Bab II (Difabel) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kelompok Difabel Disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Dan difabel juga merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris Different People Are merupakan manusia itu berbeda dan able yang berarti dapat, bisa, sanggup, mampu (Echols & Shadily, 1976). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. (Moeliono, 1989) Menurut



WHO



(1980)



ada



tiga



definisi



berkaitan



dengan



kecacatan, yaitu Impairment, Disability, dan Handicap. Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis atau anatomis. Disability adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan (sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia. Handicap adalah suatu kerugian bagi individu tertentu, sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan bahwasannya difabel adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan selayaknya. Penyandang cacat sendiri terdiri dari: (1) penyandang cacat fisik; (2) penyandang cacat mental; dan (3) penyandang cacat fisik dan mental. Pengertian cacat sebagaimana digambarkan di atas sejak tahun 1998 memperoleh sebutan baru yang dipopulerkan oleh beberapa aktivis penyandang cacat dengan istilah “Difabel” yang merupakan singkatan dari “Different Ability People”. Istilah tersebut secara bebas diterjemahkan dengan “orang yang berbeda kemampuan”. Istilah Difabel didasarkan pada realita



bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan. Dikalangan penyandang cacat sendiri istilah Difabel belum seluruhnya setuju, karena istilah tersebut hanyalah bentuk penghalusan bahasa (eufeminisme) sebagai akibat kurangnya keberpihakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Namun tanpa mengabaikan mereka yang berpendapat belum setuju atas istilah tersebut, dalam uraian selanjutnya pengertian penyandang cacat dan Difabel digunakan secara bergantian. Konferensi Ketunanetraan Asia di Singapura pada tahun 1981 yang diselenggarakan oleh International Federation of The Blind (IFB) dan World Council for the Welfare of The Blind (WCWB), istilah “Diffabled” diperkenalkan, yang kemudian diindonesiakan menjadi “difabel”. Istilah “Diffabled” sendiri merupakan akronim dari “Differently Abled” dan kata bendanya adalah Diffability yang merupakan akronim dari different ability yang dipromosikan oleh orang-orang yang tidak menyukai istilah “Disabled” dan “Disability”. Di samping lebih ramah, istilah “difabel” lebih egaliter dan memiliki keberpihakan, karena Different Ability berarti “memiliki kemampuan yang berbeda”. Tidak saja mereka yang memiliki ketunaan yang “memiliki kemampuan yang berbeda”, tetapi juga mereka yang tidak memiliki ketunaan juga memiliki kemampuan yang berbeda (Sholeh, 2014). Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa difabel adalah suatu kemampuan yang berbeda untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia. 2.2 Klasifikasi Kelompok Difabel Terdapat beberapa jenis orang dengan difabel. Ini berarti bahwa setiap penyandang difabel memiliki defenisi masing-masing yang mana ke semuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik.



Jenis-jenis penyandang difabel, sebagai berikut : 1. Disabilitas Mental Kelainan mental ini terdiri dari : a. Mental Tinggi Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, dimana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata individu juga memiliki kreativitas dan tanggung jawab terhadap tugas (Reefani, 2013). b. Mental Rendah Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus. c. Berkesulitan Belajar Spesifik Berkesulitan



belajar



berkaitan



dengan



prestasi



belajar



(achievment) yang diperoleh (Reefani, 2013). 2. Disabilitas Fisik Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu: a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa) Tuna daksa adalah individu yang mengalami kerusakan di jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, dan pada sistem musculus skeletal (Fitriana, 2013). Seseorang dikatakan mengalami ketunadaksaan apabila terdapat kelainan anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu dan untuk mengoptimalkan potensi kemampuannya diperlukan layanan khusus.



Tuna daksa ada dua kategori, yaitu : 1. Tuna Daksa Orthopedic (Orthopedically Handicapped) yaitu mereka yang mengalami kelainan, kecacatan tertentu sehingga menyebabkan terganggunya fungsi tubuh. Kelainan tersebut dapat terjadi pada bagian tulang-tulang, otot-otot tubuh maupun pada daerah persendian, baik yang dibawa sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian. Contoh : anak polio 2. Tuna Daksa Syaraf (Neurologically Handicapped) yaitu kelainan yang terjadi pada anggota tubuh yang disebabkan gangguan pada syaraf. Salah satu kategori penderita tuna daksa syaraf dapat dilihat pada anak cerebral palsy. Ciri-ciri fisiknya, sebagai berikut : 1. Memiliki kecerdasan normal bahkan ada yang sangat cerdas 2. Derpresi , kemarahan dan rasa kecewa yang mendalam disertai dengan kedengkian dan permusuhan. 3. Penyangkalan dan penerimaan atau suatu keadaan emosi 4. Meminta dan menolak belas kasihan dari sesama, ini merupakan fase dimana seseorang akan mencoba menyesuaikan diri untuk dapat hidup dengan kondisinya yang sekarang. Ciri-ciri sosialnya, sebagai berikut : Kelompok ini kurang memiliki akses pergaulan yang luas karena



keterbatasan



aktivitas



geraknya.



Dan



kadang-kadang



menampakkan sikap marah-marah (emosi) yang berlebihan tanpa sebab yang jelas. b. Kelainan Indra Penglihatan (Tuna Netra) Tunanetra adalah orang yang memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada mata yang baik, walaupun dengan memakai kacamata, atau yang daerah penglihatannya sempit sedemikian kecil sehingga yang terbesar jarak sudutnya tidak lebih dari 20 derajat (Geniofam, 2010).



Seseorang dikatakan tuna netra apabila mereka kehilangan daya lihatnya sedemikian rupa sehingga tidak dapat menggunakan fasilitas pada umumnya. Menurut Kaufman & Hallahan, tuna netra adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Tuna netra dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Kurang awas (low vision), yaitu seseorang dikatakan kurang awas bila masih memiliki sisa penglihatan sedemikian rupa sehingga masih sedikit melihat atau masih bisa membedakan gelap atau terang. 2. Buta (blind), yaitu seseorang dikatakan buta apabila ia sudah tidak memiliki sisa penglihatan sehingga tidak dapat membedakan gelap dan terang. Ciri-ciri fisiknya, sebagai berikut : 1. Memiliki daya dengar yang sangat



kuat sehingga dengan cepat



pesan-pesan melalui pendengaran dapat dikirim ke otak 2. Memiliki daya pengobatan yang sensitif sehingga apa yang dirasakan dapat dikirim langsung ke otak. 3. Kadang-kadang mereka suka mengusap-usap mata dan berusaha membelalakkannya. 4. Kadang-kadang mereka memiliki perilaku yang kurang nyaman bisa dilihat oleh orang normal pada umumnya atau dengan sebutan blindism (misalnya : mengkerut-kerutkan kening, menggelenggelengkan kepala secara berulang-ulang dengan tanpa disadarinya ) c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu) Tunarungu adalah istilah



umum yang digunakan untuk



menyebut kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam indera pendengaran (Smart, 2010).



Seseorang dikatakan tuna rungu apabila mereka kehilangan daya dengarnya. Tuna rungu dikelompokkan menjadi : 1. Ringan (20-20 dB) Umunya mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik, hanya kata-kata tertentu saja yang tidak dapat mereka dengar langsung, sehingga pemahaman mereka menjadi sedikit terhambat. 2. Sedang (40-60 dB) Mereka mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahami pembicaraan orang lain, suara yang mampu terdengar adalah suara radio dengan volume maksimal. 3. Berat/parah (di atas 60 dB) Kelompok



ini



sudah



mulai



sulit



untuk



mengikuti



pembicaraan orang lain, suara yang mampu terdengar adalah suara yang sama kerasnya dengan jalan pada jam-jam sibuk. Biasanya memerlukan bantuan alat bantu dengar, mengandalkan pada kemampuan membaca gerak bibir atau bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Ciri-ciri fisiknya, sebagai berikut : 1. Berbicara keras dan tidak jelas 2. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya 3. Telinga mengeluarkan cairan 4. Menggunakan alat bantu dengar 5. Bibir sumbing 6. Suka melakukan gerakan tubuh 7. Cenderung pendiam 8. Suara sengau 9. Cadel Ciri-ciri mentalnya, sebagai berikut : Pada umumnya sering menaruh curiga terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya.



d. Kelainan Bicara (Tunawicara), adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat di mengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat di mengerti oleh orang lain. Kelainan bicara



ini



dapat



bersifat



fungsional



dimana



kemungkinan



disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan



adanya



ketidaksempurnaan



organ



bicara



maupun



adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara (Reefani, 2013). 2.3 Etiologi Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang menjadi cacat (difabel), berikut merupakan penyebab dari hal ini : 1. Penyebab Lahir Atau Bawaan Dari Lahir Pada umumnya yang menyebabkan seorang anak bisa terlahir cacat adalah kurangnya nutrisi yang diterima oleh kandungan, namun yang paling banyak dijumpai adalah kandungan yang kekurangan asam folat yang menyebabkan kecacatan pada otak, sumsum tulang belakang, atau keterbatasan fisik. 2. Akibat Mengalami Kecelakaan Hal ini adalah hal yang umum atau paling banyak dijumpai pada penyebab seseorang menjadi cacat, namun biasanya ada beberapa orang yang tidak hanya mendapat keterbatasan fisik namun juga berpengaruh terhadap mental, dikarenakan hal trauma. 3. Akibat Suatu Kejadian Yang Menyebabkan Trauma Ada beberapa orang yang mengalami sesuatu hal yang mnyebabkan besarnya rasa trauma atau menyebabkan stress yang berlebih yang pada akhirnya berkelanjutan pada gangguan sikis orang tersebut, sehingga orang tersebut mengalami gangguan mental 2.4 Jumlah Penyandang Cacat (Difabel) Para penyandang difabel dipandang sebelah mata bagi masyarakat luas, hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor beberapa diantaranya



disebabkan oleh keterbatasan mereka untuk melakukan suatu aktivitas dan keterbatasan mereka terhadap kemampuan fisik mereka. Oleh karena itu dengan tujuan mensejajarkan keberadaan antar kaum difabel dan manusia pada umum maka dibuatlah bangunan yang memberikan suatu pelayanan bagi para kaum difabel. Untuk mengetahui jumlah perkembangan penyandang difabel dari tahun – tahun, butuh suatu pembahasan mengenai jumlah penderita cacat. Berdasarkan data dinas sosial tahun 2010, pada tahun 2011 tercatat jumlah penyandang cacat di D.I. Yogyakarta sebanyak 29.110, yang terdiri dari 15.667 pria dan 13.443 wanita. Ini merupakan jumlah total dari keseluruhan penyandang cacat karena untuk penyandang cacat ini pun juga merupakan jumlah dari gabungan jenis cacat fisik maupun cacat mental. Namun dari jumlah yang banyak ini tidak semua dapat ditampung karena muatan dari pusat-pusat rehabilitas yang terbatas, bukan hanya itu jumlah yang tidak dapat ini pun berkelanjutan di tahun ini. Belum ada suatu usaha pemecahan permasalahan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini, oleh karena itu diharapkan adanya pusat pusat rehabilitas yang baru bermunculan sehingga permasalahan ini dapat terpecahkan. Sebagai dilihat



pada



merupakan



tambahan tabel



jumlah



untuk



dibawah penderita



beberapa ini.



cacat



tahun



Sebagai di



berikutnya lampiran,



Provinsi



Daerah



dapat berikut



Istimewa



Yogyakarta : Tabel : Jumlah Penyandang Cacat Berdasarkan Jenisnya Provinsi



Tuna



Bisu/



Cacat



Cacat



Penyakit



DIY



netra



Tuli



tubuh



mental



kronis



2011



3917



3425



9831



7989



2005



1943



2010



4 636



3 966



11 389



9 251



2 166



2 330



2009



4 517



3 921



11 244



12 120



2 134



2 345



2008



6 233



5 413



13 225



11 465



3 078



1 805



Ganda



2007



3 959



3 453



9 197



6 394



1 266



3 232



2006



2 384



2 871



8 122



5 138



1 266



2 590



2005



2 468



2 015



6 656



5 779



1 359



809



2004



3 188



2 637



8 800



7 606



1 359



999



Pada tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah penyandang cacat tidak menentu, namun khusus untuk penyandang cacat yang mengalami cacat fisik mengalami peningkatan dari tahun 2007 ke 2010, kemudian terjadi penurunan pada tahun – tahun berikutnya sampai tahun 2011 yaitu 9.831 jiwa. 2.5 Peran Perawat 2.6 Pertimbangan Khusus 2.7 Pengkajian Difabel Emergency