Atresia Esofagus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB III TINJAUAN PUSTAKA



A. DEFINISI Atresia esofagus didefinisikan sebagai kelainan kongenital berupa gangguan kontinuitas pada lumen esofagus. Atresia esofagus dapat disertai dengan fistula trakeoesofagus yaitu lumen penghubung antara bagian proksimal dan atau distal esofagus dengan jalan napas (trakea).1



B. ETIOLOGI Etiologi dari atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus masih belum jelas. Adanya hubungan dengan anomali lainnya menandakan gangguan yang bersifat menyeluruh selama fase awal embriologi. Organ lain yang mengalami anomali kongenital bersamaan dengan atresia esofagus diantaranya jantung (35%), genitourinaria (24%), traktus gastrointestinal (24%), skeletal (13%), susunan saraf pusat (10%).1 Beberapa pola abnormalitas yang berhubungan dengan atresia esofagus diantaranya VATER (Vertebral defect, Anal atresia, Trakeo-esophageal fistula, Esophageal, Renal abnormality), VACTERYL (Vertebral, Anal, Cardiac, Trache-oesophageal, Esophageal, and Radial abnormalities) dan CHARGE (Colobomata, Heart disease, choanal Atresia, mental Retardation, Genital hypoplasia, and Ear abnormalities).2 Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula juga kerap ditemukan pada pasien dengan sindrom DiGeorge dan sindrom Down.1 Hal yang dikaitkan berpengaruh terhadap kejadian atresia esofagus diantaranya kekurangan vitamin A, adanya agen infeksius, penggunaan lama pil kontrasepsi dan pajanan yang tinggi terhadap hormon progesteron selama kehamilan.2 Sampai saat ini tidak ditemukan adanya gen khusus yang berhubungan dengan kejadian atresia esofagus pada manusia.5



C. EMBRIOLOGI Ketika mudigah berusia kurang lebih 4 minggu, sebuah divertikulum respiratorius (tunas paru) tampak di dinding ventral usus depan, di perbatasan dengan faring, menginvasi jaringan mesoderm splanknik di sekitarnya.5,7 Divertikulum ini berangsur-angsur terpisah dari bagian dorsal usus depan melalui sebuah pembatas, yang dikenal sebagai septum esofagotrakealis dan akan mengalami pemanjangan. Dengan cara ini, usus depan terbagi menjadi bagian ventral yaitu primordium pernapasan dan bagian dorsal yaitu esofagus. Lapisan otot yang dibentuk oleh mesenkim sekitarnya bercorak serat lintang pada dua pertiga bagian atasnya dan dipersarafi oleh nervus vagus. Lapisan otot di sepertiga bawah adalah otot polos dan dipersarafi oleh pleksus splangnikus.7



Gambar 1. Urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esofagus melalui penyekatan usus depan pada akhir minggu ke-3 (A) dan selama minggu ke-4 (B dan C) 7 Normalnya, jaringan mesenkim akan berproliferasi diantara tabung pernapasan dan esofagus untuk memisahkan keduanya. Beberapa teori menyatakan bahwa adanya pertumbuhan abnormal sel epitelial diantara kedua tabung tersebut dapat menimbulkan terbentuknya fistula trakeoesofagus, sedangkan kelebihan pertumbuhan jaringan mesenkimal dapat mengganggu dan



menghalangi



proses



perkembangan



terbentuknya atresia esofagus.1



esofagus



dan



menimbulkan



Di daerah fistula, cincin trakea akan berbentuk U dengan bagian membranosa yang lebar dibandingkan dengan normalnya yang berbentuk C dengan bagian membranosa yang pendek. Keadaan ini menyebabkan trakeomalacia. Mukosa trakea juga dapat kehilangan sel epitel silia dan sel goblet yang penting bagi pernapasan. Pada esofagus yang mengalami atresia, perkembangan plexus myenterikus dan plexus Auerbach dapat terganggu sehingga menyebabkan gangguan gerak peristaltik esofagus dan gangguan fungsi sfingter esofagus distal. Fungsi jaringan otot pada esofagus juga dapat menjadi abnormal.1



D. KLASIFIKASI Perbedaan gambaran anatomi atresia esofagus dengan atau tanpa fistula trakeoesofagus menimbulkan perbedaan dalam hal pengklasifikasiannya, namun salah satu klasifikasi yang banyak dipakai dan praktis secara klinis ialah sistem klasifikasi oleh Gross dan Vogt yang membedakan atresia esofagus menjadi 5 tipe sebagai berikut 1,2,6 : 1. Tipe A : atresia esofagus terisolasi. Angka kejadiannya sekitar 8% dari semua kasus. 2. Tipe B : atresia esofagus distal dengan fistula yang menghubungkan bagian proksimal esofagus dengan trakea (fistula trakeoesofagus proksimal) dengan angka kejadian 0,8%. 3. Tipe C : merupakan tipe yang paling sering terjadi yaitu sekitar 88,5% - 90% dimana terdapat proksimal atresia esofagus disertai fistula trakeoesofagus di bagian distal. 4. Tipe D : atresia esofagus dengan double fistula trakeoesofagus yaitu di bagian proksimal dan distal esofagus dengan angka kejadian 1,4%. 5. Tipe E : disebut juga tipe-H dimana tidak terdapat atresia esofagus namun terdapat fistula trakeoesofagus dengan angka kejadian sekitar 4% dari semua kasus.



Gambar 2. Klasifikasi atresia esofagus oleh Gross dan Vogt 1



E. EPIDEMIOLOGI Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula merupakan malformasi kongenital yang umum terjadi dan mengancam kehidupan. Insidensinya 1 dalam 3500 kelahiran hidup.5 Kelainan kongenital ini dapat berdiri sendiri namun lebih sering terjadi bersamaan dengan anomali lain.1,5 Di Amerika, kelainan ini terjadi 1 diantara 4500 kelahiran hidup dan 50%-nya juga menderita kelainan bawaan lain.2 Adanya riwayat keluarga terutama meningkatkan resiko kejadian menjadi 2,5% dibandingkan jika tanpa adanya riwayat keluarga resikonya hanya 1%.5 Bentuk yang paling sering ditemukan ialah tipe C dimana bagian proksimal esofagus memiliki kantong buntu dan bagian distalnya terdapat fistula trakeoesofagus.7 Anuntkosol dkk., di Thailand pada tahun 2000 mendapatkan insidensi atresia esofagus 1,2 : 10.000 kelahiran hidup dengan 90% merupakan tipe C. sebanyak 34,2% tanpa disertai dengan anomali lainnya dan sisanya disertai anomali organ lain dan yang terbanyak ialah jantung (47,6%), kelainan vertebra dan ortpedik lain (27,5%), traktus gastrointestinal (18,0%), traktus



urinarius (11,4%) dan sisanya berupa kelainan susunan saraf pusat, kelainan kromosom, dan labiopalatoskisis.8 Penelitian di India mendapatkan sejumlah 127 kasus atresia esofagus dari tahun 2004 – 2006 dengan bentuk terbanyak ialah tipe C (117 kasus/92%), atresia esofagus murni/ tipe A ditemukan sebanyak 9 kasus (7%) dan satu kasus (1%) merupakan bentuk tipe D. Perbandingan laki-laki dan perempuan ialah 1,95:1, namun secara umum tidak terdapat perbedaan ydalam hal gender. Kelainan bawaan lain ditemukan pada 52 kasus (41%) dengan rincian penyakit jantung bawaan (17 kasus), traktus gastrointestinal (15 kasus), anomali vertebra dan sistem saraf pusat (8 kasus), anomali muskuloskeletal (6 kasus). 11



F. GAMBARAN KLINIS Gejala yang dapat terlihat dalam hari pertama setelah kelahiran berupa tidak bisa minum ASI, tersedak atau muntah dan tidak dapat menelan air liur sehingga terjadi hipersalivasi. Jika disertai dengan fistula trakeoesofagus proksimal (tipe B) dapat terjadi aspirasi ASI ke paru-paru karena seluruh ASI yang ditelan bayi akan berakhir di paru-paru sehingga bayi tampak sesak napas dan sianosis. Adanya ASI (makanan/benda asing) di paru-paru dapat menyebabkan pneumonia. Distensi abdomen dapat terjadi jika terdapat aliran udara dari trakea ke lambung melalui fistula trakeoesofagus distal (tipe C dan D).3 Atresia esofagus tipe D selain adanya fistula trakeoesofagus distal juga terdapat fistula di bagian proksimal dan merupakan salah satu tipe yang sulit terdiagnosis. Gejala klinisnya dapat berupa asthma atau batuk yang persisten karena aspirasi dalam beberapa tahun. Namun, pada tipe D dengan adanya fistula memberikan jalan bagi ASI dan makanan mencapai lambung melalui fistula proksimal ke trakea dan melalui fistula distal kembali ke esofagus dan akhirnya ke lambung. 4 Atresia esofagus tipe E atau disebut juga tipe H merupakan tipe yang sulit didiagnosis dini dan dapat terdiagnosis setelah bayi tumbuh menjadi anakanak atau dewasa. Pada tipe ini tidak terdapat atresia esofagus sehingga



makanan dapat mencapai lambung namun, makanan juga dapat masuk ke paru-paru melalui fistula. Begitu juga sebaliknya udara dari trakea dapat masuk ke lambung melalui fistula sehingga terdapat udara dalam jumlah yang banyak di abdomen dan tampak distensi abdomen. Gejala tipikal lainnya berupa sering tersedak ketika makan dan minum, dan pneumonia aspirasi yang berulang. Untuk itu, Bayi dengan atresia esofagus baik dengan fistula atau tidak memiliki mortalitas yang tinggi.3



G. DIAGNOSIS Atresia esofagus baik secara klinis maupun etiologi merupakan kondisi yang heterogen/ beragam. Beberapa hal yang dapat membantu diagnosis diantaranya sebagai berikut 3,5 : Anamnesis meliputi : a. Riwayat ibu selama kehamilan misalnya adanya pajanan terhadap teratogen seperti methimazole. Penting juga untuk menanyakan ada tidaknya penyakit diabetes pada ibu. 5 b. Riwayat keluarga yaitu adanya anggota keluarga lain dengan atresia



esofagus



atau



fistula



trakeoesofagus,



atresia



Gastrointestinal tract, malformasi jantung atau ginjal, IUFD pada kehamilan lanjut, riwayat kematian bayi sesaat setelah lahir, mikrocephali atau gangguan mental dan gangguan belajar. Hal tersebut mengarahkan pada diagnosis sindrom Feingold. 5 Pemeriksaan antenatal. Kecurigaan ke arah atresia esofagus dapat didukung oleh temuan pemeriksaan USG antenatal berupa polihidramnion dan sedikit atau tidak ditemukan gas di dalam lambung dan usus (absent stomach bubble).2 Pada beberapa pasien, adanya sekresi dari lambung dan adanya fistula trakeoesofagus membantu visualisasi dari lambung.6 Normalnya, fetus akan menelan cairan amnion di dalam kandungan namun dengan adanya atresia esofagus maka cairan amnion tidak dapat ditelan dan menimbulkan polihidramnion.3 Temuan ini dapat memprediksikan kejadian



atresia esofagus sekitar 40-50% dari semua kasus dan meningkat menjadi 56% jika disertai temuan tidak adanya gambaran gas di lambung. Gambaran ini dapat tampak pada atresia esofagus terisolasi (tipe A) maupun atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus.2,6 Diagnosis atresia esofagus juga dapat ditegakkan dengan gambaran dilatasi dari kantong esofagus proksimal yang buntu. Gambaran ini membantu diagnosis atresia esofagus meskipun terdapat gambaran udara di lambung dan usus, sehingga USG merupakan pemeriksaan penunjang yang reliabel dan spesifik untuk atresia esofagus baik dengan maupun tanpa fistula trakeoesofagus.6



Gambar 3. A : gambaran potongan transversal USG abdomen fetus menunjukkan cairan di lambung (fluid-filled stomach). B : gambaran potongan koronal dari leher dan dada fetus yang menunjukkan ujung buntu kantong esofagus tanpa gambaran udara di lambung (empty phase). C : gambaran potongan koronal dari leher dan dada fetus yang menunjukkan ujung buntu kantong esofagus proksimal dengan gambaran udara di lambung (full phase).6



Diagnosis klinis atresia esofagus atau fistula trakeoesofagus biasanya dapat ditegakkan dalam beberapa jam pertama setelah bayi lahir. Gejala klinis yang dapat ditemukan diantaranya hipersalivasi (drooling) dan distres pernapasan ringan. Pemberian makanan pertama berupa ASI diikuti oleh regurgitasi, tersedak (choking), batuk-batuk dan bahkan sianosis. Bayi dengan atresia esofagus disertai fistula trakeoesofagus distal sering menunjukkan distensi abdomen dikarenakan udara dari trakea dapat lewat melalui fistula menuju esofagus menuju lambung dan traktus gastrointestinal. Namun, untuk klasifikasi tipe H yang tidak disertai atresia esofagus dapat tidak menunjukkan



gejala sesaat setelah lahir melainkan adanya episode sianosis dan infeksi paru berulang misalnya pneumonia lobus atas paru kanan dalam masa neonatal sampai masa anak-anak.2 Pemeriksaan fisik untuk melihat adanya kelainan bawaan lain seperti jumlah



dan



bentuk



jari-jari,



ada



tidaknya



coloboma,



anophtalmia/



microphtalmia, pertumbuhan yang terhambat dapat mengarahkan pada sindrom CHARGE.5 Konfirmasi



diagnosis



atresia



esofagus



dapat



dilakukan



dengan



pemasangan NGT (nasogactric tube) atau OGT (orogastric tube) yang tidak dapat mencapai lambung karena esofagus yang buntu sehingga pipa akan bergelung di ujung kantong buntu esofagus tersebut. Pemeriksaan radiologi Xray (photo polos abdomen) menunjang hal tersebut dengan memberikan gambaran pipa NGT/OGT yang berakhir di ujung buntu esofagus dan bukan di lambung. Jika terdapat fistula trakeoesofagus maka pipa tersebut dapat terlihat berakhir di paru-paru. Bagian distal esofagus dapat memberikan gambaran terisi udara dan hal ini menandakan adanya fistula trakeoesofagus distal.2,3 Gambaran ini juga dapat memberikan informasi mengenai celah pemisah (gap) antara esofagus proksimal dan distal yang mengalami atresia dan dinilai berdasarkan tulang vertebra. Atresia esofagus terisolasi (tipe A) maupun atresia esofagus dengan fistula di proksimal akan memberikan gambaran “gaslessness” pada photo polos abdomen. Photo polos abdomen juga bermanfaat untuk mendeteksi adanya kelainan atau abnormalitas lainnya seperti atresia duodenal, anomali vertebra, agenesis sacrum dan adanya tambahan atau ketiadaan tulang iga.2 Photo polos thorax juga dapat menilai ada tidaknya konsolidasi dikarenakan pneumonia aspirasi terutama terlihat di lobus atas paru.12 Lebih dari seperempat pasien atresia esofagus tipe C memiliki hubungan dengan kelainan traktus gastrointestinal lainnya seperti stenosis pylorus, atresia duodenum dan malformasi anorektal. Pola distribusi udara pada photo polos abdomen memberikan petunjuk ada tidaknya kelainan tersebut.



Misalnya adanya udara yang terkurung atau terpisah di lambung dan duodenum meningkatkan kecurigaan adanya atresia duodenum.12



A



B



Gambar 4. A: Kombinasi photo polos abdomen dan thorax AP yang menggambarkan “gasless abdomen” pada atresia esofagus murni (tipe A) atau atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal (tipe B).2 B : photo polos lateral yang menunjukkan atresia esofagus dimana kantung esofagus proksimal berdilatasi dan terisi udara (tanda bintang). Gambaran udara di lambung dan usus menandakan adanya fistula trakeoesofagus distal.12



Pemeriksaan X-ray dengan kontras jarang dilakukan untuk mendiagnosis atresia esofagus dengan frekuensi terbanyak (tipe C), melainkan digunakan untuk memastikan adanya fistula pada klasifikasi tipe E dan untuk menentukan panjang celah pada atresia esofagus murni (tipe A) dan jika didapatkan celah yang cukup panjang maka tindakan pembedahan biasanya ditunda.2 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan ialah bronkoskopi atau esofagoskopi. Esofagogram dengan fluoroskopik atau barium swallow merupakan cara terbaik untuk mendiagnosis fistula trakeoesofagus tipe H dimana pipa NGT dapat berakhir di lambung.3,12 Diagnosis dan tindakan pembedahan pada pasien dengan fistula trakeoesofagus tipe-H biasanya tertunda hingga bayi mencapai usia rata-rata 8 bulan.1



H. PENATALAKSANAAN AWAL (KONSERVATIF) Bayi dengan atresia esofagus dengan atau tanpa fistula memerlukan tindakan resusitasi awal dan ventilasi terutama jika terdapat distres pernapasan. Namun, jika bayi dengan fistula trakeoesofagus distal dilakukan ventilasi maka tindakan pembedahan untuk meligasi fistula harus segera dilakukan dalam 8 jam pertama terkait perburukan kondisi pernapasannya dan resiko terjadinya perforasi gaster.2 Penatalaksanaan preoperatif yang juga sangat penting ialah mencegah terjadinya aspirasi dari sekresi faring maupun refluks dari isi lambung melalui fistula trakeoesofagus. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan suction secara intermiten atau aspirasi yang berkelanjutan menggunakan kateter bertekanan rendah dengan doubel lumen atau Replogle tube.2 Bayi diposisikan dengan bagian kepala lebih tinggi untuk mencegah terjadinya refluks cairan lambung.2 Pemberian



cairan



intravena



dan



antibiotik



spektrum



luas



direkomendasikan untuk diberikan.2



I. TERAPI PEMBEDAHAN Tujuan dari terapi pembedahan yaitu 2 : 1. Menyelamatkan nyawa bayi 2. Mengembalikan fungsi traktus gastrointestinal 3. Mempertahankan kondisi esofagus seperti semula Prinsip dasar terapi pembedahan mencakup pendekatan terhadap tiga kategori atresia esofagus yaitu atresia esofagus celah sempit dengan fistula distal, atresia esofagus celah jauh dengan atau tanpa fistula proksimal dan fistula trakeoesofagus tanpa atresia (tipe H).2 Kebanyakan bayi dengan atresia esofagus/ fistula trakeoesofagus menjalani pembedahan di awal kehidupannya berupa anastomosis esofagus primer dengan atau tanpa esophagomyotomi. Pada beberapa kasus yang berat, tindakan anastomosis ditunda dan diganti dengan tindakan esophagostomi



servikal. Anastomosis esofagus ditunda sampai terjadi pertumbuhan esofagus yang cukup untuk menunjang anastomosis. Pada kasus dimana anastomosis esofagus tidak mungkin dilakukan maka anastomosis dilakukan dengan jaringan yang diambil dari gaster, jejunal atau kolon.1



1. Atresia esofagus celah sempit (narrow gap) dengan fistula distal Definisi celah sempit pada atresia esofagus merupakan hal yang subjektif yaitu jarak antara esofagus proksimal dan distal yang cukup dekat sehingga dapat dilakukan reparasi/anastomosis primer. Celah tersebut dinilai berdasarkan jumlah badan vertebra antara esofagus proksimal dan distal yang terlihat melalui photo polos thorax. 2 Literatur lain menyebutkan klasifikasi celah antar esofagus sebagai berikut11 : 



Short gap : celah antar esofagus 3cm atau lebih dari 3 badan vertebra.



Pada neonatus tanpa abnormalitas berat lainnya, tindakan pembedahan normalnya dilakukan dalam 48 jam pertama setelah kelahiran bayi. Tindakan operasi diawali dengan penilaian terhadap kantong atas esofagus melalui esofagoskopi dan identifikasi letak fistula trakeoesofagus melalui bronkoskopi. Insisi yang digunakan ialah thorakotomi sebelah kanan kanan (biasanya melalui celah iga ke-4) dengan pendekatan retropleural. Fistula dan kedua kantung esofagus diidentifikasi kemudian fistula dipisahkan dari trakea dan dijahit tersendiri. Ujung buntu esofagus proksimal dieksisi kemudian dihubungkan dengan ujung distalnya melalui jahitan terputus. Beberapa ahli bedah sering meletakkan NGT di daerah anastomosis (transanastomotic tube) untuk mengamankan anastomosis dan memudahkan pemberian makanan per oral pascaoperasi. Drain



retropleural juga kerap dipasang di akhir operasi untuk memudahkan identifikasi ada tidaknya kebocoran dari anastomosis esofagus tersebut. 2



2. Atresia esofagus celah jauh (long gap) dengan atau tanpa fistula proksimal Atresia esofagus dengan celah jauh merupakan tantangan bagi para ahli bedah. Sama halnya dengan celah sempit, definisi celah jauh juga bersifat subjektif namun istilah celah jauh biasanya ditujukan untuk atresia esofagus murni dan atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal (25% dari seluruh kasus atresia esofagus celah jauh). Pendekatan pembedahan ialah dengan penundaan anastomosis primer (delayed primary repair) atau dengan oesophageal replacement.2 Melalui bronkoskopi dan esofagoskopi, jika ditemukan fistula bagian proksimal maka harus segera diligasi. Pemilihan tindakan bedah yang akan dilakukan tergantung dari jarak antara ujung esofagus dan keahlian ahli bedahnya. Jika ditemukan ujung distal esofagus menonjol di atas diafragma maka penundaan operasi anastomosis merupakan pilihan yang utama, sedangkan jika ujung distal esofagus murni terletak intraabdominal maka oesophageal replacement diperlukan. 2 Penundaan operasi dilakukan sampai usia 6-8 bulan. Ada beberapa bukti yang mendapatkan bahwa celah antar ujung esofagus berkurang sejalan dengan pertumbuhan bayi dan kondisi esofagus juga semakin baik untuk menunjang anastomosis (suture repair). Gastrostomi dilakukan sebelum operasi anastomosis untuk menunjang pemberian makanan dan untuk evaluasi. Selanjutnya, pendekatan operasi anastomosis primer yang dilakukan sama halnya dengan atresia esofagus celah sempit.2 Gastrostomi dan penundaan operasi merupakan pilihan terbaik pada bayi dengan kondisi yang buruk dibandingkan dengan thorakotomi darurat untuk meligasi fistula.8 Jika sejak awal dapat diketahui bahwa tindakan anastomosis primer tidak dapat dilakukan maka dipilih operasi penyambungan esofagus dengan jaringan lain yang dapat dilakukan dalam minggu pertama setelah



kelahiran bayi atau dapat juga ditunda sampai 6-8 bulan. Jika operasi penyambungan ditunda maka dilakukan esofagostomi servikal (proksimal esofagus dinonfungsikan sebagai stoma) dan gastrostomi untuk pemberian makanan. Esofagus biasanya disambung dengan jaringan yang diambil dari gaster, jejunal, kolon atau dengan tabung khusus.2



3. Fistula trakeoesofagus tanpa atresia Identifikasi fistula trakeoesofagus menggunakan bronkoskopi dan esofagoskopi perlu dilakukan sebelum operasi. Kebanyakan operasi pemisahan dan pengikatan fistula pada tipe H berhasil dengan baik menggunakan pendekatan insisi servikal kanan atau torakotomi jika letak fistula lebih rendah.2



Metode operasi anastomosis yang klasik dengan garis sirkular sering menimbulkan komplikasi berupa striktur esofagus pascaoperasi di daerah anastomosis tersebut. Untuk itu, dikembangkan metode operasi terbaru yang bertujuan untuk mengurangi komplikasi tersebut dengan pendekatan yang sama yaitu thorakotomi sisi kanan secara ekstrapleural. Pertama dilakukan ligasi pada fistula trakeoesofagus, kemudian ujung kantong esofagus proksimal dibebaskan dan dibuka dengan irisan bentuk tanda tambah “+” (plus-shaped incision). Pada ujung esofagus distal dilakukan irisan longitudinal sepanjang 2 mm di bagian anterior dan posteriornya. Ujung esofagus proksimal dan distal kemudian disatukan dan dijahit seperti yang terlihat pada gambar berikut ini. Teknik anastomosis ini tidak menyebabkan peningkatan jarak antar ujung esofagus dan tidak menyebabkan kebocoran didaerah anastomosis.9



A



B



C



D



Gambar 5. A : irisan plus pada esofagus proksimal dan irisan longitudinal kecil pada esofagus distal. B : irisan dibuka. C : hasil akhir anastomosis esofagus. D : esofagus proksimal dengan irisan plus (tanda panah).9



Pemberian makanan dapat dilakukan setelah 48 jam pascaoperasi melalui NGT yang dipasang saat operasi. Drain yang dipasang di dada dapat dilepas pada hari kelima pascaoperasi jika tidak ditemukan tanda-tanda kebocoran. Pemeriksaan esofagogram dengan kontras dilakukan pada hari ketujuh setelah operasi dan jika tidak ditemukan tanda-tanda kebocoran maka pemberian makanan per oral dapat sepenuhnya dilakukan. Pemeriksaan follow up sebaiknya dilakukan seminggu sekali pada satu bulan pertama dilanjutkan dengan dua minggu sekali pada dua bulan berikutnya dan sebulan sekali untuk 6 bulan seterusnya. Pemeriksaan esofagogram dengan kontras kembali dilakukan saat follow up pada bayi-bayi dengan disfagia atau infeksi saluran pernapasan berulang.10



J. KOMPLIKASI PASCAOPERASI Komplikasi operasi dapat terjadi sesaat setelah operasi atau muncul di kemudian hari. Komplikasi yang terjadi sesaat setelah operasi dapat berupa kebocoran anastomosis, striktur esofagus dan fistula trakeoesofagus rekure. Komplikasi yang terjadi di kemudian hari dapat berupa gstro-esofageal refluks, trakeomalacia dan gangguan peristaltik.2



K. PROGNOSIS DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROGNOSIS Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula trakeoesofagus secara umum memiliki prognosis yang buruk, bukan hanya dikarenakan tantangan pada tindakan pembedahan namun juga karena adanya kelainan bawaan lain yang terjadi bersamaan dengan atresia esofagus seperti kelainan jantung, kelainan kromosom dan anomali saluran pernapasan. Berat badan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prognosis. Klasifikasi Waterson mengelompokkan bayi dengan atresia esofagus ke dalam 3 kelompok berdasarkan faktor resiko dan prognosis sebagai berikut 2: 1. Grup A (resiko rendah) : Berat badan bayi > 2500 gr tanpa kelainan bawaan lain. 2. Grup B (resiko sedang) : Berat badan bayi 2000 – 2500 gr tanpa kelainan bawaan lain atau berat badan > 2500 gr dengan kelainan bawaan yang moderat. 3. Grup C (resiko tinggi) : Berat badan bayi < 2000 gr tanpa kelainan bawaan lain atau > 2000 gr dengan kelainan jantung bawaan yang berat.



Klasifikasi lain yang dikembangkan oleh Spitz menyatakan bahwa berat badan bayi baru lahir 1500 gr tanpa kelainan jantung bawaan.2 Penelitian yang dilakukan oleh Anwar dkk., di Pakistan mendapatkan total pasien dengan atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus dari tahun 20042005 sebanyak 80 orang dan sejumlah 33 bayi (41%) dapat bertahan hidup setelah operasi sedangkan 47 bayi (58%) meninggal dengan rincian 20 bayi (25%) meninggal sebelum operasi dan 27 bayi (34%) meninggal setelah operasi. Tingginya mortalitas tersebut dikarenakan kebanyakan pasien terlambat dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang memadai dan sudah



mendapatkan makanan (ASI) sebelumnya yang menyebabkan pneumonia aspirasi.10 Penelitian Tandon dkk., di India melakukan penelitian dan mendapatkan bahwa faktor yang mempengaruhi prognosis bayi dengan atresia esofagus diantaranya ialah prematuritas, kelainan bawaan lain yang diderita, celah (gap) antar kantong esofagus dan status respiratorius preoperatif. Prognosis dinilai berdasarkan jumlah bayi hidup berdasarkan klasifikasi Waterson dimana dinyatakan baik jika bayi yang telah dioperasi dan dapat keluar dari rumah sakit dalam kondisi mampu menerima makanan per oral secara efektif. Penelitian ini mendapatkan survival rate pada grup A sejumlah 100%, grup B 83% dan grup C 22 %. Bayi prematur dengan berat badan < 2500 gr merupakan resiko tinggi dan jika < 1800 gr maka prognosisnya sangat buruk dikarenakan kerentanan yang tinggi terhadap sepsis. Bayi dengan distress pernapasan dan pneumonitis memiliki prognosis yang buruk, begitu juga pada bayi dengan jarak antar esofagus proksimal dan distal yang cukup panjang. Bayi dengan kelainan kongenital lain seperti penyakit jantung kongenital juga memiliki prognosis yang buruk.11



DAFTAR PUSTAKA 1. Kovesi, T., Rubin, S., (2004), Long Term Complications of Congenital Esophageal Atresia and/or Tracheoesophageal Fistula, American College of CHEST Physicians. Didownload dari http://www.chestjournal.org 2. Johnson, P.R.V., (2005), Oesophageal Atresia, University of Oxford, SNL vol 1 issue 5. 3. Hefner, M.M.S., (1999), CHARGE Syndrome : Esophageal Atresia (EA) and Tracheoesophageal Fistula (TEF), CHARGE Syndrome Foundation Inc, Section III-11 4. Ezer, S.S., (2010), Diagnostic Difficulties in Esophageal Atresia with Proximal and Distal Tracheoesophageal Fistula: a Case Report, The Turkish Journal of Pediatrics; 52: 104-107. 5. Smith, C.S., (2006), Oesophageal Atresia, Tracheooesophageal Fistula, and the VACTERL Association: Review of Genetics and Epidemiology, Joint Information System Committee. Didownload dari http://www.jmg.bmj.com. 6. Vijayaraghavan, S.B., (1996), Antenatal Diagnosis of Esophageal Atresia with Tracheoesophageal Fistula, American Institute of Ultrasound in Medicine, J Ultrasound Med :15:417-419. 7. Sadler, T.W., (2000), Embriologi Kedokteran Langman edisi ke-7, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta. 8. Hosseini, S.M.V., Davani, S.Z.N., Sabet, B., Forutan, H.R., Sharifian, M., (2008), The Role of Gastrostomy in the Staged Operation of Esophageal Atresia, Department of Pediatric Surgery, University of Medical Sciences, Iran. J Indian Assoc Pediatr Surg : Jan-Mar 2008/Vol 3/Issue 1. Didownload dari http://www.jiaps.com. 9. Melek, M., Cobanoglu, U., (2011), Methodology Report : A New Technique in Primary Repair of Congenital Esophageal Atresia Preventing Anastomotic Stricture Formation and Describing the Opening Condition of Blind Pouch: Plus (“+”) Incision, Hindawi Publishing Corporation, Gastroenterology Research and Practice, doi:10.1155/2011/527323. 10. Haq, A.U., Akhter, N., Samiullah, Javeria, Jan, I.A., Abbasi, Z., (2009), Factors Affecting Survival in Patients with Oesophageal Atresia and TracheoOesophageal Fistula, Department of Paediatric Surgery, Aga Khan University, Karachi, Pakistan, J Ayub Med Coll Abbottabad ;21(4). Didownload dari http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/PAST/21-4/Anwar.pdf 11. Tandon, R.K., Sharma, S., Sinha, S.K., Rashid, K.A., Dube,R., Kureel, S.N., Wakhlu, A., Rawat, J.D., (2008), Esophageal Atresia : Factors Influencing Survival – Experience at an Indian Tertiary Centre, Department of Pediatric



Surgery and Neonatology, King George’s Medical University, India, J Indian Assoc Pediatr Surg : 13 (1). Didownload dari http://www.jiaps.com. 12. Gupta, A.K., Guglani, B., (2005), Imaging of Congenital Anomalies of the Gastrointestinal Tract, Symposium on Common Pediatric Surgical ProblemsII, India, Indian J Pediatr ; 72 (5) : 403-414.