Bab Ii-Iv [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II KEDUDUKAN HUKUM TENAGA KESEHATAN HONORER DI DAERAH TERTINGGAL, PERBATASAN, DAN KEPULAUAN (DTPK) DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengaturan hukum tenaga kesehatan honorer Eksistensi pegawai kontrak atau yang sering kita kenal dengan pegawai honorer dalam lingkungan pemerintahan, pertama kali dikenal dalam Pasal 2 ayat (3) UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang berbunyi, “Di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap.” Alasan diberlakukannya tenaga honorer/ pegawai tidak tetap itu sendiri pada zaman itu adalah lebih kepada karena perekrutannya bisa dilakukan secara mandiri dan prosesnya yang cepat. Peraturan yang mengtur tentang tenaga honorer adalah melalui Pergub. Pegawai Tidak Tetap adalah tenaga Honorer yang diangkat oleh  Pejabat Pembina Kepegawaian  atau Pejabat Lain yang ditunjuk dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hak Pegawai Honorer secara umum: 1. Menerima upah sesuai ketentuan dan kemampuan keuangan daerah. 2. Menerima uang lembur, uang perjalanan dinas, dan penghasilan lain yang sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Menerima uang premi asuransi.



4. Menerima pakaian dinas dari unit kerja masing-masing. 5. Mendapat izin sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dasar hukum yang digunakna dalam menetapkan pegawai honorer dalam lingkup kesehatan adalah Keputusan Presiden RI No. 37 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden RI No. 23 Tahun 1994 Pengangkatan Dokter sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti dan Pengangkatan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap



Keputusan



Menteri



Kesehatan



Republik



Indonesia



RI



No.



:



1540/Menkes/Sk/ XII/2002 Penempatan Tenaga Medis Melalui Masa Bakti Dan Cara Lain Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 683/ Menkes/SK/III/2011 Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter Spesialis/ Dokter Gigi Spesialis/Dokter/Dokter Gigi dan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap. Kebijakan penempatan dokter/dokter gigi sebagai PTT berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 37 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 683 Tahun 2011, sedangkan bidan PTT berdasarkan Keppres No. 77 Tahun 2000 dan Kepmenkes Nomor 683 Tahun 2011. Hasil Rifaskes 2011, tenaga PTT hanya terdapat pada dokter/dokter gigi dan bidan karena hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah. Persentase PTT lebih besar karena sejak tahun 2005 pengangkatan PTT diprioritaskan bagi tenaga yang belum melaksanakan masa bakti akibat lamanya masa tunggu. Selain itu, perekrutan PTT bersifat sukarela tanpa memberlakukan sistem antrian/daftar tunggu. Kebijakan PTT juga mengikuti perkembangan dengan dikeluarkannya Permenkes Nomor 7 Tahun 2013, di mana pemerintah pusat maupun daerah dapat mengangkat PTT (pasal 2). Masa penugasan dokter PTT dapat diperpanjang



paling banyak 1 kali penugasan, sedangkan pada bidan 2 kali. Tenaga dokter/dokter gigi dan bidan PTT pada Risnakes 2017 masih ada namun persentasenya lebih rendah, karena minat berkurang, sifatnya sukarela, dan lebih memilih menjadi tenaga kontrak BLUD. Kebijakan tenaga honorer mengikuti regulasi yang berlaku yaitu UU Nomor 43 Tahun 1999 dan PP Nomor 32 Tahun 1996. Hasil Rifaskes 2011, tenaga kesehatan non-PNS selain dokter dan bidan hampir seluruhnya berstatus kepegawaian honorer. Tenaga tersebut kemungkinan merupakan tenaga honorer yang belum diangkat sebagai PNS atau tenaga honorer yang dibiayai bukan dari APBD/APBN sesuai regulasi yang ada (berdasarkan PP 48/2005, pengangkatan tenaga honorer dilarang). Hal ini juga didasari banyaknya instansi-instansi pemerintahan yang membutuhkan tambahan pegawai, sementara rekrutmen PNS tidak selalu dibuka setiap tahunnya. Lahirnya Undang-Undang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara menurut Sri Hartini, merupakan bagian dari penataan manajemen kepegawaian yang seragam melalui penetapan norma, standar,dan prosedur yang jelas dalam pelaksanaan manajemen kepegawaian. Penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan pelaksanaan secara menyeluruh dalam kerangka negara kesatuan diperlukan juga guna menciptakan keseragaman dalam pelaksanaan norma, standard dan prosedur administrasi kepegawaian. Dengan adanya keseragaman tersebut, diharapkan tercipta kualitas aparatur sipil negara yang seragam di seluruh Indonesia. 1 Pada tanggal 15 Januari Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara disahkan dan dinyatakan berlaku. Undang-Undang 1



5 Sri Hartini & Tedi Sudrajat. Op. cit .6



ini mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian yang telah diubah terakhir kali dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan mencabut ketentuan mengenai kepegawaian daerah yang diatur dalam Bab V UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 beserta peraturan pelaksanaannya karena dinilai tidak lagi memenuhi tuntutan nasional dan tantangan global maka perlu diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Setelah berlakunya Undang-Undang ini, PNS Pusat dan PNS Daerah disebut sebagai Pegawai ASN. Perubahan bentuk peraturan kepegawaian ini juga telah membawa perubahan substansi dalam peraturan tersebut, salah satunya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) berubah menjadi profesi dan Pegawai Negeri Sipil berubah menjadi Aparatur Sipil Negara. Undang-Undang ini dikenal dengan singkatan Undang-Undang ASN. Undang-Undang tentang profesi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Salah satu perubahan besar yang dilakukan oleh pemerintah melalui Undang-Undang ASN ini adalah perubahan mengenai pembagian jenis kepegawaian. Undang-undang ASN membagi jenis pegawai yang bekerja pada instansi pemerintah menjadi dua yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada Pasal 1 ayat (1) dan pasal 6. Secara normatif, setiap orang yang bekerja pada instansi pemerintah sebagai aparatur/alat pemerintah untuk



melaksanakan komponen kebijaksanaan-kebijaksanaan atau peraturan-peraturan pemerintah guna terwujudnya tujuan nasional disebut dengan pegawai Aparatur Sipil Negara yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Instansi pemerintah menurut Undang-Undang ASN adalah Instansi pusat dan instansi daerah. Instansi pusat yaitu kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural, sedangkan instansi daerah yaitu perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, secretariat dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Sebelum berlakunya Undang-Undang ASN berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian pasal 2 menyebutkan dua jenis pegawai yang bekerja pada instansi pemerintah yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT). Pada dasarnya menurut Akhyar Effendi “Status kepegawaian pada birokrasi Indonesia terdiri atas pegawai tetap dan pegawai tidak tetap sebagaimana halnya dengan negaranegara lain”. Pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian, pegawai yang berstatus sebagai pegawai tetap adalah pegawai negeri sipil sedangkan untuk pegawai tidak tetap memiliki sebutan yang bermacam-macam seperti pegawai honorer daerah, tenaga tidak tetap daerah (T3D), pegawai harian lepas, tenaga harian lepas dan lain-lain. 10 yang kemudian dikenal dengan sebutan tenaga honorer.



Setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN telah beberapa kali dilakukan permohonan uji materi UndangUndang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon merupakan perseorangan yang semuanya adalah orang yang memiliki pekerjaan sebagai tenaga honorer di instansi pemerintah. Mahkamah konstitusi mengakui kedudukan hukum tenaga honorer namun terhadap permohonan uji materil ini telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi yakni Putusan Mahkamah Konstitusi No. 9/PUU-XIII/2015 tanggal 15 Juni 2016, No.



6/PUU-XVIII/2019



tanggal



26



Maret



2019



dan



Putusan



No.



9/PUU-XVIII/2020 tanggal 19 Mei 2020 yang semua amar putusannya menyatakan ditolak untuk keseluruhan Undang-undang ASN yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 mengamatkan adanya peraturan pelaksanaannya yakni 19 Rancangan Peraturan Pemerintah, 4 Peraturan Presiden dan 1 PERMENPAN dan RB. Salah satu Peraturan Pelaksanaan yang telah ada dan berlaku saat ini salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diundangkan pada tanggal 28 November 2018 tidak terdapat istilah tenaga honorer. Istilah Tenaga Honorer muncul setelah 4 (empat) tahun berlakunya UndangUndang ASN yaitu pada Peraturan Pelaksanaan atau turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pada Bab XIII tentang



Larangan menyebutkan bahwa PPK atau Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah yang memiliki wewenang untuk melakukan pengangkatan pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK dilarang untuk mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN. Pasal 96 ayat (1): “PPK dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN” Pasal 96 ayat (2) : “Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah yang melakukan pengangkatan pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK” Pengertian dari pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK menurut Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja pasal 96 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pegawai non-PNS dan non-PPPK antara lain adalah pegawai yang saat ini dikenal dengan sebutan tenaga honorer atau sebutan lain. Perlindungan hukum atas tindakan hukum pemerintah terhadap tenaga honorer dapat dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu perlindungan hukum secara preventif dan perlindungan hukum secara represif. Philipus M. Hadjon berpendapat perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan represif. Pada perlindungan preventif, rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu



keputusan



pemerintah



mendapat



bentuk



yang



defenitif.



Artinya



perlindungan hukum yang preventif untuk mencegah terjadinya sengketa,



sedangkan pada perlindungan represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya terhadap tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. 2 Dengan demikian perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang sifatnya preventif maupun yang bersifat represif, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum adalah suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Landasan konstitusional yang menjadi dasar pijakan setiap warga negara untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak terdapat pada pasal 28D ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal ini mengamanatkan secara jelas dan tegas bahwa semua orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja tersebut. Pasal ini menjadi dasar hak konstitusional seorang pekerja untuk bekerja dan mendapat imbalan dari pekerjaannya itu serta diperlakukan secara adil dan layak (tidak diskriminatif) ketika melaksanakan pekerjaannya. Perlindungan terhadap hak hak dasar tenaga honorer yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK yang merupakan turunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Philipus M.Hadjon, dkk.2008.Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administratif Law)Yogyakarta:Gajah mada University Press.2 2



Negara (ASN) yang mengatur secara khusus tentang manajemen PPPK antara lain sebagai berikut : 1. Kepastian status kepegawaian Tenaga Honorer Kedudukan Tenaga Honorer dalam struktur sumber daya manusia aparatur mendapat penegasan kembali setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Undang-Undang ASN sebagaimana diketahui hanya mengatur mengenai jenis sumber daya manusia aparatur yang bekerja pada instansi pemerintah yaitu PNS dan PPPK. Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah dilarang untuk mengangkat pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN. Yang dimaksud pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK adalah termasuk tenaga honorer. Apabila Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat



lain



di



lingkungan



instansi



pemerintah



masih



melakukan



pengangkatan ,Berkenaan dengan ketentuan ini, sejak tanggal 28 November 2018 PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) dan pejabat lain dilingkungan instansi pemerintah, seluruh pejabat yang selama ini memiliki kewenangan untuk mengangkat pegawai non- PNS dan/atau nonPPPK tidak diperbolehkan lagi untuk mengangkat pegawai non-PNS dan/atau nonPPPK (honorer) untuk mengisi jabatan ASN. Hal ini termasuk juga larangan untuk mengganti pegawai non-PNS dan/atau non-PPPK (honorer yang berhenti atau diberhentikan), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 96).



Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, pegawai non-PNS/Tenaga honorer yang bertugas pada instansi pemerintah termasuk 1) pegawai nonPNS/Tenaga honorer yang betugas pada lembaga non struktural, 2) pegawai nonPNS/Tenaga honorer yang bertugas pada instansi pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum/badan layanan umum daerah, 3) lembaga penyiaran publik dan 4) pegawai nonPNS/Tenaga honorer yang bertugas perguruan tinggi negeri baru berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Dosen dan Tenaga Kependidikan pada Perguruan Tinggi Negeri Baru sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, masih tetap melaksanakan tugas paling lama 5 (lima) tahun. Jabatan ASN menurut Pasal 13 Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara adalah sebagai berikut22: a) Jabatan administrasi yang terdiri dari : 1) Jabatan Administrator, (setingkat Eselon III), 2) Jabatan Pengawas (setingkat Eselon IV); dan 3) Jabatan Pelaksana misalnya Pengadministrasi umum, pengolah Data, Bendahara, Analis Data dll yang sebelum berlakunya Undang-undang ASN dikenal dengan jabatan fungsional umum.



b) Jabatan Fungsional misalnya



Dosen, Analis



kepegawaian, Pustakawan dll. c) Jabatan Pimpinan Tinggi (Pejabat setingkat Eselon I dan III). Peraturan Pemerintah ini memberikan penegasan kepastian hukum mengenai status kepegawaian tenaga honorer yang sudah tidak ada lagi dalam Undang-Undang ASN. Namun untuk menghindari kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi



tenaga honorer yang terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan dari tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama, masih diberikan kesempatan masa transisi selama 5 (lima) tahun penghapusan status tenaga honorer di instansi pemerintah, menurut Peraturan Pemeritah Nomor 49 Tahun 2019 ini berlangsung hingga tahun 2023. Satu bentuk perlindungan hukum itu adalah dalam perlindungan hukum harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum. Kepastian hukum itu sendiri salah satunya diwujudkan dengan adanya peraturan yang berfungsi memberikan kepastian akan kedudukan, hak dan kewajiban. Selain itu salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. 2. Tidak ada perlindungan atas kesejahteraan (ekonomis) Tenaga Honorer Dalam kepegawaian negara hak dan kewajiban yang dilaksanakan oleh aparatur negara didistribusikan kepada jabatan-jabatan negara dan dituangkan secara tertulis dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi Aparatur negara tersebut. Aparatur negara yang melaksanakan hak dan kewajibannya tersebut merupakan subjek hukum kepegawaian. Yang menjadi subjek hukum dalam undang-undang ASN adalah negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah atau penyelengggara negara dan pegawai ASN yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).



Dalam kepegawaian negara hak dan kewajiban yang dilaksanakan oleh aparatur negara didistribusikan kepada jabatan-jabatan negara dan dituangkan secara tertulis dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi Aparatur negara tersebut. Aparatur negara yang melaksanakan hak dan kewajibannya tersebut merupakan subjek hukum kepegawaian. Yang menjadi subjek hukum dalam undang-undang ASN adalah negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah atau penyelengggara negara dan pegawai ASN yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Hubungan antara pegawai ASN dengan negara adalah hubungan dinas publik. Logemann menyebutkan bahwa hubungan dinas publik adalah bilamana seseorang mengikatkan dirinya untuk tunduk pada perintah dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan yang dalam melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan itu dihargai dengan pemberian gaji dan beberapa keuntungan lain Hal Ini berarti bahwa inti dari hubungan dinas publik adalah kewajiban bagi pegawai untuk tunduk pada pengangkatan dalam beberapa macam jabatan tertentu yang berakibat bahwa pegawai yang bersangkutan tidak menolak atau menerima tanpa syarat pengangkatannya dalam satu jabatan yang telah ditentukan oleh pemerintah dimana sebaliknya pemerintah berhak mengangkat seseorang pegawai dalam jabatan tertentu tanpa harus adanya penyesuaian kehendak dari yang bersangkutan. Dalam hal ini hubungan tersebut menimbulkan “suatu perjanjian” yakni karena adanya penyesuaian



kehendak atau vrye verdrag (kontrak sukarela) antara pegawai dengan pemerintah. Kepastian hukum mengamanatkan bahwa pelaksanaan hukum harus sesuai dengan bunyi pasal-pasalnya dan dilaksanakan secara konsisten dan profesional. Prinsip Perlindungan hukum di Indonesia tidak terlepas dari landasan ideologi dan falsafah negara Indonesia yaitu Pancasila. Prinsip perlindungan



Hukum



di



Indonesia



adalah



prinsip



pengakuan



dan



perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Demikian halnya dengan Perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia Bagi tenaga kesehatan dengan status honorer selama masa transisi hingga tahu 2023 diprioritaskan untuk mengikuti tes CPNS dan PPPK. Pernyataan ini sejalan dengan yang disampaian oleh kementertian RB. . Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menegaskan, pemerintah tidak berpangku tangan menangani tenaga honorer. Pemerintah tetap memperhatikan secara serius nasib dari para tenaga honorer di tanah air, faktanya dari kurun waktu 2005 hingga 2014, sebanyak 860.220 Tenaga Honorer Kategori I (THK-I) dan 209.872 Tenaga Honorer Kategori (THK-II) telah diangkat Pemerintah. Sebanyak 1.070.092 orang tenaga honorer, baik THK-1 maupun THK-II telah diangkat menjadi ASN. Meski harus diakui, ini tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan organisasai karena sekitar 60% komposisi ASN di kantor pemerintahan



bersifat administratif. Sedangkan yang diperlukan adalah memperbanyak jabatan fungsional teknis keahlian3. B. Pengaturan tenaga honorer di DTPK Upaya pemerataan tenaga kesehatan dilakukan pemerintah karena mempunyai kontribusi yang besar untuk kesuksesan pembangunan kesehatan. Pada proses yang telah berjalan pendayagunaan tenaga kesehatan dapat melalui proses pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pusat maupun daerah, Pegawai Tidak Tetap (PTT) pusat maupun daerah atau dengan pengangkatan tenaga honorer, dan penugasan khusus terutama untuk Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Selain itu terdapat tenaga kontrak Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dengan mengacu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) RI No. 61 Tahun 2007 yang selanjutnya diubah menjadi Permendagri RI No. 79 tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Dengan adanya Permendagri tersebut, puskesmas yang berstatus BLUD dapat mengangkat pegawai dengan status non-PNS yang dapat dipekerjakan secara tetap atau kontrak. Dengan adanya regulasi ini, puskesmas yang pada dasarnya kekurangan tenaga, menggunakan peluang ini untuk mengangkat tenaga kontrak BLUD atau non-PNS, apalagi dengan adanya moratorium PNS, pengurangan PTT dan terbatasnya penugasan khusus dan dan tingginya kebutuhan era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga keberadaan tenaga non-PNS sangat membantu. Rizki Arifiani, Tjahjo Kumolo: Tenaga Honorer Diurus  https://zonasultra.com/tjahjo-kumolo-tenaga-honorer-diuruspemda.html diakses pukul 9.36 WITA 3



Pemda



Jenis kepegawaian tenaga non-PNS honorer pada Rifaskes 2011 (Gambar 5) mayoritas tiap regional memiliki persentase lebih 50%. Persentase tenaga PTT lebih 50% di regional Maluku dan Sumatera. Sedangkan tenaga Tugsus persentasenya sekitar 1%, persentase sekitar 3% hanya di regional Papua. Hasil Risnakes 2017, persentase jenis kepegawaian tenaga sukarela lebih 50% pada regional Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Sumatra. Tenaga kontrak/BLUD dengan persentase lebih 40% pada regional Papua dan Jawa Bali. Tenaga PTT dengan persentase lebih 40% di regional Maluku. sedangkan persentase tenaga tugsus/NS juga sangat kecil sekitar 1%, hanya regional Papua dan Maluku memiliki persentase sekitar 3-4%. Pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu prioritas dari 8 (delapan) fokus prioritas pembangunan kesehatan dalam kurun waktu 2010 – 2014. Penetapan pengembangan sumber daya manusia kesehatan sebagai salah satu prioritas adalah karena Indonesia masih menghadapi masalah tenaga kesehatan, baik jumlah, jenis, kualitas maupun distribusinya. Rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk belum memenuhi target yang ditetapkan sampai dengan tahun 2010. Sampai dengan tahun 2008, rasio tenaga kesehatan untuk dokter spesialis per 100.000 penduduk adalah sebesar 7,73 dibanding target 9; dokter umum 26,3 dibanding target 30; dokter gigi 7,7 dibanding target 11; perawat 157,75 dibanding target 158; dan bidan 43,75 dibanding target 75. Dari pendataan tenaga kesehatan pada tahun 2010, ketersediaan tenaga kesehatan di rumah sakit milik pemerintah (Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah), telah tersedia 7.336 dokter spesialis, 6.180 dokter umum, 1.660 dokter gigi,



68.835 perawat/bidan, 2.787 S-1 Farmasi/Apoteker, 1.656 asisten apoteker, 1.956 tenaga kesehatan masyarakat, 4.221 sanitarian, 2.703 tenaga gizi, 1.598 tenaga keterapian fisik, dan 6.680 tenaga keteknisian medis. Dengan memperhatikan standard ketenagaan rumah sakit yang berlaku, maka pada tahun 2010 masih terdapat kekurangan tenaga kesehatan di rumah sakit milik pemerintah (Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah), sejumlah 2.098 dokter spesialis, 902 dokter umum, 443 dokter gigi, 6.677 perawat/bidan, 84 orang S-1 Farmasi/Apoteker, 979 asisten apoteker, 149 tenaga kesehatan masyarakat, 243 sanitarian, 194 tenaga gizi, 800 tenaga keterapian fisik, dan 2.654 tenaga keteknisian medis. Dengan demikian kekurangan tenaga kesehatan di rumah sakit akan lebih besar lagi bila dihitung kebutuhan tenaga kesehatan di RS milik kementerian teknis lainnya, Rumah Sakit/Lembaga Kesehatan TNI dan POLRI serta Rumah Sakit Swasta. Sedangkan di Puskemas pada tahun 2010 telah tersedia 14.840 dokter umum, 6.125 dokter gigi, 78.675 perawat, 7.704 perawat gigi, 83.000 bidan, 6.351 orang S-1 Farmasi/Apoteker, 8.601 asisten apoteker, 1.356 tenaga kesehatan masyarakat, 6.031 sanitarian, 7.547 tenaga gizi, dan 2.609 tenaga keteknisian medis. Pada tahun yang sama, di Puskesmas di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK) telah tersedia tenaga kesehatan sebanyak 130 dokter umum, 42 dokter gigi, 955 perawat, 53 perawat gigi, 496 bidan, 60 asisten apoteker, 54 tenaga kesehatan masyarakat, 76 sanitarian, 67 tenaga gizi, dan 54 tenaga keteknisian medis. Dengan memperhatikan standard ketenagaan Puskesmas yang berlaku, maka pada tahun 2010 masih terdapat kekurangan tenaga kesehatan di Puskesmas, sejumlah 149 dokter umum, 2.093



dokter gigi, 280 perawat gigi, 21.797 bidan, 5.045 asisten apoteker, 13.019 tenaga kesehatan masyarakat, 472 sanitarian, 303 tenaga gizi, dan 5.771 tenaga keteknisian medis. Sedangkan untuk Puskesmas DTPK juga masih dihadapi kekurangan tenaga kesehatan sejumlah 64 dokter umum, 59 dokter gigi, 48 perawat gigi, 35 asisten apoteker, 249 tenaga kesehatan masyarakat, 25 sanitarian, 34 tenaga gizi, dan 47 tenaga keteknisian medis. Pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan untuk daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan tahun demi tahun diupayakan untuk ditingkatkan, namun belum dapat mencapai harapan. C. Kedudukan hukum tenaga kesehatan honorer di DTPK Pegawai yang tidak tetap menurut UU No.43 Tahun 1999 ialah: Pegawai yang sudah diangkat pada jangka waktu yang di tentukan dalam melakukan tugas pemerintah dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi dan pembangunan yang bersifat teknis professional. Tenaga honorer pada Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipi, Pasal 1 angka 1 menyatakan tenaga honorer ialah : “Pada seseorang atau orang yang sudah diangkat atau di angkat oleh pejabat lain atau pejabat pembina kepegawaian untuk melaksanakan tugastugasnya pada suatu pemerintahan atau penghasilan menjadi tanggung jawab dari APBN/APBD.” Pelaksanaan atau implementasi kebijakan publik merupakan salah satu aktivitas dalam proses kebijakan publik. Pada pelaksanaannya kebijakan publik sering bertentangan dengan apa yang diharapkan, bahkan kebijakan publik dapat menjadi batu sandungan bagi pembuat kebijakan itu sendiri. Pada pembuatan



kebijakan publik pun seringkali tidak melihat pada apa yang sebenarnya masyarakat butuhkan dalam pembuatan kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan tahapan pelaksanaan keputusan diantara pembentukan sebuah keputusan di antara pembentukan sebuah kebijakan, seperti hanya pasalpasal sebuah Undang-Undang maupun peraturan yang lain legislatif, keluarnya sebuah peraturan eksekutif, dan keluarnya keputusan pengadilan, atau keluarnya standar peraturan dan konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat.4 Walaupun suatu aturan dibuat dengan tepat, tidak menutup kemungkinan terjadi kegagalan dalam pelaksanaannya yang tidak baik dan efektif, sehingga aturan yang diterapkan tidak mampu mencapai tujuan yang diinginkan. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 814.1/169/SJ tanggal 10 Januari 2013 menegaskan tentang larangan pengangkatan honorer setelah tahun 2005 kepada seluruh Gubernur, Walikota dan Bupati di seluruh Indonesia, berikut isinya: 1. Bahwa berdasar Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 dinyatakan bahwa: “Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” 2. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami tegaskan bahwa: Amir Tahir, 2014, Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Get. 1, Alfabeta, Bandung, h.54 4



a. Gubernur dan Bupati/Walikota dilarang mengangkat lagi tenaga honorer atau yang sejenisnya; b. Pemerintah tidak akan mengangkat lagi tenaga honorer atau yang sejenisnya menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil; c. Apabila



Gubernur,



Walikota/Bupati



yang



masih



melakukan



pengangkatan tenaga honorer dan sejenisnya, maka konsekuensi dan dampak pengangkatan tenaga honorer atau sejenisnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Kedudukan pegawai honorer setelah diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yaitu akan tetap berkedudukan sebagai tenaga honorer selama pengaturan pengangkatan honorer yang sekarang telah berubah istilah menjadi PPPK tersebut belum dirubah oleh pemerintah. Adapun pengaturan mengenai pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS yang tercantum dalam Pasal 99 UU ASN, menyatakan bahwa CPNS yang berasal dari PPPK tidak otomatis dilakukan pengangkatan, Namun PPPK perlu mengikuti pemilihan yang diadakan bagi CPNS.



BAB III TANGGUNGJAWAB PEMERINTAH ATAS KESEJAHTERAAN TENAGA KESEHATAN HONORER DI DAERAH TERTINGGAL, PERBATASAN, DAN KEPULAUAN (DTPK) DALAM PENGATURANNYA YANG JELAS MENGENAI INSENTIF FINANSIAL DAN NON FINANSIAL



A. KESEJAHTERAAN TENAGA KESEHATAN HONORER DI DTPK Pegawai merupakan sumber daya manusia yang sangat penting dalam suatu organisasi publik. Pegawai yang memiliki kinerja baik, disiplin, serta memenuhi standar yang ditetapkan suatu organisasi publik hanya didapatkan melalui proses pengadaan pegawai yang terencana dan efektif. Keberhasilan proses pengadaan pegawai dapat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan fungsi-fungsi dan aktivitas manajemen sumber daya manusia lain yang dilakukan setelah proses rekrutmen selesai dilakukan. Salah satu cara dalam mencari sumber daya manusia yang berkualitas yaitu melalui sistem rekrutmen, seleksi pegawai dan penempatan yang tepat. Indonesia adalah Negara hukum sehingga segala tindakan pemerintah harus berdasarkan dan diatur oleh hukum. Pada awalnya masalah kepegawaian, pemerintah berpedoman pada UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang kini telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga



Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil. Keberadaan dari tenaga honorer tersebut bisa dikatakan dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Sebab dalam kenyataannya, dalam melakukan tugas-tugas pelayanan dalam pemerintahan, baik itu pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, sebagian besar banyak dilakukan dan dikerjakan oleh pegawai honorer yang mana mereka diangkat oleh masing-masing instansi maupun Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).5 Pegawai honorer atau kontrak merupakan warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Pengakuan negara terhadap warga negara yang menjalakan profesi sebagai tenaga kesehatan, telah diaktualisasikan kedalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Salah satu tujuan dari pembentukan Undang-Undang Tenaga Kesehatan adalah memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dan tenaga kesehatan itu sendiri. Pasal 3 huruf (e) Undang-Undang Tenaga Kesehatan, menjelaskan “Undang-Undang ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga Kesehatan”. Secara spesifik, pengakuan perlindungan dan kepastian hukum yang dialamatkan bagi tenaga kesehatan, tertuang dalam Pasal 57 huruf (a) UndangUndang Tenaga Kesehatan, yakni “Tenaga kesehatan dalam menjalani praktik berhak mendapatkan perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional”. Pasal tersebut bermakna, bahwa dimanapun tenaga kesehatan bertugas, baik itu pada saat praktik mandiri, atau di lembaga layanan kesehatan milik swasta, maupun instansi kesehatan pemerintah, berhak untuk mendapatkan



5



Hadi Suprayoga. Program Pembangunan Kawasan Perbatasan. Bappenas, Jakarta, 2009,h.3



perlindungan hukum, sepanjang pelaksanaan praktik layanan kesehatan yang diberikan, sesuai dengan standar prosedur operasional. Hak tenaga kesehatan untuk mendapatkan perlindungan hukum, dipertegas dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan, “Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”. Pasal tersebut mejelaskan bahwa hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan hak untuk mendapatkan imbalan, menjadi satu kesatuan dari kewajiban tanggung jawab negara terhadap tenaga kesehatan didalam pasal tersebut. Hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, diamanatkan pula dalam Pasal 38 ayat (1) sampai (4) Undang-Undang HAM (selanjutnya disebut UU HAM) yang menyatakan: (1) Setiap



warga



negara,



sesuai



dengan



bakat,



kecakapan,



dan



kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak; (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan; (3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa berhak atas upah serta syaratsyarat perjanjian kerja yang sama; (4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.



Pengaturan pasal di atas sejalan dengan apa yang diamanatkan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 huruf (a) sampai (d) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) menjelaskan bahwa, “Negara peserta konvenan mengakui bahwa hak atas pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan, yang dipilih atau diterimanya sendiri secara bebas, dan akan mengambil langkahlangkah yang tepat guna melindungi hak tersebut”. Hal demikian dilakukan agar warga negara yang memiliki HAM yang berasaskan kesederajatan/kesetaraan berkesempatan mendapatkan suatu pekerjaan layak yang dapat menunjang kehidupannya kearah yang lebih baik. Pekerjaan yang layak berdampak pada kesejahteraan hidup yang layak, sedangkan penghidupan yang layak dapat diperoleh melalui upah/gaji/imbalan yang layak pula. Amanat Undang-Undang yang mencerminkan hak pekerja untuk mendapatkan imbalan yang layak, tertuang pada Pasal 28 D ayat (2) UUD RI 1945, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Berikut ini, penjabaran amanat Pasal 28 D ayat (2) UUD RI 1945: 1. Setiap warga negara yang melakukan suatu pekerjaan, wajib diperhatikan hak-haknya untuk diperlakukan secara adil, baik itu adil dalam



mendapatkan imbalan maupun adil dalam penerapan perjanjian kontrak kerja yang disepakati bersama pihak pemberi kerja. 2. Imbalan yang layak berarti upah atau gaji yang diberikan kepada pekerja, yang sesuai dengan beban kerja yang dilakukannya, baik itu beban kerja sebagai pelaksana maupun beban kerja sebagai penanggung jawab (berkaitan standar pendidikan dan jabatan). 3. Beban kerja yang dimaksud adalah waktu yang dibutuhkan dalam menjalani pekerjaan tersebut. Perlakuan yang adil dimaksudkan untuk pemberian hak-hak waktu istirahat, hak atas jaminan kesehatan, hak mendapatkan cuti, jaminan pekerja tanpa adanya diskriminasi terhadap tinggi atau rendah jabatan mapun tingkat pendidikannya serta tidak memandang suku, ras, golongan maupun agama tertentu. 4. Hubungan kerja yang dimaksud adalah hubungan yang terjalin antara pihak pemberi kerja dan pihak penerima kerja yang dituangkan dalam suatu kontrak kerja tertulis yang memuat kesepakatan tertentu.



Penjabaran Pasal 28 D ayat (2) UUD RI 1945 di atas sesuai dengan penjelasan Munir Fuadi yang menyatakan, bahwa hak atas imbalan lahir setelah adanya kontrak kerja yang terjalin antara pihak pemberi kerja dan pihak penerima kerja dalam suatu hubungan kerja. Hal tersebut mengandung makna bahwa kontrak kerja tidak boleh memberatkan salah satu pihak saja. Imbalan yang diperoleh terdiri dari beberapa komponen, yakni imbalan pokok, tunjangan tetap serta tunjangan tidak tetap yang mengacu pada kebutuhan hidup yang manusiawi.



Hak atas imbalan yang layak merupakan HAM yang bersifat universal. Upah yang diperolehpun berhubungan dengan berat dan ringannya suatu pekerjaan sehingga dalam hal ini tidak dibenarkan bagi pemberi kerja melakukan diskriminasi dalam pemberian imbalan.6 Hal tersebut sejalan pula dengan yang disampaikan oleh M. Hutauruk, bahwa tanggung jawab negara untuk memenuhi hak ekonomi warga negara adalah menjamin terpenuhinya hak atas upah layak terhadap pekerjaan tersebut. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan pekerjaan dengan penghasilan yang layak untuk ukuran kemanusiaan dan menunjang kehidupan yang sejahterah. Kesejahteraan warga negara merupakan tolok ukur maju tidaknya suatu bangsa. Apabila semua kebutuhan terpenuhi, baik kebutuhan sandang maupun pangan, maka dapat dikatakan bahwa warga negara tersebut sejahtera. Tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam hal pemberdayaan dan pendayagunaan sumber daya manusia kesehatan tertuang dalam amanat Pasal 7 huruf (a) sampai (g) Undang-Undang Tenaga Kesehatan: Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah daerah kabupaten/kota berwenang untuk: (a) Menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan nasional dan provinsi; (b) Melaksanakan kebijakan Tenaga Kesehatan; (c) Merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan; (d) Melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;



Munir Fuadi, 2003, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Dalam Yetniwati, 2015 Pengaturan Upah Berdasarkan Prinsip Keadilan, Jurnal Fakultas Hukum, Universitas Jambi, hlm. 86. Diakses dari http://jurnal.ugm.ac.id, tanggal 26 Januari 2022 6



(e) Melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan; (f) Membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui pelaksanaan kegiatan perizinan Tenaga Kesehatan; dan (g) Melaksanakan kerjasama dalam negeri dibidang Tenaga Kesehatan



Penjabaran Pasal 7 huruf (a) sampai (g) Undang-Undang Tenaga Kesehatan sebagai berikut: 1. Pasal 7 huruf (a) mengandung makna bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk merangcang suatu peraturan tertulis tentang bagaimana memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kesehatan yang ada disuatu daerah, dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada di provinsi maupun kebijakan peraturan nasional. 2. Pasal 7 huruf (b) bermakna, bahwa aturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, dilaksanakan berdasarkan aturan pelaksana seperti yang dimaksudkan pada huruf (a). 3. Pasal 7 huruf (c) mengandung makna bahwa perencanaan tenaga kesehatan disesuaikan dengan jumlah fasilitas layanan kesehatan yang ada disuatu daerah, sehingga pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga profesional dapat berjalan dengan maksimal. 4 4. Pasal 7 huruf (d) bermakna, bahwa pemerintah dibebankan tanggung jawab dan kewajiban, serta memiliki hak prerogative dalam



pengadaan tenaga kesehatan. Pemerintah yang dimaksud adalah Dinas Kesehatan. 5. Pasal 7 huruf (e) bermakna, pemerintah menggunakan tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara merata diseluruh fasilitas layanan kesehatan, sehingga keberadaan tenaga kesehatan tersebut



bermanfaat



dalam perkembangan



kualitas



kesehatan masyarakat disuatu daerah. 6. Pasal 7 huruf (f) mengandung makna, bahwa pemerintah daerah memberikan



kesempatan



bagi



tenaga



kesehatan



untuk



mengembangkan diri, dalam hal praktik mandiri, pemberian surat izin kerja, serta mengawasi tenaaga kesehatan dalam melakukan pelayanan sesuai dengan standar prosedur operasional, serta memberikan pembinaan terhadap tenaga kesehatan untuk melakukan pelayanan kesehatan yang bermutu, seperti pelatihan-pelatihan tertentu. 7. Pasal 7 huruf (g) bermakna, pemerintah daerah membina kerjasama dengan fasilitas layanan kesehatan, baik itu fasilitas layanan kesehatan kesehatan milik pemerintah, maupun swasta, dalam pemanfaatan tenaga kesehatan.



Penjelasan pasal tersebut diatas senada dengan yang disampaikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada rapat kerja rencana pengembangan tenaga kesehatan tahun 2015-2025 di Jakarta yang menyatakan bahwa pemerintah



daerah berkewajiban mendayagunakan tenaga kesehatan meliputi penyebaran tenaga kesehatan yang merata dan berkeadilan, pemanfaatan tenaga kesehatan, dan pengembangan tenaga kesehatan serta peningkatan karirnya. Peningkatan pendayagunaan tenaga kesehatan diupayakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kesehatan disemua lini dari daerah sampai pusat secara lintas sektor, termasuk swasta, serta memenuhi kebutuhan pasar dalam menghadapi pasar bebas di era globalisasi. Pendayagunaan tenaga kesehatan di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK) dan daerah bermasalah kesehatan (DBK), perlu memperoleh perhatian khusus. Pendayagunaan tenaga kesehatan untuk manajemen kesehatan, institusi pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, institusi penelitian dan pengembangan kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, juga perlu mendapatkan perhatian yang memadai. Aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengamanatkan bagaimana tanggung jawab negara dan pemerintah dalam menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara, terlebih pemenuhan HAM. Hak-hak mutlak yang melekat dalam diri manusia tersebut wajib dilindungi, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh negara, pemerintah, dan setiap orang. Dalam HAM, terdapat asas kelekatan, asas kesederajatan/kesetaraan, asas nondiskriminasi, dan asas universal. Asas-asas tersebut menjadi bagian yang teramat penting dalam pembentukan hukum HAM. HAM menjadi bagian yang amat penting dalam proses keberlangsungan jalannya pemerintahan disuatu negara, maka dalam proses menjalankan roda pemerintahan yang baik, pemerintah wajib menjamin warga negaranya mendapat jaminan



keadilan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan asas-asas yang terkandung dalam HAM. Pasal 71 Undang-Undang HAM menjelaskan bahwa, “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan yang lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Undang-undang HAM menjelaskan terdapat hal-hal pokok yang telah disebutkan pada BAB sebelumnya, yang mana hal tersebut diatur dalam konstitusi bangsa Indonesia dan disesuaikan budaya bangsa. Pada pembahasan selanjutnya, difokuskan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan kualitas serta derajat hidup warga negara, hal pokok tersebut antara lain; hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta hak atas jaminan pengakuan, kepastian, perlindungan hukum. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM yang berasaskan kesederajatan serta kesetaraan berkewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan hidup seluruh rakyatnya. Untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut, negara perlu menjamin terpenuhinya hak-hak rakyat untuk memperoleh pekerjaan yang layak.7 Pada dasarnya, negara mempunyai tanggung jawab penuh dalam melindungi hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan serta menunjang kesejahteraan kehidupannya. Hak seluruh warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak telah diatur



Djumadi, 2008, Hubungan Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, hlm. 2. 7



dengan baik dalam berbagai perundang-undangan maupun Peraturan Pemerintah yang berlaku di Indonesia. Hak dan tanggung jawab tenaga kesehatan yang bekerja pada instansi kesehatan beriringan dengan tangung jawab pemberi kerja, Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Tenaga Kesehatan mengamanatkan: (1) Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di Fasilitas pelayanan kesehatan wajib melaksanakan tugas sesuai dengan Kompetensi dan kewenangannya. (2) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau kepala daerah yang membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lokasi, serta keamanan dan keselamatan kerja.



Penerapan hak nakes honorer atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, amatlah penting untuk dilaksanakan. Memastikan terpenuhinya penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara adil dan merata dalam hal hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah amanat Undang-Undang Dasar yang berlandasakan pada Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indoensia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak memasukkan tabungan dalam komponen kebutuhan hidup layak yang nilainya sebesar 2% dari seluruh total kebutuhan termasuk kebutuhan rekreasi.



Sebagian besar tenaga kesehatan mendapatkan kesempatan melakukan praktek mandiri. Ada kebijakan dari beberapa daerah atau Puskesmas yang mempersyaratkan menjadi tenaga honorer/kontrak atau relawan jika ingin membuka usaha praktek mandiri di wilayah tersebut. Sehingga perlu dilakukan penghitungan total penghasilan dengan tambahan pendapatan melalui praktek mandiri. Praktek mandiri dilakukan karena profesinya atau karena terkait pekerjaannya sebagai tenaga kesehatan di Puskesmas. B. TANGGUNGJAWAB INSENTIF FINANSIAL DAN NON FINANSIAL TENAGA KESEHATAN HONORER DI DTPK Warga negara yang memilih untuk bekerja sebagai tenaga kesehatan, telah dijamin oleh Undang-Undang untuk mendapatkan hak-haknya ketika bekerja. Dalam menjalani pekerjaannya, profesi tenaga kesehatan dituntut untuk selalu siap melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Keberadaan tenaga kesehatan merupakan ujung tombak dalam peningkatan derajat kesehatan bangsa, oleh sebab itu pemerintah mengapresiasi pekerjaan mulia itu melalui pengakuan hukum yang dituangkan dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Dalam Undang-Undang tersebut memuat tentang hak-hak dan kewajiban tenaga kesehatan dalam menjalani profesinya. Pemberian insentif pada nakes yang bekerja di DTPK merupakan kewajiban dari pemerintah daerah sesuai tempat dimana nakes tersebut ditugaskan sehingga diberlakukan otonomi daerah. Menurut Bagir Manan mengatakan bahwa otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan, bukan hanya tatanan Negara administrasi Negara. Sebagaimana Tatanan ketatanegaraan, otonomi berkaitan



dengan dasar-dasar Negara dan susunan organisasi bernegara. Menurut Fernandez yang dikutip oleh Dharma Setyawan Salam, bahwa otonomi daerah adalah pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.8 Selanjutnya pengertian dari otonomi daerah di atur didalam Pasal 1 ayat 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang bunyinya bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Rozali Abdullaah dalam buku Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung menjelaskah bahwa prinsip Otonomi terdiri dari 3 yaitu:9. Kusdarini, Eny. Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. UNY Press, Yogyakarta, 2011.h.70. 9 Muin, Fatkhul. 2014. Otonomi Daerah Dalam Persepektif Pembagian Urusan PemerintahPemerintah Daerah Dan Keuangan Daerah. Jurnal Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 1, Januari Maret.h.70 8



1. Prinsip Otonomi Luas Yang dimaksud otonomi luas adalah kepala daerah diberikan tugas, wewenang, hak, dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang tidak ditangani oleh pemerintah pusat sehingga isi otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah memiliki banyak ragam dan jenisnya. Di samping itu, daerah diberikan keleluasaan untuk menangani urusan pemerintahan yang diserahkan itu, dalam rangka mewujudkan tujuan dibentuknya suatu daerah, dan tujuan pemberian otonomi daerah itu sendiri terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan potensi dan karakteristik masing-masing daerah. 2.



Prinsip Otonomi Nyata Yang dimaksud prinsip otonomi nyata adalah suatu tugas, wewenang dan kewajiban untuk menangani urusan pemerintahan yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing.



3. Prinsip Otonomi yang Bertanggungjawab Yang dimaksud dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benarbenar sejalan dengan tujuan pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.



Pembagian urusan pemerintahan di Indonesia diatur dalam pasal 10-18 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam



pasal 10 ayat (1) bahwa “Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan yang oleh undangundang ini di tentukan menjadi urusan Pemerintah. Berdasarkan pasal tersebut dapat dikatakan bahwah Pemerintah Daerah dalam pemerintahannya menjalankan otonomi seluas-luasnya berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal 10 ayat(2). Pembagian urusan pemerintah ini di bagi menjadi tiga asas,yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.10 Terkait dengan pelaksanaan otonomi ada beberapa hal yang menjadi urusan dari pemerintah Pusat, hal ini tercantum dalam pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu : 1. Urusan politik luar negeri 2. Pertahanan 3. Keamanan 4. Yustisi 5. Moneter dan fisikal 6. Agama



Konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tanggan atas inisiatif sendiri, kepala pemerintahan lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri perlu dilengkapi dengan alat pelengkapan daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturannya, yaitu peraturan daerah. Keberadaan peraturan daerah merupakan condition sine quanom (syarat mutlak/syarat absolute) dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut, Perda harus Absori, Fatkhul Muin. 2016. Prosiding Konferensi Nasional Ke-4 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah (APPPTM). Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah : Suatu Tinjauan Terhadap Pembentukan Perda Yang Aspiratif, h 265. 10



dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan-urusan di daerah.11 Disamping itu juga Perda harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi



rakyat



daerah.



Kewenangan



dalam



membentuk



peraturan



daerah



berlandaskan pada pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah di atur di dalam Pasal 18 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang bunyinya “Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Bunyi pasal tersebut menjelaskan bahwa pemerintah pusat memberikan pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Konsep otonomi daerah pada setiap Negara hampir sama bahwa dasarnya susunan pemerintahan terbentuk secara hirarkhis. Dalam kerngka otonomi daerah, maka adanya hubungan yang bersifat hirarkhis. World health organization (WHO) mendefinisikan insentif sebagai "semua imbalan dan hukuman yang disediakan sebagai konsekuensi mereka bekerja dan intervensi khusus yang mereka berikan di institusi tersebut”. Pemberian insentif bertujuan untuk mencapai perubahan perilaku spesifik tertentu. Indaryanto, Wisnu. 2013. Public Involvement in the Process of Formation of Legislation Indonesian. Journal of Legislation. Vol. 10 No. 3. h. 202 11



Insentif



berfungsi



sebagai



pemacu



motivasi



petugas



kesehatan



untuk



menunjukkan kinerja yang lebih baik, meningkatkan retensi kerja dan mendapatkan kepuasan kerja yang lebih baik.12 Peningkatan motivasi dapat memicu peningkatan kinerja, sementara peningkatan kepuasan kerja dapat meningkatkan retensi tenaga kesehatan. Jenis Insentif terbagi menjadi dua jenis, yaitu insentif finansial dan insentif non finansial. Insentif finansial dapat berupa insentif finansial langsung dan tidak langsung. Yang termasuk insentif finansial langsung antara lain gaji, tunjangan hari tua, tunjangan untuk akomodasi, tunjangan wisata, tunjangan anak, tunjangan pakaian dan tunjangan kebutuhan medis. Insentif finansial tidak langsung meliputi subsidi makanan, pakaian, transportasi, fasilitas penitipan anak dan dukungan untuk studi lebih lanjut. Sementara insentif non finansial meliputi liburan, jam kerja yang fleksibel, akses/kesempatan pelatihan, cuti/cuti studi, karir terencana, konseling kesehatan kerja dan fasilitas rekreasi.13 Selain gaji pokok, tenaga kesehatan juga menerima insentif finansial langsung lainnya dari pemerintah, seperti tunjangan daerah, dana kapitasi, uang makan atau uang transport dan lain-lain. Seluruh daerah menyatakan bahwa tenaga kesehatan mendapatkan insentif finansial lainnya selain gaji pokok, seperti insentif dari kapitasi yang diterima seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas di seluruh kabupaten. Dasar formulasi pemberian insentif finansial, Bärnighausen T, Bloom DE. Financial incentives for return of service in underserved areas : a systematic review. BMC Health Serv Res [Internet]. 2009;17:1–17. Available from: http://www.biomedcentral.com/1472- 6963/9/86 13 Dambisya MY. A review of non-financial incentives for health worker retention in east and southern Africa. Heal Syst Res Group, Dep Pharmacy, Sch Heal Sci Univ Limpopo, South Africa [Internet]. 2007;(44):1–65. Available from: http://www.chwcentral.org/sites/default/files/A review of nonfinancial incentives for health worker retention in east and southern Africa.pdf 12



sebagian besar mempertimbangkan jenis Nakes dan beban kerja, namun ada beberapa kepala puskesmas yang tidak tahu dasar formulasinya dan ada yang membagi rata untuk semua jenis Nakes. Sementara tujuan pemberian insentif tunjangan daerah menurut kepala puskesmas adalah sebagian besar karena beban kerja dan prestasi kerja, namun masih ada kepala puskesmas yang tidak tahu tujuan pemberian tunjangan daerah. Insentif khusus nakes diberikan karena adanya kelangkaan profesi, beban kerja dan kondisi kerja.14 Insentif finansial tidak langsung yang telah diberikan kepada tenaga kesehatan. Insentif finansial tidak langsung antara lain fasilitas pendidikan berkelanjutan (beasiswa) yang diberikan kepada tenaga kesehatan, karena fasilitas beasiswa tidak diberikan secara langsung dalam bentuk dana tunai. Namun dengan adanya fasilitas beasiswa, pendidikan tenaga kesehatan dapat ditingkatkan yang akhirnya dapat memberikan dampak pada peningkatan jenjang kepegawaian tanaga kesehatan, gaji pokok ataupun tunjangan bagi tenaga kesehatan.15 Beberapa negara berkembang, salah satunya adalah Lesotho sudah mulai dikembangkan program untuk peningkatan distribusi dan retensi tenaga kesehatan di daerah terpencil melalui pemberian insentif non finansial yang meliputi peningkatan fasilitas sarana dan prasarana lingkungan kerja seperti komputer termasuk sistem teknologi informasi yang baik khususnya di daerah terpencil/sangat terpencil, fasilitas rumah dinas, jaminan keamanan di lingkunag kerja, sarana transportasi yang memadai, terutama untuk operasional tenaga Kemenkes. Pedoman Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan di DTPK. Dirjen Bina Upaya Kesehatan, Jakarta, 2012.h.18 15 Daft, Richard L. Manajemen, Alih Bahasa: Elim Salim dan Iman Karmawan, Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta. 2007.h.18 14



kesehatan dalam melakukan pelayanan.16 Anggaran utama pemberian insentif berasal dari anggaran nasional atau dengan dukungan dari donor, karena pemberian insentif ini terbukti dapat memberikan dampak positif terhadap ketersediaan dan retensi tenaga kesehatan di daerah sulit. Fasilitas pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu insentif non finansial yang tidak hanya bermanfaat dalam meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja tenaga kesehatan, tapi juga bermanfaat untuk meningkatkan kinerja tenaga kesehatan, salah satunya dalam rangka meningkatkan profesionalitas ataupun keterampilan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Di beberapa negara, program pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu skema dalam peningkatan motivasi dan kinerja tenaga kesehatan, anggarannya dapat diperoleh dari anggaran nasional ataupun bekerjasama dengan lembaga non pemerintahan. Dampak yang didapat dari pelatihan adalah peningkatan pelayanan kesehatan menjadi lebih baik.17 Kesempatan untuk mendapat fasilitas pendikan dan pelatihan secara tidak langsung juga dapat memberikan tambahan insentif. Umumnya pelatihan yang diikuti merupakan salah satu kesempatan untuk melakukan perjalanan dan mendapatkan tambahan finansial yang bermanfaat.18 Bagi tenaga honor atau sukarelawan



di



fasilitas



kesehatan,



kesempatan



ini



dapat



menambah



penghasilannya yang tidak sebanyak tenaga tetap di fasilitas kesehatan. Insentif Amare Y. Non Financial Incentives for Voluntary Community Health Workers: A Qualitative Study. Working Paper No.1, The last Ten Kilometers Project, JSI Research & Training Institute, Inc., Addis Ababa, Ethiopia. 2009. 17 Dussault G, Franceschini MC. Not enough there, too many here: understanding geographical imbalances in the distribution of the health workforce. Hum Resour Health [Internet]. 2006;4(1):12. Available from: http://www.human-resources-health.com/content/4/1/12 18 Mathis, Robert L dan Jackson John H. Manajemen Sumber Daya Manusia. Buku 2, Alih Bahasa: Sadeli dan Prawira Hle, Edisi Pertama, Salemba Empat, Jakarta, 2007, h.20 16



non finansial lainnya yang didapat oleh tenaga kesehatan adalah jaminan kesehatan, jaminan kesehatan terhadap tenaga kesehatan dan keluarganya merupakan salah satu komponen yang dapat meningkatkan kepuasan dan keamanan kerja bagi tenaga kesehatan.19 Di beberapa negara di Afrika, jaminan keamanan merupakan komponen insentif non finansial yang wajib diberikan bagi tenaga kesehatan, seperti yang diberikan di Negara Lesotho, Namibia, Malawi, Mauritius dan Zimbabwe. Kajian yang dilakukan di Zimbabwe mencatat bahwa, gaji, keamanan kerja dan kesempatan untuk meningkatkan karir merupakan faktor penting dalam meningkatkan kinerja tenaga kesehatan. Jaminan keamanan terhadap tenaga kesehatan merupakan salah satu komitmen yang seharusnya diberikan pemerintah daerah untuk memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan di wilayahnya. Keberadaan fasilitas sosial di wilayah kerja tenaga kesehatan juga merupakan faktor penting dalam upaya peningkatan motivasi kerja, karena fasilitas sosial berpengaruh terhadap kesejahteraan tenaga kesehatan dan keluarga. Salah satu fasilitas yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga adalah tersedianya sarana pendidikan dan pasar. Sarana pendidikan membuat tenaga kesehatan mendapatkan kepastian terhadap keberlangsungan pendidikan bagi anak-anaknya, dan adanya pasar membantu mereka memenuhi kebutuhan hidup keluarga. 20 Daerah terpencil, sangat terpencil, dan daerah biasa sudah seluruhnya tersedia fasilitas sosial seperti pasar, sekolah (SD, SMP, SMA atau sederajat), masjid, Hendrik, Etika Dan Hukum Kesehetan, EGC, Jakarta, 2018, h. 32. Siagian, P. Sondang. Manajemen Sumber Daya Manusia Cet. 21. PT Bumi Aksara, Jakarta, 2013.h.18 19 20



gereja, tempat ibadah lain, lapangan/GOR, dan taman/tempat rekreasi. Insentif non finansial yang didapatkan tenaga kesehatan antara lain fasilitas rumah dinas, kendaraan dinas, pendidikan dan pelatihan, jaminan kesehatan, jaminan keamanan dan fasilitas sosial. Pemberian insentif pada SDM Kesehatan di terbitkan sebagai mana surat keputusan Menkes No. 156/MENKES/SK/I/2010 tentang Pemberian Insentif Bagi Tenaga Kesehatan dalam rangka Penugasan Khusus di Puskesmas Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), Kebijakan tentang pemberian Insentif



dan



waktu



penugasan



di



DTPK.



Kepmenkes



No.



1235/MenKes/SK/XII/2007 tentang pemberian insentif bagi SDM kesehatan yang melaksanakan



penugasan



khusus.



Menurut



KEPMENKES



No.



156/MENKES/SK/I/2010 Insentif per bulan regional I: Rp. 2,7 jt dan regional II: Rp. 1,7 jt dan Potongan PPh sesuai ketentuan berlaku. Untuk Propinsi Riau dan Propinsi Kalimantan Barat adalah regional II maka besaran insentif nakes penugasan khusus (jenjang DIII) adalah penghasilan pokok per bulan Rp 1.700.000,- dengan insentif per bulan Rp 1.700.000,- dan potongan PPh sesuai ketentuan



berlaku.



Sedangkan



menurut



KEPMENKES



No.



1235/MENKES/SK/XII/2007 Insentif per bulan Rp. 2,5 jt Potongan PPh sesuai ketentuan berlaku. Untuk Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan Penugasan Khusus: Hak: Biaya perjalanan 1 x pp dan Insentif bulanan selama bertugas sedangkan Kewajiban: Melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan. Membuat laporan pelaksanaan tugas.



Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan PerundangUndangan Hak-hak yang patut diperoleh tenaga kesehatan, salah satunya adalah mendapatkan imbalan jasa. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 57 huruf (c) Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Pasal tersebut menyatakan bahwa “Tenaga kesehatan dalam menjalankan praktiknya berhak menerima imbalan jasa”. Secara spesifik, dalam hal perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan, yang mempunyai hak untuk melakukan pekerjaan yang layak guna mendapatkan kehidupan yang layak yang mengarah pada kesejahteraan, dimuat dalam Pasal 36 huruf (c) Undang-Undang Keperawatan. Pasal tersebut menyatakan, “Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berhak menerima imbalan jasa atas pelayanan keperawatan yang telah diberikan”. Berdasarkan uraian peraturan perundang-undangan di atas , baik itu Undang-Undang, maupun Peraturan Pemerintah, tidak ada satupun yang mengarah pada pembenaran bagi pemberi kerja untuk mempekerjakan warga negara dengan status sukarela. Namun kenyataan yang terjadi di daerah ditemukan fakta bahwa terdapat sebagian warga negara yang bekerja di instansi pemerintah secara sukarela tanpa dibayar. Pengembangan tenaga



kesehatan termasuk



peningkatan



karirnya



dilakukan melalui peningkatan motivasi tenaga kesehatan untuk mengembangkan diri, dan mempermudah tenaga kesehatan memperoleh akses terhadap pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. Peningkatan pelatihan tenaga kesehatan dilakukan melalui pengembangan standar pelatihan tenaga kesehatan guna memenuhi standar kompetensi yang diharapkan oleh pelayanan kesehatan kepada seluruh penduduk Indonesia. Peningkatan pelatihan tenaga kesehatan, juga



dilakukan melalui akreditasi institusi pelatihan tenaga kesehatan, serta sertifikasi tenaga pelatih.21 Sebagai contoh terkait kebijakan tersebut, kini banyak pemerintah daerah dengan DTPK berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan. Misal, kebijakan kesehatan di Kabupaten Sorong dan Raja Ampat pada tahun terakhir difokuskan dalam rangka pengembangan sarana dan prasarana kesehatan yaitu peningkatan status rumah sakit, dan pelayanan kesehatan masyarakat terpadu. Selain pengadaan tenaga kesehatan, pemerintah daerah juga menyediakan insentif bagi dokter dan paramedis serta pemberian pelatihan bagi tenaga kesehatan. Bentuk dukungan lain dari Pemerintah Daerah Raja Ampat adalah program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan - 12 - prasarana puskesmas/pustu dan jaringannya. Untuk memenuhi kebutuhan bidan desa, Pemerintah Daerah Morotai Maluku Utara juga memberikan beasiswa bagi 15 orang putra daerah berjenis kelamin perempuan lulusan SMA/SLTA yang sudah menikah, berumur tidak lebih dari 30 tahun, mendapat restu dari keluarga dan suaminya, bersedia mengabdikan diri di desa sebagai bidan desa (tiap desa 2 orang), dan lulus seleksi. Dalam hal ini, Pemerintah daerah bekerja sama dengan salah satu akademi kebidanan swasta di Tobelo. Para peserta didik D3 Kebidanan tersebut mendapatkan beasiswa penuh dari APBD. Selain pemberian beasiswa, pemeritah daerah juga bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Ternate, membuka kelas



khusus



(Sabtu–Minggu)



yang



diselenggarakan



di



Universitas



Yuniarsi, Tjutju dan Suwatno. Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Keperawatan Teori, Aplikasi, dan Isu Penelitian, Alfabeta. Bandung, 2013.h.34 21



Muhammadiyah Ternate. Program pendidikan ini ditujukan untuk karyawan tetap maupun honorer yang bekerja di sarana kesehatan (baik lulusan SMA, SPK, atau D3) yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang D3 atau S1 dan biaya selama pendidikan ditanggung sendiri dan mereka hanya mendapatkan ijin belajar, namun setelah lulus harus kembali mengabdikan dirinya di Morotai. Contoh lain, Pemerintah Kalimantan Timur mengarahkan lembaga-lembaga kesehatan yang ada di Kaltim untuk menempatkan tenaga medisnya di daerah perbatasan, pedalaman dan daerah terluar Kaltim sehingga menyentuh ke masyarakat yang terisolasi. Dalam hal ini, pemerintah menyediakan anggaran pemberian insentif kepada para tenaga medis, dan juga anggaran subsidi obat-obatan, perbaikan atau melengkapi fasilitas seperti puskesmas dengan layanan rawat inap yang perlu ditingkatkan. Sebagai contoh pada pengaturan tentang insentif nakes Peraturan Bupati Seruyan Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Pemberian Insentif Pelayanan Medis Tenaga Kesehatan Honorer Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Seruyan Bab Iii Penerima Insentif Pelayanan Medis. Pasal 3 (1) Tenaga Kesehatan Medis dan Paramedis yang mendapatkan Insentif Pelayanan Medis adalah Pegawai Tidak Tetap dan Tenaga Kontrak/Honorer yang bertugas pada sarana pelayanan kesehatan di Kabupaten Seruyan dan sudah dianggarkan pada APBD Kabupaten Seruyan. (2) Pegawai Tidak Tetap dan Tenaga Kontrak/honorer yang menerima Insentif Pelayanan Medis dibayarkan berdasarkan pendidikan menurut uraian tugasnya yang dilaksanakan dan ditetapkan oleh Bupati Seruyan. Pasal 5 Insentif Pelayanan Medis diberikan sejak yang bersangkutan mulai melaksanakan tugas yang dinyatakan dengan Surat Keterangan Aktif Bekerja dari atasan Pegawai Tidak Tetap/ Tenaga Honorer/ Tenaga kontrak pada SKPD bersangkutan.



Pasal 6 Untuk pembayaran Insentif Pelayanan Medis dapat dibayarkan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: 1. Daftar Hadir Kerja setiap bulan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang ditempat bertugas : a. Sarana Kesehatan Pustu, Poskesdes dan Polindes disahkan oleh Lurah/Kepala Desa diketahui oleh Kepala Puskesmas; b. Sarana Kesehatan Puskesmas disahkan oleh Kepala Puskesmas diketahui oleh Kepala Dinas Kesehatan; c. Sarana Kesehatan Rumah Sakit disahkan oleh Direktur Rumah sakit diketahui oleh Kepala Dinas Kesehatan. 2. Laporan Pelayanan Kesehatan yang berisi tanggal, pelayanan kesehatan yang diberikan setiap bulan disahkan oleh pejabat yang berwenang ditempat bertugas : a. Sarana Kesehatan Pustu, Poskesdes dan Polindes disahkan oleh Lurah/Kepala Desa diketahui oleh Kepala Puskesmas; b. Sarana Kesehatan Puskesmas disahkan oleh Kepala Puskesmas diketahui oleh Kepala Dinas Kesehatan; c. Sarana Kesehatan Rumah Sakit disahkan oleh Direktur Rumah sakit diketahui oleh Kepala Dinas Kesehatan. Pasal 7 (1) Terhadap Tenaga Kesehatan Medis/ Paramedis dapat dikenakan pemotongan Insentif Pelayanan Medis. (2) Pemotongan Insentif Pelayanan Medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan : a. Masuk kerja tidak sesuai dengan waktu ketentuan yang berlaku tanpa keterangan dan / atau tanpa ijin dipotong sebesar 3% (tiga persen) per hari dari besarnya Insentif Pelayanan Medis; b. Tidak masuk kerja tanpa keterangan dan /atau tanpa ijin dipotong sebesar 7% (tujuh persen) per hari dari besarnya Insentif Pelayanan Medis; c. Tenaga kesehatan yang ijin sakit (dibuktikan dengan surat keterangan dokter), ijin bersalin, ijin dengan alasan penting, lebih dari 10 (sepuluh) hari diberikan Insentif Pelayanan Kesehatan sebesar 50% (lima puluh persen) dari besaran Insentif Pelayanan Kesehatan pada bulan yang bersangkutan. Pasal 8 Insentif Pelayanan Medis dihentikan/ tidak dibayarkan apabila : (1) Tidak masuk kerja / tidak memberikan pelayanan kesehatan tanpa keterangan dan / atau tanpa ijin maksimal 4 (empat) hari secara terus menerus atau akumulasi pada bulan yang bersangkutan; (2) Menjalani penahanan sementara karena proses hukum oleh pihak yang berwajib minimal 10 (sepuluh) hari; (3) Tidak menyampaikan sebagaimana dimaksud pada pasal 6; (4) Laporan pelayanan kesehatan yang diberikan tidak sesuai standar pelayanan minimal dan/ atau tidak ada pelayanan yang diberikan terhadap masyarakat/ pasien. Terkait dengan pendaan dan sumber dana maka ketentuan yang berlaku adalah Pasal 9 Biaya yang timbul akibat diberlakukannya Peraturan Bupati ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten



Seruyan melalui Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) dan / atau Dokumen Perubahan Pelaksanaan Anggaran (DPPA) pada Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Umum Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Seruyan. C. TANGGUNGJAWAB



PEMERINTAH



ATAS



KESEJAHTERAAN



TENAGA KESEHATAN HONORER DI DTPK Amanat



Undang-Undang



yang



menjamin



setiap



orang



berhak



mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, belum cukup mampu mencerminkan norma-norma hukum yang bersumber dari peraturan perundangundangan yang dibentuk melaui proses yang sah oleh lembaga atau organ yang berwewenang dan bersifat tertulis. Peraturan perundangundangan belum mampu merangkul perawat secara keseluruhan yang mengabdi pada tatanan instansi kesehatan pemerintah daerah.22 Nilai-nilai HAM yang melekat pada diri setiap individu yang tertuang pada peraturan perundang-undangan tidak dilaksanakan secara utuh. HAM berpandangan bahwa jika ada warga negara yang dalam pekerjaannya tidak diperhatikan hak-hak dasarnya untuk mendapatkan upah, maka hal tersebut dapat dikatakan bukan sebagai pekerjaan yang layak dan mengarah pada pelanggaran HAM sebab tidak mengarah pada pencapaian kehidupan yang layak dari segi kesejahteraan. Melindungi HAM nakes honorer merupakan tanggung jawab pemerintah daerah selaku penyelenggara negara maupun selaku pemberi kerja. Peraturan perundang-undangan maupun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sangatlah penting, sebab hal tersebut merupakan bentuk kewajiban pemerintah dalam menaugi nakes honorer agar dapat bekerja secara optimal. Tugas utama Jaazim Hamidi dan Herlin Wijayanti, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Pasitipatif, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008,h.3. 22



dari pemangku pemerintah yakni mengarahkan seluruh sistem perundangan dan lembaga untuk memberikan bantuan pada khalayak maupun kepada golongan khas, juga kepemimpinan negara mengusahakan agar struktur dan fungsi administrasi negara bisa meningkatkan kesejahteraan umum dan perseorangan. Golongan khas yang dimaksud yakni mengarah pada profesi nakes yang berstatus honorer. Idealnya pemerintah daerah perlu menerapkan pengaturan HAM berdasarkan



sistem



negara



kesejahteraan



yang



dianut



Indonesia,



agar



terselenggara terhadap pemenuhan hak nakes honorer atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pengimplementasian Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 merupakan kewajiban negara untuk menegakkan supremasi hukum bagi tiap warga negara yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik itu, dikotakota besar, maupun di daerah-daerah terpencil, sehingga fungsi hukum dalam mengatur segala hal yang berkaitan bagi setiap warga negara dapat berjalan tertib, lancar, dan sesuai aturan. Sesuai amanat Pasal 14 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,



“Pemerintah



bertanggung



jawab



merencanakan,



mengatur,



menyelenggarakan membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.”



Namun, pemerataan upaya



kesehatan di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimal karena kendala geografis dan sosial, yaitu mereka yang tinggal di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK). UUD RI 1945 merupakan dasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hierarki perundang-undangan, UUD RI 1945 berada pada



urutan tertinggi sebagai dasar pertimbangan pembentukan peraturan perundangundangan, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Dalam UUD 1945 dimuat amanat yang mengatur tentang bagaimana negara menjamin hak-hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 mengamanatkan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ani Nuryani menjabarkan frasa demi frasa yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) di atas sebagai berikut: 1. Frasa “Tiap-tiap warga negara”, hanya diperuntukkan bagi warga negara yang berusia produktif, dan telah menyelesaikan pendidikan formal maupun nonformal dan siap bekerja sesuai bidang dan keahliannya masing-masing serta disesuaikan dengan angkatan kerja yang ada, artinya anak yang masih berusia di bawah umur tidak masuk dalam klasifikasi yang dimaksud. 2. Frasa “berhak atas pekerjaan” mempunyai makna bahwa pekerjaan yang menjadi haknya telah disediakan oleh negara melalui pemerintah yang menjalankan roda pemerintahan. Pekerjaan yang layak itu sendiri merupakan pekerjaan yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam menjalankan pekerjaan yang layak, pekerja perlu diperhatikan semua hak dan kewajiban yang mana hak dan kewajiban tersebut dituangkan dalam sebuah kontrak tertulis.



3. Frasa “penghidupan yang layak” bermakna tentang bagaimana negara menjamin bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh warga negara mendukung kearah peningkatan kesejahteraan penghidupan yang layak bagi standar kehidupan manusia yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan.



Pernyataan tersebut di atas selaras pula dengan penjelasan yang disampaikan oleh Hutauruk, bahwa Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 bersangkut paut dengan pengaturan mengenai hak-hak warga negara yang mengandung pengertian bahwa ketentuan pasal tersebut bertujuan untuk dapat memberikan jaminan kepada setiap warga negara yang berada pada usia produktif berhak untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kehidupannya. Konsekuensi yang harus dilaksanakan



yakni



bahwa



pasal



tersebut



mewajibkan



negara



untuk



memperlakukan rakyat dalam memberikan kesempatan untuk mendapat pekerjaan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Untuk memperoleh kesempatan bekerja tidak seorangpun dapat dicegah atau dipaksa melawan kemauan orang lain baik dengan cara ancaman, desakan maupun dengan sikap politis.23 Berdasarkan uraian yang disampaikan oleh para ahli di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa makna yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 adalah setiap warga negara yang berusia produktif, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang layak yang menunjang kesejahteraan penghidupan yang menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan tanpa adanya tindakan diskriminasi terhadap suku, ras agama, 23



serta orientasi politiknya, dan memperhatikan asas kesederajatan/kesetaraan serta asas non diskriminasi. Pasal 7 huruf (a) sampai (d) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) menerangkan: Negara-negara pihak pada konvenan ini mengakui hak setiap orang untuk mengenyam kondisi-kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan menjamin: (a) Pemberian upah bagi semua pekerja, sebagai minimum dengan: (1) Gaji yang adil dan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya tanpa perbedaan apapun, terutama wanita yang dijamin kondisi kerjanya tidak kurang dan kondisi yang dinikmati oleh pria, dengan gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama; (2) Penghidupan yang layak untuk dirinya dan keluarganya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. (b) Kondisi kerja yang aman dan sehat; (c) Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ketingkat



yang



lebih



tinggi



dan



sesuai



tanpa



pertimbanganpertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan; (d) Waktu istirahat, hiburan dan pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan berkala dengan gaji maupun imbalan-imbalan pada hari-hari libur nasional.



Setiap pekerja harus dihargai setimpal dengan yang dikerjakannya. Hal tersebut berhubungan dengan martabat kemanusiaan, yang berarti mengapresiasi pekerja sama halnya dengan menghormati dan meninggikan derajat dan martabatnya sebagai manusia. Bentuk penghargaan yang diberikan, bisa berupa kenaikan pangkat, kenaikan gaji, tunjangan, jaminan mendapatkan pengobatan apabila dirinya pribadi atau keluarganya sakit, dan lain sebagainya, sehingga keberlangsungan hidupnya dapat terjamin. Pemberi kerja diharuskan untuk memperhatikan hak-hak para pekerja, antara lain : hak untuk memilih pekerjaan yang disukainya, hak untuk mendapatkan perjanjian kerja, seperti; durasi jam bekerja dalam sehari, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan, hak mendapatkan cuti, hak jaminan keselamatan kerja, serta yang paling utama adalah hak untuk mendapatkan upah yang layak. Hak tersebut harus dimuat dalam suatu perjanjian tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pasal 23 ayat (3) Deklarasi Universal HAM PBB, mengamanatkan, “Setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik, yang menjamin kehidupannya bersama dengan keluarga, sepadan dengan martabat manusia dan jika ditambah dengan bantuan-bantuan sosial lainnya”. Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia sebagai bagian dari negara yang turut menyetujui Deklarasi Universal tentang HAM menjadi salah satu negara yang menjunjung tinggi HAM, dan menjamin agar merealisasikan terhadap setiap warga negara.



Pasal 4 huruf (a) sampai (d) Undang-Undang Ketenagakerjaan mengamanatkan,



bahwa



pembangunan



tenaga



kerja



bertujuan



untuk:



(a)Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; (b)Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; (c)Memberikan



perlindungan



kepada



tenaga



kerja



dalam



mewujudkan



kesejahteraan; dan (d)Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya Pasal tersebut mengatur tentang pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja, pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan lapangan kerja, serta memberikan perlindungan untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan. Makna-makna yang tertuang dalam Pasal 4 huruf (a) sampai (d) Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut: 147 (1) Pasal 4 huruf (a), Makna dari frasa “pemberdayaan” yang ada pada pasal tersebut, yakni memberikan kesempatan kerja bagi setiap warga negara yang telah memenuhi syarat-syarat untuk bekerja, sedangkan makna dari frasa “mendayagunakan”, yakni mengoptimalkan potensi yang ada pada setiap warga negara untuk melakukan pekerjaan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup. Untuk dapat memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja, maka akses untuk mendapatkan pekerjaan menjadi komponen penting yang perlu diperhatikan pemerintah dalam pembangunan tenaga kerja. Akses yang dimaksud adalah upaya pemerintah dalam mempersiapkan warga negara untuk menjadi seorang pekerja yang handal dan mampu bersaing. Langkah-langkah pemerintah untuk memberikan akses tersebut, antara lain; Memberikan suatu pelatihan kerja;



Mengadakan seminar yang berkaitan dengan suatu pekerjaan; dan Memberikan ruang untuk dapat mengembangkan bakat yang dimiliki. Ketersediaan lapangan kerja menjadi komponen penting lain untuk dapat mewujudkan hak pekerjaan yang layak. Menyediakan lapangan kerja merupakan suatu kewajiban pemerintah, yang mana kewajiban tersebut merupakan ikhtiar dalam memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja. Maka, yang menjadi poin penting dalam pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja adalah tidak mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadilan. (2) Pasal 4 huruf (b) menjelaskan bahwa pemerintah memiliki suatu kewajiban serta tanggung jawab dalam hal pemerataan kesempatan kerja terhadap setiap warga negara. Pemerataan kesempatan kerja yang dimaksud adalah melakukan suatu perencanaan yang matang dalam penyediaan lapangan kerja. (3) Pasal 4 huruf (c) menjelaskan bahwa negara menjamin tenaga kerja untuk dapat memenuhi hak kesejahteraannya melalui optimalisasi pengupahan yang layak. (4) Pasal 4 huruf (d) bermakna bahwa peningkatkan kesejahteraan tidak hanya ditujukan kepada tenaga kerja semata, melainkan pemenuhan kesejahteraan keluarganya pun menjadi poin penting untuk dilaksanakan. Peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dapat dilaksanakan melalui penyediaan fasilitas perumahan. Penjabaran pasal di atas, sejalan dengan penyampaian yang dilakukan oleh Manulang, bahwa pemberdayaan maupun pendayagunaan tenaga kerja bertujuan untuk memberikan kesempatan kerja yang seluasluasnya terhadap tenaga kerja Indonesia melalui suatu kebijakan yang bersinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu pemberdayaan dan pendayagunaan tersebut



diharapkan dapat mengoptimalkan pembangunan nasional dan pembangunan daerah terhadap tenaga kerja Indonesia dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaannya. Pemerataan kesempatan kerja harus dilakukan diseluruh wilayah Indonesia dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh warga negara indonesia sesuai dengan minat, bakat, kompetensi serta kemampuan yang dimilikinya, dan diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di daerah pada berbagai sektor. Pembangunan yang diarahkan pada pekerja berkorelasi pada peningkatan kesejahteraan hidup pekerja tersebut berserta keluarganya, yang mana apabila kemampuan etos kerjanya tinggi maka produktifitas



akan



tinggi



pula,



yang



berpengaruh



pada



meningkatnya



kesejahteraan. Prihal pemenuhan pembangunan tenaga kerja atas pekerjaan yang layak, paling tidak terdapat tiga komponen yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Komponen-komponen tersebut antara lain: (1) Akses untuk mendapatkan pekerjaan dan ketersediaan lapangan kerja; (2) Perencanaan kebutuhan tenaga kerja; dan (3) Keberlanjutan.24 Pekerjaan yang layak adalah pekerjaan yang dilakukan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan yang dimaksud adalah tidak melakukan suatu bentuk eksploitasi terhadap tenaga kerja dengan memperhatikan hak-haknya secara utuh sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. Untuk memperoleh kesejahteraan yang mengarah pada penghidupan yang layak , pekerja diharuskan memperoleh Sedjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta. 24



upah yang layak pula, standar upah yang tersebut, didasarkan pada Upah Minum Regional (UMR) atau Upah Minimum Propinsi (UMP), dan memberikan kesempatan bagi pekerja untuk dapat mengembangkan kariernya, serta memberikan suatu kejelasan terkait persyaratan perjanjian kerja. Pasal 57 ayat (1) huruf (a) sampai (i) Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan secara rinci bahwa: Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat; (a). Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; (b). Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; (c). Jabatan atau jenis pekerjaan; (d). Tempat pekerjaan; (e). Besarnya upah dan cara pembayarannya; (f). Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; (g). Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; (h). Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan (i). Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.



BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dasar hukum yang digunakna dalam menetapkan pegawai honorer dalam lingkup kesehatan adalah Keputusan Presiden RI No. 37 Tahun 1991 dan Keputusan Presiden RI No. 23 Tahun 1994 Pengangkatan Dokter sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti dan Pengangkatan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia RI No. : 1540/Menkes/Sk/ XII/2002 Penempatan Tenaga Medis Melalui Masa Bakti Dan Cara Lain Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 683/ Menkes/SK/III/2011 Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter Spesialis/ Dokter Gigi Spesialis/Dokter/Dokter Gigi dan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap. 2. Pemerintah daerah bertanggungjawab atas kesejahteraan nakes yang menjadi tenaga honorer di wilayah kerjanya berdasarkan perda setempat. Hal ini didasarkan pada otonomi daerah berdasarkan pembagian urusan pemerintahan di Indonesia diatur dalam pasal 10-18 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 10 ayat (1) bahwa Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan yang oleh undang-undang ini di tentukan menjadi urusan Pemerintah. Kesejahteraan tersebut meliputi adanya insentif finansial yang berupa gaji dan non-finasial yang



berupa fasilitas rumah dinas, kendaraan dinas, pendidikan dan pelatihan, jaminan kesehatan, jaminan keamanan dan fasilitas sosial.



B. Saran 1. Pemerintah perlu memberikan reward yang sesuai dengan pengabdian yang dilakukan oleh nakes yang bertugas di DTPK 2. Pemerintah Daerah melalui Dinas Kesehatan perlu memperhatikan kebutuhan dan melakukan evaluasi hasil kinerja nakes honorer dalam bertugas di DTPK dan memberikan insentif sesuai dengan beban kerja sehingga hak-hak nakes dapat dipenuhi sebagaimana mestinya.