Bab I1 [PDF]

  • Author / Uploaded
  • sani
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REVIEW BUKU BERISLAM SECARA MODERAT AJARAN & POLITIK MODERASI DALAM BERAGAMA Karya: Khoirul Anwar, M.Ag.



TUGAS MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DOSEN : DRS. DARYONO, MSi



OLEH : NAMA



: ANGGITA HERMANTYA PUTRI



NIT



: 19.55.1003



HARI/JAM



: JUM’AT/08.40 PROGDI NAUTIKA



POLITEKNIK BUMI AKPELNI SEMARANG 2021



BAB I Saya menyetujui konsep Moderasi Beragama dalam Islam karena menurut saya Moderasi beragama itu sangat penting. Istilah ini terdiri dari keprihatinan para pemeluk agama atau berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan atau menggunakan dasar ajaran agama. Dari fenomena kekerasan atas nama agama, orang-orang yang memiliki pemahaman inklusif, rendah hati, dan komprehensif atas agamanya memandang bahwa beragama dengan melegalkan kekerasan bagian dari cara beragama. Dari sinilah kemudian muncul istilah “Moderasi dalam beragama” yang berarti keharusan bijaksana dalam berfikir, bersikap, dan bertindak dalam menjalankan ajaran Islam. Saya tidak menyetujui konsep ini karena Moderasi ini menekankan pada sikap, maka bentuk moderasi ini pun bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, karena pihak-pihak yang berhadapan dan persoalan-persoalan yang dihadapi tidak sama antara di satu Negara dengan lainnya. Menurut Khoirul Anwar Moderasi beragama merupakan istilah yang lahir dari keprihatinan para pemeluk agama atas berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan atau menggunakan dasar ajaran agama. Pengeboman atau pembunuhan terhadap pemeluk agama yang berbeda, menjarah, atau mendiskriminasi seseorang karena memiliki paham keagamaan tertentu merupakan bagian dari aksi kekerasan yang menggunakan dalih ajaran agama. Salah satu faktor perilaku kekerasan atas nama agama antara lain memiliki tafsir atau paham keagamaan yang tidak utuh, eksklusif, dan merasa paling benar. Segala hal yang berbeda dengannya dianggap sebagai penyelewengan, kesesatan, bahkan menjadi musuh atas keyakinannya. Dari fenomena kekerasan atas nama agama, orang-orang yang memiliki pemahaman inklusif, rendah hati, dan komprehensif atas agamanya memandang bahwa beragama dengan melegalkan kekerasan bagian dari cara beragama yang salah dan keluar dari ajaran agama itu sendiri (ghuluwwfi al-din). Dari sinilah kemudian muncul istilah perlunya “moderasi dalam beragama” yang berarti keharusan bijaksana dalam berfikir, bersikap, dan bertindak dalam menjalankan ajaran agama. Istilah moderasi beragama dengan arti kritik atas keberislaman yang ekstrem baru muncul belakangan, namun sebagaimana akan terlihat dalam tulisan di bawah ini, dalam praktiknya moderasi beragama sudah dilakukan dan diserukan sejak masa Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya. Bab ini akan menjelaskan tentang pengertian moderasi beragama menurut bahasa dan istilah, landasan normatif dari Al-Quran dan Hadis, prinsip-prinsipnya, serta praktik moderasi beragama yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya.



Pengertian Moderasi Beragama Istilah moderasi beragama tersusun dari dua kata, yaitu moderasi dan beragama. Istilah ini menunjukkan makna cara berpikir, sikap, dan praktik menjalankan ajaran agama yang tidak mengandung kekerasan serta menghindari sikap kasar dan berlebihan. Pengertian ini berdasarkan pada tiga hal. Pertama, penggunaan kata moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diartikan dengan pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Kedua, penggunaan kata moderasi yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan wasat dan derivasinya yang tersusun dari tiga huruf, yaitu wawu, sin dan ta’ di dalam al-Quran dan hadis. Ketiga, prinsip ajaran Islam yang dalam tulisan ini akan dikaji dalam pembahasan prinsip moderasi beragama. Kata moderat yang menjadi asal kata dari moderasi dalam KBBI diartikan dengan selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Penggunaan kata ini dicontohkan dengan seseorang yang mempertimbangkan pandangan pihak lain. Dengan demikian, kata moderat bukan semata-mata berarti tengah dalam pengertian bebas nilai, melainkan mensyaratkan adanya kebaikan di dalamnya. Dalam bahasa Arab, kata wasat memiliki beberapa makna. Jika dijadikan sebagai nama (alism) maka artinya “sesuatu yang berada di antara dua pinggir atau tengah” (ma baina tarafaihi). Sedangkan jika dijadikan sebagai kata sifat maka maknanya “yang paling utama dan baik” (afdal wa khiyar), juga memiliki arti “adil” (al-adl). Jadi, kata wasat dalam bahasa Arab bisa berarti “tengah”, “utama”, “baik” dan “adil”. Dalam percakapan sehari-hari seperti dalam pertandingan olahraga atau ada dua pihak yang sedangbertikai sering muncul istilah sebagai “penengah” atau wasit dalam bahasa Arab, kata ini menunjukkan arti tidak sekadar orang yang menengahi di antara dua pihak yang bertanding atau bertengkar, melainkan penengah harus berbuat baik dan adil. Dalam al-Quran dan hadis kata wasat jga digunakan untuk bahasanya (lughatan), yaitu tengah, utama, adil, dan baik. Dalam QS. Al-Baqarah 143 disebutkan : “Dan demikin Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), sebagai umat yang baik dan adil (Wasat) agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” Al-Tabari (w. 923 M) dalam karya tafsirnya, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, menafsirkan kata wasatan dalam ayat di atas dengan makna baik (al-khiyar) dan adil (al-‘adl), yakni umat Islam dijadikan oleh Allah sebagai umat yang baik dan adil. Kedua makna ini, baik dan adil, pada dasarnya tidak berbeda karena adil bagian dari kebaikan. Menurut Ibn Kasir alasan umat Islam disebut sebagai umat yang baik (khiyar al-umam) karena semua umat manusia mengakui kebaikan dan keutamaan umat Islam. Ibn Kasir menafsirkan kata wasatan dengan yang terbaik (al-



khiyar wa al-ajwad) dan adil. Makna adil berdasarkan pada hadis yang diceritakan Abu Sa’id alKhudriy yang berisi Nabi Muhammad SAW mengartikan kata wasat dengan makna adil. Menyikapi perbedaan para mufasir yang sebagian memberikan makna wasat dengan arti baik (alkhiyar) dan sebagian lain menafsirkannya dengan adil (al-adl), Abu Ishaq al-Zajaj menyatakan : Dua kata itu, baik (al-khiyar) dan adil (al-adl) berbeda dalam kata saja, tapi maknanya sama, karena adil itu baik dan baik itu adil. Kata wasat dengan arti tengah, baik, utama, dan adil juga digunakan Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya. Diinformasikan oleh Jabir bin Abdullah, suatu ketika Rasulullah SAW duduk bersama sahabat-sahabatnya, lalu Rasul SAW membuat lima garis, dua garis, berada di sebelah kanan, satu garis di tengah (al-khat, al-ausat), dua garis lagi berada di sebelah kiri. Sembari menunjuk ke dua garis sebelah kanan dan kiri, Rasululah bersabda bahwa garis-garis tersebut menjadi jalan setan (hazihi sabil al-syaitan). Sedangkan untuk garis yang berada di tengah (al-ausat) Rasulullah mengatakan ini jalan Allah (haza sabilullah), lalu Rasul membaca QS. Al-An’am : Sesungguhnya (yang kami perintahkan ini) adalah jalan Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertaqwa. Moderasi beragama didalam Islam atau al-wasatiyah fi al-Islam meniscayakan pemahaman dan pengalaman agama yang berpegang teguh pada prinsip yang mengandung kebaikan bagi umat manusia secara keseluruhan. Lawan kata dari moderasi beragama adalah ekstrem atau dalam bahasa Arab disebut dengan ghuluww (melampaui batas), tasyaddud (keras), atau tatarruf (ekstrem). Ekstrem dalam beragama digunakan untuk menunjukkan makna cara beragama yang melampaui ketentuan syariat atau bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Larangan bersikap ekstrem dalam beragama juga disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai hadisnya, antara lain hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi SAW bersabda : Wahai umat manusia sekalian, waspadalah berlebihan dalam beragama. Sesungguhnya ekstrem atau keterlaluan dalam beragama telah membinasakan umat sebelum kalian.



Prinsip Moderasi Beragama Moderasi dalam beragama yang meniscayakan mengandung kebaikan bagi umat manusia di dalamnya terdapat prinsip yang menjadi standar dan pembala dari cara-cara beragama lainnya yang melampaui batas atau ekstrem (ghuluww fi al-din). Pertama ; Kemanusiaan Kemanusiaan, humanitarianisme, atau dalam bahasa Arab disebut al-insaniyyah memiliki arti cukup luas, yakni rasa cinta kasih dan memperlakukan dengan baik kepada sesama manusia apapun agama, budaya, ras, suku, warna kulit, asal kebangsaan maupun jenis kelaminnya. Kedua ; Persaudaraan Dengan adanya kesadaran persaudaraan sesama manusia, maka moderasi beragama dapat terlaksana. Ketiga ; Keadilan Adil yang dimaksud di sini yaitu memperlakukan manusia apapun agama, suku, ras, dan jenis kelaminnya secara setara (al-musawah), dalam QS. Al-Ma’idah 8 Allah berfirman : Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan. Moderasi Beragama Nabi Muhammad SAW dan Sahabatnya Moderasi beragama seperti yang diuraikan dalam pengertiannya di atas pada intinya adalah menjalankan agama dengan baik (al-akhiyar). Menjalankan agama dengan baik selalu berpegang pada prinsip kemanusiaan, persaudaraan, dan keadilan. Hal ini selain dijelaskan di dalam al-Quran dan hadis, juga dipraktikkan Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya yang di kemudian hari praktik berislam ini menjadi teladan atau sumber beragama bagi generasi umat Islam setelahnya.



BAB III Saya menyetujui Moderasi dalam Hubungan Agama dan Budaya karena berisi tentang kebudayaan dalam percakapan keseharian yang sering diartikan dengan “Sesuatu Yang Indah”, seperti candi, tarian, seni rupa, seni suara, kesasteraan, dan filsafat. Saya tidak menyetujui konsep ini karena diselesaikan melalui kajian hubungan antara agama dan budaya. Jika agama dan budaya dua hal yang terpisah, maka akan saling terkait dan berkelindan atau justru saling bertentangan. Menurut Khoirul Anwar salah satu yang memicu lahirnya istilah Islam murni atau pemurnian tauhid yaitu adanya dugaan terhadap praktik berislam yang tidak sesuai dengan praktik beragama Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya. Sedangkan praktik berislam Nabi SAW dan sahabatnya dianggap bersih dari kebudayaan di mana agama Islam itu dipraktikkan. Pengertian Budaya Istilah budaya atau kebudayaan dalam percakapan keseharian sering diartikan dengan sesuatu yang indah, seperti candi, tarian, seni rupa, seni suara, kesasteraan dan filsafat. Pengertian seperti ini memberikan pemahaman bahwa kebudayaan pada intinya adalah kreasi yang memiliki keindahan dari manusia. Dalam kajian antropologi, ilmu yang mengkaji tentang kebudayaan, budaya didefinisikan dengan seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dalam bahasa Arab, kebudayaan disebut dengan saqafah, istilah yang secara bahasa (lughah) salah satunya bermakna cepat dalam belajar (sur’ah al-ta’allum). Sedangkan dalam penggunaan istilahnya memiliki pengertian sebagaimana kebudayaan dalam kajian antropologi. Dalam pengertian yang agak panjang, saqafah disefinisakan dengan kemajuan dalam berfikir (alruqiyfi al-afkar al-nazariyyah) yang meliputi undang-undang politik, sejarah, akhlak, jalan hidup, dan yang lainnya. Islam sebagai agama yang membudaya, dalam arti bertalian erat dengan praktik-praktik yang dilakukan masyarakat Arab pra Islam, bukan berarti Islam bagian dari kebudayaan Arab atau membawa ajaran yang sama dengan aktivitas masyarakat Arab pra Islam. Islam datang memodifikasi praktik yang sebagian sudah dikenali di dalam masyarakat dengan cara menegaskan, mengganti, atau menciptakan kebudayaan baru yang berdasarkan pada nilai kebutuhan, kenabian, dan kemanusiaan.



Pertama ; Ketuhanan Sejumlah ritual di dalam masyarakat Arab pra Islam banyak yang mengandung kesyirikan. Misalnya menyembah berhala dengan keyakinan bahwa berhala itu sebagai tuhan sekutu Allah. Kedua ; Kenabian Dalam masyarakat Arab pra Islam, ada banyak orang mengaku sebagai Nabi. Masingmasing diantara mereka lebih menggunakan dan mengutamakan kabilahnya dan membawa misi yang tertuju pada wilayah tertentu atau lokal. Ketiga ; kemanusiaan Dalam masyarakat pra Islam atau disebut dengan jahiliyah, terdapat banyak praktik kebudayaan yang di dalamnya mengandung kekerasan, bahkan merendahkan kemanusiaan. Berdasarkan uraian diatas mengantarkan pada kesimpulan, meski agama dan budaya sulit dipisahkan, tapi jika dipertegas perbedaannya, maka terletak pada sifat kebenaran yang dikandungnya, yakni agama memiliki kebenaran mutlak dan absolut, sedangkan budaya kebenarannya parsial dan temporal. Islam datang menggunakan kebudayaan di satu sisi, dan meresponnya di sisi lain. Dari proses demikian, lahirlah kebudayaan baru yang disebutnya dengan budaya Islam, yaitu kebudayaan yang didalamnya terdapat nilai ketahuidan, kenabian, dan kemanusiaan. Budaya dalam Pandangan Islam Mengingat pentingnya kebudayaan bagi keberlangsungan agama, meski tidak semua kebudayaan dapat diterima, Islam sangat menghargai keberagaman budaya atau tradisi yang dimiliki masyarakat. Kendati Islam sebagai agama bertalian erat dengan kebudayaan dan menerima berbagai tradisi atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat, namun seperti disinggung di atas, tidak semua kebudayaan dan tradisi diterima Islam. Uraian diatas juga mengantarkan pada kesimpulan bahwa hubungan agama dan budaya dalam Islam ada tiga macam. Pertama ; berlawanan Yakni Islam menolak kebudayaan atau tradisi yang berkembang di dalam masyarakat, seperti kebiasaan menyembah berhala karena bertentangan dengan tauhid. Kedua ; menerima dengan memodifikasi, mengadopsi, dan mengadaptasi. Contohnya, arsitektur rumah ibadah selain Islam, seperti candi dan pura yang secara bentuk bangunan diterima tapi pemanfaatannya digunakan untuk salat atau dijadikan masjid. Ketiga; menciptakan kebudayaan baru, seperti orang-orang pulang atau istirahat dari tempat bekerjanya ketika waktu salat tiba, buka puasa atau sahur bersama pada bulan Ramadhan, membersihkan masjid, rumah, dan lain-lain ketika hendak memasuki bulan Ramadhan, halal bihalal atau silaturahmi pada hari raya Idul Fitri, dan yang lainnya.



Jalan Tengah Agama dan Budaya Melalui penjelasan di atas, sikap moderat dalam memandang hubungan agama dan budaya menjadi mudah dipahami. Islam bukan bagian dari kebudayaan, tapi Islam juga tidak anti budaya. Absolut dan universal Islam maksudnya ada di dalam kebenaran ajaran dan kebudayaan yang digunakan di dalam formulasi atau pembentukan Islam awal yang berasal dari wahyu. Kebudayaan Arab yang dijadikan media dalam perwujudan wahyu menjadi bagian tak terpisahkan dari agama, yakni orang Islam di mana saja harus menggunakan kitab suci al-Quran yang berbahasa Arab. Demikian juga dengan ajaran yang dibawa al-Quran dan sunah, seperti gerakan dan waktu salat, tata cara puasa Ramadan, haji, dan yang lainnya. Di manapun umat Islam berada, ia wajib menjalankan perintah-perintah dalam ajaran Islam dengan ketentuan sebagaimana yang telah diformulasikan Nabi Muhammad SAW yang kemudian diperjelas para sahabat, pengikutnya, dan para ulama generasi setelahnya. Adapun hal-hal lain yang bukan menjadi prinsip di dalam ibadah, seperti berkaitan dengan bagaimana memberi tahu kepada banyak orang bahwa waktu salat atau puasa telah tiba, model dan pakaian warna apa yang digunakan ketika salat, kendaraan yang seperti apa yang akan digunakan untuk menuju ke Makkah dan Mdinah dalam pelaksanaan ibadah haji, dan lain-lain disesuaikan dengan kebudayaan yang dimiliki masing-masing masyarakat Islam. Contoh lain wujud moderasi dalam hubungan agama dan budaya dalam rumah ibadah, misalnya membuat masjid atau musala dengan arsitektur apa saja yang terpenting tempatnya suci. Dalam bidang pemerintahan atau tata negara, Islam mempersilakan dikelola dengan sistem apa saja berdasarkan kebudayaan masyarakatnya, yang terpenting dan ini yang menjadi ajaran Islam, dapat mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan menjunjung tinggi kemanusiaan (masalih li al-‘ibad). Dalam bidang ekonomi, sosial, teknologi dan yang lainnya, Islam juga mengakui keberagaman kebudayaan umatnya, sehingga dibebaskan untuk menggunakan sistem apa saja yang terpenting di dalamnya mengandung kemaslahatan bagi manusia atau tidak melanggar kemanusiaan, tidak mencerai-beraikan persaudaraan, dan tidak menghilangkan keadilan. Kesimpulan Penjelasan di atas mengantarkan pada kesimpulan ini, moderasi Islam dalam memperlakukan kebudayaan yaitu dengan cara mengapresiasinya. Kebudayaan lokal diterima sepanjang tidak bertentangan dengan konsep ketuhanan, kenabian, dan kemanusiaan. Islam tidak antipati terhadap budaya, karena agama yang pertama kali diterima masyarakat Arab ini sedari awal sudah berdialektika dengan kebudayaan setempat. Dengan demikian, istilah Islam Murni atau pemurnian tauhid dengan diartikan sebagai Islam yang terbebas dari berbagai kebudayaan lokal menjadi bermasalah.



Kendati Islam sebagai agama memiliki sifat universal, sedangkan budaya bersifat lokal dan partikular, tapi keduanya bisa bersatu (imtizaj). Universal Islam terdapat pada ajaran-ajarannya yang dapat dipraktikkan semua umat manusia dengan beragam budaya serta nilai yang dikandungnya yang selalu kontekstual dan relevan di sepanjang zaman, yakni menjunjung tinggi kemanusiaan, persaudaraan, dan keadilan.



BAB V Saya menyetujui Moderasi dalam syariat karena berisi tentang pengertian Syariat dan Fikih. Yang mana para Ulama menyebutkan hukum Allah diberi nama syariat karena menyerupai sumber air, yaitu dapat menghidupkan jiwa dan akal sebagaimana sumber air dapat menghidupkan tubuh. Saya tidak setuju dengan konsep ini karena dibatasi pada uraian tentang syariat yang meliputi pengertian, isu penerapan syariat, dan Negara Islam. Gagasan penerapan syariat yang diusung beberapa kelompok Islam dalam tatanan praktisnya tidak mendapatkan simpati dari masyarakat luas, bahkan banyak dari Umat Islam sendiri yang sangat keberatan. Hal ini sematamata bukan karena istilah yang menggunakan bahasa agama, bahkan justru melahirkan kekerasan dan diskriminasi atas nama agama. Menurut Khoirul Anwar, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, pemikir asal Maroko, dalam salah satu karyanya, Al-Din wa al-Daulah wa Tatbiq al-Syari’ah, mengatakan ada pergeseran isu politik yang bernaung di bawah agama yang dilakukan kelompok-kelompok ekstrem di dalam Islam. Pada masa Islam awal khususnya setelah masa al-khulafa’ al-rasyidun, kelompok ekstrem membawa isunya ke persoalan akidah, yakni tentang hubungan Dzat Allah dengan sifat-sifat-Nya, determinisme (al-jabr), indeterminisme (al-ikhtiyar), keadilan Tuhan, dan yang lainnya. Sedangkan kelompok ekstrem kontemporer membawa isunya ke penerapan syariat Islam (tatbiq al-syari’ah). Gerakan-gerakan Islam saat ini banyak menyerukan keharusan menerapkan hukum syariat dalam ekonomi, sosial, maupun politik. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor dan sejarah yang sangat panjang, yakni berkaitan dengan penjajahan yang berdampak pada perasaan kalah, terbelakang, terzalimi, dan lain-lain. Tulisan dalam bab ini akan membatasi pada uraian tentang syariat, dan negara Islam. Pengertian Syariat dan Fikih Secara bahasa, syariat artinya sumber air (al-mawadil’ al-lati yunhadaru ila al-ma’i minha). Sedangkan secara istilah yaitu agama yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya (ma syara’a Allah li ‘ibadihi min al-din). Para ulama menyebutkan, hukum Allah diberi nama syariat karena menyerupai sumber air, yaitu dapat menghidupkan jiwa dan akal sebagaimana sumber air dapat menghidupkan tubuh. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya, al-Madkhal li dirasah al-syari’ah al-islamiyah, menjelaskan bahwa istilah al-syariah, al-din, dan al-millah memiliki makna sama, yaitu hukum



yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Syariat disebut din karena didalamnya mengandung perintah ketundukan dan kepatuhan kepada Allah. Menurut Zaidan, makna dasar Islam yaitu pasrah dan patuh kepada Allah. Dalam perjalanan sejarahnya, istilah ini kelmudian digunakan untuk menyebut pesan atau agama yang diturunkan kepada utusan Allah, yakni al-Quran dan sunah. Dengan demikian, syariat Islam artinya hukum Allah yang diberikan kepada hamba-Nya melalui al-Quran dan sunah Nabi Muhammad SAW. Sebagai produk pemikiran, fikih terbuka untuk di kritik dan dibenarkan. Pemikir lain boleh mengkritik atau membenarkannya. Dalam membahas perbedaan syariat dan fikih, Abdullah Saeed memberikan tiga catatan. Pertama, istilah fikih yang awalnya sebagai aktivitas mental, yakni pemahaman, berubah menjadi pemahaman yang lebih konkrit, yaitu pemahaman atau pengetahuan yang didapatkan melalui pengujian terhadap perintah dan larangan Allah yang terdapat di dalam al-Quran. Kedua, syariat berbeda dengan fikih. Syariat adalah keseluruhan perintah dan larangan yang terdapat di dalam al-Quran, sedangkan fikih digunakan untuk menunjukkan aturan khusus yang dihasilkan melalui pemahaman dan interpretasi terhadap materi syariat atau sumber-sumber lain, yakni sunah, ijmak, kias, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, dan yang lainnya. Ketiga, istilah syariat dalam perkembangannya sering dipertukarkan dengan fikih. Syariat bukan lagi bermakna perintah dan larangan yang terdapat di dalam al-Quran dan sunah, melainkan hasil pemaknaan terhadapnya yang di jelaskan di dalam fikih untuk diterapkan dalam kehidupan seharihari. Isu Penerapan Syariat Maksud dari istilah syariat yang digunakan sebagian umat Islam dalam gerakan politik yang mengusung penerapan syariat (tatbiq al-syariah) dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik atau bernegara, tidak lepas dari uraian pengertian syariat diatas, yakni syariat dalam arti fikih atau pemahaman atas hukum Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Gerakan politik untuk memperjuangkan hal diatas pada dasarnya sah-sah saja, namun ada beberapa persoalan yang harus diperhatikan. Pertama, banyak negara, termasuk negar-negara dengan penduduk mayoritas muslim telah meratifikasi konvensi-konvensi internasional tentang HAM seperti Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention to Eliminate All Form of Discrimination againts Women/CEDAW), Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Syariat dalam arti fikih atau pemahaman terhadap hukum-hukum Allah yang terdapat didalam al-Quran dan sunah sudah pasti berbeda-beda, dan ini menjadi watak dalam hukum Islam. Para pakar teori hukum Islam merumuskan maqasid al-syariah berbeda-beda,ada yang membaginy menjadi empat,lima,enam,dan seterusnya.Tapi pada prinsipmya



semuanya sepakat bahwa tujun syariat atau maqasid al-syariah yaitu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.Bentuk tujuan-tujuan itu sebagai berikut. Pertama : untuk menjaga agama (hifz al-din).Syariat Islam diturunkan untuk memelihara agama dengan maksud menjaga hal yang paling mendasar,yaitu iman kepada Allah. Kedua : menjaga jiwa (hifz al-nafs),yaitu memelihara hak hidup manusia secara umum,apapun agama,dan suknya.Menjaga hak hidup meliputi larangan membunuh,menyakiti,atau melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiriatau orang lain,perintah untuk berobat,menjaga kesehatan,menolong seseorang yang terancam bahaya,dan yang lain-lain. Ketiga : menjaga pikiran (hifz al-‘aql),yaitu memelihara akal pikiran dari hal-hal yang merusak atau mengganggunya,seperti minum arak, mengkonsumsi narkoba, melarang berpikir, dan hal-hal lainya yang dapat menjadikan akal pikiran rusak atau tidak berfungsi (al-ma’na al-salbi), juga menjaga akal dalam arti mendayagunakannya (al-ma’na al-ijabi) seperti keharusan belajar atau mencari ilmu, berpikir rasional, menerima berbagai kebenaran ilmiah, melakukan penelitian, dan hal-hal lainnya yang menjadi perwujudan dari penggunaan dan pemanfaatan akal pikiran dalam berbagai bentuknya. Keempat, menjaga keturunan (hifz al-nasl), yaitu menjaga hak reproduksi, keselamatan dan kesehatan janin, menjaga nasab anak ke ayahnya, keharusan menciptakan lingkungan sehat bagi anak supaya dapat berkembang dengan baik (al-tufulah), menjaga keharmonisan keluarga (alusrah), dan lain-lain. Kelima, menjaga kehormatan (hifz al-‘ird), artinya menjaga reputasi seseorang dari berbagai tuduhan negatif atau pencemaran nama baik, dan menjaga kehormatannya sebagai manusia atau yang sekarang dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Keenam, menjaga harta (hifz al-mal), artinya melindungi harta benda dalam pengertiannya yang luas, seperti larangan mencuri, menipu, menimbun barang yang sedang dibutuhkan masyarakat, merampas, dan segala tindakan lainnya yang dapat merugikan hak milik seseorang juga manjaga harta dalam pengertian perintah untuk memelihara dan mengembangkannya, seperti menjaga hak cipta (hifz al-huquq wa al-milkiyyat), menjaga perekonomian dari krisis dan inflasi, mengurangi angka pengangguran, dan yang lainnya. Kesimpulan Syariat



Islam



yang



menjadi



isu



perjuangan



kelompok



ekstrem



menemukan



ketidakjelasannya ketika dihadapkan pada kondisi nyata di lapangan. Pasalnya, syariat dalam arti semua hukum yang ada di dalam al-Quran dan sunnah berupa teks yang jumlahnya terbatas, sementara realitas tidak terbatas. Di sisi lain, hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran jika dipahami tanpa menggunakan berbagai ilmu bantu, maka akan sulit dimengerti, bahkan jika



dipaksakan maka akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang melesat jauh dari tradisi keislaman itu sendiri. BAB VII Saya menyetujui Toleransi dalam beragama karena berisi tentang pengertian dan batasan toleransi dalam Islam. Toleransi dalam beragama dengan pengertian diatas meniscayakan penghargaan terhadap berbagai praktik keagamaan dalam satu agama dan penghormatan terhadap banyak agama dalam satu masyarakat, serta pluralitas agama dalam masyarakat. Saya tidak menyetujui konsep ini karena sebagian memahami toleransi sebagai pergumulan keyakinan dan agama-agama tanpa batas, yakni menganggap semua sama. Pemahaman demikian muncul tuduhan bahwa toleransi tidak lebih dari istilah mencampuradukkan keyakinan, paham, atau ritual agama-agama, dengan umat agama lain. Dampak bekerjasama dan memberikan haknya, tapi dengan orang-orang seagama yang berbeda mazhab melakukan penindasan dan jauh dari kerukunan. Menurut Khoirul Anwar sebagian memaknainya sebagai pembiaran atas keyakinan atau agama yang berbeda. Pemahaman seperti ini kerap melahirkan sikap beragama tanpa mempertimbangkan keberadaan pemeluk keyakinan atau agama lain. Orang yang menganut agama tertentu hanya memikirkan dirinya sendiri, yang terpenting ia bisa menjalankan agamanya dengan bebas, mendirikan rumah ibadah sebanyak-banyaknya, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan di mana saja, menggunakan pengeras suara semaunya, dan lain-lain, tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi atau hak yang dimiliki pemeluk agama lain. Sebagian memahami toleransi sebagai pergumulan keyakinan dan agama-agama tanpa batas, yakni menganggap semua agama sama. Pemahaman demikian memunculkan tuduhan bahwa toleransi tidak lebih dari istilah mencampuradukkan keyakinan, paham, atau ritual agama-agama. Di sisi lain, ada juga yang memahami toleransi dalam beragama sebagai kerukunan antar umat beragama, tapi tidak dengan inter umat beragama. Dengan umat agama lain dapat bekerjasama dan memberikan haknya, tapi dengan orang-rang seagama yang berbeda mazhab melakukan penindasan dan jauh dari kerukunan. Pengertian dan Batasan Toleransi dalam Islam Toleransi atau dalam bahasa Arab disebut tasamuh secara bahasa berarti memberi dengan kemurahan hati (a’ta ‘an karam wa sakha). Jika kata tasamuh dikaitkan dengan agama, yakni toleransi dalam beragama (al-tasamuh fi al-tadayyun) maka berarti :



Tidak melampaui batas atau ekstrem di dalam beragama, dan menempuh jalan kemudahan dalam beragama, yakni jalan yang terbaik, serta menghormati hak minoritas pemeluk agama dalam menjalankan keyakinannya tanpa melakukan pembatasan atau penekanan kepadanya. Dalam Islam, hubungan antar manusia, apapun agama, suku, dan budayanya, hukum asalnya adalah damai atau al-salam. Perang dalam Islam dilakukan untuk mengembalikan kondisi sosial yang sedang terjadi konflik ke dalam keadaan semula, yaitu damai. Islam memerintahkan supaya pemeluknya menjadi juru damai dalam setiap pertikaian atau perselisihan, baik itu pertikaian antar individu maupun kelompok. Hal ini seperti ditegaskan dalam QS. Al-Nisa 114 serta beberapa Hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam hadis lain diriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda : paling utama-utamanya sedekah adalah mendamaikan orang yang bermusuhan (inna afdal al-sadaqah islah zat al-bain). Suatu ketika penduduk Quba bertikai. Di antara mereka saling melempar batu. Ketika Nabi SAW mendengar kabar itu, Nabi segera mengajak para sahabat untuk mendamaikannya. Sedangkan dalam hadis, kata yang terbentuk dari lafaz samh sudah digunakan, namun untuk menunjukkan makna secara kebahasannya (lughatan), yakni memberikan kemudahan dalam berinteraksi (al-tarkhis fi al-ta’amul), seperti dalam hadis Nabi Muhammad SAW : Allah mengasihi seseorang yang memberikan kemudahan ketika membeli, menjual, dan menuntut. Toleransi Antarmazhab dalam Islam Makna toleransi dalam beragama tidak hanya berlaku dalam hubungan antarumat beragama, tapi berlaku juga dalam menyikapi keberagaman mazhab atau pendapat di dalam saw agama. Islam sebagai agama hanya satu, tapi pemahaman terhadapnya banyak sekali yang dalam perjalanan sejarah telah membentuk berbagai mazhab. Misalnya, dalam bidang hukum atau fikih ada mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali, Zaidi, Tsauri, dan lain-lain. Dalam bidang akidah ada mazhab Mu'tazilah, Asya'ariyah, Maturidiyyah, Salafiyyah, Murji'ah, dan lain-lain. Di dalam sekte-sekte itu juga ada banyak mazhab atau pandangan keislaman yang berbedabeda. Perihal sekte-sekte di dalam Islam pars ulama kerap tnengaitkannya dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa umatnya kelak akan terpecah menjadi 73 kelompok (firqah), semuanya akan masuk ke neraka kecuali sate golongan. Halls yang menjelaskan tenting hal ini redaksinya berbeda-beda, antara lain: Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, sedangkan umat Nasrani terpecah ke dalam 72 kelompok. Umatku kelak akan terpecah menjadi 73 golongan.



Redaksi hadis lainnya yaitu: Sesungguhnya Bani Israil terpecah ke dalam 71 kelompok, sedangkan umatku kelak akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya masuk ke neraka kecuali satu, yaitu kelompok mayoritas (al-jama’ah). Toleransi Antarumat Beragama Toleransi sebagai ajaran Islam bersumber dari al-Quran dan hadis. Dalam beberapa ayat alQuran dijelaskan, umat Islam harus berbuat adil kepada siapapun seperti dalam QS. AIMumtahanah 8, QS. Al-Nahl 90, QS. Al-Ma’idah 8, dan QS. Al-An'am 152. Toleransi bukan membenarkan keyakinan atau agama yang berbeda, melainkan sehagai bentuk menjalin hubungan yang baik di antara sesama manusia (mu'amalah hi al-matrilf). Dalam QS. Luqman 14-15 dijelaskan, manusia harus bersyukur kepada Allah dan kedua orang tuanya. Jika kedua orang tua memerintahkan menyekutukan Allah atau syirik, maka anak tidak boleh mengikutinya, namun harus tetap berbuat balk kepadanya (wa sahibhuma fi al-dunya ma’rufa). Melalui QS. Luqman 14-15 di atas setidaknya ada dua hal yang hendak ditegaskan dalam tulisan ini. Pertama, perintah kedua orang tua wajib diikuti kecuali jika memerintahkan menyekutukan Tuhan. Hal ini menegaskan bahwa beragama tidak boleh ada unsur paksaan sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah 256. Kedua, QS. Luqman 14-15 dan beberapa ayat yang telah disebutkan, menegaskan bahwa perbedaan agama dan keyakinan tidak boleh menjadi penghalang seorang muslim untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada siapapun (an tabarruhum wa tuqsitu ilaihim). Artinya, toleransi atau tasamuh adalah "sikap dan cara pandang seorang muslim dalam menghadapi keberagaman agama dan keyakinan" berada di dalam kerangka perintah untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada siapapun. Kesimpulan Toleransi beragama dalam Islam masuk dalam wilayah hubungan antarmanusia atau muamalah, yakni memberikan hak atas kebebasan menjalankan agama kepada pemeluk agama lain. Hal ini berdasarkan kerangka berpikir sebagai berikut: Pertama; Al-Quran menegaskan bahwayang memberikan petunjuk (hidayah) dalam arti penerimaannya bukan menjadi wilayah manusia, tapi bagian dari kekuasaan Tuhan. Kedua; Perbedaan yang terjadi di antara umat manusia, termasuk di dalamnya perbedaan agama, bagian dari fakta yang tidak bisa dihindari dalam sejarah umat manusia.



Ketiga; Manusia dengan segala perbedaannya memiliki hak yang sama untuk dimuliakan. Berdasarkan cara pandang di atas, maka toleransi menjadi keharusan di dalam memandang dan memperlakukan keberagaman. Toleransi tidak berkaitan dengan akidah atau kepercayaan dalam arti sebagai bentuk pembenaran agama yang berbeda, melainkan bagian dari interaksi sosial yang berarti pembenaran dan penghargaan kepada seseorang untuk memeluk agama apapun karena itu menjadi haknya.



Daftar Pustaka Abd al-Karim, Khalil. Al-juzur al-Tarikhiyyah li al-Syari’ah al-Islamiyyah, Kairo: Sina li alNasyr; cet. I, 1990. Abdul Bakhit, Muhammad dan Syalasy, Fahad. Al-Mafhum al-Wasati li al-Da'wah wa Asaruhu 'ala Wahdah al-Mujtama' al-Watani: Dirasah Mu'asirah, journal of Tikrit University for Humanities, vol. VII, Nomor 26, 2019. Abu Abdillah, Ibn Majah. Sunan Ibn Majah, Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.t. Abu Yusuf, Ya'qub bin Sufyan. Al-Ma’rifah wa al-tarikh, Beirut: Mu'assasah al-Risalah, cet. II, 1981. Abu Zahrah, Muhammad. Al-Da’Wah ila al-Islam: Tarikhuha fi Ahd al-Nabiy wa alSahabah wa al-Mutalahiqah wa Ma Yajibu al-An, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, cet. I, 1992. --------, Al-Syafi’i : Hayatuhu wa 'Asruhu wa Ara’uhu wa Fiqhuhu, Beirut: Dar al-Fikr alArabi, 1978. --------, Khatam al-Nabiyyin Sallallah 'Alaihi wa Sallam, Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1425 H. --------, Nazariyah al-Harb fi al-Islam, Kairo: Dirasat Islamiyyah, 2008. --------, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-'Arabi, t.t. Abu Zaid, Nasr Hamid. Mafhum al-Nass: Dirasat fi 'ulum al-Qur'an, Mesir: Al-Hai’ah alMisriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1990. Adnan Amal, Tattfik dan Panggabean, Samsu Rizal. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, cet. I, 2004.