BAB 1-3 .Doc Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Operasi atau pembedahan adalah suatu penanganan medis secara invasif yang



dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit, cedera, atau kelainan deformitas tubuh (Nainggolan, 2013). Kiik (2013) menyatakan bahwa tindakan pembedahan akan mencederai jaringan yang dapat menimbulkan perubahan fisiologis tubuh dan mempengaruhi organ tubuh lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) dalam Sartika (2013), jumlah pasien dengan tindakan operasi mencapai angka peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Tercatat di tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia yang menjalani pembedahan, sedangkan pada tahun 2012 data mengalami peningkatan sebesar 148 juta jiwa. Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor, dengan melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian organ abdomen yang mengalami masalah (hemoragik, perforasi, kanker, dan obstruksi) (Sjamsuhidajat & Jong, 2005,; 2 http://medicastore.m, 2012). Laparatomi juga dilakukan pada kasus-kasus digestif dan kandungan seperti apendisitis, perforasi, hernia inguinalis, kanker lambung, kanker colon dan rektum, obstruksi usus, inflamasi usus kronis, kolesistitis dan peritonitis (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Pada pembedahan laparoskopi ataupun laparotomi umumnya jenis anestesi yang digunakan adalah jenis anestesi umum. Anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel yang mengubah status fisiologis tubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi), hilangnya persepsi nyeri (analgesia), hilangnya memori (amnesia) dan relaksasi. Beberapa substansi yang dapat menghasilkan keadaan anestesi umum antara lain bersifat inert (xenon), anorganik (nitrous oxide), inhalasi hidrokarbon (halothan), dan struktur organik komplek (barbiturat) (Morgan, 2013).



2



Anestesi umum dapat terjadi melalui obat-obat yang diberikan secara intravena dan inhalasi. Obat-obat intravena antara lain golongan barbiturat (pentotal), ketamin, propofol, dan etomidat. Sedangkan obat inhalasi digunakan untuk maintenance anestesi umum antara lain ether (sekarang sudah tidak digunakan), metoksifluran, halotan, enfluran, desfluran, sevofluran dan isofluran (Stoelting, 2006). Obat inhalasi diketahui mempunyai banyak efek samping, antara lain gangguan pada hepar, gangguan pada ginjal, sistem saraf pusat, bahkan gangguan otot jantung. Sevofluran dan isofluran dalam banyak hal dinilai merupakan obat inhalasi yang mempunyai efek samping yang lebih rendah disamping desfluran (Morgan, 2013), tetapi desfluran masih jarang digunakan di Indonesia karena pemakaiannya yang boros dan mahal. Isofluran adalah obat inhalasi yang sering digunakan di kamar operasi. Pertama kali disintesis oleh Ross Terell pada tahun 1965, dan digunakan di klinik tahun 1971 oleh Dobkin dan Stevens. Koefisien partisi gas/darah isofluran adalah 1,4. Ini lebih kecil dibanding obatt inhalasi lainnya, kecuali desfluran 0,42 dan sevofluran 0,6–0,7, memungkinkan peningkatan konsentrasi isofluran di alveolar terjadi lebih cepat. Penelitian oleh Frink dkk, pasien yang dianestesi dengan isofluran kurang dari 1 jam, dapat membuka mata dengan perintah kira – kira 7 menit setelah anestesi dihentikan. Pemberian yang lebih lama, yaitu selama 5 – 6 jam, munculnya respon dengan perintah relatif cepat, kira – kira 11 menit setelah isofluran dihentikan (Morgan, 2013). Pulih sadarnya pasien yang mendapat obat anestesi volatil bergantung pada eliminasi obat dari paru dan MACawake (kadar end-tidal yang berkaitan dengan membuka mata dengan perintah verbal). Eliminasi paru ditentukan oleh ventilasi alveolar, koefisien partisi darah - gas, dan dosis (MAC-jam). Kecepatan pulih sadar berbanding terbalik dengan kelarutan obat dalam darah, makin rendah daya kelarutannya makin cepat eliminasi dari paru. Bila anestesi berkepanjangan, maka proses pulih sadar juga bergantung pada total



3



ambilan obat anestesi oleh jaringan, yang juga berkaitan dengan daya kelarutan, kadar rerata yang digunakan, dan lamanya pasien terpapar (Sinclair, 2006). Berbagai cara dilakukan untuk mempercepat waktu pulih sadar pada pasien baik secara non-farmakologis maupun dengan intervensi farmakologis telah dilaporkan untuk mengurangi waktu pemulihan. Salah satu intervensi famakologis yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian Aminophylline . Beberapa penelitian klinis telah menyarankan bahwa Aminophylline dapat menurunkan durasi pulih sadar setelah anestesi intravena total dengan propofol dan remifentanil, sevofluran, dan desfluran (Turan dkk, 2010). Aminophylline sering digunakan dalam praktik anestesi untuk mengatasi bronkospasme dan pada neonatus prematur Aminophylline memiliki efek untuk mengurangi kejadian apnea pasca operasi (Huphfl dkk, 2008). Selain dibidang anestesi Aminophylline khususnya pemberian secara intravena dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi asma pada anak-anak yang tidak respon terhadap terapi inhalasi/nebulisasi lini pertama (Lewis dkk, 2016). Aminophylline merupakan senyawa methylxanthine yang dapat ditemukan pada kopi dan teh, dimana senyawa ini secara parsial dapat melawan efek perubahan perilaku dan hipnosis dari benzodiazepin (Farsad dkk, 2017). Penelitian menunjukkan bahwa Aminophylline diberikan pada akhir operasi mempercepat waktu pulih sadar dari anestesi umum dan meningkatkan kualitas pemulihan. Lebih dari itu Aminophylline memiliki efek menurunkan kedalaman dan durasi sedasi yang dihasilkan oleh barbiturat, diazepam, midazolam dan propofol (Huphfl dkk, 2008). Telah dilaporkan bahwa Aminophylline mempercepat efek sedasi beberapa obat anestesi dan analgesik. Laporan kasus disini menunjukkan bahwa Aminophylline intravena efektif mempercepat efek obat sedasi / obat propofol yang berlangsung lama pada saat pasca operasi. Tidak ada efek samping secara langsung atau efek lambat setelah sedasi pada pemberian Aminophylline . Studi ini menunjukkan bahwa Aminophylline bisa bermanfaat secara klinis sebagai antagonis propofol.(M.Hupl,dkk, 2008)



4



Pasien yang diteliti dalam kedua kelompok yang sebanding dengan usia, berat badan, status ASA dan durasi operasi. Nilai ETCO2, SpO2 dan EKG serupa pada kedua kelompok dan sebanding dengan nilai sebelum



injeksi. Tidak ada perbedaan yang



signifikan secara statistik dalam skor BIS antara dua kelompok sebelum injeksi obat uji (p> 0,05). Setelah pemberian injeksi obat uji Aminophylline 4 mg/kg, skor BIS ditemukan secara signifikan lebih tinggi (p