Askep Trauma Tulang Belakang [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Nury
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II oleh:



Siti Nuriyah



118041



D3 Keperawatan 2A



PROGRAM STUDI D-3 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PPNI JAWA BARAT BANDUNG 2020



Konsep Trauma Tulang Belakang A. DEFINISI Trauma tulang belakang adalah trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya yang dapat mengakibatkan cedera/fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang pada daerah cervicalis, lumbalis, vetebralis sehingga mengakibatkan deficit neurologi (Sjamsuhidayat,1997). Adapun menurut dr. Iskandar Japardi (2002), lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama pada usia decade 3. B. ETIOLOGI Menurut Harsono (2000) trauma tulang belakang dapat disebabkan oleh : 1. Kecelakaan lalu lintas 2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian 3. Kecelakaan sebab olahraga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll 4. Luka jejas, tajam, tembak, pada daerah vertebra 5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang Menurut Ducker dan Perrot dalam dr. Iskandar Japardi (2002), melaporkan : 1.



40% spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas



2. 20% jatuh 3. 40% luka tembak, olahraga, kecelakaan kerja C. KLASIFIKASI Menurut Yefta D. Bastian, dapat dibedakan menjadi : 1. Whiplash Injury : akibat strain atau sprain pada segmen servikal. Disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas 2. Fraktur Kompresi (Wedge) : karena gaya vertical di depan garis tengah vertebra yang menekan tepi anterior vertebra. Sering terjadi pada torakolumbal. Pada lansia dikarenakan akibat jatuh terduduk sedangkan pada usia mudah akibat jatuh mendarat pada kaki 3. Burst Fracture : karena kompresi aksial dari bagian anterior vertebra. Bagianbagian tepi vertebra terdoromg keluar, materi diskus dapar terdorong ke korpus vertebra atau ke kanal spinal sehingga sering disertai kerusakan neurologis karena pergeseran korpus vertebra atau fragmennya ke belakang.



4. Fraktur Distraksi : deselerasi cepat pada kecelakaan lalu lintas akan melembar korban ke depan sehingga tubuh akan tertekan pada sabuk pengamanan yang mengakibatkan fraktur korpus vertebra dan dapat terjadi displacement berat. 5. Fraktur Dislokasi : kombinasi gaya fleksi, kompresi dan rotasi yang mengakibatkan fraktur korpus vertebra, fraktur pledikel dan dislokasi sendi faset yang menyebabkan paraplegia atau tetraplegia. Menurut dr. Iskandar Japardi (2002), klasifikasi cedera tulang belakang dapat dikategorikan sebagai berikut :



D. PATOFISIOLOGI



E. MANIFESTASI KLINIS Tanda dan gejala umum dari trauma pada tulang belakang adalah (National Institutes of Health US): 1. Kepala berada pada posisi yang tidak semestinya 2. Mati rasa atau sensasi geli di sepanjang kaki maupun lengan 3. Kelemahan 4. Ketidakmampuan berjalan 5. Paralisis (kehilangan control pergelangan ekstremitas, yakni lengan dan kaki) 6. Tidak ada control pada GIT dan system perkemihan, pasien cenderung tidak bisa mengontrol BAB maupun BAK 7. Syok (pucat, kulit basah dan hangat, jari dan tangan kebiru-biruan, pusing, sakit kepala, dan setengah tidak sadar) 8. Kurang perhatian terhadap stimuli/lingkungan sekitar 9. Leher kaku, sakit kepala, atau nyeri pada leher



Menurut ASIA (American Spinal Injury Association) skala terjadinya gangguan dikatagorikan sebagai berikut : 1. A = komplit, tidak ada fungsi sensorik maupun motorik pada segmen sacrum (S4-S5) 2. B = tidak komplit, fungsi sensoris masih berada dibawah staus neurologis 3. C = tidak komplit 4. D = tidak komplit, fungsi motorik 5. E = normal, fungsi motorik dans ensoris normal F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan fisik seperti pasien trauma, evaluasi klinis awal dimulai dengan survey - ABCDE. SCI (Spinal Cord Injury) harus dilakukan secara bersamaan. Masing-masing pemeriksaannya adalah: a) Fungsi paru - Respiration rate, sianosis, distress pernapasan, kesimetrisan dada, suara tambahan, ekspansi dada, gerakan dinding perut, batuk, dan cedera paru. Analisis gas darah arteri dan oksimetri. b) Disfungsi respirasi pada akhirnya akan tergantung pada keadaan paru yang sudah ada, tingkat SCI, cedera paru-paru. Hal-hal yang mungkin terganggu dalam pengaturan SCI: 1. Hilangnya fungsi otot ventilasi akibat adanya cedera dada. 2. Cedera paru, seperti pneumothoraks, hemotoraks, atau contusio paru. 3. Penurunan pengaturan ventilasi berhubungan dengan cedera kepala atau efek eksogen alkohol dan obat-obatan. c) CVS – nadi dan volume, tekanan darah (hemoragik atau shock neurogenik). d) Suhu – hipotermia – shock spinal. e) Pemeriksaan neurologis. Menentukan tingkat cedera yang dialami, complete atau incomplete. c) Tes motorik – dilakukan bersamaan, tes tonus otot, kekuatan otor, refleks otot, koordinasi, pemeriksaan refleks tendon dalam dan evaluasi perineal sangat penting. Ada atau tidaknya prognosis sparingis sakral, indikator evaluasi sakral. Hal-hal yang dievaluasi dapat didokumentasikan sebagai berikut: 



Sensai perineum terhadap sentuhan ringan dan cocokan peniti







Refleks bulbocavernous (S3 atau S4)







Kedipan mata (S5)







Retensi urine atau inkontinensia







Priapisme



d) Seks – Rasio laki-laki : perempuan adalah sekitar 2,5-3,0 : 1. e) Umur – Sekitar 80% dari laki-laki dengan SCIS berusia 18-25 tahun. SCIWORA terjadi terutama pada anak-anak.  Pemeriksaan Motorik Tulang Belakang 



C5 – Fleksor siku (bisep, brakialis) dan bahu







C6 – Ekstensor pergelangan tangan (ekstensor karpi radialis longus dan brevis)







C7 – Ekstensor siku (trisep)







C8 – Fleksor jari (fleksor digitorum profunda) untuk jari tengah







T1 – Jari kelingking (digiti mini)







L2 – Hip fleksor (iliopsoas)







L3 – Ekstensor lutut (quadrisep)







L4 – Ankle dorsifleksor (tibialis anterior)







L5 – Ekstensor kaki (ekstensor halusis longus)







S1 – Fleksor ankle plantar (gastrocnemius, soleus)



 Pemeriksaan Sensori Tulang Belakang 



C2 – Tonjolan oksipital







C3 – Fossa supraklavikula







C4 – Atas sendi akromioklavikularis







C5 – Sisi lateral lengan







C7 – Jari tengah







C8 – Jari kelingking







T1 – Sisi medial lengan







T2 – apex dari aksila atau ICS 2







T3 – ICS 3







T4 – ICS 4 lurus puting susu







T5 – ICS 5 (tengah antara T4 dan T6)







T6 – ICS 6 setinggi xiphisternum







T7 – ICS 7 (tengah antara T6 dan T8)







T8 – ICS 8 (tengah antara T6 dan T10)







T9 – ICS 9 (tengah antara T8 dan T10)







T10 – ICS 10 atau umbilikus







T11 – ICS 11 (tengah antara T10 dan T12)







T12 – Midpoint ligamentum inguinalis







L1 – Setengah jarak antara T12 dan L2







L2 – Paha mid-anterior







L3 –Kondilus femoralis medial atau kondilus femoralis lateralis







L4 – Maleolus medial







L5 – lateral kaki atau maleolus lateral atau dorsum kaki pada sendi metatarsophalangeal ketiga







S1 – Tumit lateral







S2 – Fossa popliteal di garis tengah







S3 – tuberositas iskia







S4-S5 – Perianal







C6 – ibu jari dan lengan lateral



 Imaging a) Sinar x spinal Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok) b) CT-scan CT-scan untuk untuk menentukan tempat luka/jejas c) X-Ray 3 standar untuk mendapatkan gambaran X-ray: 1. Antero-posterior 2. Gambaran lateral 3. Gambaran odontoid-membuka mulut Gambaran oblique termasuk gambaran penekanan bahu 



Direkomendasikan gambaran antero-posterior dan lateral dada serta lumbal







Radiografi leher harus menyertakan C7-T1



d) MRI MRI baik untuk kecurigaan adanya lesi sumsum tulang belakang, ligamentum atau kondisi lainnya. MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi hematoma tulang belakang seperti ekstra dural, abses atau tumor, dan hemoragi tulang belakang, memar, dan/atau edema. e) Foto rongent thorak Untuk mengetahui keadaan paru f)



AGD Untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi



G. PENATALAKSANAAN MEDIS Pertolongan pertama untuk cedera tulang belakang dalam kecelakaan terdiri dari: 1. Jangan asal mengajak korban bergerak karena dapat menyebabkan kerusakan tulang permanen. 2. Tempatkan handuk yang sudah digulung di bagian nyeri agar menghindari kerusakan leher dan kepala. 3. Jangan lupa untuk meminta perhatian medis segera. Pembagian trauma atau fraktur tulang belakang secara umum: 1. Fraktur Stabil a. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur) b. Burst fraktur c. Extension 2. Fraktur tak stabil a. Dislokasi b. Fraktur dislokasi c. Shearing fraktur Perawatan: 1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan sembuh. 2. Fraktur dengan kelainan neorologis. Fase Akut (0-6 minggu) a. Live saving dan kontrol vital sign b. Perawatan trauma penyerta • Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna. • Perawatan trauma lainnya. c. Fraktur/Lesi pada vertebra 1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri) Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama simple kompressi. 2) Operatif Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:



- Laminektomi mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks. - fiksasi interna dengan kawat atau plate - anterior fusion atau post spinal fusion 3) Perawatan status urologi Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor dapat kembali. Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan: a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping) b) Manuver crede c) Ransangan sensorik dan bagian dalam paha d) Gravitasi/ mengubah posisi 4) Perawatan dekubitus Dalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut. Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena “wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah: 1) Dislokasi feset >50% 2) Loss of paralelisine dan feset. 3) Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi. 4) ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak) 5) Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.



Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis Patah



tulang



belakang



dengan



gangguan



neorologis



komplit,



tindakan



pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis. H. KOMPLIKASI Menurut Mansjoer, Arif, et al. 2000 trauma tulang belakang bisa mengakibatkan berbagai macam komplikasi, diantaranya 1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma. 2. Pendarahan Mikroskopik Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahanperdarahan kecil.Yang disertaireaksi peradangan,sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan didalam dan disekitar korda.Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan luas cidera korda.Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat. 3. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks. Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks setingg dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spinal biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan motorik akan tetap permanen apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang parah. 4. Syok Spinal. Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua segme diatas dan dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya



secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung kemih dan rektum. 5. Hiperrefleksia Otonom. Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan suatu refleks



yang



melibatkan



pengaktifan



sistem



saraf



simpatis.Dengan



diaktifkannya sistem simpatis,maka terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah system. Pada orang yang korda spinalisnya



utuh,tekanan



baroreseptor.Sebagai



darahnya



respon



akan



terhadap



segera



pengaktifan



diketahui



oleh



baroreseptor,pusat



kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian respon saraf simpatis



akan



terhenti



dan



terjadi



dilatasi



pembuluh



darah.Respon



parasimpatis dan simpatis bekerja untuk secara cepat memulihkan tekanan darah kenormal.Pada individu yang mengalami lesi korda,pengaktifan parasimpatis akan memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.Pada hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat meningkat melebihi



200



mmHg



sistolik,sehingga



terjadi



stroke



atau



infark  miokardium.Rangsangan biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk nyeri. 6. Paralisis Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.Pada transeksi korda spinal,paralisis bersifat permanen.Paralisis ekstremitas atas dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut kuadriplegia.Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi korda dibawah C6 dan disebut paraplegia.Apabila hanya separuh korda yang mengalami transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis. Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit adalah sebagai berikut :







pneumonia (60,3 %),







ulkus akibat tekanan (52,8 %),







trombosis vena dalam (16,4 %),







emboli pulmo (5,2 %),







infeksi pasca operasi (2,2 %).



Sedangkan untuk fraktur, komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: 1. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union). 2. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai. 3. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur. 4. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur. 5. Emboli lemak 6.



Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.



7. Sindrom Kompartemen. Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.



Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Tulang Belakang PENGKAJIAN a.Identitas klien, Meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda), jenis kelamin (kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan diagnosis medis. b.Keluhan utama Yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma. c. Riwayat penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras.Pengkajian yang didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya sensibilitas secara total dan melemah/menghilangnya refleks alat dalam) ileus paralitik, retensi urine, dan hilangnya refleks-refleks. d. Riwayat kesehatan dahulu. Merupakan data yang diperlukan untuk mengetahui kondisi kesehatan klien sebelum menderita penyakit sekarang , berupa riwayat trauma medula spinalis. Biasanya ada trauma/ kecelakaan. e.Riwayat kesehatan keluarga. Untuk mengetahui ada penyebab herediter atau tidak f. Masalah penggunaan obat-obatan adiktif dan alkohol. g.Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis. h.Pengkajian psikososiospiritual. i.Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.



1. Pernapasan. Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis (klien mengalami kelumpuhan otototot pernapasan) dan perubahan karena adanya kerusakan jalur simpatik desenden akibat trauma pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula spinalis terputus. Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada daerah servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut. Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, retraksi interkostal, dan pengembangan paru tidak simetris. Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otototot interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis. Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila trauma terjadi pada rongga toraks. Perkusi. Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada toraks/hematoraks. Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menurun sering didapatkan pada klien cedera tulang belakang yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma). 2. Kardiovaskular Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang didapatkan renjatan (syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera tulang belakang pada beberapa keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebardebar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat. 3.Persyarafan Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan dengan mengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Klien



yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami perubahan status mental. Pemeriksaan Saraf kranial: -



Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan tidak ada kelainan fungsi penciuman.



-



Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.



-



Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.



-



Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan



-



Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.



-



Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.



-



Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada usaha klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk



-



Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, Indra pengecapan normal.



4. Pemeriksaan refleks: a.Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah karena kelemahan pada otot hamstring. b.Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan refleks patologis. c.Refleks Bullbo Cavemosus positif d.Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami trauma pada kaudaekuina, mengalami hilangnya sensibilitas secara me-netap pada kedua bokong, perineum, dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi cedera akibat trauma di daerah tulang belakang 5.Perkemihan Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal. 6. Pencernaan. Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya ileus paralitik. Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung



dan defekasi tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi. 7. Muskuloskletal. Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian terjadinya trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena PENGKAJIAN A - I PENGKAJIAN PRIMER Data Subyektif 1. Riwayat Penyakit Sekarang Mekanisme Cedera Kemampuan Neurologi Status Neurologi Kestabilan Bergerak 2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu Keadaan Jantung dan pernapasan Penyakit Kronis Data Obyektif 1. Airway adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga mengganggu jalan napas 2. Breathing Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada 3. Circulation Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba hangat dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan) 4. Disability Kaji



Kehilangan



sebagian



atau



kehilangan sensasi, kelemahan otot



keseluruhan



kemampuan



bergerak,



·     PENGKAJIAN SEKUNDER a)



Exposure Adanya deformitas tulang belakang



b)    Five Intervensi -   Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi -   CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas -   MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal -   Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru -   Sinar







X



Spinal



untuk



menentukan



lokasi



dan



jenis



cedera



tulang



(Fraktur/Dislokasi) c)    Give Comfort -   Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak d)    Head to Toe -                    Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera Dada  :  Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada,bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal



                            Pelvis



dan



Perineum



:



Kehilangan



control



dalam



eliminasi



urin



dan



feses,



terjadinyagangguan pada ereksi penis (priapism)



                          Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia e)    Inspeksi Back / Posterior Surface -   Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang ANALISA DATA No 1



Data DS: 



Klien mengatakan sulit bernafas







Klien mengatakan



Etiologi Etiologi (jatuh dari



Dx Keperawatan Ketidakefektifan pola



ketinggian, kecelakaan,



nafas b.d kelemahan otot



jatuh saat olahraga,



diafragma



osteoporosis)



otot dadanya lemas DO: 



Tampak pernafasan dangkal dan cepat







Fraktur tulang belakang Blok saraf parasimpatis



Tampak pernafasan cuping hidung



Kelumpuhan otot







Klien mengalami



pernafasan



dispnue, takipnue 



RR meningkat



Otot diafragma lemah



Hasil laboratorium saturasi oksigen



Ketidakefektifan pola nafas



menurun (kurang dari normal) 2



DS: 



Klien mengeluh nyeri di bagian leher dan punggung.







Etiologi (jatuh dari



Nyeri akut b.d agen



ketinggian, kecelakaan,



cedera fisik



jatuh saat olahraga, osteoporosis)



Klien mengatakan nyerinya sangat



Fraktur tulang belakang



hebat dan terus menerus dengan skala 9 



terjadi gencetan antar kolumna vertebre



Klien mengatakan



sekaligus terlepasnya



tidak bisa menahan



mediator kimia



nyeri yang ia rasakan Nyeri akut



DO: 



Hasil pemeriksaan TTV: TD meningkat RR meningkat Nadi meningkat Suhu meningkat







Klien mengalami sulit tidur







Dilatasi pupil



Klien tampak berkeringat 3



DS : 



Klien mengatakan aktivitasnya dibantu perawat dan



Jatuh dari ketinggian,



Hambatan mobilitas fisik



kecelakaan lalu lintas,



b.d



kecelakaan olahraga, dll



kerusakanmusculoskeletal



↓ Frkatur servicalis



dan neuromuskuler







keluarga







Klien merasa sulit



Fraktur dapat berupa patah tulang



untuk



sederhana,kompresi,



menggerakkan



kominutif, dislokasi



angoota badannya 



pasien mengatakan







sulit melakukan



Gangguan neurologis dan



perubahan posisi



Gangguan musculoskeletal



DO : 



Klien terlihat lemah







Kebutuhan klien di bantu oleh keluarga dan perawat







↓ Kemampuan dalam menggerakan anggota badan menurun (lemah) ↓ Hambatan mobilitas fisik



Klien hanya beraktifitas di tempat tidur dan itu pun hanya berbaring







4



Kekuatan otot lemah



DS :



Jatuh dari ketinggian,



Gangguan eliminasi urin







kecelakaan lalu lintas,



b.d Gangguan sensorik



kecelakaan olahraga, dll



motorik



Klien mengatakan sering ngompol



DO : 



Baju, sprei dan selimut yang digunakan pasien tampak basah







Pasien berbau pesing



↓ Cedera cervikalis ↓ Kompresi medulla spinalis ↓ Gangguan sensorik motorik ↓ Kelumpuhan saraf perkemihan ↓ Inkontinensia urine ↓ Gangguan pola eliminasi



5



urine Jatuh dari ketinggian,



Resiko kerusakan



Pasien mengatakan



kecelakaan lalu lintas,



integritas kulit b.d



badan terasa panas/



kecelakaan olahraga, dll



imobilisasi fisik



Ds : 







gerah dan sumpek



Fraktur servicalis



karena selalu







berbaring di tempat tidur



Fraktur dapat berupa patah tulang



Do : 



Pasien tirah baring







Kulit pasien lembab



sederhana,kompresi, kominutif, dislokasi ↓ Gangguan neurologis dan Gangguan musculoskeletal ↓ Kemampuan dalam menggerakan anggota badan menurun (lemah) ↓ Hambatan mobilitas fisik ↓ Berbaring di tempat tidur lama ↓ Resiko kerusakanintegritas kulit



INTERVENSI No



Dx Keperawatan



Tujuan dan Kriteria



Intervensi



Hasil 1



Ketidakefektifan pola nafas b.d kelemahan otot diafragma



Tujuan :



NIC:



Setelah dilakukan



Mechanical Ventilation



intervensi selama 1x24



Management:Noninvas



jam pola nafas klien



ive



efektif



1. Monitor kondisi



Kriteria Hasil:



pasien yang



NOC: Mechanical



mengindikasikan untuk



Ventilation Response:



pemasangan ventilator



Adult



mekanik noninvasive







RR klien dalam



(pada pasien trauma



rentang normal (16-



tulang belakang yang



20x/menit)



menyebabkan



Ritme respirasi



kelemahan otot



klien teratur



pernafasan (otot



Tidal volum sesuai



diafragma))



kebutuhan (500cc)



2. Monitor



 



Saturasi oksigen klien



kontraindikasi



dalam rentang normal



pemasangan ventilator mekanik noninvasive 3. Observasi kesadaran pasien terlebih dahulu sebelum meutuskan memasang alat ventilator mekanik 4. Secara rutin cek kepatenan alat ventilator mekanik 5. Secara teratur evaluasi efek pemasangan ventilator mekanik (apakah ada perbaikan pernafasan jika iya segera lakukan penyapihan alat ventilator mekanik)



2



Nyeri akut b.d agen cedera fisik



Tujuan :



NIC: Management



Setelah dilakukan



nyeri



intervensi keperawatan







Kaji secara



selama 2x24 jam nyeri



komprehensif



yang dirasakan klien



tentang nyeri



berkurang



meliputi lokasi, karakteristik serta



Kriteria Hasil:



onset, durasi,



NOC: Tingkat



frekuensi, kualitas,



kenyamanan



intensitas /







Melaporkan



beratnya, nyeri dan



kenyamanan fisik



faktor-faktor presipitasi



 NOC: Control nyeri 



Mengenali serangan







Observasi isyaratisyarat non verbal



nyeri  NOC:Tingkat nyeri



dan







Melaporkan nyeri



ketidaknyamanan,



berkurang



khususnya dalam



Frekuensi nyeri



ketidakmampuan



berkurang



untuk komunikasi



Panjangnya episode



secara efektif.



 



nyeri berkurang   







Anjurkan



Perubahan pada



penggunaan



jumlah pernafasan



tekhnik non



Perubahan pada



farmakologis



denyut nadi



(relaksasi, guided



Perubahan pada



imagery, terapi



tekanan darah



musik, distraksi, aplikasi panasdingin, massase, TENS, hipnotis, terapi bermain, terapi aktivitas, akupresure) 



Berikan analgetik sesuai anjuran







Evaluasi ketidakefektifan dari tindakan mengontrol nyeri







Modifikasi tindakan nyeri berdasarkan



respon pasien 



Tingkatkan tidur / istirahat yang cukup







Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan







Monitor perubahan nyeri dan bantu pasien mengidentifikasi faktor presipitasi nyeri baik aktual dan potensial







Lakukan tekhnik variasi untuk mengontrol nyeri (farmakologi, non frmakologi dan interpersonal)







Libatkan keluarga untuk mengurangi nyeri



NIC: Analgetik administration 



Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian obat







Cek instruksi dokter tentang pemberian  bat, dosisi dan frekuensi







Cek riwayat alergi







Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu







Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri







tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal







Pilih rute pemberian secra IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur







Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali







Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat



Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)



3



Hambatan mobilitas fisik b.d



Tujuan :



kerusakan musculoskeletal dan



Setelah dilakukan



NIC : Exercise



neuromuskuler



tindakan keperawatan



therapy : ambulation



3 x 24 jam mobilitas







kaji kemampuan



pasien meningkat



aktivitas motorik



Kriteria hasil :



pasien



NOC : Mobility  







konsultasikan



kekuatan otot



dengan terapi fiisk



meningkat,



tentang rencana



pasien mampu



ambulasi sesuai



menggerakkan



dengan



anggota badan



kemampuan dan



dan melakukan



kebutuhan pasien



perpindahan







secara bertahap



bantu klien mengubah posisinya setiap 2 jam sekali







ajarkan pasien cara merubah posisi dan berikan bantuan dan dampingi klien saat melakukan mobilisasi







latih pasien ROM aktif untuk meningkatkan kekuatan otot







monitoring TTV sebelum dan sesudah melakukan latihan dan lihat respon klien saat latihan



2rt Gangguan eliminasi urin b.d



Tujuan :



NIC : Urinary



Gangguan sensorik motorik



Setelah dilakukan



incontinence care



tindakan keperawatan



-



Monitor eliminasi



2 x 24 jam



urin meliputi



polaeliminasi pasien



frekuensi,



mengalami perbaikan



konsistensi, bau,



Kriteria hasil :



volume,



NOC : Urinary



kejernihan, dan



elimination



warna urin



 



inkontinensia urine



Bersihkan area



menurun



genitalia secara



pola eliminasi



regular



membaik 











Anjurkan pasien



masukan cairan



untuk minum



adekuat



minimal 1500 cc/hari. 



5 Resiko kerusakan integritas kulit b.d imobilisasi fisik



Tujuan :



pemberian diuretic NIC : Pressure



Setelah dilakukan tindakan keperawatan



Kolaborasi



management 



Anjurkan dan



2 x 24 jam tidak terjadi



bantu pasien



gangguan integritas



menggunakan



kulit



pakaian yang



Kriteria hasil :



longgar



NOC : Tissue integrity :







skin mucous membranes



Hindari kerutan pada tempat tidur







Jaga kulit agar







tidak ada luka/ lesi



tetap bersih dan







perfusi jaringan



kering



baik 







Lakukan



integritas kulit yang



perubahan posisi



baik dapat



pasien setiap 2



dipertahankan



jam sekali



(sensasi,







Monitor kulit



elastisitas,



adanya



temperature,



kemerahan



hidrasi, pigmentasi)







Oleskan lotion atau baby oil pada daerah yang



tertekan 



Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien



EVALUASI No 1



Dx Keperawatan Ketidakefektifan pola nafas b.d kelemahan otot diafragma



Evaluasi S: pasien mengatakan sudah tidak susah lbernafas lagi O: -



klien tampak lega saat bernafas -



Klien tampak tenang saat bernafas



-



RR klien dalam batas normal (16-



20x/menit) A: masalah teratasi sebagian P: melanjutkan intervensi Pertahankan pemasangan alat ventilator mekanik sampai pola nafas pasien membaik, dan inisiasi penyapihan ventilator mekanik jika pasien 2



Nyeri akut b.d agen cedera fisik



menunjukkan perbaikan S : pasien mengatakan nyeri berkurang, nyaman dengan dirinya dan klien melaporkan dapat beristirahat O: -



klien mengekspresikan bahwa nyeri



berkurang -



Klien mampu menggunakan teknik



non analgesic -



TTV klien dalam rentang normal



A : masalah teratasi sebagian P : melanjutkan intervensi 



Anjurkan penggunaan tekhnik non



farmakologis (relaksasi, terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase , hipnotis, terapi bermain, terapi aktivitas) 



Berikan analgetik sesuai anjuran







Tingkatkan tidur / istirahat yang



cukup







Pilih analgesik yang diperlukan



atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu 3



Hambatan mobilitas fisik b.d







kerusakan musculoskeletal dan



dan gejala (efek samping)



Evaluasi efektifitas analgesik, tanda



neuromuskuler S : pasien mengatakan bahwa otot – otot badannya sudah agak lemas O : pasien dapat menggerakkan anggota badan (mika miki), mobilisasi A : tujuan tercapai P : pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan 4



Gangguan eliminasi urin b.d



intervensi S : pasien mengatakan sudah tidak ngompol lagi



Gangguan sensorik motorik



O : pasien dapat minum atau memasukkan cairan A : tujuan tercapai sebagian karena inkontinensia belum teratasi sepenuhnya tapi pola eliminasi pasien mengalami perbaikan



5



Resiko kerusakan integritas



P : lanjutkan intervensi S : pasien mengatakan dapat melakukan



kulit b.d imobilisasi fisik



mobilisasi saat terjadi gerah/ sumpek/ panas O : tidak terdapat lesi/ luka di badan pasien A : tujuan tercapai P : pertahankan kondisi klien dan lanjutkanintervensi