B18. Filsafat Untuk para Profesional [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Filsafat untuk Para Profesional



Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).



Filsafat untuk Para Profesional Editor: F. Budi Hardiman



......................... Copyright© 2015,....................... Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Buku Kompas, 2015 PT Kompas Media Nusantara Jl Palmerah Selatan 26-28 Jakarta 10270 E-mail: [email protected]



KMN: ............................... Sumber Foto Sampul: ..................................... Perancang sampul: .................................... Hak cipta dilindungi oleh Undang Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit ................+ .............. hlm.; 14 cm x 21 cm ISBN: ........................



Isi di luar tanggung jawab Percetakan ......................................



Daftar Isi Prakata — vii



1. Platon dan Komitmen Profesi | A. Setyo Wibowo — 1



2. Epikuros untuk Para Konsultan Diet | B. Herry-Priyono — 34



3. Hegel untuk Para Pembantu Rumah Tangga | Franz Magnis-Suseno — 51



4. Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan | S.P. Lili Tjahjadi — 59



5. Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham | F. Budi Hardiman — 81 6. Marcuse versus Perusahaan Iklan | J. Sudarminta — 100



7. Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh | Thomas Hidya Tjaya — 123



8. Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara | A. Sudiarja — 144 9. Rorty untuk Para Sastrawan | J. Sudarminta — 180



10. Heidegger dan Para Pensiunan | F. Budi Hardiman — 204 Indeks — 221



Para Kontributor — 227 v



Prakata



J



ika menilik masyarakat dari segi fungsional, kita akan menemukan profesi sebagai batu bata pembangun sebuah masyarakat. Kita cukup melihat barangbarang, fasilitas-fasilitas, atau pelayanan-pelayanan yang menopang kehidupan kita sehari-hari, dan kita menemukan berbagai profesi terlibat di situ. Bangun tidur di pagi hari, kita temukan ranjang, instalasi air, sabun, sikat gigi, pakaian, dan seterusnya. Teruskan inspeksi barang dan jasa setelahnya, mulai dari sarapan, pergi ke kantor, aktivitas di kantor, sampai pulang ke rumah. Selalu ada manusia di belakang barang dan jasa, dan manusia itu adalah penyandang profesi tertentu. Mereka adalah buruh, tukang, pembantu, sopir, karyawan, manajer, guru, dokter, dan seterusnya. Sepulang kerja, kita menyalakan TV, dan berbagai profesi terlibat mengisi informasi atau menghibur pemirsa, seperti wartawan, ilmuwan, seniman, sastrawan, pesulap, politikus, ulama, dan seterusnya. Profesi adalah elemen fungsional masyarakat. Lewat profesi —berbagai profesi kita— sebagai anggota-anggota masyarakat saling berbagi dan menghasilkan manfaat bagi yang lain. Kita saling menolong sebagai sesama manusia lewat akses profesi yang kita emban. Tilikan lebih dalam akan menyingkap bahwa profesi ikut membentuk identitas dan karakter, menjadi bagian



vii



pencarian makna hidup dan kebahagiaan, dan akhirnya juga menunjukkan manusia macam apa yang menyadangnya. Karena itu, sudah sangat dini, sejak dua setengah milenium yang lalu, filsafat Yunani kuno sudah merenungkan profesi. Orang Yunani kuno memikirkan konsep arete (keutamaan) lewat diskusi tentang hakikat dan fungsi profesi. Dikatakan secara berbeda, di dalam profesi melekat arete. Dalam arti ini profesi terkait tidak hanya dengan persoalan mata pencarian, melainkan lebih dalam daripada itu, yaitu persoalan hidup yang baik. Profesi memungkinkan seseorang menjadi ”untuk apa dia ada”. Di dalam perspektif religius, profesi dikaitkan dengan panggilan hidup. Kata Jerman untuk profesi adalah Beruf, dan dalam kata ini masih tersisa jejak pengertian religius, yakni rufen atau memanggil. Yang memanggil adalah Allah. Di zaman modern, unsur etis dan religius yang holistis itu masih bertahan dalam kata profesi, meskipun modernitas sangat cenderung menyempitkannya pada unsur fungsionalistis sebagai mata pencarian. Filsafat mengingatkan kita kembali pada hakikat profesi sebagai jalan untuk mengolah hidup yang baik.



Sebelum menjadi bidang akademis yang bisa sangat abstrak, filsafat merupakan sebuah dialog dengan kehidupan praktis, sebagaimana dipraktikkan oleh Sokrates. Mencintai kebijaksanaan —sebuah frase yang menjelaskan arti etimologis filsafat— tidak terutama berteori secara abstrak, melainkan melibatkan diri dengan persoalan kehidupan sehingga dapat memberi tilikan praktis untuk hidup yang baik. Agar dapat menyapa para profesional yang memenuhi lanskap kehidupan modern, terutama di kota-kota besar, filsafat harus memberikan tilikan praktis tersebut. Untuk itu ia perlu turun dari menara gadingnya dan menyapa para profesional untuk mendiskusikan profesi mereka. Tidak semua profesi dibahas di sini, tetapi yang viii



Filsafat untuk Para Profesional



dibahas di sini menentukan wajah masyarakat modern, termasuk masyarakat kita, yaitu konsultan diet, pembantu rumah tangga, ulama, perancang busana, pialang saham, pemasar, dokter, perawat, pengembara, sastrawan, dan bahkan pensiunan sebagai akhir profesi. Tilikan filosofis tidak selalu menyenangkan, agak kerap menelanjangi pembenaran-pembenaran, dan tidak jarang menggelisahkan. Sesaat sesudah mengerutkan dahi, kita ditantang untuk meninggalkan zona-zona nyaman kita dan menata hidup kembali dengan lebih bijak.



Ada 10 tulisan yang disajikan di dalam buku ini untuk dibaca para profesional. Dengan judul Filsafat untuk Para Profesional buku ini memiliki tujuan ganda, yakni merenungkan profesi-profesi tertentu sekaligus menyapa para profesional mana pun. Oleh karena itu, buku ini dialamatkan tidak hanya kepada para profesional tertentu, melainkan kepada para profesional pada umumnya. Kesebelas tulisan itu dapat dibaca tanpa harus mengikuti urutan kronologis ataupun urutan logis tertentu. Pembaca dapat mulai dari bab mana pun. Benang merah yang menyatukan semua tulisan itu adalah profesi. Buku dimulai dengan ulasan tentang Platon dan komitmen profesi, lalu mulai membahas profesi-profesi tertentu dalam sudut pandang filsuf tertentu berturut-turut, yaitu Epikuros dan konsultan diet, Hegel dan para pembantu rumah tangga (dan majikannya), Feuerbach dan para ulama, Simmel dan para perancang busana serta pialang saham, Marcuse dan para pengiklan, Merleau-Ponty dan para perawat tubuh, Bauman dan para pengembara, para wisatawan serta peziarah, Rorty dan para sastrawan. Buku ini ditutup dengan ulasan tentang para pensiunan dari sudut pandang Heidegger. Tulisan-tulisan yang dihimpun di dalam buku ini merupakan bahan-bahan penelitian para pengajar Sekolah Prakata



ix



Tinggi Filsafat Driyarkara yang kemudian diajarkan di dalam Extension Course filsafat semester genap 2013/2014 dengan judul “Filsafat untuk Para Profesional”. Agar dapat menjangkau publik pembaca yang lebih luas, tulisantulisan tersebut diolah kembali untuk diterbitkan. Saya mengucapkan terima kasih kepada para kolega yang telah memberikan kontribusi mereka untuk buku ini. Ucapan terima kasih juga saya arahkan kepada Penerbit Buku Kompas yang telah memungkinkan penerbitan buku ini. a Jakarta, 2015



F. Budi Hardiman



x



Filsafat untuk Para Profesional



1



Platon dan Komitmen Profesi A. Setyo Wibowo



B



ila ingin membicarakan profesi, kita tidak boleh mengabaikan satu pokok yang sangat penting yang menjiwai setiap profesi, yaitu komitmen profesi. Karena itu, filsafat untuk para profesional kita mulai dengan ulasan tentang komitmen profesi. Ulasan berikut ini hendak menawarkan pemahaman tentang komitmen profesi dengan memakai pemikiran Platon yang tertuang dalam karyanya Lysis (tentang Persahabatan). Uraian Platon bahwa persahabatan sejati berwujud segitiga (ada dua pihak yang bersahabat berkat hadirnya pihak ketiga) bisa membantu kita memahami apa artinya komitmen profesi. Lewat pencarian asal-usul kata “profesi” dan “komitmen”, uraian tentang persahabatan akan menyadarkan kita adanya tiga tingkat komitmen profesi: uang, harga diri, atau value yang benar-benar baik dan indah.



Arti Profesi dan Komitmen



Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2001) kata benda ”profesi” berarti: “bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (dalam arti keterampilan atau kejuruan) tertentu”. Sementara kata sifat ”profesional” artinya: “a) bersangkutan



1



dengan profesi, b) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya (seorang juru masak profesional), c) mengharuskan adanya pembayaran (dilawankan dengan amatir)”.



Dalam pengertian bahasa Indonesia sehari-hari, kita memang cenderung memakai kata profesi dan profesional dalam kaitannya dengan keterampilan (kepandaian) teknis. Seseorang disebut profesional, apabila kita melihatnya mampu menjalankan tugas sebagaimana yang dituntut. Kemampuannya ini dimiliki karena ia belajar dan memiliki keterampilan teknis di bidang tersebut. Dokter yang profesional adalah dokter yang bekerja seturut kaidah pekerjaannya. Orang yang profesional dihargai dan dibayar secara lebih berkat kemampuan khususnya, berkebalikan dengan orang amatiran yang tentu saja bayarannya juga asal-asalan.



Mengingat kata profesi tidak asli dari bahasa Indonesia, adalah baik kalau kita melongok definisi yang diberikan oleh bahasa-bahasa lain. Kamus Prancis-Prancis (Le Nouveau Petit Robert, Paris, 1996) selain menekankan dimensi teknis pekerjaan (keahlian) yang sudah disebut, juga memberikan wawasan lebih luas mengenai makna kata ”profession” (kata benda feminin). Dalam rumpun makna teknis, kata profesi ini merujuk pada pekerjaan yang mendapatkan bayaran (entah dimaknai positif seperti pekerjaan yang memiliki prestise sosial dan intelektual atau pekerjaan spesialis seseorang, entah dalam makna yang peyoratif: pekerjaan apa pun yang menguntungkan, seperti profesi pembunuh dan profesi pembohong). Ada rumpun lain yang menunjukkan keluasan arti kata ”profession” yang ditunjukkan oleh Le Nouveau Petit Robert. Kamus ini menulis bahwa ”profession” merujuk pada “pernyataan umum, pernyataan di depan umum berkenaan



2



Filsafat untuk Para Profesional



dengan kepercayaan, opini, atau tingkah laku tertentu”, dan hal ini berkaitan dengan tradisi panjang di kalangan religius kristiani di mana saat mereka “menyatakan kaul-kaulnya” (kaul hidup wadat, taat, dan melarat) mereka dikatakan melakukan ”profession”. Dalam tradisi ini, seorang religius disebut profes bila sudah menyatakan kaulnya secara publik.



Dalam makna yang lebih luas ini, profesi ternyata tidak selalu berkaitan dengan bayaran uang atau keterampilan teknis apa pun! Profesi adalah sebuah “pernyataan di depan umum”, saat orang menyampaikan kepercayaan atau opini tertentu. Dalam tradisi Gereja Katolik di Prancis saat ini, sebelum menerima Sakramen Penguatan, anak-anak usia SMP melakukan apa yang disebut profession de foi (bahasa Latinnya: professio fidei) yang artinya “pernyataan iman”.



Profesi artinya pernyataan di depan umum (publik), permakluman, sebuah pernyataan kepercayaan atau janji untuk bersikap secara tertentu dengan orang-orang yang hadir sebagai saksinya. Baik bahasa Prancis maupun bahasa Inggris mengambil kata ”profession” dari bahasa Latin (professio-onis, kata benda feminin).



Seturut Kamus Bahasa Latin-Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1969) kata benda ”professio”1 berarti: 1) pernyataan di depan umum/resmi, permakluman; 2) laporan resmi tentang harta kekayaan, catatan resmi; 3) pekerjaan, jabatan, keahlian; hal memiliki sesuatu sebagai pekerjaan atau mata pencaharian (artium); jabatan mahaguru retorika; 4) kaul, ikrar; pengakuan, pernyataan. 1 Kata benda feminin professio (Latin) berasal dari kata kerja-pasif Latin profiteri–profiteor–professus sum yang artinya: 1) menyatakan di hadapan umum, mengakui terus terang, mengumumkan, menyiarkan, mencanangkan; 2) mengakui dirinya (menamakan dirinya); menjadikan sesuatu pekerjaannya; memperlihatkan, menunjukkan; 3) menjanjikan, menawarkan, mewajibkan diri akan, hendak menyumbangkan; 4) mendaftarkan diri secara resmi, melaporkan, mencalonkan diri; 5) professus artinya diakui. Platon dan Komitmen Profesi



3



Bila dilihat sampai akar katanya dalam bahasa Latin, kata ”profesi” memang tidak terlepas dari soal kemampuan teknis (keahlian), jabatan karena keahlian, dan bayaran yang bersesuaian dengan kemampuan spesifik tersebut. Oleh karena itu, dari akar kata yang sama, kita juga mengenal istilah profesor (yang juga berasal dari kata benda maskulin bahasa Latin professor-oris ) yang artinya “pengajar, guru, mahaguru, yang menyatakan bahwa ia akan mengajar mata pelajaran tertentu”. Di Italia dan di Prancis saat ini, para guru selalu disebut professore atau professeur. Kalau para guru disebut “profesor” tentu karena mereka dianggap memiliki kemampuan teknis sehingga mereka memiliki jabatan dan prestise tertentu di masyarakatnya. Dengan sendirinya, kaum “profesor” adalah orang profesional, baik dalam arti kemampuan khas yang dimiliki maupun karena janji jabatan yang ia pegang sebagai pendidik.



Dari akarnya, kata “profesi, profesional” memang melibatkan sebuah “keterampilan teknis”. Itulah sebabnya, mengapa dalam arti luas setiap kali melihat para pekerja kantoran, atau para insinyur di pertambangan yang berlepotan lumpur, atau para perawat dan dokter di RS, kita mengatakan bahwa mereka adalah kaum profesional. Namun dalam arti yang lebih mendalam, yang sering tidak kita lihat dalam dunia sehari-hari, kata profesi (yang berasal dari bahasa Latin profiteor, professio) mengisyaratkan bahwa orang yang berketerampilan khusus tadi adalah orangorang yang mengucapkan janji tertentu di depan publik (masyarakat umum yang akan menerima keahlian mereka). Bila kalangan dokter mengucapkan Sumpah Hippokrates, kaum Advokat dan Tentara juga bersumpah, maka profesio (pernyataan publik) seperti ini sebenarnya ditemukan dalam semua bidang profesi. Seorang profesional adalah 4



Filsafat untuk Para Profesional



orang yang sudah mengucapkan sumpah dalam pekerjaan tertentu sehingga ia “mewajibkan dirinya sendiri akan……”.



Dengan makna seperti itu, profesi bersangkutan erat dengan janji atau komitmen yang hendak ditepati. Mengapa harus ditepati? Karena janji untuk melakukan “sesuatu” itu dinyatakan di depan orang lain. Artinya di sini ada kewajiban dari si pengucap janji untuk menjalankan apa yang ia janjikan kepada pihak lain. Terlepas dari apakah pihak lain meresponsnya dengan positif atau negatif atas pemenuhan janji tersebut, ikatan terutama ada pada si pengucap janji. Dalam bahasa sehari-hari kita mengatakannya sebagai komitmen. Saat seseorang memiliki komitmen atas sesuatu, maka ia mengikatkan dirinya pada apa yang janjikan untuk dipenuhi. Bila meniliki ke akar kata bahasa Latinnya, commitment2 (bahasa Inggris) berasal dari kata kerja Latin committere (“to bring together, join, compare, commit (a wrong), incur, give in charge, etc.”), yang sejatinya berasal dari cum (“together”) + mittere (“to send”).



Komitmen, commitment, committed, berasal dari bahasa Latin committere, cum-mittere (diutus bersama, mengerjakan sesuatu secara bersama, mempercayakan sesuatu kepada orang lain). Dalam artinya yang luas, “diutus bersama” merujuk pada tindakan melakukan sesuatu dalam



2 Dari sumber http://en.wiktionary.org/wiki/commitment, maka kata “commitment (noun, plural commitments)” berarti: 1) The act or an instance of committing, putting in charge, keeping, or trust, especially: The act of sending a legislative bill to committee for review. Official consignment sending a person to prison or a mental health institution. 2) Promise or agreement to do something in the future, especially: Act of assuming a financial obligation at a future date. 3) Being bound emotionally/intellectually to a course of action or to another person/other persons. 4) The trait of sincerity and focused purpose. 5) Perpetration, in a negative manner, as in a crime or mistake. 6) State of being pledged or engaged. 7) The act of being locked away, such as in an institution for the mentally ill or jail. Platon dan Komitmen Profesi



5



kerja sama dengan orang lain. Artinya, ada tindakan riil mempercayakan diri pada sebuah instansi lain atau orangorang lain. Namun dalam artinya yang lebih dalam, jika kita bertanya bagaimana orang bisa “bekerja bersama”, mengapa seseorang bisa “mempercayakan dirinya pada sesuatu atau seseorang padanya ia berkomitmen”, jawabannya sederhana: karena ada ikatan, karena ada ”sesuatu” yang menjadi pengikat sehingga orang saling mempercayakan diri, saling bekerja bersama. Dekat dengan makna kata profesio, komitmen juga menyadarkan kita akan adanya sesuatu di luar diri kita (janji) yang membuat kita berrelasi dengan orang lain. Saat kita mengatakan “orang itu tidak komit atau tidak committed”, biasanya kita hendak menggambarkan orang yang tidak setia dengan janji dan sumpahnya sendiri sehingga ia mengecewakan orang lain yang seharusnya ia layani lewat janjinya tersebut.



Pada titik ini, sangat menarik untuk mencari pencerahan dari Platon perihal relasi orang dengan janji atau ikatan nilai yang ia buat sendiri. Seseorang menjanjikan sesuatu tentu karena ia melihat ada value (nilai) di situ. Dan sesuatu dianggap bernilai, karena sesuatu itu dianggap berguna dan baik. Orang Yunani membahasakan dengan sederhana kebaikan (agathon) sebagai kegunaan: uang itu baik karena berguna, makan dan minum itu sebuah kebaikan yang layak dikejar karena berguna, dan ilmu kebijaksanaan tentu juga merupakan kebaikan persis karena dianggap sangat berguna! Lebih mengejutkan lagi, kalau seseorang berkomitmen, ternyata pertama-tama ia tidak melakukannya demi orang lain tetapi demi nilai yang dikejarnya sendiri. Di mata Platon, orang lain yang diajak berkomitmen hanyalah efek, sementara tujuan dari setiap komitmen adalah pemenuhan orang itu sendiri pada nilai yang ia kejar.



6



Filsafat untuk Para Profesional



Dalam bahasa psikologis, soal komitmen adalah soal bagaimana seseorang mengejar tingkat nilai yang menjadi prioritas hidupnya. Perusahaan tempat bekerja, masyarakat, atau publik yang diberi janji, lingkungan di mana ia mengucapkan komitmennya, hanya bersifat sekunder dibandingkan pemenuhan kebutuhan psikologisnya sendiri akan nilai yang ia anggap tertinggi dalam hidupnya. Dalam soal tingkat-tingkatan nilai ini, ada orang yang komitmennya pada uang (remunerasi finansial), ada orang yang komitmennya pada harga diri (nama besar, reputasi), namun ada orang yang mampu melampaui keduanya dan setia pada hal-hal yang sungguh-sungguh baik, benar, dan indah (seperti keadilan dan kebahagiaan non-material). Platon yang hidup 2.400 tahun yang lalu menawarkan pemikiran yang menarik untuk mencerahkan kita memahami soal “ikatan” yang menyatukan orang melakukan sesuatu (cum-mittere). Entah itu perusahaan besar, organisasi politik, atau hobi, hidup berumah tangga, atau pertemanan membutuhkan “ikatan” agar secara bersama-sama pihak yang terlibat di situ mampu melakukan sesuatu secara bersama-sama.



Platon berbicara tentang philia, yang selain bermakna persahabatan, kata Yunani philia juga merujuk pada hal yang lebih luas lagi. Philia dipakai untuk menggambarkan relasi percintaan antara dua kekasih, relasi keakraban dalam keluarga, atau rasa dekat dan penuh sayang kepada binatang atau benda-benda tak bernyawa. Philia bahkan digunakan juga untuk menunjukkan kesalingtarikan antara elemen-elemen alam semesta. Satu akar dengan kata philia (yang berasal dari kata kerja philein, artinya bersahabat, mencintai), kita tentu akrab dengan istilah filsafat (Indonesia) atau falsafa (Arab) yang merupakan transliterasi dari istilah Yunani philo-sophia: pecinta kebijaksanaan atau sahabat Platon dan Komitmen Profesi



7



kebijaksanaan. Apa alasan terakhir terjadinya philia? Bagaimana menjelaskan bahwa kita bisa saling bersahabat? Apakah karena karakter sahabat itu sendiri, ataukah sesuatu yang sama sekali lain? Dalam bahasa organisasi, kalau kita komit pada sebuah organisasi, apakah itu karena organisasi tersebut, ataukah karena sesuatu yang lain?



Ide Platon Tentang Ikatan Persahabatan3



Buku kecil Platon berjudul Lysis4 yang bertemakan persahabatan membantu memahami bahwa persahabatan bersifat triangular (segitiga). Dua kawan bersatu karena ada pihak ketiga yang bernama Kebaikan, boleh juga disebut ”kepentingan”. Konteks besar pemikiran Platon akan mem­ bantu kita memilah bentuk-bentuk persahabatan. Ada kong­ kalikong dagang, karena kepentingan pengikatnya adalah uang; ada kesetiakawanan bonek (bondo/modal nekat), karena yang dibela adalah harga diri dan kekuasaan; dan akhirnya ada persahabatan yang indah dan benar karena yang menjadi pengikatnya adalah Kebaikan yang sungguhsungguh baik.



Buku Lysis bertolak dari pengalaman sehari-hari para remaja yang jatuh cinta untuk kemudian membawa masuk menimbang fenomena persahabatan dari sudut (a) pelakunya dan (b) objek yang menjadi pengikat persahabatan.



Pengalaman Banal



Dialog berjudul Lysis diawali dengan kisah seorang pemuda bernama Hippothales yang kasmaran dengan 3 Teks tentang persahabatan berikut ini mengambil ulang dari tulisan saya "Persahabatan Selalu Segitiga: Platon dalam Lysis'', di Majalah Basis, Nomor 01-02, Tahun ke-63, 2014, hlm. 14-23. 4 Bdk. A. Setyo Wibowo (terj.). 2009. Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis), terj. oleh A. Setyo Wibowo. Jakarta: Ipublishing.



8



Filsafat untuk Para Profesional



seorang remaja lelaki5 bernama Lysis. Bila mengikuti komentar Ktesippos6, Hippothales sebenarnya tidak benar-benar jatuh cinta kepada Lysis, karena puja-pujian Hippothales malah berbicara tentang kekayaan dan nama besar keluarga Lysis. Hippothales dengan demikian sebenarnya tidak mencintai Lysis tetapi nama besar dan kekayaan orang tua serta moyang Lysis. Dalam ungkapan lain yang lebih gamblang, para remaja yang saling jatuh cinta sering mengatakan bahwa mereka ter­ tarik pada gadis atau pemuda tertentu karena fisik mereka: ka­rena ketampanan atau kecantikan, karena aspek seksual, karena mobil dan kekayaan mereka, dan seterusnya. Kalau ada “pribadi” yang membuat seorang remaja jatuh cinta, yang dimaksud adalah bahwa yang ia taksir memiliki mobil pri­ badi, motor pribadi, kartu kredit pribadi, dan lain-lain. Lantas di mana diri orang yang dijatuhcintai? Tanda tanya besar. Dalam relasi percintaan seperti itu, bisa dipertanyakan apakah yang dicintai para cowok itu diri ceweknya, ataukah



5 Bdk. ''Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis)'', hlm. 16-17, di mana saya menerangkan fenomena paiderasteia (percintaan kepada anakanak lelaki remaja dalam bingkai paideia/pendidikan di Yunani Antik). 6 Mengomentari rekannya Hippothales, Ktesippos berkata demikian: “ (…) dan memang sangat menggelikan, Sokrates. Menjadi pengasih, dan hanya memusatkan seluruh pikirannya ke satu anak muda itu, tetapi tidak mampu mengatakan sesuatu apa pun yang khusus yang belum diketahui kanakkanak itu, tentu saja [205c] menggelikan: ia hanya menulis tentang apa yang sudah diketahui seluruh rakyat kota, mengisahkan tentang Demokratos, Lysis —kakek pemuda belia itu— dan tentang nenek moyangnya dengan seluruh kekayaan dan kuda-kuda mereka, dengan segala macam kemenangan-kemenangan yang diraih dalam pacuan kuda dan pacuan kereta kuda di Delphoi, di Isthmoi, dan di Nemea. Bukan hanya itu, ia bahkan menyangkutpautkannya sampai ke zaman Kronos segala! Dalam puisinya, suatu ketika Hippothales mengisahkan secara rinci kepada kami keramahtamahan salah satu nenek moyang keluarga itu kepada [205d] Herakles karena, katanya, mereka itu masih satu keturunan. Menurutnya, salah satu nenek moyang mereka adalah keturunan langsung Zeus dengan salah satu putri pendiri demos mereka. Singkatnya, ia mengisahkan cerita usang yang sudah diberikan juga oleh nenek-nenek tua; dan masih banyak lagi sejenis itu, Sokrates, (…).” Platon dan Komitmen Profesi



9



seks? Yang dicintai apakah si cewek itu sendiri sebagai pribadi, ataukah latar belakang kekayaan keluarganya, mobilnya? Si cewek juga perlu bertanya: apakah dengan memberikan uang, mobil, dan seks kepada pacarnya, ia boleh ayem yakin telah mendapatkan cinta?



Sokrates (atau Platon sama saja) mengatakan bahwa cara mencintai seperti itu menggelikan. Saat Hippothales gandrung, memuja-muji keluarga Lysis, membuat puisi menyanyikan ketampanan Lysis, Sokrates bereaksi kritis. Tanpa berputar ia langsung berkomentar: “Betapa menggelikan dirimu, Hippothales, engkau membuat puisi dan nyanyian pujian untukmu sendiri sebelum meraih kemenangan?” (Lysis 205d). Mengapa? Karena saat ia memuja-muji Lysis untuk “membuktikan cintanya”, sebenarnya Hippothales sedang mengungkapkan “kebutuhannya sendiri”, dan sama sekali bukan fakta tentang Lysis. Memakai padanan lain, saat seorang cowok meminta layanan seks sebagai bukti cinta dari pacarnya, di situ si cowok sedang mengatakan kebutuhannya sendiri. Ia sama sekali tidak berpikir tentang ceweknya, ia menginginkan pemenuhan kebutuhan seksnya melalui si cewek. Ini tentu menggelikan karena dengan meminta “bukti cinta lewat seks” artinya ia sedang membuka kedok dirinya sendiri. Bukan hanya wagu, cara mengejar cinta seperti itu juga bodoh! Sebagai pemburu cinta, tindakan memuja muji orang yang ditaksir atau meminta layanan seks berisiko tinggi. Kalau ternyata Lysis menolak puja-pujian, kalau si cewek tidak mau memberikan seks, habislah nasib para pemburu cinta ini. Akibat terlalu yakin diri, pemburu-pemburu konyol ini sudah membukakan muslihatnya dan bertepuk dada sebelum mangsanya didapat. 10



Filsafat untuk Para Profesional



[205e] Puji-pujian seperti itu sebenarnya tertuju pertama-tama pada dirimu sendiri, jawabku. Karena jika kamu nanti berhasil membuat idamanmu terpesona, dan ternyata ia sama dengan apa yang kau gambarkan maka puisi dan nyanyianmu akan menunjukkan kehebatanmu dan benar-benar sebuah penghormatan untuk keberhasilanmu memenangkan pemuda dari kelas seperti itu; sementara kalau pemuda belia itu lolos dari tangkapanmu, semakin tinggi istilah-istilah pujian baginya, semakin besar kamu kehilangan pesona dan kemampuanmu, dan kau akan tampak menggelikan. [206a] Itu makanya, orang yang sudah ahli dalam hal percintaan, sahabatku, tidak akan memuji kekasihnya sebelum ia berhasil mendapatkannya, karena ia berhati-hati dengan apa-apa yang belum bisa dipastikan.  Relasi cinta atas dasar fisik rupanya hanya menciptakan para pemburu cinta yang bodoh. Dan lebih bodoh lagi kalau Lysis takluk karena puisi, atau si cewek tunduk menyerahkan tubuhnya. Mereka tidak sadar bahwa mereka dimanipulasi oleh kebutuhan sempit para pemburunya. Lysis dan para cewek itu menjadikan diri mereka mangsa yang gampang ditipu. Mereka bodoh kalau percaya bahwa dengan itu mereka mendapatkan cinta para pemburu! Seorang pemburu tidak akan berhenti mencari buruan lain setelah “keinginannya” terlampiaskan.



Dalam dialog Lysis, Platon tidak berhenti hanya membahas tema tentang persahabatan/percintaan karena daya tarik fisik. Baik Platon, Aristoteles maupun kebanyakan dari kita cukup sepakat dengan fakta sederhana bahwa Platon dan Komitmen Profesi



11



persahabatan tidak pernah melulu disebabkan oleh faktor fisik. Pengalaman banal taksir-menaksir à la Hippothales menjadi titik tolak membicarakan persahabatan secara lebih dalam.



Dari Pelakunya: Tiadanya Resiprositas



Relasi persahabatan ditilik Platon dari dua sudut: dari orang-orang yang terlibat dalam persahabatan (para pelakunya) dan dari hal yang menyatukan mereka yang terlibat dalam persahabatan (objeknya). Dari sisi pelaku persahabatan, lazim diterima bahwa persahabatan mengandaikan resiprositas (kesalingan) antara dua pihak yang saling berkawan. Dan kelumrahan ini yang pertamatama dipertanyakan.



Bagi Sokrates, ada banyak kasus di mana orang menyahabati sesuatu tanpa mengandaikan adanya balasan dari pihak yang disahabati. Orang yang bersahabat (philia) karib dengan anjing misalnya, dalam cintanya kepada anjing (philokunes) jelas ia tahu bahwa para anjing tidak bisa membalas persahabatannya. Dalam contoh lain yang disebutkan Sokrates (Lysis 212d7), saat orang bersahabat



7 Lysis, 212d-213a: ''[212d] – Jika demikian, kamu perhatikan, bila dibandingkan dengan opini sebelumnya, sekarang kita berubah pendapat. Awalnya kita berpendapat bahwa cukup salah satu mencintai maka keduanya adalah sahabat; tetapi sekarang, kalau keduanya tidak saling mencintai maka tak satu pun menjadi sahabat. —Sepertinya begitu, jawabnya.— Jadi, tidak ada yang namanya sahabat bagi pengasih yang tidak dibalas cintanya. —Tampaknya tidak.— Dengan demikian, tidak ada itu yang disebut pecinta-kuda (philippoi) sejauh kuda-kuda tersebut tidak bisa membalas cinta, juga tidak ada yang namanya pecinta-burung puyuh (philortuges), pecinta-anjing (philokunes), pecinta-anggur (philoinoi) atau pecinta-olahraga (philogumnastai), demikian juga tidak ada yang namanya pecintakebijaksanaan (philosophoi) sejauh kebijaksaan tidak bisa membalas cinta. (…) Dengan demikian, Menexenos, tampaknya objek yang dicintai (si kekasih) adalah sahabat bagi dia yang mencintainya lepas dari soal apakah objek itu mencintai atau membencinya: misalnya, bayi-bayi yang baru lahir, yang entah karena belum bisa mencinta atau [213a] mungkin malah sudah membenci,



12



Filsafat untuk Para Profesional



dengan kuda, burung puyuh, atau anggur, olahraga atau bahkan kebijaksanaan (sophia), orang tahu semua bahwa apa-apa yang dicintai itu (anggur atau kebijaksanaan) tidak pernah memberikan balasan cinta yang sepadan dengan apa yang telah dicurahkan pada mereka.



Mungkin kita berpendapat bahwa dalam relasi dengan binatang atau benda, sudah wajar jika persahabatan dengan mereka tidak bersifat resiprok! Namun, dalam relasi antar-manusia, pasti ada kesalingan. Benarkah? Sokrates membantah pendapat itu. Di Lysis 213a8, contoh tentang persahabatan atau cinta orangtua kepada anak-anaknya diberikan sebagai bukti bahwa relasi philia memang tidak bersifat resiprok. Orangtua yang menyahabati dan mencintai bayinya berlaku demikian terlepas dari apakah ada balasan dari bayinya. Setelah besar pun orang tua tetap mencintai meski kadang mereka malah dibenci oleh anaknya. Lagu masa kecil mengingatkan kita ”kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya mengitari dunia.” Bila cinta orangtua sepanjang jalan, cinta anak sepanjang galah. Lewat contoh yang dialami hampir setiap orangtua, menjadi jelas bahwa persahabatan dan rasa cinta akan sesuatu tidak ditentukan oleh adanya resiprositas.



Namun, bila relasi persahabatan benar-benar tidak didefinisikan sebagai resiprositas, lalu bagaimana bisa menentukan bahwa dalam suatu relasi ada persahabatan, sementara di relasi lainnya tidak ada persahabatan? Apakah persahabatan ditentukan oleh adanya pelaku yang ketika dihukum oleh bapak atau ibunya, meski bayi-bayi itu membenci, pada saat membenci itu pun mereka tetap menjadi sesuatu (sahabat) yang paling berharga bagi orang tua mereka. —Menurut pendapatku, memang demikian halnya.— Dengan demikian, cara berpikir ini menunjukkan bahwa bukan si pengasih (philon) yang menjadi sahabat, melainkan objek yang dicintai (philoumenos, sang kekasih). » 8 Lihat catatan kaki sebelumnya. Platon dan Komitmen Profesi



13



mencintai (sebut saja ”pengasih”)? Sehingga cukup ada seorang pengasih, maka di situ ada persahabatan? Ataukah, sebaliknya, persahabatan itu justru muncul ketika ada hal/ orang yang disahabati (sebut saja “kekasih”)9?



Dalam dua kemungkinan itu, Sokrates akan menjawab bahwa cara mendefinisikan persahabatan melulu lewat pengasih atau kekasih membuat kita masuk dalam keanehan-keanehan. Dari contoh orangtua yang mengasihi anaknya, bisa disederhanakan pihak orangtua sebagai pengasih, sementara anaknya adalah kekasih. Pertama, bila persahabatan ditentukan oleh pengasih saja, maka kita melihat bagaimana orangtua mencintai anak-anaknya tanpa peduli dibalas atau tidak. Tentu dalam kasus seperti ini kita boleh trenyuh melihat kebesaran cinta si orangtua! Namun, apakah betul di situ ada persahabatan? Banyak orang akan berkomentar bahwa cinta si orang tua ”bertepuk sebelah tangan”. Bila demikian, bisakah kita mengatakan bahwa orangtua yang bersusah payah mencintai dan malah dibenci anaknya berhasil membangun persahabatan? Kedua, bila persahabatan ditentukan oleh kekasih saja, maka dalam contoh yang sama kita akan melihat bahwa si kekasih (anak) disahabati oleh musuh-musuhnya (karena orangtua sebagai pengasih adalah pihak yang dibenci oleh si anak, sehingga dari sudut anak menjadi ”musuh”). Apakah kita bisa mengatakan adanya persahabatan bila si anak bersahabat dengan orang yang dibencinya? Menurut Sokrates, tidak mungkin bahwa persahabatan digambarkan sebagai ”menjadi sahabat bagi musuhnya10”. Absurd.



9 Bdk. Lysis 212c: ''Si pengasih menjadi sahabatnya si kekasih, tidak peduli apakah cintanya dibalas atau bahkan malah dibenci; atau sang kekasih menjadi sahabatnya si pengasih?'' 10 Bdk. Lysis 213a-b: ''(…) bila sahabat adalah objek yang dicintai dan bukan subjek yang mencintai, maka akan banyak orang yang lebih sering dicintai oleh musuh-musuh mereka, dan dibenci oleh sahabat-sahabatnya, maksudnya, mereka [213b] menjadi sahabat para musuh dan menjadi musuh



14



Filsafat untuk Para Profesional



Bila semua kemungkinan gagal, lalu bagaimana mesti membicarakan persahabatan? Jika resiprositas tidak mungkin, sementara pendefinisian persahabatan juga tidak bisa dimulai dari salah satu pihak pelaku persahabatan, bagaimana bisa mengerti persahabatan11 ? Pengasih Pengasih Pengasih



Kekasih



Kekasih Kekasih



Bila ketiga skema persahabatan di atas disanggah, apakah artinya semua itu dibuang oleh Sokrates? Tidak. Umum diterima bahwa prosedur dialektika12 yang dipakai Sokrates memang menyanggah satu demi satu definisi yang diajukan, tetapi sambil tetap menyangga beberapa hal yang masih bisa diteruskan nantinya. Lewat proses penolakan atas berbagai kemungkinan memahami makna persahabatan dari sudut pelakunya, tampaknya Sokrates mengajak untuk keluar dulu dari skema relasi resiprositas



dari sahabat-sahabat mereka sendiri. Dan aku yakin, temanku yang baik, itu adalah kesimpulan yang sangat absurd, atau, lebih baik dikatakan, tidak mungkin: menjadi musuh bagi sahabatnya sendiri dan menjadi sahabat bagi musuhnya. —Tampaknya apa yang kau katakan itu benar Sokrates, katanya''. 11 Bdk. Lysis 213c-d di mana Sokrates membuat transisi dialog: ''(…) Jadi apa yang harus kita lakukan, lanjutku, bila sahabat itu ternyata bukan si pengasih bukan pula si kekasih, dan bukan pula kedua-duanya? Karena di luar itu semua masih adakah kemungkinan lainnya yang membuat kita bisa mengatakan bahwa seseorang menjadi sahabat satu bagi lainnya?—Demi Zeus, [213d] menurutku tidak ada kemungkinan lainnya lagi Sokrates, jawabnya.— Menexenos, lanjutku, bila demikian, apa itu berarti dari awal sampai akhir kita tidak melakukan penyelidikan dengan benar ?—Menurutku ada yang tidak benar, Sokrates, sela Lysis (…)''. 12 Metode dialektika adalah metode pemurnian argumentasi lewat dialog di mana berbagai pengalaman inderawi (contoh-contoh konkret persahabatan) ditunjukkan mentok-nya (aporia-nya) untuk akhirnya diabstrakkan dengan cara “menyanggah” (membuang) sekaligus “menyangga” (tetap menggunakan unsur yang bisa dipakai) unsur-unsur dari argumentasi yang sudah ada sehingga bisa disatukan secara sintetik. Platon dan Komitmen Profesi



15



yang begitu kukuh membelenggu kepala saat kita secara spontan berbicara tentang relasi philia. Tentu saja nanti akan ada waktunya di mana resiprositas akan dikaji ulang.



Dari objeknya: Pentingya Pihak Ketiga



Untuk membuka kembali diskusi tentang persahabatan, Sokrates menghentikan cara pembahasan yang mentok di atas, dan mengusulkan agar diskusi dimulai dengan membahas bilamana persahabatan dimunculkan berkat adanya “kesamaan13 “ atau “sesuatu yang berlawanan”.



Diskusi tentang persahabatan kini tidak difokuskan pada pelaku, melainkan pada hal apa yang menyatukan para pelaku terlibat dalam relasi philia. Menyitir pendapat Empedokles14 bahwa yang sama bersahabat (mengenal) yang sama, bisa jadi kesamaan objek memunculkan persahabatan! Dan seringkali pengalaman memang menunjukkan bahwa dua atau lebih orang masuk dalam relasi persahabatan karena memiliki kesamaan selera, cita-cita, atau pemikiran. Dalam pengalaman sehari-hari, kalau kita runutrunut mengapa lebih dekat dengan si A atau B, biasanya



13 Bdk. Lysis 213 -214a: ”Baiklah, alur yang tadi kita buat kita hentikan karena penyelidikan seperti itu lebih mirip dengan rute jalan yang susah; kita ambil jalan lain yang sebenarnya sudah kita lirik tadi, dan tampaknya kita harus kembali melakukan penyelidikan dengan bantuan terang [214a] para penyair karena mereka itu seperti bapak dan pembimbing ke kebijaksanaan. Apa yang mereka katakan saat menyingkapkan siapa itu sahabat tentu tidak kecil artinya; mereka beranggapan bahwa sahabat dibuat oleh yang illahi (theous) dengan cara menarik yang satu kepada yang lainnya. Cara mereka mengungkapkan hal itu kurang lebih seperti ini : ‘yang illahi (theos) selalu membimbing yang sama (ton homoion) kepada yang sama (ton homoion)’ dan membuatnya saling mengenal”. 14 Tesis “yang sama bersahabat (mengenal) yang sama” menurut Aristoteles berasal dari Empedokles(475-415 SM): ”Para filsuf alam menata segala sesuatunya menurut prinsip bahwa yang sama cenderung mencari yang sama: Empedokles dengan begitu lalu mengatakan bahwa seekor anjing duduk di atas genting karena ia sangat mirip (sama) dengannya” (Ethika Eudemeia VII 1, 1235a10).



16



Filsafat untuk Para Profesional



karena kita memiliki hobi yang sama, cara berpikir yang sama, ataupun keprihatinan yang sama. Karena samasama menyukai tanaman, motor, atau musik jazz dua orang gampang berkawan. Dalam soal negatif pun begitu: kesamaan hobi mabuk, ngebut, atau nyontek saat ujian akan membuat orang menemukan soul mate-nya. Sebaliknya, antara yang hidup borju dan pro-eoliberalisme dengan orang lain yang gayanya gembel dan membela kaum punk di pinggir jalan, mereka akan sulit bersahabat. Atas dasar fakta-fakta seperti itulah, orangtua sering mengingatkan anak-anaknya untuk memilih teman dengan benar, jangan sampai cedak kebo gupak (dekat dengan kerbau, lalu ikut kotor). Bersahabatlah dengan orang baik-baik, supaya Anda menjadi baik, dan hindari kalangan jahat, karena Anda bisa tertular ikut-ikutan jahat! Jika digeneralisasi, argumentasi “yang sama mengenal yang sama” menjadi orang baik akan bersahabat dengan orang baik, sedangkan orang jahat biasanya akan bersekongkol dengan komplotan jahatnya. Yang sama mengenal yang sama, sesama anak yang baik saling berkawan, sementara para koruptor juga saling cocok dalam berkomplot.



Argumentasi atas dasar pengalaman-pengalaman konkret ini akan diperdalam Sokrates untuk akhirnya dibantah dengan menunjukkan bukti bahwa yang sama justru tidak bisa bersahabat dengan yang sama! Pada kasus orang yang sama-sama jahat, menurut Sokrates, entah bagaimana, yang satu pasti akan menjahati lainnya. Namanya juga orang jahat, pada suatu titik ia akan menjahati kawannya. Dan bila salah satu pihak sudah menjadi korban, tentu tidak mungkin membayangkan bahwa ia akan tetap bersahabat dengan orang yang membuatnya menderita. Jadi, sesama orang jahat tidak akan bisa bersahabat. Platon dan Komitmen Profesi



17



Bagaimana dengan orang baik? Sokrates berpendapat bahwa argumentasi yang sama berlaku: sesama orang yang baik juga tidak mungkin bersahabat. Bagaimana mungkin? Karena, pertama, sejauh mereka sama-sama baik, tentu mereka tidak bisa saling membantu untuk hal-hal yang secara sama sudah mereka miliki (Lysis 214e-215a). Kedua, orang yang baik biasanya tidak membutuhkan apa pun. Orang baik bersifat autarkes15, artinya merasa cukup dengan dirinya sendiri (self-sufficient), selalu merasa sudah memiliki semua hal yang ia butuhkan, sedemikian sehingga segala macam kelebihan orang lain tidak akan berguna baginya. Namanya juga orang baik, meski kekurangan sesuatu, ia tidak akan menganggu sahabatnya. Ia berusaha mencukupkan dirinya dengan apa yang ia miliki sehingga tidak akan merepotkan siapa pun untuk membantunya. Bila demikian, mungkinkah tercipta persahabatan di antara dua orang yang tidak pernah saling membutuhkan, tidak pernah saling membantu, tidak pernah merasa kangen ketika ditinggal pergi jauh? Tampaknya persahabatan seperti itu sulit dibayangkan. Setelah membuktikan ketidakmungkinan persahabatan dari yang sama16, Sokrates memperdalam argumentasi dengan bertanya-tanya bilamana persahabatan justru muncul dari ”yang saling berlawanan17”!



15 Posisi Platon di Lysis sangat jelas: orang baik adalah autarkes dan ia berbahagia tanpa harus memiliki sahabat. Untuk posisi ini bdk. Politeia III 387d-e: “Tetapi kita (Sokrates) berpendapat bahwa jika ada orang yang bisa mencukupi dirinya sendiri untuk hidup baik (autarkes pros to eu zen), sehingga berbeda dengan yang lainnya, ia tidak membutuhkan kehadiran orang lain, orang seperti itu adalah orang bijak”. 16 Setelah menolak persahabatan antara “yang sama”, Sokrates berbicara sepintas saja tentang hal-hal yang “tidak sama”, dan kemudian langsung meloncat ke hipotesis berikutnya tentang hal yang “saling berlawanan” (Lysis 215e)! Padahal, “ketidaksamaan” (yang tidak harus saling bertentangan) justru sebetulnya menarik juga untuk dibahas guna mencari landasan sebuah persahabatan. 17 Bdk. Lysis 215c-e: ”orang itu menyatakan bahwa hal ini berlaku secara umum [215d]; justru pada hal-hal yang paling samalah ditemukan banyak



18



Filsafat untuk Para Profesional



Sokrates merujuk kepada Herakleitos18 sebagai yang menyatakan bahwa peperangan19 ( ) adalah hukum yang menopang dunia, bahwa peperanganlah yang menyatukan hal-hal yang saling bertentangan dalam sebuah harmoni. Bagi Sokrates tentu jelas dengan sendirinya bahwa yang berlawanan tidak bisa saling menginginkan. Kejahatan tidak akan menginginkan kebaikan, karena apa yang benarbenar jahat tidak bisa memiliki keinginan akan kebaikan; dan sebaliknya. Orang jahat tidak mungkin bersahabat dengan orang baik. Namun, toh faktanya dalam pengalaman kita ada hal-hal berlawanan yang bersahabat: orang sakit dengan dokternya, orang lemah dengan orang kuat, orang miskin dengan orang kaya. Kita bahkan sering menyaksikan bahwa orang bisa saling bersahabat persis karena sifat yang berlawanan: anak yang minder, kecil hati, berbadan kecil dan penakut bersahabat dengan anak yang tinggi besar dan berani. Orang yang introvert cocok berkawan dengan orang ekstrovert. Pasangan suami istri seringkali tersusun dari karakter yang berlawanan: bila si ibu pendiam, maka si bapak cerewet; bila bapak orang rumahan, maka si ibu justru macho. Keragaman adalah kekayaan, perbedaan adalah ikatan. Justru karena berlawanan, maka persahabatan menjadi indah.



kecemburuan, persaingan dan kebencian, sementara saling persahabatan justru ditemukan pada hal-hal yang paling tidak sama: karena, kata orang itu, orang miskin mau tidak mau menjadi sahabat orang kaya, orang lemah menjadi sahabat orang kuat untuk mendapatkan bantuannya, orang sakit menjadi sahabat dokter; dan tiap orang yang tidak berpengetahuan mengapresiasi dan mencintai orang yang berpengetahuan. [215e] Dengan kata-kata indah, orang itu berujar lagi bahwa dibutuhkan banyak hal supaya yang sama bisa menjadi sahabat yang sama, dan bahwa kebalikannyalah yang terjadi: karena terutama justru pada hal-hal yang paling berlawananlah ditemukan persahabatan.” 18 Aristoteles menyebutkan nama Herakleitos ketika ia berbicara tentang opini yang mengatakan bahwa hal-hal yang berlawanan saling bersahabat (Ethika Nikomaxeia VIII 2, 1155b4-6; Ethika Eudemeia VII 1, 1235a25-29). 19 Bdk. Herakleitos, fragmen-fragmen DK A1, B53, B80, B126. Platon dan Komitmen Profesi



19



Namun Sokrates mempertanyakan fakta-fakta itu: betul­ kah anak yang kurus kecil menyahabati temannya yang berbadan besar? Bila orang miskin menyahabati orang kaya, apa yang ia sahabati? Apakah si orang kayanya, ataukah harta kekayaannya? Jika seorang pasien jatuh cinta dan bersahabat erat dengan dokter, bukankah menurut ilmu psikologi di situ si pasien tidak mencintai si dokter melainkan ”figur kebapakan, figur penyembuh” yang ada pada diri si dokter?



Dalam persahabatan yang muncul dari hal-hal ber­ lawanan, Sokrates menunjukkan bahwa si anak penakut tidak menyahabati temannya yang pemberani, melainkan “keberanian” dan “rasa perlindungan” yang ia temukan pada temannya yang tinggi besar. Jadi, menurut Sokrates orang miskin tidak bersahabat dengan orang kaya, melainkan dengan harta milik orang kaya tersebut. Dan sebaliknya, si orang kaya menyahabati “rasa kasihan” yang ia temukan pada diri si orang miskin. Bila demikian, persahabatan karena “yang berlawananan” sebenarnya juga tidak ada !



Proses Dialektika



Seturut proses terakhir, tawaran pemikiran bahwa persahabatan muncul berkat “kesamaan atau perlawanan objek” disanggah oleh Sokrates. Namun, bila ditimbang, ada suatu hal yang masih disanggah di sini: relasi persahabatan antara dua orang muncul berkat sebuah “objek di luar diri mereka”. Si miskin menyahabati “kekayaan” si orang kaya, dan si kaya menyahabati “rasa kasihan lewat bantuan uang” bagi si miskin. Pihak ketiga yang mengikat persahabatan antar dua orang inilah yang oleh Platon disebut Kebaikan. Mengapa hanya Kebaikan20? Karena dalam motif apa 20 Sokrates menolak secara definitif bahwa Kejahatan bisa menjadi objek ketiga yang mengikat persahabatan antar dua orang. Mengapa? Kejahatan sebagai objek persahabatan ditolak karena tidak mungkin bahwa dua orang bersekutu demi sesuatu yang jahat! Mengapa tidak mungkin? Karena saat



20



Filsafat untuk Para Profesional



pun orang bersahabat, selalu ada sebuah Kebaikan yang diharapkan di situ. Perlu diingat bahwa dalam pemikiran Yunani, sesuatu dikatakan baik sejauh sesuatu itu berguna21. Kebaikan menjadi pihak ketiga pengikat persahabatan, karena dalam tindak perkawanan orang mencari sesuatu yang berguna baginya. Dan pada level persahabatan yang tertinggi, Sokrates akan menyatakan bahwa pihak ketiga yang menjadi pengikat persahabatan haruslah Kebaikan yang Elok22 (artinya, melampaui tataran kebaikan epithumia dan kebaikan thumos23). dua orang bersekongkol melakukan korupsi (menjadi anggota mafia untuk menggangsir uang negara), di situ pun bisa dikatakan bahwa mereka tidak bersekutu demi kejahatan! Sama sekali tidak. Secara paradoksal, komunitas para koruptor pun berpendapat bahwa mereka melakukan itu semua demi sebuah kebaikan (artinya, saat korupsi mereka tidak menyadarinya sebagai kejahatan, melainkan sebuah kebaikan karena saat mencuri uang itu mereka sedang mengumpulkan uang guna membayar hutang, atau menumpuk harta demi kesejahteraan keluarga dan konstituennya, atau berbagai alasan lainnya yang menjadikan itu korupsi itu “baik” untuk dilakukan). 21 Sebuah buku dikatakan ”baik” karena berguna. Kalau kita mengatakan makan itu baik, karena makan berguna bagi kita. Bila filsafat atau kesetiaan kita katakan ”baik”, itu juga karena berguna ! Maka Kebaikan di sini harus ditafsirkan dalam tingkat-tingkatan yang berbeda: kebaikan epithumia (kebaikan pada bagian jiwa perut ke bawah yaitu: makan, minum, seks, atau gampangnya uang), kebaikan thumos (kebaikan pada bagian jiwa di dada: harga diri dan kekuasaan), kebaikan rasional (kebaikan pada bagian jiwa logistikon di kepala: nilai-nilai kebaikan yang benar-benar baik, benar dan indah). Bdk. uraian lebih lengkap dalam Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis), catatan kaki nomor 48, hlm. 97-98. 22Bdk. Lysis 216b-d: ”Dengan demikian, yang sama tidak menjadi sahabat yang sama dan yang saling berlawanan juga tidak saling menjadi sahabat. —Tampaknya memang tidak bisa. [216c] Meski begitu, kita periksa dulu satu hal lagi, bisa jadi kita lebih keliru lagi, karena sahabat tidak ada sangkut pautnya dengan semua hal di atas: (…). – Demi Zeus, aku sendiri tidak tahu, yang jelas aku pusing menghadapi jalan buntu (aporia) diskusi kita, dan aku cenderung setuju dengan pepatah kuno yang mengatakan bahwa objek persahabatan adalah keelokan (to kalon). (…) [216d] (…) Jadi, kutegaskan bahwa kebaikan itu elok; apa kamu tidak sependapat? —Tentu saja aku setuju.— Kalau begitu, mengikuti cara orakel berbicara, aku nyatakan bahwa sahabat keelokan dan kebaikan (tou kalou te kai tou agathou) bersifat sekaligus tidak baik dan tidak jahat” 23Lihat catatan kaki no. 19. Platon dan Komitmen Profesi



21



Dari kajian yang sudah dibuat di awal dialog, sudah jelas bahwa tidak ada resiprositas antara dua orang yang bersahabat. Tidak ada relasi kesalingan di antara dua pelaku persahabatan. Antara si Tono dan Tini, tidak ada satu pun pihak yang bisa berperan menjadi pendefinisi persahabatan. Kajian tentang “objek persahabatan” justru menunjukkan bahwa ada tidaknya persahabatan ditentukan oleh pihak ketiga yang menjadi pengikat antara Tono dan Tini.



Bila prosedur dialektika telah menemukan objek (pihak ketiga) yang membuat persahabatan muncul, lantas siapa para pelaku yang bisa terlibat dalam persahabatan? Pertanyaan ini masih menggantung. Siapakah Tono dan Tini ini? Kita bisa membayangkan misalnya keduanya terlibat relasi persahabatan karena sama-sama suka wisata kuliner. Pihak ketiga bernama “hasrat mencari makanan-makanan baru” adalah yang menyatukan Tono dan Tini. Atau lebih luhur lagi bisa dibayangkan bahwa Tono dan Tini tersatukan sebagai sahabat karena sama-sama “berasal dari Yogya”. Hasrat dan kebanggaan sebagai orang Yogya yang menjadikan mereka bersahabat. Namun, bisa jadi juga Tono dan Tini rupaya menjadi dekat dan tersatukan karena sebuah nilai “ingin membentuk keluarga yang bahagia”. Dari contoh-contoh itu bisa diraba bahwa para pelaku persahabatan adalah orangorang yang merasakan dirinya kekurangan akan sesuatu (menghasrati, menginginkan, merasa ingin dipenuhi akan sesuatu). Dengan istilah yang lebih abstrak, para pelaku persahabatan adalah mereka-mereka yang “merasa memiliki kekurangan dan menghasrati Kebaikan (dalam arti pihak ketiga, yang menjadi pendefinisi ada tidaknya persahabatan)”. Dalam argumen inti Lysis, persahabatan atau relasi cinta hanya mungkin manakala orang merasakan adanya suatu “kekurangan”. Rasa kurang yang pokok dalam diri manusia, menurut Sokrates, adalah ”rasa kurang akan Kebaikan”.



22



Filsafat untuk Para Profesional



Sejauh orang masih merasakan kekurangan akan Kebaikan, maka jelas ia ”bukan orang jahat”. Dan sejauh seseorang masih merasa kurang dalam Kebaikan, maka benar juga bahwa orang ini ”bukan orang baik”. Di mulut Sokrates sendiri, para pelaku persahabatan adalah dia yang “tidak baik sekaligus tidak jahat” (Lysis, 220d). Persahabatan hanya muncul di antara dua orang yang sama-sama merasakan aspirasi (kekurangan) yang sama kepada proton philon (objek pertama persahabatan) yaitu Kebaikan.



Orang yang sudah baik, dalam arti absolut, tidak merasakan kekurangan akan Kebaikan sehingga tidak bisa dikatakan memiliki aspirasi ke Kebaikan. Persahabatan antar orang-orang yang self-sufficient sudah ditunjukkan ketidakmungkinannya. Sebaliknya, Sokrates tidak percaya bahwa ada orang yang jahat secara absolut, mengingat tidak ada satu orang pun yang secara sadar menginginkan Kejahatan. Doktrin sokratik yang terkenal adalah: tidak ada satu orang pun yang berbuat jahat secara sengaja.



Sokrates juga sudah menyanggah kemungkinan persahabatan antara “yang sama” (sesama orang baik atau sesama penjahat). Ia juga sudah menggugurkan kemungkinan persahabatan antara “yang berlawanan” (antara orang baik dengan orang jahat). Maka kemungkinan yang tertinggal hanya satu, yaitu, hanya orang yang tidak seratus persen baik sekaligus tidak seratus persen jahatlah yang bisa merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu sehingga kemudian terlibat dalam persahabatan. Hanya yang tidak baik dan tidak jahat, artinya sebagian besar dari kita-kita ini, yang masih bisa merasa kurang akan sesuatu, yang bisa menjadi pelaku-pelaku persahabatan.



Platon dan Komitmen Profesi



23



Persahabatan Selalu Segitiga Dialog Lysis dengan demikian menyatakan bahwa persahabatan bersifat sekaligus resiprok dan nonresiprok. Maksudnya, pertama, persahabatan bersifat resiprok (ada relasi kesalingan antara Tono dan Tini) dalam arti bahwa ketika mereka berdua sama-sama mengaspirasikan ke Kebaikan tertentu, mereka terjalin dalam persahabatan yang saling menyenangkan, saling membanggakan, dan berguna satu sama lain. Resiprositas terbangun berkat relasi dengan pihak ketiga. Namun, dalam arti kedua, persahabatan juga bersifat nonresiprok dalam arti a) bahwa pihak ketiga (Kebaikan) yang menjadi aspirasi mereka tidak pernah bisa “membalas” kepada Tini dan Tono. Tidak ada kesalingan antara Tono dengan Kebaikan dan antara Tini dengan Kebaikan. Dan b) tiadanya resiprositas juga tampak bila suatu saat salah satu pelaku persahabatan berhenti mengaspirasikan Kebaikan. Bila Tono memutuskan tidak lagi menyukai Kebaikan yang semula menjadi pengikat antara dia dengan Tini, pada saat itulah relasi Tono dan Tini berakhir. Tono dan Tini akan putus persahabatan.



Persahabatan bagi Platon bersifat segitiga di mana resiprositas antarpelakunya bersifat relatif (bukan yang utama). Hangatnya relasi kesalingan antar dua pelaku persahabatan hanyalah efek dari komitmen tiap pelaku persahabatan pada Kebaikan (pihak ketiga) yang ada di luar mereka. Kehangatan resiprositas tidak pernah menjadi tujuan dalam persahabatan. Ia hanyalah efek yang akan berakhir dengan sendirinya mana kala salah satu pelaku tidak lagi merasa terlibat dengan pihak ketiga (Kebaikan).



24



Filsafat untuk Para Profesional



Kebaikan (Pihak Ketiga) tidak ada resiprositas Tono



resiprositas relatif



tidak ada resiprositas Tini



Resiprositas dalam persahabatan tentu dianggap penting oleh Sokrates (bdk. Lysis 212a, 222a24, 223b). Namun, jelas juga bahwa persahabatan tidak pernah berarti sekadar relasi kesalingan antar dua sahabat. Bagi Sokrates, persahabatan dengan proton philon (sahabat yang pertama, sahabat sejati, yaitu Kebaikan), adalah dasar dari semua persahabatan. Efek dari persahabatan dengan Kebaikan ini yang membuat orang-orang yang menyahabatinya menjadi ”satu keturunan25 (oikeion)” , terlibat dalam resiprositas. Dengan begitu, soal resiprositas mesti diletakkan pada tempatnya: resiprositas tidak pernah menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, relasi kesalingan hanya muncul sejauh masing-masing pihak berkomitmen pada Kebaikan (bdk. Lysis 219b-220b). Resiprositas yang ada dalam persahabatan hanya mungkin bila dilandaskan pada aspirasi nonresiprokal dari masing-masing sahabat kepada Kebaikan dan pengetahuan.



24 Lysis 222a menjadi peneguhan bahwa relasi philia yang didasarkan pada cinta pada Kebaikan (proton philon) tidak menghilangkan dimensi kesalingan (resiprositas). Cinta seorang pengasih (sahabat) sejati layak dibalas oleh sang kekasih. Kesalingan ini muncul karena kedua-duanya memiliki aspirasi yang sama kepada Kebaikan. Dengan demikian, justru cinta nonresiprokal dari masing-masing kepada Kebaikan inilah yang menjadi dasar bagi munculnya resiprositas antara pengasih dan kekasihnya. Pada gilirannya, cinta masingmasing kepada Kebaikan akan menyuburkan dan senantiasa mengajak ke "lebih baik" cinta resiprokal mereka yang, harus diakui, tidak lepas dari bahaya ketertutupan dan kemandulan. 25 Bdk. Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis), catatan kaki no 46, 155, hlm. 96-97, 130. Platon dan Komitmen Profesi



25



Tiga Tingkat Kebaikan Relasi persahabatan (philia) mirip dengan relasi cinta yang dilandasi oleh Eros. Meski saat ini disalahpahami sekadar sebagai erotisme, kata Eros di filsafat Yunani bermakna luas, menggambarkan drive (hasrat) yang menggerakkan manusia26. Menurut Platon, orang bersahabat karena adanya hasrat/kekurangan akan sesuatu. Dan sebagai hasrat, kata Eros mewakili tiga jenis rasa kurang yang ada pada manusia sebagaimana tampak dalam bagian-bagian jiwa epithumia, thumos, dan logistikon. Bila dalam dialog Lysis persahabatan muncul karena aspirasi (rasa kurang) orang pada Kebaikan, kita bisa menafsirkan adanya tiga manifestasi Kebaikan (yang selalu berguna27).



Ada orang yang saling bersahabat karena sama-sama suka makan, minum, dan seks (atau dirangkum oleh Platon sebagai uang). Bagi dua sahabat ini, hal-hal itulah yang menjadi Kebaikan yang dikejar sejauh hal-hal tersebut mereka anggap berguna untuk memenuhi rasa kurang diri mereka. Di tingkat ini, Kebaikan yang kita bicarakan adalah Kebaikan level nafsu-nafsu perut ke bawah (bagian jiwa epithumia). Para pecinta kuliner, komunitas peminum oplosan, atau para koruptor yang gila uang adalah contohcontoh nyata persahabatan epithumik. Di mata Platon, di tingkat ini, Kebaikan yang dikejar bersifat irrasional karena ia menuntut dipuasi tanpa henti-henti dengan risiko menghancurkan integritas diri manusia.



26 Bdk. catatan kaki nomor 1, dari A. Setyo Wibowo. 2010. Areté: Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 170-171. Saya mengutip di situ pendapat A.H. Armstrong [dalam A.H. Armstron. 1949 (first edition 1947) An Introduction to Ancient Philosophy. London: Methuen & Co. Ltd. hlm. 42[ yang menyatakan bahwa sebagai drive, Eros termanifestasikan dalam nafsu (epithumia), hasrat di dada (thumos), dan idam-idaman para filsuf untuk menggapai keindahan yang ilahi (logistikon). 27 Lihat catatan kaki sebelumnya, nomor 19.



26



Filsafat untuk Para Profesional



Ada juga orang yang saling bersahabat karena samasama memiliki ambisi politis, memiliki harga diri dan gengsi tertentu sebagai suku X atau fans klub sepak bola Y. Bagi para sahabat di tataran ini, yang menyatukan mereka bukan lagi Kebaikan dalam arti uang, melainkan Kebaikan dalam arti “ambisi, kekuasaan, harga diri”. Terlepas dari soal uang, mempertahankan identitas diri sebagai anggota geng motor adalah “harga mati”, membela nama kelompok adalah spirit yang harus dilakoni biar masuk penjara sekalipun! Di tingkat ini, kita temukan persahabatan-persahabatan yang melampaui dan mengatasi urusan perut ke bawah. Para bobotoh Persib, para atlet, dan tentara bersahabat membentuk kesatuan dalam kebanggaan identitas klub, negara, atau kesatuan pasukan bukan karena motif uang. Di tataran ini, kita berbicara tentang sebuah Kebaikan yang berguna juga bagi mereka yang menghasratinya. Namun, Kebaikan yang terletak di tingkat bagian jiwa di dada (thumos, tempat bercokolnya rasa bangga diri, harga diri) ini toh bersifat irasional. Mengapa irasional? Karena ambisi dan harga diri adalah sesuatu yang bisa menggelembung berlebihan dan membahayakan keutuhan diri manusia. Sebagaimana irasionalitas hasrat perut ke bawah, hasrat di level dada juga mesti diatur dan dikendalikan oleh rasio (logistikon). Pemenuhan rasa kurang di tingkat epithumia dan thumos tentu memberikan kesenangan/kenikmatan dan kegunaan, tapi masih jauh dari kebahagiaan.



Akhirnya, ada orang yang saling bersahabat karena sebuah nilai yang melampaui nafsu atau gengsi harga diri. Kebaikan yang dijadikan landasan di sini adalah sesuatu yang abstrak, yang melampaui sekadar pemuasan nafsu dan ambisi. Ada orang yang bersahabat karena nilai memperjuangkan keadilan. Pasutri menjadi sahabat langgeng karena keduanya menghasrati nilai kesetiaan. Platon dan Komitmen Profesi



27



Atau, bahkan ada orang-orang yang menyebut dirinya para sahabat Tuhan karena Kebaikan yang menjadi objek pemenuhan rasa-kurang mereka adalah nilai Tuhan sendiri. Kebaikan ini, meski abstrak, dikejar karena menurut mereka berguna bagi hidup mereka. Nilai kegunaan di sini bukan lagi bersifat fisik dan utilitaris (untung-rugi), melainkan disebut berguna karena dianggap layak dipilih, memiliki nilai dalam dirinya sendiri untuk dihayati. Di tingkat ini, persahabatan muncul karena orang mencintai nilai (keadilan, kesetiaan, kebaikan sejati). Orang-orang yang bersahabat karena nilai abstrak dengan sendirinya sudah bisa mengendalikan dan menundukkan egoisme harga diri (thumos) maupun nafsu dan keinginan akan hal-hal material (seperti makan, minum, dan seks). Pada tingkat inilah yang dimaksudkan Platon dengan Kebaikan yang dilandaskan pengetahuan (artinya rasional), sebuah Kebaikan yang dengan sendirinya elok28. Dengan mengendalikan rasa senang dan nikmat (di tingkat epithumia dan thumos), Kebaikan di tingkat logistikon akan memberi efek rasa bahagia (sebuah rasa di mana meski ada kesusahan dan kesengsaraan, tetapi toh dipilih dan dijalani).



28 Di Lysis 216c Sokrates mengatakan bahwa Kebaikan adalah sahabat dari apa yang “tidak baik sekaligus tidak jahat”. Kemudian ia mengutip pepatah kuno yang mengatakan bahwa yang menjadi sahabat (yang layak dicintai) adalah Keelokan. Dari situ lalu disimpulkan bahwa objek persahabatan adalah apa yang elok dan baik (kedua hal ini dianggap sama saja: yang baik itu elok, dan sebaliknya, yang elok itu baik). Dialog Platon yang lain, Symposion 204e, juga mengatakan hal yang sama. Bila di Lysis Platon mulai dengan menunjukkan Kebaikan sebagai objek persahabatan, dan baru kemudian Kebaikan itu disamakan dengan keelokan, di Symposion alur argumentasinya terbalik: objek pertama Eros adalah apa yang elok, dan baru kemudian yang elok itu disamakan identitasnya dengan yang baik. Perbedaan tekanan ini bisa dipahami sejauh persahabatan (philia) memang mencari pertama-tama apa yang baik (dan baru secara sekunder keelokan) sedangkan cinta (Eros) mencari pertama-tama yang elok (dan kalau mungkin, secara sekunder, apa yang baik).



28



Filsafat untuk Para Profesional



Resiprositas itu Relatif Dalam relasi persahabatan, kesalingan antara dua pihak yang bersahabat bukanlah yang terpenting. Ambil contoh relasi persahabatan di tingkat epithumia. Apakah orang-orang yang mencintai makan, minum, dan seks selalu terlibat dalam kesalingan? Secara sepintas tampaknya demikian! Ketika rasa kurang dalam seks berlanjut ke relasi seksual, tampaknya ada kesalingan di antara pelakunya. Benarkah? Banyak kasus menunjukkan bahwa hasrat seseorang tertuju pada “seks itu sendiri” daripada kepada pasangannya! Banyak orang kemudian bosan dan bergantiganti pasangan. Dalam soal cinta pada makanan, dengan lebih jelas kita lihat bahwa persahabatan antarorang-orang yang sama-sama suka wisata kuliner terbentuk karena mereka cinta pada “makanan”, dan bukan karena cinta pada si sahabat di depan matanya! Seorang pecinta minuman pun tidak akan peduli apakah temannya sama atau berbeda. Asal sama-sama suka minum, ia bersahabat dengan siapa saja. Relasi kesalingan bersifat relatif dalam persahabatan.



Mengambil contoh yang lebih intelek, tentu kita pernah mendengar relasi persahabatan antara Platon (guru) dan muridnya (Aristoteles) yang rumit. Aristoteles terkenal mengatakan Amicus Plato, sed magis amica veritas (terjemahan bebasnya dalam bahasa Inggris: I like Plato, but I like the truth even more). Pada frase pertama dikatakan “Amicus Plato” (Platon adalah sahabat). Namun, di frase selanjutnya dijelaskan bahwa “sed magis amica veritas” (tetapi kebenaran adalah sahabat yang lebih besar). Pernyataan ini kemudian ditafsirkan: “meskipun Platon adalah sahabatku, tetapi maaf, karena kebenaran adalah sahabatku yang lebih besar, maka demi kebenaran kawanku bernama Platon aku singkirkan”. Benarkah tafsir Platon dan Komitmen Profesi



29



yang mengatakan bahwa karena kebenaran lebih penting, Aristoteles membuang persahabatannya dengan Platon?



Tafsiran itu bisa benar kalau definisi persahabatan digantungkan pada relasi mutual antar keduanya yang mesti saling sepakat dalam segala hal. Posisi Aristoteles sendiri yang mengkaitkan secara erat definisi persahabatan dengan “relasi kesalingan” menunjukkan bahwa lewat pernyataannya tersebut ia menyatakan putus hubungan dengan Platon gurunya. Kata hubung “sed” (tetapi) mempertegas kesimpulan itu. Namun, kalau bertitik tolak dari definisi Platon sendiri bahwa persahabatan tidak pertama-tama dilandaskan pada relasi kesalingan, kita bisa memiliki perspektif lain. Ketika Aristoteles mengatakan “Platon adalah sahabatku, tetapi kebenaran adalah sahabatku yang lebih besar”, di situ tidak ada pecah kongsi. Di mata seorang platonisian, fakta bahwa Aristoteles bersahabat dengan “nilai kebenaran” memang dengan sendirinya membuat ia hanya bisa bersahabat dengan orang-orang lain yang sama-sama mencintai “nilai kebenaran”! Oleh karena itu, sejauh Aristophanes, Euripides atau Platon “mencintai kebenaran”, seorang platonisian akan mengatakan bahwa mereka otomatis menjadi sahabat Aristoteles juga. Sejauh mereka sama-sama berjuang mendekatkan diri pada kebenaran, meski teori dan caranya berbeda-beda, mereka semua adalah sahabat. Platon adalah sahabat Aristoteles, tetapi cinta pada kebenaran selalu lebih besar, selalu mengatasi persahabatan manusiawi antara keduanya. Persahabatan platonis tidak pernah berpusat pada manusia di depan matanya. Orang-orang saling bersahabat secara platonis bila mereka sama-sama menatap nilai di luar mereka berdua. Persahabatan platonis bersifat triangular. Maka dilepaskan dari kesempitan relasi kesalingan yang dipegang Aristoteles, sudut pandang Platon



30



Filsafat untuk Para Profesional



tentang persahabatan justru mengekalkan relasi mereka sebagai dua sahabat pecinta kebenaran29.



Kepentinganlah Yang Abadi



Tidak ada yang abadi dalam perkawanan, hanya kepentingan yang abadi! Bila kata kepentingan itu kita ganti dengan Kebaikan sebagaimana analisis Platon, kita bisa mengakui kebenaran pepatah populer tersebut. Pertama, memang benar perkawanan (dalam arti relasi antardua kawan) tidak pernah didefinisikan oleh pelaku-pelakunya. Dalam arti itu perkawanan memang bersifat relatif dan tidak abadi! Resiprositas bukanlah hal yang paling sakral dalam persahabatan. Kedua, meski benar bahwa yang abadi adalah kepentingan (pihak ketiga), toh harus dipilah-pilah antara kepentingan yang rendah (di tingkat epithumia dan thumos) dan kepentingan yang luhur (di tingkat logistikon).



Keterlibatan seseorang dalam sebuah perusahaan atau organisasi bisa dilihat pula sebagai sebentuk relasi persahabatan. Hidup menjalani profesi tertentu, mengikatkan diri pada sebuah kelompok, lewat analisis Platon, kiranya bisa kita pilah-pilah dengan lebih jelas. Jarang orang masuk ke perusahaan karena mencari sahabat! Kalau ia akhirnya komit penuh pada perusahaan tempat ia



29Kita bisa berhandai-handai seperti berikut ini. Aristoteles di Ethika Nikomaxeia memberikan uraian tentang tiga hal yang menjadi ikatan persahabatan: the pleasant, the useful, the good. (“Les phileta, ce qui est aimable, digne d’amitié sont le bon, l’agréable et l’utile.” bdk. Jacques Ricot, Leçon sur l’Ethique à Nicomaque d’Aristote: livres sur l’amitié, Paris: PUF, 2001, hlm. 50). Meskipun Aristoteles menekankan kesalingan dalam relasi persahabatan (bdk. Ethika Nikomaxeia VIII 2 1156a 3-5: “to be friends, then, they must be mutually recognized as bearing good will and wishing well each other …”), ternyata bila dibaca secara platonisian, uraiannya juga menekankan pentingnya “pihak ketiga” yang mengikat relasi dua sahabat (yaitu, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang berguna, dan sesuatu yang sungguh-sungguh baik secara sejati). Dengan persepektif itu, wajar bila Aristoteles juga menyimpulkan bahwa pihak ketiga yang terakhir (the good) adalah bentuk persahabatan yang paling menarik. Platon dan Komitmen Profesi



31



bekerja, menemukan sahabat-sahabat di situ, seturut intuisi Platon maka “kehangatan persahabatan” hanyalah efek yang muncul dari kebaikan yang dikejar oleh tiap orang yang masuk ke perusahaan tersebut. Masalahnya, sekali masuk dalam sebuah tim di perusahaan, para pekerja sering dianggap sebagai sekumpulan kawan. Supaya tidak salah memahami makna “persahabatan” ini, perlu memilah-milah dengan tajam “pengikat” yang muncul di antara orang-orang yang terikat dalam organisasi tersebut.



Dalam organisasi, ada berbagai cara supaya ikatan (komitmen) muncul sehingga orang tampak profesional dalam menjalankan tugasnya. Supaya karyawan lebih komit dengan organisasi, hampir semua organisasi berusaha mengikat anggotanya dengan memberikan insentif dan fasilitas material yang penuh daya tarik (sistem penggajian, jaminan sosial, dan berbagai keuntungan lainnya). Kebaikan yang ditawarkan perusahaan kepada karyawannya adalah kebaikan pada tingkat epithumia. Namun seringkali remunerasi finansial tidak cukup. Supaya orang lebih komit pada organisasinya, seringkali perusahaan berusaha mengangkat rasa kebersamaan dan rasa bangga diri terhadap brand perusahaan (dibandingkan organisasi lainnya). Selain pemberian gaji, perusahaan akan membuat sistem penjenjangan karier sedemikian rupa sehingga orang merasa dihargai dan memiliki rasa khusus dalam organisasi tersebut. Yang disentuh dalam tataran ini adalah thumos. Lebih tinggi lagi adalah tahapan menakala organisasi merasa perlu bahwa karyawannya memiliki pemahaman yang sama akan nilai-nilai yang diperjuangkan organisasi tersebut, misalnya nilai keadilan, kepedulian pada lingkungan hidup, kreativitas berbasis lokal. Komitmen karyawan pada perusahaannya berada pada tataran nilai yang lebih daripada



32



Filsafat untuk Para Profesional



sekadar mencari gaji atau mendapatkan rasa bangga diri, melainkan pada value yang pada dirinya sendiri benar dan indah. Pada tahapan ini tidak ada lagi dikotomi antara manajemen dan karyawan karena semuanya menatap satu kebaikan yang sama yang mengikat mereka dalam sebuah organisasi. Pada titik yang ideal, keterikatan pada ide yang sama ini bahkan bisa mengalahkan kepentingan gaji dan brand.



Maka memang benar bahwa ketika masuk sebuah organisasi, kebanyakan orang tidak pertama-tama mencari sahabat! Ia merasa “kurang atas sesuatu”, dan kekurangan inilah yang menjadi “nilai kebaikan” atau kepentingan yang dikejar lewat organisasi tersebut. Dari komitmen personal terhadap kebaikan yang dikejar inilah, di organisasi atau perusahaan yang dimasukinya, pelan-pelan ia menemukan sahabat (artinya orang-orang yang mengejar nilai yang sama yang ia cari). Kehangatan resiprok bukanlah tujuan berorganisasi, kehangatan hanyalah efek. Bila semua anggota masing-masing komit pada value yang dipegang, kehangatan akan muncul dengan sendirinya. Apakah value yang menjadi pengikat hendak ditingkatkan dari tingkat basic needs (uang) ke value yang benar-indah-baik, hal ini tergantung pada banyak kondisi. a



Platon dan Komitmen Profesi



33



2



Epikuros untuk Para Konsultan Diet B. Herry-Priyono



D



ewasa ini, ketika kebutuhan makan dan minum dapat dipuaskan dan dijamin oleh rantai produksi yang dijamin industri pangan, orang mulai prihatin dengan kesehatan dan penampilan tubuhnya. Jika mau sehat dan berpenampilan menarik, makan dan minum harus ditakar dan dipilih secara bijak. Profesi konsultan diet menjadi penting. Epikuros memberi nasihat yang bagus untuk profesi ini. Siapakah Epikuros? Ia seorang dari Athena, putra Neocles dan Chaerestrate, keluarga bangsawan Gargettus (Laertius 1901: 424). Ia hidup sekitar 341-270 SM. Dikatakan sekitar tahun 306 SM, ketika dunia Yunani kuno “digulung awan gelap, seorang yang mengaku tidak sependapat dengan kaum Platonis kembali tinggal di Athena dan mulai menggarap kebun” (Harrison 2008: 71-72). Waktu itu, ia berumur sekitar 35 tahun. Ia membeli rumah di dataran Melite dan sebuah kebun di luar pintu gerbang Dipylon, “yang dibeli dengan harga 80 minas”. Kebun/taman (garden) itu terletak di pinggir jalan sama yang mengarah ke sekolah Plato, yaitu Academia.



34



Mazhab Taman Di kebun/taman itulah salah satu aliran filsafat paling berpengaruh dalam sejarah dimulai, dianut para pemikir besar, dan menyebar ke seluruh dunia (Wilson 2008). Nama mazhab filsafat itu Epicureanisme, istilah yang langsung diambil dari nama pendirinya, Epikuros. Aliran filsafat ini juga sering disebut ”Mazhab Taman” (The Garden School). Mazhab Taman berdiri dan maju di antara sekolah Academia (yang didirikan Plato) dan sekolah Lyceum (yang didirikan Aristoteles). Ketiga sekolah itu punya infrastruktur yang mirip: rumah pribadi (residensi, perpustakaan, ruang makan) dan lahan luar untuk kelas dan proses mengajarbelajar. Tetapi ada perbedaan mendasar dalam status kepemilikan. Sementara Academia dan Lyceum mencakup lahan gimnasium yang ada pada kawasan “publik” polis, taman milik Epikuros merupakan milik “pribadi”. Status ini mempunyai implikasi penting: “Mazhab Taman tidak sepenuhnya kena regulasi otoritas polis maka ia merupakan sekolah yang menikmati apa yang kini mungkin disebut kebebasan akademik” (Harrison 2008: 72).



Dari pokok itu juga tercermin salah satu ciri sentral ajaran Epikuros. Ia tidak punya hasrat dan ambisi terlibat dalam ketegangan-ketegangan politik serta urusan polis. Dalam arti itu, Epikuros membedakan diri dari ciri pemikiran mainstream Yunani kuno, dengan “me-depolitisasi gagasan ‘kebahagiaan’ (eudaimonia) dan memutus kaitannya dengan ide tradisional tentang kewarganegaraan (citizenship)”. Kecuali kaum Sinis (Cynics), hampir semua filosof Yunani seperti Pythagoras, Protagoras, Plato, Aristoteles, dan kaum Sophist meyakini bahwa hanya dengan menjadi warga polis seorang merealisasikan kemanusiaan dan kebahagiaannya —“Manusia tanpa polis ibarat satu buah catur kesepian” (Aristoteles). Epikuros untuk Para Konsultan Diet



35



Tetapi, apa maksud Epikuros dengan depolititasi gagasan “kebahagiaan”? Berbeda dengan Plato yang mengasing dari urusan politik karena ingin merevolusi politik dengan filsafat (to revolutionise politics by philosophy), Epikuros meyakini bahwa filsafat mesti mengabdi pada kepentingan kebaikan tertinggi (summum bonum), yaitu hidup itu sendiri, dan bukan kepentingan polis. Itu karena ia mengenakan cara-berpikir bahwa polis adalah infrastruktur “perantara” bagi pencapaian kebahagiaan hidup. Dengan itu, Epikuros juga bukan mau mengabaikan pentingnya urusan polis, melainkan ia menawarkan cara berpikir untuk membangkitkan sentralitas kebahagiaan hidup. Seluruh perjuangan dalam urusan polis adalah upaya membuat polis mengarah kepada tujuan kebahagiaan hidup.



Itu juga berarti, “pengunduran diri” Epikuros dari urusan publik polis perlu dipahami bukan sebagai pelarian ke dalam privacy, tetapi lebih sebagai retret (retreat) berhadapan dengan kebusukan politik. Cara hidup komunitas yang intensif dengan keketatan kode etik berbagai keutamaan dalam ajaran Epikuros mengisyaratkan bahwa “taman” bukan benteng privacy dan kesendirian. Apa yang diajukan Epikuros dan Epicureanisme lebih menunjuk keutamaan dalam pengasingan politik: “Tatkala hidup publik melumpuhkan perkembangan pribadi, sangatlah penting berbagai keutamaan sosial menemukan suaka yang berjarak, tapi tidak terpisah, dari dunia” (Harrison 2008: 81). Itulah arti “taman” dalam ajaran Epikuros. Ambisi Epikuros bukan menyelamatkan polis lewat filsafat. Agendanya lebih bersahaja, menciptakan ruang di tengah neraka politik dengan menyediakan “tanah” serta “taman” bagi pertumbuhan pribadi. Kebusukan hidup publik ditanggapi bukan dengan apati dan fatalisme, tetapi dengan keniscayaan retret bagi olah



36



Filsafat untuk Para Profesional



“tanggungjawab-diri” (self-responsibility), seperti yang juga dituntut dalam olah-dinamika organik kehidupan taman. Kepastian layu dan kematian (mortalitas) bukan untuk ditolak, tapi untuk dipeluk dan di-transfigurasi-kan menjadi jalan kebahagiaan. Penerimaan akan keterbatasan juga membuat kaum Epicurean tidak memuja “matiraga” (asceticism) dalam arti tradisional. Epikuros dan Epicureanisme tidak mengutuk atau merayakan tubuh; mereka memeluk kebertubuhan dalam dimensi sosial, sensual, dan hasrat menurut “cara bertindak” tertentu. Dan, sebagaimana akan dijelaskan, Epikuros memahami “kenikmatan” sebagai inti kebahagiaan bukan dalam arti yang kini luas dimengerti, melainkan sebagai hasil transfigurasi fakta keterbatasan dan mortalitas. “Jika menyingkirkan semua daya rasa-merasa, engkau bahkan tidak akan punya apa pun tersisa yang dapat kauacu, atau dengan apa engkau mungkin sanggup menilai kesalahan perasaan yang engkau cela” (Epikuros dalam Laertius 1901: 476).



Untuk memahami ajarannya, pentinglah tahu bahwa taman Epikuros mencakup dapur yang dikelola muridmuridnya. Epikuros serta semua anggota sekolah makan buah-buahan dan sayur-mayur yang ditanam dan dihasilkan dari kebun itu. Namun, perlu ditegaskan bahwa semua itu dilakukan bukan demi urusan diet atau sekadar bercocoktanam. Semua aktivitas berkebun dan mendayagunakan hasil (menanam, memanen, memasak, memakan) dilakukan sebagai bentuk pendidikan (education) dalam seluk-beluk hukum alam (the ways of nature): siklus lahir, tumbuh, dan membusuk, keseimbangan sikap, perimbangan antara unsur tanah, air, udara, sinar matahari. Epikuros untuk Para Konsultan Diet



37



Pada lingkup mikro “kebun/taman” itulah murid-murid Epikuros diajari unsur-unsur inti daya-kehidupan, yang kemudian ditarik bagi pemahaman atas daya-kehidupan pada lingkup besar kosmos: bagaimana jiwa manusia menemukan kaitan esensialnya dengan realitas fisik/ material kehidupan. Dengan itu, Mazhab Taman juga secara terus-menerus mengajarkan hakikat hidup (life): semua bentuk kehidupan pada dirinya mortal (terbatas dan bisa mati) dan hidup manusia berbagi “nasib” dengan apa saja yang tumbuh dan mati di bumi. Sebagaimana kebun adalah realitas pengelolaan organik kehidupan, dan segala tumbuhan di situ perlu dirawat cermat, begitu pula jiwa manusia perlu dipelihara melalui kultivasi moral, spiritual, intelektual, dan fisik. Bagaimana seni pengelolaan jiwa?



Etika Kebahagiaan



Tujuan tertinggi proses pendidikan dalam ajaran Epikuros bukanlah “kebijaksanaan” dan “keadilan”, tetapi pencapaian “kebahagiaan”. Sekali lagi, pokok ini perlu dipahami dalam pengertian yang telah disebut di atas: Epikuros bukan bermaksud mengabaikan urusan polis atau masyarakat, melainkan sedang mengingatkan ciri personal kebahagiaan. Epikuros memahami “kebahagiaan” (eudaimonia) sebagai kondisi jiwa (pikiran, emosi, fisik) yang ditandai oleh ataraxia, yaitu “ketenangan jiwa” (kondisi tidak kacau/ bingung). Karena ataraxia bukanlah kondisi alami (manusia selalu dikacaukan berbagai keinginan, nafsu, kesibukan, dan sebagainya), hidup manusia secara alami tidak mengarah ke ketenangan jiwa.



Itulah mengapa ataraxia merupakan kondisi jiwa yang pencapaiannya menuntut pengolahan (cultivation) dengan disiplin tinggi, pendidikan sistematik, dan dedikasi penuh kepada “filsafat yang benar”. Hanya laku pemahaman



38



Filsafat untuk Para Profesional



(understanding) dan pembadanan (embodiment) yang benar atas realitas dapat membebaskan jiwa manusia dari kekacauan dan kebingungan, termasuk kegelisahan yang berakar pada keniscayaan kematian. Itulah mengapa Epikuros mengajar murid-muridnya untuk siang-malam menghidupi doktrin jalan menuju ataraxia itu. Tentu, doktrin Epicureanisme mensyaratkan gagasan tertentu tentang hakikat realitas—fisika dan metafisika (untuk itulah Epikuros punya teori tentang realitas, atom, kehampaan, mortalitas jiwa, dan sebagainya, yang tidak perlu menggangu kita di sini).



Dari refleksi mengenai hakikat realitas, Epikuros memandang bahwa manusia punya ketakutan mendalam pada kematian bukan karena fakta kematian itu sendiri, melainkan karena manusia takut pada “apa yang tidak diketahui/terpahami” (the unknown). Dengan memeluk erat-erat pengetahuan benar tentang keniscayaan mortalitas kehidupan, manusia lambat-laun sanggup punya kontrol-diri (self-control) yang membuat ataraxia berkembang subur. Bagaimana caranya? Apabila Platonisme mengajarkan meditasi atas imortalitas (keabadian) jiwa, Epikuros mengajarkan meditasi atas mortalitas badan dan jiwa yang lahir, tumbuh dan mati bersama. Tentu saja, apa yang dimaksud dengan “meditasi” di sini bukan olah-batin dalam kesunyian, tetapi melibatkan laku pikiran, emosi dan kebertubuhan—keseluruhan habitus kehidupan.



Di situlah “taman/kebun” memainkan peran sentral dalam proses pedagogis: dengan setiap hari menyaksikan penyingkapan dan menghidupi kaitan timbal-balik paradoksal antara pertumbuhan dan pembusukan, kehidupan dan kematian, fakta mortalitas manusia lambatlaun dihidupi sebagai sesuatu yang alami dalam jiwa murid-murid Epikuros—fakta mortalitas bukanlah rekaan Epikuros untuk Para Konsultan Diet



39



kultur (culture) melainkan bagian inti natur (nature). Itu juga berarti jalan Epicurean bukanlah jalan mengatasi keniscayaan alam, tetapi keniscayaan alami itu (kematian, kekacauan, kebingungan, ketakutan, dan sebagainya) dibawa ke arah transfigurasi (transfigured). Dengan secara paradoksal memeluk erat-erat fakta mortalitas, apa yang diperoleh bukan nihilisme hidup melainkan ketenangan jiwa, kebermaknaan, dan mistik kehidupan. Di situlah terletak jantung ajaran Epikuros yang paling disalahpahami: kebahagiaan terletak dalam “kenikmatan”. “Kita membutuhkan kenikmatan ketika dalam keadaan kesakitan, lantaran kenikmatan sedang tidak terjadi; tetapi ketika tidak kesakitan, kita tidak membutuhkan kenikmatan; atas dasar ini kami menegaskan, bahwa ‘kenikmatan’ adalah asal dan tujuan hidup yang berbahagia; dan kami telah mengenali hal ini sebagai kebaikan utama, melekat pada kita sejak lahir; maka dalam kaitan itu kita meyakini kenikmatan sebagai penggerak setiap pilihan maupun penghindaran kita; dan dengan standar itulah kita menilai semua yang baik...” (Epikuros dalam Laertius 1901: 470).



Paradoks Kenikmatan Tujuan tertinggi seluruh olah-hidup adalah “kebahagiaan”, dan locus kebahagiaan terletak dalam “kenikmatan” (Yunani: hedone—dari akar kata hedys, yang berarti nikmat). Pengertian “nikmat” inilah yang luas disalahpahami. Dalam Kamus Oxford, misalnya, istilah Epicurean (Epicureanism) salah satunya menunjuk arti “orang yang mencurahkan diri pada penikmatan dan kenikmatan, terutama dari makanan 40



Filsafat untuk Para Profesional



dan minuman”. Salah-paham ini telah jauh berakar dalam rivalitas antar sekolah filsafat (mazhab) yang saling bersaing pada zaman Yunani kuno. Dalam rivalitas intelektual ini, mazhab lawan sangat biasa melukiskan ajaran mazhab rival secara karikatural, yaitu menggambarkan secara bengkok, memelintir, memelesetkan, dan sebagainya. Selain itu, salah-paham luas juga berakar pada stereotype ideal sikap “matiraga” (asceticism) sebagai penyesahan-diri dan penolakan terhadap fakta kebertubuhan, yang dipandang sebagai kriteria kebenaran dan keseriusan setiap ajaran filsafat pada zaman Yunani kuno (Camps-Gaset & Grau 2011). Dalam ajaran Epikuros, “kenikmatan” tidak menunjuk apa yang kini luas dimengerti, yaitu sikap, aktivita,s dan hasil mengumbar hasrat serta nafsu. Epikuros bahkan berulang-kali mengutuk segala bentuk pengumbaran nafsu, kemewahan, dan ketamakan (DeWitt 1964: Bab 12). Dalam ungkapan Epikuros: “Karena ‘kenikmatan’ adalah kebaikan utama yang melekat pada kita, untuk itulah kita tidak memilih sembarang kenikmatan, tetapi seringkali kita menyingkiri banyak bentuk kenikmatan jika hanya kekacauan yang akan diakibatkan; maka kami meyakini banyak kesakitan merupakan hal lebih baik daripada kenikmatan, dan memilih menanggung kesakitan untuk sementara, apabila itu membawa kenikmatan lebih optimal... [Maka] setiap kenikmatan adalah kebaikan pada dirinya sendiri, tapi itu sama sekali tidak berarti setiap kenikmatan layak dipilih; begitu pula sebagaimana kesakitan itu petaka, tetapi tidak setiap rasa sakit



Epikuros untuk Para Konsultan Diet



41



mesti dihindari...” (Epikuros dalam Laertius 1901: 470-471).



Maka, berkatalah Epikuros: “Ketika menyatakan ‘kenikmatan’ adalah kebaikan tertinggi, kami tidak maksudkan itu kenikmatankenikmatan orang bejat (debauched) atau dari mengumbar nafsu, yang ada di otak orang-orang bodoh dan mereka yang tidak memperhatikan prinsip kami atau orang yang menafsirkan prinsip kami dengan cara memelintir. Yang kami maksud dengan ‘kenikmatan’ adalah kebebasan tubuh dan jiwa dari kekacauan dan rasa-merasa menyakitkan” (Epikuros dalam Laertius 1901: 471). Akan tetapi, mengapa pencapaian “kenikmatan” melibatkan jalan yang justru tampak saling berlawanan? Di sinilah Epikuros mengajukan paradoks dalam ajarannya. Paradoks adalah kondisi/situasi yang berisi sekurangnya dua hal yang tampak saling bertentangan, tetapi apa yang terdengar bertentangan itu sebenarnya membentuk kebenaran yang lebih mendalam dan pada tingkat lebih tinggi: “Karena begitu sering kebaikan terjadi pada apa yang terasa menyakitkan, dan juga sebaliknya begitu sering malapetaka terjadi pada apa yang sepintas kita rasakan nikmat” (Epikuros dalam Laertius 1901: 471).



Maka kemudian ditegaskan oleh Epikuros: 42



Filsafat untuk Para Profesional



“Sebab, bukan pesta-pora dan kemabukan minum tanpa henti, atau kenikmatan pelukan para perempuan, atau kenyang makan ikan dan semacamnya, atau kemewahan sajian di meja pesta yang membuat hidup ini nikmat serta menyenangkan. Yang membuat hidup nikmat dan menyenangkan adalah kewaspadaan tenang yang memeriksa semua pilihan dan penghindaran, yang menyingkirkan pendapat sia-sia dari mana berakar sebagian besar kebingungan yang mengacaukan jiwa” (Epikuros dalam Laertius 1901: 471). Dari prinsip seperti itulah arti “kenikmatan” dalam ajaran Epikuros perlu dipahami. Kenikmatan yang dialami seorang terpelajar yang sedang membaca buku bermutu adalah salah satu contoh. Apa yang dipandang sebagai jantung ajaran Epikuros tersebut sengaja ditampilkan untuk mengisyaratkan salah-paham yang luas terjadi dalam mengartikan Epicureanisme. Dari situ juga panduan Epikuros dapat dipahami: “Karena itu, membiasakan diri dalam kebutuhan dan kebiasaan yang sederhana serta tidak berlebihan/mengada-ada adalah cara terpenting menyempurnakan kesehatan dan kewarasan; itu membuat orang terbebas dari keengganan melakukan apa yang sungguh diperlukan bagi hidup” (Epikuros dalam Laertius 1901: 471).



Dari panduan seperti itu juga, sekali lagi, diperlihatkan apa yang dimaksud dengan “kenikmatan” dalam ajaran Epikuros untuk Para Konsultan Diet



43



Epikuros. Itu juga berlaku bagi urusan diet makanan. Seperti telah disebut, istilah epicurean dewasa ini dimengerti secara sangat negatif sebagai sifat mengumbar hawa-nafsu bagi pengejaran kenikmatan sensual. Namun, apa yang dimaksud Epikuros sendiri sangat jauh dari pengertian itu: “Aku menikmati penuhnya kenikmatan dari sekadar hidup dengan roti dan air, dan aku meludahi (menyingkiri) kenikmatan dibuat-buat dalam diet yang bermewah-mewah, bukan lantaran keburukan yang melekat pada kenikmatan itu, tetapi karena kekacauan dan ketidaknyamanan yang diakibatkannya” (Epikuros dalam DeWitt 1964: 236).



Bagi Epikuros, “adalah ciri jiwa tak punya syukur (ingratitude of the soul) yang membuat manusia menggelegak tanpa henti mengejar kemewahan makanan yang mengadaada” dan segala sikap mengumbar hasrat dan nafsu karena memahami arti ‘kenikmatan’ secara sesat (Epikuros dalam DeWitt 1964: 228, 327).



Tetapi, bagaimana olah-hidup dan seluruh proses pendidikan Epicurean itu dijalani? Ajaran Epikuros disebut “Mazhab Taman” persis karena seluruh proses itu mesti dihidupi secara personal, tetapi disangga bersama-sama melalui cara hidup kelompok. Dengan itu apa yang dimaksud “kenikmatan” dilatih serta dihidupi terus-menerus melalui beberapa keutamaan (virtues) sentral, dan keutamaan tak pernah punya arti tanpa bingkai sosialitas. Bahkan terjadinya keutamaan-keutamaan itu merupakan ciri “ketenangan jiwa” (tranquil mind) yang merupakan arti sejati “kenikmatan”. Di jantung semua keutamaan Epicurean terletak prasyarat terpenting, yaitu sikap cermat dan hatihati (prudence):



44



Filsafat untuk Para Profesional



“Awal dan kebaikan semua adalah kecermatan/ kehati-hatian (prudence), yang bahkan dapat dikatakan sebagai sesuatu yang lebih bernilai daripada filsafat, sejauh keutamaan-keutamaan lain mengalir darinya, mengajar kita betapa mustahil hidup nikmat kecuali orang hidup secara cermat/ berhati-hati, terhormat, dan adil...” (Epikuros dalam Laertius 1901: 471-472). Atas dasar keutamaan pokok kehati-hatian/kecermatan itu, sekurangnya lima keutamaan dianggap penting dalam ajaran Epikuros, dan kelima keutamaan ini terjalin satu sama lain membentuk mozaik kenikmatan.



Pertama, sentralnya persahabatan (friendship): “Dari semua yang disediakan oleh kebijaksaan bagi kebahagiaan hidup, apa yang terpenting adalah persahabatan” (Epikuros dalam Laertius 1901: 477). Bagi Epikuros, lebih pentinglah mempunyai kawan dalam menyantap makanan daripada mempunyai sesuatu untuk dimakan. Seni bersahabat punya tempat sentral. Itulah mengapa olah-persahabatan tercermin dalam suasana taman/kebun. Kualitas persahabatan menuntut seni pengembangan dan olah-diri yang tinggi.



Kedua, keutamaan percakapan (conversation). Inilah salah satu isi kenikmatan yang dijunjung tinggi dalam ajaran Epikuros: perbincangan/percakapan yang inteligen, penuh ilham dan insights, menyenangkan, bermanfaat dalam suasana persahabatan. Tentu saja, keutamaan ini mensyaratkan orang untuk aktif mengembangkan refleksi, kapasitas verbal formulasi, kefasihan inteligen (wit), dan kesejatian mencari kebenaran dalam percakapan. Dalam ajaran Epikuros, kenangan akan indahnya percakapan itu perlu dicecap dan dirasa-rasakan sebagai bagian kebahagiaan hingga jauh ke Epikuros untuk Para Konsultan Diet



45



masa depan; itu menjadi cadangan “kenikmatan” di saatsaat kesakitan dan kegelapan.



Ketiga, keutamaan suavitas, yang dapat diartikan sebagai sikap membawakan diri secara patut dan serasi. Dalam ungkapan Cicero, suavitas kaum Epicurean tercermin dalam “elegansi tutur-kata dan tingkah-laku” (Cicero dalam DeWitt 1964: 311). Dalam dunia pemikiran kuno, suavitas dikenal sebagai ciri khas kaum Epicurean, yang berbeda dengan “ketidakpedulian kaum Sinis (Cynics), ketegasan-militan kaum Stoa (Stoics), dan lagak sok pintar kaum Platonis” (Harrison 2008: 77; lihat juga Wilson 2008).



Keempat, keutamaan tenggang-rasa (epiekeia). Keutamaan ini bisa dikatakan sebagai cikal-bakal pengertian caritas (cinta-kasih) dalam tradisi Kristiani. Epiekeia tertuju pada atasan, bawahan, dan mereka yang setara. Namun, karena tenggang-rasa juga cenderung melorot menjadi pembiaran dan sikap menjilat, Epikuros melengkapi dengan perlunya parresia, yaitu kejernihan dalam ungkapan dan terus-terang dalam bertutur-kata. Kelima, keutamaan tritunggal kesabaran (patience), harapan (hope), dan sikap syukur (gratitude). Ketiganya keutamaan untuk menghidupi kaitan eksistensial antara masa lalu, kini, dan masa depan. “Kesabaran” menunjuk sikap tenang dalam menerima/memeluk apa yang menimpa dan tidak-terpenuhi pada hidup saat ini. “Harapan” menunjuk pada sikap tenang dalam menyongsong hari esok, sedangkan “sikap bersyukur” menunjuk pemelukan penuh terima kasih atas masa lalu.



Watak loba, tamak, rakus, tidak sabar, dan sikap mengumbar hasrat serta nafsu persis merupakan dampak tiadanya ketiga keutamaan itu. Itulah mengapa, seperti telah disebut, Epikuros menunjuk kaitan kausal antara sikap tidak-bersyukur dan kerakusan: “Adalah ciri jiwa tak



46



Filsafat untuk Para Profesional



bersyukur (ingratitude of the soul) yang membuat manusia menggelegak tanpa henti mengejar kemewahan makanan yang mengada-ada”.



Konsumsi Mengada-Ada



Dari uraian sangat hemat di atas, dapat dikatakan bahwa pengertian populer tentang Epicureanisme “sebagai filsafat vulgar tentang materialisme yang memburu pemenuhan kenikmatan rakus dan tamak” persis bertentangan dengan apa yang dimaksud Epikuros dan Epicureanisme (Harrison 2008: 82). Formula pengumbaran hasrat (indulgence of senses) yang menandai cuaca kultural dan psikologis dewasa ini sama sekali jauh dari ataraxia yang dimaksud Epikuros dan Epicureanisme.



Pertama, corak konsumsi yang kini luas menggejala adalah jenis konsumsi yang mengada-ada, penuh lagak pamer, cengeng, loba, rakus, dan tamak. Justru karena pola itu terkait secara kausal dengan “watak jiwa yang tak punya rasa syukur (ingratitude of the soul)”, semakin banyak mengonsumsi, semakin orang terjerat dalam kehebohan yang kompulsif, dan karenanya orang semakin tidak berbahagia: terhadap saat ini, kita tidak sabar; terhadap hari esok, rasa putus asa; terhadap masa lalu, sikap tak bersyukur seorang dungu. Tentu saja, semakin gelap neraka, makin cemerlang sorga! Semakin merasa tidak terpenuhi, semakin rakus dan tidak sabar! Itulah mengapa dalam 10 tahun terakhir para pemikir dan etikus kian serius menyusun Indeks Kebahagiaan (Happiness Index) sebagai tolok-ukur “kesejahteraan”—sebagai alternatif tolokukur tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product).



Kedua, itu juga berarti bahwa corak dan pola konsumsi yang menggejala dewasa ini melaju dengan memelintir Epikuros untuk Para Konsultan Diet



47



arti “terbaik” (optimum) menjadi “terbanyak” (maximum). Ajaran Epikuros jelas-jelas beroperasi dengan idiom “terbaik”, bukan “terbanyak”. Seluruh pola konsumsi mengada-ada, penuh lagak pamer, loba, tamak, dan rakus hanya mugkin terpahami melalui idiom “terbanyak”, bukan “terbaik”. Seperti telah diurai di atas, itulah mengapa bagi para Epicurean sejati “kenikmatan” sebagai inti kebahagiaan hanya tercapai melalui rute paradoksal: puas melalui kontrol-diri, penuh melalui kesederhanaan, nikmat melalui keberanian/ketenangan memeluk kepedihan. Itulah jalan Epicurean!



Ketiga, tentu saja para kapitalis dan kapten iklan akan bilang: “Etos Epicurean yang beneran itu akan membuat ekonomi terhenti dan sales hancur!” Terhadap dalih seperti itu, kaum Epicurean kira-kira akan menjawab: “Itulah masalah kalian: omong konsep ‘terbaik’ dengan arti ‘terbanyak’, menunjukkan ‘sorga’ dengan memandu orang tersesat ke ‘neraka’, mengontrol supply dengan berbohong bahwa itulah demand para konsumen, menyebut orgi konsumsi sebagai keniscayaan ekonomi, mengacaukan perbedaan enak dan sehat, atau menyebut kerakusan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan”. Dan seterusnya. Keempat, dari etos Epicurean itu, apa yang dapat ditarik bagi para konsultan diet? Istilah diet mungkin kini dimengerti hanya terkait soal makan/minum, tetapi sebenarnya diet menyangkut aneka konsumsi yang diperlukan bagi hidup sehat dan bahagia (Yunani: diaita berarti “cara hidup”). Seperti telah disebut, prinsip Epicurean tidak pernah memuja matiraga (asceticism), tetapi juga tak memuja pengumbaran hasrat (indulgence of senses). Diet apa pun diabdikan bukan pertama-tama untuk pemenuhan hasrat, tapi untuk mencapai “kenikmatan” sebagai kondisi kebebasan jiwa dari kekacauan (Symons 2007). Dalam



48



Filsafat untuk Para Profesional



ungkapan lugas sekarang, diet perlu dipilih bukan pertamatama untuk mencapai “enak” (tasty) tetapi “sehat” (healthy), yang menjadi jalan sejati bagi pencapaian ataraxia.



Tentu, kita mengerti bahwa pokok terakhir itu kini juga telah masuk dalam pusaran industri kesehatan. Di situ terletak ambiguitas: industri yang menjual-belikan kesehatan sebagai komoditas selalu menyimpan risiko dimana “kesehatan”mudah melorot menjadi sekadar budak bagi logika-laba komoditas. Tidak mengherankan jika yang muncul barangkali bukan ”kesehatan”, tetapi sikap mengadaada dan rakus baru atas nama dalih kesehatan. Dalam lintasan sejarah pemikiran, keluhuran etika Epicurean memang begitu rentan terhadap manipulasi kaum libertarianutilitarian, free-marketeers, dan postmodernis (Cf. Wilson 2008). Mungkin itulah mengapa Epikuros berpesan: “Maka, pelajari dan camkanlah panduan-panduan yang telah kuberikan dengan segenap daya siang dan malam, terus-menerus timbanglah semua itu secara pribadi dan bersama-sama. Dengan itu engkau tidak akan pernah dikacaukan oleh ilusi dan fantasi di saat tidur ataupun berjaga, melainkan engkau akan hidup seperti dewa di antara manusia, sebab seorang manusia yang hidup di antara dewadewi yang imortal bisa dikatakan seperti makhluk yang tidak mortal.” (Epikuros dalam Laertius 1901: 472). a



Epikuros untuk Para Konsultan Diet



49



Daftar Pustaka Camps-Gaset, Montserrat dan Grau, Sergi. 2011. ”Philosophy for the Body, Food for the Mind”, dalam Coolabah, No. 5, hlm. 83-101. DeWitt, Norman W. 1964. Epicurus and His Philosophy. Minneapolis: University of Minnesota Press. Harrison, Robert P. 2008. Gardens: An Essay on the Human Condition. Chicago: The University of Chicago Press.



Laertius, Diogenes 1901. The Lives and Opinions of Eminent Philosophers (terjemahaan harafiah oleh C. D. Yonge). London: George Bell & Sons.



Symons, Michael. 2007. ”Epicurus, the Foodies” Philosopher’ dalam F. Allhoff & D. Monroe (eds.). Food and Philosophy, Oxford: Blackwell, hlm. 13-30. Wilson, Catherine. 2008. Epicureanism at the Origins of Modernity. Oxford: Clarendon Press.



50



Filsafat untuk Para Profesional



3



Hegel untuk Para Pembantu Rumah Tangga Franz Magnis-Suseno



H



egel tidak bicara tentang pembantu rumah tangga, akan tetapi ia bicara tentang hubungan antara tuan dan budak, suatu dialektika termasyur dan sangat berpengaruh. Georg Wilhelm Friedrich Hegel adalah salah satu filsuf modern yang paling utama. Ia lahir 1770 di Stuttgart, Jerman. Ia belajar teologi bersama Hölderlin, salah seorang penyair Jerman terbesar, dan Schelling (yang bersama Fichte dan Hegel sendiri termasuk tiga tokoh ”Idealisme Jerman”). Schelling sudah menjadi profesor di Jena dalam umur 23 tahun, sedangkan Hegel dengan susah payah hidup sebagai guru pribadi. Pada tahun 1801 ia menjadi dosen di Jena, tetapi honornya kurang, maka masuk ke dalam redaksi harian Bamberger Zeitung. Di tahun 1808 ia menjadi rektor Gimnasium di Nürnberg. Baru 1816 ia diangkat sebagai profesor di Heidelberg. Hanya setahun kemudian ia dipanggil ke Berlin dan sampai akhir hidupnya 1831 (mati karena kolera) menjadi profesor termasyur di ibu kota Prussia itu. Pemikiran Hegel bertolak dari Kant, tetapi dalam banyak hal ia mengatasinya. Ia sangat berpengaruh atas pemikiran Karl Marx dan seluruh Marxisme dan pemikiran kritis kemudian. Filsafat politik Hegel sekaligus dikagumi dan



51



dikritik tajam. Filsafat politik itu terutama termuat dalam “Groundlines of the Philosophy of Right” dari tahun 1821, tetapi juga terdapat dalam “Phenomenology of Mind”.



Yang terakhir itulah tempat di mana Hegel bicara tentang Herrschaft und Knechtschaft, harafiah tentang ”ketuanan dan kebudakan”. Hubungan itu dialektis, mulai dari kekuasaan tuan atas budak, tetapi berakhir dengan kekuasaan budak atas tuan. Hegel tidak memaksudkan teksnya sebagai teks politis, melainkan sebagai teks yang membuka struktur internal suatu bentuk hubungan antarmanusia yang terdapat di seluruh dunia dan zaman, jadi universal. Ia juga menunjukkan bahwa hubungan yang kelihatan mantap-aman memuat potensi revolusioner. Teks ini sangat memengaruhi Karl Marx yang kemudian mengembangkannya. ”Fenomenologi Roh”



Buku Phenomenology of Mind (1807) adalah salah satu buku filsafat paling termasyur dan paling gelap. Hegel memakai suatu bahasa yang ekstrem dialektis, yang mau meperlihatkan bahwa segala apa tidak pernah dapat dimengerti kecuali berhadapannya dengan sangkalannya, dan bagi pembaca yang tidak biasa, bahasa ekstrem abstrak bisa merupakan halangan tak teratasi.



Inti buku yang hampir 600 halaman panjang itu adalah perjalanan kesadaran dari bentuk paling sederhana sampai ke “pengetahuan absolut” di mana roh manusia berada dalam kesatuan dengan segenap kerohanian, bahkan segenap perkembangan realitas.



Perjalanan roh itu terjadi dalam tiga tahap: Kesadaran, kesadaran diri, dan roh. Pada permulaan manusia menyadari dunia di luar, lalu ia belajar berhadapan dengan dunia itu sebagai objek, maka ia menyadari diri sebagai subjek,



52



Filsafat untuk Para Profesional



maka kesadaran itu menjadi kesadaran diri. Manusia mulai menyadari siapa dia itu. Karena mencapai kesadaran diri, subjek mulai mengerti, memahami, ia menjadi akal budi (Vernunft). Itu berarti, ia menjadi roh. Melalui sekian sosok kerohanian manusia, dari sejarah filsafat dan kebudayaan, roh menemukan diri dan akhirnya sampai ke pengetahuan absolut di mana roh —sang filosof— memahami seluruh realitas dan mencapai rekonsiliasi dengan seluruh realitas.



Kesadaran Diri



Kesadaran diri berkembang dari kesadaran. Kesadaran dapat (bukan Hegel yang membuat perbandingan ini) dibandingkan dengan kesadaran binatang, misalnya anjing atau kucing. Anjing dan kucing menyadari apa yang terjadi di sekitar mereka, mereka bereaksi sesuai dengan insting mereka, mereka bisa merasakan takut, sakit, juga simpati. Namun, mereka tidak sadar bahwa mereka sadar. Itulah kekhasan kesadaran manusia. Manusia misalnya berdiri di depan pohon. Ia sadar akan pohon itu. Pohon itu ada, entah saya melihatnya, entah tidak. Pohon itu realitas nyata, kesadaran saya tergantung dari pohon. Kalau saya memandang ke kiri, saya barangkali melihat rumah. Namun, kalau itu direfleksikan, terjadi suatu pembalikan dialektis. Bukan pohon dan rumah yang merupakan realitas tak tergoyangkan, melainkan aku yang menyadarinya. Di luar kesadaran saya, mereka itu tidak ada, atau lebih tepat, ada mereka tidak berarti. Pohon dan rumah itu bersifat an sich, mereka berada pada dirinya sendiri, tetapi demikian hanya sejauh mereka berada für mich, bagiku. Ada bagi dirinya sendiri sama dengan ada bagi aku. Dalam kesadaran itu saya menjadi sadar bahwa berhadapan dengan objek-objek di luarku (pohon, rumah) aku yang mempertahankan diri. Aku tidak menyadari diri Epikuros untuk Para Konsultan Diet



53



seperti aku menyadari pohon, melainkan dalam menyadari pohon aku sadar bahwa yang menyadari pohon adalah aku. Hegel menulis: ”Aku adalah kembalinya dari yang lain”. Lebih abstrak: aku menyadari diri sebagai negasi atau sangkalan terhadap apa yang ada, ”ada” sebagai objek, pada dirinya sendiri. Aku ada, tetapi bukan pada diriku sendiri, melainkan sebagai yang lain dari apa saja yang ada. Dalam bahasa Hegel: aku ini negativitas, hakikatku adalah negasi terhadap apa yang ada.



Namun, kesadaranku belum utuh. Sebagai negativitas murni aku tidak punya sesuatu apa. Aku juga tidak mantap karena terus hanya merupakan yang lain daripada segala macam objek di luar. Kesadaran diri muncul dan berkembang apabila aku bertemu dengan objek yang merupakan negativitas sama dengan saya: dengan subjek lain. Jadi tidak lagi dengan objek yang pasif, melainkan dengan manusia, dengan subjek. Menurut Hegel, manusia mencapai kesadaran diri mutlak hanya dalam berhadapan dengan manusia lain. Subjektivitasku muncul berhadapan dengan subjek lain. Sekarang mulai suatu proses dialektis baru. Aku adalah negasi realitas yang lain. Namun, realitas yang lain, subjek kedua itu, juga negasi realitas yang lain, jadi negasi realitas saya. Untuk membuktikan diri sebagai negasi, saya harus menegasikan subjek baru itu. Namun, subjek baru itu sama saja perlu menegasikan saya untuk membuktikan diri tidak tergantung dari objek. Dan itu menurut Hegel berarti: Dua subjek itu harus berperang. Masing-masing harus membuktikan bahwa yang lain bukan realitas yang dapat mempertahankan diri. Maka itu perang hidup mati. Namun, terjadi sesuatu yang kontraproduktif. Kalau satu dari dua subjek itu mati, subjek yang menang justru tidak memperoleh apa yang diharapkannya, yaitu pengakuan



54



Filsafat untuk Para Profesional



bebas dari subjek lain. Kita dapat menarik kesimpulan: Yang kita perlukan untuk mencapai kesadaran diri adalah pengakuan bebas dari kesadaran diri lain, subjek adalah baru subjek apabila diakui oleh subjek lain dan sebaliknya (itu yang dikembangkan oleh Habermas sebagai rasionalitas komunikatif).



Tuan dan Budak



Kembali ke Hegel. Perang antara dua subjek dapat juga berakhir berbeda. Yaitu kalau subjek yang satu menjadi takut dan mengalah. Yang satu menang, yang satu kalah. Itu berarti bahwa yang menang dapat meletakkan hukumnya di atas yang kalah. Yang kalah harus taat, karena kalau ia tidak taat, ia akan dibunuh. Maka, karena ia takut dibunuh, jadi takut kehilangan nyawanya. Ia menjadi budak, bisa misalnya menjadi pembantu rumah. Sebagai budak, subjek yang kalah itu harus bekerja bagi yang menang. Budak bekerja untuk memenuhi kebutuhan tuan. Maka kita mendapat tiga unsur: tuan, budak, dan objek yang dibutuhkan tuan dan dikerjakan oleh budak. Mari kita melihat tuan dan budak.



Si tuan. Ia memperoleh dua hal. Pertama, pengakuan dari subjek yang kalah, si budak. Bahwa budak bekerja bagi tuan merupakan pengakuan terhadap kemenangan dan kemandirian tuan. Kehendak tuan itulah yang dilaksanakan. Kedua, ia terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Tuan mempunyai kebutuhan macam-macam. Ia punya keinginan dan kebutuhan. Namun, kebutuhan itu tidak langsung dapat dipenuhi dari alam. Alam baru memenuhi kebutuhan manusia apabila sudah ”dimanusiakan”, sudah dikerjakan. Si budak: Ia mengalah dalam dua arah. Pertama ia mengalah terhadap rasa takut kehilangan nyawa. Nyawa fisik baginya lebih penting daripada pengakuan kemandiriannya. Epikuros untuk Para Konsultan Diet



55



Karena itu pantasan ia menjadi budak. Kedua, ia terus mengalah terhadap tuan karena harus mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan tuan.



Namun, sekarang terjadi sesuatu yang sangat menarik, suatu dialektika yang membalik hubungan tuan-budak. Dialektika berarti bahwa pikiran maupun realitas maju melalui negasi. Itu suatu pengertian yang sangat berlawanan —ya merupakan negasi— terhadap cita-cita konsensus/keselarasan/kerukunan. Tidak ada kemajuan lewat keselarasan dan kerukunan, karena itu akan berarti, membatasi diri pada yang sudah ada. Yang baru memerlukan langkah baru, langkah baru dengan sendirinya mengganggu keselarasan, dan langkah baru tentu diambil karena yang sudah ada, keadaan rukun-selaras, dianggap tidak memadai, jadi dinegasi/disangkal. Kembali ke hubungan tuan-budak. Semula tuan ya tuan, budak ya budak. Namun, karena tuan harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan kebutuhan-kebutuhannya hanya harus dipenuhi melalui pekerjaan budak yang menyesuaikan alam/benda dengan kebutuhan tuan, maka tuan semakin tergantung dari hasil kerja budak, ya dari budak (tukang masak adalah pembantu rumah kita, kita majikan, dia bawahan, kita di atas, dia di bawah; tetapi kalau saya tidak bisa masak, saya semakin tergantung dari tukang masak; kalau dia mogok, saya tidak bisa makan; banyak ibu rumah tangga yang punya pembantu yang bisa memasak tahu betapa penting mereka punya hubungan baik dengan dia). Budak sendiri tidak hanya menyadari ketergantung tuannya dari pada dirinya, melainkan ia juga makin lama makin menguasai pekerjaannya. Jadi, ia mengalami bahwa ia pintar mengerjakan alam, bahwa ia punya kepintaran. Ia tidak lagi tergantung dari alam —ketergantung itu kelihatan dalam ketakutannya dari kematian— melainkan



56



Filsafat untuk Para Profesional



menguasainya. Dalam memandang hasil kerjanya budak menyadari diri sebagai subjek yang bebas. Hegel menulis:



“Kesadaran yang bekerja karena pekerjaannya itu sampai memandang realitas mandiri (hasil pekerjaan, FMS) sebagai diri sendiri.”



“(Kesadaran diri), dengan menemukan diri begitu, menjadi karena diri sendiri arti (makna) bagi diri sendiri, justru dalam pekerjaan di mana ia kelihatan hanya bermakna asing (bagi tuan, FMS)” (Phenomenology of Mind, di akhir Bagian 4, A). Melalui pekerjaan, si budak mendapat yang sebelumnya ia tidak dapat, yaitu pengakuan sebagai subjek, sebagai orang yang membuat tuan bergantung karena kepandaian dan kesediaannya. Akhirnya hubungan terbalik: tuan menjadi budak (karena tergantung dari pekerjaan pembantu rumah) dan budak (pembantu rumah) menjadi tuan karena membuat tuan menjadi tergantung padanya. Melalui pekerjaannya, budak menjadi tuan dan tuan menjadi budak.



Penerusan Filsafat Pekerjaan Hegel oleh Marx



Adalah Karl Marx yang menyadari arti mendalam pemikiran Hegel tentang pekerjaan itu. Ini salah satu kalimat paling termasyur Marx dalam Philosophical and Economic Manuscripts dari tahun 1844: “Yang hebat pada Fenomenologi Hegel dan resultat akhirnya —dialektika negativitas sebagai prinsip yang menggerakkan dan menghasilkan yang baru— adalah bahwa Hegel memahami penciptaan diri manusia sebagai proses…, jadi bahwa ia menyadari hakikat pekerjaan dan memahami manusia objektif, manusia yang benar karena nyata, sebagai hasil pekerjaannya sendiri…” Hegel untuk Para Pembantu Rumah Tangga



57



Marx dalam teks yang sama menguraikan, mengikuti Hegel, bagaimana manusia, melalui pekerjaan, (1) memanusiakan alam (membuat alam sesuai dengan kebutuhan manusia), (2) meng-alam-kan diri (karena ia belajar menangani alam), (3) membuat nyata sosialitasnya (karena hasil pekerjaannya menghubungkannya dengan manusia-manusia yang menikmatinya) dan (4) menjadi makhluk bersejarah (karena dengan memandang hasil pekerjaan generasi-generasi lebih dulu, manusia memahami diri sebagai bersejarah).



Sedangkan dalam ajaran tentang perkembangan sejarah, dan diuraikan dalam kritiknya terhadap kapitalisme, Marx menunjukkan bahwa para “budak” (pekerja) melalui revolusi menjadi “tuan” dalam masyarakat tanpa kelas. a



58



Filsafat untuk Para Profesional



4



Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan S.P. Lili Tjahjadi



F



euerbach dan Marx adalah dua serangkai yang membakar pikiran dan hati banyak penganut agama. Ajaran Feuerbach tentang agama sebagai proyeksi batin manusia dan ajaran Marx tentang agama sebagai opium membangkitkan ilham dan kecaman sekaligus. Sudah pada zamannya, Feuerbach dan Marx adalah tanda yang menimbulkan perbantahan. Namun, apakah argumentasinya meyakinkan? Apakah kritiknya atas agama merupakan pukulan maut buat agama? Mungkinkah ia menjadi batu sandungan bagi orang beriman? Tulisan singkat ini mau menyajikan riwayat hidup dan karya Feuerbach dan Marx, beberapa ajaran pokoknya dan catatan kritis atas ajaran mereka. Para agamawan patut menyimak pemikiran mereka.



Feuerbach dan Marx: Hidup dan Karya



Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1972) berasal dari suatu keluarga terpelajar. Semula ia belajar teologi di Heidelberg, tapi lalu pindah belajar filsafat di Berlin di bawah Hegel. Alasannya: ”Bagiku, Palestina terlalu sempit; aku mesti menjelajah dunia yang luas. Dan justru dunia yang luas ini dipikul hanya oleh sang filosof di atas



59



bahunya”. Maka sekarang: ”Aku tahu apa yang kumau: bukan teologi, melainkan filsafat! Bukan membual dan berangan-angan, melainkan belajar! Bukan beriman, melainkan berpikir.” Pada tahun 1825/1826, ia pindah ke Erlangen, mempelajari ilmu pengetahuan alam di universitas kota ini, tempat ia kemudian memperoleh gelar doktor filsafat (1828). Selanjutnya, pada 1829-1832 ia bekerja sebagai dosen filsafat; semula masih dalam pengaruh filsafat Hegel, tapi lama kelamaan ia mulai meninggalkannya. Kemudian, oleh karena bukunya, Gedanken über Tod und Unsterblichkeit (Beberapa Pemikiran tentang Kematian dan Keabadian, 1830), dinilai membahayakan iman kristen, Feuerbach dipersulit untuk mendapatkan gelar profesor di kota protestan itu. Sejak saat itu, kritiknya atas agama menjadi semakin tajam. Feuerbach lantas meninggalkan kursi dosen universitas dan hidup sebagai pengarang bebas. Di tahun 1837 ia menikah dengan Bertha LÖW, pemilik pabrik porselen yang kemudian memberikan padanya seorang putri, Mathilde. Mereka sekeluarga tinggal dalam puri milik Bertha di Bruckberg, dekat Nürnberg. Namun sayang, putri kecil mereka meninggal dunia dalam usia tiga tahun. Feuerbach merasa amat terpukul dan melihat kematian sebagai tak bermakna sedikit pun: ”Kuasa maut tampak sebagai suatu kekuasaan yang buta, dingin dan tak berperasaan. Ia sama sekali tidak peduli, apakah yang terkena olehnya itu adalah orang terhormat atau bukan; ia sama seperti batu yang juga tidak peduli apakah ia jatuh



60



Filsafat untuk Para Profesional



menimpa sebatang balok atau seorang manusia. Dan, sang maut ini tidak sudi menunggu... hingga bakat dan kecakapan seseorang tumbuh dan berkembang terlebih dahulu. Tidak! Ia menginjak lumat kuntum bunga yang masih muda, jauh sebelum kuntum itu sempat mekar”.1 Pada tahun 1841 ia menulis buku Das Wesen des Christentums (Hakikat Agama Kristen) sebagai kritik tajam atas agama kristen. Feuerbach telah berubah total dari seorang teolog menjadi seorang anti-teolog, bukan! seorang a-teis! Pada tahun 1868 Feuerbach berkenalan dengan pemikiran Karl Marx lewat buku Marx Das Kapital, lalu menggabungkan diri dengan Partai Sosialis Jerman. Pada tahun 1872, Feuerbach meninggal lantaran serangan jantung. Adapun Karl Marx (1818-1883) berasal dari keluarga yahudi dari Kota Trier. Ayahnya seorang pengacara liberal dengan karier bagus, rumah besar, dan kebun anggur luas. Meskipun keluarga Marx adalah keluarga rabi-rabi, sang ayah bersama keluarga pindah menjadi protestan—lebih karena alasan oportunis-survival ketimbang berdasarkan keyakinan pribadi. Karl belajar ilmu hukum, filsafat, sejarah, seni, dan literatur di Bonn. Pada umur 23 tahun, Karl lulus promosi doktoral dengan tulisan Differenz der demokritischen und epikureischen Naturphilosophie (Perbedaan Filsafat Alam Demokritian dan Epikurean, 1841), tetapi rencana karier akademisnya macet lantaran alasan politik saat itu. Karl lalu bekerja sebagai wartawan, lantas pada tahun 1842



1 Surat FEUERBACH kepada E. KNAPP tertanggal 3 November 1844, dlm.: Sämtliche Werke, hrsg. v. H.-M Sass, Stuttgart, 1964, h. 140. Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan



61



menjadi kepala redaksi koran Rheinische Zeitung di Kota Köln.



Pada tahun 1843, Karl menikah dengan putri bangsawan Jenny von Westphalen, ”gadis tercantik Kota Trier” dan cinta masa muda Karl selama tujuh tahun. Surat pada tanggal 21 Juni 1856: ”Jantung hatiku... cintaku padamu... sedemikian raksasa, yang membuat semua energi jiwaku dan semua sifat hatiku berdesakan memasukinya... Bukan cinta kepada Manusia Feuerbachian, atau kepada metabolisma-kimiawi ala Moleschott (yang mengajarkan bahwa pemikiran terjadi berdasarkan proses reaksi kimia dari metabolisme tubuh, maka materialistik sifatnya), bukan kepada proletariat, melainkan cinta kepada sang kekasih, dan khususnya kepadamulah yang membuat laki-laki menjadi laki-laki kembali.“ Jenny mencintai Karl dan bersedia melakukan apa saja demi suami yang berego besar dan banyak maunya ini: Jenny menjadi istri, sekretaris, pengurus rumah dan asisten sekaligus (!), bertanggung jawab atas rumah dan enam anak mereka, menangani pelbagai tulisan dan korespondensi Karl yang seabreg banyaknya. Pada tahun 1843, mereka beremigrasi ke Paris lantaran ” masalah-masalah sensor”, lalu ke Brüssel (1845), dimana ia bertemu Engels. Pada tahun 1848, Karl menulis Manifesto Partai Komunis, yang isinya mengartikulasikan untuk pertama kali interese kaum buruh industri dan desakan bagi suatu revolusi. Karl ditangkap, dipulangkan ke Paris lalu ke Köln, Jerman, dimana ia mendirikan koran Neue Rheinische Zeitung. Pada tahun 1849 permohonan Marx menjadi warga Prussia (Jerman) ditolak, dituduh anarkis dan menghina raja, lalu diusir lagi dari Jerman. Beremigrasi bersama keluarga, Karl kembali ke Paris, lalu ke London sampai akhir hayatnya kelak. Di London Marx menekuni ekonomi politik secara otodidak di perpustakaan British Museum (menulis



62



Filsafat untuk Para Profesional



rancangan buku Das Kapital), menulis banyak artikel untuk beberapa surat kabar (“Aku bekerja amat kolosal, kebanyakan hingga pukul 04:00 subuh.”), terserang macam-macam penyakit dan mengalami kesulitan ekonomi yang akut (“Sudah dua bulan ini aku hidup hanya di dalam rumah pegadaian”), untungnya Engels, putra pimpinan pabrik tekstil yang kaya dan sahabat karib serta rekan segagasan Marx, memberikan bantuan finansial.



Pada tahun 1860, Marx membaca buku C. Darwin, On The Origin of Species by Means of Natural Selection (1859): “Ini adalah buku yang memuat dasar alamiah-historis bagi pandangan kami.” Di tahun 1864, Marx terlibat pendirian Serikat Buruh Internasional (International I) di London. Pada tahun 1881, istri Marx meninggal. Pada saat itu, Marx terlalu sakit dan terpukul untuk bisa menghadiri pemakaaman istrinya. Sejak saat itu, ia semakin menderita, bahkan sakitnya makin parah. Dua tahun sesudah kematian Jenny, tanggal 14 Maret 1883, Marx meninggal dalam usia 65 tahun akibat komplikasi macam-macam penyakit.



Feuerbach: Agama sebagai Proyeksi



Di dalam karyanya Das Wesen des Christentums (Hakikat agama Kristen, 1841, selanjutnya ditulis: Christentum)2, Feuerbach membalikkan pemikiran Hegel mengenai hubungan dialektik antara manusia dengan Roh Absolut (Allah): Bukan Roh (Allah) yang oleh Hegel disebut ”hakikat 2 Semua karya Feuerbach dan kutipannya yang dipakai di sini berasal dari: L. FEUERBACH, Gesammelte Werke (= GW, jilid yang dimaksud dimuat dengan angka arab), hrsg. von W. SCHUFFENHAUER, Berlin: Akademie Verlag, 1967ff. Selain itu kutipan-kutipan lainnya berasal dari: L. FEUERBACH: Sämtliche Werke (= SW, jilid yang dimaksud akan dimuat dengan angka romawi), neu hrsg. von W.BOLIN dan F.JODL, 10 jilid (1903-1911), cetakan ke-2, Stuttgart, 1965. Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan



63



real absolut yang membawa/memimpin dirinya sendiri”3, melainkan manusialah realitas sejati. Maka tesis utamanya berbunyi: ”Rahasia teologi (= ilmu tentang Allah) adalah anthropologi (= ilmu tentang manusia).” (Christentum, GW 5, 443).



Berdasarkan pandangan ini, Feuerbach lalu menjelaskan terjadinya agama sebagai kepercayaan pada Tuhan dengan apa yang dikenal sebagai teori proyeksi: Dalam kepercayaan kepada Tuhan, manusia sebenarnya melemparkan hakikat dan sifat-sifatnya sendiri ke luar, lalu memandang produk aktivitas ini sebagai entitas mandiri yang terpisah dari padanya, menyapaNya sebagai ”Tuhan” dan menyembahNya. Singkatnya, paham Allah hanyalah hasil proyeksi manusia, citra, sifat-sifat dan keinginan umat manusia (Gattung) itu sendiri yang dilemparkan ke luar. Feuerbach sendiri memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: ”Dengan menyebut Allah sebagai maha tahu, ia (= manusia) sebenarnya hanya...memenuhi dambaannya untuk bisa mengetahui segala sesuatu...; dengan mengatakan Allah ada di manamana... ia memuaskan keinginannya untuk tidak terikat pada ruang...; dengan menyebut Allah itu kekal,... ia mewujudkan dambaannya untuk tidak terikat oleh waktu...; dengan menyatakan Allah itu maha kuasa, manusia merealisasi keinginannya untuk bisa berbuat apa pun yang ia kehendaki“ (SW, VIII 345f.).



Demikianlah jadinya bukan Allah menciptakan manusia menurut citraNya, sebagaimana dikatakan oleh Kitab



3 HEGEL, Phänomenologie des Geistes, hrsg. von J.HOFFMEISTER, Hamburg: Felix Meiner, 1953, hlm. 314.



64



Filsafat untuk Para Profesional



Suci (Kejadian 1,26), melainkan manusia menciptakan Allah menurut citra manusia itu. Di dalam Allah, manusia menemukan sifat dan hakikatnya yang terindah dan terluhur. Sebab apakah cinta, keadilan, kebijaksanaan Allah itu? Semuanya hanyalah sifat-sifat manusia sendiri, atau lebih tepat: sifat-sifat umat manusia (Gattung), sebab Feuerbach percaya bukan manusia individual yang terbatas, melainkan gabungan umat manusia seluruhnya itu yang “hebat”! Sesudah rahasia teologi terungkap sebagai rahasia anthropologi, dari kepercayaan kepada Allah akan muncul kepercayaan manusia kepada dirinya sendiri. “Manusia adalah awal dari agama, manusia adalah pusat dari agama. Manusia adalah akhir dari agama.” (Christentum, GW 5, 287).



Demikianlah anthropotheisme atau ajaran mengenai ”manusia—sebagai—Allah” (dari kata yunani „s“ [anthropos] = ”manusia”, dan ”s” [theos] = ”Allah”) menjadi filsafat yang percaya diri. Kata Feuerbach: “Homo homini deus (= manusia adalah Allah bagi sesamanya, bahasa Latin)—inilah azas tertinggi yang praktis sifatnya— inilah titik balik sejarah dunia.” (Christentum, GW 5, 408ff.) Atheisme Feuerbach adalah anthropotheisme itu.



Marx dan Masalah ”Opium”



Marx, seperti juga Feuerbach, adalah salah seorang pemikir Hegelian ”sayap kiri”. Para Hegelian Kiri mempunyai satu kesamaan fundamental, yaitu prinsip umum yang membangun filsafat Hegel dianut juga oleh Marx, yakni kesatuan akal budi dengan kenyataan, kesatuan “hakikat umum” dengan eksistensi khusus. Bersama pemikir-pemikir Hegelian Kiri sezamannya, Marx sendiri menyatakan terus terang kekagumannya pada Feuerbach: Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan



65



”Kami semua saat itu adalah penganut Feuerbach... Sekolah Hegelian dulu memang sudah bubar, tapi filsafat Hegelian belum berhasil diatasi secara kritis... Feuerbach mendobrak sistem itu dan menyingkirkannya begitu saja.“ (MEW 21, 272)4 Namun, Marx mengikuti Feuerbach bukan tanpa reserve, ia membahasnya juga secara kritis. Di satu pihak Marx setuju dengan Feuerbach, bahwa: ”Fundamen dari kritik anti-religius: Manusia membuat agama, agama tidak membuat manusia. Maka agama adalah kesadaran diri dan perasaan diri manusia yang atau belum didapatkan olehnya atau telah hilang kembali daripadanya.” (Werke I, 488). Maka Marx yakin bahwa berkat Feuerbach ”... kritik agama secara hakiki sudah selesai.“ “Selama ini selalu saja muncul pertanyaan: Siapakah Allah itu?—Sekarang filsafat Jerman telah menjawab pertanyaan ini: Allah adalah manusia.“ (MEGA II, 428)5 Dan bagi Marx, filsuf Jerman Feuerbach-lah yang sudah menunjukkan bahwa masalah Tuhan, masalah hal gaib adalah masalah manusia. Kalau begitu sekarang, yang penting adalah suatu refleksi kritis atas manusia itu.



Namun persis dalam point ini —refleksi tentang manusia— filsafat Feuerbach dinilai Marx tidak mencukupi. Maka Marx mengajukan keberatan terhadap Feuerbach di dalam tulisannya yang terkenal Thesen über Feuerbach (Tesis-tesis tentang Feuerbach, di dalam: Werke II). Di sini ia memberi kritik atas paham manusia menurut Feuerbach, bahwa manusia Feuerbachian itu:



4 MEW: Marx-Engels-Werke, diedit oleh Institut für Marxismus-Leninismus beim Zentralkomitee der SED, 39 jilid, Berlin, 1956-1971. 5 MEGA: Marx-Engels-Gesamtausgabe, diedit oleh: D.RJAZANOV dan V.ADORATSKIJ, berdasarkan penugasan dari Institut Marx-Engels di Moskau, Frankfurt/M, 1927-1932.



66



Filsafat untuk Para Profesional



• Tidak mempunyai sosialitas konkret, sementara Marx memandang manusia itu terjalin dalam kontak sosial-ekonomi-politik, tempat ia hidup. ”Feuerbach telah membuat sirna hakikat religius ke dalam hakikat manusiawi. Namun, hakikat manusiawi bukanlah abstraktum yang menetap di dalam masing-masing individu. Di dalam kenyataannya ia merupakan ensambel dari hubungan-hubungan sosial.” (Tesis ke-6, Werke II, 2f)



• Bersifat ahistoris: Feuerbach menekankan kehebatan manusia Gattung (manusia sebagai ”bangsa”). Namun, manusia itu tidak ada di dunia ini, sementara Marx menekankan manusia historis di dunia ini dalam proses kerja. ”Feuerbach yang tidak membahas secara kritis tentang hakikat manusia yang sesungguhnya ini, jadi terpaksa (1) mengabstraksikannya dari perjalanan historis dan membekukan suasana hati religius demi dirinya sendiri, dan mengandaikan suatu individu manusiawi yang abstrak, terisolasi... (Tesis ke-6, Werke II, 2f) • Tidak memuat dimensi praksis. Maka emansipasi manusia pada Feuerbach adalah lewat pencerahan, perubahan kesadaran. Bagi Marx, manusia memerlukan praksis untuk mengubah masyarakat. Maka perlu perubahan sosial-politik. ”Kekurangan utama semua materialisme hingga kini (termasuk materialisme Feuerbachian) adalah bahwa benda, kenyataan, keindrawian hanya dipahami di dalam bentuk objek dan bentuk teori; tetapi bukan sebagai kegiatan manusiawi yang indrawi sifatnya, praksis; tidak bersifat subjektif...Maka itu materialisme semacam itu tidak memahami arti dari kegiatan yang bersifat 'revolusioner', kegiatan 'praktis-kritis'... Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan



67



Di dalam praksis manusia harus membuktikan kebenaran, artinya kenyataan dan kekuatan, kemembumian pikirannya (Diesseitigkeit seines Denkens)” (Tesis I dan II, Werke II, 1).



Namun mengapa manusia Feuerbach itu pucat dan abstrak? Sebab manusia mengalami dimistifikasi dalam agama. Feuerbach memang telah menurunkan Tuhan dari tahtanya, tetapi berabe-nya ia mendudukkan di atas tahta yang kosong itu manusia abstrak dan memujinya setengah mati. Jadi memang kultus Tuhan sudah sirna, tapi kultus manusia kini muncul. Maka di mata Marx, Feuerbach adalah seorang ”atheis yang saleh”, seorang yang tetap menerima Allah sebagai wujud manusia.



Bagi Marx jelas, mengkritik agama tidak bisa lewat kritik atas ”manusia pada umumnya”. Pertanyaan yang tidak diajukan oleh Feuerbach, diajukan oleh Marx: (1) Mengapa orang mengasingkan hakikatnya ke dunia gaib dalam agama?; dan (2) Bagaimana mengatasi keterasingan manusia dalam agama itu?



Bagaimana Agama Terjadi?



Pengasingan manusia ke dalam dunia agama atau alienasi religius terjadi karena keadaan miskin masyarakat yang menciptakan suasana represif terhadap manusia. Di dalam masyarakat miskin ini, manusia tentu saja tidak bisa mengembangkan dirinya. Manusia ditekan oleh keadaannya, manusia melarikan diri ke dunia khayalan (Scheinwelt), alam sorgawi di mana Allah berada. Sebagai itu, agama adalah ungkapan kemiskinan dan sekaligus protes atas kemiskinan manusia yang membuatnya tidak berkembang. Marx berkata: 68



Filsafat untuk Para Profesional



”Kemiskinan religius pada satu sisi merupakan ungkapan dari kemiskinan yang sungguh nyata, dan pada sisi lain merupakan protes terhadap kemiskinan sungguhan itu. Agama adalah keluh kesah makhluk yang tertekan, perasaan dari dunia yang tak berhati, sebagaimana dunia itu sendiri merupakan roh dari pelbagai keadaan tanpa roh.” (MEW 1, 378) Maka itu bagi Marx jelas: “Masyarakat ini menciptakan agama, suatu kesadaran yang terbalik mengenai dunia, sebab ia sendiri merupakan dunia yang terbalik.” (MEW I, 378) Celakanya, daripada memperbaiki keadaan lewat praksis, agama meninabobokkan orang lewat khayalan surgawi: Agama adalah candu masyarakat (Lenin: Agama adalah candu bagi masyarakat! Ini untuk menekankan unsur kesengajaan dari ”pemberi candu“ yaitu Gereja dan Negara) Sama seperti candu membuat orang malas dan terlena dalam khayalannya, agama pun —menurut Marx— tidak bersifat emansipatoris, artinya tidak membebaskan manusia dari keadaan miskinnya.



Bagaimana Agama Diatasi?



Jawaban Marx lugas: —Peniadaan agama sebagai kebahagiaan khayali masyarakat adalah tuntutan demi kebahagiaan nyatanya. Tuntutan meniadakan khayalankhayalan tentang keadaannya merupakan tuntutan menghapus keadaan yang membutuhkan khayalan-khayalan itu.“ (MEW I, 379) Maka, bukan perubahan kesadaran, melainkan praksis perubahan dan perbaikan masyarakat sebagai”keadaan yang memerlukan ilusi” itulah yang perlu dibuat. ”Para filsuf dahulu telah menafsirkan dunia secara Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan



69



berbeda-beda. Namun yang terpenting adalah mengubah dunia itu.” (Werke II, 4) Tujuan proses perubahan dunia ini jelas: Pembebasan atau emansipasi manusia dari situasi ketergantungan-ketergantungan yang tak perlu sehingga ia bisa mengembangkan diri sepenuhnya tanpa alienasi dan dengan demikian mencapai „kebahagiaan nyatanya“ di dunia ini, menjadi ”manusia yang manusiawi”, ”manusia total.” (MEW, Ergänzungsband I, 536). Pada akhirnya bagi Marx: ”Kritik atas agama berakhir dengan ajaran, bahwa manusia adalah hakikat tertinggi bagi manusia, jadi dengan imperatif kategoris untuk mengubah semua hubungan dimana manusia merupakan makhluk yang direndahkan, diperbudak, ditinggalkan, dan terhina....“ (MEW I, 385)



Di dalam tulisan-tulisannya di kemudian hari, Marx percaya, bahwa keadaan itu akan tercapai secara niscaya di dalam masyarakat sosialis atau komunis (Marx tidak membedakan keduanya), dimana proletariat6 akan berkuasa dalam solidaritas dengan sesamanya dan hak milik pribadi akan terhapus, sehingga semua memiliki semua secara bersama. Hanya saja, Marx sendiri menyebut sosialismenya sebagai ”sosialisme ilmiah” (istilah dari Engels, MEW 20, 265), artinya masyarakat solider tanpa hak milik pribadi yang akan datang itu tidak berdasarkan pada kerinduan etis (misalkan masyarakat Plato) atau romantisme religius (misalkan Gereja Perdana dalam Kisah Para Rasul 2, 41-



6 Kata "proletariat" berasal dari kata latin "proles", artinya: anak-cucu, keturunan. Pada zaman Romawi kuno, kaum proletar adalah kelas warga negara yang tidak memiliki harta benda dan pendapatan tetap. Kecuali membesarkan anak-anaknya, kaum proletar tidak bisa menyumbangkan apa pun untuk negara. Bagi F. ENGELS (1820-1895), proletariat adalah kelas yang tidak memiliki apa-apa sehingga terpaksa menjual tenaganya dan dengan demikian menggantungkan kehidupannya pada pekerjaan yang diberikan majikan kepadanya. Dalam arti modern, proletariat adalah warga negara yang berpenghasilan rendah dan tidak mempunyai perlindungan, jaminan sosial, batas kerja, upah yang adil, atau perumahan yang memadai, — kendati sudah bekerja keras seperti kuda.



70



Filsafat untuk Para Profesional



47; 4,32-37), melainkan berdasarkan analisis ilmiah atas hukum perkembangan masyarakat. Marx menulis: “Komunisme bagi kami bukanlah keadaan yang harus diadakan, tapi cita-cita yang wajib diikuti oleh kenyataan. Kami menyebut komunisme sebagai gerakan nyata yang meniadakan keadaan sekarang. Syarat-syarat itu dapat disimpulkan dari pengandaian yang terdapat sekarang.“ (Deutsche Ideologie, MEW 3, 35, cetak tebal oleh SIP).



Pokok ajaran Marx ini bisa dijelaskan dan dirangkum sebagai berikut:



Marx mengenal dua tingkatan struktur sosial, yakni ”bangunan atas” (Überbau), dimana agama, ideologi, dan negara termasuk, dan ”basis“, struktur kekuasaan ekonomis, dimana terdapat hubungan-hubungan produksi-material dari kelas-kelas sosial yang bertentangan (majikan dan buruh). Keadaan dan perubahan sosial ditentukan oleh ”basis”. Maka apabila ”basis” berubah, maka ”bangunan atas”, di mana agama berada, pun akan berubah. Bukan sebaliknya: ”bangunan atas” (agama) mengubah ”basis” (hubungan-hubungan produksi).



Adapun motor perubahan sosial adalah pertentangan antara dua kelompok sosial yang terjadi pada ”basis”: para pemilik atau majikan (”kelas-kelas atas”) dan para buruh (”kelas-kelas bawah“). Hubungan kedua kelas itu adalah hubungan konflik. Oleh para majikan, kaum buruh atau para pekerja (Arbeiter) diperlakukan hanya sebagai tenaga kerja (Arbeitskraft), yakni sebagai objek yang dimanfaatkan demi keuntungan para majikan itu. Sedangkan kaum buruh melihat para majikan sebagai pihak yang menghisap Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan



71



mereka dengan kekuatan modalnya dan kepemilikan atas alat-alat industri. Menurut Marx, hubungan konflik ini bersifat objektif. Artinya, didesak oleh tuntutan dari luar dirinya (misalkan, mekanisme dan fluktuasi pasar, hukum penawaran dan permintaan; semuanya ini unsur struktural-objektif), maka bukan oleh kehendak baik atau moralitasnya (unsur subjektif), para majikan mau tidak mau harus menambah modal dan mencari untung sebanyak mungkin dengan menghisap para buruh. Sebab, jika tidak demikian, usaha mereka akan segera ambruk dan dengan begitu para pekerja sendiri lalu kehilangan sumber mata pencahariannya. Jadi berdasarkan perkembangan ekonomis yang berorientasi pada modal dan laba itu, pertentangan kelas niscaya akan semakin tajam dan tak terdamaikan. Menurut Marx, keadaan ini pada gilirannya akan membuat pihak yang paling menderita, yakni kelas buruh, mengadakan revolusi untuk menghancurkan struktur sosial lama. Sistem perekonomian kapitalis sendiri diyakini Marx akan meradikalkan pertentangan kelas itu hingga mencapai puncaknya dalam revolusi sosialis. Begitulah, pada akhirnya negara-kelas akan digantikan oleh masyarakat tanpa kelas. Itulah saat ”prasejarah umat manusia akan berakhir” dan munculnya ”kerajaan kebebasan” (Engels). Di dalam keadaan ini, manusia akan berhubungan dengan sesamanya sebagai sahabat (=”socius”, bahasa latin) tanpa penghisapan, dan kepemilikan pribadi (sumber perseteruan dan penghisapan itu) akan menjadi kepemilikan bersama. Jika masyarakat ini sudah tercipta, agama sebagai surga keterasingan yang muncul akibat pelarian dari dunia represif itu, dengan sendirinya akan layu, mati, dan hilang. Demikianlah akhirnya pada pemikiran Marx “Kritik surga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik.” (MEW I, 379). 72



Filsafat untuk Para Profesional



Belajar dari Ateisme Elaborasi kita terhadap tiga filsuf yang penting untuk ateisme modern ini mengizinkan kita memperoleh gambaran tertentu mengenai manusia dan inspirasi bagi kehidupan beragama. Maka di sini akan dibahas satu per satu pemikiran mereka itu secara kritis.



Feuerbach adalah pemikir pertama yang memberikan dasar ilmiah-modern untuk ateisme modern. Cara berpikir Feuerbach menjadi titik pangkal bagi pelbagai bentuk ateisme. Ateisme psikologis Sigmund Freud (1856-1939), misalnya, menggali sebab-sebab terjadinya agama pada dorongan-dorongan (Triebe) di bawah sadar manusia dan menyimpulkan agama sebagai neurosis kolektif umat manusia. Adapun pemujaan Feuerbach terhadap manusia Gattung menemukan pararelismenya di dalam pemikiran Nietzsche tentang ”Manusia Atas” (Übermensch).



Pendapat Feuerbach bahwa agama atau kepercayaan pada Tuhan merupakan proyeksi manusia ada benarnya juga. Dalam kenyataan, bukan hal baru bahwa orang beragama, khususnya pemimpinnya, mengklaim berbuat ini-itu atau memerintahkan para pengikutnya untuk melakukan sesuatu atas nama Allah, padahal sebenarnya semua hal itu adalah pantulan dari kehendaknya untuk berkuasa, mendominasi dan —bukan mustahil— untuk mendapatkan kepuasan bagi ”hidden needs“ dalam batinnya. Selain itu, fantasi saleh yang keterlaluan dari para pengaku umat beragama bukan tidak mungkin merupakan pelarian khayal dari kemalasan dan ketakutan berusaha. Maka, bagi umat beragama mempelajari filsafat Feuerbach ada segi positifnya: Orang beriman diajak, bahkan didesak untuk bermawas diri dan mewaspadai laku hidup keagamaan, baik dalam lingkup pribadi maupun dalam lingkup jemaah. Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan



73



Tidak bisa diragukan bahwa antropologi Feuerbach berhubungan erat dengan pandangan atheistiknya yang menolak eksistensi Allah demi tegaknya primat homo homini deus, manusia sebagai ”Allah”, ”yang tertinggi” bagi manusia lain; jadi suatu teori proyeksi religius yang mengatakan bahwa manusia individual yang berkekurangan secara keliru telah melemparkan hakikat dan sifat sempurna dan tak terbatasnya —yang ia miliki sebagai makhluk anggota umat manusia (Gattung)— kepada Allah. Namun, justru basis filsafat Feuerbach ini berdiri di atas kaki yang lemah. Masih bisa dipertanyakan secara radikal: Manusia mana bisa berfungsi sebagai ”Allah“, ”yang Tertinggi“ bagi manusia lain? Manakah ukuran bagi manusia? Menurut gambaran siapa kita bisa mengatakan manusia lain itu ”Yang Tertinggi“ di antara manusia lain? Keunggulan apa yang bisa ditemukan dari manusia masa depan menurut Feuerbach yang melampaui ”secara tak terbatas“ manusia sekarang ini? Dapatkah manusia yang sesungguhnya merupakan makhluk berkekurangan menjadi Allah bagi manusia lain yang juga sama berkekurangan seperti dia? Sungguhkah gabungan umat manusia akan menghasilkan kehebatan manusia itu setara dengan Allah? Atau hasil sebaliknya: Bukankah manusia masa depan idaman Feuerbach malahan terbukti menjadi monster bagi sesamanya, jika kita menyaksikan apa yang terjadi pada Perang Dunia I dan II, Auschwitz, Hiroshima dan Nagasaki, Gulag, killing fields? Bukankah di sini Feuerbach memfantasikan, ya memproyeksikan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ada di dunia nyata ini? Sang pencetus teori proyeksi dicurigai tengah membuat proyeksi sendiri! Berkaitan dengan teori proyeksi Feuerbach harus dikatakan: Dengan teori ini Feuerbach hanya bicara tentang fungsi agama, bukan hakikat agama, yakni Allah yang 74



Filsafat untuk Para Profesional



disembah dalam agama itu. Baginya, agama mempunyai fungsi psikologis sebagai proyeksi dambaan ideal kesempurnaan manusia yang tak kesampaian, dambaan ini lalu dipersonalisasikan sebagai ”Allah“. Di sini ada dua titik kritis dalam ateisme Feuerbach: (1) Justru karena yang dibicarakan adalah fungsi agama, atheisme berdasarkan teori proyeksi Feuerbach ini sama sekali tidak menyentuh pertanyaan dasariah apakah Allah itu pada dirinya sendiri ada atau tidak. Secara negatif ini berarti: Ajaran Feuerbach tidak bisa meyakinkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Kebalikannya malahan benar: Jika dengan proyeksi, manusa ”menempelkan“ sifat-sifat baiknya pada Allah, maka ipso facto (= dengan fakta itu sendiri, bahasa Latin) sebenarnya sudah diakui bahwa Allah itu ada, yakni sebagai ”tempat“, dimana sifat-sifat manusia itu bisa dilekatkan. Tanpa kesungguhan ”ada“-nya Allah, proses proyeksi tidak bisa berjalan. Sama halnya sebuah film di dalam proyektor tidak bisa ditayangkan jika tidak ada dinding/layar mantap di mana film itu diproyeksikan.



Titik kritis (2) pada ateisme Feuerbach berkaitan dengan pandangannya bahwa gagasan kita tentang Allah muncul dari proyeksi daya fantasi kita atas kesempurnaan hakikat manusia. Pengertian Allah Maha Baik, misalnya, muncul karena kita manusia mempunyai ideal mengenai kesempurnaan (moral) mengenai apa yang baik. Namun pertanyaannya: Dari manakah manusia bisa menemukan kata ”maha—“ yang lantas diproyeksikannya pada Allah? Kata ”maha—” itu kan mengacu tidak hanya pada sesuatu yang ”lebih daripada manusia“ (hal ini memang bisa saja difantasikan, misalnya dalam komik atau film science fiction), melainkan lebih daripada itu menunjuk pada sesuatu yang ”lain daripada manusia”, ya ”yang tak terhingga” dan melampaui manusia. Nah, justru tokoh ”Yang Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan



75



Maha—” semacam ini tidak akan pernah ditemukan dalam pengalaman konkret-indrawi atau empiris (sebab manusia dengan sendirinya adalah terbatas, dan secara matematik sudah jelas bahwa penjumlahan apa pun yang terbatas tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang tak terbatas). Lalu kalau manusia sanggup mengenal Allah sebagai ”Yang Maha—”, padahal ia sendiri sama sekali tidak mempunyai pengalaman indrawi tentangNya, maka nyatalah bahwa argumentasi Feuerbach yang mau mengembalikan gejala agama pada soal psikologis dan indrawi melulu memuat kontradiksi dalam dirinya sendiri. Feuerbach seharusnya mengakui bahwa manusia bisa beragama dan percaya pada Allah, justru karena kemampuan jiwanya melampaui batasbatas kemampuan empiris-indrawinya. Karena adanya dimensi inilah, ia bisa menyadari, ”mengalami“ hal-hal yang melampaui pengalaman empiris-indrawi melulu. Jadi, apakah Allah = proyeksi keinginan manusia? Arah-tujuan transendensi manusia!



Mirip dengan kritik terhadap Feuerbach adalah evaluasi atas pandangan Karl Marx. Mengevaluasi sumbangan pemikiran Marx bagi kehidupan agama kiranya tidak susah. Begitu jelas kritiknya terhadap agama, tapi begitu jelas juga concern Marx pada masalah kemanusiaan. Maka berkaca pada kritik agama Marx, kita melihat suatu imperatif tersirat bahwa hidup agama harus dikaitkan erat dengan hidup sosial kemasyarakatan. Dalam terang kritik filsafat Marx itu, relevansi agama di dalam masyarakat ditentukan secara signifikan dari keberpihakannya pada orang kecil/tertindas. Selain itu, Marx mengajak kita waspada akan penyalahgunaan argumen-argumen agama untuk meninabobokkan orang dengan membawanya ke dunia gaib ketimbang berupaya mengembangkan dirinya dan membangun masyarakat.



76



Filsafat untuk Para Profesional



Namun, justru di sini mulai beberapa masalah atau pertanyaan kritis yang perlu diajukan kepada Marx: Sama seperti Feuerbach, Marx di sini sebenarnya hanya bicara mengenai fungsi agama, bukan esensi agama, yakni penerimaan adanya Tuhan yang merupakan unsur hakiki bagi agama. Bagi Marx, agama berfungsi meninabobokan orang, suatu pelarian dari keadaan masyarakat yang represif. Namun, dari fakta bahwa agama membius orang dan membuatnya melarikan diri ke dunia gaib, tidak bisa disimpulkan sama sekali bahwa Tuhan itu tidak ada. Kritik kita terhadap teori proyeksi Feuerbach sebelumnya dapat dengan demikian diterapkan kepada Marx secara 1:1. Sama seperti argumen proyeksi psikologis Feuerbach tidak bisa menegasi atau membenarkan adanya Allah, demikian pun anggapan bahwa argumen sosial-politik yang membuat orang lari ke dunia gaib, tidak bicara apa pun mengenai kebenaran atau ketidakbenaran adanya Allah. Ini berarti: seperti juga pada teori proyeksi Feuerbach, ajaran Marx tidak bisa menunjukkan bahwa Tuhan itu ada atau tiada. Pandangannya setidak-tidaknya membiarkan pertanyaan ini tetap terbuka.



Namun jika teori ”opium pelarian” Marx tidak bisa menjelaskan ada-tidaknya Allah, yang diimani oleh orang beragama, ada dua konsekwensi beruntun pada pandangan Marx yang lain. (1) Ajaran Marx bahwa agama itu buatan manusia menjadi problematis. Jika agama di sini dipahami sebagai ”ajaran”, ”dogma“, ”ritus“, ”tata-ibadat”, ”organisasi”, maka pandangan itu —dalam arti tertentu— bisa diterima. Namun, jika agama secara hakiki adalah kepercayaan pada Tuhan, buatan manusiakah agama itu? Dari manakah kepercayaan pada Tuhan itu muncul? Dari represi sosial? (Padahal —seperti baru saja dikemukakan di atas — keadaan represi sosial tidak bisa menjadi dasar Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan



77



bagi penerimaan ada-tidaknya Tuhan) Bukankah adanya agama sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri yang mampu mentransendensi dirinya dan dengan demikian jadi terbuka terhadap Yang paling Transenden, yakni Tuhan sendiri? Di sini agama dalam sebagai penerimaan adanya Allah bukan ”buatan” manusia, melainkan arah dan tujuan keterbukaan transendensi manusia. Namun, hal ini lantas berarti (2) kepercayaan —ya, kepercayaan!— Marx bahwa agama akan hilang dengan sendirinya pun secara antropologis tidak berdasar. Sebab sejauh keterbukaan pada Yang Transenden tetap ada dan menjadi semacam unsur konstitutif pada kodrat manusia, agama dalam arti penerimaan adanya Allah sebagai Yang Transenden pun sebenarnya akan tetap ada, setidak-tidaknya sebagai — meminjam istilah Skolastik— ”potentia oebediantialis” (kemampuan manusia untuk mendengarkan dan menaati suatu Ada Transenden yang mengatasi dirinya). Fakta ilmuilmu sosial dan kemanusiaan membuktikan bahwa agama setua peradaban manusia itu sendiri dan masih akan terus berjalan seiring dengannya. Yang diakui sedang berada dalam krisis, khususnya di Barat, adalah institusi-institusi agama dengan sistem kepercayaannya, tapi agama sebagai kepercayaan akan adanya Yang Transenden atau Tuhan sampai sekarang ini —melawan prognose Marx— tidak surut, tidak juga di negara-negara bekas komunis. Sehubungan dengan kenyataan masih hidupnya agama ini, bahkan harus dicatat juga bahwa kritik berdasarkan fakta negatif dari pihak Marx bahwa agama meninabobokan orang, bisa secara faktual diseimbangkan dengan balik menunjukkan fakta-fakta bahwa agama pun bisa dan nyatanya berperan positif juga untuk membangun masyarakat. Pada umumnya berlaku, segala kritik mengenai agama dengan menunjukkan secara berat sebelah fakta-fakta negatif selalu bisa ditanggapi 78



Filsafat untuk Para Profesional



balik dengan menunjukkan fakta-fakta positif. Sebab, agama secara sosiologis merupakan fenomen ambivalen yang memuat keduanya. Begitu misalnya, agama nyatanya bisa juga memajukan dan memperkembangkan umat manusia baik lewat konsep-konsep dogmatiknya, misalnya tauhid, maupun lewat perangkat institusionalnya (misalnya dalam bidang pendidikan, rumah-sakit, pengembangan sains, karya sosial-karitatif hingga penggulingan sistem kepercayaan represif dengan jalan damai [contoh, ”perjuangan ahimsa, tanpa kekerasan” dari Gandhi (1917-1948) di India; ”People Power” di Filipina, gerakan Solidarnosch dengan Lech Walesa (di Polandia, ”Revolusi Damai Jerman Timur”, dimana tokohtokoh protestan berperanan]) Dengan contoh dan peristiwa ini, penetapan Marx bahwa basis ekonomi menentukan bangunan atas (Überbau) pun patut dipertanyakan: Betulkah hanya struktur kekuasaan ekonomis pada ”basis” yang menjadi sebab perubahan sosial? Bukankah agama pun relevan —seperti baru saja disebutkan contohnya di atas— dalam perubahan sosial, justru karena agama memiliki ikatan solidaritas yang kuat dengan sesamanya? Bukankah sosiolog Max Weber (18641920) dalam analisisnya yang tajam atas relasi antara Kapitalisme dan Protestantisme, khususnya Kalivinisme, telah memperlihatkan secara meyakinkan hal sebaliknya, agama (Kalvinisme) memengaruhi secara signifikan semangat dan hubungan kerja dan produksi di dalam masyarakat Kapitalisme? (Lihat Weber, The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism, asli dalam bahasa jerman: 1904) Namun, hal yang mungkin paling fatal dan membuat ajaran Marx membunuh unsur emansipatorisnya sendiri adalah anggapan ”sosialisme ilmiah”-nya, yakni pandangan Marx bahwa berdasarkan dialektika sejarahnya, perkembangan Feuerbach dan Marx untuk Para Agamawan



79



masyarakat akan secara niscaya menuju tercapainya masyarakat komunis atau sosialis. Pertanyaannya, Jika sejarah secara niscaya akan menuju masyarakat komunis, lalu buat apa segala perjuangan ke arah sana masih harus dilakukan? Bukankah tekad untuk berjuang sudah dipatahkan, jika sudah diketahui sebelumnya bahwa tujuan perjuangan itu sebenarnya sudah ada di saku kita? Bukankah dengan demikian ”futurologi“ Marxian di sini telah berubah menjadi opium masyarakat—hal yang pernah dituduhkan Marx sendiri kepada agama? a



80



Filsafat untuk Para Profesional



5



Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham F. Budi Hardiman



A



pakah ikon penting gaya hidup di metopolis, seperti misalnya Paris, Tokyo, dan Jakarta? Anda cukup membuka sebuah saluran TV dan menyaksikannya, atau kita sendiri tengah langsung mengalaminya. Pertamatama adalah uang, dan kemudian adalah gaya hidup untuk menikmatinya sebagaimana tampak dalam fenomen fashion atau diindonesiakan menjadi ”fesyen”. Dua macam profesi berkaitan dengan kedua kode itu, yakni perancang busana dan pialang saham. Akan tetapi, bila memberi judul di atas dengan kedua jenis profesi itu, saya tidak mengkhususkan hanya pada keduanya. Semua orang dalam masyarakat modern terlibat dengan uang dan fesyen, tentu dalam kadar-kadar tertentu, entah sebagai penghasil ataupun sebagai pemakai. Namun, ada yang khas dengan kedua profesi yang saya sebut dalam judul, yaitu keduanya memanfaatkan keadaan jiwa kerumunan. Oleh karena itu, pemikiran Simmel, seorang pengamat cermat gaya hidup kota besar, cocok untuk mendekati mereka. Saya juga perlu memberi catatan lain. Bila mengulas profesi perancang busana dan pialang saham, kita tidak 81



sedang memuji atau menista kedua profesi itu. Kita mau mengajak mereka yang terlibat dengan kedua profesi itu merenungkan hakikat uang dan fesyen. Tetapi untuk apa? Apakah mengetahui “hakikat” sesuatu akan memberi nilai tambah kepada seseorang? Bukankah banyak orang yang hanya mengetahui “gejala” saja sudah cukup untuk berpenghasilan darinya? Hampir semua pemakai komputer di kantor tidak tahu dan memang tidak perlu tahu cara kerja atom dan elektron dalam piranti keras mereka, tapi mereka berpenghasilan dari piranti-piranti itu. Benar bahwa untuk piranti kita tak perlu tahu cara kerjanya, karena kita hanyalah user atas benda-benda itu, tetapi uang dan fesyen adalah hal lain. Kegunaan atau fungsi keduanya tidak terletak pada fisik mereka, melainkan pada nilai atau simbol yang mereka presentasikan. Artinya, user tidak hanya berada “di luar“ simbol-simbol itu, seperti pada piranti, melainkan juga “di dalam“ mereka. Uang dan fesyen melibatkan kedirian pemakai mereka. Mengetahui hakikat mereka sedikit banyak akan menyingkap hakikat kedirian manusia.



Pemikir Gaya Hidup



Nama Simmel kerap tidak tercantum di dalam daftar para filsuf Jerman. Dia lebih dikenal sebagai salah seorang pendiri sosiologi modern di abad ke-19 bersama Max Weber dan Emile Durkheim di Prancis. Namun di kalangan para sosiolog, dia lebih dikenal sebagai filsuf. Dia berada di persilangan antara sosiologi dan filsafat. Tidak perlu diragukan, Simmel adalah salah seorang pemikir modern yang fokus pada gaya hidup metropolis. Ada baiknya, mereka yang terlibat dengan profesi perancang busana atau pialang saham mengikuti analisis-analisisnya tentang gaya hidup metropolis. 82



Filsafat untuk Para Profesional



Georg Simmel lahir di Berlin pada tanggal 1 Maret 1858 dari keluarga keturunan Yahudi. Ayahnya dibaptis menjadi Katolik, sedang ibunya menjadi Protestan. Simmel sendiri masuk Protestan, tapi meninggalkan gereja di Perang Dunia I. Rumah tempat dia dilahirkan terletak di sudut perempatan jalan yang sangat ramai di Berlin yang waktu itu sedang bangkit menjadi metropolis dunia, yaitu antara Friedrichstraβe dan Leipzigerstraβe. Kita boleh melukiskan tema pokok pemikiran Simmel dengan persilangan jalan yang ramai ini. Pikirannya menangkap tegangan berbagai aliran dan kecenderungan moral serta intelektual zamannya. Kita, sebagai orang kota, juga mengalami tegangan yang sama seperti yang dialami Simmel. Misalnya, di kota besar ada banyak kelompok sosial, profesi, dan religius, dan kita tidak bisa secara total setia hanya pada satu macam kelompok, melainkan harus membuka diri kepada berbagai kelompok. Kerap kali berbagai identitas tumpang tindih dalam ”diri” kita. Simmel mengalaminya. Sebagai orang Yahudi yang masuk gereja Protestan dia ditolak oleh kaum Yahudi ortodoks, tetapi kalangan Protestan sendiri curiga padanya.



Simmel menulis karya-karya yang menangkap detail perasaan-perasaan hidup orang kota besar. Misalnya, Űber sociale Differenzierungen (Tentang Diferensiasi-diferensiasi Sosial, 1890) adalah karya yang berbicara tentang pengelompokan sosial, pembentukan elite, kemajemukan gaya hidup dan juga massifikasi. Yang termasyhur adalah karyanya yang berjudul Philosophie des Geldes (Filsafat Uang, 1900) yang di dalamnya Simmel berbicara tentang bagaimana uang dan ekonomi uang memengaruhi kehidupan mental kita. Karya lainnya yang juga berpengaruh dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan adalah Soziologie (Sosiologi, 1908) yang dapat dipandang sebagai upaya Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham



83



lamanya untuk memberi pendasaran pada sosiologi modern yang berpusat pada pandangan antropologis manusia sebagai makhluk perbedaan.



Manusia Urban



Apakah sesungguhnya yang mendasari fenomen uang dan fesyen? Jawabnya tentu manusia. Uang dan fesyen dihasilkan oleh manusia. Jika demikian, hakikat uang dan fesyen harus dicari pada manusia sebagai penciptanya. Di sini kita menemukan dua macam kesulitan. Kesulitan pertama menyangkut manusia itu sendiri. Manusia bukanlah makhluk yang statis atau permanen, melainkan dinamis dan berubah menurut zaman dan kebudayaan. Seandainya manusia memiliki hakikat yang permanen, kita akan lebih mudah menebak hakikat benda-benda ciptaannya. Kesulitan lain menyangkut benda-benda ciptaan manusia. Bendabenda itu —yang kita bahas di sini fesyen dan uang— tidak semata-mata mencerminkan penciptanya, melainkan juga ikut membentuk penciptanya. Da Vinci tidak hanya tercermin dalam Monalisa, melainkan Monalisa juga ikut mencipta Da Vinci, yaitu nama besarnya. Uang dan fesyen menjadikan manusia menjadi “seseorang“. Kedua kesulitan itu tidak bisa dihilangkan, melainkan sebaiknya kita ingat terus saat membahas benda-benda kebudayaan. Manusia yang berubah menurut ruang dan waktu itu juga akan tampil dalam sosok khas dalam ruang dan waktu tertentu. Jadi, manusia tidak memiliki “hakikat”! Berubah menurut ruang dan waktu berarti bahwa manusia bukanlah “substansi” atau realitas permanen. Manusia yang direnungkan oleh Simmel ini bukan manusia dari segala zaman, seperti yang dibahas di dalam buku-buku filsafat kuno, melainkan manusia yang muncul di zaman modern, yaitu manusia kota atau manusia urban (Urbanmensch).



84



Filsafat untuk Para Profesional



Ketika kota-kota tumbuh pesat, gaya hidup, dan perilaku manusia di dalamnya berubah, manusia juga menyingkapkan dirinya secara baru. Manusia urban adalah manusia juga, tetapi kota besar telah ikut mengaktualkan “kodrat“nya sesuai dengan tegangan hidup dalam kota.



Apa itu kota? Jawaban yang biasa diberikan, kota besar adalah kota dengan populasi besar dan banyak gedung pencakar langit. Jawaban yang diberikan oleh Simmel, kota besar adalah bentuk kehidupan mental yang berbeda dari kota kota kecil. Artinya, kota besar, benda ciptaan manusia, tergantung dari penciptanya. Rasa perasaan dan cara berpikir orang-orang kota besar membuat kota memiliki karakter kota besar. Maka itu, Tokyo adalah kota besar, karena kehidupan mental warganya bercorak kota besar. Tapi kota besar juga membentuk manusia penghuninya. Kita, orang Jakarta, hidup dalam metropolis atau kota besar. Hal itu membuat kita, manusia, berbeda dari manusiamanusia di kota kecil, misalnya, Klaten atau Blitar. Berbeda di sini bukan sekadar dalam cara hidup, melainkan juga dalam kehidupan psikisnya. Untuk jelasnya saya akan mengutip apa yang dimaksud oleh Simmel dengan kota besar untuk menunjukkan bagaimana kota besar membentuk manusianya. Di dalam tulisannya, “The Metropolis and Mental Life”, dia menulis sebagai berikut: Basis psikologis tipe individualitas metropolis terdiri atas intensifikasi stimulasi kegelisahan yang berasal dari perubahan terus-menerus dari rangsanganrangsangan dari luar dan dari dalam. Manusia adalah suatu makhluk pembeda. Pikirannya dirangsang oleh perbedaan antara sebuah kesan sementara dan kesan yang mengikutinya. KesanSimmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham



85



kesan yang lewat, kesan-kesan yang berbeda kecil satu sama lain, kesan-kesan yang berlangsung ajek dan rutin dan menunjukkan kontras-kontras yang ajek dan rutin—semua ini bukanlah kesadaran, melainkan lebih merupakan rentetan citra-citra yang cepat sekali berubah, diskontinuitas yang tajam dalam tangkapan sebuah pandangan sekilas dan kejutan kesan-kesan yang maju dengan cepat. Halhal inilah yang merupakan kondisi-kondisi psikologis yang dibentuk oleh metropolis...Metropolis menuntut dari manusia sebagai makhluk pembeda sejumlah kesadaran yang berbeda-beda daripada kehidupan desa.1 Ada tiga pokok penting dari kutipan di atas. Pertama, kota besar adalah medan kegelisahan dan arena kesankesan sementara. Kedua, manusia adalah makhluk pembeda. Ketiga, kota besar mengaktualkan manusia sebagai makhluk pembeda.



Pokok kedua bersifat fundamental untuk Simmel, manusia adalah makhluk pembeda. Istilah yang dia tulis dalam bahasa Jerman adalah Unterschiedswesen. Yang dimaksud bukan bahwa manusia bisa membedakan satu hal dari lain hal, melainkan bahwa manusia tidak pernah sama baik dengan lingkungannya maupun dengan dirinya sendiri. Yang dimaksud bukan kecenderungan menjadi eksentrik sama sekali, seperti memakai mantel bulu di tengah-tengah komunitas nudis, melainkan menjadi agak beda, seperti memakai kaos bermerek di tengah-tengah komunitas 1 Simmel, Georg, “The Philosophy of Fashion”, dalam: David Frisby dan Mike Featherstone (eds.). 1997. Simmel On Culture: Selected Writings. London: Sage Publications. hlm. 175.



86



Filsafat untuk Para Profesional



yang memakai kaos-kaos biasa. Manusia adalah makhluk individual. Namun, dia tidak mau sama sekali berbeda dari lingkungannya. Ia hanya mau berbeda sedikit, agar tidak sama sekali terpisah dan terasing dari lingkungannya. Makhluk pembeda juga tidak mau sama total dengan dirinya sendiri, maka dia juga mengimitasi orang-orang lain. Dia adalah juga makhluk sosial. Kata identitas menunjukkan paradoks ini. Identitas diraih dengan membedakan sekaligus dengan menyamakan diri dengan orang-orang lain. Dengan cara itu manusia itu khas sekaligus umum. Dia adalah makhluk yang berdiri tegang di antara individualitas dan sosialitas. ” Kodrat” yang tegang antara sosialitas dan individualitas ini menurut Simmel paling tampak di dalam manusia urban. Pokok pertama, kota besar sebagai medan kegelisahan dan arena kesan-kesan sementara, merupakan ruang bagi makhluk pembeda itu. Simmel membedakan kota besar dari kota kecil dari jenis hubungan-hubungan sosialnya. Menurutnya kota kecil ditandai oleh homogenitas persepsi, sedang kota besar oleh heterogenitas persepsi. Negara totaliter, seperti Korea Utara, memiliki karakter kota kecil, meski ia adalah sebuah negara besar, karena homogenitas persepsi yang membuat perilaku penduduknya sama, misalnya bahwa penduduk tidak hanya harus berpikiran sama dengan Kim Jong-Un, melainkan juga memiliki potongan rambut yang sama dengannya. Masyarakat homogen “mengolektivasi” penduduknya. Jauh berbeda dari itu, masyarakat kota besar “terindividuasi”, individu yang satu memiliki persepsi berbeda dari yang lain.



Penjelasan tentang pokok ketiga menjadi lebih sederhana. Kota besar memungkinkan manusia mengaktualisasi dirinya sebagai makhluk pembeda, karena dua hal. Pertama, banyaknya populasi memungkinkan banyaknya Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham



87



jenis interaksi yang pada gilirannya memperbesar rentang pilihan-pilihan interaksi bagi individu. Kota besar adalah ruang diferensiasi, yaitu mendorong manusia menjadi individu yang berbeda. Kedua, ruang diferensiasi ini membuat “kodrat” manusia sebagai makhluk pembeda menjadi aktual. Juga di kota kecil manusia adalah makhluk pembeda, tetapi di sana tertekan oleh desakan kelompok sehingga manusia jarang menjadi dirinya. Baru dalam kota besar, ruang diferensiasi, orang menjadi dirinya sekaligus bukan dirinya. Di situ tersedia ruang untuk berbeda dari lingkungannya. Kondisi urbanlah yang menyingkap manusia sebagai makhluk pembeda.



Ketiga pokok di atas bertolak dari pengandaian akan adanya “ketimbalbalikkan” antara individu dan kelompok. Simmel menyebutnya dalam kata Jerman Wechselwirkung. Kehidupan mental kota besar membentuk orang kota, tetapi manusia urban sebagai makhluk pembeda juga membentuk kehidupan metropolis. Yang menarik perhatian Simmel bukan orang kota dan juga bukan kota besar, melainkan ketimbalbalikan, Wechselwirkung, keduanya. Orang kota tidak bisa sepenuhnya menjadi individu karena tidak hidup sendiri di sebuah pulau sunyi. Dia juga tidak bisa sepenuhnya menjadi anggota sebuah kelompok, karena kota terdiri atas berbagai kelompok. Orang kota hidup dalam arus ketimbalbalikan itu sendiri. Namun, dia tidak larut di dalamnya; dia tetap seorang individu. Arus rangsangan kesan-kesan silih berganti itu dapat mencerabut orang kota dari diri dan kelompoknya, tetapi menurut Simmel orang kota memiliki sebuah alat tangkal: sikap blasé yang bisa dijelaskan dengan sikap tidak peduli perbedaan individual, sikap anonim, dan berjarak. “Sikap blasé”, tulis Simmel, “berasal pertama-tama dari rangsangan-rangsangan saraf 88



Filsafat untuk Para Profesional



yang berubah cepat dan rapat”.2 Manusia urban dengan sikap itu melindungi diri agar tidak tercerabut.



Fesyen dan Perancang Busana



Profesi perancang busana memang tidak khas sebagai profesi metropolis. Kita bisa menemukan profesi itu juga di desa atau kampung. Perancang busana dapat ditemukan juga dalam masyarakat tradisional atau bahkan dalam masyarakat primitif. Namun, kita boleh mengatakan bahwa profesi ini paling banyak atau menjadi banyak dan penting di kota-kota besar. Orang-orang, seperti Giorgio Armani, Etienne Aigner, Marc Jacob, dan Hary Darsono, dikenal terutama di kota-kota besar dan tidak melayani kebutuhan manusia di segala tempat atau segala zaman. Mereka termasuk pelayan-pelayan manusia urban. Kebutuhan yang mereka layani juga khas, yaitu kebutuhan urban.



Kebutuhan manusia berubah menurut kebudayaan dan zamannya, tapi menurut Simmel ada sesuatu yang merupakan kebutuhan sosial dasariah yang terkait dengan kodratnya sebagai makhluk pembeda, yakni kebutuhannya untuk diterima di dalam sebuah kalangan sekaligus kebutuhannya untuk diakui sebagai seseorang. Kedua kebutuhan itu saling bertentangan, tetapi melekat pada manusia sebagai makhluk pembeda. Orang yang ingin diterima ke suatu kalangan haruslah mengimitasi perilaku orang-orang dalam kalangan itu. “Imitasi” demikian tulis Simmel, ”memberi individu jaminan untuk tidak berdiri sendirian dalam tindakantindakannya.”3 Karena itulah orang kota butuh sambungan ke dalam kelompok arisan, pertemuan marga, jemaat agama, klab penggemar atau pertemanan se-hobi. Dengan cara itu manusia urban menjadi sama dengan orang-orang lain. 2 Ibid., hlm. 178. 3 Ibid., hlm. 188.



Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham



89



Akan tetapi kebutuhan untuk disamakan dengan yang lain itu bertentangan dengan kebutuhan lain dalam diri manusia urban yang sama, yaitu kebutuhan untuk diakui sebagai seseorang, karena untuk diakui sebagai seseorang, manusia urban harus berperilaku berbeda dari orang-orang lain.



Kebutuhan untuk disamakan dengan yang lain dan kebutuhan untuk dibedakan dari yang lain bersarang pada manusia yang sama, dan tegangan kebutuhan ini tidak pernah selesai. Alih-alih meredakan tegangan kebutuhan itu, menurut Simmel, kehidupan metropolis malah memperhebat tegangan itu. Jadi, meskipun tegangan itu juga terdapat dalam diri manusia kapan pun dan di mana pun, hanya manusia urbanlah yang paling merasakan tegangan kebutuhan itu, dan hanya di kota besarlah kebutuhan urban yang saling bertegangan itu menjadi makin penting bagi manusia. Mengapa demikian? Kota besar adalah tempat hidup bagi populasi yang besar. Hanya di kota besarlah populasi itu majemuk. Orangorang dari berbagai kalangan, kelompok sosial, kelompok etnis, agama dan sebagainya hidup bersama di satu tempat. Hanya di kota besarlah individu merasakan dirinya anonim di antara begitu banyak individu lainnya. Namun, anonimitas itu juga memungkinkan kebebasan individu untuk membedakan dirinya dari yang lain. Jadi, hanya di kota besarlah kebutuhan untuk menjadi seseorang itu sangat dikejar oleh para individu, sehingga mereka tidak merasa anonim lagi. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan urban inilah perancang busana bekerja.



Yang dihasilkan oleh orang-orang seperti Aigner, Dolce & Gabana, dan Armani adalah fesyen, dan fesyen memenuhi kebutuhan urban yang baru saja kita bicarakan. Fesyen dalam arti ini memuaskan kebutuhan sosial manusia urban dengan cara yang khas. Bagaimana hal itu dapat dijelaskan?



90



Filsafat untuk Para Profesional



Penjelasan Simmel tentang hakikat fesyen dapat menjawab pertanyaan itu. ”Fesyen adalah imitasi atas sebuah pola yang ada dan dengan demikian memuaskan kebutuhan untuk adaptasi sosial; ia menggiring individu ke jalan yang ditempuh setiap orang, ia memenuhi sebuah kondisi umum yang mendorong perilaku setiap individu menjadi sekadar sebuah contoh. Pada saat yang sama, dan tidak dalam kadar yang kurang, fesyen memuaskan kebutuhan akan pembedaan, kecenderungan ke arah diferensiasi, perubahan dan kontras individual.4



Singkatnya, fesyen bermain dengan tegangan kebutuhan untuk disamakan sekaligus dibedakan. Di sebuah masyarakat, tempat setiap orang cenderung tampil beda, seperti di Florence tahun 1390-an, tidak ada fesyen.5 Begitu pula di sebuah masyarakat, tempat semua orang berpakaian sama, misalnya seperti masyarakat Taliban di zaman kita, juga tidak ada fesyen.



Lalu, apakah sebenarnya bisnis fesyen yang dilakukan para perancangnya? Perancang busana mengeksplorasi kebutuhan yang terkait dengan kodrat manusia sebagai makhluk pembeda, maka hal itu juga terkait dengan struktur sosial, karena diferensiasi sosial menghasilkan kebutuhan untuk disamakan dan dibedakan. Simmel berpendapat bahwa fesyen adalah produk pembagian kelas.6 Orangorang, seperti Versace, Galliano, dan Garavani tidak mungkin dapat bekerja tanpa adanya pembagian kelas-kelas sosial. 4 Ibid., hlm. 188-189. 5 Lih. ibid., hlm. 192. 6 Lih. ibid., hlm. 189.



Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham



91



Dalam masyarakat tanpa kelas yang diimajinasikan oleh Karl Marx tidak ada kelas-kelas sosial, maka juga tidak ada kalangan-kalangan, tak ada hierarki, tak ada kelompokkelompok pembeda. Dalam masyarakat seperti itu — yang tidak ada dalam kenyataan— tidak mungkin ada fesyen, karena fesyen ada di mana ada kebutuhan untuk berbeda kalangan, sedangkan dalam masyarakat tanpa kelas tidak ada kalangan-kalangan dan kebutuhan untuk berbeda kalangan ditindas oleh kesamaan dan keumuman terorganisasi. Jadi, perancang busana mengeksplorasi suatu kebutuhan yang khas masyarakat kelas, yaitu kebutuhan yang terkait dengan rasa bangga untuk termasuk di dalam kelas tertentu sekaligus terkait sikap berjaraknya dari kelaskelas lain.



Tanpa adanya kelas-kelas sosial itu kebutuhan akan fesyen tidak tumbuh, perancang busana tidak akan berkembang sebagai sebuah profesi, karena tidak ada penghasilan yang bisa diperoleh dari sebuah masyarakat tanpa kalangankalangan. Dalam arti ini perancang busana ditopang oleh struktur kelas-kelas sosial di dalam masyarakat kapitalistis. Ada Wechselwirkung antara masyarakat kelas dan profesi perancang busana. Para perancang busana menggarap kebutuhan urban yang disimbolisasi lewat “merek” mereka dari dua sisi. Pada satu sisi, busana bermerek yang mereka hasilkan adalah memisahkan pemakainya dari kelas-kelas lain yang tidak peduli merek. Busana bermerek itu mengisi rasa kurang penting yang dimiliki para pemakainya dan ketidakmampuan mereka untuk tampil otentik tanpa merek. Dalam arti ini, menurut Simmel perancang busana diuntungkan oleh sebuah masyarakat yang orang-orangnya kurang yakin diri dan cenderung “jaim”. Pada sisi lain, busana itu memasukkan pemakaiannya dalam kelas tertentu yang 92



Filsafat untuk Para Profesional



peduli merek dan menilai orang dari apa yang dipakainya dalam arti “You are what you wear”. Fesyen juga terkait kelemahan posisi sosial Dalam hubungan ini Simmel menemukan alasan mengapa perempuan suka fesyen: Dari kelemahan posisi sosial yang diderita para perempuan sepanjang sebagian besar sejarah muncullah hubungan erat mereka dengan segala yang "lazim", dengan apa yang "layak dan pantas", dengan cara hidup yang sahih dan diakui umum... fesyen juga memberi para perempuan sebuah kompensasi untuk kekurangan mereka dalam posisi sosial dalam sebuah kelompok profesional.7



Kesukaan pada fesyen dikaitkan oleh Simmel dengan posisi sosial yang lemah. Dalam arti ini, perancang busana merupakan profesi yang membantu perempuan untuk melupakan kelemahan posisi mereka dengan substitusi sebuah penampilan. Kita tentu boleh mendebatnya dengan bertanya, mengapa di kalangan para pengemis tidak muncul fesyen dan mengapa para pemakai fesyen justru para perempuan dari kalangan atas dengan posisi yang kuat.



Uang dan Pialang Saham



Bila sekarang kita membahas profesi kedua, pialang saham, kita harus berurusan dengan pemikiran Simmel tentang uang. Sebaiknya kita tidak berdebat tentang definisi pialang saham. Yang dimaksud di sini adalah pekerjaan memperdagangkan uang di pasar saham. Di abad ke-17 John Locke telah menjelaskan bahwa hak milik adalah klaim 7 Ibid., hlm. 196.



Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham



93



atas hasil kerja kita, tetapi uang telah membuat sepotong daging sama dengan setumpuk gandum sehingga hasil kerja yang berbeda-beda dihitung sama. Memperdagangkan uang bukanlah mempertukarkan uang dengan barang atau jasa, melainkan uang dengan uang untuk mengambil keuntungan dari selisih nilai. Pertukaran barang dengan barang dalam ekonomi barter berada pada tingkat realitas; dalam ekonomi uang pertukaran barang atau jasa dengan uang berada pada simbol tingkat pertama, sedangkan pertukaran uang dengan uang berada pada simbol tingkat kedua. Dalam pertukaran simbol dengan simbol inilah pialang saham bermain.



Apakah uang itu menurut Simmel? Seperti halnya fesyen, Simmel mengembalikan hakikat uang pada ”kodrat” manusia sebagai makhluk pembeda, maka analisis uang tidak difokuskan pada transaksi ekonomis, melainkan pada efek transaksi ekonomis itu pada jiwa manusia urban. Coba bayangkan ilustrasi ini. Saya menghendaki ponsel terbaru yang dimiliki oleh seseorang yang tidak saya kenal, dan orang itu menghendaki pesawat TV saya. Dalam ekonomi barter, saya harus berkenalan dengan orang itu dulu dan bernegosiasi agar nilai TV saya dihargai sama dengan nilai ponselnya. Kami berdua harus melibatkan kepribadian kami dalam transaksi itu dengan saling mengarahkan kepada diri kami masing-masing. Dalam ekonomi uang, saya dan orang itu terhubung lewat pihak ketiga, yaitu uang, tanpa harus berkenalan atau melibatkan kepribadian kami. Kami masingmasing fokus pada nilai uang itu, lalu mengalihkannya pada barang untuk dipertukarkan. Sebagai yang ketiga di antara saya dan dia, uang menghubungkan sekaligus memutuskan saya dan dia. Tak perlu kenal orang itu, saya mendapatkan barangnya dengan uang saya, dan ia mendapatkan uang dengan melepas barangnya. Hanya uang dan barang yang 94



Filsafat untuk Para Profesional



terlepas atau didapat, sedangkan kepribadian kami tidak ”membekas” pada keduanya.



Simmel berbicara tentang ciri psikologis uang. Pertama, ciri independensi psikologis. Uang yang semula hanyalah alat tukar, yaitu sarana, bisa berubah menjadi tujuan pada dirinya dan memiliki otonominya di hadapan pemiliknya. Karena menjadi tujuan, segala upaya dikerahkan untuk memilikinya, sehingga muncul keyakinan bahwa kebahagiaan hidup terkait dengan pemilikan uang. Uang lalu menjadi “allah zaman kita”. Pemilikan uang menimbulkan “rasa damai dan aman”, seperti “perasaan yang ditemukan orang saleh di dalam Tuhannya”. Perasaan seperti itu tidak ditimbulkan oleh jenis-jenis lain pemilikan.8



Kedua, ciri anonimisasi atau depersonalisasi. Uang membuat segala yang dihargai menurut nilainya menjadi sama. Pengabaian kekhasan atau penyamarataan itu dilukiskan Simmel sebagai berikut: Uang adalah "umum" karena ia adalah ekuivalen untuk segalanya dan apa pun; hanya yang individual itu terkemuka; apa yang ekuivalen untuk banyak hal adalah ekuivalen untuk yang paling kurang di antara mereka dan karenanya menarik bahkan hal yang tertinggi turun ke taraf dari hal yang paling rendah.9



Uang menyingkirkan salah satu aspek makhluk pembeda, aspek individualisasi. Kalau makhluk pembeda cenderung disamakan sekaligus dibedakan, uang membuatnya hanya disamakan. Semua hal, termasuk orang, adalah sama di



8 Lih. Simmel, Georg, “On the Psychology of Money”, dalam Simmel, Georg, ibid., hlm. 243. 9 Ibid., hlm. 239. Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham



95



hadapan uang, yakni dapat dijual atau dibeli. Depersonalisasi ini mungkin karena uang merupakan “interseksi umum atas berbagai rentetan tujuan-tujuan”.10



Tentu saja depersonalisasi bisa positif dan bisa juga negatif. Di dalam kegiatan karitatif, misalnya, dermawan anonim lebih dihargai daripada dermawan yang menunjukkan atau bahkan memamerkan namanya. Anonimitas itu dimungkinkan oleh uang. Dalam kasus berbeda, hadiah uang, apalagi bila terang-terangan diberikan, kerap dinilai merendahkan si penerima, karena uang seperti mendepersonalkan si penerima atau menyamakan prestasinya dengan nilai uang.11 Kata “terimakasih” yang keluar dari mulut pemberi dirasa sedikit banyak menyeimbangkan dengan menambahkan bobot personal kepada uang itu.



Akhirnya, ciri ketiga, uang mengasuh pemiliknya untuk menjadi karakter yang mirip dengan uang, yaitu memiliki sikap berjarak, anonim, atau tidak peduli perbedaan individual. Ada Wechselwirkung antara uang dan pemiliknya. Sikap-sikap itu diringkas Simmel dalam kata sikap blasé yang sudah disinggung di atas. Karena uang menjadi “allah zaman kita” dan menjadi cakupan umum segala nilai, sikap-sikap pemilik uang akan dibentuk oleh uang yang dimilikinya. Simmel berpendapat bahwa sikap blasé manusia urban adalah produk uang: Watak blasé strata makmur kita terkait dengan hal ini. Jika uang karenanya menjadi denominator umum untuk segala nilai kehidupan, jika pertanyaannya tidak lagi apakah mereka berharga, melainkan berapa harga mereka, lalu individualitas



10Lih. ibid., hlm. 238. 11Lih. ibid., hlm. 239.



96



Filsafat untuk Para Profesional



mereka raib...siapa pun yang percaya bahwa mereka dapat membeli segalanya dengan uang harus pastilah menjadi blasé.12 Pemilikan uang membentuk sikap blasé pemiliknya. Yang sebaliknya juga terjadi, sikap blasé memungkinkan manusia urban bertransaksi dengan uang dengan cara yang kurang lebih anonim. Ketiga ciri uang menurut Simmel di atas sekarang dapat kita hubungkan dengan profesi pialang saham. Berbeda dari perancang busana yang bermain dalam tegangan antara individualitas dan kolektivitas, pembedaan dan penyamaan, mereka yang sibuk dengan nilai mata uang condong —atau tergoda— pada aspek penyamarataan segala yang individual di bawah nilai-nilai kuantitatif dan anonim mata uang. Nilai intrinsik benda-benda atau proses kerja dipucatkan oleh nilai uang sehingga naik turunnya nilai mata uang tidak langsung terkait dengan nilai intrinsiknya. Pialang saham menghadapi uang, seperti para metafisikus menghadapi simbol-simbol realitas sehingga yang mereka minati bukanlah barang, melainkan nilainya sejauh dikuantifikasi dengan nilai uang. Karena itu pialang saham atau mereka yang berinvestasi adalah pedagang-pedagang yang paling metafisis dan simbolis di antara para pedagang.



Profesi seperti ini mau tidak mau menghasilkan sikap blasé pada penyadangnya. Bila uang menjadi denominator umum atas segala yang berbeda dan bertentangan, —partaipartai yang bertentangan akan sama minatnya terhadap uang— uang menjadi sebuah sistem logis yang mengalihkan kenyataan konkret menjadi nilai abstrak. Para pemain mata uang berkutat di dalam sistem itu. Jiwa mereka mengadaptasi 12Ibid., h. 238.



Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham



97



mood yang timbul dari naik atau turunnya nilai mata uang siang dan malam, menit demi menit. Ciri kalkulatif sistem uang ternyata berhadapan langsung dengan ciri tak terkalkulasi kehidupan itu sendiri, maka para pemain saham adalah manusia-manusia yang berhadapan paling langsung dengan risiko-risiko dan ketidakpastian. Di dalam sistem ekonomi uang, mereka bergerak di perbatasan, yaitu nyaris menyentuh kesewenangan kehidupan. Beban profesi ini menjadi tidak tertanggungkan, bila para penyadangnya tidak bersikap berjarak, anonim, dan mengabaikan hal-hal yang berbeda secara kualitatif yang dicakup oleh nilai uang. Karena itu tanpa sikap blasé, mungkin para pemain uang tidak akan tahan terhadap kesewenangan yang tidak selalu memberi perolehan, melainkan bisa juga mengakibatkan kehilangan. Karena nyaris bersentuhan dengan kesewenangan kehidupan yang di dalamnya kemutlakan nilai uang dapat berubah menjadi serba nisbi, para pemain mata uang tidak dianjurkan untuk menganggap uang sebagai “allah zaman kita”. Di dalam euforia mereka yang ditimbulkan oleh perolehan yang didapat, mereka harus siap untuk mendevaluasi uang dalam kesadarannya sehingga ketika kesewenangan itu mengakibatkan kehilangan dan karakter judi dari bisnis uang menimpali mereka dengan ketakterdugaan yang menyakitkan, mereka harus bisa mengatakan bahwa “allah zaman kita” itu bisa bernilai tidak lebih daripada sekadar kertas. a



98



Filsafat untuk Para Profesional



Daftar Pustaka Simmel, Georg, “The Philosophy of Fashion”, dalam Frisby, David dan Mike Featherstone (eds.). 1997. Simmel on Culture: Selected Writings. London: Sage Publications, London. Simmel, Georg, “On the Psychology of Money”, dalam: dalam Frisby, David dan Mike Featherstone (eds.). 1997. Simmel on Culture: Selected Writings. London: Sage Publications, London.



Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham



99



6



Marcuse versus Perusahaan Iklan J. Sudarminta



“Dalam dunia di mana Michael Jordan dibayar lebih besar untuk satu iklan Nike dibandingkan jumlah seluruh upah buruh di pabrik Nike di Asia Tenggara, herankah bahwa Mattel telah memproduksi ‘Cool Shoppin’ Barbie’, boneka pertama dengan permainan kartu kredit. Buah hasil inisiatif Mattel dan Mastercard untuk menjamin munculnya generasi mendatang yang kecanduan kartu kredit (mirip dengan cara iklan Joe Camel dibuat untuk menjadikan generasi anak muda kecanduan rokok), ‘Cool Shoppin’ Barbie’ merupakan suatu eksploitasi tak tahu malu terhadap anak-anak dalam suatu negara di mana 1,35 juta penduduk pada 1997 menyatakan diri bangkrut karena pemerolehan kartu kredit yang dipermudah.” (McLaren, 2005: 79).



K



utipan di atas diambil dari buku Peter McLaren, Capitalists and Conquerors: A Critical Pedagogy Against Empire, yang terbit 41 tahun setelah terbitnya buku Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (pertama kali



100



terbit 1964). Berarti lebih dari 50 tahun telah lewat sejak Marcuse melancarkan kritiknya bahwa sistem ekonomi kapitalis dalam masyarakat industri maju, yang ditunjang oleh rasionalitas teknologis, telah menciptakan budaya konsumtif yang bersifat destruktif, dan bahwa iklan telah ikut berperan dalam pelestarian budaya tersebut. Kritik sosial Marcuse terhadap masyarakat industri maju yang ia sebut sebagai masyarakat berdimensi satu dalam buku One-Dimensional Man rupanya sampai sekarang belum kehilangan relevansinya, dan mungkin bahkan menjadi semakin nyata di era kapitalisme global dewasa ini. Secara khusus, dalam buku tersebut, Marcuse menunjukkan bagaimana iklan dalam sistem dan mekanisme ekonomi kapitalis lanjut telah ikut berperan memanipulasi kebutuhan dengan menciptakan kebutuhan palsu dan hasrat yang terus tak terpuaskan dalam diri individu-individu warga masyarakat untuk membeli dan mengonsumsi produkproduk baru yang ditawarkan di pasar yang disebut “pasar bebas.” Sebelum kita secara khusus memasuki pembahasan tentang argumentasi yang dikemukakan Marcuse dalam bukunya tentang hal tersebut, guna memahami pemikirannya lebih baik, pertama-tama saya ingin terlebih dulu memperkenalkan siapa dia dan buku-buku karya utama yang telah ditulisnya. Kemudian, guna memperoleh gambaran tentang konteks kritiknya terhadap iklan yang menciptakan kebutuhan palsu dalam sistem dan mekanisme ekonomi kapitalis, ada baiknya kalau kita juga melihat dulu garis besar pemikiran yang dikemukakan Marcuse dalam bukunya One-Dimensional Man dan apa yang menjadi keprihatinan pokok dirinya dalam mengembangkan teori kritisnya terhadap masyarakat industri maju. Marcuse versus Perusahaan Iklan



101



Herbert Marcuse, Kehidupan dan Karya-karyanya Herbert Marcuse lahir di Berlin 18 Juli 1898 dari keluarga Jerman keturunan Yahudi. Ayahnya, Carl Marcuse, adalah seorang pengusaha penerbitan buku-buku klasik yang sukses. Ibunya bernama Gertrude Kreslawsky. Pada 1911-1916 Marcuse mengawali pendidikan formal tingkat menengahnya di Gymnasium Mommsen dan dilanjutkan di Gymnasium Kaiserin-Augusta di Charlottenburg. Kemudian selama dua tahun, 1916-1918, ia menjalani wajib militer. Pengalaman perang dan kegagalan revolusi Jerman kemudian memunculkan minatnya pada dunia politik dan ketertarikannya pada pemikiran Karl Marx yang secara tajam mengkritik kapitalisme.



Marcuse mengawali pendidikan tingginya di Universitas Humbolt, Berlin 1919, dan setahun kemudian pindah ke Universitas Freiburg. Di sana ia memfokuskan studinya pada karya sastra Jerman sampai berhasil menyelesaikan disertasinya berjudul “Novel Jerman Tentang Seniman” pada tahun 1922. Di Freiburg, Marcuse juga mengambil kuliah filsafat dan mulai berkenalan dengan Husserl dan Heidegger. Ia juga mempelajari ilmu politik dan ekonomi. Setelah menyelesaikan studi doktornya yang pertama, ia kembali ke Berlin dan bergabung dengan ayahnya dalam bisnis penerbitan buku-buku klasik. Pada 1924, ia menikah dengan isteri pertamanya bernama Sophie. Setelah sejak setahun sebelumnya bersama temannya membaca buku Heidegger Sein und Zeit, 1928 Marcuse tertarik untuk kembali ke Freiburg guna mendalami filsafat dengan berguru pada Husserl dan Heidegger. Ia tertarik membaca pemikiran Hegel dan Marx dalam kacamata pemikiran Heidegger dan menulis disertasi berjudul “Ontologi Hegel dan Teori Historisitas”. Konon disertasi ini belum mendapat persetujuan Heidegger, tetapi berhasil diterbitkan 1932.



102



Filsafat untuk Para Profesional



Pada tahun 1932 itu juga, menjelang Hitler menancapkan kuku kekuasaanya, mengingat Marcuse adalah seorang Jerman keturunan Yahudi, ia terpaksa harus berpisah meninggalkan Heidegger yang bergabung dengan partai Nazi. Marcuse kemudian melamar untuk bekerja pada Institut Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Frankfurt yang didirikan oleh Horkheimer dan Adorno pada tahun 1922. Ia diterima untuk bekerja dalam lembaga tersebut berkat rekomendasi Husserl. Akibat kekejaman politik Nazi, Institut Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial sendiri dipindahkan markasnya dari Frankfurt ke Geneva, lalu Paris dan kemudian sejak 1934 ke Universitas Columbia di New York. Marcuse bekerja di situ sampai 1942 saat ia pindah ke Washington, DC untuk bekerja di kantor pusat informasi perang, dan kemudian ia pindah kerja ke kantor pelayanan strategis Amerika (American Office of Strategic Services). Sejak 1940, Marcuse sudah menjadi warga negara Amerika Serikat dan kemudian mengabdikan hidupnya menjadi dosen di Universitas Brandeis. Sampai meninggalnya di tahun 1979, Marcuse berstatus sebagai dosen di University of California, San Diego.



Selain kedua disertasi yang sudah disebut di atas, karya Marcuse kemudian pada 1932 adalah kumpulan naskah berjudul Neue Quellen zur Grundlegung des Historischen Materialismus (“Sumber-sumber Baru untuk Pendasaran Materialisme Historis”) yang membahas Naskah-naskah Ekonomi-Filosofis tulisan Marx muda yang berfokus pada masalah alienasi atau keterasingan dalam masyarakat kapitalis. Perhatiannya pada peran nalar kritis yang diinspirasikan oleh cara pemikiran dialektis Hegel dan Marx tampak dalam bukunya yang terbit tahun 1941 berjudul Reason and Revolution. Sejak 1954, Marcuse menjadi guru besar filsafat di Brandeis University, Boston. Pada masa Marcuse versus Perusahaan Iklan



103



itu ia mengembangkan analisis kritis terhadap masyarakat industri maju dan membuahkan dua bukunya yang amat penting dan berpengaruh luas, yakni Eros and Civilization, terbit 1955, dan One-Dimensional Man, terbit 1964.



Buku Eros and Civilization merupakan penafsiran ulang gagasan Freud tentang eros dan perkembangan peradaban manusia yang selalu mengandaikan adanya represi atau penindasan atas dorongan seksual seraya melakukan sublimasi atau pengalihan dorongan ke suatu yang dipandang bernilai. Bagi Freud, kalau manusia membiarkan diri terus mengikuti dorongan nafsu seksualnya atau hidup melulu berdasarkan prinsip kesenangan, manusia akan gagal mengembangkan peradaban, karena pengembangan peradaban mengandaikan manusia hidup berdasarkan prinsip realitas. Dengan kata lain, menurut pandangan Freud, pengekangan hawa nafsu seksual (libido) merupakan syarat bagi dimungkinkannya pengembangan peradaban umat manusia. Menurut Marcuse, perkembangan kekuatan produktif oleh kapitalisme akibat perkembangan teknologi yang pesat pada masa itu sudah membuka kemungkinan terciptanya peradaban manusia yang tidak lagi represif. Berkat kemajuan teknologi, manusia sudah dibebaskan dari kewajiban kerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga lebih tersedia waktu luang untuk kegiatan lain yang mengembangkan dan menyenangkan. Hubungan antarmanusia dimungkinkan untuk ditentukan oleh eros atau saling ketertarikan, dan pekerjaan akan tidak lagi bersifat alienatif atau mengasingkan, melainkan mirip sebuah permainan yang menyenangkan.



Karena mengenai buku One-Dimensional Man masih akan ada pembahasan tersendiri nanti, maka dalam pengenalan singkat terhadap karya Marcuse ini saya akan langsung masuk ke buku-buku yang ia tulis



104



Filsafat untuk Para Profesional



sesudahnya. Berbeda dengan nada cukup pesimis akan kemungkinan adanya jalan keluar ke arah pembebasan dari sistem masyarakat berdimensi satu yang tampaknya serba nyaman dan kecukupan tetapi sesunggunya bersifat represif dan totaliter dalam One-Dimensional Man, dalam bukunya yang terbit 1969 berjudul An Essay on Liberation, Marcuse tampak sangat optimis akan adanya harapan baru. Ada kemungkinan terjadinya perubahan sosial kualitatif yang dapat membawa perubahan yang sejati. Buku ini ia maksudkan sebagai pengembangan gagasannya dalam buku One-Dimensional Man dan Eros and Civilization. Dalam buku An Essay on Liberation, Marcuse melihat adanya sumber kekuatan pembebasan dari sistem ekonomi kapitalis dalam masyarakat industri maju yang sesungguhnya bersifat represif dan totaliter. Sumber kekuatan tersebut, yang secara dialektis sudah terkandung dalam masyarakat industri maju, adalah kekuatan produksi baru berkat kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang telah membebaskan manusia dari hidup berkekurangan, dan munculnya kepekaan serta kesadaran baru yang datang dari beberapa kelompok radikal dalam masyarakat dengan ”aesthetic ethos” mereka melawan aturan main establishment. Marcuse juga menengarai adanya kelompok revolusioner yang tidak lagi tampak dalam kelompok para buruh sebagai representasi klas proletar sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx, karena mereka sudah terintegrasi dalam sistem kapitalis masyarakat industri maju. Kelompok revolusioner baru itu, dalam pandangan Marcuse adalah kelompok para mahasiswa pemberontak yang disebut sebagai kelompok New Lefts di Prancis dan Amerika Serikat tahun 1968, kelompok para hippies, kelompok orang-orang Negro yang tinggal di lorong-lorong perkampungan Amerika Serikat, kelompok revolusioner RRC, Front Pembebasan Nasional Marcuse versus Perusahaan Iklan



105



Kuba dan Vietnam, dan lain sebagainya yang sama-sama melawan kemapanan sistem yang represif dan totaliter. Guna mewujudkan cita-cita pembebasan, Marcuse juga menyebutkan perlunya ditanamkan dasar ”biologis” untuk pembebasan, karena pola kehidupan dalam sistem kapitalis lanjut dalam masyarakat industri maju telah memengaruhi manusia sedalam-dalamnya, sampai membentuk semacam kodrat kedua dalam diri para warganya.



Optimisme Marcuse di akhir tahun 1960-an itu rupanya surut kembali ketika tiga tahun kemudian (1972) ia menerbitkan buku barunya berjudul Counterrevolution and Revolt. Apa yang ia bayangkan sebagai kelompok revolusioner baru dalam buku sebelumnya, ternyata tidak membawa dampak yang berarti dalam perubahan sosial masyarakat. Mereka itu paling-paling hanya menjadi semacam pratanda masih adanya kelompok kecil yang tak sepenuhnya terserap ke dalam sistem yang ada. Individuindividu dalam masyarakat industri maju sudah sama sekali terasing dari hakikat dirinya dan telah menyesuaikan diri mereka seluruhnya dengan tuntuan efisiensi sistem produksi kapitalis. Kalimat terakhir dalam bukunya Counterrevolution and Revolt mengungkapkan nada yang cukup pesimis: “Krisis akhir kapitalisme mungkin membutuhkan keseluruhan dari satu abad.” (hlm. 134). Waktu yang cukup lama untuk terjadinya perubahan sosial yang berarti. Pada 1978 Marcuse menerbitkan bukunya yang terakhir berjudul The Aesthetic Dimension: Toward A Critique of Marxist Aesthetics satu tahun sebelum ia meninggal di Starnberg, Jerman, 1979. Dalam buku tersebut ia membela kebebasan seni terhadap estetika Marxis yang dalam masyarakat kapitalis lanjut mengalami kebekuan. Marcuse dari awal karier intelektualnya selalu melihat dimensi estetik, seni, sebagai bentuk kemanusiaan yang 106



Filsafat untuk Para Profesional



belum terkooptasi oleh budaya komsumtif kapitalisme, suatu yang memberi ruang bagi kesadaran kritis. Revolusi dan perubahan sosial selalu menuntut adanya ruang bagi pemikiran dan tindakan yang memungkinkan resistensi atau penolakan terhadap status quo.



Latarbelakang dan Keprihatinan Pokok Marcuse dalam One-Dimensional Man



Konteks sosial yang menjadi latar belakang buku Marcuse One-Dimensional Man adalah kondisi sosial ekonomi, politik dan budaya masyarakat industri maju di Eropa dan Amerika Serikat antara tahun 1950-an sampai 1960-an. Secara umum buku tersebut merupakan sebuah karya filosofis penting di bidang teori sosial kritis terhadap masyarakat industri maju, suatu kajian yang memang searah dengan tujuan didirikannya Institut Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Frankfurt di mana Marcuse bekerja. Para teoritisi sosial kritis Mazhab Frankfurt adalah orang-orang yang menganalisis konfigurasi negara dan kehidupan sosial-ekonomi dalam masyarakat kapitalis lanjut dengan mengkritik budaya massa dan komunikasi, menganalisis bentuk-bentuk pengendalian sosial baru menggunakan kemajuan teknologi. Mereka juga menganalisis dan mengkritik merosotnya kebebasan dan kreativitas individu dalam masyarakat karena konsep rasionalitas teknologis telah meninabobokkan segenap warga masyarakat sehingga sudah kehilangan kesadaran kritis mereka. Termasuk kelompok kaum buruh, yang oleh Marx sebelumnya dipandang sebagai kelas revolusioner atau negasi mutlak terhadap masyarakat kapitalis, kini telah sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem ekonomi kapitalis dan menjadi konformistik. Sudah sejak 1940-an esai yang ditulis Marcuse sudah menggambarkan adanya kecenderungan ke arah rasionalitas teknologis dalam Marcuse versus Perusahaan Iklan



107



masyarakat industri maju yang menghasilkan sebuah sistem kontrol sosial yang bersifat represif dan totaliter. Pada tahun 1950-an, Marcuse sudah melihat bahwa kemakmuran yang dibawa oleh kemajuan teknologi dalam masyarakat industri maju, berikut piranti perencanaan dan pengelolaan dalam sistem administrasi kapitalis lanjut, telah menghasilkan bentuk-bentuk pengaturan sosial baru, suatu masyarakat berdimensi satu, atau masyarakat di mana dimensi negatif yang memungkinkan perubahan sosial yang radikal dalam masyarakat, tidak lagi dimungkinkan.



Gagasan tersebut menjadi semakin eksplisit dalam buku One-Dimensional Man. Mengikuti pemikiran dialektis Hegel dan Marx, Marcuse berpendapat bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang tidak hanya memberi ruang bagi adanya dimensi afirmatif, tetapi juga dimensi negatif. Yang dimaksud dengan dimensi afirmatif adalah dimensi yang terkait dengan segala macam unsur yang mendukung dan menyetujui sistem kekuasaan yang ada. Sedangkan dimensi negatif adalah dimensi yang terkait dengan segala unsur kritis yang memungkinkan individu-individu dalam masyarakat menentang sistem kekuasaan yang ada serta memungkinkan terjadinya perubahan sosial yang berarti. Tesis pokok Marcuse dalam buku One-Dimensional Man adalah bahwa dalam masyarakat industri maju atau masyarakat kapitalis lanjut, yang didominasi oleh rasionalitas teknologis, dimensi negatif sebagai ungkapan kebebasan dan kreativitas manusia sebagai subyek, sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu di mata Marcuse masyarakat industri maju adalah masyarakat yang sakit karena masyarakat tersebut merupakan masyarakat berdimensi satu. Dalam masyarakat tersebut segala segi kehidupan diarahkan pada satu tujuan saja, yakni keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yakni sistem ekonomi, politik, dan



108



Filsafat untuk Para Profesional



budaya kapitalis yang konsumeristik. Masyarakat industri maju atau masyarakat kapitalis lanjut adalah masyarakat yang melulu berdimensi afirmatif karena dalam masyarakat tersebut individu-individu warganya bersikap konformistik, atau selalu menyesuaikan diri, menerima, dan mendukung sistem kekuasaan yang ada. Mereka tidak lagi bersikap kritis terhadap struktur, norma, dan perilaku yang sudah dibakukan sebagai apa yang dipandang rasional atau paling masuk akal oleh sistem kekuasaan yang ada. Dalam masyarakat tersebut, manusia berdimensi satu telah kehilangan individualitasnya, kebebasannya, dan kemampuannya untuk berbeda pandangan atau menentang sistem kekuasaan yang ada; manusia berdimensi satu juga sudah kehilangan kebebasannya untuk menentukan sendiri nasib hidupnya.



Menurut Marcuse, masyarakat berdimensi satu itu, walaupun tampak memberi banyak keleluasaan pada para warganya, tetapi sesungguhnya bersifat represif dan totaliter. Alasannya adalah karena pengarahan pada satu tujuan, yakni pelestarian sistem yang ada, berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi yang lain yang tidak menyetujui atau bahkan menentang sistem tersebut. Hal itu dapat dilaksanakan dengan lancar dan efektif, karena teknologi modern, yang —berkat kemampuannya untuk menciptakan kemakmuran bagi para warga dan pengaturan masyarakatnya yang tampak serba rasional— dapat memuaskan kebutuhan mereka. Padahal pada tahap-tahap masyarakat sebelumnya, ketika barangbarang yang dibutuhkan itu masih langka atau belum cukup tersedia, pemenuhan kebutuhan hidup seperti itu tak terjadi sehingga dapat timbul protes serta konflik sosial. Manusia-manusia berdimensi satu adalah manusia yang sudah kehilangan nalar kritisnya karena dimensi negatifnya Marcuse versus Perusahaan Iklan



109



tak lagi berfungsi. Mereka telah menjadi pasif dan reseptif, serta tidak lagi menghendaki adanya perubahan. Biarlah sistem ini berjalan terus karena hidup seperti begini terasa enak dan menyenangkan. Kutipan berikut dari pernyataan Marcuse kiranya dapat memberi ilustrasi mengapa warga masyarakat tak lagi menghendaki perubahan. “Kalau para buruh dan majikan dapat menikmati siaran program TV yang sama dan mengunjungi tempat-tempat wisata yang sama, kalau penampilan para sekretaris kantor tidak kalah menarik dibandingkan dengan anak perempuan majikannya, kalau orang Negro memiliki mobil Cadillac, kalau mereka semua membaca suratkabar yang sama, maka asimilasi itu bukan menunjukkan hilangnya struktur kelas [dalam masyarakat], melainkan seberapa jauh kebutuhan dan pemuasan yang menunjang dipertahankannya kemapanan telah meresapi para penduduk masyarakat tersebut.” (Marcuse, 2007 [1964]:10).



Masyarakat industri maju dapat secara efektif membuat warganya bersifat pasif dan reseptif atau mengintegrasikan sepenuhnya dimensi negatif dalam sistem penataan sosialnya karena masyarakat tersebut berhasil memanipulasikan dua nilai modern paling penting yakni rasionalitas dan kebebasan. Masyarakat industri maju, walaupun sesungguhnya “secara keseluruhan bersifat irasional” (Marcuse, 2007 [1964]:xl), tetapi masyarakat itu tampak serba rasional dan bebas. Masyarakat itu tampak rasional karena sepertinya apa yang menjadi kebutuhan warganya dapat tercukupi. Mereka yang dulunya hidup dalam kemiskinan dan terancam kelaparan,



110



Filsafat untuk Para Profesional



kini tidak hanya dapat makan cukup, tetapi juga semakin dapat ikut menikmati produk-produk yang dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalis. Konsep “negara kesejahteraan” (welfare state) mau menjamin bahwa tak ada lagi warga masyarakat yang telantar (Marcuse, 2007 [1964]:21, 52, 247). Rasionalitas teknologis telah berhasil membuat apa yang sesungguhnya irasional dalam masyarakat industri maju menjadi tampak rasional. Warga masyarakat memang merasa bahwa kebutuhan mereka terpenuhi, tetapi kebutuhan yang terasa terpenuhi itu sesungguhnya kebutuhan yang sudah dimanipulasi oleh rasionalitas teknologis tersebut di mana yang rasional adalah yang sesuai dengan tuntutan efektivitas dan efisisiensi sistem ekonomi dan produksi kapitalis. Karena manipulasi kebutuhan tersebut, warga masyarakat secara instingtif merasa butuh membeli barang-barang dan jasa yang diproduksi. Masyarakat industri maju juga tampak memberi kebebasan kepada para warganya karena kini, dibanding waktu sebelumnya, mereka lebih leluasa untuk bepergian kemana-mana. Asal punya uang, mereka dapat mengunjung berbagai tempat wisata yang tersedia untuk umum. Alatalat transportasi dan komunikasi massa juga sudah semakin tersedia. Mereka dapat memilih produk mana yang mau mereka beli dan pakai. Warga masyarakat juga memiliki kebebasan untuk mengajukan pendapat, untuk berkumpul dan berorganisasi, untuk memilih keyakinan iman atau agama yang mau dianut, untuk ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan yang ada lewat pemilu. Bahkan protes dan unjuk-rasa juga diberi tempat.



Namun sesungguhnya semua bentuk kebebasan yang diberikan itu bersifat semu, karena seluruhnya sudah ditempatkan dalam kerangka pelanggengan sistem ekonomi dan produksi kapitalis yang dianggap mapan. Marcuse versus Perusahaan Iklan



111



Individu-individu warga masyarakat sesungguhnya tidak mampu menentukan dirinya sendiri lagi sebagai subjek yang autonom karena secara psikologis dan instingtif kehendaknya sudah dibentuk oleh sistem kekuasaan yang ada. Dimensi negatif sudah sepenuhnya terintegrasi dalam masyarakat industri maju sehingga ruang kebebasan yang tampaknya lebih leluasa dibandingkan masa sebelumnya hanya diberikan sejauh tidak bertentangan dengan sistem tata kelola kehidupan masyarakat yang sudah ada dan dianggap baku. Masyarakat industri maju sesungguhnya bersifat represif dan totaliter, tetapi berkat rasionalitas teknologis yang diterapkan dalam sistem tata kelola kehidupan masyarakatnya, bentuk represi dan sifat totaliter itu dapat dilakukan sebegitu halus dan tak terasakan lagi sebagai suatu penindasan kebebasan oleh warga masyarakat.



Melawan Penciptaan Kebutuhan Palsu dan Konsumerisme oleh iklan Dalam buku One-Dimensional Man, Marcuse memang tidak secara khusus mengkritik para pengusaha iklan. Kritik Marcuse terhadap perusahaan iklan dan bagaimana iklan menjadi salah satu sarana memanipulasi kebutuhan dalam masyarakat adalah salah satu bagian saja dari kritiknya terhadap masyarakat industri maju, atau masyarakat kapitalis lanjut, sebagai masyarakat berdimensi satu. Masyarakat industri maju sebagai masyarakat kapitalis lanjut tak dapat dilepaskan dari industri periklanan karena hanya lewat iklan sosialisasi dan pemasaran produkproduknya dapat dimungkinkan. Berkat teknologi modern, dalam masyarakat industri maju atau masyarakat kapitalis lanjut, produktivitas barang dan jasa yang diperjualbelikan telah bertambah secara melimpah. Guna menghindari turunnya harga, yang berarti



112



Filsafat untuk Para Profesional



berkurangnya keuntungan, diciptakanlah suatu sistem dan jaringan ekonomi dengan manajemen yang rapi melalui manipulasi kebutuhan dan ekspansi ekonomis ke negaranegara yang sedang berkembang. Manipulasi kebutuhan sebagai bagian dari upaya menjual produk yang dihasilkan dalam jumlah besar, antara lain dilakukan lewat iklan yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana sosialisasi atau memberi informasi tentang produk-produk yang mau dijual, tetapi juga disertai iming-iming yang menggiurkan sehingga mampu merangsang minat beli warga masyarakat. Bahkan, tidak jarang minat beli itu begitu besar, sehingga melampaui kemampuan daya beli warga masyarakat. Kalau kita lihat dewasa ini, iming-iming iklan yang menunjukkan kemudahan memperoleh kartu kredit dan keleluasaan kemampuan berbelanja dengannya, dalam kenyataan telah memperparah keadaan. Banyak orang akhirnya terjebak oleh hutang yang tak terbayar. Budaya konsumeristik telah ikut ditunjang pengembangannya oleh industri periklanan. Kebutuhan sesungguhnya terbatas, tetapi hasrat untuk membeli dan memiliki itu tak terbatas.



Dengan adanya manipulasi kebutuhan dalam usaha melariskan barang dan jasa hasil produksi masyarakat industri maju, terciptalah dalam masyarakat dua macam kebutuhan yang perlu dibedakan satu sama lain, yakni kebutuhan palsu dan kebutuhan yang sebenarnya. Marcuse mendefinisikan kebutuhan palsu sebagai “[S]emua kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya: kebutuhan-kebutuhan yang melanggengkan kerja keras, keagresifan, kemalangan, dan ketidakadilan.” (Marcuse, 2007 [1964]: 7). Kebutuhan untuk melanggengkan kerja keras dengan jam kerja yang panjang merupakan kebutuhan palsu karena dengan kemajuan teknologi yang dapat Marcuse versus Perusahaan Iklan



113



meningkatkan produktivitas, sebenarnya jam kerja buruh dapat dikurangi, tetapi motif mengejar keuntungan sebesarbesarnya menganggap tak rasional untuk melakukan hal itu. Produsen senjata berikut buruh-buruhnya mendukung dilangsungkannya peperangan atau tindakan agresi, dengan dalih membela hak-hak asasi manusia sehingga tampak perang sebagai kebutuhan, tetapi sesungguhnya kebutuhan itu palsu, karena motif yang sesungguhnya adalah lebih untuk mendukung kelangsungan industri persenjataan. Marcuse juga menambahkan bahwa: “Kebanyakan kebutuhan yang ada untuk bersantai, bersenang-senang, berperilaku dan mengkonsumsi mengikuti tawaran iklan, mencintai dan membenci apa yang dicintai dan dibenci kebanyakan orang, termasuk dalam kategori kebutuhan palsu ini.” (Marcuse, 2007 [1964]: 7).



Dalam ruang lingkup kehidupan pribadi, kebutuhan palsu tersebut tampak misalnya dalam kebutuhan untuk mengendarai mobil mewah, memiliki rumah yang indah, megah dan memeliki perabotan serba lengkap, memakai pakaian model terbaru dan produk-produk barang lain yang sedang menjadi trend dalam dunia fashion. Semuanya itu dilakukan, bukan karena sungguh-sungguh diperlukan, melainkan hanya karena yang lain pun berbuat begitu. Industri periklanan sebagai bagian dari sistem ekonomi dan produksi kapitalis ikut terlibat dalam kegiatan memanipulasi kebutuhan dan menciptakan kebutuhan palsu dalam diri warga masyarakat industri maju. Industri periklanan juga ikut melanggengkan penyebaran budaya konsumeristik untuk membeli dan mengonsumsi berbagai produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalis lanjut di negara-negara industri maju. Budaya konsumeristik semakin ditunjang penyebarluasannya oleh maraknya 114



Filsafat untuk Para Profesional



budaya pencitraan diri berdasarkan produk-produk yang ditawarkan lewat iklan.



Menurut Marcuse, manipulasi kebutuhan dalam masyarakat industri maju sudah sedemikian merasuki sendisendi kehidupan warga masyarakat sehingga kebutuhan yang sebenarnya begitu tercampur dengan kebutuhan palsu dan tertimbun olehnya. Yang dimaksud oleh Marcuse sebagai kebutuhan yang sebenarnya adalah “kebutuhan vital yang tanpa kualifikasi dapat diklaim untuk dipenuhi, yakni kebutuhan untuk makan, berpakaian, tempat tinggal yang layak dicapai pada tingkat masyarakat berbudaya. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini merupakan prasayarat bagi terpenuhinya semua kebutuhan, baik yang tak tersublimasikan maupun yang tersublimasikan.” (Marcuse, 2007 [1964]: 7-8). Kebutuhan manusia yang sebenarnya adalah kebutuhan untuk sungguh dapat “menentukan diri sendiri secara murni dan cerdas” (Marcuse, 2007 [1964]: 43), kebutuhan untuk membangun hubungan antar-manusia yang didasari sikap saling meminati dan menghormati martabatnya. Namun, mengutip apa yang dirumuskan oleh Franz Magnis-Suseno, “dalam masyarakat industri maju kebutuhan manusia yang sebenarnya itu sudah tertimbun oleh kebutuhan yang dirangsang oleh segala macam promosi dan iklan, oleh irama di tempat kerja, oleh sistem lalu lintas, oleh media, oleh mekanisme pasar. Hasil manipulasi itu adalah bahwa manusia sepertinya latah ingin membeli apa yang dilemparkan ke pasar.” (MagnisSuseno, 2013: 274).



Manipulasi kebutuhan dalam masyarakat industri maju, dalam pandangan Marcuse, dapat terjadi begitu menyeluruh lewat mekanisme yang ia sebut “a sweeping disublimation.” (Marcuse, 2007 [1964]: 75). Dalam teori kebudayaan Sigmund Freud, proses perkembangan budaya manusia Marcuse versus Perusahaan Iklan



115



itu terjadi lewat proses sublimasi, yakni proses pengalihan dan pengarahan dorongan-dorongan seksual dari sasaransasaran yang bersifat seksual ke sasaran-sasaran baru yang menunjang perkembangan kebudayaan. Pengalihan dan pengarahan dorongan-dorongan instingtif itu menghasilkan energi psikis yang menunjang terciptanya prestasi intelektual dan budaya. Dalam masyarakat industri maju, menurut analisis sosial Marcuse, mekanisme desublimasi terjadi karena prosesnya mengalami pembalikan dari prestasi intelektual dan budaya yang ada ke dorongan-dorongan seksual. Energi psikis yang ada di balik pengejaran citacita intelektual dan budaya dialihkan menjadi dorongan instingtual untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan sistem ekonomi dan produksi kapitalisme lanjut.



Proses desublimasi dalam masyarakat industri maju sudah menjadi proses yang terlembaga (Marcuse, 2007 [1964]: 82). Manusia dalam masyarakat itu tidak lagi tahu apa yang menjadi kebutuhan sebenarnya karena kebutuhannya sudah dibentuk dan dipenuhi oleh sistem yang ada. “Prinsip Kesenangan” dalam analisis kejiwaan Freud sudah menyerap “Prinsip Realitas”, seksualitas terbebaskan dalam bentukbentuk yang secara sosial bersifat konstruktif. Dorongan libidinal tak perlu direpresi lagi dan disublimasi guna mengejar nilai-nilai yang lebih tinggi. Kebutuhan yang paling mendasar manusia untuk mengembangkan diri sesuai dengan citacitanya dan berhubungan dengan sesama yang tidak bersifat alienatif sudah tergerus oleh tawaran yang menggiurkan lewat iklan yang disebarluaskan media massa untuk menjadi manusia yang bahagia dengan mengikuti saja trend yang ada. Berpenampilan, berpakaian, berkendaraan, bergaul, berpembawaan seperti model-model yang ditampilkan iklan kini muncul sebagai kebutuhan. Mekanisme desublimasi yang terjadi dalam masyarakat industri maju, menurut 116



Filsafat untuk Para Profesional



Marcuse, telah menciptakan apa yang ia disebut sebagai “kesadaran yang bahagia” (Marcuse, 2007 [1964]: 79; 87), yakni keyakinan bahwa yang real itu rasional dan bahwa sistem yang ada telah memberikan hal-hal yang baik, suatu pencerminan konformisme baru yang merupakan sisi ra­ sionalitas teknologis yang terejawantah dalam perilaku sosial manusia. Itu berarti menghilangkan apa yang oleh Hegel disebut “kesadaran yang tak bahagia”, yakni keresahan mendalam manusia ketika ia menyadari bahwa realitas yang ada tidak sesuai dengan apa yang ia cita-citakan.



Mekanisme desublimasi juga menghasilkan apa yang oleh Marcuse disebut proses de-erotisasi (Marcuse, 2007 [1964]: 76; 78), yakni pereduksian dorongan erotik ke dorongan yang melulu seksual. Terjadi lokalisasi dan kontraksi libido, pereduksian pengalaman erotik ke pengalaman seksual dan pemuasannya. Peradaban masyarakat industri maju beroperasi dengan memberi ruang kebebasan lebih besar pada kebebasan seksual. Seks menjadi bagian dari komoditas. Industri periklanan tak segan-segan menggunakan simbol-simbol dan imaji seksual dalam memasarkan produk. Dalam iklan dan dalam dunia bisnis sehari-hari gadis-gadis perkantoran dan gadis-gadis penjaja produk barang dan jasa selalu dipilih yang cantik dan seksi, sedangkan kelompok eksekutif muda selalu ditampilkan sebagai laki-laki tampan dan jantan; itu semua dilakukan karena mereka merupakan bagian dari komoditas yang laku jual. Kalau anda berhasil menjadi orang kaya, apa pun bisa dibeli. Memiliki para gundik cantik dan bahenol yang dulunya hanya monopoli para raja dan bangsawan, kini di era kapitalis lanjut, telah menjadi komoditas yang dapat diakses oleh setiap orang yang berkocek tebal. Hal itu menjadi iming-iming bagi anggota komunitas bisnis, bahkan dari tingkat rendahan, untuk terus mengejar kekayaan Marcuse versus Perusahaan Iklan



117



sebanyak-banyaknya karena kekayaan memberi banyak kemudahan dalam memperoleh kenikmatan hidup.



Relevansi dan Sumbangan



Walaupun 50 tahun telah lewat sejak buku OneDimensional Man terbit pertama kalinya, tetapi apa yang dikemukan Marcuse dalam buku tersebut saat ini belum kehilangan relevansinya. Kajian kritisnya terhadap ideologi yang ada di balik sistem pengaturan dan pengendalian sosial masyarakat industri maju membuka mata kesadaran kita akan kelemahan dan keterbatasan sistem ekonomi kapitalis lanjut yang dewasa ini, berkat arus deras globalisasi, telah merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat di pelbagai negara di dunia ini. Tidak hanya terbatas pada negara-negara yang disebut sebagai negara industri maju, tetapi juga telah merambah ke negara-negara berkembang. Seperti dikatakan oleh Magnis-Suseno, apa yang dikemukakan oleh Marcuse dalam buku tersebut telah dengan jelas menunjukkan “kekeroposan rasionalitas ‘masyarakat industri maju’. Bahkan tanpa krisis global pasar finansial terakhir sudah menjadi jelas bahwa ekonomi pasar kapitalis tidak mampu memecahkan maalah-masalah yang disebabkannya: Ketiakberhasilan mengurangi kemiskinan internasional, fakta bahwa sejak 20 tahun di negara-negara industri maju pun perbedaan kaya miskin menjadi lebih tajam, bahwa negara-negara itu, meskipun kaya raya semakin tidak mampu menjamin hari tua warganya, dan, tentu krisis perubahan iklim, bicara dengan bahasa yang jelas.” (Magnis-Suseno 2013: 269-270). Khusus terkait dengan peran industri dan perusahaan iklan—yang dalam analisis sosial kritis Marcuse disebut sebagai ikut berperan dalam manipulasi kebutuhan dalam masyarakat industri maju dan ikut menunjang terciptanya



118



Filsafat untuk Para Profesional



serta penanaman kebutuhan palsu dalam diri individuindividu warga masyarakat tersebut—kritik Marcuse juga belum kehilangan relevansinya dewasa ini. Bahwasanya dalam era kapitalisme global dewasa ini, dunia periklanan telah ikut menyebarluaskan budaya, sikap, dan semangat konsumeristik serta membuat orang sering jadi kecanduan untuk bersikap, berperilaku, berdandan, berpenampilan, berkendaraan, berwisata mengikuti apa yang dipandang trendy sesuai dengan model yang ditampilkan di pelbagai iklan, kiranya juga menjadi kenyataan yang sulit dimungkiri. Kendati iklan bukan satu-satunya faktor yang menentukan untuk membeli suatu produk yang diiklankan, tetapi tak dapat dimungkiri bahwa iklan sungguh dapat memengaruhi publik dalam membelanjakan uang mereka. Budaya konsumtif dapat ikut ditunjang pertumbuhannya dalam masyarakat oleh iklan karena iklan tidak hanya membawa dampak ekonomis, tetapi juga dampak budaya terkait sikap, perilaku, gaya hidup, dan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat. Para pengusaha iklan untuk kepentingan bisnis, karena mereka dibayar oleh para pebisnis yang ingin agar penjualan produk-produknya dapat meningkat, sering yang diutamakan adalah bagaimana memantik emosi individuindividu untuk memuaskan hasrat privat mereka untuk membeli, dan bukan kepentingan publik secara keseluruhan.



Juga bahwa dalam masyarakat kapitalis global dewasa ini yang tidak terbatas di negara-negara Barat atau pun negaranegara yang secara ekonomis disebut negara maju, tetapi juga di negara-negara berkembang atau negara-negara belahan Selatan, proses budaya yang oleh Marcuse disebut sebagai desublimasi dan de-erotisasi, dan bahwa industri iklan ikut berperan di dalamnya, kiranya juga merupakan kenyataan yang tak perlu dibantah. Kritik Marcuse terhadap gejala tersebut menyadarkan kita untuk juga bersikap kritis terhadap Marcuse versus Perusahaan Iklan



119



kecenderungan konformistik warga masyarakat terhadap rasionalitas teknologis atau rasionalitas instrumental yang semakin dominan menjadi acuan penilaian dan perilaku dalam masyarakat. Gejala de-erotisasi dalam industri periklanan tampak dalam komersialisasi dan komodifikasi tubuh manusia serta meluasnya eksploitasi seks dan hasrat seksual dalam mengiklankan produk barang dan jasa di era pasar bebas dewasa ini. Kalau tidak diwaspadai hal itu juga dapat mempersempit wawasan budaya manusia, karena mempersempit dorongan erotik menjadi sekadar dorongan seksual. Padahal penyebarluasan gejala de-erotisasi itu dewasa ini juga semakin ditunjang oleh besarnya pengaruh media massa, baik cetak maupun elektronik. Kemajuan pesat teknologi komunikasi dan informasi juga telah membawa pemadatan ruang dan waktu, percepatan dan kemudahan mengakses tampilan iklan-iklan yang mengeksploitasi seks dan hasrat seksual dalam pemasaran produk barang dan jasa. Secara psikis, tampilan atau visualisasi iklan lewat berbagai media dan piranti elektronik yang ada di gengaman tangan, dapat membawa dampak yang bersifat subliminal. Terkait dengan upaya penanggulangan dampak negatif dari iklan dalam penyebarluasan budaya konsumeristik, pengembangan pedagogi kritis terkait konsumsi yang membantu subjek didik untuk bersikap kritis terhadapnya kiranya merupakan suatu upaya yang penting untuk dilakukan, tidak terbatas di negara-negara industri maju.



Keterbatasan



Seperti sudah sering dikemukakan (Magnis-Suseno, 2013: 292; Sudarminta, 1983: 166-67), kritik Marcuse terhadap masyarakat industri maju bersifat elitis, khususnya ketika berbicara tentang warga masyarakatnya yang kehilangan nalar kritisnya dan sepenuhnya terintegrasi 120



Filsafat untuk Para Profesional



dalam sistem ekonomi dan produksi kapitalis, bahwa mereka semua tenggelam dalam “kesadaran yang bahagia” yang sekaligus merupakan “kesadaran palsu”, tak sadar akan adanya manipulasi kebutuhan sehingga secara instingtif hidup mereka didorong oleh upaya pemenuhan kebutuhan palsu. Dalam merumuskan kritiknya itu Marcuse sepertinya menempatkan diri sebagai elite intelektual yang terkecuali dari dominasi dan kontrol sosial sistem yang berlaku dan ia kritik. Ia juga berlaku elitis ketika ia membedakan diri dari semua warga masyarakat industri maju yang lain menjadi satu-satunya orang yang mampu membedakan mana yang menjadi kebutuhan yang palsu dan mana yang menjadi kebutuhan yang sebenarnya.



Seperti pernah dikatakan oleh A. MacIntyre, seandainya betul yang menjadi tesis pokok Marcuse bahwa masyarakat industri maju adalah masyarakat berdimensi satu, karena di dalamnya pemikiran negatif yang menjadi satu-satunya sumber kritik sosial kreatif sama sekali tidak ada tempat lagi, maka agak aneh bahwa kritik sosial Marcuse dapat dirumuskan dan berhasil diterbitkan (MacIntyre, 1970: 62). Terkait dengan peran industri iklan dalam masyarakat industri maju sebagai bagian dari alat manipulasi kebutuhan warga masyarakat dan bahwa iklan menciptakan kebutuhan palsu serta mempromosikan budaya konsumeristik, apa yang dikemukakan Marcuse memang mengandung kebenaran dan masih memiliki relevansi sampai sekarang. Namun, tidaklah benar kalau iklan melulu dilihat sebagai alat manipulasi kebutuhan dan sarana menciptakan kebutuhan palsu. Pertama, kebutuhan manusia tidak dapat dimanipulasi dan diciptakan begitu saja oleh iklan. Dalam banyak hal, iklan lebih berperan sebagai sarana memperkenalkan dan memasarkan produk-produk yang memang dibutuhkan manusia. Semenarik apa pun sebuah Marcuse versus Perusahaan Iklan



121



iklan, kalau bersifat manipulatif dan menawarkan kebutuhan palsu atau mempromosikan produk-produk barang dan jasa yang tidak sungguh dibutuhkan oleh manusia, iklan itu tidak akan efektif menggerakkan orang untuk membeli dan menggunakan produk tersebut. Memahami iklan melulu sebagai alat manipulasi kebutuhan dan sarana menciptakan kebutuhan palsu berarti melulu melihat sisi negatif dari iklan. Pembuatan iklan dan pemasangannya di media massa, baik cetak maupun elektronik, juga tidak dapat dilakukan sembarangan, karena terikat oleh kodek etik periklanan. a Daftar Pustaka



MacIntyre, Alasdair. 1970. Marcuse. London: Fontana. Magnis-Suseno, Franz. 2013. Dari Mao ke Marcuse. Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Marcuse, Herbert. 1941. Reason and Revolution. Hegel and the Rise of Social Theory. London: Ark Paperbacks. ____________. 1955. Eros and Civilization. A Philosophical Inquiry into Freud. New York: Vintage Books. ____________. 2007 (1964). One-Dimensional Man. London dan New York: Routledge. ____________. 1969. An Essay on Liberation.Harmondsworth: Penguin Books. ____________. 1972. Counterrevolution and Revolt. Boston: Beacon Press. ____________. 1977. The Aesthetic Dimension: Toward A Critique of Marxist Aesthetics. Boston: Beacon Press. McLaren, Peter. 2005. Capitalist and Conquerors: A Critical Pedagogy Against Empire. Oxford, UK: Rowman & Littlefield. Saeng, CP, Valentinus. 1912. Herbert Marcuse. Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sandlin, Jennifer A. and Peter McLaren (Ed.). 2010. Critical Pedagogies of Consumption. New York and London: Routledge. Sudarminta, J. 1983. “Kritik Marcuse Terhadap Masyarakat Industri Modern,” dalam M. Sastrapratedja (Ed.), Manusia Multi-Dimensional. Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: PT Gramedia. hlm. 121-174. Vivas, Eliseo. 1971. Contra Marcuse. New York: Delta Book. 122



Filsafat untuk Para Profesional



7



Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh Thomas Hidya Tjaya



T



ubuh (body) merupakan bagian esensial dari keberadaan kita yang sering kita andaikan begitu saja. Kita melakukan banyak hal dengan dan melalui tubuh kita, seperti makan, minum, bekerja, tidur, dan sebagainya, tanpa banyak memikirkannya. Seringkali, ketika tubuh kita sedang tidak berfungsi dengan baik atau kita jatuh sakit, barulah kita mulai memberikan perhatian khusus padanya. Hal yang lebih mendalam, tetapi lebih sering luput dari perhatian kita adalah makna memiliki sebuah tubuh: “Apa artinya ‘memiliki tubuh’ bagi sebuah pengada (being) seperti manusia dalam konteks keberadaannya dalam dunia?”; “Apakah tubuh kita itu hanya sekadar objek saja seperti halnya meja dan kursi, ataukah memuat sebuah makna atau signifikasi yang mendalam?” Pertanyaanpertanyaan mendasar ini jarang kita tanyakan karena, terhadap tubuh, kita cenderung melihat diri kita sebagai ”pengguna” (user) daripada ”pemikir” (thinker) atas maknanya. Dalam artikel ini kita akan melihat analisis seorang filsuf dari aliran fenomenologi bernama Maurice Merleau-Ponty (1908-1961) mengenai pengalaman primer atas eksistensi manusia sebagai pengada bertubuh (embodied human



123



existence). Pertama-tama akan dibahas proyek umum fenomenologi Merleau-Ponty yang berupaya untuk menggali pengalaman pra-reflektif manusia, yakni pengalaman dasar manusia sebelum dijadikan sebagai pengetahuan yang penuh dengan konsep dan kategori. Kemudian akan ditunjukkan berbagai argumen dari Merleau-Ponty, antara lain dengan menggunakan data empiris dan pengandaian teoretis dari ilmu-ilmu sosial dan biologi, bahwa tubuh bukanlah objek belaka, melainkan memiliki intensionalitas motorik sebagai ekspresi keterarahannya pada dunia. Pembahasan ini kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai relasi antara kebertubuhan manusia dan persepsi. Gambaran fenomenologis mengenai cara manusia berada-dalam-dunia (being-in-the-world) ini dimaksudkan untuk memperbaiki pandangan yang keliru sebagaimana ditemukan baik dalam rasionalisme, idealisme, atau apa yang disebutnya sebagai ”intelektualisme”, maupun empirisme, behaviorisme, dan sains eksperimental.



Fenomenologi Merleau-Ponty



Salah satu cita-cita dan orientasi dasar para filsuf yang terinspirasi oleh aliran fenomenologi adalah ”kembali kepada benda-benda itu sendiri” (returning to the things themselves). Edmund Husserl (1859-1938) yang memulai aliran ini mengajarkan pentingnya usaha dalam filsafat untuk memberikan gambaran yang akurat mengenai fenomena daripada membangun sebuah spekulasi metafisika dan sistem filosofis. Dengan kembali kepada fenomenanya sendiri yang dahulu melahirkan konsep-konsep dan sistem filosofis, menurut Husserl, kita dapat menghindari dogmatisme dalam filsafat. Tentu saja fenomena yang dianalisis dapat berbeda-beda, dan karena itu, hasil penyelidikan para filsuf fenomenolog juga berbeda-beda. 124



Filsafat untuk Para Profesional



Sebagai mahasiswa, Merleau-Ponty bereaksi melawan filsafat akademik yang agak kering sebagaimana diajarkan di Prancis pada tahun 1920an dan menolak baik NeoKantianisme maupun berbagai bentuk idealisme. Ia pun tertarik pada filsafat atas pengalaman hidup dan konkret sebagaimana ditekankan oleh Henri Bergson (1859-1941) dan Gabriel Marcel (1889-1973). Secara khusus MerleauPonty sangat dipengaruhi oleh karya Marcel Metaphysical Journal (1927) yang mendiskusikan tema-tema seperti inkarnasi dan ”ada-dalam-dunia” (being-in-the-world). Mengambil inspirasi dari para filsuf lain seperti Martin Heidegger (1889-1976) dan Max Scheler (1874-1928), Merleau-Ponty pun mencoba menganalisis fenomen yang menyangkut pengalaman manusiawi yang hidup (lived human experience). Pengalaman demikian tidak dapat tidak menyangkut tubuh manusia karena tanpa tubuh, manusia tidak dapat dipahami. Bagi Merleau-Ponty, proyek fenomenologi ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan hakikat filsafat. Dalam pandangannya, fungsi filsafat adalah untuk membangkitkan kembali pemahaman atas tindakan asali yang membuat manusia menjadi sadar akan dunia: “Filsafat sejati terkandung dalam mempelajari kembali bagaimana melihat dunia.”1 Dalam hal ini filsafat pada dirinya identik dengan fenomenologi. Fenomenologi bergerak menuju “penyingkapan atas dunia,” dan tugasnya adalah “menyingkapkan misteri dunia dan akalbudi.”2 Untuk tujuan ini, menurut Merleau-Ponty, filsafat perlu kembali kepada pengalaman pra-reflektif, yakni pengalaman yang masih belum terartikulasi dalam bentuk preposisional (misalnya, subjek-predikat). Pengalaman ini sering terlupakan dalam 1 Maurice Merleau-Ponty. 2002. Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith. London dan New York: Routledge, hlm. xxiii. 2 Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, hlm. xxiii-xxiv. Marcuse versus Perusahaan Iklan



125



filsafat karena kebanyakan filsafat memusatkan perhatian pada proses-proses pemikiran rasional yang rumit dan tersusun secara sistematis dengan menggunakan bahasa dan konsep (pemikiran objektif). Padahal, pengalaman pra-reflektif bersifat lebih primordial daripada pemikiran objektif yang biasa kita gunakan. Sebelumnya, Husserl sudah menyebut hal ini sebagai “kehidupan pra-predikatif dari kesadaran” (the pre-predicative life of consciousness) yang memiliki kesatuan alamiah dan pra-predikatif mengenai dunia. Dengan melakukan apa yang disebutnya sebagai “fenomenologi asal mula” (phenomenology of origins), Merleau-Ponty berharap kita dapat melihat pengalaman kita dengan cahaya yang baru. Cara yang ditempuh bukanlah dengan mengandalkan kategori-kategori pengalaman reflektif yang sudah terbentuk, melainkan dengan mengembangkan sebuah metode dan bahasa yang memadai untuk mengartikulasikan pengalaman pra-reflektif kita, khususnya dunia persepsi. Ia mengibaratkan usaha ini seperti pergi jalan-jalan ke desa-desa untuk melihat hutanhutan, padang rumput, dan sungai-sungai, sebagaimana telah kita pelajari dalam mata kuliah geografi. Baru dengan pengalaman tersebut mata kuliah tersebut memiliki makna yang lebih penuh. Bagi Merleau-Ponty, slogan fenomenologi “kembali kepada benda-benda itu sendiri” berarti “kembali ke dalam sebuah dunia sebelum ada pengetahuan.”3 Dalam dunia tersebut diasumsikan adanya ”intensionalitas operatif” atau ”fungsional,” yakni “intensionalitas yang menghasilkan kesatuan antepredikatif atas dunia dan kehidupan kita, nyata dalam hasrat-hasrat kita, evaluasi kita, dan dalam pemandangan yang kita lihat, dengan lebih jelas daripada



3 Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, hlm. x.



126



Filsafat untuk Para Profesional



dalam pengetahuan objektif.”4 Dengan menganalisis dunia pra-reflektif tersebut kita akan dapat memahami dengan lebih baik orientasi dasar kita terhadap dunia.



Dalam konteks fenomenologi asali, tidaklah mengherankan apabila Merleau-Ponty mengajak kita untuk memikirkan kembali dualisme tradisional antara jiwa (soul) dan tubuh, akalbudi (mind) dan tubuh, atau kesadaran (consciousness) dan tubuh. Dalam pandangannya, akalbudi dan rasionalitas tidaklah berada di atas pengalaman fisik atau sensorik, seolah-olah tubuh hanyalah objek belaka. Rasionalitas dan sensibilitas sesungguhnya memiliki kaitan yang sangat erat. Karena itulah Merleau-Ponty memberikan perhatian khusus pada fenomena yang memperlihatkan relasi erat antara akalbudi atau rasionalitas, di satu pihak, dan tubuh atau sensibilitas, di lain pihak, seperti fenomen pergi tidur, menggerakkan anggota tubuh, dan pengalaman orang-orang yang mengalami kerusakan otak. Melalui analisis ini Merleau-Ponty menyingkapkan pengalaman pra-predikatif kita sebagai manusia, yakni pengalaman sebuah pengada dengan tubuh fisik yang berada dalam sebuah situasi yang terbatas, tetapi dengan berbagai pengalaman yang melampaui keterbatasan tersebut. Setiap situasi manusia bersifat terbatas dan ambigu, demikian ungkapnya. Keterbatasan ini berasal dari cara keberadaan kita sebagai pengada bertubuh dan terjelma secara temporal. Tubuh kita dan posisi khusus organ-organ tubuh kita menyingkapkan dunia yang unik bagi kita. Pengalaman kita atas dunia ini dibangun atas hakikat kebertubuhan kita. Secara tidak langsung, deskripsi atas pengalaman pra-konseptual ini tentunya membetulkan distorsi-distorsi ”pemikiran objektif” yang menguasai sains modern dan psikologi. Menurut Merleau-Ponty, pemikiran



4 Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, hlm. xx.



Marcuse versus Perusahaan Iklan



127



objektif seringkali mengabaikan ”lingkungan” (milieu) yang kompleks dan ambigu tempat makna manusiawi mengungkapkan dirinya: “Pemikiran objektif tidak sadar akan subjek persepsi.”5 dan mempresentasikan dunia sebagai yang sudah jadi. Karena itu, filsafat harus melawan pemikiran objektif dengan membangkitkan kembali kontak langsung kita dengan dunia.



Tubuh Manusia dan Dunia



Pandangan klasik mengenai tubuh yang banyak mendominasi pemikiran modern berakar pada gagasan Descartes mengenai relasi antara akalbudi (mind) dan tubuh (body). Dengan slogan cogito, ergo sum (aku berpikir, maka aku ada), Descartes berpendapat bahwa hakikat manusia dapat ditemukan dalam eksistensi kesadaran dan aktivitas akalbudinya. Dengan akalbudinya manusia dapat menemukan kebenaran, sementara tubuhnya praktis dianggap tidak memainkan peranan yang berarti. Dalam hal ini tubuh manusia dipandang tidak lebih dari sekadar objek belaka, sementara pusat kendali segala gerak manusia selalu dipegang oleh cogito.



Menurut Taylor Carman, kecenderungan Descartes dan banyak orang untuk membedakan secara tajam antara ”yang fisik” (the physical) dan ”yang mental” (the mental) sesungguhnya bukan karena intuisi mengenai hakikat akalbudi (the mind) yang lebih superior daripada tubuh, melainkan anggapan bahwa tubuh tidak lain merupakan sebuah mesin, yakni “sebuah sistem fisik yang berdiri sendiri dan yang perilakunya secara keseluruhan merupakan fungsi kerja bagian-bagian individualnya yang saling berinteraksi secara ketat melalui kontak kausal langsung.”6 Asumsi 5 Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, hlm. 240. 6 Taylor Carman. 2008. Merleau-Ponty. London dan New York: Routledge, 83.



128



Filsafat untuk Para Profesional



mengenai sifat mekanistis dari tubuh ini membuat tubuh dilihat sebagai sebuah objek, yang dapat didefinisikan sebagai “yang ada [sebagai] bagian-bagian di luar bagianbagian (partes extra partes)…dan yang hanya mengakui relasi eksternal dan mekanistis di antara bagian-bagiannya.”7 Tentu saja dalam hal ini tubuh manusia tidak dianggap sebagai objek biasa, melainkan sebuah “mesin yang sangat canggih” (highly polished machine) sebagaimana terungkap dalam istilah “perilaku” (behavior).8 Akan tetapi, konotasi tubuh sebagai sekadar sebuah objek dengan relasi eksternal dan mekanistisnya tetaplah kuat. Menyadari dominasi pandangan demikian dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk psikologi, MerleauPonty berusaha memperlihatkan bahwa tubuh manusia sesungguhnya bukan sekadar objek belaka sebagaimana objek-objek lain yang kita temui. Baru kemudian hakikat tubuh yang sesungguhnya sebagaimana terungkap dalam pengalaman pra-predikatif kita, yakni sebagai cara kita berada-dalam-dunia, dapat dipahami dengan lebih baik. Dua pokok ini akan menjadi materi pembahasan dalam bagian ini.



Tubuh Bukanlah Sekadar Objek Belaka



Dalam usaha untuk memahami pengalaman asali atas tubuh, Merleau-Ponty tidak melakukan sebuah refleksi transendental sebagaimana dilakukan oleh Husserl, melainkan menganalisis kerusakan-kerusakan dalam jaringan organ tubuh kita. Prosedur ini diharapkan dapat menyingkapkan cara dan kebiasaan yang tersembunyi dan biasa diasumsikan dalam kondisi normal. Dengan menganalisis kasus-kasus kegagalan sistem tubuh, dalam 7 Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, hlm. 84. 8 Ibid., hlm. 87.



Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh



129



pandangan Merleau-Ponty, kita justru dapat mengenal bagaimana sebetulnya sistem ini bekerja.



Fenomena kegagalan sistem tubuh manusia yang dianalisis oleh Merleau-Ponty antara lain, phantom limb (ilusi mengenai keberadaan anggota tubuh tertentu yang sebenarnya sudah diamputasi) dan anosognosia (kegagalan atau penolakan pasien untuk mengakui adanya penyakit atau disabilitas). Kedua gejala ini, menurut Merleau-Ponty, tidak dapat dijelaskan baik secara fisiologis maupun psikologis. Penjelasan fisiologis, misalnya, akan menganggap kedua gejala ini sebagai supresi langsung atau bertahannya stimulasi interoseptif. Dalam hal ini anosognosia merupakan ketidakhadiran fragmen representasi yang seharusnya diberikan karena anggota tubuh yang cacat itu ada di situ, sementara gejala phantom limb dijelaskan sebagai kehadiran bagian representasi tubuh yang seharusnya tidak diberikan karena anggota tubuhnya sudah tidak ada. Sementara itu, kalau dijelaskan secara psikologis, phantom limb menjadi memori, penilaian atau persepsi positif, sementara anosognosia menjadi semacam akibat kelupaan, penilaian negatif atau kegagalan untuk mempersepsi. Kedua penjelasan yang demikian, menurut Merleau-Ponty, membuat kita “terpenjara dalam kategori-kategori dunia objektif, di mana tidak ada jalan tengah antara kehadiran dan ketidakhadiran.”9 Dalam kenyataannya, orang yang mengalami anosognosia bukan sekadar lupa akan anggota tubuhnya yang sudah lumpuh. Ia bisa menghindari kekurangan ini justru karena ia tahu persis di mana ia memiliki kemungkinan untuk berhadapan dengan kekurangan ini. Seandainya tidak demikian, ia tidak akan dapat menghindarinya dengan sempurna. 9 Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, hlm. 93.



130



Filsafat untuk Para Profesional



Dalam pemikiran Merleau-Ponty, pandangan lebih tepat yang dapat menjelaskan fenomena ini adalah perspektif ”ada-dalam-dunia” (being-in-the-world). Menurutnya, ada hal dalam diri kita yang membuat kita menolak mutilasi dan kelumpuhan, yakni sebuah keterarahan dan keterikatan intrinsik pada dunia, atau “sebuah Aku yang memiliki komitmen pada sebuah dunia fisik dan antarmanusia, yang terus menerus mengarahkan diri kepada dunianya meskipun telah mengalami cacat dan amputasi dan yang, pada tingkat ini, tidak mengakuinya secara de jure.”10 Keterikatan tubuh pada sebuah dunia ini begitu erat sehingga kelumpuhan dan amputasi pun tidak dapat menghalanginya untuk mengarahkan diri pada dunia tersebut. Fenomen ini jelas menunjukkan bahwa tubuh manusia bukanlah objek dalam dunia, melainkan cara kita berkomunikasi dengan dunia. Tanpa tubuh, kita tidak akan tahu bagaimana cara melakukan komunikasi ini. Dunia sendiri, menurut MerleauPonty, bukanlah sebuah koleksi objek-objek determinan dan terpisah-pisah, melainkan sebuah cakrawala di balik semua pengalaman kita. Cakrawala ini selalu ada dan “bersifat anterior terhadap setiap pemikiran objektif dan determinan.”11



Selain phantom limb dan anosognosia, Merleau-Ponty juga memperlihatkan fenomen lain yang menunjukkan bahwa tubuh manusia bukan merupakan objek belaka, misalnya, sifat ganda tubuh ketika disentuh dan menyentuh (the dual character of being touched and touching). Ketika tangan kiri kita menyentuh tangan kanan kita, tangan kanan kita juga dapat merasa “sedang disentuh.” Keduanya dapat bergantian “menyentuh” dan “disentuh” karena tubuh kita memang memiliki kemampuan untuk memberikan 10Ibid., 94. 11Ibid., 106.



Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh



131



sensasi ganda.12 Hal ini tidak akan terjadi pada objek-objek non-tubuh lain yang kita sentuh. Bahkan, Merleau-Ponty sampai pada kesimpulan bahwa sesungguhnya tubuh kita merupakan alasan keberadaan objek-objek: “Selama melihat atau menyentuh dunia, tubuh saya tidak dapat dilihat atau disentuh. Apa yang mencegahnya untuk menjadi sebuah objek atau ’terkonstitusi secara penuh’ adalah bahwa ia [i.e., tubuh] merupakan alasan adanya objek-objek. Tubuh tidak dapat disentuh atau dilihat sejauh ia adalah [pihak] yang melihat dan menyentuh.”13



Fakta bahwa tubuh kita bukan sekadar objek juga terlihat ketika ada bagian tubuh kita yang terasa sakit. Dalam keadaan tersebut kita tidak mengatakan bahwa rasa sakit itu disebabkan oleh bagian tubuh tersebut sebagaimana cenderung kita katakan mengenai objek secara umum, melainkan bahwa rasa sakit itu datang dari bagian tubuh tersebut atau bagian tubuh tersebut terasa sakit.14 Ungkapan ini memperlihatkan tidak adanya pemisahan antara eksistensi saya dan kebertubuhan saya, sementara dengan objek apapun, kita cenderung memisahkan diri. Analisis Merleau-Ponty mengenai sifat tubuh ini dibangun atas dasar pembedaan yang dibuat oleh Husserl antara tubuh fisik takberjiwa (the inanimate physical body atau Körper) dan tubuh hidup berjiwa (the living animate body atau Leib). Bagi keduanya, tubuh manusia memiliki kekhasan sedemikian rupa sehingga tidak pernah dapat direduksikan kepada objek belaka. 12 Ibid., hlm. 106. 13 Ibid., hlm. 105. 14 Ibid., hlm. 107.



132



Filsafat untuk Para Profesional



Dengan analisis atas tubuh ini Merleau-Ponty sekaligus mengkritik pandangan dualisme Descartes yang menganggap kesadaran manusia seolah-olah seperti roh murni (pure spirit) yang padat (compact) dan tak terbagi (indivisible). Padahal, menurut Merleau-Ponty, kita tidak memiliki pengalaman yang demikian: “Saya hanya dapat menemukan dan, dapat dikatakan, menyentuh roh murni yang mutlak ini dalam diri saya. Orang-orang lain tidak pernah merupakan roh murni bagi saya: Saya mengenal mereka hanya melalui tatapan mereka, isyarat mereka, kata-kata mereka—dengan kata lain, melalui tubuh mereka.”15



Melalui tubuh inilah interaksi antarmanusia terjadi, dan dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa kita adalah tubuh kita. Kelalaian dalam menyadari tubuh sebagai pintu masuk ke dalam diri seorang manusia, bukan sebagai objek belaka, membuat keberadaannya yang khas dalam dunia menjadi terabaikan juga.



Tubuh dan Intensionalitas Motorik



Sambil memperlihatkan sifat khas tubuh manusia yang tidak dapat direduksikan kepada sekadar objek belaka, Merleau-Ponty juga menunjukkan hakikat tubuh dan signifikasinya bagi pengada hidup seperti manusia. Untuk tujuan ini ia menggunakan hasil studi kasus yang dilakukan oleh Adhémar Gelb dan Kurt Goldstein atas Schneider, seorang veteran Perang Dunia I, yang mengalami luka di kepala akibat pecahan logam. Luka ini menyebabkan “kebutaan 15 Merleau-Ponty, 2004. The World of Perception, terj. Oliver Davis. London dan New York: Routledge, hlm. 82. Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh



133



psikis” (psychic blindness) padanya sedemikian sehingga ia harus menggunakan berbagai cara untuk mengenali objekobjek di sekitarnya. Ia tidak mengalami kesulitan ketika harus melakukan tindakan-tindakan konkret (concrete acts) seperti mengambil saputangan dari kantong celana untuk menahan bersin, menyalakan lampu meja di depannya, dan sebagainya. Akan tetapi, ketika diminta untuk melakukan tindakan-tindakan abstrak (abstract acts) seperti menunjuk hidungnya sendiri, ia mengalami kesulitan besar. MerleauPonty menunjukkan adanya perbedaan fundamental antara gerakan abstrak dan gerakan konkret yang dalam keadaan normal tidak kelihatan. Dalam pandangannya pembedaan ini hanya dapat dipertahankan kalau memang ada “beberapa cara bagi tubuh untuk menjadi sebuah tubuh, beberapa cara bagi kesadaran untuk menjadi kesadaran.”16 Maksudnya, kesadaran bukan hanya bersifat kognitif sebagaimana biasa dipahami, melainkan juga bersifat ragawi (bodily). Gerakan tubuh bukanlah sekadar masalah pengetahuan (knowing) karena tubuh juga memiliki kesadarannya sendiri.



Kemampuan Schneider untuk hanya dapat melakukan gerakan-gerakan konkret, menurut Merleau-Ponty, menunjukkan bahwa ia ”terikat” pada aktualitas. Sejauh ia tidak dapat melakukan gerakan abstrak yang dapat dilakukan oleh subjek normal, Schneider ”kehilangan kebebasan”untuk melakukan hal-hal yang tidak terkait dengan tujuan atau kebutuhan tertentu.17 Hilangnya kebebasan ini juga dapat dilihat dalam fenomena lainnya seperti ”kebutaan angka”(number blindness). Meskipun dapat menyebut angka secara berurutan, Schneider tidak dapat menyelesaikan soal matematika dengan cara yang mudah karena baginya angka hanya bermakna dalam 16 Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, hlm. 143, cetak miring asli. 17 Ibid., hlm. 156.



134



Filsafat untuk Para Profesional



sebuah urutan. Diberi soal matematika “5 + 4 – 4,” ia hanya dapat melakukannya setahap demi setahap (“5 + 4“ dahulu, baru hasilnya “- 4“) karena pengertian “4 – 4 = 0“ tidak bermakna baginya.18



Bagi Merleau-Ponty, kasus seperti Schneider memperlihatkan kerusakan pada kemampuan untuk menangkap keseluruhan simultan (dalam wilayah pemikiran) serta kemampuan untuk memiliki pandangan luas seperti burung terhadap gerakan dan memproyeksikannya ke luar dirinya (dalam hal gerakan). Ada keretakan dalam fungsi kesatuannya (unity) pada apa yang oleh MerleauPonty disebut sebagai “busur intensional” (intentional arc). Menurutnya, seluruh kehidupan kesadaran kita, entah bersifat kognitif, konatif, maupun perseptual, berada di bawah busur intensional ini “yang memproyeksikan di sekeliling kita, masa lalu, masa depan, tatanan manusia, situasi fisik, ideologis dan moral kita, atau [busur] yang menghasilkan keberadaan kita dalam situasi-situasi tersebut. Busur intensional inilah yang bertanggung jawab atas kesatuan indera, inteligensi, sensibilitas, dan motilitas.”19 Pada subjek seperti Schneider, busur intensional ini mengalami ketimpangan sehingga ia tidak dapat melakukan hal-hal tertentu, meskipun objeknya berada dalam wilayah persepsinya. Analisis atas kasus Schneider ini membawa MerleauPonty pada tesis mengenai motilitas atau kemampuan bergerak sebagai intensionalitas dasar. Sebagai pengada bertubuh, manusia memiliki kecenderungan mendasar untuk menggapai atau meraih benda-benda di sekitarnya. Kecenderungan ini tidak berada dalam wilayah kognitif, melainkan dalam wilayah eksistensial. Intensionalitas



18 Ibid., hlm. 154. 19 Ibid., hlm. 157.



Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh



135



motorik inilah yang sesungguhnya menjembatani perbedaan dalam neorologi antara memegang (grasping) dan menunjuk (pointing) karena diberikan dalam intuisi sebagai proyeksi atas sebuah dunia, bukannya dikonstruksikan dalam pemikiran.20 Kesadaran yang menyangkut intensionalitas ini pertama-tama bukanlah masalah “saya berpikir” (I think), melainkan “saya mampu” (I can).21 Kesadaran demikian, menurut Merleau-Ponty, dapat didefinisikan sebagai “adamenuju-benda-tersebut melalui perantaraan tubuh” (beingtowards-the-thing through the intermediary of the body) sebagai ungkapan kesatuan normal dan integrasi gerakan tubuh dan kesadaran intuitif kita atas sebuah lingkungan yang diberikan.22 Pentingnya kesadaran motorik lewat tubuh ini terlihat nyata ketika kita melakukan kegiatan yang menuntut gerak tubuh, misalnya, menari, mengetik, atau memainkan alat musik organ. Hal yang dituntut di sini bukanlah sekadar pengenalan intelektual, melainkan kesadaran tubuh dan motilitas untuk mengungkapkan dalam tubuh apa yang diharapkan untuk dilakukan: “Sebuah gerakan akan terpelajari ketika tubuh sudah memahaminya, ketika tubuh sudah menginkorporasikannya ke dalam ’dunianya’, dan menggerakkan tubuh berarti mengarahkan diri pada bendabenda melaluinya.”23 Tubuh saya memiliki dan memahami dunianya sendiri, tanpa harus menggunakan fungsi ”simbolik” atau ”objektif”-nya. Kemampuan inilah yang biasanya diandalkan ketika kita membangun kebiasaan (habit) terkait dengan tubuh: “Memahami berarti mengalami harmoni antara apa yang dituju dan apa yang diberikan, antara intensi dan pertunjukan—dan tubuh adalah jangkar 20 Taylor Carman, Merleau-Ponty, hlm. 116. 21 Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, hlm. 158. 22 Ibid., hlm. 160. 23 Ibid., hlm. 160-161.



136



Filsafat untuk Para Profesional



kita dalam dunia.”24 Karena itu, menurut Merleau-Ponty, tidak tepatlah kalau kita mengatakan bahwa tubuh berada dalam waktu atau ruang. Mestinya, tubuh dikatakan menempati (inhabit) ruang dan waktu karena dengan menempati ruang dan waktu, tubuh kita membangun jaringan langsung dengan benda-benda di sekitarnya.25



Penempatan tubuh dalam ruang dan waktu memungkinkan terbentuknya apa yang Merleau-Ponty sebut sebagai “skema tubuh’ (the bodily schema), yakni kemampuan untuk mengantisipasi dan menginkorporasi dunia sebelum mengaplikasikan konsep-konsep pada objekobjek. Skema ini bersifat dinamis dan mengonstitusikan familiaritas prakognitif kita dengan diri kita dan dengan dunia yang kita tempati: “Saya sadar akan tubuh saya melalui dunia.”26 Tubuh kita, demikian Merleau-Ponty, tampak bagi kita sebagai sebuah postur dengan berbagai kemungkinan tindakan: “Kalau saya berdiri di depan meja saya dan bertumpu padanya dengan kedua tangan, hanya tangan saya yang mengalami tekanan dan seluruh tubuh saya mengikutinya seperti ekor sebuah komet.”27 Menurut Merleau-Ponty, manusia ditempatkan ke dalam dunia dengan cara yang sangat spesifik dan organik serta ditentukan oleh hakikat kemampuan sensorik dan motoriknya untuk mempersepsikan dunia dengan cara yang khas. Skema tubuh sendiri merupakan cara untuk mengungkapkan bahwa tubuh kita sungguh-sungguh berada dalam dunia. Baginya, inilah tubuh kita yang sebenarnya (one’s own or proper body).



24 Ibid., hlm. 167. 25 Ibid., hlm. 161. 26 Ibid., hlm. 94-95. 27 Ibid., hlm. 115.



Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh



137



Tubuh dan Persepsi Menurut Merleau-Ponty, apa yang disebut ”persepsi” tidaklah dapat dipahami secara utuh tanpa pengenalan mengenai hakikat tubuh yang sesungguhnya. Persepsi bukanlah sensasi kasar (brute sensation) ataupun pemikiran rasional (rational thought) sebagaimana sering kita bayangkan, melainkan aspek dari penangkapan intensional tubuh atas lingkungan fisik dan sosialnya. Berbeda dengan eksistensi objek-objek, eksistensi manusia bukan hanya terkandung dalam sebuah rangkaian peristiwa tanpa henti, melainkan juga dalam kegiatan ”menempati” lingkungan secara aktif dan inteligen. Persepsi merupakan perspektif seluruh organisme terhadap dunianya, sebuah dunia yang dihadapinya bukan sebagai koleksi objek-objek yang tak bermakna, melainkan sebagai sebuah situasi yang signifikan. Apa yang disebut sebagai ”gerakan refleks”, menurut Merleau-Ponty, sesungguhnya bukan sebuah proses yang buta dan otomatis belaka, melainkan penyesuaian atas sebuah ”rasa”(sense) situasi. Gerakan ini mengungkapkan orientasi kita pada sebuah ”lingkungan perilaku”(behavioral milieu) seperti yang dilakukan oleh ”lingkungan geografis”terhadap kita.28 Dengan kata lain, bagi Merleau-Ponty, persepsi merupakan cara kita, sebagai pengada bertubuh, diproyeksikan ke dalam dunia. Karena hubungan erat antara persepsi dan cara kita berada dalam dunia, Merleau-Ponty berpendapat bahwa persepsi harus mendapatkan tempat pertama (primacy) dalam filsafat karena dalam persepsilah terkandung benihbenih dari semua yang nantinya dihasilkan dalam proses berfilsafat: “Pengalaman persepsi adalah kehadiran kita pada saat benda-benda, kebenaran-kebenaran, dan nilainilai dikonstitusikan bagi kita… persepsi adalah logos yang 28 Ibid., hlm. 91-92.



138



Filsafat untuk Para Profesional



lahir…[yang] mengajarkan kepada kita, di luar semua dogmatisme, kondisi-kondisi sejati dari objektivitas itu sendiri…memanggil kita kepada tugas-tugas pengetahuan dan tindakan.”29 Di sinilah letak pentingnya menganalisis semua fitur yang terkait dengan persepsi, khususnya kebertubuhan kita yang menjadi tempat terjadi proses persepsi tersebut.



Mengingat persepsi merupakan fenomen kebertubuhan, perspektif perseptual sangat tergantung pada struktur dan kapasitas tubuh kita. Karena itu, perspektif demikian sebetulnya sangat sulit digambarkan. Saya dapat memiliki pandangan mengenai dunia hanya dengan berada dalam dunia: saya dapat mempersepsi lingkungan hanya karena saya dapat menempatinya. Keberadaan saya di dunia (being in the world) pada gilirannya tergantung pada keberadaan saya dari dunia (being of the world). Supaya dapat melihat, saya harus juga kelihatan (visible). Dunia dan saya harus memuat ”daging” (flesh) yang sama. Lebih lanjut, karena merupakan fenomen kebertubuhan, persepsi secara esensial juga bersifat terbatas dan perspektival: “Tubuh saya adalah pandangan saya mengenai dunia.”30



Selain itu, menurut Merleau-Ponty, tubuh kita sesungguhnya memiliki pandangannya sendiri, atau apa yang disebutnya sebagai ”perspektif ragawi” (bodily point of view). Pandangan ini berasal dari orang-pertama (firstperson perspective), tetapi bukan pandangan subjektif atau pribadi sebagaimana biasa dipahami. Perspektif ragawi ini berakar pada asumsi bahwa hanya sebagian dari pengalaman kita berpusat pada kesadaran-diri subjek (the self-consciousness of the subject). Di bawah subjek pribadi



29 Merleau-Ponty. 1964. The Primacy of Perception, ed. James M. Edie. Evanston, IL: Northwestern University Press, hlm. 25. 30 Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, hlm. 81. Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh



139



ini terdapat lapisan pengalaman tubuh yang lebih primitif dan impersonal, seperti diungkapkan oleh kata ganti dalam bahasa Prancis ”on” atau bahasa Inggris ”one” (one will eventually die). Subjek persepsi ragawi prapersonal ini bukanlah diri yang sadar dan reflektif, melainkan ”the one”31: Semua persepsi terjadi dalam sebuah atmosfir umum dan diberikan kepada kita sebagai anonim. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya melihat biru langit sama seperti kalau saya mengatakan bahwa saya memahami sebuah buku, atau seperti dalam arti saya memutuskan untuk memberikan hidup saya kepada matematika… kalau saya ingin memahami pengalaman perspektif dengan tepat, saya harus mengatakan bahwa ada yang mempersepsikan dalam saya, bukan saya yang mempersepsikan.32 Eksistensi perspektif ragawi ini memperlihatkan bahwa sebelum memiliki sebuah perspektif yang dapat dikatakan sebagai milik kita sendiri, sebetulnya kita sudah berada dalam sebuah kesatuan yang ”tidak disadari” dengan dunia (unconscious communion with the world), yang pasti merupakan sebuah dunia rasa dan sensibilitas, sentuhan, dan keberasaan (tangibility), melihat dan dilihat.



Memahami persepsi sebagai kebertubuhan dalam dunia sebagaimana diperlihatkan oleh Merleau-Ponty berarti melawan pembedaan tradisional antara subjek dan objek, dalam dan luar, fisik dan mental, akalbudi dan dunia. Selama kita membedakan dengan tajam antara pengalaman 31 Ibid., hlm. 405. 32 Ibid., hlm. 250.



140



Filsafat untuk Para Profesional



subjektif internal dan fakta objektif eksternal, menurut Merleau-Ponty, kita tidak akan dapat memahami hakikat persepsi yang sebenarnya. Persepsi bersifat intensional sekaligus ragawi (bodily), sensorik dan motorik, dan bukan sekadar subjektif atau objektif, spiritual atau mekanistis sebagaimana biasa kita pahami. Bahkan Merleau-Ponty berpendapat bahwa dunia yang dipersepsikan merupakan fondasi semua klaim terhadap kebenaran dan kesahihan. Klaim demikian, menurut M.C. Dillon, menempatkan Merleau-Ponty sebagai seorang pemikir foundasional.33



Penutup



Dalam film Her (2013) yang diperankan oleh Joaquin Phoenix sebagai Theodore, diperlihatkan interaksi intim antara tokoh utama ini dengan ”pacar digital”-nya bernama Samantha (suara diisi oleh Scarlett Johansson). Bermula dari mendengarkan segala perkataan dan keluh kesah Theodore, Samantha kemudian digambarkan memiliki empati penuh terhadap laki-laki tersebut. Wanita digital ini digambarkan sering memikirkan Theodore, berinisiatif untuk meneleponnya ketika diperlukan, dan bahkan menangkap dinamika emosional rekan lelakinya tersebut. “Apakah perasaan-perasaan ini nyata?,” tanya Samantha, “ataukah hanya sekadar hasil programming belaka?” Pertanyaan untuk kita adalah, apakah hal-hal seperti ini mungkin terjadi tanpa adanya tubuh fisik pada Samantha? Apakah inteligensi (baca: program komputer) saja mampu membangkitkan dan menjelaskan dimensi afektif manusia? Asumsi filosofis mengenai manusia di balik filmfilm seperti ini barangkali menunjukkan betapa sulitnya mematahkan dualisme antara tubuh dan akalbudi (mind)



33 M.C. Dillon. 1988. Merleau-Ponty’s Ontology, second edition. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, hlm. 51. Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh



141



atau kesadaran (consciousness). Kesadaran cenderung dianggap hal yang paling utama, sementara tubuh cenderung dianggap tidak penting atau sekadar objek bagi kesadaran kita. Pandangan dualisme semacam ini dapat juga menghinggapi para perawat tubuh seperti dokter, perawat, bidan atau siapa saja yang memiliki kepentingan dengan proses perawatan tubuh. Ketika tubuh dipandang sebagai objek tanpa inteligensi, orang cenderung merasa bebas untuk melakukan apa saja terhadap tubuh yang demikian. Di sini persoalan etika pun tidak dapat dihindari. Hanya ketika kita melihat tubuh sebagai ekspresi subjektivitas manusia yang terdalam dan jangkar keberadaan kita dalam dunia, barulah rasa hormat dan tindakan yang benar terhadap tubuh dapat diharapkan tumbuh dan berkembang. a Daftar Pustaka



Baldwin, Thomas, ed. 2007. Reading Merleau-Ponty on Phenomenology of Perception. London dan New York: Routledge. Carman, Taylor dan Mark B.N. Hansen, eds. 2005. The Cambridge Companion to Merleau-Ponty. Cambridge: Cambridge University Press. Dillon, M.C. 1988. Merleau-Ponty’s Ontology, second edition. Bloomington, IN: Indiana University Press. Hass, Lawrence. 2008. Merleau-Ponty’s Philosophy. Bloomington, IN: Indiana University Press. Macann, Christopher. 1993. Four Phenomenological Philosophers: Husserl, Heidegger, Sartre, Merleau-Ponty. London dan New York: Routledge. Marshall, George J. 2008. A Guide to Merleau-Ponty’s Phenomenology of Perception. Milwaukee: Marquette University Press. Matthews, Eric. 2002. The Philosophy of Merleau-Ponty. Montreal: McGillQueen’s University Press. Merleau-Ponty, Maurice. 2002. Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith. London dan New York: Routledge. ____________________. 1964. The Primacy of Perception, ed. James M. Edie. Evanston, IL: Northwestern University Press. ____________________. 1968. The Visible and the Invisible, trans. Alphonso Lingis, ed. Claude Lefort. Evanston, IL: Northwestern University Press.



142



Filsafat untuk Para Profesional



____________________. 2004. The World of Perception, trans. Oliver Davis. London dan New York: Routledge.
Silverman, Hugh J., (ed.). 1997. Philosophy and Non-Philosophy since Merleau-Ponty. Evanston, IL: Northwestern University Press. Toadvine, Ted and Leonard Lawlor (eds.). 2007. The Merleau-Ponty Reader. Evanston, IL: Northwestern University Press.



Merleau-Ponty untuk Para Perawat Tubuh



143



8



Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara A. Sudiarja



D



ewasa ini kehidupan sosial kita ditandai dengan gerak dan perubahan yang amat cepat. Gerak perubahan ini menyangkut berbagai hal dan saling berkaitan satu sama lain, kehidupan ekonomi, transportassi, kemajuan ilmu dan pengetahuan, perubahan sistem politik dalam negara-negara dan sebagainya. Sangat sulit melihat seluruh perkembangan ini dalam satu wawasan global. Dari tipologi orang, secara metaforis Zygmunt Bauman menengarai gerak perubahan sosial ini dengan maraknya gejala ”turisme”, ”ziarah”, dan ”petualangan” atau ”pengembaraan” (vagabond), serta hubungan berketetanggaan dalam kategori-kategori pemukim dan pendatang, orang asing, tamu, musuh, yang bermacamragam. Dari metafor-metafor ini tampak bahwa minat Bauman terutama menyangkut perubahan moral dewasa ini, yang berlawanan dengan pola kehidupan lama yang tetap, stabil, dan terpusat. Masyarakat kita dewasa ini “always on the move” dan sepertinya tidak akan berhenti lagi. Dalam kerangka etika, di masa lalu moral sering dikaitkan dengan norma sebagai standar, parameter, atau batas-batas ukuran yang dalam kehidupan sehari-hari membuat hidup teratur karena stabil, tetap, dan tidak



144



banyak berubah. Jikalau dirunut dalam sejarah, tampak bahwa situasi perubahan yang pesat itu mulai berkembang sejak zaman Modern. Dari perspektif masa kini, zaman Modern menjadi titik balik dan memunculkan kontras yang sering diperlawankan dengan era Posmodern. Oleh karena itu, dalam rangka menjelaskan posisi Bauman menyangkut perkembangan dunia masa kini, situasi zaman Modern perlu diangkat sebagai pengawal.



Dari Zaman Modern ke Posmodern



Perkembangan sejarah pemikiran hingga zaman Pencerahan (Aufklärung) telah menghasilkan budaya modern, yang bercirikan kemajuan (progress) dan peradaban (civilization). Sifat-sifat budaya modern yang maju dan beradab ditampakkan dalam keindahan, kebersihan, dan keteraturan dalam masyarakat. Negara-negara modern dalam seluruh penataan sosialnya mengusahakan terselenggaranya ketiga hal ini. Dan ketiganya pada gilirannya akan menjamin rasa aman dan perlindungan (security) bagi warganya. Namun untuk kepentingan ini, masyarakat ternyata harus membayar kerugian dengan berkurangnya kebebasan individual. Dalam kontrak sosial, mereka harus menyerahkan sebagian dari kebebasannya. Posmodernisme yang menjadi topik pembicaraan Bauman sebaliknya, merupakan zaman ketika Modernisme ditentang atau dilampaui, dimana kebebasan individual mendapatkan perhatian lagi, tentu saja dengan risiko berkurangnya rasa aman. (PD : 2-3)



Berangkat dari Disiplin Religius



Kebersihan dan Keteraturan zaman modern, sebetulnya mendapatkan inspirasinya dari kebudayaan primitif, yang kehidupan religinya masih amat kuat. Dengan kata lain, Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



145



modernitas sebetulnya masih merupakan kelanjutan zaman sebelumnya dalam hal mementingkan kesatuan dan keutuhan masyarakat, tata tertib, dan keselamatan. Dalam antropologi, keteraturan memang mempunyai hubungan erat dengan keamanan. Dengan mengutip Mary Douglas, Bauman menjelaskan bahwa setiap kelompok masyarakat atau etnis mempunyai ide-idenya sendiri tentang keteraturan. Menurut Mary Douglas, keteraturan merupakan keadaan yang ideal dimana segala sesuatu berada di tempat yang seharusnya. Dalam keadaan seperti ini masyarakat boleh merasa tenang dan aman. Akan tetapi kalau keteraturan mendatangkan rasa aman, maka kekacauan atau ketidakteraturan sebaliknya akan mendatangkan bahaya yang mengancam. Dan apa yang tidak teratur adalah segala sesuatu yang menyeleweng, tidak sesuai dengan norma umum yang sudah lazim dan dijalankan. Dalam masyarakat tradisional hal-hal yang teratur dianggap suci atau murni dan yang tidak teratur melalui satu atau lain cara dipaksa menjadi teratur atau harus disingkirkan sama sekali, karena mengotori dan mengandung bahaya. Dalam kerangka pemikiran ini yang ”asing” pun dimasukkan dalam kategori tidak teratur dan termasuk unsur jahat yang patut dicurigai.



Kerangka gerak yang sama masih terjadi dalam agama-agama modern, yang membedakan wilayah suci dari wilayah profan. Agama berusaha menyendirikan atau mengkhususkan yang suci dari pengaruh-pengaruh jahat karena masuknya unsur-unsur yang dianggap asing, kotor dan tidak teratur1, karena yang belakangan ini dianggap membahayakan keselamatan dan keutuhan seluruh masyarakat. Dalam perspektif agama, tidak jarang hal-hal alami pun dimasukkan dalam kategori kekotoran, seperti hubungan seks, menstruasi bulanan, makan dan minum 146



Filsafat untuk Para Profesional



yang tidak sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Meminjam konsep antropologi Levi Strauss, dikemukakan adanya dua strategi baik dalam agama maupun kebiasaan-kebiasaan budaya arkais dalam menangani unsur-unsur asing, yang dianggap mengancam. Yang pertama adalah “asimilasi”, yakni dengan cara menghancurkan oknum asing itu dan melahirkannya kembali secara baru; yang kedua adalah “eksklusi”, yakni dengan cara mengusir oknum asing itu keluar garis batas masyarakat (PD:18). Tentu saja untuk mengambil keputusan dalam menangani persoalan semacam ini, agama memerlukan elite penguasa yang kedudukannya ditentukan oleh pengetahuan sucinya; ada brahmana, pedanda, ulama, clerus, presbiter, imam, teolog dan sebagainya. Dalam Kristianisme misalnya, kekuasaan untuk membimbing atas dasar pengetahuan ini dinamai pastoralia (penggembalaan). Sedang proselitisme adalah istilah yang lazim dipakai dalam ilmu agama untuk menamai usaha mempertobatkan dan mendidik oknum-oknum asing sehingga bisa masuk dalam wilayah sosio-religi tertentu dengan aman. Dalam hal ini tampak adanya keterkaitan antara monopoli kekuasaan dan pengetahuan (LI: 49-50).



Serba Bergerak



Dalam Modernisme, keteraturan dirasionalisasikan dan diuniversalkan. Dalam hal ini para filsuf dan ilmuwan menggantikan peran elite agama dalam mencari alasan atau dasar argumentasi rasional untuk mempertahankan keteraturan dan karena itu juga keselamatan semesta. Para filsuf dan ilmuwan menjadi penguasa baru yang memegang otoritas untuk menentukan standar, norma, kebenaran dalam menjaga dan menjamin keteraturan itu. Keselamatan dan keutuhan yang dikemukakan tidak lagi bersifat kosmoreligius, melainkan lebih bersifat sosiologis, politis, atau Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



147



ekologis. Dalam negara modern, pola ini diterapkan melalui berbagai restriksi dan pengaturan yang berwujud kelembagaan, pemerintah daerah yang menarik pajak, mewajibkan pencatatan segala aktivitas sosial, penggunaan berbagai surat izin, KTP, sertifikat, dan sebagainya. Negara modern juga cenderung menggunakan kekuatan koersif, melalui badan kepolisian dan militer untuk menghasilkan keteraturan yang efektif. Dalam kasus ekstrem, keutuhan dan keteraturan yang dipaksakan ini menghasilkan politik totaliter, yang dengan mencanangkan satu ideologi untuk semua warga, negara bisa menghalalkan untuk melakukan apa saja.



Namun dalam era Posmodern, kehidupan mulai dialami bukan lagi sebagai satu kesatuan yang utuh dan stabil, melainkan plural dan bergerak. Pengalaman semacam ini tentu saja amat berpengaruh dalam kehidupan negaranegara modern, yang pemerintahannya tidak cukup kuat. Paham-paham tentang substansi, hakikat, materi yang tetap, bahkan juga prinsip-prinsip abadi tidak lagi dipegang dengan keyakinan penuh dan karenanya juga tidak berperan lagi dalam wacana. Kenyataan (realitas) tidak lagi dipahami sebagai suatu konstan tetap yang ada di luar “aku”, melainkan pengalaman yang terus muncul, mengalir, bergerak lalu hilang dalam “diriku”. Posmodernisme menyebut kenyataan-kenyataan semacam ini sebagai ephemeral, sementara, menguap, sebagaimana dilambangkan dengan sangat tepat oleh tampilan videoclips dalam lagu-lagu pop, yang tak pernah bisa dipegang wujudnya secara utuh. Apa yang dibicarakan dan dipikirkan orang adalah isu-isu yang bergerak cepat dan berubah-ubah, baik itu menyangkut pemikiran maupun nilai-nilai yang dahulu dianggap abadi dan menetap. Situasi semacam ini oleh Bauman disebut sebagai continuous present (PD : 89). 148



Filsafat untuk Para Profesional



Dengan demikian ada perubahan dalam konsep waktu, sebab kehidupan masa kini dirasakan semakin merentang dan menyita perhatian serta minat-minat individu. Waktu kini (continuous present) bukan lagi sekadar titik abstrak yang dihubungkan dengan titik-titik masa lalu dan masa depan, sebagaimana dipahami oleh pemikiran modern, melainkan jenjang pengalaman yang merentang panjang, melebar memasuki masa lampau dan masa depan, seolaholah masa lampau ditahan dan diabadikan dalam masa kini, sementara masa depan sudah dilahirkan secara prematur untuk bisa direguk oleh masa kini. Manusia posmo adalah manusia yang hidup secara intensif, berada dalam keadaan jaga, penuh perhatian dan kepedulian (concern) mengenai hidupnya. Lebih lanjut, kehidupan masa kini tidak berisikan konsep-konsep, substansi, hakikat yang berhenti, melainkan pengalaman yang bergerak. Dalam situasi seperti ini, diperlukan kesiapsediaan individu setiap waktu untuk perubahan-perubahan. Bauman menyimpulkan, “...On the ground, there is no more ‘forward’ and ‘backward’; it is just the ability to move and not to stand still that counts. Fitness—the capacity to move swiftly where the action is and be ready to take in experiences as they come—takes precedence over health, that idea of the standard of normalcy and of keeping that standard stable and unscathed...” (PD:89). Keadaan ini mungkin dapat diumpamakan seperti permainan selancar di atas gelombang-gelombang ombak yang senantiasa bergerak. Orang harus terus menerus menjaga keseimbangannya untuk dapat bertahan dalam gejolak kehidupan. Maka kepentingan hidup bukan lagi untuk menemukan, membentuk, mencipta “identitas” yang kuat, melainkan justru menjaga jangan sampai identitas menjadi begitu ketat, atau melekat terlalu erat pada badan yang mematikan Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



149



gerak. Bukan untuk mencari, menemukan, membentuk atau mencipta norma-norma dan standar untuk pegangan, tetapi melatih jatidiri untuk mampu bertahan bergerak mengikuti arus. Identitas dalam arti ketat tidak relevan lagi. Hal ini berakibat pertimbangan akan disiplin, kerja keras, upayausaha untuk mengusahakan kemajuan seolah sia-sia dan tak ada gunanya. Semangat kerja untuk memperoleh tempat yang mapan, bergeser ke pencarian kerja secara melompatlompat, ke tempat dimana gerak kehidupan masih bisa bertahan.



Berenang dalam Kelikatan



Dalam kerangka relasi-relasi, situasi posmodern juga dapat diamati dari muncul dan berkembangnya dua sosok asing, yakni “orang liar” (masterless) dan“pengembara” (vagabond). Di masa lampau, dua sosok asing ini dengan amat mudah dapat ditangani karena bisa dikategorikan dalam kelompok deviasi atau anomali yang membahayakan masyarakat keseluruhan (LI: 40-41). Penanganan yang lazim seperti diutarakan di atas adalah “asimilasi” (dengan penataran) atau “eksklusi” (pengurungan). Dalam era Posmodern, penanganan semacam itu tidak mengena lagi, baik karena monopoli kekuasaan elite tidak berwibawa lagi, maupun karena berkembangnya toleransi terhadap pluralisme. Sosok-sosok asing mulai diposisikan menurut kategorinya sendiri (in its own category). Situasi seperti ini membuat rasa aman masyarakat berkurang. Hidup menjadi tidak nyaman karena tidak ada yang mengontrol dan menjamin kebersamaan dan keutuhan sosial. Individuindividu tidak bisa lagi menyerahkan dan memercayakan urusan pergaulan pada pengaturan penguasa. Masingmasing individu sekarang harus ikut serta aktif dalam pergaulan dengan semua. 150



Filsafat untuk Para Profesional



Berbagai kesadaran baru dalam kehidupan bersama, seperti pengakuan akan hak-hak dan kebebasan individu, toleransi pada perbedaan pandangan, munculnya gejalagejala melawan arus, aneh-aneh, eksentrisitas semakin banyak dibiarkan. Hal-hal seperti ini tentu saja menimbulkan kesukaran yang luar biasa bagi penguasa posmodern dalam pengaturan sosial. Berbeda dari penguasa sebelumnya, yang mengandalkan optik biner, untuk melihat warga masyarakat dalam kategori pribumi dan asing, salah dan benar, hitam dan putih, normal dan melenceng, penguasa posmodern kehilangan pegangan kategorial. Individuindividu yang disebut masterless, “orang liar” ini, tidak mempunyai tuan (master), atasan, prinsip atau apa pun yang mengendalikan dan menundukkannya. Dalam masyarakat religius, hal seperti itu sudah dianggap penyelewengan yang membahayakan keutuhan sosial dan keselamatan masyarakat. Maka individu-individu yang aneh, nyleneh, eksentrik, ditangkap, dikumpulkan, dan dibuang dalam asylum, pengasingan, wilayah luar, yang gelap, kotor, tetapi tak berhubungan dengan masyarakat normal. Negara-negara dalam era modern, seperti diamati oleh M. Foucault, mulai mendirikan lembaga-lembaga yang mempunyai wewenang, melalui tangan-tangan para ahli, untuk meluruskan atau membereskan secara profesional penyelewenganpenyelewengan sosial. Maka di zaman modern seperti diamati oleh Foucault, mulai muncul rumah sakit, rumah gila, penjara, yang berfungsi untuk mengembalikan “orangorang liar” pada norma yang resmi, universal. Penjahat, kriminal, atau pengacau distigmatisasikan dengan tanda fisik yang jelas (branding). Dalam posmodernisme, kekuasaan yang bersifat asimetris (assymetry of power, of surveillance), tunggal, dan absolut semakin tidak populer Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



151



dan tidak diterima, maka semakin banyak “orang liar” yang tidak mempunyai tuan.



Dalam gejala yang ke-2, “pengembara”, penilaiannya agak lain. Pengembara dilihat sebagai sosok asing yang bergerak, tidak saja melintasi tempat-tempat yang berbeda, melainkan juga nilai-nilai. Gejala ini bertautan dengan berkembangnya paham pluralisme, yang diawali oleh masuknya sosok-sosok asing, yang menawarkan nilai-nilai baru. Akan tetapi, akibat dari situasi ini bagi stabilitas dan ketenangan masyarakat sama, sebab datangnya para “pengembara” asing ini juga meresahkan masyarakat setempat karena mereka juga tidak mengindahkan aturan-aturan bersama. Inilah situasi dunia posmodern yang bergerak, berubah semakin hari semakin cepat. Semakin banyak unsur asing yang masuk dalam wilayah kehidupan yang normal dan tenang, masyarakat semakin dikuasai pula oleh kecemasan, karena adanya ancaman nilai-nilai baru. Batas-batas wilayah menjadi kabur, dunia akrab hilang, digantikan dengan dunia asing, dengan banyak sosok asing, dengan nilai-nilai mereka yang dibawa.



Menurut Habermas, pluralisme nilai ini harus diatasi dengan pembentukan universalitas baru atas dasar komunikasi yang adil, untuk menentukan kuasa baru yang berwibawa dalam pengaturan. Inilah inti dari kecenderungan demokrasi. Akan tetapi Bauman tidak buruburu menganalisis pemecahan, melainkan memasuki secara lebih mendalam sifat dari relasi-relasi yang baru, yang ternyata menentukan bentuk-bentuk moral yang beragam. Ternyata dalam kehidupan bersama, relasi-relasi tidak mengambil satu bentuk monolit yang sama, sebagai standar, melainkan ada berbagai macam kemungkinan relasi yang dialami setiap individu dalam berbagai kondisi dan situasi. 152



Filsafat untuk Para Profesional



Mungkin dalam arti inilah Bauman berbeda dari Habermas dalam memandang Posmodernisme.



Situasi relasional dengan banyak sosok dan oknum asing di sekitar kita menurut Bauman menimbulkan perasaan proteophobia2, yakni ketakutan atau kekhawatiran terhadap yang asing (PE: 164). Yang asing tidak kita kenal, dan tidak dapat kita tangkap dalam totalitas pemahaman dan pengetahuan intelektual kita, karena berganti-ganti terus. Akan tetapi, berbeda dari keasingan dalam pemahaman Levinas, yang sudah selalu jauh di luar batas, bahkan dipisahkan oleh jurang, bagi Bauman keasingan itu masih terjangkau, karena hadir dalam lingkup yang dekat, meski ada dalam sekuensi waktu yang begitu cepat. Mudah dipahami situasi posmodern memberikan perasaan yang cemas terus menerus; ambivalensi dalam hal nilai-nilai dan kehidupan yang tidak pasti (uncertain). Dalam sebuah metafor lain, Bauman mengumpamakan hidup kita seperti mandi dalam air lanyau, air kotor yang licin. Pada umumnya mandi atau berenang itu menyenangkan dan menyegarkan, asal di dalam air yang bersih. Akan tetapi kalau air tempat mandi menjadi kotor dan lanyau, mandi menjadi sangat terganggu. Itulah gambaran kebebasan yang kita peroleh dalam era posmodern, dengan bayaran kehilangan rasa aman. “Rasa likat” (sliminess) merupakan gambaran lingkup hidup di mana kebebasanku bisa beroperasi, tetapi wilayah operasi itu ternyata di luar kemampuanku untuk menentukan. Kebebasan seharusnya berarti kemampuan bertindak seturut kehendak sendiri untuk mencapai hasil yang diinginkan. Akan tetapi hal ini berarti, orang lain berkurang juga kebebasannya. Mereka terpaksa membatasi pilihannya karena tindakan yang kuambil sehingga mereka pun gagal mencapai hasil yang mereka inginkan. Jadi, pada akhirnya kebebasan saling tergantung satu sama lain. Dalam Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



153



hal ini orang yang lebih kuat dalam memperoleh daya dan sumber-sumber materi yang diperlukan untuk tindakan yang efektif, juga akan menikmati kebebasan yang lebih besar. Dengan demikian “rasa likat” itu pada akhirnya merupakan fungsi kemampuan gerak dan kepemilikan sumber-sumber daya seseorang. Semakin dia mempunyai keterampilan bergerak dan sumber daya yang banyak, semakin berkurang “rasa likat” yang dirasakan. Sebaliknya semakin orang tidak terampil dan kurang mempunyai sumber daya, kebebasannya tidak banyak menolong dalam menghindarkan diri dari rasa likat yang melumuri hidupnya (PD: 27). Mudah dipahami, orang miskin dan lemah dalam hal ini adalah pihak yang paling merasakan air likat yang penuh dengan kotoran.



Subjek Moral Asli



Orang asing yang berkeliaran di sekitar hidupku, sangat mengganggu rasa nyaman dan kebebasanku. Akan tetapi dalam era posmodern, kehadiran orang asing yang semakin banyak dalam lingkungan hidupku, ternyata tak dapat kuelakkan lagi. Dalam perspektif moral, ketidaknyamanan hidup dalam kerangka posmodern ini lebih terasa lagi karena tanggung jawab moral yang semakin memberat dan menajam, memasuki jati diri yang paling dalam, yakni hakikat “aku” (pelaku moral) yang seolah ditakdirkan bukan sekadar sebagai “ada” (being) melainkan “ada bagi” (being for) yang lain. Semakin pudarnya ikatan sosial karena semakin merosotnya kewibawaan elite penguasa, atau dalam istilah Bauman para “legislator”, semakin berkurang pula kemungkinanku untuk menyerahkan tanggung jawab pengaturan sosial kepadanya. “Aku” dikembalikan pada jati diri ada yang paling awal, sebelum terbentuk hubungan sosial. 154



Filsafat untuk Para Profesional



Paham Dasar tentang Moral Untuk memahami lebih lanjut persoalan “aku” sebagai subjek moral ini, ada baiknya melihat metafisika Levinas, yang mempunyai pengaruh besar dalam pemikiran Bauman. Dalam Totality and Infinity (1969), Levinas membedakan konsep “adaan” (existent, étant) dengan “Ada” (being, être). Dalam ontologi klasik, “Ada” dinyatakan sebagai prioritas dan karenanya mendahului “adaan”. “Ada” menjadi penentu dari hakikat filsafat. “Ada” berperan sebagai “medium” dari kebenaran, yakni dengan menuntut keterbukaan “adaan” sedemikian sehingga tercakup dalam satu horison yang sama. Ontologi dengan demikian mereduksikan “yang lain” dalam totalitas “yang sama” (Ada) karena menganggap semua “adaan” dalam satu totalitas “Ada”. Sementara itu metafisika mementingkan eksterioritas yang lain sebagai dasar dari semua teori. “Yang lain” perlu dinyatakan lebih dahulu sebelum pengetahuan saya, supaya saya dapat bersikap kritis terhadapnya. Metafisika dengan demikian membuka dimensi “yang lain” sebagai yang lain dan bukan “yang sama”. Maka menurut Levinas, metafisika mendahului ontologi3 (TI : 42.). Dalam pemahaman Bauman, “ada” yang asli bukanlah sekadar “ada”, melainkan dalam posisi “ada bagi” (being for). Sejak awal keberadaan sudah berkecenderungan untuk bertindak bagi “yang lain”. Pemahaman ini mirip dengan pandangan Levinas, dimana “yang lain” menjadi primat utama. Bauman lebih lanjut menegaskan, bukannya metafisika melainkan etika yang mendahului ontologi. Dalam perspektif pandangan Descartes, dengan menutup diri dalam “cogito”, “ada” menemukan totalitasnya, dengan mengingkari “yang lain”. Meski dari refleksinya muncul “Allah” sebagai pengada, tetapi secara prosedural tampak jelas, bahwa adanya “Allah” sekadar akibat, yang muncul Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



155



sesudah refleksi (after, effect) dan bukan penyebab, sebelumnya (before, cause). Dengan kata lain meski secara ontologis “Allah”, pengada dipahami sebagai primat, tetapi secara logis pemikiran tentang Allah baru muncul kemudian. Proses ini sangat menarik. Bauman juga menerangkan, “ada” yang awal, yang ada sebelum “adaan” (before being) juga bisa disebut sebagai ada yang otentik. Jikalau pemahaman ini kita tarik dalam konteks pemikiran agama dan teologi, maka “Allah”, pengada yang otentik, yang mendahului adaan, pertama-tama juga merupakan “Allah” moral, yang juga berada untuk (being for) yang lain. Paham semacam ini mempunyai implikasi yang jelas pada ajaran “penciptaan” dan inkarnasi Allah untuk penebusan manusia (yang lain).



Kedua istilah yang diajukan Zygmunt Bauman, “ada bagi” (being for) dan “ada sebelum” (before being) berhubungan satu sama lain dan secara ontologis merupakan keberadaan yang otentik, yang awal. Maka berbeda dari pandangan para filsuf dialogis, seperti Gabriel Marcel, Martin Buber, Heidegger, “ada” yang otentik bukanlah “ada bersama” (co-être, coexistence, being together). “Ada bagi” (being for) yang lain, mengisyaratkan bahwa keberadaan itu berkecenderungan untuk berbuat sesuatu bagi yang lain, yang terdorong untuk melakukan tindak kepedulian sepihak, dan bukannya keterikatan cinta timbal balik dengan yang lain, yang menciptakan kebersamaan sebagaimana diajarkan oleh para filsuf dialogis. Kecenderungan moral untuk berkepedulian dengan demikian merupakan kondisi asli bahkan sebelum manusia hidup bersama. Maka pada awal mula muncullah “ada bagi” (being for) yang mencari pihak lain, sebagai objek etis, kalau boleh dikatakan demikian. Maka renungan mengenai sesuatu sebelum ada (before being), membawa kita bukan pada “kekosongan” (nihilis) ataupun “ada yang pertama” (causa prima), yang 156



Filsafat untuk Para Profesional



menurut Heidegger sering dipikirkan tak lebih dari “ada yang lain” saja, yang memperlihatkan “kelupaan akan Ada” yang sesungguhnya (Seinsvergessenheit), tetapi harus sampai pada “ada bagi” (being for) atau harfiah, ada yang berkepedulian. Atau secara lain barangkali bisa dikatakan eksistensi pertama bukanlah “ada”(ontologis) melainkan “bertindak” (etis).



Mengikuti pemikiran Heidegger, kata “sebelum” dalam refleksi metafisik di atas, tidak sekadar dipahami secara temporal, yang masih dalam wilayah ontologi, tetapi dalam arti moral. Maka kepentingan utama dan keunggulan, yang mendahului harus diartikan, bukan sekadar “lebih dahulu” saja, melainkan “lebih baik”. Maka kata Bauman, sebelum yang “ada” (being) sudah hadir yang “lebih baik” (better). Akibatnya, setiap “ada” atau “pengadaan”, mengandung arti “lebih buruk” dari yang sebelumnya (PE: 74-78). Hal ini sebetulnya bisa mengarahkan pemikiran Bauman pada perkembangan gagasan emanasi dalam Neoplatonisme. Untuk mengutip apa yang ditulis Bauman, “Human condition is moral before it is or may be anything else”, artinya sebelum kita didikte oleh sebuah otoritas tentang mana yang ”baik” dan yang ”jahat” itu, kita sudah lebih dahulu menghadapi sendiri, mandiri, pilihan antara yang baik dan yang jaha, karena kecenderungan atau kepedulian “bagi” yang lain itu. Sikap moral untuk berkepedulian pada yang lain ini tampil sejak awal, sebagai saat yang tak terhindarkan, untuk berhadapan dengan yang lain. Entah kita mau atau tidak, kita berada dalam suatu situasi problematis moral dan pilihan-pilihan hidup itu adalah dilema moral. Dan dari situ timbul tanggung jawab moral, antara memilih yang ”baik” dan yang ”jahat” (LF: 2). Hal ini mengimplikasikan hakikat manusia secara a priori sebagai makhluk moral, bahkan sebelum berjumpa dengan yang Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



157



lain. Perjumpaan dengan yang lain hanyalah peluang, ketika sikap moral dan tanggung jawab itu menjadi aktual. Akan tetapi karena belum ada otoritas yang mendahului, yang mendikte atau memberi patokan mengenai mana yang baik dan yang buruk, maka sikap moral awal ini menurut Bauman, ambivalen. Dan inilah persoalan paling berat dari tuntutan moral itu sendiri. Bagaimana manusia bisa dituntut secara moral, bila dia belum mempunyai kategori nilai untuk berkeputusan?



Keberadaan awal dari manusia sebagai makhluk moral dalam arti ini, sudah direngkuh oleh kecenderungan harus memilih demi yang lain; sebelum diperkenalkan dengan standar nilai mana yang baik dan mana yang buruk, dalam dirinya sudah ada sikap untuk memilih yang baik. Dalam arti ini menjadi jelas maksud Bauman, bahwa moral asli tidak diciptakan oleh sosialitas melainkan tertanam sebagai “bawaan”. Bauman sependapat dengan Levinas, menolak bentuk-bentuk moral dialogal dan sintesis (Buber, Marcel, Heidegger: being with, co-existence, Miteinandersein), sebab dorongan moral bersifat asimetris. Namun, dorongan moral untuk berbuat sesuatu bagi yang lain ini masih kosong dari nilai pengarah. Baru dalam bentukan hidup sosial, sesudah kesadaran moral awal ini, elite yang berkuasa sering menjadi pihak yang kemudian menciptakan nilai-nilai dan kriteria yang baik, yakni yang kondusif untuk kehidupan bersama4. Dalam arti ini muncul salah paham, seolah-olah moral adalah kode etik yang dijalankan dalam masyarakat atau yang ditetapkan dalam sesuatu negara. Oleh karena itu, orang lebih suka menyerahkan pertimbangan moral pada ketetapan luar yang menentukan ini, dengan mengikuti kelaziman. Padahal tuntutan moral, sebagai dorongan awal yang muncul untuk memilih, sama sekali bukan hal yang membuat kehidupan menjadi ”enteng” (carefree), 158



Filsafat untuk Para Profesional



karena tidak bisa dialihkan atau dikelabui dengan sekadar ketaatan pada peraturan sosial yang muncul kemudian dan ditetapkan dari luar dirinya. Tuntutan moral awal itu tetap membuat diri manusia terbebani dengan perasaan sangat tidak enak, gelisah, dan tegang. Terutama karena pemilihan ini dibebani dengan rasa tanggung jawab untuk yang lain; sementara nilai tanggung jawab untuk yang lain itu sendiri bersifat ambivalen, tidak jelas batas-batasnya dan tidak jelas penerapannya dalam tindakan praktis. Penerapan peraturan yang bersifat sosial, dari luar, apakah bisa menghilangkan rasa tanggung jawab moral yang muncul dari dalam ini? Kondisi moral seperti ini menurut Bauman, menempatkan subjek dalam kesendirian luar biasa karena belum kenal “yang lain” sebagai sumber nilai, atau untuk dimintai nasihat; sementara “yang lain”, yang dijumpai justru menjadi tanggungan. Sosialitas belum terbentuk, tetapi sudah diantisipasi. Oleh karena itu masa depan sudah merengkuhnya, mengatasi masa kini, (seperti langit di atas bumi), yang membuka horison subjek.



Orang Asing Berkeliaran



Dengan latar belakang ini Bauman mau memperlihatkan bahwa kondisi Posmodern mulai bergerak pada arah yang justru berkebalikan dari modernisme, dari keteraturan sosial bersama yang menuntut ketaatan ke kebebasan yang menuntut pertanggungan jawab pribadi. Dari kacamata modernisme, posmodernisme adalah era dimana orang asing, ”yang lain” dari kita semakin banyak dan berkeliaran di sekitar kita dan dengan itu juga berbagai kekotoran semakin menodai kebersihan dan kemurnian hidup bersama. Dengan menggunakan istilah ”yang lain” (the Other) sebagai orang asing dalam perspektif jangkauan fisikal, Bauman mengembangkan tesis (metafisik) Levinas Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



159



untuk memasuki bidang moral. Namun sebelum itu, perlu membahas pemahaman Bauman tentang “yang lain”. Kalau dalam konsep Levinas “yang lain” muncul sebagai janda atau yatim piatu, si wajah telanjang tanpa identitas yang memanggil dan mengetuk hati saya, maka dalam gambaran Bauman, yang lain bisa muncul dalam sosok yang lebih konkret dan bervariasi.



Dalam pandangan Levinas, “yang lain” tidak bisa direduksikan menjadi “yang sama” dalam suatu ontologi yang menotalisasikan semua yang ada. Sebab “yang lain” merupakan wilayah transenden yang tak terjangkau. “Yang lain” dengan demikian bukan saja berbeda secara mutlak karena ciri-cirinya, melainkan berbeda keberadaannya sama sekali. “Yang lain” menurut Levinas bukan kebutuhan yang bisa dipenuhi, melainkan rangsangan untuk diinginkan, yang membuat kehausan terus menerus. Kalau dikatakan “yang lain” itu tak terbatas, tidak berarti kita sudah mengerti sifat “yang lain”, melainkan justru memperlihatkan ketidaktahuan akan “yang lain” sama sekali. Namun, dari lain pihak, sebagai yang diinginkan, yang lain memberikan diri, menampakkan diri, mewahyukan diri, tidak untuk memaksakan pengetahuan, melainkan sekadar menawarkan pemahaman dirinya, sebagai janda, yatim piatu dan “wajah telanjang”.



Dengan mengembangkan pemahaman Levinas, Bauman menempatkan “yang lain” dalam posmodernisme sebagai pihak yang bisa masuk dalam kedekatan fisik. Penampakan fisik ini meliputi dua macam cara. “Yang lain” bisa masuk sebagai “tetangga” (neighbour) atau sebagai “yang asing” (alien). Sebagai “yang asing” yang lain bisa masuk dalam salah satu kategori, entah sebagai ”musuh” (enemy), ”tamu sementara” (temporarily guest) atau ”bakal tetangga”(neighbour-to-be). ”Musuh” merupakan sosok yang



160



Filsafat untuk Para Profesional



”lain” ketika ia muncul sebagai sesuatu yang mengancam dan berbahaya; Maka tak ada cara berelasi lain selain dengan mengusirnya, memeranginya, menolaknya. Sebagai ”tamu sementara”, yang lain berada dalam jangkauan yang bisa kita terima, tetapi dalam batas waktu tertentu dan tidak membahayakan. Sejauh ia menaati aturan-aturan tertentu, ia bisa menjadi ”calon tetangga”. Namun, ketiga sosok ini tetap merupakan keasingan yang tidak kukenal, meskipun kualami dalam kedekatan fisik (physical proximity) dan karenanya bakal mewarnai moralitasku. Posisi ”musuh” dan ”calon tetangga” bagi Bauman merupakan posisi yang definitif untuk menentukan sikap moral, akan tetapi posisi ”tamu sementara” menjadi problematis, tatkala dia terlalu lama tinggal bersama, sementara perilakunya tidak memperlihatkan keinginannya untuk mengadaptasikan diri dengan solidaritas afektif yang membuatnya jadi ”tetangga” (PE: 151-152); Namun sayang dalam kenyataan sekarang, situasi yang ketiga inilah yang sering terjadi dalam masyarakat kita Ketika dalam era primitif tradisional dan modern gerakan hidup masih dikendalikan oleh pusat, sebagai rumah, dan mempunyai tujuan yang jelas, dalam posmodernisme pusat, rumah dan tujuan hilang; Gerakan hidup berputar tidak menentu. Kedua perbedaan ini diumpamakan Bauman dengan metafor “peziarah” dan “turis”. Peziarah dapat memperhitungkan perjalanan dan bekal-bekalnya, karena ada awal tempat ia berangkat dan akan kembali serta tujuan (suci) yang dicari. Tidak demikian halnya turisme. Turis merupakan perjalanan keliling yang tidak pernah berhenti, dari satu tempat ke tempat lainnya. “The point of tourist life is to be on move. Not to arrive; unlike those of their predecessors, the pilgrims, the tourists’ successive stopovers are not stations



Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



161



on the road, since there is no goal beckoning at the end of life’s travels which could make them into stations” (PD : 90)



Metafor lain, sebagaimana sudah disebut di atas, adalah “pengembara” (Vagabonds); pengembara adalah mereka yang dibuang, terbuang dari dunia yang melayani turis. Seperti turis yang tahu bahwa mereka tidak akan tinggal lama, pengembara juga berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Akan tetapi, berbeda dari turis, pengembara bepergian bukan karena didorong oleh keinginan untuk berkunjung, melainkan karena tidak pernah diterima di sesuatu tempat, “If the tourists move because they find the world irresistibly attractive, the vagabonds move because they find the world unbearably inhospitable.” (PD:92)



Menurut pemahaman ortodoks, tradisional, manusia adalah makhluk moral, ciptaan Allah dengan segala kekhususan dan keistimewaannya. Dalam kenyataan posmodern, manusia dialami sebagai hasil dari pengaturan sosial, pelatihan-pelatihan, dan pembiasaan yang diterima pribadi, bentukan kultural dari kehidupan bersama yang lain.



Relasi-relasi Moral Posmodern



Dengan kebebasan yang semakin diakui untuk setiap individu, setiap orang dihargai sama, sebagai pihak yang mampu berpikir sendiri. Akan tetapi dengan keadaan seperti ini, kehidupan masyarakat posmodern tidak menjadi lebih mudah. Apakah keadaan sosial juga akan menjadi lebih baik? Seperti dikemukakan di depan, bertambahnya kebebasan di satu pihak, mengakibatkan berkurangnya rasa aman dan kepastian. Sekarang setiap orang mampu berpikir sendiri, hidup bersama menjadi ruwet dan kacau, atau masih adakah hidup bersama itu? Bagaimanakah hidup bersama itu terjadi atau disusun? Bagaimana relasi-



162



Filsafat untuk Para Profesional



relasinya? Bauman memperlihatkan betapa bervariasinya penghayatan hidup bersama itu. Hidup bersama sering disederhanakan menjadi satu bentuk gambaran yang sama, direduksi menjadi hubungan Aku-Engkau, misalnya. Akan tetapi, hal itu mustahil.



Kedekatan (Proximity)



Dengan meminjam istilah dari Levinas, proksimitas (proximity), Bauman memperkenalkan suatu kondisi relasi moral yang nyata antara manusia. Hanya dalam kedekatan atau proksimitas ini dimungkinkan relasi moral yang nyata. Kalau jarak terlalu jauh, kita tidak mungkin mengenal yang lain sama sekali, kita akan mengabaikan yang lain, atau sama dengan mengatakan yang lain tidak ada. Akan tetapi bila terlalu dekat, relasi juga dihapuskan karena kepedulian tidak menjadi aktual atau relevan, dan tidak dirasa sebagai keperluan lagi tatkala keduanya mengikat diri dalam kesatuan cinta. Oleh karena itu hubungan AkuEngkau, I-Thou, menurut Levinas maupun Bauman, tidak mengonstitusikan hubungan moral.



Proksimitas, kata Bauman, merupakan jarak yang ditekan, “a suppression of distance”, tetapi bukan dihilangkan. Dalam proksimitas, dibentangkan kondisi moral, dimana kepedulian dimulai, yang membuatku menoleh, melirik, dan mencoba meraih relasi dengan yang lain. Proksimitas ini menginsinuasikan dua hal; pertama suatu tanggung jawab sebelum komitmen (responsibility before commitment) dan kedua suatu kebebasan yang bersifat murni moral. Tanggung jawab pra-komitmen adalah tanggung jawab yang muncul secara a priori sebagai ukuran untuk semua komitmen dengan yang lain. Hal ini sudah dijelaskan di atas sebagai kenyataan “ada untuk” (being for).Tanggung jawab semacam ini melampaui intensionalitas (beyond Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



163



intentionality), tanpa pamrih, penuh perhatian tanpa memaksakan diri untuk menarik perhatian. Bertolak dari pandangan Levinas, Bauman menerima bahwa yang lain merupakan prioritas, terhadapnya aku mesti bertanggung jawab, tetapi tanpa tuntutan balik. Tidak dipersoalkan mengenai tanggung jawab yang lain terhadapku, tetapi tanggung jawabku terhadap yang lain saja, sebab hubungan ini bersifat asimetris, sepihak. Mengutip Levinas, Bauman mengatakan “proximity stands for the unique quality of the ethical situation – which forgets reciprocity in love that does not expect to be shared” (PE: 87). Hubungan resiprok bukanlah hubungan moral. Itulah sebabnya moral merosot ketika kontrak sosial menciptakan norma-norma yang berlaku timbal balik.



Persoalannya, apakah ada kebebasan dalam hal moral? Bukankah kebebasan mengandaikan alasan yang masuk akal ketika aku mau melakukan sesuatu? Bukankah kepedulian sepihak ini (asimetry), apalagi bersifat a priori, merupakan ketergantungan buta semata-mata terhadap yang lain? Akan tetapi semua argumentasi ini tidak berlaku dalam tataran proksimitas. Sebaliknya proksimitas membuat aku terpanggil untuk mengoperasikan kebebasan asli semacam ini dalam bertindak untuknya. Kebebasan asli ini bersifat irasional, tanpa pedoman, tetapi justru karena itu menjadi kebebasan moral yang sesungguhnya. Dalam proksimitas ini tuntutan moral asli bersifat “belaian” (caress) yang lembut, tidak memaksa; sebagaimana dilukiskan dalam belaian itu, tangan membuka dan tidak mengepal atau mencengkeram, geraknya mengikuti lekukliku badan yang ada dan tidak menekan. Berbeda dari cengkeraman dan pelukan, yang memaksa tubuh mengikuti tangan yang memeluk atau mencengkeram, belaian memberi kebebasan untuk bergerak (PE: 92). Dalam arti



164



Filsafat untuk Para Profesional



inilah, moral asli berbeda jauh dari restriksi-restriksi rigor yang diciptakan oleh moral sosial untuk kepentingan hidup bersama.



Hubungan Sosial



Seperti halnya Levinas, Bauman berpendapat, hubungan moral pertama-tama merupakan hubungan berdua asimetris, dimana ada dua pihak yang diperhitungkan, tetapi hanya ada satu arah gerak yang dipertanggung-jawabkan. Inilah hubungan asli, paling awal dari subjek moral (being for) sebelum mengenal “yang lain” secara spesifik. Akan tetapi dalam hal ini, tuntutan moral merupakan belaian saja, yang menggelitik dan mendorong secara halus. Tanggung jawab moral ditanggung sendirian, karena belum terjalin hubungan sosial dan subjek moral merasa kesepian. Hubungan moral dalam arti sosiologis sebagaimana lazim dimengerti dan berlaku secara umum, baru muncul karena intervensi pihak ketiga “the third” yang meneguhkan tuntutan dan dorongan moral asli ke arah dorongan sosial yang universal. Di sinilah mulai terjadi guncangan besar ( PE:114-5). Belaian moral menjadi tuntutan yang menekan, mengusik, dan menggelisahkan. Dari manakah muncul guncangan itu? Dari pihak ketiga, the third, yang hadir dalam kesadaran pihak pertama. Sementara pihak kedua, “yang lain”, berada dalam jangkauan proksimitas pihak pertama, kehadiran pihak ketiga muncul dari pengetahuan. Kita membedakan dalam hal ini pengetahuan dalam lingkup proksimitas, menyangkut para tetangga di rumah sebelah, yang secara fisik kukenal, dan pengetahuan dalam arti objektif murni, dimana pihak ketiga tampak tak lebih dari sekadar tipe dan bukan pribadi. Maka pengenalan anonim ini disebut Bauman sebagai proses tipifikasi (typification). Ikatan dengan tetangga dekat, Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



165



“yang lain” dalam jangkauan proksimitas membentuk kekeluargaan (familiarity), sedang dengan pihak ketiga yang jauh, pihak-pihak yang diandaikan, membentuk ikatan abstrak yang disebut komunitas (community).



Dengan demikian pihak ketiga, “the third”, menengahi hubungan berdua yang semula bersifat moral, menjadi hubungan sosial, dengan kewajiban, hak dan norma-norma hukum yang dipaksakan dari luar. Menurut kritik Levinas, kekhasan masyarakat manusia dibandingkan kumpulan semut atau lebah tidak terletak pada hubungan hukum, melainkan hubungan moral. Kehidupan bersama manusia semeskinya didasari dengan prinsip moral dan bukan hukum yang memaksa dari luar. Cara penyelesaian hukum seperti diandaikan oleh Thomas Hobbes, di mana manusia disamakan dengan serigala bagi sesamanya, tidak akan mendewasakan, sebab manusia adalah “manusia” bagi sesamanya, bukan serigala (EI.: 85). Lapisan “being for” yang dalam hubungan moral jelas dan tegas ditutup oleh apa yang disebut Bauman sebagai lapisan “ada di hadapan” (being before5) yang lain, dan kemudian juga “ada bersama” (being with) yang lain, sebagaimana dianut oleh para eksistensialis dialogal, yang dengan sendirinya mengaburkan makna moral asli yang dimaksud Bauman maupun Levinas.



Netralisasi Tindakan Moral (adiaphorization)



Dengan masuknya “pihak ketiga” dalam perkara moral, moral dianggap menjadi urusan sosial dan dengan memasukkan moral dalam relasi sosial, manusia melepaskan diri dari tanggung jawab yang sebenarnya. Moral disederhanakan sekadar sebagai norma umum yang harus ditaati oleh semua. Lebih lanjut, pengembangan pemahaman seolah-olah moral merupakan produk atau ciptaan masyarakat belaka, sebagaimana diyakini E.



166



Filsafat untuk Para Profesional



Durkheim dan para sosiolog lainnya, semakin menjauhkan individu sebagai subjek moral yang bertanggung jawab. Dalam kerangka pemahaman ini, moral tak lebih dari kiat atau kebiasaan-kebiasaan yang dipelajari, yang berfungsi untuk pengaturan sosial. Teori-teori sosiologi dari Kluckhohn yang menyamakan norma moral sebagai kebiasaan hingga fungsionalisme Malinowski berujung pada keyakinan bahwa masyarakat adalah pabrik moral (HM : 170). Ketika moral dirumuskan sekadar sebagai kebutuhan sosial untuk pengaturan bersama, paham-paham sosiologis ini semakin menyingkirkan moral dari tanggung jawab individu.



Dalam kasus “Holocaust”, Bauman memberi contoh, di mana enam juta orang Yahudi dibunuh dalam kamp-kamp konsentrasi,—dengan mudah masyarakat atau individu melemparkan kejahatan itu pada tanggung jawab orang Jerman. Tipifikasi Jerman dan Nazi, untuk menempatkan subjek moral yang bertanggung jawab, seolah sudah cukup untuk menyelamatkan orang-orang untuk mencuci tangan dan berdalih, “bukan aku” yang bersalah. Apalagi kejadian itu sudah lama berlangsung dalam sejarah. Penjarakan kejadian ini dari kehidupan aktual yang dialami subjek moral dewasa ini, semakin membuat mereka merasa bebas dari tanggung jawab (MH: xii). Dihadapkan dengan pertentangan dan bahkan pembunuhan berbau rasis yang masih berlangsung hingga dewasa ini, kasus “Holocaust” masih tetap relevan untuk dibicarakan bukan hanya dalam kerangka sejarah dan sosio-politik saja, melainkan dalam kerangka moral, yang melibatkan semua individu.



Di banyak tempat, Bauman menyebut proses netralisasi rasa moral ini dengan istilah adiaphorization—istilah yang diambil dari praktik gereja di masa lalu, yang menyebut adiaphoron segala tindakan atau hal yang dianggap netral, bisa dievaluasi secara teknis (cara dan tujuannya), tetapi Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



167



tidak secara moral, bukan baik atau buruk. Menurut Bauman, zaman modern tidak hanya memasukkan moral dalam tataran sosiologis, dengan menjadikan masyarakat sebagai penciptanya, tetapi lebih dari itu banyak praktik moral yang dinetralisasi dan “dimatikan esensinya” sebagai tindakan moral. Itulah yang dimaksud Bauman dengan adiaphorization. Perasaan moral dipisahkan dari keterlibatan relasi manusiawi, dengan memandang subjek moral tidak secara utuh, melainkan menurut aspek-aspek tertentu saja, fungsinya, kemanfaatannya, daya tariknya, relevansinya, dan lain sebagainya. Adiaphorization dengan demikian juga mereduksikan manusia menjadi peran, fungsi, atau mesin belaka sehingga kehilangan subjektivitasnya sebagai pemoral (HM: 133-4).



Moral tanpa Etika



Berbicara tentang etika, kita tidak bisa mengabaikan dua aliran besar yang dianut banyak orang di era modern, yakni Kantianisme (sebagai kristalisasi aliran-aliran deontologi) dan utilitarianisme (sebagai kristalisasi aliran-aliran teleologi). Dengan memperbandingkan keduanya, tampak bahwa Kantianisme lebih menekankan kedalaman atau sisi kesadaran personal individual, sementara utilitarianisme lebih menekankan sisi perwujudan hasil luar yang diukur secara sosial. Dengan demikian Kantianisme lebih mengena untuk mempertajam proses refleksi pribadi dan hati nurani, sementara utilitarianisme lebih mengena untuk membahas perwujudan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini kedua aliran tersebut tampaknya tidak perlu dipertentangkan; Akan tetapi apakah keduanya bisa dikompromikan sehingga diperoleh satu prinsip etika yang memuat unsur-unsur dasar dari kedua aliran tersebut, hal inilah yang sering diusahakan, tetapi tampaknya mustahil. 168



Filsafat untuk Para Profesional



Kegagalan Etika untuk Kehidupan Posmodern Secara prinsipiil, setiap aliran mempunyai keutuhan prinsip yang konsisten dan mencukupi untuk dirinya sehingga tidak memerlukan unsur-unsur lain dari luar. Dari lain pihak, meski posisi moral menantang kita untuk memilih yang satu dan meninggalkan yang lain, tetapi secara nyata dan masuk akal, kedua aliran Kantianisme dan utilitarianisme tidak bisa diperbandingkan untuk ditimbang mana yang lebih baik satu terhadap yang lain. Masing-masing sudah baik dan memadai untuk dirinya sebagai satu sistem moral yang utuh dan tinggal dipilih saja. Kenyataan ini sendiri telah menjadi bukti, betapa ambivalensnya moralitas yang seharusnya berlaku secara umum dan bercorak radikal, artinya hanya ada satu prinsip etis yang bisa dibenarkan dan diberlakukan untuk semua. Kalau tidak, orang hanya akan jatuh dalam suatu relativisme yang tidak selayaknya diperhitungkan sebagai moral. Agenda etika kewajiban model Kantianisme bisa saja ditanamkan dalam diri individu-individu, misalnya dalam rangka program pendidikan anak-anak di sekolah, sementara agenda Utilitarianisme bisa saja diterapkan untuk urusan hidup bersama, semisal dalam kancah pertentangan dan persaingan politik, dalam pembangunan sosial. Akan tetapi, kalau demikian, moralitas lantas menjadi semacam “kode moral” (moral codes) belaka yang berlaku atas dasar dan hanya untuk wilayah yang merupakan ruang gerak yang amat terbatas. Di luar wilayah tersebut, kedua macam etika itu kurang relevan. Sekali lagi tampak di sini kegagalan etika dalam mempromosikan keberlakuan moral secara universal. Kalau kesulitan ini dibeberkan untuk segala macam aliran etika yang ada, atau dengan kata lain, kalau semua aliran etika diakui hak hidup dan keberlakuannya, Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



169



maka menjadi semakin nyata, betapa rumit sesungguhnya pengaturan hidup manusia sebagai “makhluk moral”.



Akan tetapi lebih jauh lagi, betapa pun tajam dan tak terdamaikan pertentangan antara Kantianisme dengan utilitarianisme, tetapi bagi posmodernisme kedua aliran itu dan praktis semua aliran etika lainnya,—dan dengan itu juga seluruh pertentangan yang ada antar mereka,—telah berakhir masa berlakunya. Artinya, tidak relevan lagi baik eksistensinya maupun argumentasi dasar yang mereka kemukakan karena menurut pemahaman modernisme, etika merupakan cara untuk melayani tata kehidupan dalam keteraturan, untuk menjamin keselamatan bersama, padahal keadaan seperti itu mulai hancur. Dalam era modern, ukuran kehidupan adalah tata tertib, kebersamaan, keseragaman, yang kesemuanya memerlukan prinsip moral dasar yang sama untuk semua, setidaknya dalam pengandaian. Sejarah etika, sejak zaman Sokrates hingga abad modern,—menurut tuduhan Nietzsche— telah menanamkan norma-norma yang mengondisikan hidup manusia menjadi seragam, mengikuti ketentuan preskripsi yang abadi. Pengertianpengertian etis diyakini dan diteruslanjutkan oleh para filsuf moral, etikus, pendidik, pemuka agama, elite masyarakat —yang semuanya, dalam pandangan Bauman dapat dicakup dalam satu nama, “legislator”, si pemegang hukum dan kendali— menurut cara berpikir otoritas yang mau mengatur semua. Akhirnya di balik otoritas para “legislator” ini, bersembunyilah otoritas yang lebih berkuasa, yang berada di seberang dunia manusia. Dalam zaman Yunani dan Romawi, orang percaya pada logos (Epikuros, Stoa), yang dalam zaman Kristianisme kedudukannya digantikan oleh Tuhan (Agustinus, Thomas Aquinas) dan dalam zaman Modern dan Pencerahan digantikan lagi oleh akal budi (J. 170



Filsafat untuk Para Profesional



Locke, I. Kant, J.S. Mill), meski yang dimaksud dengan akal budi ini pun bisa beragam.



Teori moral atau etika boleh saja berganti dari satu era ke era yang lain, dari satu sistem pemikiran ke sistem pemikiran yang lain, dari satu penekanan nilai ke penekanan nilai yang lain, atau dari satu jenis otoritas ke jenis otoritas lainnya, tetapi seluruh rentetan pergantian ini masih tetap berpolakan dan dalam rangka kehidupan yang teratur dan seragam, untuk bisa disebut hidup yang layak sebagai manusia dan untuk itu dibutuhkan moral. Pemetaan otoritas ini oleh masyarakat, utamanya para “legislator”, dilatarbelakangi oleh ketakutan mereka, jangan-jangan hidup duniawi yang mereka alami tidak lain adalah “chaos”, kekacauan, gelap, dosa, yang tak terkuasai, tidak jelas “juntrung”nya. “Chaos” lantas dilawankan dengan logos, dengan Tuhan, dan akal budi, yang bakal mengatur, membereskan, dan menjadikan dunia sebagai tempat yang bermakna. Etika, sama dengan mitos dan agama di masa lampau, tidak lain adalah taktik, kiat, atau strategi manusia, agar dalam kegelapan dan kekacauannya itu, dirinya masih bisa bertahan hidup dan bermakna, dengan merasakan perlindungan dan keselamatan dari kuasa-kuasa di luar dirinya. Akan tetapi, di era posmodern ini, manusia rupanya lebih sedia menerima kenyataan apa adanya, daripada hidup dalam bayangan dan angan-angan yang tampaknya manis sekalipun.



Persoalan Ketidakadilan



Seperti Michel Foucault dan Nietzsche, Bauman mencoba melihat situasi sosial dewasa ini dengan memperbandingkannya dengan situasi Yunani kuno. Ada kesejajaran, kalau bukan kesamaan, antara situasi sosial sekarang dan situasi masyarakat Yunani kuno, ketika Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



171



pembagian kelas budak dan orang merdeka dianggap lazim. Orang tidak mempersoalkan, mengapa seseorang menjadi budak. Paham hak azasi belum muncul, belum terpikirkan peri kemanusiaan dan kesetaraan martabat. Oleh karena itu, hal-hal seperti itu tidak disadari, dan belum relevan. Situasi sosial dewasa ini, dengan adanya jurang kaya miskin, tanpa dikehendaki juga telah membentuk dua kelas manusia. Karl Marx menegaskannya sebagai kelas buruh dan majikan. Ibaratnya membangun sebuah gedung, pembangunan sosial ternyata memakan banyak korban; Banyak potongan kayu dan batu yang tidak terpakai, yang harus dibuang, karena tidak termasuk dalam konstitusi bangunan. Memang secara filosofis manusia modern menghargai martabat dan kesetaraan; Para buruh dianggap subjek yang bebas, bukan budak seperti dulu dan tidak ada yang memaksanya menjadi buruh. Meskipun demikian, secara sosiologis dan psikologis situasi penindasan itu tetap berlangsung. Dan de facto nasib mereka tak lebih baik dari budak-budak Yunani yang tidak bisa mentas untuk menyamai tuannya, kecuali ada faktor perubahan yang luar biasa. Bauman seperti Levinas menyinggung masalah ini dan mengedepankan persoalan “keadilan” sebagai titik tolak moral. Keadilan yang dicanangkan negara adalah keadilan politis dan hukum, yang tidak memecahkan persoalan dasar moral. Terutama semakin mencolok adanya jurang antara teori-teori politik tentang keadilan dan praksisnya. Sementara itu, gerakan-gerakan pengadaan dana (betapa pun besarnya) hanya bertumpu pada prinsip “belas kasih” yang mengandalkan keikhlasan, kebesaran hati, kemurahan, sering justru mengelabui “rasa keadilan” yang merupakan tuntutan moral (betapa pun kecilnya) yang seharusnya dipenuhi. Dan pengelabuan itu terjadi melalui peristiwa yang kadang sangat mewah seperti, malam penggalangan 172



Filsafat untuk Para Profesional



dana, Live Aid, festival yang meriah, dan lain sebagainya. Keadilan direduksikan menjadi pemberian derma saja, yang muncul dari kelebihan yang ada dari kocek orang kaya, dan dengan tindakan ini seolah-olah jurang perbedaan kaya miskin bisa dilupakan, atau mulai dianggap wajar (sejauh yang kaya masih mau menyumbang). Inilah kamuflase kedermawanan yang bersumber pada cinta dan belas kasih.



Dalam Totality and Infinity, Levinas menyinggung persoalan ketidakadilan dalam relasi masyarakat. Menurut Levinas, relasi barulah menjadi adil kalau dalam wacana itu, kita berhadapan dengan “wajah”. Dalam Phaedro, Plato mengkritik para sofis yang mengadakan pembicaraan (conversations), tetapi tanpa sikap hormat terhadap lawan bicara seraya memperlakukan mereka “sebagai objek, atau anak-anak atau sembarang orang dari khalayak6. Pembicaraan kita tidak jarang mengambil posisi seperti itu, memperlakukan tetangga dengan tipu daya. Itulah yang dinamakan dengan retorika (rhetoric), yakni cara bicara para sofis di zaman Sokrates. Retorika mendekati yang lain, bukan dengan “bertatap wajah, tetapi sambil melirik saja”. Dengan kelicikannya retorika (propaganda, bujuk rayu, diplomasi) mengingkari atau menghancurkan kebebasan yang ada, dengan memasukkannya dalam kategori. Dan itulah yang dimaksud Levinas dengan “ketidakadilan”. Untuk bisa lepas dari tendensi psikagogi, demagogi, pedagogi, dan semua bentuk retorika lainnya, retorika harus kembali berhadapan dengan wajah “yang lain” dalam percakapan yang benar. Yang lain tidak bisa diperlakukan sebagai objek, tetapi sebagai yang di luar segala kategori atau secara positif yang lain diterima sebagai kehadiran wajah; “ungkapan”nya, bahasanya diterima sebagaimana adanya. “We call justice this face to face approach, in conversation”, kata Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



173



Levinas (TI.:71). Ada pengertian yang sangat mendalam menyangkut relasiku dengan “yang lain”.



Jikalau demikian, keadilan dalam arti moral menurut Levinas, bukanlah prinsip perlakuan yang sama untuk dikenakan bagi semua orang7, melainkan sikap hormat dan kepedulianku yang nyata terhadap “yang lain”. Dalam kerangka pemahaman Bauman, keadilan menjadi sikap moral yang pantas sebagai “ada untuk” (being for) yang lain. Keadilan berarti mengakui “yang lain” sebagai “Yang Lain” (dengan huruf besar) dengan seluruh privilesenya yang menuntut diriku untuk menghormatinya. Tentu saja tindak yang demikian sama sekali bukan belas kasih kedermawanan, yang tidak akan mengubah struktur sosial, melainkan sikap yang bisa mempunyai konsekuensinya yang tak terduga. Imperatif moral dengan demikian tidak didorong oleh impuls cinta atau belas kasih seseorang yang kebetulan berkelebihan kepada yang berkekurangan, melainkan oleh rasa keadilan sejati.



Demikianlah pandangan Bauman dan Levinas. Akan tetapi, keadilan dalam pengertian seperti itu rupanya dianggap tidak pernah menjadi efektif dalam kehidupan bersama. Negara memaksakan keadilan melalui politik dan hukum, dengan harapan supaya bisa efektif. Akan tetapi, dengan cara demikian keadilan sebagai impuls moral yang asli menjadi keadilan sosial yang dipaksakan. Dan apakah keadilan makro seperti itu dapat terselenggara? Menurut Bauman, kondisi posmodernisme telah membuat manusia memikirkan kembali pengertian keadilan mikro, atau keadilan asli sebagaimana dimaksud oleh Levinas. Keadilan mikro merupakan prasyarat keadilan makro. Menjalankan moral mikro berarti sejak awal menyadari posisi diri sebagai “being for”, yang berkepedulian pada “yang lain”, bukan karena dipaksa negara, melainkan karena kesadaran akan



174



Filsafat untuk Para Profesional



tuntutan dan panggilannya. “Yang lain” dalam pemahaman Bauman adalah sosok yang masih dekat dan terjangkau, yang ada dalam proksimitas. Jikalau keadilan dalam arti moral tidak tumbuh dalam individu subjek moral, maka semua seruan keadilan menyangkut masyarakat luas juga tak pernah akan tecapai dan tidak akan sampai menghilangkan kemiskinan dan perbudakan modern, dan hanya menjadi kamuflase sosial.



Tanggung Jawab yang Semakin Menajam



Dalam filsafat Bauman dan Levinas, dorongan cinta bersifat ambivalen, sebab dalam cinta ada maksud pertahanan diri dan perasaan tidak aman. Maka menurut Bauman, dalam sosialitas atau kehidupan bersama, manusia melepaskan tanggung jawab moral aslinya dan merasionalisasikannya dengan membuat kode-kode mengenai mana yang wajib dan mana yang dilarang, mana yang baik dan mana yang buruk. Kode-kode ini dibuat oleh masyarakat yang menginginkan kesamaan moral, untuk menyelamatkan atau meneguhkan cinta. Dengan kodifikasi ini, tanggung jawab pribadi menjadi ringan karena putusan moral menjadi wilayah yang terbatas atau tertentu. Subjek moral tidak perlu lagi mencari-cari kategori atau prinsip-prinsip sendiri dalam memutuskan, tinggal mengikuti kodifikasi umum yang ada. Proses rasionalisasi moral melalui perjumpaan dengan pihak ketiga, sebagaimana diterangkan di atas itulah yang disebut etika. Dengan etika, dimaksudkan sistematisasi standar-standar nilai untuk dipertimbangkan secara universal. Akan tetapi, dengan munculnya rasionalisasi ini, dorongan moral yang asli dan spontan dihentikan, atau dikalahkan. Impuls moral didisfungsionalisasikan dan ditimpuk oleh lapisan baru yang namanya dorongan moral, dengan sejumlah nilai atas dasar kategori rasional: Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



175



benar dan salah, adil dan tidak adil. Tata permainan ini disebut masyarakat, dimana aku tidak lagi sendirian melainkan dibenamkan dan dilibatkan dalam kebersamaan. Rasionalisasi moral berarti sekaligus menetapkan norma yang sifatnya memaksa dan memberi kualifikasi normalitas atas nama kehidupan bersama.



Akan tetapi, oleh pergeseran kondisi zaman dari Modernisme ke Posmodernisme, sendi-sendi kehidupan sosial yang diatur dengan moral heteronom di atas tampak semakin kedodoran. Situasi zaman yang bergerak dengan banyaknya “orang liar” tak bertuan yang berkeliaran dan tak terkendali perilakunya, serta “peziarah” yang berpindahpindah tempat dan pilihan nilainya, semua ini akan membuat moral heteronom yang jaya di masa modern semakin ditinggalkan dan tidak ditaati lagi. Masalahnya, bagaimana kehidupan bersama akan diatur? Pemikir Posmodern yang optimis seperti Habermas masih mengandaikan munculnya pembaharuan dalam konsensus moral, melalui komunikasi yang baik. Sementara Bauman cenderung melihat, bahwa kesadaran individu akan semakin menajam, untuk kembali pada moral asli, karena moral bukan masalah konsensus. Pada umumnya, orang cenderung beranggapan seolah kebebasan membuat individu lebih nyaman hidupnya karena bisa menentukan sendiri apa yang mau dilakukannya. Perkembangan paham individualisme yang dilatarbelakangi oleh kapitalisme dan kemajuan modern memang menjanjikan kebebasan dengan banyak privilese. Akan tetapi, jatuhnya korban-korban sosial yang diakibatkan oleh kapitalisme klasik telah membuat konsep kebebasan individual sebagai sesuatu yang negatif dan berbahaya. Dalam pemahaman Bauman, moral asli mendahului kebebasan semacam ini. Oleh karena itu, Bauman menyebut moral asli sebagai dorongan (impulse) yang sedikit banyak irasional. Akan



176



Filsafat untuk Para Profesional



tetapi, sementara paham kebebasan yang mendasari “moral umum” mengandaikan keterpisahan subjek moral dari yang lain, dorongan moral asli justru berkecendrungan mencari “yang lain”. Akan tetapi, meskipun belaian moral asli itu mendesak dari dalam, tetapi tidak ada penjelasan dan spesifikasi tindakan yang jelas. Keadaan ini bisa dinyatakan sebagai tidak jelas secara ontologis, meskipun secara moral amat jelas.



Prospek Moral ke Masa yang Akan Datang



Bagi Bauman, seperti halnya bagi Levinas, tampak bahwa masalah moral bukanlah masalah “norma”, melainkan masalah relasi dengan “yang lain”. Persoalan relasi tak bisa —dalam perspektif ini— direduksikan menjadi sekadar norma atau aturan, sebab “Yang Lain” dengan siapa subjek moral berkepedulian, atau cenderung untuk berpihak (being for), seperti halnya aku, merupakan subjek yang bergerak, yang tak bisa ditetapkan dengan kategori-kategori apa pun dan karenanya hubungan itu tak dapat diatur. Ketegangan dalam hidup, juga dalam hubunganya dengan “Yang Lain” merupakan ciri Posmodernisme. Oleh karena itu, moral yang menenangkan merupakan kemerosotan dari manusia asli, yang selalu siap menghadapi yang lain sebagai “wajah” (face).



Moral posmodern Bauman, kalau ditarik lebih jauh dapat menghasilkan pemikiran yang kontroversial, lebihlebih dalam kaitan dengan kehidupan bersama, karena keteraturan hidup bersama memerlukan norma yang mapan dan pasti. Namun, seperti sudah disinggung di atas, situasi sosial yang semakin beragam, karena kehadiran subjek moral yang berbeda-beda, dari turis hingga pengembara dan relasi sosial yang bergerak mengikuti perubahan masyarakat, yang terjadi karena kehadiran yang bermacam ragam itu, Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



177



akan semakin tidak memungkinkan lagi menyepakati moral bersama. Konflik sosial tentunya akan semakin sering dan akut karena kepentingan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, jikalau manusia tidak segera menemukan gerak moral asli yang merupakan ”panggilan” dari dalam dirinya sebagai ”being for”, maka tinggal dua pilihan fatal ke depan, manusia hancur oleh konflik mereka yang semakin banyak, atau menjadi robot dan kehilangan kebebasan karena semakin ditentukan oleh norma-norma luar yang mereka sepakati sendiri. a Daftar Pustaka



Bauman, Zygmunt. 1987. Legislator and Interpreters (LI). Cambridge: Polity Press. -------. 1989. Modernity and Holocaust (MH), Ithaca, New York: Cornell University Press. -------. 1993. Posmodern Ethics (PE). Oxford: Blackwell Publishers Ltd. -------. 1995. Life in Fragments (LF). Oxford: Blackwell Publishers Ltd. -------. 1997. Posmodernity and its Discontents (PD). Cambridge: Polity Press. Levinas, Emmanuel. 1969. Totality and Infinity (TI). Trans. by Alphonso Lingis. Pittsburg: Duquesne University Press. -------. 1982. Éthique et Infini, Dialogues avec Philippe Nemo. Paris: Fayard et Radio-France.



(Endnotes) 1 Hal ini tampak pula dari kecenderungan beberapa agama, yang dalam konstelasi politik masih getol misalnya dengan usulan undang-undang pencemaran atau penodaan agama, untuk menghukum elemen lain yang berbeda dan intrusif dalam agama mereka. 2 Proteus, adalah dewa laut yang bisa berubah-ubah bentuknya. 3. Ontologi yang dimaksud di sini masih ontologi klasik. Sesudah mengenal “ontologi fundamental” dari Heidegger dalam Sein und Zeit (1927), Levinas tampaknya akan berpendapat lain; bdk. Éthique et Infini (1982) hlm. 34-35. 178



Filsafat untuk Para Profesional



4. Pandangan ini menginsinuasikan kesamaan dengan apa yang dikatakan Thrasymachus dalam dialog Socrates yang sangat terkenal (Politeia, 338 c) bahwa keadilan atau kebenaran adalah apa yang digariskan oleh para elite, berdasarkan interes mereka; suatu pandangan yang de facto terjadi dalam sejarah, dan yang justru menjadi objek keberatan Marx dan aliran-aliran demokrasi di kemudian hari. Akan tetapi, apakah itu merupakan kebenaran yang sesungguhnya, di situlah memang soalnya. 5. Konsep ini jangan dikacaukan dengan konsep ontologis before being, yang kita terangkan di atas. 6. Dikutip Levinas dari Phaedro 273 d. 7. Menurut Levinas “Equality among persons means nothing of itself; it has an economic meaning and presupposes money, and already rests on justice—which, when well-ordered, begins with the Other...” (TI.:72)



Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



179



9



Rorty untuk Para Sastrawan J. Sudarminta



“If you want your books to be read rather than respectfully shrouded in tooled leather, you should try to produce tingels rather than truth. … But if, like Catullus, Baudelaire, Derrida, and Nabokov, your works (only, or also) produce tingles, you have a chance of surviving as more than a name. You might be, like Landor and Donne, one of the people whom some future Yeats will hope to dine with, at journey’s end.” (Rorty, 1989: 152).



K



utipan tersebut diambil dari tulisan Rorty berjudul “The barber of Kasbeam: Nabokov on Cruelty” yang merupakan Bab 7 dalam bukunya Contingency, Irony, and Solidarity, Cambridge, MA: Cambridge University Press, 1989: hlm. 141-168. Apa yang dikatakan dalam kutipan tersebut mencerminkan pandangan Rorty tentang pentingnya menulis buku yang memiliki gaya sastra dan menarik untuk dibaca sehingga pesan yang ingin disampaikan ke publik tidak hanya menyajikan



180



kebenaran yang sudah lumrah, tetapi juga, dan lebih-lebih, mampu menggugah usikan hati (tingles). Dalam kutipan tersebut secara eksplisit Rorty juga menyebut beberapa nama sastrawan ternama dan seorang filsuf (Derrida) yang dengan konsep dekonstruksinya selalu meretas pembakuan tradisi dan mengundang pemaknaan baru dalam proses percakapan budaya umat manusia di mana filsafat hanyalah salah satu bentuk permainan bahasa di dalamnya. Dalam membahas gagasan Rorty untuk merumuskan ulang filsafat sebagai karya sastra, mengikuti pembagian yang pernah dibuat Michael Fisher dalam tulisannya berjudul “Redefining Philosophy as Literature: Richard Rorty’s ‘Defence’of Literary Culture” (dalam A. Malachowski, Ed. 1991: 233-243), dengan ulasan yang berbeda dengan tulisan tersebut, saya juga mau membagi tulisan ini menjadi tiga bagian. Pertama, saya akan menyajikan kritik Rorty terhadap filsafat yang berpusat pada epistemologi; kedua, usulan Rorty untuk mengembangkan filsafat sebagai salah satu bentuk permainan bahasa dalam percakapan budaya umat manusia; ketiga, pengutamaan yang dilakukan Rorty terhadap karya sastra di atas filsafat dengan merumuskan ulang filsafat sebagai karya sastra. Namun, sebelum memasuki ketiga pembahasan tersebut, kiranya baik kalau saya perkenalkan terlebih dulu secara singkat siapa itu Richard Rorty dan apa latar belakang yang dapat dikatakan mendasari seluruh pemikirannya. Pada akhirnya, sebuah evaluasi singkat terhadap pemikiran Rorty juga akan saya sajikan.



Siapakah Richard Rorty?



Richard McKay Rorty lahir di New York City pada 4 Oktober 1931 dari ayah bernama James dan ibu Winifred Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



181



Rorty. Keluarga Rorty adalah keluarga yang terpelajar, aktivis demokrat sosial, penulis, penganut aliran reformis Kiri, pembela pemikiran Trotsky melawan komunisme model Stalin. Sejak kecil Richard Rorty sudah terbiasa membaca buku yang kemudian menumbuhkan minat filsafatnya. Pada umur 15 tahun, ia meninggalkan New York untuk belajar filsafat di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat, yakni Universitas Chicago. Di sana ia diajar oleh dosen-dosen terkemuka seperti R. Carnap, Ch. Hartshorne dan R. McKeon. Setelah ia menyelesaikan kuliah Sarjana Muda (BA) pada 1949, ia melanjutkan kuliahnya di Universitas yang sama guna memperoleh gelar MA pada 1952 dengan menulis tesis tentang Alfred N. Whitehead di bawah bimbingan Charles Hartshorne yang pernah menjadi mahasiswa Whitehead di Harvard University. Dari 1952 sampai dengan 1956, R. Rorty melanjutnya kuliahnya di Universitas Yale. Di sana ia meraih gelar doktor di bidang filsafat dengan disertasi berjudul “The Concept of Potentiality” yang digali dari pemikiran Alfred N. Whitehead. Adapun promotor utama untuk disertasi tersebut adalah Paul Weiss yang cukup kritis terhadap pemikiran Whitehead. Richard Rorty menikah dua kali. Pertama, 1954 dengan seorang yang kemudian menjadi dosen di Universitas Harvard bernama Amelie Rosenberg Rorty. Dengan isteri pertama ia memperoleh satu anak laki-laki yang diberi nama Jay Rorty. Pernikahan kedua, setelah bercerai dari isteri pertama, terjadi 1972, dengan seorang ahli bioetika dari Universitas Stanford bernama Mary Varney Rorty. Dari isteri kedua ini Rorty menurunkan dua putera, satu laki-laki bernama Kevin dan satu perempuan bernama Patricia



Tugas mengajar pertama R. Rorty sebagai dosen, setelah dua tahun menjalani wajib militer (1956-1958), adalah di



182



Filsafat untuk Para Profesional



Wellesley College. Ia mengajar di sana dari 1959 sampai 1961. Kemudian ia pindah ke Universitas Princeton dan mengajar di sana sampai dengan 1982. Di sana ia sempat menduduki jabatan terhormat sebagai Stuart Professor of Philosophy. Dari 1982-1988 ia mengajar dan menduduki kursi jabatan Kenan Professor of Humanity di Universitas Virginia. Sejak 1998 ia pindah ke Departeman Sastra Komparatif di Universitas Stanford, California. Sepanjang kariernya sebagai dosen, Rorty menerima beberapa academic awards seperti Guggenheim Fellowship (1973-74) dan MacArthur Fellowship (1981-1986) dan menerima beberapa gelar kehormatan. Ia juga pernah diundang sebagai dosen pemberi kuliah publik yang bergengsi seperti misalnya the Northcliffe Lectures di University College, London (1986), the Clark Lectures di Trinity College, Cambridge (1987), dan the Massey Lectures di Universitas Harvard (1997). Rorty meninggal dunia di Palo Alto, California, 8 Juni, 2007 karena mengidap penyakit kanker pankreas. Pada waktu itu ia genap berusia 75 tahun.



Walaupun setiap pemikir itu memiliki kekhasan tersendiri, baik terkait dengan detail isi pemikirannya maupun terkait konteks sosial, historis, dan kultural munculnya pemikiran tersebut, sehingga memasukkan begitu saja pemikiran seseorang di bawah satu kategori aliran pemikiran tertentu, sering menjadi terlalu gegabah, tetapi dalam kasus pemikiran Rorty kiranya tidak keliru kalau mengatakan bahwa latar belakang yang dapat dikatakan mendasari seluruh pemikirannya adalah alam pikir pragmatisme. Ia sendiri menyebut dirinya sebagai seorang pragmatis yang banyak belajar dari karya-karya John Dewey dan William James. (Rorty 1982: xiii-xliv; 1999: 61; ) Seperti pemikiran dalam aliran pragmatisme sebelumnya, pemikiran Rorty ditandai oleh sifat antiBauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



183



essensialisme, anti-dualisme, anti-intelektualisme dengan menekankan bahwa pengalaman manusia itu jauh lebih kaya dan kompleks daripada pengertian dan pengetahuannya. Selain itu, pemikirannya juga mencermin pengaruh naturalisme Darwinian dengan mencoba menjelaskan halhal dan kejadian di dunia ini sebagai proses alami dan berusaha menunjukkan bagaimana kebudayaan manusia muncul sebagai bagian dari evolusi alami. (Rorty 1979: 362). Pragmatisme Rorty juga menekankan sifat historis, dinamis, serta sifat serba kebetulan (contingent) keberadaan manusia dan seluruh kenyataan.



Memang sebagai buah pemikiran kontemporer pasca positivisme, pragmatisme Rorty juga memiliki perbedaan dengan pragmatisme klasik Amerika. Pragmatisme klasik Amerika masih amat menjunjung tinggi sains sebagai jenis pengetahuan yang objektif, rasional, dan merepresentasikan secara akurat objek-objek yang ada di dunia sehingga Dewey misalnya menyebut metode kerja sains sebagai metode tindakan cerdas (method of intelligent action) yang mesti diambil serius oleh filsafat dalam melakukan rekonstruksi pengalaman. Bagi Rorty, yang pemikirannya tentang sains sudah dipengaruhi oleh pandangan Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, (Rorty 1979: 6-7; 11) kegiatan saintifik adalah kegiatan memecahkan teka-teki alam yang tak pernah lepas dari peran paradigma yang dianut berdasarkan kesepakatan para ahli bidang bersangkutan dalam praksis sosial suatu komunitas ilmuwan. Dalam pandangan tersebut, sebuah teori ilmiah dinilai benar, bukan karena teori itu dapat merepresentasikan secara akurat kenyataan objektif di dunia, melainkan karena dapat disepakati oleh komunitas ilmuwan atau para ahli bidang yang bersangkutan berdasarkan kriteria yang tidak hanya memuat nilai-nilai konstitutif atau internal keilmuan, tetapi



184



Filsafat untuk Para Profesional



juga nilai-nilai kontekstual atau eksternal keilmuan. Seperti halnya Thomas Kuhn (Kuhn 1970: 170) mempertanyakan paham realisme saintifik dengan teori kebenaran korespondensinya, demikian juga Rorty. Ia bahkan dengan sikap anti-fondasionalisme (menolak perlunya pengetahuan memerlukan fondasi filosofis guna menjustifikasi klaim kebenarannya) dan anti-representasionalisme (menolak pandangan pengetahuan sebagai representasi akurat objekobjek di dunia luar subjek), ingin meninggalkan sama sekali seluruh gagasan tentang teori kebenaran korespondensi. (Rorty 1979: 155-164; 371).



Pragmatisme Rorty, yang mungkin lebih tepat disebut Neopragmatisme, merupakan pemikiran kotemporer yang memiliki banyak kemiripan dengan beberapa gagasan pokok dalam paham postmodernisme. Sebagaimana para pemikir postmodern lainnya, pemikiran Rorty banyak mengambil inspirasi dari kritik F. Nietzsche terhadap rasionalisme Barat modern-pencerahan dengan konsep kebenarannya yang bersifat tunggal dan berlaku universal dan juga dari kritik M. Heidegger terhadap peradaban Barat dengan alam pikir onto-teologisnya yang membawa ke pelupaan akan Ada (Seinsvergessenheit). Pemikirannya juga mengambil inspirasi dari teori permainan bahasa Wittgenstein akhir dalam bukunya Philosophical Investigations, yang memandang teori sebelumnya yang pernah ia kemukakan dalam Tractatus Logico Philosophicus bahwa bahasa mencerminkan realitas sebagai kekeliruan. Bersama Heidegger, Gadamer, dan Derrida, Rorty juga menekankan peran sentral bahasa serta sifat historis, dinamis, dan tak niscaya (contingent) dari segala sesuatu yang ada. Pemikiran Rorty pada awalnya lahir dari rahim filsafat analitik dan mampu berdialog kritis dengan para tokohnya, mengambil manfaat dari kritik W. Sellars terhadap mitos keterberian Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



185



(the myth of the given), kritik W.V.O. Quine terhadap dua dogma empirisme berikut holisme Quine, P. Duhem, dan D. Davidson. Namun kemudian, ia meninggalkan filsafat analitik sebagai model berfilsafat yang kering dan sepertinya tak punya masa depan lagi. Istilah dia, “sudah kehabisan bensin pembakarnya.” Palingan ke bahasa dan budaya (the linguistic and cultural turn) yang kuat menandai ilmu-ilmu sosial dan budaya atau ilmu-ilmu manusia sejak tahun 1970-an semakin meyakinkan Rorty untuk meninggalkan model berfilsafat yang berpusat pada epistemologi atau filsafat yang bersifat fondasional dan representasional, dan bergeser ke model filsafat yang ia sebut lebih bersifat edifikatif daripada sistematik, berfilsafat sebagai salah satu bentuk permainan bahasa dalam percakapan budaya umat manusia.



Kritik Rorty terhadap Filsafat yang Berpusat pada Epistemologi



Buku yang memuat kritik Rorty terhadap filsafat yang berpusat pada epistemologi adalah buku berjudul Philosophy and the Mirror of Nature (1979; untuk selanjutnya disingkat PMN). Buku ini adalah buku kedua setelah buku pertama yang membuat nama Rorty mulai dikenal, yakni The Linguistic Turn. Buku kedua tersebut membuat Rorty amat terkenal (baik dalam arti famous maupun notorious), bukan hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di Eropa dan Asia. Buku itu terdiri dari tiga bagian dan delapan bab ini menuai banyak pujian dari para pengagumnya, termasuk dari para pemikir di luar bidang filsafat (khususnya di bidang ilmu sosial dan kemanusiaan) maupun cercaan dari para pengritiknya. Seperti dikemukakan oleh Rorty sendiri (Rorty 1989: 7), PMN dia tulis sebagai suatu survei atas beberapa perkembangan mutakhir dalam filsafat, 186



Filsafat untuk Para Profesional



khususnya filsafat analitik, dari sudut pandang revolusi anti-Filsafat modern model Descartes, Locke dan Kant. Yang dia maksud dengan revolusi anti-Filsafat tersebut adalah pergantian secara mendasar paradigma memahami dan melakukan kegiatan filsafat yang muncul sebagai dampak pengaruh karya-karya tahap akhir tokoh-tokoh seperti Wittgenstein, Heidegger, dan Dewey. Menurut Rorty, karya-karya tahap akhir ketiga filsuf itu—yang lebih bersifat terapeutis daripada konstruktif, membangun sikap yang menumbuhkan harapan untuk memperbaiki keadaan (edifying) daripada membangun sistem—dapat menyadarkan kita akan perlunya meninggalkan pemahaman dan gaya berfilsafat model Descartes, Locke, dan Kant, yakni filsafat yang berpusat pada epistemologi yang bersifat fondasional dan representasional. Dalam model pemikiran para filsuf modern yang mewarisi tradisi yang oleh Rorty disebut Platonik, mulai dari Platon sampai dengan Kant dan masih terus berlanjut sampai para Positivis Logis, filsafat dipahami sebagai disiplin ilmu tersendiri atau otonom yang mendasari dan berbeda dari ilmu-ilmu lain. Filsafat dianggap sebagai ilmu yang menggulati kebenaran-kebenaran abadi, kebenaran yang bersifat ahistoris dan lintas budaya. Filsafat melihat dirinya sebagai disiplin ilmu yang dapat memberikan penilaian terhadap klaim-klaim pengetahuan dari disiplin ilmu lain. Pandangan ini didasarkan atas anggapan bahwa filsafat memiliki pengertian khusus tentang hakikat pengetahuan tentang kenyataan dan tentang akal budi. Filsafat dianggap dapat memberi fondasi atau dasar bagi aspek-aspek lain kebudayaan karena kebudayaan merupakan kumpulan klaim-klaim tentang pengetahuan, dan filsafat dapat menilai klaim-klaim macam itu, mana yang sungguh rasional serta objektif benar, dan mana yang tidak. Filsafat dapat menilai Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



187



klaim-klaim macam itu, karena filsafat mengerti fondasi pengetahuan dalam kajiannya tentang manusia sebagai penahu (man as knower) dan tentang proses mental yang memungkinkan terjadinya pengetahuan. Pengetahuan yang benar dipahami sebagai representasi akurat dari apa yang ada di luar akal budi atau fakta di dunia nyata.



Dalam pandangan tersebut, sejak Platon karya sastra dan seni pada umumnya dilihat sebagai suatu yang tidak memiliki kebenaran pengetahuan yang objektif. Para sastrawan dan seniman, seperti para Sofis, tak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Apa yang mereka kemukakan melulu bersifat subjektif dan malah dapat menyesatkan. Alasan terkenal yang pernah dikemukakan Platon melawan karya sastra dan seni, antara lain misalnya dapat dibaca dalam buku 3 dan 10 buku Politeia atau dalam terjemahan Inggris disebut Republic. Platon memahami karya sastra dan seni melulu bersifat mimetik atau sekadar tiruan tingkat ketiga dari kenyataan sesungguhnya. Para seniman juga ia pandang sebagai peniru (Republic 373B). Peniruan sendiri bagi Platon tidak bermasalah asal penulis karya sastra atau pun seniman tidak hanya memiliki techne atau keterampilan praktis untuk melakukan karyanya, tetapi juga memiliki pengetahuan tentang prinsip yang mendasari karyanya. Kalau tidak demikian, karya sastra ataupun seni yang menarik publik pun bermasalah karena dapat menyesatkan orang. Dalam kaitan dengan ini Platon mengkritik puisi Homeros sebagai puisi yang layak disensor karena dapat memberi gambaran yang keliru tentang kehidupan para dewa-dewi atau Yang Ilahi.



Dalam analisis Rorty terhadap epistemologi modern sejak Descartes, pengertian epistemologi atau “teori pengetahuan” yang dikaitkan dengan kajian tentang



188



Filsafat untuk Para Profesional



proses mental akal budi berikut batas kemampuannya bersumber pada pemikiran Locke; sedangkan pengertian “akal budi” sebagai entitas terpisah tempat proses itu terjadi bersumber pada pemikiran Descartes. Dari Kant pada abad ke-18 diwariskan pemahaman tentang filsafat sebagai suatu yang bersifat fondasional dan hakim bagi ilmu-ilmu serta aspek kebudayaan yang lain. Pada abad ke-19 tradisi ini dilanjutkan dan diperkuat oleh tulisan-tulisan neo-Kantian. Kritik terhadap paham tersebut sebagaimana terungkap misalnya dalam tulisan-tulisan Nietzsche dan William James, menurut Rorty, tidak begitu digubris. Awal abad ke-20 paham itu bahkan diteguhkan lagi oleh filsuf-filsuf seperti Russell dan Husserl yang bermaksud menjadikan filsafat sebagai ilmu yang “ilmiah” (scientific) dan “ketat” (rigorous). Rorty rupanya sangat alergis terhadap setiap upaya untuk menjadikan filsafat sebagai ilmu yang saintifik dan ketat.



Sasaran tembak utama kritik Rorty dalam PMN dan dalam buku kumpulan esai-esainya kemudian berjudul Consequences of Pragmatism (1982), adalah model berfilsafat yang menurut dia sudah selayaknya ditinggalkan karena merupakan upaya sia-sia dan secara pragmatis tidak berguna. Model berfilsafat yang ia kritik adalah model berfilsafat yang diwarisi dari Platon dan berlangsung terus sampai Kant dan bahkan berlanjut dalam Positivisme Logis, yakni model berfilsafat yang mengajukan pertanyaanpertanyaan tentang sifat dasar atau hakikat pengertian normatif seperti ”Kebenaran”, ”Kebaikan”, ”Rasionalitas” dengan harapan dapat mematuhi secara lebih baik normanorma seperti itu. Rorty bermaksud menunjukkan bahwa dialektika dalam filsafat analitik yang telah membawa wacana tentang filsafat akal budi (philosophy of mind) dari Broad sampai Smart, filsafat bahasa dari Frege sampai Davidson, epistemologi dari Russell sampai Sellars, dan Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



189



filsafat sains dari R. Carnap sampai T. Kuhn, menunjukkan gerak perubahan meninggalkan model berfilsafat yang fondasional dan representasional. Rorty bermaksud menggoyang keyakinan pembaca bukunya bahwa orang harus memiliki pandangan filosofis mengenai akal budi, bahwa pengetahuan harus ada teori dan fondasinya, serta bahwa filsafat mesti dipahami dalam model yang bersifat fondasional dan representasional. Menurut dia, model filsafat yang berpusat pada epistemologi pada dasarnya muncul dan berkembang berdasarkan anggapan yang keliru bahwa akal budi manusia itu ibarat cermin kenyataan dunia di luar akal budi, dan bahwa berfilsafat yang berpusat pada epistemologi berarti membangun fondasi rasional untuk menjamin bahwa pengetahuan manusia sungguh secara akurat mencerminkan kenyataan objektif tersebut. Kalau anggapan yang keliru itu, yakni metafor cermin untuk menggambarkan pikiran manusia, itu ditinggalkan, maka filsafat yang berpusat pada epistemologi itu tidak diperlukan lagi. Tidak lagi muncul kebutuhan akan adanya fondasi guna memberi justifikasi atau dasar pembenaran yang netral bagi klaim kebenaran pengetahuan kita dengan merujuk pada sesuatu di luar manusia, entah itu Tuhan, Realitas, Kebenaran, Hakikat Hal-Hal Yang Ada (the Nature of Things) sebagai norma pembatas objektif (objective constraints). Bagi Rorty, karena apa yang dinilai benar tidak lebih dari apa yang baik untuk dipercayai (what is good in the way of belief) atau apa yang disepakati sebagai baik dan berguna dalam praksis sosial setempat, maka daripada menekankan konsep objektivitas kebenaran pengetahuan ia ingin menggeser perhatian kita pada pentingnya konsep solidaritas antar-umat manusia (Rorty 1991a: 21-34). Justifikasi baginya selalu bersifat relatif terhadap komunitas



190



Filsafat untuk Para Profesional



yang relevan dengan persoalan yang dibahas. Dengan demikian, justifikasinya bersifat kontekstual, historis, dan contingent. Justifikasi tidak perlu masuk ke ranah transendental guna mendapatkan dasar normatif bagi dasar pembenaran yang berlaku universal dan niscaya. Kritik metafilosofis Rorty dalam PMN sesungguhnya merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa filsafat yang bersifat fondasional dan representasional itu, yang merupakan warisan tradisi pemikiran Barat sejak Platon sampai dengan Kant dan masih berlanjut sampai Positivisme Logis dan fenomenologi transendental Husserl, sudah selayaknya ditinggalkan.



Filsafat sebagai Salah Satu Bentuk Permainan Bahasa dalam Percakapan Budaya Umat Manusia Model berfilsafat baru yang ditawarkan Rorty adalah filsafat sebagai salah satu suara atau salah satu bentuk permainan bahasa dalam percakapan budaya umat manusia, yang dewasa ini semakin majemuk dan semakin kompleks. Bentuk permainan bahasa yang lain dalam pandangan Rorty selain filsafat adalah sains, ilmu-ilmu sosial, psikologi, sastra/puisi, dan karya seni. Filsafat tidak lagi mengklaim diri sebagai ilmu tersendiri yang mampu memberi fondasi dan justifikasi bagi ilmu-ilmu lain dalam percaturan budaya umat manusia, ibarat sang hakim yang dapat mengetok palu pemberi vonis tentang mana pengetahuan yang objektif benar dan mana yang tidak, mana pengetahuan yang sesuai dengan hakikat kenyataan sesungguhnya dan mana yang bukan. Filsafat model baru yang ditawarkan Rorty adalah filsafat yang telah membebaskan diri dari metafor cermin. Dalam pandangan tersebut, pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai representasi akurat atau cerminan ( a mirror/ a copy of) dari realitas di luar manusia, tetapi sebagai alat Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



191



untuk menanggapi (a tool to cope with) masalah yang dihadapi dalam interaksinya dengan alam dan lingkungan sosial sekitarnya. Mengambil inspirasi dari Darwin dan Dewey, Rorty menganut behaviorisme epistemologis, suatu paham yang memandang pengetahuan sebagai alat yang tidak dapat dilepaskan dari perilaku dan tindakan manusia dalam interaksi atau transaksinya dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial sekitarnya. Dalam percakapan antar-umat manusia itu bukan lagi epistemologi yang dipentingkan tetapi hermeneutika, yakni upaya menafsirkan dan memahami ungkapan kebahasaan pihak lain yang berbeda dan yang menjadi rekan bicara. Rorty tidak bermaksud mengganti epistemologi dengan hermeneutika, tetapi mau mengajak pembacanya untuk terus mengembangkan percakapan yang menarik dan membuka pada harapan baru. Hermeneutika bukan nama suatu cabang ilmu ataupun metode mencapai hasil yang gagal dicapai oleh epistemologi; juga bukan program penelitian (Rorty 1979: 315). Hermeneutika merupakan ungkapan harapan bahwa ruang budaya yang kosong karena ditinggalkan oleh kematian epistemologi tidak perlu diisi kembali. Menurut Rorty, epistemologi berhasrat kuat, tapi tidak realistik, untuk menyelesaikan secara mekanistik perbedaan pendapat dengan mencari dasar objektif yang dapat menjadi hakim pengetok palu putusan benar yang berlaku universal. Yang lebih realistik adalah hermeneutika: pendekatan lewat percakapan yang membuka diri kita pada perspektif dan wawasan baru seraya berharap bahwa salah satu jalan keluar akan muncul dari proses percakapan itu.



Dalam pandangan Rorty, epistemologi bermaksud menyediakan kerangka yang menilai keabsahan semua klaim kebenaran pengetahuan. Epistemologi berfungsi sebagai pengawas budaya, menilai apakah suatu klaim



192



Filsafat untuk Para Profesional



kebenaran pengetahuan memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional atau tidak. Sedangkan hermeneutika berfungsi sebagai mediator guna memfasilitasi percakapan agar perbedaan pendapat antara dua atau lebih keompok yang berbeda dapat tetap berdialog dan berharap nantinya dapat menemukan jalan keluar mengatasi konflik. Hermeneutika adalah proses dinamis percakapan (conversation) yang terbuka dengan harapan ada solusi untuk mengatasi perbedaan pendapat yang ada selama percakapan terus berlangsung. Solusi dapat dalam bentuk kesepakatan yang dapat dicapai, ataupun ketidaksepakatan yang menarik dan bermanfaat. Peran filsuf bukan sebagai penjaga rasionalitas, melainkan sebagai fasilitator bagi terjadinya percakapan yang terbuka, seorang intelektual yang dapat mengurangi sekat-sekat antar-disiplin ilmu. Menurut Rorty, bagi Heidegger, Sartre, maupun Gadamer, mencari kebenaran objektif itu mungkin dan sering bersifat aktual, tetapi hanya merupakan salah satu cara mendeskripsikan diri kita dan dapat menghalangi proses edifikasi bila menjadi dogmatis dan mandeg. Deskripsi diri yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu alam tidak lebih unggul dibandingkan dengan deskripsi diri yang disumbangkan oleh para penulis puisi, novel, seniman, psikolog, antropolog, ataupun para mistikus Dalam menawarkan gambaran filsafat baru yang nonfondasional dan non-representasional, Rorty mencoba mengintegrasikan dan menerapkan pokok pikiran yang sebelumnya pernah dikemukan oleh Dewey, Hegel dan Darwin, khususnya dalam mengupayakan sintesis pragmatis dari historisisme dan naturalisme. Historisisme adalah pandangan yang menekankan bahwa pengetahuan, pemikiran, kebenaran, dan nilai-nilai selalu terkondisi secara historis karena manusia secara hakiki terkondisi oleh Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



193



sejarah dan lingkungan budayanya. Sedangkan naturalisme adalah pandangan yang mencari penjelasan atas gejala dan peristiwa berdasarkan faktor-faktor alami dan tidak perlu melibatkan faktor-faktor yang tidak alami atau bersifat transenden. Karakterisasi dan ilustrasi budaya intelektual humanis pragmatis pasca epistemologi dikembangkan lebih lanjut dan lebih kaya oleh Rorty dalam buku-buku kumpulan esainya yang diterbitkan kemudian.



Pengembangan pandangan moralnya, yang mencoba melepaskan diri dari kungkungan teori dan prinsip-prinsip etika, ia kemukakan dalam buku Contingency, Irony, and Solidarity (1989). Sifat serba kebetulan atau ketidakniscayaan (contingency) keberadaan manusia sebagai makhluk yang terkondisi secara historis dan kultural, dalam buku ini amat ia tekankan. Maka berbeda dengan I. Kant yang dalam teori moralnya amat menekankan prinsip-prinsip moral yang secara rasional, bersifat niscaya dan berlaku universal, Rorty lebih menekankan pentingnya sikap empati terhadap penderitaan sesama manusia, suatu sikap yang membangun solidaritas antar-umat manusia. Ia juga menekankan pentingnya bersikap ironis liberal, yakni sikap yang dapat merelatifkan klaim-klaim dirinya sebagai makhluk yang contingent seraya menghormati kebebasan. Buku ini juga memuat upaya pertama Rorty untuk merumuskan visi politik yang sesuai dengan filsafatnya, yakni visi tentang masyarakat majemuk atau plural yang disatukan bukan oleh konsep-konsep etis abstrak seperti “keadilan” dan “kesamaan kodrat dan keluhuran martabat manusia”, tetapi lebih oleh sikap empati terhadap penderitaan orang lain dan sikap menolak segala macam bentuk kekejaman. Gagasan yang kurang lebih sama juga dikemukakan dalam buku Objectivity, Relativism, and Truth (1991), Essays on Heidegger and Others (1991), Truth and Progress



194



Filsafat untuk Para Profesional



(1998), Achieving Our Country (1998), Philosophy and Social Hope (1999), dan Philosophy as Cultural Politics (2007). Mengikuti Dewey, Rorty memahami pengertian objektivitas sebagai intersubjektivitas daripada sebagai representasi akurat realitas di luar sana sebagaimana adanya. Kendati ia memahami kebenaran sebagai apa yang baik dan berguna untuk dipercayai karena dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan praksis sosial setempat, ia menolak untuk disebut relativis. Alih-alih mencari kebenaran mutlak dan abadi yang tak mungkin dicapai oleh manusia yang terkondisi secara historis dan kultural, pragmatisme menumbuhkan harapan akan masa depan. Bagi Rorty, yang penting bukan apakah pengetahuan kita benar secara objektif dalam arti mencerminkan realitas di luar sana sebagaimana adanya, melainkan apakah berguna untuk memecahkan persoalan yang kita hadapi dan menunjang pengembangan masyarakat yang lebih bebas, toleran, dan lebih demokratis atau tidak. Dalam berbagai buku kumpulan esai dan artikel populer di atas, Rorty merambah wilayah intelektual yang amat luas. Ia memberikan pandangan yang sangat terintegrasi, memperhatikan banyak segi dalam menanggapi persoalan budaya, politik, pendidikan, agama, moralitas, dan kasih. Tak mengherankan bahwa pandangannya mengundang tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk para filsuf kontemporer yang terpandang seperti gurunya sendiri Ch. Hartshorne, juga dari J. Habermas, Ch. Taylor, H. Putnam, D. Davidson, R. Bernstein, M. White, D.L. Hall, R. Brandom, B. Williams, M. Lynch, Susan Haack, G. Vattimo, dan sebagainya.



Merumuskan Ulang Filsafat sebagai Karya Sastra



Manakala Filsafat yang berpusat pada epistemologi, atau Rorty juga menyebutnya sebagai filsafat sistematik, ditinggalkan dan digantikan dengan filsafat hermeneutis Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



195



yang bersifat edifikatif atau menumbuhkan sikap yang membangun dan mengembangkan (bersikap terbuka terhadap yang lain yang berbeda, menumbuhkan harapan dan memperbaiki keadaan), maka terbukalah pintu bagi Rorty untuk merumuskan ulang filsafat sebagai karya sastra. Dalam pandangan dia, budaya sastra, ke depan akan menggeser agama, sains, dan filsafat sebagai bidang budaya yang dominan. Kalau dalam tradisi filsafat yang oleh Rorty disebut Platonik—yang seperti sudah disinggung di atas— karya sastra cenderung dipandang rendah sebagai terlalu subjektif dan dapat menyesatkan dibandingkan dengan filsafat dan sains, pada era kontemporer yang menurut Rorty ditandai oleh romantisme dan tekstualitas yang kuat (Rorty 1982: 139-159), budaya sastra justru akan semakin pegang peran penting (Rorty 1982: 155). Karya-karya sastra klasik memiliki nilai inspirasional yang jauh lebih luas dan kuat dibandingkan dengan telaah filosofis ataupun kajian saintifik tentang sesuatu. (Rorty 1998b: 124-151). Sains dan filsafat hanyalah jenis sastra yang tidak lebih penting daripada karya-karya sastra dan seni.



Dalam upaya merumuskan ulang filsafat sebagai karya sastra, Rorty mengambil inspirasi, dari para filsuf romantik seperti Hegel dan Nietzsche, Wittgenstein akhir dengan teori permainan bahasanya, Derrida dengan dekonstruksinya, Heidegger yang sangat mengapresiasi puisi F. Hölderlin. Selain itu juga dan lebih-lebih ia mengambil inspirasi dari apa yang ditulis oleh para sastrawan seperti Victor Hugo, Milan Kundera, Marcel Proust, Charles Dickens, Gustave Flaubert, Vladimir Nabokov, George Orwell, dan James Joyce. Rorty mencoba meyakinkan pembacanya bagaimana buku-buku novel seperti Uncle Tom’s Cabin, Les Miserables, Sister Carrie, The Well of Loneliness, dan Black Boy tidak kalah penting dalam menyingkapkan kenyataan sosial terkait perbudakan, 196



Filsafat untuk Para Profesional



kemiskinan dan prasangka rasialis dibandingkan buku hasil kajian sosiologis atas situasi masyarakat Inggris di zaman revolusi industri The Condition of the Working Class in England. (Rorty 1989:141).



Dengan mengutip dan mengulas teks yang diambil dari tulisan Milan Kundera berjudul The Art of the Novel, Rorty mencoba menarik beberapa gagasan yang dapat disebut sebagai ciri-ciri yang menandai filsafat sebagai karya sastra dan dibedakan dari model filsafat yang ia ingin tinggalkan. Filsafat model baru sebagai sebuah karya sastra perlu menghindari hasrat teoretis membangun sistem, mengejar kelugasan (simplicity), menemukan struktur yang tetap, membuat abstraksi dan menemukan hakikat kenyataan. Sebaliknya, filsafat sebagai karya sastra perlu memuat unsur selera para novelis akan suatu yang bersifat naratif, detail paparan kisah, keragaman, dan ambiguitas peristiwa dan pengalaman hidup manusia, serta hal-hal yang bersifat aksidental. (Rorty 1991b: 73). Ketika kita berhadapan dengan budaya lain, Rorty menyarankan agar kita penuh perhatian terhadap munculnya jenis literer baru yang bereaksi, dan menjadi alternatif, terhadap upaya teorisasi kehidupan manusia. Dalam dialog budaya Barat-Timur akan lebih menarik dan berguna kalau tidak hanya memusatkan perhatian pada tradisi teoretis di dalamnya, tetapi juga dan lebih-lebih pada tradisi yang melawan kecenderungan teorisasi. Dimensi petualangan baru, dimensi naratif dengan keragaman sudut pandang, kemajemukan paparan terhadap peristiwa yang sama, dan hal-hal yang terjadi serba kebetulan yang tak dapat dikungkung dalam pendekatan filsafat tradisional yang esensialistik, kontemplatif, dan dialektis, dalam filsafat sebagai karya sastra justru harus diberi ruang untuk dikembangkan. Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



197



Rorty (Rorty 1991b: 74-75) mengutip pernyataan berikut dari Kundera: “justru dalam hilangnya kepastian akan kebenaran dan tidak adanya persetujuan bulat dari orang lain, manusia menjadi seorang individu. Novel adalah suatu taman firdaus imaginer dari individu-individu. Itulah wilayah di mana tak seorang pun memiliki kebenaran, entah si Ana atau pun Karenina, tetapi suatu tempat di mana setiap orang memiliki hak untuk dimengerti, baik itu si Ana maupun Karenina.” Dalam mengulas kutipan tersebut, Rorty menyatakan bahwa istilah “novel” dalam kutipan tersebut kurang lebih sinonim dengan apa yang oleh Rorty sendiri disebut “utopia demokratis”, suatu komunitas di mana toleransi, rasa ingin tahu daripada pencarian kebenaran, merupakan keutamaan intelektual yang utama. Dalam komunitas itu tiap orang dapat melakukan apa yang dikehendakinya tanpa merugikan dan menyakiti yang lain. Masyarakat yang dibangun berdasarkan semangat penuh harapan akan masa depan yang lebih baik dalam “utopia demokratis” dalam pandangan Rorty adalah masyarakat ironis liberal yang tidak memutlakkan keyakinannya sendiri dan tidak mau memaksakan kepada orang lain, melainkan ditandai oleh kepekaan atau empati pada penderitaan orang lain. Ia mendefinisikan seorang “ironis liberal” sebagai orang yang memasukkan di antara hasrat hatinya yang tanpa pendasaran [teoretis] “harapannya sendiri bahwa penderitaan akan berkurang, bahwa penghinaan atau perendahan terhadap manusia oleh manusia lain akan berhenti.” (Rorty 1989: xv). Tidak seperti metafisikawan liberal yang merasa perlu memberi argumen bagi kehendaknya untuk bersikap baik dengan memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa aku wajib menghindari sikap merendahkan orang lain?”, seorang ironis liberal hanya ingin tahu “apa yang membuat orang lain merasa terhina?” 198



Filsafat untuk Para Profesional



Mengutip Judith Shklar, bagi Rorty tolok ukur penilaian apakah seseorang itu seorang liberal atau bukan, adalah apakah ia “seseorang yang meyakini bahwa kekejaman adalah hal terburuk yang kita lakukan.” (Rorty 1989: 146).



Terkait dengan pendidikan moral yang menumbuhkan empati pada penderitaan orang lain, Rorty meyakini bahwa novel-novel karya Vladimir Nabokov dan George Orwell maupun Charles Dickens tidak kalah berpengaruh, bahkan mungkin lebih efektif menggerakkan hati daripada traktat filsafat moral yang membahas tentang nilai-nilai kemanusiaan universal ataupun imperatif kategoris model Kant yang mengikat semua manusia makhluk rasional di mana saja dan kapan saja. Solidaritas sosial tidak harus dibangun dengan telaah argumentatif tentang adanya kodrat manusia yang sama untuk semua orang atau kodrat manusia yang secara normatif bersifat universal. Karya sastra—yang secara empiris, konkret, dan kontekstual dalam sebuah kisah yang mengungkapkan realitas penderitaan manusia dengan segala keanehan, kompleksitas, dan ambiguitasnya mampu menggugah hati pembaca untuk memiliki empati terhadap penderitaan orang lain—juga dapat menumbuhkan solidaritas sosial. Nilai sastrawi karya besar di bidang sastra, menurut Rorty adalah daya kekuatannya untuk menggugah kemungkinan manusiawi baru, bukan karena apa diungkapkan itu benar, melainkan karena karya itu membuat pembacanya tergetar oleh rasa kagum dan heran bahwa hidup ini memuat suatu yang lebih daripada yang mereka bayangkan sebelumnya. (Rorty 1998b: 132-133).



Evaluasi



Mengembangkan model filsafat yang tidak melulu berorientasi teoretis-argumentatif, tetapi berorientasi praktis-naratif-hermeneutis, menggunakan bahasa yang Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



199



indah dan enak dibaca, serta dapat menggerakkan hati pembaca untuk berempati pada penderitaan orang lain, kiranya memang dapat dan perlu dilakukan. Dalam sejarah filsafat, orientasi seperti itu sebenarnya di sana sini tidak sama sekali absen. Bahkan Platon—yang dalam filsafatnya banyak menekankan kebenaran abadi, tetap dan tak berubah, hal-hal yang lebih bersifat kognitif daripada afektif—menulis tidak dalam bentuk traktat uraian yang kering, tetapi dalam bentuk dialog yang sastrawi. Para filsuf eksistensialis, seperti Kierkegaard, Sartre, G. Marcel, A. Camus menuliskan karya filosofis mereka lebih banyak dalam model yang berorientasi praktis-naratif daripada teoretis-argumentatif. Mereka juga menulis dengan gaya bahasa sastra yang kaya metafora dan bukan hanya rangkaian kalimat yang kering, analitis, dan argumentatif.



Upaya Rorty untuk menempatkan filsafat, bukan sebagai ilmu mandiri yang mengklaim diri dapat memberi fondasi rasional bagi ilmu-ilmu lain, melainkan sebagai salah satu suara saja dalam percakapan budaya umat manusia, kiranya layak disetujui. Dalam perspektif masa kini, ketika ilmu-ilmu bahasa, sastra, dan budaya amat kuat berpengaruh dalam kajian ilmu sosial, politik, dan ekonomi dalam kehidupan manusia, mengembangkan model berfilsafat yang tidak dalam model postivistik maupun analitik (= berparadigma ilmu-ilmu alam), tetapi lebih bersifat hermeneutik (= berparadigma ilmu-ilmu bahasa dan budaya) kiranya memang langkah yang tepat. Namun, menghilangkan sama sekali perbedaan kajian yang dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu (sains, filsafat, sastra, seni, agama, sosiologi, antropologi, psikologi, dan sebagainya) dan melihat bahwa semuanya itu tidak lebih sebagai sekadar perbedaan jenis literer, kiranya tidaklah tepat. Alasannya adalah karena masing-masing disiplin ilmu itu memiliki kekhasan maksud



200



Filsafat untuk Para Profesional



dan tujuan berikut sumbangan masing-masing dalam percaturan budaya umat manusia.



Dalam hal pendidikan moral, karya sastra berbentuk novel, dengan segala kekhasan, kompleksitas dan ambiguitas perilaku tokoh-tokohnya, memang punya peran dan sumbangan tersendiri dan—seperti dikemukakan Rorty—mungkin memiliki dampak yang lebih efektif mengubah sikap dan perilaku pembaca, suatu dampak yang mungkin tidak dimiliki oleh traktat filsafat moral. Namun, memandang traktat filsafat moral yang membahas berbagai teori etika normatif dan memuat diskursus argumentatif tentang mana tindakan atau perilaku manusia, peraturan ataupun kebijakan yang secara moral dapat dibenarkan dan mana yang tidak sebagai tidak lagi berguna, kiranya tidak demikian halnya. Kajian seperti itu tetap punya sumbangan tersendiri yang tidak dimiliki oleh novel. Ajakan Rorty untuk lebih mengutamakan tumbuhnya kepekaan hati terhadap orang lain yang menderita dan menolak segala bentuk kekejaman terhadap orang lain yang lebih dapat dilakukan lewat karya sastra daripada mencari dasar teoretis-filosofis yang dapat disepakati bersama, kiranya layak didukung. Etika memang pertama-tama lebih merupakan soal praktek daripada teori, tetapi menolak sama sekali perlunya berteori mungkin lebih merupakan tanda kemalasan berpikir daripada suatu yang semestinya dilakukan. a Daftar Pustaka



Brandom, Robert B. (Ed.). 2008. Rorty and His Critics, Malden, MA: Blackwell Publishing. Gander, Eric. 1999. The Last Conceptual Revolution. A Critique of Richard Rorty”s Political Philosophy. Albany, N.Y.: State University of New York Press. Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



201



Griffin, Paul F. 1991. “Chances of Being Kind: Rorty, Irony, and Teaching Modern Literature,” dalam College Literature, Vol. 18, No. 2. Literary Theory in the Classroom (Jun. 1991), hlm. 107-118. Guignon, Charles dan Richard Rorty. 2003. Contemporary Philosophy In Focus, Hiley, David. Cambridge: Cambridge University Press. Johnson, Peter. 2004. Moral Philosophers and the Novel: A Study of Winch, Nussbaum, and Rorty. New York: Pelgrave Macmillan. Kolenda, Konstantin. 1990. Rorty’s Humanistic Pragmatism: Philosophy Democratized. Tampa: University of South Florida Press. Kuhn, Thomas. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press. Leypoldt, Günter. 2008. “Uses of Metaphor: Richard Rorty’s Literary Criticism and the Poetics of World-Making,” in New Literary History, Vol. 39, No. 1, Remembering Richard Rorty (Winter, 2008), pp. 145163. Malachowski, Alan (Ed.). 1991. Reading Rorty. Oxford, UK: Basil Blackwell. Rorty, Richard (Ed.). 1967. The Linguistic Turn. Recent Essays in Philosophical Method. Chicago & London: University of Chicago Press. _______. 1979. Philosophy and the Mirror of Nature. Princeton, New Jersey: Princeton University Press. _______. 1982. Consequences of Pragmatism. Minneapolis: University of Minnesota Press. ________. 1989. Contingency, Irony, and Solidarity. Cambridge: Cambridge University Press. ________. 1991a. Objectivity, Relativism, and Truth. Cambridge: Cambridge University Press. ________. 1991b. Essays on Heidegger and Others. Cambridge: Cambridge University Press. ________. 1998a. Truth and Progress. Cambridge: Cambridge University Press. ________. 1998b. Achieving Our Country. Cambridge, MA: Harvard University Press. ________. 1999. Philosophy and Social Hope. London: Penguin Books. ________. 2007. Philosophy as Cultural Politics. Cambridge: Cambridge University Press. Rockmore, Tom (1993). “Philosophy, Literature, and Intellectual Responsibility,” in American Philosophical Quarterly. Vol. 30, No. 2 (Apr., 1993). pp 109-121. 202



Filsafat untuk Para Profesional



Rorty, Richard and Engel, Pascal (2007) What’s the Use of Truth? New York: Columbia University Press. Saatkamp, Jr, Herman J. (Ed) (1995) Rorty & Pragmatism. The Philosopher Responds to His Critics. Nashville & London: Vanderbilt University Press. Tartaglia, James (2007), Guidebook to Rorty and the Mirror of Nature. London: Routledge. Weston, Michael (2004), Philosophy, Literature, and the Human Good. London & New York: Routledge.



Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



203



10



Heidegger dan Para Pensiunan F. Budi Hardiman



U



sia harapan hidup manusia Indonesia, katakanlah, 70 tahun. Jika pendidikan berjalan mulus, 18 tahun habis oleh pendidikan sejak Taman Kanak-kanak sampai Sarjana Strata 1, jika sampai Sarjana Strata 3 menjadi kira-kira 25 tahun. Jika tidak ada halangan, misalnya, karena kegagalan cinta, kecelakaan atau hal-hal tidak efisien lainnya, waktu yang dihabiskan untuk kegiatan profesional—jika Anda pensiun di usia 55 tahun—adalah sekitar 25 tahun, tetapi untuk profesi akademis bisa diperpanjang sampai 35 tahun. Seandainya di usia 65 Anda pensiun, Anda punya waktu 5 tahun (untuk akademikus) atau 15 tahun (untuk profesi lain) untuk menikmati masa pensiun, yaitu jika 70 tahun adalah tepi kehidupan. Apakah makna 5 atau 15 tahun itu untuk seluruh hidup? Mengapa kegiatan nonprofesional itu bermakna untuk kegiatan profesional dan bahkan kegiatan pra-profesional sebelumnya? Seorang senior yang saya hormati dan yang sudah memasuki masa pensiun pernah menulis sesuatu yang menarik tentang masa pensiunnya dari sebuah penerbit terkenal kepada saya. “Yah, saya mencoba menikmati hidup..,“ tulisnya, ”Ternyata usia merangkak terus tak terasa... Asal dinikmati hidup kan indah. Asal bisa menemukan



204



dan memiliki cara pandang dunia yang tepat. Berfilsafat dan beriman rasanya baru sekarang dinikmati, walau pengalaman hidupku banyak misteri dan surprise (termasuk yang negatif, di luar ekspektasi, unpredictable, untouchtable, dan untoughtable maupun menyesakkan).” Cermati frasefrase khas, seperti: “menikmati hidup”, “merangkak terus tak terasa”, “cara pandang dunia yang tepat” dan “misteri dan surprise”. Saya sebut “khas”, karena frase-frase seperti itu hanya dapat dihasilkan oleh seseorang yang mengambil jarak terhadap hidupnya sendiri. Pengambilan jarak seperti itu khas pada seseorang yang berada dalam masa pensiun. Tentu ada semacam keterjagaan yang disembunyikan frase “merangkak terus tak terasa”. Setelah bertahun-tahun kegiatan profesional, ia terjaga bahwa waktu tidak tak terbatas. Keterjagaan seperti itu khas untuk suatu kesadaran akan tepian waktu.



Jika ada masa dalam kehidupan manusia yang di dalamnya manusia dianugerahi kesempatan untuk mengumpulkan kembali kehidupannya, seperti—kata Hegel—burung hantu Minerva yang melanglang buana seusai semua orang bekerja, masa itu adalah masa pensiun. Dalam arti ini masa pasca profesional ini adalah masa yang paling filosofis, bisa juga paling teologis dan paling metafisis daripada masa-masa lain dalam kehidupan seorang manusia, seperti tulis senior saya tadi: “Berfilsafat dan beriman rasanya baru sekarang dinikmati”. Jika demikian, apa hubungan antara Heidegger dan para pensiunan? Filsafat mana yang cocok untuk para pensiunan tentu tergantung dari para pensiunan itu sendiri, tetapi menurut saya, filsafat yang cocok untuk mengumpulkan kembali kehidupan adalah filsafat Heidegger. Heidegger tidak menulis tentang para pensiunan, tetapi dia mempunyai cukup ide yang bermanfaat untuk para pensiunan. Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



205



Sekilas tentang Martin Heidegger Heidegger tidak berpikir tentang hal-hal khusus, seperti kebanyakan filsuf Barat, melainkan tentang kenyataan sebagai keseluruhan, yaitu tentang Ada. Pemikiran tentang Ada itu termasuk cabang filsafat yang disebut metafisika atau ontologi. Dalam rangka berpikir tentang Ada itu dia, dalam bukunya yang termasyhur, Sein und Zeit (Ada dan Waktu, 1927), yakin dapat memahami makna Ada lewat manusia yang disebutnya Dasein, tetapi keyakinan itu berubah, dan terjadilah die Kehre, pembalikan dalam pemikiran Heidegger. Di dalam usia tuanya Heidegger menulis buku Beitrage zur Philosophie (Vom Ereignis) (Kontribusi-kontribusi untuk Filsafat [Tentang Peristiwa], 1936-1937), salah satu buku penting yang menandai apa yang disebut die Kehre itu. Di situ dia berpikir bahwa Ada dapat ditangkap tanpa perantaraan manusia, karena Ada itu tidak tersembunyi dan membuka diri. Pembukaan ini hanya untuk menunjukkan bahwa pemikiran Heidegger cukup misterius dan menantang. Bagaimana kehidupannya?



Ada tiga hal yang dikenali pembaca bila bicara tentang Heidegger. Dia metafisikus besar abad ke-20. Dia terlibat Nazi. Dia selingkuh dengan mahasiswinya, Hannah Arendt. Hal pertama adalah biasa dalam filsafat, tetapi dua hal terakhir di luar filsafat, dan mungkin di usia tuanya Heidegger kerap ditanyai soal itu oleh wartawan. Dia memang bungkam. Tentang filsafat dia bicara, tetapi tentang keterlibatan privat dan politisnya dia tak bicara. Mungkin— ini dugaan saja—hal itu menggenapi perkataannya sendiri, “Dia yang memikirkan pemikiran-pemikiran besar sering membuat kekeliruan-kekeliruan besar”. Perkataan itu tak hanya menegur penulisnya, tetapi juga para pensiunan. Dia yang mengerjakan bisnis-bisnis besar sering membuat kekeliruan-kekeliruan besar.



206



Filsafat untuk Para Profesional



Sosok ini sederhana dan berpenampilan seperti petani Jerman. Lahir di kota kecil Meβkirch dekat Freiburg i.B., Heidegger besar di keluarga Katolik Roma yang saleh. Dia mendapat beasiswa dari Gereja karena bakat intelektualnya luar biasa. Bahkan dia sempat menjadi novis Yesuit. Salah satu hal lain yang perlu dikatakan: Heidegger kemudian memutuskan hubungan dengan apa yang disebutnya “sistem” Gereja Katolik. Menjadi ateiskah dia? Sulit mengatakan itu. Di usia tua dia kerap berdoa. Perhatiannya atas teologi Kristiani juga kuat. Membacanya, bahkan orang bisa dibawa ke pertanyaan, apakah ateisme setelah Heidegger masih mungkin, jika pemikiran tentang keseluruhan itu sebuah —begini sebutannya— “onto-teologi”. Pengaruh orang ini besar sekali. Sulit melewatkan pemikirannya, jika Anda mau memahami pikiran penulis-penulis, seperti: Foucault, Sartre, Derrida, Caputo, Zizeck, Bultmann, Gadamer, dan lain-lain. Dia membuka pintu perkembangan bagi tiga aliran besar: fenomenologi, hermeneutik kontemporer, dan pasca strukturalisme.



Lalu, bagaimana orang sehebat Heidegger dikaitkaitkan dengan para pensiunan. Beberapa pensiunan menikmati hari tua yang memuaskan, bahkan ada yang tetap produktif. Namun, banyak yang merasa tidak dapat berproduksi lagi. Hidupnya terasa tidak lagi berarti. Banyak pensiunan yang lalu kesepian karena ditempatkan di dalam rumah-rumah perawatan ataupun rumah-rumah senior. Sebegitu pentingkah mereka sehingga perlu dikaitkan dengan Heidegger? Jika mengingat perkatakaan senior saya di atas, “Berfilsafat dan beriman rasanya baru sekarang dinikmati”, saya pikir tak ada masa lain dalam hidup kita yang paling cocok untuk mendapat tilikan Heidegger selain masa pensiun. Tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Heidegger cocok untuk para pensiunan saja. Orang Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



207



muda banyak yang mempelajarinya, dan mungkin orang tua malah sulit mencernanya. Jika saya membicarakan Heidegger di sini untuk para pensiunan, itu karena banyak inspirasi Heidegger dapat membantu para pensiunan untuk memahami diri mereka dalam masa pensiun itu. Saya akan memilih beberapa gelintir ide saja.



Menjadi Otentik



Dalam karyanya, Sein und Zeit, Heidegger berpikir tentang hal-hal yang kita alami sehari-hari, tetapi dengan cara yang mendalam. Dia, misalnya, merenungkan kesibukan (Besorgen) dan hubungannya dengan pencarian makna hidup kita. Dia mulai dengan sebuah pembedaan yang terkenal dalam filsafat, yaitu “perbedaan ontologis” antara “Ada” (Sein) dan “mengada” (Seiendes). Yang kita jumpai sehari-hari adalah ”mengada”, yaitu hal-hal seperti: bendabenda, orang-orang, pikiran-pikiran kita, dan seterusnya. Jadi, masyarakat, ekonomi, politik, kebudayaan, dan juga alam semesta ini adalah ”mengada”. Kita bisa melihat atau merasakan mereka. Yang tidak tampak adalah sesuatu yang menopang keberadaan mereka semua. Yang tidak tampak itu adalah ”Ada”. Perbedaan ontologis ini terkait erat dengan apa yang dimaksud Heidegger dengan hidup yang otentik.



Menurut Heidegger cara berada kita di dunia ini bisa otentik atau inotentik. Kata ”otentik” berarti ”asli”, ”sesuai jati diri”, ”tulen”. Emas 24 karat itu otentik, tetapi campuran logam lain di dalamnya membuatnya inotentik. Bagaimana dengan manusia otentik? Hal itu bisa dijelaskan dengan perbedaan ontologis di atas. Manusia otentik itu adalah seseorang yang tidak diombang-ambingkan oleh hubungannya dengan ”mengada-mengada”, melainkan berhubungan dengan ”Ada”. Saya sudah bisa membayangkan reaksi pembaca atas kalimat baru saja. Tidak mudah mencernanya. Tapi



208



Filsafat untuk Para Profesional



mari kita masuk agak rinci. Heidegger menyebut manusia Dasein yang artinya “berada-di-sana”. Maksud “di-sana” itu adalah. pertama, bahwa bagaimanapun manusia adalah dirinya sendiri, tak tergantikan oleh yang lain, dan kedua, bahwa ia ”terlempar” ke dunia ini (maka ”berada-di-sana”), yakni ia tidak tahu dari mana dan ke mana dalam hidupnya. Aslinya manusia adalah: Dia ada begitu saja (tanpa alasan atau tujuan); ia bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, karena apa dan siapa mengandaikan alasan dan tujuan. Bayangkan Anda sadar bahwa Anda sebenarnya tidak punya alasan dan tujuan untuk berada. Aslinya, Anda itu bukan apa-apa dan bukan siap-siapa. Pastilah bayangan horor itu menimbulkan rasa cemas yang mendasar. Memang menjadi otentik terkait dengan perasaan macam itu. Mengapa? Karena Anda behubungan langsung dengan ”Ada” Anda, yaitu keterlemparan ke dunia ini. Jika aslinya begitu, bagaimana yang tidak asli atau inotentik? Tentu saja kita tidak mau hidup cemas terus dengan menyadari bahwa kita ada begitu saja tanpa alasan dan tujuan. Kita juga tak mau tetap bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Maka itu kita sibuk mengurus ini dan itu, dan urusan-urusan sehari-hari, seperti kegiatan-kegiatan profesional kita di kantor, sedikit banyak membuat kita lupa akan kecemasan dasariah itu dan merasakan bahwa hidup ini memiliki makna. Makna yang kita peroleh dari profesi kita itu, misalnya, pengakuan, pendapatan atau kedudukan, lalu kita anggap sebagai makna hidup kita. Jika Anda arsitek ternama yang telah mengerjakan banyak bangunan, Anda boleh berkata, siapa Anda, lalu mendaftar prestasi Anda dalam CV Anda. Akan tetapi, menurut Heidegger makna yang dihasilkan lewat kesibukan itu tidak otentik. Anda tidak cemas lagi dan mulai lupa bahwa Anda sebenarnya Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



209



terlempar ke dunia, yaitu ada begitu saja, bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.



Selain kesibukan profesional, ada hal-hal lain yang membuat Dasein tidak otentik: menjadi tukang gosip, penasaran atas urusan orang lain, mengikuti kata orang. Saat makan siang di kantin kantor, kawanan penggosip mulai aksi mereka, lalu Anda nimbrung, dan pada saat yang sama Anda menikmati bahwa kekurangan ini atau itu bukan menyangkut diri Anda, melainkan orang lain. Anda senang bahwa Anda lebih baik daripada orang yang digosipkan dan hidup Anda lebih mulia daripadanya. Rasa bermakna mulai tumbuh dalam diri Anda, lalu Anda mulai lupa bahwa aslinya Anda itu bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, yaitu ada begitu saja. Tanpa disadari Anda menjadi bagian dari kerumunan atau opini umum saja yang oleh Heidegger disebut das Man (orang). Dewasa ini banyak hal yang menggoda untuk menjadi inotentik, salah satu adalah media atau opini umum. “Kita menikmati dan memuaskan diri, seperti orang menikmati; kita membaca, melihat dan menilai kesusastraan dan kesenian, seperti orang melihat dan menilai; kita menarik diri juga dari ‘kerumunan’, seperti orang menarik diri; kita merasa ‘terhina’ atas apa yang orang rasakan menghina”, demikian tulis Heidegger.



Lalu, apa kaitan otentik dan inotentik itu dengan para pensiunan? Kalau kita cermati baik-baik, para pensiunan adalah orang-orang yang telah menarik diri mereka dari kesibukan profesional. Tentu mereka masih bisa tetap sibuk sehingga tidak sama sekali lepas dari kesibukan. Akan tetapi menarik diri dari kesibukan itu memungkinkan kita untuk melihat profesi dan maknanya dengan lebih jeli daripada ketika kita terlibat di dalamnya. Rasa bermakna membahagiakan para pensiunan. Mereka bisa berkata kepada anak cucu dan orang-orang lain: “Dulu saya



210



Filsafat untuk Para Profesional



adalah seseorang”. Para pendengarnya kagum akan dia, dan kekaguman menambahinya dengan rasa bermakna bahwa mereka pernah seseorang dan mungkin juga masih seseorang, sekurangnya bagi para pendengar mereka saat ini. Namun menurut Heidegger, kalau bukan hasil kesibukan yang telah lewat, rasa bermakna itu merupakan hasil celotehan para pensiunan tentang masa silam mereka. Penceloteh sama tidak otentiknya dengan aktivis kantor.



Pensiunan otentik berbeda dari pensiunan inotentik. Mereka melihat ke belakang dan menemukan diri mereka bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, lalu melihat ke keadaan mereka sekarang dan menemukan bahwa mereka bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Hal ini membuat mereka cemas, tetapi kecemasan itu memberitahu mereka sesuatu: makna yang mereka raih lewat profesi itu bukan hal yang begitu penting sehingga mereka pernah mengejarnya. Makna itu luruh bersama waktu ketika tidak lagi dibicarakan. Mereka pernah bukan seseorang, lalu menjadi seseorang dan sekarang tidak lagi seseorang. Dinamika ini menurut Heidegger menimbulkan kecemasan eksistensial karena para pensiunan dihadapkan pada keterlemparan diri mereka sebagai Dasein justru di masa pensiun mereka. Akan tetapi menurut saya (bukan menurut Heidegger), yang otentik bukan hanya kecemasan eksistensial, melainkan juga rasa syukur. Dapat menyadari diri lagi sebagai bukan seseorang menimbulkan sikap rendah hati kepada Sang Pemberi Hidup dan bersyukur bahwa mereka dari bukan seseorang pernah menjadi seseorang.



Memaknai Krisis Hidup



Para pensiunan adalah mereka yang telah merasakan manis pahitnya kehidupan dan profesi mereka. Mereka biasanya suka menceritakan sukses-sukses dan kegagalanBauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



211



kegagalan mereka kepada orang-orang muda. Mungkin dengan cara itu merka mau mewariskan nilai-nilai kepada generasi selanjutnya atau juga meyakinkan diri mereka sendiri bahwa tak perlu menyesali yang sudah. Boleh dikatakan, masa pensiun adalah masa yang paling matang untuk merenungkan perjalanan kehidupan. Senior saya itu berkata: “Pengalaman hidupku itu banyak misteri dan surprise”, lalu dia menambahi keterangan dalam kurung untuk surprise itu (termasuk yang negatif, di luar ekspektasi, unpredictable, untouchtable, dan unthoughtable maupun menyesakkan). Yang bisa mengatakan hal seperti ini hanya seorang yang telah mampu membuat rekapitulasi perjalanan kehidupannya, dan para pensiunan berada dalam posisi tersebut.



Menurut Heidegger, Dasein yang terlempar itu memahami (Verstehen) keterlemparannya dan termasuk dalam memahami itu adalah memproyeksikan kehidupannya (Entwurf). Mengapa bisa begitu? Karena manusia itu terarah ke masa depan. Ia adalah keterbukaan (Erschlossenheit). Jadi, proyeksi itulah yang memaknai eksistensinya. Kehidupan tidak berjalan mulus. Kadang terjadi krisis hidup, seperti misalnya dipecat dari pekerjaan, perceraian, atau gagal dalam bisnis. Dalam krisis hidup menurut Heidegger kita mengalami secara otentik keterlemparan kita kembal, karena makna-makna yang terkait kesibukan profesional itu seolah luruh dalam krisis, sehingga yang tersisa adalah kesadaran bahwa kita ini bukan apa-apa dan bukan siapasiapa. Krisis hidup dialami sebagai keterlemparan pada saat krisis itu terjadi. Jika Anda masuk ke dalam masa pensiun, keterlemparan itu sudah ada di belakang, yaitu untuk direnungkan. Pensiunan mengambil kembali (Wiederholen) apa yang lewat itu dalam kenangan, dan itulah masa silam



212



Filsafat untuk Para Profesional



secara eksistensial. Waktu bukan kronometer, seperti arloji atau kalender, melainkan penghayatan eksistensial kita. Krisis hidup dalam kenangan tentu berbeda dari krisis hidup yang sedang dialami. Pensiunan juga memiliki hal itu. Jika demikian, dia sedang mengalami dan bukan mengenang keterlemparan, yaitu menyadari diri bukan seseorang.



Pensiunan merasa jemu dengan keadaan tanpa kerja atau menyadari diri tidak lagi berkontribusi untuk orang lain. Stimmung (suasana hati) terlempar ini dapat ditanggapinya dengan ketetapan hati, misalnya, untuk mengisi masa pensiunnya dengan kegiatan advokasi, dengan aktif dalam kegiatan keagamaan, atau dengan mendaftar menjadi anggota parlemen. Ketetapan hati ini juga adalah momen waktu, yaitu kekinian eksistensial (Augenblick). Praktis, kekinian memaknai masa pensiunnya. Jika begitu, para pensiunan harus lebih menghayati kekinian, dan meski kesilaman membantu memaknai hidupnya, pensiunan tidak akan lepas dari keterlemparannya sekarang dengan mengenang keterlemparannya di masa lalu. Keterlemparan itu harus ditanggapi dengan ketetapan hati. Itulah sebabnya, mengapa masa pensiun bukan saat untuk menyesali yang lewat, melainkan saat untuk membuka peluang-peluang baru secara berbeda dari masa profesional. Perbedaan penting di sini adalah bahwa sementara masa profesional seolah membenamkan seseorang ”di dalam” waktu, sehinga ia kurang sadar akan kemewaktuan (Zeitlichkeit) dirinya, masa pensiun memungkinkan seseorang lebih intensif menghayati diri sebagai makhluk yang mewaktu.



Tetap Merupakan Kemungkinan



“Ternyata usia merangkak terus tak terasa”, demikian kata senior saya. Senior saya tak seorang diri dalam menghayati betapa cepatnya waktu berjalan. “Waktu usia Bauman untuk Turis, Peziarah, dan Pengembara



213



40-an waktu berjalan biasa, tetapi masuk 50-an rasanya cepat sekali”, saya dengar ini dari orang lain yang masih punya posisi tinggi di sebuah perusahaan. Apa itu waktu? Pertanyaan seperti ini mungkin kerap timbul di benak para pensiunan. Membaca Heidegger, para pensiunan malah dibuat makin gelisah dengan soal waktu ini. Kalau saja semua penunjuk waktu, seperti arloji, kalender, matahari, dan seterusnya diabaikan, apakah yang sebenarnya waktu itu? Waktu yang ditunjuk oleh kronometer bagi Heidegger adalah waktu vulgar, bukan waktu sesungguhnya. Waktu sesungguhnya dialami, bukan diukur, dan itu adalah diri kita sendiri. Para pensiunan yang tidak lagi sibuk mengalami kebosanan karena sudah sedikit variasi hidupnya. Kebosanan adalah waktu. Beberapa di antara mereka melihat ke depan dengan gelisah, misalnya, menunggu perkawinan anak bungsu mereka. Menunggu adalah waktu. Tapi, di manakah sebenarnya ujung pengalaman waktu ini? Di mana tepi waktu?



Heidegger menjelaskan bahwa Dasein itu kemungkinan belaka atau—begini istilah Jermannya—Seinkönnen (= can be). Manusia memiliki potensi untuk menjadi dirinya sendiri. Artinya, perjalanan hidup dan karier profesional seseorang merupakan bagian dari perwujudan untuk menjadi dirinya sendiri. Tentu ada batas perwujudan diri itu. Tapi di manakah batasnya? Batasnya tentu saja ditemui tidak di hal lain selain ketika perwujudan diri itu berhenti dan kemungkinan tidak lagi merupakan kemungkinan, melainkan kesudahan kemungkinan. Selama manusia hidup, ia adalah kemungkinan, karena kita tidak dapat memastikan akan menjadi apa dia. Namun ketika dapat dipastikan dia itu apa, dia tidak lagi memiliki kemungkinan untuk menjadi, maka manusia sudah berakhir. Akhir eksistensi manusia inilah tepian waktu. Tapi siapa dapat memastikan bahwa 214



Filsafat untuk Para Profesional



tepian waktu itu 70 tahun menurut waktu vulgar? Tak dapat ditentukannya tepi waktu menunjukkan bahwa tepi waktu itu selalu membayangi hidup manusia. Heidegger menyebut manusia Sein-zum-Tode, (Berada-menuju-kematian). Jadi, sebetulnya, ketika manusia lahir, ia sudah dibayangi akhirnya. Kematian adalah waktu otentik.



Para pensiunan dibuat gelisah oleh bayangan tentang akhir, apalagi sebuah akhir yang kosong. Yang mereka cemaskan sebenarnya bukan kematian (karena hal ini sudah pasti akan tiba), melainkan berakhirnya kemungkinan. “Kecemasan akan kematian” begini tulis Heidegger, ”adalah kecemasan ‘akan’ kemungkinan yang menjadi miliknya sendiri, yang tak dapat diakses orang lain dan yang dapat hilang”. Para pensiunan tahu bahwa waktu mereka akan berakhir, dan mungkin kematian yang pasti datang ini tidak menimbulkan rasa cemas, tetapi pengetahuan bahwa dengan cara itu mereka tidak lagi memiliki kemungkinan untuk berubah sangatlah menggelisahkan. Jika demikian, mereka memang tidak perlu tunduk pada bayang-bayang akhir karena selama mereka menikmati masa pensiun, mereka masih adalah Seinkönnen, kemungkinan. Justru karena manusia adalah Sein-zum-Tode, ia selalu merupakan kemungkinan sampai kemungkinan itu hilang. Kecemasan akan akhir kemungkinan dapat diatasi dengan menjalani masa pensiun sebagai perwujudan kemungkinannya sendiri. Para pensiunan yang tetap menjalani kemungkinan, yaitu aktif mengisi waktu dengan kegiatan sosial-karitatif, dengan kegiatan pendidikan, dengan menulis buku, kurang cemas daripada mereka yang hanya tahu bahwa pada akhirnya kemungkinan itu akan hilang. Cukup banyak pensiunan membuat gerakan-gerakan sosial yang mengubah mindset masyarakatnya. Mereka berkontribusi besar justru di masa pensiun, karena dalam Heidegger dan Para Pensiunan



215



masa inilah mereka menjadi visioner, bukan dalam arti bahwa mereka, seperti remaja-remaja, masih bermimpi tentang yang belum terwujud, melainkan dalam arti bahwa mereka mendorong orang-orang muda untuk berani bermimpi. Seorang pensiunan yang visioner adalah seorang yang berani menghayati hidup sebagai kemungkinannya sendiri, dan tetap sebagai kemungkinan sampai tepian waktu itu tiba. Dalam arti ini tepi waktu bagi seorang pensiunan yang visioner tidak kosong, melainkan justru suatu kepenuhan eksistensial karena ia tidak sekadar menunggu saat itu, melainkan menjalaninya dengan ketetapan hati.



Memukimi Bumi



Kapan kita menyadari sepenuh-penuhnya bahwa kita memukimi bumi? Saya kira, kesadaran itu tidak kita miliki saat kita tenggelam dalam kesibukan profesional kita. Banyak profesional sibuk dengan profesinya, tetapi tidak punya waktu untuk menginsyafi bahwa bumi ini rumah kita semua. Di tengah-tengah kemacetan Jakarta, misalnya, matahari di ufuk Timur sebenarnya sudah merupakan tanda kosmis bahwa kita memukimi bumi, tetapi para pengendara itu —kebanyakan profesional—sibuk dengan agenda kerja di kepalanya atau mata mereka hanya tertumbuk pada mobil di depan. Jarang yang merenung di jalan tol bahwa matahari adalah tanda kosmis bahwa kita ini memukimi bumi. Bahkan seorang aktivis lingkungan hidup yang berbicara tentang perlunya menjaga bumi sebagai tempat tinggal kita belum tentu sampai pada kesadaran itu sebagai miliknya sendiri. Mengapa? Karena yang dipikirkan adalah bumi sebagai problem, bukan sebagai tempat berada dirinya sendiri.



Kesadaran bahwa kita memukimi bumi berkaitan erat dengan kesadaran bahwa kita adalah makhluk fana. Di



216



Filsafat untuk Para Profesional



dalam tulisannya Bauen Wohnen Denken (Membangun Memukimi Berpikir), Heidegger menulis: “Menjadi manusia berarti berada di atas bumi sebagai sesuatu yang fana. Hal itu berarti bermukim”. Justru karena kita menyadari diri fana kita menyadari memukimi bumi. Sulit kita sampai pada kesadaran akan mortalitas kita sendiri. Bila kita selalu sibuk dengan profesi kita, kesibukan profesional juga menghalangi kesadaran bahwa kita memukimi bumi. Jika demikian, dapatkah mengatakan bahwa masa yang paling berpeluang bagi kita untuk menyadari bahwa kita memukimi bumi adalah masa pensiun? Sulit untuk menjawab dengan tidak. Mengapa? Karena ketika menarik diri dari kesibukan profesional, para pensiunan berpeluang besar untuk merenungkan kesementaraan hidup ini. Artinya, mereka sadar memukimi bumi. Bila demikian, masa pensiun adalah masa yang (seharusnya) paling sadar ekologis. Heidegger merenungkan kesadaran ekologis itu sebagai sesuatu yang ”metafisis” atau—mungkin lebih tepat— ”religius”.



Bermukim berkaitan dengan membangun. “Kita tidak bermukim karena kita telah membangun,” begitu tulis Heidegger,” melainkan kita membangun dan telah membangun karena kita bermukim, yakni, karena kita adalah pemukim-pemukim.” Bermukim itu mendahului rumah yang kita mukimi. Bukankah pengertian ini berkebalikan dengan pengertian lazim? Lazimnya, kita membangun rumah dulu, baru tinggal di dalamnya. Lalu apa maksud Heidegger? Mungkin maksudnya begini: Hanya makhluk yang bermukim dapat membangun rumah. Jadi, yang lebih primordial dari rumah adalah bumi, karena manusia sebagai makhluk fana sudah selalu memukimi bumi (dalam teori evolusi, goa), dan baru kemudian membangun rumah, gedung, hotel, resort, dan seterusnya. Dalam Sein und Zeit sudah dikatakan bahwa Dasein itu berada-di-dalam-dunia (In-der-Welt-Sein). Heidegger dan Para Pensiunan



217



Kata “di dalam” itu memukimi. Heidegger mengartikan ”memukimi”atau ”bermukim” (Wohnen) sebagai “tinggal damai di dalam yang bebas, yang menyimpan, lingkup bebas yang melindungi setiap hal dalam hakikatnya”.



Jika tidak dilewatkan begitu saja karena keteledoran, masa pensiun adalah masa yang paling berpeluang untuk menikmati “tinggal damai” itu, yakni bermukim “di atas bumi”. Kalau dikatakan bahwa kita ini tinggal di atas bumi, itu berarti juga bahwa kita berada “di bawah langit”. Jika dikatakan bahwa kita ini “di atas bumi” dan “di bawah langit” berarti bahwa kita “tinggal di hadapan keilahian”. Jadi, ada empat hal yang menurut Heidegger dapat dipahami sebagai ketunggalan, suatu catur-tunggal, yakni: bumi, langit, keilahian, dan makhluk-makhluk fana. “Makhluk-makhluk fana bermukim dengan menerima langit sebagai langit...Makhluk-makhluk fana bermukim dengan menantikan keilahian sebagai keilahian...Makhluk-makhluk fana bermukim dengan memulai hakikat hakiki mereka sendiri —kemampuan mereka untuk mati sebagai mati— menjadi pemakaian dan praktik kemampuan ini, sehingga mungkinlah ada sebuah kematian yang baik”. Saya kira, mereka yang menarik diri dari kesibukan profesional tahu lebih baik catur tunggal ini daripada mereka yang masih bersibukan. Dalam masa pensiun, orang dimungkinkan tidak hanya untuk memaknai krisis-krisis hidup yang telah dilewati, melainkan juga untuk menempatkan diri sebagai pemukim bumi di bawah langit dan di hadapan keilahian sebagai makhluk yang fana. Dalam arti ini, di masa pensiun dimensi eksistensial, ekologis, kosmologis, dan religius memuncak. Barangkali —ini tafsiran saya— para pensiunan adalah mereka yang telah sanggup berkata ya terhadap kehidupan. Karena itu kita, orang-orang yang masih bergerak bersama



218



Filsafat untuk Para Profesional



roda profesi kita masing-masing, akan banyak belajar dari para pensiunan yang sanggup berkata: ”Ya, saya bersyukur dengan kehidupan saya”, karena kalimat itu menunjukkan keinsyafannya yang mendasar bahwa mereka memukimi bumi sebagai makhluk-makhluk fana. Dari mereka, kita, para profesional, belajar untuk ikhlas dalam kehidupan dan profesi kita. a



Heidegger dan Para Pensiunan



219



A



Indeks



Academia 34, 35 Achieving Our Country 195, 202 “ada bagi” 154, 155, 156, 157 ada-dalam-dunia 125, 131 “ada sebelum” 156 adiaphorization 166, 167, 168 Adorno, Theodor W. 103 Agustinus 170, 227 Aigner, Etienne 89, 90 An Essay on Liberation 105, 122 anosognosia 130, 131 anthropotheisme 65 Aquinas, Thomas 170 Arendt, Hannah 206 arete viii Aristophanes 30 Aristoteles 11, 16, 19, 29, 30, 31, 35 Armani, Giorgio 89, 90 ataraxia 38, 39, 47, 49



B



Bauman, Zygmunt v, ix, 144, 145, 146, 148, 149, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 170, 171, 172, 174, 175, 176, 177, 178 Beitrage zur Philosophie (Vom Ereignis) 206 Bergson, Henri 125 Bernstein 195



Black Boy 196 Brandom 195, 201 Broad 189 Buber, Martin 156, 158 Bultmann, Rudolf 207 busur intensional 135



C



Camel, Joe 100 Camus, Albert 200 Capitalists and Conquerors: A Critical Pedagogy Against Empire 100 Caputo 207 caritas 46 Carman, Taylor 128, 136, 142 Carnap, R. 182, 190 Chaerestrate 34 Cicero 46 Consequences of Pragmatism 189, 202 Contingency, Irony, and Solidarity 180, 194, 202 Counterrevolution and Revolt 106, 122 Cynics 35, 46



D



Darsono, Hary 89 Darwin, Charles 63, 192, 193 Dasein 206, 209, 210, 211, 212, 214, 217 Davidson, D. 186, 189, 195 Da Vinci, Leonardo 84 Indeks



221



de-erotisasi 117, 119, 120 Derrida, Jacques 180, 181, 185, 196, 207 Descartes 128, 133, 155, 187, 188, 189 desublimasi 116, 117, 119 Dewey, John 183, 184, 187, 192, 193, 195 Dickens, Charles 196, 199 die Kehre 206 Dillon, M.C. 141, 142 dimensi afirmatif 108 dimensi negatif 108, 110 Dolce & Gabana 90 Douglas, Mary 146 Duhem, P. 186 Durkheim, Emile 82, 167



E



Empedokles 16 Engels, Friedrick 62, 63, 66, 70, 72 Epicurean 37, 40, 44, 46, 48, 49 Epicureanisme 35, 36, 37, 39, 43, 47 epiekeia 46 Epikuros v, ix, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 170 epithumia 21, 26, 27, 28, 29, 31, 32 Eros and Civilization 104, 105, 122 Essays on Heidegger and Others 194, 202 Ethika Nikomaxeia 19, 31 Éthique et Infini, Dialogues avec Philippe Nemo 178 eudaimonia 35, 38 Euripides 30 222



Filsafat untuk Para Profesional



F fenomenologi asali 127 Feuerbach, Ludwig Andreas v, ix, 59, 60, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 73, 74, 75, 76, 77 Fichte 51 Fisher, Michael 181 Flaubert, Gustave 196 Foucault, Michel 151, 171, 207 Frege 189 Freud, Sigmund 73, 104, 115, 116, 122



G



Gadamer 185, 193, 207 Galliano 91 Garavani 91 Gedanken über Tod und Unsterblichkeit 60 Gelb, Adhémar 133 Goldstein, Kurt 133



H



Haack, Susan 195 Habermas, Jürgen 55, 152, 153, 176, 195 Hall 195 Hartshorne, Ch. 182, 195 Hegel, Georg Wilhelm Friedrich v, ix, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 63, 65, 102, 103, 108, 117, 122, 193, 196, 205 Heidegger v, ix, 102, 103, 125, 142, 156, 157, 158, 178, 185, 187, 193, 194, 196, 202, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 214, 215, 217, 218



Herakleitos 19 Herakles 9 Hippothales 8, 9, 10, 12 Hobbes, Thomas 166 Hölderlin 51, 196 Homeros 188 Horkheimer 103 Hugo, Victor 196 Husserl, Edmund 102, 103, 124, 126, 129, 132, 142, 189, 191



I



inotentik 208, 209, 210, 211



J



Jacob, Marc 89 James, William 183, 189 Johansson, Scarlett 141 Jordan, Michael 100 Joyce, James 196



K



Kantianisme 125, 168, 169, 170 Kant, Immanuel 51, 171, 187, 189, 191, 194, 199 kebutaan angka 134 kebutuhan palsu 101, 113, 114, 115, 119, 121, 122 kebutuhan yang sebenarnya 113, 115, 121 Kierkegaard 200, 230 Kluckhohn 167 Körper 132 Kreslawsky, Gertrude 102 Kronos 9 Ktesippos 9 Kuhn, Thomas 184, 185, 190, 202 Kundera, Milan 196, 197, 198



L Laertius 34, 37, 40, 42, 43, 45, 49, 50 Legislator and Interpreters 178 Leib 132 Les Miserables 196 Levinas 153, 155, 158, 159, 160, 163, 164, 165, 166, 172, 173, 174, 175, 177, 178, 179, 230 Life in Fragments 178 Locke, John 93, 171, 187, 189 logistikon 21, 26, 27, 28, 31 LÖW, Bertha 60 Lyceum 35 Lynch 195 Lysis 1, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 227



M



MacIntyre, A. 121 Malinowski 167 Marcel, Gabriel 125, 156, 158, 196, 200 Marcuse, Carl 102 Marcuse, Herbert v, ix, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122 Marx, Karl v, 51, 52, 57, 58, 59, 61, 62, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 76, 77, 78, 79, 80, 92, 102, 103, 105, 107, 108, 172, 179 Mathilde 60 Mazhab Frankfurt 107 McKeon, R. 182 Indeks



223



McLaren, Peter 100, 122 Menexenos 12, 15 Merleau-Ponty, Maurice v, ix, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143 Metaphysical Journal 125 Mill, John Stuart 171 Modernity and Holocaust 178 motilitas 135, 136



N



Nabokov, Vladimir 196, 199 Neocles 34 Neue Quellen zur Grundlegung des Historischen Materialismus 103 Nietzsche 73, 170, 171, 185, 189, 196



O



Objectivity, Relativism, and Truth 194, 202 One-Dimensional Man 100, 101, 104, 105, 107, 108, 112, 118, 122 On The Origin of Species by Means of Natural Selection 63 opium pelarian 77 Orwell, George 196, 199 otentik 92, 156, 208, 209, 210, 211, 212, 215



P



parresia 46 pemikiran objektif 126, 127, 128, 131 pengalaman pra-konseptual 127



224



Filsafat untuk Para Profesional



pengalaman pra-predikatif 127, 129 pengalaman pra-reflektif 124, 125, 126 pengembara ix, 150, 152, 162, 177 perspektif ragawi 139, 140 peziarah ix, 161, 176 Phaedro 173, 179 phantom limb 130, 131 Phenomenology of Mind 52, 57 Phenomenology of Perception 125, 126, 127, 128, 129, 130, 134, 136, 139, 142 philia 7, 8, 12, 13, 16, 25, 26, 28 Philosophical Investigations 185 Philosophie des Geldes 83 Philosophy and Social Hope 195, 202 Philosophy and the Mirror of Nature 186, 202 Philosophy as Cultural Politics 195, 202 Phoenix, Joaquin 141 Plato 8, 9, 21, 25, 29, 34, 35, 36, 70, 173 Platon v, ix, 1, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 18, 20, 24, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 187, 188, 189, 191, 200, 227 polis 35, 36, 38 Politeia 18, 179, 188 Posmodern Ethics 178 Posmodernity and its Discontents 178 potentia oebediantialis 78 Protagoras 35 proton philon 23, 25 Putnam 195 Pythagoras 35



Q Quine, W.V.O. 186



R



ractatus Logico Philosophicus 185 refleksi transendental 129 Rorty, Amelie Rosenberg 182 Rorty, Jay 182 Rorty, Mary Varney 182 Rorty, Richard v, ix, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203 Rorty, Winifred 181 Russell 189



S



Sartre 142, 193, 200, 207 Scheler, Max 125 Schelling 51 Schneider 133, 134, 135 Seinkönnen 214, 215 Sein und Zeit 102, 178, 206, 208, 217 Sein-zum-Tode 215 Sellars, W. 185, 189 Shklar, Judith 199 sikap blasé 88, 96, 97, 98 Simmel v, ix, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 99 Simmel on Culture 99 Sister Carrie 196 Smart 189 Sokrates viii, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,



23, 25, 28, 170, 173, 179 Soziologie 83 Stalin 182 Stoa 46, 170 Stoics 46 Strauss, Levi 147 Sumpah Hippokrates 4



T



tauhid 79 Taylor, Charles 128, 136, 142, 195 The Aesthetic Dimension: Toward A Critique of Marxist Aesthetics 106, 122 The Art of the Novel 197 The Condition of the Working Class in England 197 The Linguistic Turn 186, 202 The Primacy of Perception 139, 142 The Structure of Scientific Revolutions 184, 202 The Well of Loneliness 196 The World of Perception 133, 143 Thrasymachus 179 thumos 21, 26, 27, 28, 31, 32 Totality and Infinity 155, 173, 178 Tractatus Logico Philosophicus 185 Trotsky 182 Truth and Progress 194, 202 turis 161, 162, 177



U



Űber sociale Differenzierungen 83 Uncle Tom’s Cabin 196 utilitarianisme 168 Indeks



225



V Vattimo, G. 195 Vernunft 53 Versace 91 von Westphalen, Jenny 62



W



Walesa, Lech 79 Weber, Max 79, 82 Wechselwirkung 88, 92, 96



226



Filsafat untuk Para Profesional



Weiss, Paul 182 White 195 Whitehead, Alfred N. 182, 229 Williams 195 Wittgenstein, Ludwig 185, 187, 196



Z



Zeus 9, 15, 21 Zizeck, Slavoj 207



Para Kontributor A. Sudiardja. Lulus B.A. dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta (1978), Lisensiat (1980) dan Doktor Filsafat (1991) dari Universitas Gregoriana, Roma, Italia; lama mengajar filsafat dan menjadi staf di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta; memperoleh jabatan Guru Besar di bidang filsafat pada tahun 2007. Sekarang mengajar di STF Driyarkara. Karya terakhir yang ditulis Membaca Bhagavad-Gita bersama Prof. R.C. Zaehner (2012) dan Pendidikan dalam Tantangan Zaman (2013). Agustinus Setyo Wibowo. Lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, Imam Yesuit, Kepala Program Studi Filsafat S1 dan dosen di STF Driyarkara, Jakarta, lulus dari Université Paris-1, Panthéon-Sorbonne, 2007, dengan disertasi doktoral tentang Plotinos. Beberapa buku yang ia terbitkan: Arete: Hidup Sukses Menurut Platon (Penerbit Kanisius, 2011), terjemahan karya Platon Lysis (tentang Persahabatan) dan Lakhes (tentang Keberanian). Terjemahan karya Platon yang terakhir diterbitkan adalah Xarmides (tentang Keugaharian, Penerbit Kanisius, 2015).



B. Herry-Priyono. Belajar filsafat, sosiologi, teologi, teori sosial, dan ekonomi-politik di Jakarta, Manila, Yogyakarta, dan London. Gelar Ph.D. diraih dari The London School of Economics and Political Science (LSE), Inggris, dengan disertasi mengenai status teoretik kekuasaan ekonomi; ia Heidegger dan Para Pensiunan



227



juga penerima The Robert McKenzie Prize 1998 dari LSE untuk prestasi akademik. Aktif dalam beberapa gerakan, publikasinya berupa buku, bab buku, artikel jurnal, dan opini di berbagai media dalam dan luar negeri. Sekarang bekerja sebagai dosen dan Ketua Program Studi Magister Filsafat pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Franz Magnis-Suseno. Rohaniwan, lahir 1936 di Jerman, sejak 1961 di Indonesia, sejak 1977 WNI, belajar filsafat, teologi dan teori politik di Pullach, Yogyakarta dan München; doktorat dalam filsafat 1973 dari universitas München, sejak 1969 dosen tetap dan sekarang guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. 2002 menerima gelar doctor h.c. (honoris causae) dalam bidang teologi dari Universitas Luzern di Swis. Ia telah menulis 37 buku dan lebih dari 600 karangan populer dan ilmiah, terutama di bidang etika, filsafat politik, dan alam pikir Jawa.



F. Budi Hardiman. Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Universitas Pelita Harapan Jakarta. Menyelesaikan studi pada program magister dan doktor filsafat di Hochschule fuer Philosophie, Munich, Jerman (2001). Menulis belasan buku, antara lain: Demokrasi Deliberatif (2009), Hak-hak Asasi Manusia (2011), Dalam Monong Oligarki (2013). J. Sudarminta. Guru Besar Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Saat ini menjabat sebagai Direktur Program Pascasarjana merangkap Ketua Program Doktor pada lembaga tersebut. Ia meraih gelar doktor dalam bidang filsafat di Fordham University, New York, dengan



228



Filsafat untuk Para Profesional



disertasi berjudul: Toward An Integrative View Of Science and Value—A Study of Whitehead’s Philosophy Of Organism As An Integral Worldview. (1988). Ia telah menyum­bangkan tulisan-tulisannya dalam 13 buku yang disunting oleh orang lain dan di beberapa Jurnal serta Majalah Filsafat. Selain itu, ia sendiri telah menulis buku Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead (Yogyakarta:Kanisius, 1991; Cet. Kedua 1994); Ilmu Pengetahuan dan Kitab Suci, Terjemahan karya Sean P. Kealy (Yogyakarta: Kanisius, 1994); Kajian Tentang Manusia, Terjemahan karya Michael Polanyi (Yogyakarta: Kanisius 2001); Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002); Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif (Yogyakarta: Kanisius 2013). Matakuliah yang sudah sering diampu: Etika, Epistemologi, Filsafat Kontinental, Filsafat Proses, Pragmatisme & Neo-Pragmatisme serta Filsafat Pendidikan.



Simon Petrus Lili Tjahjadi (lahir di Jakarta, 13 Juni 1963) adalah Ketua STF Driyarkara dan Dosen Filsafat Ketuhanan di lembaga tersebut. Tahun 1985-1989: Belajar filsafat di STF Driyarkara. Tahun 1990-1992: Belajar teologi di Fakultas Teologi Wedabhakti, Kentungan, Yogyakarta. Pada 1993-1997: Studi lanjut dalam filsafat Jerman (S2) di München, Jerman. Tahun 1997-2000: Dosen filsafat di STF Driyarkara. Tahun 2000-2004: Studi doktoral (S3) dalam bidang filsafat, dan lulus dengan disertasi tentang Ateisme pada universitas Johann-Wolfgang-Goethe, Frankfurt am Main. Menulis buku dan makalah seminar, a.l. Petualangan Intelektual (2004), Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan (2006), Enduring Commitment (2012), dan Mission Breakthrough (2014). Heidegger dan Para Pensiunan



229



Thomas Hidya Tjaya. Pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Memperoleh gelar M.A. dalam bidang filsafat dari Fordham University, New York, pada tahun 1998 dan gelar Master of Divinity (M.Div.) dan Master of Theology (Th.M.) dari Weston Jesuit School of Theology, Cambridge, Massachusetts pada tahun 2003. Mulai pertengahan tahun 2004 ia menempuh studi doktoral dalam bidang filsafat di Boston College, Massachusetts, dan meraih gelar Ph.D. pada bulan Desember 2009 dengan disertasi mengenai filsuf Prancis Emmanuel Levinas. Bukubuku yang sudah diterbitkannya antara lain Humanisme dan Skolastisisme: Sebuah Debat (Kanisius, 2004), Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri (Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), Peziarahan HATI (Kanisius, 2011), dan Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas (Kepustakaan Populer Gramedia, 2012). a



230



Filsafat untuk Para Profesional