Askep Keluarga Krisis Dan KDRT [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA DENGAN MASALAH POTENSIAL KRISIS DAN KDRT Oleh: Elida Ulfiana, S.Kep., Ns., M.Kep 2019



Definisi keluarga Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2016) mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Puspitawati (2012) mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi. Keluarga dipahami sebagai kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi. Definisi tersebut menunjukkan bahwa keluarga mensyaratkan adanya hubungan perkawinan, hubungan darah, maupun adopsi sebagai pengikat. Seluruh anggota keluarga juga harus tinggal bersama-sama di bawah satu atap. Selain itu, kepala keluarga dalam definisi ini selalu mengacu kepada suami atau ayah. Keluarga merupakan kesatuan interaksi dan komunikasi yang terlihat dari keterlibatan semua orang dalam memainkan peran, baik itu sebagai suami dan istri, orang tua dan anak, maupun anak dan saudara. Dari proses interaksi dan komunikasi tersebut, keluarga diharapkan dapat berperan penting dalam mempertahankan suatu kebudayaan bersama, sebagaimana juga dinyatakan dalam UU No. 1 Tahun 1974. (Sumber: Amorisa Wiratri. 2018. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vol. 13 No. 1. Juni 2018. Hal. 15-26) Definisi Krisis Keluarga Krisis keluarga artinya kehidupan keluarga dalam keadaan kacau, tidak teratur, tidak terarah, orang tua kehilangan kewibawaan untuk mengendalikan anak-anaknya terutama remaja, mereka melawan orang tua, dan terjadi pertengkaran terus-menerus antara ibu dengan bapak terutama mengenai soal pendidikan anak-anak (Willis:2013:13). Bahkan keluarga krisis bisa membawa pada perceraian suami-istri. Dengan kata lain krisis adalah suatu konsidisi yang sangat labil dikeluarga, dimana komunikasi dua arah dalam kondisi demokratis sudah tidak ada. (Sumber: Willis,S.Sofyan. Konseling Keluarga. Bandung : Alfabeta, 2013)



Faktor-Faktor yang Menyebabkan Krisis Keluarga a. Kesibukan anggota keluarga b. Sifat egosentris c. Masalah ekonomi (Sumber: http://repository.fkip.unja.ac.id/file?i=-befpDsgLwzMmI0fM6DAdOVNMDdpHhYwFRVKURh4ng) Macam-macam Krisis Keluarga Menurut Suparyanto (2013) macam-macam krisis keluarga antara lain: a. Krisis keluarga karena perceraian b. Krisis keluarga karena perselingkuhan c. Krisis keluarga karena perkawinan antar agama d. Krisis keluarga karena antar warga negara e. Krisis keluarga karena perkawinan siri f. Krisis keluarga karena perkawinan mengalami penyimpangan seksual Teori Stres Keluarga a. Teori stres keluarga dari Hill Teori stres klasik dari Hill (1949) menyatakan faktor-faktor yang menghasilkan krisis atau nonkrisis dalam keluarga. Berdasarkan riset dari Hill tertang perpisahan akibat perang dan reuni, ia mengembangkan sebuah teori stres keluarga yang disebut ABCX, di mana ia mengidentifikasikan satu set variabel utama dan hubungannya yang menimbulkan krisis keluarga. b. Model ABCX dari McCubbin dan Patterson Model ABCX dari McCubbin dan Patterson (1983b) merupakan bentuk pengembangan dari teori ABCX Hill. Teori ini menjelaskan perbedaan dalam adaptasi keluarga dalam masa setelah krisis. Setiap variabel asli (ABCX) diuji kembali dan defisininya dimodifikasi. Setiap variabel dalam model digambarkan secara ringkas. c. Model stres keluarga berdasarkan konteks dari Boss Boss (1988) mengembangkan teori stres dari Hill untuk menerangkan pengaruh dari konteks keluarga. Keluarga tidak hidup dalam isolasi. Mereka merupakan bagian dari konteks yang lebih besar yang mempengaruhi variabel-variabel dalam model Hill. Dua konteks bebeda yang menjadi media bagi stres keluarga adalah konteks internal dan eksternal. Konteks eksternal dari keluarga dalah konteks yang tidak dikontrol oleh keluarga termasuk lingkungan di mana keluarga berada, batas-batas genetik dan perkembangan, sejarah, ekonomi, dan kebudayaan. Konteks internal keluarga terdiri dari tiga elemen yang dikontrol oleh keluarga dan dapat diubah. Ada elemen-elemen psikologis, struktural, dan filosofis. (Sumber: Friedman, M.M. 1998. Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktik. Ed.3. Jakarta: EGC)



Definisi KDRT Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang PKDRT No. 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Sumber: Mery Ramadani, Fitri Yuliani. 2015. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Sebagai Salah Satu Isu Kesehatan Masyarakat Secara Global. Vol.9 No. 2. 1 April 2015. Hal. 8087) KDRT berdasarkan komnas anak dan perempuan Menurut Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA , Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kejadian yang merusak sendi-sendi utama ketahanan keluarga dengan korban terbanyak perempuan dan anak. (Sumber: Kemen PPPA. Pencegahan KDRT Sejak Dini Mulai Dari Keluarga. 2019. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2211/pecegahan-kdrt-sejak-dini-mulaidari-keluarga) Faktor- faktor Penyebab KDRT a. Usia menikah pertama Banyaknya usia perkawinan muda yang kemudian diikuti dengan KDRT usia perkawinan muda cenderung belum matang baik secara fisik maupun psikologis. Seseorang yang menikah di usia muda, mempunyai status perkawinan dan kedudukan sebagai orang tua tidak mempunyai kesempatan untuk memiliki pengalaman seperti teman-teman yang tidak kawin muda atau orang yang telah mandiri sebelum kawin b. Ketidak setaraan gender Anggapan yang memandang kaum perempuan lemah dan kedudukannya di bawah pria ini berawal dari perjanjian sosial yang mengatur peran laki-laki dan perempuan. Budaya yang mengatur peran tradisional istri dan suami ini dibingkai oleh suatu sistem yang disebut Patriachat yang menempatkan laki-laki sebagai makhluk Superior dibanding perempuan. (Sumber: Septi Rani Dafeni, Atik Mawarni,Djoko Nugroho, Yudhy Dharmawan. Hubungan Beberapa Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Pada Istri PUS di Kelurahan Tinjomoyo Kecamatan Banyumanik Tahun 2016. Jurnal Kesehatan Masyarakat (eJournal) Volume 5, Nomor 4, Oktober 2017. Hal 256-264) c. Perselingkuhan



d. Campur tangan pihak ketiga Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami maupun istri merupakan salah satu penyebab timbulnya kekerasan antara suami istri. e. Perbedaan prinsip Prinsip menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya) ataupun dasar. Seseorang yang telah memiliki dasar dalam berperilaku maka akan selalu berpegang pada prinsip yang diyakininya. Apabila ada orang lain yang mencoba untuk menggoyahkan prinsip tersebut maka seseorang akan tersinggung dan tidak terima. Tidak terkecuali hubungan antara suami istri dalam rumah tangga. Walaupun mereka telah menyatu dalam ikatan pernikahan, namun tidak dapat dipungkiri jika keduanya memiliki prinsip yang berbeda. Perbedaan prinsip inilah yang dapat menjadikan pertengkaran. (Sumber: Evi Tri Jayanthi. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Survivor yang Ditangani Oleh Lembaga Sahabat Perempuan Magelang. Dimensia, Volume 3, No. 2, September 2009. Hal. 33-50) f. Permasalahan ekonomi Permasalah antara lain rendahnya pendapatan keluarga karena gaji suami rendah, suami tidak bekerja maupun suami tidak dapat bekerja (akibat disabilitas atau terjerat kasus kriminal); adanya penelantaran rumah tangga (ditandai dengan tidak adanya pemenuhan nafkah oleh suami) ; ada pula rumah tangga yang harus terbelit urusan hutang piutang. g. Infertilitas Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan pihak korban untuk menyalahkan diri sendiri dan layak menerima kekerasan atas masalah infertilitas yang dihadapinya. (Sumber: Cynthia Nathania Setiawan, Sigid Kirana Lintang Bhima, Tuntas Dhanardhono. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kejadian Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Pelaporan Pada Pihak Kepolisian. Jurnal Kedokteran Diponegoro Volume 7, Nomor 1, Januari 2018. Hal. 127-139) Bentuk-bentuk KDRT a. Kekerasan fisik yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan kecacatan fisik sampai kematian, seperti memukul, menampar, mencekik dan sebagainya. b. Kekerasan psikologis yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, kehilangan rasa percaya diri,hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya, seperti berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, melecehkan, bullying dan sebagainya.



c. Kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya, seperti melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa hubungan seks tanpa persetujuan korban dan sebagainya. d. Kekerasan ekonomi/ penelantaran rumah tangga yaitu setiap perbuatan yang membatasi orang (perempuan) untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang; atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi; atau menelantarkan anggota keluarga, contoh mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhuan kebutuhan financial dan sebagainya. (Sumber: Dra. Yeni Huriyani, M.Hum. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Persoalan Privat yang Jadi Persoalan Publik. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/647-kekerasandalam-rumah-tangga-kdrt-persoalan-privat-yang-jadi-persoalan-publik.html) Dampak KDRT Dampak KDRT pada anak a. Dampak secara fisik dampak yang dirasakan oleh seorang anak bisa berupa rasa sakit secara fisik yaitu lukaluka, benjolan ditubuhnya, memar, dan ada juga dampak yang dirasakan anak yaitu malu bertemu dengan orang lain. b. Dampak secara psikis anak yang menarik diri dari lingkup rumah tangganya, berkata kasar dan meniru perilaku buruk yang selalu diterimanya itu menjadi kebiasaan sendiri untuk berbicara seperti itu c. Dampak secara sosial Penelantaran anak, anak harus bekerja menggantikan peran orangtua sebagai pencari nafkah, putus sekolah dan sebagainya (Sumber: Ratna Dewi Anggraeni, Sama'i. Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga (The Impact Children Of Domestic Violence). Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2013, I (1): 1-4) Dampak KDRT pada istri Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.



Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan /pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri. (Sumber: Sutrisminah, Emi. Dampak Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Terhadap Kesehatan Reproduksi. http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/majalahilmiahsultanagung/article/view/62/56.2012. Vol 50. No 127) Cara mendeteksi kekerasan fisik Penyiksaan fisik yang berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius, meninggalkan bekas luka secara fisik. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. (Sumber: Andini, Thathit Manon.dkk. Identifikasi Kejadian Kekerasan pada Anak di Kota Malang. Jurnal Perempuan dan Anak (JPA), Vol. 2 No. 1, Februari 2019 ISSN 2442-2614 Hal. 13 – 28) Kekerasan seksual pada anak Kekerasan seksual terhadap anak menurut ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional merupakan hubungan atau interaksi antara seorang anak dan seorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksual pelaku. Bentuk-bentuk kekerasan seksual sendiri bisa berarti melakukan tindak perkosaan ataupun pencabulan1. Kekerasan seksual terhadap anak juga dikenal dengan istilah child sexual abuse. (Sumber: Ningsih, Ermaya Sari Bayu, Hennyati, Sri. Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kabupaten Karawang. https://media.neliti.com/media/publications/267040-kekerasan-seksualpada-anak-di-kabupaten-219e15fc.pdf. 2018.Vol 4. No 2)



Pencegahan kekerasan seksual pada anak Pendidikan seks untuk anak usia 0-5 tahun adalah dengan teknik atau strategi sebagai berikut: a. Membantu anak agar ia merasa nyaman dengan tubuhnya. b. Memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih sayang dari orangtuanya secara tulus. c. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan di depan umum seperti anak selesai mandi harus mengenakan baju kembali di dalam kamar mandi atau di dalam kamar. Anak diberi tahu tentang hal-hal pribadi, tidak boleh disentuh, dan dilihat orang lain. d. Mengajar anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh laki-laki dan perempuan. e. Memberikan penjelasan tentang proses perkembangan tubuh seperti hamil dan melahirkan dalam kalimat yang sederhana, bagaimana bayi bisa dalam kandungan ibu sesuai tingkat kognitif anak. Tidak diperkenankan berbohong kepada anak seperti “adik datang dari langit atau dibawa burung”. Penjelasan disesuaikan dengan keingintahuan atau pertanyaan anak misalnya dengan contoh yang terjadi pada binatang f. Memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara wajar yang mampu menghindarkan diri dari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya sendiri. g. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar pada setiap bagian tubuh dan fungsinya. Vagina adalah nama alat kelamin perempuan dan penis adalah alat kelamin pria, daripada mengatakan dompet atau burung. h. Membantu anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada mereka kalau pembicaraan seks adalah pribadi. i. Memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi kepada orangtua untuk setiap pertanyaan tentang seks. j. Perlu ditambahkan, teknik pendidikan seks dengan memberikan pemahaman kepada anak tentang susunan keluarga (nasab) sehingga memahami struktur sosial dan ajaran agama yang terkait dengan pergaulan laki-laki dan perempuan. Saat anak sudah bisa nalar terhadap struktur tersebut orang tua bisa mengkaitkannya dengan pelajaran fiqh. k. Membiasakan dengan pakaian yang sesuai dengan jenis kelaminnya dalam kehidupan seharihari dan juga saat melaksanakan salat akan mempermudah anak memahami dan menghormati anggota tubuhnya. (Sumber: Mahrus. 2018. Pendidikan Seks Pada Anak Usia Dini. https://www.researchgate.net/publication/329482385_PENDIDIKAN_SEKS_PADA_ANAK_U SIA_DINI)



Pencegahan KDRT Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain: a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran. b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada. c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.



d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik. (Sumber:Iskandar,Dadang. Upaya Penanggulangan Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://ejournal.uika-bogor.ac.id/index.php/YUSTISI/article/viewFile/1102/908. 2016.Vol 3. No.2)



Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Masalah Potensial Krisis dan KDRT Pengkajian 1. Data umum: nama, usia, pendidikan, pekerjaan, alamat, anggota keluarga, tipe keluarga, suku bangsa, agama, status sosial ekonomi, aktivitas rekreasi keluarga 2. Riwayat dan tahapan perkembangan keluarga: tahapan perkembangan keluarga saat ini, tugas tahapan perkembangan yang belum terpenuhi, riwayat kesehatan keluarga 3. Pengkajian lingkungan: karakteristik rumah 4. Struktur keluarga: pola komunikasi keluarga, struktur kekuatan keluarga, struktur peran, nilai dan norma keluarga 5. Fungsi keluarga: fungsi afektif, fungsi sosial, fungsi perawatan kesehatan 6. Stres dan koping keluarga: stresor jangka pendek dan Panjang, Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi/stressor, Strategi koping yang digunakan, Strategi adaptasi disungsional Masalah Keperawatan Masalah keperawatan yang mungkin muncul antara lain: 1. Ketidakmampuan koping keluarga 2. Gangguan proses keluarga 3. Risiko perilaku kekerasan 4. Risiko mutilasi diri 5. Isolasi sosial



6. Sindrom pasca trauma 7. Risiko harga diri rendah situasional 8. Penurunan koping keluarga Intervensi Keperawatan Strategi koping keluarga merupakan gambaran tentang adaptasi keluarga terhadap stres. Terdapat dua tipe strategi koping keluarga yaitu: 1. Strategi koping internal a. Mengandalkan kelompok keluarga Ada keluarga tertentu yang ketika sedang mengalami stres menjadi lebih mengandalkan sumber-sumber mereka sendiri. Keluarga melakukan ini dengan membuat struktur yang lebih besar dari organisasi dalam keluarga dan rumah. Membentuk struktur yang lebih besar merupakan sebuah upaya kontrol yang lebih besar terhadap subsistem. Dengan penutupan batas-batas keluarga, maka membutuhkan organisasi yang lebih besar, ditambah dengan harapan bahwa anggota keluarga akan lebih taat. Keluarga memanfaatkan kontrol yang lebih besar, jika berhasil akan mencapai integrasi dan ikatan yang lebih besar. b. Penggunaan humor Perasaan humor merupakan aset keluarga yang dapat memberikan sumbangan perbaikan bagi sikap-sikap keluarga terhadap masalah-masalahmya dan perawatan kesehatan. Meskipun di sini diidentifikasikan bersifat fungsional jika humor digunakan berulang-ulang untuk menutupi ekspresi emosional dan menutup serta menghindari masalah-masalah, maka penggunaannya jelas bersifat disfungsional. c. Pengungkapan bersama yang semakin meningkat (memelihara ikatan) Suatu cara untuk membawa keluarga lebih dekat satu sama lain dan memelihara serta mengatasi tingkat stres dan pikiran, ikut serta dalam pengalaman bersama keluarga dan aktivitas-aktivitas keluarga. Lebih banyak melakukan pengungkapan bersama menghasilkan ikatan keluarga yanag lebih kuat. d. Mengontrol arti/makna dari masalah: pembentukan kembali kognitif dan penilaian pasif Mekanisme mengontrol makna dari masalah, yang mengurangi atau menetralisir secara kognitif rangsang berbahaya yang dialami dalam hidup. Sedangkan keluarga mengontrol makna dari sebuah stresor adalah dengan penilaian pasif, kadang-kadang dinyatakan sebagai penerimaan pasif. Di sini keluarga menggunakan suatu strategi koping kognitif untuk melihat dan tuntutan yang menimbulkan stres sebagai sesuatu yang akan menjaga diri sendiri dari waktu ke waktu di mana untuk hal ini tidak bisa berbuat apa-apa atau hanya sedikit saja dapat dilakukan.



e. Pemecahan masalah keluarga secara bersama-sama Pemecahan masalah secara bersama-sama dapat digambarkan sebagai suatu situasi di mana keluarga dapat mendiskusikan masalah yang ada secara bersama-sama, mengupayakan solusi atau jalan keluar atas dasar logika, mencapai suatu konsensus tentang apa yang perlu dilakukan atas dasar petunjuk-petunjuk yang diupayakan bersama, persepsi-persepsi dan usulan-ususlan dari anggota keluarga yang berbeda. f. Fleksibilitas peran Mengubah peran-peran keluarga secara eksternal sangat adaptif terhadap tuntutantuntutan institusi sosial lain dan secara internal sangat adaptif terhadap kebutuhan anggota keluarga. g. Normalisasi Kecenderungan keluarga menormalkan segala sesuatu sebanyak mungkin ketika mereka melakukan koping terhadap sebuah stresor jangka panjang yang cenderung merusak kehidupan keluarga dan kegiatan rumah tangga. 2. Strategi koping eksternal a. Mencari informasi Keluarga yang mengalami stres memberikan respon secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan stresor atau stresor potensial. Ini berfungsi untuk menambah rasa memiliki kontrol terhadap situasi dan mengurangi perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenal dan membantu keluarga menilai stresor secara lebih akurat. Di samping memperkuat car-cara keluarga mencegah stresor yang menimpa keluarga. b. Memelihara hubungan aktif dengan komunitas Teknik koping tentang sistem-sistem, yang menyatakan bahwa sistem sosial apa saja memiliki suatu gerakan informasi dan aktivitas melewati batas-batasnya jika sistem sosial tersebut menunujukkan fungsi-fungsinya. Anggota keluarga merupakan partisipan aktif dalam klub, organisasi atau kelompok komunitas. c. Mencari dukungan sosial Sistem pendukung sosial antara lain jaringan kerja pelayanan profesional, ahli, birokrasi, anak, teman, tetangga, rekan kerja, guru, yang menjadi mitra pengungkapan sebuah keluarga menyangkupt kepentingan bersama, tujuan, gaya hidup dan identitas sosial. Tujuan dukungan sosial yaitu memberikan dukungan pemeliharaan dan emosional bagi anggota keluarga serta memberikan dukungan sumber bantuan secara langsung seperti finansial, perawatan. d. Mencari dukungan spiritual Kepercayaan terhadap Tuhan dan berdoa diidentifikasikan oleh anggota keluarga sebagai cara paling penting bagi keluarga mengatasi suatu stresor yang berkaitan dengan kesehatan atau masalah. Dukungan spiritual membantu keluarga mentoleransi ketegangan yang kronis dan lama serta membantu memelihara kebutuhan keluarga.