Bab 2 Tinjauan Pustaka Hiv [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Konsep HIV/AIDS 2.1.1 Pengertian HIV/AIDS HIV adalah sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS adalah kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired



berarti didapat, bukan keturunan.



Immuno terkait dengan sistem



kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah kita lahir. AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV. Ketika individu sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh. Karena sistem kekebalan tubuhnya menjadi sangat lemah, penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat berbahaya. Orang yang baru terpapar HIV belum tentu menderita AIDS. Hanya saja lama kelamaan sistem kekebalan tubuhnya makin lama semakin lemah, sehingga semua penyakit dapat masuk ke dalam tubuh. Pada tahapan itulah penderita disebut sudah terkena AIDS. 2.1.2 Penyebab HIV/AIDS Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen, dan sekret vagina. Setelah memasuki tubuh manusia, maka target utama HIV adalah limfosit CD 4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan mengubah informasi genetiknya ke dalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya, yaitu



merubah bentuk RNA (ribonucleic acid) menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse transcriptase. DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus. Setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan. 2.1.3 Tahapan perubahan HIV/AIDS 1) Fase 1 Umur infeksi 1-6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan terinfeksi. Tetapi ciri-ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase ini antibodi terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri). 2) Fase 2 Umur infeksi : 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri). 3) Fase 3 Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum disebut sebagai gejala AIDS. Gejala-gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang. 4) Fase 4 Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel-T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya



sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang menyebabkan diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala. WHO menetapkan empat stadium klinis HIV, sebagaimana berikut: 1) Stadium 1 : tanpa gejala. 2) Stadium 2 : penyakit ringan. 3) Stadium 3 : penyakit lanjut. 4) Stadium 4 : penyakit berat.17 2.1.4 Penularan HIV/AIDS 1) Media penularan HIV/AIDS HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari individu yang terinfeksi, seperti darah, air susu ibu, air mani dan cairan vagina. Individu tidak dapat terinfeksi melalui kontak sehari-hari biasa seperti berciuman, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi, makanan atau air. 2) Cara penularan HIV/AIDS a) Hubungan seksual : hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang telah terpapar HIV. b) Transfusi darah : melalui transfusi darah yang tercemar HIV. c) Penggunaan jarum suntik : penggunaan jarum suntik, tindik, tato, dan pisau cukur yang dapat menimbulkan luka yang tidak disterilkan secara bersama-sama dipergunakan dan sebelumnya telah dipakai orang yang terinfeksi HIV. Cara-cara ini dapat menularkan HIV karena terjadi kontak darah. d) Ibu hamil kepada anak yang dikandungnya ( 1 ) Antenatal : saat bayi masih berada di dalam rahim, melalui plasenta. ( 2 ) Intranatal : saat proses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau cairan vagina.



( 3 ) Postnatal : setelah proses persalinan, melalui air susu ibu. Kenyataannya 2535% dari semua bayi yang dilahirkan oleh ibu yansudah terinfeksi di negara berkembang tertular HIV, dan 90% bayi dan anak yang tertular HIV tertular dari ibunya. 3) Perilaku berisiko yang menularkan HIV/AIDS a) Melakukan seks anal atau vaginal tanpa kondom. b) Memiliki infeksi menular seksual lainnya seperti sifilis, herpes, klamidia, kencing nanah, dan vaginosis bakterial. c) Berbagi jarum suntik yang terkontaminasi, alat suntik dan peralatan suntik lainnya dan solusi obat ketika menyuntikkan narkoba. d) Menerima suntikan yang tidak aman, transfusi darah, transplantasi jaringan, prosedur medis yang melibatkan pemotongan atau tindakan yang tidak steril. e) Mengalami luka tusuk jarum yang tidak disengaja, termasuk diantara pekerja kesehatan. f) Memiliki banyak pasangan seksual atau mempunyai pasangan yang memiliki banyak pasangan lain. 2.1.5 Gejala HIV/AIDS Gejala-gejala HIV bervariasi tergantung pada tahap infeksi. Meskipun orang yang hidup dengan HIV cenderung paling menular dalam beberapa bulan pertama, banyak yang tidak menyadari status mereka sampai tahap selanjutnya. Beberapa minggu pertama setelah infeksi awal, individu mungkin tidak mengalami gejala atau penyakit seperti influenza termasuk demam, sakit kepala, ruam, atau sakit tenggorokan. Ketika infeksi semakin memperlemah sistem kekebalan, seorang individu dapat mengembangkan tanda dan gejala lain, seperti kelenjar getah bening yang membengkak, penurunan berat badan, demam, diare dan batuk. Tanpa pengobatan, mereka juga bisa mengembangkan penyakit berat seperti tuberkulosis, meningitis kriptokokus, infeksi bakteri berat dan kanker seperti limfoma dan sarkoma kaposi.



2.1.6 Tes infeksi HIV/AIDS 1) Pengertian Tes HIV adalah tes yang dilakukan untuk memastikan apakah individu yang bersangkutan telah dinyatakan terkena HIV atau tidak. Tes HIV berfungsi untuk mengetahui adanya antibodi terhadap HIV atau mengetes adanya antigen HIV dalam darah. Ada beberapa jenis tes yang biasa dilakukan diantaranya yaitu tes Elisa, tes Dipstik dan tes Western Blot. Masing-masing alat tes memiliki sensitivitas atau kemampuan untuk menemukan orang yang mengidap HIV dan spesifitas atau kemampuan untuk menemukan individu yang tidak mengidap HIV. Untuk tes antibodi HIV semacam Elisa memiliki sensitivitas yang tinggi. Dengan kata lain persentase pengidap HIV yang memberikan hasil negatif palsu sangat kecil. Sedangkan spesifitasnya adalah antara 99,70%-99,90% dalam arti 0,1%0,3% dari semua orang yang tidak berantibodi HIV akan dites positif untuk antibodi tersebut. Untuk itu hasil Elisa positif perlu diperiksa ulang (dikonfirmasi) dengan metode Western Blot yang mempunyai spesifitas yang lebih tinggi. 2) Syarat dan prosedur tes darah HIV/AIDS Syarat tes darah untuk keperluan HIV: a) Bersifat rahasia. b) Harus dengan konseling pada pra tes. c) Tidak ada unsur paksaan. 3) Tahapan tes HIV/AIDS Pre tes konseling a) Identifikasi risiko perilaku seksual (pengukuran tingkat risiko perilaku). b) Penjelasan arti hasil tes dan prosedurnya (positif/negatif). c) Informasi HIV/AIDS sejelas-jelasnya. d) Identifikasi kebutuhan pasien, setelah mengetahui hasil tes.



e) Rencana perubahan perilaku.



4) Tes darah Elisa Hasil tes Elisa (-) kembali melakukan konseling untuk penataan perilaku seks yang lebih aman (safer sex). Pemeriksaan diulang kembali dalam waktu 3-6 bulan berikutnya. Hasil tes Elisa (+), konfirmasikan dengan Western Blot. 5) Tes Western Blot Hasil tes Western Blot (+) laporkan ke dinas kesehatan (dalam keadaan tanpa nama). Lakukan pasca konseling dan pendampingan (menghindari emosi putus asa keinginan untuk bunuh diri). Hasil tes Western Blot (-) sama dengan Elisa (-). 2.1.7



Hubungan antara HIV/AIDS dengan penyalahgunaan napza dan



hubungan seks bebas tidak aman 1) HIV/AIDS-hubungan seks bebas dan tidak aman, Salah satu media penularan HIV/AIDS yaitu melalui cairan sperma maupun cairan vagina, maka perilaku hubungan seks bebas tidak aman merupakan perilaku yang beresiko tertular maupun menularkan virus HIV. 2) HIV/AIDS-penyalahgunaan NAPZA,Walaupun tidak seluruh pengguna NAPZA, namun sebagian besar pengguna beberapa jenis NAPZA cenderung menggunakan jarum suntik sebagai media pemakaiannya. Penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan dilakukan secara bergantian sangat rentan terhadap penularan virus HIV/AIDS (tertular maupun menularkan). Hal yang lebih mengerikan, pengguna NAPZA yang merupakan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) akan membuatnya lebih cepat memasuki fase AIDS. Hal ini dikarenakan karakteristik NAPZA yang bersifat menggerogoti organ tubuh. Termasuk juga perokok karena rokok memiliki sifat yang sama. 2.1.8 Pencegahan HIV/AIDS Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E) yaitu:



A (Abstinence) : artinya absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah. B (Be faithful) : artinya bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan). C (Condom) : artinya cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom. D (Drug No) : artinya dilarang menggunakan narkoba. E (Education) : artinya pemberian edukasi dan informasi yang benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya. Individu dapat mengurangi risiko infeksi HIV dengan membatasi paparan faktor risiko. Pendekatan utama untuk pencegahan HIV sebagai berikut : 1) Penggunaan kondom pria dan wanita : Penggunaan kondom pria dan wanita yang benar dan konsisten selama penetrasi vagina atau dubur dapat melindungi terhadap penyebaran infeksi menular seksual, termasuk HIV. Bukti menunjukkan bahwa kondom lateks laki-laki memiliki efek perlindungan 85% atau lebih besar terhadap HIV dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya. 2) Tes dan konseling untuk HIV dan IMS :Pengujian untuk HIV dan IMS lainnya sangat disarankan untuk semua orang yang terpajan salah satu faktor risiko. Dengan cara ini orang belajar tentang status infeksi mereka sendiri dan mengakses layanan pencegahan dan perawatan yang diperlukan tanpa penundaan. WHO juga merekomendasikan untuk menawarkan tes untuk pasangan. Selain itu, WHO merekomendasikan pendekatan pemberitahuan mitra bantuan sehingga orang dengan HIV menerima dukungan untuk menginformasikan mitra mereka sendiri, atau dengan bantuan penyedia layanan kesehatan. 3) Tes dan konseling, keterkaitan dengan perawatan tuberkulosis. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang paling umum dan penyebab kematian di antara orang dengan HIV. Hal ini fatal jika tidak terdeteksi atau tidak diobati, yang bertanggung jawab untuk lebih dari 1 dari 3 kematian terkait HIV. Deteksi



dini TB dan keterkaitan yang cepat dengan pengobatan TB dan ARV dapat mencegah kematian pada ODHA. Pemeriksaan TB harus ditawarkan secara rutin di layanan perawatan HIV dan tes HIV rutin harus ditawarkan kepada semua pasien dengan dugaan dan terdiagnosis TB. Individu yang didiagnosis dengan HIV dan TB aktif harus segera memulai pengobatan TB yang efektif (termasuk untuk TB yang resistan terhadap obat) dan ARV. Terapi pencegahan TB harus ditawarkan kepada semua orang dengan HIV yang tidak memiliki TB aktif. 4) Sunat laki-laki oleh medis secara sukarela Sunat laki-laki oleh medis, mengurangi risiko infeksi HIV sekitar 60% pada pria heteroseksual. Sunat laki-laki oleh medis juga dianggap sebagai pendekatan yang baik untuk menjangkau laki-laki dan remaja laki-laki yang tidak sering mencari layanan perawatan kesehatan. 5) Penggunaan obat antiretroviral untuk pencegahan Penelitian menunjukkan bahwa jika orang HIV-positif mematuhi rejimen ARV yang efektif, risiko penularan virus ke pasangan seksual yang tidak terinfeksi dapat dikurangi sebesar 96%. Rekomendasi WHO untuk memulai ARV pada semua orang yang hidup dengan HIV akan berkontribusi secara signifikan untuk mengurangi penularan HIV. 6) Profilaksis pasca pajanan untuk HIV Profilaksis pasca pajanan adalah penggunaan obat ARV dalam 72 jam setelah terpapar HIV untuk mencegah infeksi. Profilaksis pasca pajanan mencakup konseling, pertolongan pertama, tes HIV, dan pemberian obat ARV selama 28 hari dengan perawatan lanjutan. WHO merekomendasikan penggunaan profilaksis pascapajanan untuk pajanan pekerjaan, non-pekerjaan, dewasa dan anak-anak. 7) Pengurangan dampak buruk bagi orang-orang yang menyuntikkan dan menggunakan narkoba Mulai berhenti menggunakan NAPZA sebelum terinfeksi HIV, tidak memakai jarum suntik, sehabis menggunakan jarum suntik langsung dibuang atau jika menggunakan jarum yang sama maka disterilkan terlebih dahulu, yaitu dengan



merendam pemutih (dengan kadar campuran yang benar) atau direbus dengan suhu tinggi yang sesuai. 8) Bagi remaja Semua orang tanpa kecuali dapat tertular, sehingga remaja tidak melakukan hubungan seks tidak aman, berisiko IMS karena dapat memperbesar risiko penularan HIV/AIDS. Mencari informasi yang lengkap dan benar yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Mendiskusikan secara terbuka permasalahan yang sering dialami remaja dalam hal ini tentang masalah perilaku seksual dengan orang tua, guru, teman maupun orang yang memang paham mengenai hal tersebut. Menghindari penggunaan obat-obatan terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik. Tidak melakukan kontak langsung percampuran darah dengan orang yang sudah terpapar HIV. Menghindari perilaku yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggungjawab. Paket komprehensif intervensi untuk pencegahan dan pengobatan HIV meliputi: 1) Program jarum dan alat suntik. 2) Terapi substitusi opioid untuk orang yang bergantung pada opioid dan pengobatan ketergantungan obat berbasis bukti lainnya. 3) Tes dan konseling HIV 4) Perawatan HIV. 5) Informasi dan edukasi pengurangan risiko dan penyediaan nalokson. 6) Penggunaan kondom. 7) Manajemen IMS, tuberkulosis dan virus hepatitis.20 2.1.9 Pengobatan bagi penderita HIV/AIDS 1) HIV/AIDS belum dapat disembuhkan Sampai saat ini belum ada obat-obatan yang dapat menghilangkan HIV dari dalam tubuh individu. Ada beberapa kasus yang menyatakan bahwa HIV/AIDS dapat



disembuhkan. Setelah diteliti lebih lanjut, pengobatannya tidak dilakukan dengan standar medis, tetapi dengan pengobatan alternatif atau pengobatan lainnya. Obatobat yang selama ini digunakan berfungsi menahan perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh, bukan menghilangkan HIV dari dalam tubuh. Obat-obatan ARV sudah



dipasarkan



secara



umum,



untuk



obat generik. Namun tidak semua orang yang HIV positif sudah membutuhkan obat ARV, ada kriteria khusus. Meskipun semakin hari makin banyak individu yang dinyatakan positif HIV, namun sampai saat ini belum ada informasi adanya obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS. Bahkan sampai sekarang belum ada perkiraan resmi mengenai kapan obat yang dapat menyembuhkan AIDS atau vaksin yang dapat mencegah AIDS ditemukan. 2) Pengobatan HIV/AIDS Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang termasuk antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang terpenting untuk pengobatan oportunistik yaitu menggunakan obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh : obat-obat anti TBC.



2.2 Konsep Kecemasan / Gangguan psikologis yang dialami ODHA Gangguan psikologi yang dialami oleh Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tersebut dikelompokkan menjadi empat kelompok oleh Djoerban (1999, dalam Irawati, Subandi, & Kumolohadi, 2011) menjadi empat jenis gangguan, yaitu gangguan afektif, gangguan kecemasan menyeluruh, keinginan untuk bunuh diri, dan gangguan otak organik (delirium atau demensia primer) yang disebabkan adanya infeksi oportunistik. Hal utama yang dirasakan pada saat ODHA pertama di



diagnosa



yaitu



kecemasan



terhadap



kematian,



walaupun



tidak



mengesampingkan kecemasan lainnya (Irawati, Subandi & Kumolohadi, 2011).



Kecemasan terjadi saat individu merasa tidak nyaman padahal ia tidak mengetahui objek penyebab terjadinya ketidaknyamanan tersebut (Comer,1992 dalam Videbeck, 2008). Banyak faktor yang membuat seseorang merasakan kecemasan terhadap kematian diantaranya yaitu manusia tidak mengetahui apa yang dihadapinya nanti setelah kematian, masyarakat yang menganggap bahwa amalannya di dunia tidak menjamin kebahagiaan di akhirat nanti, gambaran kepedihan pengalaman mati dan sesudah mati, khawatir pada keluarga yang akan ditinggalkannya kelak, kurangnya pemahaman makna hidup dan mati, serta sebagainya (Lehto & Stein, 2009). Sependapat dengan Henderson (2009) disebutkan bahwa usia, lingkungan, keyakinan agama, dukungan sosial, dan integritas ego menjadi faktor- faktor yang mempengaruhi kecemasan terhadap kematian. Pendapat lain menambahkan bahwa jenis kelamin (Schumaker, Barraclough & Vagg, 1988), status pernikahan, kondisi fisik, dan budaya (Lehto & Stein, 2009) dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kecemasan terhadap kematian. Terdapat perbedaan antara kecemasan secara umum dengan kecemasan terhadap kematian, yaitu objek dari rasa ketidaknyamanan tersebut dan dampak yang ditimbulkannya. Kecemasan terhadap kematian adalah kondisi individu yang tidak menyenangkan meliputi gelisah, sulit tidur, bingung, was-was, dan tidak nyaman akibat objek yang tidak jelas atau bahkan belum terjadi berupa peristiwa saat terlepas jiwa dari raga. Satiadarma & Zamarlita (2008) menyatakan bahwa kecemasan terhadap kematian muncul pada penderita penyakit kronis seiring dengan semakin melemahnya kondisi fisik, sosial, dan psikologis penderita. Kecemasan terhadap kematian yang dirasakan ODHA membuat ODHA menjadi sangat sensitif seperti gemetar, panas dingin, bahkan sampai kehilangan kesadaran, jika mendengar atau melihat berita tentang bencana, berita berduka dari kerabat ataupun hal-hal yang mendekati kematian. Dampak lain yang membahayakan akibat kecemasan ialah pada gejala gangguan mental seperti kurang konsentrasi, depresi, perasaan bersalah, menutup diri, pikiran tidak teratur, kehilangan kemampuan persepsi, phobia, ilusi, dan halusinasi (Lutfa & Maliya, 2008). Kecemasan terhadap kematian yang berlebihan akan menimbulkan gangguan fungsi-fungsi emosional normal manusia, seperti neurotisma, depresi,



dan gangguan psikosomatis (Feifel & Nagy,1981 pada Irawati, Subandi, & Kumolohadi, 2011). Penelitian tentang kecemasan terhadap kematian dianggap penting untuk mencegah dampak negatif yang muncul dari kecemasan tersebut yang seharusnya tidak perlu terjadi. Perawatan paliatif menurut HIV/AIDS Palliative Care Guideance US Dept Of State (2006, dalam Nugroho, 2008) yaitu tindakan pelayanan perawatan untuk mencegah, memperbaiki, mengurangi gejala-gejala yang timbul dari HIV/AIDS, namun tidak untuk menyembuhkan, dan bertujuan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal pada ODHA dan keluarganya dengan meminimalisir kesakitan dengan perawatan klinis, psikolgis, spiritual, dan sosial sepanjang perjalanan penyakit HIV/AIDS.



Perawat sebagai profesional kesehatan yang terlibat



langsung dalam perkembangan kesehatan klien khususnya klien dengan HIV/AIDS memiliki peran penting sebagai care provider, advocator, dan health educator dalam membantu klien menjalani pengobatan. Perawat merupakan faktor yang berperan penting dalam pengelolaan kecemasan khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya (Nursalam & Kurniawati, 2007).



BAB 3 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS HIV/AIDS



Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit HIV AIDS merupakan tantangan yang besar bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi untuk menjadi sasaran infeksi ataupun kanker. Disamping itu, penyakit ini akan dipersulit oleh komplikasi masalah emosional, sosial dan etika. Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara individual untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Brunner dan suddarth, 2013). Pengkajian pada pasien HIV AIDS meliputi: 3.1 Pengkajian a. Identitas Klien Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin,agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR. b. Keluhan utama. Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui keluahn utama sesak nafas. Keluahn utama lainnya dirtemui pada pasien penyakit HIV AIDS, yaitu demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur candida albikans,pembekakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh, munculnya herpes zooster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh. c. Riwayat kesehatan sekarang. Dapat ditemukan keluhan yang baisanya disampaikan pasien HIV/AIDS adalah: pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada, dan demam, pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan drastis.



d. Riwayat kesehatan dahulu Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya riwayat penggunaan narkoba suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS. e. Riwayat kesehatan keluarga Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita penyakit HIV/ AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV. Pengakajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja ditempat hiburan malam, bekerja sebagai PSK (pekerja seks komersial). f. Pola aktifitas sehari-hari (ADL) meliputi :  Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat. Biasanya pada pasien HIV/ AIDS akan mengalami perubahan atau gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat.  Pola nutrisi Biasanya pasien dengan HIV / AIDS mengalami penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis dalam jangka waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB).  Pola eliminasi Biasanya pasien mengalami diare, feses encer, disertai mucus berdarah  Pola istrihat dan tidur Biasanya pasien dengan HIV/ AIDS pola istrirahat dan tidur mengalami gangguan karena adanya gejala seperti demam dan keringat



pada malam hari



yang



berulang. Selain itu juga didukung oleh perasaan cemas dan depresi terhadap penyakit.



 Pola aktifitas dan latihan Biasanya pada pasien HIV/ AIDS aktifitas dan latihan mengalami perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, karena depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.  Pola prespsi dan kosep diri Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas,depresi dan stres.  Pola sensori kognitif Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.  Pola hubungan peran Biasanya pada



pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang dapat



mengganggu hubungan interpesonal yaitu pasien merasa malu atau harga diri rendah.  Pola penanggulangan stres Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas, gelisah dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit



yang



kronik,



perasaan



tidak



berdaya



karena



ketergantungan



menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif dan adaptif.  Pola reproduksi skesual Pada pasien HIV AIDS pola reproduksi seksualitasnya terganggu karean penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan seksual.



 Pola tata nilai dan kepercayaan Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awalnya akan berubah, karena mereka menganggap hal yang menimpa mereka sebagai balasan perbuatan mereka. Adanya status perubahan kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai kepercayaan pasien dalam kehidupan mereka dan agama merupakan hal penting dalam hidup pasien. g. Pemeriksaan fisik  Gambaran umum : ditemukan pasien tampak lemah  Kesdaran : composmentis kooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat kesadaran, apatis, somnolen, stupor bahkan koma.  Vital sign : TD; biasanya ditemukan dalam batas normal, Nadi; terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat, pernapasan : biasanya ditemukan frekuensi pernapasan meningkat, suhu; suhu biasanya ditemukan meningkat karena demam, BB ; biasanya mengalami penurunan(bahkan hingga 10% BB), TB; Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap).  Kepala : biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis seboreika  Mata : biasanya konjungtiva anemis , sclera tidak ikterik, pupil isokor,refleks pupil terganggu  Hidung : biasanya ditemukan adanya pernapasan cuping hidung  Leher: kaku kuduk (penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur criptococus neofarmns)  Gigi dan mulutr : biasany ditemukan ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim yang menunjukan kandidiasis  Jantung: Biasanya tidak ditemukan kelainan  Paru-paru : Biasanya terdapat nyeri dada pada pasien AIDS yangdisertai dengan TB napas pendek (cusmaul)  Abdomen : Biasanya bising usus yang hiperaktif



 Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda lesi (lesi sarkoma kaposi)  Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus oto menurun, akral dingin 3.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penderita HIVAIDS yaitu: 1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungn dengan penyakit paru obstruksi kronis 2.



Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neurologis, ansietas, nyeri, keletihan



3.



Diare berhubungan dengan infeksi



4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif 5. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan diare 6.



Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, ketidak mampuam menelan



7. Nyeri kronis berhubngan dengan agen cedera biologis 8. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis 9.



Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme



10. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status cairan, perubahan pigmentasi perubahan turgor kulit. 11. Gangguan afektif 12. Gangguan kecemasan akan kematian berhubungan dengan gambaran kepedihan pengalaman mati, kawatir dengan keluarga yang ditinggalkan, kurangnya pemahaman makna hidup dan mati, status pernikahan, dan kondisi fisik. 13. Keinginan untuk bunuh diri berhubungan dengan penyakitnya



14. Gangguan otak organik (delirium atau demensia primer) berhubungan dengan adanya infeksi oportunistik di otak.



DAFTAR PUSTAKA Gina Nur Ahdiany, Efri Widianti, Nita Fitria, 2017, Tingkat Kecemasan Terhadap Kematian Pada ODHA, Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran dalam Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017 Abdel-Khalek, A. M., & Tomas-Sabado, J. (2005). Anxiety and death anxiety in Egyptian and Spanish nursing students. Death Studies, 29(2), 157-169. Miller, A. K., Lee, B. L., & Henderson, C. E. (2012). Death anxiety in persons with HIV/AIDS: a systematic review and meta- analysis. Death studies, 36(7), 640-663. Kemenkes RI. (2014). Situasi dan analisis HIV AIDS. Jakarta: Pusat data dan informasi Kemenkes RI. Lehto, R. H., & Stein, K. F. (2009). Death Anxiety: An Analysis of an Evolving Concept. Research and Theory for Nursing Practice: An International Journal, 10.189/1541-6577.23.1.23, 23- 41. Viedebeck, S.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Wahyu, S., Taufik, T., & Ilyas, A. (2012). Konsep Diri dan Masalah yang Dialami Orang Terinfeksi HIV/AIDS. Konselor, 1(2), 1-12. Yuliana. (2015). Mengatasi kecemasan terhadap kematian pada pasien sakit parah melalui konseling kelompok. Psychology Forum UMM, 978-979-796-324-8, 458463. Nurasalam. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV AIDS, Jakarta : Salemba Medika Nursalam dan Kurniawati,Ninuk Dian. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika Smeltzerth dan Bare (2013) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol.3. jakarta: EGC



NANDA internanational (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC Perry & Potter (2009). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep proses,dan praktik. Jakarta: EGC Damayanti,



2019,



BAB



II



Tinjauan



Pustaka



eprints.poltekkesjogja.ac.id diakses tanggal 8 September 2020



HIV/AIDS



link