BAB II Uji Aktivitas Antibakteri Bawang Putih [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Landasan Teori 1. Tanaman bawang putih a. Klasifikasi tanaman bawang putih Klasifikasi bawang putih dalam taksonomi tumbuhan adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio



: Spermatophyta



Class



: Monocotyledoneae



Order



: Lififlorea



Family



: Lilliaceae



Genus



: Allium



Species



: Allium sativum L.



(Samadi, 2000) b. Morfologi tanaman Di Indonesia dikenal beberapa jenis bawang putih, antara lain bawang putih lumbu hijau, lumbu kuning, lumbu putih, lumbu kayu, bali dan shanghai (Suhaeni, 2007). Tanaman bawang putih bisa ditemukan dalam bentuk terna (bergerombol), tumbuh tegak, dan bisa mencapai ketinggian 30-60 cm. Bawang putih mempunyai daun berupa helai-helai (seperti pita) memanjang ke atas.Jumlah daun setiap tanaman mencapai lebih dari 10 helai.Bentuknya pipih rata, tidak berlubang, berbentuk runcing di ujung atasnya, dan agak melipat ke dalam



(kearah panjang atau membujur), serta membentuk sudut di permukaan bawahnya (Syamsiah, 2003).



Gambar 1. Tanaman bawang putih Sumber :Anonim2 (2007) Batang sejati tanaman bawang putih berbentuk cakram dan terletak pada bagian dasar atau pangkal umbi yang berada dalam tanah. Batang tanaman bersifat rudimenter (tidak sempurna) yang terbentuk dari tunas vegetatif. Sedangkan batang yang tampak di permukaan tanah merupakan batang semu karena terbentuk dari pelepah daun (kelopak daun) yang saling membungkus dengan kelopak daun yang lebih muda sehingga kelihatan seperti batang (Samadi, 2000). Akar bawang putih terdiri dari serabut-serabut kecil yang jumlahnya banyak.Di bagian bawah tanaman bawang putih terdapat umbi-umbi yang terbungkus kelopak daun tipis.Satu kesatuan umbi berbentuk bulat dan agak pipih.Umbi-umbi tersebut terdiri dari sejumlah anak bawang putih (siung), yang setiap siungnya terbungkus kulit tipis berwarna putih dan kering.Setiap rumpun bawang putih terdiri dari 3-13 siung.Jumlah dan susunan siungnya berbeda-beda tergantung dari jenisnya (Sa’adah, 2007).



Gambar 2. Umbi bawang putih Sumber :Anonim1 (2007) Bunga bawang putih merupakan bunga majemuk, bulat seperti bola dan mempunyai tangkai bunga.Bunga tersebut dapat menghasilkan biji untuk keperluan generatif.Tangkai bunga pada kebanyakan tanaman bawang putih tidak tersembul keluar. Hanya sebagian bunga saja yang keluar, bahkan sering sekali tidak sedikitpun bunga keluar karena sudah gagal sewaktu masih berupa tunas bunga (Wibowo, 2008). c. Kandungan gizi Umbi bawang putih juga memiliki kandungan zat gizi yang terdiri atas protein, lemak, karbohidrat, dan beberapa kandungan zat hara seperti kalsium, kalium, dan vitamin.Secara rinci kandungan gizi bawang putih dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan gizi umbi bawang putih per 100 gram bahan yang dapat dimakan No. Uraian 1. Protein (g) 2. Karbohidrat (g) 3. Lemak (g) 4. Kalsium (mg)



Kandungan Gizi 4,50 23,10 0,20 42,00



5. Fosfor 6. Hidrat Arang 7. Besi (mg) 8. Kalori (Kal)



134,00 23,10 1,00 95,00



9. Vitamin A (SI)



0,00



10. Vitamin B (mg)



0,22



11. Vitamin C (mg)



15,00



12. Air (g)



71,00



Sumber : Samadi (2007) d. Kandungan kimia Kandungan senyawa kimia yang ditemukan dalam bawang putih diantaranya adalah allisin dan sulfur amino acid aliin. Sulfur amino acid aliin ini oleh enzim allisin liase diubah menjadi asam piruvat dan ammonia (Rukmana, 2009). Allisin sendiri dihasilkan ketika senyawa sulfur dan aliin bereaksi dengan enzim aliinase, yang terbentuk ketika bawang putih digerus atau dihancurkan (Evennet, 2006). Allisin adalah komponen utama yang berperan memberi aroma bawang putih dan merupakan salah satu zat aktif yang diduga dapat membunuh mikroba penyebab penyakit (bersifat antibakteri).Allisin berperan ganda membunuh bakteri, yaitu bakteri gram negatif maupun gram positif.Beberapa pakar sepakat bahwa penyakit asma, cacingan dan gatal-gatal dapat ditangkal oleh allisin.Selain itu, allisin juga dapat membasmi Cryptococcus neoformans yaitu fungi yang sering menyebabkan meningitis (Sugito, 2001). Allisin mengandung sulfur dengan struktur tidak jenuh dan dalam beberapa detik saja terurai menjadi senyawa dialil sulfida (Purwaningsih, 2007). Senyawa allisin dan dialil



sulfida ini memiliki sifat bakterisida dan menghambat perkembangan cendawan maupun mikroba lainnya (Rukmana, 2009). Sifat antimikroba yang dimiliki oleh umbi bawang putih ini, mempunyai cara kerja yang berbeda dengan antibiotika. Pada pengobatan dengan umbi bawang putih yang dibasmi hanya bakteri yang merugikan, sementara yang berguna tetap utuh, hanya berubah menjadi bentuk inaktif, menunggu saat yang tepat untuk berbiak lagi (Roser, 2008). Bawang putih juga mengandung scordinin yang berfungsi sebagai antioksidan. Senyawa ini diyakini dapat menjadi obat kuat yang dapat membangkitkan gairah seksual dan merangsang pertumbuhan sel. Senyawa lain yang terdapat pada bawang putih adalah allithiamin. Senyawa ini merupakan hasil reaksi allisin dengan thiamin dan dapat beraksi dengan sistein. Fungsi senyawa ini hampir sama dengan vitamin B1 sehingga dikenal sebagai vitamin B1 bawang putih (Sugito, 2001). Zat-zat lain yang ditemukan dan berkhasiat sebagai obat dalam umbi bawang putih adalah selenium (mikromineral penting yang berfungsi sebagai antioksidan), enzim germanium (suatu zat yang mencegah rusaknya sel darah merah), antiarthritic factor (suatu zat pencegah rusaknya persendian), dan methylallyl trisulfide yaitu zat yang mencegah terjadinya perlengketan sel darah merah (Sugito, 2001). 2.



Candida albicans



a. Klasifikasi C. albicans Klasifikasi C. albicans menurut Alexopoulos, et al. (1996) adalah sebagai berikut: Domain



: Eukarya



Kingdom : Fungi Phylum



: Ascomycota



Class



: Saccharomycetes



Ordo



: Saccharomycetales



Family



: Sacharomycetaceae



Genus



: Candida



Spesies



: Candida albicans



b. Morfologi dan identifikasi Candida



albicans



adalah



suatu



ragi



lonjong



bertunas



yang



menghasilkan



pseudomiselium baik dalam biakan maupun dalam jaringan dan eksudat (Zuleiha, 2002). Ciri-ciri makroskopis C. albicans adalah berbentuk bulat telur, berkelompok, satu-satu, atau berderet-deret. C. albicans dapat membentuk pseudomiselium, yaitu sel yang memanjang, dan membentuk blastospora, yaitu spora bulat pada bagian ujung sel. Blastospora dapat ditemukan dari pemeriksaan langsung kerokan kulit atau swab mukokutan (Siregar, 2005).C. albicans juga membentuk klamidospora, yaitu sel yang membesar dan berdinding tebalpada media yang kekurangan nutrisi (Radji, 2010). Ukuranya antara 3-6 μm, pseudohifa yang tumbuh gagal melepaskan diri, sehingga menghasilkan rantai sel-sel yang memanjang yang terjepit atau tertarik pada septasi-septasi diantara sel-sel. C. albicans bersifat dimorfik, selain ragi-ragi dan pseudohifa, C. albicans juga bisa menghasilkan hifa sejati (Jawetz et al., 2005). Candida albicans berkembang biak dengan memperbanyak diri dengan spora yang tumbuh dari tunas (blastospora). Fungi ini dapat mudah tumbuh di dalam media sabauraud agar (SGA) dengan membentuk koloni ragi dengan sifat-sifat khas, yakni menonjol dari permukaan medium, permukaan koloni halus, licin, berwarna putih kekuning-kuningan, dan berbau ragi (Siregar, 2005).



Dua tes morfologi sederhana membedakan C. albicans yang paling patogen dari spesies candida lainya yaitu setelah inkubasi dalam serum selama sekitar 90 menit pada temperatur 37°C, sel-sel ragi C. albicans akan mulai membentuk hifa sejati. C. albicans juga meragikan glukosa dan maltosa, menghasilkan asam dan gas, asam dari sukrosa dan tidak bereaksi dengan laktosa.Peragian karbohidrat ini, serta sifat koloni dan morfologi membedakan C. albicans dari spesies Candida lainnya (Jawetz et al., 2005).



c. Patogenesis Candida albicans dapat tumbuh di dalam tubuh manusia sebagai parasit atau saprofit, yaitu dalam alat pencernaan, alat pernapasan, atau vagina orang sehat.Pada keadaan tertentu, sifat C. albicans ini dapat berubah menjadi patogen dan dapat menyebabkan penyakit yang disebut kandidiasis atau kandidosis (Siregar, 2005).Penyakit yang disebabkan oleh C. albicans dapat bersifat primer atau sekunder, yang terjadi bila terdapat faktor predisposisi (Susilo, 2006). Faktor predisposisi ini digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu faktor endogen dan eksogen. Faktor-faktor endogennya berupa (Siregar, 2005): (1) Perubahan fisiologi tubuh, yang terjadi pada : (a) Kehamilan, terjadi perubahan di dalam vagina; (b) Obesitas, kegemukan menyebabkan banyak keringat, mudah terjadi maserasi kulit, dan memudahkan infestasi Candida; (c) Endokrinopati, gangguan konsentrasi gula dalam darah, yang pada kulit akan menyuburkan pertumbuhan Candida;



(d) Penyakit menahun, seperti tuberkulosis, lupus eritematosus, karsinoma dan leukemia; (e) Pengaruh pemberian obat-obatan, seperti antibiotik, kortikosteroid, atau sitostatik; (f) Pemakaian alat-alat di dalam tubuh, seperti gigi palsu, infus, dan kateter.



(2) Umur Orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status imunologisnya tidak sempurna. (3) Gangguan imunologis Pada penyakit genetik seperti atopik dermatitis, infeksi Candida mudah terjadi. Sedangkan faktor-faktor eksogennya adalah : (1) Iklim panas dan kelembaban menyebabkan banyak keringat terutama pada lipatan kulit, dan ini mempermudah invasi Candida; (2) Kebiasaan dan pekerjaan yang banyak berhubungan dengan air akan mempermudah invasi Candida; (3) Kebersihan dan kontak dengan panderita. Pada penderita yang sudah terkena infeksi dapat menularkan infeksi pada pasangannya melalui ciuman. 3. Kandidiasis Kandidiasis adalah suatu infeksi akut dan subakut yang disebabkan oleh



C. albicans



atau kadang-kadang spesies Candida yang lain, yang dapat menyerang berbagai jaringan tubuh. Berdasarkan tempat terkenanya, Conant (1971) in Siregar (2005) membagi kandidiasis sebagai berikut:



(a) Kandidiasis selaput lendir, misalnya : kandidiasis oral, perlece, kandidasis vaginitis dan vulvovaginitis, kandidiasis balanitis dan balanoptisis dan kandidiasis mukokutan kronis; (b) Kandidiasis kutis, misalnya : lokalisata (intertriginose dan daerah perianal), generalisata, paronokia dan onikomikosis, serta kandidiasis kutis granulomatosa; (c) Kandidiasis sistemik, misalnya : endokarditis, meningitis, pielonefritis dan septikemia; (d) Reaksi id atau reaksi alergi. 4. Antifungi Antifungi adalah obat yang digunakan untuk membunuh atau menghilangkan fungi (Anief, 2009).Banyak infeksi fungi terjadi pada jaringan yang memiliki sedikit vaskularisasi atau pada struktur-struktur apaskular, seperti lapisan permukaan kulit, kuku dan rambut.Faktor-faktor inang berperan penting pada penentuan prognosis infeksi-infeksi oleh fungi, karena banyak fungi bersifat oportunistik.Senyawa-senyawa antifungi pada dasarnya membantu sistem imun inang dalam melawan fungi (Stringer, 2008). Fungi membelah atau berkembangbiak lebih lambat dibandingkan bakteri, padahal peristiwa membelah merupakan saat yang tepat bagi antimikroba untuk membunuh fungi (Priyanto, 2008). Menurut Siswandono in Rochani (2009), mekanisme kerja antifungi kandida adalah sebagai berikut: (1) Gangguan pada membran sel Gangguan ini terjadi karena adanya ergosterol dalam sel fungi.Ergosterol merupakan komponen sterol yang sangat penting dan sangat mudah diserang oleh antibiotik turunan polien. Kompleks polien-ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori dan melalui pori tersebut konstituen essensial sel fungi seperti ion K, fosfat anorganik, asam



karboksilat, asam amino dan ester fosfat bocor keluar hingga menyebabkan kematian sel fungi. Contoh: nistatin, amfoterisin B dan kandisidin. (2) Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel fungi Mekanisme ini disebabkan oleh senyawa turunan imidazol yang mampu menimbulkan ketidakteraturan membran sitoplasma fungi, dengan cara mengubah permeabilitas membran dan mengubah fungsi membran dalam proses pengangkutan senyawa-senyawa essensial yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolik, sehingga menghambat biosintesis ergosterol dalam sel fungi. Contoh: ketokonazol, klortimazol, mikonazol, bifonazol. (3) Penghambatan sintesis protein fungi Mekanisme ini disebabkan oleh senyawa turunan pirimidin.Efek antifungi terjadi karena senyawa turunan pirimidin mampu mengalami metabolisme dalam sel fungi menjadi suatu metabolit. (4) Penghambatan mitosis fungi Efek antifungi ini terjadi karena adanya senyawa antibiotik griseofulvin yang mampu mengikat protein mikrotubuli dalam sel dan mengganggu fungsi mitosis gelendong, menimbulkan penghambatan pertumbuhan. 5. Uji antifungi Penggunaan mikroba standar atau obat pembanding yang telah diketahui merupakan hal yang perlu diingat pada uji antifungi (Sacher, 2004).Penentuan antifungi dapat dilakukan dengan metode pokok yakni dilusi atau difusi (Jawetz et al., 2005). a. Metode dilusi



Metode dilusi adalah metode yang memberikan hasil yang bersifat kuantitatif. Pada metode ini dapat digunakan berbagai variasi kontak antar suspensi fungi yang akan diuji dengan larutan obat. Pengujian dilakukan dengan mengencerkan seri larutan obat yang telah kontak dengan suspensi fungi selama waktu kontak yang digunakan.Setelah inkubasi selama 24 jam, daya antifungi ditentukan dengan membandingkan jumlah koloni yang tumbuh permilimeter dari larutan obat dan larutan kontrol. Terdapat 2 cara dilusi, yaitu: (1) Dilusi cair Pada masing-masing konsentrasi obat ditambah suspensi kuman dalam media, adanya kekeruhan pada larutan uji merupakan bukti pertumbuhan kuman. (2) Dilusi padat Setiap konsentrasi obat dicampur dengan media agar, lalu ditanami kuman.Daya kepekaan kuman ditentukan dengan membandingkan jumlah koloni kuman yang tumbuh per mm dari larutan obat dengan larutan kontrol.Konsentrasi terkecil larutan obat yang dapat mencegah pertumbuhan kuman disebut konsentrasi penghambat atau minimal inhibition concentration (MIC). b. Metode difusi Metode difusi merupakan metode sederhana, mudah dilakukan dan murah sehingga sering digunakan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan paper disk yang mengandung obat untuk diletakkan pada media agar dimana telah ditanami fungi atau dengan cara sumuran dan di dalamnya ditetesi obat dengan konsentrasi tertentu, diinkubasi pada temperatur 37°C selama 24 jam. Daya antifungi ditentukan dengan mengukur zona radikal yang terbentuk di sekitar paper disk atau sumuran.



B. Kerangka Konsep



Candida albicans



Kandidiasis Pengobatan



Efek samping



Medis



Tradisional Perasan umbi bawang putih



Kandungan Kimia Allisin, dialil sulfida, minyak atsiri Candida albicans



Pertumbuhan



Zona radikal



Tidak ada pertumbuhan fungi di sekitar sumuran



Zona irradikal



Ada pertumbuhan fungi di sekitar sumuran



Gambar 3. Kerangka konsep uji antifungi perasan umbi bawang putih terhadap pertumbuhanC. albicans secara in vitro



C. Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah: Perasan umbi bawang putih memiliki daya antifungi yang berbeda dalam berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan C. albicans secara in vitro.