Bahan Materi PRK Minggu Ke2 Sosiologi Agribisnis Online 2021 PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAHAN MATERI PRAKTIKUM SOSIOLOGI AGRIBISNIS ONLINE SM GENAP 2020_2021



MINGGU KE-2 1. Pekerja Rumahan di Industri Sub Contract dan Pengusaha Wanita Di Industri Kecil Pedesaan 2. Tim Jelajah Musi 2010-Kompas. Kompas, 10 April 2010. “Perempuan Pagar Alam Berkuasa di Ladang Sayur” Bacaan -1 Wanita Pekerja Rumahan di Industri Sub Contract dan Pengusaha Wanita di Industri Kecil Pedesaan Murdianto, 1989



Langkanya kesempatan kerja di pedesaan terutama pada saat-saat tertentu setelah masa persiapan tanam di persawahan khususnya bagi tenaga kerja pria di sejumlah tempat di Pulau Jawa, menyebabkan terjadinya migrasi musiman desa-kota. Migrasi tersebut terutama ditujukan untuk memperoleh tambahan pendapatan dengan bekerja di sektor non pertanian di kota. Fenomena migrasi musiman tersebut memberikan indikasi bahwa di pedesaan sektor pertanian belum mampu berkontribusi sepenuhnya bagi pemecahan permasalahan ketenagakerjaan dan kemiskinan. Sementara keberadaan industri kecil yang berkembang dengan berlandaskan nilai-budaya lokal perkembangannya sangat terhambat faktor permodalan dan tehnologi, selain sebagian tenggelam dan tergusur oleh tingginya persaingan industri menengah besar yang “menginvasi” pedesaan. Kondisi ini memberikan peluang kepada wanita pedesaan untuk berkiprah mencari penghasilan tambahan bagi keluarganya. Masuknya industri ke pedesaan semakin memberikan kesempatan wanita pedesaan memasuki kerja non pertanian. Namun demikian dari sejumlah penelitian, kesempatan kerja yang mampu diraih oleh wanita pada umumnya berupa pekerjaan marginal, suatu pekerjaan yang hanya memberikan kontribusi relatif terbatas kepada pendapatan keluarga, keberadaannya tidak kontinu (sewaktu-waktu), dan rendahnya dukungan pemerintah, sehingga pekerjaan tersebut mengandung ketidakpastian yang cukup tinggi, baik keberlangsungannya maupun pemenuhan hak-hak bagi pekerjanya. Kehadiran industri menengah-besar ke pedesaan, seperti industri tenun batik, garmen, rokok, pengolahan produk pertanian dan sebagainya, paling tidak memberikan kontribusi terciptanya beragam pekerjaan (diversifikasi pekerjaan) di pedesaan disamping pekerjaan pertanian yang sangat tergantung musim (pekerjaan tidak tersedia sepanjang waktu). Berbagai bentuk pola produksi industri yang berkembang, salah satunya berupa pola kemitraan, dimana terkait dengan upaya membatasi biaya produksi, pengusaha industri menerapkan pola produksi dengan menyertakan pekerja dalam manajemen resiko. Salah satu pola kemitraan berupa sub contract, dan putting out system, dimana pengusaha industri (menengah-besar) memberikan kesempatan kepada perajin baik industri kecil-industri rumahtangga menyelesaikan produk tertentu di tempat mereka (dikenal sebagai bengkel produksi). Hubungan ini memberikan kelonggaran kepada industri menengah-besar, untuk tetap memperoleh produk tanpa menanggung biaya penyediaan alat dan bengkel kerja, dengan perjanjian tertentu. Disamping itu pengusaha industri menengah-besar terhindar dari resiko pembiayaan bagi tunjangan kesehatan, transportasi dan biaya sosial (social cost) seperti dampak polusi ataupun kecelakaan kerja. Pada usaha batik yang cukup lama berkembang di Jawa Tengah, pola hubungan produksi tersebut diatas sudah lama berlangsung, sehingga menciptakan buruh atau pekerja rumahan



(home workers). Hal ini bermakna buruh (umumnya perempuan) dapat memperoleh penghasilan dari industri yang berada di kota, dengan tetap bekerja di rumah-rumah atau industri kecil di desa sekitarnya. Kondisi ini dipandang menguntungkan penduduk desa (buruh wanita desa) karena buruh dapat bekerja sekaligus dapat mengerjakan pekerjaan rumahtangga (pekerjaan memasak, mengasuh anak, atau lainnya), tidak meninggalkan kelompok tradisionalnya dan menghemat biaya transportasi. Istilah pekerja rumahan (homeworkers) sebagai penamaan bagi pekerja yang menyelesaikan pekerjaan upahan (borongan lepas) dari penyelesaian suatu produk tertentu yang diberikan oleh industri menengah-besar, pada umumnya tanpa kontrak (perjanjian) tertulis. Oleh karena tanpa perjanjian, pekerja tersebut tidak memperoleh hak-haknya (hak normatif sebagaimana diperoleh buruh formal) sebagai pekerja, sementara tuntutan terhadap hasil kerja, tetap sama, baik berupa target waktu, kualitas, maupun kuantitas seperti pekerja formal pabrik (industri). Selain itu mereka (pekerja rumahan) harus menanggung resiko atas kesalahan produk yang dihasilkannya. Pekerja jenis ini sangat rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK), ketidakpastian besaran upah yang diterima dan ketidakpastian keberlanjutan pekerjaan (order kerja). Berbeda dengan pekerja rumahan, bagi pengusaha industri kecil, meskipun permasalahan kerja tidak beresiko pércis seperti pekerja rumahan, namun demikian terdapat kesamaan dalam posisi tawar (bargaining position) ketika berhadapan dengan pengusaha menengah-besar, juga resiko keber-langsungan usaha terutama karena persaingan. Pekerja dan Pengusaha kecil juga seringkali terabaikan oleh kebijakan makro ekonomi pemerintah, sehingga merupakan pihak yang terpinggirkan (termarginalisasikan). Kasus 1 Pekerja rumahan. Pekerja Batik. Ibu Indah Sucipto (45 tahun) salah satu pekerja/buruh batik, seorang janda (ia menikah ketika berumur 16 tahun) dengan dua anak, telah menjadi pekerja/ buruh sejak berumur 12 tahun. Ia hanya berpendidikan SD (kelas 4), alasan biaya dan banyaknya adik-adik (ada 4 adiknya, sementara dia anak sulung) yang harus diasuh, sementara bapaknya hanya seorang petani gurem ([etani berlahan sempit) dan ibunya buruh pekerja rumahan produk batik. Sosialisasi kerja di rumah semenjak kecil menjadikan Ibu Indah Sucipto, tidak memiliki wawasan kerja selain buruh tani dan buruh batik. Namun demikian, dengan rasa tanggungjawab dan kepatuhan kepada orang tua dan nilai-nilai budaya pedesaan, ia tidak mengeluh dan pasrah kepada kondisi yang dialaminya, termasuk ketika ditinggalkan suaminya bekerja di daerah transmigrasi Lampung. Selama menjadi buruh rumahan produk batik, bu Indah Sucipto tidak menetap kepada satu-dua pengusaha batik di kota Solo (Surakarta), dalam mencari order, ia juga mencari dari sejumlah pengusaha batik baik langsung maupun melalui buruh-buruh rumahan lainnya. Pekerjaan membatik dilakukan di rumahnya, yang berdinding bambu dan beralas tanah, dengan peralatan sederhana, yang dikerjakan di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang kerja. Kemampuan kerjanya hanya sekitar 6 sampai 10 potong kain batik dalam sebulan, dengan upah rata-rata Rp 75 000,-/potong. Dengan sebagian besar waktunya dipergunakan untuk



membatik, ia relatif tidak berkesempatan mencari tambahan pendapatan dari pekerjaan lainnya. Menurut penuturannya ia telah lama memperoleh order batik dari pengusaha Pak Parto dan Pak Liem (keturunan China) sementara hubungan kerja dengan Pak Jino, Pak Miskun dan Pak Januar baru terjadi pada akhir tahun 1990-an. Ia bekerja dibantu oleh anak sulungnya, Endah (18 tahun), namun demikian Endah tidak selalu dapat membantu karena telah berkeluarga dan berpisah rumah. Ibu Indah Sucipto, jika mendapat order (pesanan membatik), juga memperoleh bahan/obat pewarna batik dan sejumlah lembaran kain mori, dari pemberi order, sehingga ia hanya bertugas menyelesaikan pekerjaan membatik. Hubungan kerja dilakukan secara personal dengan perjanjian lisan dimana pemberi order menentukan terkait waktu penyelesaian, model (corak batik), kualitas dan jumlah dengan harga borongan. Perjanjian itu juga mencakup keharusan untuk mengambil bahan-kain dan menyetorkan hasil batik. Juga ketentuan tegas akan kualitas hasil batikan; jika hasilnya kurang memuaskan pemberi order, maka Ibu Indah Socipto wajib mengganti atau dikenakan potongan upah. Suatu kondisi dimana buruh rumahan sangat lemah bargaining position-nya dan tidak terlindungi hak-haknya. Menurut dia, menjadi buruh rumahan-buruh batik kadang-kadang makan hati, karena tidak kuasa (menanyakan-memprotes) terhadap ketentuan yang diberikan pemberi order. Batik yang dikerjakan berhari-hari, dalam sekejap dapat saja ditolak pengusaha hanya karena kesalahan kecil, apakah berupa lubang di pinggir kain, penempatan gambar yang tidak pas, terdapat tetesan lilin atau damar atau lainnya. Sebenarnya, kesalahan tersebut tidak selamanya murni kesalahan pembatik, bisa saja kesalahan juragan (pengusaha pemberi order), namun selama ini hanya dirinya yang dipersalahkan. Bila ini terjadi dan seringkali terjadi, saya yang bertanggungjawab, artinya saya harus mengulangi pekerjaan membatik, yang berarti saya harus membeli bahan-kain mori dan mengerjakan kembali pesanan tersebut. Hal ini terpaksa diterima karena tidak ada pilihan lain (terbatasnya pekerjaan di pedesaan), kecuali kehilangan pekerjaan bila tidak “manut juragan” (tunduk-patuh kepada ketentuan yang ditetapkan bos Perusahaan batik). Perlakuan tidak adil juga diterima, apabila juragan tidak puas akan kualitas batikan, (sanksi) biasanya berupa pemotongan upah antara 20% sampai 25 %,.......”dalam hal inipun saya tetap menerima, meskipun tidak puas….wong cilik yo nrimo wae…….” (sebagai orang kecil, lazim buruh tetap harus menerima perlakuan demikian, tidak bisa melakukan pembelaan diri, karena terbatasnya pekerjaan di pedesaan, tentu buruh tidak ingin kehilangan sumber nafkah keluarga). ”... Suatu ketika saya mampu meyelesaikan 10 potong kain batik, dengan rasa optimis di benak saya, saya akan memperoleh upah paling tidak Rp 600.000,-, karena saya perkirakan yang ditolak paling satu atau dua dan saya sudah menghitung sebagian hasilnya (Rp 250.000,-) akan saya sisihkan untuk membayar utang rentenir yang memang harus dibayar keesokan hari. Saya berangkat ke Solo pada hari selasa pagi (pukul 06.15). dengan harapan bertemu juragan atau isterinya, agar dapat memperoleh upah langsung, karena jika tidak bertemu lagsung pembayaran bisa ditunda satu-dua hari, yang berarti perlu ongkos lagi. Saya sampai di Solo pukul 09.00 (menempuh jarak kira-kira 60 kilometer) dan bertemu langsung juragan, namun apa yang terjadi ?; dari 10 potong batik yang saya serahkan, 3 potong dinilai salah dan harus diperbaiki dan 2 potong dikenakan sanksi potogan upah, sehingga saya hanya membawa uang sekitar Rp 475.000,-. Angan angan membayar hutang dan membeli sejumlah kebutuhan, terasa hilangmelayang……… kesal, sedih, tetapi apa daya ?. Kondisi demikian sudah beberapa kali saya alami,



sehingga saya perkirakan memiliki hutang sampai Rp 900.000,- kepada rentenir, yang tentu saja sangat membatasi aktivitas sosial saya, malu dan sedih ……..” Suatu ketika, ada tawaran dari Ibu Minah, ketua koperasi batik rakyat di kecamatan, agar menjadi aggota koperasi. Pada awalnya saya menolak, karena belum tahu pércis manfaat berkoperasi dan saya takut terjerat hutang lagi. Namun setelah sekian lama dinasehati dan saya sangat membutuhkan biaya (modal), saya akhirnya masuk koperasi, karena sebagaian besar anggotanya wanita pembatik tradisional dan persyaratannya mudah, hanya membayar simpanan pokok Rp 10.000,-sekali selama menjadi anggota dan simpanan sukarela (tabungan) Rp 5.000,sebulan. Selain itu anggota dapat meminjam modal sebesar 6 kali lipat tabungan akumulatif. Secara langsung akhirnya saya mendapat manfaat berkoperasi, yaitu selain tetap menjadi pekerja rumahan juga dapat menawarkan produk batik setengah jadi di pasar, juga hutang kepada rentenir sudah lunas. Kasus 2, Pengusaha Kecil. Ibu Neneng (39 tahun). seorang perajin dodol nanas di Kecamatan Jalan Cagak-Kabupaten Subang, berkeluarga, bersuamikan Jajang Ramadan (42 tahun) seorang petani nenas, dengan pemilikan lahan cukup luas sekitar 1,85 hektar. Pendidikan formal terakhir Ibu Neneng, SMA tamat, sementara Bapak Jajang SLTP tamat, keduanya berasal dari desa yang sama di Kecamatan Jalan Cagak. Mereka dikaruniai tiga putra, yang telah bersekolah baik di SD (anak ketiga) maupun SLTP (anak kedua), sedangkan anak pertama perempuan telah tamat SMK namun belum bekerja. Usaha industri kecil dodol yang dikelola ibu Neneng, dimulai sejak tahun 1998 dan saat ini telah mampu menjadi pemasok relatif tetap di salah satu toko swalayan di kota Subang dan Bandung, dengan omset sekitar Rp 5,5 juta/bulan, dengan pekerja 6 orang wanita berasal dari sekitar rumahnya. Pada awalnya usaha dodol nanas berupa upaya mempraktekkan hasil kunjungan PKK Kecamatan Jalan Cagak, (karena saya anggota PKK) ke Garut dan beberapa pameran di Bandung atas kerjasama dengan Dinas Perindustrian Kabupaten Subang. Menurut ibu Neneng, upaya mempraktekkan pengolahan nanas menjadi dodol nenas awalnya dilakukan secara berkelompok, dan beberapa kali diikutsertakan dalam pameran pembangunan tingkat kabupaten se Jawa Barat. Oleh karena ada beberapa pesanan, yang semula diselesaikan oleh kelompok, maka pada suatu saat saya mecoba berusaha sendiri, kebetulan anak saya yang pertama juga cukup paham pada pengolahan makanan. Selain itu, di sini bahan baku cukup banyak baik dari kebun sendiri maupun dari kebun tetangga. Suami juga sangat mendukung usaha yang saya kembangkan. Upaya tersebut tidak memperoleh tantangan dari kelompok PKK bahkan didukung Dinas Perindustrian Kabupaten Subang, baik berupa pengikusertaan pameran maupun dukungan perijinan (produk dodol saya sudah bermerk dan berijin). Bagaimana upaya pengusaha kecil-rumah tangga mencari modal dan pasar ?. Masalah utama pada awal produksi adalah permodalan, karena, lembaga keuangan formal (bank pemerintah/swasta) sangat tegas mempersyaratkan agunan (collateral), meskipun yang saya dengar untuk industri kecil pertanian akan memperoleh kemudahan peminjaman modal. Pernah ada informasi sejumlah BUMN menyediakan kredit murah bagi perajin (industri kecil dan industri



rumahtangga), namun saya tidak mendapatkan kesempatan itu. Akhirnya permodalan saya peroleh dari tabungan dan pinjaman saudara. Sedangkan pemasaran, meskipun sekarang telah memperoleh tempat pemasaran yang relatif tetap, namun itu bukan tanpa perjuangan. Pemasaran mula-mula saya titipkan di warung-warung di pinggir jalan- lintas jalur Jalan Cagak-Subang, namun perputarannya sangat lambat, karena pembelinya tidak pasti. Kemudian saya menghubungi beberapa swalayan di Subang dan Bandung, namun awalnya persyaratannya sangat berat, produknya harus diberi label swalayan tersebut, sistemnya konsinyasi (penitipan, yang laku terjual yang dibayar, sisanya harus dikembalikan) dan harganya rendah (karena swalayan mencari untung dari label dan tempat serta produknya belum memiliki nama pasar). Sebagai pengusaha kecil yang ingin maju, menurut Ibu Neneng, ia berusaha bagaimana untuk meningkatkan kualitas dodolnya, sambil belajar baik dari sejumlah buku maupun perbaikan dari produk yang dibuat dan dari sejumlah pameran saya menemukan tanda-tanda (indikator) produk berkualitas dari apabila produk disenangi konsumen berarti kualitasnya sudah memadai. Selanjutnya, saya berusaha mencari informasi untuk memperoleh ijin produksi dan label di Departemen Perindustrian dan Departemen Kesehatan, agar konsumen merasa aman mengkonsumsi dan harga menjadi lebih baik serta pemasarannya menjadi lebih terjamin. Namun ia mengingatkan bahwa industri kecil yang digelutinya masih saja rawan resiko, terutama persaingan harga yang tidak sehat sesama perajin maupun tergusurnya produk industri kecil oleh industri besar yang mampu mengiklankan produkya dengan biaya milyaran rupiah. Di sisi lain, karena sebagaian lahan yang digunakan untuk budidaya nenas menggunakan lahan milik PTPN VIII dengan komoditas teh (dan sedang beralih fungsi ke komoditas kelapa sawit), maka terdapat ancaman ketersediaan bahan baku nenas bagi industri kecil dodol nenas di wilayah tersebut. (Tulisan ini merupakan sebagaian dari beberapa catatan penulis dalam beberapa penelitian Industri kecil di Jawa Jawa Barat, tahun 1989-1992; ketika magang kerja di PSP LP IPB) Analisis Bacaan Ke-1 Tema Masyarakat Industri-Agroindustri Bacaan Wanita Pekerja Rumahan di Sub contract dan Pengusaha Wanita di Industri Kecil Pedesaan. : Pertanyaan Berdasarkan bacaan dan teori Sosiologi, jawablah pertanyaan berikut ini 1. Ada beberapa konsep Sosiologi dan konsep Ekonomi, diantaranya kontrak kerja, resiko bisnis, agunan (collateral), bargaining position, kelompok pembatik, Koperasi Batik, Pekerja Marginal, Biaya Sosial (Social cost), rentenir. Jelaskan maknanya masing masing ! 2. Masyarakat merupakan kumpulan individu atau rumahtangga (kelompok) dalam suatu wilayah tertentu, dengan karakteristik (ciri-ciri) yang berbeda antara lokasi atau wilayah. Pada konteks pedesaan dapat katagori masyarakat pertanian (pertanian-perkebunan), juga masyarakat industri. Di dalam bacaan apakah lebih menunjukkan masyarakat industri atau agroindustri pedesaan. Deskripsikan (buatlah uaraian singkat) apa yang disebut masyarakat industri atau agroindustri pedesaan. 2. Berdasarkan ciri masyarakat industri (L Soetrisno), ciri-ciri manakah yang menonjol dari kasus 1 (Solo) dan kasus 2 (Subang) dari dalam bacaan tersebut, jelaskan ! : :



3. Berdasarkan bacaan dan pemahaman Anda, a. Rumuskan apa yang dimaksud dengan Pekerja Rumahan (home worker); berikan contoh industri yang menerapkan pola pekerja rumahan di lokasi tertentu.



b. Apakah pekerja jenis ini dinilai menguntungkan pengusaha industri menengah-besar? Jelaskan alasan dari sisi pertimbangan ekonomi bisnis! c. Jelaskan makna pekerjaan marginal dan sebutkan contoh contoh pekerjaan marginal di industri-agroindustri pedesaan ! 4. a. Didalam Konteks Sosiologi, Apa saja permasalahan yang dialami wanita pekerja rumahan dan wanita pengusaha industri rumahtangga/industri kecil pedesaan? b. Apakah permasalahan tersebut timbul karena kebijakan pembangunan industri yang lebih berorientasi kepada pembangunan industri besar di kota? Jelaskan ! c. Keberadaan pola hubungan kerja industri yang memunculkan home worker, secara ekonomis membantu rumahtangga pedesaan, namun secara sosiologis merugikan. Jelaskan ! Bacaan 2 “Perempuan Pagar Alam Berkuasa Di Ladang Sayur”



Tim Jelajah Musi 2010-Kompas. Koran Kompas, 10 April 2010 Meskipun budaya Patriarkhi masih kental di Sumatera Selatan, hal itu tidak berlaku di kalangan keluarga petani sayur di Kota Pagar Alam. Para isteri memiliki kekuasaan lebih tinggi dalam perdagangan hasil kebun keluarga mereka, mulai dari hulu sampai hilir. Jika sebagian besar pada keluarga petani padi di Sumatera Selatan atau Indonesia pada umumnya laki-laki memiliki peran sangat besar (dominan) dalam menentukan pengelolaan hasil sawah atau kebun, mulai dari jenis yang akan ditanam hingga membelanjakan uang, di Pagar Alam perempuan yang menentukan. Laki-laki terbatas mengolah kebun, sementara perempuan menentukan apa sebaiknya yang akan ditanam, bertugas memasarkan hasil kebun dan menentukan penggunaan uang yang diperoleh. Bahkan keunikan terlihat di kota Pagar Alam karena sebanyak 30 orang ‘juragan’ pedagang sayur yang ada, semuanya perempuan. Perempuan juga yang datang menjual sayur. Laki-laki hanya berperan sebagai kuli kasar, mengangkat sayur dari kendaraan ke alat penimbangan di kios atau sebaliknya ke truk untuk dikirim keluar kota. Ketika “Tim Jelajah Musi 2010” menyinggahi pasar sayur di Pagar Alam, beberapa pengumpul sayuran yang tampak sibuk menerima telepon pesanan sayuran dari Palembang mengutarakan, mereka menjadi juragan sayur karena tidak betah menganggur di rumah, sementara suami sudah sibuk di ladang. “saya lebih baik mengurus perdagangan sayuran, apalagi anak anak saya sudah sekolah semuanya” ujar Satri Ana (42) yang memiliki satu kios di sentra perdagangan sayur yang disebut Pasar Terminal. Ibu dua anak itu mengatakan, awalnya ia hanya membawa sayur dari kebun ke Pasar Terminal karena suami sibuk merawat tanaman sayuran di kebun yang butuh penanganan setiap hari. Dua tahun lalu dia tertarik menjadi juragan ketika melihat ada peluang untuk mendapatkan uang lebih besar lagi daripada sekedar menunggu hasil dari kebun sendiri. Lebih Hemat. Dengan bermodal uang tabungan keluarga sebesar Rp 2.5 juta, dia memberanikan diri mulai membeli sayur dari petani dan menerima pesanan sayuran dari sejumlah kota. Pembeli kemudian semakin banyak seiring pesatnya perkembangan Pagar Alam, sebagai sentra pemasok sayur untuk Palembang. Mulai saat itu, Satri Ana tidak hanya menjual sayur, tetapi juga mengelola uang pendapatan dari kebun sayur. Kekuasaan untuk membelanjakan uang dari hasil kebun ada di tangan mereka. Suami hanya sebatas mengusulkan emanfaatan karena uang sudah ada di genggaman sang isteri. Menurut Satri Ana, ada positifnya jika perempuan yang memegang uang



hasil kebun. Sebab perempuan bisa lebih hemat, bahkan bisa diinvestasikan lagi untuk menjadi pedagang sayuran. Jika modal semakin banyak, itu artinya bisa mengumpulkan sayuran lebih banyak lagi dan dapat melayani pesanan lebih luas sehingga keuntungan yang diperoleh juga semakin besar. Sementara Aini Sapta yang sudah empat tahun menjadi juragan sayuran di Pasar Terminal, mengaku tidak pernah ada masalah bagi perempuan berkegiatan di pasar yang kehidupannya terlihat relatif ’keras’. Satu hal yang lebih hebat lagi, mereka tidak pernah terganggu dalam mengurus keluarga di rumah. Aini yang punya dua anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar memastikan tetap mengurus pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah tetap dipantau dari pasar, misalnya kalau anak-anaknya butuh ibunya, mereka langsung bisa singgah di pasar. Menurut Aini, sebelum ke pasar, dia sudah memasak untuk makan siang suami dan anak anak. Rejang Lebong (Bengkulu). Pagar Alam sebenarnya jauh lebih populer sebagai kota perdagangan kopi ketimbang sebagai pemasok sayuran. Entah sejak kapan warga di kaki Gunung Dempo ini mulai menanam sayuran. Konon, awalnya petani disini “tertular” dari daerah tetangganya. Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, yang memang sudah menjadi pemasok sayuran bagi wilayah Sumatera Bagian Selatan. (Catatan, Rejang Lebong, dalam sejarah lebih dikenal sebagai daerah penghasil emas, namun sekarang kegiatan tersebut sudah ditinggalkan). Seorang petani sayuran di Pagar Alam, Suharto (35), mengatakan, sebelumnya ia menanam padi. Menanam sayuran dicoba sejak tahun 1990-an. Dia bersama banyak petani akhirnya ‘banting setir’ bertanam sayuran karena hasilnya jauh lebih besar daripada menanam padi. “Dulu kami menanam padi, hasilnya tidak memuaskan, karena cuma menghasilkan 1 ton padi per hektar. Tetapi sejak menanam sayuran, kami bisa mendapatkan untung lebih besar dan panen berkali-kali” ujar Suharto. Ketika ditemui, Suharto sedang merawat tanaman seledri yang bisa dipanen sebanyak 30 kali dalam setahun dan memberikan keuntungan empat sampai lima kali lipat. Dia hanya butuh biaya sekitar Rp 7 juta untuk menanami ladang yang tidak lebih dari 1 hektar, tetapi bisa mendatangkan keuntungan sebesar Rp 30 juta hingga panen berakhir. Kebun sayuran di Pagar Alam memang tidak seluas kebun sayuran di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong.



Berlomba. “selamat datang di sentra sayuran Rejang Lebong”, ujar Darmo (45), salah satu pedagang besar sayuran di kecamatan tersebut. Sore itu Darmo tengah mengawasi pekerja yang memuat sayuran keatas truk. Sayuran itu akan dikirim ke Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung, melalui pelabuhan Bom Baru, Palembang. Dalam satu pekan (minggu) Darmo bisa tiga kali mengirim sayuran ke Bangka Belitung, dengan volume 4 ton sayuran setiap pengiriman.



Sebagai sentra sayuran, setiap hari tidak kurang dari 40 ton sayuran mengalir keluar dari kecamatan Selupu Rejang. Sayuran itu dikirim oleh sekitar 10 pedagang besar di sana. Selain itu masih ada pedagang-pedagang sayur besar lainnya di kecamatan-kecamatan sentra sayuran di Rejang Lebong. Darmo mengatakan, sayuran itu dikirim ke wilayah sekitar Rejang Lebong seperti Kota Bengkulu (berjarak sekitar 1.5 jam perjalanan dengan kendaraan roda empat). Selain itu, sayuran juga dikirim ke provinsi sekitar Bengkulu seperti Jambi, Sumatera Selatan, Lampung hingga ke Bangka Belitung. Deretan truk yang terparkir di pinggir jalan utama Selupu Rejang menandakan jam keberangkatan dan tujuan pengiriman. Jika truk berangkat pukul 17.00 dan 18.00, sayuran akan dikirim ke Jambi, Bengkulu dan Bangka Belitung. Jika truk berangkat pukul 12.00, sayuran akan dikirim ke wilayah Sumatera Selatan. Siti Masruroh (40), pedagang besar sayur lainnya, mengatakan, memasuki awal tahun 2010 ini pengangkutan sayuran bergairah. Harga sayuran cukup tinggi sejak petani banyak yang beralih menanam cabai merah. Selain itu, hujan terus menerus mengakibatkan pertanaman sayuran agak berkurang. “Pasokan sayuran agak berkurang, namun permintaan terus ada. Harga sayuran terpantau stabil, tidak naik turun seperti tahun 2009” ujar Siti Masruroh. Juwanto (50), petani sayuran dari desa Mojorejo, Kecamatan Sindang Kelingi, menambahkan sejak harga cabai merah mencapai sekitar Rp 20.000,- dan cabai rawit mencapai sekitar Rp15,000,-per kilogram, banyak petani Rejang Lebong beralih menanam cabai. “Saya jadi semangat menanam sayuran. Panen minggu lalu harga kembang kol sudah naik menjadi Rp 6.000,- dari harga sebesar Rp 2.000,- per kilogram pada Desember 2009”. Ujar Juwanto. Kini Pagar Alam dan Rejang Lebong seperti berlomba menjadi sentra sayur mayur dataran tinggi. Namun yang terpenting tentunya, apakah bisa menghidupi masyarakat, petani dan para pedagang yang bergelut di usaha tersebut. (Tulisan ini ditulis oleh Tim Jelajah Musi 2010Kompas). Analisis Bacaan Ke-2 Tema Masyarakat Idustri-Agroindustri Bacaan Perempuan Pagar Alam Berkuasa di Ladang Sayur Pertanyaan Berdasarkan bacaan dan teori Sosiologi, jawablah pertanyaan berikut ini 1. Dalam pemaknaan Sistem Agribisnis (Kementrian Pertanian), apakah semua sub system agribusiness (B Saragih 1989) dalam bacaan tersebut diperankan oleh masyarakat lokal Pagar Alam ? Jelaskan! 2. Berdasarkan konsep konsep sosiologi, tuliskan indikasi yang menunjukkan Interaksi Sosial (kerjasama dan persaingan) dan Stratifikasi Sosial dan mobilitas sosial, dengan mengutip sejumlah kalimat pendukung ! 3. Rumuskan bagaimana konsep masyarakat agrinbisnis dan/atau agroindustri yang terdapat dalam bacaan, dengan menyertakan beberapa kalimat pendukung. 4. Jelaskan makna budaya Patriarkhi!, dan apakah perubahan sumber nafkah utama dari pertanian padi sawah ke pertanian hortikultura (sayur mayur), merubah budaya Patriakhi tersebut ? Jelaskan ! : : :