sudah dia taruh di meja, lalu terkekeh ketika majikannya itu tersadar. Sambil tersenyum malu, Fyanti meminum teh hahttp://facebook.com/indonesiapustaka



ngat itu. ”Neng Piyanti teh lagi seneng, ya? Bibi perhatiin, makin hari makin ceria aja. Besok teh hari pentas Neng dan tementemen bukan?” Fyanti mengangguk-angguk. Senyumnya masih terus terkembang. ”Iya, besok aku dan temen-temen pentas. Harus ceria dong, Bi. Kan udah lama banget latihannya.” 136



”Ceria karena besok pentas atau karena besok pentas sama seseorang, Neng?” goda Bi Acih. ”Idih, Bi Acih suka aneh deh! Emang sama siapa gitu?” ”Tuh, Jang Edwin,” goda Bi Acih lagi. Bersemu merahlah muka Fyanti. Dia tidak menyangka kalau pengasuhnya itu memperhatikan ada sesuatu antara dia dan Edwin. ”Ah, Bibi, apaan sih!” Fyanti tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. Dia menutup mukanya untuk menyembunyikan malu. Kemudian Bi Acih duduk di samping majikan kecilnya itu. ”Neng teh udah kayak anak sendiri buat Bibi. Jadi kalo ada sesuatu yang Neng rasain, Bibi teh juga kerasa gitu,” ujar Bi Acih sambil tersenyum mengelus dadanya. Fyanti ganti tersenyum. Dia sangat tahu apa yang dikatakan bibinya itu benar. Fyanti juga merasa Bi Acih memang sudah seperti ibunya sendiri. Fyanti merasa seakan punya dua mama. ”Terima kasih, Bi,” ujar Fyanti pelan. Bi Acih tersenyum lalu memandangi Fyanti dengan penuh kasih. Dielusnya pelan rambut pendek Fyanti, menuangkan http://facebook.com/indonesiapustaka



rasa sayangnya. Angin malam yang masuk lewat kisi-kisi jendela mendukung suasana. ”Neng bener lagi jatuh cinta sama Jang Edwin?” ujar Bi Acih pelan. Fyanti menunduk. ”Ah, Bibi, ngomong apaan sih!” ”Nggak pa-pa, Neng. Jujur aja sama Bibi.” Fyanti nggak bisa langsung menjawab. Sungkan aja kalau 13



harus jujur. Padahal tanpa Fyanti menjawab pun, pasti Bi Acih sudah tahu. Tapi, ada yang mengganjal di hati Fyanti. Biar bagaimanapun, Bi Acih orang yang sangat dia percaya. ”Eng-eng… aku emang lagi suka sama Edwin, Bi,” Fyanti malu-malu mengakui. ”Euleuh-euleuh, si Neng teh, pantesan sering senyumsenyum sendiri, nyanyi-nyanyi terus pula. Kadang kalo Bibi panggil teh suka nggak denger!” Bi Acih terkekeh. ”Yah, Bibi mah cuma bisa doain, Neng. Semoga kali ini bahagianya Neng awet. Jang Edwin juga sayang sama Neng Piyanti.” ”Iya, Bi. Makasih ya.” Fyanti seneng banget didukung begitu, mukanya berseri-seri. Baru kali ini dia merasa apa yang dia lakukan begitu didukung. ”Mmm, menurut Bibi, Edwin itu orangnya kayak gimana?” Bi Acih yang mulai membereskan beberapa barang Fyanti, berhenti sejenak. Berpikir. Mencari jawaban. ”Kalau Bibi lihat sekilas sih, Jang Edwin teh baik, suka bercanda. Terus, kayaknya mah orangnya nggak macem-macem. Sederhana gitu, Neng.” Fyanti mendengarkan baik-baik semua kalimat yang http://facebook.com/indonesiapustaka



diucapkan Bi Acih. Dia tahu, apa yang terucap dari mulut Bi Acih itu adalah kalimat tulus. Bukan sekadar ingin menyenangkan hati Fyanti. ”Beruntunglah Jang Edwin teh bisa bikin Neng Piyanti termehek-mehek gini.” ”Lho… kok dia?” Fyanti mendadak bingung. ”Iya. Soalnya Neng Piyanti nggak kalah baik. Nggak pernah 13



banggain harta mama-papanya. Mau bergaul sama siapa aja dan mau nolongin semua orang.” ”Iiihhh, Bibi, jangan bikin Fyanti jadi ge-er dooonggg…” Fyanti salah tingkah dipuji gitu. Dia menutupi wajahnya dengan bantal hati di dekatnya. Apa yang diucapkan Bi Acih barusan membuat hati Fyanti nggak keruan. Senang, bahagia, sekaligus malu. Bukankah hal-hal seperti itu jangan terlalu dibesar-besarkan? Kata Papa, kalau hal seperti itu terlalu dibanggakan bisa bikin orang lupa diri. ”Si Neng mah, dibilangin nggak percaya.” Bi Acih kembali duduk di sebelah Fyanti. ”Bibi ngomong begitu justru supaya si Neng mensyukuri hidup Neng. Apa coba yang kurang dari Neng? Hampir nggak ada kan? Nggak semua orang lho bisa mendapat anugerah hidup seperti Neng ini. Bisa melakukan apa saja sesuai kemauan. Coba liat anak-anak lain. Makan aja susah, Neng.” Fyanti langsung terdiam, seperti diingatkan pada segala hal yang dia miliki dalam hidupnya. Bi Acih mengelus lagi rambut gadis itu. ”Dan, Neng Piyanti juga harus lebih bersyukur lagi karena sekarang ada Jang http://facebook.com/indonesiapustaka



Edwin dalam hidup Neng. Bibi yakin, Jang Edwin teh salah satu hadiah Gusti Allah buat Neng.” Ah yaaa… That’s the point! Fyanti harus lebih bersyukur atas kehadiran Edwin. Dia tidak pernah mengira kalau cowok bersahaja itu mampu membuat hari-harinya jadi lebih ceria. 13



”Sudah malam, besok Neng kan mentas. Jadi lebih baik sekarang langsung tidur. Kalo besok ngantuk karena kurang tidur, bisa gawat,” Bi Acih mengingatkan. ”Iya, Bi. Udah ngantuk juga nih,” ujar Fyanti sambil menguap. Segera ia menjatuhkan tubuhnya ke kasurnya yang empuk. Bi Acih menarik selimut tebal untuk menyelimuti tubuh gadis itu. Lalu menyalakan lampu tidur. ”Selamat malam, Neng. Mimpi indah yaaa,” ujar Bi Acih sambil keluar dan menutup pintu kamar Fyanti. Namun, nggak lama kemudian Bi Acih kembali masuk. ”Neng, kalo nanti Neng udah jadian sama Jang Edwin, tetep baik sama Jang Dixon ya? Biar gimana juga, dia kan temen Neng. Meskipun suka nyebelin!” Fyanti yang sudah sempat menutup mata, mengangkat kepalanya untuk melihat Bi Acih di depan pintu, lalu mengangguk malas. ”Iya, Bi. Fyanti nggak benci sama Dixon kok.” Bi Acih jadi lega. Dia tersenyum lalu mengucapkan salam,



http://facebook.com/indonesiapustaka



”Selamat malam, Neng!”



140



Bab 12



M



USIK live terdengar sampai ke luar areal



sekolah. Kadang terdengar musik berirama keras atau cadas, easy listening, jazz, R&B,



kadang malah sedikit dangdut.



Komplet deh.



Selain musik live, juga ada pertunjukan modern dance. Terus juga ada panggung kecil yang mempertunjukkan semacam kabaret yang bikin orang terpingkal-pingkal. Pokoknya aula sekolah Fyanti yang superbesar itu bakal di-



http://facebook.com/indonesiapustaka



penuhi suara musik. Ya, pentas seni di SMA Sukacita berlangsung dari sore hingga malam. Kegiatan rutin tahunan ini memang diminati semua murid bahkan guru-guru. Terlihat dari



141



banyaknya pengunjung yang hadir. Antusiasme mereka masih tinggi meskipun matahari sudah terbenam. Selain merupakan bentuk apresiasi terhadap karya seni, pentas seni ini juga berguna untuk mengakrabkan seluruh elemen SMA Sukacita, mulai dari murid sampai pekerja. Tidak heran kalau kegiatan itu sangat ditunggu-tunggu. Kali ini, pengisi acara yang tampil nggak cuma dari sekolah, tapi juga ada bintang tamunya. Beberapa band lokal ngetop di Bandung juga ikut mengisi acara pentas seni itu. Intinya, pentas seni itu memang udah ditunggu-tunggu, termasuk sama SMA-SMA tetangga. Tiket masuk sudah sold out. Padahal harganya lumayan juga untuk ukuran siswa sekolah. Di balik panggung, para personel Bintang Pagi menunggu giliran tampil. Sejak dua pengisi acara sebelumnya, mereka telah bersiap di sana. Selain pemanasan, mereka juga berusaha membuang jauh rasa grogi. ”Gue grogi niiih!” seru Fyanti. Personel Bintang Pagi yang sibuk mengatur napas untuk menenangkan diri tidak terlalu mendengar seruan Fyanti. Benny si drummer memain-mainkan stik drum-nya. Tatia mehttp://facebook.com/indonesiapustaka



mainkan jemarinya seakan menekan tuts keyboard. Selo yang megang bas, tampak mengelap gitar basnya sambil bersiulsiul. Dadang sang gitaris sibuk nyetem gitarnya. Edwin tampak diam sambil menggendong gitar akustik di punggungnya. Mereka berusaha tenang dengan caranya masing-masing. Hingga tiba saatnya nama band mereka dipanggil…. 142



Gemuruh tepuk tangan terdengar sesaat setelah MC memanggil grup band itu. Rupanya penampilan Bintang Pagi sudah dinanti-nantikan. Ciska, Ifa, dan Rere sengaja berada di deretan penonton paling depan. Tingkah tiga cewek itu mendadak norak begitu satu per satu anggota Bintang Pagi yang mereka dukung naik ke panggung. ”Fyanti… Fyanti… Fyanti…!!!” begitu teriak mereka. Tak lama terdengarlah alunan merdu dari suara Fyanti. Tepuk tangan kembali bergemuruh. Lagu pertama yang dia nyanyikan adalah lagu Happy yang dipopulerkan oleh Pharrell Williams. Suara Fyanti yang khas memberi sentuhan tersendiri untuk lagu itu. Jadi lebih enak didengar. Beberapa penonton jadi terbuai dan ikut bernyanyi. Fyanti yang melihat Bintang Pagi mendapat tanggapan baik dari penonton makin semangat untuk tampil maksimal. Hingga lagu itu habis, penonton masih bersorak-sorai, bahkan menunggu Fyanti menyanyikan lagu berikutnya. Lagu Sempurna milik Andra and The Backbone menjadi persembahan terakhir mereka. Kali ini keahlian Edwin sehttp://facebook.com/indonesiapustaka



bagai gitaris dipertunjukkan. Begitu jemarinya lincah memetik senar gitar akustiknya, konsentrasi penonton langsung teralihkan padanya, kini semuanya terdiam melihat kepiawaian Edwin bermain gitar. Nggak sedikit di antara mereka tampak ternganga. Permainan gitar Edwin benar-benar menyihir para penonton. Sampai-sampai mereka jadi terdiam menikmati. Tidak 143



terkecuali ce-es Fyanti yang padahal sudah sering melihat Edwin bermain gitar. Namun, di antara ingar-bingar penonton di Aula SMA Sukacita itu, ada seorang penonton cowok yang tidak bereaksi apa pun terhadap penampilan band Fyanti. Terlebih ketika Edwin menunjukkan kepiawaiannya. Wajahnya tampak tidak menyukai itu. Akhirnya, cowok itu berdiri dari tempat duduknya dan bergegas keluar menerobos kerumunan penonton dalam ruangan itu.



Begitu sudah di belakang panggung, spontan para personel Bintang Pagi berangkulan, menumpahkan kegembiraan karena bisa bermain dengan apik dan kompak. Rasa syukur pun nggak lupa mereka panjatkan. Pokoknya mereka merasa jerih payah selama latihan terbayar. ”Selamat, Fy! Kalian memang hebat,” puji Edwin sambil menyalami Fyanti setelah menyalami personel lain. ”Eh, selamat juga dong buatmu. Kamu juga hebat,” puji Fyanti tulus. Dia pun menjabat tangan teman istimewanya http://facebook.com/indonesiapustaka



itu. ”Permainan gitarmu bener-bener bisa bikin orang terpana melihatnya.” ”Ah, itu kan juga karena dukungan kalian,” kata Edwin, merendah. ”Fyyy.” Suara cempreng para sahabatnya langsung membuat Fyanti menoleh. Begitu juga dengan teman-teman bandnya. 144



”Gila! Oke banget permainan kalian. Apalagi suara lo tadi, Fy,” sambar Ciska. ”Makasih, Cis.” ”Iya nih, gue sampe merinding denger suara lo,” tambah Ifa. ”Untung gue nggak ngences liat lo sama Edwin tadi main,” ujar Rere terkekeh. ”Makasih-makasih… Makasih temen-temen! Kalian memang grupis yang baik.” Fyanti ikut terkekeh, kebahagiaan tersirat jelas di wajahnya. ”Tinggal makan-makannya nih!” Tiba-tiba Ciska mengajukan usul yang juga diiakan yang lain. ”Iya nih!” ”Bener-bener!” ”Oke-oke. Setelah beberes peralatan dan masukin ke mobil, kita makan yaaa,” jawab Fyanti menyanggupi keinginan teman-temannya itu. ”Horeee…” Tak lama kemudian mereka saling bantu membereskan semua perlengkapan band Bintang Pagi yang ada di belakang panggung. Perut mereka yang sudah keroncongan menjadihttp://facebook.com/indonesiapustaka



kan mereka semakin bersemangat menyelesaikan pekerjaan itu. Sementara itu, di salah satu sudut parkiran motor, seseorang tampak mengendap-endap, seperti menyelidik sesuatu. Karena penjaga parkir dan satpam disibukkan ikut mengatur keamanan pentas seni, tindak-tanduk orang itu nggak sempat terlihat mereka, terlebih di areal itu penerangan kurang 145



bagus. Kalau dilihat dari penampilannya, rasanya nggak mungkin dia mau berbuat jahat di areal parkir itu. Cowok itu berdiri di depan motor bebek yang nomor polisinya tampak sudah dia hafal. Setelah yakin kanan-kiri aman, tanpa ragu dia menusukkan paku ke ban depan dan belakang motor itu. Beberapa saat kemudian, senyumnya terkembang. Lalu dilapnya tangannya dengan tisu basah yang dia bawa. Dengan tenang dia melangkah pergi.



”Wah, gila! Iseng banget yang ngempesin motor lo,” komentar Benny begitu melihat kondisi motor Edwin. ”Lo udah nanya ke satpam belum?” tanya Ciska. ”Tadi udah sempet nanya sih, mereka nggak tahu. Ya wajar sih, mereka nggak bisa setiap saat ngawasin semua kendaraan di sini. Lagi rame juga gini,” jawab Edwin. Aneh juga, pas berangkat tadi motornya baik-baik aja, nggak ada tanda-tanda bakal kempes, sampai depan-belakang pula. Terlintas di pikiran Edwin, ada yang sengaja melakukan itu. Tampak paku masih tertancap di sana, tidak terlalu dalam. http://facebook.com/indonesiapustaka



Niat beneran atau iseng sih? Siapa juga yang tega? Kayaknya gue nggak punya musuh juga, batin Edwin. ”Ya udah deh, motormu taruh aja di sini. Entar kita bilang ke satpam. Kamu pulang naik mobil sama aku aja,” usul Fyanti. Edwin menggaruk-garuk kepalanya, tampak masih bingung. 146



”Tapi, Fy, kan nggak enak sama papamu. Baru diberi tanggung jawab, kok kayak gini.” Fyanti mengibaskan tangannya. ”Asal dikasih tahu kronologi kejadiannya, pasti Papa ngerti.” ”I-i-iya sih… tapi… tapi kan…” ”Eh, Sob,” sahut Dadang sambil menarik tangan Edwin sedikit menjauh dari teman-temannya. ”Lo nurut aja deh sama usul Fyanti. Bukan apa-apa, kalo lo makin sok pahlawan, kan bisa aja bokapnya jadi curiga kalo yang salah emang lo. Dan pembelaan Fyanti jadi sia-sia.” Edwin mengangguk-angguk setuju. ”Bener juga lo ya.” ”He-eh…” sahut Dadang sambil mengacungkan jempolnya. Akhirnya, setelah mendapat izin dari satpam yang jaga, Edwin meninggalkan motornya di parkiran SMA Sukacita. Untungnya, Pak Satpam memperbolehkan. Lega deh. Tak lama kemudian para personel Bintang Pagi beserta tiga ce-es Fyanti keluar dari areal parkir. Benny dan Dadang http://facebook.com/indonesiapustaka



naik motor, sisanya naik mobil Fyanti yang sudah menanti di luar halaman sekolah. Ketika berjalan keluar, tak sengaja Fyanti melihat mobil sedan biru yang rasanya Fyanti kenal banget juga parkir di luar areal halaman sekolah. Setelah beberapa saat berpikir keras, Fyanti yakin dia mengenalnya sebab nomor polisinya itu gampang banget diingat: D 150 XNN. 14



Ah, ya!!! Itu memang mobil Dixon. Pasti. Tapi, ngapain dia di sini? Nonton pentas seni? Niat amat… Nggak ada yang ngundang juga. Atau jangan-jangan yang ngempesin ban motor Edwin… Mendadak otak Fyanti berpikir yang tidak-tidak. Terlalu negative thingking! Habis, ngapain dia tiba-tiba di sini?



Muka Fyanti udah kelihatan jelek banget. Ciska dan Rere yang sedang menemaninya berusaha untuk mengerti. Mereka cuma diam, menunggu Fyanti yang manyun nggak jelas begitu entah sampai kapan. ”Suara lo emang enak banget, Fy. Hebat!” ”Thanks,” Fyanti menjawab malas ”Bintang Pagi bisa jadi grup band terkenal tuh! Bakatnya udah kelihatan,” sahut Dixon. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Ya, itu kan juga karena campur tangan Edwin,” Fyanti sengaja manas-manasin. Benar saja. Tampang cowok yang tadi malam memang nonton pentas seni itu berubah tak senang. Dia menatap tajam Fyanti. Yang dipandang cuma cuek, berlagak nggak tau malah. ”Emang dia bisa apa sih sampe segitunya?” 14



”Lho, jelas dia bisa bikin Bintang Pagi jadi dipuji, seperti yang lo lakuin barusan kan?” Di-kick balik gitu, Dixon mati kutu. Dia cuma bisa mendengus. Rere dan Ciska yang melihat itu tampak ikut senang. Fyanti emang berbakat bikin Dixon emosi. ”Kenapa sih lo lebih milih anak rusun itu? Emang apa sih istimewanya dia?” Dixon mencerca. Fyanti menahan tawa. ”Lo mau banding-bandingin Edwin? Sama siapa? Elo? Ya jelas beda lah…” ”Jadi, kenapa lo sampe segitunya muja dia?” ”Muja sih bukan. Fakta aja lah. Kan udah kebukti dari penampilan band kami kemarin.” ”Gue juga bisa kalo cuma kayak gitu. Bisa lebih malah!” ”Nah, itu tuh yang cuma ada di lo. Dan nggak ada di Edwin!” ”Maksud lo?” ”Lo itu narsis. Sok pinter. Sok kaya. Sok bisa segalanya. Padahal nothing. Sementara Edwin? Dia biasa aja. Nggak kaya, pinter banget juga nggak. Tapi, dia punya otak untuk tau apa yang nggak perlu dia banggakan.” http://facebook.com/indonesiapustaka



Sejujurnya Dixon kaget, Fyanti bisa bicara sepedas itu. Demi menyembunyikan kekagetannya, spontan dia memandangi gadis manis incarannya itu dengan pandangan tajam. Sayangnya, itu nggak bikin Fyanti ciut. Dia malah seolah balik nantang. ”Lo kira dengan harta lo yang berlimpah itu, lo bisa ngelakuin segalanya? Lo kira gue bakal tergiur?” Fyanti bersiap 14



untuk pergi. Dia memberikan kode pada ce-esnya. ”Kalo lo mikirnya gitu terus, kayaknya lo harus beli cermin yang super besar deh. Yok, Re, Cis!” Tanpa memedulikan komentar Dixon selanjutnya, Fyanti segera berlalu. Rere dan Ciska mengikuti di belakangnya, sementara Dixon hanya bisa mengumpat-ngumpat. ”Mau ngapain sih si Dixon, Fy?” tanya Rere penasaran sambil mengikuti langkah Fyanti yang tampak buru-buru. ”Biasalah, ngejek-ngejek Edwin. Basa-basi doang muji-muji band kita,” jawab Fyanti, napasnya udah mulai ngosngosan. ”Dia sirik kali ya,” tebak Ciska. Fyanti mengangkat bahu. ”Gitu deh!” ”Emang dia nonton kemarin?” tanya Rere lagi. ”Iya. Gue sebenarnya juga udah tahu kalo dia nonton meskipun dia nggak ngaku.” ”Tau dari mana, Fy? Lo liat dia?” Rere makin penasaran. ”Nggak.” Fyanti langsung membuka pintu begitu Pak Lukman memberhentikan mobil persis di depannya. ”Mobil dia kan nomor polisinya gampang banget dikenalin. Pas kita http://facebook.com/indonesiapustaka



keluar areal sekolah kemarin, gue liat mobil dia juga lagi parkir di luar halaman. Awalnya, gue sempet nggak yakin itu mobil Dixon. Tapi, begitu liat plat nomor polisinya, hmmm… udah bisa ditebak.” ”Waaah…” Tanpa menunggu lebih lama, Fyanti, Rere, Ciska pun masuk ke dalam mobil. Ifa sengaja nggak ikut karena ibunya 150



tadi telepon bahwa dia harus cepat pulang. Setelah berdadah-dadah, mereka pun berpisah. ”Eh, Fy, jangan-jangan, motor Edwin bocor gitu karena ulah si Dixon?” tebak Ciska setengah nggak yakin. ”Nggak boleh suuzan gitu lo. Nggak baik,” tegas Rere mengingatkan. ”Bukannya suuzan, Re, soalnya kita tahu sendiri gimana Dixon selama ini sama kamu dan Edwin. Terus, kok niat amat sampe dia dateng ke pensi? Apa cuma karena penasaran sama band kalian?” Fyanti diam mendengarkan. ”Neng, tadi pagi waktu Bapak nganter Neng berangkat sekolah, Pak Satpam itu nanyain soal bocornya motor Edwin,” ujar Pak Lukman sembari nyetir. ”Terus, Pak?” Fyanti jadi lebih tertarik. ”Kata Pak Satpam itu, ada satpam lain yang ngeliat cowok necis masuk ke parkiran. Karena satpam itu mengira dia salah satu penonton yang parkir di sana, ya dibiarin deh,” Pak Lukman menjelaskan. ”Terus, Pak Satpam masih inget nggak ciri-ciri oranghttp://facebook.com/indonesiapustaka



nya?” ”Wah, Bapak sih nggak tanya, Neng. Tapi, pokoknya dari cerita Pak Satpam tadi, orangnya tuh tinggi, gagah gitu. Yang paling mencolok ya karena pakaiannya yang necis itu, Neng.” ”Naaaaah…” komentar Rere dan Ciska barengan. Sementara itu Fyanti diam, bergelut dengan pikirannya sendiri. 151



Dalam otaknya terlintas berbagai macam kemungkinan. Dia kembali mengingat-ingat perkataan Dixon, bisa jadi ada satu



http://facebook.com/indonesiapustaka



hal yang dilupakan Fyanti.



152



Bab 13



Y



ANG ada di kepala Fyanti akhir-akhir ini adalah gimana caranya biar Dixon nggak resek mencampuri urusan hidupnya. Makin hari, cowok yang baru belakangan ini dia tahu ternyata teman kecilnya



itu, makin nyebelin. Setelah peristiwa kempesnya motor Edwin, Dixon jadi makin berani deketin Fyanti dengan segala cara. Pernah suatu sore, pulang les, tiba-tiba aja satpam di rumahnya bilang bahwa ada Dixon yang sudah lama me-



http://facebook.com/indonesiapustaka



nunggunya. Fyanti yang nggak nyangka dengan kedatangan Dixon segera saja masuk. Begitu masuk, dia malah dimarahi papanya karena sudah membuat Dixon lama menunggu. Fyanti makin bingung.



153



Selama menunggu Fyanti datang, Dixon ditemani papa Fyanti. Saat keduanya mengobrol, Dixon mengadu bahwa dia sering dikecewakan Fyanti yang sering membatalkan janji. Padahal Dixon sudah menyiapkan waktu khusus agar mereka bisa bertemu. Katanya lagi, dia datang hari ini pun sebenarnya dalam rangka memenuhi janjinya pada Fyanti beberapa waktu lalu, yaitu janji mengajaknya makan malam. Janji kali ini merupakan hadiah penampilan Fyanti yang sangat membanggakan di pentas seni kemarin. Entah Fyanti lupa atau gimana, dia merasa tidak membuat janji dengan siapa pun. Karena Dixon nggak ingin kecewa, makanya dia mau nunggu berjam-jam biar bisa mengajak Fyanti makan malam. Walah… Begitu papanya udah ngomong, Fyanti nggak bisa jawab apa-apa lagi. Bahkan, membela diri pun nggak sempet. Nggak tahu gimana caranya Dixon bisa memengaruhi papanya sampe begitu percaya dan mendukung cowok itu. Jelas aja bikin Fyanti sebel beraaattt… http://facebook.com/indonesiapustaka



Akhirnya, mereka pun keluar makan malam. Dan bisa ditebak, selama makan malam yang harusnya romantis itu, Fyanti nggak nyaman, karena ada rasa nggak rela dalam hatinya. Penginnya cepet pulang. Makanan yang harusnya enak, malah terasa hambar kayak nggak ada garamnya sama sekali. Sekadar masuk mulut aja. Terpaksa Fyanti nggak menghabiskan makanannya. 154



Sementara itu, Dixon tampak nggak peduli dengan hal itu. Dia terus nyerocos, seakan menikmati makan malam itu sendiri. Muka Fyanti yang sudah tampak BT seakan nggak ngaruh buat Dixon. Mungkin baginya, bisa makan malam bersama Fyanti adalah sebuah kebahagiaan tanpa peduli bagaimana perasaan Fyanti. Mungkin saat ini dia merasa menang setelah sebelumnya tersaingi oleh Edwin yang dia rasa nggak selevel. Itu baru satu cerita. Beberapa hari kemudian, Fyanti dapat kiriman boneka beruang super besar dengan renda bertuliskan For My Sweety di bagian dadanya. Huwek. Yang bikin Fyanti sebel banget, boneka itu dikirim lewat alamat sekolah. Ya jelas bikin Fyanti malu dong. Baru kali ini ada yang mengirim paket begituan, lewat alamat sekolah pula. Fyanti harus rela digodain teman-temannya. Tadinya, Fyanti nggak mau ambil. Tapi atas desakan ceesnya, akhirnya diambil deh tuh boneka. Itu pun yang bawain http://facebook.com/indonesiapustaka



juga Ifa. Fyanti udah keburu malu. Ifa sih tampak senengseneng aja bawa boneka gede gitu. Apalagi sambil ngecengngecengi dengan gaya meluk boneka itu seakan Dixon meluk Fyanti. Dalam benak Fyanti tebersit untuk ngasih boneka itu buat adik-adik Ifa. Buat Ifa sekalian juga nggak apa-apa. Tapi, Fyanti udah mulai bisa baca pikiran Dixon. Suatu saat, dia 155



pasti akan nanya. Terus kalau barangnya nggak ada, dia bisa lebih nekat lagi. Kalau dipikir-pikir, hal-hal nyebelin lain yang Dixon lakukan biasa-biasa aja sih, seperti mengirim SMS atau BBM sok mesra gitu, nelepon berulang kali (tapi, sering Fyanti cuekin atau sengaja dia reject), dan beberapa kali menjemput Fyanti tanpa minta izin lebih dulu. Untungnya, Pak Lukman yang memang udah kongkalikong tetap sedia membantu Fyanti agar terlepas dari Dixon. Ada aja alasan Pak Lukman. Fyanti sempet ngakak sendiri begitu melihat Dixon yang harus kecewa karena nggak berhasil mengantar Fyanti pulang. Oh ya, si pengirim cangkir bergambar peri tempo hari itu ternyata si Dixon! Harusnya udah bisa ketebak sih. Fyanti sebenernya udah lupa soal cangkir itu, tapi Dixon sendiri yang ngungkit-ungkit kado itu dengan bangganya pas mereka makan malam. Wah, padahal Fyanti suka banget sama tuh cangkir. Mendadak males deh setelah tahu pengirimnya. Atas saran Rere, Ifa, Ciska plus Bi Acih, Fyanti berusaha sabar menghadapi serangan Dixon kali ini. Mereka bilang, tidak lama lagi Dixon akan bosan sendiri. Setelah dipikir-pikir, http://facebook.com/indonesiapustaka



memang benar juga sih. Apalagi ketika Fyanti dan temantemannya curhat ke Edwin, dia pun mendukung. Edwin percaya, kalau Fyanti tidak terlalu meladeni kemauan Dixon, lama-lama cowok itu akan bosan juga. Merasa didukung semua teman-temannya begitu, Fyanti jadi lebih bisa ikhlas. Terutama di antara teman-temannya itu terselip seseorang yang kini sungguh merajai hatinya. 156



*** Baru saja Edwin sampai di tempat kerjanya ketika tiba-tiba dia mendapat pesan tertulis yang dititipin di Kanya, kasir warung makan sunda itu. Ketika Edwin membaca isi pesan itu, dia sempat terpancing emosi. Isinya ancaman: ”Lo belum ngerti juga setelah motor lo gue kempesin tempo hari? Pengin yang mana lagi yang gue kempesin? Muka lo? Awas aja kalo lo masih beraniberaninya deketin Fyanti. Pesen gue, hati-hati.” Selepas membaca pesan itu, Edwin menarik napas panjang. Dia sudah bisa menebak siapa pengirimnya. Kanya, yang melihat perubahan raut wajah Edwin jadi ikutan cemas. Beberapa detik kemudian, dia bertanya untuk sekadar memastikan bahwa Edwin baik-baik saja. Edwin yang tidak ingin membuat temannya khawatir, mengangguk sambil tersenyum. Selanjutnya, Edwin memulai pekerjaannya, berharap nggak akan ada kejadian aneh-aneh lagi. Tiba-tiba dia merasa nggak semestinya dia terlibat urusan ini. http://facebook.com/indonesiapustaka



Keesokan harinya, ketika Edwin baru selesai kuis di kampusnya, dia tidak sengaja lewat majalah dinding di dekat kantor jurusannya. Di sana ada fotonya dengan mata dicoret spidol hitam. Seperti seorang bromocorah buronan. Di bagian dada foto itu tertulis: ”Dicari: Edwin Sukmanaraja, terakhir tercatat sebagai mahasiswa Akuntansi 2013”. Nah.… 15



Siapa lagi mahasiswa bernama Edwin Sukmanaraja anak Akuntansi 2013 selain dia? Spontan Edwin menarik foto itu dari mading tidak berkaca itu. Beberapa mahasiswa lain yang melihat sengaja membiarkan Edwin. Mereka tahu, pasti cowok itu sebel banget karena dikerjain gitu. Untung itu terjadi setelah kuis kelar. Coba kalau kejadiannya sebelum kuis, bisa-bisa Edwin nggak bisa konsentrasi ngerjain kuis deh!



Fyanti nggak bisa lagi nahan emosinya. Kali ini Dixon udah bener-bener keterlaluan. Kenapa dia harus melibatkan Edwin dalam urusan ini? Bukannya Dixon cuma ngincer Fyanti? ”Ya nggak gitu lah, Fy. Dixon pasti tahu, pesaing dia sekarang ini kan Edwin. Makanya dia juga ngerjain Edwin,” ulas Ciska. Fyanti menggeleng-geleng. ”Gelo. Bener-bener gila…” ”Udahlah, Fy, jangan kebawa emosi. Entar malah nambah http://facebook.com/indonesiapustaka



masalah lagi,” Edwin menenangkan. ”Gimana nggak emosi, Win? Nih cowok udah keterlaluan banget. Emang dia kira dengan cara kayak gini bisa berhasil? Salah besar kalo gitu…” Sore yang cerah ini dipenuhi emosi beberapa orang yang sedang berkumpul di rumah Ifa. Sepulang sekolah tadi, Fyanti ce-es memang sudah be15



rencana main ke rumah Ifa. Mereka sudah lama banget tidak ke sana. Selain ngobrol ngalor-ngidul, Fyanti juga bermain bersama Fanny di lapangan dekat sana. Adik Ifa satu itu tampak gembira banget, akhirnya Fyanti datang lagi ke rumahnya. Makanya dia bersemangat mengajak Fyanti bermain di lapangan. ”Terus, sebaiknya gimana dong?” tanya Rere yang sejak tadi diam mendengarkan. Sebenarnya kumpul-kumpul begini bukan bermaksud ngajak Edwin, satu-satunya cowok di sana, untuk ikut ngerumpi. Tadi Fyanti iseng SMS-an sama Edwin, bermaksud ngasih kabar kalau dia ada di rumah Ifa. Eeeh, malah Edwin minta Fyanti nunggu sampai dia pulang kerja jam lima sore. Ya udah deh, keempat cewek itu akhirnya menunggu Edwin pulang kerja. ”Bikin kudeta aja,” jawab Ciska ngasal. ”Hush. Ngawur,” sahut Ifa. ”Ih, cowok kayak gitu kok dilembekin. Dengan cara kekerasan sekali pun belum tentu dia kapok,” jawab Ciska, beralasan. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Tapi, kalo kita ngebales dia dengan cara yang sama seperti yang dia lakukan, berarti kita juga sama kayak dia,” Ifa mengingatkan. ”Bener juga ya,” sahut Edwin sambil mengangguk-angguk. ”Ya, masa mau kita diemin aja, atau ada tindakan yang paling nggak bisa bikin dia nggak ngisengin Fyanti atau 15



Edwin terus deh?” tanya Rere, yang tampaknya sudah sangat sebal. Suasana mendadak sunyi. Masing-masing berpikir untuk mencari jalan keluar atas masalah ini. Meskipun ini cuma masalah antara Fyanti, Edwin, dan Dixon, tapi ce-es Fyanti yang selalu setia itu nggak rela kalau Fyanti dikerjain terus. Emang enak jadi bahan kerjaan? Apalagi sama orang yang udah jelas-jelas nggak disukai. Kata Pak Januar, itu melanggar hak azasi manusia. Bisa gawat itu urusannya. ”Kita bilang aja baik-baik ke Dixon, Fy. Bilangin kita nggak suka dengan cara-caranya itu,” usul Rere setelah berpikir panjang. ”Yaaahhh… kan udah gue bilang barusan. Orang kayak Dixon itu mana mempan dibilangin gitu? Lha dengan cara keras aja belum tentu bisa kok. Apalagi dia punya tameng kekayaannya. Dia pasti bisa melakukan apa saja pake duitnya itu,” Ciska mengingatkan lagi. ”Eh, kita bilanginnya juga pake gertakan dong! Bilang, kalau dia masih kekeuh begitu, kita laporin ke polisi,” tambah Rere. ”Hmmm…” Ciska menggeleng-geleng. ”I’m not sure!” http://facebook.com/indonesiapustaka



”Me too.” Ifa ikutan nggak yakin. ”Lha, terus gimana dooonggg!” Rere putus asa sendiri. Fyanti menarik napas. Semuanya mendadak jadi galau. ”Sementara ini, biarin aja dulu. Kalo kita berencana macemmacem malah bisa bikin dia lebih gila lagi. Gue yakin, entar akan ada caranya buat bikin dia kapok.” Semua mata memandang Fyanti. Mereka tahu, Fyanti 160



memang punya keyakinan sendiri yang mungkin paling tepat untuk mengatasi hal ini. ”Udah lewat magrib nih. Masih ada PR Fisika yang harus dikumpulin besok,” Fyanti mengingatkan. ”Eh, iya yah. Gue punya dua PR malah, Fisika dan Bahasa Indonesia,” ujar Rere, seperti diingatkan. ”Gue sih udah nyicil PR Fisikanya tadi sambil nunggu Fyanti main sama Fanny. PR Bahasa Indonesia udah kemarin. Tinggal belajar buat mata pelajaran lain aja, siapa tahu besok ada ulangan harian mendadak,” ujar Ifa. ”Eh, Ifa, kalo ngomong jangan sembarangan ya. Bisa mati beneran gue kalo besok ada ulangan harian mendadak,” omel Rere, dan disambut tawa dari teman-temannya. ”Ya sudah. Ayo kita cepet pulang kalo gitu. Biar cepet bisa belajar,” ajak Ciska. Tanpa menunggu disuruh dua kali, kesemuanya bangkit dari duduknya. Bersiap pulang. ”Hmmm, aku antar kamu ya, Fy,” ujar Edwin tiba-tiba sebelum Fyanti pamit pada keluarga Ifa. ”Kamu kan baru pulang kerja?” tanya Fyanti nggak pengin http://facebook.com/indonesiapustaka



direpotin. ”Nggak pa-pa. Udah nggak capek kok.” Sejujurnya Fyanti ingin langsung mengiakan. Dia seneng banget dengan tawaran Edwin itu. Tapi sekarang situasinya lagi nggak ngenakin. Jangan-jangan malah bikin masalah baru nanti. ”Terus, dua cewek centil ini gimana?” Fyanti menunjuk 161



Rere dan Ciska. ”Gue telepon Pak Lukman biar jemput aja deh!” ”Tenang aja, Fy, angkot juga masih setia nunggu kami kok,” tolak Rere seraya mengedipkan mata pada Ciska. ”Bener, Fy, kalo perlu, angkotnya yang jemput kami,” dukung Ciska, cengar-cengir karena berhasil menggoda Fyanti. Fyanti jadi salah tingkah. ”Iya, Fy, kalo dua manusia ini nginep di rumahku juga masih muat kok. Paling kalo ternyata nggak, ya diungsiin aja ke rumah Edwin,” gurau Ifa nggak mau kalah. Semua yang ada di ruangan itu tertawa. ”Iya deh.” Akhirnya Fyanti nurut juga. Dia dan yang lain pun berpamitan pada ibu Ifa. Demi berterima kasih pada Rere dan Ciska, Fyanti ikut menunggu angkot untuk mereka. Karena nantinya diantar Edwin, dia bisa pulang agak belakangan. Edwin pun nggak keberatan. Dia juga harus pulang dulu buat ngambil motor. Mereka bercanda dan tertawa sambil nunggu angkutan lewat. Ada saja yang jadi bahan candaan. Saking asyiknya, mereka nggak sadar ada sepasang mata yang mengintai. http://facebook.com/indonesiapustaka



Sepasang mata itu tajam memperhatikan tiga cewek itu dari balik kacamata hitamnya. Sosok itu makin serius memperhatikan ketika motor Edwin berhenti tepat di depan cewekcewek itu. Berbarengan dengan angkot yang lewat, Fyanti pun naik, membonceng Edwin di belakang. Sepasang mata itu menyiratkan ketidaksukaan. Sementara itu, Fyanti sangat menikmati kebersamaannya 162



dengan Edwin naik motor. Udah lama banget rasanya nggak bermesraan begitu. Di sisi lain, Edwin pun menikmati kebersamaan dengan gadis manis yang sebenarnya telah membuat dunianya terasa berbeda. Sekian lama bersama dan melakukan banyak hal menyenangkan, membuat hatinya tak mampu menghindar lagi dari pesona Fyanti yang memang selalu memancar itu. Karena Fyanti juga yang membuka wawasan Edwin tentang dunia lain yang sebelumnya nggak pernah dia pikirkan sebelumnya. Bahwa ada orang-orang dengan hidup sangat berkecukupan yang tidak pernah melupakan orang lain. Itu ada dalam keluarga Fyanti. Edwin merasa mendapat saudara baru yang tidak hanya membuatnya mengerti arti hidup, tapi juga membantunya dalam hal lain, seperti masalah motor ini. Jadi dia sangat senang jika bisa ikut membantu Fyanti meski sekadar mengantar-jemput Fyanti sekolah. Beberapa waktu lalu, Edwin membawa kue buatan ibunya untuk keluarga Pak Ferdian, dan mereka menerima kue itu dengan antusias. Edwin semakin merasa diterima keberadaannya. Ketika menikmati perjalanan itu, sekonyong-konyong http://facebook.com/indonesiapustaka



bebek hitam yang dikendarai Edwin disenggol sebuah sedan. Motor Edwin nyaris oleng. Untung Edwin cepat tanggap. Dia langsung banting setir ke kiri dan sedikit menabrak trotoar. Fyanti menduga niat pengemudi mobil itu memang untuk membuat Edwin jatuh. Mobil itu berhenti. Edwin dan Fyanti langsung turun sebelum pengemudi sedan itu juga turun. 163



Mata Fyanti langsung membelalak begitu menyadari body mobil itu, dan plat nomor polisinya. D 150 XNN. Belum sempat ada kalimat yang keluar dari mulut Fyanti, si empunya mobil langsung membanting pintu mobil dan mendekati mereka. ”Kalau bawa kendaraan tuh perhatiin pengendara lain dong! Punya mata kan?” ujar cowok tinggi putih itu sembari melepas kacamata hitamnya. ”Kayaknya kita baikan aja deh. Toh, nggak ada yang terluka juga,” jawab Fyanti ketus. ”Kita?” Dixon mendekati Edwin yang berdiri di samping motornya. ”Denger ya, gue lagi ngomong sama anak ini. Jadi lo cewek, jangan ikut campur! Heh, pengecut! Lo tuh ya, pake motor pinjeman aja jangan belagu deh. Nggak malu bonceng cewek pake motor yang dikasih cewek itu?” ujar Dixon, dengan gaya songongnya. Edwin yang sebenernya sangat marah, berusaha untuk cuek. Dia tahu harus sabar ngadepin orang seperti Dixon. Nggak boleh kebawa emosi. Fyanti yang khawatir kedua http://facebook.com/indonesiapustaka



cowok itu akan berantem tampak makin gusar. ”Elo denger apa yang gue bilang nggak sih?” Justru Dixon yang naik pitam karena merasa dicuekin. ”Denger kok. Kuping gue masih normal,” jawab Edwin enteng. ”Terus, kenapa lo diem aja?” ”Gue cuma males nanggepin kelakuan anak-anak kayak 164



sikap lo itu. Dan lagi, bukan gue yang nggak liat, tapi lo yang sengaja nyenggol motor gue.” Di saat yang sama, Rere dan Ciska, di angkutan yang tadi mereka salip karena sering ngetem, melintas. Begitu melihat Edwin dan Fyanti, tanpa ragu-ragu keduanya minta berhenti dan turun. Mereka langsung berlari mendekati temantemannya itu. ”Eh, ada apa nih? Kok-kok-kok, bisa ada makhluk aneh ini sih?” ujar Ciska yang bingung sambil menunjuk Dixon. ”Gue emang selalu ada di mana pun kalian!!” jawab Dixon ketus. ”Lo sendiri ngapain turun dari angkot segala?” ”Ih, si barokokok, dari tadi gue emang barengan Fyanti dan Edwin. Cuma, gue dan Rere naik angkot, Fyanti dan Edwin naik motor,” jelas Ciska. ”Lo tau nggak, si Edwin ini contoh pengendara motor yang nggak baik,” Dixon mengalihkan pembicaraan. ”Idih… emang kenapa? Dia punya SIM. Asli. Bukan nembak. Nggak pernah ditilang. Bisa-bisanya lo bilang dia pengendara motor yang nggak baik,” sabet Rere. ”Ditipu lo!!! Buktinya, tadi dia nyenggol mobil gue. Padahal http://facebook.com/indonesiapustaka



gue udah di jalur bener,” ucap Dixon sambil menunjuk baret di mobilnya. Rere memandangi Edwin dan Fyanti. Keduanya nggak ngasih reaksi apa-apa. Mereka saling mengangkat bahu. Rere jadi tahu, ini pasti bisa-bisanya Dixon buat cari masalah. Di sisi lain, Fyanti jadi bingung. Apa mungkin sampe baret, padahal senggolannya tadi juga nggak terlalu kenceng. 165



”Terus, mau lo apa?” tantang Edwin akhirnya dengan nada suara yang masih tenang. ”Ya, ganti dong. Enak aja nyerempet nggak tanggung jawab.” Dixon kepancing. ”Berapa?” Dixon tampak sangat kaget Edwin menerima tantangannya. Dia nggak nyangka kalau Edwin berani bilang gitu. ”Emang lo sanggup?” Edwin mengangkat bahu. ”Who knows…” Merasa disepelekan, Dixon mendekati Edwin lalu mengangkat kerah baju Edwin. ”Lo emang belagu banget ya. Lo kira lo sanggup bikin mulus mobil gue lagi?” Edwin hanya senyum-senyum. Dixon menarik kerah baju Edwin ke arah mobilnya lalu menyenderkan tubuh cowok itu di pintu mobilnya. Fyanti dan yang lain mengikuti, hendak melepas tangan Dixon. Mereka was-was juga kalau terjadi sesuatu pada Edwin. ”Heh! Lo harusnya nyadar ya, lo itu nggak ada apa-apanya dibanding gue.” Edwin melepaskan tangan Dixon dari kerah bajunya. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Gue juga ngerasa nggak lebih dari elo kok. Santai aja.” Mata Dixon menunjukkan betapa dia mulai naik pitam. Tanpa diduga dia kembali menarik kerah baju Edwin, satu tangannya menunjuk-nunjuk muka Edwin. ”Lo kira dengan sikap lo yang sok cuek itu, lo bisa dapetin Fyanti? Lo pikir lo mampu bersaing sama gue, hah?!” ”Eh, apa-apaan sih nih?” Fyanti nggak tahan cuma berdiam 166



diri sejak tadi. Edwin pun akhirnya bisa lepas dari cengkeraman tangan Dixon. ”Diliat banyak orang, tau.” Dua cowok yang tadinya cuek dengan sekelilingnya sejenak melihat ke kanan-kiri mereka. Ada beberapa orang yang menonton mereka. Tapi, orang-orang itu tidak berani mendekat. Entah karena takut atau karena tahu itu urusan pribadi. ”Kalian udah gede, tapi kelakuan kayak anak kecil,” umpat Fyanti lirih. ”Cowok yang boncengin lo nih belagu,” Dixon membela diri. Tiba-tiba Fyanti mendekati Dixon dan berhadap-hadapan dengannya. ”Heh Dixon, mau lo sebenarnya apa sih? Belum puas selama ini bikin masalah? Masih penasaran?” Disemprot Fyanti begitu nyali Dixon malah sedikit menciut. Mana mungkin dia bisa melawan, kalau pujaan hatinya protes begitu. Hal ini memang nggak bisa Dixon pungkiri. Makanya dia diam saja. ”Denger ya, Xon, meskipun lo lebih apa pun daripada Edwin, tapi lo nggak pernah bisa ngasih kebahagiaan yang gue mau. Jadi, lo nggak perlu bangga-banggain harta lo,” http://facebook.com/indonesiapustaka



cerocos Fyanti. ”Lo aneh, tau nggak. Kenapa sih belain orang kayak Dixon gini? Emang lo dapet kebahagiaan macem apa sih?” Dixon masih kekeuh dengan pendapatnya sendiri. ”Mau tau?” tantang Fyanti sambil berkacak pinggang. Dixon mengiakan. ”Karena dia nggak angkuh kayak lo. Karena dia nggak 16



membanggakan masalah duniawi. Karena dia mau melihat sesamanya seperti dia melihat dirinya sendiri!” ”Akh!” Dixon mengibaskan tangan, menyepelekan. ”Emang dia punya modal buat angkuh? Apa yang bisa dia banggakan? Rumahnya aja di rusun begitu.” Dixon memandang ke segala penjuru seperti sedang mencari-cari pernyataan bahwa Edwin memang tidak berharga. ”Lo nggak usah sombong meskipun lo bisa ngelakuin apa aja. Lo nggak tau kan rasanya jadi pegawai rendahan, cari duit sendiri tanpa harus ngandelin orangtua, kuliah sambil kerja, tinggal di rumah susun, atau naik sepeda sehari-hari?” ”Heh, Sob, asal lo tau aja ya, gue juga pernah jadi pegawai bokap gue sebelum megang perusahaan kayak sekarang. Gue tau lah rasanya capek cari duit kayak gimana. Waktu di Kanada, gue juga sempet kerja part time. Tinggal di rumah susun pula, yah nama kerennya apartemen sih. Dan, buat pulang-pergi kampus-apartemen, gue naik sepeda. Nggak usah sok ngejelasin rasanya hidup susah ke gue lah,” jelas Dixon seolah nggak mau disaingi Edwin. ”Gue udah pernah ngerasain apa yang lo alami, tapi lo yang nggak pernah ngerasain apa yang gue alami. http://facebook.com/indonesiapustaka



”So, apalagi yang pengin lo bandingin antara gue dan Edwin? Sebenarnya kami sama aja kan? Tapi, jelas lebihan gue. Gue udah keliling dunia, dia? Keliling Bandung aja belum kali.” Sekali lagi, Dixon meremehkan Edwin. ”Gue udah punya mobil dari hasil kerja keras sendiri, dia boro-boro deh. Motor aja dipinjemin. Gue udah tiga tahun lalu dapet gelar sarjana, dia? Nggak tahu deh kapan.” 16



”Gelo!” Fyanti nggak tahan untuk lama-lama berdiam diri. ”Lo pikir dengan kesombongan itu bisa bikin gue terpukau?” Dixon mengangkat bahu. ”Everything I do…” Halah. Gombal banget nih cowok. Bener-bener ngetes kesabaran Fyanti. Maunya apa sih nih anak? Udah jelas-jelas nggak mungkin bisa merebut hati Fyanti, kok masih kekeuh aja. ”Gue akan ngelakuin apa aja, lebih dari yang cowok kere itu lakukan buat lo,” sumbar Dixon. ”Apa aja?” tanya Fyanti untuk meyakinkan. ”Ya, apa saja,” jawab Dixon mantab. Otak Fyanti berpikir keras. Dia tahu, Dixon nggak bisa ditantang dengan hal yang bisa dia lakukan semudah membalikkan telapak tangan. Dia harus ditantang dengan sesuatu yang membuatnya kesulitan lalu kapok deh. Tapi, apa ya… Lagi sibuk berpikir gitu, mendadak Rere membisikkan sesuatu. Wajah Fyanti berubah cerah. Usul Rere barusan oke banget. http://facebook.com/indonesiapustaka



”Oke, kalo lo emang bisa ngelakuin apa aja buat gue.” ”Boleh. Apaan?” ”Gue pengin, lo dan Edwin…” ujar Fyanti sambil menunjuk ke arah Edwin, ”besok sore tanding layang-layang di atas atap rumah susun Ifa.” ”Hah?” pekik Edwin. ”Hah? Tanding layang-layang?” 16



Dua cowok yang sama-sama kaget itu nggak nyangka Fyanti akan punya ide seperti itu. ”Iya, tanding layang-layang. Kebetulan udara juga lagi bagus. Banyak angin. Siapa yang bisa menang, itulah cowok yang emang bisa ngelakuin apa aja di dunia ini.” ”Serius Fy?” Edwin rada nggak percaya dengan apa yang dia dengar. ”Ya iyalah,” jawab Fyanti sambil mengedipkan sebelah matanya pada Edwin. Edwin tersenyum sambil menganggukangguk. ”Gimana, Xon? Mau terima tantangan ini?” Dixon tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak, memandangi Fyanti dan Edwin bergantian. Dia tampak mulai merasa lagi dikerjain. Tapi, gengsinya yang tinggi membuatnya pantang menolak. Akhirnya, Dixon menerima tantangan itu. Tanding layang-layang. ”Oke deh. Siapa takut?” Fyanti tersenyum lebar. Dia tahu, kali ini pasti Dixon akan kena batunya. ”Sip… Kalo gitu, besok sore kita tunggu di depan blok rumah Ifa, terus kita langsung ke atapnya buat tanding.” http://facebook.com/indonesiapustaka



Dixon mengangguk-angguk. Tak lama kemudian, Edwin menstarter motornya, dan mengantar Fyanti pulang. Sementara Rere dan Ciska kembali naik angkutan yang kebetulan lewat.



10



Bab 14



S



ORE ini cerah. Matahari bersinar tidak begitu terik. Namun, angin yang berembus cukup kencang, tapi tidak membuat orang-orang takut untuk keluar rumah.



Suasana seperti ini memang pas banget buat main layang-



layang. Beberapa layang-layang tampak sudah memenuhi angkasa. Nyaris segala bentuk layang-layang ada di sana. Di atap rumah susun blok D tampak ramai, sekitar sepuluh orang berkumpul di sana, termasuk adik Ifa dan Edwin. Sore



http://facebook.com/indonesiapustaka



ini adalah pembuktian tentang siapa yang sebenarnya punya kelebihan. Dengan cara ini Fyanti berharap Edwin dan Dixon bisa saling menghormati. Fyanti juga berharap Dixon mau berendah hati, tidak selalu membanggakan



11



harta kekayaannya. Meskipun kayaknya itu bukanlah hal yang mudah, tapi Fyanti tetap optimis. Setelah Dixon datang, permainan langsung dimulai. Dixon sengaja membawa layang-layang mahal. Tentu saja agar mudah diterbangkan dan gengsi. Berbeda jauh dengan layang-layang milik Edwin, tampak layang-layang dengan kualitas biasa saja. Setelah Fyanti meniup peluit tanda layang-layang sudah boleh mulai diterbangkan, kedua cowok itu langsung menarik benang layang-layang masing-masing. Layang-layang Dixon tadinya dipegangi oleh adik Ifa sedangkan Ifa sendiri memegangi layang-layang Edwin. Cuaca hari itu benar-benar mendukung. Ketika mereka sama-sama mengulur benang, angin berembus dengan mulusnya. Layang-layang Dixon tampak sulit terbang. Layanglayangnya sulit dikendalikan, sedangkan layang-layang Edwin berhasil terbang dengan mulus seiring embusan angin. Meskipun begitu, Dixon masih saja bisa sombong. Tampak jelas bahwa dia nggak mau ngaku kalah. Apalagi, dia sudah mengeluarkan biaya mahal untuk layang-layang itu. Waktu terus berjalan, layang-layang Edwin sudah menghttp://facebook.com/indonesiapustaka



angkasa, bersama banyak layang-layang lain yang tampak menembus langit biru. Layang-layang Edwin yang berwarna biru muda bercampur putih dan kuning itu tampak berbeda dari layang-layang lain. Kelihatan lebih menonjol. Edwin memainkan layang-layang itu dengan sangat lincah karena ini bukan permainan baru lagi untuknya. Sudah dari kecil dia hobi main layang-layang. 12



Biasanya, kalau nggak bisa di atap rumah rusun seperti ini, dia akan menerbangkan layang-layangnya di lapangan, di bawah sana. Namun, di lapangan sana debu sering ikut beterbangan ketika angin berembus. Itu yang bikin nggak tahan. Maklumlah memang lapangan tanah. Makanya begitu Fyanti mengusulkan tanding di atap rumah susun, Edwin merasa sangat lega karena bisa leluasa bergerak, dan tentunya tetap berhati-hati supaya tidak jatuh. Fyanti sendiri yang pernah diajari main layang-layang oleh Dewo waktu dulu pun juga bisa menerbangkan layang-layang. Meskipun nggak seahli Edwin, tapi cukup oke lah permainannya. Tapi karena hari ini menjadi juri tanding layanglayang antara Edwin dan Dixon, dia harus rela tidak ikut. Pemandangan itu bikin Dixon menarik napas berulang kali. Jangankan mengadu layang-layangnya, bisa terbang saja belum. Selalu saja gagal. Padahal dia sudah berusaha matimatian agar layang-layangnya bisa terbang. Dixon tetap tidak berhasil. Tadinya Ciska sempat ikut memegangi layang-layang Dixon. Nyaris berhasil terbang. Tapi, mungkin karena Dixon http://facebook.com/indonesiapustaka



belum tahu trik-trik ketika layang-layang masih berada di posisi tanggung, layang-layang itu malah menukik ke bawah. Gagal lagi deh. Dixon sudah separuh menyerah. Sementara Ciska juga malas kalau harus memegangi lagi layang-layang Dixon. Lha dia kan ada di pihak Fyanti dan Edwin. Masa iya terus-menerus membantu Dixon? Dalam situasi yang bikin frustrasi itu, Dixon berusaha 13



menenangkan diri. Dibiarkannya semua yang ada di sana menyemangati Edwin yang tengah beradu dengan layanglayang lain. Entah milik sapa. Dixon cuma bisa memandangi sembari istirahat. Sesekali dia mengumpat lirih saat melihat Edwin berhasil membuat tali layang-layang lawannya putus atau kelewang. Menyerah memang pantang buat Dixon. Apalagi di saat seperti ini. Tapi, dia juga bingung harus bagaimana lagi. Bermain layang-layang benar-benar tak semudah yang dia pikirkan. Hari makin sore. Tidak sampai satu jam lagi, senja akan segera tiba. Dixon menarik napas panjang. Terbayang di kepalanya, dia akan kalah bertarung hari ini. Bukan saja karena sebentar lagi senja, tapi karena memang dia benarbenar tidak bisa menerbangkan layang-layangnya. Bahkan untuk licik pun, Dixon tidak menemukan cara. Hhhmmm.… Dixon benar-benar merasa dikerjain. Hal yang sebelumnya sungguh tidak pernah terlintas di benaknya. Bukankah dirinya adalah cowok yang bisa melakukan apa saja? http://facebook.com/indonesiapustaka



Ketika Dixon terduduk menyesali kekalahannya, mendadak tubuhnya digoyang-goyang dari samping. Spontan dia menengok. ”Kakak mau nerbangin layang-layangnya?” tanya seorang anak kecil. ”Mau Didot bantu megangin layang-layangnya?” ujarnya lagi, tanpa menunggu pertanyaan pertamanya tadi dijawab. 14



Beberapa saat kemudian, bocah bernama Didot itu tiba-tiba menarik tangan Dixon. Mau nggak mau Dixon nurut. Didot dengan piawainya memegangi ujung layang-layang Dixon sambil memberi aba-aba. Ketika layang-layang Dixon nyaris terbang, Didot pula yang membantu Dixon mengendalikan tali layang-layang agar bisa bergerak naik sehingga layang-layang tidak lagi menukik ke bawah. Didot tampak sudah sangat berpengalaman bermain layang-layang. Karena ditemani sekaligus diajari anak kecil yang baru dia kenal itu, Dixon jadi tidak seputus asa tadi. Dia makin semangat berjuang hingga layang-layang itu benar-benar bisa mengangkasa. Sesekali terdengar teriakan dukungan di antara mereka. Tawa Didot atau loncat-loncat kegirangannya menambah ramai sore itu. Tentu saja hal ini mengagetkan Edwin, Fyanti, dan lainnya. Mereka pikir Dixon sudah benarbenar menyerah tadi. Akhirnya layang-layang merah menyala itu bisa juga mengangkasa. Dixon pun dibuat bangga karenanya. Namun, dia belum berani beradu dengan layang-layang Edwin. Di saat dia memegangi tali layang-layangnya yang sudah mengangkasa, http://facebook.com/indonesiapustaka



sesekali matanya melirik Didot. Ada sesuatu yang mengalir di hatinya ketika dia menatap bocah cilik itu, membuat otaknya berpikir. Didot yang punya kekurangan seperti itu ternyata tidak minder, bahkan masih bisa membantu tanpa memedulikan siapa Dixon. Senja benar-benar tiba. 15



Mau nggak mau, semua anak yang masih ada di atap rumah susun itu harus menyudahi permainan layanglayangnya. Walau masih ingin terus bermain, tapi apa boleh buat. Memang waktunya sudah tidak memungkinkan. ”Selamat, Win! Kamu memang jago main layang-layang,” tiba-tiba Dixon memberi selamat pada Edwin. Pastinya hal ini sangat mengagetkan Edwin dan Fyanti dan ce-es yang melihat pemandangan itu. ”Thanks, Xon. Elo sebenernya juga bisa kok. Terbukti kan?” ”Yah, itu kan karena bantuan Didot. Tanpa dia, mana bisa lah gue,” kali ini Dixon berusaha merendah. Entah kenapa dia merasa bukan saatnya lagi untuk angkuh. Tanding layanglayang sore ini seakan meluruhkan sikap tak baiknya. ”Oh ya, ngomong-ngomong,” Edwin memanggil adiknya, ”Didot adik bungsu gue. Dia emang beda dari saudaranya yang lain dari lahir, tapi nggak pernah nyusahin kami. Dia anak yang mandiri, sekaligus jago bermain musik.” Dixon terkejut. ”Adik elo?” Edwin mengangguk. ”Adik kandung.” ”Wah, hebat!” Dixon mencubit gemas pipi Didot. Yang http://facebook.com/indonesiapustaka



dicubit cengar-cengir. ”Kamu ternyata jago banyak hal yaaa…” Lagi-lagi Didot cuma cengar-cengir. ”Kapan-kapan ajarin Kakak main musik juga ya?” Didot mengangguk-angguk. Kepolosan terpancar dari sorot matanya. Dixon nggak tahan untuk nggak ngacak-acak rambut anak itu. 16



Tak jauh dari tempat mereka berbincang, sepasang mata Fyanti memperhatikan tiap detail hal yang terjadi. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Diam-diam ada keharuan yang menyergap di dadanya. Sungguh. Fyanti tidak menyangka Dixon bisa bersikap seperti itu. Apalagi kalau mengingat perlakuannya selama ini padanya dan Edwin. Fyanti menahan tangis harunya yang hampir pecah. ”Nggak nyangka ya, ternyata Dixon bisa tersadar karena Didot,” ujar Ifa yang juga memperhatikan. ”He-eh, gue kira Dixon malah bikin masalah baru di sini,” tambah Ciska. ”Ah, tamat deh kesombongan Dixon di depan seorang Didot,” Rere nggak mau kalah kasih komentar. ”Ternyata titik kelemahan Dixon justru hatinya sendiri,” gumam Fyanti, masih menahan haru. ”Pantes selama ini gue nggak pernah bisa bikin dia jera. Soalnya hatinya masih sekeras batu sih!” ”Yahhh, semoga setelah ini dia nggak akan bikin gara-gara lagi deh,” harap Ciska. http://facebook.com/indonesiapustaka



Senja mulai turun menyelimuti bumi, seakan pertanda bahwa satu episode akan segera selesai. Bukan dengan perkelahian atau kesombongan masalah mereka bisa selesai, tapi justru dengan kesederhanaan dan saling mengerti bahwa setiap manusia punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. ”Eh, tapi kalo akhirnya Dixon merelakan Edwin deket sama 1



Fyanti, kira-kira siapa ya yang bakal dia incer selanjutnya?” mendadak Rere iseng bertanya. Fyanti, Ciska, dan Ifa berpandangan. Pertanyaan yang cukup menarik. ”Taruhan yuk, siapa di antara kita yang bakal diincer Dixon,” usul Ciska. ”Taruhannya, kalau ternyata di antara kita jadi inceran Dixon, harus mau nraktir makan, nonton, dan jalan-jalan keliling Bandung.” ”Ih, pede amat siiihhh,” protes Ifa. ”Biarin… Biar rame dikit,” Fyanti jadi ikutan dukung. ”Mau nggak??” tanya Ciska semangat. Sebentar kemudian mereka berpandangan. Lalu dengan kompak semua berseru, ”Oke!” Fyanti tersenyum lebar melihat kekompakan ce-esnya. Dia sangat bersyukur memiliki sahabat yang baik seperti mereka. Persahabatan nan indah seperti ini harus dipertahankan sebab sahabat diberikan Sang Pemberi untuk dijaga agar



http://facebook.com/indonesiapustaka



hidup kita menjadi semakin berarti.



1



Tentang Penulis Dia senang dipanggil “Anjar”. Berhubung namanya bisa juga digunakan oleh kaum adam, ia menambahkan nama “Anastasia” sebagai penanda bahwa ia perempuan. Lahir di Tanjungkarang, Lampung, sejauh ini telah membuahkan banyak novel remaja, buku umum, rohani dan sastra. Ada pula buku referensi, biograi, kumpulan cerpen dan kumpulan puisi. Di kota Bandung, tempat tinggalnya kini, ide itu terus berkembang dan menjadi bagian hidupnya yang tak terpisahkan. Semua itu bisa diraih dengan kerja keras serta kecintaannya pada dunia tulis-menulis. Baginya, menulis adalah berbagi hidup. Maka, ia pun selalu memberi yang terbaik dalam setiap tulisannya. http://facebook.com/indonesiapustaka



So, harapannya adalah ia selalu ingin karyanya diterima terus di masyarakat baca hingga nanti. Email : [email protected] Facebook : Anjar Anastasia / Anjar Anastasiadua Twitter / Instagram : @berajasenja Web : www.berajasenja.com



http://facebook.com/indonesiapustaka



http://facebook.com/indonesiapustaka



Untuk pembelian online email: [email protected] website: www.gramedia.com Untuk pembelian e-book www.gramediana.com www.getscoop.com



GRAMEDIA penerbit buku utama



http://facebook.com/indonesiapustaka



http://facebook.com/indonesiapustaka



Untuk pembelian online email: [email protected] website: www.gramedia.com Untuk pembelian e-book www.gramediana.com www.getscoop.com



GRAMEDIA penerbit buku utama



http://facebook.com/indonesiapustaka



http://facebook.com/indonesiapustaka



Cowok itu mengulurkan tangan. “Kenalin, gue Dixon. Gue baru nyampe Bandung.Yah… setelah lima tahunan tinggal dan sekolah di Kanada.” Fyanti, cewek cantik Bandung, tajir, anak tunggal, baik hati. Dia paling nggak suka ngeliat cowok yang ngebanggain kekayaan orangtua. Berawal dari niatnya ngecengin Edwin, pelayan warung sunda kompleks factory outlet papanya, Fyanti terjebak “drama”. Dixon yang ternyata juga ngecengin berat Fyanti sedikit panas. Segala cara dia lakukan buat merebut perhatian Fyanti. Di sisi lain, Edwin berusaha mewujudkan obsesi Fyanti buat bikin grup band sekolah, tandanya, ada harapan buat Fyanti kalau si Edwin ada rasa ke dia. Karena Fyanti nggak suka banget sama Dixon, dia nantangin Dixon buat lomba main layang-layang melawan Edwin. Rupanya, perlombaan itu menjadi satu hal berharga buat Dixon. Bukan karena dia kalah, tapi karena dia tersadarkan oleh sesuatu yang membuatnya berubah.



Cewek kaya dengan cowok kaya? Atau cewek kaya dengan cowok biasa saja? Di novel Everything I Do ini semuanya bisa jadi asyik dengan pesan moral yang oke. Saya jadi semakin mengerti bahwa sesungguhnya manusia itu derajatnya sama di mata Sang Pencipta. Sukses



http://facebook.com/indonesiapustaka



selalu, Kak Anjar! (Elvira Natali - Penulis novel dan aktris film Janji Hati)