Biografi Ibrahim Bin Adham [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Ibrahim bin Adham Az-Zahid Rahimahullaahu Nama, nasab dan Kelahiran beliau Beliau adalah Ibrahim bin Adham bin Mansur bin Yazid bin Jabir, dia seorang imam yang arif, pemimpinnya orang-orang zuhud, dan dia mempunyai julukan “Abu Ishaq al-‘Izli, ada yang mengatakan at-Tamimi, al-Khurasani, al-Balkhi, salah satu daerah di Syam. Beliau dilahirkan di Makkah pada akhir-akhir tahun ke 100H. Sekelumit kisah Ibrahim bin Adham dalam mendapatkan hidayah Ibrahim bin Bassyar bercerita, Aku berkata kepada Ibrahim bin Adham, “Wahai Abu Ishaq (Ibrahim bin Adham) bagaimana permulaan kisahmu hingga engkau menjadi seperti ini ?”. Maka ia berkata: “Tanyakan yang lain saja, karena hal itu lebih baik bagimu”. Akupun berkata: “Betul apa yang kau katakan, akan tetapi jika kau kabarkan kepadaku (tentang kisahmu -red) mungkin hal itu bisa bermanfaat bagiku pada suatu hari nanti”, kemudian aku mengulangi perkataanku. Maka iapun berkata: “Celaka engkau, lebih baik kau sibukan diri terhadap Allah”. Maka aku bertanya untuk ketiga kalinya. Maka ia berkata: “ Dahulu bapakku dari (penduduk) Balkha, dan dia seorang raja Kharasan. Kami di berikan kesenangan (hobi) berburu, maka (pada suatu hari) aku keluar menunggangi kudaku dan anjingku bersamaku, maka ketika aku melihat Kelinci atau Rubah akupun memacu kudaku, akan tetapi tiba-tiba aku mendengar seruan seorang penyeru dari arah belakangku, yang berkata: “Bukan untuk hal tersebut engkau diciptakan, dan bukan untuk hal itu engkau diperintahkan!”. Maka akupun menghentikan (langkah kudaku), dan aku melihat kesebelah kanan dan kekiriku, akan tetapi aku tidak melihat siapapun, maka aku katakan: “Semoga Allah melaknat Iblis”. Lalu akupun memacu kudaku, akan tetapi tiba-tiba aku mendengar seruan yang lebih keras dari yang pertama, yang berkata: “Ya Ibrahim, bukan untuk hal tersebut engkau diciptakan, dan bukan untuk hal itu engkau diperintahkan!”. Maka akupun menghentikan (langkah kudaku), dan aku melihat kesebelah kanan dan kekiriku, akan tetapi aku tidak melihat siapapun, maka aku katakan: “Semoga Allah melaknat Iblis”. Maka akupun memacu kudaku, akan tetapi aku mendengar kembali seruan itu dari belakang pelana kudaku, Ya Ibrahim, bukan untuk hal tersebut engkau diciptakan, dan bukan untuk hal itu engkau diperintahkan!”, maka akupun berhenti, akupun berkata: “Aku sadar- aku sadar, telah datang kepadaku pemberi peringatan dari Tuhan semesta alam, demi Allah aku tidak akan bermaksiat kepadanya lagi setelah hari ini. Perkataan hikmah Ibrahim bin Adham Beliau rahimahullah mempunyai nasehat yang penuh dengan hikmah, diriwayatkan dari Ibrahim bin Adham, ia berkata, “Setiap raja yang tidak adil, maka ia dan pencuri sama(kedudukanya), setiap orang berilmu yang tidak bertaqwa maka dia dan serigala sama (kedudukanya), dan setiap yang menghinakan diri kepada selain Allah maka dia dan anjing sama (kedudukanya)”. Beliau juga berkata, “Zuhud yang wajib yaitu zuhud terhadap apa yang diharamkan Allah, zuhud adalah keselamatan yaitu Zuhud terhadap perkara syubahat (perkara yang tak jelas halal dan haramnya -red), zuhud adalah keutamaan yaitu Zuhud terhadap perkara yang halal”.



Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata, “Banyak melihat kepada sesuatu yang batil, dapat menghilangkan pengetahuan hati terhadap kebenaran”. Diriwayatkan dari Muhammad bin Ghalib, dia berkata, “Ibrahim bin Adham menulis surat kepada Sufyan ats-Tsauri (dia berkata di dalam suratnya -red), “Barangsiapa yang mengetahui apa yang dia kehendaki maka dia akan menganggap remeh apa yang dia korbankan untuknya, barangsiapa yang mengumbar pandangannya maka penyesalannya akan berlangsung lama, barangsiapa yang panjang angan-angannya maka akan buruk amal perbuatannya, dan barangsiapa yang mengumbar lisannya maka dia membunuh dirinya”. Keutamaan beliau Beliau rahimahullah adalah seorang yang zuhud, dan wara’ (menjaukan diri dari yang di haramkan Allah Ta’ala). Beliau makan dari hasil keringat sendiri, dan tidak mau berpangku tangan kepada orang lain, diriwayatkan bahwa dikatakan kepada Ibrahim bin Adham, “Bagaimana kondisimu?, maka ia menjawab, “Aku dalam keadaan baik, selama tidak ada yang menanggung nafkahku”. Diriwayatkan bahwa beliau pergi meninggalkan rumahnya menuju negri Syam untuk mencari rezki yang halal dengan tangannya sendiri. Beliau bekerja di sawah milik orang lain dengan tekun dan selalu menjaga amanah yang diamanahkan kepadanya. Ahli sejarah berkata, “Ibahim bin Adham adalah penduduk Balakh, dia pergi ke Makkah, di tempat tersebut ia menemani Sufyan ats-Tsauri, Fudhail bin ‘Iyadh, kemudian dia pergi ke Syam, di sana dia makan dari usahanyan sendiri, dan kemudian dia wafat di sana”. Perkataan ulama tentangnya Diriwayatkan bahwa Imam Nasai berkata, “Ibrahim bin Adham tsiqah (terpercaya), salah seorang dari orang-orang yang zuhud”. Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Ibrahim bin Adham seorang yang memiliki keutamaan, dia mempunyai rahasia dan hubungan (dalam beribadah -red) antara dia dengan Allah ’Azza wa jalla, aku tidak melihat dia menampakan tasbih, maupun sesuatu dari amal ibadahnya, dan tidaklah dia makan bersama seseorang, kecuali dia yang terakhir mengangkat tangannya (untuk makan makanan tersebut)”. Wafat beliau Para ulama berbeda pendapat tentang tahun wafatnya Ibrahim bin Adham, namun imam Ibnu Katsir menguatkan pendapat Ibnu ‘Asakir. Ibnu ‘Asakir rahimahullah meriwayatkan bahwa (riwayat) yang terjaga adalah bahwa Ibrahim bin Adham wafat pada 162 H. [Sumber: Diterjemahkan dan diposting oleh Sufiyani dengan sedikit penambahan dan pengurangan dari kitab Siyar A’lami Nubala jilid, 7/387-396; Siarus Salafis Shalihin, jilid, 3/963-973; dan al-Bidayah wa an-Nihayah jilid, 10/558-568]



Kisah Ibrahim Bin Adham dan Burung Gagak Setiap makhluk di alam raya ini memiliki rezeki sendiri-sendiri. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang penguasa bernama Abu Ishaq bin Adham hidup pada abad kedelapan Masehi. Masyarakat di Balkh (sekitar Afghanistan) menge nalnya sebagai pemimpin yang bijak dan berhati lembut. Ke mana dia pergi, orang sekitar akan langsung memberikan penghormatan. Suata ketika, pria yang dikenal dengan nama lain Ibrahim bin Adham ini terduduk di sebuah tempat. Di sana, dia membuka bekal makanannya. Tanpa diduga, seekor burung gagak datang mengambil sedikit makanan tersebut, lalu terbang menuju bukit. Ibrahim penasaran dengan burung tersebut. Dia membungkus makanannya. Lalu, menunggangi dan memacu kudanya berlari mengikuti arah burung tadi. Tapi, burung itu begitu cepat membelah udara, sehingga dia tak lagi mengetahui ke mana hewan terbang itu mengarah. Karena jejak terakhir yang diingatnya ke arah bukit, dia memacu kudanya ke sana. Sampai di dataran tinggi bukit tadi, Ibrahim menemukan seseorang dalam kondisi terikat. Burung gagak tadi ada di dekat orang tersebut. Paruhnya yang membawa makanan bergerak mendekati mulut orang yang terikat. Burung itu kemudian melepas makanannya. Mulut orang terikat itu terbuka dan menelannya. Hal seperti itu terjadi dalam beberapa hari sejak pria tak dikenal itu terikat dan dibuang kawanan perampok. Tapi, dengan kuasa Allah, dia masih hidup dan tetap mendapatkan rezeki untuk makan, sungguh luar biasa. Kisah ini diabadikan seorang alim Syekh Muhammad Bin Abu Bakar Alushfuri dalam kitabnya Mawaizh Ushfuriyah yang berarti nasihat burung. Pesan yang terkandung di dalamnya adalah setiap makhluk di alam raya ini memiliki rezeki sendiri-sendiri. Sungguh mustahil Sang Pencipta membiarkan makhluknya hidup tanpa rezeki. Jangankan yang bebas bergerak, makhluk terikat yang geraknya terbatas, seperti yang ditemui Ibrahim bin Adham pun masih mendapatkan rezeki, tetap hidup dan mengagungkan asma Allah. Manusia selalu didorong untuk selalu optimistis menjalani kehidupan. Selalu meyakini bahwa Allah menyayangi ciptaan-Nya yang tersebar di berbagai belahan dunia. Di mana pun mereka berada dan apa pun fungsi yang dijalani tetap akan mendapatkan perhatiannya. Allah memerintahkan mereka untuk menikmati rezeki yang halal dan baik. (al-Baqarah: 172). Halal berarti sesuatu yang boleh dikonsumsi sesuai ketentuan Islam. Yang baik (tayib) adalah segala makanan dan minuman yang layak dikonsumsi. Dengan mengonsumsi makanan semacam tadi, manusia akan mensyukuri keadaan yang dialaminya. Berbagi kepemilikan untuk menunjukkan hakikat dirinya sebagai makhluk sosial yang tak bisa hidup sendirian. Juga, memaksimalkan ibadah kepada Sang Pencipta karena



telah dianugerahi segala rezeki dan kenikmatan. Demikianlah Abu Bakar al- Ushfuri menjelaskan hikmah di balik kisah tersebut. Bagaimana kelanjutannya? Sang pengarang menjelaskan, sejak itu, Ibrahim bin Adham makin memasrahkan kehi dupannya untuk Allah semata. Dia tinggalkan segala kekuasaan dan kenikmatan duniawi yang dimiliki. Ibrahim banting setir menjadi orang yang hidup ala kadarnya, jauh dari gemerlap dunia dan kemewahan yang selama ini dinikmati para bangsawan. Pria itu dikabarkan berkelana dari satu negeri ke lainnya. Yang menarik adalah, meski dia hidup seder hana, tak pernah mengemis uang dan harta orang lain. Dia tetap bekerja, di antara nya, menjadi tukang kebun, membantu petani, atau sekadar berjualan. Semua itu dia lakoni untuk kesederhanaan memenuhi kebutuhan. Ibrahim dikabarkan mengunjungi sejumlah tempat, di antaranya adalah Kota Makkah. Setelah itu, dia juga mengembara melewati padang pasir hingga sampai ke Yerusalem. Sekali lagi, dia hidup seadanya, tapi tetap mandiri tidak menjadi pemintaminta. Ibrahim bin Adham: Ulama Kaya Ilmu Nan Wara' Dan Zuhud Biografi singkat, Ibrahim bin Adham, seorang ulama yang tidak hanya kaya akan ilmu, namun juga sangat wara' dan zuhud terhadap dunia sehingga diberi gelar, Sulthân al-Awliyâ’: Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham bin al-Manshur al-‘Ijli. Ia lahir di Balakh, sebelah Timur Khurasan. Karena itu ia dikenal pula dengan nama Abu Ishaq al-Balakhi. Menurut Imam al-Bukhari (wafat 870 M), Ibrahim bin Adham adalah keturunan kedua dari Umar bin al-Khaththab ra. Ibrahim bin Adham adalah seorang penguasa di Balakh yang kaya-raya dengan istananya yang megah. Namun, meski hidup bergelimang harta dan kekuasaan, hatinya tidak menjadi lalai. Lama-lama, gemerlapnya dunia tak membuat dirinya bahagia, juga tak bisa menghadirkan ketenangan jiwa. Akhirnya, ia meninggalkan istana dan semua kemewahan duniawi. Ia pergi ke Baghdad, Irak, Syam dan Hijaz untuk menimba ilmu dari para ulama. Pencariannya ditopang dari hasil buruan dan memelihara kebun. Ia hidup sebagai seorang yang amat zuhud dan wara’. Ia terkenal sebagai ahli ibadah dan sangat penyantun terhadap sesama, terlebih lagi kepada orang-orang miskin (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 7/387-396). Tentang keutamaan Ibrahim bin Adham, Imam an-Nasa’i berkata, “Ibrahim bin Adham tsiqah (terpercaya). Ia salah seorang yang amat zuhud.” (Al-Khathib alBaghdadi, Târîkh Baghdâd, 3/219). Karena keilmuan, keikhlasan, kewaraan dan kezuhudannya, Ibrahim bin Adham dikenal sebagai salah seorang Sulthân al-Awliyâ’. Bahkan menisbatkan Sulthân alAwliyâ’ kepada Ibrahim bin Adham (wafat 206 H) telah amat populer (Al-Muradi,



Khulashat al-Atsar, 2/18; Muhammad bin Abu Bakar bin Khalikan, Wafiyât al-A’yân, I/32). Terkait keikhlasannya, Ibrahim bin Adham, jika ikut terlibat dalam peperangan (jihad), misalnya, usai perang ia tidak mengambil ghanîmah (rampasan perang) yang menjadi haknya. Hal itu ia lakukan demi meraih kesempurnaan pahala jihad (Ibn alJauzi, Talbîs Iblîs, 1/180; Al-Mustafâd min Dzayl Târîkh Baghdâd, 1/31). Terkait kewaraan dan kezuhudannya, Ibrahim bin Adham rela meninggalkan istanannya yang megah dan segala kemewahan duniawi. Ia pergi menuju Syam untuk mencari rezeki yang halal dengan tangannya sendiri. Ia bekerja di kebun milik orang lain dengan tekun (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 7/387-396). Sikap zuhudnya juga tampak saat Ibrahim bin Adham pergi safar ke Baitullah (Makkah). Saat itu ia berpapasan dengan seorang Arab dusun yang mengendarai seekor unta. Orang itu berkata, “Syaikh, mau kemana?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Ke Baitullah.” Orang itu bertanya lagi, “Anda ini seperti tak waras. Saya tidak melihat Anda membawa kendaraan, juga bekal, sementara perjalanan sangat jauh.” Ibrahim kembali berkata, “Sebetulnya saya memiliki beberapa kendaraan. Hanya saja, engkau tidak melihatnya.” Orang itu bertanya, “Kendaraan apa gerangan?” Ibrahim bin Adham berkata, “Jika di perjalanan aku tertimpa musibah, aku menaiki ‘kendaraan sabar’. Jika di perjalanan aku mendapatkan nikmat, aku menaiki ‘kendaraan syukur’. Jika di perjalanan Allah SWT menetapkan suatu qadhâ’ untukku, aku menaiki ‘kendaraan ridha’.” Orang Arab dusun itu lalu berkata, “Jika demikian, dengan izin Allah, teruskan perjalanan Anda, Syaikh. Anda benar-benar berkendaraan. Sayalah yang tidak berkendaraan.” (Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh alGhayb, 1/234). Dalam kisah lain, Sahl bin Ibrahim menuturkan, “Aku berteman dengan Ibrahim bin Adham. Saat aku sakit ia membiayai semua pengobatanku dan memenuhi semua keinginanku. Setelah agak sembuh dari sakitku, aku bertanya, “Ibrahim, di manakah keledaimu?” Ibrahim bin Adham menjawab enteng, “Telah kujual untuk memenuhi keperluanmu.” Aku bertanya kembali, “Lalu kita naik apa?” Ibrahim bin Adham berkata, “Saudaraku, naiklah ke atas punggungku.” Kemudian ia membawa aku ketiga tempat." (Al-Qusairi, Risâlah al-Qusyairiyyah). Ibrahim bin Adham amat terkenal dengan nasihat-nasihatnya yang dalam dan amat menyentuh kalbu. Ia, antara lain, berkata, “Ada tiga perkara yang paling mulia di akhir zaman: (1) teman dekat di jalan Allah; (2) mengusahakan harta yang halal; (3) menyatakan kebenaran di hadapan penguasa.” (Abu al-Hajjaj al-Mazzi, Tahdzîb alKamâl, 2/35). Suatu saat Ibrahim bin Adham berjalan melewati sebuah pasar di Bashrah, Irak. Tibatiba ia dikelilingi oleh banyak orang. Ia ditanya oleh mereka tentang firman Allah SWT yang artinya, ”Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan do’a kalian.” (TQS Ghafir [40]: 60). Mereka mengatakan, “Kami telah berdoa kepada Allah, namun mengapa belum juga dikabulkan?” Lalu beliau menjawab, “Karena hati kalian telah mati oleh sepuluh perkara: (1) Kalian mengklaim mengenal Allah, tetapi tidak menunaikan hak-hak-Nya; (2) Kalian membaca Kitab-Nya, tetapi tidak mengamalkan isinya; (3) Kalian mengaku memusuhi setan, tetapi mengikuti



ajakannya; (4) Kalian mengaku mencintai Rasulullah saw., tetapi meninggalkan sunnah-sunnahnya; (5) Kalian mengklaim merindukan surga, tetapi tidak melakukan amalan-amalan penduduk surga; (6) Kalian mengaku takut neraka, tetapi justru banyak melakukan perbuatan penduduk neraka; (7) Kalian mengatakan kematian itu pasti, tetapi tidak menyiapkan bekal untuk menghadapi kematian itu; (8) Kalian sibuk mencari aib orang lain, sedangkan aib kalian sendiri tidak kalian perhatikan; (9) Kalian makan dari rezeki Allah, tetapi tidak pernah bersyukur kepada-Nya; (10) Kalian sering menguburkan orang mati, tetapi tidak pernah mengambil pelajaran dari kematian mereka.” Mendengar nasihat itu, orang-orang itu pun menangis (Ibn Rajab al-Hanbali, Rawa’i’ at-Tafsîr, 2/230; Jâmi’ Bayân al-’Ilmi wa Fadhlihi, 12/2). Ibrahim bin Basyar ash-Shufi al-Khurasani, pembantu Ibrahim bin Adham, menuturkan kisah lain: Pernah seorang sufi datang kepada Ibrahim bin Adham dan bertanya, “Abu Ishaq, mengapa hatiku seperti terhijab dari Allah ‘Azza wa Jalla?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Karena hatimu mencintai apa yang Allah benci. Kamu lebih mencintai dunia dan cenderung pada kehidupan yang penuh tipuan, senda-gurau dan permainan.” (Abu Bakr al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, 6/47). Ibrahim bin Adham juga berkata, “Amal terberat di mizan (timbangan amal di akhirat) adalah yang paling memberatkan badan (dilakukan dengan susah-payah, pen.).” (Al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, 8/16). Menurut Ibnu Asakir, Ibrahim bin Adham wafat sebagai syuhada pada 162 H dalam sebuah peperangan (jihad). Ia dimakamkan di Jabala, Suriah. Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh.



Ketika Syekh Ibrahim bin Adham Diusir dari Masjid Sabtu 8 September 2018 Syekh Ibrahim bin Adham berniat menginap di masjid ketika dingin malam menusuk tulang-tulangnya. Tapi tak disangka, selepas shalat Isya', saat jamaah yang lain pulang semua, tiba-tiba ia dihampiri seorang imam dan memintanya keluar. "Saya orang luar. Saya berencana menginap malam ini di masjid," Ibrahim bin Adham menjelaskan. "Tidak ada alasan!" Sufi zuhud itu pun terlibat obrolan panjang dengan si imam, hingga akhirnya kakinya diseret lalu tubuhnya dilempar ke tempat pembuangan sampah. Pintu masjid pun ditutup. Ibrahim bangkit dalam kondisi bingung, salah apa dan hendak singgah ke mana. Saat itulah ia mendekati dapur api yang sedang menyala-nyala, lalu berjumpa orang sederhana namun amat spesial.



"Assalamu'alaikum," sapa Syekh Ibrahim. Tak ada balasan salam. Ia pun kian mendekat ke pria yang tampak sangat sibuk dengan aktivitasnya itu. Pria tersebut hanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Baru setelah rampung dengan aktivitasnya, ia membalas salam orang asing yang menghampirinya itu. "Mengapa kau tak menjawab salamku dengan segera?" tanya Syekh Ibrahim bin Adham. "Aku ini pegawai, saya khawatir sibuk dengan urusan di luar pekerjaanku, sehingga berdosalah aku." "Aku juga melihatmu tadi menengok ke kanan dan ke kiri." "Aku tidak tahu dari arah mana malaikat maut bakal mendatangiku," jawab pria itu. Perbicangan pun lantas berlangsung hangat. Syekh Ibrahim bin Adham mulai bertanya tentang hal-hal yang bersifat pribadi. "Berapa kau digaji per hari?" "Satu plus seperenam dirham. Seperenam dirham untuk kebutuhanku sendiri, satu dirham untuk kebutuhan keponakan-keponakanku. Anakku sendiri sudah meninggal. Sudah 20 tahun aku menghidupi anak-anak saudaraku itu." "Saudara kandung?" tanya Syekh Ibrahim lagi. "Bukan. Saudara-saudari saya di jalan Allah." Syekh Ibrahim terenyuh. Ternyata ia sedang berhadapan dengan orang yang istimewa. Yakni, pria yang sangat bertanggung jawab dan sangat amanah terhadap pekerjaannya, selalu insaf akan kepastian datangnya kematian, serta amat dermawan kepada orang lain atas dasar persaudaraan universal. "Apakah kau ada permohonan kepada Allah?" tanya Syekh Ibrahim. "Ya, selama dua puluh tahun aku memiliki permintaan kepada Allah namun sampai kini belum terkabul." "Apa itu?" "Aku memohon dapat berjumpa Ibrahim bin Adham, lalu aku meningal dunia." Syekh Ibrahim lantas mengungkap bahwa dirinya adalah orang yang ia tunggu puluhan tahun itu. Sontak, pria dermawan itu melompat dan merangkul Syekh Ibrahim dengan penuh haru.



Selanjutnya, atas permintaan, Syekh Ibrahim dengan lembut meletakkan kepala si pria dermawan itu di atas batu. Dengan lirih, terdengar suara, "Tuhanku, Engkau telah kabulkan doaku, maka genggamlah sekarang aku menuju ke haribaan-Mu." Sesaat kemudian, pria saleh yang amanah, zuhud, dan sangat peduli dengan orang lain melebihi kepentingan dirinya sendiri itu wafat dengan penuh kedamaian dan ketenangan. Sudah menjadi takdir Ibrahim bin Adham terusir dari masjid, untuk kemudian menerima takdir lain, yakni berjumpa dengan pelajaran luar biasa. Wallahu a'lam bish shawab. (Mahbib) Cerita ini dinarasikan dari kitab "Maurad al-'Adzb fil Mawâ'idh wal Khuthab" karya Imam Abu Faraj al-Jauzi. Kisah ini juga bisa ditemukan dalam kitab "Jâmi' Karamâtil Auliyâ" (2/310) karya Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani.



Tangisan Ibrahim bin Adham saat Membeli Budak Rabu 18 Oktober 2017 Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Fariduddin Attar mengisahkan Imam Ibrahim bin Adham dan budak yang baru saja dibelinya. Diceritakan: ‫ ما تلبس؟‬:‫ قال‬.‫ ما تُطعمني أطعم‬:‫ أيُّ شي ٍء تأكل؟ قال‬:‫ قال‬.‫ ما تدعوني به‬:‫ ما اسمك؟ قال‬:‫ قال‬،‫أنه اشترى غالما‬ ‫ أليس لك اختيار؟‬:‫ قال‬.‫ ما ترسم وتأمر أعمل بتوفيق هللا‬:‫ وماذا شغلك وعملك؟ قال‬:‫ قال‬.‫ ما تُعطيني ألبس‬:‫قال‬ ‫ تعلّمي العبودية من هذا العبد‬:‫ وقلت لنفسي‬،‫ فبكيت حتي غشي عل ّي‬.‫ وما للعبد اختيار‬،‫ أنا عبد‬:‫قال‬. Suatu ketika Imam Ibrahim bin Adham membeli seorang budak. Ia bertanya kepada budak itu, “Siapa namamu?” Budak itu menjawab, “Tuan hendak memanggilku apa?” Ibrahim bertanya lagi, “Apa yang biasa kau makan?” Jawabnya, “Apa pun yang tuan berikan, aku akan memakannya.” Ibrahim bertanya lagi, “Pakaian apa yang ingin kau pakai?” Jawabnya, “Apa pun yang tuan berikan, aku akan memakainya.” Ibrahim bertanya lagi, “Apa yang akan kau lakukan dan kerjakan?” Jawabnya, “Apa pun yang tuan perintahkan, aku akan mengerjakannya dengan pertolongan Allah.” Ibrahim bertanya lagi, “Apakah kau tidak memiliki keinginan?” Jawabnya, “Saya seorang budak, untuk apa budak memiliki keinginan.” Kemudian Aku (Ibrahim bin Adham) menangis hingga tak sadarkan diri, lalu aku berkata pada diriku sendiri, “Budak ini telah mengajariku bagaimana menjadi seorang hamba (ubudiyyah).” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashîliy al-Wasthâni al-Syâfi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 142). **** Arti dari menghamba adalah kepasrahan, melepaskan segala ketergantungan selain kepada Tuhan. Bukan berarti seorang hamba adalah wayang yang tidak memiliki



kemampuan bertindak dengan kehendaknya sendiri, tidak. Kepasrahan adalah pengetahuan yang memperluas hati manusia dari kesempitan. Ketika seorang hamba telah berjuang sekuat tenaga dan berdoa siang malam, tapi hasil yang dia harapkan belum juga terwujud, kepasrahan itulah yang menjadi sandaran. Pengetahuan akan kepasrahan mutlak kepada Tuhan membuat manusia merdeka. Segala tindakannya berasal dari dan untuk Tuhan. Dalam bahasa agama disebut tawakkal. Imam Ibrahim bin Adham mendapatkan pelajaran berharga dari hamba sahaya itu. Pengetahuannya tentang menjadi hamba bertambah, bahwa seorang hamba harus menerima apa pun yang ditetapkan tuannya. Namun, tetap saja ada perbedaan besar antara hubungan hamba dengan Tuhan dan hamba dengan tuan (manusia). Perbedaan mendasarnya terletak pada kasih sayang Tuhan yang tak berbatas. Segala yang diperintahkan Tuhan kepada hambanya adalah demi kebaikan hambanya. Sedangkan segala yang diperintahkan tuan (manusia) kepada budaknya—sebagian besar—demi kebaikan tuannya sendiri. Tuhan tidak akan berkurang kasih sayangNya meskipun hambaNya berulangkali menentangnya, tapi tidak dengan tuan dan budaknya. Artinya, meski manusia sebagai hamba harus berserah diri kepada Tuhan, mereka diberikan ruang untuk memilih; ke arah kebaikan atau keburukan. Semua itu mutlak kehendak manusia. Hanya saja, ketika manusia memilih keburukan, dia telah abai dari fitrahnya sebagai seorang hamba. Sebab, seorang hamba harus menuruti kehendak Tuhannya tanpa bertanya dan meminta alasan. Dan, kehendak Tuhan adalah agar manusia memilih kebaikan, bukan keburukan. Dengan berbincang dengan budakanya, Imam Ibrahim bin Adham menyadari bahwa sebagian besar manusia telah mengabaikan kasih sayang Tuhan yang tertinggi, yaitu kehendakNya agar manusia memilih jalan kebaikan dan kebajikan, seperti banyak firman dan sabda nabiNya. Karena itu, kita harus mulai menyiapkan ketawakkalan kita dalam menjalani kehidupan. Bukan untuk siapa-siapa atau demi siapa-siapa, tapi untuk diri kita sendiri. Memahami bahwa diri kita adalah ‘hamba’ tidak berbeda dengan kebutuhan hidup sehari-hari seperti makanan dan minuman. Kita harus menyadari Allah telah memberikan begitu banyak fasilitas kehidupan untuk seorang hamba. Sudah selayaknya kita berserah diri kepadaNya, berusaha tidak bergantung selain kepadaNya. Namun, yang perlu dipahami adalah, menjadi hamba bukan berarti diam atau tidak berbuat apa-apa. Konsep tawakkal tidaklah seperti itu. Imam Sahl bin Abdullah alTustari mengatakan: ُ‫ فَاَل يَ ْت ُر َك َّن ُسنَّتَه‬,‫ فَ َم ْن بَقِ َي عَلي َحالِ ِه‬.ُ‫التَّ َو ُّك ُل َحا ُل النَّبِ ِّي صلي هللا عليه وسلم َو ْال َكسْبُ ُسنَّتُه‬ “Tawakkul adalah keadaan spiritual Nabi SAW, sedangkan kasab (berusaha) adalah cara hidupnya. Barang siapa yang hendak mendiami keadaan spiritualnya, jangan tinggalkan cara hidupnya.” (Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Risalah alQusyairiyyah, hlm 298)



Berserah dirilah kepada Tuhan seperti rasul, yang meski telah dijamin kemaksuman dan tempatnya di surga, tetap menjalankan shalat melebihi orang biasa karena alasan syukur dan memohon ampunan Tuhan (istighfar) setiap hari tanpa henti. Bukankah kita seharusnya begitu sebagai seorang hamba yang bergelimang dosa? Di sisi lain, perbincangan Ibrahim bin Adham dengan budaknya membuka kesadaran bahwa tidak ada satu punmanusia yang berhak menjadi tuan atas manusia lainnya. Jika seseorang bertindak sebagai tuan atas manusia lainnya, secara tak sadar dia telah menyamakan dirinya dengan Tuhan. Padahal, seluruh kelahiran atau yang dilahirkan pada mulanya suci (fitrah), tidak ada yang berhak atas hidupnya selain Tuhan sendiri. Oleh karena itu, kisah di atas adalah kisah tentang pentingnya kesadaran ‘hamba’ untuk memerdekakan diri sendiri dan memanusiakan manusia lainnya. Wallahu a’lam.. Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.