Bahasa Indonesia Xii Ips 5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Judul: BERSIKAP PERSEPTIF DENGAN KRITIK DAN ESAI TUJUAN PEMBELAJARAN: 1. SISWA DAPAT MEMBANDINGKAN KRITIK SASTRA DAN ESI DARI ASPEK PENGETAHUAN DAN PANDANGAN PENULIS 2. SISWA DAPAT MENYUSUN KRITIK DAN ESAI DENGAN MEMPERHATIKAN ASPEK PENGETAHUAN DAN PANDANGAN PENULIS. 3. SISWA DAPAT MENGANALISIS SISTEMATIKA DAN KEBAHASAAN KRITIK DAN ESAI. 4. SISWA DAPAT MENGONSTRUKSI SEBUAH KRITIK ATAU ESAI DENGAN MEMPERHATIKAN SISTEMATIKA DAN KEBAHASAANNYA. Karakter yang dikembangkan: 1. Proaktif yaitu lebih aktif untuk mengetahui dan memahami unsur-unsur sistematika, kaidah kebahasaan, dan langkahlangkah menyusun kritik dan esai. 2. Kritis, yaitu mampu berpikir dan menganalisis sesuatu hal secara tajam dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Peta Konsep: Membandingkan Kritik dan Esai



Kritik dan Esai



Menyusun Kritik dan Esai Struktur dan Kaidah Kebahasaan



Menganalisis Sistematika dan Kebahasaan



Menganalisis Kritik dan Esai



Kritik tentang Sastra Indonesia



Esai tantang Aspirasiku



A. Membandingkan Kritik Sastra dan Esai Berceloteh dan berkomentar serta membahas sesuatu peristiwa merupakan kegiatan berbahasa sehari-hari. Selain bercakapcakap dan berdiskusi tentunya. Kegiatan itu merupakan kegiatan berekspresi dan aktualisasi diri. Dengan melakukan kegiatankegiatan tersebut, berarti kita peduli dan merasa sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan sekitar. Percakapan dan komentar-komentar akan lebih bermanfaat apabila difokuskan pada obyek yang jelas. Dengan teknik penyampaian yang lebih tersusun, terbaca dan tertata. Peristiwa berbahasa dengan tujuan menyampaikan pendapat berdasarkan persepsi pribadi. Apabila dituangkan dalam bentuk tulisan, peristiwa berbahasa itu lazim disebut sebagai esai sedangkan peristiwa berbahasa yang berupa komentar dan terkait dengan esai karya tertentu disebut sebagai kritik. Dengan demikian esai dan kritik merupakan peristiwa berbahasa yang tidak asing lagi dalam kehidupan sehari-hari.



Teks 1 Menebus Dosa, Aman Datuk Madjoindo Oleh Eka Kurniawan (1) Novel ini karya Aman Datuk Madjoindo berjudul Menebus Dosa. Terbit pertama kali 1932. Madjoindo terutama dikenal melalui novel Si Doel Anak Betawi (dalam versi cetak ulang belakangan, kata Betawi berganti menjadi Jakarta. (2) Pembukaannya rada aneh: dibuka dengan ceramah mengenai pentingnya pakansi, terutama untuk warga kota besar di Betawi (sebesar apa, waktu itu) setidaknya sebulan dalam setahun. Nah, novel diawali dengan perjalanan si narator untuk liburan ke sebuah desa di lereng Pangrango untuk menemui seorang teman. Namun, di desa itu, ia malah bertemu dengan seorang bocah yang tinggal dengan neneknya yang menarik perhatian dia. Berikutnya, sampai akhir, merupakan kisah mengenai sejarah si nenek dan bocah itu. (3) Bagi pembaca modern macam saya, tentu gemas dengan bab pertama yang menceritakan perjalanan narator tersebut, yang bisa dibuang dan cerita langsung diawali di bab kedua. Percayalah, kisah prjalanan narator itu tak lagi disinggung kok sampai akhir novel. Meskipun begitu, saya akhirnya bisa memaklumi mengingat latar belakang kapan novel tersebut ditulis dan terbit, terutama karena saya terhibur dengan kisah si nenek dan cucunya setelah itu.



(4) Kita bisa saja menganggap pembukaan semacam itu sebagai wujud belum canggihnya teknik menulis di masa-masa awal kesusastraan modern kita Jangan berkecil hati. Kita bisa gemas ingin memangkas atau mengedit novel Dostoyevsky atau Tolstoy sekalipun, kok) akan tetapi, saya ingin melihatnya dengan sikap positif: pembukaan itu diperlukan untuk membuat yakin pembaca bahwa kisah di novel ini benar. Si narator (yang dipersonifikasikan sebagai si “aku” penulis) sedang berkunjung dan ia mendengar cerita tentang nenek dan cucunya yang kemudian dilaporkan kembali ke pembaca. (5) Semacam caara untuk berkata, “Saya enggak ngarang lho ya, ini ceria yang betul kejadian, saya Cuma melaporkan.” Seperti kita tahu, kita menulis dan berusaha meyakinkan pembaca bahwa kisah itu benar. Bahkan, dalam kisah paling fantastis dan absurd sekalipun, penting untuk meyakinkan pembaca bahwa itu benar terjadi, setidaknya secara fiktif. Pembukaan novel ini bisa dilihat sebagai upaya sederhana melakukan itu meskipun dengan berkembangnya kesusastraan, teknik “meyakinkan pembaca” tentu telah berkembang sedemikian rupa sehingga sekarang sangat jarang (meskipun ada) penulismembocorkannarator di dalam badan novel. (6) Kembali ke novelnya, seperti saya bilang di muka, saya menikmatinya. Kisah sederhana yang tak perlu saya bocorkan di sini, tetapi jika menemukan bukunya di perpustakaan atau toko buku loak, bacalah. Selalu menyenngkan membaca karya-karya lama, dalam arti yang sebenarnya, melemparkan kita ke waktu yang berbeda. Tak hanya melalui dunia rekaannya, tetapi juga melalui ejaan (yang masih lama) kertas kusamnya (hati-hati untuk yang alergi) dan sesekali menemukan kejutan dan kata-kata yang sudah tak lagi dipergunakan, tetapi kita tahu ada dan mengerti artinya. (7) Dibandingkan S Doel mungkin tak lagi banyak yang ingat novel ini. Akan tetapi, seperti makhluk hidup, ia selalu punya cara untuk bertahan dan menghampiri pembaca baru. Yang beruntung bukanlah novel itu, tetapi si pembaca yang bersua dengannya. (ekakurniawan.com,30 Maret 2014 dalam Engkos Kosasih, halaman 184185.Buku Cerdas Berbahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas XII kelompok Wajib. Penerbit Erlangga. Tahun 2018).



Teks II Origami Oleh Gunawan Muhammad (1)Seorang penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia seorang penggubah origami. Ia membangun sesuatu, sebuah struktur dari bahan-bahan yang gampang melayang sebab, bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas ingatan. (2)Ingatan tak pernah solid dan stabil, ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika menampakkan diri di depan kita, ia sebenarnya dalam proses berubah dengan kepala yang tidak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembab atau menguning. (3)Origami,, di situ, mengandung dan mengundang perubahan. Berbeda dengan kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat denganlem atau dijahit mati. Ia bernilai karena ia sebuah transformasi dari bahan tipis dan rata jadi sebuah bentuk yang kita bayangkan sebagai, misalnya, burung undan. Dan pada saat yang sama, ia mudah diurai kembali. Begitu juga penulisan sejarah: ia bernilai karena ia mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak bisa diberi bentuk yang sudah dilipat mati. (4)Saya selalu teringat ini tiap 17 Agustus. Hari itu telah jadi sebuah institusi. Kita memberinya nama dan merayakannya dalam sebuah lagu (Tujuh belas Agstus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita ...”) ada yang menjadikannya indikator sebuah revolusi (dengan “P”) dan berbicara tentang “Revolusi Agustus”.



(5)Manusia memerlukan itu: ...di balik 17 agustus sebagai sebuah ingatan yang dilembagakan, ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya. Para pemuda yang semangat berapi-api dan jantung berdebar menesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada penguasa Jepang. (6) Kerja ... dalam ragam yang tak habis-habisnya.bnsetelah beratus-ratus tahun menunggu, tiba-tiba datang satu saat ketika kolonialisme jebol orang Indonesia bisa berkata bahwa dirinya “merdeka”. (7)Sejarah dibalik origami yang rapi itu, tak semuanya rapi. (8)Ia, jika kita pakai pandangan adalah sebuah kejadian. Tiap ikatannya dengan dunia utuh. Dengan situasi satu, kejadian itu seakan-akan ditaktik dari hidup kita yang sehari-hari dan lepas ke bintang-bintang. (9)Di sini, .... kita tahu bahwa 17 Agustus bukanlah sesuatu yang secara ontologis terpisah dari situasi waktu itu. (10) Kita bisa menyebutnya sebagai “Revolusi” Akan tetapi, tiap ingatan tentang revolusi selalu terdiri atas bagianbagian dari membangun Bangsa Indonesia (11) Itu sebabnya, “merdeka” adalah proses. (12) Pernah ada lelucon dari seorang “Kapan mereka selesai?” (13) Itu sebabnya kita perlu membayangkan origami itu tak mati. Dalam bentuk seekor burung undan, kita bayangkan ia terbentang tinggi.



Bandingkan tek 1 dan teks II dan pahamilah perbedaan kedua teks tersebut baik dari cara pandang penulis maupun hal penceritaannya.



B. Bacalah Teks berikut dengan baik. Setelah itu pilihlah pernyataan-pernyataan berikut yang sesuai dengan teks tesebut. 1. Membahas suatu fenomena 2. Terdapat penilaian tentang kelebihan dan kekurangan suatu hal. 3. Banyak argumen di dalamnya yang ditunjang oleh fakta 4. Peristilahan sastra banyak ditemukan didalam teks itu 5. Pembahasan teks itu bersifat personal.