8 0 292 KB
ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA TN. S DENGAN RINOSINUSITIS KRONIS DAN DEVIASI NASAL DENGAN TINDAKAN FESS (FUNCTIONAL ENDOSCOPIC SINUS SURGERY) DAN TEKNIK ANESTESI UMUM DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Praktik Klinik Keperawatan Anestesi II Prodi D-IV Keperawatan Semester Tujuh Pembimbing : Triyanto Puji Widodo, S.ST. & Ircham Saifudin, Am.An., S.Kep., Ns., MM.
Disusun oleh: Afifatu Rohmah
P07120215002
Erina Kurniawati
P07120215018
Nelya Rhomi Kasanah
P07120215027
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA JURUSAN KEPERAWATAN 2018
HALAMAN PENGESAHAN ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA TN. S DENGAN RINOSINUSITIS KRONIS DAN DEVIASI NASAL DENGAN TINDAKAN FESS DAN TEKNIK ANESTESI UMUM DI INSTALASI BEDAH SENTRAL RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
Diajukan untuk disetujui pada: Hari : Tanggal : Tempat : RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Mengetahui, Pembimbing Pendidikan,
Ns. Ircham Saifudin, Am.An S.Kep., MM NIP. 196605051989031014
Pembimbing Lapangan,
Triyanto Puji Widodo, S.ST NIP. 198012092005011012
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) menggunakan istilah rinosinusitis menggantikan sinusitis (Fokkens et al., 2007). Inflamasi sinus jarang terjadi tanpa inflamasi mukosa nasal saja, biasanya terjadi bersamaan dengan mukosa hidung karena letak yang berdekatan. Walaupun istilah yang saat ini digunakan ialah rinosinusitis, para ahli yang menetapkan bahwa istilah rinosinusitis maupun sinusitis dapat digunakan secara bergantian (Smeltzer, 2011). Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Konsensus Internasional 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo, 2012). Rinosinusitis kronik mempunyai prevalensi yang cukup tinggi. Diperkirakan sebanyak 13,4 - 25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan dengan rinosinusitis kronik atau akibatnya. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai 10%-30% populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikitnya pernah mengalami episode rinosinusitis semasa hidupnya dan sekitar 15% diperkirakan menderita rinosinusitis kronik. Dari Respiratory Surveillance program, diperoleh data demografik mengenai rinosinusitis paling banyak ditemukan secara berturut-turut pada etnis kulit putih, Amerika, Spanyol dan Asia (Bubun et al., 2009). Di Indonesia, dimana penyakit infeksi saluran napas akut masih merupakan penyakit utama di masyarakat. Berdasarkan prevalensi ISPA tahun 2016 di Indonesia telah mencapai 25% dengan rentang kejadian yaitu sekitar 17,5 % - 41,4 % dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di
atas angka nasional. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit (Riskedas, 2016). Pada kunjungan rawat jalan ke poli Rinologi RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2010, didapatkan kejadian rinosinusitis kronis sebesar 34,7% dan terbanyak terjadi pada usia antara 25-44 tahun (26,2%) diikuti usia antara 45-64 tahun (23,8%) serta lebih sering ditemukan pada wanita (60,7%) dibandingkan lakilaki (39,3%) (Budiman & Rosalinda, 2011). Penatalaksanaan rinosinusitis tergantung dari jenis,derajat serta lama penyakit masing-masing penderita. Pada RSA (Rinosinusitis Akut) terapi medikamentosa
(dekongestan,
antihistamin,
antibiotik,
kortikosteroid)
merupakan terapi utama, sedangkan pada RSK terapi bedah mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dari pada medikamentosa. Tindakan bedah bisa berupa irigasi sinus (antral lavage), nasal antrostomy, operasi Caldwell-Luc dan Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Pelayanan anestesi merupakan bagian integral dari pelayanan perioperatif yang memiliki pengaruh besar dalam menetukan keberhasilan tindakan pembedahan yang adekuat dan aman bagi pasien. Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian anestesi dihentikan (Majid,A., Judha, Istianah, U, 2011). Dari latar belakang yang terurai diatas penulis akan membahas mengenai penatalaksanaan asuhan keperawatan perianestesi pada pasien Rinosinusitis Kronis dengan teknik general anestesi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. B. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mendapatkan pengalaman yang nyata dalam memberikan asuhan keperawatan perianestesi mulai dari pre anestesi, intra atau durantee anestesi dan post anestesi pada pasien Rinosinusitis Kronis dengan teknik general anestesi. 2. Tujuan Khusus a. Memberikan gambaran mengenai pengkajian asuhan keperawatan perianestesi pada pasien Rinosinusitis Kronis dengan teknik general anestesi
b. Memberikan gambaran mengenai diagnosis keperawatan pada asuhan keperawatan perianestesi pada pasien Rinosinusitis Kronis dengan teknik general anestesi. c. Memberikan gambaran mengenai
perencanaan
keperawatan
perianestesi pada pasien Rinosinusitis Kronis dengan teknik general anestesi. d. Memberikan
gambaran
mengenai
implementasi
keperawatan
perianestesi pada pasien Rinosinusitis Kronis dengan teknik general anestesi. e. Memberikan gambaran mengenai evaluasi keperawatan perianestesi pada pasien Rinosinusitis Kronis dengan teknik general anestesi. C. Waktu dan Tempat Praktek Pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan perianestesi pada Tn. S dengan Rinosinusitis Kronis dengan teknik general anestesi dilakukan pada tanggal 12 Desember 2018 di Kamar Operasi 11 Instalasi Bedah Sentral RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori General Anestesi 1. Pengertian Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen menurut Mangku & Senapathi (2010) yaitu hipnotik (tidak sadarkan diri atau mati
ingatan), analgesia (bebas nyeri atau mati rasa) dan relaksasi otot (mati gerak). Ketiga target anesthesia tersebut popular disebut dengan “trias anestesi”. Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Pada tindakan anestesi umum terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah anestesi umum dengan teknik intravena anestesi dan anestesi umum dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau dengan teknik gabungan keduanya yaitu inhalasi dan intravena (Latief, 2007). 2. Indikasi Indikasi a. Infant dan anak usia muda b. Dewasa yang memilih anestesi umum c. Pembedahannya luas / ekstensif d. Penderita sakit mental e. Pembedahan lama f. Pembedahan dimana anestesi local tidak praktis atau tidak memuaskan g. Riwayat penderita toksik / alergi obat anestesi local h. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia dan bedah anak biasanya dikombinasikan dengan anestesi umum ringan 3. Kontra indikasi Kontra indikasi anestesi umum tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan dan harus hindarkan pemakaian obat pada: a. Hepar yaitu obat hepatoksik, dosis dikurangi atau obat yang toksis terhadap hepar atau dosis obat diturunkan. b. Jantung yaitu obat-obat yang mendepresi miokardium atau menurunkan aliran darah coroner
c. Ginjal yaitu obat yang diekskresi di ginjal d. Paru-paru yaitu obat yang merangsang sekresi paru e. Endokrin yaitu hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah / hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada diabetes karena bisa menyebabkan peninggian gula darah. 4. Teknik General anestesi menurut Mangku & Senapathi (2010) membagi anestesi menjadi 3 komponen yang disebut trias anestesi dengan teknik general anestesi antara lain: a. General anestesi intravena Merupakan salah satu teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung kedalam pembuluh darah vena. Obat induksi bolus disuntikkan dengan kecepatana
antara
30-60
detik.
Selama
induksi
anestesi
hemodinamik harus selalu diawasi dan diberikan oksigen. b. General anestesi inhalasi Merupakan salah satu teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Menurut Mangku & Senapathi (2010) ada beberapa teknik general anestesi inhalasi antara lain: 1) Inhalasi sungkup muka (face mask) Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang dipenuhi adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Teknik ini dilakukan pada operasi kecil dan sedang didaerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan posisi terlentang.
2) Inhalasi Sungkup Laryngeal Mask Airway (LMA) Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang dipenuhi adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Teknik ini dilakukan pada operasi kecil dan sedang didaerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan posisi terlentang. 3) Inhalasi pipa Endotracheal (PET) nafas spontan Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang dipenuhi adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Teknik ini dilakukan pada operasi didaerah kepala-leher dengan posisi terlentang, berlangsung singkat dan tidak memerlukan relaksasi otot yang maksimal. 4) Inhalasi pipa Endotracheal (PET) nafas kendali Inhalasi ini menggunakan obat pelumpuh otot non depolarisasi, selanjutnya dilakukan nafas kendali. Komponen anestesi yang dipenuhi adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot. Teknik ini digunakan pada operasi yang berlangsung lama > 1 jam (kraniotomi, torakotomi, laparotomy, operasi dengan posisi lateral dan pronasi). 5) Anestesi imbang Merupakan teknik anestesi dengan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi dengan anestesi regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang. 5. Komplikasi (Miller, 2010) a. Trauma pada jaringan lunak gigi dan mulut b. Hipertensi sistemik dan takikardi c. Aspirasi cairan lambung
d. Barotrauma paru e. Spasme laring f. Edema laring
B. Konsep Teori Rinosinusitis Kronis 1. Definisi Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan. Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. 2. Etiologi Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era pra-antibiotik rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum rinosinusitis kronis lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan tubuh
yang
tidak
bugar
dan
penyakit
umum
sistemik
perlu
dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis kronis. Perubahan dalam faktor-faktor lingkungan misalnya dingin, panas, kelembapan dan kekeringan. Demikian pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau dapat merupakan faktor predisposisi. Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap infeksi sebelumnya misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti rinitis alergika.
Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit rinosinusitis kronis berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda asing dan neoplasma. Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana virus adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti rinosinusitis, faringitis dan sinusitis akut. 3. Patofisiologi Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung dan pelapis sinus merupakan epitelium pernapasan. Patofisiologi dasar penyakit rinosinusitis kronis ini suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio meatus medius akibat reaksi radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap infeksi traktus respiratorius atas biasanya mengenai mukosa sinus karena epitel sinus merupakan epitelium kuboid bertingkat bersilia yang mirip dengan epitelium kolumner bertingkat bersilia pada hidung sehingga hal-hal yang terjadi di hidung biasanya terjadi pula di sinus-sinus. Hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superinfeksi bakterial yang kemudian bakteri tersebut dapat masuk melalui
ostium
menuju
ke
dalam
rongga-rongga
sinus
dan
berkembangbiak didalamnya. Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan maka akan terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena gangguan ventilasi maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen (Busquets, 2006; Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000; Wilma, 2007).
4. Manifestasi Klinis Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Yang merupakan kriteria mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa: a. Nyeri atau rasa tekan pada bagian wajah di daerah yang terkena merupakan ciri khas atau refered pain. Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Sedangkan pada sinusitis sfenoid nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. b. Gejala hidung dan nasofaring berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip). c. Gejala faring yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok. d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior sedangkan pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok. e. Hyposmia atau anosmia. f. Gejala mata oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
g. Gejala di saluran cerna oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (sering terjadi pada anak). C. Konsep Tindakan FESS 1. Definisi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan “mucociliary clearance” dalam sinus. Prinsipnya adalah membuang jaringan yang menghambat komplek osteomeatal dan memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal (PERHATI, 2006). BSEF merupakan operasi yang membutuhkan visualisasi yang baik dimana darah tidak menggenangi lapangan operasi dan darah tidak menutupi lensa endoskop mengingat sempitnya wilayah operasi. Perdarahan yang sedikit saat operasi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan operasi serta menghindari komplikasi yang membahayakan (PERHATI, 2006). Dengan alat endoskop maka mukosa yang sakit dan polip-polip yang menyumbat diangkat sedangkan mukosa sehat tetap dipertahankan agar transportasi mukosilier tetap berfungsi dengan baik sehingga terjadi peningkatan drenase dan ventilasi melalui ostiumostium sinus. Teknik bedah BSEF sampai saat ini dianggap sebagai terapi terkini untuk sinusitis kroniks dan bervariasi dari yang ringan yaitu hanya membuka drainase dan ventilasi kearah sinus maksilaris (BSEF mini) sampai kepada pembedahan lebih luasmembuka seluruh sinus (frontosfeno-etmoidektomi) (PERHATI, 2006). 2. Indikasi Indikasi umumnya adalah untuk rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang dan polip hidung yang tidak respon dengan terapi medikamentosa yang optimal. Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi dan perluasannya, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia.
Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, tumor dasar otak sebelah anterior, media bahkan posterior, dakriosistorinostomi, dekompresi orbita, dekompresi nervus optikus, kelainan kongenital (atresia koana) dan penanganan
epistaksis
termasuk
ligasi
arteri
sfenoplatina,
dan
sebagainya. 3. Kontraindikasi a. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester. b. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi). c. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan hemostasis yang tidak terkontrol oleh dokter spesialis yang sesuai. 4. Persiapan Pra Operasi Persiapan Kondisi Pasien : Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi atau udem, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan, demikian pula yang menderita asma dan lainnya. Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral hidung dan variasinya. Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus medius sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus medius, konka media paradoksikal dan lainnya. Sehingga operator
bisa
memprediksi
dan
mengantisipasi
kesulitan
dan
kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi. CT Scan. Gambar CT scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi
penyakit
dan
perluasannya
serta
mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah – daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intra kranial. Konka-konka,
meatus-meatus terutama meatus media beserta kompleks ostiomeatal dan variasi anatomi seperti kedalaman fossa olfaktorius, adanya sel Onodi, sel Haller dan lainnya perlu diketahui dan diidentifikasi, demikian pula lokasi a.etmoid anterior, n.optikus dan a.karotis interna penting diketahui. Gambar CT scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi. Untuk menilai tingkat keparahan inflamasi dapat
menggunakan
beberapa
adalah staging Lund-Mackay.
Sistem
sistem ini
gradasi
sangat
antaranya
sederhana
untuk
digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan.
Tabel 1. Lund-MacKay Radiologic Staging System Lokasi Sinus Maksila Etmoid Anterior Etmoid Posterior Sfenoid Frontal Kompl.Ostiomeatal
Gradasi*
*Gradasi radiologik dari 0-
Radiologik
2: Gradasi 0 = Tidak ada Kelainan Gradasi 1 = Opasifikasi
Gradasi 0 dan 2
parsial
saja
Gradasi 2 = Opasifikasi Kompliet
D. Konsep Asuhan Keperawatan Perianestesi dengan General Anestesi 1. Pre Anestesi Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan dilakukan tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi. Pengkajian pre anestesi meliputi : a. Identitas pasien b. Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi c. Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien,
d. Pemeriksaan sistem pernapasan (breathing), system kardiovaskuler (bleeding),sistem persyarafan (brain), system perkemihan dan eliminasi (bowel), sistem tulang, otot dan integument (bone). e. Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CTscan, USG, dll. f. Kelengkapan berkas informed consent. Analisa Data Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat menilai klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi pre anestesi. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre Anestesi a. Dx : Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan Tujuan : Cemas berkurang/hilang. Kriteria hasil : Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja
obat
anestesi/pembiusan. Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan. Pasien mengkomunikasikan perasaan negatif secara tepat. Pasien taampak tenang dan kooperatif. Tanda-tanda vital normal. Rencana tindakan : Kaji tingkat kecemasan. Orientasikan dengan tim anestesi/kamar operasi. Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan dilakukan. Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan. Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas. Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam. Kolaborasi untuk memberikan obat penenang. Evaluasi : Pasien mengatakan paham akan tindakan pembiusan atau anestesi. Pasien mengatakan siap dilakukan prosedur anestesi dan operasi. Pasien lebih tenang. Ekspresi wajah cerah. Pasien kooperatif ditandai tanda-tanda vital dalam batas normal. 2. Intra Anestesi Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra anestesi meliputi : a. Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi. b. Pelaksanaan anestesi
c. Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5 menit sampai 10 menit. Analisa Data Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi a. Dx : Pola napas tidak efektif b/d disfungsi neuromuscular dampak sekunder dari obat pelumpuh otot pernapasan dan obat general anestesi. Tujan : Pola napas pasien menadi efektif/normal. Kriteria hasil : Frekuensi napas normal. Irama napas sesuai yang diharapkan. Ekspansi dada simetris. Jalan napas pasien lancar tidak didapatkan adanya sumbatan. Tidak menggunakan obat tambahan. Tidak terjadi sianosis, saturai O2 96-100%. Rencana tindakan: Bersihkan secret pada jalan napas. Jaga patensi jalan napas. Pasang dan beri suplai oksigen yang adekuat. Monitor perfusi jaringan perifer. Monitor ritme, irama dan usaha respirasi. Monitor pola napas dan tanda-tanda hipoventiasi. Evaluasi : Pola napas efektif dan tidak ada tanda-tanda sianosis. Napas spontan, irama dan ritme teratur.
b. Dx : Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran Tidak akan terjadi aspirasi Kriteria hasil : Pasien mampu menelan. Bunyi paru bersih. Tonus otot yang adekuat. Rencana tindakan: Atur posisi pasien. Pantau tanda-tanda aspirasi Pantau tingkat kesadaran : reflek batuk, reflek muntah, kemampuan menelan.
Pantau bersihan jalan napas dan status paru. Kolaborasi dengan dokter. Evaluasi : Tidak ada muntah. Mampu menelan. Napas normal tidak ada suara paru tambahan. c. Dx : Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi umum. Tujuan : Pasien aman selama dan setelah pembedahan. Kriteria hasil : Selama operasi pasien tidak bangun/tenang. Pasien sadar setelah anestesi selesai. Kemampuan untuk melakukan gerakan yang bertujuan. Kemampuan untuk bergerak atau berkomunikasi. Pasien aman tidak jatuh Rencana tindakan: Atur posisi pasien, tingkatkan keamanan bila perlu gunakan tali pengikat. Jaga posisi pasien imobile. Atur tmeja operasi atau tubuh pasien untuk meningkatkan fungsi fisiologis dan psikologis. Cegah resiko injuri jatuh. Pasang pengaman tempat tidur ketika melakukan transportasi pasien. Pantau penggunaan obat anestesi dan efek yang timbul. Evaluasi : Pasien aman selama dan setelah pembiusan. Pasien nyaman selama pembiusan, tanda-tanda vital stabil. Pasien aman tidak jatuh. Skor aldert pasien ≥ 9 untuk bisa dipindahkan ke ruang rawat. 3. Post Anestesi Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan tindakan pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Pengkajian Post anestesi meliputi : a. Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital. b. Status respirasi dan bersihan jalan napas. c. Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan skala Bromage (untuk anestesi regional) d. Instruksi post operasi. Analisa Data Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan dan Evaluasi Post Anestesi
a) Dx : Gangguan rasa nyaman mual muntah b/d pengaruh sekunder obat anestesi Tujuan : Mual muntah berkurang. Kriteria hasil : Pasien menyatakan mual berkurang. Pasien tidak muntah. Pasien menyatakan bebas dari mual dan pusing. Hemodinamik stabil dan akral kulit hangat. Rencana tindakan: Atur posisi pasien dan tingkatkan keseimbangan cairan. Pantau tanda vital dan gejala mual muntah. Pantau turgor kulit. Pantau masukan dan keluaran cairan. Kolaborasi dengan dokter. Evaluasi : Perasaan pasien lega, tidak pusing dan terbebas dari rasa mual. Akral kulit hangat tidak pucat/sianosis. Nadi teratur dan kuat Status hemodinamik stabil. b) Dx: Nyeri akut b/d agen cidera fisik (operasi) Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang Kriteria hasil : a) Pasien menyatakan nyeri berkurang atau hilang. b) Pasien mampu istirahat. c) Ekspresi wajah tenang dan nyaman. Rencana tindakan: Kaji drajat, lokasi, durasi, frekuensi dan karakteristik nyeri. Gunakan tehnik komunikasi terapeutik. Ajarkan tehnik relaksasi. Kolaborasi dengan dokter. Evaluasi : Rasa nyeri berkurang atau hilang. Hemodinamik normal. Pasien bisa istirahat dan ekspresi wajah tenang. d) Dx : Bersihan jalan napas tidak efektif b/d mukus banyak, sekresi tertahan efek dari general anestesi. Tujuan : bersihan jalan napas pasien efektif. Kriteria hasil : Pola napas normal : frekuensi dan kedalaman, irama. Suara napas bersih. Tidak sianosis. Rencana tindakan: Atur posisi pasien. Pantau tanda-tanda ketidak efektifan dan pola napas. Ajarkan dan anjurkan batuk efektif. Pantau respirasi dan status oksigenasi. Buka jalan napas dan bersihkan sekresi.
Beri oksigenasi dan ajarkan napas dalam. Auskultasi suara napas dan pantau status oksigenasi dan hemodinamik. Evaluasi : Jalan napas efektif. Napas pasien spontan dan teratur. Tidak ada tanda-tanda sianosis. Status hemodinamik pasien stabil.
BAB III PROSES KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
A. Pengkajian Hari/tanggal : Rabu, 12 Desember 2018 Jam : 09.25 WIB Tempat : OK 11 IBS RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, studi dokumen Sumber data : Klien, keluarga, tim kesehatan, status kesehatan klien Oleh : Afi, Erina, Nelya
Rencana tindakan : Septoplasty dan Etmoidektomi 1. Identitas a. Pasien Nama Umur Agama Status Perkawinan Alamat Pendidikan Pekerjaan Diagnosa medis Berat Badan Tinggi Badan No. Rekam Medis Dokter Bedah Dokter Anestesi b. Penanggungjawab Nama Umur Alamat Pekerjaan Hub dengan Pasien
: Tn. S : 65 tahun : Islam : Kawin : Klirong, Kebumen : SMA :: Rinosinusitis Kronis, Deviasi Nasal : 55 kg : 160 cm : 0206xxx : dr. Bagus Condro P., Sp. THT – KL : dr. Hermin Prihatini, Sp.An., KIC. : Tn. A : 30 tahun : Klirong, Kebumen : PNS : Anak kandung
PENGKAJIAN PRE ANESTESI 1. Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama Pasien mengatakan merasa takut akan dilakukan tindakan operasi dan ini merupakan operasi yang kedua kalinya. Sehari sebelum operasi pasien sudah merasa cemas. b. Riwayat Kesehatan Sekarang Tanggal 28 Agustus 2018 pasien mengatakan hidung terasa mampat, nafas terengah-engah dan bernafas seperti tidak lapang, kemudian pasien periksa di RSUD Kebumen dan diagnosis sinusitis / polip hidung, pasien rawat jalan dengan terapi obat tetes hidung dan antibiotik. Pasien mengalami pengobatan selama 3 bulan, namun tak kunjung membaik, kemudian pasien dirujuk ke poli THT RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada bulan 08
Desember 2018. Dari hasil pemeriksaan oleh dokter spesialis THT dan bacaan hasil CT-Scan (dilakukan di RSUD Kebumen) didapatkan diagnosis medis Rinosinusitis Kronis dan Deviasi Nasal dan akan direncanakan operasi septoplasty dan etmoidektomi pada tanggal 12 Desember 2018. Instruksi dari dokter spesialis THT adalah mulai rawat inap tanggal 11 Desember 2018, diit TKTP, hindari dingin, hindari mengorek telinga/hidung dan hindari kemasukan air. Tanggal 11 Desember 2018 pasien rawat inap di ruang Teratai RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pasien mengatakan memiliki penyakit asma, didapatkan sekitar 9 tahun yang lalu dan tidak mengkonsumsi obat secara rutin, pasien mengatakan alergi terhadap udara dingin. Tanggal 12 Desember 2018 pukul 09.25 WIB pasien tiba di ruang penerimaan Instalasi Bedah Sentral Lantai III RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
c. Riwayat Kesehatan Terdahulu Pasien mengatakan sekitar 1,5 tahun yang lalu pernah menjalani operasi di prostat karena prostat yang membesar di RSUD Kebumen. Dan pasien memiliki riwayat penyakit asma namun jarang kambuh dan kambuh nya musiman, biasanya jika cuaca hujan atau berhawa dingin. Pasien dan keluarga mengatakan pasien tidak memiliki penyakit yang butuh perawatan khusus seperti DM, hipertensi, gangguan jantung maupun penyakit keganasan. d. Riwayat Kesehatan Keluarga Pasien dan keluarga mengatakan didalam keluarga nya terdapat riwayat penyakit asma yang berasal dari orangtua pasien. Yang saat ini menderita asma adalah pasien dan kedua adiknya. Pasien dan keluarga mengatakan didalam keluarganya tidak ada yang memiliki penyakit yang butuh perawatan khusus seperti DM, hipertensi, gangguan jantung maupun penyakit keganasan. e. Penyakit Penyerta
Pasien dan keluarga mengatakan pasien memiliki penyakit asma, tetapi jarang kambuh, biasanya kambuh 1 tahun 2 – 3 kali, pencetus kambuhnya asma adalah hawa dingin dan jika kondisi badan tidak fit. Gejala saat asma kambuh adalah batuk yang tak kunjung membaik (seharian) dan diikuti sesak nafas. Biasanya digunakan
untuk
istrahat
asma
membaik.
Jika
kambuh
mengkonsumsi obat seretide hisap pagi dan sore. Terakhir kambuh setengah tahun yang lalu, penanganan nya dengan konsumsi obat seretide dan menggunakan inhaler. 2. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum: Baik b. Kesadaran : Compos mentis (E4,V5,M6) c. Berat Badan : 55 kg d. Tanda Vital : TD: 140/90 mmHg N: 97 x/mnt RR :16 x/mnt Suhu : 36,8 o C e. Alergi : hawa dingin f. Obat yang dikonsumsi : seretide 2 x 250 mcg g. Pemeriksaan Head to Toe 1) Kepala Bentuk kepala mesochepal, tidak ada lesi di daerah kepala, kulit rambut bersih 2) Mata Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, palpebra tidak ada oedema, tidak menggunakan lensa kontak 3) Telinga Telinga tidak ada serumen, weber : tidak ada lateralisasi, swabach : sama dengan pemeriksa. 4) Hidung Terdapat deviasi tulang hidung, terdapat oedema konka, tidak ada hiperemis, terdapat nyeri tekan 5) Mulut Pengkajian kesulitan intubasi : Mallampati 1, mulut bersih, tidak ada sariawan, bibir tidak sianosis, mukosa bibir kering, tidak menggunakan gigi palsu, tidak ada kawat gigi 6) Wajah Warna kulit putih, tidak ada deformitas dan krepitasi pada tulang wajah, tidak ada lesi
7) Leher Leher simetris, tidak ada deviasi trachea, tidak ada perbesaran kelenjar getah bening, orofaring tidak hiperemis
8) Dada (Paru-paru) Inspeksi : bentuk dada normochest, ekspansi dada simetris, tidak ada lesi di dada, tidak ada retraksi dada, tipe pernafasan thorakoabdominal Palpasi : taktil fremitus normal Perkusi : timbul suara sonor Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan 9) Dada (Jantung) Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : letak ictus cordis pada spatium intercostal IV medial linea midklavikula sinistra, kekuatan ictus cordis tidak kuat angkat Perkusi : batas jantung normal Kanan atas : SIC II Linea para sternalis dextra Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis sinistra Kiri atas : SIC II linea para sternalis sinistra Kiri bawah : SIC IV linea medio clavicularis sinistra Auskultasi : BJ I – II normal, bunyi jantung reguler 10) Abdomen Inspeksi : tidak ada lesi, bentuk abdomen rata (tidak buncit) Auskultasi : bising usus 12 kali permenit Perkusi : timbul suara timpani di semua kuadran Palpasi : otot perut supel di keempat kuadran, hepar tak teraba, tidak ada nyeri tekan disemua kuadran 11) Urogenetalia Daerah urogenitalia tidak distensi Genetalia bersih, tidak ada lesi, tidak terpasang kateter. 12) Ekstremitas a) Atas Pada tangan kanan terpasang infuse RL 40 tpm, CRT < 2 detik, kuku tidak sianosis, akral hangat b) Bawah CRT < 2 detik, kuku tidak sianosis, akral hangat c) Kekuatan otot
Kanan
5
5
5
5
Kiri
3. Pemeriksaan Psikologis Pasien mengatakan takut dan cemas mau dilakukan tindakan operasi walaupun dahulu mempunyai riwayat operasi di prostat. Pasien nampak berdzikir di ruang penerimaan. Pasien menanyakan saat operasi sadar atau tidak dan sakit atau tidak. 4. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium 1) Darah rutin Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Leukosit Hematokrit Eritrosit Trombosit Index Eritrosit MCV MCH
Hasil 13,1 8670 40 4,5 356.000 87,8 29,1
MCHC 33,2 Hitung Jenis Leukosit Basofil 0,7 Eosinofil 2,2 Batang 0,2 Segmen 57,7 Limfosit 31,7 Monosit 7,5 Faktor Pembeku Darah PTT 10,3 APTT 32,7 Faal Hati SGOT 15 SGPT 22 Faal Ginjal Ureum darah 16,50 Creatinin darah 1,00 Karbohidrat Glukosa sewaktu 116 Hbs Ag
Non
Satua n g/dL u/L % 10^6 / uL /uL fL pg/cel l %
Nilai Normal 11,2 – 17,3 3900 – 10000 40 – 52 4,4 - 5,9 150.000 – 440.000 80 – 100 26 – 34 32 – 36
% % % % % %
0–1 2–4 3–5 50 – 70 25 – 40 2–8
Det Det
9,9 – 11,8 26,4 – 37,5
u/L u/L
15 – 37 16 – 63
mg/dL mg/dL
14,90 – 38,52 0,70 – 1,30
mg/dL
50% dari Prabedah Kesadaran : Sadar baik dan orientasi baik Sadar setelah dipanggil Tak ada tanggapan terhadap Rangsangan Warna kulit : Kemerahan Pucat agak suram Sianosis Total
3
4
5
1 0 2
1 0
2 1
8
9
10
0 2 1 0
ANALISIS DATA No
Tgl /
Jam Pre Anestesi 1 12-122018 09.25
Data DS:
Masalah
Etiologi
Cemas
Kurang
Pasien mengatakan takut
pengetahuan
dan cemas mau dilakukan
tentang
tindakan operasi walaupun
pembiusan
dahulu
mempunyai
riwayat operasi di prostat. Pasien nampak berdzikir di
ruang
penerimaan.
Pasien menanyakan saat operasi sadar atau tidak dan sakit atau tidak. DO: TD: 140/90 mmHg, N: 97 x/mnt, RR :16 x/mnt, Suhu : 36,8 o C, SaO2 : 100 % Intra Anestesi 2 12-122018 09.50
DS: Pola nafas Disfungsi DO: tidak efektif neuromuscula Tanda vital : TD = r dampak 140/63 mmHg, N = 80 sekunder obat x/menit, SaO2 = 100% pelumpuh otot Pasien apnea Pemberian obat musle pernafasan relaxant
(rucoronium
30mg IV) 3
12-122018 11.00
DS: DO: Selama durantee anestesi
Resiko syok
Dampak
kardiogenik
sekunder dari obat anestesi
nadi antara 58 – 60 x
umum
/menit Tekanan darah antara 100 – 90 / 70-60 mmHg
4
12-122018 11.40
durantee anestesi Akral dingin DS: DO: Terdengar suara gurgling Terdapat banyak mukus
Bersihan
Hipersekresi,
jalan nafas
sekresi
tidak efektif
tertahan efek dari general
di mulut pasien Adanya riwayat penyakit
anestesi
asma Post Anestesi 5 12-122018 11.45
DS: DO : Pasien bergerak tak
Resiko
Efek anestesi
cedera
umum
terkontrol (mulai sadar atau bangun) Kesadaran pasien : respon panggil
B. Diagnosis Keperawatan Pre Anestesi 1. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pembiusan ditandai dengan pasien mengatakan takut dan cemas mau dilakukan tindakan operasi walaupun dahulu mempunyai riwayat operasi di prostat. Pasien nampak berdzikir di ruang penerimaan. Pasien menanyakan saat operasi sadar atau tidak dan sakit atau tidak, TD: 140/90 mmHg, N: 97 x/mnt, RR :16 x/mnt, Suhu : 36,8 o C, SaO2 : 100 %. Intra Anestesi 2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular dampak sekunder obat pelumpuh otot pernafasan ditandai dengan tanda vital : TD = 140/63 mmHg, N = 80 x/menit, SaO2 = 100%, pasien apnea, pemberian obat musle relaxant (rucoronium 30mg IV). 3. Resiko syok kardiogenik berhubungan dengan dampak sekunder dari obat anestesi umum ditandai dengan selama durantee anestesi nadi antara 58 – 60 x /menit, tekanan darah antara 100 – 90 / 70-60 mmHg dan akral dingin. 4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi, sekresi tertahan efek dari general anestesi ditandai dengan terdengar suara gurgling, terdapat banyak mukus di mulut pasien, dan adanya riwayat penyakit asma Post Anestesi
5. Resiko cedera berhubungan dengan efek anestesi umum ditandai dengan pasien bergerak tak terkontrol (mulai sadar atau bangun) dan kesadaran pasien : respon panggil
C. Perencanaan Keperawatan Hari, tanggal : Rabu, 12 Desember 2018 No Diagnosis Pre Anestesi 1 Jam 09.30 WIB
Tujuan Setelah
Intervensi
dilakukan
tindakan
Cemas
keperawatan selama 15 menit
berhubungan
di
dengan
pembiusan
persiapan,
kurang berkurang/hilang
pengetahuan tentang
ruang
menyebutkan
dengan
b. Orientasikan dengan tim
karena
kooperatif Tanda-tanda vital dalam batas normal (TD 140-90 / 80-60, N : 60-100 kpm,
c. Jelasakan jenis tindakan anestesi
yang
akan
dilakukan d. Damping pasien dalam mengurangi rasa cemas
tingkat
kecemasan
dapat
menentukan
tindakan keperawatan selanjutnya b. Pengenalan akan tim dan mengurangi
jenis
pembiusan Pasien tampak tenang dan
dan
lingkungan
mampu
dilakukan
a. Mengetahui pasien
kamar operasi
pembiusan yang dilakukan Pasien menyatakan siap untuk
a. Kaji tingkat kecemasan
cemas
kriteria : Pasien
Rasional
akan
operasi
mampu
kecemasan saling
pasien menjalin
komunikasi c. Pengetahuan yang cukup tentang tindakan pembiusan mengurangi kecemasan pasien d. Pendampingan kepada
pasien
meningkatkan rasa nyaman dan e. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam Nelya
aman e. Teknik
relaksasi
nafas
dalam
mampu menenangkan fikiran dan membuat pasien tidak cemas
RR : 10 – 20 kpm) Intra Anestesi 2 Jam 09.50
Selama
dilakukan
Pola nafas tidak keperawatan
Nelya tindakan
intra
anestesi,
efektif
pasien menunjukkan pola nafas
berhubungan
efektif dengan kriteria :
dengan disfungsi neuromuscular dampak sekunder obat
pelumpuh
otot pernafasan
a. Mempertahankan
b. Pasang ETT kingking
supplay oksigen b. ETT mampu menjaga patensi jalan
c. Pasang dan beri suplai
Irama nafas teratur Frekuensi nafas normal (10 – 20 x/menit) Jalan nafas pasien lancar Auskultasi bunyi paru : vesikuler Tidak terjadi
a. Jaga patensi jalan nafas
sianosis,
oksigen yang adekuat d. Monitor perfunsi jaringa perifer e. Monitor ritme, irama dan usaha respirasi f. Monitor tidal volume Nelya
Jam 11.05 WIB Resiko
Setelah
dilakukan
syok keperawatan
tindakan
selama
intra
kardiogenik
anestesi, pompa jantung dan
berhubungan
sirulasi efektif dengan criteria :
dengan sekunder
dampak Tekanan darah sistolik dan dari
kebutuhan
oksigen
paru-paru d. Keadekuatan supplay oksigen ke jaringan perifer e. Ritme, irama dan usaha respirasi merupakan keadekuatan pernafasan f. Menegtahui ketercapaian tidal volume dan untuk menentukan
saturasi : 96-100 % 3
nafas c. Memenuhi
keadekuatan
diastolic dalam batas normal
intervensi keperawatan selanjutnya Nelya a. Monitor tekanan darah a. Mengetahui perubahan dan nadi b. Monitor adanya sianosis
haemodinamik b. Sianosis merupakan
c. Monitor
kekurangan oksigen c. Status pernafasan yang
status
pernafasan d. Berikan
oksigen
tanda adekuat
menunjukkan masukan oksigen yang (3-5
cukup
obat
anestesi
umum
(sistol : 140 – 90 mmHg, diastolic : 60-90 mmHg) Denyut jantung normal : 60 – 100 x / menit Denyut nadi perifer kuat dan teratur
4
Jam 11.40 WIB Bersihan
Setelah
dilakukan
tindakan
selama
intra
nafas tidak efektif anestesi, bersihan jalan nafas menjadi
dengan
kriteria :
hipersekresi, sekresi
tertahan
efek dari general anestesi
Pola
d. Memenuhi kebutuhan oksigen cairan
e. Keadaan
kebutuhan f. Kolaborasi obat
sesuai
pemberian
vasopresor
jika
efektif
a. Atur
normovolemik,
tekanan
darah dan nadi dalam batas normal f. Obat vasopresor dapat meningkatkan tekanan darah dan nadi
dibutuhkan
jalan keperawatan
berhubungan
lpm) e. Berikan
posisi
Afi pasien
dengan kepala ekstensi
Afi a. Posisi ekstensi dapat mempatenkan jalan nafas sehingga tidak terjadi sianosis b. Memudahkan
b. Buka jalan nafas
dengan
pasien
untuk
mengambil nafas ruangan sehingga nafas
frekuensi,
normal
:
kedalaman,
irama Jalan nafas paten Suara nafas bersih Tidak sianosis
c. Pantau
tanda-tanda
ketidakefektifan
jalan
nafas d. Bersihakan
pasien tidak gelisah c. Adanya mucus didalam saluran pernafasan
dapat
mengganggu
jalannya nafas pasien sehingga sekresi
mukus
menyebabkan desaturasi d. Tindakan suction
dapat
mengurangi jumlah mucus dalam e. Ingatkan pasien untuk nafas dalam
saluran pernafasa sehingga jalan nafas menjadi paten e. Nafas dalam
mampu
Afi
memaksimalkan sehingga
ekspansi
oksigen
dadi dapat
terdistribusikan ke seluruh jaringan tubuh Afi Post Anestesi 5 Jam 11.45 WIB Resiko
dilakukan
cedera keperawatan
berhubungan dengan
Setelah
tindakan
selama
post
ansetesi, pasien aman dengan
a. Tingkatkan
keamanan a. Dengan
pasien
Pasien
sadar
yang tidak diinginkan b. Pasien imobil mampu mengurangi
b. Jaga posisi imobil
kejadian cedera pada pasien karena
setelah
anestesi selesai (AS >= 8) Kemampuan pasien untuk melakukan gerakan yang bertujuan / tidak gelisah Kemampuan pasien untuk berkomunikasi Pasien aman tidak jatuh
keamanan
pasien dapat mencegah kejadian
efek kriteria:
anestesi umum
meningkatkan
c. Cegah
resiko
jatuh
dalam kondisi tidak bisa bergerak
pengaman
dan selalu dalam pengawasan c. Memasang pengaman tempat tidur
tempat tidur) d. Pantau penggunaan obat
supaya jika pasien gelisah tidak
anestesi dan efek yang
terjadi jatuh d. Obat-obatan anestesi menimbulkan
(memasang
timbul e. Ajak
pasien
untuk
berkomunikasi Erina
efek
gelisah
sehingga
perlu
pengawasan ketat e. Komunikasi mampu membangitkan orientasi pasien Erina
D. Implentasi dan Evaluasi Tanggal : Rabu, 12 Desember 2018 Diagnosis Keperawatan Pre Anestesi Cemas berhubungan dengan
kurang
pengetahuan tentang pembiusan
Waktu 09.25 09.25 09.25 09.30
Implementasi
Evaluasi
a. Mengkaji tingkat kecemasan Jam 09.45 WIB b. Menjelasakan jenis tindakan S : Pasien mampu menyebutkan jenis pembiusan dan anestesi yang akan dilakukan c. Mendamping pasien dalam mengatakan lebih tenang sehingga siap untuk mengurangi rasa cemas menjalani operasi d. Mengajarkan teknik relaksasi O : TD : 134/74 mmHg, N : 82 kpm, SaO2 : 100%, nafas dalam Nelya pasien nampak kooperatif A : cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pembiusan teratasi, pasien siap dilakukan pembiusan P: Pindahkan pasien dari ruang penerimaan ke
meja operasi Lanjutkan intervensi pendampingan pasien di meja operasi Nelya Intra Anestesi Pola nafas tidak efektif
09.50 09.50 09.50
berhubungan dengan disfungsi neuromuscular
09.50 – 11.45
dampak sekunder obat
pelumpuh
otot pernafasan
a. Menjaga patensi jalan nafas Jam 11.45 WIB b. Memasang ETT kingking S:c. Memasang dan beri suplai O : Pasien terintubasi dengan ETT kingking no 7,5 oksigen yang adekuat d. Memonitor perfusi jaringan dengan isi cuff 20 mmHg, O2 2 lpm, nafas spontan perifer teratur, tidak ada sianonis, CRT < 2 detik, monitoring e. Memonitor ritme, irama dan tanda-tanda vital terlampir usaha respirasi A : gangguan pola nafas teratasi f. Memonitor tidal volume P: Nelya Lanjutkan intervensi jaga patensi jalan nafas sampai pasien tiba di recovery room
Resiko
syok
kardiogenik
11.45
berhubungan dengan sekunder obat
09.45 –
dampak dari anestesi
Nelya a. Memonitor tekanan darah dan Jam 11.45 WIB S:nadi O: b. Memonitor adanya sianosis Tidak ada sianosis, nafas spontan, O2 2 lpm, cairan c. Memonitor status pernafasan d. Memberikan cairan sesuai kristaloid masuk 1100 cc dan koloid 500 cc, kebutuhan Afi
monitoring haemodinamik terlampir A: resiko syok kardiogenik teratasi P:
Monitoring hemodinamik
umum
Afi Bersihan
jalan
11.40 –
nafas
tidak
11.45
efektif berhubungan dengan
11.55
hipersekresi, sekresi
tertahan
11.40
efek dari general anestesi
Post Anestesi Resiko cedera berhubungan dengan
11.45 – 12.15
efek
anestesi umum
a. Mengatur posisi pasien dengan Jam 12.00 WIB (di RR) S: kepala ekstensi Pasien mengatakan mau melakukan nafas dalam b. Membuka jalan nafas O : mulut bersih, tidak ada mukus, jalan nafas paten, c. Memantau tanda-tanda pasien, pasien mampu membuka mata dan ketidakefektifan jalan nafas d. Membersihakan sekresi mukus berkomunikasi, monitoring haemodinamik terlampir e. Meningatkan pasien untuk nafas A : bersihan jalan nafas tidak efektif teratasi P: dalam Monitoring jalan nafas dan adanya sekresi yang f. Memberikan dexamethason 5mg tertahan melalui IV Afi Afi
a. Meningkatkan keamanan pasien Jam 12.15 WIB b. Menjaga posisi imobil S: c. Memasang pengaman tempat Pasien bertanya apakah operasi nya sudah dilakukan tidur d. Memantau
atau belum obat O : Pasien mampu berkomunikasi, dapat berorientasi anestesi dan efek yang timbul e. Mengajak pasien untuk tempat dan orang, pasien mampu melakukan gerakan penggunaan
berkomunikasi
yang Erina
bertujuan,
aldrete
skor
10,
monitoring
haemodinamik di RR terlampir A : resiko cedera karena efek anestesi umum teratasi sebagian P: Pertahankan pengaman tempat tidur tepasang Jalin komunikasi dengan pasien Pindahkan pasien ke ruangan Erina
ANALISIS JURNAL
Menururt jurnal (Astuti W, Mahmud, Bambang S, 2014) yang berjudul “Anestesi pada Ovum Pick Up (OPU)” berisi tentang laporan kasus seorang perempuan 37 tahun terdiagnosa infertil primer. Prosedur yang akan dilakukan adalah Ovum Pick Up (OPU). Status fisik ASA II karena asma.Dilakukan anestesi dengan GA TIVA. Premedikasi yang diberikan untuk menanggulangi penyakit penyerta asma adalah pemberian dexamethasone 10mg / IV dikarenakan dexamethasone mampu menstabilkan sel mast (menstabilkan adanya reaksi hipersensitivitas dari obat-obatan anestesi yang mampu mencetuskan asma) dan di jurnal tersebut dikatakan pentingnya kunjungan pre anestesi untuk mengevaluasi kesiapaan kondisi fisik dan psikis pasien operasi dengan asma. Pada kasus Tn.S dengan diagnosis medis Rinosinusitis Kronis dan adanya riwayat asma yang didapatkan di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, prosedur yang dilakukan hampir sama dengan penanganan asma pada jurnal tersebut, dengan melakukan kunjungan pre anestesi dan didapatkan data objektif kondisi Tn.S dan seputar kekambuhan asmanya. Premedikasi yang diberikan dexamethasone 5 mg/ IV dan pada saat ekstubasi juga diberikan dexamethasone 5 mg /IV sebagai
upaya menurunkan
bronkospasme laring.
reaksi hipersentivitas
dan reaksi
KESIMPULAN
Dari kasus Tn. S dengan diagnosis medis Rinosinusitis Kronis dan Deviasi Nasal yang dilakukan tindakan septoplasty dan etmoidektomi (tindakan FESS / Functional Endoscopic Sinus Surgery) dengan teknik anestesi umum didapatkan 5 masalah keperawatan yaitu : Pre Anestesi 1. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pembiusan ditandai dengan pasien mengatakan takut dan cemas mau dilakukan tindakan operasi walaupun dahulu mempunyai riwayat operasi di prostat. Pasien nampak berdzikir di ruang penerimaan. Pasien menanyakan saat operasi sadar atau tidak dan sakit atau tidak, TD: 140/90 mmHg, N: 97 x/mnt, RR :16 x/mnt, Suhu : 36,8 o C, SaO2 : 100 %. Intra Anestesi 2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular dampak sekunder obat pelumpuh otot pernafasan ditandai dengan tanda vital : TD = 140/63 mmHg, N = 80 x/menit, SaO2 = 100%, pasien apnea, pemberian obat musle relaxant (rucoronium 30mg IV). 3. Resiko syok kardiogenik berhubungan dengan dampak sekunder dari obat anestesi umum ditandai dengan selama durantee anestesi nadi antara 58 – 60 x /menit, tekanan darah antara 100 – 90 / 70-60 mmHg dan akral dingin. 4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi, sekresi tertahan efek dari general anestesi ditandai dengan terdengar suara gurgling, terdapat banyak mukus di mulut pasien, dan adanya riwayat penyakit asma Post Anestesi 5. Resiko cedera berhubungan dengan efek anestesi umum ditandai dengan pasien bergerak tak terkontrol (mulai sadar atau bangun) dan kesadaran pasien : respon panggil Dari kelima masalah keperawatan tersebut masalah 1 – 4 sudah teratasi, dan masalah ke 5 masih memerlukan pengawasan yang ketat hingga 3 jam setelah keluar dari recovery room karena obat-obatan anestesi belum semuanya tereksresikan.
Pasien operasi dengan penyakit penyerta asma memerlukan perhatian khusus terutama dalam rangka kekambuhan asma selama pelayanan peri anestesi. Kunjungan pre anestesi penting dilakukan sebagai upaya preventif dan pemberian premedikasi mampu menekan kekambuhan asma intra dan post anestesi. Premedikasi yang diberikan pada kasus ini adalah dexamethasone 5 mg IV dikarenakan jenis asma pasien adalah asma intermitten (jarang kambuh) dan juga disediakan obat-obatan emergency yaitu aminophyline. Pemilihan obat-obatan yang antihistamin realese juga penting diperhatikan pada pasien asma. Pemilihan teknik anestesi menggunakan teknik intubasi ETT kinkin dikarenakan tindakan yang dilakukan operator berupa FESS yang berada di area hidung (wajah) sehingga tidak memungkinkan untuk tidak dilakukan manipulasi jalan nafas. Memanipulasi jalan nafas dipilih dengan pertimbangan prosedur operatif berada di hidung dan kondisi pasien dalam keadaan tidak kambuh dibuktikan tidak adanya serangan (batuk-batuk, sesak nafas, suara wheezing) serta pasien sudah diterapi dengan seretide 2 x 250 mcg hisap pagi dan sore. Endotrakeal tube yang dipilih adalah jenis kinkin dikarenakan operasi hanya berada diseputar hidung dan tidak sampai ke arah nasopharing (berdasarkan hasil CT scan, tidak ada massa di nasopharing), jadi tidak ada tindakan diseputar mulut. Dengan ETT kinkin diharapkan sudah cukup mampu mempertahankan patensi jalan nafas pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti W, Mahmud, Bambang S, (2014). Anestesi pada Ovum Pick Up (OPU). UGM : Jurnal Komplikasi Anestesi Volume 2 Nomor 1 (diunduh tanggal 13 Desember 2018 melalui http://anestesi.fk.ugm.ac.id/jka.ugm/download-file312101.pdf) Bubun J, Azis A, Akil A, Perkasa F. (2009). Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor LundMackay. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar: 2-10 Budiman, B.J. & Rosalinda, R. (2014). Bedah sinus endoskopi fungsional revisi pada rinosinusitis kronis. Repository Universitas Andalas, diakses pada tanggal 16 Desember 2018 melalui http:// repository.unand.ac.id/id/eprint/18398. Majid, A., Judha, M., Istianah, U. (2011). Keperawatan Perioperatif, Yogyakarta : Gosyen Publishing, Mangku, G. dan Senapathi, I.G.A. (2010). Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi. Indeks Jakarta, Jakarta. 42-45, 60-63. Mangunkusumo. (2012). Sinus paranasal, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Morgan, G Edward, S Mikhail. (2009). Clinical Anesthesiology. New York: MC Graw Hill PERHATI. (2006). Functional Endscopic Sinus Surgery di Indonesia. HTA Indonesia, Departemen Kesehatan, Jakarta P. 1-52 Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G. (2011). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2) Alih bahasa oleh Agung Waluyo. EGC : Jakarta