APA - Ilmu Perpustakaan Dan Informasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Ilmu Perpustakaan dan Informasi : Ilmu tentang ‘Apa’ kah? Makalah untuk Webminar “Nomenklatur Ilmu Perpustakaan dan Informasi : Kini dan Esok” – Kolaborasi Prodi Ilmu Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang dan Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Kamis 20 Oktober 2022



Putu Laxman Pendit, Ph.D Ketua Badan Pengawas Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia



Pengantar Sebelas tahun yang lalu, tepatnya pada 20-21 Juli 2011, Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia bersama Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah mengadakan sebuah seminar ilmiah dan loka karya nasional bertajuk “Information for Society : Scientific Point of View”. Seminar waktu itu menyajikan 18 makalah hasil kajian para doktor yang berkiprah di bidang perpustakaan dan informasi, baik yang lulus dari universitas di Indonesia maupun di luar negeri. Tidak lah berlebihan jika kita kini mencatat acara tersebut sebagai bagian penting dari perkembangan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, mengingat itu lah pertamakalinya terhimpun doktor-doktor di bidang ini untuk berkomunikasi secara formal dan memberikan penjelasan tentang pikiran-pikiran ilmiah mereka. Di kesempatan yang amat baik itu, saya mendapat kehormatan untuk menjadi editor prosiding, di dalam mana saya harus menulis sebuah makalah penyimpul. Untuk kepentingan kesimpulan ini, panitia menyebarkan kuesioner kepada para doktor berisi pertanyaan pendek: apa yang dimaksud dengan Ilmu Perpustakaan dan Informasi? Ada tujuh doktor yang berpartisipasi mengirim pendapat tertulisnya, bukan dalam bentuk makalah tetapi dalam bentuk tulisan informal sebagaimana yang memang semula dicanangkan panitia. Dari jawaban mereka, dan setelah menguraikan topik-topik yang dibahas di delapan belas makalah para doktor, saya kemudian menulis sebuah makalah penutup yang mencakup kesimpulan sebagai berikut, Salah satu masalah yang harus dihadapi ketika menjelaskan IP&I adalah kata sambung “dan” yang ada di nama ilmu ini: apakah ini dua ilmu yang dijadikan satu? Penempatan kata “perpustakaan” di depan kata “informasi” juga menimbulkan pertanyaan: apakah yang satu merupakan bagian dari yang lain; atau yang satu lebih umum dari yang lain? (Pendit, 2011, hal. 309) Berbagai makalah para doktor di seminar tersebut, dan jawaban singkat mereka terhadap pertanyaan panitia, tidak langsung menjawab masalah ini, melainkan menunjukkan bahwa kajian mereka memang tergolong beragam sehingga dapat disebut sebagai kajian multidisipliner atau interdisipliner. Selain itu, nampak pula kecenderungan untuk mengabaikan persoalan makna frasa “perpustakaan dan informasi” dengan berkonsentrasi ke salah satunya. Dari 18 makalah dan 7 jawaban doktor, kita dapat melihat bahwa perhatian terhadap topik “perpustakaan” sama besarnya dengan perhatian terhadap topik “informasi”.



1



Kenyataan ini tentu saja dapat dimaknai berganda: di satu sisi memperlihatkan adanya dua topik perhatian yang setara, di sisi lain juga memperlihatkan bahwa keduanya dapat berdiri sendiri sebagai topik kajian. Selain itu, terlihat pula bahwa para doktor menggunakan pendekatan yang beragam dalam hal metodologi penelitian, yang lazim kita sebut sebagai aspek epistemologi – bagaimana mereka berpengetahuan tentang topik yang mereka teliti, tetapi menghindari aspek ontologi : apa yang mereka maksud dengan topik yang mereka pilih sebagai fokus perhatian. Tentu saja – setidaknya saat seminar diselenggarakan – kenyataan ini hanya mengembalikan kita ke pertanyaan semula : apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “perpustakaan dan informasi” di dalam nama ilmu tersebut. Dengan ingatan tentang peristiwa 11 tahun yang lalu itu lah, saya kemudian menulis makalah ini sambil berupaya menyampaikan komentar kritis terhadap perkembangan akhir-akhir ini, khususnya dalam bentuk kebijakan pemerintah dalam menentukan nomenklatur bagi pendidikan tinggi bidang perpustakaan dan informasi. Alih-alih meneruskan pembahasan tentang perbedaan epistemologi yang sebenarnya adalah kewajaran dalam semua perkembangan ilmu, di makalah ini saya berupaya memperjelas aspek “apa” dari ilmu yang memang interdisipliner dan multidisipliner. Tentu saja adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah ilmu hanya dengan menjelaskan satu aspek saja, namun juga tidak mungkin membahas semua aspek ilmu dalam satu makalah singkat. Selain memfokuskan diri pada aspek “apa”, di makalah ini saya juga bermaksud menggunakan pendekatan sosiologi dan historis untuk menjelaskan mengapa Ilmu Perpustakaan menggunakan kata “dan informasi” di era 1970-an, khususnya dengan melihat perkembangan ilmu ini di Amerika Serikat. Dengan demikian, makalah ini juga sebenarnya amat terbatas dalam membahas aspek ontologi sebuah ilmu, sebab sangat cenderung ke satu perkembangan di satu negara tertentu. Sekaligus ini juga menjadi semacam “pengakuan” bahwa ilmu yang kita kembangkan di Indonesia sangat didominasi oleh pandangan-pandangan ilmuwan Amerika Serikat, sehingga lebih tepat untuk dibahas secara sosiologis, sebagaimana yang akan saya jelaskan berikut ini.



Ilmu dan Sisi Pandang Sosiologi Ilmu Penulis menggunakan istilah ‘ilmu’ sebagaimana yang sudah lazim digunakan di Indonesia, yakni sebagai “pengetahuan ilmiah” (Suriasumantri, 2009; Soetriono dan Hanafi, 2007) yang berbeda dari sekadar pengetahuan sebab sebuah ilmu memiliki struktur spesifik, dan memerlukan kaidah serta prosedur atau metode yang yang lazim disebut metode ilmiah. Mengikuti anjuran Suriasumantri pula, makalah ini tidak menggunakan istilah “sains” sebagai terjemahan dari science (Inggris). Di dalam kamus, kata science sudah diterjemahkan menjadi ‘sains’ sebagai “ilmu pengetahuan pada umumnya” tetapi juga “pengetahuan sistematik tentang dunia alam dan fisik” yang malah mengesankan pemaknaan berganda. Ada diskursus lebih lanjut tentang perbedaan ilmu dan sains, antara lain dengan melihat asal kata ‘ilmu’ dari bahasa Arab ilm, dan perbedaannya dari kata Latin, scientia, namun hal ini tentu saja tidak akan dibahas di sini. Melainkan, makalah ini akan lebih memfokuskan pada pandangan sosiologis tentang ilmu atau sosiologi ilmu (sociology of science) yang berurusan dengan kondisi, dampak, dan



2



proses sosial di masyarakat di mana sebuah ilmu berkembang atau tidak berkembang, khususnya ketika kegiatan ilmiah menjadi kegiatan terpisah atau mandiri setelah sebelumnya dilakukan bersama kegiatan religi (lihat Ben-David dan Sullivan, 1975). Formalisasi ilmu ini kemudian juga semakin diperjelas oleh Robert Merton yang mengaitkan perekonomian moderen (khususnya kapitalisme), elemen-elemen religi, dan ilmu (1973) 1. Berdasarkan pandangan sosiologi ilmu, maka makalah ini melihat ilmu dari dua sisi: 1. Sebagai sebuah institusi sosial (sistem dan pranata) lengkap dengan komponenkomponen utamanya seperti pekerjaan-pekerjaan profesional yang selalu merujuk ke ilmu tertentu, etos kerja ilmuwan, sertifikasi sosial dan nilai-nilai yang dikenakan kepada sebuah ilmu, serta aspek organisasonal, politik, dan finansial sebuah ilmu di sebuah masyarakat2. 2. Sebagai kegiatan spesifik untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah yang kebenaran serta kegunaannya ikut ditentukan oleh masyarakat melalui proses sosial yang tertata dan sesuai aturan yang disepakati masyarakat yang bersangkutan. Ini sering disebut sebagai pandangan konstruksi-sosial (socialconstructivism) tentang ilmu yang variannya antara lain adalah “sosiologi pengetahuan ilmiah” (sociology of scientific knowledge, SSK)3. Dalam dua konteks di atas lah makalah ini membicarakan Ilmu Perpustakaan dan Informasi (selanjutnya IP&I). Walaupun belum pernah ada penelitian yang mendalam tentang IP&I di Indonesia, kita dapat melihat bahwa apa yang disinyalir lebih dari dua dekade yang lalu oleh Dick (1999) berlaku di Indonesia. Dick mengatakan bahwa IP&I selama ini memang hanya fokus pada kepustakawanan dan perpustakaan, sambil juga memisahkan “apa yang dilakukan pustakawan (what librarians do)” dari “apa itu perpustakaan (what libraries mean)”. Pada umumnya IP&I di Indonesia lebih tertarik kepada yang pertama – apa yang dikerjakan pustakawan dan profesi-profesi informasi lainnya – karena berimplikasi praktis sehingga dianggap lebih ada gunanya bagi profesi. Pendidikan yang mendasarkan diri pada IP&I pada umumnya berorientasi ke sini, demikian pula penelitiannya4. Padahal perpustakaan dan berbagai institusi informasi lain pada dirinya sendiri juga punya makna penting yang amat perlu dipahami dan dikaji secara ilmiah karena kita juga ingin membuktikan bahwa perpustakaan dan semua turunannya itu memiliki makna dalam kehadirannya sebagai institusi. Namun kajian seperti ini tidak langsung berimplikasi praktis; tidak dapat langsung menjadi terapan atau teknik penyelenggaraan perpustakaan. Ini lah yang terjadi di Indonesia: lebih mengutamakan sisi praktis katimbang sisi maknawi. Pada berbagai kesempatan, penulis telah mengentarai hal ini terjadi karena latar belakang pendirian perpustakaan di Indonesia lebih banyak 1 Penjelasan ringkas dan padat tentang dimensi sosial ilmu ini dapat dibaca di situs Universitas Stanford -



https://plato.stanford.edu/entries/scientific-knowledge-social 2 Lihat



misalnya pembahasan-pembahasan oleh Fuller & Bowden, 2001 tentang kaitan ilmu dengan demokrasi, atau Davis & Webster, 2002 tentang penyakit kanker dan riset-riset di bidang ini, serta Eduran & Dagher, 2014 tentang ilmu dan pendidikan. 3 Pembahasan umum tentang bagaimana “kebenaran ilmiah” dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar ilmu



itu sendiri dibahas misalnya oleh Collins (2011, 2014).



4 Secara agak lebih rinci hal ini sudah saya bahas sebelumnya, lihat Pendit (2011a).







3



ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis dan instrumental, termasuk birokrastisasi (Pendit, 1992a; Pendit, 1992b). Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian kita adalah universitas di Indonesia yang menjadi pusat-pusat pengembangan ilmu, termasuk IP&I. Kita tahu bahwa universitas merupakan sebuah epistemic culture (Knorr-Cetina, 2003) yang mengandung aspekaspek penting seperti sistem kepakaran (expert systems), budaya organisasi, struktur, dan prosedur kerja5. Orientasi teknis-praktis IP&I di Indonesia tidak saja ditentukan oleh perkembangan perpustakaan sebagai instrumen yang ditentukan oleh keaktifan negara/pemerintah dalam mendanai pengembangannya, tetapi juga oleh “orientasi pelayanan” universitas penyelenggara pendidikan IP&I terhadap perkembangan tersebut. Ini berbeda dibandingkan, misalnya, perkembangan di Eropa. Sebagaimana diteliti oleh Åström (2008) kondisi perkembangan IP&I di negara-negara Nordic mencerminkan gejala yang disebut sebagai “Mode 2” dalam ilmu, khususnya dari segi alokasi dana penelitian dan kredibilitas keilmuan. Telah terjadi semacam “negosiasi” antara perkembangan praktik di luar universitas dan aspirasi keilmuan yang diwakili oleh disiplin ilmu di mana jurusan IP&I itu berada. Di Indonesia, tradisi IP&I sulit dikatakan berkait dengan disiplin ilmu di mana sebuah jurusan atau departemen berada. Disiplin ilmu kepada siapa sebuah departemen IP&I “menginduk” hanyalah kuat berpengaruh pada kurikulum pengajaran sarjana. Penelitian-penelitian IP&I di Indonesia seringkali lebih mengakar pada praktik dan teknis penyelenggaraan, katimbang pada tradisi keilmuan tertentu. Kecenderungan ini memberikan kesan bahwa IP&I di Indonesia memiliki karakter penelitian evaluasi (evaluation research) yang mementingkan tujuan menghasilkan masukan bagi pengambilan keputusan administratif dalam penyelenggaraan perpustakaan atau lembaga informasi lainnya. Memang, penelitian evaluasi juga adalah salah satu jenis yang amat populer di IP&I di berbagai negara khususnya sebagai sebuah penelitian ilmu sosial yang berorientasi praktis maupun akademik dan menggunakan survei sebagai metode utamanya (Powell, 2006). Namun di Indonesia, penggunaan metode evaluasi ini nampaknya lebih untuk keperluan praktis daripada akademik. Akibat orientasi ke aspek praktis/teknis dan ketiadaan ikatan dengan disiplin “induk”nya, maka IP&I di Indonesia juga memperlihatkan kesan mengabaikan perkembangan teori. Padahal akademisi IP&I di Indonesia sebenarnya berada di berbagai fakultas yang memiliki disiplin dan tradisi keilmuan tersendiri, misalnya di fakultas ilmu budaya (di Universitas Indonesia dan sebagian besar universitas lainnya), di fakultas ilmu sosial (di Universitas Airlangga dan Universitas Padjadjaran), atau di fakultas teknik (di Institut Pertanian Bogor). Keberadaan para akademisi IP&I di berbagai fakultas tersebut tak serta merta menyebabkan mereka menggunakan teori-teori dari ilmu “tuan rumah” mereka. Sedangkan ketika mereka mengadakan penelitian, pada umumnya mereka tak pula bisa mengklaim telah menggunakan teori yang spesifik atau yang berbeda dari teori “tuan rumah” mereka. 5 Epistemic cultures atau budaya epistemik dibentuk oleh kedekatan (affinity), kebutuhan-kepentingan



(necessity), dan latarbelakang sejarah, ikut menentukan apa yang kita ketahui dan bagaimana kita mengetahuinya. Karin Knorr-Cetina menjelaskan bagaimana keragaman dalam budaya di pusat-pusat penelitian dan universitas telah mempengaruhi upaya membentuk apa yang disebut unified science.







4



Maka muncul keadaan yang sebenarnya amat merugikan perkembangan IP&I di Indonesia, yaitu dalam bentuk keraguan masyarakat akademik tentang keilmiahannya, baik karena konsentrasinya pada praktik dan prosedur teknis, maupun karena ketiadaan penggunaan teori yang spesifik. Di lain pihak, para akademisi IP&I sendiri tak dapat secara tuntas menjelaskan klaim mereka tentang keilmuan, sebab – sebagaimana diuraikan di alinea sebelumnya – mereka secara umum mengandalkan penelitian evaluasi terhadap praktik dan prosedur kerja. Kalau pun mereka berupaya mengklaim keilmiahan kegiatan mereka, maka yang kemudian nampak adalah IP&I sebagai metode penelitian yang positivistik, mengandalkan survei serta statistik, tetapi tak dapat menggunakan alasan-alasan teoritik untuk menjelaskan kekhasannya (dus, tidak terlihat sebagai ilmu yang spesifik). Dengan kata lain pula, penggunaan metode atau teknik penelitian tertentu secara sering di IP&I di Indonesia sebenarnya tak dapat menyentuh persoalan yang lebih mendasar tentang epistemologi. Ketiadaan kepastian epistemologi ini, pada gilirannya ikut ditentukan oleh orientasi kita kepada masalah-masalah teknis, khususnya masalah yang dihadapi profesi ketika bekerja (what librarians do), sehingga akhirnya juga muncul ketidakpastian ontologis tentang apa yang sebenarnya menjadi objek perhatian IP&I. Diskursus tentang upaya menghilangkan kata “ilmu” dalam “ilmu perpustakaan”, misalnya, memperlihatkan ketidakpastian ontologis. Sebagian pihak menganggap bahwa “perpustakaan” sama halnya dengan “kedokteran” bukanlah sebuah ilmu pengetahuan, melainkan sebangunan praktik profesional berbasis pelatihan-pelatihan dan aplikasi berbagai ilmu. Padahal ada perbedaan amat penting dari kedua istilah tersebut, di mana yang satu memang merujuk ke sebuah profesi (dokter), sementara yang lain merujuk ke sebuah budaya dan institusi sosial (pustaka) yang jauh lebih luas dari sekadar profesi (pustakawan). Ketidakpastian ini juga terus kentara ketika ada upaya untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai “ilmu informasi” atau “sains informasi” di Indonesia. Sepengetahuan penulis, belum pernah ada pembahasan yang mendalam di kalangan akademisi tentang apa sesungguhnya yang dikaji oleh ilmu atau sains ini. Penggunaan istilah “sains” juga lebih banyak menimbulkan pertanyaan baru tentang apa sebenarnya yang dipelajari oleh ilmu ini, dan apa bedanya dengan IP&I. Alih-alih merupakan kegiatan akademik dan ilmiah, yang lebih terlihat berperan dalam upaya perkembangan ‘sains informasi’ justru para penyelenggara dan birokrasi pendidikan tinggi, khususnya melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi yang antara lain mengatur nama program studi pada jenis pendidikan akademik dan profesi di Indonesia. Dengan kata lain, jika kita lihat dari aspek sosiologis, maka IP&I di Indonesia menunjukkan dominasi satu elemen di masyarakat dalam pengaturan dan pengembangan ilmu, yaitu birokrasi pemerintah/negara; dan elemen ini merupakan salah satu faktor di luar ilmu (“extrascientific factors”) kalau memakai istilah Collins (2014). Makalah ini mencoba menguraikan aspek ontologis dari IP&I sebagai alternatif akademik dan ilmiah dari upaya-upaya birokratik di luar ilmu. Sebagaimana telah saya sampaikan di pendahuluan, makalah ini akan fokus pada aspek itu, sambil mengimbau agar diskusi dan diskursus dilanjutkan untuk melibatkan aspek epistemologis dan aksiologis (kegunaan) IP&I di Indonesia.







5



APA (yang dikaji IP&I) Dalam pembicaraan tentang ilmu dan kegiatannya, ‘ontologi’ diartikan sebagai “kajian tentang keberadaan (being)” (Crotty: 1998) dan juga sebagai aspek dari ilmu yang mempersoalkan hakikat dari realita (Guba and Lincoln, 2005). Dalam makalah ini maka ontologi merupakan bagian dari penelitian dan diskusi akademik tentang pertanyaan yang jawabannya tentu saja dapat mencakup fitur paling umum maupun paling esensial dari hal-hal yang dikaji oleh IP&I, yakni ‘pustaka’ dan ‘informasi’ serta hubungan antara keduanya6. Walaupun di Indonesia tidak begitu sering dibicarakan, isu tentang ontologi sebenarnya selalu mewarnai diskusi tentang perkembangan IP&I. Kita juga dapat melihat dalam pembicaraan tentang filsafat IP&I, persoalan ontologi merupakan bagian dari diskusi intensif, khususnya karena semakin hari semakin jelas bahwa IP&I memerlukan pendekatan multi-disipliner sehingga menjadi perhatian dari berbagai cabang ilmu lain. Dalam kondisi-kondisi ini, posisi-pandang ontologis seorang peneliti memengaruhi cara para peneliti melihat, menginterpretasi, dan memahami realita yang menjadi objek penelitiannya. Lebih spesifik lagi, diskusi ontologi ini menjadi pelik mana kala kita mempersoalkan apakah realita dan entitas yang menjadi pusat perhatian seorang peneliti adalah entitas sosial atau bukan, dan apakah entitas sosial lebih tepat dilihat secara objektif atau subjektif (Blaikie, 2010; Bryman, 2012). Persoalan tentang pilihan entitas dan posisi-pandang ini menjadi bagian dari perdebatan di kalangan IP&I terutama setelah teknologi informasi dan telekomunikasi semakin banyak digunakan di bidang perpustakaan dan institusi informasi lainnya (lihat misalnya Taija, Tuominen dan Savolainen, 2005; Bawden & Robinson, 2012). Saya akan membagi dua pembicaraan tentang ontologi IP&I ini menjadi “apa itu pustaka”, dan “apa itu informasi”.



Apa itu Pustaka?



Di makalah ini dan di berbagai kesempatan lain saya mengambil kata ‘pustaka’ sebagai objek pembahasan atau ontologi IP&I karena ia merupakan kata dasar dari ‘perpustakaan’. Penentuan ‘pustaka’ sebagai objek kajian ini pernah saya jelaskan sebelumnya (Pendit, 2018a) dengan menggunakan pemahaman Poespowardojo dan Seran (2016, 341) tentang ontologi yang menurut mereka sebaiknya diletakkan dalam 6 Dalam



konteks akademik persoalan ontologis lazim kita jadikan bagian dari pembicaraan tentang ontologi ilmu dan biasanya langsung terkait dengan persoalan sisi pandang atau posisi pandang ontologi (ontological stance), serta persoalan meta-ontology yang berurusan dengan hakikat dan metodologi untuk menjawab persoalan ontologi, maupun cara menginterpretasi dan memberikan signifikansi jawaban terhadap pertanyaannya itu sendiri. Sepengetahuan saya dalam konteks Indonesia pada khususnya, baik di kalangan akademik atau apalagi di kalangan praktisi, belum pernah ada upaya spesifik untuk membicarakan ontologi. Sementara itu di saat sama akhir-akhir ini juga ada kekurang-laziman ketika sebagian kalangan akademik sudah pula memutuskan nama ilmu dan rumpun ilmu yang antara lain menyatakan bahwa sudah ada Ilmu atau Sains Informasi di Indonesia, padahal belum pernah ada pembicaraan tentang landasan teori, metodologi, apalagi ontologinya. Dua keadaan ini, menurut saya, membutuhkan klarifikasi, dan diskusi yang mendalam antar ilmuwan IP&I di Indonesia.







6



perpaduan antara posisi empiris-positivistik (kata ‘pustaka’ memang benar-benar digunakan dalam bahasa Indonesia) dan historis-kontekstual (kata ini sudah digunakan sejak lama dan sampai sekarang masih digunakan). Penjelasan kedua tentang ‘pustaka’ sudah pula saya perluas dalam bentuk buku Pustaka dan Kebangsaan (Pendit, 2018b), di dalam mana saya juga mengikuti anjuran Kaelan (2017, 163) untuk memaknai kata ‘pustaka’ sebagaimana masyarakat Indonesia memaknainya (to signify) tanpa mengabaikan bagaimana masyarakat menggunakannya dalam berkomunikasi (to communicate). Dengan cara-cara ini saya membahas pustaka, tidak saja sebagai kosakata yang diserap dari bahasa Sansekerta tetapi juga sebagai bagian dari konsep negara kebangsaan (nation state) yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda. Lebih lanjut lagi, di buku Pustaka : Tradisi dan Kesinambungan (Pendit, 2019) saya melanjutkan pengkajian dengan landasan pemikiran yang sama untuk memperdalam pembahasan pustaka dan dua konsep turunannya (per-pustaka-an, ke-pustaka-wanan) sebagai institusi sosial-budaya berdasarkan tradisi universal yang berkembang sejak lama dan masih bertahan sampai sekarang di Indonesia7. Dengan demikian, maka selain merujuk ke bentuk spesifik yang secara umum kita sebut ‘buku’ dan bentuk-bentuk lainnya (dokumen, arsip, rekod), ‘pustaka’ lebih tepat digambarkan dan dikaji sebagai sebuah tradisi yang sudah dilengkapi dengan nilai, konsep, praktik, dan institusi spesifik. Tradisi ini mengandung tiga aktivitas utama yaitu menghimpun secara selektif, mengelola secara sistematis (mengorganisasikan), dan menyediakan secara terbuka sekumpulan pustaka. Tinjauan ilmiah terhadap pustaka dan perpustakaan mengungkapkan bahwa ketiga kegiatan itu bersifat universal dan telah dilakukan secara sistematis bahkan sejak bahasa tulisan pertama kali digunakan sekitar 5000 tahun yang lalu (lihat Lerner, 1998). Dalam rentang waktu yang sangat panjang itu materi, produk, dan wujud dari pustaka berubahubah, tetapi kegiatan menghimpun, mengelola, dan menyediakannya tetap berlangsung serupa. Rincian dari ketiga kegiatan inti ini juga berubah, baik bertambah maupun berkurang, namun secara umum ketiganya terus dilakukan sampai detik ini. Ketiganya juga mengejawantah dalam bentuk sarana dan kerja, baik itu berupa gedung atau ruangan, maupun segala aktivitas dan pekerjaan profesional di dalamnya. Kegiatan tersebut berlangsung sampai kini karena masyarakat menganggapnya penting secara fundamental bagi kelangsungan peradaban manusia. Dengan kata lain, di balik wujud kongkrit lokasi, gedung, sarana dan kerja, ada keyakinan, konsep, dan nilai penting yang mendorong setiap masyarakat di dunia, termasuk 7 Pendekatan



yang saya gunakan merupakan bagian dari pandangan relativitas ontologi (ontological relativity) seperti yang diusung Nelson Goodman dengan ‘world-making’-nya (Goodman, 1984), atau Hilary Putnam yang menyatakan bahwa setiap objek kajian berkaitan secara relatif dengan skema konseptual manusia (Putnam, 1981, 1992). Dengan demikian, ‘pustaka’ tidak benar-benar ada “di luar sana”, tidak merupakan entitas independen; melainkan selalu terkait dengan praktik-praktik manusia yang membuat batasan-batasan tentang apa dan bagaimana pustaka eksis/berada dan dimanfaatkan. Ini juga dapat dikategorikan sebagai pandangan yang “konstruksionis” tentang ontologi secara sosial (social ontology) di mana objek seperti pustaka adalah adalah hasil penciptaan secara bersama (contingent creations) dengan tujuan bersama (collective intentionality) dari berbagai sumberdaya budaya maupun material di sebuah masyarakat (Tuomela, 2013), sehingga praktik-praktik yang berkaitan dengan objek yang sedang dikaji tidak “ada di luar”, melainkan menjadi bagian dari masyarakat itu juga. Ini menandakan pula bahwa pustaka memang juga dapat dilihat dari sisi institusi sosial sebagai ontologi sosial yang punya aspek historis (Arabatzis, 2003; ) maupun filosofis tersendiri (Guala, 2016).







7



Indonesia, untuk terus mempertahankan kegiatan-kegiatan tersebut. Juga ada motif, falsafah, dan moralitas di dalamnya, yang dapat kita sebut sebagai isi atau kandungan dari tradisi pustaka berupa : 1. Penghargaan dan pewarisan budaya. Setiap masyarakat manusia memerlukan kenangan (memori) budaya secara kolektif untuk mengenali diri dan mempertahankan identitas mereka 8. Bahasa tulisan dan pustaka adalah sarana paling tepat untuk merekam jejak perjalanan budaya sebuah bangsa dan untuk meneruskan rekaman tersebut ke generasi-generasi berikutnya, sehingga identitas mereka lestari. Buku – mulai dari bentuk awalnya berupa codex sampai menjadi buku-cetak, dan kemudian menjadi buku elektronik alias e-book – adalah pustaka utama atau soko guru dari tradisi rekaman budaya ini. 2. Budaya membaca. Dalam kaitan dengan buku sebagai soko guru di atas, maka budaya membaca adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepustakawanan. Bahkan dapat dikatakan bahwa kepustakawanan dan perpustakaan adalah sarana utama bagi keberlangsungan budaya membaca. Di sini, membaca dan memahami kata-kata di sebuah halaman buku adalah salah satu aspek dari praktik budaya. Itu artinya, seseorang yang memiliki kebiasaan membaca (reading habit) adalah seseorang yang mengejawantahkan nilai-nilai budaya di masyarakat di mana ia tinggal dan berkehidupan, bukan sekadar melakukan sesuatu secara otomatis seperti robot yang bergerak karena telah diprogram9. 3. Peradaban berbasis pengetahuan. Secara lebih spesifik tradisi pustaka juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah peradaban berbasis pengetahuan yang mengandalkan kemampuan berpikir sistematis dan memanfaatkan temuan-temuan dari hasil kajian yang seksama, antara lain dengan memperhatikan pengutipan dan perujukan secara cermat. Kegiatan membaca pun 8 Olick (1999) membagi memori kolektif menjadi dua : (1) sekumpulan memori individual yang dibingkai



secara sosial, dan (2) representasi sejumlah ingatan kolektif dan jejak- mnemonic (pola, gagasan, atau asosiasi untuk mengingat sesuatu). Pustaka dan perpustakaan, serta institusi seperti musium dan arsip, tergolong yang kedua. Sementara Megill (1998) membedakan memori dari nostalgia. Kalau nostalgia diarahkan atau diorientasikan ke luar dari si subjek, maka memori diorientasikan ke diri si subjek. Memori berkaitan dengan masa lampau karena masa lampau itu penting buat si subjek (individual maupun kolektif). Dalam kehidupan bermasyarakat, memori kolektif kemudian ditempatkan sebagai diskursus penting karena menjadi sumber kebenaran (truth) tentang masa lampau. Itu sebabnya memori kolektif kemudian berkaitan erat dengan identitas sebagai komitmen seseorang atau sekelompok orang kepada masa lampau mereka. Jika kenangan masa lampau dan identitas kelompok ini ditata secara ilmiah dan sistematik, maka keduanya dapat menjadi bahan utama dari sejarah. Itulah sebabnya tradisi pustaka, kepustakawanan dan perpustakaan sering menjadi sekutu terdekat bagi sejarawan dan ilmu sejarah. 9 Konsep



‘praktik’ (practice) dalam ilmu sosial merujuk pada kaitan antara tindakan atau perilaku seseorang dengan tata nilai yang berlaku di sebuah masyarakat tertentu. Artinya, tindakan atau perilaku seseorang yang berulang-ulang adalah kegiatan yang terstruktur (atau terpandu) oleh nilai-nilai sosialbudaya, sekaligus memperkuat atau membentuk struktur (nilai, norma) tersebut sehingga perilaku tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang diterima sebuah masyarakat sebagai suatu yang lumrah. Dalam bukunya Outline of a Theory of Practice (1990), Bourdieu menjelaskan “praktik sosial” sebagai terdiri dari tiga konsep utama, yaitu habitus, field, dan capital. Secara ringkasnya, habitus adalah tempat atau lokasi (baik nyata maupun terbayangkan) bagi seseorang di dalam kehidupan sosial, lengkap dengan tata nilai dan kebiasaannya. Sementara field adalah ruang-relasi atau antarhubungan manusia, baik itu dalam bentuk kerjasama, kompetisi, maupun konflik sosial. Sedangkan capital bukanlah semata konsep kekayaan yang berkaitan dengan ekonomi, melainkan juga konsep tentang kepemilikan simbolik, kemampuan berbahasa, akses ke jaringan sosial, dan sebagainya. Dalam hal ini lah maka ‘membaca’ bukan semata-mata kegiatan berkomunikasi secara tertulis, namun juga sebuah praktik yang mengandung dan mendukung nilai-nilai budaya tertentu di dalam sebuah masyarakat tertentu pula.







8



kemudian tak dapat dilepaskan dari upaya manusia dalam mencari pengetahuan dan kebenaran, yang pada mulanya hanya berkaitan dengan kebenaran religius. Tak pelak maka pustaka dan kepustakawanan akhirnya menjadi bagian dari keseluruhan upaya mencari kebenaran ilmiah, baik yang dilakukan di sekolah dasar sampai perguruan tinggi, maupun di lembaga-lembaga ilmiah penyelenggara riset10. 4. Pemanfaatan pengetahuan bersama. Peran dan fungsi di atas juga akhirnya ingin menjamin agar setiap masyarakat di mana sebuah tradisi pustaka tumbuh dapat memanfaatkan pengetahuan bagi kehidupan bersama. Pustaka dan perpustakaan adalah sarana vital dalam upaya ini. Sejak awal, pengembangan pustaka berorientasi pada dua hal sekaligus: (1) akumulasi pengetahuan sebanyak-banyaknya, terkadang sampai tak tertampung, dan (2) pengorganisasian dan penyebaran pengetahuan secara sistematis dan konsisten, melalui skema dan alat-alat kendali (termasuk apa yang disebut bibliographic control). Tradisi pustaka sepanjang masa digerakkan oleh dua hal ini, melahirkan ciri yang berbeda dibandingkan dengan sarana lain seperti media massa. Di lain pihak, tradisi terkait pengetahuan bersama ini juga dapat menjadi bagian dari sarana sosial lain, misalnya sistem pendidikan seumur hidup (life-long learning) atau pendidikan untuk orang dewasa (adult education).



Selain melihatnya sebagai tradisi yang mengandung praktik-praktik spesifik, secara ontologis IP&I juga memperhatikan tradisi pustaka sebagai realita sosial; bahwa masyarakat menjalankannya selama waktu yang amat panjang. Realita ini sering dipakai untuk sekaligus menggambarkan kebaikan (karena orang-orang mempercayai dan menaati tradisi tersebut sebagai sesuatu yang baik), tetapi sebenarnya dapat juga dilihat sebagai keburukan, seperti hilangnya kebebasan karena orang-orang “terpaksa” mengikuti tradisi, atau “takut” melanggar karena ada sanksi sosial dan tekanan-tekanan dari pihak yang berkuasa di sebuah masyarakat. Kedua hal baik dan buruk tentang tradisi inilah yang disebut Bronner (1998, khususnya bab 1) sebagai problematika tradisi (the problem of tradition). Menurut pengamatan saya, perkembangan tradisi pustaka maupun bentuk-bentuk institusi perpustakaan sepanjang zaman di masyarakat mana pun – termasuk di Indonesia – mengandung kedua aspek tradisi yang problematik itu. Crawford (2015, xv) menjabarkan hal ini sebagai paradoks dalam dinamika perkembangan perpustakaan : sejarah perpustakaan tidak saja penuh oleh cerita tentang kemuliaan dan kegemilangan, tetapi juga oleh represi penguasa dan perusakan atau pemusnahan. Memasuki zaman moderen, sejarah perpustakaan tak lekang pula dari penghancuran secara sistematik terhadap perpustakaan, sebagai bagian 10 Sistem perujukan (sitasi) dan catatan bibliografis yang ada dalam tradisi pustaka kini sudah tertanam



dalam sistem ilmu dan sistem pengetahuan untuk menjamin nilai-nilai penting seperti kejujuran ilmuwan dan kesahihan pemikiran atau interpretasinya. Perlu kiranya kita garis bawahi bahwa sebagai tradisi, perujukan dan pencatatan ini juga dipraktikkan di semua agama besar yang tentu saja hadir sebelum ada ilmu dan pengetahuan ilmiah. Di dalam Islam, misalnya, jelas terlihat bagaimana perujukan menjamin kesahihan penafsiran hadis. Sebagai tulisan yang dijadikan sumber atau rujukan, hadis terdiri atas 2 komponen utama yaitu sanad atau isnad (rangkaian, mata-rantai penutur) dan matan (isi redaksional). Sanad mengungkapkan para penutur atau perawi (periwayat) hadis dari yang paling awal sampai paling akhir. Cara serupa digunakan pula dalam agama Kristen ketika para penganutnya memulai proses penyalinan dan penafsiran Injil. Demikian pula agama Hindu memiliki Weda yang adalah kumpulan teks dari berbagai sumber yang saling merujuk. Kitab-kitab turunan dari Weda juga sangat banyak dan merupakan sebuah jaringan perujukan yang sistematik dan cermat.







9



dari penaklukan budaya. Knuth (2003) menyebutnya sebagai libricide; padanan dari genocide (pembunuhan massal). Secara ontologis pula, tradisi pustaka dapat dilihat sebagai sebuah keberlangsungan atau dinamika. Dalam hal ini sesuatu yang “tradisional” tidak perlu dipertentangkan dengan yang “moderen”. Sebuah tradisi seringkali merupakan perkembangan terus menerus, dan menjadi sumber bagi kreativitas dan dinamika, selain sebagai akar identitas dalam perkembangan zaman (lihat Bronner, ibid; Yadgar, 2013). Apalagi kita juga dapat menyatakan bahwa pada akhirnya segala sesuatu yang moderen atau masa-kini adalah tradisi juga, walaupun memang mengandung pembuatan atau pengembangan (construction), penggunaan kembali atau penyerapan (absorption), dan seringkali mengandung pula penghapusan atau penghentian (deletion). Dengan kata lain, moderen tidak ada tanpa tradisi, dan melanjutkan dan mengubah sebuah tradisi adalah proses modernisasi pula (Zheng, 2012). Ada banyak kajian IP&I yang membuktikan bahwa tradisi pustaka tak lekang oleh waktu, walaupun telah pula mengalami berbagai krisis. Di dalam sebuah masyarakat di mana kepustakawanan publik atau kepustakawanan umum (public librarianship) sudah berakar-berurat, misalnya di Amerika Serikat, elemen-elemen “tradisional” terus diberlangsungkan walaupun teknologi terbaru sudah mengubah sebagian besar perilaku dan kebutuhan masyarakat akan bacaan dan informasi; seperti mendongeng (story telling) (Del Negro, 2016; Barefoot, et al.; Hoverious, 2016), dan membantu anggota komunitas yang terpinggirkan dalam hal akses ke pengetahuan (Snead, 2014; BrimhallVargas, 2015. Dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus berubah itu, kita juga dapat mengentarai bahwa setiap tradisi, termasuk tradisi pustaka, selalu adalah ciptaan (invented) dan direkayasa (engineered) secara seksama, jauh dari spontanitas atau ketergesaan, dan sama sekali bukan gejala alam. Kita juga dapat melihat bahwa pada akhirnya setiap tradisi merespon perubahan di masyarakatnya ketika terjadi apa yang oleh MacIntrye (1988) disebut “krisis epistemologis” atau epistemological crises11. Dalam bahasa yang lebih sederhana, sebuah tradisi di masa tertentu selalu merupakan reaksi atas tradisi di masa sebelumnya, ketika masyarakat menganggap tradisi tersebut sudah tak sesuai dengan kondisi dan situasi di saat itu. Tentu saja ketidak-sesuaian ini harus dikentarai secara cukup meluas di kalangan masyarakat untuk dapat dianggap sebagai sebuah krisis, dan harus ada respon yang juga cukup mendasar (fundamental) terhadap tradisi yang bersangkutan. Dengan menjadikan tradisi pustaka sebagai objek kajian, maka IP&I dapat mengungkapkan realita sosial yang unik dan spesifik, sudah berlangsung lama, berkesinambungan, dan dalam dinamika yang tidak saja mengandung penggunaan teknik-teknik spesifik, tetapi juga merupakan bentuk-bentuk relasi antar-manusia (relasi sosial) yang didasarkan pada norma, tata-aturan, serta kesepakatan di kalangan mereka. Tradisi pustaka juga dapat bertahan karena alih-alih menolak perubahan-perubahan 11 “Epistemological crisis” yang dimaksud McIntrye dalam konteks tradisi di sini adalah krisis yang terjadi



ketika masyarakat mempertanyakan sendiri keabsahan pengetahuan dan nilai-nilai yang berkaitan dengan sebuah tradisi. Kita tahu, epistemology dalam filsafat merujuk kepada pengetahuan dan khususnya kepada bagaimana pengetahuan itu berkaitan dengan kebenaran, kepercayaan, dan nilai-nilai yang mengatur hal itu di dalam sebuah masyarakat.







10



dalam teknik dan teknologi, masyarakat yang menyelenggarakan tradisi ini justru menyerap atau mengadopsi perubahan tersebut. Hal ini akan kita lihat dalam pembahasan tentang aspek ontologis dari “informasi” berikut ini.



Apa itu Informasi? Kata “dan informasi” di dalam IP&I baru digunakan pada penghujung era 1970-an, sehingga dapat dikatakan sangat baru jika dibandingkan dengan awal kemunculan Ilmu Perpustakaan atau Library Science di tahun 1930-an, apalagi dengan awal pendidikan tinggi perpustakaan 100 tahun sebelumnya. Patut pula diingat bahwa penambahan katakata ini semula merebak di kalangan pendidikan tinggi Amerika Serikat (AS) sebelum akhirnya menyebar ke mana-mana. 12 Apa yang terjadi pada era 1970-an di AS itu patut diketahui untuk memahami apa yang dimaksud dengan “informasi” dalam IP&I. Patut diketahui, waktu itu para pustakawan AS sedang mulai menggunakan komputer secara ekstensif dalam pekerjaan mereka, dan sedang mengembangkan apa yang mereka sebut the new librarianship (Wasserman, 1972). Dari sisi praktis, penggunaan komputer di perpustakaan AS tergolong cepat dibandingkan dengan negara-negara lain, sehingga kepustakawanan di sana mengklaim diri sebagai pionir bidang ini. Kita ketahui pula, pada awal 1970-an, ketika konsepkonsep manajemen berbasis komputer baru mulai dibicarakan, Library of Congress di AS sudah menggunakan komputer untuk unit yang mereka namakan data processing office, dengan tugas antara lain mengolah dan mengendalikan data bibliografi13. Sementara itu, pada era sama kalangan praktisi komputer di kalangan manajemen dan bisnis juga mulai menggarap konsep-konsep manajemen berbasis data dan pengolahannya. Secara global, peran AS dalam penggunaan komputer di perpustakaan juga tercatat oleh International Federation of Library Association (IFLA) sebagai perjalanan panjang yang meliputi 40 tahun pengalaman yang dimulai tahun 1960-an (McCallum). [Ringkasan perjalanan ini saya lampirkan terpisah di bagian akhir makalah]. Di dalam kondisil seperti itu lah, muncul beberapa isu spesifik untuk kalangan para penyelenggara perpustakaan yang tentu saja kemudian juga menjadi perhatian para akademisi dan peneliti bidang ini. Setidaknya ada 5 (lima) isu yang kemudian menjadi semacam fokus kajian bagi kelompok akademisi dan peneliti yang berbeda, yaitu: 1. Penggunaan komputer untuk “temu kembali” (retrieval), baik dalam kaitannya dengan buku, dokumen, maupun kandungan atau ekstraksi dari keduanya. Dari sini datang isu tentang mekanisasi, elektronisasi, dan akhirnya teknologi Di negara itu pun, sampai dengan tahun 1980, masih ada banyak perguruan tinggi yang hanya menggunakan “Ilmu Perpustakaan” (bahkan sampai sekarang), sementara ada pula yang sudah mengubah nama mereka menjadi “Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi”, misalnya School of Library and Information Science di Albany, School of Library and Information Studies Berkeley, Graduate School of Library and Information Science di Los Angelos, dan sebagainya (Association of American Library School, 1980). 12



13 Lihat https://blogs.loc.gov/loc/2014/01/a-half-century-of-library-computing/







11



penemuan-kembali informasi (information retrieval) 14 . Bukan suatu kebetulan pula, bahwa pada saat sama sedang mulai berkembang kajian-kajian komputasi untuk membuat apa yang kini disebut teknologi basis-data (database technology), baik sebagai pusat atau landasan maupun sebagai bagian tak terpisahkan dari teknologi sistem informasi (information system) 15 . Kondisi ini menimbulkan perubahan mendasar dalam tradisi kepustakawanan di AS karena ada perbedaan cara pandang yang secara ringkas digambarkan oleh Rieder sebagai berikut, While the library tradition sees organization as a prerequisite for access, information retrieval rejects this idea and turns the sequence around: organization is to follow the specific needs expressed when accessing information. The order of knowledge is no longer a universal map, but a pathway defined by a momentary purpose. (2020, h. 145-146) 2. Pengaruh penggunaan komputer pada penyelenggaraan dan penyediaan jasa perpustakaan, karena memang ada sesuatu yang unik, baru, dan nyaris tanpa preseden. Isu ini jelas tercermin dalam konsep yang oleh Wasserman disebut sebagai the new librarianship16 di kepustakawanan AS di tahun 1970-an. Konsep ini memungkinkan kita menemukan konteks sosial bagi istilah ‘informasi’ di dalam diskursus Ilmu Perpustakaan sebagai sebuah transformasi dalam cara, tujuan kerja, dan bahkan dalam hakikat perpustakaan serta kepustakawanan. Kelak, 20 tahun kemudian, di tahun 90-an transformasi ini mengejawantah sebagai proyek-proyek perpustakaan digital (digital libraries) 17 . Sebelum perpustakaan-perpustakaan digital dibangun, Calhaoun (2014) mencatat ada 4 perkembangan kunci di bidang komputer dan perpustakaan yang yang menjadi semacam conditio sine qua non dan juga katalisator, yakni: 14 Riset-riset penggunaan komputer untuk temu-kembali informasi sudah dimulai secara intensif begitu



Perang Dunia II usai, khususnya dilakukan di Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, antara lain dipimpin oleh Gerald Salton. Kajian-kajian ini mendekatkan bidang perpustakaan dan bidang komputer, dan menjadi salah satu alasan mengapa akhirnya digunakan frasa “perpustakaan dan informasi” (lihat Aspray, 2011). 15 Pada tahun 1970, E.F Codd, seorang peneliti yang bekerja untuk perusahaan IBM, menerbitkan karya



monumentalnya, “A Relational Model of Data for Large Shared Data Banks” yang menjadi pilar pengembangan selanjutnya bagi teknologi-teknologi basisdata. Bridges (2012) mengaitkan gagasangagasan tentang basisdata ini dengan gagasan Vanevar Bush pada tahun 1940-an yang sudah memikirkan mekanisme simpan dan temu kembali, khususnya mikrofis. Gagasan Bush ini sangat banyak memengaruhi pemikir-pemikir komputer yang memfokuskan diri pada teknologi basisdata. 16 Lebih dari empat puluh tahun kemudian David Lankes menulis Atlas of the New Librarianship, di mana ia



berbicara tentang tiga pondasi dari kepustakawanan-baru, yaitu pengetahuan, percakapan atau dialog, dan komunitas. Ia menulis sebuah pernyataan penting yang menjadi inti dari buku ini dalam satu kalimat, “The Mission of Librarians is to Improve Society through Facilitating Knowledge Creation in their Communities” (Tersedia sebagai e-book di https://davidlankes.org/new-librarianship/the-atlas-of-new-librarianshiponline/) 17 Dari banyak segi, gagasan preseden bagi perpustakaan digital sudah sudah ada sejak 1965, terutama



ketika para teoritisi maupun praktisi mulai rajin merujuk ke makalah karya Vannevar Bush berjudul As We May Think (1945) dan sebuah buku karya J.C.R Licklider berjudul Libraries of the Future. Makalah Bush menginspirasi pengembangan perangkat keras maupun lunak untuk mengorganisasikan dan menyediakan akses cepat terhadap dokumen dan karya-karya ilmiah yang tumbuh pesat waktu itu. Sedangkan Licklider menyorongkan gagasan tentang sistemisasi dan mekanisasi perpustakaan, terutama sebagai kumpulan material atau media yang perlu efisiensi di tengah-tengah keterbatasan ruang dan ledakan jumlah koleksi yang harus dihimpun.







12



a. Perkembangan secara amat progresif dalam aplikasi dan sistem daring (online) untuk penemuan kembali informasi (information retrieval) yang kemudian menjadi tulangpunggung bagi pembuatan mesin-mesin pencari (search engines), termasuk yang kemudian menjadi ‘raksasa’ Google. b. Keberadaan industri jasa informasi daring yang sudah lahir dan tumbuh, khususnya untuk melayani kebutuhan para pebisnis dalam menganalisis pasar dan mengambil keputusan-keputusan bisnis. Sementara di bidang ilmiah muncul layanan-layanan spesifik, misalnya di bidang kedokteran dan penelitian di perguruan tinggi. Perpustakaan dan berbagai institusi turunannya sudah terlibat langsung dengan industri ini sebelum ada Internet. c. Perpustakaan-perpustakaan pun sudah melakukan otomatisasi serta strandardisasi dan pembuatan protokol-protokol yang memudahkan komunikasi antar perpustakaan, sebelum Internet terbentuk. d. Komunitas-komunitas profesional di bidang kearsipan, dokumentasi, manajemen rekod bertumbuhan, melahirkan pekerja-pekerja khusus yang kemudian dikenal sebagai pekerja informasi profesional (information professionals).



3. Sejalan dengan pembangunan infrastruktur perpustakaan digital dan upayaupaya digitalisasi berbagai koleksi perpustakaan, muncul isu yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, misalnya dalam hal: a. Cara pandang baru tentang preservasi (pelestarian), khususnya yang berkaitan dengan akses untuk pendidikan dan peluang konvergensi berbagai institusi budaya seperti musium dan arsip; dan lebih khusus lagi tentang fungsi kedua jenis institusi ini dalam kaitannya dengan repsitori artefak budaya (Given & McTavish, 2010), atau bahkan tentang authentic accesibility dalam kondisi kelimpahruahan data dan koleksi yang dilestarikan (Berry, 2022). b. Perubahan pandangan kepustakawanan tentang institusi terpusat yang ‘mengumpulkan segalanya’ menjadi ke isu yang lebih spesifik, mulai dari perubahan dalam mitos tentang perpustakaan (Gooding & Terras, 2017), ukuran dan ‘kehalusan’ (granulity) koleksi yang dikaitkan dengan kebutuhan pengguna (Thaller, 2017), keputusan tentang digitalisasi oleh perpustakaan-perpustakaan nasional (Reilly Jr., 2016;), aspek budaya dalam pembangunan infrastruktur perpustakaan digital (Dalbello, 2009), dan keterlibatan publik dalam pengembangan digitalisasi berskala besar (Jones, 2017). c. Konsep dan praktik the participatory library berintikan pemberdayaan interaksi, koneksi, dan kreasi berorientasi kepada pengguna. Etos participatory library adalah mengakui bahwa : the more power reside outside the library, the better is the library performing (Bonfield, 2014)18.



18 Istilah ‘participatory library’ itu sendiri datang dari David Lankes, Joanne Silverstein dan Scott Nicholson



di tahun 2006. Penggunaan teknologi yang terkait adalah wikis, blogs, RSS, dan media sosial.







13



d. Literacy movement (gerakan literasi) sebagai respon kepada dampak penggunaan teknologi informasi terhadap tradisi membaca. Sebagaimana dikatakan Tyner (1998), penggunaan teknologi secara meluas memerlukan apa yang disebut tool literacies selain juga literacies of representation yang terdiri dari literasi informasi, literasi visualisasi, dan literasi media. Ketiganya dibangun di atas landasan literasi alfabetik yang sudah dikenal sebelumnya. e. Perilaku pencarian informasi (information seeking behaviour) dalam lingkungan digital, sebagai kelanjutan dari tradisi kajian perilaku yang dimotori oleh David Ellis (1993), Carol Kuhlthau (2004) dan Thomas Wilson (2016) yang sarat dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, selain sosio-kognitif (Spink, 2010). Setelah Google menjadi sarana utama bagi hampir semua orang untuk mencari dan menemukan informasi, isuisu perilaku pencarian informasi yang berkembang di IP&I biasanya dikaitkan dengan kebutuhan dan situasi spesifik menyangkut profesi atau jenis pekerjaan pihak pencari informasi.











4. Perkembangan “masyarakat informasi” (information society) dan posisi serta peran perpustakaan serta institusi turunannya. Kita tahu bahwa istilah masyarakat informasi digunakan bersama istilah “era informasi” (information era) atau disebut juga “abad informasi” (information age) sejak tahun 1970-an. Masyarakat informasi umumnya terbentuk lewat penggunaan teknologi telekomunikasi dan informasi yang ekstensif dan intensif. Namun selain dari sisi teknologi, ada banyak cara menggambarkan masyarakat informasi ini, terutama yang mengaitkannya dengan transformasi kapitalisme (Webster, 1977) dalam bentuk penguasaan secara politik-ekonomi terhadap sarana masyarakat industri atau sebagai bagian tak terpisahkan dari globalisasi neoliberalisme (Hassan, 2008). Hal ini langsung berkaitan dengan kenyataan bahwa institusi perpustakaan pada umumnya merupakan ruang publik dan entitas non-profit, sehingga penggunaan teknologi dan komersialisasi informasi sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan kepustakawanan. 5. Perkembangan bidang dokumentasi, yang sedikit-banyaknya ikut tumbuh dalam konteks masyarakat informasi, selain sebagai bagian dari penggunaan teknologi informasi (lihat butir 1) dan perkembangan profesi-profesi baru (lihat butir 2d). Sebagaimana dikatakan Rayward (1985), diskursus tentang “ilmu informasi” yang mengemuka di kalangan akademisi Ilmu Perpustakaan pada era 1970-an dipengaruhi oleh dua hal penting. Pertama, konsep dokumentasi yang dicanangkan Paul Otlet di dua karya monumentalnya, Traité de documentation pada tahun 1934, dan Monde: essai d’universalisme setahun kemudian. Kedua, konsep Machlup dan Mansfield tentang masyarakat informasi, khususnya sebagaimana yang mereka tulis di buku The Study of Information: Interdisciplinary Message (1983) tentang kegiatan menciptakan, mengembangkan, menganalisis, dan mengkaji sistem informasi berbasis dokumen. Fokus pada dokumen dan dokumentasi ini dibedakan dari perhatian pada pertumbuhan pesat dan penggunaan besar-besaran dalam entitas “nondocumentary” dan “data-dependent” yang dimulai pada tahun 1980-an. Sementara dalam kaitannya dengan kepustakawanan, Wright (1985) menyebutkan bahwa diskursus tentang informasi dari sisi dokumentasi ini



14



banyak pula dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Jesse Shera yang menganjurkan agar kajian-kajian tentang teknik dan sistem informasi juga didampingi kajian terhadap aspek sosial dan institusional. Dua dekade kemudian, Frohmann (2001) ikut menyatakan kajian-kajian informasi yang datang dari perkembangan bidang dokumentasi sesungguhnya juga melihat konteks sosial dalam bentuk praktikpraktik institusional; bukan melulu pada kinerja dan efisiensi sistem informasi berbasis dokumen19. Dari uraian ringkas yang sangat umum di atas, kita kembali melihat bahwa secara ontologis IP&I melihat fenomena penggunaan teknologi informasi di perpustakaan sebagai bagian dari perkembangan institusi perpustakaan dan institusi-institusi turunannya, selain juga sebagai kesinambungan dari tradisi pustaka yang mengalami perubahan setelah menggunakan dan memanfaatkan teknologi komputer dan telekomunikasi. Aspek institusional dalam penggunaan teknologi ini pada umumnya dikaji sebagai bagian dari fenomena sosial-budaya sama halnya ketika belum ada diskursus tentang “informasi” di dalam IP&I, dengan juga memperhatikan keunikan yang disebabkan oleh perbedaan mendasar antara teknologi cetak dan teknologi digital. Kita kemudian juga dapat melihat bahwa “perpustakaan dan informasi” secara bersama-sama adalah entitas unik yang cukup jelas batas-batasnya, baik sebagai tradisi, praktik, maupun institusi. Dalam perkembangan selanjutnya, perhatian kepada penggunaan teknologi digital tentu saja memengaruhi cara ilmu-ilmu selain IP&I dalam memandang dan mengkaji “informasi” itu sendiri, namun ini merupakan perkembangan di luar IP&I serta sangat mungkin akan berkembang menjadi ilmu tersendiri tanpa menyertakan IP&I di dalamnya Saya akan membahas hal ini di bagian berikut.



Perkembangan di luar IP&I Sebagaimana diuraikan di atas, Ilmu Perpustakaan menambahkan frasa “dan informasi” di masa yang sama dengan beberapa ilmuwan dan akademisi lain yang secara khusus menaruh perhatian pada “informasi”. Para ilmuwan ini datang dari berbagai cabang ilmu, mulai dari matematika, linguistik, fisika, bisnis, komunikasi, sampai politik. Selain mengaitkannya dengan praktik serta aktivitas sosial maupun ekonomi, para ilmuwan tersebut juga melihat informasi sebagai objek kajian yang berdiri sendiri. Terutama 19 Ada banyak ramifikasi (percabangan) dalam diskusi tentang dokumentasi, ilmu dokumentasi, dan ilmu



informasi yang tidak mungkin dilakukan di makalah ini. Dari segi historis, upaya ilmuwan dokumentasi untuk menjadi pelopor ilmu tersendiri yang terpisah dari IP&I dimotori pula oleh asosiasi seperti The American Documentation Institute yang kemudian menjadi American Society for Information Science and Technology memperlihatkan orientasi yang sangat kuat pada aspek teknis dari sistem informasi berbasis dokumen, sehingga sedikit-banyaknya tidak berbeda dari kajian-kajian sistem yang dilakukan ilmuwan teknik dan komputer. Sementara dari aspek ontologis “dokumen” diskusi bisa diperluas sebab akan bergantung pada pendekatan yang digunakan para pembahasnya. Misalnya, Roux (2016) mengikuti konsep Suzanne Briet mengatakan “the use makes the document”. Sementara Bowden dan Robinson (2013) menyatakan bahwa konsep “dokumen” dapat ditarik ke belakang sampai ke zaman sebelum mesin cetak, atau bahkan ke zaman sebelum ada bahasa tulisan. Sebagian diskusi kemudian juga merambah ke filsafat dan antara lain mengundang filsuf-filsuf kontemporer seperti Rafael Capurro, Pieter Adriaans, Luciano Floridi, dan lain sebagainya. Tidak saja ruang di makalah ini tidak memadai, namun juga topik ini akan lebih tepat diletakkan dalam diskusi tentang epistemologi ilmu atau tentang filsafat ilmu.







15



setelah komputer dibuat menjadi perangkat massal yang dipakai di segala bidang kehidupan, para ilmuwan pun mulai secara serius mempersoalkan apa sebenarnya yang mereka maksud dengan “informasi”. Dalam bahasa ilmu, maka mulailah para ilmuwan mempersoalkan aspek ontologi dan bahkan juga metafisika dari informasi; mereka beramai-ramai memasuki ranah filsafat Sebagaimana diuraikan dengan ringkas tetapi bernas oleh Nafria (2010), melalui kajiankajian fikosofis kata “informasi” mengalami berbagai perubahan dalam makna maupun pemakaian. Di masa-masa sebelum ada apa yang kita sebut “teknologi informasi” 20 pemaknaan kata ini banyak sekali dipengaruhi oleh filsafat Yunani sebab informasi dalam bahasa Latin adalah informatio dari kata informare, berarti membentuk (to form); baik yang kasat mata (fisik) maupun yang tidak (spiritual, moral). Di masa moderen, di bawah pengaruh empirisme, information bergeser dari struktur ke material, dari format (bentuk) ke substansi (kandungan, atau isi), dan dari keteraturan intelektual ke reaksi inderawi (sensory impulses). Bagi kaum empiris informasi berkait dengan “kesadaran manusia”, maka informasi selalu adalah “tentang dunia kehidupan”; bentuk dan struktur menjadi kurang penting, sementara dunia dan kesadaran dianggap sesuatu yang analytical; dapat dipisah-pisah menjadi elemen-elemen utama, sehingga bahkan di tingkat epistemik pun “informasi sebagai pengetahuan dan kebenaran” menjadi sesuatu yang dapat dianalisis. Pendekatan analytical kelak bertemu dengan konsep realita yang lebih terstruktur, dan terbentuklah diskursus baru yang – selain menimbulkan debat sengit di kalangan filsuf – juga mengundang penggunaan berbagai teori, mulai dari teori relativitas, mekanika quantum, fisika, sampai biologi evolusioner yang satu sama lainnya tidak pernah sungguh-sungguh menemui kecocokan, selain juga selalu bertentangan dengan asumsi tentang sebuah kosmos yang terdiri dari interaksi antar partikel terpisah dan dengan kesadaran analistik. Dari perdebatan dan diskusi itu juga muncul pemikiran-pemikiran kontemporer yang kemudian memengaruhi konsep tentang informasi, khususnya tentang kaitan antara kemampuan persepsi dan kondisi “terinformasi atau get informed” demi mencapai tingkat keteraturan (order) yang dapat dipahami. Nafria menyimpulkan, kepentingan-kepentingan pragmatik, termasuk kepentingan ekonomi dan politik, pada akhirnya “mengizinkan” munculnya dua gagasan dominan dalam konsep tentang informasi. Pertama, gagasan analistik dan mekanistik yang datang dari rasionalisme, dan yang diambil sebagai model untuk mengukur informasi, termasuk prosesnya. Kedua, gagasan tentang “ketidakpastian” yang membatasi diri pada kriteria realitas sebagai sesuatu yang murni pengamatan. Kedua gagasan ini ikut mendorong perkembangan rekayasa telekomunikasi pasca Perang Dunia II di tengah menguatnya paham rasionalisasi dalam ekonomi. Gabungan dari kebutuhan akan teknologi (telekomunikasi maupun komputasi) dan kebutuhan ekonomi ini menimbulkan isu-isu penting yang memerlukan solusi. Di saat itu lah terlihat kegunaan apa yang kita kenal sebagai Teori Matematika untuk Komunikasi (Mathematical Theory of Communication, MTC) yang kemudian disebut Teori Matematika untuk Informasi, atau disingkat lagi 20 Secara etimologi bahasa (Inggris) kata information technology, mulai digunakan meluas pada 1958,



setelah istilah information theory (teori informasi) diperkenalkan pada tahun 1950, dan sebelum istilah information revolution (revolusi informasi) yang mulai popular tahun 1966, diikuti istilah information overload (kelimpahruahan informasi) pada tahun 1967.







16



menjadi Teori Informasi21. Teori ini lah yang dipakai untuk solusi bagi tiga isu penting yang akan dijawab lewat rekayasa teknologi, yaitu : • Bagaimana informasi dapat secara optimal dipadatkan, melalui coding (penggunaan kode) yang menggunakan sedikit mungkin sumberdaya. • Bagaimana memaksimalkan jumlah informasi yang dapat dipancarkan dengan menggunakan sejumlah sumberdaya tertentu. • Bagaimana jumlah informasi itu dapat diperhitungkan, sehingga kita dapat membuat dugaan berapa sumberdaya yang diperlukan, dan dengan begitu kita juga dapat memperkirakan biaya pengadaannya. Solusi-solusi teoritik dari Teori Informasi itu lah yang mendapat dukungan penuh dari industri maupun negara, khususnya AS, Inggris, dan negara-negara Eropa Barat lainnya, sehingga penelitian dan pengembangan teknologi komputer serta telekomunikasi menjadi sangat pesat pada tahun 1970-an, memicu perkembangan selanjutnya yang tak terbendung sampai sekarang. Boleh dikatakan konsep “informasi” yang analistik dan mekanistik inilah yang mendominasi perkembangan awal teknologi komputer yang kemudian menjadi teknologi dominan sampai saat ini. Selain melahirkan Teori Informasi, kajian-kajian filosofis maupun teoritis tentang hakikat informasi juga melahirkan teori penting di penghujung tahun 1950-an, yaitu saibernetika (cybernetics). Tokohnya adalah Norman Wiener yang sudah sejak 1941 mencanangkan sebuah teori untuk menjelaskan tindakan yang terkendali dan bertujuan (purposive controlled behavior) di dalam sebuah sistem yang sanggup memberi dan menerima umpan-balik (feedback). Bagi Wiener manusia adalah salah satu dari sistem yang demikian. Teori ini ini lah yang ia beri nama cybernetics (saibernatika) dan komponen inti dari sistem saibernetika ini adalah informasi. Kelak, teori saibernetika ini dikembangkan terus dan diterapkan untuk menjadi teknologi yang sekarang dikenal sebagai robotika (robotics) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Di kedua teknologi ini lah diterapkan sistem yang mampu memberi dan menerima umpanbalik dan mengendalikan “tindakan” (atau gerakan seperti dalam robotika) maupun penarikan kesimpulan atau inferensi (dalam kecerdasan-buatan). Dapat kita lihat dari penjelasan serba singkat di atas, secara ontologis “informasi” yang ada dalam Teori Informasi-nya Shannon maupun Teori Saibernetika-nya Wiener sama sekali berbeda dari yang digunakan dalam IP&I. Walaupun ada upaya menggunakan Teori Informasi dalam penelitian-penelitian IP&I, pada umumnya adalah sebagai 21 Secara historis, teori yang khusus membahas fenomena informasi sudah dipikirkan oleh ilmuwan fisika



Harry Nyquist dan Ralph Hartley pada tahun 1920an. Sejak itu ada beberapa upaya untuk menggunakan pendekatan ilmu alam dan fisika, namun baru benar-benar menarik perhatian kalangan akademisi dan industri ketika Claude Shannon, seorang ilmuwan matematika yang bekerja untuk laboratorium telekomunikasi, menulis “A Mathematical Theory of Communication” tahun 1948 di jurnal Bell System Technical Journal. Pekerjaan Shannon berkaitan dengan pemikiran Nyquist dan Hartley yang mengawali pemikiran sains tentang informasi, khususnya kalau kita melihat konteks perkembangan teknologi pada saat itu, ketika dunia telekomunikasi baru memiliki beberapa teknologi dasar yang kemudian akan berkembang lebih jauh, misalnya, telegrafi (menggunakan Kode Morse), telepon (pertamakali diuji-coba oleh Bell pada tahun 1876), telegrafi tanpa kabel (dikembangkan oleh Marconi), radio AM (awal tahun 1900an), Single-Sideband Modulation (tahun 1922), televisi (masa awal, 1925 – 1927), dan Frequency Modulation atau FM (1936).







17



latarbelakang (background) penelitian, bukan sebagai instrumen dalam metode penelitian. Begitu pula teori-teori lainnya, seperti saibernetika, teori sistem, atau teoriteori yang menggunakan pendekatan kognitif dalam meneliti informasi, memang tidak atau sangat jarang digunakan dalam IP&I sebagai instrumen penelitian. Salah satu sebabnya, sebagaimana yang disinyalir McKechnie dan Pettigrew (2002) adalah pendekatan penelitian yang digunakan di IP&I pada umumnya adalah pendekatan sosialbudaya untuk memahami konteks di mana teknologi informasi digunakan, bukan pada informasi itu per se.



Kesimpulan dan Penutup Pengamatan dengan menggunakan pendekatan sosiologi ilmu dan historis di makalah ini memang hanya dapat memetakan secara umum apa yang menjadi kajian dari IP&I. Kajian-kajian lain, seperti bibliometrika atau informetrika akan lebih memberikan buktibukti empirik tentang perkembangan IP&I sebagai kegiatan ilmiah. Namun di makalah yang tentu saja sangat terbatas dari segi ruang maupun lingkup bahasan ini, saya berharap kita dapat menemukan kejelasan dan keterangan – seberapa redup pun itu – tentang apa yang membuat IP&I adalah sebuah ilmu spesifik dengan objek kajian yang unik. Selain itu, walaupun di makalah ini pembahasan tentang “apa itu pustaka” dipisahkan dari pembahasan tentang “apa itu informasi”, saya juga berharap kita dapat melihat bahwa pada dasarnya ada kesinambungan dalam objek pengamatan IP&I. Penambahan istilah “informasi” ke nama Ilmu Perpustakaan di tahun 70-an dapat kita lihat sebagai respon yang lumrah ketika sebuah tradisi (dalam hal ini tradisi pustaka) menghadapi situasi dan kondisi baru ketika teknologi komputer dan digitalisasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari praktik-praktik kepustakawanan. Melalui bukti tentang kesinambungan ini saya juga berharap memperlihatkan konsistensi dalam cara atau posisi pengamatan terhadap objek, yang sejak awal terbentuknya Ilmu Perpustakaan sudah memfokuskan pada aspek institusional dan sosial-budaya dari tradisi pustaka, sehingga pada akhirnya IP&I. Dengan begitu, makalah ini sebenarnya juga mengajukan proposal untuk diskusi selanjutnya yang menyangkut posisi epistemologi yang diambil atau dipilih oleh ilmuwan dan akademisi IP&I (khususnya di Indonesia), sehingga kita memiliki gambaran yang lebih utuh serta lengkap tentang IP&I di Indonesia. Dengan gambaran yang utuh dan disepakati ini, kita akan lebih berperan dalam mengurus dan mengembangkan IP&I di Indonesia, alih-alih menyerahkannya kepada pihak lain, tanpa mengabaikan perlunya kerjasama dengan mereka untuk, misalnya, mengembangkan pendidikan profesi yang lebih memadai bagi kebutuhan zaman. Dengan secara aktif ikut mengembangkan pendidikan profesi ini pula lah akhirnya ilmuwan IP&I juga akan terlibat dalam aspek aksiologi (atau kegunaan) ilmu bersama-sama pihak lain, seperti pemerintah penyelenggara pendidikan tinggi, pengurus universitas di mana pendidikan IP&I dilaksanakan, dan pihak-pihak profesional yang pada dasarnya adalah pengguna lulusanlulusan pendidikan IP&I ini. Jika semua itu sudah terjadi, maka dapatlah kita mengembangkan narasi deskriptif yang disepakati bersama yang boleh kita beri judul Ilmu Perpustakaan & Informasi di



18



Indonesia : Apa, Bagaimana, Untuk Apa. Tetapi setidaknya bagi saya – dan sangat mungkin bagi banyak orang yang berada di luar lingkungan IP&I – sekarang ini bahkan di “Apa”-nya saja kita belum apa-apa. Jalan masih panjang, maka langkah harus dilanjutkan. Melbourne, 18 Oktober 2022 PLP



Daftar Pustaka Arabatzis, T. (2003), Towards a historical ontology. Studies in History and Philosophy of Science, 34, hal. 431–442. Aspray, W. (2011). The History of Information Science and other traditional information domains: Models for future research. Libraries & the Cultural Record, 46 (2), hal. 230-248. Association of American Library Schools (1980). Directory of the Association of American Library Schools 1980. Journal of Education for Librarianship, 1-84. Barefoot, M., Parme, S., Woods, E. (ed.)(2022). Once Upon a Time in Accademic Library : story telling skills for librarians. Chicago : Association of College and Research Library. Bawden, D., & Robinson, L. (2012). Introduction to Information Science. New York: NealSchuman. Ben-David, J., & Sullivan, T.A. (1975). Sociology of Science. Review of Sociology, 1, hal. 203222. Berry, D. (2022). Take me into the library and show me myself: toward authentic accessibility in digital libraries. Transactions of the American Philosophical Society, 110 (3), hal. 111-126. Blaikie, N. (2010). Designing Social Research, New York : Polity Press. Bonfield, B. (2014). “Redesigning library services again : revisiting Buckland’s Manifesto”. Planning Our Future Libraries, ed. Kim Leeder dan Eric Firerson, Chicago : ALA Editions. Bourdieu, P. (1990). Outline of a Theory of Practice. Cambridge : Cambridge University Press. Bridges, K. (2012). Beyond the Browser : Web 2.0 and Librarianship, Santa Barbara, CA : Libraries Unlimited. Brimhall-Vargas, M. (2015). Where rubber meets the road: the role of libraries and librarians in bringing equitable access to marginalized communities. Library Quartely : Information, Community, Polity, 85 (2), hal. 193-199. Bronner, S.J. (1998). Following Tradition, Colorado : Utah State University Press. Bryman, A. (2012). Social Research Methods 4th edition, Oxford : Oxford University Press. Calhoun, K. (2014). Exploring Digital Libraries : foundations, practice, prospects, Chicago : Neal-Schuman, Imprint of the American Library Associaction. Collins, H. (2011). Language and Practice. Social Studies of Science 41(2), Collins, H. (2014). Three waves of science. Lui Lam, & Maria Burguete (eds.) All About Science: Philosophy, History, Sociology & Communication. Singapore : World Scientific Publishing Company. Crawford, A. (2015). Introduction. Alice Crawford (ed.), The Meaning of the Library : A Cultural History. Princeton : Princeton University Press, hal. Xiii – xxix).







19



Crotty, M. (1998). The Foundation of Social Research: Meaning and Perspective in the Research Process. Thousand Oaks, CA: Sage. Dalbello, M. (2009). Cultural dimensions of digital library development, part II: the cultures of innovation in five European national libraries (narratives of development). The Library Quarterly: Information, Community, Policy 79 (1) hal. 172 Davis, D. L., & Webster, P. S. (2002). The Social Context of Science: Cancer and the Environment. The Annals of the American Academy of Political and Social Science, 584, 13–34. Del Negro, J.M. (2016). Storytelling in Public Libraries: The Women, the Mission, the Stories. Storytelling, Self, Society, 12(1), 81–117. Ellis, D. (1993). Modeling the information-seeking patterns of academic researchers: A grounded theory approach. The Library Quarterly 63 (4):469–86. doi:10.1086/602622 Erduran, S., & Dagher, Z. R. (2014). Science as a social-institutional system. In Reconceptualizing the Nature of Science for Science Education (pp. 137-162). Springer, Dordrecht. Frohmann, B. (2001). Discourse and documentation: some implications for pedagogy and research. Journal of Education for Library and Information Science, 42 (1) hal. 12-26. Fuller, S., & Bowden, G. (2001). The governance of science: Ideology & the future of the open society. Canadian Journal of Sociology, 26(4), 675-678. Gitner, F. J. (1998). The New Americans Program: Twenty-one Years of Successful Partnerships Serving Diverse and Changing Communities. Reference & User Services Quarterly, 38(2), 143–145. Given, L.M & McTavish, L. (2010). What’s Old Is New Again: The Reconvergence of Libraries, Archives, and Museums in the Digital Age. The Library Quarterly: Information, Community, Policy 80 (1), hal. 7-32 Gooding, P. & Terras, M. (2017 ). Inheriting library cards to Babel and Alexandria: contemporary metaphors for the digital library. International Journal of Digital Libraries, 18, hal. 207–222 Goodman, N. (1984). Of Mind And Other Matters. Cambridge, MA : Harvard University Press. Guala, F (2016). Understanding Institutions: The Philosophy and Science of Living Together, Princeton : Princeton University Press. Guba, E. E., & Lincoln, Y. S. (2005). Paradigmatic controversies, contradictions, and emerging confluences. In N. Denzin, & Y. Lincoln (Eds.), The SAGE Handbook Of Qualitative Research (3rd ed., pp. 191-216). Thousand Oaks, CA: Sage. Hassan, R. (2008). The Information Society. Cambridge, UK : Polity. Hovious, A.S. (2016). Transmedia Storytelling : the Librarian’s Guide. Santa Barbara : Libraries Unlimited. Jones, E. (2017). The public library movement, the digital library movement, and the large-scale digitization initiative: assumptions, intentions, and the role of the public. Information & Culture, 52 (2), hal. 229-263. Knorr-Cetina, K. (2003). Epistemic Cultures: How the Sciences Make Knowledge. Harvard : Harvard University Press. Knuth, R. (2003). Libricide : the Regime-sponsored Destruction of Books and Libraries in the Twentieth Century. Westport : Praeger Publishing. Kuhlthau, C. C. (2004). Seeking meaning: A Process approach to library and information services. 2nd ed. Norwood, NJ: Ablex.







20



Lankes, R.D. (2011). The Atlas of New Librarianship, Cambridge MA: MIT Press. Lerner, F. (1998). The Story Of Libraries : From The Invention Of Writing To The Computer Age, New York : Continuum. Machlup, F. & Mansfield, U. (1983) The Study of Information: Interdisciplinary Messages, New York : Wiley. MacIntrye, A. (1988). Whose Justice? Which Rationality? Notre Dame, In. : Notre Dame University Press. McCallum, S. (2004). 40 Years of Technology in Libraries: A Brief History of the IFLA Section on Information Technology, 1963/64–2003, IFLA - https://repository.ifla.org/handle/123456789/771 McKechnie, L. & Pettigrew, K.E. (2002). Surveying the use of theory in library and information science research: A disciplinary perspective. Library Trends. 50 (3), hal. 406 – 418. Megill, A. (1998). History, memory, identity. History of the Human Sciences, 11 (3) hal. 3762 Merton, R.K. (1973), The Sociology of Science: Theoritical and Empirical Investigations, Chicago : Chicago University Press. Nafría, J.M.D. (2010), “What is information? A multidimensional concern”. Triple C, 8 (1) hal 77-108. Pendit, P.L. (2011). Epilog : apa yang dimaksud dengan Ilmu Perpustakaan & Informasi, sebuah diskusi berkesinambungan. Pendit, P.L et al (ed). Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional : Information for Society : Scientific Point of View. Prosiding, Jakarta : Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah. Pendit, P.L. (2018a), Ilmu Perpustakaan Dan Informasi: sebuah tinjauan ringkas tentang aspek ontologi dan epistemologi dalam konteks Indonesia. Makalah di Diskusi Memetakan Perkembangan Ilmu Perpustakaan dan Informasi di Indonesia, di Pepustakaan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 15 Maret 2018 Pendit, P.L. (2018b), Pustaka dan Kebangsaan, Jakarta : Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Pendit, P.L. (2019), Pustaka : Tradisi dan Kesinambungan, Jakarta : Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Poespowardojo, S. & Seran, A. (2016), Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Buku Kompas. Putnam, H. (1981). Reason, Truth And History. Cambridge: Cambridge University Press. Putnam, H. (1992). Truth, activation vectors and possession conditions for concepts. Philosophy and Phenomenological Research, 52, hal. 431–447. Rayward, B.R. (1985). Library and Information Science: An Historical Perspective. The Journal of Library History, 20 (2) hal. 120-136 Reilly Jr, B.F. (2016). Rethinking the National. American Libraries, 47 (11/12), hal. 30-33 Rieder, B. (2020). Engines of Order : A Mechanology of Algorithmic Techniques. Amsterdam : Amsterdam University Press. (2020). Roux, S. (2016). The Document: a multiple concept. Proceedings from the Document Academy University of Akron, 3 (1) Snead, J. T. (2014). Public Libraries, Evaluation, and E-government. The Library Quarterly: Information, Community, Policy, 84(4), 467–480. Soetriono & Hanafi, S.R. (2007), Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta : CV Andi Offset. Spink, A. (2010). Information Behaviour : an Evolutionary Instinct, London : Springer. Stiglitz, J. (1999). Knowledge as a global public good. In I. Kaul, I. Grunberg, & M. Stem (Eds.), Global Public Goods. Oxford, UK: Oxford University Press.







21



Suriasumantri, J. (2009). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Talja, S., Tuominen, K., dan Savolainen, R. (2005). ‘Isms’ in information science: constructivism, collectivism and constructionism. Journal of Documentation, 61(1), hal. 79–101. Thaller, M. (2017). From the digitized to the digital library. Historical Social Research / Historische Sozialforschung. Supplement, No. 29, hal. 307-319 Tuomela, R. (2013). Social Ontology: Collective Intentionality and Group Agents, Oxford : Oxford University Press. Tyner, K.R, (1998). Literacy In A Digital World : Teaching And Learning In The Age Of Information. Mahwah, N.J. : L. Erlbaum Associates. Wasserman, P. (1972). The New Librarianship : a Challenge for Change, New York : RR Bowker Co. Webster, F. (1997). Theories of The Information Society, New York : Routledge. Wilson, T. D. 2016. A general theory of human information behaviour in proceedings of ISIC, the information behaviour conference, Zadar, Croatia, 20-23 September, 2016: Part 1. Information Research Wright, H.C. (1985). Shera as a bridge between librarianship and information science. The Journal of Library History 20 (2), hal. 137-156. Yadgar, Y. (2013). Tradition. Human Studies, 36 (4), hal. 451-470. Zeng, M.L. dan Qin, J. (2016). Metadata, Chicago : Neal-Schuman. Zheng, H. (2012). On Modernity's changes to ‘tradition’: a sociological perspective. History and Theory, 51 (4), hal. 105-113.











22



LAMPIRAN



Kronologi dan Lini Masa 40 Tahun Penerapan Teknologi Informasi di Perpustakaan Fakta sejarah menyatakan bahwa perkenalan bidang perpustakaan dan bidang-bidang turunannya dengan teknologi informasi memang sudah dimulai sejak awal merebaknya penggunaan komputer untuk keperluan mengolah data. Berhubung data yang ada di tangan pustakawan adalah data bibliografi, maka tentu saja data itulah yang mereka olah. Secara lebih spesifik lagi, komputer di perpustakaan pertama kali digunakan untuk mengelola katalog secara otomatis. Itu sebabnya, teknologi pertama yang digunakan di perpustakaan disebut library automation atau otomasi perpustakaan. Dari sini lah muncul konsep, teori, dan praktik yang berkisar pada apa yang disebut machine readable cataloging – pengatalogan terbaca mesin, alias komputerisasi katalog. Selama 10 tahun pertama otomasi perpustakaan, konsep ini digodok dan dimatangkan sebagai inti dari sistem berbantuan komputer. Dalam proses selanjutnya, setelah federasi perpustakaan internasional (International Federal of Library Ascociation, IFLA) terlibat, khususnya dalam bentuk “Seksi Teknologi Informasi”, terjadi perkembangan yang secara kronologis dapat diuraikan sebagai berikut : • Era 1963-1970 – disebut sebagai masa start-up dan berbagi pengalaman, yaitu ketika perpustakaan di Amerika Serikat (AS) menjadi pionir penggunaan mesin mainframe yang masih mengandalkan teknologi transistor dan kartu berlubang (punched card). Pengalaman di AS ini lah yang mendorong IFLA membentuk Komite Mekanisasi Perpustakaan yang pertama pertama kali berkonferensi di Roma pada tahun 1964. Di situlah seorang pustakawan menulis dan menyajikan makalah pokok berjudul “Mechanization and Automation in American Libraries”. Perhatikanlah bahwa kata ‘mekanisasi’ digunakan, alih-alih komputerisasi. Sebab waktu itu pengolahan data (katalog) memang masih semi-manual, masih melibatkan pembuatan kartu yang baru 60 tahun kemudian, di tahun 2015, benar-benar dihentikan di AS. •







Era 1970-1975 – disebut sebagai masa standardisasi internasional untuk format dan pertukaran data bibliografi. Pada tahun 1970, Komite Mekanisasi memfokuskan perhatian pada tiga hal, yaitu (1) format data; khususnya dengan disepakatinya MARC Versi II, (2) standar untuk data serial (dikenal sebagai ISSN, kependekan dari International Standar Serial Number, dan kemudian berkembang menjadi Digital Object Identifier atau DOI sekarang ini), dan (3) pengaruh otomasi perpustakaan terhadap pustakawan maupun para pengguna perpustakaan, khususnya ketika data yang dikelola semakin besar. Selain itu, salah satu aspek penting yang menjadi landasan keberhasilan program-program otomasi secara internasional ini adalah tekanan dari pihak pustakawan kepada produsen perangkat keras dan perangkat lunak, agar mereka menaati prinsip kompatibilitas dan interoperabilitas – sesuatu yang memang merupakan landasan penting bagi komputerisasi kelak di berbagai bidang kehidupan. Pada era ini pula sekolah-sekolah perpustakaan di AS dan Eropa memasukkan kata-kata ‘and information’ di nama mereka, dan para akademisi serta 23



ilmuwan menamakan ilmu mereka library and information science (ilmu perpustakaan dan informasi). •







Era 1976 – 1987 adalah masa penting dalam pengorganisasian IFLA di tengah perubahan pesat dalam bidang komputer. Komite Mekanisasi Perpustakaan telah berubah menjadi Seksi Teknologi Informasi pada tahun 1979 (yang bertahan sampai sekarang) dan perhatian pustakawan secara internasional meluas ke aspek-aspek lain, selain pengolahan data. Terutama, fokus perhatian mulai diberikan pada teknologi jaringan yang kelak melahirkan Internet di tahun 1990an. Selain itu, teknologi penyimpanan data (storage) menjadi “primadona” baru, khususnya ketika teknologi optical discs mulai popular. Patut kita sadari, teknologi penyimpanan dan media optik ini adalah salah satu aspek penting yang ikut mengubah kepustakawanan sebagai institusi yang sangat peduli pada penyimpanan dan pelestarian Era 1987 – 1992 adalah saat para pustakawan di seluruh dunia merasakan manfaat teknologi telekomunikasi dan jaringan yang mulai mengglobal. Waktu itu Internet belum lagi umum, tetapi perpustakaan di negara-negara berkembang sudah mendapatkan manfaat dari apa yang dikenal dengan sistem “pengiriman dokumen secara elektronik” (electronic document delivery) atau document delivery service (DDS). Pada masa itu, perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi di negara berkembang, termasuk di Indonesia, sudah mulai menggunakan jaringan telekomunikasi untuk memperoleh artikel-artikel jurnal dalam bentuk berkas elektronik. Berkas elektronik ini waktu itu belum terstandar, dan baru pada 1993 muncul PDF (portable document format, khususnya yang dibuat oleh Adobe Acrobat). Dalam konteks ini, perlu disebut dua hal penting yang terjadi di era 1987-1992.















Pertama, pustakawan semakin terlibat dengan isu interoperabilitas, termasuk dalam pengembangan protokol untuk sistem yang terbuka (Open System Interconnection Protocols) dan protokol-protokol lain yang memungkinkan berbagai sistem komputer “bercakap-cakap” satu sama lainnya. Berbagai perpustakaan yang membeli dan menggunakan aneka sistem automasi perpustakaan ikut mendesak perusahaan-perusahaan penyedia sistem untuk mengikuti protokol-protokol itu. Tentu saja fenomena serupa juga terjadi di berbagai bidang yang melanda seluruh dunia, dan memungkinkan lahirnya Internet. Kedua, Kehadiran komputer mikro (microcomputer) yang semakin banyak di perpustakaan melahirkan apa yang kemudian disebut Online Public Access Catalog (OPAC); yaitu setelah katalogisasi sudah pula menjadi elektronik dan digital. Boleh dikatakan, OPAC adalah mesin pencari (search engine) pertama yang dikenal masyarakat, sebab selain untuk keperluan mencari koleksi di perpustakaan yang bersangkutan, OPAC juga tersambung ke jaringan telekomunikasi yang memungkinkan pengguna mencari di koleksi perpustakaanperpustakaan lain. Fokus perhatian para pustakawan tentang OPAC ini melahirkan berbagai eksperimen dan proyek temu-kembali informasi (information retrieval) termasuk dalam aspek penggunaan grafis dalam antar24



muka (atau Graphical User Interface, disingkat GUI). Patut kita ingat bahwa semua perkembangan ini terjadi sebelum mesin pencari Google muncul pada tahun 1998. •







Era 1992-1997 adalah masa ketika Internet sudah mulai “matang” dan mulai mengambil alih semua bentuk konektivitas dan telekomunikasi di tingkat global. Harus kita garisbawahi di sini bahwa Internet bukanlah semata-mata jaringan komputer atau keterkaitan atau konektivitas antar (inter) jaringan (net), sebab konektivitas antar jaringan sebenarnya sudah ada sejak 1980-an. Kehadiran Internet seperti yang kita kenal sekarang ini menimbulkan berbagai persoalan yang jauh lebih luas dari sekadar konektivitas, misalnya persoalan kedaulatan dan kendali terhadap arus informasi lintas negara-bangsa. Dalam konteks kepustakawanan, Internet menghadirkan dilema, di satu sisi teknologi ini memungkinkan keleluasaan akses yang selama ini memang menjadi kepedulian para pustakawan, tetapi di lain pihak juga merupakan sarana komersialisasi informasi yang justru berlawanan dengan prinsip-prinsip kepustakawanan, khususnya kepustakawanan umum (public librarianships). Sebab itulah salah satu acara yang paling laris dalam setiap konferensi IFLA adalah “Internet Discussion Group” yang juga mencakup di dalamnya pembicaraan tentang temu-kembali informasi, khususnya tentang Z39.50 22 dan publikasi elektronik (electronic publishing; waktu itu istilah digital belum popular). Di masa ini pula terbit buku karangan Michael Buckland (1992) yang menyarikan konsep-konsep baru untuk perpustakaan, dan yang kemudian ikut membantu kristalisasi apa yang disebut sebagai digital libraries (perpustakaan-perpustakaan digital) yang notabene lahir dan berkembang di era berikutnya. Era 1998 – 2002 adalah masa kelahiran dan penyebaran konsep digital libraries bersamaan dengan muncul dan segera popularnya mesin pencari Google. Pada masa ini terjadi peningkatan amat pesat dalam ketersediaan sumberdaya informasi digital, termasuk perangkat untuk memanfaatkannya. Sementara akses ke Internet juga terus meluas di semua bagian dunia. Fenomena ini menimbulkan dilema bagi kepustakawanan. Di satu sisi sumberdaya digital yang berpotensi (atau bahkan harus) dikoleksi perpustakaan meningkat secara eksponensial, padahal kemampuan mengoleksi dan mengelolanya tidak meningkat dengan sama cepatnya. Di sisi lain, kelimpahruahan informasi ini juga menyebabkan perpustakaan tidak lagi menjadi sumber informasi yang dihandalkan. Mesin pencari Google dan aplikasi-aplikasi lain yang memang dibuat untuk situasi perkembangan Internet yang cepat, menjadi handalan masyarakat. Pada saat yang sama juga muncul persoalan-persoalan di masyarakat yang berkaitan dengan akses, sebab keleluasaan di Internet tetap



22 Z39.50 adalah kode untuk standar internasional dan protokol dalam hal koneksi dan komunikasi di



antara komputer yang bertindak sebagai penyedia (server) dan komputer yang menjadi penerima (client), khususnya untuk keperluan pencarian dan pengambilan informasi dari sebuah pangkalan data melalui jaringan komputer yang menggunakan Transmission Control Protocol/Internet Protocol. Standar Z39.50 sejak awal menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem perpustakaan (ILS) yang tentu saja memiliki komponen pencarian dan pengambilan informasi (information search and retrieval). Dalam hal ini, Z39.50 juga menjadi bagian dari standar penyusunan pertanyaan atau permintaan (queries).







25



berkaitan dengan komersialisasi. Ketersediaan informasi yang berlimpahruah akhirnya juga menjadi objek komersial, dan mulai lah muncul pembatasanpembatasan akses bagi mereka yang tidak bersedia membayar. Dalam situasi seperti ini kepustakawanan dan pihak-pihak lain yang melihat komersialisasi akses ini sebagai penghabat mencanangkan apa yang kemudian dikenal sebagai gerakan akses terbuka (open access movement). Dalam bentuk skema, perkembangan penggunaan teknologi informasi dan digital di perpustakaan juga dapat disandingkan dengan perkembangan teknologi jaringan dan telekomunikasi seperti terlihat di gambar berikut:







26











27