BAB III Benar [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Septi
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU NIFAS TERHADAP MOBILISASI DINI PADA PASIEN POST SC DI RUANG NIFAS RSUD SEKARWANGI KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2022



PROPOSAL SKRIPSI



Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Kebidanan



Indah Martiastuti Harahap 6221533



PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN ALIH JENJANG FAKULTAS KEBIDANAN INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI BANDUNG 2022



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persalinan merupakan sebuah proses akhir dari serangkaian kehamilan. Terdapat dua macam proses persalinan yaitu persalinan pervaginam atau persalinan normal persalinan spontan dan persalinan Sectio Caesarea (SC) atau orang awam menyebutnya operasi sesar. Operasi sesar yaitu proses pengeluaran janin lewat pembedahan perut (Aprina, 2016). Persalinan secara Caesar terus meningkat di seluruh dunia, khususnya di negara- negara berpenghasilan menengah dan tinggi, serta telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama dan kontroversial (Torloni, et al., 2014). Menurut data World Health Organization (WHO) standar persalinan SC di Inggris tahun 2008 sampai 2009 angka SC mengalami peningkatan sebesar 24,6% yang pada tahun 2004 sekitar 24,5 % dan di Australia tahun 2007 terjadi peningkatan 31% yang pada tahun 1980 hanya sebesar 21%. Sedangkan pada tahun 2014, beberapa negara lainnya seperti Australia kejadian SC sebesar 32%, Brazil sebesar 54%, dan Colombia sebesar 43% (WHO, 2014). Angka persalinan dengan metode sesar telah meningkat di seluruh dunia dan melebihi batas kisaran 10%-15% yang direkomendasikan World Health Organization (WHO) dalam upaya penyelamatan nyawa Ibu dan Bayi. Amerika Latin dan wilayah Karibia menjadi penyumbang angka metode sesar tertinggi yaitu 40,5 persen, diikuti oleh Eropa (25%), Asia (19,2%) dan Afrika (7,3%) . Angka kelahiran di Indonesia masih tinggi dan kira-kira 15% dari seluruh wanita hamil mengalami komplikasi dalam persalinan, hal ini terjadi seiring meningkatnya kelahiran dengan SC. Angka kejadian SC tersebut jika di rataratakan sejak tahun 2005 sampai dengan 2011 yaitu sebesar 7% dari jumlah



2



3



semua kelahiran, sedangkan pada pada tahun 2006 sampai dengan 2012 rata-rata kejadian SC meningkat menjadi sebesar 12%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 menunjukkan kelahiran bedah sesar sebesar 12.8 % dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%). Hasil Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa kelahiran dengan bedah caesarea di Indonesia yaitu sebesar 9,8%. Angka kelahiran dengan bedah Caesarea di Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 7,5%. Sebanyak 19,50– 27,30 % diantaranya merupakan Sectio Caesarea karena CPD (Cephalo Pelvik Disproporsi), perdarahan hebat 11,90– 21 %, karena kelainan letak 4,30– 8,70 %. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2013 menyatakan Ibu yang melahirkan melalui bedah Caesarea banyak mengalami komplikasi (55%) dibandingkan dengan wanita lainnya (Dinkes Jabar, 2019). Data yang didapatkan di Kabupaten Sukabumi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi tahun 2020 angka persalinan Sectio Caesarea juga sangat terbilang tinggi, yaitu sebesar 37,2% dari 45,337 persalinan. Paling banyak di Rumah Sakit Swasta sebanyak 62%. (SIK Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, 2020). Di RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi pada tahun 2020 didapatkan data, dari 2350 persalinan terdapat 840 (35,7%) persalinan SC. Dan meningkat pada tahun 2021 dari 2841 persalinan, terdapat 1293 (45.5%) persalinan SC, diantaranya merupakan Sectio Caesarea karena KPD sebanyak 29%, Bekas SC (20%), Pereklamsi, (13,4%) dan CPD yaitu sebesar 13,2%. Upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan prevalensi kejadian Sectio Caesarea adalah dilakukannya asuhan yang berkesinambungan atau yang biasa disebut Continuity Of Care (COC). Continuity Of Care ini dilakukan sejak Ibu pada masa kehamilan, persalinan, nifas sampai Ibu menentukan pilihannya



4



untuk memakai kontrasepsi yang akan digunakan. Asuhan kebidanan yang berkesinambungan yang diberikan pada Ibu dapat mendeteksi dini adanya komplikasi yang dapat terjadi dan juga dapat mencegah kemungkinan komplikasi yang akan terjadi dengan segera. Dengan demikian dilakukannya perawatan Continuity Of Care ini mampu menurunkan angka kejadian sectio caesarea. Selain itu melakukan pelayanan Continuity Of Care menciptakan terjalinnya hubungan yang baik antara seorang Pasien dan Bidan. Asuhan yang berkelanjutan berkaitan dengan kualitas pelayanan dari waktu kewaktu yang membutuhkan hubungan terus menerus antara pasien dengan tenaga kesehatan (Kemenkes, 2016). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan pasca operasi Sectio Caesarea adalah perawatan luka insisi, tempat perawatan pasca operasi, pemberian cairan, nutrisi, nyeri, kateterisasi, perawatan rutin dan mobilisasi dini (Kasdu, 2013). Dan dampak jika tidak melakukan perawatan yang tidak benar akan menyebabkan infeksi, perdarahan, dan luka yang tidak kunjung kering dan membaik. (Puspitasari, dkk 2012) Cara untuk mencegah komplikasi yang ditimbulkan pasca tindakan SC adalah dengan Mobilisasi. Mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis untuk mempertahankan kemandirian. Salah satu keuntungan dari mobilisasi dini adalah mempercepat penyembuhan luka, dengan Mobilisasi dapat memperlancar peredaran darah (Kasdu, 2015).Adapun dampak jika pasien post Sectio Cesarea tidak melakukan mobilisasi dini diantarakan terjadi peningkatan suhu tubuh yang dapat mengakibatkan resiko terjadinya infeksi pasien post sectio cesarea, perdarahan abnormal dan involusi uterus yang tidak baik). Selain itu juga bila tidak melakukan mobilisasi dini dapat terjadi sulit buang air kecil, distensi lambung, gangguan pernafasan, gangguan kardivaskuler (Mocthar, 2015).



5



Menurut Grace & Nasution (2008), Ibu Nifas post Sectio Caesarea belum melakukan mobilisasi dini, karena tidak mau bergerak dan merasa khawatir kalau tubuh di gerakan pada posisi tertentu akan mempengaruhi luka operasi yang belum sembuh yang baru saja selesai di lakukan operasi, sehingga menjadikan rendahnya mobilisasi dini pada Ibu Nifas post Sectio Caesarea. Salah satu kondisi yang menyebabkan rendahnya mobilisasi dini Ibu Nifas adalah masih kurangnya pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan. Khususnya Ibu Nifas yang bersalin dengan operasi Sectio Caesarea (Nunung Liawati, 2015). Pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya mobilisasi lebih awal perlu dimiliki oleh pasien pasien paska operasi (Adelia 2012), menurut futria et all 2018 pengetahuan seseorang juga mempengaruhi terhadap pelaksanaan Mobilisasi secara awal pada pasien - pasien paska operasi. Beberapa Faktor mempengaruhi pemahaman pasien tentang pentinnya aktivitas Mobilisasi paska operasi diantaranya umur, pendidikan, dan pekerjaan. (Buhari.I.S, et all, 2015) Pengetahuan adalah berbagai macam hal yang diperoleh oleh seseorang melalui panca indra. Pengetahuan diperoleh dari mengingat, mengenal sumber informasi yang diterima melalui penginderaan yang kemudian diterima dan diakumulasi menjadi pengetahuan. Pengetahuan menjadi landasan yang memengaruhi tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2017). Hal ini sejalan dengan penelitian Rahmawati, 2020 menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien post SC di RSUD Sungai Dareh 2019. Hasil dari uji kerolasi Rank Spearman didapatkan hasil ρ = 0,049, berarti ρ < 0.05 yang artinya ada hubungan pengetahuan dengan perilaku mobilisasi dini pada pasien post operasi Penelitian dari Sutrisno,dkk, 2021 dengan hasil Uji Chi-Square menunjukkan ada hubungan pengetahuan (p value = 0,034) dengan aktivitas mobilisasi pada ibu post SC. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada



6



hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan aktifitas mobilisasi. Hasil peneliti lain menurut Helda Fitri 2022 menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien post sc di RSUD Sungai Dareh 2019. Uji statistik Uji Chi Square nilai p adalah 0, 0161 (p < 0.05). Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022. 1.2 Identifikasi Masalah Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis di Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi tercatat pada tahun pada tahun 2021 dari 2841 persalinan, terdapat 1293 (45.5%) persalinan SC, sedangkan 1544 (54,34%) persalinan yang normal (persalinan pervaginam, spontan brach dan ektraksi kaki), dan terdapat 4 (0,14%) pada persalinan ektraksi vakum dan forcep. Berdasarkan Hasil wawancara pada 10 Ibu Nifas Post SC, didapatkan 7 Ibu Nifas Post SC tidak mengetahui kapan ibu harus bergerak setelah paska operasi, 1 diantaranya mengatakan karena takut terbuka jahitan operasinya, dan 2 diantaranya tidak diperbolehkan oleh keluarga untuk bergerak atau mobilisasi. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022.”



7



1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022. 1.4.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain untuk: 1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan Ibu Nifas Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022. 2. Ibu Untuk mengetahui distribusi frekuensi Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022. 3. Untuk Mengetahui Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022. 1.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian ini adalah: Terdapat Hubungan Pengetahuan Hubungan Pengetahuan Ibu Nifas Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022. 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis Hasi Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi, khususnya dapat menambah bacaan dan pengetahuan tentang pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien paska operasi. 1.6.2 Manfaat Praktis 1. Bagi RSUD Sekarwangi



8



Hasil



penelitian



ini



dapat



dijadikan



masukan



dalam



meningkatkan kegiatan penyuluhan-penyuluhan atau pemberian pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang pelaksanaan mobilisasi dini pada Ibu Nifas paska operasi, dan sebagai upaya pendampingan tindakan mobilisasi dini. 2. Bagi Ibu Pasien Dan Keluarga Hasi Penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan Ibu dan pengetahuan Ibu Nifas dalam mengetahui pelaksanaan mobilisasi pada pasien Ibu Nifas paska operasi. 3. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya.



9



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Konsep Masa Nifas 1.1.1



Pengertian Masa Nifas Masa nifas atau puerperium berasal dari bahasa latin yaitu dari kata “puer” yang artinya bayi dan”parous” yang berarti melahirkan. Definisi masa nifas adalah masa dimana tubuh ibu melakukan adaptasi pasca persalinan, meliputi perubahan kondisi tubuh ibu hamil kembali ke kondisi sebelum hamil. Masa ini dimulai setelah plasenta lahir, dan sebagai penanda berakhirnya masa nifas adalah ketika alat-alat kandungan sudah kembali seperti keadaan sebelum hamil. Sebagai acuan, rentang masa nifas berdasarkan penanda tersebut adalah 6 Minggu atau 42 hari (Astuti, 2015). Masa nifas atau masa puerperium adalah masa setelah persalinan selesai sampai 6 minggu atau 42 hari. Selama masa nifas, organ reproduksi secara perlahan akan mengalami perubahan seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan organ reproduksi ini disebut involus (Maritalia, 2012). Masa nifas adalah masa penyembuhan fisik dan psikologis yang dimulai sesaat setelah keluarnya plasenta dan selaput janin serta berlanjut hingga 6 minggu (Fraser, 2011). Pelayanan pasca persalinan harus terselenggara pada masa itu untuk memenuhi kebutuhan bayi dan ibu, yang meliputi upaya pencegahan, deteksi dini, penyakit yang mungkin terjadi penyediaan pelayanan pemberian ASI (Saifuddin, 2016). Masa ini merupakan masa yang cukup penting bagi tenaga kesehatan untuk selalu melakukan pemantauan karena pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebabkan ibu mengalami berbagai masalah,



10



bahkan dapat berlanjut pada komplikasi masa nifas. Adanya permasalahan pada ibu akan berimbas juga kepada kesejahteraan bayi yang dilahirkannya karena bayi tersebut tidak akan mendapatkan perawatan maksimal dari ibunya. Dengan demikian, angka morbiditas dan mortalitas bayi pun akan meningkat (Sulistyawati, 2015). 1.1.2



Tujuan Asuhan Masa Nifas Menurut Sulistyawati (2015) asuhan yang diberikan pada ibu nifas bertujuan untuk: 1) Meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis bagi ibu dan bayi Dengan di berikannya asuhan, ibu akan mendapatkan fasilitas dan dukungan dalam upaya untuk menyesuikan peran barunya sebagai ibu (pada kasus ibu dengan kelebihan anak pertama) dan pendampingan keluarga dalam membuat bentuk dan pola baru dengan kelebihan anak berikutnya. Jika ibu dapat melewati masa ini dengan baik maka kesejahteraan fisik dan psikolgis bayi pun akan meningkat. 2) Pencegahan, diagnosa dini, dan pengobatan komplikasi pada ibu Dengan diberikannya asuhan pada ibu nifas, kemungkinan munculnya permasalahan dan komplikasi akan lebih cepat terdeteksi sehingga penanganan dapat lebih maksimal. 3) Merujuk ibu ke asuhan tenaga ahli bilamana perlu Meskipun ibu dan keluarga mengetahui ada permasalahan kesehatan pada ibu nifas yang memerlukan rujukan, namun tidak semua keputusan yang diambil tetap, misalkan mereka lebih memilih untuk tidak datang ke fasilitas pelayanan kesehatan karena pertimbangan tertentu. Jika bidan senantiasa mendampingi pasien dan keluarga maka kepuasan tetap dapat di ambil sesuai dengan kondisi pasien sehingga kejadian mortalitas dapat di cegah.



11



4) Mendukung dan memperkuat keyakinan ibu, serta memungkinkan ibu untuk mampu melaksanakan perannya dalam situasi keluarga dan budaya yang khusus. 5) Pada saat memberikan asuhan nifas, keterampilan seseorang bidan sangat di tuntut dalam memberikan pandidikan kesehatan terhadap ibu dan keluarga. Keterampilan yang harus di kuasai oleh bidan, antara lain berupa materi pendidikan yang sesuai dengan kondisi pasien, teknik penyampaian, media yang digunakan, dan pendekatan psikologis yang efektif sesuai dengan budaya setempat. 6) Imunisasi ibu terhadap tetanus Dengan pemberian asuhan yang maksimal pada ibu nifas, kejadian tetanus dapat di hindari, meskipun untuk saat ini angka kejadian tetanus sudah banyak mengalami penurunan. 7) Mendorong pelaksanaan metode yang sehat tentang pemberian makan anak, serta peningkatan pengembangan hubungan yang baik antara ibu dan anak. Saat bidan memberikan asuhan pada masa nifas, material dan pemantauan yang di berikan tidak hanya sebatas pada lingkup permasalahan ibu, tapi besifat menyeluruh terhadap ibu dan anak. Kesempatan untuk berkonsultasi tentang kesehatan, termasuk kesehatan anak dan keluarga akan sangat terbuka. Bidan akan mengkaji



pengetahuan



ibu



dan



keluarga



mengenai



upaya



pengembangan pola hubungan psikologis yang baik antara ibu, anak dan kelurga juga dapat ditingkatkan melalui pelaksanaan asuhan ini. 1.1.3



Tahapan Masa Nifas Tahapan masa nifas dibagi dalam tiga periode, yaitu: 1) Purperium dini, yaitu masa kepulihan ketika ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan.



12



2) Puerperium intermedial, yaitu masa pemulihan menyeluruh alatalat genetalia, yang lamanya sekitar 6-8 minggu. 3) Remote puerperium, yaitu masa yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna dapat berlangsung selama berminggu-minggu, bulanan, bahkan tahunan (Sulistyawati, 2015). 1.1.4



Kebijakan Program Nasional Masa Nifas Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sulistyawati (2015), kunjungan pada masa nifas paling sedikit 4 kali, kunjungan masa nifas ini bertujuan untuk menilai keadaan ibu dan bayi baru lahir dan untuk mencegah, mendeteksi dan menangani masalah-masalah yang terjadi. Frekuensi kunjungan pada masa nifas adalah: Tabel 2.1 Kunjungan Masa Nifas Kunjungan



Waktu



1.



6-8 jam 1. Mencegah perdarahan masa nifas karena setelah



Tujuan



atonia uteri.



persalin 2. Melakukan deteksi dini dan merawat an



penyebab lain perdarahan dan rujuk bila perdarahan berlanjut. 3. Memberikan konseling cara mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri pada ibu atau salah satu anggota keluarga ibu 4. Membantu ibu memberikan ASI awal yaitu 1 jam setelah Inisiasi Menyusu Dini (IMD) berhasil dilakukan.



13



5. Melakukan



rawat



gabung



untuk



mendekatkan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir. 6. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia. 7. Bidan harus tinggal dengan ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam pertama sesudah kelahiran atau sampai bayi dan ibu dalam keadaan stabil. 2.



6



hari



1. Memastikan involusi uterus berjalan



persalin



normal: uterus berkontraksi, fundus



an



dibawah



umbilikus,



tidak



ada



perdarahan abnormal, tidak ada bau. 2. Menilai adanya tanda-tanda infeksi seperti



demam



atau



perdarahan



abnormal. 3. Memastikan ibu mendapatkan nutrisi yang baik seperti cukup makanan, cairan dan istirahat. 4. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit pada bagian payudara ibu. 5. Memberikan konseling pada ibu tentang asuhan pada bayi mengenai tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari 3.



2 minggu



1. Memastikan involusi uterus berjalan normal uterus berkontraksi, fundus



14



setelah



dibawah



persalin



perdarahan abnormal, tidak ada bau.



an



umbilikus,



tidak



ada



2. Menilai adanya tanda-tanda infeksi seperti



demam



atau



perdarahan



abnormal. 3. Memastikan ibu mendapatkan nutrisi yang baik seperti cukup makanan, cairan dan istirahat. 4. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit. 5. Memberikan konseling pada ibu tentang asuhan pada bayi mengenai tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari.



4.



6



1. Menanyakan pada ibu tentang penyulit



minggu setelah



yang ia atau bayi alami. 2. Memberikan



persalin



konseling



untuk



menggunakan KB secara dini.



an Sumber: (Sulistyawati, 2015) 2.1.5



Perubahan Fisiologi dan Psikologi Post Partum a. Perubahan Fisiologis Ibu dalam masa nifas mengalami perubahan fisiologis. Setelah keluarnya plasenta, kadar sirkulasi hormon HCG (human chorionic gonadotropin), human plasental lactogen, estrogen dan progesteron menurun. Human plasental lactogen akan menghilang



15



dari peredaran darah ibu dalam 2 hari dan HCG dalam 2 mingu setelah melahirkan. Kadar estrogen dan progesteron hampir sama dengan kadar yang ditemukan pada fase follikuler dari siklus menstruasi berturut-turut sekitar 3 dan 7 hari. Penarikan polipeptida dan hormon steroid ini mengubah fungsi seluruh sistem sehingga efek kehamilan berbalik dan wanita dianggap sedang tidak hamil (Walyani, 2017) Perubahan- perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu masa nifas menurut Maritalia (2012) dan Walyani (2017) yaitu: a. Uterus Uterus merupakan organ reproduksi interna yang berongga dan berotot, berbentuk seperti buah alpukat yang sedikit gepeng dan berukuran sebesar telur ayam. Panjang uterus sekitar 7-8 cm, lebar sekitar 5-5,5 cm dan tebal sekitar 2, 5 cm. Letak uterus secara fisiologis adalah anteversiofleksio. Uterus terbagi dari 3 bagian yaitu fundus uteri, korpus uteri, dan serviks uteri. Menurut Walyani (2017) uterus berangsur- angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil: 1) Bayi lahir fundus uteri setinggi pusat dengan berat uterus 1000 gr. 2) Akhir kala III persalinan tinggi fundus uteri teraba 2 jari bawah pusat dengan berat uterus 750 gr. 3) Satu minggu postpartum tinggi fundus uteri teraba pertengahan pusat dengan simpisis, berat uterus 500 gr. 4) Dua minggu postpartum tinggi fundus uteri tidak teraba diatas simpisis dengan berat uterus 350 gram



16



5) Enam minggu postpartum fundus uteri bertambah kecil dengan berat uterus 50 gr. Pemeriksaan uterus meliputi mencatat lokasi, ukuran dan konsistensi antara lain: a) Penentuan lokasi uterus Dilakukan dengan mencatat apakah fundus berada diatas atau dibawah umbilikus dan apakah fundus berada digaris tengah abdomen/ bergeser ke salah satu sisi. b) Penentuan ukuran uterus Dilakukan melalui palpasi dan mengukur TFU pada puncak fundus dengan jumlah lebar jari dari umbilikus atas atau bawah. c) Penentuan konsistensi uterus Ada 2 ciri konsistensi uterus yaitu uterus kerasa teraba sekeras batu dan uterus lunak. Gambar 2.1 Tinggi Fundus Uteri\



Sumber : Walyani, 2017 b. Serviks Serviks merupakan bagian dasar dari uterus yang bentuknya menyempit sehingga disebut juga sebagai leher rahim. Serviks menghubungkan uterus dengan saluran vagina



17



dan sebagai jalan keluarnya janin dan uterus menuju saluran vagina pada saat persalinan. Segera setelah persalinan, bentuk serviks akan menganga seperti corong. Hal ini disebabkan oleh korpus uteri yang berkontraksi sedangkan serviks tidak berkontraksi. Warna serviks berubah menjadi merah kehitaman karena mengandung banyak pembuluh darah dengan konsistensi lunak. Segera setelah janin dilahirkan, serviks masih dapat dilewati oleh tangan pemeriksa. Setelah 2 jam persalinan serviks hanya dapat dilewati oleh 2-3 jari dan setelah 1 minggu persalinan hanya dapat dilewati oleh 1 jari, setelah 6 minggu persalinan serviks menutup. c. Vagina Vagina merupakan saluran yang menghubungkan rongga uterus dengan tubuh bagian luar. Dinding depan dan belakang vagina berdekatan satu sama lain dengan ukuran panjang ± 6, 5 cm dan ± 9 cm/ Selama proses persalinan vagina mengalami penekanan serta pereganganan yang sangat besar, terutama pada saat melahirkan bayi. Beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, vagina tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vagina kembali kepada keadaan tidak hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur- angsur akan muncul kembali. Sesuai dengan fungsinya sebagai bagian lunak dan jalan lahir dan merupakan saluran yang menghubungkan cavum uteri dengan tubuh bagian luar, vagina juga berfungsi sebagai saluran tempat dikeluarkannya sekret yang berasal dari cavum uteri selama masa nifas yang disebut lochea.



18



Karakteristik lochea dalam masa nifas adalah sebagai berikut: 1) Lochea rubra/ kruenta Timbul pada hari 1- 2 postpartum, terdiri dari darah segar barcampur sisa- sisa selaput ketuban, sel- sel desidua, sisa- sisa verniks kaseosa, lanugo dan mekoneum. 2) Lochea sanguinolenta Timbul pada hari ke 3 sampai dengan hari ke 7 postpartum, karakteristik lochea sanguinolenta berupa darah bercampur lendir. 3) Lochea serosa Merupakan cairan berwarna agak kuning, timbul setelah 1 minggu postpartum. 4) Lochea alba Timbul setelah 2 minggu postpartum dan hanya merupakan cairan putih (Walyani, 2017) Normalnya lochea agak berbau amis, kecuali bila terjadi infeksi pada jalan lahir, baunya akan berubah menjadi berbau busuk. d. Vulva Sama halnya dengan vagina, vulva juga mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi. Beberapa hari pertama sesudah proses melahirkan vulva tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vulva akan kembali kepada keadaan tidak hamil dan labia menjadi lebih menonjol. e. Payudara (mamae) Setelah pelahiran plasenta, konsentrasi estrogen dan progesteron menurun, prolactin dilepaskan dan sintesis ASI dimulai. Suplai darah ke payudara meningkat dan menyebabkan



19



pembengkakan vascular sementara. Air susu sata diproduksi disimpan di alveoli dan harus dikeluarkan dengan efektif dengan cara dihisap oleh bayi untuk pengadaan dan keberlangsungan laktasi. ASI yang akan pertama muncul pada awal nifas ASI adalah ASI yang berwarna kekuningan yang biasa dikenal dengan sebutan kolostrum. Kolostrum telah terbentuk didalam tubuh ibu pada usia kehamilan ± 12 minggu. Perubahan payudara dapat meliputi: 1) Penurunan



kadar



progesteron



secara



tepat



dengan



peningkatan hormon prolactin setelah persalinan. 2) Kolostrum sudah ada saat persalinan produksi ASI terjadi pada hari ke 2 atau hari ke 3 setelah persalinan 3) Payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya proses laktasi (Walyani, 2017) f. Tanda- tanda vital Perubahan tanda- tanda vital menurut Maritalia (2012) dan Walyani (2017) antara lain: 1) Suhu tubuh Setelah proses persalinan suhu tubuh dapat meningkat 0,5⁰ celcius dari keadaan normal namun tidak lebih dari 38⁰ celcius. Setelah 12 jam persalinan suhu tubuh akan kembali seperti keadaan semula. 2) Nadi Setelah proses persalinan selesai frekuensi denyut nadi dapat sedikit lebih lambat. Pada masa nifas biasanya denyut nadi akan kembali normal.



20



3) Tekanan darah Setelah partus, tekanan darah dapat sedikit lebih rendah dibandingkan pada saat hamil karena terjadinya perdarahan pada proses persalinan. 4) Pernafasan Pada saat partus frekuensi pernapasan akan meningkat karena kebutuhan oksigen yang tinggi untuk tenaga ibu meneran/ mengejan dan memepertahankan agar persediaan oksigen ke janin tetap terpenuhi. Setelah partus frekuensi pernafasan akan kembali normal. 5) Sistem peredaran darah (Kardiovaskuler) Denyut



jantung,



volume



dan curah jantung



meningkat segera setelah melahirkan karena terhentinya aliran darah ke plasenta yang mengakibatkan beban jantung meningkat yang dapat diatasi dengan haemokonsentrasi sampai volume darah kembali normal, dan pembuluh darah kembali ke ukuran semula. 6) Sistem pencernaan Pada ibu yang melahirkan dengan cara operasi (section caesarea) biasanya membutuhkan waktu sekitar 13 hari agar fungsi saluran cerna dan nafsu makan dapat kembali normal. Ibu yang melahirkan secara spontan biasanya lebih cepat lapar karena telah mengeluarkan energi yang begitu banyak pada saat proses melahirkan. Buang air besar biasanya mengalami perubahan pada 1- 3 hari postpartum, hal ini disebabkan terjadinya penurunan tonus otot selama proses persalinan. Selain itu, enema sebelum melahirkan, kurang asupan nutrisi dan dehidrasi serta dugaan ibu terhadap timbulnya rasa nyeri disekitar anus/



21



perineum setiap kali akan b.a.b juga mempengaruhi defekasi secara spontan. Faktor- faktor tersebut sering menyebabkan timbulnya konstipasi pada ibu nifas dalam minggu pertama. Kebiasaan defekasi yang teratur perlu dilatih kembali setelah tonus otot kembali normal. 7) Sistem perkemihan Buang air kecil sering sulit selama 24 jam pertama. Kemungkinan terdapat spasine sfingter dan edema leher buli- buli sesudah bagian ini mengalami kompresi antara kepala janin dan tulang pubis selama persalinan. Urine dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 1236 jam sesudah melahirkan. Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen yang bersifat menahan air akan mengalami penurunan yang mencolok. Keadaan ini menyebabkan diuresis. Uterus yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6 minggu. 8) Sistem integument Perubahan



kulit



selama



kehamilan



berupa



hiperpigmentasi pada wajah, leher, mamae, dinding perut dan beberapa lipatan sendri karena pengaruh hormon akan menghilang selama masa nifas. 9) Sistem musculoskeletal Ambulasi pada umumnya dimulai 4- 8 jam postpartum. Ambulasi dini sangat membantu untuk mencegah komplikasi dan mempercepat proses involusi. b. Perubahan Psikologis Adanya perasaan kehilangan sesuatu secara fisik sesudah melahirkan akan menjurus pada suatu reaksi perasaan sedih. Kemurungan dan kesedihan dapat semakin bertambah oleh karena



22



ketidaknyamanan secara fisik, rasa letih setelah proses persalinan, stress, kecemasan, adanya ketegangan dalam keluarga, kurang istirahat karena harus melayani keluarga dan tamu yang berkunjung untuk melihat bayi atau sikap petugas yang tidak ramah (Maritalia, 2012). Minggu- minggu pertama masa nifas merupakan masa rentan bagi seorang ibu. Pada saat yang sama, ibu baru (primipara) mungkin frustasi karena merasa tidak kompeten dalam merawat bayi dan tidak mampu mengontrol situasi. Semua wanita akan mengalami perubahan ini, namun penanganan atau mekanisme koping yang dilakukan dari setiap wanita untuk mengatasinya pasti akan berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh pola asuh dalam keluarga dimana wanita tersebut dibesarkan, lingkungan, adat istiadat setempat, suku, bangsa, pendidikan serta pengalaman yang didapat (Maritalia, 2012). Adaptasi psikologis ibu dalam masa nifas, Fase- fase yang akan dialami oleh ibu pada masa nifas antara lain adalah sebagai berikut: a) Fase Taking In atau tahap tergantungan Terjadi pada hari 1-2 post partum, perhatian ibu terhadap kebutuhan dirinya, pasif dan tergantung. Ibu tidak menginginkan kontak dengan bayinya bukan berarti tidak memperhatikan. Dalam fase ini yang diperlukan ibu adalah informasi tentang bayinya, bukan cara merawat bayi. b) Fase Taking Hold Fase ini berlangsung sampai kira-kira 10 hari. Ibu berusaha mandiri dan berinisiatif, perhatian terhadap dirinya mengatasi tubuhnya, misalnya kelancaran miksi dan defikasi, melakukan aktefitas duduk, jalan, belajar tentang perawatan diri dan bayinya, timbul kurang percaya diri sehingga mudah mengatakan tidak mampu melakukan perawatan. Pada saat ini sangat dibutuhkan



23



sistem pendukung terutama bagi bagi ibu muda atau primipara karena pada phase ini seiring dengan terjadinya post partum blues. c) Fase Letting Go atau saling ketergantungan Dimulai sekarang minggu ke 5-6 pasca kelahiran.Tubuh ibu telah sembuh, secara fisik ibu mampun menerima tanggung jawab normal dan tidak lagi menerima peran sakit. Kegiatan seksualnya telah dilakukan kembali. 2.2 Sectio Caesaria 2.2.1



Pengertian Sectio caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn & William, 2010). Menurut Sugeng (2015) Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut, Dari beberapa pengertian tentang Sectio caesarea diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Sectio caesarea adalah suatu tindakan pembedahan yang tujuannya untuk mengeluarkan janin dengan cara melakukan sayatan pada dinding abdomen dan dinding uterus.



2.2.2



Jenis-Jenis Sectio Caesarea Menurut Rantaurapat (2015) jenis-jenis sectio caesarea yaitu : a. Sectio caesarea klasik (corporal) dengan sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10cm. b. Sectio caesarea ismika (profunda) dengan sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim kira-kira 10cm. c. Sectio caesarea transperitonialis yang terdiri dari sectio ekstra peritonelis, yaitu tanda membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak membuka kavum abdominal. (Sugeng, 2012).



24



2.2.3



Etiologi 1) Etiologi yang berasal dari ibu Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para tua disertai kelainan letak ada, disproporsi sefalo pelvik (disproporsi janin/panggul), ada riwayat kehamilan dan persalinan buruk, plasenta previa terutama pada primigravida, solutsio plasenta tingkat I-II, komplikasi kehamilan yang disertai penyakit (jantung, DM) dan gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri dsb.). (Nurarif&Hardhi, 2015). 2) Etiologi yang berasal dari janin Fetal distress atau gawat janin, mal presentasi dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan



persalinan



vakum



atau



forceps



ekstraksi.



(Nurarif&Hardhi, 2015). 2.2.4



Patofisiologi Sectio Caesarea Sectio caesarea merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat diatas 500 gram dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu distrosi kepala panggul, disfungsi uterus, distrosia jaringan lunak, plasenta previa dan lain-lain untuk ibu. Sedangkan untuk gawat janin yaitu janin besar dan letak lintang. Setelah dilakukan sectio caesarea ibu akan mengalami adaptasi post partum. (Rahmawati, 2012).



2.2.5



Resiko Kelahiran Sectio Caesarea Menurut Rantauprapat (2015) resiko kelahiran dengan sectio caesarea terdiri dari : a. Resiko bagi ibu (untuk waktu pendek) Mual muntah dan menggigil, merasa kehilangan emosi, gangguan pada sistem pernafasan, kejang-kejang dan pusing. b. Resiko bagi ibu (untuk waktu panjang)



25



Komplikasi sistem saraf, sakit pada bagian belakang tubuh (bisa menahun), kehilangan kontrol untuk buang air kecil maupun air besar, dan kehilangan sensasi pada bagian perineum (daerah antara vagina dan anus) (Rahmawati. T, 2012). 3) Resiko bagi bayi Kekuatan dan kemampuan gerak otot tubuhnya kurang baik pada jam-jam pertama setelah dilahirkan dan demam karena mengalami penurunan suhu tubuh. 2.3 Spinal Anestesi 2.3.1



Pengertian Spinal Anastesi Menurut Mangku (2010), anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa. Rasa nyeri, rasa tidak nyaman pasien, dan rasa lain yang tidak diharapkan. Anestesiologi adalah ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga atau mempertahankan hidup pasien selama mengalami “kematian” akibat obat anestesia (Kusumawati, 2019). Spinal Anestesi Spinal anestesi adalah prosedur pemberian obat anestesi untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien yang akan menjalani pembedahan dengan menginjeksikan obat anastesi lokal ke dalam cairan serebrospinal dalam ruang subarachnoid (Morgan, et al. 2013). Spinal anestesi dihasilkan bila obat analgesik lokal disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid di antara vertebra lumbal 2 dan lumbal 3, lumbal 3 dan lumbal 4 atau lumbal 4 dan lumbal 5 (Latief dkk, 2009) (Puspitasari, 2019). Menurut Chestnut et al, 2009, anestesi spinal merupakan teknik yang sederhana dan dapat diandalkan, mempunyai onset blokade simpatis yang cepat dan sempurna. Hanya dibutuhkan sejumlah kecil obat anestesi lokal untuk menghasilkan blokade spinal fungsional sehingga risiko mengalami toksisitas anestesi lokal sistemik



26



dapat diabaikan. Keunggulan teknik anestesi spinal menjadikannya teknik anestesi yang paling umum dilakukan (Y. S. Putri et al., 2016). 2.3.2



Tujuan dan manfaat spinal anastesi Tujuan anestesi spinal adalah dapat digunakan sebagai prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri akut maupun kronik (Sjamsuhuidayat & De Jong, 2012).



2.3.3



Indikasi dan kontra indikasi anastesi Spinal Menurut Keat tahun 2013 indikasi pemberian spinal anestesi yaitu sebagai prosedur bedah dibawah umbilicus. Kontraindikasi pemberian anestesi spinal menurut Oyston (2013) adalah tidak diperkenankan diberikan pada pasien yang



mengalami syok



hipovolemik, gangguan fungsi hepar, peningkatan tekanan intracranial, alergi obat lokal anestesi, sepsis, dan gangguan koagulasi 2.3.4



Fase Anestesi Menurut Mangku & Senapathi (2012) ada 3 fase anestesi, meliputi: a. Fase pre anestesi Pada tahap pre anestesi, seorang perawat akan menyiapkan hal-hal yang dibutukan selama operasi. Contoh: pre 13 visit pasien yang akan melakukan operasi, persiapan pasien, pasien mencukur area yang akan dilakukan operasi, persiapan catatan rekam medik, persiapan obat premedikasi yang harus diberikan kepada pasien. 2. Fase intra anestesi Pada fase intra anestesi, seorang perawat anestesi akan melakukan monitoring keadaan pasien. Perawat yang menjalani operasi. b. Fase pasca anestesi Pada tahap ini, perawat anestesi membantu pasien dalam menangani respon-respon yang muncul setelah tindakan anestesi. Respon tersebut berupa nyeri, mual muntah, pusing, hipotensi, hipotermi bahkan sampai menggigil (Mubarokah, 2017).



27



2.4 Mobilisasi Dini 2.4.1



Definisi Mobilisasi dini adalah suatu pergerakan dan posisi yang akan melakukan aktifitas atau kegiatan. Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas dan merupakan faktor yang menonjol dalam mempercepat pemulihan pasca bedah, mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal ini esensial untuk mempertahankan kemandirian. Dengan demikian mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologi. Bahwa mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbing selekas mungkin berjalan (Wirnata, 2019). Mobilisasi



dini



post



sectio



caesarea



adalah



suatu



pergerakan,posisi atau adanya kegiatan yang dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan persalinan caesarea. Untuk mencegah komplikasi post operasi sectio caesarea ibu harus segera dilakukan mobilisasi sesuai dengan tahapannya. Oleh karena setelah mengalami secsio saesarea, seorang ibu disarankan tidak malas untuk bergerak pasca operasi secsio sesarea, ibu harus mobilisasi cepat. Semakin cepat bergerak itu semakin baik, namun mobilisasi dini harus tetap dilakukan secara hati-hati. (Wirnata, 2019). Mobilisasi dini dapat dilakukan pada kondisi pasien yang membaik. Pada pasien post operasi secsio caesarea 6 jam pertama dianjurkan untuk segara menggerakkan anggota tubuhnya. Gerak tubuh yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, kaki dan jarijarinya agar kerja organ pencernaan segara kembali normal. (Kasdu, 2015).



28



Mobilisasi ibu nifas adalah menggerakkan tubuh dari satu tempat ke tempat lain yang harus dilakukan secara bertahap dan langsung setelah melahirkan. Mobilisasi sedini mungkin sangat dianjurkan, bidan harus menjelaskan kepada ibu tentang tujuan dan manfaat mobilisasi (Bahiyatun, 2009).



2.4.2



Tujuan Mobilisasi Menurut Fitriyahsari (2019) tujuan dari mobilisasi adalah untuk Mempertahankan fungsi



tubuh, memperlancar peredaran darah,



membantu pernafasan menjadi lebih baik, Memperlancar eliminasi urin, mengembalikan aktifimas tertentu, sehingga pasien dapat kembali normal dan dapat memenuhi. Kebutuhan gerak harian., memberikan kesempatan perawat dan pasien berinteraksi atau komunikasi. Menurut Vivian, (2011) Perawatan mobilisasi dini mempunyai keuntungan, Menglancarkan pengeluaran lokhea, mengurangi infeksi puerperium, mempercepat involusi uteri, melancarkan fungsi alat grastrointestinal dan alat kelamin, meningkatkan kelancaran perdaran darah sehingga mempercepat fungsi ASI dan pengeluaran sisa metabolisme,



kesempatan



yang



baik



untuk



mengajar



ibu



memelihara/merawat anaknya. 2.4.3



Manfaat Mobilisasi Menurut Potter & Perry (2012), ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari dilakukannya mobilisasi dini pada klien, yaitu: c. Sistem respiratori Meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernapasan diikuti oleh laju istirahat kembali lebih cepat juga dapat meningkatkan ventilasi alveolar (normal 5-6 L/mnt), menurunkan kerja pernapasan, meningkatkan pengembangan diafragma jika mengubah posisi pasien 2 jam sekali.



29



d. Sistem kardiovaskuler Meningkatkan



curah



jantung,



memperbaiki



kontraksi



miokardial, menguatkan otot jantung dan menyuplai darah ke jantung dan otot yang sebelumnya terjadi pengumpulan darah pada bagian ekstermitas, menurunkan tekanan darah istirahat, serta memperbaiki aliran balik vena. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) normal nya adalah 5 L/mnt, dengan melakukan mobilisasi meningkat sampai 30 L/mnt. e. Sistem metabolik Meningkatkan laju metabolisme basal dimana apabila pasien melakukan aktivitas berat maka kecepatan metabolisme dapat meningkat hingga 20 kali dari kecepatan normal, meningkatkan penggunaan glukosa dan asam lemak, meningkatkan pemecahan trigliserida, meningkatkan motilitas lambung, serta meningkatkan produksi panas tubuh. d. Menurunkan insiden komplikasi Mencegah hipotensi/ tekanan darah rendah, otot mengecil, hilangnya kekuatan otot, konstipasi, meningkatkan kesegaran tubuh, dan mengurangi tekanan pada kulit yang dapat mengakibatkan kulit menjadi merah atau bahkan lecet. e. Sistem musculoskeletal Memperbaiki tonus otot, meningkatkan mobilisasi sendi, memperbaiki toleransi otot untuk latihan, mengurangi kehilangan tulang, meningkatkan toleransi aktivitas dan mengurangi kelemahan pada pasien. 2.4.4



Tahap-tahap Mobilisasi Menurut teori Clark Et Al tentang tahapan mobilisasi dini yang peneliti kutip dari R. Nursaid (2019). R. Pelaksanaan mobilisasi dini pada ibu post partum Secsio Caesarea terdiri dari:



30



1) Hari ke 1 1) Berbaring miring kekanan dan kekiri yang dapat dimulai sejak 610 jam setelah ibu sadar. 2) Latihan pernafasan dapat dilakukan ibu sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar. 2) Hari ke 2 1) Ibu dapat duduk 5 menit dan minta untuk bernafas dalam– dalam lalu menghembuskannya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri ibu bahwa ia mulai pulih. 2) Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah duduk. 3) Selanjunya secara berturut-turut, hari demi hari ibu yang sudah melahirkan dianjurkan belajar duduk selama sehari. 3) Hari ke 3 sampai ke 5 1) Belajar berjalan kemudian berjalan sendiri pada hari setelah operasi. 2) Mobolisasi secara teratur dan bertahap serta diikuti dengan istirahat dapat membantu penyembuhan luka. Sedangkan menurut (Handiani, 2019) prosedur pelaksanaan mobilisasi terdiri dari : a. Hari 1 – 4 1) Membentuk lingkaran dan meregangkan telapak tangan Ibu berbaring di tempat tidur, kemudian bentuk gerak lingkaran dengan telapak tangan kaki satu demi satu. Gerakan ini seperti sedang menggambar sebuah lingkaran dengan ibu jari kaki ke satu arah, lalu kearah lainnya. Kemudian regangkan masingmasing telapak kaki dengan cara menarik jari- jari kaki ibu ke arah betis, lalu balikkan ujung telapak kaki kearah sebaliknya sehingga



31



ibu merasakan otot betisnya berkontraksi. Lakukan gerakan ini dua atau tiga kali sehari. 2) Bernafas dalam-dalam Berbaring dan tekukkan kaki sedikit. Tempatkan kedua tangan ibu di bagian dada atas dan tarik nafas. Arahkan nafas ke arah tangan ibu, lalu tekanlah dada saat ibu menghembus nafas. Kemudian tarik nafas sedikit lebih dalam. Tempatkan kedua tangan diatas tulang rusuk, sehingga ibu dapat merasakan paruparu mengembang, lalu hembuskan nafas seperti sebelumnya. Cobalah untuk bernafas lebih dalam sehingga mencapai perut. hal ini akan merangsang jaringan-jaringan disekitar bekas luka. Sanggah insisi ibu dengan cara menempatkan kedua tangan secara lembut diatas daerah tersebut. Kemudian, tarik dan hembuskan nafas yang lebih dalam lagi beberapa kali. Ulangi sebanyak tiga atau empat kali (Handiani, 2019). 3) Duduk tegak Tekuk lutut dan miring kesampin, putar kepala ibu dan gunakan tangan- tangan ibu untuk membantu dirinya ke posisi duduk. Saat melakukan gerakan yang pertama, luka akan tertarik dan terasa sangat tidak nyaman, namun teruslah berusaha dengan bantuan lengan samapai ibu berhasil duduk. Pertahankan posisi itu selama beberapa saat. Kemudian, mulailah memindahkan berat tubuh ke tangan, sehingga ibu dapat menggoyangkan pinggul kearah belakang. Duduk setegak mungkin dan tarik nafas dalamdalam beberapa kali. Luruskan tulang punggung dengan cara mengangkat tulang-tulang rusuk. Gunakan tangan ibu untuk menyangga insisi. Cobalah batuk 2 atau 3 kali (Handiani, 2019).



32



4) Bangkit dari tempat tidur Gerakkan tubuh ke posisi duduk. Kemudian gerakkan kaki pelan-pelan kesisi tempat tidur. Gunakan tangan ibu untuk mendorong kedepan dan perlahan turunkan telapak kaki ke lantai. Tekanlah sebuah bantal dengan ketat diatas bekas luka ibu untuk menyangga. Kemudian cobalah bagian atas tubuh ibu. Cobalah meluruskan seluruh tubuh lalu luruskan kaki-kaki ibu (Aliahani, 2019). 5) Berjalan Dengan bantal tetap tertekan diatas bekas luka, berjalanlah kedepan. Saat berjalan usahakan kepala tetap tegak, bernafas lewat mulut. Teruslah berjalan selama beberapa menit sebelum kembali ke tempat tidur (Handiyani, 2019). 6) Berdiri dan meraih Duduklah dibagian tepi tempat tidur, angkat tubuh hingga berdiri. Pertimbangkanlah untuk mengontraksikan otototot punggung agar dada mengembang dan merenggang, cobalah untuk mengangkat tubuh, mulai dari pinggang perlahanlahan, melawan dorongan alamiah untuk membungkuk, lemaskan tubuh kedepan selama satu menit (Handiani, 2019). 7) Menarik perut Berbaringlah ditempat tidur dan kontraksikan otot-otot dasar pelvis, dan cobalah untuk menarik perut. Perlahan- lahan letakkan kedua tangan diatas bekas luka dan berkontraksilah untuk menarik perut menjauhi tangan ibu, lakukan 5 kali tarikan dan lakukan 2 kali sehari.Saat menyusui tarik perut sembari menyusui. Kontraksikan otot-otot perut selama beberapa detik lalu lemaskan.lakukan 5 sampai 10 kali setiap kali ibu menyusui (Alihani, 2019).



33



b. Hari 4 – 7 1) Menekuk pelvis Kontraksikan abdomen dan tekan punggung bagian bawah ketempat tidur. Jika dilakukan dengan benar pelvis akan menekuk. Lakukan 4 hingga 8 tekukkan selama 2 detik. b) Meluncurkan kaki Berbaring dengan lutut ditekuk dan bernafaslah secara normal. Lalu luncurkan kaki diatas tempat tidur, menjauhi tubuh. Seraya mendorong tumit, ulurkan kaki, sehingga ibu akan merasakan sedikit denyutan disekitar insisi. Lakukan 4 kali dorongan untuk satu kaki. c) Sentakan pinggul Berbaringlah di atas tempat tidur, tekukkan kaki keatas dan rentangkan kaki yang satu lagi. Lakukan gerakan menunjuk ke arah jari-jari kaki. Dorong pinggul pada sisi yang sama dengan kaki yang tertekuk ke arah bahu,lalu lemaskan. Dorong kaki menjauhi kaki menjauhi tubuh dengan lurus. Lakuakn 6 hingga 8 pengulangan untuk masing-masing tubuh. d) Menggulingkan lutut Berbaring ditempat tidur, kemudian letakkan tangan disamping tubuh untuk menjaga keseimbangan. Perlahanlahan gerakkan kedua lutut ke satu sisi. Gerakkan lutut hingga bisa merasakan tubuh ikut berputar. Lakukan 3 kali ayunan lutut



kemasing-masing sisi.



meluruskan kaki.



Akhiri



dengan



34



e) Posisi jembatan Berbaringlah diats tempat tidur dengan kedua lutut tertekuk. Bentangkan kedua tangan ke bagian samping untuk keseimbangan. Tekan telapak kaki kebawah dan perlahan-lahan angkat pinggul dari tempat tidur. Rasakan tulang tungging terangkat. Lakukan gerakan ini lima kali sehari. f) Posisi merangkak Perlahan-lahan angkat tubuh dengan bertopang kedua tangan dan kaki diatas tempt tidur. Saat ibu mempertahankan posisi merangkak tanpa merasa tidak nyaman sedikitpun ibu dapat menambah beberpa gerakan dalam rangkaian ini. Tekan tangan dan kaki di tempat tidur dan cobalah untuk melakukan gerakan yang sama dengan sentakan pinggul, sehingga pinggul terdorong kearah bahu. Jika melakukan gerakan ini dengan benar, ibu akan merasa seolah-olah



menggoyang-goyangkan



ekor.



Lakukan



gerakan ini 5 kali sehari. 2.5 Pengetahuan 2.5.1 Pengertian Pengetahuan Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Ensyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi penetahuan adalah kepercayaan yang benar “ knowledge is justified true belief”. Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia atau seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, rasa dan raba). Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010).



35



Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan



berarti



seseorang



yang



berpendidikan



rendah



mutlak



berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui oendidikan non formal. Pengetahuan tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positf dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan enentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan fakta atau informasi yang kita anggap benar dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indra manusia. 2.5.2 Tingkat Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2010) tingkat pengetahuan dapat di klasifikasikan sebagai berikut: 1.



Tahu (Know) Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.



2.



Memahami (Comprehension) Diartikan



sebagai



suatu



kemampuan



untuk



menyelesaikan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.



36



3.



Aplikasi (Aplication) Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).



4.



Analisis (Analysis) Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.



5.



Sintesis (Synthesis) Suatu menghubungkan



kemampuan bagian-bagian



untuk di



meletakkan dalam



suatu



atau bentuk



keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. 6.



Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkatan di atas.



2.4.5



Faktor- faktor yang mempengaruhi pengetahuan Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu: a. Usia Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. b. Pendidikan



37



Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu di tekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengaruh rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. c. Pekerjaan Pengetahuan responden yang bekerja lebih baik bila dibandingkan dengan pengetahuan ibu yang tidak bekerja. Semua ini disebabkan karena keluarga yang bekerja di luar rumah (sektor formal) memiliki akses yang lebih baik terhadap berbagai informasi d. Sosial Ekonomi Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak begitu memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan kebutuhan- kebutuhan lain yang lebih mendesak (Efendi Nasrul, 1998). e. Informasi Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi



38



pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sehingga sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. 2.4.6 Kriteria tingkat pengetahuan Menurut Arikunto 2016 kriteria pengetahuan dibagi Dalam 3 tingkatan dengan acuan sebagai berikut: F P = ----- x 100 % N Keterangan : P : Persentase f : Jumlah skor jawaban yang benar N : Jumlah skor maksimal jika semua jawaban benar. Kemudian dibagi menjadi 3 kategori 1) Pengetahuan Baik : 76 % - 100 % 2) Pengetahuan Cukup : 56 % - 75 % 3) Pengetahuan Kurang : < 56 % (Arikunto S., 2016)



39



2.5 Kerangka Teori Faktor Predisposisi 1. 2. 3. 4. 5.



Pengetahuan sikap kepercayaan Kepercayaan nilai nilai Faktor Pemungkin



1. 2. 3. 4.



Lingkungan fisik Fasilitas Sumber Informasi



Mobilisasi Dini Post SC



Ketersediaan pelayanan kesehatan 5. Keterjangkauan fasilitas kesehatan



Faktor Penguat 1. Dukungan Tokoh masyarakat 2. Dukungan Petugas Kesehatan 3. Dukungan Keluarga 4. Peraturan UU



Sumber : Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo. 2012, Kasdu 2015, Gesiler 2015.



40



BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik yang menggunakan pendekatan Cross Sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antar faktor-fakor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, obeservasi atau pengumpulan data yang didapatkan dilakukan sekaligus pada suatu saat (point time approach). Hal ini dilakukan dengan pendekatan Cross Sectional yang bertujuan untuk menganalisis menjadi lebih cepat, praktis dan efisien serta data yang telah ada dapat dimanfaatkan walaupun terdapat beberapa kelemahan karena pengamatan sebab dan akibat dilakukan pada saat bersamaan, tanpa urutan waktu yang lazim, yaitu sebab mendahului akibat (Notoatmodjo, 2018). Dalam penelitian ini akan mengkaji Hubungan pengetahuan Ibu Nifas Terhadap Mobilisasi Dini Pada Pasien Post SC Di Ruang Nifas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi Tahun 2022. 3.2 Kerangka Penelitian Kerangka penelitian merupakan formula atau simplikasi dari kerangka teori atau teori-teori yang mendukung penelitian. Oleh sebab itu, kerangka teori terdiri dari beberapa variabel serta hubungan variabel yang satu dengan yang lain (Notoatmodjo, 2018). Variabel Independen



Pengetahuan Ibu Nifas



Variabel Dependent



Mobilisasi Dini Post OP SC



41



3.3 Variabel Penelitian 3.3.1



Variabel Independen (Variabel Bebas) Merupakan variabel yang apabila ia berubah akan mengakibatkan perubahan pada variable lain (Variabel Dependen) (Notoatmodjo, 2018). Variabel independen penelitian ini adalah pengetahuan Ibu Nifas.



3.3.2



Variabel Dependen (Variabel Terikat) Merupakan variable yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variable bebas (Sugiono, 2016). Variabel dependen penelitian ini adalah Mobilisasi Dini Post SC.



3.4 Definisi Operasional Variabel Definisi operasional merupakan batasan varibL yang dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variable yang bersangkutan, bertujuan ungtuk mengarahkan pada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument (alat ukur) (Notoatmodjo, 2018). Tabel 3.1 Definisi Operasional No



Variabel



Definisi operasinal



Alat



Hasi ukur



Skala



ukur 1.



Pengeta huan Ibu Nifas



Pengetahuan Ibu Nifa Pasien



Post



Operasi



Tentang Mobilisasi Dini



Kuesio ner



Skor penilaian 1 = Benar 0=Salah 1. Pengetahuan Baik: 76 % 100 % 2. Pengetahuan Cukup : 56 % 75 %



ordinal



42



3. Pengetahuan Kurang: < 56 % Arikunto s. (2016) 2.



Mobilisa Mobilisasi dini adalah si dini Post SC



suatu pergerakan dan posisi



yang



akan



melakukan aktifitas atau kegiatan caesaria.



post



Sectio



(Wirnata,



2019)



Kuesio ner



Skor Penilaian:



ordinal



1 = Ya, 0 = Tidak 1. Hasil



Baik



dilaksanakan: > 75 % 2. Cukup dilaksanakan: 60 - 75 % 3. Kurang dilaksanakan:
75 % 2) Cukup dilaksanakan : 60 - 75 % 3) Kurang dilaksanakan : < 60 % (Arikunto S., 2016) 2) Data Sekunder Data sekunder adalah data yang didapatkan dari pihak lain baik perorangan maupun lembaga tertentu yang sudah diolah. Data sekunder pada penelitian ini meliputi data-data yang didapatkan dari buku Register Rumah Sakit dan Register Ruang Nifas. 3.6.2 Prosedur Penelitian Langkah-langkah yang akan ditempuh oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.



Pengumpulan data, peneliti memberikan informasi mengenai tujuan dan bagaimana proses berlangsungnya dilakukan penelitian.



2.



Setelah responden memahami maksud, tujuan dan proses penelitian, maka responden diminta menandatangani surat persetujuan (informed consent) serta bersedia menjadi responden selama penelitian dimulai sampai dengan berakhirnya penelitian.



3.



Data yang dikumpulkan adalah, data primer yang diperoleh langsung dari subjek penelitian berupa kuesioner, dan data sekunder yang didapat dari laporan.



3.7 Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Pengolahan Data Menurut Notoatmodjo, 2012 proses pengolahan data dapat melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1. Editing, yaitu peneliti melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kejelasan data yang diperoleh dengan kebutuhan penelitian, hal ini



47



dilakukan di lapangan sehinga apabila terdapat kesalahan ataupun meragukan maka akan diperbaiki kembali. 2. Coding, yaitu kegiatan memberi kode terhadap data yang diperoleh dan sumber data yang telah diperiksa kelengkapannya. Adapun pemberian scoring dan coding pada penelitian ini sabagai berikut: 1) Variabel pengetahuan: 



Benar : 1







Salah : 0







Pengetahuan baik : 3







Pengetahuan cukup : 2







Pengetahuan kurang : 1



2) Variabel perilaku mobilisasi dini 



Ya : 1







Tidak : 0







Baik dilaksanakan : 3







Cukup dilaksanakan : 2







Kurang dilaksanakan : 1



3. Entry, yaitu data yang sudah diberi kode dimasukan ke dalam komputer. 4. Cleaning, yaitu kegiatan pengecekan kembali data yang dimasukan dilakukan bila terdapat kesalahan dalam memasukan data yaitu dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel – variabel yang diteliti 3.7.2 Analisis Data 3.7.1 Analisis Univariat Yaitu analisa yang dilakukan terhadap variabel dan hasil penelitian dalam analisa ini hanya menggunakan distribusi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Analisa univariat



48



dalam penelitian ini adalah persentase dari setiap variabel yang diukur dengan menggunakan rumus:



Pr =



𝑎 𝑥 100% 𝑏



Keterangan: Pr = Persentase a = Jumlah responden kategori tertentu b = Jumlah seluruh responden 3.7.2 Analisis Bivariat Analisis Bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2010). Untuk mengetahui pengaruh antara dua variabel apakah signifikan atau tidak signifikan yaitu dengan menggunakan uji korelasional SPSS dengan Software SPSS 21 (AA. Anwar Prabu Mangkunegara. 2013) dalam uji normalitas data yang didapat, peneliti melakukan uji normalitas dengan menggunakan uji saphiro wilk sehingga didapatkan nilai p = 0,000 artinya data tidak terdistribusi normal. Kemudian peneliti menggunakan uji korelasi Sperman Rank digunakan mencari hubungan atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal, dan sumber data antar variabel tidak harus sama. 3.8 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.8.1 Lokasi Penelitian Tempat penelitian adalah di RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi.



49



3.8.2 Waktu Penelitian Waktu yang digunakan pada penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2022.