Bab 1-3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah



Substansi wujud sastra adalah bahasa. Bahasa adalah lambanglambang bunyi bermakna yang dikonvensi. Oleh karena itu, untuk dapat memahami sastra seseorang terlebih dulu harus mampu memahami bahasa. Di dalam sastra, ada pesan yang telah dikonvensi dan ada pula yang tidak. Pesan yang tidak terkonvensi inilah yang membutuhkan kerja untuk memahaminya. Untuk itu, Allah Swt. telah menegaskan betapa pentingnya belajar bahasa melalui ayat berikut;



Terjemahannya ; Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya (Q.S. Yusuf: 2)



Terjemahannya:



Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang . Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui . Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripada-Nya); maka mereka tidak mau mendengarkan . Mereka berkata: Hati kami berada dalam 1



2



tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya...." (QS. Fushshilat: 1-5). Berdasarkan ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa bahasa segaja diturunkan kepada manusia agar belajar. Belajar dalam hal ini adalah memahami segala hakikat dirinya sebagai ciptaan. Meskipun di dalam ayat tersebut bahasa Arablah yang menjadi fokus bahasannya, tetapi pada hakikatnya bahasa adalah ciptaan dan kekuasaan Allah Swt. tidak terkecuali bahasa Indonesia di dalam kesastraan. Jadi, jelas bahwa memahami sastra memang harus menguasai bahasa. Seperti halnya dengan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Novel tersebut membutuhkan kerja ekstra untuk memahami dan mendalami isi yang terkandung di dalamnya. Dalam proses ciptanya, bahasa oleh Andrea Hirata adalah alat untuk menjalin komunikasi dengan pembaca. Namun, tidak dengan prinsip-prinsip berbahasanya. Prinsip yang dimaksud di sini adalah daya atau kesanggupan berbahasa Andrea Hirata dengan meletakkan makna yang dipahami, dihayati, dan menjadi prinsip hidupnya. Ada pesan atau makna yang ditampilkan secara lugas, tetapi tidak sedikit yang ditampilkan secara abstrak. Demikianlah kemenarikan yang ditampilkan oleh Andrea Hirata di dalam novel yang dikarangnya, terkhusus pada novel Laskar Pelangi dengan permainan bahasa di dalamnya. Memaknai sastra tidak sebatas membacanya saja. Karena sastra lahir dari bahasa, dan bahasa adalah simbol-simbol bunyi yang cakupan



3



maknanya tidak dapat dibatasi oleh logika pembacanya. Sebab, memahami sastra adalah perspektif. Beda kepala maka besar kemungkinan akan berbeda pula interpretasi terhadap makna yang diperoleh (Horatius dalam Pradotokusumo, 2005: 2). Seperti halnya sastra, pembaca harus mampu menagkap pesanpesan yang disampaikan oleh pengarang melalui jalinan ceritanya. Pesan yang tersurat mungkin dengan mudah dapat dipahami oleh pembaca. Tetapi sastra yang notabenenya adalah karya imajinasi yang penuh dengan muatan konotasi di dalamnya, tentu banyak mengandung pesan atau makna yang sifatnya tersirat. Untuk itu, pragmatik hadir sebagai pisau bedah atas berbagi gejala dan fenomena kebahasaan di dalam sastra sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Pragmatik adalah salah satu cabang ilmu linguistik. Pragmatik merupakan studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Pragmatik mengkaji makna tuturan, pragmatik mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Pragmatik memungkinkan tuturan orang ke dalam suatu analisis. Mempelajari bahasa melalui pragmatik membuat seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan seseorang, asumsi mereka, maksud dan tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara.



4



Pragmatik mengkaji maksud yang disampaikan penutur ketika menuturkan sebuah satuan lingual pada bahasa tertentu. Crystal (1987:120) menyatakan pragmatik mengkaji faktor-faktor yang mendorong pilihan bahasa dalam interaksi sosial dan pengaruh pilihan tersebut pada mitratutur. Kajian pragmatik dibedakan menjadi empat yaitu implikatur, deiksis, praanggapan, dan tindak tutur. Deiksis disebut juga informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu, baik benda, tempat, ataupun waktu. Deiksis membahas tentang ungkapan atau konteks yang ada dalam sebuah kalimat. Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial (Lyons, 1995:270). Setelah membaca sebagian dari konsep deiksis pada bagian pendahuluan ini, peneliti menemukan atmosfer baru mengenai kekayaan khazanah kebahasaan yang ada di dalam karya sastra yang menjadikannya sangat layak untuk dijadikan sebagai objek kajian. Tidak terkecuali novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Berbicara tentang novel ini, memang tidak asing lagi bagi para pembaca dan pecinta sastra. Namun, novel tersebut tidak akan pernah memiliki batasan masa untuk terus dikaji karena kekayaan bahasa di dalamnya. Unik, menarik, dan bermakna, demikian tiga kata yang dapat menggambarkan realitas dari novel tersebut sehingga menjadi sangat layak diperbincangkan atau dijadikan sebagai objek penelitian. Novel tersebut telah meraih berbagai penghargaan, atmosfer



5



minat baca masyarakat pun sangat luar biasa. Namun, akan menjadi semakin luar biasa lagi jika makna dan nilai-nilai yang ditampilkan secara abstrak oleh Andrea Hirata di dalam novel tersebut berhasil diungkapkan melalui kegiatan penelitian. Berbagai riset telah pernah dilakukan pada novel ini dengan menggunakan kajian prakmatik. Hanya saja pengkajiannya sangat dangkal. Belum mampu menyelami secara keseluruhan pragmatik yang terkandung dalam bahasa sastra karya Andrea Hirata tersebut. Sebut saja penelitian Junianto (2010) telah mengkaji aspek prakmatik khususnya deiksis di dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Hanya saja, aspek deiksis yang dikaji Junianto terpusat pada deiksis sosial saja. Penelitian lainnya juga pernah dilakukan oleh Nofitasari (2012) terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dimana fokus kajiannya yaitu pragmatik khususnya deiksis yang secara spesifik pada deiksis sosial. Kedua hasil penelitian di atas cukup representatif memberikan peluang bagi peneliti untuk melakukan penelitian baru pada novel karya Andrea Hirata yaitu Laskar Pelangi dengan mengambil kajian pragmatik. Peluang yang dimaksudkan di atas adalah celah penelitian yang belum disentuh oleh peneliti-peneliti lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini dirumuskan dengan judul “Deiksis Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”.



6



B. Rumusan Masalah



Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah; 1. Bagaimana deiksis yang terdapat di dalam novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata?



C. Tujuan Penelitian



Tujuan yang akan dicapai dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Mendeskripsikan deiksis yang terdapat di dalam novel Laskar Pelagi Karya Andrea Hirata.



D. Manfaat Penelitian



Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu manfaat secara teoretis dan manfaat secara praktis. Kedua manfaat penelitian tersebut diuraikan sebagai berikut; 1. Manfaat Teoretis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai kajian terhadap sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian novel Indonesia yang memanfatkan ilmu bahasa pragmatik.



7



b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam mengaplikasikan teori pragmatik dalam mengungkapkan deiksis di dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengenali dan mengetahui lebih dalam tentang ilmu pragmatik. b. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi penelitian karya sastra Indonesia dan menambah wawasan kepada pembaca tentang deiksis.



8



BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Hasil Penelitian



Bagian ini memuat uaraian hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya dan dinilai memiliki relevansi dengan penelitian ini. Selain itu, tujuan lainnya adalah menunjukkan bahwa topik yang akan diteliti belum pernah diteliti orang lain dalam konteks yang sama atau dalam rangka melanjutkan penelitian sebelumnya. Adapun tinjauan hasil penelitian tersebut sebagai berikut; 1. Penelitian Junianto (2010) dengan Judul “Pemakaian Deiksis Sosial dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata” Junianto telah mengkaji aspek pragmatik khususnya deiksis di dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Hanya saja, aspek deiksis yang dikaji Junianto terpusat pada deiksis sosial saja. Hasil penelitian Junianto menunjukkan deiksis sosial yang dominan adalah penyebutan leksem jabatan/gelar baik kata, frase, maupun klausa. Hasil penelitian pada distribusi deiksis sosial berdasarkan fungsi sintaksis dikelompokkan menjadi empat, yaitu sebagai subjek, predikat, objek, dan keterangan. Distribusi deiksis sosial yang paling dominan adalah fungsi sintaksis sebagai subjek, baik pada kata, frase, maupun klausa. Hubungan deiksis sosial dengan konteks sosial/budaya yang melingkupi dibedakan menjadi dua, yaitu deiksis sosial



9



yang konteksnya sosial dan deiksis sosial yang konteksnya budaya. Deiksis sosial yang konteksnya sosial masih dikategorikan menjadi dua, yaitu bermakna negatif dan bermakna positif. Relevansi penelitian Junianto dengan penelitian ini terletak pada fokus kajian dan sumber kajiannya. Hanya saja, dalam penelitian ini, peneliti lebih kompleks kajiannya dengan melibatkan aspek pragmatik yaitu deiksis yang tidak hanya terfokus pada deiksis sosial pada novel yaitu Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. 2. Penelitian Nofitasari (2012) dengan Judul “Deiksis Sosial dalam Novel Laskar Pelangi” Nofitasari (2012) telah melakukan penelitian terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Fokus kajiannya yaitu pragmatik khususnya deiksis yang secara spesifik pada deiksis sosial. Dari penelitian tersebut, Nofitasari menemukan deiksis sosial meliputi empat macam. Pertama bentuk deiksis sosial yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu deiksis sosial berupa kata, frasa, dan klausa. Kedua, deiksis sosial tersebut dibedakan menurut makna ungkapannya yaitu lugas dan kias. Ketiga, dijabarkan lagi dengan penggunaan fungsi yaitu fungsi pembeda tingkatan sosial seseorang, menjaga sikap sosial, dan menjaga sopan santun berbahasa. Keempat, maksud deiksis sosial mencakup enam maksud, yaitu maksud merendah, meninggikan, kasar, netral/normal, halus, sopan, melebih-lebihkan, dan menyindir.



10



Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa relevansi penelitian Nofitasari dengan penelitian ini terletak pada fokus dan sumber data kajiannya. Nofitasari meneliti deiksis, hanya saja terkonsentrasi pada deiksis sosial, sedangkan penelitian ini mengkaji deiksis secara umum.



B. Tinjauan Teori dan Konsep



1. Wacana a. Pengertian wacana Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna “ucapan atau tuturan” (LBSS dalam Sudaryat, 2009: 110). Hal tersebut sependapat dengan



Douglas (dalam Mulyana, 2005: 3) bahwa istilah



“wacana” berasal dari bahasa Sansekerta



wac/wak/vak, yang artinya



‘berkata’ atau ‘berucap’. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna ‘membendakan’ (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai ‘perkataan’ atau ‘tuturan’. Istilah wacana dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah discourse. Kata itu berasal dari bahasa Yunani discursus yang bermakna “berlari ke sana ke mari”. Wacana dapat diartikan (1) komunikasi pikiran melalui katakata, penuangan gagasan, dan (2) karangan, karya tulis, ceramah, khotbah, kuliah (Webster dalam Sudaryat, 2009: 110). Jadi, bisa disimpulkan jika



11



komunikasi langsung seperti dialog, pidato, ceramah, dan sebagainya termasuk suatu wacana, yaitu wacana lisan. Selain itu, karya tulis seperti karangan, majalah, koran, novel, dan sebagainya termasuk suatu wacana, yaitu wacana tulis. Wacana dapat disebut rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Apapun bentuknya, wacana mengasumsikan adanya penyapa (addressor) dan pesapa (addressee). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulisan, penyapa adalah penulis sedangkan pesapa adalah pembaca (Sudaryat, 2009: 110-111). Jadi, penulis/pembicara beruasaha menyapa pembaca/pendengar dengan beberapa amanat yang terkandung dalam wacana tersebut. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi, mempunyai awal dan akhir yang nyata, yang disampaikan, baik secara langsung (lisan) maupun tertulis. Wacana dapat berupa novel, buku, artikel, puisi atau paragraf yang di dalamnya mengandung amanat yang lengkap. Ciri dari wacana adalah adanya penyapa dan pesapa, baik pada wacana lisan maupun tulis, yaitu pembicara dan pendengar dalam wacana lisan, serta penulis dan pembaca dalam wacana tulis.



12



b. Unsur-unsur wacana Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam (internal), dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal di luar wacana tersebut (Mulyana, 2005: 7). c. Prinsip pemahaman wacana Memahami suatu wacana diperlukan kemampuan dan cara-cara tertentu. Kemampuan berkaitan dengan pengetahuan umum seorang analis wacana,



sedangkan



cara



yang



dimaksudkan



adalah



prinsip-prinsip



pemahaman terhadap wacana. Prinsip pemahaman wacana tersebut adalah prinsip analogi dan prinsip penafsiran lokal (Mulyana, 2005: 71-72). Jadi, dalam menemukan makna atau memahami suatu wacana sangat dibutuhkan wawasan yang luas dari seorang analis wacana itu sendiri. 2. Pragmatik a. Pengertian pragmatik Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Pragmatik mengkaji makna tuturan, pragmatik mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Pragmatik memungkinkan tuturan orang ke dalam suatu analisis. Mempelajari bahasa melalui pragmatik membuat seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan seseorang, asumsi mereka, maksud dan tujuan mereka, dan jenis-jenis



13



tindakan yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara. Pragmatik mengkaji maksud yang disampaikan penutur ketika menuturkan sebuah satuan lingual pada bahasa tertentu. Crystal (1987:120) menyatakan pragmatik mengkaji faktor-faktor yang mendorong pilihan bahasa dalam interaksi sosial dan pengaruh pilihan tersebut pada mitratutur. Artinya, meskipun secara teoretis harus mengacu pada kaidah-kaidah bahasa yang telah ditetapkan, tetapi seringkali di dalam praktik berbahasa tidak cukup hanya mengikuti kaidah saja, mengonstruksi kalimat harus selalu mengaitkannya dengan konteks di tempat tindak tutur itu terbangun. Menurut Levinson (1983:7), pragmatik adalah kajian bahasa dari perspektif fungsional, maksudnya pragmatik berusaha menjelaskan aspekaspek struktur linguistik yang mengacu kepada gejala-gejala nonlinguistik. Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks ditatabahasakan atau dikodekan pada struktur bahasa (Levinson, 1985:9). Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar untuk mengartikan bahasa itu. Pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai sehingga kalimat-kalimat tersebut dapat dimaknai (Levinson, 1985:21,24). Levinson juga menjelaskan bahwa pragmatik meliputi deiksis termasuk honorifik, presuposisi, dan tindak tutur. Levinson menjelaskan bahwa pragmatik tidak terlepas dari kepatutan



14



berbahasa, pragmatics is the study of the ability of language user top air sentences with the context in which they would be appropriate (Levinson, 1983:24). Leech (1993: 8), Thomas (1995: 22), dan Gazdar (1979: 2) menjelaskan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang sangat dekat dengan semantik, pemaknaannya terkait langsung dengan situasi ujar, berhubungan dengan perilaku berbahasa seseorang atau sekelompok masyarakat, mengkaji deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana. Perbedaan yang esensial dengan semantik adalah, semantik mengkaji makna hanya pada makna internal saja, sedangkan pragmatik mengkaji makna secara eksternal karena melibatkan konteks. Leech mengungkapkan pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran dalam situasi-situasi tertentu. Pendapat Leech ini dikuatkan dengan pendapat Levinson (1985: 1) bahwa untuk mengerti suatu ungkapan/ ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungan dengan konteksnya. Berdasarkan beberapa pendapat, jelas dapat dipetakan bahwa berbeda antara semantik dan pragmatik. Masing-masing mempunyai batasan teori, bahwa pragmatik lebih luas memaknai kode-kode lingual yang dikirim oleh penutur kepada petutur karena melibatkan konteks, sehingga memaknai



15



bahasa itu secara eksternal, sedangkan semantik memaknai bahasa hanya sebatas pada bahasa itu sendiri, secara internal. Pragmatik melibatkan bagaimana orang saling memahami satu sama lain secara linguistik, sehingga studi ini mengharuskan kita untuk memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikiran mereka. Pragmatik sangat erat berkaitan dengan makna. Dengan demikian, di dalam pragmatik, makna diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa. Mencermati dari beberapa teori pragmatik lebih memperkuat bahwa pragmatik



berkaitan



dengan



masyarakat



tutur



(speech



community),



mengungkapkan bagaimana suatu komunitas memilih strategi bertutur, Artinya, bahasa yang digunakan oleh masyarakat tutur senantiasa ada di dalam bingkai pragmatik sekaligus budaya masyarakat tutur tersebut. b. Ruang lingkup pragmatik Pragmatik mempunyai ruang lingkup tersendiri yang menjadi bidang kajiannya. Pragmatik mengkaji bidang-bidang seperti deiksis, praanggapan, implikatur percakapan, dan tindak tutur 1) Deiksis Deiksis adalah hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah (Chaer dan Leonie, 2004:57). Deiksis adalah teknis untuk satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berati ‘penunjukan’ melalui bahasa (Yule, 2006:13). Penunjukan atau deiksis



16



adalah lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses, atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Djajasudarma, 2012:43). Kajian



linguistik



sekarang,



kata



deiksis



dipakai



untuk



menggambarkan fungsi kata ganti persona, kata ganti demonstratif, fungsi waktu, dan berbagai jenis ciri gramatikal dan leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujaran (Purwo, 1990:20). Deiksis sebagai objek kajian pragmatik adalah bentuk-bentuk bahasa yang tidak memiliki acuan yang tetap. Oleh karena itu, maknanya sangat bergantung pada konteks (Wijana, 1996: 38). 2) Praanggapan Praanggapan atau presuposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki presuposisi adalah penutur, bukan kalimat (Yule, 2006:43). Praanggapan dalam tindak tutur adalah makna atau informasi “tambahan” yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat (Chaer dan Agustina, 2004:58). Nababan (dalam Sulistyo, 2013:11) mengatakan bahwa praanggapan adalah dasar atau penyimpulan mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu, dan sebaliknya dapat membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk



17



bahasa yang dapat dipakai untuk mengungkapkan makna yang dimaksud. Dengan kata lain, praanggapan dapat mengganggu menurangi hambatan respons orang terhadap penafsiran suatu tuturan. Menurut Suryono (dalam Rohmadi, 2010: 39) praanggapan merupakan pengetahuan latar belakang yang dapat memuat suatu tindakan atau ungkapan yang mempunyai makna masuk akal dan dapat diterima oleh para partiisipan yang terlibat dalam peristiwa komunikasi. Menurut Bambang (dalam Rahardi, 2005:39), praanggapan dapat pula dipakai untuk menggali perbedaan ciri semantis verba yang satu dengan verba yang lain. Menurut Leech (1993: 101), bahwa praanggapan haruslah dianggap sebagai dasar dari kelancaran wacana yang komunikatif. Bila dua orang terlibat dalam suatu percakapan mereka saling mengisi latar belakang pengetahuan yang bukan hanya pengetahuan terhadap situasi pada waktu itu, melainkan pengetahuan terhadap dunia pada umumnya. Begitu percakapan berlanjut, konteksnya pun berlanjut, dalam arti unsurunsur baru semakin bertambah. Pernyataan ini dari suatu proposisi menjadi praanggapan bagi tuturan selanjutnya. 3) Implikatur Konsep implikatur pertama kali diperkenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan



oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk



18



memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Rani dkk, 2006:170). Yang dimaksud implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang bercakap-cakap. Keterkaitan ini tidak tampak secara literal, tetapi hanya dipahami secara tersirat (Chaer dan Agustina, 2004:59). Grice (dalam Wijana dan Rohmadi, 2010: 13) kembali menyatakan bahwa yang dimaksud dengan implikatur percakapan adalah tuturan (ujaran) yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Dengan kata lain, sesuatu yang dimaksud oleh penutur berbeda dengan apa yang dikatakan (tersurat). 4) Tindak tutur Ahli pertama yang memperkenalkan istilah dan teori tindak tutur adalah Austin pada 1962. Austin adalah seorang Guru Besar di Universitas Harvard. Teori itu berasal dari perkuliahan yang kemudian dibukukan oleh Umson pada tahun 1965 dengan judul “How to do things with words?”. Namun, teori ini baru berkembang dan dikenal dalam dunia linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku dengan judul “Peect Act, and Essay in the Philosophy of Language” (Aslinda dan Leni, 2007:33). Searle mengemukakan bahwa, dalam semua interaksi lingual terdapat tindak tutur. Interaksi lingual tidak hanya lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (the performant of speech act).



19



Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari interaksi lingual. 3. Deiksis a. Pengertian deiksis Menurut Purwo (1990: 1) deiksis adalah sebuah kata yang dikatakan bersifat deiksis apabila berganti-ganti tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu, misalnya: kata saya, sini, sekarang. Lyons (1995:270) memberi pengertian bahwa deiksis berasal dari kata Yunani yang berarti “menunjuk” atau “menunjukkan” hal ini telah menjadi istilah teknis dalam teori tata bahasa, untuk menangani ciri-ciri “penentuan” bahasa yang berhubungan dengan watak dan tempat ujaran. Dalam KBBI (Depdikbud, 1995: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya. Deiksis disebut juga informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu, misalnya he, here, now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna ujaran dapat dipahami dengan tegas. Tenses atau kala juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat dirujuk dari situasinya. Deiksis merupakan salah satu bagian dari ilmu pragmatik yang membahas tentang ungkapan atau konteks yang ada dalam



20



sebuah kalimat. Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial (Lyons, 1995:270). Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Cummings (2007:31) menambahkan bahwa deiksis mencakup ungkapan-ungkapan dari kategori-kategori gramatikal yang memiliki keragaman sama banyaknya. Komponen deiksis adalah adverbialadverbial tempat dan waktu seperti here dan there (“di tempat yang dekat dengan pembicara”:” tidak di tempat yang dekat pembicara”) dan now serta then (“pada waktu berbicara”; tidak pada waktu berbicara”). Kata yang bersifat deiksis mempunyai rujukan yang berbeda-beda dan berganti-ganti bergantung pada siapa pembicaranya, waktu, dan tempat sebuah ujaran berlangsung. Menurut Alwi, dkk. (2003: 42) deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang dapat ditafsirkan acuannya menurut situasi pembicara. Kata atau konstruksi seperti itu besifat deiksis. Senada dengan pendapat tersebut, deiksis adalah kata yang mempunyai acuan dapat diidentifikasi melalui pembicara, waktu, dan tempat diucapkan tuturan tersebut. Jadi, suatu kata atau kalimat itu mempunyai makna deiksis bila salah satu segi kata atau kalimat tersebut berganti karena pergantian konteks. Makna dari kata atau kalimat yang bersifat deiksis disesuaikan dengan konteks artinya makna tersebut berubah bila konteksnya berubah. Berdasarkan beberapa batasan deiksis di atas,



21



dapat disimpulkan bahwa deiksis adalah kata yang memiliki referen atau acuan yang berubah-ubah atau berganti-ganti bergantung pada pembicara saat mengutarakan ujaran tersebut dan dipengaruhi oleh konteks dan situasi yang terjadi saat tuturan berlangsung. Dengan kata lain, sebuah kata dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. b. Macam-macam deiksis 1) Deiksis perorangan (person deixis) Deiksis perorangan menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani “prosop on” yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain drama, (Purwo, 2001: 1). Masih menurut Purwo, deiksis persona ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua adalah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, dan saudara. Ketiga adalah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.



22



Deiksis persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan tempat adalah deiksis jabaran. Menurut pendapat Becker dan Oka (dalam Purwo, 2001: 21) deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu. Sudaryat (2009: 123) memberikan contoh pemakaian deiksis persona dalam wacana berikut ini. Ajat, Angga, dan Faris sedang duduk-duduk di beranda depan rumah Pak Dadi. Mereka sedang asyik berbincang-bincang. Sebenarnya, mereka sedang menanti saya dan Galih, untuk belajar bersama-sama. Saya tiba dan menyapa mereka dengan ucapan selamat sore. Galih belum juga tiba. Mungkin dia terlambat datang. Dalam wacana di atas, kata mereka merupakan kata ganti orang ketiga jamak dan merupakan deiksis persona yang mengacu atau menunjuk pada Ajat, Angga, dan Faris. Sedangkan kata saya adalah kata ganti orang pertama tunggal yang mengacu kepada penulis. Selanjutnya, kata dia merupakan persona ketiga tunggal yang menunjuk pada Galih. 2) Deiksis tempat (place deixis) Menunjuk pada lokasi, dalam bahasa Inggris ada kata keterangan tempat here dan there. Cahyono (2002: 218) memberi pengertian deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa



bahasa.



Semua



bahasa



termasuk



bahasa



Indonesia



membedakan antara “yang dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar (disitu). Deiksis tempat digunakan untuk mengacu tempat berlangsungnya kejadian, baik dekat (proksimal), agak



23



jauh (semi-proksimal), maupun jauh (distal). Sifatnya bisa statis maupun dinamis (Sudaryat, 2009: 123). Sudaryat (2009: 123) memberikan contoh deiksis tempat dalam kalimat berikut ini. “Silakan Bapak dan Ibu duduk di sini, “kata lelaki tua kepada suami istri yang masuk dari belakang.” Dalam kalimat tersebut, kata di sini merupakan deiksis tempat yang mengacu kepada keberadaan yang maknanya dapat dikatakan: dekat (proksimal) dan tentu saja sifat suatu keberadaan tersebut adalah statis. 3) Deiksis waktu (time deixis); Deiksis waktu menunjuk pada satuan tempo yang ada dalam ujaran. Di sini di bedakan coding time (waktu ujaran) dan receiving time (waktu di mana informasi diterima oleh pendengar). Penunjuk kala dan kata keterangan waktu (sekarang, besok, hari ini, tahun depan, bulan depan) masuk dalam kategori ini. Meski kontroversial, lebih jauh jenis deiksis dapat ditambahkan leksem waktu dalam pragmatik akan bersifat deiksis apabila leksem waktu tersebut dipandang dari waktu saat ungkapan tersebut dibuat. Cahyono (2002: 218) menjelaskan deiksis waktu adalah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa berbahasa. Deiksis waktu mengacu ke waktu berlangsungnya kejadian, baik masa lampau, kini, maupun mendatang (Sudaryat, 2009: 123). Sudaryat (2009: 123) memberikan contoh mengenai deiksis waktu dalam wacana berikut ini.



24



Dulu dia tinggal di kota. Setelah anaknya berkeluarga, dia pulang kampung.



Sekarang



dia



tinggal



di



kampung



meskipun



mata



pencahariannya di kota. Setiap bulannya membawa pensiunan ke kota. Dalam wacana di atas, kata dulu mengacu waktu berlangsungnya kejadian pada masa lampau. Kata sekarang mengacu ke waktu kini, sedangkan frase setiap bulannya mengacu ke waktu mendatang.



4) Deiksis wacana (discourse deixis) Deiksis wacana adalah deiksis yang mengacu pada acuan yang ada dalam wacana dan bersifat intratekstual (Sudaryat, 2009: 124). Dalam Cahyono (2002: 218) deiksis wacana adalah rujukan pada bagianbagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan. Deiksis wacana mencAkup anafora dan katafora. Anafora adalah penunjukan kembali pada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora adalah penunjukan ke sesuatu yang disebutkan kemudian. Bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata atau frase ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah. Purwo (2001: 105) memberikan contoh dua kalimat wacana deiksis (1) Irma baru saja datang dari Jakarta. Dia terlihat sangat letih. Kata dia pada kalimat di atas menggantikan Irma yang telah disebutkan terdahulu sehingga bersifat anaforis. (2) Gaya bicaranya yang



25



khas, membuat Joko mudah dikenali. Bentuk terikatnya dalam kalimat tersebut bersifat kataforis karena mengacu pada konstituen di sebelah kanannya yaitu Joko. 5) Deiksis sosial (social deixis) Deiksis sosial menunjuk pada hubungan sosial atau perbedaanperbedaan sosial. Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya dalam kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat ditelusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang disebut deiksis. Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Cummings (2007:31) menambahkan bahwa deiksis mencAkup ungkapan-ungkapan dari kategori gramatikal yang memiliki keragaman sama banyaknya seperti kata ganti dan kata kerja, menerangkan berbagai entitas dalam konteks sosial, linguistik, atau ruang waktu ujaran yang lebih luas. Demikianlah konteks deiksis yang terbentuk di dalam komunikasi antara penutur dan mitratutur. 4. Fiksi dan Karya Sastra a. Pengertian Fiksi Fiksi sering disebut juga dengan cerita rekaan, merupakan cerita dalam prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan



26



penilaiannya tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi, ataupun pengolahan tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung dalam khayalan (Semi, 1993: 31). Sedangkan Nurgiyantoro (2007: 2) mengatakan: Fiksi adalah cerita rekaan atau khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Dengan demikian, menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Dewasa ini penyebutan untuk karya fiksi lebih ditujukan terhadap karya yang berbentuk prosa naratif. Karya-karya lain yang penulisannya tidak berbentuk prosa, misalnya berupa dialog seperti dalam drama atau sandiwara, termasuk skenario untuk film, juga puisi-puisi drama dan puisi balada, pada umumnya tidak disebut sebagai karya fiksi. Bentuk-bentuk karya itu dipandang sebagai hal yang berbeda. Walaupun demikian, sebenarnya tidak dapat disangkal bahwa karya-karya itu juga mengandung unsur rekaan. Dalam penulisan ini istilah dan pengertian fiksi sengaja dibatasi pada karya yang berbentuk prosa, prosa naratif atau teks naratif, seperti novel. Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik simpulan bahwa fiksi merupakan suatu hasil karya sastra berbentuk prosa yang bersifat imajinatif, isinya



menceritakan



kehidupan



manusia



yang



dihubungkan



dengan



lingkungannya melalui sudut pandang pengarang terhadap kehidupannya.



27



b. Karya Sastra Sumarjo dan Saini (1988: 5) mengatakan bahwa karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain. Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk berkarya, karena siapa pun bisa menuangkan isi hati dan pikiran dalam sebuah tulisan yang bernilai seni. Lebih lanjut, Horatius (dalam Pradotokusumo, 2005: 5) mengatakan bahwa karya sastra harus bertujuan dan berfungsi utile ‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’. Bermanfaat karena pembaca dapat menarik pelajaran yang berharga dalam membaca karya sastra yang mungkin bisa menjadi pegangan hidupnya karena mengungkapkan nilai-nilai luhur. Mungkin juga karya sastra itu mengisahkan hal- hal yang tidak terpuji, tetapi bagaimanapun pembaca bisa menarik pelajaran darinya sebab dalam membaca dan menyimak karya sastra, pembaca dapat ingat dan sadar untuk tidak berbuat demikian. Selain itu, sastra harus bisa memberi nikmat melalui keindahan isi dan gaya bahasanya.



28



Karya sastra dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni karya sastra fiksi dan karya sastra nonfiksi. Ciri karya sastra fiksi adalah karya sastra tersebut lebih menonjolkan sifat imajinasi, menggunakan bahasa yang konotatif, dan memenuhi syarat-syarat estetika seni. Sedangkan ciri karya sastra nonfiksi adalah karya sastra tersebut lebih banyak unsur faktanya daripada imajinasinya, cenderung menggunakan bahasa denotatif, dan tetap memenuhi syarat-syarat estetika seni. Pembagian genre sastra imajinatif dapat dirangkumkan dalam bentuk puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama. Mengacu pada pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah suatu tulisan, baik berbentuk fiksi maupun nonfiksi yang mengandung pembelajaran mengenai kebenaran-kebenaran hidup manusia dan disajikan dengan bahasa yang diinginkan pengarang sehingga memunculkan makna yang ingin disampaikan oleh pengarang. 5. Novel a. Pengertian novel Secara etimologis, novel berasal dari kata latin novella yang berarti kabar atau pemberitahuan. Novella diturunkan menjadi kata inovelis berasal dari istilah bahasa Inggris yang berarti baru. Dapat dikatakan baru karena novel hadir sebagai genre sastra setelah puisi dan drama yang terlebih dahulu ada. Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit



29



karakter dan berbagai peristiwa rumit yang menjdi beberapa tahun silam secara mendetail (Stanton, 2007: 90). Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 9-10) menyatakan bahwa novel berasal dari bahasa Itali novella (dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”. Dewasa ini pengertian novella atau novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novellette) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Karya sastra yang disebut novellette adalah karya yang lebih pendek daripada



novel,



tetapi



lebih



panjang



daripada



cerpen,



katakanlah



pertengahan dari keduanya. Sebuah karya sastra (novel) merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu (lebih bersifat) secara tidak langsung. Sesuatu yang tidak langsung itulah yang menyebabkan sulitnya pembaca untuk menafsirkan. Untuk itu, diperlukan penjelasan, yaitu dengan mengadakan penelaahan atau penelitian terhadap karya sastra tersebut (Nurgiyantoro, 2007: 31-32) Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah salah satu bagian dari karya sastra berupa prosa yang menceritakan konflikkonflik kehidupan yang luas, berupa kisah hasil representasi kehidupan sosial mengenai penggambaran sejarah dan



30



permasalahan kehidupan yang kompleks, mempunyai unsur-unsur yang saling berkaitan dan pesan-pesan kemanusiaan yang tidak menggurui sebab sangat halus dan mendalam. Peristiwa yang terjalin sangat kompleks karena tidak hanya menciptakan hidup seorang tokoh, tetapi seluruh tokoh yang terlibat dalam cerita. b. Ciri-ciri novel Novel adalah salah satu karya fiksi ataupun fiksi berbentuk prosa. Novel sebagai karya sastra memiliki beberapa ciri tertentu yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Sebagaimana dikemukakan oleh Tarigan (1984: 170) bahwa ciri-ciri novel, sebagai berikut: 1) jumlah kata lebih dari 35.000 buah, 2) jumlah waktu rata-rata yang dipergunakan untuk membaca novel yang paling pendek diperlukan waktu minimal 2 jam atau 120 menit, 3) jumlah halaman novel minimal 100 halaman, 4) novel bergantung pada pelAku dan mungkin lebih dari satu pelaku, 5) novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek, dan emosi, 6) skala novel luas, 7) seleksi pada novel lebih luas, 8) kejutan pada novel kurang cepat, dan 9) unsur-unsur kepadatan dan intensitas dalam novel kurang diutamakan. Selanjutnya Hendy (1993: 225) menyatakan bahwa ciri-ciri novel, meliputi: 1) sajian cerita lebih panjang pada cerita pendek dan lebih pendek dan pada roman, 2) biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian, 3) bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang, 4) penyajian cerita berlandas pada alur



31



pokok atau alur utama yang merupakan batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri), 5) tema sebuah novel terdiri atas tema pokok tersebut, serta 6) karakter tokoh-tokoh utama dalam novel berbeda-beda. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ciriciri novel adalah cerita yang lebih panjang daripada cerita pendek, diambil dari cerita masyarakat yang diolah secara fiksi atau disebut dengan faksi, serta mempunyai unsur pembangun cerita. Ciri-ciri novel tersebut dapat menarik pembaca atau penikmat karya sastra karena cerita yang terdapat di dalamnya banyak mengangkat kehidupan nyata di masyarakat. Harapannya, dengan unsur realitas sosial yang ada di dalam sastra, pembaca akan belajar tentang hidup. c. Jenis-jenis novel Ada beberapa jenis novel dalam sastra. jenis novel mencerminkan karagaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Para ahli yang membagi jenis-jenis novel berdasarkan beberapa hal, di antaranya berdasarkan isi cerita dan kualitas novel itu sendiri. Berdasarkan isinya Lubis (dalam Tarigan 1984: 165) mengatakan bahwa novel sama dengan roman. Berdasarkan pembagian Mohtar Lubis dalam Tarigan, novel dibagi atas: 1) novel avontur, yaitu memusatkan kisahnya pada seorang lakon atau hero melalui garis cerita yang kronologis dari A sampai Z; 2) novel psikologis adalah novel yang ditujukan pada



32



pemeriksasn seluruhnya dari semua pikiran-pikiran para pelaku; 3) novel detektif, memusatkan penceritaannya pada usaha pencarian tanda bukti, baik berupa seorang pelaku atau tanda-tanda; 4) novel sosial politik, novel ini memberi gambaran antara dua golongan yang bentrok pada suatu waktu; 5) novel kolektif, novel ini novel yang paling sukar dan banyak seluk beluknya. Individu sebagai pelaku tidak dipentingkan, tetapi lebih mengutamakan cerita masyarakat sebagai suatu totalitas (Tarigan, 1984: 165-166). Goldman (dalam Faruk, 1994: 31) menggolongkan novel menjadi tiga jenis yang berbeda. Ketiga jenis ini adalah novel idealisme abstrak, novel psikologis, dan novel pendidikan. Novel jenis ini adalah novel idealisme abstrak. Disebut demikian karena menampilkan tokoh yang masih ingin bersatu dengan dunia. Novel itu masih memperlihatkan suatu idealisme, namun karena persepsi tokoh tentang dunia bersifat subjektif dan didasarkan pada kesadaran yang sempit, maka idealismenya menjadi abstrak. Berbeda dengan novel jenis idealisme abstrak, novel jenis romantisme idealisme menampilkan kesadaran sang hero yang telampau luas. Kesadarannya lebih luas daripada dunia sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah dari dunia. Maka dari itu sang hero cenderung pasif dan cerita berkembang menjadi analisis psikologis semata-mata. Selanjuntnya, pembagian novel berdasarkan kualitasnya menurut Zulfahnur (1996: 72) bahwa novel dapat dibagi menjadi novel populer dan novel literer. Novel populer adalah novel yang menyuguhkan problema



33



kehidupan yang berkisar pada kisah cinta yang sederhana dan bertujuan menghibur. Novel literer disebut juga novel serius karena keseriusan atau ke dalaman masalah-masalah kehidupan kemanusiaan yang diungkapkan pengarangnya. Dengan demikian, novel ini menyajikan persoalanpersoalan kehidupan manusia secara serius dan filsafat yang bermanfaat bagi penyempurnaan



kehidupan



dan



menambah



pengetahuan



manusia,



disamping manfaat sebagai hiburan. Berdasarkan beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah salah satu jenis karya sastra yang berupa fiksi yang menyangkut suatu tema tertentu dengan diperankan oleh beberapa tokoh dalam beberapa episode kehidupan, sehingga terjadi perubahan nasib tokohtokohnya. Novel juga mengangkat kehidupan sosial masyarakat pada waktuwaktu tertentu yang berusaha melakukan pencarian akan suatu hal yang diidealkan yang diwakili oleh hero yang problematik. C. Kerangka Pikir



Memahami wacana tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi yang terdapat di dalam karya sastra khususnya novel. Sebab, sastra merupakan karya estetik yang menggunakan bahasa sebagai medianya dengan berbagai konotasinya. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah teori untuk membedah atau mengontruksi wacana agar dapat memahami isi atau makna yang terkandung di dalamnya. Begitu pula halnya di dalam novel Lakar



34



Pelangi karya Andrea Hirata. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk mengkaji sebuah wacana khususnya yang bersifat tekstual seperti novel adalah pragmatik. Pragmatik merupakan salah satu bidang ilmu yang mengkaji tentang penggunaan bahasa dan muatan perbuatan atau tindakan yang mengikuti bahasa tersebut saat digunakan. Ilmu pragmatik dibedakan menjadi empat subdisiplin ilmu yaitu; 1) implikatur, deiksis, praanggapan, dan tindak tutur. Dalam penelitian ini, konsep deiksis digunakan untuk membedah novel Lakar Pelangi karya Andrea Hirata. Deiksis merupakan ilmu yang mengkaji tentang hal atau fungsi yang menunjukkan sesuatu di luar bahasa. Deiksis dibedakan menjadi lima jenis yaitu; 1) deiksis perorangan, 2) deiksis tempat, 3) deiksis waktu, 4) deiksis wacana, 5) dan deiksis sosial. Berdasarkan uraian tersebut, kerangka pikir penelitian ini digambarkan dalam bagan berikut ini;



35



Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata



Pragmatik



Praanggapan



Implikatur



Perorangan



Tempat



Deiksis



Waktu



Wacana



Analisis



Temuan



Gambar 1 Kerangka Pikir



Tindak Tutur



Sosial



36



BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian



Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitiannya adalah deskriptif, sebab penulis akan menggambarkan secara jelas dan objektif deiksis di dalam novel Laskar Pelang karya Andrea Hirata. Sesuai dengan jenis penelitian ini, maka realitas bersifat ganda, holistik, hasil konstruksi, dan merupakan hasil pemahaman (Sugiyono, 2015: 10). Sehingga hasil yang diperoleh penulis pada penelitian ini bisa saja berbeda dengan peneliti lain jika meneliti objek yang sama.



B. Lokasi dan Waktu Penelitian



Penelitian ini tidak menggunakan lokasi yang spesifik dalam mengumpulkan data. Sebab, data bersifat terkstual yang bersumber dari dalam novel. Sehingga, untuk melakukan penelitian seperti ini bergantung pada selera peneliti untuk membaca dan mengumpulkan informasi dari dalam sumber data di mana saja dan kapan saja. Sedangkan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan proposal ini selama 2 minggu.



37



C. Unit Analisis



Unit analisis dalam penelitian ini yaitu unit deiksis. Unit deiksis dibedakan menjadi lima yaitu deiksis perorangan, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial. Deiksis tempat dibedakan menjadi deiksis proksimal, deiksis semi proksimal, dan deiksis distal. Deiksis waktu dibedakan menjadi tiga yaitu deiksis masa kini, masa lalu, dan masa yang akan datang. Deiksis wacana dibedakan menjadi dua yaitu anafora dan katafora. Sedangkan deiksis sosial dibedakan menjadi dua yaitu eufimisme dan honorifiks. D. Teknik Pengumpulan Data



Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ada tiga yaitu teknik studi pustaka, teknik baca markah, dan teknik catat. Ketiga teknik tersebut diuraikan sebagai berikut; 1. Teknik studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan informasi awal terkait kebutuhan yang mendasari penelitian ini seperti studi terhadap hasil penelitian terdahulu, buku referensi, artikel jurnal, prosiding, atau artikel lainnya di internet, dan majalah sastra. 2. Teknik baca markah merupakan teknik pengumpulan data dengan cara membaca secara teliti bahkan berulang-lang sumber data untuk menemukan pemahaman mendalam kemudian memberikan tanda



38



(markah) pada setiap bagian atau kutipan yang dianggap terkait dengan kebutuhan data penelitian. 3. Teknik catat merupakan teknik lanjutan dari teknik baca markah. Artinya, setelah peneliti membaca dan memberikan tanda pada sumber data, langkah selanjutnya adalah memindahkan data tersebut ke media atau buku



lain



dengan



cara



mencatat.



Teknik



ini



digunakan



untuk



memperdalam pemahaman peneliti terhadap data yang dikumpulkan. Setiap kegiatan pengumpulan data, tentunya membutuhkan instrumen. Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (instrumen kunci). Sugiyono (2015) menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen kunci yang terlibat atau melibatkan diri, pikiran dan perasaannya untuk mencermati, menganalisis, dan menemukan fakta yang terdapat di dalam sumber data.