BAB II Kegawatdaruratan Obstetri [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

63



BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN



A. Dasar-dasar Penanganan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal 1. Pengertian Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,



seringkali



merupakan



kejadian



yang



berbahaya.



Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa. Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya. Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu, janin dan bayi baru lahir. Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis (≤ usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu.



14



15



2. Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal a. Sebab Kematian Ibu, Janin dan Bayi Baru Lahir Kasus kegawatdaruratan obstetri ialah kasus yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat kesakitan yang berat, bahkan kematian ibu dan janin. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu, janin dan bayi baru lahir. Secara umum, terdapat 4 penyebab utama kematian ibu, janin dan bayi baru lahir dari sisi obstetri, yaitu (1) perdarahan; (2) infeksi sepsis; (3) hipertensi dan preeklampsia/eklampsia; dan (4) persalinan macet (distosia). Persalinan macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung, sedangkan ketiga penyebab yang lain dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Kasus perdarahan yang dimaksud disini adalah perdarahan yang diakibatkan oleh perlukaan jalan lahir mencakup juga kasus rupture uteri. Selain keempat penyebab kematian tersebut, masih banyak jenis kasus kegawatdaruratan obstetri baik yang terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan, misalnya emboli air ketuban, kehamilan ektopik, maupun yang tidak terkait langsung dengan kehamilan dan persalinan, misalnya luka bakar, syok anafilaktik karena obat dan cedera akibat kecelakaan lalu lintas.



b. Manifestasi Klinik Manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan tersebut berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, sebagai berikut :



16



1) Kasus perdarahan, dapat bermanifestasi mulai dari perdarahan berwujud bercak merembes, profus, sampai syok. 2) Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan pervaginam yang berbau, air ketuban hijau, demam, sampai syok. 3) Kasus hipertensi dan preeclampsia/eklampsia, dapat bermanifestasi mulai dari keluhan sakit/pusing kepala, bengkak, penglihatan kabur, kejang-kejang, sampai koma/pingsan/tidak sadar. 4) Kasus persalinan macet, lebih mudah dikenal apabila kemajuan persalinan tidak berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal, tetapi kasus persalinan macet ini dapat merupakan manifestasi rupture uteri. 5) Kasus kegawatdaruratan lain, bermanifestasi klinik sesuai dengan penyebabnya. Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat manifestasi klinik kasus kegawatdaruratan obstetri yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, mengenal kasus tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bergantung pada pengetahuan, kemampuan daya pikir dan daya analisis, serta pengalaman tenaga penolong. Kesalahan ataupun keterlambatan dalam menentukan kasus dapat berakibat fatal. Dalam prinsip, pada saat menerima setiap kasus yang dihadapi harus dianggap gawatdarurat atau setidak-tidaknya dianggap berpotensi gawat darurat, sampai ternyata setelah pemeriksaan selesai kasus itu ternyata bukan kasus gawat darurat.



17



c. Prinsip Dasar Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama (diagnosis) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak panik, walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan. 1) Menghormati hak pasien Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa memandang status sosial dan ekonominya. Dalam hal ini petugas harus memahami dan peka bahwa dalam situasi dan kondisi gawat darurat perasaan cemas, ketakutan, dan keprihatinanan adalah wajar bagi setiap manusia dan keluarga yang mengalaminya.



2) Gentleness Dalam melakukan pemeriksaan ataupun memberikan pengobatan setiap langkah harus dilakukan dengan penuh kelembutan, termasuk menjelaskan kepada pasien bahwa rasa sakit atau kurang enak tidak dapat dihindari sewaktu melakukan pemeriksaan atau memberikan pengobatan, tetapi prosedur akan dilakukan selembut mungkin sehingga perasaan kurang enak itu diupayakan sesedikit mungkin. 3) Komunikatif Petugas kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa dan kalimat yang tepat, mudah dipahami dan memperhatikan nilai



18



norma kultur setempat. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus menjelaskan kepada pasien apa yang akan diperiksa dan apa yang diharapkan. Apabila hasil pemeriksaan normal atau kondisi pasien sudah stabil, upaya untuk memastikan hal itu harus dilakukan. Menjelaskan kondisi yang sebenarnya kepada pasien sangatlah penting. 4) Hak pasien Hak-hak pasien harus dihormati seperti penjelasan informed consent, hak pasien untuk menolak pengobatan yang akan diberikan dan kerahasiaan status medik pasien.



5) Family support Dukungan keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus mengupayakan hal itu antara lain dengan senantiasa memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang kondisi pasien, peka akan masalah keluarga yang berkaitan dengan keterbatasan keuangan, keterbatasan transportasi, dan sebagainya. Dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat di nomor duakan, misalnya apabila pasien dalam keadaan syok, dan petugas kesehatan kebetulan hanya sendirian, maka tidak mungkin untuk meminta informed consent kepada keluarga pasien. Prosedur untuk menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan walaupun keluarga pasien belum diberi informasi. d. Penilaian Awal Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam keadaan gawat darurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan



19



pemeriksaan secara sistematis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan obstetri. Dalam praktik, oleh karena pemeriksaan sistematis membutuhkan waktu yang agak lama, padahal penilaian harus dilakukan secara cepat, maka dilakukan penilaian awal. Penilaian awal adalah langkah untuk menentukan dengan cepat kasus obstetri



yang



dicurigai



dalam



keadaan



kegawatdaruratan



dan



membutuhkan pertolongan segera dengan mengidentifikasi penyulit yang dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis lengkap belum dilakukan. Anamnesa awal dilakukan bersama-sama periksa pandang, periksa raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan informasi yang sangat penting berkaitan dengan kasus. Misalnya apakah kasus mengalami pendarahan, demam, tidak sadar, kejang, susah mengedan atau bersalin lama, dan sebagainya. Fokus utama penilaian adalah apakah pasien mengalami syok hipovolemik, syok septik, syok jenis lain (syok kardiogenik, syok neurologic, dan sebagainya), koma, kejang-kejang, atau koma disertai kejang-kejang, dan hal itu terjadi dalam kehamilan, persalinan, atau pascapersalinan. e. Prinsip Umum Penanganan 1) Pastikan jalan nafas bebas Harus diyakini bahwa jalan nafas tidak tersumbat. Jangan memberikan cairan atau makanan ke dalam mulut karena pasien sewaktu-waktu dapat muntah dan cairan muntahan dapat terisap masuk ke dalam paru-paru. Putarlah kepala pasien dan kalau perlu putar juga badannya kesamping dengan demikian bila ia muntah, tidak sampai terjadinya aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya



20



tetap hangat karena kondisi hipotermia berbahaya dan dapat memperberat syok. Naikkanlah kaki pasien untuk membantu aliran darah balik ke jantung. Jika posisi berbaring menyebabkan pasien merasa sesak nafas, kemungkinan hal ini dikarenakan gagal jantung dan edema paru-paru.



Pada



kasus



demikian,



tungkai



diturunkan



dan



naikkanlah posisi kepala untuk mengurangi cairan dalam paru-paru. 2) Pemberian oksigen Oksigen diberikan dengan kecepatan 6-8 liter/menit. Intubasi maupun ventilasi tekanan positif hanya dilakukan kalau ada indikasi yang jelas. 3) Pemberian cairan intravena Cairan intravena diberikan pada tahap awal untuk persiapan mengantisipasi kalau kemudian penambahan cairan dibutuhkan. Pemberian cairan infus intravena selanjutnya baik jenis cairan, banyaknya cairan yang diberikan, dan kecepatan pemberian cairan harus sesuai dengan diagnosis kasus. Misalnya pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang pada syok hipovolemik seperti pada perdarahan berbeda dengan pemberian cairan pada syok septik. Pada umumnya dipilih cairan isotonik, misalnya NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Jarum infus yang digunakan sebaiknya nomor 16-18 agar cairan dapat dimasukkan secara cepat. Pengukuran banyaknya cairan infus yang diberikan sangatlah penting. Berhati-hatilah agar tidak berlebihan memberikan cairan intravena



terlebih



lagi



pada



syok



septik.



Setiap



tanda



pembengkakan, nafas pendek, dan pipi bengkak, kemungkinan



21



adalah tanda kelebihan pemberian cairan. Apabila hal ini terjadi, pemberian cairan dihentikan. Diuretika mungkin harus diberikan bila terjadi edema paru-paru. 4) Pemberian transfusi darah Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai syok, tranfusi darah sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa penderita. Walaupun demikian, transfusi darah bukan tanpa resiko dan bahkan dapat berakibat komplikasi yang berbahaya dan fatal. Oleh karena itu, keputusan untuk memberikan transfusi darah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Resiko yang serius berkaitan dengan transfusi darah mencakup penyebaran mikroorganisme infeksius (misalnya human immunodeficiency virus atau HIV dan virus hepatitis), masalah yang berkaitan dengan imunologik (misalnya hemolisis intravascular), dan kelebihan cairan dalam transfusi darah. 5) Pasang kateter kandung kemih Kateter kandung kemih dipasang untuk mengukur banyaknya urine yang keluar guna menilai fungsi ginjal dan keseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan tubuh. Lebih baik dipakai kateter foley. Jika kateterisasi tidak mungkin dilakukan, urine ditampung



dan



dicatat



kemungkinan



terdapat



peningkatan



konsentrasi urine (urine berwarna gelap) atau produksi urine berkurang sampai tidak ada urine sama sekali. Jika produksi urine mula-mula



rendah



kemudian



semakin



bertambah,



hal



ini



menunjukkan bahwa kondisi pasien membaik. Diharapkan produksi urine paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 ml/jam.



22



6) Pemberian antibiotika Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada kasus sepsis, syok septik, cidera intraabdominal, dan peforasi uterus. Pada kasus syok, pemberian antibiotika intravena lebih diutamakan sebab lebih cepat menyebarkan obat ke jaringan yang terkena infeksi. Apabila pemberian intravena tidak memungkinkan, obat dapat diberikan intramuscular. Pemberian antibiotika peroral diberikan jika pemberian intravena dan intramuscular tidak memungkinkan, yaitu jika pasien dalam keadaan syok, pada infeksi ringan, atau untuk mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi diantisipasi dapat terjadi sebagai komplikasi. 7) Obat pengurang rasa nyeri Pada beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri, penderita dapat mengalami rasa nyeri yang membutuhkan pengobatan segera. Pemberian



obat



pengurang



rasa



nyeri



jangan



sampai



menyembunyikan gejala yang sangat penting untuk menentukan diagnosis. Hindarilah pemberian antibiotika pada kasus yang dirujuk tanpa didampingi petugas kesehatan, terlebih lagi petugas tanpa kemampuan untuk mengatasi depresi pernapasan. 8) Penanganan masalah utama Penyebab utama kasus kegawatdaruratan kasus harus ditentukan diagnosisnya dan ditangani sampai tuntas secepatnya setelah kondisi pasien memungkinkan untuk segera ditindak. Kalau tidak, kondisi kegawatdaruratan dapat timbul lagi dan bahkan mungkin dalam kondisi yang lebih buruk.



23



9) Rujukan Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai untuk menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap. Sebaiknya sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima rujukan dihubungi dan diberitahu terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan ataupun perawatan inap telah dilkukan dan diyakini rujukan kasus tidak akan ditolak oleh fasilitas kesehatan rujukan tersebut. Kebanyakan ibu hamil tampak sehat-sehat saja sampai waktu persalinan dan melahirkan. Meskipun sebagian besar ibu akan mengalami persalinan normal, namun ada sekitar 10-15 % dari mereka, khususnya di Indonesia akan mengalami masalah selama proses persalinan dan kelahiran dan perlu dirujuk ketempat dimana mereka bisa menerima pertolongan. Sulit untuk meramalkan ibu mana yang akan mengalami masalah dan yang mana tidak. Oleh sebab itu penting mendiskusikan kemungkinan rujukan dengan ibu hamil semenjak ia dating untuk asuhan antenatal. Dari segi penolong persalinan, seorang penolong persalinan juga sudah harus mempunyai perencanaan yang baik mengenai sistem rujukan berkaitan dengan kelengkapan fasilitas tempat rujukan, jarak dan biaya pada tempat rujukan. Berikut ini adalah ringkasan hal-hal yang penting untuk diingatkan saat akan memberangkatkan ibu untuk dirujuk :



24



Bidan (B) yaitu jika mungkin pasien ditemani oleh seseorang bidan atau petugas kesehatan lainnya yang mempunyai kemampuan untuk memberikan penatalaksanaan awal kegawatdaruratan obstetri dan bayi baru lahir. Alat (A) yaitu tersedian alat untuk pertolongan persalinan bila ibu melahirkan saat diperjalanan ketempat rujukan. Keluarga (K) yaitu beritahu ibu dan keluarga mengenai kondisi terakhir ibu dan mengapa ibu perlu dirujuk. Amat dianjurkan agar ada anggota keluarga khususnya suami menemani ibu hingga ketempat rujukan. Surat (S) yaitu walaupun diterima oleh bidan/petugas



kesehatan



adalah



sangat



dianjurkan



untuk



melampirkan surat yang menyatakan identitas pasien, penyebab rujukan,



hasil



pemeriksaan,



diagnosis,



masalah



dan



penatalaksanaan/terapi yang telah diberikan termasuk partograf. Obat (O) yaitu persiapan obat-obatan yang dibutuhkan untuk menatalaksanaan kegawatdaruratan yang mungkin terjadi selama perjalanan ke tempat rujukan. Kendaraan (K) yaitu siapkan kendaraan yang paling memungkinkan ibu untuk dirujuk dalam kondisi cukup nyaman, disamping kondisi kendaraan tersebut juga cukup baik agar mencapai tempat rujukan pada waktu yang tepat. Uang (U) yaitu ingatkan pada keluarga agar membawa uang dalam jumlah yang cukup untuk membeli obat-obatan dan kebutuhan lainnya selama proses rujukan. f. Kunci Keberhasilan



25



Penanganan



kegawatdaruratan



maternal



dan



neonatal



meliputi



intervensi yang spesifik untuk menangani kasus “kegawatan” atau komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan nifas serta kegawatan pada bayi baru lahir di bawah 30 hari.Intervensi yang dilakukan antara lain pemberian antibiotik intravena, penanganan komplikasi aborsi, penanganan perdarahan postpartum, penanganan asfiksia neonatorum, penanganan icterus neonatorum, dan lain sebagainya. Kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal bukanlah merupakan tanggung jawab petugas kesehatan untuk menanganinya. Namun, dibutuhkan peran serta berbagai pihak dalam mewujudkan kondisi yang mendukung demi tercapainya keselamatan ibu dan bayi yang mengalami kegawatan melalui sistem pertolongan yang sinergi, bekerja efektif, efisien dan kontinu. Pemberi bantuan dana, pembuat kebijakan, dan petugas kesehatan harus menyadari bahwa tujuan utama penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya, juga untuk menyelamatkan jiwa bayi yang baru lahir atau dengan kata lain untuk mengurangi angka kematian ibu dan angka kematian neonatal. Penyediaan pelayanan penanganan kegawatdaruratan yang berkualitas bukanlah penyelesaian masalah. Bukan pula dengan tersedianya rumah sakit yang menyediakan layanan pembedahan di kamar operasi, tetapi ada beberapa poin yang menentukan behasilnya pertolongan kasus kegawatdaruratan diantaranya sebagai berikut : 1) Pendidikan dan mobilisasi komunitas, tujuannya agar masyarakat mengetahui



kapan



harus



mencari



pertolongan



dan



kapan



26



menghubungi petugas kesehatan jika tampak tanda bahaya atau kegawatan. 2) Pinjaman dana komunitas, karena kurangnya biaya merupakan masalah atau hambatan dalam mendapatkan pertolongan ataupun penanganan di fasilitas kesehatan. Mendirikan sebuah pinjaman dana komunitas memberikan dampak yang baik dimana masyarakat termotivasi



dalam



mendonorkan



dana



demi



tercapainya



penggunaan fasilitas yang dibutuhkan oleh ibu ataupun bayi yang mengalami kegawatan. 3) Trained and skilled staff, yakni petugas kesehatan yang terlatih dan terampil. 4) Ketersediaan alat transportasi merupakan elemen yang krusial dari kuatnya sistem rujukan. Alat transportasi tidak mesti harus ambulans. Sarana transportasi umum seperti taxi ataupun mobil pribadi dapat digunakan dalam situasi gawat darurat. 5) Maternity waiting homes (rumah singgah ibu) dirancang umumnya untuk mengurangi komplikasi intra partum dan post partum. Penggunaan MWH ini telah lama direkomendasikan oleh WHO sebagai strategi untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian ibu. 6) Ketersediaan obat, bahan, alat dan perlengkapan, kamar operasi dan lain sebagainya di fasilitas kesehatan. 7) Lingkungan kerja yang kondusif serta kerja sama antara petugas yang baik. 8) Meningkatkan kualitas sistem penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal pada setiap fasilitas kesehatan pusat pelayanan kesehatan.



27



9) Komunikasi dan hubungan antara penolong kasus kegawatan pada level komunikasi dengan petugas di fasilitas yang lebih baik (tempat rujukan).



3. Indikator Kesehatan Maternal Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia adalah masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan. Menghadapi masalah ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe Motherhood yang mempunyai prioritas pada peningkatan pelayanan kesehatan wanita terutama pada masa kehamilan, persalinan dan pascapersalinan. Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Fakta berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati.



28



Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyak ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan, permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan. Di samping itu, dengan masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku, yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi pada saat melahirkan. Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh ibu wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada ibu wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dan memang selain ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga



29



rendah. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan bayi. Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatam ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat. Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan karena beberapa alasan antara lain dikenal secara dekat, biaya murah, mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta merawat ibu dan bayi sampai 40 hari. Disamping itu juga masih adanya keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang ada. Walaupun sudah banyak dukun beranak yang dilatih, namun praktik-praktik tradisional tertentu masih dilakukan. Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasihat-nasihat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa ibu ke



30



rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis, dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan. Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa paska persalinan. Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produk ASI ; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktikpraktik yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan ibu. Misalnya, mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula. 4. Manajemen Asuhan Kebidanan Manajemen kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan dalam menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis, mulai dari pengkajian, analisa data, diagnosis kebidanan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Proses manajemen terdiri dari 7 langkah berurutan dimana setiap langkah disempurnakan secara periodik. Proses dimulai dengan pengumpulan data dasar dan berakhir dengan evaluasi. Ketujuh langkah tersebut membentuk suatu kerangka lengkap yang diaplikasikan dalam situasi apa pun. Akan tetapi, setiap langkah dapat diuraikan lagi menjadi langkah-langkah yang lebih rinci dan bisa berubah sesuai dengan kondisi klien.



31



Ketujuh langkah manajemen kebidanan menurut Varney adalah sebagai berikut : a. Langkah I : Identifikasi Data Dasar 1) Pada langkah pertama ini



dilakukan



pengkajian



dengan



mengumpulkan semua informasi yang akurat dan lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien. 2) Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan dan pemeriksaan tandatanda fital. 3) Pemeriksaan penunjang (laboratorium). b. Langkah II : Identifikasi Diagnosis atau Masalah Aktual Ada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar, terhadap diagnosis atau masalah kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan, sehingga dapat merumuskan Diagnosis dan masalah yang spesifik. c. Langkah III : Antisipasi Diagnosis/Masalah Potensial Pada langkah ini, dilakukan identifikasi diagnosis atau masalah potensial dan mengantisipasi penanganannya. Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah potensial atau diagnosis potensial yang berdasarkan



rangkaian



diidentifikasikan.



masalah



Langkah



ini



dan



diagnose



membutuhkan



yang antisipasi



sudah bila



memungkinkan dilakukan pencegahan, sambil mengamati klien, bidan diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnosis/masalah potensial ini benar-benar terjadi. Langkah ini sangat penting didalam melakukan asuhan yang aman. d. Langkah IV : Tindakan Segera dan Kolaborasi Pada langkah ini mencerminkan kesinambungan dari proses manajemen kebidanan. Bidan menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera,



32



melakukan konsultasi, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain berdasarkan kondisi klien, pada langkah ini bidan juga harus merumuskan tindakan emergency untuk menyelamatkan ibu dan bayi, yang mampu dilakukan secara mandiri dan bersifat rujukan. e. Langkah V : Rencana Tindakan Asuhan Kebidanan pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh yang ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya dan merupakan lanjutan manajemen terhadap diagnosis atau masalah yang telah diidentifikasikan atau diantisipasi. Rencana tindakan komprehensif bukan hanya meliputi kondisi klien serta hubungannya dengan masalah yang dialami oleh klien, tetapi juga dari kerangka pedoman antisipasi terhadap klien, serta penyuluhan, konseling dan apakah perlu merujuk klien bila ada masalah-masalah yang berkaitan dengan social-ekonomi, agama, kultural ataupun masalah psikologis. Setiap rencana asuhan harus diseratai oleh klien dan bidan agar dapat dilaksanakan dengan efektif. Sebab itu, harus berdasarkan rasional yang relevan dan kebenarannya serta situasi dan kondisi tindakan harus secara teoritis. f. Langkah VI : Implementasi Tindakan Asuhan kebidanan melaksanakan rencana tindakan serta efesiensi dan menjamin rasa aman klien. Implementasi dapat dikerjakan keseluruhan oleh bidan ataupun bekerja sama dengan kesehatan lain. Bidan harus melakukan implementasi yang efesien dan akan mengurangi waktu perawatan serta akan meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan. g. Langkah VII : Evaluasi Tindakan asuhan kebidanan mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan asuhan yang diberikan kepada klien. Pada tahap evaluasi



33



ini bidan harus melakukan pengamatan dan observasi terhadap masalah yang duhadapi klien, apakah masalah diatasi seluruhnya, sebagian telah dipecahkan atau mungkin timbul masalah baru. Pada prinsipnya tahapan evaluasi adalah pengkajian kembali terhadap klien untuk menjawab pertanyaan seberapa jauh tercapainya rencana yang dilakukan.



B. Indikator Mutu Pelayanan Kebidanan 1. Definisi Indikator adalah pengukuran tidak langsung suatu peristiwa atau kondisi. Contoh : berat badan bayi dan umurnya adalah indikator status nutrisi dari bayi tersebut (Wilson & Sapanuchart, 1993). Indikator adalah variabel yang mengindikasikan atau menunjukkan satu kecendrungan situasi, yang dapat dipergunakan untuk mengukur perubahan (Green, 1992). Indikator adalah variabel untuk mengukur suatu perubahan baik langsung maupun tidak langsung (WHO, 1981). Ada dua kata penting dalam pengertian tersebut diatas adalah pengukuran dan perubahan. Untuk mengukur tingkat hasil suatu kegiatan digunakan indikator sebagai alat atau petunjuk untuk mengukur prestasi pelaksanaan



34



suatu kegiatan. Indikator adalah alat atau petunjuk untuk mengukur prestasi suatu pelaksanaan kegiatan. Indikator adalah tolak ukur yang menunjukkan tercapai tidaknya suatu standar pelayanan kesehatan, dapat diukur dengan menggunakan instrumen atau suatu daftar tilik. Mutu pelayanan kesehatan adalah penampilan yang pantas dan sesuai (yang berhubungan dengan standar-standar) dari suatu intervensi yang diketahui aman, yang dapat memberikan hasil kepada masyarakat yang bersangkutan dan yang telah mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dampak (Amirudin, 2007). Indikator mutu pelayanan kesehatan terdiri dari beberapa macam. Indikator adalah suatu perangkat yang dapat digunakan dalam pemantauan suatu proses tertentu. Indikator mutu pelayanan kesehatan adalah suatu ukuran penatalaksanaan pasien atau keluaran dari layanan kesehatan. Indikator dibuat untuk memantau bagian kritis dari layanan kesehatan. 2. Klasifikasi Indikator Menurut Amiruddin (2007) dalam melakukan penilaian mutu ada tiga pendekatan penilaian mutu yaitu Struktur, Proses dan Outcomes. Menurut Donabedian sebagaimana dikutip Mulyadi (2001 : 1-2), pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat diukur dengan menggunakan tiga variabel : a. Input (struktur) yaitu segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kesehatan, seperti tenaga, dana, obat, fasilitas, peralatan, bahan, teknologi, organisasi, informasi dan lain-lain. Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input yang bermutu pula. Hubungan struktur dengan mutu pelayanan kesehatan



35



adalah dalam perencanaan dan pergerakan pelaksanaan pelayanan kesehatan. b. Proses ialah interaksi profesional antara pemberi pelayanan dengan konsumen (pasien/masyarakat). Proses ini merupakan variabel penilaian mutu yang penting. c. Output/Outcome ialah hasil pelayanan kesehatan merupakan perubahan yang terjadi pada konsumen (pasien/masyarakat), termasuk kepuasan dari konsumen tersebut. Sistem klasifikasi indikator didasarkan atas kerangka kerja yang logis dimana kontinum masukan (input) pada akhirnya mengarah pada luaran (outcomes). Indikator input (struktur) merujuk pada sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan aktivitas personel, alat/fasilitas, informasi, dana, peraturan/kebijakan. Struktur meliputi sarana fisik perlengkapan dan peralatan, organisasi dan manajemen keuangan, sumberdaya manusia lainnya di fasilitas kesehatan. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari : a. b. c. d.



Jumlah besarnya input Mutu struktur atau mutu input Besarnya anggaran atau biaya Kewajaran



Indikator proses adalah memonitor tugas atau kegiatan yang dilaksanakan. Indikator output mengukur hasil meliputi cakupan, termasuk pengetahuan, sikap dan perubahan perilaku yang dihasilkan oleh tindakan yang



36



dilakukan. Indikator ini juga disebut indikator efek. Proses merupakan semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat dan tenaga profesional lainnya) dan interaksi dengan klien. Proses mencakup diagnosa, rencana pengobatan, indikasi pengobatan, indikasi tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Baik tidaknya proses dapat diukur dari : a. Relevan tidaknya proses itu bagi klien. b. Fleksibilitas dan efektifitas. c. Mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang semestinya. d. Kewajaran, tidak kurang dan tidak berlebihan. Indikator outcome dipergunakan untuk menilai perubahan atau dampak (impact) suatu program, perkembangan jangka panjang termasuk perubahan status kesehatan masyarakat/penduduk. Outcomes adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap klien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif maupun negatif. Outcome jangka pendek adalah hasil dari segala suatu tindakan tertentu atau prosedur tertentu. Outcome jangka panjang adalah status kesehatan dan kemampuan fungsional klien. Ilustrasi dari kontinum indikator dengan contoh kegiatan imunisasi : input meliputi peralatannya, vaksin dan alat proteksi dan staf yang terlatih, proses adalah kegiatan dalam melakukan aktifitas pemberian imunisasi, output meliputi cakupan pemberian meningkat adalah output dan outcome adalah dampaknya sebagai efek output antara lain menurunnya morbiditas



37



dan mortalitas dari upaya pencegahan penyakit melalui imunisasi (outcome). Indikator klinis adalah indikator yang berfokus pada hasil asuhan kepada pasien dan proses serta spesifikasinya. Indikator klinis adalah ukuran kuantitas sebagai pedoman untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas asuhan pasien dan berdampak pada pelayanan. Indikator harus selalu dimonitor agar diketahui jika terjadi penyimpangan, individu juga dapat menilai tingkat prestasinya sendiri (self assessment). Kinerja bidan adalah proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh suatu organisasi dalam memberikan jasa atau produk kepada pelanggan. Sekumpulan prinsipprinsip pedoman untuk kegiatan dimana pekerjaan setiap individu memberikan sumbangan bagi perbaikan pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Bagaimana saya dapat membantu orang lain untuk memahami arti pekerjaan bagi keseluruhan. Secara garis besar ada lima kegiatan utama bidan : a. Merumuskan tanggungjawab dan tugas yang harus dicapai oleh bidan/perawat dan disepakati oleh atasannya. Rumusan ini mencakup kegiatan yang dituntut untuk memberikan sumbangan berupa hasil kerja. b. Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk hasil yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu, termasuk penetapan standar prestasi dan tolak ukurnya. c. Melakukan monitoring, koreksi, memfasilitasi serta memberikan kesempatan untuk perbaikan.



38



d. Menilai prestasi perawat/bidan tersebut dengan cara membandingkan prestasi actual dengan standar. Indikator inilah yang selalu diterapkan dilapangan, seorang bidan yang mempunyai tanggungjawab dan tugas selalu memperhatikan tindakan yang dilakukannya agar kliennya tidak kecewa dengan pelayanan yang diberikan bidan kepadanya, dan hasilnya juga memuaskan. Klien puas dengan pelayanan seorang bidan pun senang atas hasil pekerjaannya tersebut. 3. Karakteristik Indikator Indikator memiliki karakteristik sebagai berikut : a. Sahih (valid) artinya indikator benar-benar dapat dipakai untuk mengukur aspek-aspek yang akan dinilai. b. Dapat dipercaya (reliable) mampu menunjukkan hasil yang sama pada saat yang berulangkali, untuk waktu sekarang maupun yang akan datang. c. Peka (sensitive) cukup peka untuk mengukur sehingga jumlahnya tidak perlu banyak. d. Spesifik (specific) memberikan gambaran perubahan ukuran yang jelas dan tidak tumpang tindih. e. Relevan sesuai dengan aspek kegiatan yang akan diukur dan kritikal. Contoh : pada unit bedah indikator yang dibuat berhubungan dengan pre-operasi dan post-operasi. 4. Standar Outcome Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap klien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif maupun negatif. Outcome jangka



39



pendek adalah hasil dari segala suatu tindakan tetentu atau prosedur tertentu. Outcome jangka panjang adalah status kesehatan dan kemampuan fungsional klien. Standar outcome diukur melalui hasil : a. Kepuasan pelanggan Dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman klien. Berkaitan dengan kepuasan, terdapat masalah pokok yang ditemukan yaitu kepuasan yang bersifat subjektif. Tiap orang memiliki tingkat kepuasan yang berbedabeda. Sekalipun pelayanan kebidanan telah memuaskan klien, tetapi masih banyak ditemukan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar profesi dank ode etik. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan pembatasan yaitu : 1) Pembatasan pada derajat kepuasan klien Pengukuran kepuasan dilakukan tidak secara individual, tetapi yang dipakai adalah kepuasan rata-rata. Pelayanan kebidanan bermutu apabila dapat memuaskan klien. 2) Pembatasan pada upaya yang dilakukan Pelayanan kebidanan yang menimbulkan kepuasan harus memenuhi kode etik dan standar pelayanan kebidanan. Mutu pelayanan kebidanan merujuk pada tingkat kesempurnaan yang dapat memuaskan dengan tingkat rata-rata klien serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar profesi kebidanan. b. Ketepatan pelayanan kesehatan Sesuai standar dan etika profesi. Ketetapan sebagai indikator mutu pelayanan



kesehatan



dimaksudkan



adalah



penanganan kesehatan yaitu : 1) Tepat dalam pelayanan atau penanganannya 2) Tepat waktu pelaksanaan tindakan 3) Tepat dalam pemberian obat serta dosisnya 4) Tepat dalam penggunaan fasilitasnya c. Efisiensi pelayanan kesehatan



keefektifan



dalam



40



Menggunakan input dan proses minimal dengan hasil maksimal. Mutu pelayanan kesehatan dikatakan efisien erat hubungannya dengan : 1) Dapat dicegahnya yankes yang dibawah standar dan ataupun yang berlebihan. 2) Biaya yang ditambahkan karena harus menangani efek samping atau komplikasi karena yankes dibawah standar akan dapat dihindari. 3) Pemakaian sumber daya yang tidak pada tempatnya yang ditemukan pada pelayanan yang berlebihan. d. Efektifitas pelayanan kesehatan Sesuai kebutuhan klien. Mutu pelayanan kesehatan dikatakan efektif erat hubungannya dengan dapat diatasinya masalah kesehatan secara tepat, karena pelayanan kesehatan yang diselenggarakan telah sesuai dengan kemajuan ilmu dan tekhnologi dan ataupun standar yang telah ditetapkan. 5. Efisiensi dan Efektifitas a. Efisiensi Efisiensi mutu pelayanan kesehatan merupakan dimensi penting dari mutu karena efisiensi akan mempengaruhi hasil pelayanan kesehatan, apalagi sumberdaya pelayanan kesehatan pada umumnya terbatas. Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang optimal daripada memaksimalkan pelayanan kepada pasien dan masyarakat. Petugas akan memberikan pelayanan yang terbaik dengan sumber daya yang dimiliki. Pelayanan yang kurang baik karena norma yang tidak efektif atau pelayanan yang salah harus dikurangi atau dihilangkan, dengan cara ini kualitas dapat ditingkatkan sambil menekan biaya. Pelayanan yang kurang baik, disamping menyebabkan resiko yang tidak perlu terjadi dan kurang nyamannya pasien, seringkali mahal dan



41



memakan waktu yang lama untuk memperbaiki. Peningkatan kualitas memerlukan tambahan sumber daya, tetapi dengan menganalisis efisiensi, manajer program kesehatan dapat memilih intervensi yang paling cost-effective. Efisiensi adalah penggunaan sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum. Efisiensi menganggap bahwa tujuantujuan yang benar telah ditentukan dan berusaha untuk mencari caracara yang paling baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Efisiensi hanya



dapat



dievaluasi



dengan



penilaian-penilaian



relatif,



membandingkan antara masukan dan keluaran yang diterima. Sebagai contoh untuk menyelesaikan sebuah tugas, cara A membutuhkan waktu 1 jam sedangkan cara B membutuhkan waktu 2 jam, maka cara A lebih efisien daripada cara B. Dengan kata lain tugas tersebut dapat selesai menggunakan cara dengan benar atau efisiensi. Mutu pelayanan kesehatan dikatakan efisien erat hubungannya dengan : 1) Dapat dicegahnya pelayanan kesehatan yang dibawah standard an ataupun yang berlebihan. 2) Biaya yang ditambahkan karena harus menangani efek samping atau komplikasi karena yankes dibawah standar akan dapat dihindari. 3) Pemakaian sumber daya yang tidak pada tempatnya yang ditemukan pada pelayanan yang berlebihan.



42



b. Efektivitas Efektivitas adalah pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuantujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapain tujuantujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka tersebut adalah benar atau efektif. 1) Besarnya masalah yang dapat diselesaikan. 2) Pentingnya cara penyelesaian masalah. 3) Sensitifitas cara penyelesaian masalah. Mutu pelayanan kesehatan dikatakan efektif erat hubungannya dengan dapat diatasinya masalah kesehatan secara tepat, karena pelayanan kesehatan yang diselenggarakan telah sesuai dengan kemajuan ilmu dan tekhnologi dan ataupun standar yang telah ditetapkan. Efektifitas adalah melakukan tugas yang benar sedangkan efisiensi adalah melakukan tugas dengan benar. Penyelesaian yang efektif belum tentu efisien begitu juga sebaliknya. Yang efektif bisa saja membutuhkan sumber daya yang sangat besar sedangkan yang efisien barangkali memakan waktu yang lama. Sehingga sebisa mungkin efektifitas dan efisiensi bisa mencapai tingkat optimum untuk keduaduanya. 6. Penilaian Mutu Pelayanan Kebidanan Siklus PDCA Konsep siklus PDCA pertama kali diperkenalkan oleh Walter Shewhart pada tahun 1930 yang disebut dengan Shewhart cycle. PDCA singkatan



43



bahasa inggris dari Plan, Do, Check, Act ( Rencanakan, Kerjakan, Cek, Tindak lanjuti) adalah suatu proses pemecahan masalah empat langkah interatif yang umum digunakan dalam pengendalian kualitas. Selanjutnya konsep ini dikembangkan oleh Dr.Walter Edwards Deming yang kemudian dikenal dengan The Deming Wheel. (Tjitro, 2009). Metode ini dipopulerkan oleh W.Edwads Deming yang sering dianggap sebagai bapak pengendalian kualitas modern sehingga sering juga disebut dengan siklus Deming. Deming sendiri selalu merujuk metode ini sebagai siklus Shewhart dari nama Walter A. Shewhart yang sering dianggap sebagai bapak pengendalian kualitas statistik. Siklus PDCA berguna sebagai pola kerja dalam perbaikan suatu proses atau sistem mutu pelayanan kesehatan. PDCA merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan kerja, pelaksanaan kerja, pengawasan kerja dan perbaikan kerja yang dilakukan terus menerus dan berkesinambungan mutu pelayanan. Siklus PDCA digunakan dalam pelayanan kesehatan untuk penyelesaian masalah dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Secara sederhana siklus PDCA dapat digambarkan sebagai berikut :



Gambar 2.1 Siklus PDCA



44



Siklus PDCA terdiri dari empat tahapan yaitu : a. Perencanaan (Plan) Tahapan pertama adalah membuat suatu perencanaan. Perencanaan merupakan suatu upaya menjabarkan cara penyelesaian masalah yang ditetapkan ke dalam unsur-unsur rencana yang lengkap serta saling terkait dan terpadu sehingga dapat dipakai sebagai pedoman dalam melaksanakan cara penyelesaian masalah. Hasil akhir yang dicapai dari perencanaan adalah tersusunnya rencana kerja penyelesaian masalah mutu yang akan diselenggarakan. Syarat rencana kerja (Plan) yaitu : 1) Berorientasi ke masa depan. 2) Flesibel, logis dan masuk akal. 3) Mengandung uraian semua unsur rencana. Rencana kerja penyelesaian masalah mutu yang baik mengandung setidak-tidaknya tujuh unsur rencana yaitu : 1) Judul rencana kerja (topic) 2) Pernyataan tentang macam dan besarnya masalah mutu yang dihadapi (problem statement). 3) Rumusan tujuan umum dan tujuan khusus, lengkap dengan target yang ingin dicapai (goal, objective and target). 4) Kegiatan yang akan dilakukan (activities). 5) Organisasi dan susunan personalia pelaksana (organization and personnels). 6) Biaya dan waktu yang diperlukan (budget and time). 7) Tolak ukur keberhasilan yang dipergunakan (milestone). b. Pelaksanaan (Do) Tahapan kedua yang dilakukan ialah melaksanakan rencana yang telah disusun. Jika pelaksanaan rencana tersebut membutuhkan keterlibatan



45



staf lain diluar anggota tim, perlu terlebih dahulu diselenggarakan orientasi, sehingga staf pelaksana tersebut dapat memahami dengan lengkap rencana yang akan dilaksanakan. Pada tahap ini diperlukan suatu kerjasama dari para anggota dan pimpinan manajerial. Untuk dapat mencapai kerjasama yang baik, diperlukan keterampilan pokok manajerial yaitu : 1) Keterampilan komunikasi (communication) untuk menimbulkan pengertian staf terhadap cara penyelesaian mutu yang akan dilaksanakan. 2) Keterampilan motivasi (motivation) untuk mendorong staf bersedia menyelesaikan cara penyelesaian masalah mutu yang telah direncanakan. 3) Keterampilan kepemimpinan (leadershif) untuk mengkoordinasikan kegiatan cara penyelesaian masalah mutu yang dilaksanakan. 4) Keterampilan pengarahan (directing) untuk mengarahkan kegiatan yang dilaksanakan. Dibutuhkan dua hal yaitu : a) Pemahaman rencana kerja antara lain orientasi dan pelatihan. b) Kerja sama antara lain komunikasi, motivasi, kepemimpinan, pengarahan dan supervise. c. Pemeriksaan (Check) Tahapan ketiga yang dilakukan ialah secara berkala memeriksa kemajuan dan hasil yang dicapai dan pelaksanaan rencana yang telah ditetapkan. Tujuan dari pemeriksaan untuk mengetahui : 1) Sampai seberapa jauh pelaksanaan cara penyelesaian masalahnya telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. 2) Bagian mana kegiatan yang berjalan baik dan bagian mana yang belum berjalan dengan baik. 3) Apakah sumberdaya yang dibutuhkan masih cukup tersedia.



46



4) Apakah cara penyelesaian masalah yang sedang dilakukan memerlukan perbaikan atau tidak. Terdapat dua cara yang sering dipergunakan untuk dapat memeriksa pelaksanaan cara penyelesaian masalah yakni : a) Lembaran pemeriksaan (check list) Lembar pemeriksaan adalah suatu formulir yang digunakan untuk mencatat secara periodik setiap penyimpangan yang terjadi. Langkah pembuatan lembar pemeriksaan adalah : tetapkan jenis penyimpangan yang diamati, tetapkan jangka waktu pengamatan, lakukan perhitungan penyimpangan. b) Peta kontrol (control diagram) Peta kontrol adalah suatu peta/grafik yang menggambarkan besarnya penyimpangan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Peta kontrol dibuat berdasarkan lembar pemeriksaan. Langkahlangkah yang dilakukan dalam pembuatan peta kontrol adalah : tetapkan garis penyimpangan minimum dan maksimum, tentukan presentase penyimpangan, buat grafik penyimpangan dan nilai grafik.



d. Perbaikan (Action) Tahapan keempat yang dilakukan adalah melaksankan perbaikan rencana kerja. Lakukanlah penyempurnaan rencana kerja atau bila perlu mempertimbangkan pemilihan dengan cara penyelesaian masalah lain. Untuk selanjutnya rencana kerja yang telah diperbaiki tersebut dilaksanakan kembali. Jangan lupa untuk memantau kemajuan serta



47



hasil yang dicapai. Untuk kemudian tergantung dari kemajuan serta hasil tersebut, laksanakan tindakan yang sesuai. 7. Cara Penilaian Mutu Pelayanan Kebidanan a. Observasi Observasi (pengamatan) adalah suatu prosedur yang berencana, yang meliputi melihat, mendengar dan mencatat sejumlah dan taraf aktivitas tertentu atau situasi tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Observasi yaitu mengamati pada saat pelayanan. Observasi adalah suatu penyelidikan yang dijalankan secara sistematis dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata terhadap kejadian-kejadian yang langsung. (Bimo Walgito, 1987 : 54). Observasi adalah suatu tekhnik untuk mengamati secara langsung maupun tidak langsung gejala-gejala yang sedang atau berlangsung baik di dalam (di luar) sekolah. (Djumhur, 1985 : 51). Observasi sebagai alat pengumpul data, pengamatan yang memiliki sifat-sifat. (Depdikbud , 1975 : 50) antara lain : 1) Dilakukan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan lebih dulu. 2) Direncanakan secara sistematis. 3) Hasilnya dicatat dan diolah sesuai dengan tujuannya. 4) Dapat diperiksa validitas, reliabilitas dan ketelitiannya. 5) Bersifat kuantitatif. b. Wawancara Wawancara



adalah



suatu



metode



yang



dipergunakan



untuk



mengumpulkan data, dimana peneliti mendapat keterangan atau informasi secara lisan dari sasaran penelitian (responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut (face to face). Wawancara dengan diskusi, tanya jawab, cek pemahaman. (Kartono, 1980 : 171).



48



Interview (wawancara) suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah, ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan fisik. Dalam proses interview terdapat dua pihak dengan kedudukan yang berbeda. Pertama berfungsi sebagai penanya disebut pula sebagai interviewer, yang lainnya berfungsi sebagai pemberi informasi (information supplyer), interviewer atau informan. Interviewer mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meminta keterangan (penjelasan), sambil menilai jawaban-jawabannya. Sekaligus ia mengadakan paraphrase (menyatakan kembali isi jawaban interview dengan kata-kata lain), mengingat-ingat dan mencatat jawabanjawaban. Disamping itu dia juga menggali keterangan-keterangan lebih lanjut dan berusaha melakukan probing (rangsangan, dorongan). c. Dokumen Dokumen sebuah tulisan yang memuat informasi. Biasanya dokumen ditulis dikertas dan informasinya ditulis memakai tinta baik memakai tangan atau memakai media elektronik, melihat kelengkapan dokumen rekam medic, register dan buku catatan.



C. Kompetensi dan Mutu Pelayanan Kesehatan



49



1. Pengertian Kompetensi Cut Zurnali (2010) dalam bukunya yang berjudul “ Learning Organization, Competency, Organizational Commitment, dan Customer Orientation : Knowledge Worker – Kerangka Riset Manajemen Sumberdaya Manusia di Masa Depan” merangkum beberapa pengertian kompetensi dari pakar. Berikut akan disajikan definisi kompetensi : a. Richard E. Boyatziz (2008) mengemukakan : kompetensi merupakan karakteristik-karakteristik dasar seseorang yang menentukan atau menyebabkan keefektifan dan kinerja yang menonjol. b. Menurut Glossary Our Workforce Matters (Sinnot. et.al: 2002), kompetensi



adalah



karakteristik



dari



karyawan



yang



mengkontribusikan kinerja pekerjaan yang berhasil dan pencapaian hasil organisasi. Hal ini mencakup pengetahuan, keahlian dan kemampuan ditambah karakteristik lain seperti nilai, motivasi, inisiatif dan kontrol diri. c. Le Boterf dalam Denise et al (2007) menyatakan : kompetensi merupakan sesuatu yang abstrak; hal ini tidak menunjukkan adanya material dan ketergantungan pada kegiatan kecakapan individu. Jadi kompetensi bukan keadaan tapi lebih pada hasil kegiatan dari pengkombinasiaan sumberdaya personal (pengetahuan, kemampuan, kualitas, pengalaman, kapasitas kognitif, sumberdaya emosional dan lainnya) dan sumberdaya lingkungan (teknologi, database, buku, jaringan hubungan dan lainnya). d. Menurut Sinnot et al (2002) kompetensi adalah alat pengkritisi dalam tuga kerja dan pergantian perencanaan. Di tingkat minimum, kompetensi berarti : a) mengenali kapabilitas, sikap dan atribut yang



50



dibutuhkan untuk memenuhi staf saat ini dan dimasa depan sebagai prioritas organisasi dan pertukaran strategis; dan b) memfokuskan pada



usaha



pengembangan



karyawan



untuk



menghilangkan



kesenjangan antara kapabilitas yang dibutuhkan dengan yang tersedia. e. Menurut Watson Wyatt dalam Ruky (2003:106) competency merupakan



kombinasi



dari



keterampilan



(skill),



pengetahuan



(knowledge), dan perilaku (attitude) yang dapat diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi



kerja



serta



kontribusi



pribadi



karyawan



terhadap



organisasinya. f. Menurut Yodhia Antariksa (2007), secara general, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara keterampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam sejumlah literature, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency adalah : leadership, communication, interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah :



51



electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dll. g. Menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan : pasal 1 (10), kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan. h. Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46A Tahun 2003 Tanggal 21 November 2003 menyatakan bahwa, kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara professional, efektif dan efisien.



Tahun 1960, konsep kompetensi mulai diterapkan di Amerika Serikat untuk program pendidikan guru. Pda tahun 1970, dikembangkan untuk program pendidikan professional lainnya, untuk program pelatihan kejuruan di Inggris dan Jerman pada tahun 1980 serta untuk pelatiahan kejuruan dan pengenalan keterampilan professional di Australia pada tahun 1990. Konsep kompetensi mulai menjadi trend dan banyak dibicarakan sejak tahun 1993 dan saat ini menjadi sangat popular



52



terutama dilingkungan perusahaan multinasional dan nasional yang modern (Centerpoint Technologies, 2011). 2. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari proses mencari tahu, dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat menjadi dapat. Dalam proses mencari tahu ini mencakup berbagai metode dan konsep-konsep, baik melalui proses pendidikan maupun melalui pengalaman. (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden. (Notoatmodjo, 2003). a. Pengetahuan dikatakan baik bila skor > 75%-100% b. Pengetahuan dikatakan cukup bila skor 60%-75% c. Pengetahuan dikatakan kurang bila skor < 60% Seorang bidan, dalam melaksanakan tugasnya harus mempunyai pengetahuan tentang ilmu kebidanan. Yaitu ilmu yang mempelajari tentang keilmuan dan seni yang mempersiapkan kehamilan, menolong persalinan, nifas dan menyusui, masa interval dan pengaturan kesuburan, klimakterium dan menopause, bayi baru lahir dan balita, fungsi-fungsi



53



reproduksi manusia serta memberikan bantuan/ dukungan pada perempuan, keluarga dan komunitasnya. 3. Keterampilan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keterampilan berarti cakap, mampu dan cekatan dalam melaksanakan tugas. Sedangkan didalam Bahasa Inggris, keterampilan (skill) mempunyai beberapa pengertian, yaitu : a. An ability that has been acquired by training (noun.cognition) atau kemampuan yang didapat melalui suatu pelatihan. b. Ability to produce solutions in some problem



domain



(noun.cognition) atau kemampuan untuk menghasilkan solusi atau pemecahan atas suatu masalah. D. Konsep Sarana dan Prasarana 1. Instalasi Gawat Darurat Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki kemampuan : a. Melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat b. Melakukan resusitasi dan stabilisasi Pelayanan di Unit Gawat Darurat rumah sakit harus dapat memberikan pelayanan 24 jam. Memiliki dokter spesialis empat besar yang siap panggil (on-call), dokter umum yang siaga ditempat (on-site) dalam 24 jam yang memiliki kualifikasi pelayanan GELS (General Emergency Life Support) dan atau ATLS + ACLS dan mampu memberikan resusitasi dan stabilisasi ABC (Airway, Breathing, Circulation) serta memiliki alat transportasi untuk rujukan dan komunikasi yang siaga 24 jam. (Depkes RI, 2007). a. Lingkup Sarana Pelayanan



54



1) Program Pelayanan pada UGD : True Emergency (Kegawatan a) b) c) d) e) f) g)



darurat) False Emergency (Kegawatan tidak darurat) Cito Operation. Cito/ Emergency High Care Unit (HCU). Cito Lab. Cito Radiodiagnostik. Cito Darah. Cito Depo Farmasi. 2) Pelayanan Kegawatdaruratan pada UGD : a) Pelayanan Kegawatdaruratan Bedah b) Pelayanan Kegawatdaruratan Obgyn c) Pelayanan Kegawatdaruratan Anak d) Pelayanan Kegawatdaruratan Penyakit Dalam e) Pelayanan Kegawatdaruratan Kardiovaskuler b. Persyaratan Khusus 1) Area IGD harus terletak pada area depan atau muka dari tapak RS. 2) Area IGD harus mudah dilihat serta mudah dicapai dari luar tapak rumah sakit (jalan raya) dengan tanda-tanda yang sangat jelas dan mudah dimengerti masyarakat umum. 3) Area IGD disarankan untuk memiliki pintu masuk kendaraan yang berbeda dengan pintu masuk kendaraan ke area Instalasi Rawat Jalan/ Poliklinik, Instalasi Rawat Inap serta Area Zona Servis dari rumah sakit. 4) Untuk tapak RS yang berbentuk memanjang mengikuti panjang jalan raya maka pintu masuk ke area IGD harus terletak pada pintu masuk yang pertama kali ditemui oleh pengguna kendaraan untuk masuk ke area RS. 5) Untuk bangunan RS yang berbentuk bangunan bertingkat banyak (Super Block Multi Storey Hospital Building) yang memiliki ataupun tidak memiliki lantai bawah tanah maka perletakan IGD



55



harus berada pada lantai dasar atau area yang memiliki akses langsung. 6) IGD disarankan untuk memiliki Area yang dapat digunakan untuk penanganan korban bencana masal. 7) Disarankan pada area untuk menurunkan atau menaikkan pasien (Ambulance Drop-In Area) memiliki sistem sirkulasi yang memungkinkan ambulan bergerak 1 arah. 8) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst. Bedah Sentral. 9) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit Rawat Inap Intensif ( ICU (Intensive Care Unit)/ ICCU (Intensive Cardiac Care Unit)/ HCU (High Care Unit) ). 10) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Unit Kebidanan. 11) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Inst. Laboratorium. 12) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan Instalasi Radiologi. 13) Letak bangunan IGD disarankan berdekatan dengan BDRS (Bank Darah Rumah Sakit) atau UTDRS (Unit Transfusi Darah Rumah Sakit) 24 jam. c. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas No . A 1



Nama Ruangan



Fungsi



Besaran Ruang/ Luas



RUANG PENERIMAAN Ruang Administrasi Ruang ini digunakan untuk



3-5 m2/ petugas



Me



dan loket pendaftaran



(min. 16 m2)



inte



menyelenggarakan kegiatan administrasi, meliputi :



pera



64



1. Pendataan pasien IGD 2. Penandatanganan surat pernyataan dari keluarga pasien IGD. 3. Pembayaran biaya pelayanan medik. 2



Ruang Tunggu



Ruang dimana keluarga/ pengantar



1-1,5 m2/ orang



Kur



Pengantar Pasien



pasien menunggu. Ruang ini perlu



(min. 16 m2)



pen



disediakan tempat duduk dengan



Con



jumlah yang sesuai aktivitas 3



Ruang Rekam Medis



pelayanan. Tempat menyimpan informasi



Sesuai



Me



tentang identitas pasien, diagnosis,



kebutuhan



arsi



Min. 16 m2



Tem



perjalanan penyakit, proses pengobatan dan tindakan medis serta dokumentasi hasil pelayanan. Biasanya langsung berhubungan dengan loket pendaftaran.



4



Ruang Triase



Ruang tempat memilah-milah tingkat kegawatdaruratan pasien dalam rangka menentukan tindakan selanjutnyaterhadap pasien, dapat berfungsi sekaligus sebagai ruang



pem



65



5



Ruang Persiapan



tindakan. Ruang tempat persiapan penanganan Min. 3 m2/



Are



Bencana Masal



pasien korban bencana massal.



pen



pasien bencana



drai B. 6



RUANG TINDAKAN R. Resusitasi Ruangan yang dipergunakan untuk



12-20 m2



N



melakukan tindakan resusitasi



la



terhadap pasien.



se



or



se



an



m



cr



tra



sy



de



ste



ok



Im



sp



str



de



to 7



R. Tindakan Bedah



Ruang untuk melakukan tindakan



Min. 16 m2



ad M



66



bedah ringan pada pasien.



in



to



te 8



R. Tindakan Non



Ruang untuk melakukan tindakan



Bedah



non bedah pada pasien.



12-25 m2



vi K



irr



ok



pu



sp



ke



te 9



R. Tindakan Anak



Ruang untuk melakukan tindakan



12-25 m2



medis pada pasien anak.



R. Tindakan



Ruang untuk melakukan tindakan



Kebidanan



kebidanan pada pasien.



In



tid



12-25 m2



K



gi



se



10



Ket : Kedua ruangan



su



ini bisa digabung atau



tia



dipisah. R. Operasi



vi



(R.Persiapan dan kamar Operasi) : Ket : boleh ada/tidak



67



1. Ruang Persiapan



Ruang untuk mempersiapkan pasien Min. 6 m2



O



sebelum memasuki r.bedah. 2. Ruang Operasi



Ruang untuk melakukan pembedahan ± 36 m2



M



pada pasien.



la



ox



in



se



ap



be



va



ne



ur



pl



la



3. Ruang Pemulihan C. 11



Ruang perawatan pasien pasca bedah



RUANG OBSERVASI R. Observasi Ruang yang dipergunakan untuk melakukan observasi terhadap pasien



D. 12 13



Min. 7,2 m2 /



Te



tempat tidur.



tia



Min. 7,2 m2/



Te



tempat tidur



se



setelah diberikan tindakan medis. periksa. RUANG PENUNJANG MEDIS Ruang Farmasi/Obat Ruang tempat menyimpan obat untuk Min. 3 m2 Ruang Linen Steril



keperluan pasien gawat darurat. Tempat penyimpanan bahan-bahan



Min. 4 m2



th



Le



Le



68



14



Ruang Alat Medis



linen steril. Ruang tempat penyimpanan



Min. 6 m2



Le



yang sudah disterilisasi. Tempat untuk melaksanakan kegiatan Min. 4 m2



M



diagnostik cito.



ap



peralatan medik yang setiap saat diperlukan. Peralatan yang disimpan diruangan ini harus dalam kondisi 15



R. Radiologi



pr 16



Laboratorium Standar Ruang pemeriksaan laboratorium



Min. 4 m2



yang bersifat segera/ cito, tapi untuk 17



R. Dokter



beberapa jenis pemeriksaan tertentu. Ruang Dokter terdiri dari 2 bagian :



(a 9-16 m2



1. Ruang kerja 2. Ruang istirahat/ kamar jaga



18



Ruang Pos Perawat



R. untuk melakukan perencanaan,



(Nurse Station)



pengorganisasian, asuhan dan



ad La



ad Te



ku



Min. 4 m2



M



9-16 m2



So



pelayanan keperawatan (pre dan post conference, pengaturan jadwal), dokumentasi s/d evaluasi pasien. Pos perawat harus terletak di pusat blok yang dilayani agar perawat dapat 19



Ruang Perawat



mengawasi pasiennya secara efektif. Ruang istirahat perawat



69



20



21



Ruang Kepala IGD



Ruang tempat Kepala IGD



8-16 m2



w Le



melakukan manajemen instalasinya,



co



diantaranya pembuatan program



ka



Gudang Kotor



kerja dan pembinaan. Fasilitas untuk membuang kotoran



(Spoolhoek/ Dirty



bekas pelayanan pasien khususnya



be



Utility).



yang berupa cairan. Spoolhoek



kl



berupa bak atau kloset yang



la



4-6 m2



K



dilengkapi dengan leher angsa (water 22



Toilet (petugas,



seal). KM/ WC



23



pengunjung) R. Sterilisasi



Tempat pelaksanaan sterilisasi



2 m2 – 3 m2 Min. 4 m2



W



instrumen dan barang lain yang



de



diperlukan di Instalasi Gawat



bu



Darurat.



se



ya 24 25



R. Gas Medis R. Parkir Troli



R. tempat menyimpan gas medis. Tempat parkir troli selama tidak



Min. 3 m2 Min. 2 m2



da G Tr



26



R. Brankar



diperlukan Tempat meletakkan tempat tidur



Min. 3 m2



Te



pasien selama tidak diperlukan.



70



d. Alur Kegiatan Alur kegiatan pada Instalasi Gawat Darurat dapat dilihat pada bagan alir berikut ini : Area Persiapan Bencana Masal



Pasien & Pengantar Pasien



Pasien Infeksius Dekontaminasi



Pengantar Pintu Masuk UGD Pasien Infeksius Pasien TRIASE (dokter umum)



Ruang Resusitasi   



Ruang Tindakan Bedah



Inst. Rawat Inap Inst. Bedah Inst. Kebidanan & Penyakit Kandungan  Inst. Penunjang Medik, dll. E. Penelitian Terkait



Pasien Loket Pendaftaran



Ruang Tunggu



Ruang TindakanRuang Tindakan Anak Non Bedah & Kebidanan



Ruang Observasi Pulang



77



1. Indah Handriani (2015) Dengan judul “ Pengaruh Proses Rujukan dan Komplikasi Terhadap Kematian Ibu”. Penelitian yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh proses rujukan dan komplikasi terhadap kematian ibu di RSUD Sidoarjo ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan case control. Sampel kasus terdiri atas 25 orang ibu hamil yang di rujuk dan mengalami kematian dan sampel kontrol 50 orang ibu hamil yang di rujuk dan tidak mengalami kematian. Teknik pengumpulan data menggunakan data sekunder dari buku register Maternal Neonatal Emergency (MNE) dan rekam medik serta wawancara kepada ibu atau keluarga atau suami dari responden. Kesimpulan dari penelitian ini adalah proses rujukan dan komplikasi berpengaruh terhadap kematian ibu. Bidan perlu mengadakan health education bagi wanita usia produktif, meningkatkan peran serta keluarga, masyarakat dan kader dalam proses deteksi dini komplikasi selama kehamilan, persalinan dan nifas, peningkatan kualitas Antenatal Care (ANC) dan peningkatan kualitas rujukan dengan menggunakan sistem rujukan tertutup pada suatu wilayah terkait dengan ibu hamil resiko tinggi yang terdeteksi di inventarisasi dan di jadwal kontrol / terminasi serta di monitor (follow up) sehingga resiko tinggi selalu terpantau. 2. Fauzia Laili (2014) Dengan judul “Hubungan Faktor Resiko Kegawatdaruratan Obstetri Menurut Rochjati dengan Pelaksanaan Rujukan oleh Bidan Di RSUD Gambiran Kediri”. Kegawatdaruratan obstetri menurut Rochjati terbagi



78



menjadi 3 kelompok faktor resiko, yaitu APGO (Ada Potensi Gawat Obstetri), AGO (Ada Gawat Obstetri) dan AGDO (Ada Gawat Darurat Obstetri). Berbagai penelitian menyatakan bahwa salah satu upaya penatalaksanaan yang efektif pada kegawatdaruratan obstetri yaitu dengan pelaksanaan rujukan. Rujukan yang tepat dan terencana dapat menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor resiko kegawatdaruratan obstetri (APGO, AGO dan AGDO) dengan pelaksanaan rujukan oleh bidan di RSUD Gambiran Kediri. Desain penelitian secara kuantitatif menggunakan pendekatan potong silang dilaksanakan mulai bulan Januari-Februari 2014 dengan jumlah sampel sebesar 150. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Pengumpulan data secara sekunder berdasarkan laporan ruang bersalin dan rekam medik rumah sakit periode Januari-Desember 2011. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan faktor resiko kegawatdaruratan obstetri pada AGDO dengan pelaksanaan rujukan. Selain itu, meningkatnya



faktor



resiko



kegawatdaruratan



obstetri



akan



meningkatkan pelaksanaan rujukan oleh bidan. 3. Ade Surahwardy (2013) Dengan judul “Evaluasi Pelaksanaan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di Puskesmas Mamajang Kota Makassar”. Pada saat ini yang aktif melaksanakan program Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar (PONED) ada 2 yaitu puskesmas Jumpandang Baru dan puskesmas Mamajang. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian



79



ini adalah penelitian kualitatif pendekatan deskriptif (explanatory research). Penulis menggunakan wawancara, observasi dan analisis. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive sampling yaitu informan yang dipilih dengan secara sengaja atau menunjuk langsung kepada orang yang dianggap dapat mewakili karakteristik populasi.



Kesimpulannya



adalah



Puskesmas



Mamajang



mampu



menjalankan program PONED yang memenuhi standar SDM, sarana dan prasarana, alokasi dana, sosialisasi, rujukan, serta pelaporan dan supervisi. 4. Demsa Simbolon (2011) Dengan judul “Determinan Kinerja Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Di Rumah Sakit Pemerintah Indonesia (Analisa Data Rifaskes 2011)”. Rumah sakit memegang peran penting dalam menurunkan AKB dan AKI karena sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna termasuk pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA). Namun sampai saat ini AKB dan AKI Indonesia masih tetap tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN. Penyebab utamanya adalah komplikasi obstetri sebagai penyulit atau penyakit yang timbul selama kehamilan, persalinan dan paska persalinan yang dialami sekitar 20% dari seluruh ibu hamil, tetapi kasus komplikasi obstetri yang ditangani secara baik kurang dari 10%. Penelitian menggunakan data RIFASKES 2011 dengan pendekatan cross sectional study. Populasi dan sampel penelitian adalah seluruh rumah sakit pemerintah Indonesia (685 RS). Variabel penelitian diidentifikasi dari variable yang tersedia dalam kuesioner RIFASKES



80



2011. Kesimpulannya adalah tidak optimalnya kinerja pelayanan KIA rumah sakit pemerintah Indonesia dipengaruhi karakteristik rumah sakit yang rendah dan ketidak lengkapan SDM. 5. Ida Irmawati (2013) Dengan judul “ Pengelolaan Rujukan Kedaruratan Maternal di Rumah Sakit dengan Pelayanan PONEK”. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi



permasalahan



dalam



pengelolaan



kasus



rujukan



kegawatan maternal di rumah sakit PPK 2. Studi ini menggunakan metode deskriptip kualitatif, dengan responden primer 22 orang yang terdiri dari 6 dokter UGD, 6 perawat UGD dan 10 bidan ruang kebidanan dan penyakit kandungan. Pengumpulan data melalui wawancara terstruktur pada responden, FGD dan observasi lapangan dengan pengamatan langsung. Data sekunde memanfaatkan laporan rumah sakit, data rekam medis dan data kepegawaian. Hasil penelitian memberikan gambaran ada kekurang jelasan pengelolaan rujukan masuk terhadap pasien dengan kegawatan obstetri ginekologi di RS tempat studi. Sebanyak 32% responden menyatakan pernah menolak pasien dan 86% responden menyatakan pernah merujuk kembali pasien dengan kegawatan obstetri ginekologi ke rumah sakit lain. Kurangnya ketersediaan SDM (Dokter), sarana yang adekuat untuk pengelolaan kegawatan, serta metode atau prosedur pengelolaan rujukan yang tidak jelas menyebabkan rumah sakit tidak mampu mengelola kasus rujukan maternal sesuai kapasitasnya sebagai PONEK. 6. Atik Triratnawati (2003)



81



Dengan judul “ Penulusuran Kasus-Kasus Kegawatdaruratan Obstetri Yang Berakibat Kematian Maternal”. Kesadaran masyarakat akan tandatanda bahaya pada kehamilan dan pengetahuan mengenai kehamilan akan meminimalkan kegawatdaruratan obstetri, namun banyak kepercayaan tradisional dan praktek penundaan pengambilan keputusan untuk mencari perawatan pada fasilitas kesehatan, masih dilakukan masyarakat. Tujuan studi ini yaitu menulusuri 4 kasus kegawatdaruratan obstetri yang terjadi di masyarakat, serta bagaimana peran dan pengetahuan anggota keluarga terhadap masalah ini. Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap suami dan anggota keluarga serta melibatkan tujuh informan kunci. 7. Ita Rahmawati (2013) Dengan judul “ Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Bidan Desa Dalam Merujuk Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal di Wilayah Kerja Puskesmas Mayong I”. Faktor keterlambatan rujukan yang meliputi keterlambatan pertama, kedua dan ketiga masih memegang peranan dalam kejadian kematian maternal dan neonatal di Wilayah Kerja Puskesmas Mayong I. Selain itu, faktor persiapan rujukan mayoritas tidak sesuai dengan kebutuhan yang terjadi pada 28 kasus rujukan maternal dan neonatal (57,1%) dan penapisan awal sudah dilakukan oleh tenaga kesehatan pada 61,2% kasus rujukan. 8. Sri Handayani ( 2014) Dengan judul “ Analisis Pelaksanaan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di Puskesmas PONED Kabupaten Kendal”.



82



Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan PONED di Puskesmas yang berjalan baik dan tidak dari segi komunikasi (sosialisasi pemasaran, struktur organisasi), ketersediaan sumber daya (SDM, sarana prasarana, keterjangkauan lokasi, dana), disposisi/sikap pelaksana program dan struktur birokrasi (pencatatan pelaporan, pembinaan) . Jenis penelitian adalah observasional kualitatif dengan pendekatan cross sectional. Seluruh Puskesmas PONED di Kabupaten Kendal diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Puskesmas PONED yang belum berjalan komunikasi belum optimal (sosialisasi pemasaran lintas sektor belum dilaksanakan, belum mempunyai struktur organisasi lengkap). Sumber daya belum memenuhi (SDM secara kuantitas belum memadai dan secara kualitas belum mendapat pelatihan PONED, sarana prasarana belum memenuhi standar minimal, jarak dari masyarakat ke Puskesmas dan Rumah Sakit sama dekat, tidak ada dana khusus untuk program PONED). 9. Sumarni (2011) Dengan judul “ Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kematian Ibu di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah Periode Tahun 2009-2011”. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator status kesehatan. Faktor tersebut antara lain : anemia, penyakit, antenatal care, riwayat obstetri, ekonomi, keluarga dan pendidikan. Dari analisis kuantitatif diperoleh hasil faktor yang menyebabkan antenatal care menjadi penyebab dominan karena pengetahuan masyarakat yang kurang terhadap



83



komplikasi kebidanan, rujukan yang terlambat, kurang pedulinya keluarga terhadap permasalahan hidup selama hamil, kurangnya komunikasi antara tenaga kesehatan dalam mendeteksi komplikasi ibu hamil.



10. Juharni (2012) Dengan judul “ Faktor Resiko Kematian Ibu Sebagai Akibat Komplikasi Kehamilan, Persalinan dan Nifas di Kabupaten Bima Tahun 2011-2012”. Angka Kematian Ibu (AKI) di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2010 yaitu sekitar 350/100.000 kelahiran hidup, masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan angka nasional dan provinsi lainnya. Kabupaten Bima merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki kasus kematian ibu yang cukup tinggi pada periode tahun 2011-2012 yaitu 20 kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling berkontribusi terhadap kematian ibu adalah kadar Hb ≤ 10 gr %. Upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan kadar Hb ibu hamil, peningkatan kemampuan bidan /dokter dalam memberikan penanganan obstetri esensial komprehensif di rumah sakit serta perbaikan sistem rujukan merupakan upaya pencegahan terhadap resiko kematian ibu.



84



F. Kerangka Teori Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) 1. Pengetahuan Tenaga Kesehatan : a. Pendidikan b. Pelatihan c. Kompetensi : 1) Pengalaman 2)Pemungkin Ketrampilan Faktor 2.(Enabling Pengetahuan Ibu : Factor) a. Pendidikan Penyuluhan 1. b.Tenaga kesehatanatau 2. Sarana kesehatan informasi. 3. Ekonomi Penguat 4.Faktor Sosial budaya (Reinforcing 5. Geografis Factor)



Optimalisasi Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri.



1. Sikap dan Perilaku Petugas Kesehatan. 2. Sikap dan Perilaku Gambar 2.1 Kerangka Teori Keluarga. Sumber : Modifikasi Kusmiyati, 2008, Lawrence Green, Mufdilah, 2009, (Bobak,Lowdermilk &Jensen, 2004). Sarwono, 2008, Depkes RI 2003.