Bab5 AirwayManagement [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Chapter 5. Airway Management Konsep utama



Teknik sungkup wajah yang tidak tepat dapat mengakibatkan deflasi kantong reservoir anestesi ketika katup APL tertutup, yang menandakan suatu kebocoran yang substansial di sekitar sungkup. Dan sebaliknya, penggunaan sirkuit pernafasan bertekanan tinggi namun gerakan dada dan bunyi nafas minimal menandakan adanya obstruksi jalan nafas. Laryngeal Mask Airway (LMA) secara parsial melindungi larynx dari sekresi rongga tenggorokan (tetapi bukan regurgitasi lambung), dan pemasangannya tetap dipertahankan sampai pasien sudah mendapat kembali refleks jalan nafasnya.



Setelah insersi tracheal tube (TT), cuff dipompa dengan jumlah udara paling sedikit yang diperlukan untuk menciptakan suatu segel selama ventilasi tekanan positif untuk memperkecil tekanan pada mukosa trakea.



Meski pendeteksian CO2 dengan capnograph adalah konfirmasi terbaik penempatan ETT di trakea,tetap tidak bisa meniadakan kemungkinan bronchial intubasi. Manifestasi yang paling awal terjadinya intubasi bronchial adalah adanya peningkatan peak inspiratory pressure.



Setelah intubasi cuff TT harus tidak dirasakan di atas tulang rawan krikoid, karena posisi intralaryngeal yang berkeperpanjangan dapat mengakibatkan parau sesudah operasi dan meningkatkan risiko dari ekstubasi tanpa sengaja. Mencegah intubasi esophageal yang tak disengaja bergantung pada visualisasi langsung ujung TT yang melintas pita suara, auskultasi seksama untuk bunyi nafas bilateral tidak adanya gurgling yang berhubungan dengan lambung, analisa gas yang dihembuskan untuk mengetahui adanya CO2 (metoda paling dapat dipercaya), radiografi dada, atau penggunaan dari fiberoptic bronchoscopy .



Tanda-tanda terjadinya intubasi bronchial termasuk nafas yang unilateral, hipoksia tak diduga dengan pulse oximetry (tidak dapat dipercaya bila dengan high inspired oxygen concentrations ), ketidak-mampuan untuk meraba cuff TT di dalam sternal notch selama inflasi cuff, dan kurangnya compliance kembang kantong nafas.



Tekanan negatif intratoraks yang besar yang dihasilkan oleh pasien yang mengalami laryngospasme dapat mengakibatkan timbulnya edema paru tekanan negatif bahkan dapat terjadi pada orang dewasa muda yang sehat.



MANAJEMEN JALAN NAFAS: PENDAHULUAN Keahlian manajemen jalan nafas adalah satu ketrampilan penting untuk seorang anesthesiologist. Bab ini meninjau ulang anatomi yang berhubungan dengan pernapasan bagian atas, menguraikan peralatan yang diperlukan, menyajikan teknik-teknik, dan mendiskusikan kesulitan-kesulitan laryngoscopy, intubasi, dan ekstubasi. Keselamatan pasien bergantung pada suatu pemahaman yang seksama dari tiap topik-topik ini. ANATOMI



Selain dari membantu pasien untuk tidak merasakan nyeri, tidak ada karakteristik yang lebih baik dari seorang anesthesiologist dibanding kemampuannya untuk "mengatur" jalan nafas dan pernafasan pasien. Kesuksesan intubasi, ventilasi, cricothyrotomy, dan anesthesia regional dari larynx memerlukan pengetahuan yang terperinci tentang anatomi jalan nafas. Ada dua bagian terbuka pada jalan nafas manusia: hidung, yang menuju ke arah nasofaring (pars nasalis), dan mulut, yang menuju ke arah oropharynx (pars oralis). Saluran ini dipisahkan secara anterior oleh langit-langit mulut, tetapi mereka bergabung secara posterior di dalam pharynx (Gambar 5–1). Pharinx adalah suatu bentuk-U fibromuscular struktur yang meluas dari dasar tengkorak ke tulang rawan krikoid di pintu masuk ke esofagus. Pharinx membuka secara anterior ke dalam rongga hidung, mulut, pangkal tenggorokan, dan nasofaring, oropharynx, dan laryngopharynx (pars laryngea), berturut-turut. Nasopharinx terpisah dari oropharynx oleh satu garis khayal yang meluas ke posterior. Di dasar dari lidah, epiglottis secara fungsional memisahkan oropharynx dari laryngopharynx (atau hipofaring). Epiglotis mencegah aspirasi dengan menutup glottis selama menelan. Larynx adalah suatu tulang rangka cartilaginous disatukan oleh ligament dan otot. Larynx terdiri atas sembilan tulang rawan (Gambar 5–2): thyroid, cricoid, epiglottic, dan arytenoids (sepasang), corniculate, dan cuneiform.



Persyarafan jalan nafas bagian atas berasal dari saraf kranium (Gambar 5–3). Selaput mukosa dari hidung di inervasi bagian ophthalmic (V1) dari nervus trigeminus anterior (anterior nervus ethmoidal) dan oleh bagian maxillary (V2) posterior (nervus sphenopalatine). Nervus palatine menyediakan serabut-serabut berhubungan dengan sensorik dari nervus trigeminus (V) ke superior dan inferior dari palatum mole dan durum. Nervus lingual (suatu cabang dari bagian mandibula [V3] dari nervus trigeminus) dan nervus glosopharinx (saraf kranium yang kesembilan) mempersyarafi dua pertiga anterior dan sepertiga posterior dari lidah, berturut-turut. Cabang dari nervus fasial (VII) dan saraf glosofaring menyediakan sensasi rasa kepada bagian tersebut, berturut-turut. Saraf glosofaring juga memberi persyarafan pada atap dari pharynx, tonsil, dan bagian bawah dari palatum mole. Saraf vagus (saraf kranium yang kesepuluh) mempersyarafi jalan nafas di bawah epiglotis. Cabang superior larinngeal dari vagus membagi dalam satu yang nervus eksternal (motor) dan satu yang nervus internal (sensorik) laryngeal yang mempersyarafi sensoris pada larynx antara epiglottis dan pita suara. Cabang lain dari vagus, nervus recurrent laringeal, memberi persyarafan larynx di bawah pita suara dan trakea..



Otot-otot dari larynx dipersyarafi oleh nervus recurrent laryngeal terkecuali otot cricothyroid, yang di persyarafi oleh nervus laryngeal external (motor), cabang dari nervus laryngeal superior. Otot cricoarytenoid posterior mengabduksi pita suara, sedangkan otot-otot cricoarytenoid lateral adalah otot adduktor yang pokok. Fonasi melibatkan tindakan-tindakan kompleks bersama oleh beberapa otot-otot pangkal tenggorokan. Kerusakan pada saraf motor yang mempersyarafi larynx menyebabkan gangguan bicara. (tabel 5–1). Denervasi unilateral suatu otot cricothyroid menyebabkan gangguan klinis sulit diketahui. Kelumpuhan bilateral nervus recurrent laryngeal mengakibatkan suara parau dan suara yang mudah lelah, tetapi kendali jalan nafas tidak dibahayakan.



Kelumpuhan unilateral N.recurrent laryngeal mengakibatkan kelumpuhan dari pita suara yang ipsilateral, menyebabkan kerusakan kualitas suara. Dibandingkan bila N.laryngeal superior utuh, kelumpuhan bilateral akut N. recurrent laryngeal dapat mengakibatkan stridor dan respiratory distress karena tegangan otot-otot cricothyroid yang menetap. Permasalahan jalan nafas lebih sedikit terjadi pada kelumpuhan N.recurrent laryngeal kronis oleh karena pengembangan dari berbagai mekanisme-mekanisme kompensasi (misalnya, atrofi dari otot-otot laryngeal). Kerusakan bilateral dari nervus vagus mempengaruhi nervus superior dan recurrent laryngeal. Jadi, denervasi bilateral mengakibatkan flasid , midposisi pita suara yang mirip terlihat setelah pemberian succinylcholine. Meski fonasi sangat rusak parah pada pasien-pasien ini namun kendali jalan nafas jarang terjadi masalah. Suplai darah ke larynx berasal dari cabang dari arteri thyroid. Arteri cricothyroid berasal dari Arteri Thyroid superior itu sendiri, cabang yang pertama keluar dari arteri karotid luar, dan menyilang selaput cricothyroid yang bagian atas, yang meluas dari tulang rawan krikoid ke tulang rawan the thyroid. Arteri Thyroid superior ditemukan sepanjang sisi lateral dari selaput cricothyroid. Ketika merencanakan suatu cricothyrotomy, anatomi arteri cricothyroid dan arteri thyroid harus dipertimbangkan tetapi jarang perlu mempengaruhi praktek. Cara yang terbaik adalah tetap di dalam midline, di pertengahan antara cricoid dan tulang rawan thyroid.



EQUIPMENT



Oral & Nasal Airways Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya, kelemahan dari otot genioglossus) pada pasienpasien yang di anestesi menyebabkan lidah dan epiglottis untuk jatuh ke belakang dinding posterior dari faring. Reposisi kepala atau jaw thrust adalah teknik yang lebih disukai untuk membuka jalan nafas. Untuk memelihara pembukaan,satu jalan nafas tiruan dapat disisipkan melalui mulut atau hidung untuk menciptakan satu jalan udara antara lidah dan dinding posterior pharingeal (Gambar 5-4). Pasien sadar atau pasien-pasien teranestesi ringan dapat batuk atau bahkan berkembang menjadi laryngospasm selama penyisipan jalan nafas jika refleks laryngeal masih intact. Penempatan dari suatu oral airway kadang-kadang dimudahkan dengan supresi refleks jalan nafas dan, sebagai tambahan, kadang-kadang dengan penekanan lidah dengan suatu spatel lidah. Oral airway orang dewasa pada umumnya mulai dari yang kecil (80mm [Guedel No. 3]), medium (90 mm [Guedel No. 4]), dan yang besar (100mm [Guedel No. 5]).



Panjang suatu nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak dari ceruk hidung ke meatus telinga, dan harus kira-kira 2-4 cm lebih panjang dibanding oral airway. Oleh karena resiko dari epistaxis, nasal airway harus tidak digunakan untuk pasien-pasien yang mendapat anticoagulan atau pada anak-anak dengan adenoid yang menonjol. Juga, nasal airway tidak boleh digunakan pada setiap pasien yang mempunyai fraktur basilar tengkorak. Setiap tube yang disisipkan melalui hidung (misalnya, nasal airway, nasogastric kateter, nasotracheal kateter) harus dilumasi dan dimasukkan sepanjang dasar dari saluran nasal, tidak seperti usaha orang baru untuk melakukan, melalui apex saluran nasal untuk menghindari trauma konka hidung. Nasal airway biasanya lebih ditoleransi dibanding oral airway pada pasien-pasien dengan anestesi ringan.



Face Mask Design & Technique Pemakaian suatu face mask dapat memudahkan pemberian oksigen atau gas anestesi dari suatu sistim pernafasan ke pasien dengan menciptakan satu segel yang kedap udara dengan muka pasien itu (Gambar 5– 5). Sisi dari face mask dibentuk untuk dapat sesuai dengan bermacam bentuk wajah. Lubang facemask 22mm terhubung ke sirkuit pernafasan dengan konektor bersudut siku. Ada beberapa desain facemask. Face mask transparan memudahkan pengamatan atas gas yang dihembuskan dan mengetahui segera bila terjadi muntah. Face mask k dari karet hitam bersifat cukup lembut untuk menyesuaikan diri dengan struktur-struktur fasial yang tidak biasa. Face mask dapat dipertahankan dengan menyangkutkan hook disekitar lubang facemask dengan tali pengikat kepala, sehingga facemask tidaklah harus terus menerus dipegang. tempat. Beberapa mask anak secara khusus dirancang untuk memperkecil dead space piranti (Gambar 5–6).



Ventilasi yang efektif memerlukan baik facemask yang kedap-gas serta cocok dan suatu jalan nafas yang paten. Teknik facemask yang tidak tepat dapat mengakibatkan deflasi kantong reservoir anestesi ketika katup pembatasan tekanan yang dapat disetel tertutup, hal ini biasanya menandakan suatu kebocoran yang



substansial di sekitar facemask. Dan sebaliknya, pemberian pernafasan dengan tekanan tinggi namun dengan gerakan dada dan nafas bunyi minimal menyiratkan satu jalan nafas yang obstruksi. Keduanya permasalahan ini biasanya dipecahkan oleh teknik yang tepat. Jika topeng dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan dapat digunakan untuk menghasilkan ventilasi tekanan positif dengan penekanan kantong pernafasan.Facemask dipegang dengan menekan kebawah ke arah wajah dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk. (Gambar 5–7). Jari tengah dan jari manis memegang mandibula untuk memudahkan ekstensi sambungan atlantooccipital. Tekanan jari harus ditempatkan di madibula yang bertulang dan bukan di jaringan lunak dasar lidah, yang dapat menghalangi jalan nafas. Kelingking itu ditempatkan di bawah sudut rahang dan digunakan untuk mendorong rahang ke anterior, yang merupakan manuver paling penting untuk membuka ventilasi ke pasien.



Di dalam kondisi yang sulit, dua tangan bisa digunakan untuk memberikan jaw thrust adekuat dan menciptakan suatu mask seal. Oleh karena itu, satu asisten dibutuhkan untuk memeras kantong anestesi. Dalam kasus-kasus yang demikian, ibu jari memegang facemask ke bawah dan ujung jari mendorong rahang maju (Gambar 5–8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan tekanan mengarah ke bawah yang berlebihan dari mask atau dari ball-valve effect dari jaw thrust. Obstruksi karena tekanan yang berlebihan dapat dibebaskan dengan mengurangi tekanan di mask dan yang belakangan dengan pelepasan jaw thrust selama tahap ini selama siklus pernapasan. Pada pasien-pasien edentulous sering sulit untuk membentuk mask yang pas dengan pipi-pipi. Membiarkan gigi palsu dirongga mulut (tidak direkomendasikan) atau mengisi rongga-rongga yang oral dengan kain kasa mungkin bisa membantu. Positive-pressure ventilasi sebaiknya secara normal dibatasi pada 20 cm H2O untuk menghindari inflasi lambung.



Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask, dan nasal atau oral airway. Ventilasi dengan mask untuk periode lama dapat mengakibatkan pressure injury kepada cabang dari trigeminal atau nervus fasialis. Oleh karena tidak ada tekanan positif airway selama ventilasi spontan, hanya dibutuhkan tekanan ke bawah minimal pada mask untuk menciptakan satu segel yang cukup. Jika tali pengikat mask dan mask digunakan untuk periode-periode yang lama, posisi itu harus secara teratur diubah untuk mencegah luka. Harus diperhatikan juga tekanan di mata, dan mata harus ditutup plester untuk memperkecil resiko dari abrasi kornea.



Laryngeal Mask Design & Technique Laryngeal Mask Airway (LMA) semakin banyak digunakan sebagai pengganti suatu mask atau TT selama administrasi dari suatu anesthetic, untuk memudahkan ventilasi dan jalan lintasan dari TT pada pasien dengan sulit jalan nafas, dan untuk membantu di dalam ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic juga pada penempatan bronchoscope. LMA lebih mengungguli Combitube sebagai suatu alat yang lebih disukai untuk mengatur jalan nafas yang sulit. Empat jenis dari LMAs biasanya digunakan: Reusable LMA, improved disposable LMA, ProSeal LMA yang mempunyai satu mulut dengan mana suatu nasogastric dapat disisipkan dan memudahkan ventilasi tekanan positif, dan suatu Fastrach LMA yang memudahkan intubasi pasienpasien dengan jalan nafas yang sulit. LMA terdiri dari satu lubang tube yang lebar/luas yang ujung proximalnya disambungkan ke suatu sirkuit pernafasan dengan suatu konektor 15-mm yang standar, dan ujung distalnya melekat cuff berbentuk lonjong yang dapat dipompa melalui suatu Pilot tube. Cuff yang telah dikempeskan dilumasi dan disisipkan secara blind ke dalam hipofaring sehingga, ketika dipompa, cuff membentuk suatu segel yang bertekanan rendah di sekitar pintu masuk itu ke laringeal. Hal ini memerlukan satu kedalaman anesthetic sedikit lebih besar dari yang diperlukan untuk penyisipan dari oral airway. Meski penyisipan adalah secara relatif sederhana (Gambar 5–9), perhatian yang tepat kepada detil akan memperbaiki tingkat kesuksesan (tabel 5–2). Cuff idealnya diposisikan pada perbatasan dari dasar superior lidah, lateral sinus pyriform, dan otot sphincter esophageal yang bagian atas yang inferior. Jika esophagus berada di dalam tepi dari cuff, distention dan regurgitasi lambung bisa terjadi. Variasi-variasi Anatomi menyebabkan LMA tidak berfungsi baik pada beberapa pasien. Bagaimanapun, jika satu LMA tidak berfungsi dengan baik setelah usaha-usaha untuk memperbaiki "ketepatan" dari LMA gagal, kebanyakan praktisi-praktisi akan mencoba LMA lain satu ukuran lebih kecil atau lebih besar. Karena down-folding epiglottis atau distal cuff bertanggung jawab atas banyak kegagalan, penyisipan LMA dengan visualisasi langsung dengan suatu laringoskop atau bronchoscope fiberoptic membuktikan lebih menguntungkan di dalam kasus-kasus yang sulit. Demikian juga, inflasi parsial cuff sebelum penyisipan bisa sangat menolong. LMA dapat difiksasi dengan tape, sebagaimana halnya dengan fiksasi TT. LMA secara parsial melindungi larynx dari sekresi pharyngeal (bukan regurgitasi lambung), dan LMA perlu dipertahankan di dalam sampai pasien sudah mendapatkan kembali refleks jalan nafasnya. Ini biasanya ditandai dengan batuk dan pembukaan mulut yang di perintah. Reusable LMA yang autoclavable, dibuat dari karet silikon dan ada tersedia di dalam banyak ukuran (tabel 5–3).



LMA menyediakan satu alternatif ventilasi selain face mask atau TT (tabel 5–4). Kontraindikasi untuk LMA termasuk pasien-pasien pharyngeal patologi (misalnya, abses), Obstruksi pharyngeal, Abdomen penuh (misalnya, kehamilan, hiatal hernia), atau low pulmonary compliance (misalnya, restrictive airway disease) memerlukan tekanan inspiratory peak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara kebiasaan, LMA dihindarkan pada pasien-pasien dengan bronkospasme atau airway resistance, tetapi bukti baru menyatakan bahwa karena LMA tidak ditempatkan di dalam trakea, penggunaan dari LMA lebih sedikit menyebabkan bronkospasme dibanding TT. Meski jelas LMA bukan sebagai pengganti untuk tracheal intubasi. LMA sudah membuktikan terutama sekali sangat menolong sebagai pengganti sementara pada pasien-pasien dengan jalan nafas yang



sulit (mereka yang tidak bisa diventilasi atau diintubasi) oleh karena kemudahan insersi dan tingkat sukses tinggi secara relatif (95–99%). Selain itu juga dapat digunakan sebagai suatu saluran untuk stilet intubasi (misalnya, Gum-Elastic Bougie), ventilating jet stilet, FOB yang fleksibel, atau kecil-garis tengah (6.0-mm) TT. Beberapa LMAs ada yang telah dimodifikasi untuk memudahkan penempatan dari TT yang lebih besar dengan atau tanpa pemakaian FOB. Penyisipan dapat dilaksanakan di bawah topical anesthesia dan blok nervus laryngeal bilateral jika jalan nafas harus dijamin aman selagi pasien tetap terbangun.



Esophageal–Tracheal Combitube Design & Technique Esophageal–tracheal Combitube terdiri dari dua tabung yang dipadukan, masing-masing dengan suatu konektor 15-mm diujung proksimalnya. Tabung biru yang lebih panjang mempunyai satu tip distal yang tertutup yang memaksa gas untuk keluar melalui perforasi-perforasi sisi. Tabung jernih yang lebih pendek mempunyai satu tip yang terbuka dan tidak ada perforasi sisi. Combitube biasanya disisipkan secara buta melalui mulut dan dimasukkan sampai 2 cincin hitam di batang terletak di antara gigi atas dan bawah. Combitube mempunyai dua cuff yang dapat digelembungkan, satu proximal cuff 100-mL dan satu distal cuff 15-mL, kedua-duanya harus secara penuh dipompa setelah penempatan. Lumen distal dari Combitube yang biasanya masuk ke esophagus kira-kira 95%, sehingga ventilasi melalui tabung biru yang lebih panjang akan memaksa gas melalui perforasi-perforasi sisi ke larynx. Tabung lebih pendek, yang jernih dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Sebagai alternatif, jika Combitube masuk trakea, ventilasi melalui tabung yang jernih akan menyebabkan gas langsung ke dalam trakea. Meski Combitube itu masih didaftarkan sebagai salah satu opsi untuk memanage suatu jalan nafas yang sulit di dalam algoritma Advanced Cardiac Life Support, namun jarang digunakan oleh anesthesiologists yang menyukai LMA atau alat-alat lain untuk memanage pasien-pasien dengan jalan nafas yang sulit.



Tracheal Tubes TT dapat digunakan untuk menyalurkan gas-gas anesthetic secara langsung ke dalam trakea dan menyebabkan kendali ventilasi dan oksigenasi yang terbaik. Standar TT pabrikasi (Standar Nasional Amerika untuk Anesthetic Equipment; ANSI Z–79). TT paling umum dibuat dari polivinil khlorida. Di masa. lalu, TTS ditandai "I.T." atau "Z–79" untuk menunjukkan bahwa mereka tadinya diuji untuk memastikan tidak ketoksikan. Bentuk dan kekakuan TT dapat diubah dengan menyisipkan suatu stilet. Ujung akhir dari tabung adalah bevel untuk membantu visualisasi dan insersi melalui pita suara. Murphy tube mempunyai suatu lubang (Murphy eye) untuk mengurangi risiko keadaan oklusi bila distal tube yang terbuka tertutup dinding karina atau batang tenggorok (Gambar 5–10).



Resistensi aliran udara tergantung terutama pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjangnya tabung dan lengkungan. Ukuran TT biasanya ditunjuk di dalam milimeter dari garis tengah yang internal atau, lebih sedikit biasanya, di dalam French-scale (garis tengah luar di dalam milimeter-milimeter dikalikan dengan 3). Pilihan dari diameter tabung adalah selalu suatu kompromi antara memaksimalkan arus dengan suatu ukuran yang besar dan memperkecil trauma jalan nafas dengan suatu ukuran yang kecil (tabel 5–5).



Kebanyakan TT orang dewasa mempunyai suatu sistim inflasi cuff terdiri dari suatu klep, balon pilot, tabung pompa, dan cuff (Gambar 5–10). Klep mencegah udara bocor setelah inflasi cuff. Balon pilot menyediakan suatu indikasi bruto inflasi cuff. Tabung pompa menghubungkan klep ke cuff dan menyatukan dengan dinding tube menciptakan suatu segel tracheal. TT dapat digunakan untuk ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Tube uncuffed biasanya digunakan untuk anak-anak untuk memperkecil resiko dari luka tekanan dan pasca intubasi batuk-sesak pada anak-anak (lihat Bab 44). Ada dua jenis utama dari cuff: tekanan tinggi (volume rendah) dan tekanan rendah (volume tinggi). Cuff tekanan tinggi dihubungkan dengan lebih ischemic pada mukosa tracheal dan bersifat kurang cocok untuk intubasi-intubasi lama. Low-pressure meningkatkan kemungkinan dari sakit tenggorokan (lebih besar kontak dengan mukosa), aspirasi,, extubasi secara spontan, dan insersi sulit (oleh karena cuff yang lunak). Meskipun begitu, oleh karena timbulnya kerusakan mukosa lebih rendah, cuff dengan tekanan rendah lebih biasa direkomendasikan. Tekanan cuff bergantung pada beberapa faktor-faktor: volume inflasi, garis tengah dari cuff dalam hubungannya dengan trakea, tracheal dan cuff compliance, dan tekanan intratoraks (tekanan cuff meningkat dengan batuk). Tekanan cuff boleh naik selama anesthesia umum sebagai hasil difusi nitro oxida dari mukosa tracheal ke dalam cuff TT. TTS telah dimodifikasi karena bermacam aplikasi-aplikasi yang khusus.Yang fleksibel, Berpilin, kawat memperkuat TT (armored tubes) mencegah terlipat dan terbukti berguna pada bedah kepala dan leher atau pada posisi prone. Jika satu tabung yang armored menjadi terlipat dari tekanan yang ekstrim (misalnya, pasien terbangun dan menggigitnya), bagaimanapun, lumen akan cenderung untuk oklusi dan tube perlu diganti. Tube yang khusus lain termasuk microlaryngeal tube (lihat Bab 39), RAE preformed tubes (lihat Figures 39–1 dan 39–3), dan double lumen TT (lihat Gambar 24–8). Sekarang ada suatu Parker FlexTip TT yang mempunyai suatu pembukaan distal yang diruncingkan yang lebih elastis. Semua TT memiliki satu garis yang ditempelkan yang terlihat opak di gambar hasil sinar x untuk visualisasi TT insitu.



Rigid Laryngoscopes



Laringoskop adalah satu instrumen yang digunakan untuk memeriksa laring dan untuk memudahkan intubasi trakeal. Handle laringoskop biasanya berisi baterei untuk menerangi suatu bohlam di ujung the blade (Gambar 5–11), atau sebagai alternative sumber energy fiberoptic yang diletakkan di ujung blade. Lampu fiberoptic cenderung lebih langsung dan lebih sedikit baur. Juga, laringoskop dengan lampu fiberoptic di bladenya dibuat compatible untuk magnetic Resonance Imaging (MRI). Blade Macintosh dan Miller adalah desain bengkok/lurus yang paling popular di Amerika Serikat. Pilihan dari Blade bergantung pada anatomi pasien. Karena tidak ada blade yang sempurna untuk semua situasi, dokter seharusnya menjadi lebih familiar



dengan bermacam desan blade (Gambar 5–12



).



Specialized Laryngoscopes 15 tahun lalu, dua laringoskop yang baru telah dikembangkan yang membantu anesthesiologist mengamankan jalan nafas pada pasien kesulitan jalan nafas—the Bullard laringoskop dan laringoskop Wu



(Gambar 5–13). Keduanya mempunyai sumber cahaya fiberoptic dan blade bengkok dengan ujung-ujung yang diperpanjang dan dirancang untuk membantu melihat pembukaan yang glottic pada pasien-pasien dengan lidah-lidah yang besar atau pembukaan glottis yang sangat anterior. Banyak anesthesiologists percaya bahwa alat-alat ini lebih disukai pada pasien-pasien dimana kesulitan jalan nafas telah diantisipasi. Bagaimanapun, seperti halnya alat-alat lain yang digunakan untuk mengatur jalan nafas pasien, keahlian di dalam penggunaannya harus diperoleh pada pasien-pasien normal sebelum menggunakannya secara emergensi dan urgent pada pasien dengan jalan nafas yang sulit.



Flexible Fiberoptic Bronchoscopes Dalam beberapa situasi, contohnya pasien-pasien dengan tulang belakang cervical yang tidak stabil atau dengan range yang buruk atau mereka yang mempunyai anomali jalan nafas bagian atas baik diperoleh atau congenital - direct laryngoscopy dengan suatu laringoskop yang rigid mustahil atau tidak dapat dilakukan. Suatu FOB yang fleksibel dapat melakukan indirek visualisasi laring dalam kasus-kasus yang sedemikian atau untuk setiap situasi di mana awake intubasi (dilakukan pada pasien sadar) direncanakan (Gambar 5-14). Bronchoscopes dibuat dari serat kaca yang memancarkan cahaya dan gambaran-gambaran pemantulan internal, dengan kata lain, suatu berkas cahaya menjadi terkumpul di dan keluar tanpa perubahan di ujung sisi lainnya. Tabung insersi berisi dua bundel dari serabut-serabut, masing-masing terdiri dari 10,000 sampai 15,000 serabut. Bundel pertama mentransmisikan cahaya sedangkan yang lainnya memberikan gambaran high-resolution.



Teknik Direk Laringoskopi dan Intubasi



Indikasi untuk Intubasi Menyisipkan suatu ETT ke dalam trakea sudah menjadi suatu rutinitas yang dilakukan pada anestesia umum. Intubasi bukan suatu prosedur bebas risiko, bagaimanapun, dan tidak semua pasien menerima anesthesia umum dan memerlukan ETT, tetapi suatu TT sering ditempatkan untuk melindungi jalan nafas untuk akses jalan nafas. Secara umum, intubasi diindikasikan untuk pasien-pasien yang resiko untuk terjadi aspirasi dan bagi mereka yang menjalani prosedur-prosedur yang berhubungan. Dengan rongga di tubuh dan



kepala dan leher. Mask Ventilasi atau ventilasi dengan satu LMA biasanya merupakan prosedur memuaskan untuk prosedur minor yang singkat seperti cystoscopy, pengujian di bawah anesthesia, repair hernia inguialis, dll.



Persiapan untuk laringoskop rigid Persiapan untuk intubasi termasuk peralatan dan memposisikan pasien dengan baik. TT juga harus diuji. Cuff pada tube harus diuji dengan memompa cuff menggunakan syringe 10-mL. setelah itu pastikan cuff dan valvenya berfungsi baik. Beberapa anesthesiologists memotong TT untuk mengurangi risiko intubasi bronchial atau sumbatan karena tube terlipat (table 5-5). Connector itu harus dimasukkan ke dalam tube sejauh yang mungkin untuk mengurangi kemungkinan terlepas. Jika stilet digunakan, haruslah dimasukkan ke dalam TT, yang kemudian dibengkokan menyerupai suatu stik hoki (Gambar 5-15). Bentuk ini memudahkan intubasi laring anterior. Bilah yang diinginkan dikunci ke tangkai laringoskop, dan fungsi lampu diuji. Intensitas terang perlu dipertahankan sekali pun lampu itu digoncangkan. Satu tangkai yang tambahan, bilah, TT (satu ukuran lebih kecil), dan stilet harus tersedia. Sebuah unit suction yang berfungsi diperlukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, darah, atau muntahan.



Kesuksesan intubasi sering kali bergantung pada posisi pasien yang benar. Kepala pasien harus sejajar dengan pinggang anesthesiologist atau yang lebih tinggi untuk mencegah ketegangan pada punggung yang tak perlu selama laryngoscopy. Laryngoscopy kaku menggeser jaringan lunak faring untuk menciptakan visualisasi langsung dari mulut ke pembukaan glottis. Elevasi kepala moderat (5–10 cm di atas meja operasi) dan ekstensi persendian atlantooccipital untuk membuat pasien ke dalam sniffing position (Gambar 5–16). Bagian yang lebih rendah di tulang belakang cervical di fleksikan dengan meletakkan kepala di atas bantal.



Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoxygenation rutin. Preoxygenation dengan beberapa (empat pada kapasitas paru-paru total) tarikan nafas dalam dengan oksigen 100% menyediakan satu batas aman tambahan jika pasien tidak mudah diventilasi setelah induksi. Preoxygenation dapat tidak dilakukan pada pasien-pasien yang menolak menggunakan sungkup, dan yang bebas dari penyakit yang berkenaan dengan paru-paru, dan siapa yang tidak mempunyai jalan nafas yang sulit. Setelah dilakukan induksi anesthesia umum, anesthesiologist menjadi pengawal pasien itu. Karena anesthesia umum menghilangkan refleks corneal yang bersifat melindungi, perawatan yang harus dilakukan selama periode ini supaya tidak melukai mata pasien tanpa disengaja karena terkelupasnya kormea mata. Dengan demikian, mata secara rutin ditutup dengan plester, sering kali setelah diberikan obat salep mata.



Intubasi Orotracheal Laringoskop dipegang di tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar, bilah dimasukkan ke dalam sisi kanan oropharynx—secara hati-hati untuk menghindari gigi. Lidah disapu ke kiri dan atas ke dalam lantai orofaring oleh bilah laringoskop. Ujung bilah bengko disisipkan ke dalam vallecula, dan bilah yang lurus menutup epiglottis. Dengan bilah manapun, tangkai itu diangkat atas dan menjauh dari pasien pada suatu bidang tegak-lurus dengan mandibula pasien itu untuk melihat pita suara (Gambar 5–17). Terjebaknya bibir antara gigi dan bilah dan pengungkitan di gigi harus dihindarkan. TT diambil dengan tangan kanan, dan tip nya dilewati pita suara yang abduksi.. Laringoskop ditarik, lagi; dengan penuh hati-hati untuk menghindari gigi rusak. Cuff dipompa dengan jumlah paling sedikit udara yang diperlukan untuk menciptakan suatu segel selama ventilasi tekanan yang positif untuk memperkecil tekanan yang dipancarkan kepada mukosa tracheal. Dengan merasakan tekanan balon pilot bukan suatu metoda yang dapat dipercaya tentang ketercukupan dari tekanan cuff



Setelah intubasi, dada dan epigastrium segera di auskultasi dan capnographic dimonitor untuk memastikan lokasi intratracheal (Gambar 5–18). Jika ada keraguan apakah TT itu di dalam esophagus atau trakea, adalah bijaksana untuk mencabut TT dan ventilasi pasien dengan facemask . Jika tidak, TT di plester atau diikat untuk mengamankan posisi nya. Meski pendeteksian CO2 oleh suatu capnograph adalah konfirmasi terbaik penempatan trakea dari suatu TT, namun tetap tidak bias menyingkirkan intubasi bronchial. Manifestasi paling awal intubasi bronchial yaitu adanya peningkatan di dalam tekanan puncak inspirasi. Lokasi tabung yang tepat dapat dikonfirmasi ulang dengan perabaan cuff di dalam strnal notch selagi mengembangkan balon pilot dengan tangan yang lain. Cuff seharusnya tidak dirasakan lagi di atas tingkat tulang rawan krikoid, karena suatu lokasi intralaryngeal berkepanjangan dapat mengakibatkan suara parau sesudah operasi dan meningkatkan risiko dari ekstubation tanpa sengaja. Posisi tabung dapat didokumentasikan oleh radiografi dada, tetapi ini jarang diperlukan, kecuali dalam satu unit gawat darurat.



Uraian dipaparkan di sini dengan mengasumsikan pada pasien yang tak sadar. Oral Intubasi biasanya dengan kurang baik ditoleransi oleh pasien-pasien yang sadar. Jika perlu, pada kasus berikutnya, sedasi intravena, aplikasi anestetik lokal spray ke dalam oropharynx, blok syaraf regional, dan menenangkan perasaan pasien akan memperbaiki penerimaan pasien. Suatu intubasi yang gagal tidak boleh diikuti oleh usaha-usaha berulang yang yang sama. Perubahanperubahan harus dibuat untuk meningkatkan kemungkinan dari sukses, seperti memposisikan kembali pasien, mengurangi ukuran TT, menambahkan suatu stilet, memilih suatu bilah yang berbeda, mencoba suatu rute nasal, atau meminta bantuan dari anesthesiologist yang lain. Jika pasien tersebut adalah juga sulit untuk ventilasi dengan sungkup, bentuk alternative dari manajemen jalan nafas (misalnya, LMA, Combitube, cricothyrotomy dengan jet ventilasi, tracheostomy) harus dengan segera dilakukan. Suatu guideline dikembangkan oleh American Society of Anesthesiologists (ASA) untuk manajemen suatu kesulitan jalan nafas termasuk suatu algoritma rencana perawatan (Gambar 5–19).



Intubasi Nasotracheal Intubasi nasal adalah serupa dengan intubasi oral kecuali bahwa TT dimasukkan terlebih dahulu melalui hidung dan nasofaring ke dalam oropharynx sebelum laryngoscopy. Lubang hidung di mana pasien bernafas (meniup paling dengan mudah terpilih terlebih dahulu dan disiapkan). Phenylephrine obat tetes hidung (05% atau 025%) membuat vasokontriksi pembuluh darah dan mengkerutkan mukosa membran. Bagaimanapun, administrasi berlebihan phenylephrine nasal dapat menyebabkan arah tekanan darah tinggi, takikardia, dll. Jika pasien sadar, anestetik lokal drops dan blok saraf dapat digunakan. TT yang telah dilumasi dengan jelly yang larut-air dimasukkkan sepanjang dasar hidung, di bawah konka inferior, dengan sudut tegak-lurus terhadap muka. Bevel dari TT diarahkan secara lateral menjauh dari yang konka. Untuk memastikan bahwa TT lewat sepanjang dasar dari rongga hidung, ujung proksimal TT itu harus ditarik ke arah kepala. TT secara berangsur-angsur didorong sampai ujungnya dapat terlihat di dalam oropharynx. Laryngoscopyuntuk melihat pita suara yang terbuka. Sering kali ujung distal TT itu dapat didorong melewati trakea tanpa kesukaran. Namun jika kesukaran ditemui, agar ujung TT dapat melalui pita suara bias dimudahkan dengan manipulasi menggunakan forcep Magill, tetapi harus hati-hati supaya tidak merusak cuff. TT intranasal, nasal airway, atau pipa NGT sangat berbahaya di lakukan pada pasien-pasien dengan trauma midfacial yang parah karena risiko dari penempatan intracranial.



Flexible Fiberoptic Nasal Intubation Kedua lubang hidung dipersiapkan terlebih dahulu menggunakan vasokostriktor drop. Tentukan lubang hidung mana pasien lebih mudah untuk bernafas. Oksigen dapat dialirkan melalui port suction dan melalui saluran aspirasi untuk memperbaiki oksigenasi dan menghilangkan sekret dari ujungnya Sebagai alternatif, nasal airway yang besar (misalnya, 36F) dapat disisipkan ke dalam lubang hidung contralateral. Sirkuit pernafasan dapat langsung disambungkan ke ujung nasal airway ini untuk memberikan 100% oksigen selama laryngoscopy. Jika pasien itu adalah tak sadar dan tidak bernafas secara spontan, mulut itu dapat diplester dan ventilasi dicoba melalui nasal airway tunggal. Ketika teknik ini digunakan, ketercukupan ventilasi dan pengoksigenan harus konfirmasi oleh capnography dan pulse oximetry. Sebuah TT dilumasi dan disisipkan ke dalam lubang hidung yang lain sepanjang suatu nasal airway. Batang yang dilumasi dari FOB dimasukkan ke lumen TT. Selama endoscopy, penting untuk membantu scope ke dalam lumenjangan di dorong kecuali dinding atau selaput mukosa dapat dilihat. Adalah penting juga untuk mejaga batang dari bronchoscope tetap relatif lurus (Gambar 5-21) sehingga jika kepala dari bronchoscope itu diputar dalam satu arah, akhir yang distal akan bergerak ke suatu derajat tingkat yang serupa dan ke arah yang sama. Seperti ujung FOB lewat melalui yang distal akhir dari TT, katup napas atau celah suara harus kelihatan. Selanjutnya ujung bronchoscope dimanipulasi seperlunya untuk melewati pita suara.



Tidak usah tergesa-gesa karena pada pasien sadar harus bisa diventilasi cukup dan pada pasien dianestesi, jika yang baik ventilasi atau oksigenisasi menjadi tidak cukup, FOB harus ditarik keluar untuk memventilasi pasien dengan suatu sungkup. Mempunyai satu asisten mendorong rahang maju atau menerapkan tekanan cricoid dapat memperbaiki visualisasi di dalam kasus-kasus yang sulit. Jika pasien itu sedang bernafas secara spontan, menarik lidah maju dengan suatu pengapit dapat juga memudahkan intubasi. Sekali dalam trakea, FOB itu didorong sampai terlihat karina. Terlihatnya cincin trakea dan karina membuktikan posisi yang tepat. TT terdorong oleh FOB. Sudut tajam di sekitar tulang rawan aritenoid dan katup napas dapat menyulitkan masuknya TT. Penggunaan dari suatu tube yang non kinking biasanya dapat mengurangi masalah ini karena fleksibilitasnya dan lebih membentuk sudut di distal. Posisi TT yang tepat ditetapkan dengan mengamati ujung tabung di atas karina sebelum FOB itu ditarik mundur.



TECHNIQUES OF EXTUBATION Menentukan kapan untuk mencabut suatu TT menjadi bagian dari seni dari anesthesiology yang berkembang dengan pengalaman. Dan menjadi bagian yang sangat penting dalam praktik karena lebih banyak kesulitan-kesulitan muncul segera selama ekstubation dibanding dengan intubasi. Secara umum, ekstubation yang terbaik dilaksanakan baik ketika pasien masih teranestesi dalam atau sadar. Pada kasus yang manapun, pemulihan yang cukup dari obat neuromuskular blok harus dipastikan sebelum ekstubation. Jika obat muscular blok digunakan pada pasien menggunakan ventilator, karena itu pasien harus di weaning dari ventilator sebelum ekstubasi dilakukan.



Ekstubation selama anesthesia ringan (dengan kata lain, suatu keadaan antara yang anestesi dalam dan terjaga) dihindarkan oleh karena resiko yang meningkat dari laryngospasm. Pembedaan antara anesthesia ringan dan yang dalam adalah biasanya terlihat selama pengisapan faring: setiap reaksi karena pengisapan (misalnya, menahan napas, batuk) tanda-tanda dari anesthesia ringan, sedangkan tidak ada reaksi adalah karakteristik dari anestesi yang dalam. Dengan cara yang sama, pembukaan mata atau gerakan-gerakan penuh arti menyiratkan bahwa pasien adalah telah sadar. Ekstubasi pada pasien sadar biasanya berhubungan dengan batuk di TT. Reaksi ini meningkatkan laju denyutj antung, tekanan pembuluh darah pusat, tekanan darah arteri, tekanan intracranial tekanan, dan tekanan intraokular. Mungkin juga menyebabkan luka dehiscence dan berdarah. Adanya sebuah TT pada pasien yang menderita asma sering kali mencetuskan bronkospasme. Meski konsekuensi-konsekuensi ini bisa dikurangi oleh pre treatment dengan 15 mg/kg lidocaine kedalam pembuluh darah 1–2 menit sebelum pengisapan dan ekstubation, ekstubation selama anesthesia yang dalam bisa lebih baik pada pasien-pasien yang tidak bisa mentoleransi efek-efek tersebut. Sebaliknya, ekstubasi akan menjadi kontraindikasi pada pasien yang berhadapan dengan risiko untuk aspirasi atau siapa saja memiliki jalan nafas sulit untuk dikontrol setelah pencabutan TT. Dengan mengabaikan TT itu dicabut ketika pasien itu adalah teranesthesi dalam atau terjaga, faring pasien itu dihisap sebelum ekstubation untuk mengurangi risiko aspirasi atau laryngospasme. Sebagai tambahan, pasien-pasien harus diventilasi dengan oksigen 100% jika menjadi sulit untuk mempertahankan jalan nafas setelah TT dicabut. Tepat sebelum ekstubation, plester dan ikatanya dilepas dan cuff nyadikosongkan. Memberikan sedikit tekanan positif pada kantong anestesi dapat membantu mendorong sekret terkumpul chepalad dari cuff dimana secret dapat dihisap ditempat tersebut. Apakah tube dicabut ketika pasien pada saat akhir ekspirasi atau akhir inspirasi adalah bukan sesuatu yang sangat penting. Tube dicabut dalam satu tarikan,dengan gerakan lembut, dan sungkup biasanya diberikan untuk mengirim 100% oksigen sampai pasien cukup stabil untuk transportasi ke Ruangan pemulihan. Dalam beberapa lembaga; institusi, pemberian oksigen denagn sungkup dipertahankan selama periode transportasi.



KOMPLIKASI LARYNGOSCOPY &INTUBASI



Komplikasi laryngoscopy dan intubasi termasuk hipoksia, hypercarbia, gigi dan trauma jalan nafas, malposisi tube, respon-respon fisiologis kepada instrumentasi jalan nafas, atau tube malfunction. Komplikasi ini dapat terjadi selama laryngoscopy dan intubasi, baik ketika tube itu masih pada tempatnya, atau setelah ekstubation (tabel 5–6).



Airway Trauma Alat-alat laringoskop besi dan insersi TT yang kaku sering kali melukai jaringan lunak pada jalan nafas. Meski gigi rusak merupakan hal paling umum penyebab seorang anesthesiologist dituntut melakukan malpraktek, laryngoscopy dan intubasi dapat menyebabkan komplikasi mulai dari sakit tenggorokan hingga tracheal stenosis. Kebanyakan hal tersebut terjadi karena tekanan luar yang lama pada struktur-struktur jalan nafas yang sensitif. Ketika tekanan-tekanan ini melebihi tekanan darah capillary-arteriolar (kira-kira 30 juta Hg), iskemia jaringan dapat memicu terjadinya inflamasi, ulceration, granulasi, dan stenosis. Inflasi cuff TT dengan tekanan minimum untuk menciptakan suatu segel selama ventilasi tekanan positif yang rutin (biasanya sedikitnya 20 mm Hg) mengurangi aliran darah tracheal sebesar 75% di lokasi cuff. Inflasi cuff lebih besar atau tekanan darah rendah yang terinduksi dapat secara total menghilangkan aliran darah mucosa. Pada anak-anak batuk-sesak napas pasca intubasi yang disebabkan oleh edema glottic, pangkal tenggorokan, atau tracheal merupakan masalah serius. Efikasi dari kortikosteroid (misalnya, dexamethasone02 mg/kg, sampai ke maksimum 12 mg) di dalam mencegah edema postextubation jalan nafas tetap kontoversi; bagaimanapun, penggunaannya bersifat manjur pada anak-anak dengan batuk-sesak napas dari penyebab-penyebab lainnya. Kelumpuhan pita suara karena cuff atau trauma lain kepada syaraf recurrent laryngeal mengakibatkan suara parau dan meningkatkan resiko aspirasi. Sebagian dari kesulitan ini bisa dikurangi dengan menggunakan suatu TT yang dibentuk untuk menepati anatomi dari jalan nafas (misalnya, Lindholm Anatomical Tracheal Tube). Timbulnya suara parau sesudah operasi muncul meningkat dengan obesitas, intubasi sulit, dan anesthesia yang lama. Memberikan suatu pelican yang larut-air atau satu 'gel' anesthetic kepada ujung atau cuff dari TT itu tidak mengurangi timbulnya insidens dari sakit tenggorokan pasca operasi atau suara parau. TT lebih kecil (ukuran 6.5 pada wanita dan ukuran 7.0 pada pria) dihubungkan dengan lebih sedikit keluhan-keluhan sakit tenggorokan sesudah operasi. Usaha berulang pada laryngoscopy selama intubasi sulit dpat menyebabkan edema periglottic dan ketidak-mampuan untuk ventilasi dengan sungkup, dapat menyebabkan yang tidak baik yang dapat mengancam jiwa (Gambar 5-21).



Errors of Tracheal Tube Positioning Intubasi esophageal yang tak disengaja dapat mengakibatkan masalah yang sangat serius. Pencegahan dari kesulitan ini bergantung pada visualisasi langsung ujung TT yang melewati pita suara, auscultation seksama untuk memastikan dari bunyi nafas bilateral dan tidak adanya dari gurgling yang berhubungan dari lambung ketika melakukan ventilasi melalui TT, analisa dari gas yang dihembuskan untuk mendeteksi CO2 (metoda paling dapat dipercaya), radiografi dada, atau penggunaan dari FOB. Meskipun telah dipastikan bahwa TT telah berada di trakea, tetap ada kemungkinan TT tidak secara benar diposisikan. Over insersi biasanya mengakibatkan intubasi bronkus utama kanan oleh karena mempunyai sudut lebih sedikit dengan trakea. Petunjuk terjadinya intubasi bronchial termasuk bunyi nafas yang unilateral, hipoksia tak diduga dengan pulse oximetry (yang tak dapat dipercaya bila dengan high



inspired oxygen concentrations), ketidak-mampuan untuk meraba cuff TT pada sternal notch selama inflasi cuff, dan kurangnya compliance breathing bag (tekanan high peak inspiratory). Sebaliknya, kedalaman insersi yang tidak cukup akan memposisikan cuff di dalam laring, dan mengakibatkan trauma laring. Kedalaman yang tidak cukup dapat dideteksi oleh palpasi cuff di atas tulang rawan thyroid. Karena tidak ada satupun teknik melindungi dari berbagai kemungkinan untuk salah meletakkan suatu TT, pemeriksaan minimal yang perlu antara lain auscultation dada, capnography rutin, dan adakalanya dilakukan perabaan cuff. Jika dilakukan perubahan posisi pasien, penempatan tube harus dikonfirmasi ulang. Ekstensi leher atau rotasi lateral dapat menggerakkan TT menjauhi karina, sedangkan fleksi leher dapat menggerakkan TT menuju karina.



Physiological Responses to Airway Instrumentation Laryngoscopy dan tracheal intubasi mengganggu refleks proteksi jalan nafas pasien sehingga dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi dan takikardia. Insersi LMA hanya sedikit mengakibatkan perubahan hemodynamic. Perubahan hemodynamic ini dapat dikurangi dengan pemberian obat-obat intravena -lidocaine (15 mg/kg) 1-2 min, remifentanil (10 ug/kg) 1 min, alfentanil (10-20 ug/kg) 2-3 min, atau fentanyl (0.5-1.0 ug/kg) 4-5 min sebelum laryngoscopy. Obat-obat Hypotensive, termasuk sodium nitroprusside, nitrogliserin, hydralazine, B-blockers, dan calsium channel blockers, secara efektif mengurangi hypertensi yang temporer yang berihubungan dengan laryngoscopy dan intubasi. Berhubungan dengan dysrhythmias jantung –khususnya ventricular bigeminy- bukan yang hal yang biasa selama intubasi dan biasanya menandai adanya anesthesia ringan. Laryngospasm adalah suatu spasme involunter yang kuat dari otot-otot yang laring disebabkan oleh rangsangan sensorik nervus laryngeal superior. Pencetusnya termasuk adanya rangsangan sekresi di faring dan TT yang melewati laring selama extubation. Laryngospasm biasanya dapat dicegah jika ekstubasi dilakukan selama pasien tertidur dalam atau telah sadar penuh, tetapi laryngospasme tetap dapat terjadi— sangat jarang— pada pasien terjaga. Penatalaksanaam laryngospasm termasuk menyediakan ventilasi tekanan positif dengan satu kantong anesthesia dan sungkup yang menggunakan 100% oksigen atau memberikan lidocaine intravena (1–1,5 mg/kg). Jika laryngospasm tetap terjadi dan terjadi hipoksia, succinylcholine (0,25–1 mg/kg [biasanya cakupan dosis yang lebih rendah]) harus diberikan untuk relaksasi otot-otot laring dan ventilasi dapat dikendalikan. Tekanan negatif intratoraks yang besar yang pasien hasilkan selama laryngospasm dapat mengakibatkan timbulnya negative pressure pulmonary edema bahkan pada orang dewasa muda yang sehat. Jika laryngospasm muncul akibat suatu refleks sensitive yang abnormal, aspirasi dapat diakibatkan oleh refleks laryngeal yang terdepresi akibat intubasi berkeperpanjangan dan anesthesia umum. Bronkospasme merupakan respon refleks yang lain akibat intubasi dan paling umum terjadi pada pasien-pasien yang menderita asma. Bronkospasme kadang-kadang merupakan suatu petunjuk terjadinya intubasi bronchial. Efek patofisiologi lain akibat intubasi termasuk peningkatan tekanan intracranial dan intraokular.



Tracheal Tube Malfunction TT tidak selalu berfungsi sebagaimana diharapkan. Risiko dari pengapian tabung polivinil khlorida dalam satu lingkungan kaya O2/N2O dibahas di Bab 2. Katup atau cuff yang rusak harus disingkirkan sebelum insersi TT. Obstruksi TT dapat diakibatkan oleh kinking, dari aspirasi benda asing, atau sekresi yang tebal di dalam lumen TT.



CASE DISCUSSION: EVALUATION & MANAGEMENT OF A DIFFICULT AIRWAY Seorang perempuan 17 tahun datang ke IGD untuk drainase abses submandibula Apa saja pertimbangan dalam bidang anestesi selama evaluasi preoperative pada pasien dengan jalan nafas abnormal? Induksi untuk Anestesi umum yang diikuti laringoskopi langsung dan oral intubasi adalah sangat berbahaya, jika hal tersebut bukan tidak memungkinkan, pada beberapa situasi (table 5-7) Untuk menentukan teknik intubasi yang optimal, anesthesiologist harus mencari penyebab masalah jalan nafas dan secara hati-hati memeriksa kepala dan leher pasien. Setiap riwayat anesthesia sebelumnya harus ditinjau untuk permasalahan dalam manajemen jalan nafas. Jika deformitas wajah sangat parah dan menghalangi sungkup yang baik, ventilasi tekanan positif tidak mungkin dilakukan. Lebih lanjut, pasien-pasien dengan penyakit hypopharyngeal lebih tergantung pada tonus otot selama sadar untuk mempertahankan patensi jalan nafas. Dua kelompok pasien diatas tidak boleh menjadi apneic karena alasan apapun termasuk induksi anesthesia, pemberian obat penenang, atau kelumpuhan otot sampai jalan nafas mereka dijamin aman.



Jika ada pergerakan terbatas abnormal persendian temporomandibular yang mungkin tidak dapat dihilangkan dengan kelumpuhan otot, suatu pendekatan nasal dengan FOB harus dipertimbangkan. Infeksi terbatas pada dasar mulut biasanya tidak menghalangi intubasi nasal. Jika hipofaring setinggi level tulang hioid, bagaimanapun, setiap usaha translaryngeal akan sulit. Petunjuk-petunjuk lain pada suatu laryngoscopy berpotensi sulit termasuk ekstensi leher yang terbatas ( 55 years of age, BMI > 26 kg/m2, a beard, lack of teeth, and a history of snoring.



Ovassapian A (editor): Fiberoptic Airway Endoscopy and the Difficult Airway. Lippincott-Raven Press, 1996. Extensively illustrated. Rosenblatt WH: Airway management. In: Clinical Anesthesia, 4th ed. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK (editors). Lippincott, Williams & Wilkins, 2001. An excellent, more in depth review of airway management issues. Shelly MP, Nightingale P: ABC of intensive care. Respiratory support. BMJ 1999;318:1674. [PMID: 10373174] Stauffer JL: Complications of endotracheal intubation and tracheostomy. Respir Care 1999;44:828. Stix MS, O'Connor CJ Jr: Depth of insertion of the ProSeal laryngeal mask airway. Br J Anaesth 2003;90:235. As LMA variants appear, it is important to understand the differences in their characteristics. This article summarizes a study of 274 patients; all women received a #4 and the men received a #5. Thompson AE: Issues in airway management in infants and children. Respir Care 1999;44:650. Watson CB: Prediction of a difficult intubation: methods for successful intubation. Respir Care 1999;44:777.